BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman satwa liar yang tinggi, terutama primata. Sekitar 195 jenis primata yang terdapat di dunia, 40 jenis diantaranya hidup di hutan-hutan Indonesia dan 24 jenis diantaranya merupakan primata endemik yang hanya hidup di Indonesia yang memiliki ciri dan ukuran yang bervariasi, mulai dari primata terkecil di dunia, yaitu Tangkasi (Tarsius pumilus) yang hidup di Sulawesi, hingga yang terbesar yaitu orangutan (Pongo pymaeus dan Pongo abelii) yang masih tersisa di Kalimantan dan Sumatera (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Orangutan merupakan satu-satunya spesies kera Asia yang masih hidup (Galdikas, 1986). Orangutan pada umumnya dapat hidup di berbagai tipe dan kondisi habitat, mulai dari hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Namun, orangutan lebih menyukai hutan-hutan tropis basah dataran rendah dibandingkan pegunungan yang berkabut (van Schaik, 2006). Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) memiliki hutan rawa gambut yang menjadi salah satu habitat orangutan kalimantan, namun telah mengalami tingkat degradasi yang tinggi akibat terjadi penebangan yang besar-besaran dimasa lalu, sehingga areal hutan Tuanan sekarang menjadi hutan sekunder

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman

satwa liar yang tinggi, terutama primata. Sekitar 195 jenis primata yang terdapat

di dunia, 40 jenis diantaranya hidup di hutan-hutan Indonesia dan 24 jenis

diantaranya merupakan primata endemik yang hanya hidup di Indonesia yang

memiliki ciri dan ukuran yang bervariasi, mulai dari primata terkecil di dunia,

yaitu Tangkasi (Tarsius pumilus) yang hidup di Sulawesi, hingga yang terbesar

yaitu orangutan (Pongo pymaeus dan Pongo abelii) yang masih tersisa di

Kalimantan dan Sumatera (Supriyatna dan Wahyono, 2000).

Orangutan merupakan satu-satunya spesies kera Asia yang masih hidup

(Galdikas, 1986). Orangutan pada umumnya dapat hidup di berbagai tipe dan

kondisi habitat, mulai dari hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan

perbukitan (Supriyatna dan Wahyono, 2000). Namun, orangutan lebih menyukai

hutan-hutan tropis basah dataran rendah dibandingkan pegunungan yang berkabut

(van Schaik, 2006).

Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) memiliki hutan rawa gambut

yang menjadi salah satu habitat orangutan kalimantan, namun telah mengalami

tingkat degradasi yang tinggi akibat terjadi penebangan yang besar-besaran

dimasa lalu, sehingga areal hutan Tuanan sekarang menjadi hutan sekunder

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

2

dengan vegetasi yang sangat rapat dan sering terjadi kebakaran pada musim

kemarau (Meididit, 2006).

Kerusakan habitat dan perburuan orangutan secara liar menyebabkan

orangutan mengalami ancaman kepunahan (Murti, 2007). Oleh karena itu,

kelestarian orangutan perlu dijaga, salah satunya adalah dengan meningkatkan dan

menyebarkan informasinya. Hal ini berkaitan dengan fungsi orangutan di alam,

dimana orangutan dapat dijadikan spesies payung (umbrella species) untuk

meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat. Kelestarian orangutan menjamin

kelestarian hutan yang menjadi habitatnya, sehingga diharapkan kelestarian

makhluk hidup lain ikut terjaga pula (MacKinnon, dkk., 1996; Soehartono, dkk.,

2007). Selain itu, sebagai pemakan buah (frugivorus) orangutan merupakan agen

penyebar atau distributor biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan

(Supriyatna dan Wahyono, 2000; Soehartono, dkk., 2007), disamping orangutan

juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan karakternya

dengan manusia (Soehartono, dkk., 2007).

Berdasarkan penurunan jumlah populasinya, status konservasi orangutan

kalimantan berdasarkan konferensi Asian Primate Classification dan IUCN

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)

termasuk dalam kategori terancam punah (endangered) (Brandon-Jones, dkk.,

2004; Orangutan Foundation International, 2007). IUCN juga menyatakan bahwa

kera besar ini masuk kedalam satwa yang terancam punah, sehingga perlu

mendapatkan perlindungan secara internasional (Meijaard, dkk., 2001).

Sedangkan, di Indonesia perlindungan orangutan memiliki payung hukum

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

3

tersendiri, diantaranya Peraturan Perlindungan Binatang Liar No.233/1931, yang

diperkuat melalui SK Menhut tanggal 10 Juni 1991 No.301/Kpts-II/1991, UU

No.5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 (Meijaard, dkk.,

2001).

Pengelolaan orangutan di alam agar terhindar dari kepunahan, hal utama

yang penting diketahui, salah satunya adalah perilaku seksual, dimana merupakan

perilaku yang sangat berkaitan dalam peningkatan populasi orangutan, selain

habitat dan ketersedian pakan. Hal tersebut dikarenakan tingkat keberhasilan

dalam hubungan seksual sangat menentukan populasi orangutan (Galdikas, 1986).

Selain itu, orangutan yang hidup semi soliter, perilaku seksual merupakan

keadaan dimana orangutan dapat melakukan hubungan sosial dengan individu lain

(Susanto, 2005).

Orangutan jantan memperlihatkan tingkat perbedaan seksual yang paling

jelas diantara suku pongidae lainnya (Meijaard, dkk., 2001). Sementara, karakter

seks sekunder orangutan jantan seperti; bantalan pipi, kantong suara, dan rambut

panjang di punggung serta lengan, berkembang menjadi dua macam kedewasaan

(bimaturism) dimana keduanya matang secara seksual, yakni jantan berpipi

(flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged) (Utami, 2000; Delgado dan van

Schaik, 2000).

Kehadiran orangutan jantan dipengaruhi oleh ketanggapan betina dewasa

dalam melakukan hubungan reproduksi. Dalam hal ini, betina dewasa yang

menjadi pengambil keputusan (decision maker) dalam melakukan hubungan

reproduksi. Oleh karena itu, orangutan hidup berpasangan (consortship) dalam

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

4

periode tertentu, terutama pada individu muda atau pradewasa (Galdikas, 1986).

Dimana, betina lebih menyukai jantan dengan status yang tinggi atau jantan

dewasa berpipi (flanged) yang diperoleh melalui kompetisi dengan jantan lainnya

atau dewasa tidak berpipi (unflanged) (Meijaard, dkk., 2001). Sementara,

orangutan jantan dewasa berpipi akan sangat berperan dalam kesempurnaan

kopulasi yang menentukan keberhasilan dalam bereproduksi (Galdikas, 1986).

Selain itu, pilihan betina terhadap jantan berpipi (flanged) juga ditujukan untuk

mendapatkan akses makanan dan perlindungan bagi dirinya dan keturunannya dari

jantan tersebut (Schurmann & van Hooff, 1986).

Sedangkan, menurut Utami (2000) orangutan sumatera memiliki

perbedaan strategi dalam melakukan perilaku seksual diantara jantan berpipi

(flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged). Selain itu, daerah distribusi yang

berbeda dan kondisi hutan yang berubah dari hutan primer menjadi hutan

sekunder di Kalimantan juga sangat mempengaruhi perilaku orangutan, karena

orangutan akan beradaptasi dengan kuat untuk bertahan hidup (Meijaard, dkk.,

2001; Putra, 2008). Oleh karena itu, perilaku seksual orangutan jantan kalimantan

sangat menarik untuk diketahui.

1.2. Pembatasan Masalah

Masalah pada penelitian ini dibatasi pada perilaku seksual orangutan

jantan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah.

1.3. Perumusan Masalah

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

5

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah adalah apakah

terdapat perbedaan perilaku seksual antara orangutan jantan berpipi (flanged) dan

jantan tidak berpipi (unflanged)?

1.4. Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, hipotesis yang akan diajukan

pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan perilaku seksual antara jantan

berpipi (flanged) dan jantan tidak berpipi (unflanged).

1.5.Tujuan

Memperoleh informasi mengenai perilaku seksual jantan berpipi (flanged)

dan jantan tidak berpipi (unflanged).

1.6.Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang perbedaan perilaku seksual jantan di

Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah.

2. Sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang

perilaku seksual pada primata, terutama orangutan.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Morfologi, Habitat dan Klasifikasi Orangutan

Orangutan merupakan anggota suku pongidae yang mencangkup tiga kera

besar lainnya, yakni; Bonobo (Pan paniscus), Simpanse (Pan troglodytes), dan

Gorila (Gorilla gorila). Orangutan merupakan salah satu mamalia atau kera besar

yang hidup arboreal yang memiliki pola hidup semi soliter (Delgado dan van

Schaik, 2000; van Schaik, 2006). Satwa arboreal artinya menghabiskan sebagian

besar waktunya dipepohonan dan jarang sekali turun ke tanah (Maple, 1980; van

Schaik, 2006).

Orangutan mempunyai ciri morfologi tubuh yang gemuk, perutnya besar

dengan lengan yang panjang dan kaki yang pendek, serta tidak mempunyai ekor

(Groves, 2005). Orangutan juga mampu mengendalikan otot-otot wajahnya,

sehingga dapat menimbulkan berbagai ekspresi wajah (Eimerl dan DeVore, 1978;

Casale, 1999), misalnya ketika merasakan sakit atau ketakutan (Rijksen, 1978;

Maple, 1980). Ekspresi wajah juga merupakan bentuk kecerdasan orangutan

(Maple, 1980).

