BAB 1, BAB 2
-
Upload
indah-maulana-sari -
Category
Documents
-
view
269 -
download
0
description
Transcript of BAB 1, BAB 2
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kejadian penyakit kanker usus besar ( kolon ) dan rektum cukup tinggi di dunia
termasuk di Indonesia. Sayangnya perhatian masyarakat awam terhadap kanker ini masih minim.
Karsinoma kolon merupakan kanker ketiga yang paling umum pada laki-laki dan perempuan di
Amerika Serikat. Menurut World Health Organization pada April 2003 melaporkan terdapat
lebih dari 940.000 kasus baru karsinoma kolorektal dan hampir 500.000 kematian dilaporkan di
seluruh dunia setiap tahunnya. 3
Usus besar adalah bagian dari saluran cerna yang berfungsi untuk penyerapan air. Usus ini
berhubungan dengan rektum di bagian ujungnya yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara dari feses ( tinja ) yang selanjutnya akan dibuang melalui anus. Dibandingkan
penyakit jantung koroner , penyakit keganasan atau kanker usus besar ( kolon ) dan rektum
kurang populer dan kurang menjadi perhatian masyarakat awam. Padahal angka kejadiaanya
cukup tinggi, apalagi diikuti dengan makin bertambahnya usia harapan hidup, penyakit-penyakit
degeneratif seperti kanker juga akan semakin meningkat. 2
Penderita karsinoma kolon biasanya datang pada dokter sudah dalam keadaan lanjut, oleh
karena itu sudah menjadi tugas dokter untuk mendeteksi karsinoma kolon-rektum dalam stadium
dini, sehingga prognosis penyakit ini menjadi lebih baik. Manifestasi klinis dari keganasan
kolorektal sangat bervariasi tergantung dari tempat dimana lesi berada, apakah di kanan atau kiri
kolon. Namun yang paling sering terjadi adalah perubahan kebiasaan pola buang air besar.
Karena banyak kanker adalah asimptomatik sampai mencapai stadium yang lanjut, jelas
bermanfaat untuk mendiagnosis kanker tersebut dangan menggunakan pengujian diagnostik
skrining dan spesifik untuk pasien yang dicurigai menderita kanker kolon-rektum atau mereka
yang berada dalam risiko tinggi karena kondisi predisposisi atau riwayat keluarga.1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kolon dan Rektum
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel
selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan
submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa
membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae.
Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu
plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot
sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin
disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat
berpindah pindah atau menghilang. 2,4
Gambar 1 : Anatomi kolon dan rektum
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi cabang-
cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri ileocolica,
arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri
ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior,
sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan
retroperitoneal kecuali arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon
transversum dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti
pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior
yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke Lnn. ileocolica, Lnn.
colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn. mesenterica inferior. Kemudian
mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis. 3,4
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra
sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah
ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens
ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal
abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon
ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica
superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di
sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi
daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang
mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian
caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica
media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri
mesenterica superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior. 2,5
Gambar 2 : Arteri Mesenterica Superior
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon transversum
sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut radix mesokolon
transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli dextra. Lapisan cranial
mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut ligamentum gastro (meso)
colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi
pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari mesokolon transversum inilah yang
menyebabkan letak dari colon transversum sangat bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis. 1,2
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai fossa
iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya dinding
ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat
hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra
dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal, dan
terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel
pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya
didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui
aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya
ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada
aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri
sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena
yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena
haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta
melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain
menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan
vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta
misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum
mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan
percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki
huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus. 5
Gambar 3 : Lapisan otot dari kolon
Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut tenia* (tenia;
taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan
berbentuk seperti sakulus* (sakulus; saculus=saccus kecil; saccus=kantong), yang disebut
haustra*(haustra; haustrum=bejana). Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesenterium.
2.2 Fisiologi Kolon
Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan dimana fungsi
rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni flora normal, motilitas
usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.
1. Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh tercampur oleh cairan
biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian besar nutrien, dan juga beberapa cairan
garam empedu yang tersekresi ke lumen. Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit
terabsorpsi oleh usus halus akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit,
nitrogen, dan energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora
normal yang ada. 5
Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri sebanyak 1011 sampai 1012
bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak adalah bakteri anaerob dengan spesies yang
terbanuak dari kelas Bacteroides (1011 sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan
bakteri spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna
untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolism bilirubin,
asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk
menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat
menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan dapat menyebabkan
sepsis inta-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi kolektomi. 5
2. Urea Recycling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia dan sebagian besar
mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal bakteri pada ususnya kaya akan
enzim urease. Kondisi patologis urea yang paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak
mampu menggunakan kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-
brain barrier dan menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan menyebabkan koma
hepatik. 3,5
3. Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk kedalam kolon
perharinya mencapai 1000 – 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon hanya sekitar 100 – 150
mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L
natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses hanya tersisa 25 – 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, n-butirat akan
teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia tidak bisa
menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya
dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat
antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga
menyebabkan diare. 4
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon menyerap asam
empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari ileus terminalis, sehingga
membuat kolon menjadi bagian sirkulasi enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di
kolon melewati batas, bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang
terkonjugasi akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris
atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah hemikolektomi sebagai fenomena
transien dan lebih permanen reseksi ileus ekstensif.
4. Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon dapat dibagi
menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan rektum. Kolon dextra
merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan sekum sebagai segmen kolon yang
memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon bagian kiri merupakan tempat penyimpanan
sementara dan dehidrasi feses. Transit pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf
parasimpatis mensuplai kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat
mencapai kolon akan membentuk beberapa pleksus;pleksus subserosa, pleksus myenterika
(Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa. 3,4
Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah kanan, gelombang
antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd sehingga isi dari usus terdorong
kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh
kontraksi tonis, sehingga terpisah-pisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass
peristaltic, merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis. 4
2.3 Definisi Karsinoma Kolon
Neoplasma atau tumor adalah suatu massa abnormal dari sebuah jaringan akibat dari
pertumbuhan atau pembelahan yang abnormal dari suatu sel. Tumor dapat memiliki sifat jinak
(benign), potensi ganas (malignan) atau ganas.
Dalam hal ini, tumor kolon berarti terdapatnya suatu massa abnormal di dalam kolon atau
usus besar, berarti tidak hanya kolon saja namun juga appendix dan rektum. Massa tersebut dapat
bersifat jinak atau ganas, dan dapat menyebabkan gejala atau tidak menyebabkan gejala. 4
2.4 Epidemiologi
Karsinoma kolon adalah penyebab kematian kedua akibat karsinoma. Kemungkinan
mengidapnya adalah 1 dalam 17, Insidennya berkurang 2 peratus setahun sejak 1985 hingga
1995 tetapi baru-baru ini peratusannya meningkat kembali. Ini menunjukkan keberhasilan
deteksi awal melalui program skrining.
Tumor terjadi ditempat yang berada dalam colon, kira-kira pada bagian :
26 % pada caecum dan ascending colon
10 % pada transfersum colon
15 % pada desending colon
20 % pada sigmoid colon
30 % pada rectum
Insiden karsinoma kolon menunjukkan variasi geografik. Negara industri kecuali Jepang
mempunyai insiden tertinggi. Manakala Negara Amerika Selatan dan China mempunyai angka
kejadian yang relative rendah. Ini disebabkan oleh perbedaan diet antara negara berkenaan dan
faktor lingkungan
Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi belum ada angka
yang pasti berapa insiden karsinoma kolon. Sjamsuhidajat (1986) dari evaluasi data-data di
Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000 penduduk.2 Tirtosugondo (1986) untuk
Kodya Semarang. Kira-kira 152.000 orang di amerika serikat terdiagnosa karsinoma Colon pada
tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama (ACS
1993). Sebagian besar klien pada karsinoma Colon mempunyai frekuensi yang sama antara laki-
laki dan perempuan. Karsinoma pada colon kanan biasanya terjadi pada wanita dan Ca pada
rektum biasanya terjadi pada laki-laki. Insidennya meningkat sesuai dengan usia (kebanyakan
pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun) dan makin tinggi pada individu dengan riwayat
keluarga yang mengalami karsinoma kolon. 5,6
2.5 Etiologi (Faktor Resiko)
Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar merupakan hal yang
penting untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor risiko.
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal, dengan insidens yang
meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus). Umur ini dijadikan dasar rasionalitas
untuk melakukan skrining pada orang dengan gejala yang asimptomatis. Namun kanker
kolorektal dapat terjadi pada seluruh usia, maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus,
perdarahan rektum, melena, anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka
diperlukan pemeriksaan yang lebih mendetail. 6
2. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat keluarga yang
pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang lebih luas terhadap
pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini. Karena pertimbangan medikolegal
dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik
jika memang ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal. 3,6
3. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan faktor
diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat sebuah hipotesis
bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker. Diet yang tinggi unsaturated
fatty acid atau polyunsaturated fatty acid meningkatkan risiko kanker kolorektal, sedangkan diet
yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak
meningkatkan resiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik
langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna.
Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium,
selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker
kolorektal. Studi ini menjadi dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal
dengan cara mengatur diet dan gaya hidup. 1,2
4. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk terkena kanker
kolorektal. Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kronis akan membuat perubahan
struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna dan hal ini juga dipengaruhi dengan
derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak
2% setelah 10 tahun, 8% setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah
sinistra tanpa alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah. Akibatnya, pasien dengan
kolitis direkomendasikan agar diperiksa kolonoskopi dengan biopsy mukosa acak 8 tahun setelah
terdiagnosis pankolitis dan 12 – 15 tahun kemudian pada pasien dengan pankolitis sinistra. 1,6
5. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama ketika merokok
lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga mempunyai peningkatan faktor
risiko adenoma maupun karsinoma. Akromegali, dimana terjadi peningkatan growth hormone
dan insulin-like growth factor I, juga menambah faktor risiko.
2.6 Klasifikasi Karsinoma Kolon
1. POLIP EPITELIAL NON-NEOPLASTIK
Mayoritas polip intestinal muncul secara sporadik dan frekuensinya meningkat seiring
bertambahnya waktu.
