apendisitis akut-1
-
Upload
dokteradtri -
Category
Documents
-
view
15 -
download
2
description
Transcript of apendisitis akut-1
Appendisitis Akut pada Orang Lanjut Usia : Faktor-
faktor Risiko Perforasi
Abdelkarim H Omari, Muhammad R Khammash, Ghazi R Qasaimeh, Ahmad K
Shammari, Mohammad K Bani Yaseen dan Sahel K Hammori
Abstrak
Latar Belakang : Appendisitis akut adalah kegawat-daruratan di bidang bedah
yang paling umum terjadi dan menjadi serius saat perforasi. Perforasi paling
sering terjadi pada pasien lanjut usia. Tujuan dari studi ini adalah untuk
mengidentifikasi faktor-faktor risiko perforasi pada pasien lanjut usia dengan
appendisitis akut.
Metodologi : Rekam medis dari 214 pasien di atas usia 60 tahun yang diagnosis
appendisitis akut nya telah terkonfirmasi secara patologi dalam periode 10 tahun
(2003-2013) secara retrospektif diulas kembali. Pasien dikelompokkan menjadi
mereka yang dengan appendisitis perforata dan mereka yang dengan appendisitis
non-perforata. Perbandingan di buat antara kedua grup berdasarkan demografi,
presentasi klinis dan waktu tunggu terhadap pembedahan, diagnosis, lama rawat
inap, dan komplikasi post-operatif. Penilaian klinis, ultrasonografi, dan
Computerized Tomography, dengan urutan seperti itu, digunakan untuk
diagnosis. Insidens perforasi juga dibandingkan dengan laporan-laporan
sebelumnya dari regio yang sama 10 tahun sebelumnya.
Hasil : Selama periode studi, total 214 pasien di atas usia 60 tahun memiliki
appendisitis akut, 103 laki-laki dan 111 perempuan. Appendiks ditemukan
perforasi pada 87 (41%) pasien, 46 (53%) laki-laki dan 31 (47%) perempuan. Dari
seluruh pasien, 31% didiagnosis dengan pemeriksaan klinis saja, 40%
memerlukan USG dan 29% CT Scan. Dari keseluruhan faktor-faktor risiko yang
dipelajari, waktu penundaan pre-hospital pasien adalah faktor risiko yang paling
penting terhadap perforasi. Tingkat perforasi tidak tergantung kehadiran penyakit-
1
penyakit komorbid atau waktu penundaan dalam rumah sakit. Komplikasi post-
operatif terjadi pada 44 (21%) pasien dan mereka tiga kali lipat lebih umum
terjadi pada grup perforasi, 33 (75%) pasien pada grup perforasi dan 11 (25%)
pada grup non perforasi. Ada 6 kematian (3%), 4 pada grup perforasi dan 2 pada
grup non perforasi.
Kesimpulan : Appendisitis akut pada pasien usia lanjut adalah penyakit serius
yang membutuhkan diagnosis dan terapi awal. Perforasi appendiseal
meningkatkan baik mortalitas maupun morbiditas. Semua pasien usia lanjut yang
masuk rumah sakit dengan nyeri perut seharusnya dimasukkan dan diinvestigasi.
Penggunaan CT scan lebih awal dapat mempermudah terapi yang sesuai.
Kata Kunci : Appendisitis akut, Appendiks perforata, Appendisitis Akut pada
Orang Lanjut Usia, Peritonitis.
PENDAHULUAN
Appendisitis akut adalah kegawat-daruratan di bidang bedah abdomen yang paling
umum dengan insidens seumur hidup 7%. Appendisitis diketahui menjadi
penyakit pada grup usia yang lebih muda dengan hanya 5-10% kasus terjadi pada
populasi orang lanjut usia. Namun, insidens penyakit pada kelompok usia ini
kelihatannya meningkat karena peningkatan terkini usia harapan hidup.
Seperti dibandingkan dengan grup usia yang lebih muda, pasien lanjut usia
memiliki penyakit mendasari lebih dan reaksi fisiologi tubuh yang lebih lambat
menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.
Lebih jauh lagi, seringnya presentasi atipikal dan keterlambatan dalam
mencari pertolongan medis telah dikaitkan dengan keterlambatan diganosis dan
terapi menghasilkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Prognosis
appendisitis yang tidak terkomplikasi pada kelompok usia tua dan muda hampir
sama. Namun, perforasi memperburuk kondisi secara dramatis menyebabkan
tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.
2
Untuk meningkatkan pengertian klinis kami terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan perforasi dan mengurangi insidensnya bila mungkin, kami
mengulas rekam medis dari semua pasien kami pada usia lebih dari 60 tahun
dengan appendisitis akut yang telah dikonfirmasi secara patologi 10 tahun
terakhir. Kami menentukan tingkat perforasi appendiseal dan faktor-faktor yang
berasosiasi dengan perforasi termasuk data demografi, tertundanya menemui
pelayanan medis, diagnosis dan terapi tertunda, serta kehadiran penyakit
komorbid. Juga, kami mempelajari gejala-gejala yang muncul dan penemuan fisis,
investigasi laboratorium, penggunaan evaluasi radiologis, komplikasi dan waktu
tinggal rumah sakit post-operatif.
Sebuah perbandingan dibuat antara grup perforasi dan non-perforasi
terkait variabel-variabel tersebut. Sebagai tambahan, kami membandingkan hasil
kami dengan studi lain yang dilakukan di regio ini 10 tahun terakhir.
METODOLOGI
Rekam medis dari seluruh pasien (60 tahun ke atas) yang menjalani appendektomi
pada 3 rumah sakit pendidikan mayor di utara Yordania dari 1 Januari 2003
hingga akhir Desember 2012 diulas secara retrospektif. Tiga rumah sakit ini
dengan total 1000 tempat tidur berafiliasi dengan The Jordan University of
Science and Technology serta mencakup area dengan lebih dari 1.5 juta penduduk.
Data diambil melalui sebuah sistem terkomputerisasi dari the King Abdulla
University Hospital (KAUH) dan secara manual dari register pasien Princess
Basma and Prince Rashid Hospitals.
Kami mengidentifikasi semua pasien yang menjalani appendektomi di atas
periode studi yang sudah disebutkan di atas. Sebuah kasus dengan dasar kasus dan
dengan pertolongan dari laporan histopatologi dan laporan operasa, kami
mengeksklusikan semua pasien yang memiliki appendektomi normal atau
insidental sebagai tambahan mereka yang memiliki rekam medis yang inkomplet.
Ulasan grafik dilakukan untuk mengambil informasi pada data demografis pasien,
presentasi dan penilaian klinis awal, kehadiran dari penyakit komorbid (diabetes
mellitus, hipertensi, penyakit kardiak, respiratori atau renal, etc), investigasi
3
laboratorium, studi radiologis dengan fokus terhadap ultrasonography (USG) dan
Computerized Tomography (CT) scan dan apakah appendiks ditemukan perforasi
atau tidak. Appendiks didefinisikan perforasi jika ia dideskripsikan seperti itu
pada catatan operatif dan dikonfirmasi oleh laporan histopatologis.
Pada tiga rumah sakit kami, pasien dengan nyeri abdomen biasanya
dilihat pertama di unit gawat darurat (emergency room/ ER) oleh dokter
emergensi dan kemudian oleh ahli bedah yang sedang jaga (bila dikonsulkan)
yang memutuskan untuk memasukkan rumah sakit atau memulangkan pasien.
Diagnosis memasukkan rumah sakit berdasarkan riwayat dan penemuan klinis.
Hal ini didefinisikan sebagai demam > 38◦C, peningkatan jumlah sel darah putih
> 109/L dan nyeri abdomen kanan bawah. Keputusan untuk menggunakan studi
pencitraan tambahan seperti ultrasonografi atau CT scan biasanya dilakukan oleh
ahli bedah, hasil diinterpretasikan oleh ahli radiologi yang sudah tersertifikasi.
Diagnosis appendisitis akut dibuat berdasarkan penampakan dindingnya,
inflamasi di sekitar dan edema dengan atau tanpa kehadiran cairan bebas
intraabdomen. Studi CT Scan biasanya disimpan untuk kasus-kasus tertentu di
mana clincal assessment (CA) dan (US) inkonklusif. Saat diagnosis appendisitis
akut dibuat, pasien diberikan injeksi antibiotik intravena spektrum luas yang
meliputi organisme aerobik dan anaerob dan mempersiapkan pembedahan.
Appendektomi terbuka dilakukan untuk seluruh pasien, melalui mc Burney’s atau
insisi midline. Sejauh ini, baik appendektomi laparoskopik atau manajemen non-
operatif telah diadopsi untuk terapi appendisitis akut pada pasien lanjut usia di
rumah sakit kami.
Interval waktu dari onset gejala sampai waktu registrasi di Emergency
Room (ER) dicatat dalam jam dan didefinisikan sebagai penundaan pasien. Waktu
dari kunjungan (ER) sampai ruang operasi didefinisikan sebagai penundaan
rumah sakit dan termasuk waktu untuk diagnosis dan waktu tunggu untuk
pembedahan.
Appendisitis dikategorikan menjadi perforata (perforasi bebas atau berisi
sesuatu, pembentukan abses) dan non-perforata. Perbandingan antara mereka
dibuat berdasarkan data demografis, presentasi klinis, investigasi, penundaan
4
pasien, penundaan rumah sakit, dan waktu rawat inap post-operatif, dan
komplikasi. Juga, sebuah perbandingan insidens appendisitis perforata dibuat
antara studi terkini kami dan studi lain yang dilakukan 10 tahun sebelumnya di
regio ini.
Program komputer, Statistical Package for the Social Sciences (SPSS 16)
digunakan untuk analisis statistik. P value < 0.05 ditetapkan signifikan secara
statistik saat membandingkan variabel-variabel.
Persetujuan etik disetujui oleh The Institution Review Board (IRB) dari
Jordan University of Science and Technology and King Abdullah University
Hospital.
HASIL
Sejumlah 214 pasien dengan usia di atas 60 tahun dengan appendisitis akut yang
dibuktikan secara histopatologi dalam periode antara Januari 2003 dan Desember
2012 dianalisis secara retrospektif. Ada 103 laki-laki dan 111 perempuan dengan
sebuah rata-rata usia 64.4 ± 2.7 tahun (berkisar antara 60-95 tahun). Seratus dan
tujuh puluh tujuh (83%) pasien ada pada usia 60-69 tahun, 28 (13%) pada
kelompok usia 70-79 tahun, 8 (3%) pasien pada usia 80-89 tahun dan hanya satu
pasien 95 tahun. Delapan puluh tujuh (41%) pasien dibuktikan memiliki
appendisitis perforata, 46 (53%) pasien laki-laki dan 41 (47%) perempuan (tabel
1).
Tabel 1 Demografi Pasien, Penyakit Komorbid dan Komplikasi Post-
Operatif
KarakteristikPopulasi
Total 100%
Perforasi
41%
Non-
Perforasi
59%
Komplikasi
Post-Operasi
21%
Usia 64.43 tahun 65.23 tahun 63.3 tahun 64.3 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki 48 53 45 61
Perempuan 52 47 55 39
5
Komorbid 43 37 47 75
Diabetes 11 11 10 18
Hipertensi 13 10 14 18
Penyakit
Jantung12 9 16 18
Penyakit Paru 4 3 5 9
Penyakit
Ginjal2 2 2 7
Malignansi 1 2 1 5
Dari semua pasien, ada 92 (43%) yang memiliki penyakit medis kronis;
Hipertensi 27 (13%), penyakit jantung kronis 26 (12%), diabetes mellitus 23
(11%), chronic obstructive airway disease 9 (4%), penyakit gagal ginjal tahap
akhir 4 (2%), dan penyakit malignan pada 3 (1%) pasien. Tidak ada perbedaan
signifikan secara statistik antara risiko perforasi dan kehadiran penyakit komorbid
ditemukan (tabel 1).
Mengenai waktu penundaan terapi dan seperti ditunjukkan pada tabel 2,
pasien di grup perforata memiliki waktu penundaan pre-hospital yang lebih lama
secara signifikan dibandingkan dengan grup non-perforata (79.6 jam dan 47.3 jam
secara berurutan) dengan nilai P < 0.0001. Pada waktu yang sama, tabel tidak
menunjukkan sebuah perbedaan yang signifikan secara statistik diantara dua grup
mengenai penundaan in-hospital (nilai P 0.7923) (tabel 2).
Tabel 2 Penundaan terhadap intervensi pembedahan dan rata-rata Rawat
Inap di Rumah Sakit
6
Variabel Perforasi n = (87)Non Perforasi n
= (127)Nilai P
Rata-rata
penundaan pada
terapi pembedahan
Penundaan pre-
hospital79.6±62.4 jam 47.3 ± 43.7 jam < 0.0001*
Penundaan
Hospital19.2 ± 10.3 jam 18.7 ± 15.5 jam 0.7923
Rawat inap Post
Op7.4 ±6.3 hari 4.2 ± 3.1 hari <0.0001*
Terkait dengan presentasi klinis, semua pasien mengeluh nyeri abdomen.
Namun, nyeri migratori yang tipikal dimulai sekitar umbilikus dan bergeser
nantinya ke abdomen kanan bawah dan dideskripsikan hanya oleh 101 (47%)
pasien, 75 (59%) pasien grup nonperforata dan 26 (30%) pada grup perforata.
Anoreksia hadir pada 74% pasien namun tidak dapat dibedakan grup perforata
atau grup non-perforata. Mual dan muntah hadir pada 57% pasien dan secara lebih
signifikan ditemukan pada grup non-perforata (tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan antara Grup Perforasi dan Non Perforasi Terkait
Gambaran Klinis
Variabel Total n = 214
(100%)
Perforasi n =
87 (41%)
Non
Perforasi n =
127 (59%)
Nilai P
Nyeri
berpindah
101 (47) 26 (30) 75 (59) <0.0001*
Anoreksia 150 (70) 64 (74) 86 (68) 0.3588
Mual &
muntah
122 (57) 37 (43) 85 (67) 0.0004*
Tenderness 180 (84) 65 (75) 115 (91) 0.0018*
7
abdoen
kanan bawah
Rebound
Tenderness
160 (75) 70 (80) 90 (71) 0.1125
Demam >
38◦C
87 (41) 44 (51) 43 (34) 0.0145*
Jumlah sel
darah putih
143 (63) 62 (71) 72 (57) 0.0304*
Sel Darah
Putih shift to
the left
159 (74) 82 (94) 77 (61) <0.0001*
Dari semua pasien, 41% pasien febril pada saat presentasi (>38%).
Demam lebih ada grup pasien perforata (51%-34%). Tenderness terlokalisasi pada
abdomen kanan bawah dijumpai pada 84% pasien dengan 91% pada grup non-
perforata dibandingkan 75% pada grup perforata.
Walaupun rebound tenderness ditemukan pada 75% pasien, tidak
membedakan antara 2 grup (tabel 3).
Peningkatan jumlah sel darah putih > 109/L, dilihat pada 143 (63%) dari
seluruh pasien pada saat presentasi. Pada grup perforata, enam puluh dua (71%)
pasien memiliki sel darah putih tinggi dengan 94% shift to the left dibandingkan
72 (57%) pasien dengan 61% shift to the left pada grup non perforata (tabel 3).
Clinical Assessment (CA), Ultrasonografi (USG), dan Computerized Tomography
(CT) scan digunakan untuk keperluan diagnosis. Dari segala pasien 31%
didiagnosis dengan CA saja, USG mendeteksi yang lain 40% dan sisa 29%
didiagnosis CT scan (tabel 4). Walaupun kami tidak dapat mengkalkulasi
sensitivitas dan spesifisitas dari tiap tes diagnosis seperti kami mempelajari kasus
positif saja, kami menemukan bahwa tidak ada hasil positif palsu saat CT scan
digunakan.
Tabel 4 Jumlah dan Presentase Pasien yang Didiagnosis Appendisitis
8
VariabelTotal n = 214
(100%)
Perforasi n = 87
(47%)
Non perforasi n =
127 (59%)
Alat Diagnostik
Penilaian Klinis 66 (31) 27 (31) 39 (31)
Ultrasonography 85 (40) 29 (33) 56 (44)
Computerized
Scan63 (29) 31 (36) 32 (25)
Insisi Mc Burney’s digunakan pada 168 pasien dan insisi midline bawah
pada 46 pasien.
Komplikasi post-operatif dilihat pada 44 (21%) pasien. Komplikasi tiga
kali lebih sering pada pasien grup perforasi dibandingkan pada pasien grup
nonperforata, 33 (75%) dan 11 (25%) secara berurutan (tabel 1). Empat pasien
mendapat wound dehiscence dan delapan yang lain mendapat sepsis
intraabdominal dan collection, semua pada grup perforasi kecuali satu. 22 pasien
yang lain pada kedua grup memiliki infeksi luka namun semua, kecuali satu,
berespons terhadap terapi anti mikroba, debridement, dan dressings. Komplikasi
lain seperti gagal ginjal, infeksi dada dan kegagalan respiratori, kecelakaan
kardiovaskuler ditemukan pada kedua grup.
Ada 6 (3%) kematian pada kedua grup, empat pada grup perforata dan dua
pada grup non-perforata. Pada grup perforata, dua pasien mendapat koleksi abses
multipel intraabdomen dan meninggal karena sepsis yang tidak terkontrol. Pada
dua yang lain, salah satunya telah menjalani kemoterapi karena limfoma dan
meninggal karena pneumonia atipikal yang tidak terkontrol di mana yang lain
memiliki penyakit kardiovaskular lanjut dan meninggal karena penyakit gagal
jantung kongestif. Pada grup non perforata, satu pasien meninggal karena sepsis
intra abdominal yang tidak terkontrol dan yang lain karena infark miokard masif.
Seperti yang diduga, waktu rawat inap lebih lama pada pasien di grup perforata
(7.4±6.3 dan 4.2 ± 3.1 hari pada grup perforata dan non-perforata secara
berurutan) (tabel 2).
9
DISKUSI
Appendisitis akut berlanjut menjadi penyebab yang paling umum kegawat-
daruratan pembedahan abdomen. Appendisitis akut sering kali dipikir menjadi
penyakit orang muda, namun sebagai hasil dari peningkatan terkini usia harapan
hidup, insidens appendisitis akut juga meningkat pada orang tua.
Insidens perforasi appendiseal pada appendisitis akut diestimasi dalam
kisaran 20-30% yang meningkat menjadi 32-72% pada pasien dengan usia di atas
60 tahun. Alasan di balik meningkatnya angka ini karena presentasi terlambat dan
atipikal, penundaan diagnosis dan intervensi pembedahan, hadirnya penyakit
komorbid dan perubahan fisiologis spesifik usia. Pada studi kami, appendisitis
perforata ditemukan pada 87 (41%) pasien, hasil yang berada dalam kisaran
dilaporkan oleh banyak laporan yang lain. Juga ditemukan pada studi absennnya
predileksi jenis kelamin untuk perforasi; 46 (53%) pasien laki-laki dan 41 (47%)
perempuan. Walaupun 92 (43%) dari semua pasien memiliki penyakit komorbid
pada saat presentasi, risiko perforasi tidak tergantung kehadiran mereka (tabel 1).
Hasil-hasil ini sesuai dengan penemuan Storm-Dickerson et al. Penundaan
ke pelayanan medis ditemukan oleh banyak penulis menjadi alasan di balik
tingginya tingkat perforasi pada populasi orang lanjut usia. Studi kami
menunjukkan bahwa tingkat perforasi berkorelasi baik dengan penundaan ke
pelayanan medis (penundaan pre-hospital) namun tidak berkorelasi dengan
penundaan dalam rumah sakit .
Triad nyeri abdomen kanan bawah dan tenderness, demam dan
leukositosis dilaporkan hadir tidak lebih pada 26% pasien di atas 60 tahun. Pada
studi ini, semua pasien pergi ke rumah sakit dengan nyeri abdomen. Namun nyeri
migratori klasik dari appendisitis hadir hanya 47% dari mereka. Tenderness
terlokalisasi pada abdomen kanan bawah yang dipertimbangkan menjadi tanda
diagnosis fisik konstan untuk appendisitis hadir pada 84% kasus. Kedua sifat
(nyeri migratori dan tenderness terlokalisasi) dilihat lebih sering pada grup non
perforata dibandingkan grup perforata (tabel 3). Penemuan ini mungkin dijelaskan
oleh fakta bahwa pasien dengan appendiks perforata akan menunjukkan buruknya
10
lokalisasi nyeri juga tenderness dan guarding abdomen bawah yang lebih
tergeneralisata.
Penemuan kami menunjukkan, demam (>38◦C) hadir pada 41% semua
pasien dan jauh lebih tinggi pada grup perforata (tabel 3), sebuah hasil yang mana
sesuai dengan hasil studi yang lain.
Juga pada studi, sel darah putih ditemukan meningkat pada 63% semua
pasien dengan 74% shift to the left. Seperti yang diharapkan, nilai lebih tinggi
pada grup perforata karena 71% dari mereka memiliki sel darah putih tinggi
dengan 94% shift to the left (tabel 3). Lagi, sebuah hasil yang sesuai dengan hasil
studi yang lain.
Ada banyak sistem skor yang telah digunakan untuk diagnosis appendisitis
akut seperti skor Alvarado, Kharbanda, dan Lintula. Secara umum, sistem skor
klinis memiliki Likelihood ratios (LRs) daripada gejala atau tanda individu saja.
Namun, mereka tidak memiliki kemampuan diskriminatori atau prediktif untuk
secara rutin digunakan sendirian untuk mendiagnosis appendisitis. Mereka telah
digunakan untuk menentukan keperluan studi radiologis lebih lanjut atau sebagai
panduan untuk menentukan manajemen klinis. Kebijakan dari rumah sakit kami
belum mengadopsi sistem skor apapun sejauh ini.
Kemajuan dari kemampuan diagnosis dan peningkatan pada fasilitas
diagnosis (CT) scan dan (USG) mengadvokasi peningkatan diagnosis pada pasien
dengan kecurigaan appendisitis. USG sering kali mendiagnosis sebuah appendiks
yang inflamasi dan mendeteksi cairan bebas di pelvis namun metode simpel ini
dipengaruhi oleh pengalaman operator, susunan badan, dan kooperasi pasien.
Penggunaan luas CT scan untuk pasien dengan appendisitis yang dicurigai telah
ditunjukkan unruk meningkatkan akurasi diagnosis dan menurunkan laparotomi
negatif. Penelitian-penelitian terkini melaporkan sebuah sensitivitas yang tinggi
91-99% pada kelompok usia ini. Storm-Dickerson TL et al. melaporkan bahwa
insidens perforasi menurun lebih dari 20 tahun terakhir dari 72% sampai 51% pda
pasiennya karena penggunaan lebih awal CT Scan. Pada pasien kami, CT scan
hanya digunakan untuk mereka dengan penemuan ekuivokal dan mereka yang
diagnosisnya tidak tercapai setelah berulang kali CA dan USG. Kami tidak dapat
11
mengkalkulasi sensitivitas dan spesifisitas dari CA, USG, dan CT Scans pada
pasien-pasien kami karena kami mempelajari kasus positif. Namun, kami tidak
menemukan adanya hasil positif palsu saat CT Scan digunakan.
Pasien berusia lanjut memiliki risiko lebih tinggi untuk baik mortalitas dan
morbiditas seusai appendektomi. Diestimasi sekitar 70% dibandingkan 1% dari
populasi umum.
Pada studi kami, tingkat komplikasi post-operatif keseluruhan adalah 21%,
angka yang sedikit lebih rendah dari 27-60% yang dilaporkan oleh yang lain.
Seperti dugaan, komplikasi tiga kali lebih sering pada grup perforata
dibandingkan grup non-perforata. Penemuan ini konsisten dengan beberapa studi
yang lain yang menunjukkan bahwa perforasi per se adalah faktor yang paling
prediktirf untuk morbiditas post-operatif pada pasien lanjut usia dengan
appendisitis akut.
Tingkat mortalitas pada pasien lanjut usia setelah appendisitis perforata
dilaporkan antara 2.3%-10%. Kematian seringkali terkait komplikasi sepsis
dipersulit oleh ko morbiditas pasien.
Pada studi ini, ada 6 (3%) kematian pada kedua grup, empat pada grup
perforata dan dua pada grup non-perforata. Tiga pasien meninggal karena
komplikasi sepsis di mana yang lain karena penyebab respiratori dan
kardiovaskuler.
Seperti yang dibandingkan terhadap kelompok usia yang lebih muda,
waktu rawat inap biasanya lebih lama pada pasien tua. Hal ini biasanya
menyebabkan tingkat komplikasi yang lebih tinggi, penggunaan antibiotik, terapi
komorbiditas dan penyulit komunikasi lain yang memanjang. Hasil kami 7.4 dan
4.2 hari untuk grup perforata dan nonperforata ditemukan sesuai dengan studi-
studi ini.
Saat membandingkan hasil kami dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan di regio yang sama 10 tahun yang lalu, kami menemukan bahwa
insidens perforasi appendseal tidak menurun selama sepuluh tahun belakangan
walaupun peningkatan program perawatan kesehatan dan fasilitas diagnosis. Kami
12
berpikir bahwa kegagalan ini karena meremehkan keseriusan nyeri abdomen pada
kelompok usia ini baik oleh pasien maupun oleh penyedia kesehatan primer.
Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi hasil pasien tidak diteliti secara
spesifik pada analisis ini, namun relevan terhadap penentuan keputusan pada
kasus appendisitis.
Laporan pada literatur telah muncul mendeskripsikan keuntungan
pembedahan laparoskopi dibanding teknik terbuka dalam hal menurunkan nyeri
post-operatif, waktu pemulihan, komplikasi luka, dan waktu rawat inap post-
operatif, di mana yang lain menemukan bahwa merujuk seorang pasien lanjut usia
dengan appendisitis terkomplikasi ke pembedahan laparoskopi akan
meningkatkan waktu operatif, tingkat konversi dan waktu rawat inap. Pada sebuah
studi terbaru yang dipublikasikan pada 2013, Wray CJ et al. mengkonklusikan
bahwa, pertanyaan apakah appendektomi seharusnya dilakukan melalui sebuah
teknik terbuka atau laparoskopi telah diwariskan menjadi pertanyaan yang sulit
dijawab karena kedua pendekatan menawarkan keuntungan yang mirip, yaitu,
sebuah insisi yang kecil, insiden komplikasi yang rendah, waktu tinggal di rumah
sakit yang pendek, dan cepatnya kembali ke aktivitas normal. Pada rumah sakit
kami, pendekatan laparoskopi telah diadopsi untuk terapi appendisitis pada grup
usia yang lebih muda, namun sejauh ini, tidak untuk pasien yang lanjut usia.
Walaupun fakta bahwa appendektomi ditetapkan sebagai terapi standar
untuk appendisitis lebih dari 100 tahun, beberapa laporan telah muncul di literatur
lebih dari beberapa tahun terakhir mendeskripsikan manajemen non-operatif dari
appendisitis akut, yang tidak terkomplikasi. Terapi konservatif ini yang terdiri dari
nil dengan mulut, cairan intravena dan antibiotik spektrum luas, terbukti efektif
dengan nyeri yang lebih sedikit namun memiliki tingkat rekurensi, sebuah risiko
yang seharusnya dibandingkan dengan komplikasi setelah appendektomi. Namun,
Wray CJ et al menetapkan bahwa bukti-bukti tersedia terkait manajemen non-
operatif ini provokatif dan bahwa data level 1 untuk menyarankan pilihan terapi
alternatif ini tidak diterima secara universal. Walaupun tujuan utama dari studi
kami bukanlah manajemen appendisitis akut pada pasien lanjut usia, namun
13
setelah mengulas literatur, kami berpikir bahwa manajemen non-operatif
appendisitis akut pada grup usia ini seharusnya dipelajari secara komprehensif.
Hasil dari studi ini seharusnya dibaca dengan limitasi. Pertama, ini adalah
studi retrospektif dan untuk menggaris-bawahi faktor-faktor risiko yang akan
menyebabkan perforasi appendiseal seseorang idealnya akan mengambil data
klinis sebelum dan bukan setelah perforasi terjadi. Kedua, tingkat perforasi
berbeda tergantung aksesibilitas pasien terhadap pelayanan kesehatan medis.
KESIMPULAN
Appendisitis akut seharusnya masih dipertimbangkan pada diagnosis banding
nyeri abdomen pada pasien lanjut usia. Keterlambatan mendapatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit diasosiasikan dengan peningkatan tingkat perforasi dan
komplikasi post-operatif. Semua pasien lanjut usia yang hadir dengan nyeri
abdomen seharusnya masuk rumah sakit dan diinvestigasi. Penggunaan awal CT
scan dapat memendekkan jalan untuk menerima terapi yang sesuai.
Referensi
14
1. Horattas M, Guyton D, Diane W: A reappraisal of appendicitis in the
elderly. Am J Surg 1990, 160:291–293.
2. Smithy WB, Wexner SD, Daily TH: The diagnosis and treatment of acute
appendicitis in the aged. Dis Colon Rectum 1986, 29:170–173.
3. Franz MG, Norman J, Fabri PJ: Increased morbidity of appendicitis with
advancing age. Am Surg 1995, 61:40–44.
4. Storm-Dickerson TL, Horattas MC: What we have learned over the past
20 years about appendicitis in the elderly? Am J Surg 2003, 185:198–201.
5. Lunca S, Bouras G, Romedea NS: Acute appendicitis in the elderly
patient: diagnostic problems, prognostic factors and out-comes. Rom J
Gastroenterol 2004, 13:299–303.
6. Lee JF, Leow CK, Lau WY: Appendicitis in the elderly. ANZ J Surg
2000, 70:593–596.
7. Sherlock DJ: Acute appendicitis in the over-sixty age group. Br J Surg
1985, 72:245–246.
8. Lau WY, Fan ST, Yiu TF, Chu KW, Lee JM: Acute appendicitis in the
elderly. SurgGynecolObstet 1985, 161:157–160.
9. Yamini D, Vargas H, Bongard F, Klein S, Stamos MJ: Perforated
appendicitis: is it truly a surgical urgency? Am Surg 1998, 64:970–975.
10. Hardin D: Acute appendicitis: review and update. Am FamPhys 1999,
60:2027–2036.
11. Tehrani H, Petros JG, Kumar RR, Chu Q: Markers of severe appendicitis.
Am Surg 1999, 65:453–455.
12. Temple C, Huchcroft S, Temple W: The natural history of appendicitis in
adults, a prospective study. Ann Surg 1995, 221:279–282.
13. Ryden CI, Grunditz T, Janzon L: Acute appendicitis in patients above and
below 60 years of age. Acta ChirScand 1983, 149:165–170.
14. Paajanen H, Kettunen J, Kostiainen S: Emergency appendictomies in
patients over 80 years. Am Surg 1994, 60:950–953.
15
15. Watters JM, Blackslee JM, March RJ, Redmond ML: The influence of age
on the severity of peritonitis. Can J Surg 1996, 39:142–146.
16. Korner H, Sondenaa K, Soreide JA, Andersen E, Nysted A, Lende TH,
Kiellevold KH: Incidence of acute nonperforated and perforated
appendicitis: age-specific and sex-specific analysis. World J Surg 1997,
21:313–317.
17. Eldar S, Nash E, Sabo E, Matter I, Kunin J, Mogilner JG, Abrahamson J:
Delay of surgery in acute appendicitis. Am J S 1997, 173:194–198.
18. Thorbjarnarson B, Loehr WJ: Acute appendicitis in patients over the age
of sixty. SurgGynecolObstet 1967, 125:1277–1280.
19. Paranjape C, Dalia S, Pan J, Horattas M: Appendicitis in the elderly: a
change in the laparoscopic era. SurgEndosc 2007, 21:777–781.
20. Pooler BD, Lawrence EM, Pickhardt PJ: MDCT for suspected appendicitis
in the elderly: diagnostic performance and patient outcome. Emerg Radio
2012, 19:27–33.
21. Sheu BF, Chiu TF, Chen JC, Tung MS, Chang MW, Young YR: Risk
factors associated with perforated appendicitis in elderly patients
presenting with signs and symptoms of acute appendicitis. ANZ J Surg
2007, 77:662–666.
22. Alvarado A: A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis.
Ann Emerg Med 1986, 15:557–564.
23. Kharabanda AB, Taylor GA, Fishman SJ, Bachur RG: A clinical decision
rule to identify children at low risk of appendicitis. Pediatrics 2005,
116:709–716.
24. Lintula H, Kokki H, Pulkkinen J, Kettunen R, Grohn O, Eskelinen M:
Diagnostic score in acute appendicitis. Validation of a diagnostic score
(Lintula score) for adults with suspected appendicitis. Langenbecks Arch
surg 2010, 395:495–500.
25. Wray CJ, Kao LS, Millas SG, Tsao K, Ko TC: Acute appendicitis:
controversies in diagnosis and management. CurrProblSurg 2013, 50:54–
86.
16
26. Rezak A, Abbas HM, Ajemian MS, Dudrick SJ, Kwasnik EM: Decreased
use of computed tomography with a modified clinical scoring system in
diagnosis of pediatric acute appendicitis. Arch Surg 2011, 146:64–67.
27. Farahnak M, Talaei-Khoei M, Gorouhi F, Jalali A: The Alvarado score
and antibiotics therapy as a corporate protocol versus conventional clinical
management: randomized controlled pilot study of approach to acute
appendicitis. Am J Emerg Med 2007, 25:850–852.
28. Ilves I, Paajanen HE, Herzig KH, Fagerstrom A, Miettinen PJ: Changing
incidence of acute appendicitis and nonspecific abdominal pain between
1987 and 2007 in Finland. World J Surg 2011, 35:731–738.
29. Freund HR, Rubinstein E: Appendicitis in the aged: is it really different?
Am Surg 1984, 50:573–576.
30. Blomqvist PG, Andersson RE, Granath F, Lambe MP, Ekbom AR:
Mortality after appendectomy in Sweden, 1987-1996. Ann Surg 2001,
233:455–460.
31. Kirstein B, Perry ZH, Mizrahi S, Lantsberg L: Value of laparoscopic
appendectomy in the elderly patient. World J Surg 2009, 5:918–922.
32. Qasaimeh GR, Khader Y, Matalqah I, Nimri S: Acute appendicitis in north
of Jordan- A 10 year survey. J Med J 2004, 42:149–154.
33. Hui TT, Major KM, Avital I, Hiatt JR, Margulies DR: Outcome of elderly
patients with appendicitis- effect of computed tomography and
laparoscopy. Arch Surg 2002, 137:995–998.
34. Hansson J, Korner U, Khorram-Manesh A, Solberg A, Lundholm K:
Randomized clinical trial of antibiotic therapy versus appendicectomy as
primary treatment of acute appendicitis in unselected patients. Br J Surg
2009, 96:473–481.
35. Malik AA, Bari SU: Conservative management of acute appendicitis. J
GastrointestSurg 2009, 13:966–970.
36. Styrud J, Eriksson S, Nilsson I, Ahlberg G, Haapaniemi S, Neovius G, Rex
L, Badume I, Granstrom L: Appendectomy versus antibiotic treatment in
17
acute appendicitis. a prospective multicenter randomized controlled trial.
World J Surg 2006, 30:1033–1037.
37. Papandria D, Goldstein SD, Rhee D, Salazar JH, Arlikar J, Gorgy A,
Ogtega G, Zhang Y, Abdullah F: Risk of perforation increases with delay
in recognition and surgery for acute appendicitis. J Surg Res 2013,
184:723–729.
38. Liu K, Fogg L: Use of antibiotics alone for treatment of uncomplicated
acute appendicitis: a systemic review and meta-analysis. Surgery 2011,
150:673–683.
18