Asma Berat

19
Asma Berat: Kemajuan dalam Manajemen Saat Ini dan Terapi di Masa Mendatang Peter J. Barnes, FMedSci, FRS London, United Kingdom Efektifitas dari pengobatan asma berat adalah kebutuhan utama yang tidak terpenuhi karena gejala-gejala yang ada pada pasien tidak dikontrol dengan perawatan maksimum dengan terapi inhalasi. Gejala asma dapat menjadi terkontrol buruk karena kurangnya kepatuhan terhadap pengontrolan terapi, dan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi inhaler yang mengandung kortikosteroid dan b2- agonist berkelanjutan sebagai terapi pereda selain untuk pemantauan perawatan. Bronkodilator-bronkodilator yang baru dengan durasi yang lebih panjang sedang dalam pengembangan, & studi baru-baru ini telah menunjukkan manfaat jangka panjang dari antikolinergik bronkodilator selain b2-agonists pada pasien dengan asma yang berat. Terapi Anti- IgE bermanfaat pada pasien dengan asma berat tertentu. Beberapa blocker mediator baru tertentu, termasuk prostaglandin D2, IL-5, IL- 9, dan IL-13, yang juga dalam uji coba klinis dan bermanfaat pada pasien dengan subtipe asma berat. Beberapa terapi anti-inflamasi broad-spectrum yang menargetkan peradangan neutrophilik dalam pengembangan klinis untuk pengobatan asma berat, tetapi efek setelah pemakaian oral memerlukan pengobatan inhalasi. Makrolid bermanfaat pada beberapa pasien dengan infeksi oleh bakteri atipikal, tetapi baru-baru ini diperoleh hasil tidak mendukung, meskipun terdapat efek pada pasien dengan asma neutrophilic dominan. Resistensi kortikosteroid merupakan masalah utama pada pasien dengan asma berat, dan beberapa mekanisme molekuler telah dideskripsikan yang mengakibatkan pendekatan terapeutik yang baru, termasuk obat yang bisa membalikkan resistensi ini, seperti teofilina dan nortriptyline. Pada pasien dengan asma berat, terdapat keterkaitan thermoplasty bronkial yang mungkin bermanfaat, tapi sejauh ini, studi klinis dengan hasil yang tidak mendukung. Akhirnya, beberapa subtipe dari asma berat sekarang diakui, dan di masa depan, maka perlu untuk menemukan beberapa biomarker yang dapat memprediksi respon-respon tertentu dari terapi . (J Allergy Clin Immunol 2012;129:48- 59.) .

description

jfbjb

Transcript of Asma Berat

Asma Berat: Kemajuan dalam Manajemen Saat Ini dan Terapi di Masa MendatangPeter J. Barnes, FMedSci, FRS London, United Kingdom

Efektifitas dari pengobatan asma berat adalah kebutuhan utama yang tidak terpenuhi karena gejala-gejala yang ada pada pasien tidak dikontrol dengan perawatan maksimum dengan terapi inhalasi. Gejala asma dapat menjadi terkontrol buruk karena kurangnya kepatuhan terhadap pengontrolan terapi, dan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi inhaler yang mengandung kortikosteroid dan b2-agonist berkelanjutan sebagai terapi pereda selain untuk pemantauan perawatan.Bronkodilator-bronkodilator yang baru dengan durasi yang lebih panjang sedang dalam pengembangan, & studi baru-baru ini telah menunjukkan manfaat jangka panjang dari antikolinergik bronkodilator selain b2-agonists pada pasien dengan asma yang berat. Terapi Anti-IgE bermanfaat pada pasien dengan asma berat tertentu. Beberapa blocker mediator baru tertentu, termasuk prostaglandin D2, IL-5, IL-9, dan IL-13, yang juga dalam uji coba klinis dan bermanfaat pada pasien dengan subtipe asma berat.

Beberapa terapi anti-inflamasi broad-spectrum yang menargetkan peradangan neutrophilik dalam pengembangan klinis untuk pengobatan asma berat, tetapi efek setelah pemakaian oral memerlukan pengobatan inhalasi. Makrolid bermanfaat pada beberapa pasien dengan infeksi oleh bakteri atipikal, tetapi baru-baru ini diperoleh hasil tidak mendukung, meskipun terdapat efek pada pasien dengan asma neutrophilic dominan.

Resistensi kortikosteroid merupakan masalah utama pada pasien dengan asma berat, dan beberapa mekanisme molekuler telah dideskripsikan yang mengakibatkan pendekatan terapeutik yang baru, termasuk obat yang bisa membalikkan resistensi ini, seperti teofilina dan nortriptyline. Pada pasien dengan asma berat, terdapat keterkaitan thermoplasty bronkial yang mungkin bermanfaat, tapi sejauh ini, studi klinis dengan hasil yang tidak mendukung. Akhirnya, beberapa subtipe dari asma berat sekarang diakui, dan di masa depan, maka perlu untuk menemukan beberapa biomarker yang dapat memprediksi respon-respon tertentu dari terapi . (J Allergy Clin Immunol 2012;129:48-59.).

Key words: Corticosteroids, bronchodilator, cytokine, chemokine,IgE, kinase, p38 mitogen-activated protein kinase, bronchial thermoplasty,corticosteroid resistance, macrolide

Asma berat didefinisikan sebagai suatu kegagalan pada sebuah pencapaian pengontrolan dengan terapi inhalasi dengan dosis maksimun dan mewakili salah satu terapi utama yang tidak terpenuhi untuk kebutuhan terapeutik pada penyakit asma. Meskipun saat ini penanganan asma sangat efektif, kebanyakan pasien dengan gejala terkontrol baik jika mereka teratur menghirup Kortikosteroid (ICSs) dengan atau tanpa b2-agonists berkelanjutan (LABAs) dalam inhaler kobinasi.