A. Polip Hiperplasia
Polip epitelial ini biasanya memiliki diameter kurang dari 5 mm. Mereka ditemukan di
dalam rectum dan sigmoid seringkali pada puncak lipatan mukosa dan valvula. Biasanya polip
ini muncul secara multipel, bila hanya satu maka penderita tidak akan merasakan gejalanya.
Pada pemeriksaan endoskopik, mereka berwarna seperti mukosa rektum. Pada penelitian,
bahwa sel yang membentuk polip hyperplasia memiliki jangka hidup yang lebih panjang
dibanding sel-sel mukosa lain yang berdekatan. Polip-polip hiperplasia secara kasat mata tidak
memiliki potensi malginansi.
Pada penelitian, sensitifitas dalam mendeteksi adenoma sekitar 69%, sedang spesifitasnya
(akurat-tidaknya diagnosis polip hiperplasia) adalah 86%. Satu dari polip hiperplasia multipel
harus diangkat untuk mengetahui sifat sesungguhnya dari tumor tersebut. 6
B. Hamartomas
Hamartoma adalah jaringan normal yang tidak tersusun dengan teratur atau dengan
semestinya. Hamartoma dapat muncul secara sporadik atau diikuti oleh autosomal dominant
juvenile polyposis syndrome.
- Juvenile polyps
Juvenile polyp (congenital polyp, retention polyp, juvenile adenoma) biasanya
muncul pada anak-anak dibawah umur 10 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi dibanding
pada perempuan. Adalah tumor yang paling sering terjadi pada anak-anak. 80% tumor
muncul di rectum, namun bisa saja menyebar di seluruh kolon. Polip ini biasanya
berdiameter lebih dari 1 cm. Polip tampak kistik dengan ruangan berisi mukus.
Diagnosis dikonfirmasi dengan mengambil polip yang direseksi dan diperiksa
histologinya. Pada kasus juvenile polyp, seluruh kolon sebaiknya dieksplorasi. Juvenile
polyp tidak bersifat neoplasia ataupun dalam kondisi premaligna. 7
- Juvenile polyposis syndrome
Adalah kondisi yang tidak umum dimana juvenile polyp muncul multipel tidak
hanya di kolon namun juga di saluran usus halus. Sekitar 20-50% pasien memiliki
riwayat keluarga dengan diagnosis yang sama. Juvenile polyp yang soliter memiliki
kemungkinan rekuren < 20%, pada kasus familial mendekati 90%. Gejala dapat berupa
hematochezia, anemia defisiensi besi, hipoproteinemia, dan hipokalemia. Ada juga
manifestasi ekstrakolon yang kongenital dan didapat seperti makrosefali, alopesia,
pembengkakan tulang, bibir sumbing (labioschisis), glomerulonefritis akut, pelvis renalis
dan ureter ganda, undesensus testis, uterus dan vagina bifida. Bentuk fatal dari juvrnile
polyposis pada bayi dikarakterisasi dengan diare yang berlebihan, enteropati yang
mengakibatkan kehilangan protein, perdarahan dan prolapsus recti. Bentuk juvenile ini
sangat jarang, biasanya muncul dengan disertai oleh neoplasma yang benign atau
maligna. Kasus ini biasanya muncul pada masa anak-anak.
Semua juvenile polyp sebaiknya direseksi dengan kolonoskopi, terutama Juvenile
polyposis syndrome karena berpotensi premaligna. Bila polip terlalu banyak maka
restorative proctocolectomy dengan kantung ileal dapat dipertimbangkan. Follow-up
berkala dengan kolonoskopi dan endoskopi saluran cerna atas dapat diperhitungkan. 6,7
- Peutz-Jeghers’ polyps
Peutz-Jeghers’ polyps pada sindroma Peutz-Jegher’s (penyakit autosomal dominan)
muncul soliter atau multipel. Polip multipel ini tersebar di seluruh saluran gastro-
intestinal, disertai mukosa melanotik, pigmentasi kutaneus disekitar bibir, mukosa mulut,
wajah, genitalia dan permukaan palmar tangan.
Pada sindroma ini, kemungkinan polip ini muncul di usus halus adalah 100%, pada kolon
30%, pada gaster 25%. Diagnosis sindroma ini berdasarkan riwayat keluarga, pigmentasi
kulit dan gejala gastrointestinal. Gejala yang paling umum adalah nyeri abdomen akibat
obstruksi (baik akibat polip itu sendiri atau intususepsi). Perdarahan rektal adalah gejala
umum lainnya. Pemeriksaan kontras dan endoskopi menunjukkan luas penyakit, sedang
hasil histology menunjukkan lesi dengan proses hamartomatosa atau malformasi sel
dibandingkan dengan gambaran neoplasma. Peutz-Jeghers’ polyps yang soliter dapat
direseksi dengan kolonoskopi. Fokus organ sesuai dengan prevalensi frekuensi polip ini
adalah usus halus dan duodenum. Polip usus halus dapat direseksi saat laparotomi dengan
menggunakan endoskopi atau enterotomi. Pendekatan agresif untuk reseksi endoskopik
dibenarkan karena frekuensi tumor yang berkurang seiring bertambahnya usia. Reseksi
usus dapat diperhitungkan dengan indikasi restriktif.
