BAB 2 tyta
-
Upload
agisty-anggun -
Category
Documents
-
view
84 -
download
2
Transcript of BAB 2 tyta
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sensor Kimia
Suatu sensor didefinisikan sebagai perangkat atau alat yang digunakan
untuk mendeteksi, mencari atau mengukur energi atau zat, member sinyal untuk
pendeteksian atau pengukuran suatu sifat fisika atau kimia sebagai respon suatu
perangkat (Kress et al., 1998). Untuk memenuhi syarat sebagai sensor, perangkat
harus dapat memberikan output sinyal secara teru-menerus. Kebanyakan
sensormengandung dua unit dasar fungsional yaitu reseptor dan tranduser. Dalam
reseptor informasi fisika atau kimia diubah kadalam bentuk energy yang dapat
diukur dengan tranduser. Tranduser merupakan suatu alat yang mampu mengubah
informasi fisika atau kimia sampel menjadi sinyal analitik (Kuswandi, 2008).
Penelitian dan perkembangan teknologi sensor hingga saat ini lebih
diaplikasikan dalam biomedik dan lingkungan (Demas et al., 1999).
Perkembangan peningkatan metode untuk menentukan kualitas makanan seperti
kesegaran, pembusukan mikroba, ketengikan oksidatif atau oksigen dan panas
yang menyebabkan kerusakan sangat penting dalam pengolahan makanan. Untuk
memaksimalkan kualitas dan keamanan bahan makanan, prediksi masa simpan
berdasarkan prosedur standar pengendalian kualitas biasanya dilakukan, tetapi
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Sedangkan untuk
pengukuran kualitas yang cepat, akurat dan murah membutuhkan upaya yang
lebih besar untuk mengidentifikasi dan mengukur indikator kimia dan fisika suatu
kualitas makanan. Kemungkinan pengembangan sensor untuk menghitung cepat
seperti indikator yang telah diketahui sebagai pendekatan penanda (Kress et al.,
2001).
2.2 Mekanisme Sensor Kimia
Sensor kimia merupakan suatu perangkat atau alat (kecil) yang mampu
mendeteksi atau menentukan konsentrasi zat kimia dalam cairan maupun gas
secara kotinyu dan memasukkan atau memindahkan informasi ini menjadi sinyal
optik maupun listrik. Sensor kimia ada bermacam-macam diantaranya sensor
elektrokimia, biosensor, dan sensor optik. Pada sensor elektrokimia terjadi
interaksi antara analit dan reagen maka perubahan yang terjadi dapat dideteksi
melalui arus dan tegangan yang terjadi. Sedangkan pada biosensor reaksi antara
analit dengan reagen sangat dipengaruhi oleh kerja enzim yang sebagian besar
berfungsi sebagai katalis. Sensor optik secara umum terdiri atas dua macam yaitu
spectroscopic atau plain-fiber sensori dan transduser kimiawi. Pada jenis pertama,
serat optik berfungsi sebagai pengarah sinar (light-guide), yang mengirimkan
sinar dari sumbernya ke daerah pensensoran dan mengirimkan kembali ke
detektor. Dalam sampel, sinar berinteraksi dengan spesies kimia yang dimonitor.
Pada jenis kedua tranduser kimia dipasangkan dengan serat optik. Analit
berinteraksi dengan tranduser, dengan modulasi optik yang dihasilkan dimonitor
melalui serat optik. Sensor ini lebih banyak dikembangkan orang, disamping itu
banyak spesies analit yang tak berwarna dan non-luminisensi sehingga sensor
jenis ini lebih mudah dan cocok untuk diterapkan.
Sebuah sensor kimia yang ideal adalah sensor yang mampu berinteraksi
dengan analit secara reversibel, sehingga sinyal sensor dapat dikontrol dengan
mudah baik secara kinetik maupun termodinamik.
Sensor kimia memiliki banyak kelebihan antara lain :
1) Sensor optik bersifat pasif secara elektris. Hal ini memungkinkan sensor optik
tersebut tidak terganggu oleh medan listrik dan medan magnet, sehingga secara
intrinsik relatif aman dan dapat dioperasikan pada daerah yang mudah meledak.
