BAB 2 tyta

26
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sensor Kimia Suatu sensor didefinisikan sebagai perangkat atau alat yang digunakan untuk mendeteksi, mencari atau mengukur energi atau zat, member sinyal untuk pendeteksian atau pengukuran suatu sifat fisika atau kimia sebagai respon suatu perangkat (Kress et al., 1998). Untuk memenuhi syarat sebagai sensor, perangkat harus dapat memberikan output sinyal secara teru- menerus. Kebanyakan sensormengandung dua unit dasar fungsional yaitu reseptor dan tranduser. Dalam reseptor informasi fisika atau kimia diubah kadalam bentuk energy yang dapat diukur dengan tranduser. Tranduser merupakan suatu alat yang mampu mengubah informasi fisika atau kimia sampel menjadi sinyal analitik (Kuswandi, 2008). Penelitian dan perkembangan teknologi sensor hingga saat ini lebih diaplikasikan dalam biomedik dan lingkungan (Demas et al., 1999). Perkembangan peningkatan metode untuk menentukan kualitas makanan seperti kesegaran, pembusukan mikroba, ketengikan oksidatif atau oksigen dan panas yang menyebabkan kerusakan sangat penting dalam pengolahan makanan. Untuk memaksimalkan kualitas dan keamanan bahan makanan, prediksi masa simpan berdasarkan prosedur

Transcript of BAB 2 tyta

Page 1: BAB 2 tyta

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sensor Kimia

Suatu sensor didefinisikan sebagai perangkat atau alat yang digunakan

untuk mendeteksi, mencari atau mengukur energi atau zat, member sinyal untuk

pendeteksian atau pengukuran suatu sifat fisika atau kimia sebagai respon suatu

perangkat (Kress et al., 1998). Untuk memenuhi syarat sebagai sensor, perangkat

harus dapat memberikan output sinyal secara teru-menerus. Kebanyakan

sensormengandung dua unit dasar fungsional yaitu reseptor dan tranduser. Dalam

reseptor informasi fisika atau kimia diubah kadalam bentuk energy yang dapat

diukur dengan tranduser. Tranduser merupakan suatu alat yang mampu mengubah

informasi fisika atau kimia sampel menjadi sinyal analitik (Kuswandi, 2008).

Penelitian dan perkembangan teknologi sensor hingga saat ini lebih

diaplikasikan dalam biomedik dan lingkungan (Demas et al., 1999).

Perkembangan peningkatan metode untuk menentukan kualitas makanan seperti

kesegaran, pembusukan mikroba, ketengikan oksidatif atau oksigen dan panas

yang menyebabkan kerusakan sangat penting dalam pengolahan makanan. Untuk

memaksimalkan kualitas dan keamanan bahan makanan, prediksi masa simpan

berdasarkan prosedur standar pengendalian kualitas biasanya dilakukan, tetapi

membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Sedangkan untuk

pengukuran kualitas yang cepat, akurat dan murah membutuhkan upaya yang

lebih besar untuk mengidentifikasi dan mengukur indikator kimia dan fisika suatu

kualitas makanan. Kemungkinan pengembangan sensor untuk menghitung cepat

seperti indikator yang telah diketahui sebagai pendekatan penanda (Kress et al.,

2001).

2.2 Mekanisme Sensor Kimia

Sensor kimia merupakan suatu perangkat atau alat (kecil) yang mampu

mendeteksi atau menentukan konsentrasi zat kimia dalam cairan maupun gas

secara kotinyu dan memasukkan atau memindahkan informasi ini menjadi sinyal

optik maupun listrik. Sensor kimia ada bermacam-macam diantaranya sensor

elektrokimia, biosensor, dan sensor optik. Pada sensor elektrokimia terjadi

Page 2: BAB 2 tyta

interaksi antara analit dan reagen maka perubahan yang terjadi dapat dideteksi

melalui arus dan tegangan yang terjadi. Sedangkan pada biosensor reaksi antara

analit dengan reagen sangat dipengaruhi oleh kerja enzim yang sebagian besar

berfungsi sebagai katalis. Sensor optik secara umum terdiri atas dua macam yaitu

spectroscopic atau plain-fiber sensori dan transduser kimiawi. Pada jenis pertama,

serat optik berfungsi sebagai pengarah sinar (light-guide), yang mengirimkan

sinar dari sumbernya ke daerah pensensoran dan mengirimkan kembali ke

detektor. Dalam sampel, sinar berinteraksi dengan spesies kimia yang dimonitor.