Juvenile polyps sendiri tidak memiliki potensi maligna, namun pada pasien
dengan penyakit ini memiliki peningkatan resiko berkembangnya karsinoma pankreas,
payudara, paru, ovarium dan uterus. Adenokarsinoma gastrointestinal pada penyakit ini
muncul dari lesi adenomatosa yang potensial, bukan berasal dari polip juvenile. Lokasi
yang paling umum adalah kolon dan rektum. 7
C. Polip Inflamatorik
Polip inflamatorik (pseudo-polip) mewakili tonjolan kecil dari inflamasi mukosa yang
sedang mengalami regenerasi yang dikelilingi oleh ulserasi. Jenis ini terlihat pada pasien yang
mengalami inflamasi usus jangka panjang (colitis ulseratif atau penyakit Crohn).
D. Polip Limfoid
Polip limfoid (hiperplasia limfoid, limfoma benigna) adalah polip jinak yang fokal atau
difus yang muncul secara tipikal dimana sekelompok folikel-folikel limfoid muncul di ileum
terminalis atau rectum. Pada hasil radiografi, polip limfoid muncul dengan ciri-ciri lesi polipoid
yang kecil, seragam terlokalisasi atau generalisata. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi akan
mengkonfirmasi sifat polip. Polip ini terdiri dari jaringan limfoid yang cukup terdiferensiasi. Lesi
pada rektal memiliki gejala yang tidak jelas, sedangkan pada kolon gejala dapat tampak sebagai
perdarahan, nyeri abdomen, perubahan sifat pencernaan, dan intususepsi terutama pada anak-
anak. 5.7
2. POLIP EPITELIAL NEOPLASTIK
A. Adenoma
Adenoma adalah neoplasma yang paling sering ditemui. Sesuai definisi, adenoma adalah
lesi benigna yang berhubungan dengan perkembangan kanker invasif. Ada 3 jenis adenoma
kolon, yaitu: tubular, vilosa, dan campuran.
Adenoma tubular adalah yang tersering; sekitar 5-10% adenoma jenis tubulovillous dan
hanya 1% yang villous. Adenoma muncul sebagai hasil dari displasia proliferatif. Lesi
premaligna atau karsinoma in situ dapat muncul dari ketiga bentuk ini. Karsinoma in situ adalah
bentuk preinvasif dari neoplasia stadium tinggi tanpa bukti mikroskopik bahwa invasi sudah
melewati membrana basalis. Resiko maligna dari polip adenomatosa berhubungan dengan
ukuran polip, arsitektur histologis, dan keparahan displasia epitel. Jarang sekali adenoma tubular
dengan besar < 1cm bersifat invasif. Displasia yang parah sering ditemukan pada daerah yang
villosa, dan biasanya ukuran akan berlipat ganda setelah 10 tahun.
B. Adenoma tubular
Setengah dari adenoma tubular ditemukan di rektosigmoid dan munculnya satu per satu.
Pemeriksaan histologis memperlihatkan struktur kelenjar atau kistik di submukosa.
C. Adenoma villosa
Adenoma villosa sering ditemukan di rektum dan sigmoid. Berbentuk seperti kembang kol.
Resiko kanker sebesar 40% (tinggi) pada adenoma dengan besar > 4cm.
D. Adenoma tubulo-vilosa
Adenoma ini menunjukkan keadaan pertengahan antara lesi tubular dan vilosa. Resiko
perkembangan menjadi karsinoma tergantung dari besar atau luas dari daerah yang villous dari
lesi. 3,7
2.7 Patofisiologi
1. Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen,
dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan
dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-
onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-
onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat
pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini
dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada
pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi
kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus
sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen
gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu
tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan
siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui
tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak
sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan
masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi.
Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang
sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak
berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa
kendali dan karsinogenesis dimulai. 2,4
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.
Gambar : Adenoma Carcinoma Sequences
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna ; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous
adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular
adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.2
Gambar : Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous polip
berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa.
Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur.
Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong
sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.
Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker
kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7
fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang
lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada
5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk dysplasia sedang
dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.
Gambar : Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari
sebuah villous adenoma. 2,7
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
a. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari
pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien
ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan
keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan
18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi
dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan
kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8
tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang
dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia
yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan
bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia
mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi. 4,7
3. Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker
kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Gambar : Ulseratif Colitis
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien
dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang
terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah
biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah
dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik
pasien dengan crohn’s disease. 4,5
Gambar : Penyakit Crohn’s
4. Faktor Genetik
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker
kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya. 1
5. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun
terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi
antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat
meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan
dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal
epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak
dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil
dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan
aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal
epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal. 1,3
6. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari
20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran
besar.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan
energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi
telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko
kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas
fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma. 1,4
7. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61%
dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per
tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada
sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,
terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal
muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan
337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5%.
Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia
diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki
kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia
saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia
dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54
tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun
sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
2.8 Stadium Karsinoma
Derajat keganasan karsinoma kolon berdasarkan gambaran histolik dibagi menurut
klasifikasi Dukes, berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus, yaitu :
Dukes A : dalamnya infiltrasi; terbatas pada dinding usus atau mukosa.