2) Dapat diminiaturasi dengan mudah. Jika membuat sensor yang relatif kecil
maka sampel yang dibutuhkan juga sedikit.
3) Konstruksinya cukup kuat (tidak mudah pecah seperti pada elektroda gelas).
Disamping kelebihan yang dimiliki oleh sensor kimia, ada juga
kelemahannya yang harus diperhatikan yaitu :
1) Waktu respon yang relatif lama. Hal ini dimungkinkan karena terjadi transfer
massa antara analit dan membran yang mengandung reagen terimmobilisasi dalam
bentuk fasa yang berbeda sehingga memerlukan waktu respon yag relatif lama.
2) Terjadi photodekomposisi, photobleaching,
3) Fluktuasi sumber sinar,
4) Hilangnya signal optik (Kuswandi, 2008).
2.3 Karakteristik Sensor Kimia
Karakteristik sensor digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu
membran dan reagen sebagai sensor untuk mendeteksi analit. Karakteristik sensor
ini meliputi daerah kerja, presisi, limit deteksi, selektivitas, sensitivitas dan waktu
respon.
2.3.1 Daerah Kerja
Daerah kerja sensor kimia (dynamic range) adalah daerah / range
konsentrasi untuk sensor kimia bisa mendeteksi analit, mulai dari konsentrasi
terendah dimana pengukuran dapat dilakukan (LOQ) hingga konsentrasi tertinggi.
Parameter yang digunakan adalah berdasarkan pengamatan visual dengan
mengamati perubahan warna tiap konsentrasi (Skoog et al., 2000).
2.3.2 Limit Kuantitasi dan Limit Deteksi (LOQ dan LOD)
Daerah kerja sensor kimia (dynamic range) adalah daerah/range
konsentrasi untuk sensor kimia bisa mendeteksi analit, mulai dari konsentrasi
terendah dimana pengukuran dapat dilakukan (LOQ) hingga konsentrasi tertinggi
dimana kurva kalibrasi mulai menyimpang dari kelinierannya (LOL).
LOQ = 10sbl / m……………………. (2.8)
Dimana sbl adalah standar deviasi dari sinyal blanko dan m adalah slop dari kurva
kalibrasi. Sedangakan batas deteksi atau LOD (limit of detection) dapat ditentukan
sebagai konsentrasi terkecil dari analit yang dapat dideteksi oleh sensor pada
tingkat konfidensial tertentu (biasanya pada 95%). Secara matematis penentuan
LOD dapat dihitung sesuai dengan persamaan 2.1-2.4 berikut:
Sm = Savg,bl + ksbl ……………………. (2.9)
cm = (Sm - Savg,bl )/ m………………... (2.10)
cm = ksbl / m………………………...... (2.11)
Dimana Sm adalah sinyal minimum yang dapat dideteksi, Savg,bl adalah rata-
rata sinyal dari blanko, sbl adalah standar deviasi dari sinyal blanko; k adalah nilai
perkalian dari variasi dari sinyal blanko (sbl), sedangkan Cm adalah konsentrasi
minimum yang masih dapat dideteksi dan m adalah slop dari kurva kalibrasi
(Kuswandi, 2008).
2.3.3 Sensitivitas
Sensitivitas suatu sensor dapat dinyatakan sebagai kemampuan suatu
sensor untuk membedakan konsentrasi analit pada konsentrasi yang sangat kecil.
Pada kurva kalibrasi, biasanya nilai sensitivitas suatu sensor dapat ditentukan dari
nilai slop yang dihasilkan (Skoog et al., 2000).
2.3.4 Presisi
Presisi secara definitif dapat dinyatakan sebagai kedekatan respon sensor
terhadap sensor lainnya untuk analit yang sama. Sering dinyatakan dalam bentuk
standar deviasi (s), baik standar deviasi relatif (RSD) maupun koefisien variasi
(CV) (Skoog et al., 2000). Presisi sensor terhadap analit dapat digolongkan baik
bila kesesuaian respon tersebut antara satu respon dengan respon lainnya yang
dinyatakan dengan standar deviasi relative (RSD) < 5%. (Cattrall, 1997).
