BAB 4 bakal

31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, pengolahan data penelitian, dan analisis data. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari penjelasan tentang bagaimana cara mendapatkan data dan dari mana data tersebut didapat serta penjabaran mengenai analisis data penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan 4 komposter dengan 3 variasi perlakuan EM-4 dan 1 kontrol. Pencampuran bahan kompos dan penambahan aktivator EM-4 sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan. Pengomposan dilakukan dalam kondisi aerobik, campuran bahan kompos ditumpuk pada reaktor yang terbuat dari ember plastik, kemudian dilakukan penyemprotan aktivator EM-4 dengan variasi yang telah ditentukan. Pembalikan kompos dilakukan tiap dua hari sekali, karena penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dan penambahan sampah pasar pada campuran kompos akan menyebabkan kadar air dalam kompos meningkat. Sehingga pembalikan perlu dilakukan untuk mengurangi kadar air,

description

werwe

Transcript of BAB 4 bakal

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PendahuluanPada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, pengolahan data penelitian, dan analisis data. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari penjelasan tentang bagaimana cara mendapatkan data dan dari mana data tersebut didapat serta penjabaran mengenai analisis data penelitian.Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium dengan menggunakan 4 komposter dengan 3 variasi perlakuan EM-4 dan 1 kontrol. Pencampuran bahan kompos dan penambahan aktivator EM-4 sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan. Pengomposan dilakukan dalam kondisi aerobik, campuran bahan kompos ditumpuk pada reaktor yang terbuat dari ember plastik, kemudian dilakukan penyemprotan aktivator EM-4 dengan variasi yang telah ditentukan. Pembalikan kompos dilakukan tiap dua hari sekali, karena penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dan penambahan sampah pasar pada campuran kompos akan menyebabkan kadar air dalam kompos meningkat. Sehingga pembalikan perlu dilakukan untuk mengurangi kadar air, sehingga suhu pada tumpukan kompos akan meningkat dan pH netral.

4.2 Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa kegiatan pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut akan dijelaskan pada tabel 4.1 dibawah ini

Tabel 4.1 Metode dan Waktu Pemeriksaan Kualitas KomposNoParameterPeriode PengukuranMetodeAcuan

1Temperatur Setiap hari, 21 kali pengukuran Termometer Tchobanoglous et al., (2002)

2pHSetiap hari, 21 kali pengukuranAnalisa dengan pH meterSNI 06-6980.11-2004

3Kadar air1, 7, 14 dan 21GravimetriSNI 02-3769-2005

4Nitrogen (N)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21Spektrofotometri SNI 02-2803-2000

5Karbon (C)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21TitrimetriSNI 06-6989.28-2005

6Rasio C/NPengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21

7Fosfor (P)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21SpektrofotometriSNI 02-2800-1992

8Kalium (K)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

SNI 02-2805-1992

9Magnesium (Mg)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21Spektrofotometri

SNI 13-4704-1995

10Kalsium (Ca)Pengukuran karakteristik limbah dan hasil kompos hari ke-21SpektrofotometriSNI 13-4704-1995

Sumber: Olahan Peneliti, 2015

4.3Uji Pendahuluan Tujuan dari uji pendahuluan yaitu untuk mengetahui karakteristik bahan-bahan kompos yang selanjutnya akan digunakan untuk mencari komposisi variasi agar proses pengomposan berjalan dengan optimal. Hasil uji pendahuluan dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah iniTabel 4.2 Uji Pendahuluan SampelNoParameterSatuanLumpur SawitAbu BoilerSerat (fiber)SNI 19-7030-2004

