Askep Hemoragik Post Partum
-
Upload
immhoo-ottes -
Category
Documents
-
view
99 -
download
4
Transcript of Askep Hemoragik Post Partum
ASKEP HEMORAGIK POST PARTUM
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan Post Partum (PPP) merupakan perdarahan yang masih
berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan
sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan post partum bila
tidak mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml
setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan
sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan
memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan
yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital
(seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas,
serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera
dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Dari data WHO (World Health Organization) menunjukan bahwa 25%
dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan postpartum dan
diperkirakan 100.000 kematian maternal tiap tahunnya (Admin, 2009).
Angka Kematian Ibu di Indonesia menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat
penurunan angka kematian ibu (AKI) dari 307 menjadi 228 per 100.000
kelahiran hidup. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB
ditemukan angka kematian ibu sebesar 95 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007, tahun 2008 menjadi 99 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2009
menjadi 130 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2010 sebesar 114 per
100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan yaitu
129 per 100.000 kelahiran hidup, dan target pencapaian millenium
Development Goals (MDGS), yaitu AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2015, perlu dilakukan upaya terobosan yang efektif dan
berkesinambungan (Anonim, 2010).
Penyebab langsung tingginya angka kematian ibu di Indonesia
disebabkan oleh perdarahan 28%, Eklampsia24%, infeksi 20%, komplikasi
Puerperium 8%, abortus 5%, partus macet 5%, trauma obsetri 5 %, emboli 3%
(WHO, 2010).
Perdarahan, khususnya perdarahan post-partum, terjadi secara
mendadak dan lebih berbahaya apabila terjadi pada wanita yang menderita
anemia. Seorang ibu dengan perdarahan dapat meninggal dalam waktu kurang
dari satu jam (Kemenkes RI, 2008). Kondisi kematian ibu secara keseluruhan
diperberat oleh “tiga terlambat” yaitu terlambat dalam pengambilan keputusan,
terlambat mencapai tempat rujukan, terlambat dalam mendapatkan pertolongan
yang tepat di fasilitas kesehatan (Dinas Provinsi NTB, 2010).
Di tingkat provinsi upaya penurunan AKI dan AKB dilakukan melalui
strategi AKINO (angka kematian ibu menuju nol). Untuk mewujudkan strategi /
program tersebut pemerintah provinsi NTB melakukan beberapa upaya
diantarnya peningkatan kualitas tenaga kesehatan, peningkatan sarana dan
prasaran, memberikan layanan yang bermutu diantaranya pemeriksaan hamil
minimal 4 kali, penanganan gizi ibu hamil, penanganan penyakit menular dan
tidak menular pada ibu hamil, persalinan nakes, pelayanan KB, dll (Anonim,
2010).
Dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi, pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya dibidang
kesehatan, diantaranya dengan peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan
manajemen program kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun ternyata masih
perlu adanya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perhatian dan
pemeliharaan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Seperti kita ketahui bersama
bahwa ditingkat masyarakat masalah keterlambatan, utamanya keterlambatan
mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas
kesehatan, terlambat mendapatkan pertolongan di fasilitas kesehatan, serta
masalah 4 terlalu yaitu terlalu muda punya anak(<20 tahun), terlalu banyak
melahirkan(>3 anak), terlalu rapat jarak kelahiran (<2 tahun), terlalu tua (>35
tahun), masih dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan (Kemenkes RI,
2009).
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, telah dilkukan upaya
percepatan AKI. Pada tahun 2000 Departemen kesehatan telah merancangkan
Strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang merupakan strategi terfokus
dalam penyediaan dan pemantapan pelayanan kesehatan, dengan 3 pesan kunci
MPS, yaitu: (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2)
setiap konflikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan
(3) setiap wanita usia subur mempunyai askes terhadap pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan dan penanganan komflikasi keguguran. Upaya percepatan
penurunan AKI tersebut dilaksanakan melalui empat strategi, yaitu: (1)
peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi,(2) kerjasama
lintas program,lintas sektor terkait dan masyarakat termasuk swasta (3)
pemberdayaan perempuan, keluarga dan pemberdayaan masyarakat, dan (4)
meningkatkan survailance, monitoring-evaluasi KIA dan pembiayaan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Karakteristik ibu dan Penyebab terjadinya Perdarahan
Post Partum Di Puskesmas Tanjung Karang Kota Mataram NTB Tahun 2012?”.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui landasan teori serta konsep asuhan keperawatan dari
perdarahan post partum.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang definisi dari perdarahan
post partum.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari perdarahan post partum.