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

7

Orangutan hidup secara arboreal, sehingga menyebabkan adanya adaptasi

morfologis yang menyebabkan lengan orangutan lebih panjang dan kuat

dibandingkan kakinya. Panjang lengannya bahkan dapat mencapai 2 m (Tjiu,

2006). Kelebihan ini digunakan orangutan untuk bergerak atau berlokomosi

dengan brachiasi. Sedangkan, struktur kakinya juga dapat berfungsi sebagai

tangan yang dapat memegang dan membantunya ketika berlokomosi. Hal ini

diakibatkan oleh struktur lengan dan kaki yang memiliki jari dan ibu jari yang

dapat bergerak seperti manusia (Napier, 1972). Berdasarkan penelitian Galdikas

(1986), orangutan mempunyai daya jelajah harian berkisar antara 850 m pada

individu jantan dan 710 m pada individu betina.

Menurut taksonomi saat ini, berdasarkan van Bemmel (1968) dan Jones

(1969) dalam Meijaard dkk (2001) orangutan dibedakan menjadi orangutan

kalimantan dan sumatera. Morfologi orangutan sumatera dan kalimantan terlihat

serupa, sekalipun kedua subspesies ini kerap dapat dibedakan dengan dasar warna

rambutnya (Napier dan Napier, 1985; Napier dan Napier, 1967 dalam Galdikas,

1986, van Schaik, 2006). Menurut Mackinnon (1973) dalam Meijaard dkk (2001)

orangutan kalimantan mempunyai rambut coklat kegelapan, sedangkan orangutan

sumatera lebih terang dan hewan dewasanya mempunyai rambut yang putih agak

kekuningan disekitar mulut dan genitalnya. Melalui pengamatan mikroskopis,

jenis kalimantan mempunyai rambut pipih dengan pigmen berwarna hitam yang

tebal di tengah, sedangkan jenis sumatera berambut lebih tipis, membulat, dan

mempunyai pigmen gelap yang halus, serta sering patah pada bagian tengahnya

(Meijaard, dkk., 2001).

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

8

(a) (b)

Gambar 1. (a). Orangutan Jantan Berpipi Kalimantan (b). Orangutan Jantan Berpipi Sumatera (Orangutan Foundation International, 2007)

Jantan dewasa kalimantan mempunyai cheek pad atau penebalan lemak

dan otot dibagian pipi yang lebar, berkantung suara besar, serta wajah yang

berbentuk segi empat. Sedangkan, pada orangutan sumatera mempunyai cheek

pad dan kantung suara yang lebih kecil, warna janggut agak kekuningan, dan

wajah berbentuk berlian (Maple, 1980). Kantong suara yang besar pada orangutan

digunakan untuk berkomunikasi (Eimerl dan DeVore, 1978). Hewan jantan

mampu melakukan suara panjang (long call) yang cukup nyaring dan dapat

didengar sejauh 3 km. Perilaku ini bertujuan untuk mengundang betina yang

sedang dalam masa birahi atau menantang jantan lain yang berada disekitarnya

(Supriyatna dan Wahyono, 2000; Mitra Setia dan van Schaik, 2006). Namun, long

call dapat pula dilakukan karena suatu gangguan, seperti pohon tumbang (Rijksen,

1978). Orangutan jantan dewasa berpipi beratnya mencapai 50-130 kg dan berat

betina dewasa hanya sekitar 30-50 kg (Orangutan Foundation International, 2007).

Pakan orangutan sangat bervariasi, diantaranya buah-buahan berdaging

lembek dan berbiji. Selain itu, orangutan juga memakan daun-daunan, termasuk

tunas muda, terutama ketika buah-buahan menjadi jarang. Makanan lain yang juga

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

9

dikonsumsi orangutan adalah serangga, kulit pohon, beberapa hewan kecil, madu,

dan bahkan tanah (Russon, 2002; Putra, 2008). Orangutan digolongkan sebagai

hewan frugivorus atau pemakan buah-buahan, walaupun orangutan juga memiliki

sifat oportunistik. Orangutan memakan lebih dari 200 jenis buah di alam liar

(Galdikas dan Shapiro, 1994; Supriyatna dan Wahyono, 2000; Meijaard, dkk.,

2001; Soehartono, dkk., 2007; Putra, 2008).

Orangutan pada umumnya dapat hidup diberbagai tipe dan kondisi habitat,

dari hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, hingga hutan perbukitan (Supriyatna

dan Wahyono, 2000). Kondisi hutan yang berubah dari hutan primer menjadi

hutan sekunder akan berdampak buruk pada populasi orangutan. Namun, dalam

kondisi tersebut orangutan akan beradaptasi dengan kuat untuk bertahan hidup

(Meijaard, dkk., 2001; Putra, 2008).

Habitat optimal bagi orangutan sedikitnya mencangkup dua tipe lahan

utama, yakni tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Tepi sungai

dapat berupa dataran banjir, rawa, atau lembah alluvial, dataran tinggi yang

biasanya adalah kaki bukit. Kedua habitat ini tentunya harus cukup luas dan dalam

jarak yang dapat dijangkau, yaitu kurang dari 5 km (Meijaard, dkk., 2001).

Pendistribusian habitat orangutan masih terlihat banyak pada Pulau Kalimantan

dan Sumatera. Orangutan di Pulau Sumatera mengalami penurunan populasi

akibat perubahan habitat, mereka hanya terdapat pada Provinsi Aceh dan

Sumatera Utara, sedangkan di Pulau Kalimantan masih terdapat di Kalimantan

Barat, Tengah, dan Kalimantan Timur (Meijaard, dkk., 2001).

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

10

Gambar 2. Distribusi Orangutan di Kalimantan (dalam warna hitam) (Soehartono, dkk., 2007)

Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) Kalimantan Tengah

merupakan daerah yang memiliki hutan rawa gambut yang menjadi salah satu

habitat orangutan kalimantan, namun telah mengalami tingkat degradasi yang

tinggi akibat terjadi penebangan yang besar-besaran dimasa lalu, sehingga areal

hutan Tuanan sekarang menjadi hutan sekunder dengan vegetasi yang sangat rapat

dan sering terjadi kebakaran pada musim kemarau (Meididit, 2006). Areal

penelitian ini terletak pada titik ordinat 02009’06.1”LS dan 114026’26.6”BT

dengan luas 900 Ha. Stasiun ini merupakan satu ekosistem hutan rawa gambut

dengan kisaran kedalaman gambut 1,5-4 m dan keadaan pH rata-rata 3,5-4,0

(Departemen Kehutanan, 2002). Rata-rata curah hujan pada tahun 2008 mencapai

4,08 mm/det, serta rata-rata suhu tertinggi mencapai 27,720C dan suhu terendah

mencapai 22,960C.

Klasifikasi orangutan menurut Colin Groves (2001) disajikan sebagai

berikut;

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

11

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Anthropoidea

Super Suku : Homoinoidea

Famili : Pongidae

Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelli (Lesson, 1827)

Pongo pygmaeus (Hoppius, 1786)

Anak Jenis : Pongo pygmaeus pygmaeus (Linnaeus, 1760)

Serawak (Malaysia), Danau Sentarum, dan Betung Kerihun

Pongo pygmaeus morio (Owen, 1837)

Kalimantan Timur dan Sabah

Pongo pygmaeus wurmbii (Tiedemann, 1808)

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah

Orangutan juga memiliki beberapa nama lokal, diantaranya Kahiyu

(Kalimantan Tengah bagian Timur), Uyang Paya (Kalimantan Timur bagian

Utara), Mawas (Sumatera), Kahiu (Kalimantan Timur bagian Barat sampai

Serawak), Maweh (Aceh), Umang (Batak karo), dan lain-lain (Meijaard, dkk.,

2001).

2.3.Perilaku Seksual Orangutan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

12

Perilaku seksual merupakan perilaku yang terpenting dalam menentukan

populasi orangutan di alam. Perilaku seksual merupakan perilaku yang banyak

dilakukan oleh orangutan, baik oleh individu muda maupun dewasa (Galdikas,

1986). Namun, perkembangan karakter seks sekunder (bantalan pipi, kantong

suara, dan rambut panjang di punggung serta lengan) orangutan jantan dewasa

berkembang menjadi dua bentuk yang berlainan, yaitu; dua macam kedewasaan

(bimaturism) dimana keduanya matang secara seksual, jantan berpipi (flanged)

dan jantan tidak berpipi (unflanged). Selain itu, jantan berpipi (flanged) memiliki

ukuran tubuh dua kali lebih besar dibandingkan betina dewasa, serta dapat

melakukan panggilan panjang (long call) (Utami, 2000; Delgado dan van Schaik,

2000).

Orangutan di penangkaran mencapai matang secara seksual pada usia

delapan hingga sepuluh tahun dan diperkirakan lebih lambat pada orangutan yang

hidup di alam liar. Jantan tidak berpipi (unflanged) tidak memiliki ukuran tubuh

yang besar dan karakter seks sekunder yang biasa terdapat pada jantan berpipi

(flanged). Disamping itu, jantan tidak berpipi (unflanged) dapat mempertahankan

ukuran tubuhnya (sekitar 35 hingga 50 kg) selama 10 sampai 20 tahun di alam liar

dan sampai 18 tahun di penangkaran hingga siap menjadi jantan berpipi (flanged)

(Delgado dan van Schaik, 2000).

Sedangkan, orangutan betina mencapai matang secara seksual kira-kira

pada usia tujuh tahun di penangkaran dan diperkirakan pada usia sebelas hingga

limabelas tahun di alam liar. Orangutan betina tidak mengalami pembengkakan

pada genitalnya yang dapat menunjukan bahwa sedang dalam keadaan subur,

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

13

tetapi labialnya dapat membengkak sekitar dua minggu hingga lebih dari satu

bulan setelah mengalami pembuahan (Delgado dan van Schaik, 2000).

Pembengkakan pada genital berhubungan dengan keberhasilan hubungan

reproduksi dan hasil dari kompetisi antar betina (Kappeler, 2002).

