Bab 2
-
Upload
matthew-mckenzie -
Category
Documents
-
view
19 -
download
3
Transcript of Bab 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang
(masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Anatomi ginjal tampak dari depan, di sini dapat kita ketahui
bahwa ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
(transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati
dan limpa. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3 (Syaifuddin,
2006)
Gambar 2.1
Anatomi Ginjal
Panjang ginjal pada orang dewasa adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7
hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya
sekitar 150 gram. Ukuranya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.
Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan
pasanganya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan
tanda yang paling penting (Syaiffudin, 2006).
Gambar 2.2
Letak Anatomi Ginjal (Price and Wilson, 2006)
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus
adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik dan ureter. Ginjal
diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar
dengan jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan
ginjal (Price dan Wilson, 2006). Secara umum struktur makroskopis ginjal terdiri
dari beberapa bagian:
1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/ terdiri dari korpus
renalis/ Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis.
2. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal.
4. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/ medula yang menonjol ke arah
korteks.
5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/ area di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/ meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
7. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
8. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
Gambar 2.3
Struktur Makroskopis Ginjal
Sumber: Novartis.com
Struktur ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
renalis yang terdiri dari jaringan fibrosa berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat
lapisan korteks (substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla
(substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal piramid. Puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papila renalis. Masing-masing piramid saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah
renalis 15-16 buah.
Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang yang
terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul dan kapiler satu
badan malfigi yang disebut glomerulus. Pembuluh aferen yang bercabang
membentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke
vena kava inferior.
Ginjal mendapat persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini
berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ginjal. Di atas ginjal
terdapat kelenjar suprarenalis, kelenjar ini merupakan sebuah kelenjar
bantu yang menghasilkan dua macam hormon yaitu hormon adrenalin dan
hormon kortison. Adrenalin dihasilkan oleh medulla. Berikut ini adalah
struktur mikroskopik ginjal:
a. Nefron
Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran
ginjal terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal
manusia memiliki kira-kira 1.3 juta nefron. Setiap nefron bisa membentuk urin
sendiri. Karena itu fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.
b. Glomerulus
Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut
glomerulus, yang terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan
darah mendorong sekitar 120 ml plasma darah melalui dinding kapiler glomerular
setiap menit. Plasma yang tersaring masuk ke dalam tubulus. Sel-sel darah dan
protein yang besar dalam plasma terlalu besar untuk dapat melewati dinding dan
tertinggal.
c. Tubulus kontortus proksimal
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah
disaring oleh glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat
glomerulus diserap kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar
tubulus kotortus proksimal. Panjang 15 mm dan diameter 55 μm.
d. Ansa henle
Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal
dimana, tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian
naik kembali kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-
14 mm.
e. Tubulus kontortus distalis
Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil longgar kedua.
Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada tubulus
kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit)
mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.
f. Duktus koligen medula
Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus
dari ekskresi natrium urin terjadi disini. Duktus ini memiliki kemampuan
mereabsorbsi dan mensekresi kalsium.
Gambar 2.4
Proses Pembentukan Urin
2.2 Fisiologi ginjal
Fungsi ginjal menurut Price dan Wilson (2006) di bedakan menjadi dua yaitu
fungsi eksresi dan non ekskresi, antara lain:
a. Fungsi ekskresi
1) Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mosmol dengan
mengubah ubah ekskresi air.
2) Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-
ubah ekskresi Na+.
3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal.
4) Mempertahankan PH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3 –
5) Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein
(terutama urea, asam urat dan kreatinin).
6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
b.Fungsi non ekskresi
1) Menghasilkan renin : penting dalam pengaturan tekanan darah.
2) Menghasilkan eritropoetin meransang produksi sel darah merah oleh
sumsum tulang.
3) Menghasilkan 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3
menjadi bentuk yang paling kuat.
4) Mengaktifkan prostaglandin sebagian besar adalah vasodilator,
bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.
5) Mengaktifkan degradasi hormon polipeptida.
6) Mengaktifkan insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon
pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida
intestinal vasoaktif [VIP]).
Proses pembentukan urine menurut Syaifuddin (2006) glomerulus berfungsi
sebagai ultrafiltrasi pada simpai bowman, berfungsi untuk menampung hasil
filtrasi dari gomerulus. Pada tubulus ginjal akan terjadi penyerapan kembali zat-
zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa cairan akan diteruskan ke piala
ginjal berlanjut ke ureter.
Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal,
darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada tiga tahap pembentukan urine:
a.Proses filtrasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih
besar dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan
sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang
tersaring ditampung oleh simpai Bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium,
klorida, sulfat, bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorbsi terjadi pada tubulus
atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan diserap
kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapanya terjadi secara
aktif dikenal dengan reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada
papila renalis.
c.Proses sekresi
Sisanya penyerapan urine kembali yang pada tubulus dan
diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika
urinaria.
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
2.3.1 Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²,
seperti pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Batasan Penyakit Ginjal Kronik
2.3.2 Tahapan Perkembangan Penyakit Ginjal Kronik
Berdasarkan perkembangan penyakitnya, penyakit ginjal kronik terdiri
dari lima tahap. Tabel 2.2 menjelaskan klasifikasi PGK .