Namun meskipun ketersediaan terapi sangat efektif, lebih dari setengah pasien dengan asma di seluruh dunia memiliki penyakit yang tampaknya kurang dikontrol, sebagian besar karena kurangnya kepatuhan terhadap pengontrolan terhadap terapi. Pada pasien yang sulit pada perawatan asma, lebih dari 80% menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap terapi inhalasi reguler. Bahkan pada pasien dengan asma yang paling berat ditangani dengan Prednisolon oral (maintenance) (Steroid-Tergantung Asmanya), hanya sekitar setengah dari pasien menggunakan steroid oral berdasarkan Plasma Prednisolone Assays.

Hal ini menunjukkan kurangnya kepatuhan merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap buruknya dalam pengontrolan asma. Pada pasien dengan asma refraktori dengan sputum eosinophilia yang persisten meskipun peresepan ICSs dengan dosis tinggi atau steroid oral (maintenance), pengobatan dengan injeksi intramuskular triamcinolonedosis tinggi menunjukkan hasil hilangnya sputum eosinophilia pada mayoritas pasien. Hal ini menunjukkan hasil yang buruk dengan inhalasi dan bahkan kortikosteroid oral merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap sulitnya mengobati asma dan buruknya terhadap kepatuhan terhadap pengontolan terapi merupakan faktor yang penting dalam keparahan asma.

Alasan dari buruknya hasil dari terapi reguler, terutama pada pasien dengan asma berat, adalah kurangnya pemahaman yang baik, tetapi kurangnya gejala dengan segera gejala berefek lega, seperti yang terlihat pada perawatan dengan antiinflamasi, seperti kortikosteroid, merupakan hal yang penting. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam keakuratan menentukan kepatuhan terhadap terapi, dan strategi untuk mengatasi masalah ini perlu dicari. Temuan ini juga menunjukkan bahwa pasien dengan asma yang terkontrol buruk mungkin membutuhkan tambahan terapi anti-inflamasi.

Tinjauan ini membahas beberapa pendekatan yang tersedia saat ini & perkembangan pada manajemen asma berat atau asma refraktori. Terdapat beberapa kelas baru obat-obatan yang sedang dalam pengembangan untuk pengobatan asma berat, tetapi perlu tantangan pembuktian untuk menemukan terapi yang efektif & aman. Walaupun asma berat hanya sekitar 5% sampai 10% dari semua pasien asma, dengan jumlah lebih dari setengah dari pengeluaran kesehatan ditujukan pada asma, karena pasien dengan asma berat mengkonsumsi obat-obatan yang lebih mahal dan cenderung untuk dirawat di rumah sakit atau memerlukan penanganan medis tambahan.

Strategi penggunaan SMARTBeberapa studi telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan asma sedang ke berat, ada peningkatan dalam pengontrolan asma dan pengurangan yang signifikan pada berat eksaserbasi berat jika inhaler kombinasi budesonide / formoterol digunakan sebagai pengganti dari b2-agonist jangka pendek, sedangkan terapi maintenance dengan budesonide / formoterol diatur dua kali sehari seperti biasa. Strategi ini sekarang dikenal sebagai inhaler maintenance tunggal dan terapi reliever (SMART) dan mungkin dapat digunakan dengan setiap kombinasi inhaler yang mengandung formoterol, terlepas dari kortikosteroid yang digunakan. Namun, strategi ini tidak mungkin dengan salmeterol atau b2-agonists sekali seharian, seperti indacaterol & vilanterol, semua yang memiliki efek samping kumulatif.

Alasan ilmiah penggunaan SMART sekarang dipahami dengan baik dikarenakan ICS digunakan sebagai terapi penyelamat dengan onset cepat dari efek anti inflamasi dan mencegah terjadinya peradangan yang didahului oleh eksaserbasi akut. Strategi SMART efektif pada pasien dengan asma sedang dan berat, meskipun terbatasnya studi perihal asma berat yang belum kondusif. Strategi ini juga mungkin efektif bahkan ketika pasien lupa akan dosis terapi maintenance mereka dan oleh karena itu masalah kunci kurangnya perihal kepatuhan dengan terapi controller telah dibahas di atas. Memang, studi yang diperlukan di masa sekarang terfokus pada formoterol hirup / kombinasi steroid hirup sebagai terapi penyelamat, bahkan pada keadaan tidak adanya dosis maintenance.

KORTIKOSTEROID BARUBeberapa ICS saat ini tersedia untuk penggunaan klinis, dan semuanya memilik manfaat klinis yang serupa, tetapi ada perbedaan sifat farmako-dinamiknya sehingga eksposur sistemiknya mungkin berbeda. Karena pasien dengan asma berat memerlukan dosis yang lebih tinggi dari ICSs, ada keuntungan dalam mengembangkan kortikosteroid sistemik dengan efek samping sistemik yang lebih sedikit. Ciclesonide merupakan IC yang baru-baru ini dikembangkan dan tampaknya memiliki sedikit efek sistemik dan efek samping lokal karena pro-drug ini diaktifkan di paru-paru dengan prinsip aktif des-ciclesonide oleh esterases, sedangkan beberapa aktifasi kecil terjadi di oropharynx.

Hal ini menunjukkan bahwa ciclesonide dosis tinggi berguna dalam pengobatan asma parah. Beberapa ICS ditekan dalam dosis inhaler sekarang dikelola dengan hydrofluoroalkane 134a daripada chlorofluorocarbon sebagai propelan, & hasilnya dalam ukuran partikel yang lebih kecil, sehingga obat-batan tersebut lebih baik disimpan di jalan nafas yang kecil. Secara teoritis,hal ini harus lebih efektif dalam mengobati pasien dengan asma berat dengan peradangan jalan nafas perifer dengan tanda inflamasi kecil dari jalan nafas.