3. Agar mahasiswa mampu memahami serta mampu menguraikan patofiologi
dari perdarahan post partum.
4. Agar mahasiswa mampu memahami tentang factor predisposisi dari
perdarahan post partum.
5. Agar mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis dari perdarahan post
partum.
6. Agar mahasiswa mampu mengetahui serta memahami penatalaksanaan dari
perdarahan post partum.
7. Agar mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan
paerdarahan post partum.
8. Agar mahasiswa mampu merumuskan diagnose serta membuat rencana
tindakan keperawatan pada pasien dengan peradarahan post partum.
9. Agar mahasiswa mampu mengevaluasi pada pasien dengan perdarahan post
partum.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya dalam
memperbanyak referensi tentang penyebab perdarahan post partum sebagai
acuan bagi peneliti selanjutnya.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Memberikan pengetahuan atau gambaran pada masyarakat khususnya
tentang perdarahan post partum terutama faktor penyebab terjadinya
perdarahan post partum dalam 24 jam pertama setelah melahirkan.
1.4.3 Bagi Penulis
Penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan
wawasan dalam penelitian serta sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang
telah didapatkan selama kuliah.
PERDARAHAN POST PARTUM
1.Pengertian Perdarahan Post Partum
Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500
ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan
sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan
memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan
yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital
(seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas,
serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera
dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Perdarahan postpartum sering didefenisikan secara berturut-turut
sebagai kehilangan darah berlebihan dari traktus genetalia dalam 24 jam
setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau lebih, atau sebanyak apapun yang
mengganggu kesejahtraan ibu (Widiarti, 2007).
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan
sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan
perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat
dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi>
100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.
Hemoragia postpartum (perdarahan postpartum) adalah hilangnya darah
lebih dari 500 ml dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi (William, 1981).
Namun, menurut Doengoes (2001), perdarahan postpartum adalah kehilangan
darah lebih 500 ml selama atau setelah melahirkan
2. Jenis-Jenis Perdarahan Postpartum
Menurut pendapat (Varney, 2008).
Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:
1. Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post Partum Primer (Early
Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama setelah kala III. Penyebab utama perdarahan post partum primer
adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late
Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan post partum sekunder ialah perdarahan yang terjadi setelah
anak lahir biasanya hari ke 5-15 post partum. Penyebab utamanya robekan jalan
lahir dan sisa plasenta.
. 3. Klasifikasi perdarahan post partum
1. Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah
perdarahan berlebihan ( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi
dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan.
2. Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah
perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska
persalinan.
4. Penyebab Perdarahan Post Partum
1. Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2011).
b. Tanda dan Gejala
1) Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi lunak
3) Fundus uteri tinggi
Terdapat tanda-tanda syok
c. Etiologi
1) Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun
2) Paritas
3) Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-
otot uterus
4) Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang
dengan hebat sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi
efisien.
5) Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.
6) Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus
dapat meresap diantara serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi
uterus menjadi tidak efektif.
7) Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga
8) Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-
sinus maternalis dan plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi
dan relaksasi dan otot-otot uterus.
9) Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat
dan terus menerus maka uterus akan kekurangan kemampuannya untuk
berkontraksi (Saifudin, 2005).
d. Penatalaksanaanya
1) Pencegahan:
a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri
b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 g) segera setelah
bayi lahir (Prawirohardjo, 2011).
2) Penanganan:
a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya
plasenta (maksimal 15 menit).
Pantau apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus
berlangsung, periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi
dan jahit atau rujuk segera.
Jika tidak lanjutkan langkah berikutnya.
b) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan
lubang serviks.
c) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih
menggunakan teknik aseptik. Lakukan kompresi bimanual internal (KB1)
selama 5 menit dengan cara:
(1) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan handuk
bersih.
(2) Gunakan sarung tangan yang steril DTT.
(3) Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan fundus uteri dan luar)
(4) Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam vagina dan buat
kepalan tinju.
(5) Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama menekan uterus.
(6) Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut, bila
diperlukan.
Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi
hemostasis.
Pantau kembali apakah uterus herkoitr
JikaYa a) Teruskan KB 1 selama 2 menit
b) Keluarkan tangan perlahan - lahan.
c) Pantau kala empat dengan ketat.
Jika Tidak lanjutkan langkah berikutnya
1) Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal
dengan cara:
a) Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas
symphisis pubis.
b) Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri),
usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin).
c) Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan
kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus di
antara kedua tangan tersebut. Ini akan membantu uterus berkontraksi dan
menekan pembuluh darah.
