Bab 9 Diseksi Arteri

30
Bab 9 Diseksi Arteri Intrakranial dan Ekstrakranial PENDAHULUAN Diseksi arteri servikal (cervical artery dissection/CAD) pertama kali dilaporkan dalam penelitian autopsi oleh Pratt-Thomas pada 1947. 1 CAD terjadi ketika robekan pada tunika intima memungkinkan darah masuk di antara lapisan dinding pembuluh darah, sehingga membentuk hematoma intramural. Tunika intima yang terpapar dan adanya kelepak (flap) intima mengarah pada meningkatnya trombogenitas dan stroke yang dapat diakibatkan oleh embolisasi atau stenosis yang membatasi aliran lewat lumen vaskuler yang sebenarnya. Deteksi dan pengobatan dini penting karena rekurensi stroke paling tinggi selama bulan pertama setelah peristiwa. Lewat beberapa tahun lalu, meningkatnya kesadaran dan kemajuan dalam pencitraan diagnostik mengarah pada peningkatan deteksi CAD dengan atau tanpa peristiwa iskemik terkait. CAD kini diakui sebagai penyebab paling umum dari stroke pada kalangan muda, bertanggung jawab atas hingga 30% kasus. 2,3 CAD umumnya didahului oleh trauma leher langsung atau tidak langsung (CAD traumatik, dibahas dalam Bab 10). Pada bab ini, kami akan berfokus pada CAD spontan (i.e. tidak terkait trauma) dan akan membahas tampilan klinis, diagnosis dan pilihan penanganan yang tersedia. EPIDEMIOLOGI CAD spontan bertanggung jawab atas 2% dari seluruh stroke iskemik. 4 Meskipun CAD mengenai seluruh kelompok usia, terdapat

Transcript of Bab 9 Diseksi Arteri

Page 1: Bab 9 Diseksi Arteri

Bab 9

Diseksi Arteri Intrakranial dan Ekstrakranial

PENDAHULUAN

Diseksi arteri servikal (cervical artery dissection/CAD) pertama kali dilaporkan dalam

penelitian autopsi oleh Pratt-Thomas pada 1947.1 CAD terjadi ketika robekan pada tunika

intima memungkinkan darah masuk di antara lapisan dinding pembuluh darah, sehingga

membentuk hematoma intramural. Tunika intima yang terpapar dan adanya kelepak (flap)

intima mengarah pada meningkatnya trombogenitas dan stroke yang dapat diakibatkan oleh

embolisasi atau stenosis yang membatasi aliran lewat lumen vaskuler yang sebenarnya.

Deteksi dan pengobatan dini penting karena rekurensi stroke paling tinggi selama bulan

pertama setelah peristiwa. Lewat beberapa tahun lalu, meningkatnya kesadaran dan kemajuan

dalam pencitraan diagnostik mengarah pada peningkatan deteksi CAD dengan atau tanpa

peristiwa iskemik terkait. CAD kini diakui sebagai penyebab paling umum dari stroke pada

kalangan muda, bertanggung jawab atas hingga 30% kasus.2,3 CAD umumnya didahului oleh

trauma leher langsung atau tidak langsung (CAD traumatik, dibahas dalam Bab 10). Pada bab

ini, kami akan berfokus pada CAD spontan (i.e. tidak terkait trauma) dan akan membahas

tampilan klinis, diagnosis dan pilihan penanganan yang tersedia.

EPIDEMIOLOGI

CAD spontan bertanggung jawab atas 2% dari seluruh stroke iskemik.4 Meskipun CAD

mengenai seluruh kelompok usia, terdapat predileksi pada individu yang lebih muda. Dalam

laporan terdahulu, CAD bertanggung jawab atas 25-50% dari seluruh stroke pada pasien

berusia kurang dari 45 tahun.2 Insidensi yang lebih tinggi karena cedera traumatis dan

manifestasi dini dalam gangguan autoimuun dan herediter mengarah pada prevalensi yang

lebih tinggi pada populasi muda. Dalam satu penelitian, rerata usia pasien pada saat diagnosis

adanya diseksi adalah 46 tahun,3 dengan insidensi puncak pada dekade kelima kehidupan,

dengan angka kejadian serupa yang diamati pada pria dan wanita. Pada penelitian berbasis

populasi, insidensi tahunan CAD spontan diperkirakan sebesar 3 per 100.000 orang. Insidensi

diseksi arteri karotis interna berkisar dari 2,6-2,9 per 100.000 orang dan insidensi diseksi

arteri vertebralis berkisar dari 0,97-1,12 per 100.000 orang.5 Penelitian juga menemukan

bahwa insidensi CAD meningkat secara bermakna dalam dekade terakhir, diduga karena

meningkatnya kemampuan deteksi daripada peningkatan kejadian aktual.6 Rekurensi angka

stroke setelah CAD diperkirakan sebesar <0,3% per tahu kecuali jika terdapat riwayat diseksi

Page 2: Bab 9 Diseksi Arteri

arteri dalam keluarga.7 Diseksi rekuren tidaklah umum, dengan risiko yang dilaporkan terjadi

2% selama bulan pertama, diikuti risiko tahunan sebesar 1% kemudian.8 Sebaliknya, kasus

familial CAD memiliki angka rekurensi kumulatif sebesar 55% dalam 10 tahun.9 Kejadian

CAD di antara pasien dengan penyakit jaringan ikat dapat setinggi 20%.10 Namun demikian,

hanya sedikit pasien dengan CAD spontan yang saat ini didiagnosis dengan gangguan

jaringan ikat definitif.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Mekanisme cedera arteri biasanya multifaktorial. Trauma leher merupakan latar yang paling

umum dimana CAD diamati. Trauma langsung pada arteri, gaya torsional atau regangan yang

menginduksi stres robekan pada tunika intima, atau cedera pada struktur tulang di sekitarnya

dapat menjadi faktor kausatif. Ketika tercipta robekan pada lapisan intima, itu

memungkinkan darah mengisi dan mendiseksi lapisan intramural (Gbr. 9.1(a)). Diseksi

subintimal menyebabkan pembentukan hematoma intramural, yang dapat berlanjut hingga

menyumbat lumen vaskuler (Gbr. 9.1 (b)) sehingga berdampak aliran darah ke otak. Pada

contoh lainnya, hematoma intramural dapat kembali memasuki aliran sirkulasi lewat robekan

kedua di sebelah distal, menciptakan “lumen vaskuler ganda” (Gbr. 9.1(c)).

Paparan aliran darah terhadap lapisan subintima memicu aktivasi dan agregrasi platelet serta

kaskade koagulasi yang memacu trombosis lokal dengan kemungkinan embolisme atau

sumbatan arteri. Diseksi juga dapat terjadi dalam bidang di antara tunika media dan

adventisia, menciptakan suatu aneurisme dengan tonjolan kantung yang tidak memiliki

dinding muskuler, disebut pseudoaneurisme. Penelitian histopatologi mendemonstrasikan

perbedaan struktural antara arteri intrakranial dan ekstrakranial. Lapisan adventisia yang

lebih tipis, keberadaan serat kolagen dalam selubung adventisia, serta tidak adanya lamina

elastis eksterna pada arteri intrakranial dapat menjadi predisposisi terbentuknya

pseudoaneurisme dan perdarahan subaraknoid pada sirkulasi intrakranial.11

Dalam beberapa laporan, CAD spontan dikaitkan dengan kejadian minor, seperti bersin,

batuk, muntah, gerakan fleksi/ekstensi/rotasi pada leher (seperti pada manipulasi siropraktik

atau intubasi trakea), berenang, atau yoga.1,12–14 Diperkirakan bahwa CAD terjadi pada 1 di

antara 20.000 manipulasi leher. Kerentanan yang lebih tinggi terhadap trauma pada beberapa

segmen arteri dapat dijelaskan oleh kedekatan mereka terhadap struktur tulang di sekitar.

