Apa Yang Di Maksud Post Ictal Paralysis
-
Upload
randianbiya -
Category
Documents
-
view
65 -
download
1
description
Transcript of Apa Yang Di Maksud Post Ictal Paralysis
1. Apa yang di maksud post ictal paralysis ?
Post ictal paralysis atau disebut juga Todd paralisis adalah kondisi neurologis yang
ditandai dengan periode singkat kelumpuhan setelah kejang. Kelumpuhan yang
mungkin sebagian atau lengkap umumnya pada suaty sisi tubuh dan biasanya reda
sepenuhnya dalam waktu 48 jam. Todds paralise pada mulanya dapat terancukan
dengan stroke. Hemipharese menyertai kejang-kejang setempat, namun tanda
kelemahan dan neurologis hilang secara sempurna dalam 24 jam dari konvulsi.
Meskipun penyebab todds paralisis belum diketahui secara pasti, hemiparese mungkin
karena akibat dari penomena penghambat, mungkin terkait dengan disfungsi
neurotransmiter. Sebenarnya dengan riwayat hipertensi yang diderita kita bisa curiga
ada gangguan vaskuler membentuk epileptic area di otak yang mendasari terjadinya
kejang pada pasien. Serangan sebelumnya menunjukkan kemungkinan pasien
mengalami epilepsi parsial. Keadaan yang lemas pada saat dirawat hari-hari pertama
menunjukkan Todd’s Paralysis yang biasa terjadi pada pasien post convulsion. Terapi
dengan antiepilepsi dan suportif untuk kelemahan seluruh tubuh yang dialami. Todd
paralisis dapat memperngaaruhi kemampuan berbicara dan penglihatan. Penyebab
paralisis todd tidak diketahui. Teori lain menyebutkan kelainan dari korteks motorik
primer. Pemeriksaan dari seorang individu yang mengalani atau yang baru saja
mengalami kondisi ini dapat membantu dokter mengidentifikasi asal kejang. Hal ini
penting untuk membedakan kondisi dari suatu stroke yang membutuhkan perawatan
berbeda.
Post ictal paralisis adalah kelemahan pada anggota gerak yang disebabkan karena
proses kejang sebelumnya, dimana proses kejang merupakan lesi iritatif yang
berlebihan pada korteks, khususnya area motorik. Lesi iritatif ini dapat berupa
sikatriks, infeksi, trauma, perlukaan, tumor dan gangguan sirkulasi darah. Pada
kejadian post ictal paralisis terdapat 2 hipotesa sebagai penyebabnya, yaitu karena
teori deplesi dimana pada korteks motorik telah terjadi prolong hiperpolarisasi pada
saat kejang, dan hipotesa kedua adalah karena adanya inaktivasi sesaat pada serat
motorik yang disebabkan karena aktivasi reseptor NMDA (N-Methil D-Aspartat)
yaitu reseptor glutamat yang meningkat pada kejadian kejang sebagai
neurotransmitter yang bersifat eksitasi.
2. Klasifikasi udem serebri ?
Vasogenic edema
Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume cairan ekstrasel yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler. Vasogenic edema ini disebabkan oleh faktor tekanan hidrostatik, terutama meningkatnya tekanan darah dan aliran darah dan oleh faktor osmotik. Ketika protein dan makromolekul lain memasuki rongga ekstraseluler otak karena kerusakan sawar darah otak, kadar air dan natrium pada rongga ekstraseluler juga meningkat. Vasogenic edema ini lebih terakumulasi pada substansia alba cerebral can cerebellar karena perbedaan compliance antara substansia abla dan grisea. Edema vasogenic ini juga sering disebut “edema basah” karena pada beberapa kasus, potongan permukaan otak nampak cairan edema. Tipe edema ini terlihat sebagai respon terhadap trauma, tumor, inflamasi fokal, stadium akhir dari iskemia cerebral, dll.