2) Keluarkan tangan perlahan - lahan.
3) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika hipertensi).
4) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ini
Ringer Laktat +20 unit oksitosin. Habiskan 500 ini pertama secepat
mungkin.
5) Ulangi KB 1.
Pantau kembali apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya pantau ibu dengan seksama selama kala empat persalinan.
Jika Tidak lanjutkan langkah berikutnya
a) Rujuk segera
b) Dampingi ibu ke tempat rujukan.
Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 ini
larutan dengan laju 500 mI/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga
menghabiskan 1,5 1 infus. Kemudian berikan 125 mI/jam. Jika tidak tersedia
cairan yang cukup, berikan 500 ini kedua dengan perlahan dan berikan
minuman untuk rehidrasi (Prawirohardjo, 2007).
2. Robekan Jalan Lahir
a. Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin
persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir
biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda/Gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar
mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta
baik (Wiknjosatro, 2006)
c. Etiologi
1) Episiotomi yang terlalu lebar
2) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti,
meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi
dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan
servik uteri.
3) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih
sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila
kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru
terlihat pada pemeriksaan speculum.
4) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi
di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat,
sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia
suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai,
ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi
uterus yang kuat (Prawirohardjo, 2007).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Lakukan episotomi
b) Pemijitan perineum (perineum masage)
c) Posisi meneran yang benar.
2) Penanganan
a) Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir, dan periksa robekan pada
serviks, vagina dan perineum.
b) Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:
(1) Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, robekan
ini dapat sembuh sendiri tidak perlu di jahit.
(2) Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineum,
lakukan heating dengan jahitan pada mukos vagina secara jelujur
menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya dilakukan jahitan otot
perineum dan jahitan kulit.
(3) Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum dan spingter ani,
dilakukan jabitan pada spingter ani mengunakan catgut chromic 3-0 atau 4-0
secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan (Prawirohardjo, 2007)
3. Retensio Placenta
a. Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir
selama 30 menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007).
b. Tanda/Gejala
1) Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan
segera, kontraksi uterus baik.
2) Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi
berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan (Salemba,
2010).
c. Etiologi
1) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh
dalam. Menurut tingkat perlekatannya:
2) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.
3) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai kemiometrium.
4) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembusmiometrium sampai
ke serosa.
5) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh
menembusserosa atau peritoneum dinding rahim.
6) Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena
atonia uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang
akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan
tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya (WHO, 2003).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat
proses separasi dan kelahiran plasenta dengan cara memberikan uterotonika
segera setelah bayi lahir dan melakukan peregangan tali pusat terkendali.
Upaya ini juga disebut penatalaksanaan aktif kala III.
2) Penanganan
a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika
anda dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut.
b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.
c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan
pada penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat
menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa memperlambat
pengeluaran placenta.
d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus
terasa berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari
penarikan tali pusat dan penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena
dapat menyebabkan inversi uterus.
e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan
pengeluaran placenta secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta
secara manual yang merupakan tindakan darurat untuk mengatasi
perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu. Waktu sangat
menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai
tindakan.
f) Peralatan yang diperlukan adalah:
(1) Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena
(2) Kateter
(3) Analgesia atau anastesia
(4) Kocher
(5) Sarung tangan steril
(6) Desinfektan
(7) Partus set
g) Prosedur yang diiakukan adaiah:
(1) Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya pethidin 25 mg) dan
sedatif (misalnya diazepam 10 mg i.m, fenobarbital 30 mg atau fènergan 50
mg melaiui karet infus) untuk menenangkan ibu. Jika obat tersebut tidak
tersedia, langsung lakukan pengeluaran plasenta secara manual. Ibu
mungkin tidak tenang dan tidak nyaman, tetapi tindakan ini dilakukan untuk
menyelamatkan nyawanya.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(2) Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 % atau cairan infus
apapun yang tersedia. Cairan infus kan menggantikan sebagian cairan yang
hilang akibat perdarahan. Hal ini dapat mencegah syok.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(3) Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan. Baringkan ibu terlentang
dengan kedua lututnya ditekuk. Jika ia tidak dapat buang air kecil sendiri,
pasang kateter dengan benar dan kosongkan kandung kencingnya. Kandung
kencing yang penuh dapat menahan lahirnya plasenta. Cabut kateter setelah
kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah
ibu untuk mengedan sedikit. Jika plasenta belum keluar dalam 15 menit,
berikan oksitosin 10 unit I.M sekali lagi. Dan minta suami untuk memilin-
milin putting susu ibu dan meminta keluarga menyiapkan surat rujukan.