CAD lebih umum terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial daripada intrakranial, mungkin

karena mobilitas yang lebih tinggi dan vulnerabilitas yang lebih besar dari arteri ekstrakranial

terhadap stres torsional. Arteri karotis interna bersifat mobil mulai dari asalnya di bifurkasio

dan pintu masuknya ke tengkorak. Daerah yang paling rentan adalah pada sambungan antara

Page 3: Bab 9 Diseksi Arteri

segmen mobil (servikal) dan relatif terfiksir (petrosa) dimana kerentana terhadap stres torsi

meningkat. Pada arteri vertebralis, segmen setelah mereka keluar dari foramina transversal

vertebra antara tingkat setinggi C1 dan C2 dan sebelum masuk ke dasar tengkorak (segmen

V3) bersifat mobil dan cukup rentan terhadap cedera.

Faktor lainnya yang menjadi predisposisi CAD adalah defek inheren pada dinding arteri.

Brandt et al.15 menganalisis jarinan konektif dari biopsi kulit pada pasien dengan CAD

spontan, dan memperhatikan bahwa meskipun tidak adanya tanda-tanda klinis, terdapat

abnormalitas ultrastruktural pada morfologi jaringan ikat seperti fragmentasi serat elastis,

atau degenerasi media pada 50-60% pasien yang diteliti15 serupa dengan temuan yang diamati

pada penyakit jaringan konektif herediter. Penyakit seperti sindrom Marfan, sindrom Ehlers-

Danlos tipe IV, displasia fibromuskuler, nekrosis media sistik, defisiensi antitripsin alfa 1,

penyakit ginjal polikistik, osteogenesis imperfekta tipe I di antara yang lain dikaitkan dengan

kejadian CAD yang lebih besar. Selain itu, elevasi kadar homosistein dapat menjadi faktor

risiko CAD spontan dan stroke iskemik, tetapi mekanisme hubungannya masih belum

diketahui.16 Pencarian mutasi gen pada pasien CAD spontan masih berbuah sedikit. Dalam

suatu penelitian atas tujuh keluarga dengan CAD familial, mutasi mis-sense pada gen

COL3A1, yang mengodekan pro-kolagen tipe III dan menyebabkan sindrom Ehler-Danlos

tipe IV, terdeteksi pada dua anggota dari satu keluarga. Dua pasien dari keluarga lainnya

membawa polimorfisme pada COL5A1 dan satunya membawa suatu varian pada COL5A2.17

Tetapi, penelitian lain gagal menegakkan hubungan antara CAD dan mutasi gen. Penelitian

tersebut terbatas pada ukuran sampel yang kecil akibat rendahnya insidensi kelainan ini.

Tinjauan (review) sistematis yang lebih baru atas seluruh data mengenai determinan genetik

CAD yang dipublikasi menunjukkan tidak adanya bukti untuk penyakit monogenik yang

mendasar pada CAD sporadis. Hanya tiga penelitian yang menunjukkan hubungan positif

dengan genotip MTHFR 677TT.18

MANIFESTASI KLINIS

Ringkasan presentasi klinis yang dikaitkan dengan CAD disajikan dalam Tabel 9.1. Nyeri,

baik yang tersendiri atau dikaitkan dengan defisit neurologis fokal, merupakan gejala yang

paling umum. Nyeri leher ipsilateral atau kadang bilateral, seringkali menjalar ke wajah dan

kepala, merupakan pola yang paling umum. Nyeri leher kontralateral tesendiri jarang

terjadi.19,20 Diseksi arteri dapat menyebabkan stroke iskemik atau serangan iskemik transien

(transient ischemic attack/TIA) lewat mekanisme yang berbeda: embolisme akibat hematoma

intramural, trombosis pada lokasi robekan intima, atau sumbatan arteri akibat ekspansi

hematoma atau perkembangan trombosis. TIA hemisferik rekuren atau defisit vaskuler

Page 4: Bab 9 Diseksi Arteri

monokuler transien dapat terjadi dan mengarah pada infaark serebral/retina dan defisit

permanen. Defisit neurologis repetitif yang terlokalisasi pada wilayah arteri yang sama, atau

eksaserbasi postural, menunjukkan adanya mekanisme hemodinamis hipoperfusi serebral

karena lumen karotis yang terkompromis berat atau tersumbat.

Diseksi karotis dapat salah didiagnosis sebagai migrain, terutama tanpa adanya temuan

neurologis fokal. Nyeri kepala seringkali unilateral, berdenyut (throbbing), tetapi dapat

melibatkan seluruh kepala, seringkali disertai oleh nyeri rahang dan tinitus berdenyut. Nyeri

kepala dan leher yang dikaitkan dengan sindrom Horner (biasanya parsial, terdiri atas ptosis

dan miosis) sangat indikatif akan adanya diseksi karotis ekstrakranial. Palsi nervus kranialis

bawah yang melibatkan nervus kranialis IX hingga XII serinkali digambarkan menyebabkan

disfagia, serak dan deviasi lidah, akibat iskemi saraf terkait dengan gangguan aliran darah

pada arteri faringeal asendens, atau karena kompresi mekanis atau peregangan nervus

kranialis pada foramen jugularis akibat arteri karotis interna yang terdiseksi.13,21 Tinitus

berdenyut diduga terjadi sekunder akibat efek massa pada arteri yang terdiseksi dalam

perjalannya di dekat telinga dalam.22

Diseksi vertebralis servikali menimbulkan nyeri leher ipsilaterl di sebelah posterior,

seringkali menjalar ke daerah oksipital dan/atau area bahu. Manifestasi neurologis termasuk

TIA sirkulasi posterior dan stroke iskemik. Gejala dapat termasuk pusing, diplopia, vertigo,

disartria, ataksia dan instabilitas gait. Keterlibatan batang otak biasanya terjadi pada wilayah

arteri medullaris dan arteri serebelar inferior posterior (posterior inferior cerebellar

artery/PICA).13 Hemianopsia homonim atau kuadrananopsia akibat infarksi wilayah arteri

serebri posterior harus dibedakan daari kehilangan penglihatan monokuler pada diseksi

karotis. Hilangnya kesadaran dapat terjadi pada kasus-kasus berat dimana diseksi vertebralis

meluas ke arah intrakranial dan menyumbat arteri basilaris.23

DIAGNOSIS

Pasien dapat saja asimtomatis, atau datang beberapa jam, hari atau bahkan minggu setelah

onset, tanpa melihat apakah trauma dapat diidentifikasi atau tidak. Meskipun digital

subtraction angiography (DSA) masih menjadi baku emas, tes pencitraan non-invasis seperti

computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance imaging (MRI), magnetic

resonance angiography (MRA) dan sonografi Doppler sebagian besar menggantikan

perlunya angiografi kateter pada banyak kasus. Untuk mengkonfirmasi diagnosis diseksi

arteri, temuan terkait dapat mengungkapkan petunjuk etiologi yang mendasari.

