BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2007-3-00470-TI...
Transcript of BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2007-3-00470-TI...
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Manajemen Persediaan
Manajemen persediaan berhubungan dengan pembuatan keputusan dalam
bidang pembelian, distribusi, dan logistik. Lebih spesifik lagi manajemen
persediaan mengatur kapan harus melakukan pemesanan dan jumlahnya berapa.
Persediaan dalam berbagai hal merupakan sesuatu yang penting. Seperti
persediaan terhadap bahan baku dan barang setengah jadi berguna untuk
membantu kelangsungan proses produksi dalam manufaktur. Lalu, persediaan
terhadap barang jadi berguna untuk mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi
dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (end user). Selain itu, persediaan
terhadap material penunjang produksi seperti spare part mesin produksi berguna
untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tidak terduga (misal mesin rusak) dalam
proses produksi. Tidak hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur
yang memerlukan persediaan (inventory), namun perusahaan jasa seperti bank,
rumah sakit, hotel, restoran, dan sekolah juga memiliki persediaan dalam
perusahaannya. Sebagai contoh rumah sakit memerlukan manajemen terhadap
persediaan darah, jarum suntik, perban, dll. Oleh karena itu, manajemen
persediaan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Pengaturan terhadap persediaan aset perusahaan yang baik akan berdampak
baik pula bagi kinerja sebuah perusahaan. Bagi para analis, manajer, konsultan,
dan wiraswasta, kesempatan untuk menambah nilai dari proses manufaktur dan
17
logistik merupakan hal yang besar. Berdasarkan penelitian para ahli didapatkan
hasil bahwa sebagian besar perusahaan tidak mengerti dengan benar mengenai
inventory management and production planning and scheduling. Padahal dalam
kehidupan nyata, manajemen persediaan ini begitu penting pengelolaannya.
Tujuan akhir dari manajemen persediaan adalah tidak lain untuk meningkatkan
service level perusahaan kepada konsumen sebagai end user. Oleh karena itu,
pembenahan perlu dilakukan terhadap perusahaan yang tidak mementingkan
manajemen persediaan.
Persediaan adalah material dan suplai yang di dalam bisnis digunakan sebagai
input atau penyokong terhadap proses produksi atau dapat juga berupa produk
siap jual. Setiap bidang bisnis memerlukan persediaan dalam menjalankan
usahanya. Manajemen persediaan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Aliran dan jenis persediaan yang dibutuhkan.
2. Supply and demand patterns.
3. Fungsi dari persediaan, yaitu menyelaraskan antara suplai dan permintaan.
4. Tujuan dari persediaan, yaitu memaksimalkan customer service,
meminimalkan biaya produksi, dan investasi inventory yang rendah.
5. Biaya persediaan.
Dalam batch manufacturing, persediaan merupakan penyokong (buffer) antara:
1. Suplai dan permintaan.
2. Permintaan pelanggan dan produk.
3. Produk dan ketersediaan komponen.
4. Permintaan suatu proses produksi dan output dari proses sebelumnya.
18
5. Material untuk memulai produksi dan suplai dari material tersebut.
2.2 Keanekaragaman Stock Keeping Unit Dalam Perusahaan
Setiap barang diproduksi disimpan dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan ini dapat terletak pada biayanya, berat, volum, warna, bentuk, dll.
Penyimpanan dapat dilakukan dengan meletakkannya pada kotak, kerat, lemari,
dalam bentuk pallet, atau dalam ruangan penyimpanan khusus seperti temperature
controlled-rooms.
Selain itu, permintaan terhadap suatu barang pun berbeda-beda. Dapat
diambil satu per satu atau dalam jumlah banyak, untuk barang jadi dapat diambil
oleh konsumen atau diantar oleh perusahaan, dll. Terdapat juga barang yang dapat
digantikan oleh barang lainnya yang berfungsi sama apabila terjadi stock out.
Lalu, setiap barang memiliki supplier yang berbeda-beda, cara
pengantarannya serta lama pengantaran juga berbeda, dan jumlah minimum
pembeliannya pun terkadang berbeda. Dalam beberapa kasus, barang yang
diterima dalam kondisi rusak. Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa pembuatan keputusan dalam manajemen persediaan serta perencanaan
produksi merupakan sebuah permasalahan dengan menyatukan faktor internal
maupun faktor eksternal perusahaan dalam jumlah banyak serta keanekaragaman
dengan tingkat yang tinggi.
19
Tiga pertanyaan dasar yang harus dapat dijawab oleh manajemen persediaan
sebagai berikut:
1. Seberapa sering status persediaan harus dikontrol
2. Kapan pemesanan harus dilakukan
3. Berapa jumlah yang harus dipesan
Pembuat keputusan dalam manajemen persediaan dan perencanaan produksi
biasanya melakukan pendekatan yang tergolong simpel. Kemampuan manusia
untuk mengolah seluruh faktor yang bersangkutan dalam membuat keputusan
sangatlah terbatas sehingga diperlukan bantuan dari karyawan-karyawannya.
Keputusan yang dibuat memang dikategorikan kompleks dan seluruhnya
bergantung pada kekuatan intuisi dari pembuat keputusan. Pengontrolan
sebaiknya dilakukan secara simultan dan dilakukan dari sudut pandang barang per
individunya.
Karena kemampuan manusia terbatas dalam mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan seluruh faktor yang terlibat maka sistem dan peraturan
seharusnya didisain untuk membantu dalam pengambilan keputusan. Tentunya
sistem dan peraturan ini ditetapkan oleh top management dan melibatkan seluruh
karyawan yang bersangkutan agar segala sesuatunya terkoordinasikan dengan
baik. Koordinasi ini menjadi penting sehingga karyawan tidak hanya melakukan
tugasnya, namun juga mengerti apa yang sedang ia lakukan dan bagaimana
dampaknya bagi perusahaan sehingga setiap individu dalam perusahaan memiliki
perasaan ”cinta” terhadap perusahaannya.