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Sumber : Suwitra dalam Sudoyo (2006)
2.3.3. Etiologi
Penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :
1. Penyakit infeksi: pielonefritis kronik atau refluks, nefropati,
tubulointestinal.
2. Penyakit peradangan: glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensi: nefrosklerosis maligna, nefrosklerosis
benigna, stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat: lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan hederiter: penyakit ginjal polikistik
hederiter, asidosis sistemik progresif.
6. Penyakit metabolik: diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
7. Nefropati toksik: penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif karena obstruksi saluran kemih karena batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertrofi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital leher vesika urinarian dan uretra.
2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfitrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Suwitra dalam Sudoyo,
2006).
Fungsi renal menurun menyebabkan produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Akibatnya
terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka gejala akan semakin berat (Smeltzer dan Bare, 2002).
Retensi cairan dan natrium akibat dari penurunan fungsi ginjal
dapat mengakibatkan edema, gagal jantung kongestif/ CHF, dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi karena aktivitas aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
CKD juga menyebabkan asidosis metabolik yang terjadi akibat
ginjal tidak mampu mensekresi asam (H-) yang berlebihan. Asidosis metabolik
juga terjadi akibat tubulus ginjal tidak mampu mensekresi
ammonia (NH3-) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan
ekresi fosfat dan asam organik lain juga dapat terjadi.
Selain itu CKD juga menyebabkan anemia yang terjadi karena
produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah
merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan
akibat status uremik pasien, terutama dari saluran pencernaan.
Eritropoitein yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sumsum tulang
untuk menghasilkan sel darah merah jika produksi eritropoietin menurun
maka mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina, dan
sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan
metabolisme akibat penurunan fungsi ginjal. Kadar serum kalsium dan
fosfat dalam tubuh memiliki hubungan timbal balik dan apabila salah
satunya meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Akibat
menurunya glomerular filtration rate (GFR) kadar fosfat akan serum
meningkat dan sebaliknya kadar serum kalsium menurun. Terjadinya
penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Tetapi, gagal ginjal tubuh tidak merespon normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon. Sehingga kalsium di tulang
menurun, yang menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit
tulang. Demikian juga dengan vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang
dibentuk diginjal menurun seiring dengan perkembangan gagal ginjal.
Penyakit tulang uremik/ osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon (Nursalam, 2006).
2.3.5. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) tanda dan gejala penyakit ginjal kronik
didapat antara lain :
1. Umum : lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan debilitas, edema.
2. Kepala dan leher : foetor uremi
3. Mata : fundus hipertensi dan mata merah
4.
5. Kardiovaskuler: hipertensi, pitting edema kaki, tangan, sekrum), edema
periorbital, pembesaran vena leher, sindroma overload, perikarditis uremik.
6. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit terang dan bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
7. Pulmoner : krekles, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernafasan
kussmaul, efusi pleua, edema pulmo.
8. Gastrointestinal: nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada
mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan
dari saluran GI.
9. Neurologi: kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku, mioklonus, tremor, asteriksis, penurunan kesadaran, koma.
10. Muskuloskeletal: kram otot, kekuatan otot hilang, faktor tulang,
11. Reproduktif: amenore, atrofi testikuler.
2.3.6. Penatalaksanaan Medis
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra dalam Sudoyo (2006) antara lain:
Tabel 2.2 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Sumber: Suwitra dalam Sudoyo (2006)
Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal
kronik berdasarkan tabel diatas adalah:
1) Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang
tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30%
dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras,
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3) Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan
nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia).
4) Pembatasan Asupan Protein
Asupan protein dan fosfat pada pasien PGK dijelaskan dalam tabel 2.3
Tabel 2.3 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
Sumber : Suwitra dalam Sudoyo (2006)
5) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi,
memeperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan
kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim
konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor).
6) Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
7) Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
8) Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1.Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai
GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al.,
2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
2.3.7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare
(2001) yaitu :
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin-angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
6. Ensefalopati Uremikum
Ensefalopati uremik muncul pada pasien dengan gagal ginjal dan
ditandai dengan perubahan perilaku (apatis, gangguan kognitif, defisit atensi,
kebingungan, halusinasi) sa, sakit kepala, disatria, dan mioklonik (mioklonus
koreoatetosis, tremor, asterixis). Ensefaopati yang berat bisa menyebabkan
koma. Diagnosis banding untuk ensefalopati uremikum diantaranya berupa
penyakit serebral primer, seperti perdarahan intra kranial, keracunan obat
karena gangguan katabolisme, dan ensefalopati hipertensi. Sindrom
neurologis yang serupa bisa timbul selama atau setelah
hemodialisis/peritoneal dialisis (dyequilibrium syndrome). Dialisis
ensefalopati (dialisis demensia; sekarang jarang) mungkin adalah akibat
keracunan aluminium sebagai komplikasi dari hemodialisis kronis.
Manifestasi termasuk disatria dengan gagap dan terbata-bata, mioklonus,
epilepsi, dan perubahan perilaku.