1C-organik%5,49*3,65*11,259,8-32

2N-total%2,0171,3192,219> 0,4

3Rasio C/N-2,72*2,76*5,07*10-20

4P-total%0,16370,12390,1504> 0,1

5K-total%0,5090,4740,570> 0,2

6Kalsium%3,882,253,23< 25,5

7Magnesium %0,430,530,61< 0,6

8pH-6,8-7,49

9Kadar Air%57,925,3312,81< 50

10Temperatur0C25,3326,0026,00Suhu air tanah

Sumber: Olahan Peneliti, 2015Keterangan : * : Tidak memenuhi

Berdasarkan hasil uji pendahuluan diperoleh bahwa kandungan unsur karbon pada bahan baku lumpur sawit dan abu boiler belum menenuhi SNI 19-7030-2004. Unsur karbon yang terkandung dalam lumpur sawit 5,49% sedangkan pada abu boiler hanya 3,65%. Oleh karena itu perlu dilakukannya penambahan bahan baku lain untuk meningkatkan unsur karbon, karena selama proses dekomposisi mikroorganisme memerlukan sumber karbon sebagai sumber energi untuk membentuk sel-sel baru. Sumber karbon tambahan untuk proses pengomposan didapatkan dari material organik, diantaranya adalah material kayu, daun-daun kering, dan ranting. Pada penelitian ini, dilakukan penambahan bahan baku material organik berupa sampah domestik. Karena kandungan unsur karbon yang cukup tinggi pada sampah domestik mencapai 37,25% (Hidayati, 2012). Diharapkan kandungan karbon dari sampah domestik dapat meningkatkan kandungan unsur karbon pada saat proses pengomposan berlangsung.

4.4 Pengolahan Data dan Hasil Pengolahan DataData yang diolah dalam penelitian ini adalah temperatur, kadar air, pH, kadar nitrogen, kadar fosfor, kadar kalium, kadar karbon, kadar magnesium, dan kadar kalsium dari tiap-tiap komposter. Hasil pengolahan data disajikan dalam gambar dan tabel pada sub-bab dibawah ini.

4.4.1 Karbon (C)Karbon merupakan bagian penting dari material organik (Tchobanoglous et al., 2002 dalam Angga M). Sehingga karbon merupakan parameter yang penting dalam proses dekomposisi kompos. Selain itu, karbon merupakan salah satu parameter penentu kematangan kompos yang mana ketersediaan kadar karbon dibutuhkan untuk proses dekomposisi (Mehl, 2008). Menurut Pace et al., (1996), karbon diemisikan pada pengomposan dalam bentuk CO2 bersamaan dengan uap air serta energi panas. Pada penelitian ini terdapat perbedaan hasil dari pemeriksaan kadar karbon selama 21 hari proses pengomposan. Kadar karbon pada setiap tumpukan kompos mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme. Berikut ini terdapat gambar 4.1 dekomposisi karbon selama 21 hari pengomposan.

Gambar 4.1 Hasil Uji C-Organik Kompos

Berdasarkan hasil uji laboratorium diperoleh bahwa kandungan C-organik kompos dengan aktivator EM4 0,5%, 0,7% dan 0,9% telah memenuhi persyaratan SNI 19-7030-2004. Kandungan C-organik tiap variasi mengalami peningkatan, karena pada awal proses dilakukan penambahan bahan baku berupa sampah domestik. Menurut hidayati (2012) kandungan unsur karbon pada sampah domestik mencapai 37,25%. Namun pada proses pengomposan dengan campuran bahan baku lainnya unsur karbon akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi menurut Shahila (2012) karena proses penguraian karbon selama proses pengomposan yang disebabkan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme dimana karbon dikonsumsi sebagai sumber energi dengan membebaskan CO2 dan H2O untuk proses aerobik sehingga konsentrasi karbon berkurang.Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, kandungan C-organik tertinggi didapatkan pada variasi EM-4 0,7% dengan kandungan C-organik 27,22% dan kandungan terendah pada kontrol 13,93%. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan campuran EM-4 dapat menaikan kandungan karbon pada kompos, namun apabila pemberian aktivator EM-4 diatas 0,7% akan menyebabkan kandungan C-organik mengalami penurunan.

4.4.2 Nitrogen (N)Proses pengomposan dengan penambahan aktivator EM-4 akan meningkatkan kandungan N-total, karena penambahan kandungan N-total dalam tumpukan kompos selama proses pengomposan. Proses perubahan nitrogen dalam proses pengomposan terjadi karena adanya proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang menghasilkan amonia dan nitrogen yang berlebihan dan terperangkap di dalam tumpukan kompos karena pori-pori tumpukan kompos yang kecil sehingga amonia dan nitrogen yang berlebihan tidak dapat terlepas ke udara (Anggraeni, 2012). Kandungan N-total pada tumpukan kompos matang dengan aktivator EM-4 pada minggu ketiga menunjukan bahwa kandungan N-total hasil keseluruhan variasi dan kontrol yaitu 1,7 - 2,7%. Hasil penelitian memenuhi persyaratan kompos matang menurut SNI 19-7030-2004 kandungan N-total kompos matang minimum 0,4% sedangkan batas atas atau nilai maksimum untuk N-total kompos tidak ada. Nilai N-total pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 4.2 dibawah ini