Masa kehamilan pada betina diperkirakan sekitar sembilan bulan (sekitar

260-270 hari) di alam liar, sedangkan pada penangkaran sekitar 244 hari. Betina

akan hidup bersama-sama dengan anaknya hingga dapat hidup secara mandiri

setidaknya selama enam tahun. Interval kelahiran pada orangutan kalimantan dan

sumatera sekitar delapan tahun atau yang terlama dibandingkan primata yang

lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang lambat berakibat pada panjangnya

usia orangutan. Usia maksimum pada betina 57 tahun dan 58 tahun pada jantan di

penangkaran dan 45 tahun di alam liar (Delgado dan van Schaik, 2000).

Terdapat dua jenis kontak seksual yang terjadi orangutan. Pertama, adanya

pasangan-pasangan yang melakukan hubungan berpasangan di waktu yang lama

(consortship) segera setelah mereka bertemu (Galdikas, 1986). Berpasangan

(consortship) adalah ketika individu jantan dan betina menjelajah (ranging) secara

bersama-sama selama beberapa hari, minggu, bahkan bulan (Rijksen, 1978).

Pasangan tersebut dapat tersusun oleh empat kombinasi individu yang berbeda-

beda diantaranya; jantan dewasa dengan betina dewasa, jantan dewasa dengan

betina remaja, dan jantan pradewasa dengan betina dewasa, serta jantan

pradewasa dengan betina remaja (Schurmann & van Hooff, 1986).

Kontak seks yang lain terjadi antara jantan dan betina yang ada dalam

kebersamaan selama kurang dari satu hari. Kejadian tersebut menyangkut jantan

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

14

dewasa dengan betina dewasa, jantan pradewasa dengan betina dewasa, serta

jantan pradewasa dengan betina remaja (Galdikas, 1986). Sedangkan, individu-

individu yang sudah mandiri bertemu selama kurang dari satu hari disebut party

(Fox, 2001). Umumnya mereka hanya bertemu ketika sedang mencari makan atau

menjelah.

Kebersamaan sosial orangutan jantan dewasa dengan individu lain, 90%

terdiri dari tingkah laku berpasangan seksual dengan betina tanggap seks atau

betina remaja. Namun, orangutan jantan dewasa tidak dapat menerima keberadaan

jantan dewasa lain (Galdikas, 1986). Sehingga, orangutan jantan memerlukan

sikap yang tegas dan berani untuk mendapatkan statusnya. Walaupun status jantan

dewasa umumnya telah mantap melalui kompetisi yang terus berlangsung, status

ini juga harus dijaga dengan melakukan hubungan individual dengan betina.

Sedangkan, apabila minat seksual jantan tidak terpuaskan, maka jantan ini

terpaksa akan melanjutkan hidup sebagai penglaju (Meijaard, dkk., 2001).

Interaksi sosial antar jantan berpipi (flanged) untuk status dominan umumnya

dilakukan apabila ingin berkopulasi dengan betina dengan mengusir jantan lain,

seperti jantan tidak berpipi (unflanged) (Galdikas, 1986; Susanto, 2005).

Orangutan jantan pradewasa memiliki keinginan seksual yang lebih tinggi

dibandingkan jantan dewasa. Oleh karena itu, jantan pradewasa yang tidak dapat

melakukan kopulasi seperti yang diinginkan, maka jantan pradewasa akan

melakukan pemerkosaan (Rijksen, 1978; Galdikas, 1986). Pradewasa yang kalah

bersaing dengan dewasa dominan dalam melakukan hubungan seksual, umumnya

akan memperluas daerah jelajahnya untuk mencari betina dewasa dan melakukan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

15

kopulasi tanpa gangguan dari jantan dominan (Susanto, 2005). Jantan pradewasa

juga akan melakukan perilaku cek vegina (genital inspection) ketika bertemu

betina, dimana dilakukan dengan cara menyentuh vulva dengan jari atau bibir dan

merupakan perilaku yang umum terjadi pada kehidupan orangutan liar (Shofiana,

2007).

Sementara, betina dewasa yang siap kawin akan bersifat pasif dan

mengharapkan pelayanan seksual dari hewan jantan, dimana orangutan jantan

akan bersaing ketat untuk melakukan kepentingan reproduksinya yang harus

didapatkan melalui persaingan yang ketat (Meijaard, dkk., 2001). Betina dewasa

yang sedang aktif seksual akan mendekati jantan dominan dan umumnya akan

menolak kawin dengan jantan lokal yang tidak dominan. Setelah melahirkan

anaknya, betina dewasa akan berubah menjadi lebih soliter (Galdikas, 1986).

Namun, hal yang membahayakan pada masa ini adalah kehadiran jantan-jantan

pendatang dan jantan lokal muda yang dapat membunuh bayi yang dimiliki betina

tersebut untuk mendapatkan akses seksual yang khusus dan disinilah peranan

jantan dewasa dominan lokal (van Schaik, 2006).

Sedangkan, betina remaja lebih banyak melewatkan waktu bersama

dengan individu lain. Dimana, kontak dengan jantan dominan memiliki frekuensi

tertinggi, yang sebagian besar waktu tersebut dilakukan untuk berpasangan.

Betina remaja merupakan individu yang paling sering menjadi korban

“pemerkosaan” yang dilakukan oleh jantan remaja atau pradewasa yang ingin

melakukan kopulasi (Galdikas, 1986).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

16

Orangutan jantan dewasa mencoba mendapatkan seks dengan betina yang

siap kawin dengan cara bergaya dan memamerkan penisnya (Schurmann (1982)

dalam Meijaard, dkk., 2001). Sedangkan, betina dewasa menurut Schurmann dan

van Hooff (1986) dan Galdikas (1986) juga mempunyai cara indikasi tersendiri

dalam kesedian seksnya. Umumnya dengan cara memamerkan atau

memperlihatkan daerah genitalnya kepada jantan yang diharapkannya.

Puncak perilaku seksual pada orangutan adalah dengan melakukan

kopulasi. Kopulasi dapat dinyatakan sebagai kopulasi sempurna apabila terjadi

ejakulasi. Misalnya, apabila sesudah dilakukan gerakan menusuk-nusuk

(intromisi) yang berkepanjangan dan intensif, kemudian jantan berhenti dan tidak

lagi menunjukan tanda-tanda untuk melanjutkan gerakan tersebut, sedang betina

tetap tinggal pada tempat yang sama atau pindah dari tempat tersebut dengan

gerakan yang lambat, maka hal tersebut dianggap telah terjadi kopulasi dengan

ejakulasi. Kopulasi sempurna jantan dominan lebih tinggi dibandingkan dengan

jantan pradewasa, walaupun frekuensi kopulasinya lebih rendah dibandingkan

jantan pradewasa. Kopulasi umumnya dilakukan diatas pohon dan umum

dilakukan pada pagi dan sore hari (Galdikas, 1986).

Fenomena lain yang juga menarik dalam perilaku seksual pada orangutan

adalah adanya kopulasi paksaan atau pemerkosaan, yang terjadi apabila jantan

berusaha melakukan kopulasi dengan betina, tetapi betina menolak usahanya

untuk ditempatkan pada posisi tertentu yang memungkinkan si jantan melakukan

intromisi (memasukan penis jantan ke dalam vulva betina) (Galdikas, 1986).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Data dikoleksi selama lebih kurang 7 (tujuh) bulan, dimulai dari bulan

Agustus 2008 hingga Maret 2009. Penelitian dimulai pada musim kemarau dan

diakhiri pada akhir musim penghujan dengan tingkat kelimpahan buah yang

beragam sepanjang penelitian.

Lokasi penelitian di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) berada

pada titik ordinat 02009’06.1”LS dan 114026’26.6”BT dengan luas 900 Ha.

Dimana secara administratif berada pada kawasan Pasir Putih Tuanan, Dusun

Mangkutup, Desa Katunjung, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kuala Kapuas,

Kalimantan Tengah. Daerah ini merupakan kawasan areal hutan Blok E BOSF-

Konservasi Mawas yang terletak di sebelah utara eks PLG (Proyek Lahan

Gambut).

3.2.Peralatan Penelitian

Peralatan penelitian yang digunakan dalam pengambilan data adalah;

teropong (binocular) Nikon sprint IV, jam tangan digital Casio, compass map,

kamera digital Sony Steadyshot, focal data (data sheet), counter (alat hitung), peta

areal, alat tulis dan papan jalan, parang, rain coat Dyna, ponco, pita tagging, paku

dan nomor pohon.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

18

3.3.Cara Kerja

3.3.1.Objek Penelitian

Pada penelitian ini teramati 11 individu jantan yang telah terhabituasi dan

diamati sejak tahun 2003 (7 jantan berpipi dan 4 jantan tidak berpipi) dengan 11

individu jantan tambahan yang belum pernah teramati sebelumnya dan belum

terhabituasi dengan baik (5 jantan berpipi dan 6 jantan tidak berpipi). Adapun

individu jantan berpipi (flanged) yang menjadi objek penelitian adalah Preman

dan Kentung, sedangkan jantan tidak berpipi (unflanged) adalah Gismo dan

Wodan (gambar 3).

(a) (b)

(c) (d) Gambar 3. Jantan flanged (a) Preman (Foto : Prasetyo) (b) Kentung (Foto : Prasetyo)

Jantan unflanged (c) Gismo (Foto : Prasetyo) (d) Wodan (Foto : Sofi)

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

19

Preman merupakan jantan yang baru menjadi jantan flanged pada saat

penelitian ini berlangsung. Sedangkan, Kentung adalah jantan flanged yang pada

penelitian ini baru saja kalah dari Preman hingga beberapa jari tangannya patah,

sehingga membatasi pergerakannya dan Wodan adalah unflanged yang sedang

dalam masa perkembangan (developing) menjadi jantan flanged.

