Optimasi pola suplai premium impor ke terminal bbm area ...

7
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang PT Pertamina merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara yang dituntut harus mampu memberikan pelayanan untuk kepentingan publik dalam hal ini jaminan ketersediaan produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Seiring dengan diimplementasikannya ketentuan dalam Undang Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yaitu PT Pertamina (Persero) tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan bisnis di bidang produksi dan pendistribusian BBM yang awalnya merupakan pemain tunggal dan berperan sebagai regulator dalam dunia Migas, saat ini hanya berperan sebagai operator/ pelaku bisnis bidang Migas sama halnya dengan perusahaan Migas swasta lainnya. Tantangan bagi PT Pertamina (Persero) yaitu harus mampu bersaing dengan competitor yaitu untuk memperoleh pangsa pasar dan profit perusahaan, karena saat ini pengelolaan BMM berubah dari cost and fee menjadi Public Service Obligation (PSO) dan non PSO yang semula penugasan pemerintah menjadi revenue generator bagi perusahaan. Selain itu memiliki tugas khusus yaitu menjaga ketahanan stok BBM secara nasional terlebih lagi untuk produk BBM yang merupakan barang PSO seperti Premium dengan tingkat demand yang tinggi hal ini karena sebagian besar penduduk Indonesia masih menggunakan BBM jenis Premium. Berdasarkan Rencana Jangka Panjang Pertamina (RJPP), salah satu target perusahaan yaitu harus dapat mempertahankan market share dan meningkatkan volume penjualan melalui salah satu strateginya yaitu memiliki jaringan suplai dan distribusi yang efisien serta menjalankan operasi secara excellence dan efisien. Dengan kebijakan dan tuntutan diatas maka perusahaan harus melakukan cost efficiency. Salah satu hal yang memiliki kontribusi besar pada faktor biaya yaitu dari segi transportasi, dimana transportasi memiliki peranan penting sebagai penghubung untuk menghasilkan barang dari bahan baku dan dari fungsi ke sub fungsi didalam suatu sistem untuk meminimalkan biaya (Tseng et al, 2005). Terlebih lagi PT Pertamina (Persero) memiliki tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan stok BBM di seluruh pelosok negeri dengan jangkauan distribusi yang luas. Berdasarkan artikel pada media “Supply Chain Indonesia” yang ditulis oleh Zaroni (2015) bahwa transportasi berperan penting dalam manajemen rantai pasok, pengelolaan kegiatan transportasi yang efektif dan efisien akan memastikan pengiriman barang dari perusahaan ke pelanggan dengan tepat waktu, tepat jumlah, tepat kualitas dan tepat penerima. Biaya transportasi memberikan kontribusi tidak kurang dari 60% dari total biaya logistik perusahaan. Hal ini juga disampaikan oleh Salim (1993) bahwa lancarnya transportasi, tepat waktu, adanya jaminan keselamatan barang dengan biaya relatif murah akan mempengaruhi harga atau mutu komoditi sampai pada konsumen. Hal ini juga diperkuat oleh Siahaya (2013), bahwa dalam Supply Chain Management (SCM) terdapat SCM Link (Jejaring Link) yang terdiri dari 7 (tujuh) mata rantai yaitu Supplier, Manufacture, Warehouse, Transportation, hagemDistributor, Retailer dan Customer. Ini menunjukkan bahwa transportasi

Transcript of Optimasi pola suplai premium impor ke terminal bbm area ...

Optimasi pola suplai premium impor ke terminal bbm area barat (west cluster) pt.pertamina perseroPT Pertamina merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara yang
dituntut harus mampu memberikan pelayanan untuk kepentingan publik dalam hal
ini jaminan ketersediaan produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Seiring dengan
diimplementasikannya ketentuan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yaitu PT Pertamina (Persero) tidak
lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan
bisnis di bidang produksi dan pendistribusian BBM yang awalnya merupakan
pemain tunggal dan berperan sebagai regulator dalam dunia Migas, saat ini hanya
berperan sebagai operator/ pelaku bisnis bidang Migas sama halnya dengan
perusahaan Migas swasta lainnya. Tantangan bagi PT Pertamina (Persero) yaitu
harus mampu bersaing dengan competitor yaitu untuk memperoleh pangsa pasar
dan profit perusahaan, karena saat ini pengelolaan BMM berubah dari cost and fee
menjadi Public Service Obligation (PSO) dan non PSO yang semula penugasan
pemerintah menjadi revenue generator bagi perusahaan. Selain itu memiliki tugas
khusus yaitu menjaga ketahanan stok BBM secara nasional terlebih lagi untuk
produk BBM yang merupakan barang PSO seperti Premium dengan tingkat
demand yang tinggi hal ini karena sebagian besar penduduk Indonesia masih
menggunakan BBM jenis Premium. Berdasarkan Rencana Jangka Panjang
Pertamina (RJPP), salah satu target perusahaan yaitu harus dapat mempertahankan
market share dan meningkatkan volume penjualan melalui salah satu strateginya
yaitu memiliki jaringan suplai dan distribusi yang efisien serta menjalankan
operasi secara excellence dan efisien. Dengan kebijakan dan tuntutan diatas maka
perusahaan harus melakukan cost efficiency.