(4) Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit tali pusat dengan kocher
kemudian tegangkan tali pusat sejajar lantai. Jika plasenta belum dilahirkan
setelah 30 menit cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara
manual.
(5) Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung tangan steril, waktu sangat
menentukan, lanjutkan prosedur.
(6) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptic kemudian jari
tangan kiri membuka labia minora.
(7) Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik (ibu ditekuk ke dalam
telapak tangan dengan punggung tangan ke bawah) ke dalam vagina.
Telusuri tali pusat bagian bawah sampai ke plasenta. Jika tangan sudah,
dimasukkan ke dalam uterus, jangan mengeluarkannya sampai plasenta
berhasil dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak boleh keluar masuk dan
uterus, karena hal ini dapat memperbesar resiko infeksi.
(8) Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk
memegang kocher, kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
Hal ini akan mencegah uterus bergerak dan membantu kontraksi uterus.
(9) Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
Melepas Plasenta Dari Dinding Uterus
a) Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke
pangkai jari telunjuk. Jaringan terasa seperti spons (bahan busa) yang
terlepas ketika plasenta terpisah dan uterus. Tentukan implantasi plasenta,
temukan tepi plasenta yang paling bawah.
b) Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila di bagian
depan, pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung
tangan menghadap ke atas.
c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat
implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan
dinding uterus, dengan punggung tangan menghadap ke dinding dalam
uterus.
d) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan
pada dinding kavurn uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan
kanan.
e) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke
kranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien),
lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan Plasenta
a) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi
ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat
pada dinding uterus.
b) Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk menahan uterus pada saat
plasenta dikeluarkan.
c) Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat
sambil tangan dalam menarik plasenta keluar (hindari percikan darah).
d) Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat uterus berkontraksi. Jangan
hanya menarik sebagian plasenta karena plasenta dapat robek. Selaput
ditarik keluar secara perlahan dan hati-hati, dengan cara yang sama seperti
mengeluarkan plasenta. Ingat, selaput sekecil apapun yang tertinggal di
dalam uterus dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan dan/atau
inteksi.
e) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
f) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial
setelah plasenta lahir.
g) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar tidak lebih
dari 500 cc
h) Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca tindakan.
Perawatan Pascatindakan
a) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi
apabila masih diperlukan.
b) Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di dalam kolom yang
tersedia.
c) Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d) Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai
tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
e) Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama
perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (Anggraini, 2010).
4. Rest Placenta
a. Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput
mengandung pembuluh darah (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda dan gejala
1) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung
pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera
2) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi
tinggi fundus tidak berkurang (WHO, 2003).
c. Etiologi
1) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga
2) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui
3) Jaringan yang melekat dengan kuat
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan
pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa
plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien-
pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub-involusi uterus
2) Penanganan
a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena
dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G
supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila
serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks
hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan
AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB 8 gr %,
berikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
5. Robekan Servik
a. Konsep Dasar
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks
seorang multipara berbeda dengan yang belum pernah melahirkan
pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat
menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi rahan yang tidak berhenti
walaupun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu
dipikirkan adanya perlukan jalan lahir khususnya robekan serviks uteri.
Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan
juga harus dilakukan secara rutin setelah tindakan obstetrik yang sulit
(Sumarah, 2009).
Perdarahan pasca persalinan pada uterus yang berkontraksi baik
harus memaksa kita untuk memeriks aserviks uteri dengan pemeriksaan
spekulum sebagai profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit
menjadi indikasi untuk pemeriksaan spekulum (obstetric patologi Unpad,
edisi 2, 2005).
b. Diagnosa
Jika perdarahan post partum pada uterus yang berkontraksi baik
harus idlakukan pemeriksaan serviks secara inspekulo. Sebagai profilaksis
sebaiknya semua pesalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk
pemeriksaan inspekulo.
c. Etiologi
Etiologi robekan serviks yaitu : partus presipitatus, trauma karena
pemakaian alat seperti cunam, vakum ekstraktor, melahirkan kepala janin
dengan letak sungsang secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum
lengkap, partus lama dimana telah terjadi serviks edem sehingga jaringan
serviks sudha menjadi rapuh dan mudah robek.
