ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

21
ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI (MENGESAHKAN) PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean) Varida Megawati Simarmata dan Fatmawati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia [email protected] ABSTRAK Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian Undang- Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945 dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Kata kunci: Tata urutan, UU ratifikasi, Pengujian undang-undang. Analysis of Ratification of Treaties Act Review by Constitutional Court (Case Study: Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter) Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Transcript of ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Page 1: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI (MENGESAHKAN) PERJANJIAN

INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian

UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean)

Varida Megawati Simarmata dan Fatmawati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

[email protected]

ABSTRAK

Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan

dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional

dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian Undang-

Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945

dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data

sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan

menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada

umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji

konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang

menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional.

Kata kunci: Tata urutan, UU ratifikasi, Pengujian undang-undang.

Analysis of Ratification of Treaties Act Review by Constitutional Court (Case

Study: Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year

2008 on Ratification of Asean Charter)

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 2: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

ABSTRACT

This research focus on two main problems. First, the legal position of

the Ratification of Treaties Act in Indonesian legal system. Second, Ratification of

Treaties Act review toward UUD NRI 1945 by Constitutional Court by analyzing

Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on

Ratification of Asean Charter. The method used in this research is judicial-normative,

using secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-

analytical.

The result shows that Law No. 12 year 2011 which regulates the hierarchy of

legal norms not distinguish the legal position of ratification of treaties act and law in

general. Regarding to Constitutional Court competence to review any Law alleged to be

in conflict with the Constitution, therefore Constitutional Court has competence to

review ratification of treaties act.

Keywords: hierarchy of legal norms, ratification of treaties act, judicial review

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pilihan kebijakan hukum (legal policy) bahwa Indonesia adalah negara hukum

telah dianut sejak lama, meskipun telah berulang kali terjadi penggantian konstitusi dan

dengan rumusan yang berbeda-beda.1 Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana

tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). Hal

yang sangat pokok dalam sebuah negara hukum adalah ketika negara melaksanakan

kekuasaannya, negara tunduk terhadap pengawasan hukum.2

1 Dalam penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan “Negara Indonesia berdasar atas

hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat); Dalam Ps. 1 ayat (1) Konstitusi RIS mengatur: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”; Dalam Ps. 1 ayat (1) UUDS RI mengatur: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”; Dalam Ps. 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur: “Indonesia adalah negara hukum.”

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 3: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Pasca reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan

melalui adanya 4 (empat) tahap perubahan terhadap UUD 1945.3 Salah satu materi

pembahasan dalam perubahan UUD 1945 adalah penjaminan hak konstitusional warga

negara. 4 Pembahasan mengenai hak konstitusional warga negara ini kemudian

menghadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the

constitution) yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Bentuk uji

materiil undang-undang secara tidak langsung merupakan proses memeriksa, mengadili,

dan memutus apakah undang-undang yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap

UUD 1945.

Dalam keseluruhan pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji

undang-undang tidak dijelaskan undang-undang seperti apa yang masuk dalam lingkup

pengujian oleh Mahkamah Konstitusi5 mengingat ada beberapa contoh format undang-

undang yang materi intinya tidak terdapat dalam batang tubuh undang-undang itu

sendiri, melainkan terdapat dalam lampirannya. Misalnya, undang-undang tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan undang-undang yang meratifikasi

(mengesahkan) perjanjian internasional.6 Adapun lampiran undang-undang ratifikasi,

2 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional

Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm. 55. 3 Perubahan Tahap I (1999), Perubahan Tahap II (2000), Perubahan Tahap III (2001), dan

Perubahan Tahap IV (2002). 4 I Dewa Gede Palguna sebagai juru bicara F-PDIP menyampaikan bahwa perlindungan

hak konstitusional warga negara merupakan hal yang harus mendapat perhatian dalam perubahan UUD 1945 dan pembentukan MK bertujuan untuk menjamin konstitusionalitas kehidupan negara sekaligus perlindungan hak konstitusional warga negara. Dikutip dari Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 588.

5 Mahkamah Konstitusi juga pernah melakukan pengujian terhadap Perpu (Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang) karena Mahkamah berpendapat Perpu memiliki norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, PT.Raja Grafindo

Persada, 2011), hlm.135.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 4: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

dalam hal ini adalah perjanjian internasional, pada proses pembuatannya berkaitan

dengan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara

lain tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945.