Salah satu hal yang memiliki kontribusi besar pada faktor biaya yaitu dari
segi transportasi, dimana transportasi memiliki peranan penting sebagai
penghubung untuk menghasilkan barang dari bahan baku dan dari fungsi ke sub
fungsi didalam suatu sistem untuk meminimalkan biaya (Tseng et al, 2005).
Terlebih lagi PT Pertamina (Persero) memiliki tanggung jawab untuk menjamin
ketersediaan stok BBM di seluruh pelosok negeri dengan jangkauan distribusi
yang luas. Berdasarkan artikel pada media “Supply Chain Indonesia” yang ditulis
oleh Zaroni (2015) bahwa transportasi berperan penting dalam manajemen rantai
pasok, pengelolaan kegiatan transportasi yang efektif dan efisien akan
memastikan pengiriman barang dari perusahaan ke pelanggan dengan tepat waktu,
tepat jumlah, tepat kualitas dan tepat penerima. Biaya transportasi memberikan
kontribusi tidak kurang dari 60% dari total biaya logistik perusahaan. Hal ini juga
disampaikan oleh Salim (1993) bahwa lancarnya transportasi, tepat waktu, adanya
jaminan keselamatan barang dengan biaya relatif murah akan mempengaruhi
harga atau mutu komoditi sampai pada konsumen.
Hal ini juga diperkuat oleh Siahaya (2013), bahwa dalam Supply Chain
Management (SCM) terdapat SCM Link (Jejaring Link) yang terdiri dari 7 (tujuh)
mata rantai yaitu Supplier, Manufacture, Warehouse, Transportation,
hagemDistributor, Retailer dan Customer. Ini menunjukkan bahwa transportasi
2
Management merupakan solusi untuk memecahkan masalah tingginya biaya
logistik, yang mengintegrasikan supplier, pengusaha, gudang, dan tempat
penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dengan
kuantitas yang tepat, lokasi tepat, dan waktu tepat. Biaya logistik faktor penting
yang mempengaruhi harga produk, tingginya biaya logistik saat ini karena
buruknya infrastruktur transportasi sehingga sangat diperlukan pembangunan
infrastruktur transportasi yang terencana, terpadu dan terintegrasi (Wirabrata dan
Silalahi 2012).
menggunakan sarana transportasi kapal (maritime) sehingga biaya transportasi
dapat mempengaruhi arus perdagangan. Pada penelitian mereka dihasilkan bahwa
biaya transportasi maritime memberikan pengaruh yang besar pada perdagangan
yaitu kenaikan biaya transportasi sebesar 10% dapat menyebabkan penurunan
perdagangan sebesar 6-8%. Oktaviana et al (2011), transportasi laut menjadi
pilihan dalam hal dunia perdagangan dibandingkan dengan jenis transportasi
lainnya baik darat maupun udara yaitu sekitar 67% dengan alasan tarif murah,
kapasitas angkut besar dan akses yang relatif mudah. Ascencio et al (2014),
transportasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada biaya pokok
produksi sehingga harus terintegrasi segala informasi terkait perencanaan produk,
terlebih lagi dari segi demand. Rencana kebutuhan dan rencana produksi yang
terinformasikan maka dapat meminimalkan total biaya, selain itu dapat membantu
perencanaan dan penjadwalan perbaikan sarana dan fasilitas di lokasi misalnya
dalam penelitian ini jika direncanakan ada perbaikan dermaga ataupun sarana
angkut (kapal).
logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien guna meningkatkan daya saing, dan
menjamin keberadaan komoditi strategis dari bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Oleh karena itu, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga
transportasi laut akan menjadi transportasi utama untuk mendistribusikan barang
maka diperlukan model pola distribusi/ suplai via kapal dari produsen ke
konsumen yang optimal dengan mempertimbangkan batasan maupun tujuan
sehingga biaya transportasi dapat seminimal mungkin.