20
2.2.1 Petunjuk Dalam Membuat Keputusan Untuk Mengatur Persediaan
Yang Beraneka Ragam
2.2.1.1 Petunjuk Secara Konseptual
Berikut ini adalah petunjuk secara konseptual dalam membuat keputusan:
1. Keputusan dalam sebuah perusahaan dapat dianggap sebagai hirarki, yaitu
strategic planning (jangka panjang), tactical planning (jangka menengah),
dan operational control (jangka pendek).
2. Pada hirarki jangka panjang ditentukan tipe sistem pengontrolan,
kemudian pilihlah parameter secara spesifik untuk sistem yang telah
ditentukan.
3. Sejumlah besar barang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori
yang memiliki beberapa kesamaan.
4. Kerumitan dalam membuat keputusan dapat dikurangi dengan identifikasi
setiap barang dan hanya faktor-faktor penting saja yang dapat
diperhitungkan secara eksplisit seperti ordering cost dan demand rates.
2.2.1.2 Petunjuk Fisik
Berikut ini adalah petunjuk fisik dalam membuat keputusan:
1. Pembuat keputusan dapat menggunakan software komputer dan tentunya
pemasukan data harus dilakukan dengan hati-hati.
2. Pembuatan keputusan berdasarkan software sebaiknya diperhatikan oleh
pihak yang bertanggung jawab terutama pada peristiwa-peristiwa tertentu.
21
2.3 Kerangka Kerja Manajemen Persediaan
2.3.1 Kategori Umum Dalam Pengontrolan Aggregate Inventories
Terdapat 6 kategori umum untuk mengontrol aggregate inventories, yaitu:
1. Cycle stock
Jika perusahaan memproduksi 1000 unit barang dan permintaannya
sejumlah 800 unit barang maka cycle stock yang dimiliki perusahaan
sebesar selisih produksi dan permintaan yaitu 200 unit barang.
2. Congestion stock
Stok pada kategori ini bertujuan untuk memberikan tambahan stok agar
proses produksi berjalan lancar. Ketika suatu mesin memerlukan
perbaikan maka proses secara langsung maupun tidak langsung dapat
terganggu. Dengan adanya congestion stock maka proses dapat tetap
berjalan dengan semestinya.
3. Safety Stock
Safety stock adalah sejumlah barang yang disediakan oleh perusahaan
dalam rangka menghadapi ketidakpastian permintaan dan ketidakpastian
pengantaran barang dari supplier. Apabila permintaan di masa yang akan
datang pada sebuah perusahaan bersifat stabil maka perhitungan safety
stock tidak diperlukan lagi.
4. Anticipation inventory
Anticipation inventory adalah stok yang berguna untuk menghadapi
waktu-waktu tertentu. Misalnya liburan, lebaran atau peak season lainnya.
22
Selain itu dapat juga mengantisipasi hal-hal lainnya seperti pada saat
terjadi perang, pemogokan karyawan pabrik, dll.
5. Pipeline inventories atau Work in process inventories
Kategori ini meliputi stok-stok yang terdapat dalam transit misalnya antara
tingkat sistem distribusi atau antara work station di dalam pabrik itu
sendiri.
6. Decoupling stock
Kategori ini biasanya dilakukan untuk mengatasi situasi yang terjadi pada
tingkat sistem distribusi sehingga setiap tingkat dalam sistem distribusi
dapat mengambil keputusan secara terpisah. Misalnya stok yang terdapat
diantara supplier dan konsumen.
Sebaiknya manajemen perusahaan dapat menghitung berapa jumlah setiap
unitnya di dalam masing-masing kategori di atas. Penentuan ini akan membantu
manajemen perusahaan dalam mengontrol persediaan barangnya
2.3.2 ABC Classification
Keputusan manajemen dalam mengelola persediaan seharusnya dibuat
sesuai dengan produknya masing-masing. Stok yang telah dikelompokkan secara
spesifik untuk dikontrol disebut stock keeping unit, dimana SKU akan
dikelompokkan berdasarkan fungsi, ukuran warna, karakteristik, lokasi, style, dll.
Sebagai contoh adalah terdapat dua sepatu dengan bentuk yang sama namun
berbeda warna, maka kedua benda ini akan diletakkan pada SKU yang berbeda
pula.
23
Dari banyak penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa sebanyak 20%
pemesanan barang merupakan 80% penggunaan dari total uang yang disediakan.
Oleh karena itu, para ahli menyarankan untuk tidak semua SKU yang terdapat di
dalam gudang diperlakukan dengan tindakan yang sama. Nilai SKU dapat
diperoleh dengan mengalikan nilai per unit dengan jumlah permintaan tahunan
dari masing-masing SKU.
Gambar 2.1 Distribusi Nilai SKU
Dengan adanya konsep di atas maka para ahli menganjurkan menggunakan
ABC classification dalam rangka mengontrol persediaan perusahaan dengan
benar. ABC classification menggunakan pengelompokkan benda sesuai dengan
jenisnya, yaitu:
1. A items
Benda pada kategori ini merupakan benda yang paling penting. Sejumlah
20% barang mengakibatkan 80% dari total pengeluaran inventory.
24
2. B items
Sejumlah 30% barang mengakibatkan 15% dari total pengeluaran
inventory.
3. C items
Sejumlah 50% barang mengakibatkan 5% dari total pengeluaran inventory.
Untuk kategori ini dapat dilakukan pengambilan keputusan sesederhana
mungkin. Benda-benda yang tergolong di dalam kategori ini biasanya
berdasarkan tingkat penggunaan yang tinggi, mudah didapatkan dimana-
mana, memiliki konsumen yang sama, lead times tidak lama, dll.