DIGITAL SUBTRACTION ANGIOGRAPHY (DSA) (Gbr. 9.2)

Page 5: Bab 9 Diseksi Arteri

DSA dipertimbangkan sebagai “baku emas” untuk diagnosis yang memungkinkan visualisasi

yang baik dari vaskulatur, terutama jika terdapat penundaan pengisian pada pembuluh darah

yang terkena dan dalam membedakan antara displasia dari diseksi pada arteri vertebralis.

Berlawanan dengan penyakit atherosklerotik, diseksi karotis biasanya tidak menyerang

bulbus karotikus, tetapi terjadi 1,5-2 cm ke arah distal dari asal bulbus karotikus. Lokasi

anatomis, keterlibatan multisegmen dan temuan seperti sumbatan bertahap (tapering), atau

kejadian konkomitan dari penyempitan dan dilatasi bersifat sugestif ke arah diagnosis diseksi.

“Tanda kawat (string)” dapat diamati seiring lumen terkompresi oleh hematoma intramural

atau aliran distal dapat sepenuhnya absen. Dilatasi segmental terkait dengan pseudoaneurisme

dapat divisualisasikan lebih baik dengan DSA. Temuan yang lebih jarang termasuk kelepak

intima dan tanda lumen ganda. Defek pengisian lumen menunjukkan adanya trombus

intravaskuler jarang terlihat lewat citra angiografis.

COMPUTED TOMOGRAPHY ANGIOGRAPHY (CTA) (Gbr. 9.3)

CTA memiliki keunggulan karena bersifat non-invasif dengan sensitivitas yang baik untuk

mendeteksi disrupsi aliran. Dalam serial penelitian kecil yang membandingkan CTA, MRS,

US dan DSA dalam mendiagnosis >70% stenosis arteri karotis, sensitivitas CTA adalah

sebesar 81-93%, spesifisitas sebesar 91-100%, dan akurasi diagnostik adalah 90-98%. Tetapi,

CTA menunjukkan angka di bawah estimasi sebesar 7,5% ketika dibandingkan dengan

DSA.24-26 CTA juga dapat mengungkapkan lusensi linier dalam pembuluh darah, yang sesuai

dengan kelepak yang memnisahkan lumen sejati dengan lumen palsu. CTA juga

memungkinkan visualisasi stenosis dan dilatasi aneurisme. Itu juga memiliki peranan

komplementer dalam evaluasi CAD dan pada beberapa kasus dapat menyediakan informasi

tambahan yang tidak bisa diperoleh lewat MRI.27–29

Pada suatu penelitian retrospektif atas 18 pasien dengan diseksi arteri servikalis yang

menjalani baik CTA dan MRI, dua neuroradiolog menilai masing-masing pembuluh darah

menurut dasar apakah temuan citra (stroke, penyempitan lumen, ketidakteraturan vaskuler,

penebalan dinding/hematoma, pseudoaneurisme, kelepak intima) lebih baik divisualisasikan

dengan satu modalitas dibandingkan yang lain. Keselurhan, CT/CTA lebih disukai dalam

diagnosis, terutama pada diseksi arteri vertebralis, sedangkan kedua modalitas serupa untuk

diseksi ICA.30

MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) DAN MAGNETIC RESONANCE

ANGIOGRAPHY (MRA) (Gbr. 9.4)

Sekuens aksial MRI T1W dengan saturasi lemak memungkinkan diperolehnya visualisasi

resolusi tinggi dari dinding arteri lewat supresi sinyal tinggi dari lemak perivaskuler. Lesi

Page 6: Bab 9 Diseksi Arteri

eksentrik berentuk bulan sabit, seperti pita, menunjukkan hematoma intramural yang sangat

sugestif untuk diagnosis. Peningkatan pada diameter lumen eksternal memiliki spesifisitas

tinggi atas diseksi karotis.31-33 Karakteristik citra dari hematoma mural dapat membantu

mengidentifikasi waktu onset CAD. Pada fase akut, hematoma intramural dapat isointens

atau sedikit hiperintens pada citra T1 dan T2 weighted akibat tidak adanya methemoglobin;

pada periode subakut, hematoma menjadi hiperintens pada citra T1 weighted yang diikuti

oleh hiperintensitas T2. Hematoma kronis tetap hiperintens pada T1 selama kira-kira 2 bulan

dan pada bulan keenam hematoma menjadi isointens pada citra T1 dan T2 weighted dan bisa

saja tidak dapat dikenali. Juga dimungkinkan untuk mendeteksi kelepak intima yang

memisahkan lumen sejati dan lumen palsu.

Rekonstruksi tiga dimensi MRA bersama dengan teknik fase kontras memungkinkan

visualisasi langsung hematoma dan dilatasi aneurisme.32,33 Levy et al. membandingkan hasil

teknik MR dan RSA, melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dari MRA dalam

mendeteksi diseksi arteri karotis (berturut-turut 95% dan 99%), tetapi berakurasi rendah

ketika mendeteksi diseksi arteri vertebralis (berturut-turut 20% dan 100%).31 Salah satu

penjelasan adalah bahwa arteri vertebralis berdiameter lebih kecil dengan variasi kaliber yang

luas sehingga lebih sukar untuk divisualisasikan dan dievaluasi. MRI inferior daripada MRA

dalam mendeteksi diseksi arteri karotis (sensitivitas 84%, specsfisitas 99%), tetapi superior

dalam mendeteksi diseksi arteri vertebralis (berturut-turut 60% dan 98%).

DOPPLER ULTRASOUND (Gbr. 9.5)

Ultrasonografi Doppler terbatas karena hanya satu segmen dari bagian ekstrakranial arteri

ICA atau vertebralis yang dapat divisualisasikan. Penelitian sebelumnya melaporkan

sensitivitasnya berkisar antara 80%–96% pada arteri karotis dan 70%–92% pada wilayah

vertebrobasiler untuk mendeteksi diseksi. Spesifisitasnya adalah 92%–94% pada arteri

karotis.21,34–37 Tanda yang paling spesifik seperti kelepak intima ekogenik atau lumen ganda

jarang terdeteksi. Hasilnya bahkan lebih rendah pada stenosis derajat rendah dan pada pasein

tanpa peristiwa iskemik.21

Kombinasi pemeriksaan Doppler ekstrakranial dan transkranial dapat memperbaiki deteksi

tanda tidak langsung adanya kompromis hemodinamis akibat CAD. Perubahan pada

kecepatan dapat dilihat sebagai bagian dari kompensasi hemodinamis pada kasus stenosis

berat atau penyumbatan. Penurunan kecepatan pada MCA ipsilateral pada diseksi karotis, dan

peningkatan kecepatan kontralateral pada sumbatan vertebral pernah dilaporkan.