Dalam lingkup hukum tata negara, perjanjian internasional ini (traktat) dikenal

sebagai sumber hukum formil,7 sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi

hukum ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di

dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Dalam praktik

ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia, telah terdapat pengaturan perjanjian

internasional dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD

1945 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentan Perjanjian Internasional. Secara keseluruhan,

pengaturan yang ada belum mampu menerangkan hubungan antara hukum internasional

(dalam hal ini perjanjian internasional) dengan hukum nasional. Hal ini sangat

diperlukan untuk menentukan kedudukan dan status hukum perjanjian internasional

dalam hukum nasional Indonesia serta undang-undang ratifikasi sebagai pengesahan

dari perjanjian internasional tersebut.

Ketiadaan penjelasan tersebut berimplikasi pada berbagai pertanyaan mengenai

konstruksi hukum terhadap kedudukan undang-undang ratifikasi perjanjian

internasional, yang pada pokoknya berisi dua pasal berisikan pengesahan bahwa

Indonesia mengikuti suatu perjanjian internasional serta perjanjian internasional terkait

sebagai lampirannya. Pertentangan yang terjadi menimbulkan pertanyaan mengenai

kedudukan undang-undang ratifikasi dalam sistem hukum nasional dan kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang ratifikasi

tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu tinjauan terhadap kedudukan dan

keberlakuan dari undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional di Indonesia

serta kaitannya dengan hukum nasional Indonesia, dan pengujian undang-undang

(dalam hal ini adalah undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional) oleh

Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh mengenai

bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, untuk

memperkaya pembahasan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan

perkembangan pengujian konstitusionalitas yang telah dijalankan oleh berbagai negara 7 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,...Op. Cit, hlm. 231.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 5: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

saat ini, maka akan dilakukan perbandingan dengan beberapa negara, yaitu Austria,

Georgia, Jerman, dan Ukraina.

POKOK PERMASALAHAN

1. Bagaimana kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian

internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia?

2. Bagaimana analisis terhadap Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan

Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam

ASEAN)ditinjau dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan

pengujian dan kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian

internasional?

TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, adapun tujuan yang melandasi

penulisan tugas akhir dengan topik ini terbagi menjadi dua yakni tujuan umum dan

tujuan khusus. Tujuan umum yang ingin dicapai dari penulisan tugas akhir ini adalah

mengetahui secara garis besar kedudukan dan keberlakuan undang-undang yang

meratifikasi perjanjian internasional dalam hukum nasional dikaitkan kewenangan

Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap undang-undang. Adapun secara

lebih khusus yang menjadi tujuan penulisan tugas akhir ini adalah:

1. Mengetahui kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian

internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia dan secara khusus

mengetahui kedudukan hukum Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008

Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations

(Piagam ASEAN).

2. Mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang pengujian undang-

undang atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan

Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan

Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) dalam perspektif Hukum Tata Negara

Indonesia.

TINJAUAN TEORITIS

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 6: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Adapun teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori Norma

Hukum dan Hierarki Norma Hukum untuk meninjau kedudukan hukum undang-undang

yang meratifikasi perjanjian internasional berdasarkan pandangan teori ini. Teori Fungsi

Legislasi yang dimiliki oleh DPR untuk mengkaji peranan persetujuan DPR dalam

suatu undang-undang ratifikasi. Selanjutnya adalah teori Pengujian Norma Hukum

untuk memahami sistem pengujian norma serta implikasinya dianutnya sistem

pengujian norma, dan yang terakhir adalah teori Hubungan Perjanjian Internasional

dengan Hukum Nasional dengan uraian sebagai berikut:

1. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum

Stufenbouw des Recht atau dikenal dengan stufentheorie yang dikemukakan oleh

Hans Kelsen, berasal dari Adolf Merkel yang merupakan muridnya sendiri. Adolf

Merkel dalam teori pertingkatan hukumnya menyatakan bahwa suatu norma hukum itu

selalu mempunyai dua wajah das Doppelte Rechtsantlitz). 8 Adolf Merkel

mengemukakan suatu norma hukum itu ke atas menjadi sumber dan dasar bagi norma

hukum dibawahnya, sehingga norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif, oleh

karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang

berada di atasnya.9

Teori Adolf Merkel tersebut disempurnakan oleh Hans Kelsen dengan teori

stufentheorie. Hans Kelsen memberikan penjelasan lebih lanjut tentang stufentheorie

tersebut sebagai berikut:10

“Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada suatu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tata norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam suatu sistem norma tertentu, dapat diuji hanya dengan penegasan bahwa norma tersenut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk sistem norma tersebut. Pencarian alasan validitas dari suatu norma, bukanlah suatu regressus ad infinitum (proses pencarian sampai akhir), pencarian ini diakhiri oleh suatu norma tertinggi yang menjadi dasar validitas terakhir di

8 Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 41. 9Ibid., hlm. 42. 10 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu

Hukum Empirik-Deskriptif, [The Pure Theorie of Law]. Diterjemahkan oleh Soemardi, cet.3, ed. revisi (Jakarta: Bee Media, 2007), hlm. 138- 139.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 7: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

dalam sistem normatif, sementara sebab pertama atau terakhir tidak mempunyai tempat di dalam suatu sistem realita alam.”

Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut, dinyatakan

juga bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya yang dimulai dari norma dasar yang

menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya.11

2. Fungsi Legislasi

Sebagian besar negara di dunia menerapkan pembagian kekuasaan setidaknya

pada kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan yudikatif dalam hal ini

akan difokuskan pada kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif memiliki fungsi

legislasi, yaitu untuk membentuk undang-undang atau yang lebih sering dikenal dengan

fungsi legislasi, yakni fungsi membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum

yang mengikat dan membatasi warga negara. 12 Fungsi legislasi ini melekat pada

lembaga legislatif yang dalam melaksanakan kegiatan sebagai berikut:13

“(a) Prakarsa pembuatan undang-undang atau legislative initiation; (b) Pembahasan rancangan undang-undang atau law making process; (c) Persetujuan atau pengesahan rancangan undang-undang atau law enactment approval; (d) Serta kegiatan lain yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban rakyat dalam menentukan tindakan yang merepresentasikan jati diri bangsa seperti pemberian persetujuan atau ratifikasi perjanjian/ persetujuan internasional. Hal ini dikarenakan international agreement tersebut akan mengikat langsung kepada rakyat sebagai suatu undang-undang. Sehingga, lembaga legislatif mengambil peranan dalam hal ini.”

3. Pengujian Norma Hukum

Teori jenjang norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans

Nawiasky berkaitan erat dengan konsep pengujian norma hukum. Bahwa suatu norma

adalah milik suatu sistem norma tertentu dapat diuji hanya dengan meyakinkan bahwa

norma tersebut menderivasikan validitasnya dari norma dasar yang membentuk tata 11 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and

State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cet. 5 (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 179.

12 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 34.

13Ibid. hlm. 39-44.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 8: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

hukum. Jadi alasan validitas suatu norma adalah suatu preposisi bahwa terdapat suatu

norma akhir yang valid, yaitu norma dasar. Uraian alasan validitas norma ini bukan

sesuatu penjelasan yang tiada akhir (regressus ad infinitum), tetapi berakhir pada suatu

norma tertinggi yang menjadi alasan akhir validitas di dalam sistem normatif.14

Norma hukum dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justitsial)

ataupun mekanisme non-justisial. Jika pengujian itu dilakukan oleh lembaga peradilan,

maka proses pengujiannya itu disebut dengan judicial review atau pengujian oleh

lembaga judicial. Jika pengujian itu dilakukan bukan oleh lembaga pengadilan, maka

hal itu tidak dapat disebut sebagai judicial review.15

4. Teori Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional

Dalam teori hukum tata negara, hukum internasional sudah dikenal sebagai salah

satu sumber hukum tata negara. 16 Apabila dilihat dari sudut teori terdapat dua

pandangan tentang hukum internasional, yaitu:17 Aliran Dualisme menempatkan hukum

internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini

tidak terdapat hierarki antara kedua sistem hukum ini. Sedangkan, aliran monisme

menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu

kesatuan sistem hukum. Penentuan kecenderuangan suatu negara menganut aliran

dualisme atau monisme ini diperlukan ketika terdapat pertentangan diantara hukum

internasional dan hukum nasional dalam praktik pelaksanaannya.18

METODE PENELITIAN

14 Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State,

sebagaimana dikutip dalam Jimly Asshidiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 94.

15Ibid., hlm. 1-2. 16 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 159. 17 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT. Alumni,

2003),hlm, 56-59. 18 Hikmahanto Juwana, “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional”

Indonesian Journal of International Law (Vol. 5 Nomor 3 April 2008), hlm. 443.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 9: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Dalam penelitian ini, data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan

akan disajikan dalam bentuk despriptif analitis. Penelitian ini akan dikerucutkan

permasalahannya pada kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian

internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia serta dikaitkan dengan

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang

ratifikasi tersebut berdasarkan studi kasus Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The

Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). Analisa data yang dilakukan

penulis mengacu kepada kerangka teori yang telah disebutkan sebelumnya.