Beberapa Studi menunujukkan bahwa ICSs dengan hydrofluoroalkane 134a propellants pada pasien dengan asma berat.

Semua ICS yang tersedia saat ini diserap dari paru-paru dan cenderung memiliki potensi untuk efek samping sistemik. Hal ini mengarahkan untuk mencari ICS lebih aman dengan mengurangi bioavailability oral, mengurangi penyerapan dari paru-paru, atau pengaktivasian dalam sirkulasi karena hal ini akan memungkinkan dosis yang lebih tinggi akan diberikan dengan aman pada pasien dengan asma berat. Steroid yang tidak berasosiasi diusakan untuk memisahkan mekanisme efek samping dari mekanisme anti-inflamasi. Hal ini mungkin secara teoritis karena efek sampingnya dimediasi terutama melalui trans-aktifasi dan mengikat glucocorticoid reseptor DNA, sedangkan sebagian besar efek anti-inflamasi dimediasi melalui transrepresisi faktor-faktor transkripsi melalui efek non-genomik.

Pemisahan Steroid dirancang untuk memperoleh efek lebih besar pada transaktifasi daripada di transrepresisi, dengan demikian dapat memiliki rasio terapeutik yang lebih baik dan bahkan juga cocok pada pemberian oral. Aktivator reseptor nonsteroidal glucocorticoid selektif, seperti AL-438 dan mapracorat, sedang dalam pengembangan klinis. Namun, beberapa efek anti-inflamasi kortikosteroid dikarenakan transaktifasi gen anti-kobaran, dan oleh karena itu aktifator reseptor glucocorticoid selektif tidak mungkin manjur seperti ICSs. Kortikosteroid mematikan gen peradangan dengan merekrut enzim histone nuklear deacetylase-2 (HDAC2) ke tempat inisiasi diaktifkannya gen peradangan sehingga aktivator enzim ini juga memiliki efek antiinflammatory atau meningkatkan efek anti-inflamasi corticosteroids.

BRONKODILATOR BARUBronchodilators memainkan peran penting dalam mengurangi gejala pada pasien dengan asma berat, dan saat ini, LABAs merupakan bronchodilators pilihannya, biasanya diberikan dalam kombinasi dengan ICSs dengan dosis inhaler tetap. Bronkodilators sangat penting dalam penaganganan asma karena mereka mengurangi dan mencegah bronkokonstriksi. Telah ada beberapa kemajuan dalam pengembangan bronchodilators untuk pengobatan asma berat.

b2-agonists b2-Agonists merupakan bronkodilator paling efektif karena berperan sebagai antagonis fungsional pada kontraksi otot halus saluran nafas, terlepas dari tidak respeknya pada stimulus konstriksi. LABAs salmeterol dan formoterol telah memiliki kemajuan besar dalam pengelolaan asma berat & biasanya digunakan melaui inhaler kombinasi dengan kortikosteroid. Ada kekhawatiran tentang keamanan LABA, dikarenakan terdapat bukti meyakinkan bahwa LABA yang digunakan tanpa kortikosteroid dapat meningkatkan eksaserbasi berat dan kematian.

Namun, belum ada bukti yang jelas bahwa LABAs menimbulkan risiko jika dikombinasikan dengan kortikosteroid dan oleh karena itu hanya boleh digunakan dalam bentuk inhaler kombinasi. Beberapa b2-agonists harian Ultra LABA sedang berada dalam penelitian klinis, termasuk indacaterol (sudah tersedia untuk penyakit paru obstruktif kronik (COPD) di beberapa negara), carmoterol, vilanterol, dan olodaterol. Bagi pasien asma, ultra-LABA ini harus tersedia dengan kortikosteroid dalam bentuk kombinasi tetap. Saat ini, fluticasone furoate/vilanterol dan mometasone/indacaterol sedang dalam pengembangan klinis untuk asma sebagai inhaler kombinasi harian.

Beberapa bronkodilator antimuskarinik (antikolinergik) merupakan pilihan terapi lini pertama pada pasien dengan COPD, tetapi pada pasien dengan asma, mereka kurang efektif daripada pemberian b2-agonists karena mereka hanya memblokir komponen bronkokonstriksi kolinergik, sedangkan b2-agonists membalikkan semua bronkonstriktor, termasuk efek langsungnya pada mediator inflamasi, seperti histamin, leukotriene (LT) D4, dan prostaglandin (PG) D2. Percobaan pada hewan baru-baru ini telah menunjukkan peran penting kolinergik dari mekanisme akhir dari alergen inhaler yang disensitasi pada gen babi dikarenakan antagonis muskarinik jangka panjang (LAMA) tiotropium bromida sepenuhnya memblok respon lambat dari hewan yang tidak diberikan anestesi.

Respon ini juga diblokir oleh obat-obatan blok TRPA1, mengaktifkan ion channel dari saraf jalan nafas, disarankan bahwa penyebab alergen tersebut merilis mediator (sejauh yang sudahteridentifikasi) yang mengaktifkan TRPA1, pada refleks bronkokonstriksi kolinergik. Terdapat juga peningkatan bukti bukti bahwa reseptor muskarinik dapat diaktifkan oleh asetilkolin yang dilepaskan dari sel-sel non-neuronal, seperti epitel dan sel-sel inflamasi.