Pada jenis kedua tranduser kimia dipasangkan dengan serat optik. Analit

berinteraksi dengan tranduser, dengan modulasi optik yang dihasilkan dimonitor

melalui serat optik. Sensor ini lebih banyak dikembangkan orang, disamping itu

banyak spesies analit yang tak berwarna dan non-luminisensi sehingga sensor

jenis ini lebih mudah dan cocok untuk diterapkan.

Sebuah sensor kimia yang ideal adalah sensor yang mampu berinteraksi

dengan analit secara reversibel, sehingga sinyal sensor dapat dikontrol dengan

mudah baik secara kinetik maupun termodinamik.

Sensor kimia memiliki banyak kelebihan antara lain :

1) Sensor optik bersifat pasif secara elektris. Hal ini memungkinkan sensor optik

tersebut tidak terganggu oleh medan listrik dan medan magnet, sehingga secara

intrinsik relatif aman dan dapat dioperasikan pada daerah yang mudah meledak.

2) Dapat diminiaturasi dengan mudah. Jika membuat sensor yang relatif kecil

maka sampel yang dibutuhkan juga sedikit.

3) Konstruksinya cukup kuat (tidak mudah pecah seperti pada elektroda gelas).

Disamping kelebihan yang dimiliki oleh sensor kimia, ada juga

kelemahannya yang harus diperhatikan yaitu :

1) Waktu respon yang relatif lama. Hal ini dimungkinkan karena terjadi transfer

massa antara analit dan membran yang mengandung reagen terimmobilisasi dalam

bentuk fasa yang berbeda sehingga memerlukan waktu respon yag relatif lama.

2) Terjadi photodekomposisi, photobleaching,

3) Fluktuasi sumber sinar,

4) Hilangnya signal optik (Kuswandi, 2008).

Page 3: BAB 2 tyta

2.3 Karakteristik Sensor Kimia

Karakteristik sensor digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu

membran dan reagen sebagai sensor untuk mendeteksi analit. Karakteristik sensor

ini meliputi daerah kerja, presisi, limit deteksi, selektivitas, sensitivitas dan waktu

respon.

2.3.1 Daerah Kerja

Daerah kerja sensor kimia (dynamic range) adalah daerah / range

konsentrasi untuk sensor kimia bisa mendeteksi analit, mulai dari konsentrasi

terendah dimana pengukuran dapat dilakukan (LOQ) hingga konsentrasi tertinggi.

Parameter yang digunakan adalah berdasarkan pengamatan visual dengan

mengamati perubahan warna tiap konsentrasi (Skoog et al., 2000).

2.3.2 Limit Kuantitasi dan Limit Deteksi (LOQ dan LOD)

Daerah kerja sensor kimia (dynamic range) adalah daerah/range

konsentrasi untuk sensor kimia bisa mendeteksi analit, mulai dari konsentrasi

terendah dimana pengukuran dapat dilakukan (LOQ) hingga konsentrasi tertinggi

dimana kurva kalibrasi mulai menyimpang dari kelinierannya (LOL).

LOQ = 10sbl / m……………………. (2.8)

Dimana sbl adalah standar deviasi dari sinyal blanko dan m adalah slop dari kurva

kalibrasi. Sedangakan batas deteksi atau LOD (limit of detection) dapat ditentukan

sebagai konsentrasi terkecil dari analit yang dapat dideteksi oleh sensor pada

tingkat konfidensial tertentu (biasanya pada 95%). Secara matematis penentuan

LOD dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2.1-2.4 berikut:

Sm = Savg,bl + ksbl ……………………. (2.9)

cm = (Sm - Savg,bl )/ m………………... (2.10)

cm = ksbl / m………………………...... (2.11)

Dimana Sm adalah sinyal minimum yang dapat dideteksi, Savg,bl adalah rata-

rata sinyal dari blanko, sbl adalah standar deviasi dari sinyal blanko; k adalah nilai

perkalian dari variasi dari sinyal blanko (sbl), sedangkan Cm adalah konsentrasi

minimum yang masih dapat dideteksi dan m adalah slop dari kurva kalibrasi

(Kuswandi, 2008).