d. Pencegahan
Tindakan : siapkan pasiend alam posisi lithotomic, bila penderita
tidak dapat berkemih, lakukan kateterisasi; cabut kateter setelah kandung
kemih dikosongkan; masukkan kateter di tempat yang tersedia
(dekontaminasi); pasang bilah spekulum bawah secara vertikal, kemudian
putar gagang speculum ke bawah; pasang speculum atas, atur sedemikian
rupa sehingga dinding vagina dan porsio tampak dengan jelas.
e. Penanganan
1) Ambil kedua klem yang menandai tempat robekan
2) Perbaiki posisi klem kiri dan kanan (di antara tempat robekan) dengan
memindahkan masing-masing klem ke lateral kiri dan kanan (dengan jarak
2,5 cm dari tepi robekan kiri dan kanan).
3) Upayakan agar cakupan jepitan klem dapat mencapai garis yang malaluyi
titik paling ujung dari robekan.
4) Bila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri yang disebabkan oleh
penjepitan atau pasien tidak kooperatif (gelisah), instruksikan asisten untuk
menyuntikkan sedatif dan analgetika
5) Bila ujung robekan dapat dicapai, teruskan jarum dimulai dari 1 cm di atas
luka, ikat dengan jahitan angka delapan.
6) Operator sebagai patokan arah: mulai penjahitan dari bagian paling distal
terhadap operator, tusukkan jarum pada bagian luar karena porsio
tembuskan ke dalam dan silangkan ke dalam kiri, tembuskan ke kiri luar
distal, menyeberangi garis robekan ke luar kanan distal menembus dalam
kanan distal, silangkah ke kiri dalam proksimal kemudian menembus ke kiri
luar proksimal, buat simpul kunci dan jepit sisa benar sebagai panduan
jahitan berikut : lanjutkan penjahitan dengan cara yang sama hingga ke
ujung luar robekan hingga seluruh robekan porsio terjahit dengan baik dan
perdarahan dapat diatasi.
f. Perawatan pasca tindakan
1) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan buat
instruksi, apabila diperlukan
2) Catat kondisi pasien pasca tindakan dan buat laporan tindakan di dalam
kolom yang tersedia pada status penderita
3) Buat instruksi pengobatan lanjutan, pemantauankondisi pasien dan kondisi
yang harus segera dilaporkan.
6. Robekan Uteri (Ruptur Uteri)
a. Konsep Dasar
Faktor predisposisi yang menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas
hal ini disebabkan karena dinding perut yang lembek dengan kedudukan
uterus dalam posisi antefleksi sehingga terjadi kelainan letak dan posisi
janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat menimbulkan CPD,
pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan yang tidak tepat, kelainan
letak dan implantasi plasenta umpamnya pada plasenta akreta, plasenta
inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus, hidramnion.
b. Jenis
Jenis ruptur uteri yaitu meliputi:
1) Ruptur uteri spontan ; terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan
pada waktu persalinan yaitu pada kelainanletak dan persentasi janin,
panggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.
2) Ruptur uteri traumatik; terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya
fundus akibat melahirkan anak pervaginam seperti ekstraksi, p enggunaan
cunam, manual plasenta.
3) Ruptur uteri jaringan parut; terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada
uterus seperti bekas SC.
4) Pembagian jenis menurut anatomik: ruptur uteri komplit : dimana dinding
uterus robek, lapisan serosa (peritoneum) robek sehinga janind apat berada
dalam rongga perut dan ruptur uteri inkomplit: dinding uterus robek
sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
c. Gejala
His kuat dan terus-menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut
bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau ketakutan, nadi dan
pernafasan cepat, cincin cvan Bandl meninggi. Setelah terjadi ruptur uteri
dijumpai gejala syok (akral dan ekstremitas dingin, nadi melemah, kadang
hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar dari vagina atau dalam rongga
perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan
darah turun. Pada palpasi sering bagian bawah janin teraba langsung
dibawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan dibagianbawah teraba uterus
kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
d. Penanganan
Penanganan pad aruptur uteri yaitu :
1) Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah
sekurang-kurangnya infus RL untuk mencegah syok hipovolemik.
2) Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin yang berada di dalam
rognga perut dikeluarkan, penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada
kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segera dan rata serta
tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang
rapuh dan nekrosis.