Acetilkolin-transferase dapat diinduksi ke dalam sel epitel mediator inflamasi, seperti TNF-a, dan sebaiknya mensintesis asetilkolin yang dapat meningkat pada jalan nafas pasien asma. Pada sensitasi tiotropium pada gen babi dapat menghambat inflamasi eosinofil pada saluran nafas dan peningkatan respon dari jalan nafas, bahkan pada hewan pemamahbiak, ditemukan bahwa tiotropiumlah yang menghalangi efek non-neuronal dari asetilkolin yang dikeluarkan pada reseptor muscarinic M3 dan tiotropium yang juga memblok mekanisme perdangan eosinophilic.Tiotropium juga menghambat TH2 sitokin pada orang yang terkena alergi yang disebabkan oleh tikus dan bahwa yang dari PBMCs manusia. Hal tersebut juga mengurangi peradangan eosinophilic, ekspresi gen mucin, dan renovasi saluran udara dalam model asma murine, melalui pengaruh langsung fibroblasts. Tiotropium juga menghambat peradangan neutrophilic dan fibrosis saluran udara setelah dicoba LPS berulang pada gen babi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tiotropium memiliki efek antiinflamasi melalui antagonisme neuronal asetilkolin dan ekstra-neuronal pada reseptor M3 di sel-sel peradangan. Terdapat juga bukti bahwa reseptor M3 dihalang dengan tiotropium menghambat induksi asetilkolin pada pelepasan faktor neutrofil chemotactic (terutama LTB4) dari makrofagamanusia. In vitro dan penelitian eksperimental telah membuka jalan untuk penelitian klinis tiotropium baru-baru ini pada pasien dengan asma, terutama pada orang-orang dengan penyakit yang berat. Studi terbaru menunjukkan bahwa tiotropium harian sebagai brokodilator tambahan yang berguna ketika ditambahkan ke LABA pada beberapa pasien dengan asma parah. Dalam beberapa penelitian sekitar 30% dari pasien dengan asma berat menunjukkan respon tambahan yang baik ketika diberikan tiotropium

Penambahan tiotropium secara signifikan meningkatkan fungsi paru-paru pada pasien dengan gejala yang tidak dapat dikendalikan oleh steroid dosis tinggi ICSs dan LABAs, meskipun tidak ada perbaikan gejala atau status kesehatan. Penelitian lain menunjukkan bahwa tiotropium sebanding dengan salmeterol dalam hal respon bronkus ketika ditambahkan ke ICS pada pasien yang menunjukkan respon yang baik dengan antikolinergik jangka pendek pada pasien asma dengan reseptor genotipe Arg16/Arg16 b2, yang sebelumnya telah dilaporkan kurang responsif nya b2-agonists, tiotropium narian kurang efektif daripada pemberian salmeterol dua kali sehari pada pasien dengan gejala yang tidak dapat dikendalikan dengan ICS tunggal. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan LAMA untuk terapi yang ada pada pasien dengan asma berat yang tidak dapat dikontrol dengan ICS dan LABA bermanfaat, terutama pada pasien Lansia dengan obstruksi elemen jalan nafas permanen, yang memiliki kesamaan dengan pasien COPD.

Terdapat beberapa pengembangan klinis untuk COPD, termasuk glycopyrrolate harian dan GSK573719 serta bromida. Pemberian aclidinium dua kali sehari menunjukkan peningkatan aktifitas antara LABAs dan biksu, menunjukkan bahwa tiga kombinasi LABA + LAMA + ICS bermanfaat pada beberapa pasien dengan asma berat, meskipun pengembangan inhalernya terbukti sulit secara teknis. Beberapa molekul bifunctional yang memiliki aktivitas seperti LABA dan LAMA juga dalam pengembangan, tapi terbukti sulit untuk menyeimbangkan aktifitas b-agonist dan antikolinergik.

Beberapa Kelas dari Novel BronkodilatorTerdapat permasalahan baru-baru ini mengenai keamanan jangka panjang dari LABA pada pasien asma. Novel brokodilator telah terbukti sulit untuk dikembangkan, dan obat-obatan baru, seperti analog peptida intestinal vasoactive dan pembuka kalium channel, memiliki efek samping karena vasodilator otak lebih kuat daripada efek bronkus. Analog peptida intestinal vasoactive, Ro 25-1553 menunjukkan aktivitas bronkus pada pasien asma tapi kurang efektif daripada formoterol inhaler. b2-Agonists dan teofilina merilekskan otot halus dari saluran nafas manusia dengan mengaktifkan konduktansi besar Ca21-pengkatifan potassium channe. Rho kinase inhibitor juga memiliki potensi sebagai bronkodilator tetapi cenderung memiliki efek keracunan yang signifikan.

Baru-baru ini, telah ditemukan bahwa reseptor agonists yang pahit (TAS2Rs), seperti kina, chloroquine, dan sakarin, berefek rileks di saluran nafas manusia secara in vitro dengan meningkatkan kemunculan dari Ca21 lokal, mengakibatkan pembukaan dan hiperpolarisasi dari sel-sel otot halus jalan nafas. Pada beberapa model murine yang dihirup dengan terasa pahit tampaknya lebih efektif daripada b-agonist, walaupun spesies ini sangat tidak responsif terhadap b2-agonists. Teofilina melemaskan otot halus jalan nafas manusia dengan menghambat phosphodiesterase (PDE) 3 di sel-sel otot jalan nafas, sehingga inhibitor selektif pada PDE3, cilostazol dan milrinone, beberapa bronkodilator potensial. Namun, ada kekhawatiran bahwa PDE3 inhibitor berhubungan dengan peningkatan kematian akibat kardiovaskular dalam uji coba klinis sebelumnya. Gabungan PDE3 / 4 inhibitor sedang dalam pengembangan sebagai terapi inhaler untuk asma dan COPD.

PGE2 melemaskan otot halus dari jalan nafas manusia melalui reseptor EP4, dan ditemukan bahwa agonists EP4 selektif berguna sebagai bronkodilator serta menghindari batuk yang disebabkan oleh PGE2 melalui 3 episode reseptor di ujung-ujung persarafan.