Gambar 4.2 Hasil uji N-total Kompos

Pada variasi penggunaan aktivator EM-4 dapat dilihat pengaruh penggunaan EM-4 terhadap kandungan N-total. Penambahan EM-4 0,9% menunjukan hasil tertinggi dengan nilai 2,71%, sedangkan kandungan terendah terletak pada kontrol dengan nilai 1,7%. Akan tetapi, kandungan N-total berpengaruh terhadap rasio C/N karena apabila kandungan N-total terlalu melebihi baku mutu, rasio C/N akan menurun. Dari pengujian yang telah dilakukan, variasi 0,5% dengan nilai 1,93% merupakan variasi dengan nilai terbaik, karena dari pengujian sebelumnya nilai C-organik dengan variasi EM-4 0,5% adalah 26,1%. Sehingga diperoleh rasio C/N 13,45%.

4.4.3Rasio C/NRasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan. Nilai rasio C/N merupakan hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen. Jika bahan organik sedikit mengandung nitrogen maka rasio C/N terlalu tinggi, sehingga aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasikan bahan organik akan menurun, maka pengomposan akan berjalan lambat (Shahila, 2012). Kompos yang telah matang memiliki nilai rasio C/N sebesar 10-20 (SNI 19-7030-2004). Prinsip pengomposan pada umumnya adalah menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan nilai rasio C/N tanah (Tarigan, 2001). Hasil pengujian rasio C/N kompos dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini

Gambar 4.3 Hasil uji Rasio C/NPada pengujian hasil rasio C/N, diperoleh variasi aktivator EM-4 0,5 dan 0,7 % adalah 13,45 dan 10,76 hasil ini sudah memenuhi persyaratan kompos matang berdasarkan SNI 19-7030-2004 mengenai spesifikasi kompos matang adalah dalam kisaran 10-20. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan tidak berjalan dengan baik. Bahan kompos dengan rasio C/N tinggi harus dicampur dengan bahan kompos dengan rasio C/N rendah. Namun pada kontrol dan variasi EM-4 0,9% rasio C/N tidak memenuhi standar, karena nilai C-organik pada variasi aktivator EM-4 0,9% adalah 20,39% sedangkan N-total dari pengujian sebelumnya tinggi mencapai 2,7% sehingga rasio C/N yang dicapai adalah 7,5. Sama halnya dengan variasi tersebut, pada kontrol kandungan C-organik hanya 13,93% dan nilai N-total 1,7% sehingga rasio C/N adalah 8,16. Oleh karena itu hasil pada pegujian terhadap kontrol dan variasi EM-4 0,9% tidak dapat digunakan karena tidak memenuhi persyaratan kompos matang, karena rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan.

4.4.4Phosfor(P)Sumber phosfor di dalam tanah cukup banyak, akan tetapi tanaman masih bisa mengalami kekurangan phosfor. Sebagian besar phosfor terikat secara kimia oleh unsur lain sehingga menjadi senyawa yang sukar larut dalam air. Kehilangan phosfor disebabkan oleh pengikisan partikel tanah akibat erosi. Sifat pupuk phosfor sangat mudah bereaksi dengan tanah dan mudah terikat menjadi bentuk yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Anggraeni, 2012). Kandungan fosfor tergantung dari besar keberadaan unsur nitrogennya. Wahyono (2003) mengemukakan bahwa pada proses pengomposan jika nitrogen tersedia dalam jumlah yang cukup maka unsur hara lainnya juga tersedia dalam jumlah yang cukup maka unsusr lainnya itu adalah fosfor. Pada bahan organik segar biasanya nutrient fosfor terdapat dalam bentuk organik komplek yang sulit dimanfaatkan langsung oleh tanaman untuk pertumbuhan. Dekomposisi fosfor tersebut oleh mikroorganisme dapat mengubah bentuk nutrient menjadi PO42- yang mudah diserap oleh tanaman. Hasil pengujian terhadap P-total dapat dilihat pada gambar 4.4 dibawah ini