Page 4: BAB 2 tyta

2.3.3 Sensitivitas

Sensitivitas suatu sensor dapat dinyatakan sebagai kemampuan suatu

sensor untuk membedakan konsentrasi analit pada konsentrasi yang sangat kecil.

Pada kurva kalibrasi, biasanya nilai sensitivitas suatu sensor dapat ditentukan dari

nilai slop yang dihasilkan (Skoog et al., 2000).

2.3.4 Presisi

Presisi secara definitif dapat dinyatakan sebagai kedekatan respon sensor

terhadap sensor lainnya untuk analit yang sama. Sering dinyatakan dalam bentuk

standar deviasi (s), baik standar deviasi relatif (RSD) maupun koefisien variasi

(CV) (Skoog et al., 2000). Presisi sensor terhadap analit dapat digolongkan baik

bila kesesuaian respon tersebut antara satu respon dengan respon lainnya yang

dinyatakan dengan standar deviasi relative (RSD) < 5%. (Cattrall, 1997).

2.3.5 Selektivitas

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang

hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya

komponen lain yang mungkin ada dalam matrik sampel. Selektivitas seringkali

dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang

dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa

cemaran, hasil urai, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil

analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan (Harmita,

2004).

2.5.6 Waktu Respon dan Waktu Pakai

Waktu respon dari suatu piranti analisis seperti sensor kimia, dapat

dinyatakan sebagai waktu antara pertama kali sensor direaksikan dengan sampel

(bisa dicelupkan atau dialirkan) dan waktu pertama kali respon sensor

menghasilkan sinyal yang stabil. Sering pula dinyatakan sebagai waktu sensor

memberikan responnya sebesar 90% (t90) dari total sinyal yang dihasilkan.

Page 5: BAB 2 tyta

Sedangkan waktu pakai sensor dapat dinyatakan sebagai waktu dimana sensor

tersebut memberikan reaksi yang sama dan stabil terhadap suatu analit pada

konsentrasi yang sama hingga waktu respon sensor tersebut terhadap analit

mengalami penurunan drastis (biasanya lebih dari 15% dari respon sensor

semula/awal) (Kuswandi, 2008).

2.4 Minyak Goreng Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis

guinensis). Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah

(pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu

lapisan luar atau kulit buah yang disebut pericarp, lapisan sebelah dalam disebut

mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit

terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio. Mesocarp

mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung

minyak sebesar 44% dan endocarp tidak mengandung minyak (Ketaren, 1986).

Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya yaitu

senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusun utamanya

adalah trigliserida dan nontrigliserida.

2.4.1 Komponen minyak kelapa sawit adalah :

1. Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit

Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas

trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak

menurut reaksi sebagai berikut (Ketaren, 1986):

Gambar 1. Struktur trigliserida

Page 6: BAB 2 tyta

Bila R = RZ = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka

trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih

asam lemak penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran (Slamet

Sudarmadji, dkk, 2003).

Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon yang setiap atom karbonnya

mengikat satu atau dua atom hidrogen kecuali atom karbon terminal mengikat tiga

atom hidrogen, sedangkan atom karbon terminal lainnya mengikat gugus

karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap

disebut asam lemak tidak jenuh dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada

rantai hidrokarbonnya karbonnya disebut dengan asam lemak jenuh. Secara umum

struktur asam lemak dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Struktur asam lemak jenuh (kanan) dan asam lemak tidak jenuh (kiri)

Semakin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida, semakin

tinggi titik beku atau titik cair minyak tersebut. Sehingga pada suhu kamar

biasanya berada pada fase padat. Sebaliknya semakin tidak jenuh asam lemak

dalam molekul trigliserida maka makin rendah titik beku atau titik cair minyak

tersebut sehingga pada suhu kamar berada pada fase cair. Minyak kelapa sawit

adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.

Berikut ini adalah tabel dari komposisi trigliserida dan tabel komposisi

asam lemak dari minyak kelapa sawit.

Tabel 1. Komposisi Trigliserida Dalam Minyak Kelapa Sawit.

Trigliserida Jumlah (%)

Tripalmitin 3-5

Dipalmito-Stearine 1-3

Oleo-miristopalmitin 0-5

Page 7: BAB 2 tyta

Oleo-dipalmitin 21-43

Oleo-palmitostearine 10-11

Palmito-diolein 32-48

Stearo-diolein 0-6

Linoleo-diolein 3-12

Sumber : Ketaren , S . 1986.