Selain itu, akan diadakan pendekatan perbandingan hukum dengan beberapa

negara, yaitu Austria, Georgia, Jerman, dan Ukraina karena negara-negara tersebut pada

umumnya menganut tradisi civil law yang fungsi pengujiannya dilakukan oleh sebuah

organ yang dilembagakan secara tersendiri dengan penamaan yang berbeda.19

Tipologi penelitian ini masuk ke dalam penelitian deskriptif dengan sifat

penelitian berupa studi kepustakaan. Penelitian deskripitif dalam penulisan tugas akhir

ini merupakan penelitian untuk mengetahui kedudukan dan keberlakuan dari sebuah

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum di

Indonesia serta mekanisme perlindungan hak konstitusional dari keberlakuan tersebut

apabila dirasakan ada potensi dan/atau pelanggaran terhadap hak konstitusional warga

negara dalam perspektif Hukum Tata Negara.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri

dari:

a. Peraturan Dasar, yaitu: UUD 1945

b. Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari: UU Nomor 23 Tahun

2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diganti dengan UU

19 Jimly Asshidiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan

Konstitusi, Undang-Undang, dan Peraturan di 78 Negara), Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 10: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian

Internasional, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6/PMK/2005 tentang

Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Putusan MK

No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun

2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian

Nations (Piagam ASEAN).

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi

atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer serta

implementasinya,20 yang terdiri dari buku, tesis, disertasi, dan data-data resmi

dari lembaga negara atau instansi pemerintahan yang berkaitan dengan objek

penelitian.

Disamping menggunakan data sekunder tersebut, alat pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan

Sony Maulana Sikumbang, seorang Dosen Pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, karena beliau berkecimpung di bidang Ilmu Perundang-

Undangan di Indonesia yang sifat keilmuan tersebut berkaitan dengan objek penelitian

ini.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang

mengatur tata urutan perundang-undangan dalam hukum nasional Indonesia, tidak

melakukan pembedaan terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian

internasional dan undang-undang lainnya. Dimana kedudukan hukum undang-undang

menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945,

Ketetapan MPR dan di atas PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.

Dengan kedudukan hukum undang-undang dalam ketentuan tersebut dan konstruksi

hukum terhadap undang-undang ratifikasi dikaitkan dengan wewenang MK untuk

menguji konstitusionalitas suatu undang-undang yang dimuat dalam Pasal 24C

Perubahan Ketiga UUD 1945, maka MK berwenang untuk menguji konstitusionalitas

undang-undang ratifikasi terhadap UUD 1945.

20 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 31

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 11: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

PEMBAHASAN

Untuk memahami kedudukan hukum UU yang meratifikasi perjanjian

internasional dalam sistem hukum nasional RI, maka akan diuraikan terlebih dahulu

mengenai istilah ratifikasi, materi muatan UU ratifikasi, dan konstruksi UU ratifikasi

ditinjau dari format perundang-undangan menurut hukum nasional Indonesia.

2.1.1 UU Ratifikasi (Pengesahan) PI di Indonesia a. Istilah Ratifikasi (Pengesahan) PI

Istilah ratifikasi atau pengesahan yang digunakan dalam praktik hukum perjanjian

internasional di Indonesia khususnya UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional diambil dan diterjemahkan dari istilah “ratifikasi.” Pengertian ratifikasi

menurut ketentuan yang terdapat dalam Vienna Convention on the Law of Treaty 1969

(untuk selanjutnya disebut sebagai VCLT 1969), yaitu “Ratification”,

“acceptance”,”approval” and “accession” mean in each case the international act so

named whereby a state establishes on the international plane it’s consent to be bound by

a treaty.”21 Dalam konsepsi hukum nasional, ratifikasi diartikan sebagai persetujuan yang

diberikan oleh organ negara (pada umumnya parlemen) kepada kepala negara/ kepala

pemerintah untuk melakukan pengikatan diri terhadap perjanjian internasional. 22

Pembedaan istilah ratifikasi (ratification), aksesi (accesion), penerimaan acceptance),

dan penyetujuan (approval) tidak menimbulkan akibat hukum yang berbeda, melainkan

hanya berbeda pada prosedur seperti didahului oleh penandatanganan atau tidak dan

waktu pemberlakuannya.23

Selanjutnya, pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Bab III tentang

Pengesahan Perjanjian Internasional, Pasal 9 sampai dengan Pasal 11 UU No. 24 Tahun

2000 yang dalam pengaturan dan pelaksanaannya, pengesahan perjanjian internasional

oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional

21 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969, article 2

clause b. Konvensi Vienna diunduh dari:http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/-english/conventions/1_1_1969.pdf., pada 21 April 2013 pukul 10:13 wib.