Gambar 4.4 Hasil uji P-total

Menurut Wahyono dkk (2003), pada proses pengomposan jika nitrogen tersedia dalam jumlah yang cukup maka maka unsur hara yang lainnya juga tersedia dalam jumlah yang cukup, salah satu unsurnya adalah P-total. Dalam hasil penelitian kali ini, kandungan P-total tertinggi diperoleh pada variasi EM-4 0,7% dengan nilai 0,185% sedangkan nilai terendah adalah kontrol dengan nilai 0,128%. Secara keseluruhan kandungan P-Total pada kompos matang telah sesuai standar P-total kompos matang SNI 19- 7030-2004 yang harus berada minimal 0,10%. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat dilihat pengaruh penambahan aktivator EM-4 terhadap kandungan P-total kompos. Penambahan aktivator 0,5% menaikan kandungan P-total menjadi 0,146% dibandingkan kontrol tanpa penambahan aktivator EM-4 dengan nilai 0,128%. Peningkatan ini terjadi seiring dengan penambahan aktivator hingga 0,7%, namun dengan penambahan aktivator 0,9% kandungan P-total mengalami penurunan. Sehingga diketahui pengaruh penambahan aktivator EM-4 terhadap kandungan P-total dalam kompos. 4.4.5 Kalium (K)Kalium merupakan unsur penting bagi tanaman yang berfungsi pada asimilasi zat arang. Kalium diserap dalam bentuk K+ (terutama pada tanaman muda). Zat kalium mempunyai sifat mudah larut dan hanyut, selain itu mudah difiksasi (diserap) dalam tanah (Shahila, 2012). Pada proses pengomposan kalium cenderung meningkat, namun bukan karena penambahan aktivator secara langsung. Mikroorganisme hanya bereaksi dan menguraikan bahan tersebut. Penambahan unsur makro seperti kalium adalah hasil dari penguraian mikroorganisme (Ristiawan A, 2012). Pengikat unsur kalium berasal dari hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme dalam tumpukan bahan kompos. Bahan kompos yang merupakan bahan organik segar mengandung kalium dalam bentuk organik kompleks tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Akan tetapi dengan adanya aktifitas dekomposisi oleh mikroorganisme maka organik kompleks tersebut dapat di ubah menjadi organik sederhana yang akhirnya menghasilkan unsur kalium yang dapat diserap tanaman. Hasil pengujian terhadap K-total dapat dilihat pada gambar 4.5 dibawah ini

Gambar 4.5 Hasil uji K-total

Semua variasi aktivator EM-4 dan kontrol pada hari ke-21memiliki kandungan kalium yang telah memenuhi standar kalium kompos matang menurut SNI 19-7030-2004. Hasil kalium pada minggu ketiga yaitu 0,69-0,80% , dimana semua kandungan kalium masing-masing variasi kompos matang lebih besar 0,2 % dalam batas minimal yang terdapat pada SNI 19-7030-2004. Dari hasil pengujian dapat dilihat adanya pengaruh penggunaan aktivator EM-4 terhadap kandungan K-total. Terjadi peningkatan terhadap kandungan K-total seiring dengan penambahan aktivator EM-4. Kandungan K-total tertinggi diperoleh dari variasi aktivator EM-4 0,9% dengan nilai 0,8%. Sedangkan terendah pada variasi 0,5% dengan nilai 0,69%. Oleh sebab itu, penambahan aktivator EM-4 berpengaruh nyata terhadap peningkatan kandungan K-total pada kompos.