ANTI-IgE Omalizumab merupakan terapi novel khusus yang telah disetujui untuk pengobatan asma berat. Omalizumab adalah mAb yang mengikat bagian Fc IgE dan dengan mencegah pengaktifan reseptor IgE afinitas tinggi pada sel mast, basofil, dan sel dendrit, serta reseptor afinitas rendah (pada beberapa sel imun dan inflamasi, termasuk makrofag, eosinofil, dan limfosit T & B. Banyak dari percobaab klinis telah menunjukkan kemanjuran klinis dari omalizumab dalam mengurangi dosis maintenance dari kortikosteron oral dan ICS, serta mengurangi eksaserbasi pada pasien (termasuk anak-anak) dengan asma berat.Pada penelitian yang melibatkan pasien dengan skala besar dengan gejala asma berat yang tidak dikendalikan dengan ICS dan LABA dosis tinggi , omalizumab secara signifikan mengurangi eksaserbasi . Hanya sebagian pasien asma dengan alergi dengan target total serum IgE dengan konsentrasi 70-300 IU/mL menunjukkan respon yang baik, dan dengan biaya tinggi, dengan pemberian terapi selama 3-4 bulan ini sering direkomendasikan untuk mengidentifikasi dari kebaikan dari respon pasien. Sayangnya, meskipun telah dianalisis secara luas, tidak ditemukannya biomarkers klinis yang terukur untuk memprediksi sebuah respon yang baik

Pasien dengan asma nonatopik (intrinsik) saat ini tidak termasuk ke dalamnya, tetapi terdapat bukti bahwa terdapat produksi IgE lokal pada jalan nafas setidaknya ada pada beberapa pasien ini, oleh karena itu penelitiandi masa depan harus menyelidiki kelompok pasien yang sering memiliki kesulitan dalam mengontrol asma. Demikian pula, pada beberapa pasien dengan asma berat yang tak terkendali dengan tingkat IgE total lebih dari 300 IU/mL yang saat ini dikecualikan karena tidak layak untuk memberikan cukup antibodi untuk secara efektif memblokir IgE. Di masa depan, antibodi dengan afinitas lebih tinggi untuk IgE mungkin dikembangkan sehingga bisa digunakan untuk mengobati pasien dengan tingkat total IgE yang sangat tinggi.

MAb (lumiliximab) yang ditujukan untuk melawan FcRII (CD23) untuk mengurangi tingkat IgE total, dengan mengurangi sintesis oleh limfosit B, tetapi memiliki manfaat klinis yang kecil, bahkan pada pasien dengan asma ringan, dan oleh karena itulah tidak lagi dalam pengembangan klinis

PENARGETAN MEDIATOR INFLAMASI lebih dari 100 mediator terlibat dalam peradangan kompleks asma, sehingga tidak mungkin untuk menghalangi sintesis, di mana reseptor untuk satu mediator bisa menjadi sangat efektif. ICS sangat efektif dalam menekan sintesis beberapa mediator inflamasi, tetapi pada pasien dengan asma berat, mereka tampak kurang efektif, sehingga memungkinkan untuk menambahkan antagonis mediator ICSs dosis tinggi akan bermanfaat. Selain itu, peradangan bila dilihat pada beberapa pasien dengan asma berat memiliki pola yang berbeda, dengan dominasi neutrofil, dengan tujuan penargetan mediator inflamasi neutrophilic efektif pada pasien.

Blokade Mediator LipidMediator antagonis yang saat ini digunakan di terapi asma hanya antileukotrien, yang memblokir reseptor cysteinyl leukotriene, tetapi obat ini jauh lebih efektif daripada ICSs dan memiliki sedikit tempat sebagai terapi tambahan pada pasien dengan asma berat. LTB4 merupakan sebuah chemoattractant neutrofil, mastosit dan sel T, termasuk sel memori t effector CD81. LTB4 (BLT1) antagonis tidak mempunyai efek pada pasien dengan asma ringan, tapi belum diuji pada pasien dengan penyakit yang lebih parah, yang akan lebih cenderung menjadi efektif. Reseptor BLT2 afinitas rendah berefek pada beberapa jenis sel, termasuk sel t dan mastosit, dan ketika dihambat oleh oligonucleotides, terdapat penurunan peradangan alergi pada sebuah murine model.

59-Lipoxygenase (59-LO) bekerja melalui 59-LO % pengaktifan protein, dan beberapa novel 59-LO inhibitor sedang dalam pengembangan klinis. Obat ini lebih efektif daripada BLT1 antagonis karena mereka memblokir produksi mediator tambahan, seperti 5-HETE dan 5-oxo-ETE, yang bertindak melalui tertentu OXE receptor.51 5-Oxo-ETE dihasilkan oleh Stres oksidatif dan oleh karena itu kemungkinan akan dihasilkan pada pasien dengan asma berat.

PGD2 dikeluarkan dari mastosit, sel-sel TH2 dan sel dendritik dan mengaktifkan DP2 reseptor, juga dikenal sebagai chemoattractant reseptor homolog yang muncul pada sel TH2 (CRTH2), yang ada di chemotaksis TH2 sel dan eosinofil .Terdapat peningkatan ekspresi dari PGD2 pada pasien dengan asma berat.Bbeberapa CRTH2 antagonis sekarang dalam pengembangan klinis untuk asma, termasuk AMG-853, OC000459, dan MK-7246, yang telah menunjukkan kemanjuran klinis sebagai pengobatan oral untuk asma dan rhinitis.

PGD2 juga mengaktifkan reseptor DP1 yang menengahi vasodilatation dan meningkatkan polarisasi sel TH2 oleh sel dendritik, sehingga antagonis DP1/DP2 ganda mungkin lebih efektif, sedangkan inhibitor PGD sintase akan memblokir PGD2 sintesis dan juga mencegah pengaruh bronchoconstrictor PGD2 yang dimediasi melalui thromboxane reseptor pada otot halus saluran nafas.

