BAB I-1.docx
-
Upload
erfika-yuliza -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
Transcript of BAB I-1.docx
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RA
Usia : 23 tahun
Alamat : Rusunawa Pemko Sekupang
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : -
Status : Belum Menikah
Masuk RS : 20 Maret 2014 pukul 00.15
ANAMNESIS
Keluhan utama
Kulit kedua kaki melepuh karena terkena api sejak pukul 19.00
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit Embung Fatimah Kota Batam atas rujukan dari RS Elisabeth
karena permintaan keluarga. Pasien datang dengan luka bakar akibat meledaknya bahan/alat di
galangan kapal tempat Os bekerja. Pasien masih dapat makan, minum dan BAK. Namun Os
tetap tersambar api walaupun sangat sebentar. Terkurung dalam ruangan (-), menghirup asap (-),
sesak nafas (-), terbentur di kepala (-), pingsan (-), pusing (-), mual (-), muntah (-)
Pasien kemudian dibawa ke RS dan diberi perawatan luka.
Riwayat penyakit dahulu
Alergi obat (-), Alergi makanan (-), hipertensi (-), DM (-), dan asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
1
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran umum : Compos mentis
Primary survey
A : Bebas, bulu hidung tidak terbakar
Tidak ada tanda-tanda hambatan jalan nafas, sesak (-)
B : Spontan, frekuensi nafas 20x/menit, reguler, wheezing (-), rhonki (-)
C : Akral hangat, tekanan darah 100/80 mmHg, frekuensi nadi 112x/menit,
suhu afebris
Secondary survey
Kepala&wajah: deformitas (-), edema (-)
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Leher : pembesaran KGB (-)
THT : sekret (-)
Dada : simetris dalam diam dan pergerakan
Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+) normal.
Ekstremitas : lihat status lokalis
Status lokalis
Ekstremitas bawah kanan : 7 %
Ekstremitas bawah kiri : 8 %
Genitalia : 0 % +
Total : 15 %
2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb : 8,5 mg/dl
Lekosit : 14.000
Hematokrit : 30 %
Trombosit : 5,2 ribu/ul
SGOT : 19 U/L
SGPT : 16 U/L
Ureum : 18 mg/dl
Creatinin : 0,5 g/dl
ASSESMENT
Luka bakar grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra.
PLANNING
- Inf. RL 550 cc/jam ( selama 8 jam ), dilanjutkan 4500cc/16 jam
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Inj. Ketorolac 2 x 1 A
STATUS OPERASI
ASA II E
LAPORAN ANESTESI PASIEN
a. Diagnosa pra bedah : Combustio grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra
b. Diagnosa pasca bedah : Combustio grade II, 15% eksremitas bawah dextra-sinistra
c. Jenis pembedahan : debridement
d. Jenis anestesi : anestesi spinal
3
TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Anestesi dengan : Bunascan 0,5% heavy 20 mg
TERAPI POST OPERASI
Pengelolaan nyeri : Inj. Ketorolac 30 mg
Penanganan mual muntah : Ondansetron 4 mg
Antibiotic : Sesuai operator
Infus : RL
Diet dan nutrisi : Boleh ma/mi secara bertahap bila tidak mual muntah
MONITORING PASCA OPERASI
Cek TD, Nadi, pernafasan, dan suhu pasca operasi
Pindah ruangan jika Aldrette score > 8 dan tidak terdapat nilai 0.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.
Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga dapat
menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi
menjadi:
Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan
menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.
Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder
besi atau peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau
akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus
kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan
oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan
keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai
permukaan cairan.
5
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh
uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera
hingga ke saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan
nafas akibat edema.
Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka
bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan
membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Zat kimia (asam atau basa)
Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
1.2 KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,
adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju
yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang
terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar
juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I,
II, atau III:
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk
dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan
dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul
dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah
sunburn.
6
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel
vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel
epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya
jaringan yang masih “sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran
luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah
karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar
derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan
aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau
luka bakar derajat III.
7
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang
lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar
regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena
pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
1.3 BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR
Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya
kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan
koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat,
dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen
terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:
8
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak
tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung
pada pasien dengan derajat luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang
dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai
dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah
genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada
orang dewasa.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas
permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-
15-20 untuk anak.
9
Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila
tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
10
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected by
burns in children.
1.4 PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %
11
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,
dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum
1.5 PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler
yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut
rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar
derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan
produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah
delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda
keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat
terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
12
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya
diuresis.
1.6 FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas yaitu
gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau
trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan
elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan
Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak
dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula
dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Masalah
yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan
deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses
inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
1.7 INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap
bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia,
perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan
kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
13
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya,
atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
1.9 PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi
sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak
dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau
banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada
trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak
dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar
menimbulkan kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah mempertahankan
ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul
atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan
obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik
pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya
kemungkinan trauma tumpul.
14
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari
luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang
mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.
Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan
nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan
morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space,
memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien
dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang
menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat
menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat
vasodilator dan modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)
6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan
mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya
menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila
perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan
steroid (masih kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
15
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
b. Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang
di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada
setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi
cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular
untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi
dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam
cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan
adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat
mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal
mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara
untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16
jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Rumus Baxter
Untuk Dewasa :
% x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena
terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh : seorang
16
dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 %
x 4 cc = 4000 cc yang diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari kedua.
Untuk Anak-anak:
2cc/kgBB/% + kebutuhan faal
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
Dalam hal ini semua yang paling penting ialah observasi produksi urine setiap jam. Pada
hari ke dua diberikan Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin, untuk dewasa. Sedangkan untuk
anak – anak diberikan sesuai dengan kebutuhan faal.
Akhir-akhir ini terdapat bukti yang menyebutkan bahwa penderita luka bakar
menerima cairan lebih banyak dibandingkan yang diprediksi menggunakan formula
Parkland atau yang disebut fluid creep. Selain itu, juga terdapat beberapa istilah, seperti
permissive hypovolemia dan hyperdinamic resuscitation dari beberapa studi.
“Fluid Creep”
Istilah ini menggambarkan terjadinya pemberian cairan berlebihan dari formula
yang telah ditentukan. Fluid creep juga dihubungkan dengan beberapa komplikasi,
seperti compatement syndrome, edema pulmonal, pemakaian ventilasi yang lama, dan
kegagalan graft kulit. Selain itu, kejadian fluid creep ini meningkat seiring dengan
penggunaan agen opioid, hipotesis yang saat ini menjelaskan mengapa itu terjadi
menyebutkan agen opioid, terutama dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan selama resusitasi (Saffle, 2007).
“Permissive Hypovolemia”
Untuk mencegah komplikasi over-resuscitation, maka Arlati et al. (2007)
17
merkomendasikan pemberian cairan low volume. Pada penelitiannya juga membuktikan
hanya dua dari lebih dari 2100 penderita luka bakar yang mengalami gagal ginjal akut.
Pemilihan Cairan Resusitasi Intra Vena
Cairan resusitasi yang idelal merupakan cairan yang dapat mengembalikan cairan
intravaskular tanpa efek samping. Banyak sekali pilihan cairan yang dapat digunakan,
namun belum ada pilihan cairan terbaik berdasarkan penelitian sampai saat ini. Berikut
akan dibahas kelebihan dan kekurangan masing-masing cairan.
Kristalloid
Cairan kristalloid merupakan cairan aqous yang dapat melewati membran
semipermeable. Pemberian kristalloid termasuk aman, mudah ditemui dan murah. Cairan
Hartmann atau Ringer Lactate (RL) merupakan pilihan cairan yang direkomendasikan
oleh British Burns Association. Komposisi dan osmolaritas cairan tersebut hampir
menyamai cairan fisiologis tubuh dan mengandung lactate yang dapat berfungsi sebagai
buffer asidosis metanolik pada fase akut luka bakar. Namun, karena sifatnya yang
isotonis maka hanya 25% cairan kristalloid intra vena berada di intra vaskular, sementara
75% cairan tersebut ekstravasasi menuju intersisial. Selain itu, kristalloid juga tidak
mengandung protein sehingga tidak dapat meningkatkan tekanan onkotik intravaskular,
sehingga dapat memperparah terjadinya edema. Namun, terdapat studi menggunakan
transpulmonary double indicator dilution method, digunakan untuk mengukur akumulasu
cairan di paru, membuktikan pemberian kristalloid tidak menyebabkan edema pulmonal.
Namun, belum ada penelitian yang dapat membuktikan pilihan cairan yang lebih baik
(Holm et al., 2004).
Penggunaan cairan hipertonis pertama kali diperkenalkan oleh formula Monafo.
Kelebihan menggunakan cairan ini adalah mengurangi abdominal compartement
syndrome, membutuhkan cairan yang lebih sedikit dibandingkan formula Parkman,
memperbaiki kontraktilitas jantung. Namun, penggunaan cairan ini jarang digunakan
sebab memiliki beberapa kekurangan yaitu, hipernatremia, hiperosmolaritas yang dapat
menyebabkan gagal ginjal, otak mengkerut, kejang, dan pecahnya vaskular intra kranial
(Oda et al., 2006)
18
Kolloid
Tekanan onkotik yang berasal dari substansi dengan berat molekul tinggi
memberikan efek cairan kolloid lebih lama berada di inta vaskular, yaitu selama 3 - 6
jam. Cairan kolloid berasal dari turunan plasma protein dan polimer glukosa sintetik.
Cairan kolloid derivat dari darah mengandung albumin dan fraksi plasma protein,
sementara itu cairan kolloid sintetis meliputi dextran, gelatin, dan hetastarch (HES)
(Parel et al., 2007).
Albumin merupakan derivat dari plasma, yang dipanaskan, dan disterilisasi. Oleh
karena itu, albumin dianggap aman dari transmisi penyakit infeksius. Namun, albumin
mempunyai kekurangan, yaitu transmisi beberapa obat dan substansi endogenous, seperti
billirubin dan free fatty acid. Efek ini tidak hanya dibuktikan secara eksperimen namun
tidak dibuktikan secara klinis. Pada penderita sehat, albumin berkontribusi 80% dari total
tekanan onkotik plasma, namun pada penderita critically ill, albumin berkorelasi rendah
terhadap tekanan onkotik. Half life albumin pada orang sehat berrkisar 5 - 10 hari, namun
pada luka bakar hanya bertahan 8 jam setelah kejadian luka bakar (Alderson et al., 2007)
Dextran merupakan polimer glukosa yang memiliki beberapa efek samping, seperti
abnormalitas koagulasi dimana terjadi peningkatan resiko perdarahan dan reaksi
hipersensitivitas yang mengancam jiwa. Gelatin merupakan modifikasi kolagen daging,
gelatin mempunyai berat molekul yang kecil, sekitar 35 kD yang menyebabkan half-life
intra vaskular gelatin relatif singkat, yaitu 2 jam. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi
tipe cepat. Sementara itu, HES menjadi pilihan terbaik sebab dari segi harga HES relatif
lebih murah dibandingkan dengan albumin, non-antigenik, dan reaksi anafilaktik yang
jarang terjadi. Berat molekul HES juga berkisar ± 450 kD. Namun, efek kolloid sintetis
hanya sementara dan cocok digunakan saat capillary leak minimal (Parel et al., 2007).
Darah
Hilangnya darah pada penderita luka bakar dipengaruhi beberapa hal, namun
pemberian restricted darah berhubungan dengan mortalitas yang menurun pada penderita
luka bakar. Terdapat studi yang membuktikan penderita luka bakar berat yang ditransfusi
19
darah menderita sepsis (Chan et al., 2009).
Monitoring Selama Pemberian Terapi Cairan Resusitasi
Terdapat hal yang lebih penting dibandingkan pemilihan cairan resusitasi, yaitu
menentukan apakah resusitasi tersbut berhasil atau gagal. Jika seorang petugas kesehatan
mengetahui end point resusitasi maka akan juga mengetahui kapan harus menghentikan
pemberian cairan secara agresif, namun sayangnya belum ada pengukuran yang tepat
(Ahrns, 2004).
c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya
SIRS dan MODS.
Perawatan luka bakar
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg
setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang
menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi
penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih
merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
20
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (anestesi lumbal, blok sub arachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan
obat analgesic local ke dalam ruang sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4
atau L4-L5.
Lokasi untuk Anestesi Spinal
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetric-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan
21
Kontra indikasi absolute:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intracranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relative:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan
anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus
spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
22
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hb, Ht, pt, ptt
Peralatan analgesia spinal
1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, EKG
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil
Anastetik local untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. anastetik
local dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis
lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css
disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik local yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)
23
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)
1.10 PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara
lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.
24
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Tn . RA, usia 23 tahun datang dengan keluhan kedua eksremitas bawah melepuh karena
terkena terkena api. Kulit yang melepuh diakibatkan tersambar api dari alat/ bahan galangan
kapal yang tiba-tiba meledak dari tempat kerja pasien. Pasien tidak ada keluhan sesak nafas,
pusing, mual maupun muntah.
Pasien datang masih dalam fase akut luka bakar. Maka perlu diperhatikan ABC dari
pasien. Dari pemeriksaan umum tidak ditemukan bulu hidung yang terbakar. Hal ini dapat
menyingkirkan adanya cedera inhalasi. Pernafasan normal, tekanan darah pasien yaitu 120/70
mmHg dengan frekuensi nadi 88x/menit.
Pada pasien ditemukan luka bakar di kaki kanan 7 %, dan kaki kiri 8%. Luas luka
ditemukan menurut diagram rules of nine dari Wallace. Total luas luka bakar mencapai 15%
dengan kedalaman derajat II.
Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II, sebab kerusakan meliputi epidermis
dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula,
dasar luka bewarna merah atau pucat dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka bakar
pada pasien ini tidak digolongkan dalam derajat I sebab pada luka bakar derajat I kelainan nya
hanya berupa eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai eksudasi. Luka bakar juga tidak
digolongkan dalam derajat III sebab pada luka bakar derajat III dijumpai kulit terbakar bewarna
abu-abu dan pucat, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa
nyeri/ hilang sensasi akibat kerusakan total ujung serabut saraf sensoris.
Dari laboratorium darah tepi ditemukan peningkatan leukosit. Peningkatan leukosit ini
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada fase akut luka bakar.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah resusitasi cairan. Dengan cara Baxter dapat
dihitung kebutuhan cairan pasien yaitu :
4 x BB x % luka bakar = 4 x 57 x 15 = 3.420 ml/24 jam
Pada 8 jam pertama pasien diberikan 1.710 mL. kemudian pada 16 jam kemudian
diberikan cairan sebanyak 1.710 mL. Pada hari kedua diberikan cairan sebanyak setengah cairan
pertama yaitu 1.710 mL/24 jam. Pada hari ketiga jumlah cairan kembali dikurangi setengahnya
25
menjadi 855 mL/24 jam. Jumlah cairan dapat dikurangi bahkan dihentikan bila diuresis pasien
memuaskan dan pasien dapat minum tanpa kesulitan.
Tujuan resusitasi cairan pada penderita luka bakar saat 24 - 48 jam pertama (Chan
et al., 2009), adalah mengembalikan volume intravaskular, menyediakan sodium yang adekuat
untuk mengembalikan potensial transmembran selular, mengembalikan kadar elektrolit
ekstraselular, sehingga mencegah ketidakseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan aritmia
jantung, dan mengkoreksi hipoproteinemia dan meningkatkan tekanan onkotik.
Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan dengan air hangat
yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menurunkan suhu di daerah cedera,
sehingga dapat menghentikan proses kombusio pada jaringan. Untuk menutup luka, digunakan
kasa lembab steril menggunakan cairan RL atau salep untuk mencegah penguapan. Balutan
dinilai dalam waktu 24-48 jam. Bula yang luas dengan akumulasi transudat, akan menyebabkan
penarikan cairan ke dalam bula sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan cairan. Oleh
karena itu perlu dilakukan insisi. Insisi ini bertujuan untuk mengeluarkan cairan transudat tanpa
membuang epidermis yang terlepas. Kemudian epidermis yang terlepas ini dijadikan penutup
luka (biological dressing) seperti split thickness skin graft (STSG). Setelah itu diletakkan tulle di
atas graft tersebut dan membungkusnya dengan kasa lembab selama 2-3 hari, kemudian
diberikan salep antibiotik sampai terjadinya epitelisasi. Pada bula-bula yang kecil cukup
dilakukan aspirasi menggunakan semprit dan dilakukan sebagaimana pada bula yang luas.
Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena penyakit ini sudah didiagnosis dan
saat ini tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam pada pasien ini adalah bonam karena
sesuai dengan luas dan kedalaman luka, penyembuhan dapat terjadi secara spontan dan telah
dilakukan terapi pengobatan yang adekuat terhadap luka bakar. Prognosis ad sanactionam pada
pasien ini adalah bonam karena faktor penyebab dapat dihindari dan tidak ada angka rekurensi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Pediatric Anesthesia. In: Lange-Clinical
Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006; 44:
922-50.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Anesthesia in Neurosurgery. In: Lange-Clinical
Anesthesiology 4th Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006; 26:
631-46.
Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku ajar
ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.
Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s principal surgery. 8 th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2007.
27