2.3.5 Selektivitas
Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang
hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya
komponen lain yang mungkin ada dalam matrik sampel. Selektivitas seringkali
dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang
dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa
cemaran, hasil urai, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil
analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan (Harmita,
2004).
2.5.6 Waktu Respon dan Waktu Pakai
Waktu respon dari suatu piranti analisis seperti sensor kimia, dapat
dinyatakan sebagai waktu antara pertama kali sensor direaksikan dengan sampel
(bisa dicelupkan atau dialirkan) dan waktu pertama kali respon sensor
menghasilkan sinyal yang stabil. Sering pula dinyatakan sebagai waktu sensor
memberikan responnya sebesar 90% (t90) dari total sinyal yang dihasilkan.
Sedangkan waktu pakai sensor dapat dinyatakan sebagai waktu dimana sensor
tersebut memberikan reaksi yang sama dan stabil terhadap suatu analit pada
konsentrasi yang sama hingga waktu respon sensor tersebut terhadap analit
mengalami penurunan drastis (biasanya lebih dari 15% dari respon sensor
semula/awal) (Kuswandi, 2008).
2.4 Minyak Goreng Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis
guinensis). Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah
(pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu
lapisan luar atau kulit buah yang disebut pericarp, lapisan sebelah dalam disebut
mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit
terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio. Mesocarp
mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung
minyak sebesar 44% dan endocarp tidak mengandung minyak (Ketaren, 1986).
Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya yaitu
senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusun utamanya
adalah trigliserida dan nontrigliserida.
2.4.1 Komponen minyak kelapa sawit adalah :
1. Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit
Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas
trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak
menurut reaksi sebagai berikut (Ketaren, 1986):
Gambar 1. Struktur trigliserida
Bila R = RZ = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka
trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih
asam lemak penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran (Slamet
Sudarmadji, dkk, 2003).
Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon yang setiap atom karbonnya
mengikat satu atau dua atom hidrogen kecuali atom karbon terminal mengikat tiga
atom hidrogen, sedangkan atom karbon terminal lainnya mengikat gugus
karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan rangkap
disebut asam lemak tidak jenuh dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap pada
rantai hidrokarbonnya karbonnya disebut dengan asam lemak jenuh. Secara umum
struktur asam lemak dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Struktur asam lemak jenuh (kanan) dan asam lemak tidak jenuh (kiri)
Semakin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida, semakin
tinggi titik beku atau titik cair minyak tersebut. Sehingga pada suhu kamar
biasanya berada pada fase padat. Sebaliknya semakin tidak jenuh asam lemak
dalam molekul trigliserida maka makin rendah titik beku atau titik cair minyak
tersebut sehingga pada suhu kamar berada pada fase cair. Minyak kelapa sawit
adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.
Berikut ini adalah tabel dari komposisi trigliserida dan tabel komposisi
asam lemak dari minyak kelapa sawit.
Tabel 1. Komposisi Trigliserida Dalam Minyak Kelapa Sawit.
Trigliserida Jumlah (%)
Tripalmitin 3-5
Dipalmito-Stearine 1-3
Oleo-miristopalmitin 0-5
Oleo-dipalmitin 21-43
Oleo-palmitostearine 10-11
Palmito-diolein 32-48
Stearo-diolein 0-6
Linoleo-diolein 3-12
Sumber : Ketaren , S . 1986.
Tabel 2. Komoposisi asam lemak minyak kelapa sawit
Asam lemak Minyak kelapa sawit
(%)
Minyak inti sawit (%)
Asam kaprilat
Asam Kaprolat
Asam laurat (C12:0)
Asam miristat (C14:0)
Asam palmitat (C16:0)
Asam stearat (C18:0)
Asam Oleat (C18:1)
Asam linoleat (C18:2)
-
-
-
1,1-2,5
40-46
3,6-4,7
39-45
7-11
3-4
3-7
46-52
14-17
6,5-9
1-2,5
13-19
0,5-2
Sumber : (Kirk & Othmer 1980; Ketaren 1986).
Tabel 3. Penggolongan asam lemak minyak kelapa sawit berdasarkan ikatanrangkapnya
Asam lemak Minyak sawit (%) Minyak inti sawit (%)
Asam lemak jenuh
Oktanoat
Dekanoat
Laurat
-
-
1
2-4
3-7
41-55
Miristat
Palmitat
Stearat
1-2
32-47
4-10
14-19
6-10
1-4
Asam lemak tidak jenuh
Oleat
Linoleat
Linolenat
38-50
5-14
1
10-20
1-5
1-5
Sumber : Majalah Sasaran No.4, 1996
2. Senyawa Non Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit
Selain trigliserida masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah kecil.
Yang termasuk senyawa non trigliserida ini antara lain: motibgliserida, diglisrida,
fosfatida, karbohidrat, turunan karbonidrat, protein, bahan-bahan berlendir atau
getah (gum) dan zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau
yang tidak diinginkan (Pitoyo, 1988).
Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasanya disebut
dengan proses penyabunan) beberapa senyawa non trigliserida ini dapat
dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang disebut dengan senyawa yang tak
tersabunkan seperti tercantum dalam tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Senyawa yang tidak Tersabunkan dalam Minyak Sawit.
Senyawa % ppm
Karotenoida
α – karotenoida
β – karotenoida
γ – karotenoida
Likopene
Xantophyl
36.2
54.4
3.3
3.8
2.2
500-700
Tokoperol
α – tokoperol
γ – tokoperol
δ – tokoperol
Σ + Ҕ + tokoperol
35
35
10
20
500-800
Sterol
Kolesterol
Kompesterol
Stigmasterol
β - sitosterol
4
21
21
63
Mendekati
300
Phospatida
Alkohol Total
Triterpenik alkohol
Alifatik alkohol
80
26
Mendekati
800
Sumber : Jakobsberg. 1969. (11)
2.4.2 Sifat Fisika – Kimia
Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau, flavor,
kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling poin), titik pelunakan,
slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan
(turbidity point) titik asap, titik nyala dan titik api.
Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah
proses pemucatan karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Bau dan
flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam
lemak berantai pendek akibat kerusakaan minyak. Sedangkan bau khas minyak
kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionone. Titik cair minyak sawit
berada dalam nilai kisaran suhu karena minyak kelapa sawit mengandung
beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair berbeda-beda.
Tabel 5. Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit
Sifat Minyak sawit kasar Minyak sawit murni
Titik cair : awal
Akhir
Bobot jenis 15˚C
Indeks bias D 40˚C
Bilangan penyabunan
Bilangan Iod
Bilangan Reichert Meissl
Bilangan polenske
Bilangan Krichner
Bilangan Bartya
21 - 24
26 - 29
0,859 – 0,870
36,0 - 37,5
224 – 249
14,5 – 19,0
5,2 – 6,5
9,7 – 10,7
0,8 – 1,2
33
29,4
40,0
46 – 49
196 – 206
46 – 52
-
-
-
-
Sumber : Ketaren, 2008
2.4.3 Perubahan Sifat Fisika Kimia Minyak Selama Proses Penggorengan
Masalah perubahan sifat fisiko kimia minyak selama penggorengan telah
menjadi perhatian para ahli teknologi pangan. Hal ini terkait dengan proses
penggorengan yang melibatkan suhu tinggi yang dapat menurunkan mutu minyak
dan bahan pangan yang digoreng. Ada perubahan besar yang terjadi selama proses
deep fat frying, yaitu: (1) perubahan fisik, seperti transfer komponen air dari
dalam bahan ke minyak goreng, penguapan air bahan, migrasi minyak ke dalam
bahan atau sebaliknya, (2) perubahan kimia sebagai pengaruh dari suhu dan
migrasi air dari bahan pangan ke minyak, dan (3) interaksi kimia antara minyak
goreng dengan komponen alami dari bahan yang digoreng. Menurut Gebhardt
(1996), dalam proses perubahan sifat fisiko kimia minyak ada tiga hal utama yang
mempercepat proses perubahan tersebut, yaitu (1) keberadaan komponen air di
dalam bahan pangan yang digoreng yang dapat menyebabkan reaksi hidrolisis
minyak, (2) oksigen dari atmosfer yang dapat mempercepat reaksi oksidasi
minyak, dan (3) suhu proses yang sangat tinggi yang berdampak pada percepatan
proses kerusakan minyak. Skema reaksi-rekasi yang terjadi selama proses deep fat
frying dapat dilihat pada Gambar 3.