Dukes B : dalam infiltrasi; menembus lapisan muskularis mukosa.
Dukes C : dalamnya infiltrasi metastasi kelenjar limfe dengan :
C1 : beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer.
C2 : dalam kelenjar limfe jauh.
Dukes D : sudah metastasis jauh
Berdasarkan besar diferensiasi sel, terdapat klasifikasi yang terdiri dari 4 tingkat, yaitu :
Grade I : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25%
Grade II : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25-50%
Grade III : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 50-75%
Grade IV : Sel-sel anaplastik lebih dari 75%
Menurut Klasifikasi TNM kanker kolon dapat dibagi menjadi:
T – Tumor primer
Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 - Tidak ada tumor primer
T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa
T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria
T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang tidak
dilapisi peritoneum atau perirektal
T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral
N – Kelenjar limfe regional
Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N2 - Metastasis di ≥ 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
M – Metastasis jauh
Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - tidak ada metastasis jauh
M1 - terdapat metastasis jauh
Klasifikasi karsinoma kolon menurut DUKES:
Harapan hidup pasien dengan kanker kolon bergantung pada derajat penyebaran saat pasien
datang. Prognosis pasien berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon,
keterlibatan KGB regional atau metastasis jauh, penyebaran lokal yang dapat menyebabkan
perlekatan dengan struktur yang tak dapat diangkat, dan derajat histologi yang tinggi.. Prognosis
yang buruk juga terjadi pada pasien dengan usia muda, menderita kanker koloid, dan
menunjukkan gejala obstruksi atau perforasi. 5,7
2.9 Gejala Klinis
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya
sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang paling sering
dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematosezia dan
konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagaia
bagian dari komplikasi seperti obstruksi. Perdarahan invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon
biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran
lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial awalnya ditandai
dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan menimbulkan nausea, muntah,
distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan
mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada
sebagian kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah
tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi besi.
Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan
obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi.
Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi
akibat invasi tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat
menimbulkan nyeri perut, ikterus dan hipertensi portal. 4
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di dalam usus
besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih besar daripada
daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair. Tumor yang terletak di usus bagian
kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh
mengelilingi usus. Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di kolon kanan
tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang tidak enak atau
kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan kehilangan darah
kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah kiri cenderung keras
dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan
massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang penting.
Di samping itu pasien dapat mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits),
memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas, dengan darah
gelap atau darah merah yang melapisi permukaan feses.1
Gambaran klinis kanker kolorektal tergantung pada tempat tumor. Sekitar seperempat
tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan kolon desenden relatif jarang
terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada kolon sigmoid dan rektum. Gejala
berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi:
1. Kolon kanan
a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda obstruksi usus
kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi. Foto polos abdomen
memperlihatkan dilatasi usus kecil. 2
b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak mempunyai gejala
yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka memberikan riwayat anemia dan
penurunan berat badan akibat perdarahan gastrointestinal samar. Gejala yang kompleks ini
memberikan kemungkinan karsinoma lambung, tetapi karsinoma kolon kanan (yang seharusnya
lebih membutuhkan terapi) seringkali terlewatkan. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya
massa yang dapat dipalpasi dalam fossa iliaka kanan. Apakah ini ada atau tidak, seluruh kolon
harus diperiksa dengan kolonoskopi atau pada pemeriksaan barium enema. 1
2. Kolon kiri
a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasiendatang dengan lesi pada kolon kiri
datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita perforasi dengan abses perikolik
atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering obstruksi usus besar. Sejauh ini penyebab paling
umum dari obstruksi usus besar adalah karsinoma, penting untuk menyingkirkan penyebab lain
yang mungkin dapat ditangani dengan terapi konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat
diindikasikan pada semua kasus obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi derajat obstruksi
dan untuk mendiagnosis pseudo-obstruksi yang tidak membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi
darurat telah dianjurkan sebagai alternatif dari pemeriksaan barium enema. 5
b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan pasien yang
datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat, diare atau berubah-ubah
antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan darah bersama feses dan mengeluh nyeri
atau rasa tidak enak pada abdomen bawah. Penurunan berat badan umum ditemukan dan pada
umumnya merupakan tanda yang buruk. Karsinoma kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi
abdomen. 5,6
3. Karsinoma rektum
Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien gawat darurat.
Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin terdapat perubahan kebiasaan
defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi yang belum selesai dengan keinginan defekasi
yang berulang-ulang, tetapi yang keluar hanya lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal
biasanya dapat dilihat dengan sigmoidoskopi. 2
2.10 Pendekatan Diagnosis
A. Anamnesis
Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala biasanya muncul saat
perjalanan penyakit sudah lanjut. Pasien dengan karsinoma kolon biasanya mengeluh rasa tidak
enak, kembung, tidak bisa flatus, sampai rasa nyeri diperut. Didapatkan juga perubahan
kebiasaan buang air besar berupa diare atau sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah dan
lendir. Buang air besar yang disertai dengan darah dan lendir biasanya dikeluhkan oleh pasien
dengan karsinoma kolon bag i an p roks ima l . Ha l i n i d i s ebabkan ka rena da r ah
yang d ike lua rkan o l eh ka r s i noma tersebut sudah bercampur dengan
feses. Ge j a l a umum l a in yang d ike luhkan o l eh pasien berupa kelemahan, kehilangan
nafsu makan dan penurunan berat badan. 1
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak menolong dalam menegakkan diagnosis.T u mor
kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi abdomen, bila teraba menunjukkan keadaan yang
sudah lanjut. Bila tumor sudah metastasis ke hepar akan teraba hepar yang noduler dengan
bagian yang keras dan yang kenyal. Asites biasa didapatkan jika tumor sudah metastasis
ke peritoneal. Perabaan limfonodi inguinal, iliaka, dan supraklavikular penting untuk
mengetahui ada atau tidaknya metastasis ke limfonodi tersebut. Pada pasien yang diduga
menderita karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher. B i l a l e t a k t u m o r
a d a d i r e k t u m a t a u r e k t o s i g m o i d , a k a n teraba massa maligna (keras dan
berbenjol-benjol dengan striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras dan
kenyal. Biasanya pada sarung tangan akan terdapat lendir dan darah. 6
C. Pemeriksaan penunjang
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat
sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan
sangat berguna.
2. Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru oleh
oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan
adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet.
Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari
hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses,
Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati
dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan akan
menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak
berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi
keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood dalam menurunkan
mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker
kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut. 5
3. Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang
sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika
digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai
alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau
kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,
yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius
yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah
kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada
mukosa kolon. 7
Gambar 9 : Gambaran colon in loop
Persiapan Penderita dalam Pemeriksaan Colon in Loop
1. Mengubah pola makanan penderita
Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, low residue, dan tidak mengandung
lemak. Ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya bongkahan-bongkahan tinja yang keras.
2. Minum sebanyak-banyaknya
Oleh karena penyerapan air di saluran cernaterbanyak di kolon, maka pemberian minum ini
dapat menjaga tinja agar tetap lembek. Untuk menjaga kebutuhan kalori dan keseimbangan
elektrolit dapat diberikan oral enteral feeding berupa bubuk yang dilarutkan dalam air.
3. Pemberian Pencahar
Apabila kedua hal di atas dijalankan dengan benar, maka pemberian pencahar hanyalah
sebagai pelengkap saja. Pada beberapa keadaan, seperti : orang tua, rawat baring yang lama, dan
sembelit kronis, pencahar ini mutlak diberikan.
Sebaliknya dipilih pencahar yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
- Melembekkan tinja dan meningkatkan peristaltis
- Mempunyai cita rasa yang enak
- Mempunyai kemasan yang menarik
Umumnya pemakaian pencahar hanyalah bersifat sementara, walaupun demikian harus tetap
diwaspadai terjadinya kebiasaan memakai laxative (laxative habits). Magnesium sulfat dapat
diberikan sebagai alternatif dan memberikan hasil yang cukup baik dalam 6-8 jam setelah
pemakaian.
Pengalaman menunjukkan salah satu kegagalan persiapan disebabkan keengganan penderita
untuk memakan pencahar oleh karena tidak mempunyai sifat-sifat tadi. 4,7
Teknik pemeriksaan:
1. Tahap pengisian
Di sini terjadi pengisian larutan barium ke dalam lumen kolon. Sampai bagian kolon
manakah pengisian tersebut sangat bergantung pada panjang pendeknya kolon itu sendiri.
Umumnya dapat dikatakan cukup bila sudah mencapai fleksura lienalis atau pertengahan kolon
transversum. Bagian kolon yang belum terisi dapat diisi dengan merubah posisi penderita dari
telentang (supine) menjadi miring kanan (right decubitus). 4
2. Tahap pelapisan
Dengan menunggu 1-2 menit dapat diberikan kesempatan pada larutan barium untuk
melapisi (coating) mukosa kolon.
3. Tahap pengosongan
Setelah diyakini mukosa kolon terlapisi sempurna, maka sisa larutan barium dalam lumen
kolon perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan kembali. Caranya dengan memiringkan
penderita ke kiri (left decubitus) dan menegakkan meja pemeriksaan (upright)
4. Tahap pengembangan
Di sini dilakukan pemompaan udara ke dalam lumen kolon. Usahakan jangan sampai
terjadi pengembangan yang berlebihan (overdistention) karena akan timbul hal-hal yang tidak
diingini.
5. Tahap pemotretan
Setelah seluruh kolon mengembang sempurna, maka dilakukan pemotretan atau eksposun
radiografik. Posisi penderita saat pemotretan tergantung pada bentuk kolonnya atau kelainan
yang ditemukan. Hal yang sama juga berlaku untuk jumlah film yang dipakai. 4,7
Lama pemeriksaan
Dianjurkan lama pemeriksaan tidak melebihi 5 menit. Makin lama pemeriksaan itu
berlangsung, kemungkinan terjadinya kerak-kerak barium di sepanjang kolon makin besar.