Kebutuhan premium dalam negeri berasal dari 2 (dua) sumber yaitu
produksi kilang PT Pertamina (Persero) dan produk dari impor. Kebutuhan
premium yang sangat tinggi dan keterbatasan kemampuan produksi kilang dalam
negeri mengharuskan untuk melakukan impor premium sebesar 60% dari
kebutuhan nasional. PT Pertamina sebagai operator/ pelaku bisnis yang dituntut
agar memenuhi kebutuhan premium nasional dan dituntut untuk memaksimalkan
profit harus berupaya mengatur strategi distribusi premium. Salah satu upaya
perusahaan agar tetap dapat bersaing dalam bisnis Migas yaitu melalui efisiensi
disemua lini termasuk dalam hal mendistribusikan produk, oleh karena itu peneliti
berencana untuk melakukan kajian terkait model optimasi pola suplai premium
khususnya untuk area “West Cluster” menggunakan kapal tanker. Sebagian besar
suplai Premium ke Terminal BBM (selanjutnya:TBBM) Pertamina yang berada di
3
“West Cluster” bersumber dari Impor dengan pola direct supply dari Loading Port
di Singapore ke TBBM “West Cluster”. TBBM Pertamina yang termasuk dalam
“West Cluster” yaitu Medan, Tanjung Uban, Teluk Kabung, Panjang, Merak,
Jakarta, Tanjung Gerem, dan Semarang. TBBM Jakarta tidak menjadi fokus
dalam penelitian ini dikarenakan pemenuhan kebutuhan Premium mayoritas dari
Kilang RU VI Balongan menggunakan jalur pipa, sedangkan TBBM yang
menjadi fokus penelitian ini yaitu TBBM yang pemenuhan kebutuhannya
bersumber dari Impor menggunakan kapal tanker sebagai sarana transportasinya.
TBBM tersebut adalah TBBM Utama dengan fasilitas bongkar muat dan
penyimpanan dalam skala besar yang menerima kargo impor dan akan menjadi
supply point ke TBBM Regional menggunakan truck, RTW (Rail Train Wagon),
dan small tanker. Kapal tanker merupakan kategori kapal dengan sebuah geladak
dimana terdapat tangki-tangki yang tersusun secara integral maupun terpisah yang
digunakan untuk mengangkut minyak curah (mintak mentah atau minyak yang
sudah didestilasi), cairan kimia, gas cair dan sebagainya (Suyono 2003).
Pengaturan suplai saat ini yaitu hanya dilakukan direct dari loading port
ke TBBM dengan kuantiti yang disesuaikan storage di masing-masing (ukuran
parcel kecil), tanpa memperhitungkan kajian alternatif pola suplai premium
lainnya, misalnya dengan melakukan impor dengan ukuran parcel (volume) besar
ke TBBM yang memiliki kapasitas besar sehingga biaya pengiriman dan
selanjutnya akan dilakukan backloading ke TBBM lainnya (transshipment).
Dengan ukuran volume yang besar dalam pengiriman barang maka biaya
transportasi per barang akan lebih rendah, hal ini disampaikan oleh Bowersox et
al. (2013) bahwa hubungan antara volume dengan biaya (economy of weight)
mengindikasikan biaya transportasi per unit barang akan menurun seiring dengan
peningkatan besarnya jumlah muatan (volume) karena biaya tetap pengiriman dan
administrasi yang sama untuk ukuran batasan parcel tertentu. Pratiwi et al. (2012)
melakukan kajian model transhipment untuk distribusi gas elpiji, dengan
menerapkan model tersebut menggunakan program solver di komputer dapat
mengoptimalkan biaya pengiriman. Kesulitan lainnya jika direct supply ke TBBM
yaitu untuk control kegiatan di loading port sepenuhnya oleh supplier sehingga
untuk pengaturannya akan lebih sulit.