Dalam pengaplikasiannya nilai presentase di atas tidak perlu digunakan
secara mutlak, cukup hanya dalam jangkauan mendekati persentase di atas.
Metode di atas dapat membantu dalam pengklasifikasian material.
Dengan menggunakan pendekatan ABC classification, maka terdapat dua
peraturan umum, yaitu:
1. Memiliki sejumlah besar C items.
C items mewakili 50% dari seluruh inventory namun hanya memerlukan
5% dari total nilai inventory. Oleh karena itu, sebaiknya buatlah safety
stock dalam jumlah besar.
2. Melakukan pengontrolan dengan benar terhadap A items.
Sebaiknya untuk material A items dilakukan pengontrolan dalam frekuensi
yang sering karena A items memerlukan sekitar 80% dari jumlah total nilai
inventory yang ada.
25
2.3.3 Spesifikasi Bill of material
Bill of material adalah sebuah daftar jumlah komponen, campuran bahan
dan bahan baku yang diperlukan untuk membuat suatu produk. Sebuah resep
dapur yang menspesifikasikan campuran bahan dan jumlah maupun kumpulan
bahan. Produk yang berbeda di atas segala tingkatan dinamakan induk, sedangkan
yang berbeda dibawah tingkatan disebut komponen atau anak. Suatu Bill-of-
material memberikan struktur bagi produk itu.
Bill of material tidak hanya menspesifikasikan kebutuhaan produksi, tapi
juga berguna untuk pembebanan biaya dan dapat dipakai sebagai daftar bahan
yang harus dikeluarkan untuk karyawan produksi atau perakita. Bila bill-of-
material digunakan dengan cara ini biasanya dinamakan daftar pilih. Adapun
spesifikasi dari bill-of-material adalah sebagai berikut :
1. Bill of material yang berupa modul (Modular Bills)
Bill of material yang diatur seputar modul produk. Modul bukan
merupakan produk akhir yang akan dijual, tapi merupakan komponen
yang dapat diproduksi dan dirakit menjadi satu unit produk.Modul-
modul ini mungkin merupakan komponen inti dari suatu produk akhir
atau pilih produk.Bill of material untuk modul-modul tersebut disebut
modular bill.
2. Bill untuk perencanaan dan PHANTOM BILLS
Bill untuk perencanan diciptakan agar dapat menugaskan induk buatan
kepada bill of materialnya. Bill untuk perencanaan mungkin juga dikenal
dengan sebutan pseudo bill atau angka peralatan. Phamtom bill of
26
material adalah bill of material untuk komponen, biasanya sub-sub
perakitan yang hanya ada untuk sementara waktu. Bill ini langsung
bergerak ke perakitan lainnya. Sehingg, bill ini diberi kode agar
diperlakukan secara khusus, lead time-nya nol, dan ditangani sebagai
bagian integral dari bahan induknya. Phantom bill tidak pernah
dimasukan kedalam persediaan.
3. Pemberian kode tingkat rendah
Pemberian kode tingkat rendah akan suatu bahan dalam bill of
material diperlukan bila ada produk-produk yang serupa satu sama
lainnya si bill of material . Pemberian kode tingkat rendah berarti
suatu produk diberi kode tingkat rendah dimana produk itu ada.
Pemberian kode tngkat rendah memungkinkan untuk menghitung
dengan mudah kebutuhaan suatu bahan.
2.3.4 Variabel-variabel lainnya
Variabel lainnya yang berpengaruh pada manajemen persediaan adalah
replenishment lead time. Replenishment lead time adalah waktu yang dibutuhkan
dari pemesanan dilakukan sampai barang yang dipesan tiba. Lead time dari setiap
barang harus diketahui agar kekurangan barang dapat dihindari oleh perusahaan.
Pemesanan barang tentunya dilakukan pada saat titik minimum barang telah
tercapai, dengan diketahuinya lead time setiap barangnya maka perusahaan dapat
memperkirakan berapa permintaan barang tersebut pada saat dilakukan
pemesanan tersebut sehingga stockout dapat terhindarkan.
27
Terdapat lima komponen yang termasuk di dalam perhitungan
replenishment lead time, sebagai berikut:
1. Order preparation time
Order preparation time merupakan waktu ketika perusahaan memutuskan
untuk memesan barang sampai pemesanan dilakukan.
2. Transit time dalam mencapai supplier
3. Waktu pada saat di supplier
4. Transit time ketika barang diterima
5. Waktu ketika barang telah tiba sampai barang telah ditempatkan di gudang
penyimpanan. Pada kategori ini waktu biasanya diabaikan padahal
terkadang memakan waktu yang lama seperti waktu penginspeksian.
Tabel berikut ini menampilkan variabel-variabel lainnya yang termasuk di dalam
manajemen persediaan.
28
Tabel 2.1 Inventory Planning Decision Variables
SERVICE REQUIREMENT CUSTOMER ORDERING CHARACTERISTICCustomer expectation Order timingCompetitive practices Order sizeCustomer promise time required Advance information for large ordersOrder completeness required Extent of open or standing ordersAbility to influence and control customer Delay in order processingSpecial requirements for large customer
DEMAND PATTERNS SUPPLY SITUATIONVariability Lead timesSeasonability ReliabilityExtent of deals and promotions FlexibilityAbility to forecast Ability to expediteAny dependent demand Minimum ordersSubsitution Discounts (volume, freight)
AvailabilityProduction versus non-production
COST FACTORS NATURE OF PRODUCTStockout ConsumableCarrying cost PerishableExpediting Recoverable/RepairableWrite-offSpaceSpoilage
OTHER ISSUESABC patternTiming and quality of informationNumber of stocking locationWho bears the cost of inventory
(Sumber: Buku Inventory Management and Production Planning and Scheduling)
2.4 Pengontrolan Persediaan (Inventory Perusahaan)
2.4.1 Metode Pengontrolan
Cara pengontrolan material dapat dilakukan dengan continous review atau
periodic review. Penjelasan terhadap dua macam metode tersebut sebagai berikut:
29
1. Continous Review
Metode ini melakukan pengontrolan material secara terus menerus
sehingga memiliki kelebihan sedikitnya jumlah safety stock. Namun, biaya
pengamatan akan lebih tinggi dibandingkan periodic cost serta jumlah
tenaga kerja yang diperlukan sewaktu-waktu dapat berubah karena
tergantung dari kebutuhan material tersebut.