4.4.6 Kalsium (Ca)Kalsium di dalam tanah diserap tanaman dalam bentuk Ca2+ , yang berasal dari bentuk yang dapat ditukar atau dalam bentuk larut air. Seperti kation-kation lain, Ca2+ di dalam tanah selalu dalam keseimbangan dinamis, sehingga jika bentuk larut air berkurang, misalnya karena pencucian atau penyerapan oleh tanaman maka ia akan digantikan oleh bentuk dapat ditukar. Sebaliknya apabila bentuk larut air tiba-tiba meningkat, misalnya karena pemupukan, maka keseimbangan akan berupah dengan arah berlawanan. Kelebihan kalsium menyebabkan kalsium karbonat mengendap dan pH penyangga mendekati 8, sehingga akan mengakibatkan turunnya kelarutan fosfor, besi, Mo dan Zn (Anggraeni, 2012).Pada umumnya persediaan kalsium di dalam tanah cukup besar, tetapi dengan adanya pemakaian pupuk Nitrogen, Fosofor, Kalium secara terus menerus dan penggunaan varietas yang konsumtif terhadap unsur hara menyebabkan persedian di dalam tanah menipis, yang berakibat pada tanah-tanah masam terjadi kekurangan unsur Ca (Wahyono dkk, 2003).Unsur Ca berperan dalam sintesa protein yang dibutuhkan untuk pembelahan dan pembesaran sel-sel tanaman, selain berperan dalam menetralkan asam-asam organik yang dihasilkan pada proses metabolisme tanaman, sehingga tanaman terhindar dari keracunan, dan unsur Ca dapat menaikkan pH. Hasil uji pada penelitian ini menunjukan bahwa semua variasi aktivator EM-4 dan kontrol pada hari ke-21memiliki kandungan kalsium yang telah memenuhi standar kompos matang menurut SNI 19-7030-2004. Hasil pengujian terhadap kalsium dapat dilihat pada gambar 4.6 dibawah ini

Gambar 4.6 Hasil uji Kalsium

Kandungan kalsium yang telah memenuhi standar kompos matang menurut SNI 19-7030-2004 adalah dibawah 25,5%. Namun pada penelitian ini, hasil pengukuran kalsium pada semua variasi dan kontrol berada jauh dibawah baku mutu kompos matang. Nilai kalsium tertunggi didapatakan pada kontrol dengan nilai 0,55%, sedangkan pada variasi aktivator EM-4 0,5, 0,7 dan 0,9% adalah 0,39, 0,49, dan 0,42%. Dari hasil penelitian ini, diketahui pengaruh pemberian aktivator EM-4 diatas 0,7% akan menyebabkan kandungan kalsium mengalami penurunan.

4.4.7Magnesium (Mg)Magnesium (Mg) mempunyai peranan penting bagi tanaman dalam proses metabolisme fosfat, respirasi tanaman dan aktivitas enzim, dan merupakan unsur hara makro yang penting dalam klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis. Defisiensi Mg sering terjadi terutama pada tanaman kelapa sawit muda antara lain disebabkan: pemberian pupuk Mg dalam jumlah yang kurang, kandungan Mg yang rendah di dalam tanah, keseimbangan hara K, Ca dan Mg tanah yang kurang baik dan kebutuhan tanaman yang semakin meningkat sedangkan ketersediaan unsur tersebut di dalam tanah tidak mencukupi. Kehilangan Mg akibat erosi juga merupakan salah satu penyebab munculnya gejala defisiensi. Pemberian Mg bersama-sama dengan N, P dan K pada tanaman yang mengalami defisiensi akan dapat meningkatkan produksi. Pemberian pupuk Mg dalam jumlah yang cukup dan seimbang akan dapat ineningkatkan produksi sebesar 5-7%. Hasil uji pada penelitian ini menunjukan bahwa semua variasi aktivator EM-4 dan kontrol pada hari ke-21memiliki kandungan magnesium yang telah memenuhi standar kompos matang menurut SNI 19-7030-2004. Hasil pengujian terhadap kalsium dapat dilihat pada gambar 4.7 dibawah ini

Gambar 4.7 Hasil Uji Magnesium

Kandungan magnesium yang telah memenuhi standar kompos matang menurut SNI 19-7030-2004 adalah dibawah 0,6%. Namun pada penelitian ini, hasil pengukuran magnesium pada semua variasi dan kontrol berada jauh dibawah baku mutu kompos matang. Nilai magnesium tertunggi didapatakan pada kontrol dengan nilai 0,09%, sedangkan pada variasi aktivator EM-4 0,5, 0,7 dan 0,9% adalah 0,082, 0,072, dan 0,078%. Dari hasil penelitian ini, diketahui pengaruh pemberian aktivator EM-4 akan menyebabkan kandungan magnesium mengalami penurunan.

4.4.8 TemperaturPerubahan temperatur dalam pembuatan kompos merupakan indikator apakah proses penguraian bahan organik berjalan dengan baik atau tidak. Pengamatan terhadap temperatur dilakukan selama 21 hari dengan 21 kali pengukuran. Pengukuran suhu menggunakan termometer alkohol dengan skala ketelitian 0,1. Pengukuran temperatur dilakukan dengan cara thermometer ditancapkan di dalam tiap komposter komposter selama 21 hari, agar termometer tidak terpengaruhi suhu ruangan dan tiap perubahan suhu dapat dipantau secara terus menerus. Berdasarkan suhu tersebut dapat menggambarkan tahapan pengomposan dan kematangan kompos yang berdasarkan aktivitas mikroorganisme.Hasil pemantauan pada kontrol dan variasi EM-4 0,5%, 0,7%, 0,9% dihari pertama sampai hari keempat temperatur cenderung mengalami penurunan, hal ini dikerenakan naiknya kadar air yang disebabkan terurainya sampah domestik. Suhu pada kontrol mengalami penurunan dari pengukuran hari pertama yaitu 300C, 260C, 260C, dan 250C sedangkan pada variasi EM-4 0,5% juga mengalami penurunan suhu yaitu 290C, 280C, 280C dan 27 0C. Pada variasi EM-4 0,7% penurunan suhu 300C, 280C, 280C, 270C dan pada variasi EM-4 0,9% suhu awal mencapai 290C penurunan hingga hari ke-4 stabil pada suhu 270C. Untuk menaikan suhu tumpukan kompos dilakukan proses pembalikan untuk mengurangi kadar air dalam tumpukan kompos. Proses pembalikan dilakukan secara terus menerus dengan jangka waktu dua hari sekali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.8 dibawah ini

Gambar 4.8 Perubahan Temperatur Kompos

Terlihat peningkatan suhu pada tiap komposter setelah dilakukannya proses pembalikan. Kenaikan temperatur terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik dengan oksigen sehingga menghasilkan energi dalam bentuk panas, CO2 dan uap air. Pada hari ke-5 suhu tumpukan kompos tiap komposter mengalami penaikan, pada kontrol terjadi penaikan suhu 280C dan suhu puncak yang dicapai adalah 350C pada hari ke-9, kemudian suhu berangsur turun. Pada hari ke-19 hingga hari ke-21 suhu stabil pada 260C. Sedangkan pada variasi EM-4 0,5% suhu puncak didapatkan pada hari ke-8, dengan suhu mencapai 420C, pada variasi EM-4 0,7% dan 0,9% suhu puncak yang dicapai adalah 430C pada hari ke-9 dan 390C pada hari ke-8. Setelah melalui suhu puncak, suhu tumpukan kompos menurun sampai memiliki suhu sama dengan suhu ruangan pada akhir proses pengomposan. Pada proses pengomposan temperatur akhir berkisar antara 25- 270C dengan rata-rata temperatur terendah 250C dan temperatur tertinggi 430C selama proses pengomposan. Proses pengomposan memiliki 3 fase yaitu mesofilik, termofilik dan kembali ke mesofilik. Fase mesofilik yaitu suhu 20 450C sedangkan termofilik yaitu suhu 45 750C (Tchobanoglous, 1993). Dari data tersebut dapat diketahui jika fase termofilik pada proses pengomposan tidak tercapai. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan pada skala laboratorium dengan ketinggian tumpukan sekitar 35 cm. Menurut Wahyono dkk (2003), semakin besar tumpukan, panas yang terperangkap dalam komposter semakin besar sehingga temperatur tumpukan semakin tinggi. Tumpukan yang kecil menyebabkan panas cepat hilang atau menguap. 4.4.9 pHPengamatan pH dilakukan setiap hari dengan menggunakan pH-meter digital. Pada awal pengamatan pH akan naik akibat perubahan asam - asam organik menjadi CO2 (Noor dkk, 2005) dan proses pembentukan amonia dari bahan yang mengandung nitrogen juga akan meningkatkan pH (Isroi, 2008). Pola perubahan pH pada kontrol dan variasi yang menggunakan aktivator EM4 mengalami penaikan pada awal proses, kenaikan ini disebabkan tumpukan kompos menjadi basah akibat proses degradasi bahan baku campuran kompos, yaitu sampah domestik. Untuk mengurangi kadar air agar pH tidak basa, dilakukan proses pembalikan pada hari ke-5. Setelah dilakukan pembalikan, pH kompos pada tiap reaktor mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa tingkat kelembaban kompos berpengaruh terhadap kenaikan pH. Semakin naik kadar air pada tumpukan kompos, maka pH akan naik, sedangkan saat kadar air turun pH akan mengalami penurunan hingga pH netral. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.9 dibawah ini

Gambar 4.9 Perubahan pH KomposHal ini sesuai dengan Noor, dkk (2006). Setelah menuju pH tertinggi, pH akan menurun kembali menuju netral. Pada fase ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri yaitu mengubah amonia menjadi nitrat. Pola perubahan pH telah sesuai dengan Tchobanoglous (1993). Pada proses pengomposan pH akhir berkisar antara 7,54 7,5 dengan rata-rata pH terendah 7,4 dan pH tertinggi 9,1 selama proses pengomposan. Akan tetapi pada kontrol, pH tidak memenuhi persyaratan SNI 19-7030-2004 karena pH berada sedikit diatas ambang batas sebesar 7,7. pH yang terlalu basa dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan dan mikroorganisme tanah (Isroi, 2008).

4.4.10 Kadar AirKandungan air dalam kompos merupakan salah satu parameter yang harus diuji untuk menentukan kematangan kompos. Kandungan air akhir pada tiap tumpukan kompos telah memenuhi standar kualitas kompos matang SNI 19-7030-2004 yang mensyaratkan kadar air pada kompos matang maksimal 50% tanpa ada kadar minimum yang disyaratkan. Pengukuran kadar air dilakukan menggunakan metoda Gravimetri dengan 4 pegukuran pada hari ke-1, 7, 14 dan 21. Kadar air dalam proses pengomposan harus dijaga antara 40-60%. Kondisi kadar air dibawah 40% atau kering akan menyebabkan dekomposisi berjalan lambat bahkan akan terhenti, begitu pula sebaliknya jika kadar air diatas 60% atau terlalu basah maka akan terjadi proses anaerob karena kesulitan dalam aerasi dan akan menimbulkan bau (Isroi, 2008).Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.10 dibawah ini

Gambar 4.10 Perubahan Kadar air

Hasil pengukuran kadar air minggu 1 pada aktivator EM4 menunjukkan kadar air kontrol lumpur di atas 40% yaitu 48,86% sedangkan pada variasi EM-4 kadar air diatas 50% yaitu 59,51%; 58,46%; 68,35%. Kadar air optimal dalam proses pengomposan yaitu 40 60% (Alex, 2012). Untuk menurunkan kadar air pada tiap komposter, dilakukan prose pembalikan agar proses aerasi lebih merata. Proses pembalikan dilakukan dengan jangka waktu dua hari sekali. Pada hari ke-14 dapat dilihat penurunan kadar air mencapai 6-8% pada tiap reaktor dan telah mencapai kadar air optimal. Pada saat proses pembalikan minggu pertama, tumpukan kompos mengeluarkan bau yang cukup menyengat, karena telah terbentuknya amonia. Selama proses pengomposan kadar air rata-rata awal berkisar antara 42,7 - 53,5% sedangkan pada akhir pengomposan kadar air berkisar antara 39,65 -56,14%.

HASIL UJI KOMPOSNoParameterSatuanReaktor 1(kontrol)Reaktor 2(0,5%)Reaktor 3(0,7%)Reaktor 4(0,9%)SNI 19-7030-2004

1C-organik%13,9326,1027,2220,399,8-32

2N-total%1,701,932,522,71> 0,4

3Rasio C/N-8,1613,4510,767,5010-20

4P-total%0,1280,1460,1850,165> 0,1

5K-total%0,7870,6910,72610,8022> 0,2

6Kalsium%0,5550,3910,4900,4233< 25,5

7Magnesium %0,0900,0820,0720,078< 0,6

8pH-7,77,47,57,46,8-7,49

9Kadar Air%30,2831,0329,6722,94< 50

10Temperatur0C26252525Suhu air tanah

a Gambar 2.1 dapat dilihat kadar karbon selama proses pengomposan menurun. Pada hari ke 10 kadar karbon untuk variabel 20 % dan 30 % menjadi 34,125% dan 30,225%. Pada hari ke-20 kadar karbon untuk 10% dan 20% telah turun menjadi 31,2% dan 29,25 %. Sedangkam pada variabel 0% pada hari ke 30 dengan kadar karbon sebesar 30,225 % sesuai dengan standar kompos. Kadar karbon berangsur mengalami penurunan diakibatkan kadar karbon pada bahan organik terurai menjadi CO2 dan H2O. CO2 akan menguap, sehingga kadar karbon menurun. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa penambahan starter dapat menyebabkan penurunan kadar karbon.

Bentuk kompos matang yaitu berwarna coklat kehitaman, berbentuk remah-remah dan hancur. Kompos matang tidak berbau, bau seperti bau tanah (Wahyono dkk, 2003). Semua variasi memiliki warna coklat kehitaman sedangkan kontrol lumpur memiliki warna coklat kehitaman dengan intensitas warna yang sedikit lebih terang dibandingkan sengan semua variasi. Kontrol sampah domestik, kulit bawang dan bawang merah goreng masih menyerupai bentuk aslinya, dengan demikian tidak memenuhi syarat kompos matang. Hal ini berlaku untuk aktivator EM4 maupun lumpur aktif. Berat kompos setiap kontrol dan variasi mengalami penyusutan disebabkan karena pada saat proses pengomposan terjadi perombakan bahan-bahan kompos oleh sejumlah mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut merubah bahan-bahan kompos yang berupa bahan organik menjadi produk metabolisme berupa CO2, H2O, humus dan energi. Besarnya penyusutan sejalan dengan aktivitas dekomposisi (Arlinda, 2011). Penyusutan berat kompos rata-rata aktivator EM4 sebesar 63%. Penyusutan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penyusutan berat kompos pada aktivator lumpur aktif yaitu 42%. Mikroorganisme EM4 merupakan mikroorganisme terpilih yang terdiri dari 5 golongan pokok yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp, Streptomyces sp, ragi (yeast), Actinomycetes sp (Indriani, 2011). Mikroorganisme yang terkandung dalam lumpur aktif mengandung yaitu Bacillus sp, Pseudomonas sp, Eschericia coli, Corynebacterium sp, Streptococcus sp, Alcaligenes sp, Flavobacterium sp, Micrococcus sp. Kompos pada aktivator EM4 memiliki penyusutan lebih besar dimungkinkan karena EM4 memiliki mikroorganisme terpilih yang lebih efektif untuk proses pengomposan. Pola perubahan pH pada semua kontrol dan variasi tumpukan kompos yang menggunakan aktivator EM4 mengalami penurunan pada awal proses, lalu pH meningkat setelah minggu ke-2 dan menurun menuju netral pada akhir proses. Pada awal proses pH mengalami penurunan akibat adanya aktivitas mikroorganisme yang membentuk asam asam organik. Selanjutnya pH meningkat yang disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan kompos. Hal ini sesuai dengan Noor, dkk (2006). Setelah menuju pH tertinggi, pH akan menurun kembali menuju netral. Pada fase ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri yaitu mengubah amonia menjadi nitrat. Pola perubahan pH telah sesuai dengan Tchobanoglous (1993). Perubahan pH yang agak berbeda terjadi pada kontrol sampah domestik dan bawang merah goreng. Sampah domestik cenderung memiliki pH basa (7.06 9.09) sedangkan bawang merah goreng cenderung memiliki pH asam (5,40 7,06). Pada proses pengomposan pH akhir berkisar antara 6,51 7,82 dengan rata-rata pH terendah 6,22 dan pH tertinggi 8,36 selama proses pengomposan. Pola perubahan pH pada aktivator lumpur aktif relatif sama dengan pola perubahan pH pada aktivator EM4. Pada awal prose pH turun, setelah minggu ke-2 pH akan naik sampai pada pH tertinggi, selanjutnya pH menurun menuju netral pada akhir pengomposan. Perubahan pH yang agak berbeda terjadi pada kontrol sampah domestik dan bawang merah goreng. Sampah domestik cenderung memiliki pH basa (7,04 8,90) sedangkan bawang merah goreng cenderung memiliki pH asam (4,05 7,15). Pada proses pengomposan pH akhir berkisar antara 6,32 7,72 dengan rata-rata pH terendah 6,06 dan pH tertinggi 7,78 selama proses pengomposan. pH optimal proses pengomposan yaitu 5,5 8,0 (Setyorini et al, 2008).