Alat-alat yang dipakai
Irigator plastic dengan balon dan pompa udara terpasang sangat disukai untuk dipakai
karena sifatnya yang fleksibel sehingga penderita tidak perlu meninggalkan meja pemeriksaan
pada tahap pengosongan.
Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
- Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)
- Bentuk klasik tipe ini adalah polip. Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan tidak
bertangkai (sessile). Dinding kolon seringkali masih baik.
- Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)
- Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core). Lumen kolon sempit
dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
- Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)
- Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik. Lumen kolon dapat tidak menyempit.
Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif. 7
4. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.
Gambar : metode pemeriksaan endoscopy tumor kolon
Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi
5. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1
cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi
anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan
cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease,
non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,
sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik. 6,7
Gambar : Metode pemeriksaan kolonoskopi
6. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini
bukan merupakan screening tes.
a. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT
scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai
CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT
scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam
menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi
invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen
dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal. 6
Gambar 8 : CT scan pelvis menunjukkan adanya tumor kolon yang sudah metastasis pada
hepar dan daerah intraperitoneal
Gambar 9 : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar. 3
Gambar : MRI dari karsinoma kolon
7. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk
digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya
tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat
meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa
perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS. 2
2.11 Tatalaksana
1. Kemoprevensi
Obat Anti Inflamatori Steroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap berhubungan dengan
penurunan motalitas kanker kolon. Bebrapa OAIN seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti
sewcara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan Familial
Adenomatous Polyposis (FAP). Data epidemiologi menunjukkan adanaya penurunan risiko
kanker di kalangan pemakai OAIN namun bukti yang mendukung manfaat pembrian aspirin dan
OAIN lainnya untuk mencegah kanker kolon sporadik masih lemah. (FKUI)
2. Endoskopi dan operasi
Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tingkat polipektomi. Bila ukuran
<5mm maka pengangkatan cukup dengan biopsi atau elektrokoagulasi bipolar. Di samping
polipektomi dapat diatasi dengan operasi, indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum,
kolon ascenden, kolon transversum tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desenden di atasi
dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan
tindakan Low Anterior Resection (LAR). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila
operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi
terhadap metastasis di hepar dapat memberikan hasil 23-35% rata-rata bebas tumor.
Terapi utama untuk kanker usus besar adalah pembedahan dengan eksisi luas, mencakup
daerah drainase limfe yang tepat. Untuk kebanyakan pasien, eksisi yang tepat adalah
hemikolektomi kiri atau kanan, tetapi pada beberapa pasien dengan beberapa adenoma dan
pasien muda dengan kanker, beberapa ahli bedah menyarankan kolektomi total dan anastomosis
ileorektal (Jones dan Schofield, 1996). 3,7
a. Kanker kolon kanan
kanker kolon kanan dengan atau tanpa obstruksi diterapi dengan hemikolektomi kanan dan
anstomosis promer. Reseksi diindikasikan meskipun ada metastasis hepatik, karena reseksi
merupakan paliasi terbaik. Pada pasien dengan obstruksi yang nyata, operasi harus dilakukan
sebagai tindakan darurat. Kadang-kadang reseksi tidak mungkin dilakukan, dan ahli bedah harus
memintas tumor dengan menganastomosis ileum ke kolon transversal.
Pengangkatan usus kanan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)
b. Kanker kolon kiri
Jika tidak ada obstruksi usus, maka terpai pilihan untuk kanker kolon kiri adalah eksisi luas
dengan hemikolektomi kiri atau kolektomi sigmoid dengan anstomosis primer. Reseksi
dilakukan meskipun ada tumor sekunder dari hepar, karena reseksi memberikan paliasi terbaik.
Kolostomi saja tidak pernah dipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena mempunyai nilai
paliatif yang kecil. Hemikolektomi kiri dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)
Pada kasus dengan obstruksi kolon kiri, metode tradisional yang digunakan adalah
prosedur 3 tahap:
1. Kolostomi saja
2. Reseksi dengan anastomosis
3. Penutupan kolostomi
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya kecenderungan ke arah reseksi sebagai
prosedur primer. Seringkali tidak dilakukan anastomosis pada operasi darurat. Kolon atas yang
tersisa dikeluarkan seperti pada kolostomi, dan kolon bawah dikeluarkan (dengan menghasilkan
fistula mukus) atau ditutup (dengan prosedur Hartmann). Operasi kedua dapat dilakukan jika
pasien sudah benar-benar pulih dan kesinambungan usus dapat dipertahankan.