2.3.8 Pencegahan
2.3.8.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari
diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan,
antara lain:
a. Modifikasi gaya hidup
Pola hidup memegang peranan penting dalam menentukan derajat kesehatan
seseorang. Mengatur pola makan rendah lemak dan mengurangi garam, minum air
yang cukup (disarankan 10 gelas atau dua liter per hari), berolahraga secara teratur
dan mengatur berat badan ideal, hidup dengan santai merupakan upaya yang dapat
dilakukan untuk menjaga fungsi organ tubuh untuk dapat bekerja maksimal.
Bernafas dalam dan perlahan selama beberapa menit perhari dapat
menurunkan hormon kortisol sampai 50%. Kortisol adalah hormon stress yang
apabila terdapat dalam jumlah berlebihan akan mengganggu fungsi hampir semua
sel di dalam tubuh. Bersantai dan melakukan latihan relaksasi serta mendengarkan
musik juga merupakan alternatif untuk mengurangi stress.
b. Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik tanpa
sepengetahuan dokter, misalnya obat pereda nyeri yang dijual bebas dan
mengandung ibuprofen maupun obat-obatan herbal yang belum jelas
kandungannya.
c. Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang
diketahui nefrotoksik.
2.3.8.2 Pencegahan Sekunder
a. Penegakan diagnosa secara tepat
Pengelolaan terhadap penyakit ginjal yang efektif hanya dapat
dimungkinkan apabila diagnosisnya benar. Pemeriksaan fisis yang diteliti dan
pemilahan maupun interpretasi pemeriksaan laboratorium yang tepat amat
membantu penegakan diagnosis dan pengelolaannya. Ginjal mempunyai kaitan
yang erat dengan fungsi organ-organ lain dan demikian pula sebaliknya, oleh
karena itu haruslah penderita dihadapi secara utuh bukan hanya ginjalnya saja,
baik pada pengambilan anamnesis maupun pada pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan lainnya.
b.Penatalaksanaan medik yang adekuat
Pada penderita gagal ginjal, penatalaksanaan medik bergantung pada proses
penyakit. Tujuannya untuk memelihara keseimbangan kadar normal kimia dalam
tubuh, mencegah komplikasi, memperbaiki jaringan, serta meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan yang dilakukan
diantaranya:
1.Penyuluhan pasien/keluarga
Pasien lebih mampu menerima pendidikan setelah tahap akut. Materi yang
dapat dimasukkan dalam pendidikan kesehatan meliputi: penyebab kegagalan
ginjal, obat yang dipakai (nama obat, dosis, rasional, serta efek dan efek
samping), terapi diet termasuk pembatasan cairan (pembatasan kalium, fosfor dan
protein, makan sedikit tetapi sering), perawatan lanjutan untuk gejala/tanda yang
memerlukan bantuan medis segera (perubahan haluaran urine, edema, berat badan
bertambah tiba-tiba, infeksi, meningkatnya gejala uremia).
2.Pengaturan diet protein, kalium, natrium
Pengaturan makanan dan minuman menjadi sangat penting bagi penderita
gagal ginjal. Bila ginjal mengalami gangguan, zat-zat sisa metabolisme dan cairan
tubuh yang berlebihan akan menumpuk dalam darah karena tidak bisa dikeluarkan
oleh ginjal. Konsumsi protein terlalu banyak dapat memperburuk kondisi
kerusakan ginjal karena hasil metabolismenya yang paling berbahaya, urea,
menumpuk didalam darah sehingga terjadi peningkatan Blood Urea Nitrogen
(BUN). Diet gagal ginjal juga didukung dengan pembatasan asupan natrium
(garam) untuk mengatur keseimbangan cairan-elektrolit, pemberian makanan
yang kaya kalsium untuk mencegah osteotrofi ginjal (penurunan masa jaringan,
kelemahan otot) dan memperbaiki gangguan irama jantung yang tidak seimbang
(aritmia).
3.Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit
Perubahan kemampuan untuk mengatur air dan mengekskresi natrium
merupakan tanda awal gagal ginjal. Tujuan Dari pengendalian cairan adalah
memepertahankan status normotensif (tekanan darah dalam batas normal) dan
status normovolemik (volume cairan dalam batas normal). Dapat dilakukan
dengan pengendalian elektrolit, seperti: Hiperkalemia: dikendalikan dengan
mengurangi asupan makanan yang kaya dengan kalium (pisang, jeruk, kentang,
kismis, dan sayuran berdaun hijau).
2.3.8.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian.
Pengobatan penyakit yang mendasari, sebagai contoh: masalah obstruksi saluran
kemih dapat diatasi dengan meniadakan obstruksinya, nefropati karena diabetes
dengan mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol tekanan darah.
a. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara
pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju
kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama
yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi
solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan
konsentrasi atau tekanan tertentu.
-Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia
adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai
ginjal buatan.
-Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran
selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan
dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis. CAPD
merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu
diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien
diabetes dan kardiovaskular)
b.Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal
karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan
menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal.
Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat
berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru
mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam
menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru
(donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis
dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan
membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang
dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru
saja meninggal (donor kadaver).