7. Inversio Uteri
a. Definis
Suatu keadaan dimana fundus uteri mausk ke dalam kavum uteri,
dapat secara mendadak atau terjadi perlahan, selain dari pada itu
pertolongan pesalinan yang makin banyak dilakukan tenaga terlatih maka
kejadian inversio uteripun makin berkurang.
b. Diagnosa untuk menentukan keadaan inversio uteri
Untuk menegakan diagnosa, maka periksa fundus dan hasilnya
adalah fundus uteri menghilang dari abdomen; pemeriksaan dalam; fundis
uteri di dalam lingkungan/ ruangan rahim dapat dengan atau tanpa plasenta,
disertai rahim.
c. Penanganan (dilakukan oleh dokter)
1) Jika ibu kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebih dari 100
mg) I.M. atau I.V secara perlahan atau berikan Morfin 0.1 mg/kg Bb I.M.
2) Catatan jangan diberikan oksitosi sampai inversi telah direposisi
3) Jika perdarahan berlanjut, l akukan uji pembekuan darah dengan cara
sederhana
4) Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus misal :
ampisilin 2g I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V. atau sefazolin 1 gr I.V
ditambah metronidazol 500 mg I.V.
5) Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan antibiotik untuk metritis
6) Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini
mungkin membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan primer.
7) Cara melakukan reposisi inversio uteri: pasang infus, masukkan tangan ke
vagina, fundus didorong ke atas berikan uterotonika, lakukan plasenta
manual.
8. Pembekuan Darah
a. Definisi
Adalah kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya
bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah (Anggraini, 2010).
b. Tanda dan gejala
1) Perdarahan tidak berhenti setelah placenta lahir, dan perdarahar terjadi
secara terus menerus padahal tidak terdapat robekan jalan lahir dan tidak
ada sisa placenta, serta bekuan lunak darah cepat pecah dengan mudah.
2) Perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis sampai keadaan
klinis yang stabil dan hanya terdeteksi oleh tes laboratorium (Prawirohardjo,
2007).
c. Etiologi
Sering disebabkan oleh:
1) Solusio placenta
2) Kematian janin dalam uterus
3) Eklampsia
4) Emboli air ketuban
5) Penyakit darah
6) Kelainan pembekuan darah
7) Afibrinogenemia/hipofibrinogenemia (Prawirohardjo, 2007)
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Perbaiki keadaan umum ibu jangan sampai anemia.
b) Pemberian vitamin K.
2) Penanganan
a) Bila dicurigai adanya koagulapati maka tangani kemungkinan penyebab
kegagalan pembekuan ini.
b) Gunakan produk darah untuk mengontrol perdarahan:
(1) Berikan darah lengkap segar, jika tersedia untuk menggantikan faktor
pembekuan dan sel darah merah.
(2) Jika darah lengkap segar tidak tersedia, sediakan Plasma beku segar untuk
menggantikan faktor pembekuan (15 ml/kg BB) atau sel darah merah packed
(yang tersedimentasi) untuk penggantian sel darah merah. Kriopresipitat
untuk menggantikan fibrinogen dan konsentrasi trombosit (jika perdarahan
berlanjut dan trombosit dibawah 20.000) (Prawirohardjo, 2007).
9. Manual Plasenta
a. Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat
implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri
secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi
tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum
uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta
secara spontan atau dengan tekanan ringan pada fundus uteri yang
berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta belum lepas sehingga belum
dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu terjadi perdarahan yang
banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk
melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah
sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan
tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
b. Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan
perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat
dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30
menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi,
versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan
tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian
besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi
uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang
berkaitan dengan :
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta
b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium
c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga
mencapai/memasuki miometrium
d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi
perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4) Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
a) Darah penderita terlalu banyak hilang,
b) Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak
terjadi,
c) Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
c. Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
1) Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
2) Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
3) Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
4) Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan
di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam).
Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat
dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan
yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan
memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh
tenaga yang dapat memberikan pertolongan darurat.
d. Tanda dan Gejala Manual Plasenta
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta
informasi mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas,
serta riwayat multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum
sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul
perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3) Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4) Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
5.Faktor Predisposisi
1) Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35
tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang
dapat mengakibatkan kematian maternal. Pada usia dibawah 20 tahun fungsi
reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, jalan lahir
mudah robek, kontraksi uterus masih kurang baik, rentan terjadi perdarahan.
Pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita mengalami
penurunan kemungkinan komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan
lebih besar.
2) Perdarahan pascapersalinan dan gravid
Ibu-ibu dengan kehamilan multigravida mempunyai risiko > dibandingkan
primigravida. Pada Multigravida fungsi reproduksi mengalami penurunan
sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih
besar.