Sedangkan, individu-individu betina dan anak, baik betina lokal maupun

betina pendatang yang berada dalam area penelitian selama pengamatan disajikan

pada tabel dibawah ini (Tabel 1);

Tabel 1. Orangutan betina dan anak di area penelitian, serta estimasi umur anak

Induk Anak Estimasi Kelahiran

Estimasi Umur

Sex Anak Status Induk Periode

Pengamatan Mindy Milo 2001 ± 7-8 thn ♀ Remaja ♀ NonReproduktif Ags 08-Mar 09 Mawas 2008 ± 5-8 bln ♂ Bayi Juni Jip Feb 2006 ± 2-3 thn ♂ Bayi ♀ NonReproduktif Ags 08-Mar 09 Jinak Jerry Mar 2003 ± 5-6 thn ♂ Anak ♀NonReproduktif Ags 08-Mar 09 Kerry Kondor 1999 ± 9-10 thn ♀ Remaja ♀NonReproduktif Ags 08-Mar 09 Kino Jan 2007 ± 1-2 thn ♂ Bayi Desy Derry ? ± 5-6 thn ♂ Anak ♀NonReproduktif Nov 08 Pinky Pumuckl ? ± 8 thn ♂ Remaja ♀NonReproduktif Nov 08 Petzy ? ± 10 bln ♂ Bayi Talia - - - - ♀Reproduktif Sept08&Feb09 Sidony Straisel ? ± 6-7 thn ♀ Infant ♀Reproduktif Sept - Okt 08 Mother1 Infant 1 ? ± 5-6 thn ? infant ♀NonReproduktif Nov 08 Mother2 Infant 2 ? ± 6-7 thn ? infant ♀Reproduktif Des 08

3.3.2.Pencarian (searching)

Pencarian orangutan dilakukan pada saat mulai dan berakhirnya target

waktu pengambilan data satu individu atau saat individu orangutan hilang.

Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri transek-transek yang ada

dengan bantuan peta areal, karena vegetasi yang sangat rapat, maka pencarian

harus dilakukan dengan konsentrasi tinggi dan teliti pada pendengaran dan

pengelihatan. Tanda-tanda yang dapat menandakan kehadiran orangutan antara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

20

lain; suara (gerakan berpindah dan makan), bau (urine dan feses), dan vokalisasi

(long call dan kiss squeak).

Keberadaan orangutan yang ditandai dengan suara pergerakan (movement)

dapat terlihat dan terdengar dengan kisaran 10-50 m, yakni akan terlihat

bengkokan dahan ataupun batang pohon yang mengarah pada suatu arah

(keberadaan orangutan tersebut diprediksikan dengan melihat arah bengkokan

dahan atau mengamati daerah sekitar apabila terdapat pohon pakan). Sedangkan,

suara makan pada pohon buah dapat didengar dengan kisaran 100-200 m, yakni

dengan memperhatikan jatuhan buah dari pohon buah ataupun saat orangutan

memakan buah tersebut. Buah yang jatuh dari pohon buah juga dapat diperhatikan

apakah buah tersebut baru atau sudah lama, yakni dengan mengamati adanya

bentuk gigitan orangutan.

Sementara, bau orangutan yang khas juga dapat digunakan sebagai

pendeteksi, selain bau yang disebabkan oleh adanya bekas feses dan urine. Selain

itu, hal terakhir yang dapat digunakan sebagai pendeteksi keberadaan orangutan

adalah vokalisasi, yakni long call dan kiss squeak. Long call atau seruan panjang

dapat terdengar hingga 1 km. Setelah terdengar suara long call lalu dilakukan

pengukuran sudut datangnya suara dengan kompas dan diprediksi jaraknya,

kemudian dilakukan penelusuran. Sedangkan, kiss squeak umumnya dilakukan

orangutan sebagai tanda saat orangutan merasa terancam ataupun mengetahui

keberadaan orangutan lain.

Selanjutnya, apabila individu orangutan ditemukan, maka dilakukan

pengambilan data dengan mencatat perilaku dan aktivitas harian yakni perilaku

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

21

sosial, serta menggambar peta jelajah orangutan hingga sarang sore dan

menandainya dengan pita tagging. Selanjutnya individu yang berhasil diikuti

sampai sarang sore, maka pengambilan data keesokan harinya cukup dengan

mengunjungi sarang terakhir yang dibuat sebelumnya dengan melihat peta jelajah

harian individu tersebut. Proses mengikuti ini dilakukan selama mungkin atau

sampai individu tersebut hilang. Apabila individu hilang, maka dilakukan

pencarian kembali dengan cara yang sama.

3.3.3.Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focal animal

sampling, yaitu dengan mengikuti individu target mulai dari bangun tidur hingga

individu tersebut kembali ke sarang tidurnya. Orangutan di area penelitian telah

terhabituasi dan diikuti sejak pertengahan 2003. Sehingga, individu target dipilih

dan dikenali berdasarkan foto-foto atau dokumentasi. Dimana, orangutan dikenali

berdasarkan ciri-ciri khusus yang terdapat pada orangutan tersebut, misalnya cacat

fisik, bentuk cheek pad pada flanged, dan bekas luka.

Pencatatan data dilakukan dengan Instaneous, yaitu dengan mencatat

setiap perilaku sosial dengan interval waktu 2 menit sebagai point sample.

Apabila didapat pengambilan dan pencatatan data focal tidak satu hari penuh

(sarang pagi hingga sarang sore), maka data tersebut tidak dimasukkan dalam

analisis. Selain metode Focal Animal Sampling, pendataan juga dilengkapi

dengan metode Ad libitum Sampling, yaitu mencatat kejadian yang tidak

sistematis terdapat pada interval waktu pengamatan.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

22

Pengamatan ini dilakukan pada masing-masing individu dengan waktu

pengamatan selama 10-15 hari dan waktu lapangan 12-15 jam per hari, sehingga

untuk masing-masing individu mendapatkan waktu pengamatan 120-225 jam (dari

sarang pagi ke sarang sore/tidur). Menurut panduan lapangan Proyek Orangutan

Tuanan dan Sungai Lading, perilaku seksual dibagi dalam beberapa aktivitas,

diantaranya; masturbate (merangsang genital sendiri), sex investigate (cek

genital), copulation attempt (mencoba kopulasi), copulation intromission

(masuknya penis ke dalam vagina), dan forced copulation (pemerkosaan)

(www.aim.uzh.ch).

Beberapa istilah perilaku seksual yang digunakan pada penelitian ini

didefinisikan sebagai berikut; Sex investigate (genital inspection) merupakan

perilaku menyentuh vulva/genital dengan jari atau bibir (Galdikas, 1986;

Shofiana, 2007). Forced copulation atau pemerkosaan merupakan kopulasi yang

dilakukan dengan pemaksaan dan dengan perlawanan dari betina (Galdikas, 1986;

Fox, 2002) baik secara langsung ataupun tidak langsung (Fox, 2002). Copulation

attempt atau mencoba kawin adalah keadaan ketika jantan dengan penis yang

ereksi mencoba menempatkan betina pada posisi kawin, tetapi tidak terjadi

intromisi (Fox, 2002). Masturbate merupakan perilaku merangsang genitalnya

sendiri dengan cara memainkanya (www.aim.uzh.ch). Sedangkan, copulation

intromission merupakan kopulasi yang disertai masuknya penis ke dalam vagina

dan memungkinkan terjadinya ejakulasi, walaupun tidak selalu terjadi ejakulasi

(Fox, 2002).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

23

Selain itu, beberapa istilah lain juga digunakan pada penelitian ini, seperti;

party, consortship, approach, dan leave. Party adalah keadaan dimana beberapa

individu yang sudah mandiri berada pada jarak kurang dari 50 m satu dengan yang

lain (Fox, 2001; Fox, 2002). Consortship atau hubungan berpasangan adalah

keadaan dimana jantan dan betina dewasa melakukan party secara berkelanjutan

selama beberapa jam/hari (Fox, 2002), bahkan dapat bertahan hingga beberapa

minggu/bulan (Rijksen, 1978). Approach atau mendekati didefinisikan sebagai

satu individu bergerak mendekati individu lain dalam radius 10 m dan leave atau

menjahui didefinisikan sebagai bergerak menjauh dari individu lain yangmencoba

mendekati (Fox, 2001).

3.4.Analisis Data

Pengujian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dengan teknik

statistik non-parametrik, karena data-data yang digunakan terdistribusi secara

bebas dengan anggapan bahwa data yang digunakan merupakan data yang tidak

mendapatkan perlakuan. Analisis chi-square digunakan untuk menganalisis

apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak antara frekuensi yang

diperoleh dengan frekuensi yang diharapkan dalam populasi atau sample (Siegel,

1988; Supangat, 2007).

Frekuensi aktivitas seksual yang didapatkan akan diujikan dengan tingkat

signifikasi 5%. Dimana, akan diperoleh output data asimp. Sig yang digunakan

untuk menganalisis hipotesis apakah H0 diterima atau ditolak. Semua perhitungan

analisis ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ”Statistic Programme for

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

24

Scientific and Sosial Science” (SPSS) 15.0 untuk Windows. Sedangkan, analisis

bentuk-bentuk perilaku seksual dan strategi jantan dilakukan dengan deskriptif

berdasarkan pengamatan dilapangan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Orangutan jantan memiliki perkembangan karakter seks sekunder seperti;

bantalan pipi, rambut panjang di punggung dan lengan, serta kantong suara yang

berkembang menjadi dua macam kedewasaan dimana keduanya matang secara

seksual, yaitu jantan dewasa berpipi (flanged) dan jantan dewasa tidak berpipi

(unflanged) (Rijksen, 1978; Utami, 2000; Delgado dan van Schaik, 2000).