2. Periodic Review
Pada metode ini inventory selalu diamati stock-nya pada waktu-waktu
tertentu yang telah ditetapkan oleh manajemen, misalnya sebulan sekali.
Keuntungannya adalah konstan baik dalam segi supplier, waktu, harga,
waktu tiba material sehingga menimbulkan koordinasi yang baik. Selain
itu, pekerja yang terlibat pun dapat diprediksi dengan baik dan biaya
pengamatan serta error dapat berkurang. Kerugiaannya adalah
diperlukannya safety stock dalam jumlah yang banyak.
2.4.2 Macam-Macam Tipe Sistem Pengontrolan
2.4.2.1 Order Point, Order Quantity (s,Q) System
Kategori ini merupakan bagian dari continous review dikarenakan setiap
waktu jumlah persediaan di gudang telah mencapai order point atau bahkan lebih
rendah lagi maka dilakukan pemesanan sejumlah order quantity. Jumlah dari
order quantity adalah sama setiap saatnya. Keuntungannya adalah mudah untuk
diterapkan karena sangatlah simpel dan mudah dimengerti oleh karyawan
perusahaan. Sedangkan kerugiannya adalah pada saat terjadi permintaan yang
30
sangat besar maka terkadang persediaan di dalam kurang memadai karena jumlah
order quantity selalu sama. Tentu saja hal ini akan membahayakan di masa yang
akan datang apabila terjadi lonjakan permintaan dalam waktu yang berturut-turut.
Sebaiknya digunakan untuk B,C items.
Gambar 2.2 Order Point, Order Quantity (s,Q) System
2.4.2.2 Order Point, Order Up To Level (s,S) System
Kategori ini juga merupakan sistem pengontrolan dalam continous review.
Berbeda dengan sistem di atas. Dalam sistem ini order quantity tidak tetap.
Pemesanan barang akan selalu dilakukan sampai persediaan di gudang mencapai
titik maksimum. Nilai S didapatkan dari penambahan order point dan order
quantity (dalam kondisi normal). Keuntungannya adalah persediaan akan selalu
tersedia sehingga permintaan pun akan selalu terpenuhi. Namun, apabila
menggunakan sistem ini supplier seringkali salah karena pemesanan selalu
dilakukan dengan jumlah yang berbeda-beda. Sebaiknya digunakan untuk A
items.
31
Gambar 2.3 Order Point, Order Up To Level (s,S) System
2.4.2.3 Periodic-Review, Order Up To Level (R,S) System
Kategori ini merupakan periodic review. Setiap kali terjadi pengurangan
persediaan di gudang maka pada waktunya akan dilakukan pemesanan sampai
jumlah maksimal yang telah ditetapkan. Penerapan sistem ini akan berdampak
inventory carrying cost yang tinggi. Sebaiknya digunakan untuk B,C items.
Gambar 2.4 Periodic-Review, Order Up To Level (R,S) System
32
2.4.2.4 Periodic-Review, Order Point, Order Up To Level (R,s,S) System
Sistem ini merupakan gabungan dari (s,S) system dan (R,S) system. Sistem
ini agak susah untuk diterapkan dan ada kemungkinan terjadinya kekurangan
barang. Sebaiknya digunakan untuk A items.
Gambar 2.5 Periodic-Review, Order Point, Order Up To Level (R,s,S) System
Pemilihan sistem kontrol perusahaan merupakan kebijakan top management.
Selain itu, berdasarkan karakteristik produk yang dihasilkan oleh perusahaan.
Kesemua hal ini sebaiknya dilakukan secara hati-hati.
2.5 PERHITUNGAN
2.5.1 Perhitungan Safety Stock
Sebelum memasuki tahap perhitungan safety stock, ada baiknya jika penulis
menjabarkan beberapa istilah dari stock level sebagai berikut:
33
1. On-hand stock
On-hand stock merupakan stok barang yang secara fisik terlihat atau dapat
ditemukan di gudang.
2. Net stock
Jumlah dari stok ini dapat menembus angka negative apabila jumlah
backorders lebih tinggi dibandingkan jumlah on-hand stock. Backorders
merupakan sejumlah barang pesanan konsumen yang tidak dapat dipenuhi
oleh perusahaan dengan tepat waktu.
3. Inventory Position
Inventory position merupakan kunci kapan perusahaan sebaiknya
memesan.
4. Safety stock
Untuk mengatasi ketidakpastian dalam menangani permintaan barang,
biasanya perusahaan menggunakan metode safety stock. Safety stock digunakan
untuk mengatasi ketidakpastian suplai dan permintaan. Ketidakpastian ini dapat
terjadi dalam dua hal, yaitu ketidakpastian jumlah dan ketidakpastian waktu.
Terdapat dua cara dalam menangani kedua masalah di atas. Cara tersebut adalah
Net stock = On-hand stock - Backorders
Inventory position = On-hand stock + On-orders – Backorders - Comitted
34
safety stock dan safety lead time. Safety lead time digunakan untuk mengatasi
ketidakpastian dalam hal waktu dengan merencanakan order release dan order
receipt lebih cepat dari yang seharusnya.
Perhitungan safety stock memerlukan perhitungan standard deviation
(sigma). Standard deviation merupakan nilai statistik yang mengukur seberapa
jauh penyimpangan yang terjadi terhadap rata-rata (penggunaan barang) dalam
satu waktu.
Nilai dari safety factor didapatkan berdasarkan service level yang ditetapkan
oleh manajemen perusahaan. Service level merupakan pernyataan persentase
dalam menangani permintaan akan suatu barang.
2.5.2 Perhitungan Maximum Level Inventory dan Order Quantity Dalam
Periodic Review
T= Maximum Level Inventory
D= Demand per unit time
L= Lead time
R= Review period
Safety Stock = Standard Deviation x Safety Factor
T = D (R+L) + Safety Stock
35
Sedangkan order quantity dihitung dengan menggunakan rumus:
2.5.3 Perhitungan Economic Order Quantity
Economic order quantity merupakan perhitungan jumlah order quantity yang
optimum dengan mempertimbangkan faktor ekonomi.
Perhitungan EOQ (Economic Order Quantity) memiliki asumsi sebagai
berikut:
1. Permintaan relatif konstan dan telah diketahui.
2. Produk dibeli dalam batch dan tidak secara kontinu.
3. Biaya pemesanan dan inventory carrying cost adalah konstan dan telah
diketahui.
4. Hanya untuk sekali pengantaran.
Carrying cost = Ordering cost
2QIC AS
Q=
Maka, didapat:
Q= Economic order quantity
Order Quantity = Maximum Level Inventory – Inventory On Hand
Q = icAS2
36
A= Annual demand
S= Ordering Cost
i= carrying cost
c= unit cost
Perhitungan EOQ meliputi pengolahan data mengenai informasi-informasi
yang berkaitan dengan permintaan tahunan rata-rata, biaya tetap per sekali order,
dan inventory carrying cost.
Gambar 2.6 EOQ Model
Permintaan tahunan rata-rata merupakan kisaran jumlah yang diorder
terhadap suatu barang dari tahun ke tahun. Sedangkan ordering cost mencakup
biaya-biaya yang sudah pasti akan muncul dalam setiap kali order, berapa pun
kuantitas barang yang dipesan. Di dalam perhitungan ordering cost terdapat pula
komponen biaya inspeksi atau pada perusahaan tertentu biaya inspeksi ini adalah
biaya quality control.
37
Secara umum QC cost diklasifikasikan ke dalam empat tipe sebagai berikut:
1. Appraisal costs
Appraisal costs merupakan biaya inspeksi, tes dan pekerjaan lainnya untuk
menjamin bahwa produk/ proses dapat diterima.
2. Prevention costs
Prevention costs merupakan komponen biaya untuk menghindari cacat,
seperti: biaya identifikasi penyebab kerusakan, biaya implementasi
aktivitas perbaikan, pelatihan personel, mendesain ulang sistem baru dan
membeli modifikasi peralatan baru.
3. Internal Failure Costs
Internal Failure Costs yaitu biaya untuk kerusakan yang terjadi di dalam
sistem.
4. External failure Costs
Yang terakhir adalah External failure Costs yang merupakan biaya
kerusakan yang berhasil melewati sistem seperti garansi konsumen,
penangangan komplain dan perbaikan produk.
38
Tabel 2.2 Quality Cost Report
Prevention Cost Quality trainingReliability consultingPilot production runsSystem development
Appraisal Cost Materials inspectionSupplies inspectionReliability testingLaboratory testing
Internal Failure Cost ScrapRepairReworkDowntime
External Failure Cost Warranty costOut-of-warranty repairs and replacementCustomer complaintsProduct liabilityTransportation losses
Quality Cost Report
1(Sumber: Buku Operation Management for Competitive Advantage)
Inventory carrying cost adalah biaya untuk menjaga rata-rata investasi
inventory dalam gudang atau lokasi lain dimana bahan mentah atau barang jadi
disimpan. Biasanya biaya holding inventory berkisar 15%-43% dari total nilai
inventory yang ada. Dalam keadaan nyata tidaklah mudah menerapkan teori di
dalam dunia yang sebenarnya. Sebagai jalan tengah, para manajer
mengalokasikan inventory carrying cost kepada setiap kelompok-kelompok
produk yang memiliki persamaan dalam hal komponen-komponen biaya.
39
Tabel 2.3 Komponen Inventory Carrying Cost
Costs Percentage8-22%1-3%1-3%1-3%3-10%1-4%15-43%Total
Handling CostStock ObsolescenceSpoilage, Palverage, Inventory Damage, etc.Insurance
ItemCost of capital atau Opportunity costCost of Space (Heating, Lighting, Depreciation, etc )
Komponen-komponen dari Inventory Carrying Cost
(Sumber: http://www.gcrl.ca/english)
Penentuan inventory carrying cost sebaiknya melibatkan langsung top
management. Hal ini dikarenakan keputusan yang berhubungan inventory
carrying cost akan berdampak terhadap seluruh proses baik langsung maupun
tidak langsung. Koordinasi antara manajemen dan karyawan sangatlah penting
agar penentuan inventory carrying cost tidak melesat jauh dari keadaan
sebenarnya.
Perhitungan inventory carrying cost tidaklah mudah. Oleh sebab itu, apabila
perusahaan telah mendapatkan gambaran kasarnya maka sudah tergolong bagus.
Jarang sekali terdapat perusahaan yang menghitung inventory carrying cost secara
detil. Jadi, kebanyakan perusahaan hanya mengambil angka yang kira-kira
mendekati keadaan perusahaannya
40
2.5.4 Perencanaan Agregat
Perencanaan Agregat adalah : ” perencanaan yang dibuat untuk menentukan
total permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang
diperlukan” (David D. Bedworth,etc).