3) Perdarahan pascapersalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai kejadian perdarahan lebih tinggi.
Pada paritas yang rendah (paritas satu) ketidak siapan ibu dalam menghadapi
persalinan yang pertama adalah faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil
dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan
nifas.
4) Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai
hemoglobin dibawah nilai normal. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan
hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, jika hal ini terus dibiarkan tanpa
adanya penanganan yang tepat dan akurat à mengakibatkan turunnya kadar
hemoglobin dibawah nilai normal.
4.1.1. PatofisiologiPada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam
uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam
stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya
plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut
akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah
sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi
otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab
perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan
seperti robekan servix, vagina dan perinium.
4.1.2. Pathway
Sumber : Asuhan Keperawatan Maternitas (Mitayani, 2011)
4.1.3. Manifestasi Klinis
(Mitayani, 2011)
4.1.3. Manifestasi KlinisUntuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska
persalinan sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda
sebagai berikut :
Gejala dan tanda PenyulitDiagnosa penyebab
Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Perdarahan segera setelah bayi lahir
Syok Bekuan darah pada serviks
atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar
Atonia uteri
Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
Uterus berkontraksi dan keras Plasenta lengkap
Pucat Lemah Mengigil
Robekan jalan lahir
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
Tali pusat putus Inversio uteri Perdarahan lanjutan
Retensio plasenta
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
Tertinggalnya sebagian plasenta
Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa
Neurogenik syok, pucat dan limbung
Inversio uteri
4. Penatalaksanaan1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan
pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc
NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan
jalan lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan
lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
`
B.Konsep Asuhan Keperawatan HPP
1. Pengkajian
Identitas klien : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35
tahun
2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama
keluhan utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan
post partum adalah perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar
keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang. b. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar,
gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat
hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus,
partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan
III.
c. Riwayat kesehatan :
Kelainan darah dan hipertensi
d. Pengkajian fisik :
a. Tanda vital :
Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg)
Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
Suhu : Normal/ meningkat
Kesadaran : Normal / turun
b. Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
c. Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
d. Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea (jumlah dan jenis)
e. Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkuran.
3. Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan vaskular
yang berlebihan.
2) Perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hipovolemia.
3) Risiko penurunan curah jantung yang berhubungan dengan gangguan
sirkulasi.
4) Gangguan pola napas yang berhubungan dengan intake O2 yang rendah.
5) Nyeri yang berhubungan dengan episiotomi dan laserasi.
6) Risiko tinggi terjadinya infeksi yang berhubungan dengan adanya trauma
jalan lahir.
7) Gangguan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan pengeluaran
renin.
4. Rencana tindakan keperawatan
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan vaskular yang
berlebihan
Goal : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
a. Kaji dan catat jumlah, tipe, dan sisi perdarahan. Timbang dan hitung
pembalut. Simpan bekuan dan jaringan untuk dievaluasi oleh dokter.
Rasional:
Perkirakan kehilangan darah, arterial versus vena, dan adanya bekuan-bekuan
membantu membuat diagnosis banding serta menentukan kebutuhan
penggantian (satu gram peningkatan berat pembalut sama dengan kurang lebih
1 ml kehilangan darah).
b. Kaji lokasi uterus dan derajat kontraktilitas uterus. Dengan masase,
penonjolan uterus dengan satu tangan sambil menempatkan tangan kedua tepat
di atas simfisis pubis.
Rasional:
Derajat kontraktilitas uterus membantu dalam diagnosis banding. Peningkatan
kontraktilitas miometrium dapat menurunkan kehilangan darah. Penempatan
satu tangan di atas simfisis pubis mencegah kemungkinan inversi uterus selama
masase.
c. Perhatikan hipotensi dan takikardi, perlambatan pengisian kapiler atau
sianosis dasar buku, serta membran mukosa dan bibir.
Rasional:
Tanda-tanda menunjukkan hipovolemik dan terjadinya syok. Perubahan tekanan
darah tidak dapat dideteksi sampai volume cairan telah menurun
hingga 30-50%. Sianosis adalah tanda akhir dan hipoksia.
d. Pantau masukan dan keluaran: perhatikan berat jenis urine.
Rasional:
Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan cairan. Volume
perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukkan dengan keluaran 30-50%. Sianosis adalah
tanda akhir dan hipoksia.
e. Pantau masukan dan keluaran: perhatikan berat jenis urine.