Sementara menurut Galdikas (1986), 90% kebersamaan sosial orangutan jantan

dewasa terdiri dari tingkah laku berpasangan seksual dengan betina tanggap seks

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

25

atau dengan betina remaja dan tidak dapat menerima keberadaan jantan dewasa

lain.

Menurut Utami (2000) orangutan sumatera memiliki strategi yang berbeda

diantara jantan flanged dan jantan unflanged dalam melakukan perilaku seksual.

Namun, perbedaan jenis antara orangutan sumatera dan kalimantan, serta kondisi

alam yang berbeda menyebabkan orangutan kalimantan mempunyai bentuk

perilaku seksual yang berbeda dan menarik untuk diketahui.

4.1 Inisiatif Orangutan dalam Perilaku Seksual

Hubungan seksual umumnya diawali dengan inisiatif oleh jantan, betina,

atau keduanya. Berdasarkan hasil uji Chi-Square terhadap inisiatif antara jantan

dan betina dalam memulai perilaku seksual terdapat perbedaan yang signifikan

dengan nilai signifikansi 0,019 (lampiran 1). Nilai pengujian tersebut menunjukan

bahwa jantan lebih banyak melakukan inisiatif untuk memulai perilaku seksual

dibandingkan sebaliknya. Jantan-jantan yang berinisiatif mendekati betina adalah

jantan-jantan unflanged yang ingin mendapatkan akses seksual dari betina. Hal

tersebut sesuai dengan hasil penelitian Fox (2002) pada orangutan sumatera,

dimana dari 141 kopulasi yang terjadi 99% merupakan inisiatif jantan unflanged.

Selain itu, jantan unflanged mempunyai kesempatan yang kecil untuk

melakukan hubungan berpasangan atau reproduksi dengan betina, sehingga jantan

unflanged memiliki inisiatif yang hampir sama besarnya dengan betina-betina

reproduktif maupun yang tidak reproduktif (Utami, 2000). Hal itu dikarenakan

betina dewasa cenderung berinisiatif dan menjaga hubungan yang bersifat

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

26

sementara dengan jantan flanged untuk mendapatkan perlindungan, serta sebagai

respon atas gangguan seksual yang disebabkan oleh jantan-jantan unflanged (Fox,

2002).

Sedangkan, betina melakukan inisiatif mendekati jantan dapat dijelaskan

dalam 2 alasan. Pertama, betina-betina dewasa yang berinisiatif untuk mendekati

jantan-jantan flanged atau jantan dominan, terutama dalam kondisi reproduktif

(Rijksen, 1978; Utami, 2000) dengan harapan mendapatkan akses perlindungan

dan makanan dari jantan terhadap keturunan yang mungkin akan dilahirkannya

(Schurmann dan van Hoof, 1986) serta gangguan seksual dari jantan-jantan

unflanged (Fox, 2002). Kedua, betina-betina remaja berinisiatif mendekati jantan

karena betina remaja cenderung menyukai hubungan sosial dengan para jantan,

baik jantan flanged maupun jantan unflanged dan memiliki frekuensi lebih tinggi

dibandingkan dengan betina dewasa (Galdikas, 1986). Namun, pengamatan di

lapangan menunjukan bahwa inisiatif betina hanya dilakukan oleh betina remaja.

Tabel 2. Inisiatif Jantan dan Betina dalam Melakukan Perilaku Seksual Status Betina ♂ ♀

♀ Reproduktif 15 0

♀ Non Reproduktif 4 2 Total 19 2

Rata-rata kopulasi yang dilakukan dengan inisiatif jantan unflanged akan

meningkat pada bulan-bulan dengan kelimpahan buah yang tinggi dan hampir

semua percobaan kawin dilakukan terhadap betina dengan anak yang masih

menyapih. Hubungan antara pilihan percobaan kawin terhadap betina yang masih

menyapih diperkirakan pada saat itu betina dalam keadaan subur. Sedangkan,

tingginya percobaan kawin pada saat kelimpahan buah tinggi karena adanya

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

27

hubungan antara jumlah ketersediaan makanan dengan permulaan siklus ovarium

(Fox, 2002).

4.2 Perilaku Seksual Orangutan

4.1.1 Jenis Perilaku Orangutan

4.2.1 Perilaku Seksual Antara Jantan dan Betina

Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar perilaku seksual yang

terjadi selama pengamatan dilakukan oleh jantan unflanged. Sedangkan,

berdasarkan perilaku seksual yang dilakukan orangutan, perilaku sex investigate

merupakan perilaku seksual yang paling sering dilakukan dengan 41,94 % (lihat

tabel 2). Sex investigate (genital inspection) merupakan perilaku menyentuh

vulva/genital dengan jari atau bibir yang biasa terjadi pada kehidupan orangutan

liar yang biasa dilakukan jantan unflanged saat bertemu dengan betina (Galdikas,

1986; Shofiana, 2007). Namun, pengamatan dilapangan menunjukan bahwa

perilaku ini juga dilakukan oleh jantan flanged.

Umumnya, pada kehidupan orangutan liar perilaku ini dilakukan segera

setelah jantan bertemu dengan betina serta sebelum dan sesudah melakukan

kopulasi (Maple, 1980). Sex investigate dilakukan segera setelah bertemu betina

bertujuan untuk memeriksa apakah betina sedang dalam masa reproduktif atau

seksual aktif, sehingga memungkinkan untuk dilakukan kopulasi. Hal tersebut

dikarenakan betina merupakan pengambil keputusan (decision maker) dalam

melakukan hubungan reproduksi dengan jantan (Galdikas, 1986). Namun, tidak

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

28

semua sex investigate dapat berakhir dengan kopulasi (MacKinnon (1974) dalam

Maple, 1980).

Tabel 3. Frekuensi dan durasi dari masing-masing tipe perilaku seksual Tipe Perilaku Seksual Frekuensi Presentase Perilaku

Seksual Rata-rata Durasi (dalam menit)

Sex investigate 13 41,94 % 0,02 Forced copulation 12 38,70 % 11,11 Copulation attempt 4 12,90 % 22,5 Copulation intromission 1 3,23 % 0,02 Masturbate 1 3,23 % 0,01

Total 31 100 % 33.66

Selain itu, terdapat perilaku yang mirip dengan perilaku sex investigate,

yakni perilaku menyingkirkan rambut disekitar genital betina yang dilakukan

hewan jantan ketika akan melakukan kopulasi dengan menggunakan tangan atau

kakinya. Perilaku sex investigate tidak hanya dilakukan oleh orangutan liar tetapi

juga dilakukan oleh orangutan yang berada dalam penangkaran dan kebun

binatang (Maple, 1980).

Tabel 4. Hubungan Perilaku Seksual dengan Status Betina

Status Betina

Tipe Perilaku Seksual yang Dilakukan

Sex

Investiga

te

Forced

Copulation

Copulation

Attempt

Copulation

Intromission

Betina Reproduktif 8 12 2 1 Betina non reproduktif 5 0 2 0

Total 13 12 4 1

Fenomena yang menarik dalam perilaku seksual orangutan liar adalah

adanya kopulasi paksaan atau pemerkosaan (forced copulation) (Galdikas, 1986).

Perilaku pemerkosaan ini cukup banyak ditemukan dalam pengamatan dilapangan

sebesar 38,70% dan umumnya dilakukan oleh jantan unflanged. Perilaku

pemerkosaan juga terjadi pada orangutan sumatera (Rijksen , 1978; Fox, 2002).

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

29

Berdasarkan pengamatan dilapangan teramati kopulasi dilakukan sebanyak

13 kali dan 12 kali diantaranya merupakan perilaku pemerkosaan yang semuanya

dilakukan jantan unflanged terhadap betina dewasa. Betina dewasa cenderung

menjadi target utama pemerkosaan oleh jantan unflanged dan merupakan suatu

strategi yang sempurna dan efektif bagi jantan unflanged untuk berkontribusi

dalam proses reproduksi (Rijksen, 1978; Utami, 2000). Oleh karena itu, betina

cenderung menghindari pertemuan dengan jantan unflanged untuk menghindari

pemerkosaan kecuali betina dengan anak yang masih belum mandiri (Rijksen,

1978; Fox, 2002).

Pemerkosaan terjadi apabila jantan berusaha melakukan kopulasi dengan

betina, tetapi betina menolak usahanya untuk ditempatkan pada posisi tertentu

yang memungkinkan jantan dapat melakukan intromisi (masuknya penis ke dalam

vulva) (Galdikas, 1986). Walaupun tidak ditemukan dalam pengamatan di

lapangan, orangutan jantan flanged kalimantan juga melakukan forced copulation

atau pemerkosaan terhadap betina, walaupun frekuensinya tidak sebanyak yang

dilakukan oleh jantan unflanged. Berbeda dengan jantan flanged sumatera yang

tidak melakukan pemerkosaan (Delgado dan van Schaik, 2000). Sementara, pada

saat mengalami pemerkosaan betina menunjukan tingkat stres yang sangat tinggi

dan tanpa kerja sama dalam melakukan kopulasi, serta umumnya betina

melakukan perlawanan yang sangat sengit seperti; memberontak, berteriak,

mendorong, memukul, dan menggigit jantan.

Copulation attempt atau percobaan kopulasi umumnya dilakukan individu

muda yang cenderung masih mencoba-coba melakukan kopulasi dengan

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

30

persentase sebesar 12,90 %. Dimana, jantan unflanged mencoba melakukan

kopulasi dengan frekuensi yang lebih tinggi dari jantan flanged dan betina remaja

yang lebih sering dibandingkan betina dewasa (Galdikas, 1986). Hal tersebut

sesuai dengan pengamatan dilapangan, yakni hanya teramati dilakukan oleh jantan

unflanged sebanyak 4 kali, dimana 2 kali dilakukan terhadap betina dewasa dan 2

kali dilakukan terhadap betina remaja. Sementara, jantan flanged tidak pernah

teramati melakukan percobaan kopulasi.

Menurut Alcock (1989) setiap satwa yang sedang berkembang akan

beradaptasi dengan merubah fisiknya dan menyesuaikan perilaku dengan

lingkungan atau bentuk yang baru, termasuk perilaku seksual. Dimana, pola

perilaku umumnya ditentukan oleh pewarisan genetik dan melalui proses belajar.

Menurut Galdikas (1986) dan Fox (2002), percobaan kopulasi umumnya terjadi

apabila jantan melakukan tindakan-tindakan pendahuluan seperti sex investigate

dan mulai merangsang betina hingga penisnya ereksi dan mencoba menempatkan

betina pada posisi kawin, namun dihalang-halangi oleh betina sebelum jantan

dapat melakukan intromisi ataupun ejakulasi.

Tabel 5. Hubungan Perilaku Seksual dengan Status Jantan

Status Betina

Tipe Perilaku Seksual yang Dilakukan

Sex

Investiga

te

Forced

Copulation

Copulation

Attempt

Copulation

Intromission

Jantan flanged 1 0 0 0 Jantan unflanged 12 12 4 1

Total 13 12 4 1

Berdasarkan pengamatan dilapangan, percobaan kopulasi dengan betina

dewasa biasanya jantan unflanged lebih aktif dibandingkan betina. Sedangkan,

percobaan kopulasi dengan betina remaja umumnya keduanya sama-sama aktif.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

31

Di Sumatera, jantan unflanged melakukan percobaan kawin dengan frekuensi

yang lebih tinggi ketika betina sedang melakukan hubungan berpasangan dengan

jantan flanged dibandingkan ketika betina tidak sedang berpasangan. Walaupun,

tingkat keberhasilan percobaan kopulasi tersebut berbanding terbalik (Fox, 2002).

Sebelum melakukan hubungan seksual, orangutan umumnya melakukan

perilaku berpasangan. Hubungan berpasangan (consortship) antara jantan dan

betina dapat berlangsung di waktu yang lama dan segera setelah mereka bertemu

(Galdikas, 1986). Berpasangan (consortship) diartikan ketika individu jantan dan

betina menjelajah (ranging) secara bersama-sama selama beberapa hari, minggu,

bahkan bulan (Rijksen, 1978). Namun, tidak setiap consortship dapat berakhir

dengan kopulasi.

Consortship umumnya dilakukan betina dewasa dengan jantan flanged.

Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan akses perlindungan dan makanan dari

jantan terhadap keturunan yang akan dilahirkan (Schurmann dan van Hoof, 1986)

dan gangguan yang dilakukan oleh jantan unflanged (Fox, 2002). Namun, pada

pengamatan hanya teramati satu kali consortship yang berakhir dengan kopulasi

kooperatif. Kopulasi tersebut dilakukan jantan unflanged, Gismo dengan Sidony.

Hal tersebut masih dapat dimungkinkan karena betina juga memilih melakukan

hubungan seksual atau reproduksi dengan para jantan unflanged yang berpotensi

menjadi jantan flanged (Utami, 2000).

Puncak perilaku seksual pada orangutan adalah melakukan kopulasi.

Dimana, kopulasi dikatakan sempurna apabila terjadi ejakulasi (Galdikas, 1986)

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

32

atau yang disebut dengan copulation intromission. Berdasarkan pengamatan,

copulation intromission hanya teramati satu kali antara Gismo dengan Sidony

dalam hubungan berpasangan (consort). Kebersamaan (consort) merupakan salah

satu strategi kopulasi, dimana jantan unflanged akan mengurangi penjelajahannya

apabila sedang dalam hubungan berpasangan dengan betina. Dalam hal ini,

jantanlah yang menyesuaikan dirinya dengan betina (Utami, 2000).

Sidony merupakan betina reproduktif dengan anak betina yang sudah

mandiri namun masih hidup berdekatan. Sebab, orangutan anak betina cenderung

membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa hidup terpisah dengan induknya

(Galdikas, 1986; Fox, 2001; van Schaik, 2006). Selain itu, Sidony bukan

merupakan betina lokal dan teramati terdapat pada areal penelitian hanya pada

bulan September hingga Oktober 2008 (lihat tabel 1).

Jantan unflanged hampir tidak pernah melakukan seruan panjang (long

call) yang digunakan untuk menarik perhatian betina seperti yang dilakukan oleh

jantan flanged (Utami, 2000; Mitra Setia dan van Schaik, 2007). Oleh karena itu,

untuk dapat melakukan kopulasi jantan unflanged memiliki strategi alternatif

“pergi, cari, dan, dapatkan”. Dimana, jantan unflanged menjelajah lebih jauh

untuk mendapatkan akses reproduksi dari betina dan menghindari jantan flanged

(Utami, 2000). Strategi tersebut yang dilakukan Gismo hingga dapat melakukan

hubungan reproduksi dengan Sidony.

Kematangan seksual jantan unflanged di sumatera dapat ditahan hingga 20

tahun (Utami, 2000; Delgado dan van Schaik, 2000). Hal tersebut dapat dijelaskan

melalui strategi “ruang tunggu” dimana jantan unflanged menunggu sampai saat

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

33

dimana mereka dapat mengambil kesempatan tanpa beresiko tinggi, posisi yang

penuh persaingan dari jantan flanged (Schurmann dan van Hoof, 1986; Utami,

2000). Kemudian, jantan unflanged melakukan strategi alternatif dengan menarik

perhatian betina disetiap interaksi seksual (Utami, 2000). Namun, ada indikasi

strategi “ruang tunggu” tidak terjadi di Tuanan karena jumlah jantan flanged lebih

banyak dibandingkan jumlah jantan unflanged.

Sebelum melakukan kopulasi, hubungan reproduksi biasanya diawali

dengan tindakan pendahuluan, yakni dengan merangsang pasangannya (Maple,

1980). Orangutan betina di Tanjung Puting yang sedang seksual aktif merangsang

jantan dengan mendekati jantan, merawatnya, memegang atau memasukkan penis

jantan kedalam mulutnya, lalu menyodorkan genitalnya ke arah muka jantan

(Galdikas, 1986). Selain itu, betina umumnya memamerkan genitalnya apabila

dalam keadaan siap kawin (Schurmann dan van Hoof, 1986; Galdikas, 1986).

Pengamatan dilapangan, sebelum melakukan kopulasi Gismo melakukan

tindakan pendahuluan dengan mendekati Sidony, memegang dada dan bagian

tubuh yang lain, lalu menciumi wajahnya beberapa kali. Kopulasi yang dilakukan

Gismo dapat dinyatakan sebagai kopulasi sempurna karena teramati terjadinya

intromisi atau gerakan menusuk-nusuk yang berkepanjangan dan intensif,

kemudian jantan berhenti dan tidak menunjukan tanda-tanda untuk melanjutkan

gerakan tersebut, sedangkan betina tetap tinggal ditempat yang sama, maka hal

tersebut dianggap telah terjadi kopulasi dengan ejakulasi (Galdikas, 1986). Setelah

itu, Gismo hanya diam ditempat sambil membelai-belai rambut Sidony.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

34

Berdasarkan hubungan seksual yang teramati, hanya satu kali kopulasi

yang diawali dengan hubungan berpasangan (consortship), sedangkan kopulasi

lainnya dilakukan tanpa didahului oleh adanya consort. Kopulasi bukan dalam

hubungan berpasangan mempunyai dua sifat khas. Pertama, kopulasi seperti itu

dilakukan oleh jantan-jantan unflanged. Kedua, sebagian besar kopulasi dilakukan

secara paksaan (Galdikas, 1986). Kedua hal tersebut dilakukan oleh Dayak,

Gismo, dan Klaus yang merupakan jantan unflanged terhadap Desy yang bukan

betina reproduktif dan Talia yang merupakan betina reproduktif.

Kopulasi-kopulasi bukan dalam hubungan berpasangan juga menyangkut

betina dengan bayi atau anak yang belum mandiri dan betina remaja (Galdikas,

1986). Hal ini teramati dilakukan oleh Wodan yang merupakan jantan unflanged

dengan Desy yang masih memiliki anak yang belum mandiri. Menurut Galdikas

(1986) kopulasi yang dilakukan bukan dalam hubungan berpasangan sebenarnya

bersifat insidental.

Fenomena menarik lain yang teramati dalam perilaku seksual orangutan,

yakni individu jantan berusaha atau memaksa individu betina untuk melakukan

hubungan berpasangan yang mungkin bertujuan mendapatkan akses seksual dari

betina. Hal ini dilakukan dengan membatasi gerak betina dalam beraktivitas,

seperti; individu jantan selalu memotong jalan dan menahan agar betina tidak

pergi menjauh yang kemudian diakhiri dengan kopulasi paksaan. Dimana,

perilaku tersebut digolongkan oleh Fox (2002) ke dalam kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan kopulasi yang terjadi dalam hubungan

berpasangan dan disertai dengan perlawanan oleh betina. Hal tersebut

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

35

memungkinkan terjadinya pemerkosaan terhadap betina walaupun sedang dalam

masa berpasangan (Fox, 2002). Perilaku ini teramati sebanyak 3 kali, yakni antara

Ekko dan Desy, Dayak dan Desy, serta Wodan dan Desy. Hal ini berlangsung

selama beberapa hari, bahkan minggu. Namun, menurut Timbergen (1953) dalam

Galdikas (1986) hal tersebut merupakan bentuk keengganan betina dalam

melakukan hubungan berpasangan yang umum dijumpai pada satwa liar.