Tabel 2. Komoposisi asam lemak minyak kelapa sawit

Asam lemak Minyak kelapa sawit

(%)

Minyak inti sawit (%)

Asam kaprilat

Asam Kaprolat

Asam laurat (C12:0)

Asam miristat (C14:0)

Asam palmitat (C16:0)

Asam stearat (C18:0)

Asam Oleat (C18:1)

Asam linoleat (C18:2)

-

-

-

1,1-2,5

40-46

3,6-4,7

39-45

7-11

3-4

3-7

46-52

14-17

6,5-9

1-2,5

13-19

0,5-2

Sumber : (Kirk & Othmer 1980; Ketaren 1986).

Tabel 3. Penggolongan asam lemak minyak kelapa sawit berdasarkan ikatanrangkapnya

Asam lemak Minyak sawit (%) Minyak inti sawit (%)

Asam lemak jenuh

Oktanoat

Dekanoat

Laurat

-

-

1

2-4

3-7

41-55

Page 8: BAB 2 tyta

Miristat

Palmitat

Stearat

1-2

32-47

4-10

14-19

6-10

1-4

Asam lemak tidak jenuh

Oleat

Linoleat

Linolenat

38-50

5-14

1

10-20

1-5

1-5

Sumber : Majalah Sasaran No.4, 1996

2. Senyawa Non Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit

Selain trigliserida masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah kecil.

Yang termasuk senyawa non trigliserida ini antara lain: motibgliserida, diglisrida,

fosfatida, karbohidrat, turunan karbonidrat, protein, bahan-bahan berlendir atau

getah (gum) dan zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau

yang tidak diinginkan (Pitoyo, 1988).

Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasanya disebut

dengan proses penyabunan) beberapa senyawa non trigliserida ini dapat

dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang disebut dengan senyawa yang tak

tersabunkan seperti tercantum dalam tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Senyawa yang tidak Tersabunkan dalam Minyak Sawit.

Senyawa % ppm

Karotenoida

α – karotenoida

β – karotenoida

γ – karotenoida

Likopene

Xantophyl

36.2

54.4

3.3

3.8

2.2

500-700

Tokoperol

Page 9: BAB 2 tyta

α – tokoperol

γ – tokoperol

δ – tokoperol

Σ + Ҕ + tokoperol

35

35

10

20

500-800

Sterol

Kolesterol

Kompesterol

Stigmasterol

β - sitosterol

4

21

21

63

Mendekati

300

Phospatida

Alkohol Total

Triterpenik alkohol

Alifatik alkohol

80

26

Mendekati

800

Sumber : Jakobsberg. 1969. (11)

2.4.2 Sifat Fisika – Kimia

Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau, flavor,

kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling poin), titik pelunakan,

slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan

(turbidity point) titik asap, titik nyala dan titik api.

Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah

proses pemucatan karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Bau dan

flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam

lemak berantai pendek akibat kerusakaan minyak. Sedangkan bau khas minyak

kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit

berada dalam nilai kisaran suhu karena minyak kelapa sawit mengandung

beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair berbeda-beda.