Fakta lainnya bahwa terdapat TBBM yang pemanfaatannya kurang
optimal, berdasarkan data dari penggunaan tangki Premium di TBBM Merak pada
tahun 2015 sebesar rata-rata 37% dari tank capacity, masih rendah dibandingkan
dengan ukuran optimal berdasarkan ketentuan Badan Klasifikasi Indonesia (2015)
dan menurut McKernan (2011) yaitu 95%. Dengan utilisasi yang masih rendah
tersebut, maka masih ada ruang untuk melakukan pengembangan sehingga
utilisasi tangki dapat lebih optimal. Hal ini lainnya yang dapat menggambarkan
utilisasi TBBM tersebut yaitu dari segi occupancy jetty atau lebih dikenal dengan
istilah berth occupancy ratio (BOR). BOR merupakan rasio penggunaan dermaga
dalam bentuk persen (%) yang dapat memberikan informasi mengenai seberapa
padat arus kapal yang tambat dan melakukan kegiatan bongkar muat di dermaga
sebuah pelabuhan. BOR di dermaga TBBM Merak yaitu sebesar 35%, sedangkan
batas optimal yang direkomendasikan oleh UNCTAD (United Nations Conference
On Trade And Development) yaitu sekitar 70% (Supriyono 2013) yang
menandakan pemanfaatannya masih dapat ditingkatkan lagi. Hal ini menjadi
4
yang lebih optimal.
Melalui kajian pada penelitian ini diharapkan diperoleh pola suplai premium
impor ke TBBM “West Cluster” yang optimal dengan minimasi biaya
transportasi. Dalam penelitian ini akan dibuat model optimasi pola suplai produk
Premium impor ke TBBM „West Cluster dengan menggunakan metode Integer
Linear Programming.
Perumusan Masalah
Tahun 2001 serta kewajiban PT Pertamina (Persero) untuk menjamin ketersediaan
pasokan BBM nasional hingga ke pelosok negeri menuntut PT Pertamina
(Persero) untuk melakukan cost efficiency, salah satunya yaitu efisiensi dalam hal
jaringan suplai dan distribusi. Berbeda halnya dengan perusahaan swasta yang
bergerak dibidang sejenis, menurut Fatonny dan Aprianingsih (2014) bahwa
perusahaan swasta hanya mendirikan stasiun pengisian bahan bakar di kota-kota
besar terlebih lagi di Pulau Jawa dan Sumatra sehingga biaya pendistribusian
produk tidak setinggi yang dikeluarkan oleh PT Pertamina, hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi perusahaan.
Suplai premium saat ini didominasi berasal dari impor dengan pola
distribusi menggunakan kapal tanker minyak direct supply dari loading port
(Singapore) ke TBBM tujuan dengan ukuran/ volume parcel kecil yang
disesuaikan dengan kapasitas tanki masing-masing lokasi, sehingga frekuensi
pengiriman lebih sering dikarenakan tingginya demand premium.
Di sisi lainnya, terdapat salah satu TBBM yang memiliki kapasitas tangki
besar namun untuk pemanfaatannya belum optimal karena hanya menerima
muatan dalam ukuran volume kecil. Menurut Salim (1993), biaya transportasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana salah satunya yaitu volume angkutan
dimana harga jasa angkutan per ton kilometer per jam dapat berubah-ubah
tergantung dari jumlah muatan yang diangkut, jarak yang ditempuh dan waktu
yang dibutuhkan untuk mengangkut muatan tersebut. Hal ini diperkuat dengan
penelitian Carotenuto et al (2015) yaitu mengenai distribusi Fuel Oil dari Depot
ke Petrol Station (Pom Pengisian) bahwa untuk meminimalkan total jarak
pengiriman dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan pemanfaatan sumber
daya (dalam hal ini yaitu kapal tanker dan storage) sehingga frekuensi pengiriman
bisa berkurang. Berdasarkan uraian diatas, peneliti memiliki inisiatif untuk
melakukan kajian pola suplai premiun impor ke TBBM “west cluster”, dan yang
akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana model pola suplai dan biaya transportasi premium impor ke
TBBM di West Cluster saat ini?
2. Bagaimana model pola suplai dan biaya transportasi premium impor ke
TBBM di West Cluster setelah dioptimasi?
3. Bagaimana efisiensi yang diperoleh dengan menerapkan pola suplai
optimasi yang terpilih?