Proses perubahan minyak akibat pemanasan (penggorengan) dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3. Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses deep fat frying (Quaglia dan
Bucarelli, 2001)
Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan
mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam
minyak, seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat
pemanasan dapat diamati dari perubahan warna, kenaikan kekentalan,
peningkatan kandungan asam lemak bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan
kenaikan kandungan urea adduct forming esters. Selain itu, dapat pula dilihat
terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan kandungan asam lemak tak
jenuh.
Menurut Hawson (1995), minyak yang digunakan untuk proses
penggorengan akan mengalami empat perubahan besar, yaitu: (1) perubahan
warna, (2) oksidasi, (3) polimerasi, dan (4) hidrolisis. Pembentukan flavor yang
menyimpang juga sering terjadi pada minyak yang telah digunakan selama proses
penggorengan. Reaksi kimia ketengikan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi ketengikan pada minyak (Anonim, 2002)
2.4.4 Reaksi Kimia Terkait Ketengikan Minyak
Penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan, yaitu :
1. Ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity)
2. Ketengikan oleh enzim (enzymatic rancidity)
3. Ketengikan oleh proses hidrolisa (hidrolitic rancidity)
Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan
bau sebelum terjadi proses ketengikan yang dikenal sebagai reversion. Beberapa
peneliti berpendapat bahwa hal ini khas pada minyak atau lemak. Reversion
terutama dijumpai dalam lemak di pasaran dan pada pemanggangan atau
penggorengan dengan menggunakan suhu yang terlalu tinggi.
Ketengikan berbeda dengan reversion. Beberapa minyak atau lemak
mudah terpengaruh untuk menjadi tengik tetapi akan mempunyai daya tahan
terhadap peristiwa reversion, misalnya pada minyak jagung. Perubahan flavor
yang terjadi selama reversion berbeda untuk setiap jenis minyak. Sedangkan
minyak yang telah menjadi tengik akan menghasilkan flavor yang sama untuk
semua jenis minyak atau lemak. Bilangan peroksida yang sangat tinggi dapat
Minyak + O2
Aldehid & hidrokarbonCahaya, logam-laogamOksidasi primer
Panas
Hidroperoksida
ketonKetengikan / Off flavors
Oksidasi sekunder
menjadi indikasi ketengikan minyak atau lemak, tetapi bilangan peroksida ini
tidak mempunyai hubungan dengan peristiwa reversion. (Ketaren, 1986).
1. Ketengikan oleh oksidasi
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya 13actor13 rasa tengik
yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam
lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan
radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh 13actor-faktor yang dapat
mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,
logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin,
hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase.
Gambar 5. Reaksi Hidroperoksida Molekul-Molekul Lemak yang Mengandung
Radikal Asam Lemak Tidak Jenuh
Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh
mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut
disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida.
Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang
terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah atom karbon lain yang
mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi
sehingga membentuk radikal bebas.
Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat
membentuk hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan mudah pecah menjadi
senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi
panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek
ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatile
dan menimbulkan bau tengik pada lemak. (FG Winarno, 1992).