Blokade Sitokin

Sitokin memainkan peran penting pada terjadinya peradangan kronis dan renovasi saluran nafas dan oleh karena itu telah menjadi tujuan blokade penting pada pasien asma, terutama pasien dengan gejala yang penyakit parah yang tidak kontrol dengan ICS dosis tinggi. Lebih dari 50 sitokin telah terlibat dalam asma, dan beberapa sudah tujusn dalam penelitian klinis. Ada redundansi besar dari sitokin, dan karena itu mungkin sulit untuk menghambat proses inflamasi secara efektif dengan Pemblokiran selektif. Masalah lainnya adalah biaya tinggi dalam memblokir mAbs, dan karena itu obat ini cenderung menjadi efektif hanya pada pasien dengan penyakit berat. Biaya produksi mungkin dikurangi dengan pengembangan afinitas antibodi yang lebih tinggi atau penggunaan fragmen, seperti domain antibodi, yang lebih murah untuk diproduksi.

Karena mekanisme imun yang berbeda, menyebabkan bekerjanya lebih banyak pada pasien dengan asma berat, diperlukan untuk set yang berbeda pada sitokin sasaran, yang melibatkan sel-sel TH1 dan TH17. Sel-sel TH17 terdapat pasien dengan asma berat, terutama pasien dengan pola didominasi inflamasi neutrophilic.

Menghambat TH2 Sitokin Penghambatan dari IL-4 dengan menggunakan reseptor inhaler larut terbukti mengecewakan, namun efektif menghalangi IL - 13, sitokin terkait mengatur formasi IgE, terutama pada pasien dengan asma berat. IL-13 juga dapat menyebabkan perlawanan kortikosteroid dan oleh karena itu menjadi sasaran yang tepat untuk pasien dengan asma berat. Beberapa pemblokiran reseptor antibodi IL-13 dan IL-4 yang juga dalam pengembangan klinis, tapi sejauh ini, penelitian klinis ke beberapa pasien dengan asma berat terbukti mengecewakan.

MAb memblokir IL-13, lebrikizumab, telah diteliti pada pasien asma dengan gejala yang tidak dikontrol dengan ICSs dosis tinggi dan menunjukkan peningkatan kecil dalam FEV1 (sekitar 5%) dibandingkan dengan plasebo setelah 12 minggu tetapi tidak berpengaruh signifikan pada 24 minggu. Juga terdapat tidak ada perbaikan yang signifikan dalam gejala atau status kesehatan terkait asma dan tidak ada pengurangan eksaserbasi. Menariknya, peningkatan konsentrasi periostin penanda plasma, yang ditemukan dengan analisis proteomic IL-13% yang distimulasi pada sel epitel, menunjukkan respons yang sedikit lebih baik (sekitar 8%) daripada konsentrasi rendah.

Satu pertanyaan tentang kurangnya manfaat anti strategi, mungkindikarenakan dosis Apakah cukup untuk memblokir endogen IL-13 pada saluran nafas.

IL-5 merupakan sangat penting untuk peradangan eosinophilic, dan memblokir antibodi IL-5 (mepolizumab) depletes eosinofil dari sirkulasi dan dahak pasien asma tapi mengecewakan dan tidak berpengaruh pada respon karena terhirupnya alergen, hiperrespon saluran nafas, gejala, fungsi paru-paru, atau eksaserbasi frekuensi pada pasien asma.

Sitokin TH2 lain yang saat ini sedang diteliti adalah IL-9, yang memainkan peran dalam proliferasi sel mast, meskipun ada beberapa bukti bahwa itu diproduksi terutama oleh subset dari sel CD41 T yang ditunjukkan oleh selTH9. Penelitian klinis pada hewan percobaan menunjukkan bahwa inhibisi IL-9 Lead untuk mengurangi alergi peradangan dan hiposekresi lendir, dan memblokir antibodi-IL-9 (MEDI-528) telah terbukti aman setelah suntikan subkutan mingguan, dengan kecenderungan penurunan aktifitas fisik yang disebabkan oleh asma, yang dimediasi melalui aktifasi sel mast.78 besar uji klinis yang sekarang dalam kemajuan.

Sitokin lainSitokin lain yang ditargetkan pada pasien asma adalah TNF-a, yang memainkan peran penting pada mereka yang asma. Beberapa studi lain menganjurkan terapi anti-TNF (menghalangi antibodi infliksimab atau larut pada reseptor TNF) dan berguna dalam mengurangi gejala, exacerbations, dan hiperrespon dari saluran nafas pada pasien dengan asma berat. tetapi penelitian baru-baru in, ' percobaan dengan antibodi humanize menunjukkan tidak ada efek bermanfaat pada fungsi paru-paru, gejala, atau exacerbations, dan ada peningkatan laporan dari peradang paru-paru dan kanker.

Beberapa blocker sitokin saat ini sudah dicobakan pada pasien asma, termasuk IL-17, IL-25, IL-33, GM-CSF, dan faktor sel induk, tetapi sejauh ini, tidak ada penelitian klinis pada pasien dengan asma berat dilaporkan.

Chemokine receptor antagonistsChemokines are small cytokines that attract inflammatorycells, including mast cells, eosinophils, and TH2 cells, into the airwaysand are therefore appropriate targets for therapy, particularlybecause they signal through G proteincoupled receptorsfor which small-molecule antagonists can be developed.86 Themajor focus of interest in asthmatic patients has been the chemokinereceptor CCR3, which is predominantly expressed on eosinophilsand mediates the chemotactic response to CXCL11(eotaxin), which is secreted in asthma. CCR3 is also expressedon mast cells and some TH2 cells. Several small-molecule inhibitorsof CCR3 have been in clinical development, but their effectsin asthmatic patients have not yet been reported because they haveusually been discontinued because of toxicology problems.