Edema Sitotoksik
Pada edema sitotoksik, terdapat peningkatan volume cairan intrasel, yang berhubungan dengan kegagalan dari mekanisme energi yang secara normal tetap mencegah air memasuki sel, mencakup fungsi yang inadekuat dari pompa natrium dan kalium pada membran sel glia. Neuron, glia dan sel endotelial pada substansia alba dan grisea menyerap air dan membengkak. Pembengkakan otak berhubungan dengan edema sitotoksik yang berarti terdapat volume yang besar dari sel otak yang mati, yang akan berakibat sangat buruk. Edema sitotoksik ini sering disistilahkan dengan edema kering.
Edema sitotoksik ini terjadi bila otak mengalami kerusakan yang berhubungan dengan hipoksia, iskemia, abnormalitas metabolik (uremia, ketoasidosis metabolik), intoksikasi (dimetrofenol, triethyl itin, hexachlorophenol, isoniazid) dan pada sindroma Reye, hipoksemia berat.
Edema Interstisial
Edema interstisial adalah peningkatan volume cairan ekstrasel yang terjadi pada substansia alba periventrikuler karena transudasi cairan serebrospinal melalui dinding ventrikel ketika tekanan intraventrikuler meningkat. Contoh pada jenis udem ini adalah pada hidrocephalus obstruktif.
3. Cara membedakan hipertensi kronis dengan hipertensi yang disebabkan stroke ?
Cara yang sering dilakukan untuk membedakan hipertensi yang memeang kronis atau
sejak dahulu pasien menderita hipertensi dengan yang reaktif adalah dengan
menggunakan rumus mean arterial pressure(MAV) yaitu S+2D
3 . Dari hasil tersebut
kita dapat mengobservasi pada pemeriksaat tekanan darah selanjutnya, pada beberapa
jurnal saat ini memakai jangka waktu 24 jam untuk mengecek ulang tekanan darah
pada hipertensi reaktivasi, jika nilai MAV mengalami penurunan maka kemungkinan
itu adalah hipertensi yang disebabkan oleh stroke salah satunya. Tetapi jika nilai
MAV tetap konstan atau hanya sedikit perubahan, kemungkinan besar itu adalah
hipertensi kronis. Biasa terjadi peningkatan darah pada hipertensi akibat stroke adalah
pada stroke dalam jangka waktu akut yaitu < 12 jam, tetapi jurnal saat ini memakai
waktu 24 jam untuk cek selanjutnya pada hipertensi reaktivasi.
4. Jelaskan tingkat penurunan cerebral blood flow dan apa yang terjadi dengan sel otak pada keadaan tersebut ?
Bila perfusi ke cerebri terhambat atau berkurang, otak memiliki kemampuan terbatas untuk mengkompensasi. Pertama-tama mekanisme kompensasi akan terjadi dulu sampai maksimal sebelum terjadinya hipoperfusi sebagai akibat berkurangnya cerbral blood flow dan mengganggu metabolisme energi otak.
Tingkat kritikal pertama
Terjadi bila aliran darah otak menurun hingga 70-80% (kurang dari 50 ml/100mg jaringan otak/menit). Menurut Hossmann pada keadaan ini respon pertama otak adalah terhambatnya sintesa protein karena adanya disagregasi ribosom
Tingkat kritikal kedua
Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 50% (30 – 35 ml/100mg jaringan otak/menit). Akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob dan ppeningkatan konsentrasi laktat yang selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik
Tingkat kritikal ketiga
Terjadi bila aliran darah otak berkurang hingga 30% (hingga 20ml/100mg jaringan otak/menit). Pada keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi ATP sehingga defisit energi, serta adanya gangguan transport aktif ion, instabilitas membran sel serta dilepaskannya neurotransmitter eksitatorik yang berlebihan.
Pada saat aliran darah otak mencapai hanya 20% dari nilai normal (10-15 ml/100mg jaringan otak/menit) maka neuron-neuron otak akan mengalami hilangnya gradien ion dan selanjutnya terjadi depolarisasi anoksik dari membran.