Tabel 5. Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit

Sifat Minyak sawit kasar Minyak sawit murni

Page 10: BAB 2 tyta

Titik cair : awal

Akhir

Bobot jenis 15˚C

Indeks bias D 40˚C

Bilangan penyabunan

Bilangan Iod

Bilangan Reichert Meissl

Bilangan polenske

Bilangan Krichner

Bilangan Bartya

21 - 24

26 - 29

0,859 – 0,870

36,0 - 37,5

224 – 249

14,5 – 19,0

5,2 – 6,5

9,7 – 10,7

0,8 – 1,2

33

29,4

40,0

46 – 49

196 – 206

46 – 52

-

-

-

-

Sumber : Ketaren, 2008

2.4.3 Perubahan Sifat Fisika Kimia Minyak Selama Proses Penggorengan

Masalah perubahan sifat fisiko kimia minyak selama penggorengan telah

menjadi perhatian para ahli teknologi pangan. Hal ini terkait dengan proses

penggorengan yang melibatkan suhu tinggi yang dapat menurunkan mutu minyak

dan bahan pangan yang digoreng. Ada perubahan besar yang terjadi selama proses

deep fat frying, yaitu: (1) perubahan fisik, seperti transfer komponen air dari

dalam bahan ke minyak goreng, penguapan air bahan, migrasi minyak ke dalam

bahan atau sebaliknya, (2) perubahan kimia sebagai pengaruh dari suhu dan

migrasi air dari bahan pangan ke minyak, dan (3) interaksi kimia antara minyak

goreng dengan komponen alami dari bahan yang digoreng. Menurut Gebhardt

(1996), dalam proses perubahan sifat fisiko kimia minyak ada tiga hal utama yang

mempercepat proses perubahan tersebut, yaitu (1) keberadaan komponen air di

dalam bahan pangan yang digoreng yang dapat menyebabkan reaksi hidrolisis

minyak, (2) oksigen dari atmosfer yang dapat mempercepat reaksi oksidasi

minyak, dan (3) suhu proses yang sangat tinggi yang berdampak pada percepatan

proses kerusakan minyak. Skema reaksi-rekasi yang terjadi selama proses deep fat

frying dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 11: BAB 2 tyta

Proses perubahan minyak akibat pemanasan (penggorengan) dapat

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3. Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses deep fat frying (Quaglia dan

Bucarelli, 2001)

Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan

mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam

minyak, seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat

pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan kekentalan,

peningkatan kandungan asam lemak bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan

kenaikan kandungan urea adduct forming esters. Selain itu, dapat pula dilihat

terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan kandungan asam lemak tak

jenuh.

Page 12: BAB 2 tyta

Menurut Hawson (1995), minyak yang digunakan untuk proses

penggorengan akan mengalami empat perubahan besar, yaitu: (1) perubahan

warna, (2) oksidasi, (3) polimerasi, dan (4) hidrolisis. Pembentukan flavor yang

menyimpang juga sering terjadi pada minyak yang telah digunakan selama proses

penggorengan. Reaksi kimia ketengikan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi ketengikan pada minyak (Anonim, 2002)

2.4.4 Reaksi Kimia Terkait Ketengikan Minyak

Penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan, yaitu :

1. Ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity)

2. Ketengikan oleh enzim (enzymatic rancidity)

3. Ketengikan oleh proses hidrolisa (hidrolitic rancidity)

Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan

bau sebelum terjadi proses ketengikan yang dikenal sebagai reversion. Beberapa

peneliti berpendapat bahwa hal ini khas pada minyak atau lemak. Reversion

terutama dijumpai dalam lemak di pasaran dan pada pemanggangan atau

penggorengan dengan menggunakan suhu yang terlalu tinggi.

Ketengikan berbeda dengan reversion. Beberapa minyak atau lemak

mudah terpengaruh untuk menjadi tengik tetapi akan mempunyai daya tahan

terhadap peristiwa reversion, misalnya pada minyak jagung. Perubahan flavor

yang terjadi selama reversion berbeda untuk setiap jenis minyak. Sedangkan

minyak yang telah menjadi tengik akan menghasilkan flavor yang sama untuk

semua jenis minyak atau lemak. Bilangan peroksida yang sangat tinggi dapat

Minyak + O2

Aldehid & hidrokarbonCahaya, logam-laogamOksidasi primer

Panas

Hidroperoksida

ketonKetengikan / Off flavors

Oksidasi sekunder

Page 13: BAB 2 tyta

menjadi indikasi ketengikan minyak atau lemak, tetapi bilangan peroksida ini

tidak mempunyai hubungan dengan peristiwa reversion. (Ketaren, 1986).

1. Ketengikan oleh oksidasi

Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya 13actor13 rasa tengik

yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam

lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan

radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh 13actor-faktor yang dapat

mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,

logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin,

hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase.

Gambar 5. Reaksi Hidroperoksida Molekul-Molekul Lemak yang Mengandung

Radikal Asam Lemak Tidak Jenuh

Page 14: BAB 2 tyta

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh

mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut

disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.

Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang

terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah atom karbon lain yang

mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi

sehingga membentuk radikal bebas.

Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat

membentuk hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan mudah pecah menjadi

senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi

panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek

ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile

dan menimbulkan bau tengik pada lemak. (FG Winarno, 1992).

2. Ketengikan oleh enzim

Bahan pangan berlemak dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu,

merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan jamur. Jamur tersebut

mengeluarkan enzim, misalnya enzim lipo clastic dapat meguraikan trigliserida

menjadi asam lemak bebas dan gliserol. (Ketaren, 1986)

Enzim peroksida dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga

terbentuk peroksida. Disamping itu enzim peroksida dapat mengoksidasi asam

lemak jenuh pada ikatan karbon atom β, sehingga membentuk asam keton dan

akhirnya metil keton, dengan reaksi sebagai berikut :

Gambar 6. Reaksi Ketengikan Minyak oleh Enzim

3. Ketengikan oleh hidrolisa

Dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan diubah menjadi

bermacam-macam asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat

Page 15: BAB 2 tyta

mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak ini terjadi karena adanya kandungan

air dalam minyak atau lemak, yang pada akhirnya menyebabkan ketengikan

dengan perubahan rasa dan bau pada minyak tersebut.

Gambar 7. Reaksi Hidrolisa Minyak (Schwitzer, 1957).

Reaksi hidrolisis di atas terjadi dengan 3 tahapan sebagai berikut :

Gambar 8. Reaksi Hidrolisis Minyak Goreng (Casimir & Min, 1999

dalam Kurniasari 2005)

Minyak yang telah mengalami beberapa kali proses penggorengan akan

mengalami perubahan warna. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh proses

oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak bersumber dari tanaman

hijau, maka zat klorofil yang berwarna hijau turut terekstraksi bersama minyak

dan klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak mengakibatkan minyak

berwarna gelap (Nurhida, 2004).

Pigmen coklat biasanya hanya terdapat pada minyak yang berasal dari bahan

yang telah busuk atau memar. Hal ini dapat terjadi karena reaksi molekul

Page 16: BAB 2 tyta

karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul

protein dan yang disebabkan oleh karena aktivitas enzim-enzim seperti phenol

oxidase, poliphenol oxidase dan sebagainya (Ketaren, 1986).

2.4.5 `Standart Mutu Minyak Kelapa Sawit yang Siap Dipasarkan

Untuk menentukan apakah mutu minyak itu termasuk baik atau tidak

diperlukan standard mutu. Ada beberapa faktor yang menentukan standard mutu

yaitu: kandungan air dan kotoran dalam minyak kandungan asam lemak bebas

(ALB), warna dan bilangan peroksida. Faktor lain yang mempengaruhi standar

mutu adalah titik cair kandungan gliserida, refining loss, plastisitas dan

supreadability, kejernihan kandungan logam berat dan bilangan penyabunan.

Standar mutu Special Prime Bleach (SPB) dibandingkan dengan mutu

ordinari dapat dilihat dalam tabel 4.

Tabel 4 : Standart Mutu SPB Dan Ordinary

Kandungan SPB Ordinary

Asam lemak bebas (%)

Kadar air (5)

Pengotoran (%)

Besi (ppm)

Tembaga (ppm)

Bilangan iodium

Karotena (ppm)

Tokoperol (ppm)

Pemucatan : merah (R)

Kuning (y)

1 –2

< 0,1

< 0,02

< 10

0,5

53 + 1,5

+ 500

+ 800

< 2,0

20

3 – 5

< 0,1

< 0,01

< 10

0,2

45 - 56

500 - 700

400 - 600

< 3,5

35

Sumber : Jacobsberg, 1969

Page 17: BAB 2 tyta

2.5 Prussian Blue

Prussian Blue atau yang disebut juga dengan ferric (III) heksasianoferrat

adalah zat pewarna yang memiliki daya pereduksi. Memiliki rumus kimia yaitu

Fe4 [Fe (CN)6]3 dan berat molekul 859, 3 Dalton.

Prussian Blue dapat disintesis secara kimia dengan mencampurkan feeric dan

ion heksasianoferat dengan perbedaan oxidation state dari atom Fe contohnya

Fe3 + [FeII(CN)6]47 atau Fe2 + [FeIII(CN)6]37. Setelah melakukan

pencampuran, dapat dihasilkan formasi immediate berupa koloid yang berwarna

biru tua atau biru gelap yang kemudian disebut sebagai Prussian blue. (Karyakin

et al., 200)

Gambar 10. Struktur Prussian Blue