2. Ketengikan oleh enzim
Bahan pangan berlemak dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu,
merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan jamur. Jamur tersebut
mengeluarkan enzim, misalnya enzim lipo clastic dapat meguraikan trigliserida
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. (Ketaren, 1986)
Enzim peroksida dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga
terbentuk peroksida. Disamping itu enzim peroksida dapat mengoksidasi asam
lemak jenuh pada ikatan karbon atom β, sehingga membentuk asam keton dan
akhirnya metil keton, dengan reaksi sebagai berikut :
Gambar 6. Reaksi Ketengikan Minyak oleh Enzim
3. Ketengikan oleh hidrolisa
Dalam reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan diubah menjadi
bermacam-macam asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat
mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak ini terjadi karena adanya kandungan
air dalam minyak atau lemak, yang pada akhirnya menyebabkan ketengikan
dengan perubahan rasa dan bau pada minyak tersebut.
Gambar 7. Reaksi Hidrolisa Minyak (Schwitzer, 1957).
Reaksi hidrolisis di atas terjadi dengan 3 tahapan sebagai berikut :
Gambar 8. Reaksi Hidrolisis Minyak Goreng (Casimir & Min, 1999
dalam Kurniasari 2005)
Minyak yang telah mengalami beberapa kali proses penggorengan akan
mengalami perubahan warna. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh proses
oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak bersumber dari tanaman
hijau, maka zat klorofil yang berwarna hijau turut terekstraksi bersama minyak
dan klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak mengakibatkan minyak
berwarna gelap (Nurhida, 2004).
Pigmen coklat biasanya hanya terdapat pada minyak yang berasal dari bahan
yang telah busuk atau memar. Hal ini dapat terjadi karena reaksi molekul
karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul
protein dan yang disebabkan oleh karena aktivitas enzim-enzim seperti phenol
oxidase, poliphenol oxidase dan sebagainya (Ketaren, 1986).
2.4.5 `Standart Mutu Minyak Kelapa Sawit yang Siap Dipasarkan
Untuk menentukan apakah mutu minyak itu termasuk baik atau tidak
diperlukan standard mutu. Ada beberapa faktor yang menentukan standard mutu
yaitu: kandungan air dan kotoran dalam minyak kandungan asam lemak bebas
(ALB), warna dan bilangan peroksida. Faktor lain yang mempengaruhi standar
mutu adalah titik cair kandungan gliserida, refining loss, plastisitas dan
supreadability, kejernihan kandungan logam berat dan bilangan penyabunan.
Standar mutu Special Prime Bleach (SPB) dibandingkan dengan mutu
ordinari dapat dilihat dalam tabel 4.
Tabel 4 : Standart Mutu SPB Dan Ordinary
Kandungan SPB Ordinary
Asam lemak bebas (%)
Kadar air (5)
Pengotoran (%)
Besi (ppm)
Tembaga (ppm)
Bilangan iodium
Karotena (ppm)
Tokoperol (ppm)
Pemucatan : merah (R)
Kuning (y)
1 –2
< 0,1
< 0,02
< 10
0,5
53 + 1,5
+ 500
+ 800
< 2,0
20
3 – 5
< 0,1
< 0,01
< 10
0,2
45 - 56
500 - 700
400 - 600
< 3,5
35
Sumber : Jacobsberg, 1969
2.5 Prussian Blue
Prussian Blue atau yang disebut juga dengan ferric (III) heksasianoferrat
adalah zat pewarna yang memiliki daya pereduksi. Memiliki rumus kimia yaitu
Fe4 [Fe (CN)6]3 dan berat molekul 859, 3 Dalton.
Prussian Blue dapat disintesis secara kimia dengan mencampurkan feeric dan
ion heksasianoferat dengan perbedaan oxidation state dari atom Fe contohnya
Fe3 + [FeII(CN)6]47 atau Fe2 + [FeIII(CN)6]37. Setelah melakukan
pencampuran, dapat dihasilkan formasi immediate berupa koloid yang berwarna
biru tua atau biru gelap yang kemudian disebut sebagai Prussian blue. (Karyakin
et al., 200)
Gambar 10. Struktur Prussian Blue