Perencanaan Agregat adalah : ” proses perencanaan kuantitas dan
pengaturan waktu keluaran selama periode waktu tertentu (3 bulan sampai 1
tahun) melalui penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi karyawan,
persediaan, variabel yang dapat dikendalikan lainnya ” (T. Hani Handoko)
Perencanaan Agregat merupakan perencanaan produksi jangka menengah.
Horizon perencanaannya biasanya berkisar antara 1-24 bulan atau bisa bervariasi
dari 1-3 tahun. Horizon tersebut tergantung pada karakteristik produk dan jangka
waktu produksi. Periode perencanaan disesuaikan dengan periode peramalan,
biasanya 1 bulan.
Tujuan perencanaan produksi adalah menyusun suatu rencana produksi
untuk memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan
sumber-sumber atau alternatif-alternatif yang tersedia dengan biaya yang paling
minimum keseluruhan produk. Perencanaan agregat ini merupakan langkah awal
aktivitas perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah
selanjutnya, yaitu penyusunan jadwal induk produksi (JIP).
Perencanaan agregat adalah suatu langkah pendahuluan perencanaan
kapasitas secara terperinci. Perencanaan agregat merupakan dasar untuk membuat
jadwal induk produksi (JIP). JIP menyajikan rencana produksi detail untuk setiap
produk akhir. Proses penyusunan JIP untuk perusahaan yang ‘Make to Stock’ akan
41
berbeda dengan perusahaan yang ‘Make to Order’. Hal ini dikarenakan sumber
informasi permintaan atau kebutuhan yang berbeda. Bagi perusahaan yang ‘ Make
to Stock’, informasi permintaan didapat dari hasil peramalan. Bagi perusahaan
yang ‘Make to Order’, informasi permintaan diperoleh dari order-order (pesanan)
yang diterima dari pelanggan.
Asumsi metode transportasi adalah sebagai berikut :
1. Kapasitas produksi dan permintaan dinyatakan dalam satuan yang sama
2. Total kapasitas sama dengan total permintaan dalam Horizon yang sama.
Jika keadaan ini tidak terpenuhi, maka harus dibuat kapasitas atau
permintaan buatan atau dummy dengan biaya nol per unit, sehingga
sistem jadi seimbang.
3. Semua hubungan biaya linear.
Sasarannya metode transportasi adalah meminimumkan biaya total
(produksi reguler, subkontrak, lembur, menganggur, dan penyimpanan). Metode
matematis untuk menyelesaikan masalah transportasi ini ada banyak,diantaranya
metode North West Corner Rule (NWCR), metode Vogel’s approximated methods
(VAM), metode Least Cost, dan lain-lain. Diantara ketiga metode tersebut yang
akan dibahas adalah metode Least Cost dan Aproksimasi Vogel. Hal ini
dikarenakan diantara ketiga metode tersebut yang dapat dikatakan baik adalah
metode Least Cost dan metode Aproksimasi Vogel. Pada umumnya metode Least
Cost akan memberikan solusi awal lebih baik (biaya lebih rendah) dibandingkan
metode North West Corner, karena metode Least Cost menggunakan biaya per
unit sebagai kriteria lokasi sementara metode North West tidak. Akibatnya banyak
42
metode North West Corner, karena metode Least Cost menggunakan biaya per
unit sebagai kriteria lokasi sementara metode North West tidak. Akibatnya banyak
iterasi tambahan yang diperlukan untuk mencapai solusi optimum lebih sedikit.
Namun, dapat terjadi meskipun jarang, dimana solusi awal yang sama atau lebih
baik dicapai melalui metode North West Corner.
Sedangkan metode Aproksimasi Vogel atau sering disebut juga VAM selalu
memberikan suatu solusi awal yang lebih baik dibanding metode North West
Corner dan seringkali lebih baik daripada metode Least Cost. Kenyataannya, pada
beberapa kasus, solusi awal yang diperoleh melalui VAM akan menjadi optimum.
VAM melakukan alokasi dalam suatu cara yang akan meminimumkan penalty
(opportunity cost) dalam memilih kotak yang salah untuk suatu alokasi .
2.5.4.1 Alasan Aggregat Inventory Investment Berfluktuasi
Terdapat fakta bahwa ekonomi perusahaan merupakan sebuah perputaran
(business cycle) dan persediaan memegang peranan penting dalam perputaran ini.
Gambar 2.7 Business Cycle
43
Pada titik A, keadaan ekonomi tampak bagus, produk dan para manajer
optimis dalam melakukan penjualan di masa yang akan datang. Dikarenakan
terlalu optimis, produksi yang dilakukan terlalu banyak dan tidak dapat terjual.
Surplus produksi ini meningkatkan persediaan sehingga perusahaan menurunkan
tingkat produksi. Seiring berjalannya waktu, penjualan pun akan melebihi tingkat
produksi. Perputaran ini akan terjadi terus menerus.
Berdasarkan business cycle di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam menjalankan suatu perusahaan diperlukan kemampuan dari pembuat
keputusan (manajemen) untuk bereaksi secara cepat dan berubah secara tepat.
Dengan adanya kemampuan ini dapat dipastikan perusahaan dapat bertahan di
dalam dunia persaingan yang semakin kompetitif ini. Pemahaman terhadap
manajemen persediaan dan perencanaan produksi oleh para manajer akan
mendukung terciptanya kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan
penting.
2.5.5 Tabel Transportasi
Karena bentuk masalah transportasi yang khas, ia dapat ditempatkan dalam
suatu bentuk tabel khusus yang dinamakan tabel transportasi. Ada beberapa
metode yang digunakan dalam model transportasi diantaranya :
a. Metode North – West Corner
Metode ini adalah metode yang paling sederhana diantara tiga metode-metode
yang lain untuk mencarai solusi awal. Langkah – langkahnya diringkas seperti
berikut:
44
1) Mulai pada pojok barat laut tabel dan alokasikan sebanyak mungkin pada
X 11 tanpa menyimpang dari kendala penawaran atau permintaan ( artinya
X 11 ditetapkan sama dengan yang terkecil diantara nilai S1dan D1 )
2) Ini akan menghabiskan penawaran pada sumber 1 dan atau permintaan
pada tujuan 1. Akibatnya, tidak ada lagi barang yang dapat dialokasikan
kekolom atau baris yang telah dihabiskan dan kemudian baris atau kolom
itu dihilangkan. Kemudian dialokasikan sebanyak mungkin kekotak
didekatnya pada baris atau atau kolom yang tak dihilangkan. Jika baik
kolom maupun baris telah dihabiskan, pindahlah secara diagonal kekotak
berikutnya.
3) Lanjutkan dengan cara yang sama sampai semua penawaran telah
dihabiskan dan keperluaan permintaan telah dipenuhi.
b. Metode Least - Cost
Metode Least – Cost berusaha mencapai tujuan minimasi biaya dengan alokasi
sistematik kepada kotak – kotak sesuai dengan besarnya biaya transpor per unit.
Prosedur ini adalah:
1) Pilih varible Xij ( kotak ) dengan biaya transpor ( Cij ) terkecil dan
dialokasikan sebanyak mungkin. Untuk Cij terkecil, Xij = minimum | Si ,
Dj |. Ini akan menghabiskan baris i atau kolom j.
2) Dari kotak – kotak sisanya yang layak ( yaitu yang tidak tersisi atau tidak
dihilangkan ), pilih nilai terkecil Cij tekecil dan alokasikan sebanyak
mungkin.
3) Lanjutkan proses sampai semua penawaran dan permintaan terpenuhi.
45
c. Metode Aproksimasi Vogel ( VAM )
VAM selalu memberikan suatu sousi awal yang lebih baik dibanding metode
North- West Corner dan sering kali lebih baik daripada metode Least – Cost.
Kenyataan pada beberapa kasus, solusi awal yang diproleh melalui VAM akan
menjadi optimum. VAM melakukan alokasi dalam suatu cara yang akan
meminimumkan penalty ( opportunitty cost ) dalam memilih kotak yang salah
untuk satu alokasi. Proses VAM dapat diringkas sebagai berikut:
1) Hitung opportunitty cost untuk setiap baris dan kolom. Opportunity cost
untuk setiap baris i dihitung dengan mengurangkan nilai Cij satu tingkat
yang lebih besar pada baris yang sama. Opportunity cost kolom diproleh
dengan cara yang serupa. Biaya – biaya ini adalah penalty karena tidak
memilih kotak dengan biaya minimum.
2) Pilih baris atau kolom dengan opportunity cost terbesar ( jika terdapat nilai
kembar, pilih secara sembarang ). Alokasikan sebanyak mungkin ke kotak
dengan nilai Cij minimum pada baris atau kolom yang dipilih. Untuk Cij
terkecil Xij = minimum | Si , Dj |. Artinya penalty terbesar dihindari.
3) Sesuai penawaran dan permintaan untuk menunjukan alokasi yang sudah
dilakukan. Hilangkan semua baris dan koom dimana penawaran dan
permintaan telah dihabiskan.
4) Jika semua penawaran dan permintaan belum dipenuhi, kembali ke
langkah 1 dan hitung lagi opprtunity cost yang baru. Jika penawaran dan
permintaan, solusi awal telah diproleh.
46
2.5.6 Perencanaan Kebutuhan Material (MRP)
Sistem MRP adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik
transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk
produksi menjadi “kebutuhan bersih” untuk semua item. Sistem MRP
dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan
akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien. Disamping itu, sistem
MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk
mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses sehingga sesuai dengan
jadwal produksi untuk produk akhir. Sistem MRP juga dikenal sebagai
perencanaan kebutuhan berdasarkan tahapan waktu (time phase requirements
planning).
Sistem MRP mampu memperbaiki metode perencanaan dan pengendalian
persediaan dengan memperhatikan untuk saling tergantung dan pola lumpy dari
item-item persediaan sehingga asumsi-asumsi yang tidak realistis dalam model
persediaan tradisional dapat dihilangkan.
Sistem MRP bila diterapkan secara benar akan mengurangi jumlah
persediaan barang dan memperbaiki pelayanan pengiriman. Persediaan yang
terlalu banyak akan menyebabkan modal tertanam pada persediaan padahal
seharusnya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan lain yang akan
memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan oleh mekanisme atau prosedur dalam
sistem MRP yang memungkinkan kondisi-kondisi nyata yang dalam model
tradisional diasumsikan dapat dimasukkan dalam perhitungan.
47
Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan
informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan,
pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk
membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan
perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
Ada 4 tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP, yaitu sebagai berikut :
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat
Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai atau material
harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam jadwal induk produksi.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item
Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan
secara tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua
kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada
pabrik sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pemesanan yang
dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat
48
memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika
mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik.
Ada tiga input yang di butuhkan oleh sistem MRP. Ketiga input itu adalah sebagai
berikut :
a. Jadwal induk produksi
b. Catatan kesehatan Persediaan
c. Struktur Produk
Jadwal induk produksi dibuat berdasarkan permintaan (yang diperoleh dari
daftar pesanan atau peramalan) terhadap semua produk jadi yang di buat. Hasil
peramalan (sebagai perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana
produksi agregat (sebagai perencanaan jangka menengah), yang pada akhirnya
dibuat rencana jangka panjang, yaitu menentukan jumlah produksi yang
dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta periode waktunya untuk suatu
jangka perencanaan.