Jika jaringan otak mendapat aliran darah kurang dari 10 ml/100g jaringan otak.menit akan terjadi kerusakan otak yang ireversibek secara cepat dalam waktu 6-10 menit.
5. Bagaimana meningitis sebabkan hemiparese?
MENINGITIS TB
A. DEFINISI
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org).
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada
penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.
B. PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput
otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa
inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang
(Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka
akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan
meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari
fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut
adalah trauma kepala.
Primernya Di Paru-Paru
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang
yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh
akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
3. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.
Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis
dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan
tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan,
hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima,
degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan
anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak
dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak
jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur,
berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam
tiga stadium:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis
Gejala:
demam (tidak terlalu tinggi)
rasa lemah
anorexia
nyeri perut
sakit kepala
tidur terganggu
mual, muntah
konstipasi
apatis
irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten.
Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk
diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak " menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
Gejala:
Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
disorientasi
bingung
kejang
tremor
hemibalismus / hemikorea
hemiparesis / quadriparesis
penurunan kesadara
Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
ptosis - reaksi pupil lambat
gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala:
Nadi dan pernapasan irregular
demam tinggi (hiperpireksia)
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma.
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus.
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. akhirnya, pasien dapat
meninggal. Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung
selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
6. Macam-macam nyeri dan contohnya ?
Nyeri (menurut The International Association for the Study of Pain / IASP) merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan
Klasifikasi Nyeri
Nyeri Nyeri Nosiseptif Nyeri Somatik Somatik Superfisial (Kulit)Somatik Dalam
Nyeri ViseralNyeri Non-Nosiseptif Nyeri Neuropatik
Nyeri Psikogenik
Nyeri Nosiseptif: nyeri timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut A-δ dan serabut C) oleh rangsang mekanik, termal, kimiawi
Nyeri Somatik: nyeri timbul pada organ non-viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatic, nyeri tulang, dan nyeri artritik
Nyeri Somatic Superfisial: menimbulkan nyeri di kulit berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, listrik. Kulit punya banyak saraf sensorik sehingga kerusakan kulit menimbulkan sensasi lesi nyeri yang akurat (yang terbatas dermatom)
Nyeri Somatic Dalam: Nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur tadi memiliki lebih sedikit reseptor sehingga lokasi nyeri sering tidak jelas.
Nyeri Viseral: nyeri berasal dari organ dalam, biasanya akibat distensi organ berongga, misal usus, kandung empedu, pancreas, jantung. Nyeri visceral sering kali diikuti referred pain dan sensasi otonom (mual, muntah)
Nyeri Neuropatik: nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf, seringkali persisten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada, nyeri dirasa seperti terbakar, tersengat listrik, alodinia, disestesi.
Nyeri Psikogenik: nyeri yang tidak memenuhi criteria nyeri somatic, dan nyeri neuropatik, dan memenuhi criteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik.