Perawatan dengan Anti-Inflamasi Spektrum Luas Fakta bahwa gejala dari pasien dengan asma berat tidak dikendalikan oleh steroid dosis tinggi. Selain itu, peradangan pada beberapa pasien dengan asma berat didominasi neutrophilic sehingga peradangan inhibitor neutrophilic yang diperlukan, dan Kortikosteron tidak efektif terhadap peradangan neutrophilic

Beberapa pendekatan untuk mengobati peradangan neutrophilic berlaku untuk pengobatan asma parah. Meskipun beberapa kelas dari non-corticosteroid spektrum yang luas dengan perawatan anti-inflamasi telah dikembangkan, biasanya terdapat masalah dengan efek samping ketika obat-obatan yang dikonsumsi secara oral.

Yang paling maju dari terapi anti-inflamasi adalah inhibitor PDE4, yang memiliki berbagai macam efek antiinflamasi yang relevan pada asma berat, menghambat sel T, eosinofil, neutrofil, mastosit, otot halus saluran nafas, sel-sel epitel dan saraf. PDE4 inhibitor efektif terhadap peradangan neutrophilic. inhibitor PDE4 oral, roflumilast, memiliki efek penghambatan pada alergi yang disebabkan oleh respon pada pasien dengan asma ringan dan juga mengurangi gejala.

Roflumilast saat ini berlisensi untuk digunakan pada pasien dengan COPD yang parah, dan oleh karena itu ada peningkatan potensidigunakan untuk pengobatan asma berat. Namun, keterbatasan utama untuk obat dari kelas ini dengan beberapa termasuk mual, sakit kepala, serta diare, dan karena itu perlunya untuk membatasi dosisnya.

Inhibitor KinaseEnzim kinase memainkan peran kunci dalam mengatur ekspresi gen peradangan pada pasien asma dan memperkuat peradangan pada pasien dengan asma berat. Faktor transkripsi nuklir faktor kB (NF-kB) mengatur banyak gen peradangan yang abnormal dijumpai pada pasien asma. Molekul kecil inhibitor enzim kunci IKK2/IKKb (inhibitor kB kinase) memblok peradangan yang disebabkan oleh aktivasi NF-kB.

P38 yang diaktifkan oleh mitogen protein kinase (MAPK) mengaktifkan gen peradangan homolog untuk NF-kB, diaktifkan dalam sel dari pasien dengan asma berat, dan dikaitkan dengan proses resistensinya. Kortikosteroid p38 MAPK inhibitor muncul untuk meningkatkan responsif kortikosteroid dalam sel pada pasien dengan asma berat. p38 MAPK juga memiliki peranan penting dalam aktivasi GATA3, Faktor transkripsi yang mengatur diferensiasi sel TH2 dan ekspresi TH2 cytokines. kortikosteron memblokir aktivasi GATA3 . Beberapa molekul p38 inhibitor berada di penelitian klinis untuk pengobatan penyakit radang, tetapi efek samping sistemik telah terbukti menjadi maslah utamanya

Phosphoinositide 3-kinase (PI3K) juga mengatur peradangan dan memiliki beberapa bentuk isoforms, tetapi inhibitor yang tidak selektif akan menjadi racun. Isoenzyme PI3Kg penting dalam respon chemotactic , dan selektif inhibitor sedang dikembangkan, sedangkan aktivasi PI3Kd mengakibatkan kurangnya keresponsifan dari kortikosteroid melalui pengurangan aktivitas HDAC2, sehingga PI3Kd inhibitor berpotensi menimbulkan perlawanan balik dari kortikosteroid pada pasien dengan asma berat. Teofilina inhibitor selektif pada PI3Kd, dan derivatif teofilina yang kekurangan inhibisi PDE atau PI3Kd inhibitor selektif , karena itulah memiliki nilai terapeutik. Perhatian umum tentang novel kinase inhibitor dikarenakan memiliki efek samping karena mereka menargetkan beberapa mekanisme yang dapat ditemukan dalam banyak jenis sel. Oleh karena itu diperlukan untuk mengembangkan formulasi inhaler untuk digunakan pada pasien asma di masa depan.

Limpa tirosin kinase (Syk) yang terlibat dalam aktivasi mastosit dan sel imun lainnya, dan beberapa molekul kecil Syk kinase inhibitor adalah sedang dalam pengembangan, terutama untuk pasien dengan asma berat.

Sel Mast Inhibitor Aktivasi sel mast penting dalam mengendalikan beberapa mekanisme pada pasien dengan asma berat. Ada beberapa pendekatan untuk menghambat aktivasi sel mast . Sel induk merupakan faktor kunci dari regulator sel mast yang hidup pada saluran nafas dan bekerja melalui reseptor c-Kit pada sel mast. Konsentrasi plasma faktor sel induk meningkat pada pasien dengan asma berat. Blokade faktor sel induk atau c-Kit efektif padapercobaan hewan asma, di mana disarankan jalur ini menjadi tujuan yang baik untuk terapi asma yang baru.

Cromones (natrium cromolyn dan natrium nedocromil) menghambat aktivasi esofageal mastosit dan sangat efektif terhadap alergi dan masalah lainyang secara tidak langsung melibatkan aktifasi sel mast.

Permasalahan Resistensi Kortikosteroid Efek anti-inflamas terhadap kortikosteron menjadi faktor penting dalam menentukan keparahan asma. Beberapa mekanisme molekuler sekarang telah dijelaskan untuk memperhitungkan resistensi kortikosteroid pada pasien asma, termasuk aktivasi p38.

P38 MAPK inhibitor telah terbukti meningkatkan respon anti inflamasi pada kortikosteroid di PBMCs pada pasien dengan asma berat, di mana p38 MAPK inhibitor sedang dalam pengembangan klinis untuk pengobatan asma berat. MIF dilaporkan meningkat pada pasien dengan asma berat dan memblokir efek anti-inflamasi Kortikosteroid, tetapi mekanisme molekuler yang kurang dipahami, dan sulit untuk menemukan obat yang menghambat aktifasinya.