4.2.2 Perilaku Seksual Antara Jantan dan Jantan

Selain pemerkosaan, juga teramati penyimpangan perilaku seksual yang

terindikasi sebagai perilaku homoseksual. Namun, masih terlalu bias untuk

menyimpulkan sebagai perilaku homoseksual, walaupun perilaku homoseksual

juga terdapat pada orangutan liar meskipun jarang terjadi. Homoseksual diartikan

sebagai hubungan atau kontak genital yang dilakukan oleh dua seks yang sama

(sesama jantan) (Fox, 2001).

Homoseksual dilaporkan hanya terjadi pada orangutan di penangkaran

pada kondisi buatan (Mapple, 1980) atau terjadi di alam liar oleh orangutan hasil

rehabilitasi (Rijksen, 1978). Namun, berdasarkan Fox (2001) homoseksual pernah

teramati pada orangutan sumatera sebanyak dua kali. Orangutan diperkirakan

menunjukan rata-rata yang paling rendah dalam melakukan perilaku homoseksual

dibandingkan kera besar lainnya (van Schaik, 1999).

Perilaku yang terindikasi sebagai homoseksual tersebut teramati satu kali

antara Gismo dan Dayak yang keduanya merupakan jantan unflanged. Perilaku

tersebut dimulai pada saat Gismo party dengan Dayak. Mereka kemudian bermain

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

36

dan membuat sarang bersama lalu bergumul di atas sarang. Gismo kemudian

menaiki (mounted) Dayak dengan posisi ventro-ventral.

Indikasi perilaku homoseksual di Tuanan mempunyai kesamaan dengan

homoseksual yang pernah dilaporkan di Sumatera. Dimana, kedua homoseksual

yang teramati dilakukan oleh jantan unflanged dan jantan yang memiliki tubuh

lebih besar menaiki (mounted) jantan yang tubuhnya lebih kecil (Fox, 2001).

Selain menaiki Dayak, Gismo juga teramati melakukan gerakan maju mundur

seperti sedang melakukan kopulasi. Namun, keterbatasan pengamatan tidak

memungkinkan menjawab apakah terjadi intromisi atau hanya perilaku bermain.

Perilaku tersebut selesai setelah Gismo keluar dari sarang dan diikuti oleh

Dayak, hingga akhirnya mereka membuat sarang yang jaraknya cukup dekat.

Proses yang sama juga teramati pada perilaku homoseksual yang terjadi di

Sumatera (Fox, 2001). Sedangkan, perilaku homoseksual yang terindikasi terjadi

di Tuanan dapat digolongkan sebagai homoseksual yang disertai perilaku affiliatif

karena tidak ada perlawanan dari Dayak terhadap usaha yang dilakukan oleh

Gismo. Selain disertai dengan perilaku affiliatif, perilaku homoseksual juga ada

yang disertai dengan perilaku agonistik seperti yang teramati pada homoseksual di

Sumatera (Fox, 2001). Namun, sejauh ini belum pernah dilaporkan homoseksual

dilakukan oleh orangutan kalimantan yang tingkat sosialnya lebih rendah

dibandingkan orangutan sumatera (van Schaik, 1999).

4.2 Posisi dan Substrat

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

37

Menurut Maple (1980) kopulasi umumnya dilakukan dalam tiga macam

posisi, yakni: ventro-ventral, dorso-ventral, dan latero-ventral. Posisi ventro-

ventral merupakan posisi dimana kedua individu saling berhadapan. Biasanya

betina berbaring dan jantan duduk atau berbaring tepat di atas tubuh betina.

Sedangkan, dorso-ventral merupakan posisi dimana satu individu membelakangi

individu yang lain. Latero-ventral merupakan posisi dimana jantan bebas

mengganti posisi selama melakukan kopulasi dengan betina.

Tabel 6. Hubungan Posisi Kopulasi dengan Substrat yang Digunakan

Posisi Kopulasi Substrat yang Digunakan

Pohon Tanah Sarang Ventro-Ventral 6 (37,5%) 3 (18,75%) 0 (0%) Dorso-Ventral 5 (31,25%) 1 (6,25%) 1 (6,25%)

Total 11 (68,75%) 4 (25%) 1 (6,25%)

Berdasarkan pengamatan di lapangan hanya posisi ventro-ventral dan

dorso-ventral digunakan dalam melakukan kopulasi dan memiliki frekuensi yang

tidak jauh berbeda. Sedangkan, orangutan di kebun binatang, cenderung sering

menggunakan posisi ventro-ventral dibandingkan dorso-ventral (Maple, 1980).

Sementara, tempat atau substrat yang digunakan oleh orangutan ketika

melakukan kopulasi diantaranya adalah pohon, tanah, dan sarang. Berdasarkan uji

Chi-Square terhadap korelasi antara posisi saat kopulasi dengan substrat yang

digunakan ketika melakukan kopulasi memiliki nilai signifikansi 0,393 atau tidak

didapatkan perbedaan yang signifikan. Hal tersebut dapat dikarenakan hampir

seluruh kopulasi adalah pemerkosaan atau kopulasi paksaan, sehingga jantan tidak

memperhatikan posisi kopulasi dan hanya memaksimalkan kesempatan yang ada.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

38

Sementara itu, satu-satunya kopulasi kooperatif yang terjadi dilakukan

dengan dua posisi, yakni posisi dorso-ventral dan ventro-ventral. Hal tersebut

dimungkinkan karena jantan bebas melakukan kopulasi tanpa ada perlawanan dari

betina. Sedangkan, korelasinya dengan substrat yang digunakan juga hampir tidak

ada perbedaan, walaupun orangutan liar cenderung melakukan kopulasi di atas

pohon yang dilakukan pada pagi dan siang hari (Maple, 1980; Galdikas, 1986).

Orangutan di kalimantan juga melakukan kopulasi di atas tanah. Hal

tersebut dapat dimungkinkan karena tidak adanya hewan predator bagi orangutan

sehingga orangutan kalimantan dapat bebas bergerak di tanah (Galdikas, 1986).

Dimana hanya orangutan di kebun binatang yang cenderung melakukan kopulasi

di tanah (Maple, 1980). Berdasarkan data pengamatan, kopulasi yang dilakukan di

sarang semuanya adalah kopulasi paksaan atau pemerkosaan. Sedangkan, menurut

van Schaik (2006) sarang dapat digunakan sebagai tempat perlindungan dari

jantan-jantan unflanged yang agresif yang dapat melakukan pemerkosaan.

4.3 Peluang Pertemuan Antar Jantan Dewasa

Daerah jelajah yang luas dan saling tumpang tindih sangat memungkinkan

individu jantan bertemu dengan individu jantan-jantan yang lain (Utami, 2000).

Berdasarkan uji Chi-Square terhadap frekuensi bertemunya antar sesama jantan

dengan status betina (reprodukstif atau non reprodukstif) terdapat perbedaan yang

nyata dengan nilai signifikansi 0,035. Hal tersebut menunjukan bahwa pertemuan

antar sesama jantan cenderung terjadi saat adanya betina reproduktif yang dapat

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

39

dimungkinkan karena kehadiran jantan sangat dipengaruhi oleh kehadiran betina

yang tanggap seks (Galdikas, 1986).

Tabel 7. Peluang Pertemuan Antar Jantan dengan Status Reproduktif Betina

Jantan Kehadiran ♀

♀Reproduktif ♀NonReproduktif Fla-Fla 0 2

Fla-Unfla 2 2 Unfla-Unfla 5 0

Sedangkan, frekuensi pertemuan yang terjadi pada masing-masing kelas

jantan cukup terdapat perbedaan. Menurut Utami (2000) kehadiran jantan flanged

di area penelitian berkolerasi positif dengan kehadiran betina reproduktif dan

tidak berpengaruh pada jantan unflanged. Namun, data lapangan berbanding

terbalik dengan pendapat tersebut. Dimana, frekuensi tertinggi adalah pertemuan

antara sesama jantan unflanged. Hal tersebut dikarenakan keberhasilan hubungan

reproduksi jantan unflanged tergantung dari aktifnya mencari dan mendekati

betina, terutama yang berpotensi reproduktif (Utami, 2000).

Selain itu, frekuensi pertemuan yang rendah antara sesama jantan flanged

dapat dipengaruhi oleh fungsi panggilan panjang (long call) sebagai penanda

daerah teritorial. Sehingga, pertemuan secara langsung antara sesama jantan

flanged yang biasanya disertai dengan agresi dapat terhindarkan (Mitra Setia dan

van Schaik, 2000; Fox, 2002).

Sedangkan, berdasarkan uji Chi-Square terhadap frekuensi bertemunya

antar jantan dengan kehadiran betina memiliki nilai signifikansi 0,254 yang

artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal tersebut menunjukan bahwa

pertemuan antar sesama jantan di area penelitian tidak dipengaruhi oleh kehadiran

betina karena daerah jelajah yang saling tumpang tindih, individu yang saling

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

40

bermigrasi, dan lebatnya vegetasi hutan menyulitkan kontrol visual jantan-jantan

flanged terhadap betina, selain juga faktor makanan dan daerah territorial (Utami,

2000) (lihat tabel 5).