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
Nyeri Akut: nyeri yang mereda setelah penyembuhan
Nyeri Kronik: nyeri yang tetap berlanjut walaupun di beri pengobatan dan nyeri tidak memiliki makna biologic. Nyeri kronik merupakan suatu sindrom kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin untuk penanganan
Sifat Nyeri Akut Nyeri KronikAwitan, Durasi Awitan mendadak; durasi
singkat, <6 bulanAwitan bertahap; menetap, >6 bulan
Intensitas Sedang-parah Sedang-parahKausa Spesifik, dapat di
identifikasi secara biologisKausa mungkin jelas, mungkin tidak
Respon fisiologik Hiperaktivitas autonom yang dapat diperkirakan: tekanan darah, nadi, napas meningkat; dilatasi pupil; pucat; perspirasi; mual dan/atau muntah
Aktivitas autonom normal
Respon emosi/perilaku
Cemas, tidak mampu konsentrasi, gelisah, distress, tapi tetap optimis nyeri akan hilang
Depresi, lelah, imobilitas atau inaktivitas fisik; menarik diri dari lingkungan social; tidak ada harapan akan kesembuhan; memperkirakan nyeri akan berlangsung lama
Respon terhadap analgesik
Meredakan nyeri secara efektif
Sering kurang dapat meredakan nyeri
Macam Nyeri yang lain
Nyeri Setempat: terjadi karena iritasi pada ujung saraf penghantar impuls nyeri. Biasanya terus menerus atau hilang timbul (intermiten). Nyeri bertambah pada sikap tertentu atau karena gerakan. Pada penekanan nyeri dapat bertambah hebat atau diluar masa dapat ditimbulkan nyeri tekan
Referred Pain (nyeri pindah): nyeri yang dirasakan ditempat lain bukan di tempat kerusakan jaringan penyebab nyeri. Misal pada infark miokard, nyeri dirasa di bahu kiri; pada kolesistitis, nyeri dirasa di bahu kanan
Nyeri Radikular: serupa referred pain, tapi nyeri radikular berbatas tegas, terbatas pada dermatomnya, sifat nyeri lebih keras dan terasa pada permukaan tubuh. Nyeri timbul karena perangsangan pada radiks (baik tekanan, terjepit, sentuhan, regangan, tarikan)
Nyeri akibat spasmus otot (pegal): terjadi ketika otot dalam keadaan tegang (akibat kerja berat), keadaan tegang mental juga berperan terjadinya ketegangan pada otot
7. Penyebab dari LBP ?
Penyebab Low Back Pain (LBP)
Beberapa faktor yang menyebabakan terjadinya LBP, antara lain:
Kelainan Tulang Punggung (Spine) Sejak Lahir
Keadaan ini lebih dikenal dengan istilah Hemi Vertebrae. Menurut
Soeharso (1978) kelainan-kelainan kondisi tulang vertebra tersebut dapat berupa
tulang vertebra hanya setengah bagian karena tidak lengkap pada saat lahir.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya low back pain yang disertai dengan
skoliosis ringan.
Selain itu ditandai pula adanya dua buah vertebra yang melekat
menjadi satu, namun keadaan ini tidak menimbulkan nyeri. Terdapat lubang di
tulang vertebra dibagian bawah karena tidak melekatnya lamina dan keadaan ini
dikenal dengan Spina Bifida. Penyakit spina bifida dapat menyebabkan gejala-
gejala berat sepert club foot, rudimentair foof, kelayuan pada kaki, dan
sebagainya. namun jika lubang tersebut kecil, tidak akan menimbulkan keluhan.
Beberapa jenis kelainan tulang punggung (spine) sejak lahir adalah:
Penyakit Spondylisthesis
Pada spondylisthesis merupakan kelainan pembentukan korpus
vertebrae, dimana arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebrae
(Bimariotejo, 2009). Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi, namun ketika
berumur 35 tahun baru menimbulkan nyeri akibat kelinan-kelainan degeneratif.
Nyeri pinggang ini berkurang atau hilang bila penderita duduk atau tidur dan
akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan (Bimariotejo, 2009).
Soeharso (1978) menyebutkan gejala klinis dari penyakit ini
adalah:
1). Penderita memiliki rongga badan lebih pendek dari semestinya. Antara
dada dan panggul terlihat pendek.
2). Pada punggung terdapat penonjolan processus spinosus vertebra yang
menimbulkan skoliosis ringan.
3). Nyeri pada bagian punggung dan meluas hingga ke ekstremitas bawah.
4). Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya dislokasi, ukuran antara ujung
spina dan garis depan corpus pada vertebra yang mengalami kelainan
lebih panjang dari garis spina corpus vertebrae yang terletak diatasnya.
Penyakit Kissing Spine
Penyakit ini disebabkan karena dua tau lebih processus spinosus
bersentuhan. Keadan ini bisa menimbulkan gejala dan tidak. Gejala yang
ditimbulkan adalah low back pain. Penyakit ini hanya bisa diketahui
dengan pemeriksaan X-ray dengan posisi lateral (Soeharso, 1978).