22Ibid., hlm. 73. 23 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta, PT. Tatanusa,

2008), hlm. 36.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 12: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

tersebut.24 Pengesahan perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang

atau Peraturan Presiden.25

b. Materi Muatan UU Ratifikasi (Pengesahan) PI

Ketentuan mengenai materi muatan perundang-undangan di Indonesia saat ini

dirumuskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-

undang, adalah:26

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) butir b dijelaskan lebih lanjut, bahwa yang

dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional

yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait

dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan

atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR.

Dalam hal kaitannya dengan undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan)

perjanjian internasional pada umumnya dan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan

ASEAN Charter secara khusus, ditinjau dari pembentukannya sebagaimana yang

dikemukakan oleh Hamid Attamimi, bahwa wet in formele zin dilihat dari siapa

pembentuknya terlepas dari muatannya apakah penetapan (beschiking) atau peraturan

(regeling), sehingga adalah kurang tepat melihat wet in formele zin didasarkan pada

substansi pengaturan dalam undang-undang ratifikasi tersebut.27 Sedangkan apabila

24Ibid., Ps. 9. 25Ibid., Ps. 9 ayat (2). 26 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,…

Op, Cit., Ps. 10 ayat (1) beserta penjelasannya. 27 Hamid Attamimi juga mengemukakan, penerjemahan kata-kata ‘wet in formele zin’

menjadi undang-undang dalam arti formal tidaklah tepat ataupun kata-kata ‘wet in materiele zin’ menjadi undang-undang dalam arti materil, karena kata ‘Undang-Undang’ dalam Bahasa

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 13: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

ditinjau berdasarkan sifat materi yang diatur, maka undang-undang ratifikasi ini

memuat peraturan (regeling), karena tujuan pembentukannya adalah mengesahkan dan

memuat “persetujuan DPR” dalam rangka menindaklanjuti pengikatan diri negara

Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional28 dan Sony Maulana Sikumbang juga

mengemukakan bahwa undang-undang ratifikasi ini ditetapkan dengan tujuan untuk

mengikat masyarakat umum atau dengan sebutan “ditetapkan” untuk berlaku umum,

yang berarti ditetapkan untuk mengikat pemerintah dan masyarakat umum.29

c. Format UU Ratifikasi (Pengesahan) PI

Apabila ditinjau dari dari format perundang-undangan pada undang-undang,

peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran.30 Lampiran-lampiran

ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan.31 Contoh undang-undang yang memiliki lampiran adalah

Undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang pengesahan konvensi

ataupun perjanjian-perjanjian internasional.

Batang tubuh undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada

dasarnya juga terdiri atas 2 (dua) pasal. Pasal 1 memuat ketentuan pengesahan

Indonesia tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Sebagaimana dikutip dari Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 53-54.

28 Berdasarkan hasil wawancara Penulis terhadap Sony Maulana Sikumbang, Dosen

pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib.

29Ibid. 30 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5324. UU ini memiliki lampiran dan Pasal 44 ayat (2) menyatakan ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Lampiran I UU ini memuat sistematika rancangan dalam kerangka peraturan perundang-undangan terdiri dari:

a. Judul; b. Pembukaan; c. Batang Tubuh; d. Penutup; e. Penjelasan (jika diperlukan) f. Lampiran (jika diperlukan) 31 Contoh yang sama dapat dilihat pada ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah

Akademik yang dicantumkan dalam Lampiran I UU No.12 Tahun 2011 dinyatakan sebagai bagian ynag tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ibid., Ps. 44 ayat (2).

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 14: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

perjanjian internasional dimaksud, yaitu dengan memuat pernyataan melampirkan

salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa

Indonesia, sedangkan Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlakunya.

Sehingga, dari segi format perundang-undangan, undang-undang yang meratifikasi

suatu perjanjian internasional beserta perjanjian internasioal yang menjadi lampirannya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

d. UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dan Fungsi Legislasi DPR

Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang

mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.32

Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam

pembentukan UU menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:33

1. prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); 2. pembahasan rancangan undang-undang (law making process); 3. persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment

approval); 4. pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau

persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on internastional agreement and treaties or other legal binding document).

Dalam proses ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional yang mengharuskan

persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tertentu, Bagir Manan berpendapat

bahwa:34

“Kalau pengertian perjanjian internasional dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat undang-undang, karenamenciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara. Telah menajadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislasi adalah undang-undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR kecuali undang-undang.

32 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,…Op. Cit., hlm. 24. 33Ibid. 34 Bagir Manan. “Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional

(Tinjauan Hukum Tata Negara)”, Focused Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November, 2008, sebagaimana dikutip dari http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-Hukum-Di-Dalam-Negeri-Pengesahan-Perjanjian-Internasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara, diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 15: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Undang-undang adalah produk yang dihasilkan dari fungsi legislasi DPR, karena itu setiap perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk undang-undang.”