Tabel 8. Peluang Pertemuan Antar Jantan dengan Kehadiran Betina

Jantan Ada ♀ Tidak Ada

♀ Total

Fla-Fla 2 6 8 Fla-Unfla 4 2 6

Unfla-Unfla 5 4 9

Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai perilaku seksual yang pernah

dilakukan menunjukan bahwa betina dewasa lebih menyukai kawin dengan jantan

flanged local dominan dan menghindari jantan lain, jantan flanged yang bukan

jantan local atau jantan unflanged yang cenderung melakukan pemerkosaan

(Schurmann dan van Hooff, 1986; Utami, 2000; Fox, 2002). Jantan flanged dapat

melakukan panggilan panjang (long call) sebagai daya tarik untuk menarik betina,

terutama yang sedang masa subur (Utami, 2000; Mitra Setia dan van Schaik,

2007). Oleh karena kedua alasan tersebut, jantan flanged mempunyai strategi

“duduk, panggil, dan tunggu” (Utami, 2000).

Kecenderungan betina dewasa memilih jantan flanged dalam melakukan

hubungan seksual disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya; perlindungan

bagi anak/keturunan yang akan dilahirkan (Galdikas, 1986), akses makanan

(Schurmann dan van Hooff, 1986), dan pewarisan genetik yang berkualitas,

perlindungan dari kekerasan seksual yang disebabkan oleh jantan unflanged (Fox,

2002). Selain itu, keberasilan kopulasi yang dilakukan jantan flanged lebih tinggi

dibandingkan dengan jantan unflanged (Galdikas, 1986; Utami, 2000).

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

41

Oleh karena itu, betina menjaga hubungan asosiasi dengan jantan flanged,

baik melalui hubungan berpasangan ataupun party yang bersifat sementara. Betina

dengan anak yang masih menyapih menjaga hubungan berpasangan secara

eksklusif dengan jantan flanged lokal maupun tidak lokal untuk mengurangi

kekerasan seksual. Sedangkan, party dalam waktu yang sementara tanpa

hubungan reproduksi dapat terjadi karena; kebersamaan tersebut terbentuk dan

berakhir karena kehadiran jantan unflanged, serta tidak adanya ketertarikan

diantara keduanya (Fox, 2002).

Berdasarkan hasil pengamatan, perilaku seksual lebih banyak dilakukan

oleh jantan unflanged dibandingkan oleh jantan flanged yang dapat dimungkinkan

oleh beberapa faktor. Pertama, karena ketidakstabilan hirarki jantan flanged di

Kalimantan, sebab ketidakstabilan hirarki akan mempengaruhi hubungan antara

jantan dan betina (Utami, 2000). Hal tersebut terlihat dari banyaknya jantan

flanged di areal penelitian dibandingkan jantan unflanged. Kedua, betina di areal

penelitian adalah betina-betina dengan anak yang belum mandiri. Dimana, betina

dengan anak yang belum mandiri cenderung menolak melakukan hubungan

seksual (Galdikas, 1986; Utami, 2000; van Schaik, 2006).

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya;

1. Terdapat perbedaan perilaku seksual antara jantan berpipi (flanged) dan jantan

tidak berpipi (unflanged), dimana jantan tidak berpipi (unflanged) memiliki

frekuensi lebih tinggi dibandingkan jantan berpipi (flanged).

2. Adanya indikasi perilaku homoseksual pada orangutan jantan Kalimantan.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

43

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perilaku seksual orangutan

jantan liar dengan waktu pengamatan yang lebih panjang guna memperoleh hasil

dan kesimpulan yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Alcock, J. 1989. Animal Behavior : An Evolutionary Approach, forth edition. Sinauer Associates Inc. USA.

Brandon-Jones, D., A. A. Eudey., T. Geissman., C. P. Groves., D. J. Melnick., J.

C. Morales., M. Shekelle dan C. B. Steward. 2004. Asian Primate

Classification. International Journal of Primatology vol 25.

Casale, P. 1999. Animal Behavior : Insting, Learning, and Cooperation. Barron’s

Educational Series. Italy.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

44

Delgado, R. A dan C. P. van Schaik. 2000. The Behavioral Ecology and

Conservation of the Orangutan (Pongo pygmaeus) : A Tale of Two

Islands. Artikel Evolutionary Anthropology : 201-218.

Departeman Kehutanan. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Eimerl,S dan I. DeVore. 1978. Primata. Pustaka Time Life. Jakarta. Fox, E. A. 2001. Homosexual Behavior in Wild Sumatran Orangutan (Pongo

abelii). American Journal Primatology 55 : 177-181. Fox, E. A. 2002. Female Tactics to Reduce Sexual Harassment In The Sumatran

Orangutan (Pongo pygmaeus abelii). Artikel Behai Ecol Sociobiol 52: 93-101.

Galdikas, B. M. J. 1986. Adaptasi Orangutan : Di Suaka Tanjung Putting

Kalimantan Tengah, cetakan 2. UI Press. Jakarta. Galdikas, B. M. J dan G. L. Shapiro. 1994. A Guidebook to Tanjung Putting

National Park, Kalimantan Tengah (Central Borneo) Indonesia. Gramedia Pustaka Utama dan OFI. Jakarta.

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washimgton

and London. Groves, C., D. E. Wilson dan D. M. Reeder. 2005. Mammal Spesies of the World,

edisi ketiga. Johns Hopkins University Press. Kappeler, P.M. 2002. Sexual Selection In Primate : New and Comparative

Perspectives. Evolutionary Anthropology : 173-175. MacKinnon, K., G. Hatta., H. Halim dan A. Mangalik. 1996. The Ecology of

Kalimantan volume 3. Dalhousie University. Canada. Maple, T. L. 1980. Orang-utan Behavior. Van Nostrand Reinhold Co. New York. Meididit, A. 2006. Macam Pakan, Aktivitas Harian Orangutan (Pongo pygmaeus

wurmbii, Tiedemann 1808) dan Ketersediaan Buah Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

45

Meijaard, E., H. D. Rijksen dan S. N. Kartikasari. 2001. Di Ambang Kepunahan! Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad 21. The Gibbon Foundation : Jakarta.

Mitra Setia, T dan C. P. van Schaik. 2006. The Response of Adult Orang-Utans to

Flanged Male Longg Call : Inferences about Their Function. Artikel Folia Primatol 78 : 215-226.

Murti, D. B. 2007. Adaptasi Orangutan : Studi Primatologi Mengenai Adaptasi

Orangutan Menyangkut Masalah Perilaku Lokomosi dan Perilaku Sosial Di Kebun Binatang Surabaya. Skripsi Sarjana. Universitas Airlangga. http://adln.lib.unair.ac.id/go. (akses 26 Mei 2007).

Napier, P. 1972. A Crosset All-Color Guide Monkeys and Apes. Grosset & Dunlap

Inc. new York. Napier, P. H dan J. R. Napier. 1985. The Natural History of the Primates. The

Mitt Press. Cambrige University. Orangutan Foundation International. 2007. www.orangutanrepublik.org. (akses 19

Juli 2007). Putra, A. P. 2008. Perbandingan Pola Pakan Pada Tingkatan Umur Anak Dan

Induk Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Di Stasiun Penelitian Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Rijksen, H. D. 1978. A Field Study On Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus

abelii, Lesson 1827) : Ecology, Behaviour, and Conservation. H. Veenman & Zonen, Wageningen.

Russon, A. E. 2002. Return of the Native: Cognition and Site-Specific Expertise

in Orangutan Rehabilitation. International Journal of Primatology, vol 23, no 3, June 2002.

Schurmann, C. L. dan J. A. R. A. M. van Hooff. 1986. Reproductive Strategies of

the Orang-utan : New Data and A Reconsideration of Existing Sosiosexual Models. International Journal of Primatology.

Scott, J. P. 1972. Animal Behavior. Second edition. The University of Chicago

Press. USA. Shofiana, R. 2007. Adaptasi Perilaku Harian Orangutan Sumatera (Pongo abelii,

Leson 1827) Reintroduksi Pada Dua Tipe Hutan Yang Berbeda Di Taman

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

46

Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi. Skripsi Sarjana. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta. Jakarta.

Siegel, S. 1988. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Cet 3. Gramedia:

Jakarta. Soehartono, T., H. D. Susilo., N. Andayani., S. S. Utami., J. Sihite., C. Saleh dan

A. Sutrisno. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. DirJen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.

Supangat, A. 2007. Statistika : Dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan

Nonparametrik. Cet 1. Kencana : Jakarta. Supriyatna, J dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.

Yayasan Obor : Jakarta. Susanto, T. W. 2005. Pemanfaatan Ruang Aktivitas Harian Antara Individu

Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedemann 1808) Jantan Di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Skripsi Sarjana. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta.

Tjiu, A. 2006. Mencari Jejak “Sepupu” Di Jantung Borneo (Menghitung orang-

utan yang tersisa). http://wwf.or.id. (akses 25 Januari 2008). . Proyek Orangutan Tuanan dan Sungai Lading.

www.aim.uzh.ch/orangutan network/fieldguidelines/metodeobservasiou. Utami, S. S., B. Goossens., M. W. Bruford., J. R. de Ruiter dan J. A. R. A. M. van

Hooff. 2002. Male Bimatursm and Reproductive Success in Sumatran Orang-utans. Behavior Ecology vol 13 No. : 643-652.

Utami, S. S. 2000. Bimaturism In Orangutan Males : Reproductive and Ecological

Strategies. Phd thesis. Fakultas Biologi Utrecht University. The Netherlands.

van Schaik. C. P. 1999. The Socioecology of Fission-fusion Socialty In

Orangutans. Primate 40 : 69-86. van Schaik. C. P. 2006. Di Antara Orangutan, Kera Merah dan Bangkitnya

Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. Jakarta. Wich, S. A, S. S. Utami., T. Mitra Seti., H. D. Rijksen., C. Schurmann., J. A. R.

A. M. Van Hooff dan C. P. van Schaik. 2004. Life History of Wid

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16404/1/EKO... · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan

47

Sumatran Orangutans (Pongo abelii). Journal of Human Evoution 47 : 385-389.