RIWAYAT ALAMIAH DAN PREDIKTOR KELUARAN (OUTCOME)

Page 7: Bab 9 Diseksi Arteri

Risiko stroke rekuren setelah diseksi arteri servikal adalah rendah. Kebanyakan pasien

ditangani dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet, sehingga riwayat alamiahnya tanpa

medikasi tidak diketahui dengan baik. Sejumlah kecil pasien diobati secara endovaskuler atau

bedah. Seluruh pilihan intervensi memiliki risiko, yang harus diseimbangkan sesuai riwayat

alamiah terapi medis.

Dalam suatu penelitian atas 130 pasien diseksi arteri servikal yang telah dibuktikan secara

angiografi, 4 pasien meninggal (3%), dan 126 pasien diikuti selama 3906 orang/tahun

(person/years).38 Dari jumlah ini, hanya 17 pasien yang bergejala, termasuk 6 stroke dan 11

TIA. Pengobatan dengan antikoagulan atau aspirin digunakan sesuai pilihan dokter yang

menangani. Stroke iskemik rekuren terjadi pada enam pasien (4,8%) dalam 2 minggu

pertama. Sedangkan jumlah peristiwa adalah kecil, dan tidak ditemukan adanya perbedaan

antara pasien yang diobati dengan aspirin versus yang diobati dengan antikoagulan.

Dalam penelitian lainnya, 27 pasien dengan diseksi servikal ekstrakranial (22 spontan, 5

traumatis) diobati dengan terapi antikoagulan (n = 18) atau antiplatelet (n = 9), dan diikuti

dalam periode selama rata-rata 58 bulan. Dari 27 pasien, 23 (85%) tidak menderita disabilitas

atau sekuel minor (skor Rankin termodifikasi 0 hingga 1), dan empat pasien mengidap defisit

moderat (skor Rankin termodifikasi 2 hingga 3).39 Dua pasien mengidap stroke iskemik

rekuren, satu tidak berhubungan dengan diseksi rekuren, dan yang lain terjadi setelah

angioplasti balon dan penempatan stent sebagai pengobatan atas pseudoaneurisme arteri

vertebralis persisten. Rekanalisasi dan perbaikan diamter lumen terlihat pada mayoritas

pasien. Pada penelitian sebelumnya atas diseksi arteri yang terbukti secara angiografi, 68%

kasus menunjukkan rekanalisasi bertahap setelah rata-rata 51 hari.40

Terdapat keterbatasan data yang mengidentifikasi pasien berisiko tinggi mengidap

komplikasi iskemik primer atau rekuren setelah diseksi spontan. Baumgartner et al. meninjau

200 kasus diseksi karotis ekstrakranial dan menemukan bahwa pasien pengidap peristiwa

iskemik memiliki prevalensi stenosis derajat tinggi (>80%) dan penyumbatan karena CAD

yang lebih besar daripada mereka yang belum pernah mengalami peristiwa iskemik. Perlu

diperhatikan, pasien tanpa perisitiwa iskemik memiilki prevalensi yang lebih tinggi mengidap

sindrom Horner dan palsi nervus kranial bawah ipsilateral.36 Penelitian lainnya41 menganalisis

69 pasien yang ditangani secara medis pengidap diseksi serviko-kranial spontan selama

periode 7 tahun dan mengevaluasi efek faktor demografis (usia, jenis kelamin), risiko

vaskuler dan temuan angiografis (tampilan vaskuler, persentase stenosis, adanya

pseudoaneurisme dan temuan displasia fibro-muskuler) pada peristiwa neurologis subsekuen.

Total sebanyak 11 (16%) pasien mengalami deteriorasi neurologis di rumah sakit, 10 dengan

Page 8: Bab 9 Diseksi Arteri

TIA dan stroke iskemik, dan satu meninggal. Empat pasien tambahan mengalami deteriorasi

neurologis antara waktu pulang dan follow-up pada tahun pertama; tiga dengan TIA dan

stroke iskemik serta satu meninggal. Keseluruhan, total sebanyak 15 (22%) pasien

mengalami deteriorasi dalam satu tahun. Wanita dan mereka dengan keterlibatan kedua arteri

vertebral berisiko tinggi mengalami deteriorasi neurologis.

CAD DAN PEMBENTUKAN ANEURISME

Riwayat alamiah dari diseksi arteri servikal diteliti di antara 71 pasien dengan diseksi arteri

servikal. Tiga puluh lima pasien (49%) memiiliki total 42 aneurisme.42 Suatu aneurisme

didefinisikan sebagai kantung ekstralumen (aneurisme sakuler) atau dilatasi segmental dari

lumen (aneurisme fusiformis). Tiga puluh aneurisme terletak pada arteri simtomatis (arteri

karotis interna 23, arteri vertebralis 7), dan 12 pada arteri asimtomatis (arteri karotis interna

10, arteri vertebralis 2). Pasien dengan aneurisme lebih sering menderita diseksi multipel dan

kelebihan arteri. Terdapat kecenderungan ke arah frekuensi migrain dan merokok yang lebih

tinggi di antara pasien dengan dilatasi aneurisme. Selama follow-up dengan lama rata-rata

tiga tahun, tidak ada yang mengidap iskemi serebral, kompresi lokal, atau ruptur. Empat

puluh enam persen aneurisme melibatkan ICA simtomatis tidak menunjukkan perubahan,

36% sepenuhnya hilang, dan 18% mengalami pengecilan. Penyembuhan lebih umum terlihat

pada aneurisme arteri vertebralis daripada ICA (83% vs. 36%). Penelitinya menyimpulkan

bahwa, meskipun aneurisme akibat CAD seringkali bertahan, terdapat risiko sekuel klinis

yang sangat rendah, yang harus dipertimbangkan sebelum menjalankan pengobatan.

PENGOBATAN

Selama bulan pertama setelah diseksi arteri, risiko stroke iskemik rekuren adalah paling

tinggi, dan kemudian menurun. Pilihan pengobatan meliputi pengobatan medis dan/atau

bedah atau intervensi endovaskuler.

PENANGANAN MEDIS

Saat ini, belum ada percobaab berkontrol acak (randomized controlled studie) yang

membandingkan penggunaan agen antiplatelet dengan antikoagulan. Keduanya digunakan

untuk mencegah komplikasi iskemik lebih jauh, apakah terdapat sumbatan arteri atau

stenosis, dan dengan atau tanpa peristiwa tromboembolik terkait.43 Beberapa klinisi memilih

untuk menggunakan antikoagulan jangka pendek sampai ditemukan rekanalisasi pada

pencitraan follow-up selanjutnya. Durasi yang direkomendasikan untuk antikoagulan dengan

warfarin (INR target antara 2.0 dan 3.0) berkisar mulai dari 6 minggu hingga 6 bulan. Belum

ada konsensus mengenai penggunaan heparin intravena untuk pengobatan segera. Tes

pencitraan vaskuler follow-up biasanya dilakukan setelah 3 bulan. Jika terdapat persistensi

Page 9: Bab 9 Diseksi Arteri

ketidakteraturan lumen, atay stenosis, beberapa saran dalah melanjutkan terapi antikoagulan

hingga aliran yang baik lewat area yang terkena dapat divisualisaskan, dengan penggunaan

agen antiplatelet subsekuen jika ketidakteraturan tetap ada.