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi tumor tetapi juga
melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan pembilasan kolon di atas meja operasi,
yang membersihkan kolon dari feses dan mengurangi disproporsi ukuran antara usus yang di atas
dan di bawah karsinoma yang direseksi. Pilihan lebih lanjut adalah melakukan kolektomi
subtotal dan anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal atau rektum. 6
c. Karsinoma rektum
Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara adekuat dan
dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan rektum. Anastomosis dapat
dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan adanya alat stapler sirkuler secara teknik
mempermudah untuk dilakukannya beberapa reseksi anterior. Prosedur reseksi pada kaarsinoma
rektum dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
(Sumber : Jones dan Schofield, 1996)
Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi standar untuk
tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal rektum dengan kolostomi
ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan. Beberapa tumor yang berdiameter 5-6 cm
dapat ditangani dengan eksisi rektal dan anstomosis koloanal. Pada tumor kecil yang berdiameter
kurang dari 3-4 cm tanpa terlihat penyebaran ekstra rektal, terapi lokal mungkin efektif; dengan
pemilihan cermat, hasil akhir dapat sangata baik. Metode yang memuaskan adalah eksisi lokal,
dekstruksi dengan diatermi dan radioterapi lokal. 1,7
3. Terapi adjuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah operasi. Pasien
dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan
harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada pasien
dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa
harapan hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan
leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi : Nd-YAG foto koagulasi
laser dan self expanding metal endoluminal stent. 5,6
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar dibawah
ini:
Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker pasien,
seperti bagan bawah ini:
(sumber : Schein, 1997)
Tumor metastasis
Penentuan stadium
Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C
Pembedahan radikalPembedahan radikal Pembedahan paliatif
Observasi Observasi
KemoterapiPercobaan klinis
dengan terapi ajuvan
A CB
Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi
rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan. Tindakan
tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan carciniembryogenik
antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6 bulan. Kolonoskopi harus
diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini adanya pembentukan polip
dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan interval 3 tahun. Follow-up yang lebih
ketat diperlukan pada pasien dengan tumor yang timbul pada keadaan peradangan usus
(inflammatory bowel disease) atau sindroma poliposis herediter. Pada kasus tersebut,
harus diambil pertimbangan untuk melakukan kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis
dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk
memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data
dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan dengan
5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine (methyl-CCNU
[methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).
C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi paliatif
tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi mungkin
ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan kemoterapi. Walaupun
pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap minggu atau tiap 5 hari
merupakan seni dalammemberikan pengobatan, penelitian sekarang masih dalam
perkembangan untuk mencari bentuk pengobatan yang lebih efektif baik dengan
kombinasi 5-FU dengan leucovorin dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus
intravena setiap 2 minggu dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke hepar,
pasien tertentu dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk reseksi
hepar parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan kemungkinan hidup
yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu, penggunaan infs 5-FU
atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri hepatik telah dilaporkan
meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum dibuktikan dapat
memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol lengkap. 7
2.12 Diagnosa Banding
Gejala dari tumor kolon dapat menyerupai beberapa penyakit seperti :
1. Divertikulitis
Terutama divertikulitis yang terjadi di daerah sigmoid atau kolon descendens,
dimana pada kolon dan divertikulitis sama-sama ditemukan feces yang bercampur dengan
darah dan lendir.
2. Colitis Ulcerative
Pada colitis ulcerativa juga ditemukan feces yang berdarah dan berlendir, tenesmus,
mules dan nyeri perut. Tetapi pada colitis ulserativa terdapat diare sedangkan pada tumor
kolon biasanya feces berbentuk kecil-kecil seperti kotoran kambing.
3. Appendicitis Infiltrat
Pada appendicitis infiltrat terasa nyeri dan panas yang mirip dengan tumor sekum
stadium lanjut (tumor sekum pada stadium awal bersifat mobile).
4. Haemoroid
Pada haemoroid, feces juga bercampur darah namun pada haemoroid darah keluar
sesudah feces keluar baru kemudian bercampur. Sedangkan pada tumor kolon darah keluar
bersamaan dengan feces.
5. Tumor Ovarium
Pada tumor ovarium dan tumor kolon kiri sama-sama sering ditemukan gangguan
konstipasi. Pada tumor ovarium, juga didapati pembesaran abdomen namun tumor ini tidak
menyebabkan keluarnya darah bersama feces. Selain itu tumor ovarium menyebabkan
gangguan pada miksi berupa peningkatan frekuensi di mana hal ini tidak dijumpai pada
tumor kolon. 2,7
2.13 Komplikasi
1. Anemia
Anemia pada tumor kolon terutama disebabkan akibat adanya perdarahan. Anemia yang
terjadi adalah anemia hipokrom mikrositik.
2. Perforasi
Perforasi terjadi karena adanya sumbatan oleh tumor yang akan mengganggu pasase dari
feses.
3. Metastasis
Terutama ke hepar, paru, tulang, dan otak. 3,6
2.13 Prognosis
Stage 5-Year Observed
Survival Rate
I 74%
IIA 65%
IIB 52%
IIC 32%
IIIA 74%*
IIIB 45%*
IIIC 33%
IV 6%
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock
RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).
2. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright © 2004 Elsevier.
3. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000. Springer.
4. Zuber M, Harder F. Benign tumors of the colon and rectum; in Surgical Treatment:
Evidence-based and Problem-Oriented. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6994. Accessed on july 9, 2014.
5. Staging of colorectal cancer. Available at:
http://www.hopkinscoloncancercenter.org/CMS/CMS_Page.aspx?
CurrentUDV=59&CMS_Page_ID=EEA2CD91-3276-4123-BEEB-BAF1984D20C7.
Accessed on july 9, 2014
6. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi
IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
7. Staging of colorectal cancer. Available at:
http://www.cancer.org/cancer/colonandrectumcancer/overviewguide/colorectal-cancer-
overview-survival-rates Accessed on july 9, 2014