Rasional:
Bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan cairan. Volume
perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukkan dengan haluran 3-50 mi/jam atau lebih
besar.
f. Berikan lingkungan yang tenang dan dukungan psikologis.
Rasional:
Meningkatkan relaksasi, menurunkan ansietas, dan kebutuhan metabolic
2) Perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hipovolemia,
ditandai dengan pengisian kapilari lambat, pucat, kulit dingin atau lembap,
penurunan produksi ASI
Tujuan: perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil:
TD, nadi darah arteri, Hb/Ht dalam batas normal; pengisian kapiler cepat;
fungsi hormonal normal menunjukican dengan suplai ASI adekuat untuk laktasi
dan mengalami kembali menstruasi normal.
Intervensi
a. Perhatikan Hb atau Ht sebelum dan sesudah kehilangan darah. Kaji status
nutrisi, tinggi, dan berat badan.
Rasional:
Nilai bandingan membantu menentukan beratnya kehilangan darah. Status
sebelumnya dan kesehatan yang buruk meningkatkan luasnya cedera karena
kekurangan O2.
b. Pantau tanda vital, catat derajat, dan durasi episode hipovolemik.
Rasional:
Luasnya keterlibatan hipofisi dapat dihubungkan dengan derajat dari durasi
hipotensi. Peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunjukkan upaya untuk
mengatasi asidosis metabolik.
c. Perhatikan tingkat kesadaran dan adanya perubahan perilaku
Rasional:
Perubahan sensonium adalah indikator diri hipoksia, sianosis tanda lanjut,
mungkin tidak tampak sampai kadar PO2 turun di bawah 50 mmHg.
d. Kaji warna dasar kuku mukosa mulut, gusi, dan lidah serta perhatikan suhu
kulit.
Rasional:
Pada kompensasi vasokonstriksi dan pirau organ vital, sirkulasi pada pembuluh
darah perifer diturunkan yang mengakibatkan sianosis dan suhu kulit dingin.
e. Kaji payudara setiap hari, perhatikan ada atau tidaknya laktasi dan
perubahan ukuran payudara.
Rasional:
Kerusakan hipofisis anterior menurunkan kadar prolaktin, mengakibatkan tidak
adanya produksi ASI, dan akhirnya menurunkan jaringan kelenjar payudara.
Kolaborasi
a. Pantau kadar pH
Rasional:
Membantu dalam mendiagnosis derajat hipoksia jaringan atau asidosis yang
diakibatkan oleh terbentuknya asam laktat dan metabolisme anaerobik.
b. Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan
Rasional:
Memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk transpor sirkulasi ke jaringan.
3) Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman
kematian
Goal : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan
mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
a. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
b. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
c. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi
d. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak
diketahui
e. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
f. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping
yang tepat.
1. Potensial infeksi sehubungan dengan perdarahan
Goal : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana tindakan :
a. Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
b. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang
lembek, dan inyeri panggul
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang
tidak terdeteksi
c. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
d. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas,
mastitis dan saluran kencing
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
e. Tindakan kolaborasi
Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan
infeksi ).
2. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Goal :
Rencana tindakan :
1.
R/
3.1.1. EvaluasiSemua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
1. Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
2. Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
3. Gas darah dalam batas normal
4. Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang
komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
5. Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan
perasaan psikologis dan emosinya
6. Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
7. Klien tidak merasa nyeri
8. Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya
daftar Pustaka
Bobak, 2005. Perawatan Maternitas. Jakarta : EGCBrunner & Suddart,s (1996), Textbook of Medical Surgical Nursing –2, JB. Lippincot Company, Pholadelpia.
Cunningham. Gary F. 2006. Obstetri Williams. Ed. Vol. 1. Jakarta : EGCKlein. S (1997), A Book Midwives; The Hesperien Foundation, Berkeley, CA.
Lowdermilk. Perry. Bobak (1995), Maternity Nuring , Fifth Edition, Mosby Year Book, Philadelpia.Prawirohardjo, Sarwono, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP
Prawirohardjo, Sarwono, 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP
Prawirohardjo Sarwono ; EdiWiknjosastro H (1997), Ilmu Kandungan,Gramedia, Jakarta.Rukiyah, Al Yeyeh, 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi). Jakarta : Trans Info Media
Saifudin, AB. 2005. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo
RSUD Dr. Soetomo (2001), Perawatan Kegawat daruratan Pada Ibu Hamil,FK. UNAIR, SurabayaVarney, Helen. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : ECG
Varney, Helen, 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi Kedelapan.