Perencanaan jadwal induk produksi dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah menentukan besarnya kapasitas atau kecepatan operasi yang
diinginkan. Perencanaan ini biasanya dilakukan pada tingkat agregat (dengan
meminimalkan total biaya produksi untuk keseluruhan produk yang dibuat) sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki. Tahap kedua perencanaan adalah menentukan
jumlah total tenaga kerja yang dibutuhkan di setiap periode, jumlah mesin, dan
jumlah shift kerja yang diperlukan untuk penjadwalan. Output dari sistem MRP
adalah berupa rencana pemesanan atau rencana produksi yang dibuat atas dasar
lead time. Lead time dari suatu item yang dibeli adalah rentang waktu sejak
49
pesanan dilakukan sampai barang diterima. Lead time item yang dibuat adalah
rentang waktu sejak perintah pembuatan sampai dengan item selesai diproses.
Sistem MRP memiliki suatu prosedur tertentu. Agar prosedur ini dapat
diterapkan dengan hasil yang tepat, maka ada beberapa prinsip dan persyaratan
yang harus disertakan dalam penerapan sistem MRP. Sistem MRP memiliki
empat langkah utama yang selanjutnya keempat langkah ini harus diterapkan satu
per satu pada periode perencanaan dan pada setiap item. Langkah-langkah
tersebut adalah sebagai berikut:
• Lotting : Penentuan ukuran lot.
• Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
• Offsetting : Penetapan besarnya lead time.
• Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk item level di bawahnya.
Dalam sistem MRP terdapat lima faktor yang menyebabkan kesulitan dalam
proses perhitungan. Kelima proses tersebut adalah sebagai berikut :
Struktur Produk
Struktur Produk merupakan sesuatu yang mutlak harus ada untuk dapat
diterapkan sistem MRP. Struktur produk yang rumit dan banyak levelnya
akan membuat perhitungan semakin kompleks terutama dalam proses
explosion. Proses explosion merupakan suatu prosedur untuk menghitung
jumlah kebutuhan kotor dalam tingkat yang lebih bawah setelah
dilakukan proses offsetting pada item produknya.
Ukuran lot
50
Dalam sistem MRP dikenal berbagai macam teknik penentuan lot.
Berdasar tingkatannya, teknik penentuan lot dapat dikategorikan sebagai
berikut :
a. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas tak terbatas.
b. Teknik ukuran lot untuk satu tingkat dengan kapasitas terbatas.
c. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas tak
terbatas.
d. Teknik ukuran lot untuk banyak tingkat dengan kapasitas terbatas.
Teknik penetapan ukuran lot dalam satu tingkat dengan asumsi kapasitas
tak terbatas dapat diklarifikasikan lagi ke dalam empat cara sebagai
berikut :
a. Fixed Order Quantity (FOQ)
Salah satu cirinya adalah ukuran lotnya selalu tetap, tetapi periode
pemesannya selalu berubah.
b. Economic Order Point (EOQ)
Metode ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama
satu tahun sebesar 12 bulan. Metode ini baik digunakan bila semua
data konstan dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat
besar.
c. Lot For Lot (LFL)
Teknik ini digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya
simpan per unit sangat mahal. Di samping itu, teknik ini sering
51
digunakan pada sistem prduksi manufaktur yang mempunyai sifat
set-up permanen pada proses produksinya.
d. Fixed Period Requirement (FPR)
Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode
waktu tertentu saja.
Lead Time yang berbeda-beda
Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time,
dimana lead time akan mempengaruhi offsetting. Lead time produksi juga
akan tergantung pada berapa banyak jumlah yang diproduksi.
Kebutuhan yang berubah
Sistem MRP dirancang untuk menjadi sistem yang fleksibel terhadap
perubahan-perubahan, baik perubahan dari luar (permintaan) maupun dari
dalam (kapasitas). Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya
berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan (timing) namun
mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan.
Komponen Umum
Komponen umum berarti kompnen tersebut dibutuhkan oleh lebih baik
satu induk item-nya.
Keterangan untuk tabel MRP adalah sebagai berikut :
1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit.
2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan
dirakit.
52
3. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau
memanufaktur suatu komponen.
4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan
sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.
5. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa
periode sebelumnya.
7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk
menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang.
8. Lot size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang.
9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan di produksi atau
dipakai pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas
gross requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS).
Untuk komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned
Order Release induknya.
10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima
pada periode tertentu.
11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material
yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Projected
Available Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on
hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu
dan menguranginya dengan Gross Requirement pada periode yang sama.
Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut :
53
( ) ( ) ( )ttt ceiptsScheduledquirementGrossPABPAB ReRe21 1 +−= −
12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen
yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk
memenuhi Master Production Scheduled. Net Requirement = 0 jika
01≥PAB dan ( ) 1Re PABquirementNet −= jika 01≤PAB .
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang
dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat
yang sama dengan Net Requirement, akan tetapi ukuran pemesanannya
(lot sizing) bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus
mempertimbangkan Safety Stock juga.
14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus di-
release atau dimanufaktur sehingga komponen itu tersedia ketika
dibutuhkan oleh induk item-nya. Kapan suatu order harus di-release
ditetapkan dengan sebelum dibutuhkan.
15. Projected Available Balance 2 (PAB2) menyatakan kuantitas material
yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Projected
Available Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned
Order Receipts pada Net Requirements.
( ) ( ) ( )( )t
ttt
ceipterPlannedOrdquirementGrossceiptsScheduledPABPAB
ReReRe2 1
+
−+= −
atau dapat disingkat :
( ) ( )tt ceipterPlannedOrdPABPAB Re12 +=
16. Teknik Lotting EOQ (Economic Order Quantity) adalah
54
HDSQ 2
=∗
Di mana : D = pemakaian selama periode perencanaan
S = biaya pemesanan
H = biaya penyimpanan per unit per periode perencanaa