Sacralisasi Vertebrae Lumbal Ke V
Penyakit ini disebabkan karena processus transversus dari
vertebra lumbal ke V melekat atau menyentuh os sacrum dan/atau os ileum
(Soeharso, 1978).
Low Back Pain karena Trauma
Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama
LBP (Bimariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan
pekerjaan otot atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat
menderita nyeri pinggang bawah yang akut.
Gerakan bagian punggung belakang yang kurang baik dapat
menyebabkan kekakuan dan spasme yang tiba-tiba pada otot punggung,
mengakibatkan terjadinya trauma punggung sehingga menimbulkan nyeri.
Kekakuan otot cenderung dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu
tertentu. Namun pada kasus-kasus yang berat memerlukan pertolongan medis
agar tidak mengakibatkan gangguan yang lebih lanjut (Idyan, 2008).
Menurut Soeharso (1978), secara patologis anatomis, pada low back
pain yang disebabkan karena trauma, dapat ditemukan beberapa keadaan, seperti:
Perubahan pada sendi Sacro-Iliaca
Gejala yang timbul akibat perubahan sendi sacro-iliaca
adalah rasa nyeri pada os sacrum akibat adanya penekanan. Nyeri dapat
bertambah saat batuk dan saat posisi supine. Pada pemerikasaan, lassague
symptom positif dan pergerakan kaki pada hip joint terbatas.
Perubahan pada sendi Lumba Sacral
Trauma dapat menyebabkan perubahan antara vertebra lumbal V
dan sacrum, dan dapat menyebabkan robekan ligamen atau fascia. Keadaan ini
dapat menimbulkan nyeri yang hebat di atas vertebra lumbal V atau sacral I dan
dapat menyebabkan keterbatasan gerak.
Low Back Pain karena Perubahan Jaringan
Kelompok penyakit ini disebabkan karena terdapat perubahan
jaringan pada tempat yang mengalami sakit. Perubahan jaringan tersebut tidak
hanya pada daerah punggung bagian bawah, tetapi terdapat juga
disepanjang punggung dan anggota bagian tubuh lain (Soeharso, 1978).
Beberapa jenis penyakit dengan keluhan LBP yang disebabakan
oleh perubahan jaringan antara lain:
Osteoartritis (Spondylosis Deformans)
Dengan bertambahnya usia seseorang maka kelenturan otot-
ototnya juga menjadi berkurang sehingga sangat memudahkan terjadinya
kekakuan pada otot atau sendi. Selain itu juga terjadi penyempitan dari
ruang antar tulang vetebra yang menyebabkan tulang belakang menjadi tidak
fleksibel seperti saat usia muda. Hal ini dapat menyebabkan nyeri pada tulang
belakang hingga ke pinggang (Idyan, 2008).
Penyakit Fibrositis
Penyakit ini juga dikenal dengan Reumatism Muskuler. Penyakit
ini ditandai dengan nyeri dan pegal di otot, khususnya di leher dan bahu.
Rasa
nyeri memberat saat beraktivitas, sikap tidur yang buruk dan kelelahan (Dieppe,
1995 dalam Idyan, 2008).
Penyakit Infeksi
Menurut Diepee (1995) dalam Idyan (2008), infeksi pada sendi
terbagi atas dua jenis, yaitu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri dan infeksi
kronis, disebabkan oleh bakteri tuberkulosis. Infeksi kronis ditandai dengan
pembengkakan sendi, nyeri berat dan akut, demam serta kelemahan.
Low Back Pain karena Pengaruh Gaya Berat
Gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan
dapat mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan
komplikasi pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum,
coxa valgum dan sebagainya (Soeharso, 1987). Beberapa pekerjaan yang
mengaharuskan berdiri dan duduk dalam waktu yang lama juga dapat
mengakibatkan terjadinya LBP (Klooch, 2006 dalam Shocker, 2008).
Kehamilan dan obesitas merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya LBP akibat pengaruh gaya berat. Hal ini disebabkan
terjadinya penekanan pada tulang belakang akibat penumpukan lemak, kelainan
postur tubuh dan kelemahan otot (Bimariotejo, 2009).