There is increasing evidence that corticosteroid resistance inpatients with COPD is due to a reduction in HDAC2 activity andexpression as a result of oxidative and nitrative stress.119 This resultsin increased acetylation of the glucocorticoid receptor, which prevents it from inhibiting NF-kBdriven inflammation.120There is evidence that a similar mechanism might underlie corticosteroidresistance in patients with severe asthma, in whom thereis increased oxidative stress from endogenously generated oxidants.121,122 A novel therapeutic strategy is reversal of this corticosteroidresistance by increasing the expression and activity ofHDAC2, and this can be achieved in several ways (Fig 4).

Aktivasi HDAC2 meningkatkan bukti bahwa resistensi kortikosteroid pada pasien dengan COPD adalah karena penurunan kegiatan HDAC2 yang diakibatkan oleh stres ksidatif dan nitrative ini menghasilkan peningkatan acetylation reseptor glucocorticoid, yang mencegah dari hambatan inflamasi NF-kB. ada bukti bahwa mekanisme yang sama didasari oleh resistensi kortikosteroid pada pasien dengan asma berat, & ada peningkatan Stres oksidatif dari oksidan endogenously yang dihasilkan.

Nortriptyline tricyclic antidepresan dapat membalikkan resistensi kortikosteroid dengan menghambat PI3Kd dan karena itu memiliki manfaat klinis sebagai tambahan terapi. PI3Kd Selektif inhibitor berada di pengembangan klinis untuk pengobatan leukemia sel b tapi juga berguna pada pasien dengan asma berat, terutama jika dikelola dengan inhaler untuk menghindari efek samping hematologi.

Antioksidan Stres oksidatif meningkat pada pasien dengan asma berat, terutama selama eksaserbasi. Stres oksidatif juga mengurangi responsif steroid melalui pengurangan kegiatan dan ekspresi HDAC2 .Hal ini menunjukkan bahwa antioksidan dapat membalikkan perlawanan kortikosteroid dan juga mengurangi peradangan. Sayangnya, saat ini tersedia antioksidan berdasarkan glutathione relatif lemah dan inactivated oleh Stres oksidatif, dan oleh karena itu, antioksidan yang lebih stabil seperti superoksida dismutase mimics dan NADPH oksidase inhibitors.

MACROLIDESThere is evidence that some patients with severe asthma arechronically infected with atypical bacteria, such as Mycoplasmapneumoniae and Chlamydia pneumoniae.133 In patients with infectionconfirmed by means of PCR and culture, there was a significantimprovement in FEV1 after a 6-week course ofclarythromycin.134 However, in a larger trial of patients withpoorly controlled asthma, treatment with clarithromycin over a16-week period did not produce any clinically meaningful improvementin asthma control, even in the patients who had positivePCR results for atypical bacteria, although there was asignificant reduction in airway hyperresponsiveness.135 It haslong been recognized that macrolides have anti-inflammatory effectsthat might be independent of their antibiotic effects.136 Macrolidesappear to inhibit inflammation by inhibiting NF-kB andother transcription factors, but the precise molecular mechanismshave not yet been determined.

MAKROLID Ada bukti bahwa beberapa pasien dengan asma berat kronis yang terinfeksi dengan bakteri atipikal, seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae. Pada pasien dengan infeksi dikonfirmasi dengan PCR, ada peningkatan yang signifikan dalam FEV1 setelah 6 mingu. Sudah lama diakui bahwa Makrolid memiliki efek anti-inflamasi yang independen terhadap efek antibiotik. Makrolid muncul untuk menghambat peradangan dengan menghambat NF-kB dan faktor-faktor transkripsi lain.

FUTURE DIRECTIONSIt is now becoming clear that there are several distinctphenotypes of severe asthma and that these might requiredifferent therapeutic approaches. For example, patients whosesymptoms were not controlled on maximal inhaled therapies thathave high sputum eosinophilia and frequent exacerbations mightbenefit from antiIL-5 therapy with mepolizumab or reslizumab.By contrast, neutrophilic asthma might respond to antiinflammatorytherapies that target neutrophilic inflammation,including PDE4 inhibitors, p38 MAPK inhibitors, CXCR2antagonists, or macrolides.

Petunjuk di Masa Depan Sekarang sudah jelas bahwa terdapat beberapa fenotipe berbeda pda asma berat dan ini memerlukan pendekatan terapeutik yang berbeda. Sebagai contoh, gejala pasien yang tidak dikendalikan terapi inhaler maksimal yang memiliki dahak eosinophilia yang tinggi dan sering menimbulkan eksaserbas, mendapat manfaat dari anti terapi dengan mepolizumab atau reslizumab.

Resistensi Kortikosteroid cenderung menjadi sebuah mekanisme penting yang memberikan kontribusi untuk mengontrol pengobatan yang buruk pada pasien dengan asma berat dan target terapi mekanisme resistensi molekuler kortikosteroid, seperti p38 MAPK inhibitor dalam beberapa pasien, atau perawatan yang meningkatkan tingkat HDAC2, seperti teofilina, nortriptyline, dan PI3Kd inhibitor. Analisis data pada orang dewasa dan anak-anak dengan asma berat merupakan awal untuk mengenali berbeda fenotif. Merupakan hal yang penting untuk mengidentifikasi biomarkers yang memprediksi respon untuk mengidentifikasi subphenotypes terapeutik asma, dan hal ini membutuhkan lebih banyak penelitian sehingga terapi dapat dikelompokkan, terutama untuk terapi dengan target mediator atau mekanisme tertentu, karena hanya sebagian kecil dari pasien dengan asma berat cenderung dengan respon yang memadai.