Jarangkali, progresi dan penundaan sumbatan setelah diseksi diobati dengan antikoagulan

pernah dilaporkan.44 Walaupun patofisiologinya masih belum diketahui, diduga bahwa

antikoagulan, pada kasus yang jarang, dapat memperberat perdarahan intramural dan

ekspansi bekuan intramural yang diikuti penyumbatan pada segmen stenotik. Selain itu, pada

pasien yang terbukti mengidap infark serebral luas, kemungkinan komplikasi perdarahan

termasuk perdarahan intraparenkim simtomatis lebih tinggi pada mereka yang menerima

terapi antikoagulan daripada antiplatelet.

Tinjauan sistematik Cochrane sebelumnya menemukan bahwa aspirin mungkin efektif dan

lebih aman daripada antikoagulan, memberitahu diperlukannya penelitian lebih jauh karena

masih kurangnya bukti.45 Menon et al. melaporkan suatu meta-analisis atas pasien yang

menerima terapi antiplatelet atau antikoagulan untuk diseksi; tidak terdapat perbedaan

bermakna pada angka mortalitas (1,8% vs. 1,8%) atau angka stroke ipsilateral (berturut-turut

1,9% vs. 2%). Untuk gabungan endpoint TIA dan stroke, insidensinya adalah sebesar 7%

pada mereka yang diobati dengan agen antiplatelet dan 3,8% dengan antikoagulan, tetapi

perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dan tidak disesuaikan untuk perbedaan dalam

karakteristik pasien.43 Dalam suatu penelitian prospektif atas 298 pasien dengan diseksi arteri

karotis servikal spontan, 202 pasien diobati dengan antikoagulan dan 96 dengan aspirin.

Follow-up prospektif dilakukan pada bulan ketiga lewat pemeriksaan neurologis (97%) atau

waawancara telepon. Peristiwa iskemik jarang terjadi (0,3% stroke, TIA 3,4%, iskemia retina

ischemia 1%), dan tidak terdapat perbedaan bermakna di antara mereka yang diobati dengan

antikoagulan maupun aspirin. Peristiwa perdarahan juga serupa di antara kedua kelompok

(antikoagulan 2%, aspirin 1%). Peristiwa iskemik rekuren lebih sering pada pasien dengan

peristiwa iskemik pada saat onset daripada pasien dengan gejala lokal atau mereka yang

asimtomatis.46

Panduan praktik terkini dari American Heart Association/American Stroke Association

Council on Stroke menyatakan bahwa: “bagi pasien stroke iskemik atau TIA dan diseksi

arteri ekstrakranial, penggunaan warfarain selama 3-6 bulan atau penggunaan agen

antiplatelet adalah beralasan (Class IIa, Level of Evidence B). Lebih dari 3-6 bulan, terapi

antiplatelet jangka panjang beralasan pada kebanyakan pasien stroke atau TIA. Terapi

antikoagulan lebih dari 3-6 bulan dapat dipertimbankan pada pasien dengan peristiwa

iskemik rekuren (Class IIb, Level of Evidence C).”47 Pada pasien dengan diseksi intrakranial,

Page 10: Bab 9 Diseksi Arteri

pemberian antikoagulan dikotraindikasikan karena risiko pembentukan pseudoaneurisme dan

SAH yang lebih tinggi.11

TROMBOLISIS

Trombolisis intra-arteri dengan urokinase dan t-PA telah digunakan dan digambarkan pada

laporan retrospektif. Pada pasien yang datang dengan sumbatan akut terkait diseksi,

komponen trombotik lokal selalu ditemukan. Hasil dari trombolisis dapat bergantung pada

beban trombus atau keberadaan embolisasi distal. Meskipun terdapat perhatian teoretis

mengenai ekstensi hematoma intramural dengan progresi stenosis intraluminal, pembentukan

pseudoaneurisme, atau ruptur pembuluh darah, data terkini tidak mendukung adanya progresi

bermakna dari tanda atau gejala lokal, atau angka peristiwa buruk yang lebih tinggi di antara

pasien diseksi ICA yang diobati dengan trombolisis. Angka transformasi perdarahan

asimtomatis pada otak telah dilaporkan sebesar kira-kira 8%, sedangkan transformasi

perdarahan simtomatis hanya terlihat pada 2-3% pasien.43,48,49 Hanya terdapat sedikit laporan

mengenai pengguan trombolisis intra-arteri pada diseksi arteri vertebral dengan komplikasi

sumbatan basiler.23,50 Akibat kecilnya jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian, data

yang masih tidak cukup untuk menarik kesimpulan dan menyediakan rekomendasi.

Komplikasi inheren dari prosedur itu sendiri perlu diseimbangkan melawan manfaat potensial

pada dasar kasus per kasus.

PENANGANAN BEDAH

Pembedahan jarang digunakan sebagai penanganan CAD. Pilihan bedah yang tersedia

termasuk ligasi ICA dan reseksi aneurisme dengan rekonstruksi karotis dan interposisi

cangkok vena safena. Pada lesi ICA ekstrakranial distal dekat dasar tengkorak, pembedahan

bypass dari ICA servikal ke intrakranial telah dikerjakan.51 American Heart

Association/American Stroke Association Council on Stroke merekomendasikan penanganan

bedah bagi pasien yang gagal atau bukan kandidat terapi endovaskuler (Class IIb, Level of

Evidence C).47

PENDEKATAN ENDOVASKULER

Sekali pengobatan endovaskuler diputuskan, penilaian hati-hati atas karakteristik angiografis

dari diseksi dan pertimbangan klinis diperlukan.

Dalam bagian berikut kami menyajikan pertimbangan prosedural atas penanganan diseksi

CAD dan intrakranial.

SELEKSI PASIEN

Tidak terdapat kriteria yang diterima secara penuh dalam menyeleksi pasien diseksi yang

harus menjalani penanganan endovaskuler. Kebanyakan praktisi menyarankan agar gejala

Page 11: Bab 9 Diseksi Arteri

iskemik rekuren meskipun telah menerima medikasi antiplatelet atau antikoagulan sebagai

indikasi penanganan endovaskuler. American Heart Association/American Stroke

Association Council on Stroke47 merekomendasikan pertimbangan terapi endovaskuler bagi

pasien yang mengalami peristiwa iskemik rekuren definit meskipun telah menerima terapi

antitrombotik adekuat (Class IIb, Level of Evidence C). Tetapi, peristiwa iskemik rekuren

bisa jadi merupakan stroke iskemik mayor dengan angka disabilitas dan kematian yang tinggi

walaupun telah mendapat penanganan medis. Sehingga, usaha terbaru telah difokuskan untuk

identifikasi dini pasien yang berisiko mengidap peristiwa iskemik rekuren dan atas intervensi

sebelum terjadi deteriorasi. Karakteristik angiografis seperti penyumbatan atau stenosis

derajat tinggi (80% atau lebih) tanpa adanya kolateral angiografis yang kuat mungkin dapat

digunakan dalam seleksi pasien sebelum terjadi deteriorasi. Patokan lain kegagalan kolateral

seperti gangguan cadangan vasodilatasi pada pemeriksaan perfusi dapat dipakai dalam

memilih pasien untuk intervensi dini. Rincian mengenai pengukuran dan interpretasi

cadangan vasodilatasi telah dijelaskan pada Bab 6. Adanya hipoperfusi signifikan atau

penumbra besar pada difusi dan perfusi MR merupakan kriterion lain yang diajukan dalam

memilih pasien untuk pengobatan endovaskuler.52

Penelitian terbaru menduga bahwa pasien dengan diseksi arteri vertebralis bilateral mungkin

lebih berisiko mengidap iskemia refrakter dan harus dipertimbangkan untuk menerima

penanganan endovaskuler dini.

PENILAIAN MORFOLOGIS LESI

Kebanyakan diseksi ICA berawal dari region servikal tinggi dan berlanjut hingga segmen

petrosa. Klinisi harus mampu meninjau karakteristik demografis dan klinis dari pasien dan

melengkapinya dengan data angiografis. Suatu lesi yang meluas hingga lebih dari 20 mm

setelah awalnya di ICA atau melibatkan segmen distal multipel dari asalnya tidak mungkin

bersifat atherosklerotik. Arteri vertebral memiliki segmen multipel yang rentan terhadap

diseksi. Itu berjalan ke dalam foramen vertebra baik dari C5 atau C6 hingga C2 (segmen V2).

Sambungan (antarmuka mobil-terfiksir) dengan segmen proksimal (V1) dan distal (V3)

rentan terhadap diseksi. Sambungan antara arteri ekstra- dan intrakranial juga rentan terhadap

diseksi. Arteri vertebralis mungkn dapat terkena pada banyak segmen; sehingga diperlukan

pemeriksaan seluruh segmen. Keterlibatan pembuluh darah ekstrakranial lain juga dapat

menyediakan informasi diagnostik. Sehingga, diperlukan visualisasi hati-hati dari pembuluh

darah ekstrakranial lain (tinjauan teliti atas citra angiografis atau tes non-invasif lain

dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik) sebelum menjalankan prosedur

Page 12: Bab 9 Diseksi Arteri

endovaskuler apapun. Selain itu, pemeriksaan arteri renalis dapat membantu mendiagnosis

displasia fibromuskuler.

Sebaiknya dilakukan upaya untuk menentukan apakah diseksi bersifat akut atau kronis

berdasarkan atas presentasi klinis dan/atau karakteristik citra; misalnya, temuan MR berupa

trombus di dalam dinding (diamati pada diseksi akut), atau temuan angiografis seperti

pseudoaneurisme (diamati pada diseksi kronis). Pada diseksi akut, angioplasti harus dihindari

jika mungkin dan self-expanding stent saja dapat menghasilkan eksplansi lumen vaskuler

yang cukup. Pada diseksi kronis, intervensi mungkin membutuhkan angioplasti konkomitan

dengan self-expanding stent untuk hasil yang adekuat.

KARAKTERISTIK ANGIOGRAFIS TERKAIT DARI DISEKSI

Citra angiografis mula-mula harus ditinjau dengan hati-hati untuk mengidentifikasi “segmen

terdiseksi” yang dibuktikan lewat ketidakteraturan, penyumbatan, dilatasi ektatik, atau

stenosis. Luasnya segmen yang terdiseksi harus ditegaskan pada ujung proksimal dan distal

di dalam “segmen normal” pembuluh darah. Harus diperhatikan bahwa “segmen yang

terkena” dapat meluas melebihi segmen yang tampak memiliki abnormalitas angiografis

dalam satu proyeksi. Sehingga, identifikasi “segmen yang terkena” memerlukan tinjauan citra

yang didapat dari proyeksi multipel. Jangkauan distal dari “segmen yang terkena” mungkin

sukar untuk divisualisasikan karena opasifikasi kontras yang buruk di tengah adanya aliran

yang membatasi lesi dan memerlukan injeksi mikrokateter di sebelah distal dari “segmen

yang terkena” yang awalnya divisualisasikan. Diameter dari arteri pada segmen normal di

dekatnya harus diukur untuk menyesuaikan ukuran stent. Visualisasi pembuluh darah distal

untuk pengukuran hanya dimungkinkan dari injeksi mikrokateter setelah melintangi lesi.

Alternatifnya, penggunaan angiogram CT dapat menyediakan pengukuran yang lebih akurat.

Pada peristiwa hampir tersumbat atau penyumbatan atas segmen yang terdiseksi

divisualisasikan, perlu diupayakan untuk menilai segmen di sebelah distal segmen yang

terkena untuk perkiraan akurat luasnya diseksi dan patensi pembuluh darah. Visualisasi

tersebut dapat terjadi lewat pengisian retrograd dari pembuluh darah kolateral (dari arteri

vertebralis kontralateral ke dalam arteri vertebralis ipsilateral distal) atau lewat rekonstitusi

distal dari arteri anastomotik (pengisian segmen kavernosa dari arteri karotis interna lewat

pengisian retrograde arteri oftalmika). Penyumbatan arteri distal akibat embolisasi dari

segmen yang terdiseksi bukanlah hal biasa dan dapat melenyapkan manfaat dari

revaskularisasi proksimal. Penyumbatan tersebut dapat diidentifikasi selama pengisian

kontras arteri serebri media ipsilateral dari sirkulasi anterior kontralateral atau cabang arteri

basilaris dari arteri vertebralis kontralateral. Pola keseluruhan daru asupan darah untuk

Page 13: Bab 9 Diseksi Arteri

distribusi arteri dengan “segmen yang terdiseksi” harus dipahami. Keberadaan asupan

kolateral dari pembuluh darah lain harus diidentifikasi lewat injeksi kontras selektif dari

arteri-arteri terkait.

MELINTANGI LESI

Suatu selubung biasanya ditempatkan pada arteri femoralis komunis. Sebuah kateter pandu

kemudian diposisikan pada arteri karotis interna atau arteri vertebralis ipsilateral di sebelah

proksimal dari lesi (lihat Gbr. 9.6 dan 9.7). Ukuran kateter pandu harus tepat untuk

mengakomodasi sistem stent. Lesi kemudian dilintangi dengan microwire (berbentuk

konfigurasi J) dan lebih disukai dengan mikrokateter besar (2,3 F) dipandu oleh smart mask

fluoroscopic dengan perhatian teliti agar tidak memasuki lumen yang terdiseksi, yang

berisiko menyebabkan pembongkaran trombus dan embolisasi. Mikrokateter kemudian

ditempatkan di sebelah distal dari segmen yang cedera dan kontras diinjeksikan untuk

memvisualisasikan pembuluh darah distal. Penting untuk mengkonfirmasi bahwa

mikrokateter telah berada di dalam lumen sejati dari arteri untuk memverifikasi patensi

segmen distal. Microwire harus ditempatkan sedistal mungkin dengan bantuan mikrokateter

untuk memastikan adanya dukungan adekuat untuk stent yang akan dipasang. Jika microwire

tidak dapat melintangi lesi, pemberian trombolitik atau vasodilator proksimal dapat

membantu resolusi trombosis atau spasme yang menyebabkan visualisasi lumen residual.

Pembedaan antara lumen “sejati” dan “palsu” bisa sangat sulit dan istilah lumen “yang

tersedia” mungkin lebih akurat dalam menjelaskan keberadaan kanal arteri yang

menghubungkan segmen arteri proksimal dan distal yang intak.

PENEMPATAN STENT

Mikrokateter disingkirkan, microwire dibiarkan dalam posisi, dan stent dipasang di atas

microwire. Ketepatan penempatan stent yan harus dikonfirmasi menggunakan injeksi kontras

dan petunjuk tulang yang diidentifikasi pada pemeriksaan angiografi sebelumnya. Stent

diletakkan baik dengan inflasi balon (balloon mounted) atau penarikan selubung luar (self-

expanding). Self-expanding stent lebih disukai untuk menghindari cedera lebih jauh pada

segmen yang terdiseksi karena gaya radialnya lebih sedikit. Perbaikan yang menonjol pada

diameter lumen dapat diamati setelah pemasangan self-expanding stent tanpa angioplasti.

Stent yang memurnikan obat (drug-eluting) dihindari agar endotelisasi terjadi tanpa gangguan

oleh obat anti-mitotik. Jarangkali, angioplasti submaksimal (2,0-3,0 mm) diperlukan untuk

menciptakan ruangan lumen agar pemasangan stent dapat dilakukan. Diameter segmen target

yang terbesar yang memerlukan oposisi dari stent diukur. Diameter nominal stent harus

melebihi diameter pembuluh darah. Panjang stent harus dipilih untuk: (1) menutupi lesi

Page 14: Bab 9 Diseksi Arteri

secukupnya; (2) mempertimbangkan posisi ujung distal untuk menghindari pemasangan

terangulasi atau tidak dioposisi akibat uliran atau dilatasi post-stenotik; dan (3)

memperkirakan konsekuensi pemasangan ke dalam arteri karotis interna distal

(ketidakcocokkan ukuran). Aspek distal dari stent biasanya ditempatkan pada segmen petrosa

dari arteri karotis interna. Self-expanding stent tersebut kini tersedia untuk penggunaan

intrakranial. Aspek proksimal dari stent mungkin membutuhkan penempatan parsial pada

arteri karotis interna. Karena stent yang diperlukan dalam arteri karotis memerlukan selubung

pemandu berukuran 6 F bukan kateter pandu berukuran 6 F, untuk antisipasi dini pemasangan

proksimal, penempatan selubung pandu dapat dipertimbangkan. Diameter pembuluh darah

dari arteri karotis interna bisa lebih kecil daripada diameter arteri karotis komunis atau

interna proksimal. Tetapi, stent dengan diameter yang berbeda dipasang berurutan secara

tumpang tindih, untuk membereskan ketidakcocokkan ukuran.

PENEMPATA STENT MULTIPEL

Penempatan stent multipel bisa diperlukan untuk menutupi seluruh panjang segmen yang

sakit secara adekuat dan/atau membereskan ketidakcocokkan ukuran bagian distal dan

proksimal. Segmen paling distal dari diseksi harus ditutupi terlebih dahulu. Pemasangan stent

serial dari distal ke proksimal dikerjakan untuk menghindari resistensi lewatnya alat

pemasang stent lewat stent yang diletakkan di sisi proksimal. Lebih jauh lagi, manipulasi

mekanis dari stent yang diletakkan proksimal dapat mengarah pada perpindahan tempat atau

pelepasan stent. Setelah stent dipasang, pemeriksaan citra angiografis ditinjau untuk menilai

apakah diperlukan penempatan stent tambahan atau coil di sisi luar stent untuk memastikan

resolusi lesi adekuat. Stent harus saling tumpang tindih untuk menghindari adanya segmen

arteri yang tidak tertutupi. Segmen yang tidak tertutup lebih rentan mengalami restenosis atau

diseksi lebih jauh. Terkadang, mungkin terdapat resistensi terhadap pemasangan stent kedua

lewat bagian proksimal dari stent pertama. Resistensi biasanya disebabkan oleh adanya

angulasi tajam yang ditemui oleh ujung distal yang tidak lentur dari alat pemasang stent

ketika itu masuk ke dalam pembuluh darah yang relatif lurus dengan komplians terbatas

akibat bagian proksimal dari stent pertama. Merubah sudut masuk dengan memasukkan

microwire lebih jauh ke arah distal atau memasukkan kateter/selubung pandu lebih jauh

mungkin dapat membantu. Manipulasi eksternal pada leher juga dapat mengubah angulasi.

Jika resistensi terjadi karena diameter yang kecil dari stent pertama, dapat diperlukan

angioplasti sebelum percobaan ulang pemasangan stent kedua.

PENGGUNAAN AJUVAN TROMBOLITIK, ANTIPLATELET DAN

ANTIKOAGULAN

Page 15: Bab 9 Diseksi Arteri

Fenomena tromboembolik yang diakibatkan diseksi arteri karena trombogenisistas yang

diinduksi oleh stasis dan paparan subintima sering terjadi. Trombolisis intra-arteri mungkin

diperlukan secara konkomitan pada pemasangan stent untuk menangani trombosis di dalam,

atau embolisasi distal dari segmen yang terdiseksi. Trombolisis dapat dimulai setelah

mikrokateter melintangi lesi awal dan penyumbatan distal telah divisualisasikan.

Pasien mendapat aspirin (325 mg harian) dan clopidogrel (75 mg harian) sebelum, dan

heparin intravena selama prosedur dikerjakan, untuk mengurangi risiko tromboembolisme

yang berhubungan dengan prosedur. Clopidogrel dapat diberikan dalam bentuk bolus 300-

600 mg jika dosis harian belum dimulai 3 hari sebelum prosedur, untuk mencapai efek

antiplatelet optimal. Waktu koagulasi teraktivasi digunakan untuk mengawasi tingkat

antikoagulasi selama prosedur. Tingkat antikoagulasi bersifat kontroversial, tetapi dosis yang

lebih rendah (30-50 U/kg) lebih disukai jika terdapat lesi iskemik baru. Agen antiplatelet

intravena (inhibitor glycoprotein IIB/IIIA platelet) termasuk abciximab dan eptifibatide,

jarang digunakan sebagai pengobatan tambahan bersama dengan heparin intravena selama

prosedur. Saat ini, penggunaan inhibitor glikoprotein IIB/IIIA dibatasi hanya pada pasien

dengan trombus intravaskuler atau dengan defisit neurologis baru selama prosedur

(pertolongan penyelamat). Harus diperhatikan bahwa jika inhibitor glikoprotein IIB/IIIA

hendak digunakan, dosis heparin harus dikurangi untuk mempertahankan waktu koagulasi

teraktivasi di bawah 200 detik.

PSEUDOANEURISME DAN DISEKSI INTRAKRANIAL

Strategi penanganan diseksi intrakranial yang disertai defisit iskemik sangat mirip dengan

strategi yang ditekankan di atas untuk lesi arteri karotis ekstrakranial dan vertebral (lihat Gbr.

9.6 dan 9.7). Pilihan stent berbeda dan disesuaikan agar cocok dengan ukuran, fleksibilitas

dan kemudahan pemasangan. Self-expanding stent lebih disukai untuk menghindari cedera

pada arteri yang terkena. Pengobatan pseudoaneurisme dibahas baik pada bab cedera

vaskuler traumatis dan aneurisme intrakranial.

FOLLOW-UP

Aspirin (325 mg harian) dan clopidogrel (75 mg harian) diresepkan saat pasien pulang dan

berlanjut hingga periode 1-3 bulan. Kemudian, aspirin dilanjutkan sampat batas waktu

indefinit. Rincian mengenai penanganan peri-prosedural disajikan dalam Bab 4. Follow-up

klinis biasanya dijadwalkan pada bulan ke-1, ke-6 dan tahun pertama, lalu dilanjutkan dengan

interval 1 tahun. Penjaringan rutin seluruh pasien yang telah menjalani pemasangan stent

untuk diseksi tidak direkomendasikan karena prevalensi restenosis dan stroke lanjutna yang

rendah. Pemeriksaan non-invasif dapat membantu pada pasien yang mengidap penyumbatan

Page 16: Bab 9 Diseksi Arteri

lengkap akibat diseksi karena kemungkinan rekanalisasi parsial spontan aau rekonstitusi

distal via pembuluh kolateral. Penggunaan angiogram konvensional pada bulan ke-6 untuk

mendeteksi adanya pembentukan ektasia atau pseudoaneurisme pada lokasi pemasangan stent

atau diseksi. Ultrasound Doppler karotis sebagai pemeriksaan saat follow-up mungkin tidak

cukup karena itu menyediakan visualisasi terbatas dari segmen servikal tinggi. Serupa, CTA

dan MRA mungkin dibatasi oleh artefak stent.

PENGALAMAN PENGGUNAAN STENT PADA DISEKSI

Terdapat beberapa laporan serial kasus mengenai penggunaan stent pada diseksi, kebanyakan

dikerjakan pada latar terapi antikoagulan yang gagal atau dimana itu merupakan

kontraindikasi, terdapat stenosis signifikan dan perfusi MRI memperlihatkan

ketidakcocokkan yang bermakna.52-57 Secara umum, dalam serial ini, perbaikan bermakna

dalam rekanalisasi lumen dicapai hingga kurang dari 25% diameter residu, dan keluaran

yang baik tercapai pada sebagian besar pasien.

Pada satu serial atas sembilan pasien dengan diseksi intrakranial atau servikal yang refrakter

terhadap penanganan medis, self-expanding Neuroform stent dipasang (Boston Scientific,

Fremont, CA), pada tiga pasien yang menjalani stent-assisted coil embolization.58 Tidak

terdapat komplikasi terkait prosedur, tetapi dua pasien meninggal karena sekuel awal

trombosis arteri vertebro-basiler. Pada follow-up, stenosis pada stent yang tertunda terlihat

pada dua pasien, dan seluruh pasien yang bertahan memperlihatkan perbaikan klinis atau

pemulihan gejala.

Serial lain dari sepuluh pasien dengan diseksi arteri karotis traumatis dan hipoperfusi

hemisferik yang bermakna secara hemodinamika, atau jika antikoagulan merupakan suatu

indikasi, atau dimana penanganan medis gagal, pemasangan stent dilakukan.59 Rerata stenosis

berkurang dari 69% menjadi 8%. Dalam rerata follow-up selama 16 bulan, pasien tetap bebas

dari peristiwa iskemik dan tidak ada yang mengidap stenosis pada stent yang diperiksa

menggunakan ultrasound. Peneliti yang sama melaporkan pasien dengan diseksi arteri

vertebralis ekstrakranial bilateral, infark embolus multopel terjadi mendahului antikoagulasi

dan arteri vertebralis kanan dengan trombus intraluminal. Arteri vertebralis kiri dominan

direkonstruksi dengan multiple tandem balloon-mounted stent, dan arteri vertebralis

kontralateral disumbat dengan coil.56 Tambahan alat perlindungan emboli juga telah

dilaporkan pada diseksi arteri vertebralis simtomatis yang ditangani dengan angioplasti

stent.55

Page 17: Bab 9 Diseksi Arteri

Penelitian lain60 melaporkan efek klinis dan angiografis segera maupun jangka panjang dari

pasien berisiko tinggi yang datang dengan gejala iskemi, dan menjalani pemasangan stent

untuk diseksi serviko-kranial spontan.

Total sejumlah 14 pasien ditangani dengan pemasangan stent untuk diseksi yang terletak pada

lokasi berikut: arteri karotis interna intrakranial (n = 2), arteri serebri media proksimal (n =

1), arteri karotis interna ekstrakranial (n = 6), arteri vertebralis intrakranial (n = 4). Follow-up

klinis berkisar antara 26-900 hari (rerata periode 355 hari). Terdapat satu TIA (7%) dan satu

stroke iskemik minor (7%), tidak ada kematian yang diamati selama follow-up. Angka bebas

stroke adalah 93% pada 1 bulan setelah prosedur. Dua dari 14 pasien mendapat

penatalaksanaan untuk pseudoaneurisme. Untuk 12 pasien yang ditangani karena stenosis

berat post-prosedur, terdapat resolusi lengkap stenosis pada seluruhnya kecuali dua pasien.

Follow-up angiografis tersedia pada sembilan pasien, berkisar antara 26-612 hari (rerata

periode 245 hari). Tidak terdapat perubahan dalam diameter lumen pre-stent atau dengan

stent pada pemeriksaan angiografi follow-up.

KESIMPULAN

Diseksi arteri servikal merupakan penyebab umum peristiwa iskemik serebral pada dewasa

muda dengan stroke iskemik, seiring meningkatnya jumlah yang terdeteksi dengan

penggunaan pencitraan non-invasif saat ini. Trauma dan kelainan jaringan ikat merupakan

predisposisi umum yang mendasari perkembangan diseksi arteri karotis atau vertebra.

Manifestasi klinis diseksi arteri servikal memperlihatkan spektrum yang luas, dari

asimtomatis hingga nyeri terisolasi dan stroke hemisferik besar. Walaupun belum terdapat

percobaan berkontrol acak, terapi medis dengan pengobatan antikoagulan dan antiplatelet

merupakan terapi lini pertama, dimana mayoritas pasien tidak memperlihatkan gejala iskemik

rekuren dan penyembuhan arteri pada saat follow-up. Terapi endovaskuler dengan

pemasangan stent telah dilaporkan pada beberapa serial kasus kecil, dan umumnya

dipertimbangkan pada pasien yang gagal ditangani dengan terapi medis.

Tabel 9.1. Manifestasi klinis diseksi arteri

AsimtomatisNyeri

Nyeri kepala, nyeri leher, nyeri rahangSirkulasi karotis

Hemiparesis, kehilangan hemisensoris, afasia, sindrom Horner, tinitus berdenyutSistem Vertebro-basiler

Disartria, disfagia, vertigo, diplopia, dismetria, hemidnopsia, gangguan kesadaran,

Page 18: Bab 9 Diseksi Arteri

sindrom Wallenberg, tetraparesis, komaOftalmologi

Infark retina, amaurosis fugaxNeuropati kranial

IX, X, XII