2.1.2 Kedudukan Hukum UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dalam Tata Urutan Perundang-undangan (UU No. 12 tahun 2011)

Dalam pelbagai pandangan yang merujuk pada sistem hukum positif di dunia,

tidak terdapat satu negara pun yang secara khusus mengatur tata urutan urutan

perundang-undangan,35 sebagaimana di Indonesia. Kondisi ini disebabkan:36

“Secara hukum tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas pada sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu juga dapat dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid). Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam hal UUD terdapat ungkapan the supreme law of the land.”

Indonesia sendiri mengenal dan mengatur tata urutan peraturan perundang-

undangan dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 UU

No. 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan,37

ditegaskan bahwa kedudukan hukum sebuah undang-undang berada di bawah UUD

1945 dan Ketetapan MPR serta diatas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden,

Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan

ayat (2) juga di pasal yang sama disebutkan bahwa kekuatan peraturan perundang-

undangan sesuai dengan tata urutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sebuah

35 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 130. Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang menyebutkan misalnya “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the land.” Di Jerman dikenal tata urutan (hierarki) sumber hukum (Gesetzesvorrang), yang urutannya UUD (Grundgesetz), perjanjian internasional yang penting, UU yang dibuat oleh parlemen pusat, Peraturan Pemerintah Pusat, Peraturan Menteri Federal, dan UUD negara bagian. Sementara itu, di negara Finlandia, urutan sumber hukumnya adalah Konstitusi, UU yang dibuat oleh Parlemen, dekrit yang dibuat oleh Presiden, kabinet atau menteri, peraturan lainnya yang dibuat oleh pejabat di bawah menteri. Lihat, R.M. Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen,” Jurnal Konstitusi Vol. 4 No. 1 (Maret 2007): 148- 155.

36Ibid., hlm. 131. 37Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1).

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 16: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

konsekuensi logis dari kedudukan hukum undang-undang ini berdasarkan teori yang

dikemukakan oleh Bagir Manan adalah peraturan perundang-undangan tingkat lebih

rendah, dalam hal ini undang-undang, harus bersumber dan berdasar dari suatu

perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan/atau Ketetapan MPR; dan

isi atau materi muatan undang-undang ini tidak boleh menyimpangi atau bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kesimpulan yang diperoleh dari perbandingan kewenangan MK Indonesia

dengan MK negara lain adalah bahwa pada dasarnya setiap negara menerapkan prkatik

yang berbeda, bergantung pada ketentuan konstitusional negara tersebut. Sebagaimana

MK Austria dan Georgia memiliki kewenangan mengadili konstitusionalitas suatu PI;

MK Jerman yang tidak menegaskan kewenangan MK Federal Jerman untuk mengadili

konstitusionalitas suatu PI, tetapi menegaskan kedudukan suatu PI; MK Ukraina

memberikan pendapat (opinions) kesesuaian antara Konstitusi Ukraina dengan PI.

2.1.3 Kewenangan MK Menguji UU Ratifikasi PI (Analisis Putusan MK No.

33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations Terhadap UUD 1945)

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang berdasarkan

Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 177/PAN.MK/2011 yang dicatat dalam

Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33/PUU-IX/2011. Pada pokoknya

para Pemohon menyatakan bagian materi/muatan pasal/ayat dari UU No. 38 Tahun

2008 beserta lampirannya Piagam Asean sebagai bagian yang tidak terpisahkan

bertentangan dengan UUD 1945,38 yaitu ketentuan Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat (2)

huruf n Piagam Asean bertentaangan dengan UUD 1945.39 Kedua Pasal dalam Piagam

Asean ini merupakan konsepsi penyatuan pasar di atas landasan neoliberalisme dengan

cakupan yang sangat luas meliputi seluruh isu ekonomi, investasi, perdagangan,

keuangan, dan perburuhan.40

38Ibid. hlm. 28. 39 Charter of Southeast Asian Nations, dapat diunduh dari http://www.as-

ean.org/asean/asean-charter/asean-charter, pada 20 April 2013 pukul 21:58 wib. 40 bagian Ringkasan Permohonan, Ibid., hlm. 12.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 17: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

Secara keseluruhan, dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 ini terlihat adanya

perdebatan mengenai kewenangan MK menguji UU ratifikasi. Hal ini dapat dilihat dari

bagian IV, Penjelasan Pemerintah dan adanya pendapat berbeda (dissenting opinion)

dari dua Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoleva dan Maria Farida Indrati, yang pada

pokoknya adalah menyatakan bahwa MK tidak berwenang menguji uu ratifikasi,

sehingga permintaan tersebut harus ditolak.

Dalam pemaparan bab sebelumnya telah disebutkan bahwa pengaturan

kewenangan MK dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD diatur

dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, produk hukum yang diuji

konstitusionalitasnya oleh MK adalah “undang-undang” terhadap UUD. Namun, UUD

1945 tidak memberikan lingkup batasan pengertian undang-undang secara tegas.41

Apabila dilihat dari penulisannya, kata “undang-undang” dalam pasal tersebut

adalah dengan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil dalam kata “undang-undang” ini

menimbulkan pertanyaan apakah terdapat signifikansi perbedaan akibat hukum dengan

penggunaan huruf kapital pada penulisan kata “Undang-Undang,” sebagaimana yang

terdapat dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.

Biasanya, penggunaan huruf kapital pada penulisan kata “Undang-Undang”

dipahami dalam arti nama atau sebutan kepada undang-undang yang sudah tertentu.

Sedangkan, penggunaan huruf kecil pada penulisan kata “undang-undang,” memiliki

maksud undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu dalam hal nomor dan

judul undang-undangnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa “undang-undang”

adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah berkaitan dengan udang-undang

dengan nomor dan nama tertentu.42

Berangkat dari pemahaman tersebut juga, maka “Undang-Undang” dapat

dipahami sebagai produk hukum dalam arti luas yang ruang lingkupnya menyangkut

41 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang…Op. Cit., hlm. 21. 42Ibid.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 18: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

materi dan bentuk tertentu43 yang berkaitan dengan undang-undang dalam arti material

(wet in materiele zin), yang melihat undang-undang dari segi isi, materi, atau substansi

yang diatur dan undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) dilihat dari segi

bentuk dan pembentukannya. Jimly Asshidiqie mengemukakan, terhadap undang-

undang dalam arti formal atau materil ini tidak dilakukan pembedaan dalam hal

pengujiannya, undang-undang dapat menjadi objek kajian hukum tata negara dari segi

formal ataupun materilnya sekaligus.

Berdasarkan pemaparan tentang kedudukan hukum UU. No. 38 Tahun 2008

tentang Pengesahan Piagam Asean dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia

dan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD di atas, Penulis

berpandangan bahwa untuk menjawab pertanyaan tentang berwenang atau tidaknya MK

menguji UU No. 38 Tahun 2008 ini perlu diperhatikan kembali mengenai wewenang

MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 serta

produk hukum yang menjadi objek pengujiannya. Sebagaimana telah diuraikan dalam

ketentuan yang menjadi landasan konstitusional wewenang MK melakukan pengujian

konstitusional, bahwa yang menjadi kewenangan pengujian oleh MK adalah

“…undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Pengertian kata “undang-undang” dalam Pasal 24C tersebut tidak terlepas dari

ketentuan lain dalam UUD yang menyebut “undang-undang,” yaitu ketentuan Pasal 5

ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 Perubahan Pertama UUD 1945, bahwa istilah “undang-

undang” mempunyai makna sebagai produk hukum yang disetujui bersama oleh DPR

dan Presiden. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011 juga

memberikan pengertian “Undang-Undang” adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Pembentukan undang-undang ini berkaitan erat dengan fungsi legislasi yang

dimiliki oleh DPR, yaitu fungsi untuk membentuk peraturan-peraturan berupa norma

hukum yang mengikat dan membatasi warga negara.44 Baigir Manan mengemukakan

bahwa “Persetujuan DPR” dalam undang-undang yang mengesahkan perjanjian

43Ibid., hlm. 21-22. 44 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,…Op. Cit., 2006), hlm.

34.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 19: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

internasional termasuk dalam fungsi legislasi, karena menciptakan hukum atau

menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara.45

Dengan memperhatikan uraian pada bagian kedudukan hukum UU No. 38 Tahun

2008 pada sub bab sebelumnya, bahwa UU No. 38 Tahun 2008 termasuk dalam produk

hukum dengan bentuk “Undang-Undang” yang dibentuk oleh Presiden dan

membutuhkan “persetujuan DPR” sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi

legislasi yang dimiliki oleh DPR. UU No. 38 Tahun 2008 juga memiliki Charter of The

Association of Southeast Asian Nations (Piagam Asean) sebagai lampirannya dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Apabila hal ini

dikaitkan dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang

diamanatkan oleh Pasal 24C UUD 1945, maka Penulis berpendapat bahwa MK

berwenang untuk melakukan pengujian terhadap “…undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar,” termasuk undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional,

dalam hal ini adalah UU No. 38 Tahun 2008.

Namun, pengujian konstitusionalitas yang membatalkan bagian/pasal tertentu dari

suatu uu ratifikasi tidak serta merta menjadi suatu penarikan diri Indonesia terhadap

suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan, mengingat tata cara penarikan diri

(withdrawal) dari sutu perjanjian internasional telah ditentukan dalam perjanjian

tersebut.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Penulis, maka

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional

menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945,

Ketetapan MPR dan di atas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan

Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 UU No. 12

Tahun 2011 yang mengatur hierarki perundang-undangan tidak dilakukan

pembedaan terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan

undang-undang lainnya dalam tata urutannya.

45 Bagir Manan, “Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional

(Tinjauan Hukum Tatanegara)”, Makalah, Focus Group Discussion Departemen Luar Negeri dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 29 November 2008, sebagaimana dikutip dari Damos Dumoli Agusman,…Op. Cit, hlm. 91.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 20: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

2. Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas suatu

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini didasari pada

ketentuan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menjadi landasan

konstitusional wewenang MK dalam melakukan pengujian disebutkan bahwa yang

menjadi kewenangan pengujian oleh MK adalah “…undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar.” Pengertian kata “undang-undang” dalam Pasal 24C

tersebut tidak terlepas dari ketentuan lain dalam UUD yang menyebut “undang-

undang,” yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 UUD 1945, bahwa

istilah “undang-undang” mempunyai makna sebagai produk hukum yang disetujui

bersama oleh DPR dan Presiden. Hal ini juga sejalan dengan pendapat MK dalam

Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa MK berwenang

menguji UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of

Southeast Asian Nations karena pengujian ini merupakan pengujian

konstitusionalitas norma undang-undang, sehingga MK berwenang untuk

mengadilinya.

SARAN

1. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, sebaiknya DPR dan Pemerintah

merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, yaitu bagian penjelasan Pasal 10 huruf c yang berkaitan dengan materi

muatan undang-undang yaitu termasuk perjanjian internasional tertentu. Dengan

menegaskan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan)

perjanjian internasional setelah memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah

dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa norma dalam

undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional merupakan norma

undang-undang serta implikasi hukumnya, atau setidaknya menegaskan implikasi

hukum dari diberikannya bentuk hukum “Undang-Undang” untuk “persetujuan

DPR” dalam proses ratifikasi perjanjian internasional tertentu terhadap tata urutan

perundang-undangan di Indonesia;

2. Perlu dikaji lebih mendalam mengenai implikasi hukum terhadap keterikatan

Indonesia atas suatu perjanjian internasional, apabila MK menyatakan ada bagian

atau pasal tertentu dalam perjanjian internasional yang diujit terhadap UUD 1945

ternyata inkonstitusional. Hal ini dikarenakan mengingat upaya atau cara-cara

penarikan diri (withdrawal) sebuah negara dari suatu perjanjian internasional telah

ditentukan dalam perjanjian internasional itu sendiri.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.

Page 21: ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG ...

DAFTAR PUSTAKA Buku Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik Indonesia.

Bandung: PT.Refika Aditama, 2010. Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. --------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007. --------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Asshidiqie, Jimly dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-

Undang, dan Peraturan di 78 Negara), Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Cet. 5. Bandung: Nusa Media, 2010.

Kusumaatmadja, Mochtar dan dan Etty R Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni, 2003.

Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.

Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.

Suryokusumo, Sumaryo. Hukum perjanjian Internasional, Cet. 1. Jakarta: PT. Tatanusa, 2008. Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Cet.1. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Jurnal Juwana, Hikmahanto. “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional” Indonesian Journal

of International Law, Vol. 5 No. 3 (April, 2008), hlm. 443-459. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, LN No. 13 Tahun

2006. ----------, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN. 185 Tahun 2000, TLN.

4012. ----------, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2012, LN

No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234 ----------, Undang-Undang tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations,

UU No. 38 Tahun 2008, LN No. 165 Tahun 2008, TLN No. 4915. Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38

Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN), Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011.

Internet “http://www.asean.org/asean/asean-charter/asean-charter,” pada 20 April 2013 pukul 21:58 wib. “http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-Hukum-Di-Dalam-Negeri-Pengesahan-Perjanjian-

Internasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara,”diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib. “http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/-english/conventions/1_1_1969.pdf.,” pada 21 April 2013

pukul 10:13 wib. Lainnya Wawancara dnegan Sony Maulana Sikumbang. Dosen pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas

Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib.

Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.