1. Mendeskripsikan pola suplai dan biaya transportasi premium impor ke
TBBM di West Cluster saat ini
2. Merancang pola suplai, menganalisis hasil optimasi dan menghitung biaya
transportasi premium Impor ke TBBM di West Cluster dengan tujuan
meminimumkan biaya transportasi
3. Mengetahui tingkat efisiensi yang akan diperoleh dengan menerapkan pola
suplai baru.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak, antara
lain:
1. Bagi akademisi dan peneliti agar dapat menambah referensi bahan pustaka
untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Bagi perusahaan Pertamina agar dapat diperoleh kajian evaluasi pola
suplai premium impor yang diterapkan saat ini dan melakukan optimasi
terhadap pola suplai sehingga tercipta efisiensi bagi perusahaan. Dan lebih
jauh lagi, dapat diterapkan untuk jenis produk minyak yang berbeda
dengan lokasi yang berbeda.
Premium dengan ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
1. Objek penelitian yaitu PT Pertamina (Persero) dengan pemilihan lokasi
TBBM di wilayah “West Cluster” yaitu TBBM yang berada di Indonesia
bagian barat Indonesia, meliputi: Medan (Sumatra Utara), Tanjung Uban
(Kepulauan Riau), Merak (Banten), Teluk Kabung (Padang, Sumatra
Barat), Semarang (Jawa Tengah), Tanjung Gerem (Banten), dan Panjang
(Lampung). Lokasi yang dipilih merupakan TBBM Utama yang berada di
wilayah barat Indonesia dan sumber pemenuhan kebutuhan premium
berasal dari impor. Sedangkan TBBM Jakarta yang merupakan salah satu
TBBM west cluster tidak termasuk dalam penelitian ini karena mayoritas
suplai premium dari Kilang RU VI Balongan yaitu mencapai minimal 60%
dari total kebutuhan, dimana suplai dari Kilang tidak menggunakan kapal
tanker melainkan menggunakan jalur pipa. Definisi TBBM utama
mengacu pada Pedoman Supply dan Distribusi BBM milik internal
perusahaan adalah tempat penerimaan, penimbunan/ penyimpanan dan
penyaluran BBM/BBK yang pembekalannya dilaksanakan menggunakan
angkutan tanker dan atau pipa yang berasal dari kilang/ impor/ floating
storage dalam jumlah besar dilengkapi dengan fasilitas back loading
(pemuatan kembali) dan melakukan penyerahan kepada konsumen atau
6
tangki timbun lebih besar dari instalasi. Back loading adalah pemuatan
BBM dari suatu lokasi untuk dikirim ke pelabuhan penerima/ lokasi lain
yang lebih kecil dan tidak mungkin dicapai oleh tanker yang relatif besar.
Pada penelitian ini, kegiatan back loading menggunakan kapal tanker
untuk mensuplai BBM ke lokasi lain.
2. Sarana dan Fasilitas di TBBM maupun kapal tanker yang dimiliki
perusahaan saat ini tanpa adanya tambahan investasi dan dalam kondisi
normal operasi.
3. Data demand premium, kapasitas tangki, data biaya-biaya yang digunakan
pada penelitian, kecepatan kapal, dan jarak menggunakan data PT
Pertamina (Persero) periode bulan Januari - Desember 2015.
4. Resource premium impor berasal dari Singapore dengan loading port di
terminal Vopak Sebarok Singapore. Hal ini dikarenakan sebagain besar
kargo impor premium berasal dari terminal tersebut, dibandingkan dengan
terminal muat lainnya. Komposisi terminal muat kargo premium impor
dapat dilihat pada Gambar 1.
Terminal Muat
Gambar 1 Terminal muat kargo premium impor
2 TINJAUAN PUSTAKA
Objek pada penelitian ini adalah produk Premium yang merupakan bahan
bakar kendaraan bermotor dengan tingkat konsumsi mayoritas oleh penduduk
Indonesia saat ini. Premium dikenal dengan penamaan Mogas 88 (Motor Gasline
88) di pasar internasional yang merupakan bahan bakar mesin bensin yang
memiliki angka oktana (RON) minimal 88,0 hasil blending dari komponen
Naphtha dan HOMC. Standar Mutu Premium baik yang diproduksi oleh Kilang
maupun dari sumber impor mengacu pada Keputusan Direktorat Jenderal Minyak
dan Gas Bumi No. 933.K/10/DJM.S/2013 tanggal 19 November 2013 tentang
Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis bensin 88 yang
Dipasarkan di Dalam Negeri, spesifikasi mutu produk premium dapat dilihat pada
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB