ANALISIS SEMIOTIK FOTO BERITA HEADLINE KORAN...
Transcript of ANALISIS SEMIOTIK FOTO BERITA HEADLINE KORAN...
ANALISIS SEMIOTIK FOTO BERITA
HEADLINE KORAN TEMPO EDISI TRAGEDI MUSLIM
SYI’AH DI SAMPANG MADURA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
Puja Abdul Wahid
NIM: 108051100038
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H./2013 M.
ABSTRAK
i
Nama : Puja Abdul Wahid
NIM : 108051100038
Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik
Skripsi : Analisis Semiotik Foto Berita Headline Koran Tempo Edisi Tragedi
Muslim Syi’ah Di Sampang Madura.
Media massa bukan hanya dijadikan sebagai penyampai berita dalam hal ini
media cetak juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk berdakwah khususnya
dalam agama Islam.Dalam hal ini ada beberapa foto yang terdapat pada halaman
depan berita utama media cetak (headline) Koran Tempo. Dalam foto-foto yang
menjadi berita utama yang dipilih dalam penelitian ini terdapat beberapa
gambaran tentang sebuah fenomena yang sudah tak asing lagi didengar dan sangat
sering terjadi dikalangan masyarakat. Tragedi yang sangat sering terjadi
khususnya konflik antar agama atau antara internal agama itu sendiri. Pada foto-
foto yang dipilih oleh peneliti bukan hanya menggambarkan sisi visualnya saja,
akan tetapi gambar yang diangkat memberikan informasi bahwa toleransi
beragama yang ada di Indonesia sangatlah kurang. Untuk itu dengan adanya
penelitian ini semoga dapat memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa
begitu pentingnya rasa toleransi antar sesama.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka muncul
pertanyaan sebagai berikut. Apa makna denotasi, apa makna konotasi, dan apa
makna mitos yang terkandung pada foto berita utama (headline) Koran Tempo
Edisi 27-28 Agustus 2012 tentang tragedi muslim Syi’ah di Sampang Madura?
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian ini menggunakan metode
paradigma interpretatif dengan acuan semiotika dari Roland Barthes yang
memfokuskan pada makna denotasi, konotasi dan mitos.
Data dalam penelitian ini diperoleh dari berita utama (headline) Koran
Tempo edisi 27-28 Agstus 2012. dan hanya dua foto ini yang mewakili berita
utama tersebut. Data yang diperoleh dari wawancara kepada redaktur foto kantor
berita Tempo Rulli Kesuma, dan juga menambahkan referensi dari buku-buku,
wikipedia, artikel internet atau tulisan yang berkaitan dengan penelitian semiotika.
Dari beberapa data yang dikaji oleh peneliti dengan metode analisis
semiotika Roland Bharthes, maka diperoleh beberapa data, yaitu: makna denotasi
yang dimana dapat memberikan beberapa gambaran beberapa kekerasan yng
terjadi secara brutal yang terjadi dikalangan masyarakat. Makna konotasi disini
mengungkapkan masih kurangnya sikap toleransi antar sesama dan agama
khususnya. Dan makna mitos, dapat disimpulkan bahwa kesalah fahaman dalam
ruang lingkup masyarakat dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat
tidak dengan bentuk kekerasan yang dapat merugikan masing-masing kelompok
masyarakat yang bertikai.
Dari hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa dalam foto jurnalistik
jelas terlihat secara objektif dan subjektiff sebuah peritiwa. Foto yang ditampilkan
bukan hanya sekedar foto visual biasa, tetapi foto-foto yang dapat berbicara
tentang tragedi yang terjadi dikalangan masyarakat, khususnya di Sampang
Madura dalam tragedi muslim Syi’ah dan non Syiah yang masih kurang memiliki
rasa toleransi antar sesama.
Key Word: Headline, Internal, Syi’ah, Tragedi, Denotasi, Konotasi, Mitos
ii
KATA PENGANTAR
Terukir rasa syukur kupersembahkan kepada sang Khaliq Allah SWT,
karena telah melimpahkan rezeki dan nikmat yang berlimpah sehingga masih bisa
merasakan setetes ilmu yang kau titipkan, dan semoga menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain hingga akhir hayat nanti.
Sholawat beriring salam semoga tercurahkan kepada pemimpin Islam serta
tauladan bagi semua makhluk Allah di dunia, yakni Rasullah SAW. Beliaulah
yang membimbing serta mendidik makhluk-Nya dari gelapnya zaman hingga
merasakan kelembutan Islam dari Iman yang menyinari hidup dan menjadi
pedoman dihari pertanggung jawaban nanti.
Dengan selesainya skripsi ini perkenankan penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Wadek I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Wadek II
Drs. H. Mahmud Jalal M.A, Wadek III Drs. Study Rizal LK, MA.
2. Rubiyanah, M.A dan Ade Rina, M.Si selaku ketua dan Sekretaris Jurusan
Konsentrasi Jurnalistik.
3. Dr. Suhaimi, M.Si selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan tentang
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah mendidik dan
memberi ilmu yang bermanfaat kepada peneliti selama menempuh
iii
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga peneliti dapat
mengamalkan Ilmu yang telah Bapak/Ibu berikan.
5. Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas buku-
buku yang dijadikan refrensi penelitian skripsi ini.
6. Ayahanda tercinta Drs. Wahid Erawan M.M serta ibunda saya tersayang
Dr. Iip Saripah M.Pd yang selalu memberi dukungan semangat, doa, yang
selalu sabar dan ikhlas mendidik peneliti mulai dari benih dalam rahim
hingga detik ini, terima kasih banyak atas semua kasih sayang yang kalian
berikan.
7. Teristimewa saya persembahkan untuk Wawat Rizqiawaty yang
membantu peneliti dalam mengerjakan skripsi ini, selalu memberi
semangat dan curahan kasih sayang pada penulis dalam keadaan apapun.
8. Teman-teman Jurnalistik A dan B angkatan 2008 yang senantiasa saling
berbagi dalam suka dan duka selama menjalani perkuliahan, dukungan dan
doa kalian takkan pernah terlupakan. Kompak selalu kawan
9. Teman-teman kostan terhebat; Muhdi, Fathur, Fachry, Subhi, Ibnu,
Wahyu, Bule dan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu
ada dan menemani peneliti dalam keadaan suka maupun duka selama
ngekost. Sahabat selamanya.
10. Kawan-kawan di LSO KLISE Fotografi Faqih, Rifqi, Sendy, Arga, Fina
dan seluruh pengurus dan anggota terima kasih atas semua dukungan
kalian. Make a picture and you can get best momment.
iv
11. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, atas
bantuan dan jasa-jasa yang telah terkorbankan untuk penulis, semoga
Allah SWT akan senantiasa melimpahkan rahmat serta pahala yang
berlipat ganda dengan penuh keridhaan-Nya hingga akhir zaman nanti.
Akhir kata, penelitian skripsi ini tentunya masih jauh dari sempurna,
namun diharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca pada
umumnya dan bagi segenap keluarga besar Jurusan Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 15 Mei 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ v
DAFTAR TABEL....................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah........................................... 3
C. Tujuan Penelitian................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian............................................................... 4
1. Manfaat Praktis……................................................... 4
2. Manfaat Akademis...................................................... 4
E. Metodologi Penelitian.......................................................... 5
1. Subjek dan Objek Penelitian....................................... 6
2. Sampel Penelitian........................................................ 6
3. Teknik Pengumpulan Data.......................................... 7
4. Teknik Analisis Data................................................... 8
F. Tinjauan Kepustakaan.......................................................... 8
G. Sistematika Penulisan........................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi...................................... 12
1. Pengertian Fotografi dan Pengertian Foto Berita........ 12
2. Pengertian Headline.................................................... 16
3. Fungsi Headline.......................................................... 20
B. Tinjauan UmumTentang Semiotik......................................... 22
1. Pengertian Analisis....................................................... 22
2. Pengertian Semiotik..................................................... 24
3. Pengertian Denotasi, Konotasi, dan Mitos................. 28
4. Pengertian Konflik...................................................... 38
vi
BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL KORAN TEMPO
A. Sejarah Serta Perkembangan Koran TEMPO...................... 38
B. Visi dan Misi TEMPO Inti Media....................................... 41
1. Visi TEMPO Inti Media................................................ 41
2. Misi TEMPO Inti Media............................................... 41
C. Struktur Redaksi Koran TEMPO........................................ 42
D. Prestasi-Prestasi TEMPO Inti Media.................................. 43
E. Tragedi Muslim Syi’ah di Sampang Madura...................... 45
BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA FOTO HEADLINE KORAN
TEMPO
A. Data dan Analisis Data....................................................... 46
B. Analisis Data Foto 1........................................................... 48
1. Makna Denotasi........................................................... 48
2. Makna Konotasi........................................................... 49
3. Makna Mitos................................................................ 50
C. Analisis Data Foto 2........................................................... 52
1. Makna Denotasi........................................................... 53
2. Makna Konotasi........................................................... 54
3. Makna Mitos................................................................ 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 56
B. Saran.................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 58
LAMPIRAN................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1 Pemaknaan Dalam Teknik Menganalisis Foto ................. 27
2. Tabel 2 Analisis Foto 1 .................................................................. 48
3. Tabel 3 Analisis Foto 2 .................................................................. 52
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Data Foto 1 ......................................................................................... 48
2. Data Foto 2 ......................................................................................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Foto-foto yang dimuat didalam surat kabar atau majalah merupakan
sebuah visualisasi dari suatu kejadian dan itu yang disebut sebagai berita. Foto
untuk para pers biasanya disebut sebagai foto jurnalistik. Foto-foto yang disajikan
itu sudah menjadi berita, sedangkan fungsi foto pada berita sebagaimana halnya
pada Headline yaitu : menarik perhatian pembaca, menceritakan isi dari berita,
memberikan mutu pada berita, membuat surat kabar atau majalah menjadi lebih
menarik. Karena foto adalah bentuk komunikasi visual, maka secara langsung dia
menyentuh perasaaan sehingga mempercepat terbentuknya pendapat umum.1
Media massa pada dasarnya sangat sulit untuk bersikap netral karena
mereka dihantui oleh berbagai kepentingan, Belum lagi dari aspek ideologi media
itu sendiri dan berbagai kepentingan baik bisnis maupun politik sangat
berpengaruh pada saat pembingkaian peristiwa tertentu.
Syi‟ah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi‟ah Ali adalah
pendukung atau pembela Ali. Syi‟ah Mu‟awiyah adalah pendukung Mu‟awiyah.
Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syi‟ah dalam arti nama kelompok
orang Islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan kholifah ke-tiga ada
yang mendukung Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman
bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali, akhirnya berbai‟at
kepada Utsman termasuk Ali. Jadi, belum terbentuk secara faktual kelompok umat
Islam bernama Syi‟ah.2
1
M. Mundaris, Dasar-Dasar Photo Jurnalism (Semarang: Aksara, 1976), h. 5. 2 http://www.kampus-info.com/2012/08/pengertian-aliran-syiah.html diakses pada tanggal
24 april 2013
2
Aliran Syi‟ah merupakan aliran pertama yang muncul di kalangan umat
Islam. Aliran ini dilatarbelakangi oleh pendukung ahlul bait yang tetap
menginginkan pengganti Nabi adalah dari ahlul bait sendiri yaitu Ali bin Abi
Thalib. Mereka mempunyai doktrin sendiri dalam alirannya, salah satunya tentang
Imamah. Mereka berpendapat bahwa pengganti Nabi yang pantas menjadi
pemimpin adalah seseorang yang ma’shum(terhindar dari dosa).
Dalam perkembangannya, Syi‟ah dianggap aliran sesat. Banyak yang
menganggap bahwa Syi‟ah adalah Islam. Hal ini sangat berbeda sekali, karena
antara Islam dan Syi‟ah sangat jauh sekali tentang ajaran aqidahnya.
Namun demikian, jika yang dimaksud dengan Syiah adalah sebagaimana
yang dituduhkan oleh kelompok Salafi-Wahabi sebagai ajaran yang mengutuk dan
mengkafirkan sahabat-sahabat Nabi, maka jelas Syiah hanyalah segelintir kecil
manusia yang hanya ada dalam ilusi kelompok para penuduh itu sendiri atau
orang-orang yang memang tersesat dari jalan Islam yang rahmatan lil „alamin.3
Koran Tempo merupakan salah satu media suratkabar yang menyajikan
foto berita pada setiap penerbitannya. Dalam penempatan foto berita, Koran
Tempo memiliki pertimbangan tertentu disetiap penyajiannya dalam bentuk foto
berita, karena bukan hal yang sederhana ketika suatu media yakni Koran Tempo
memutuskan untuk menampilkan foto berita dalam pemberitaannya. Koran Tempo
sebagai media yang menjadi tolak ukur media di Indonesia, ternyata cukup hati-
hati dalam menempatkan diri dibenak para khalayak masyarakat. Profesionalisme
3 http://syiahahlulbait.wordpress.com/2012/11/05/syiah-kafir-tong-kosong-nyaring-
bunyinya/
3
yang harus terus dianut oleh seluruh jajaran Koran Tempo membuat mereka
memiliki tempat istimewa di hati para pembaca dan pelanggannya, termasuk
pemunculan foto atau gambar pada Headline surat kabar ini. Berdasarkan
permasalahan tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul:
“ANALISIS SEMIOTIK FOTO BERITA HEADLINE KORAN TEMPO
EDISI TRAGEDI MUSLIM SYI’AH DI SAMPANG MADURA”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak melebar, maka yang diteliti
dalam penelitian ini terbatas pada makna-makna yang terkandung di dalam tiga
foto berita Headline koran Tempo edisi 27 dan 28 Agustus 2012 tentang Tragedi
Muslim Syi‟ah di Sampang Madura.
Berdasarkan pembatasan masalah yang tertulis diatas, maka perumusan
masalah ini adalah :
1. Apa makna Denotasi pada foto berita di Headline dalam koran Tempo ?
2. Apa makna Konotasi pada foto berita di Headline dalam koran Tempo ?
3. Apa makna Mitos pada foto berita di Headline dalam koran Tempo ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini memberi pengetahuan mengenai makna dalam
sebuah foto dan untuk mengatasi salah membaca pesan dari foto berita.
Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui dan menghasilkan
analisis dari beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Makna Denotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam
koran Tempo ?
4
2. Makna Konotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam
koran Tempo ?
3. Makna Mitos yang terkandung pada foto berita di Headline dalam koran
Tempo ?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran
mengenai dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik / foto berita
kepada mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik dan kepada setiap orang yang
ingin dan sedang terjun didalam bidang fotografi jurnalistik. Selain itu,
memberikan gambaran mengenai cara membaca makna dan menerapkan
ilmu tanda yaitu semiotika dalam membaca makna dalam foto/gambar
dalam sebuah foto berita di media massa tentang Tragedi Muslim Syi‟ah
di Sampang Madura.
2. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran
tahapan yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah foto berita dan
tahapan dalam membaca makna yang terkandung didalam foto berita
Tragedi Muslim Syi‟ah di Sampang Madura, khususnya menggunakan
ilmu semiotika.
5
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Penelitian
kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai
subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada
filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan
oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi.4 Paradigma menurut Bogdan dan
Biklen (1982:32), adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang
bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian.5
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan Paradigma interpretif yang menyatakan
bahwa pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan
individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari – hari, dan hal tersebutlah yang
menjadi langkah awal penelitian ilmu – ilmu sosial.
pemaknaannya hanya terjadi pada konsep mental pada tiap-tiap individu,
sebab penelitian ini bersifat subjektif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan
dalam ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dan berinteraksi langsung
dengan manusia, dan dalam proses pemaknannya tidak lepas dari unsur
subjektifitas. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa: “
pengetahuan tidak
memiliki sifat objektif dan tetap, tetapi bersifat interpretatif”.6
4 http://www.blogspot.com/Zulfikar‟Site,Mahasiswa/28/03/08/ Paradigma Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif/html. 5 Asmadi Alsa, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal. 32 6 Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradifma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) h. 35.
6
1. Subjek, Objek dan Tempat Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian adalah foto Headline koran
Tempo. Sedangkan objek penelitian ini ialah makna-makna yang
terkandung dalam foto berita Headline edisi Tragedi Muslim Syi‟ah di
Sampang Madura tanggal 27-28 agustus 2012 pada koran Tempo.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penarikan sample data, peneliti menggunakan teknik
pengambilan sampel purposive sampling dimana teknik penentuan sampel
menggunakan pertimbangan tertentu.7 Teknik ini bisa diartikan sebagai
suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu
jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel
dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak
menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan.
Sample penelitian yang dipilih oleh peneliti ialah dua foto
Headline Koran Tempo edisi Tragedi Muslim Syi‟ah di Sampang Madura
tanggal 27-28 Agustus 2012. Karena dalam dua foto ini tergambar sebab
dan akibat yang ditimbulkan dari tragedi tersebut. Dan dengan demikian
peneliti dapat menyimpulkan dan mendapatkan data yang sesuai dengan
tema yang diangkat oleh Koran Tempo yaitu tentang tragedi dan konflik
warga Syi‟ah dan warga non Syiah.
7 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2008), hal. 85
7
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan,
pengubahan, pencatatan dan pengoden, serangkaian prilaku8. Menurut
Indriantoro dan Supomo, observasi adalah poroses pencatatan pola
prilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau kejadian yang
sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-
individu. Data yang dikumpulkanpada umumnya tidak terdistorsi,
lebih akurat dan rinci, serta bebas dari respon bias9 Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan pengamatan dengan melihat langsung serta
mencermati setiap tanda-tanda pada objek penelitian yakni dua foto
Headline pada koran Tempo edisi Tragedi Muslim Syi‟ah di Sampang
Madura tanggal 27-28 Agustus 2012.
b. Dokumentasi
Dokumen adalah representasi dari arsip. Dokumen adalah
rekaman yang lebih dekat dengan percakapan.10
Dokumentasi adalah
penelitian mengumpulkan, membaca, dan mempelajari berbagai
bentuk data tertulis (buku, majalah, atau jurnal)yang terdapat di
perpustakaan, internet atau instansi lain yang dapat dijadikan analisis
8 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung:
Rosdakarya, 2005), h. 83 9 Rosadi Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005), h. 34. 10
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 97.
8
dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan
dengan penelitian berupa dua foto Headline pada koran Tempo.
c. Wawancara
Wawancara (interview) merupakan alat pengumpulan data yang
sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang
melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku atau aktor ).11
Wawancara
adalah salah satu faktor penting dalam menggali informasi dari
narasumber.12
Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam
(in-depth interview), yaitu wawancara yang bersifat terstruktur dan
mendetail.13
Dalam hal ini, wawancara langsung dan mendalam
dilakukan kepada Rully Kesuma yang menjabat sebagai Redaktur
Foto Koran Tempo.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan semiotika
Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi, denotasi dan
mitos) untuk memahami makna yang terkandung didalam foto-foto yang
menjadi sample dalam penelitian ini.
11
Pawito, Peneletian Komunikasi Kualitatif, h. 132. 12
http:/www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses
pada 17 Juli 2009 13
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 134.
9
F. Tinjauan Kepustakaan
Foto berita merupakan salah satu pokok penting dari sebuah berita.
Yurnaldi mengatakan dalam buku Jurnalistik Siap Pakai, bahwa foto-foto
jurnalistik sangat penting dan perlu didalam dunia media cetak. Karena foto
membuat segar halaman surat kabar, menolong mata pembaca untuk melihat
hal-hal menarik, memisahkan dua berita agar tidak terlihat monoton.
Penelitian dengan subjek foto berita pernah dilakukan oleh Septian ermawan,
mahasiswa IISIP Jakarta, pada tahun 2008. Judul penelitiannya adalah
Penyajian foto Headline Surat Kabar Republika Edisi juli-Desember 2007
dilihat dari nilai Berita, Syarat Foto Berita dan Syarat Caption.
Selain itu, skripsi lain yang juga meneliti foto berita dan
menggunakan analisis semiotika Roland Barthes disusun oleh Angga Rizal
Nurhuda, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jakarta
pada tahun 2010, yang berjudul “Analisis Semiotika Foto Berita Headline
Koran Tempo”.
Dari dua skripsi tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda karena
mempunyai kesamaan membahas mengenai makna dan simbol pada foto
jurnalsitik dengan menggunakan analisis semiotika. Tetapi foto yang akan
dianalisis berbeda dan dari sumber yang berbeda pula.
Dari maksud tinjauan pustaka ini adalah agar dapat diketahui bahwa
yang penulis jadikan saat ini sama sekali tidak sama dengan penelitian dari
skripsi yang terdahulu dan dapat memberikan sentuhan penelitian yang
berbeda dalam penelitian ini.
10
G. Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, yaitu
penjabaran masalah yang dibahas dalam penelitian
ini dan seberapa pentingnya penelitian foto
jurnalistik/foto berita yang diteliti menggunakan
analisis semiotika yang terdapat di Headline koran
Tempo untuk dibahas. Pembatasan Masalah dan
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan
Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Menjabarkan isi penelitian yang didapatkan dari
hasil studi pustakan dan teori yang digunakan dalam
penelitian ini. Yaitu, hasil pengertian Fotografi
Jurnalistik, pengertian Headline, pengertian
semiotika serta bagaimana membaca makna yang
terdapat dalam foto/gambar menggunakan analisis
semiotika, terutama menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes.
BAB III: Membahas profil Koran Tempo yang sekarang
merupakan surat kabar nasional. Sejarah berdirinya
perusahaan Koran Tempo, perjalanannya sehingga
bertahan sampai sekarang dan memiliki banyak
divisi didalamnya. Seberapa besar pengaruh
11
Headline koran Tempo dalam setiap berita yang
dipublikasikan dan disebar luaskan kepada
masyarakat.
BAB IV: Bagian analisis data tentang makna yang terkandung
dari foto jurnalistik di Headline koran Tempo edisi
27-28 Agustus 2012 dengan menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes.
BAB V: Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari hasil
penelitian serta saran-saran untuk memajukan para
fotografer dan yang ingin menggeluti bidang
fotografi jurnalistik dalam penyajian atau
pengambilan foto agar tidak sembarang dan
memiliki konsep yang matang dalam setiap
pengambilan sebuah foto.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Fotografi dan Foto Berita
Kata fotografi dalam bahasa Inggris adalah Photography dan dalam bahasa
Belanda adalah Fotografic berasal dari bahasa Yunani, dari kata phos artinya
cahaya dan graph yang artinya adalah menulis atau menggambar. Jadi, secara
harfiah fotografi berarti menggambar dengan bantuan cahaya.1
Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi
dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi,
karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis,
judul, keterangan, artikel yang selalu mengiringi sebuah foto. Dengan demikian
pesan keseluruhannya dibentuk oleh koorporasi dua struktur yang berbeda.2
Foto merupakan sinonim potret. Arti harfiahnya ialah gambar yang dibuat
dengan kamera dan peralatan fotografi lainnya. Fotografi dapat menjadi media
komunikasi. Foto harus dibedakan menjadi banyak kategori dengan tujuan untuk
mempermudah pembuatan dan pemanfaatannya, sesuai dengan standar kualitas
masing-masing keperluan.3
Fotografi pada umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang
memungkinkan kita membekukan waktu, gerak, atau peristiwa yang terdapat
dalam kenyataan tri-matra. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas)
1 M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro,
1996), hal.7. 2 Ajidarmna Gumira, Seno, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hal.
27. 3 F. Rahardi, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, (Depok: Kawan Pustaka, 2006),
hal. 83.
13
mengubahnya menjadi kenyataan dwi-matra, baik secara monochrome (hitam-
putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan). Dengan demikian,
sebuah foto padad dasarnya adalah wujud suatu moment dari satu atau
serangkaian gerak.4
Suatu foto yang baik adalah sama dengan seribu kata, dan dengan demikian
foto menjadi suatu alat yang essensial dalam pewartaan kantor berita atau media
cetak. Kualitas sebuah foto tergantung dari kualitas si pengambil gambar. Subjek
foto tergantung dari penggunaan kameranya secara penuh daya angan-angan atau
imajinatif. Terlebih-lebih semuah gambar harus menangkap action penting, pada
saat yang menentukan, sebagaimana dikatakan oleh fotografer termashur Henri
Cartier-Bressson.5
Foto berita ialah dibuat oleh seorang wartawan foto, dengan menggunakan
kamera foto, berupa gambar. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah fotografi serta
kaidah-kaidah jurnalistik. Foto berita adalah fakta objektif karena kamera foto
tidak dapat berbohong dalam membuat gambar.6
Menurut Oscar Matullah dalam makalahnya “Suatu Pendekatan Visual
dengan Suara Hati”, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk
menyampaikan beragam bukti visual atau suatu peristiwa pada masyarakat seluas-
luasnya, bahkan hingga kerak yang ada dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam
tempo yang singkat. Melihat foto jurnalistik sebagai kajian artinya memasuki
matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses sesuatu yang dikomunikasikan,
dalam hal ini yang bernilai berita terhadap orang lain atau khalayak masyarakat.7
Wilson Hick redaktur senior majalah Life (1937-1950) dalam buku World
and Pictures (New York, Harper and Brother, Arno Press 1952, 1972), foto
jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.8
Henri Cartier -Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka Magnum
yang terkenal dengan teori “Decisive Moment” menjabarkan, foto jurnalistik
4 Ed Zoelvadry, Mat Kodak, (Jakarta,: PT. Temprint, 1985), h. 76.
5 LKBN Antara, Sebuah Pedoman Untuk Pewarta Kantor Berita (Jakarta: PT. Sinar
Hudaya), h. 115. 6 M. Mudaris, Jurnalistik Foto, h. 55-56.
7 Makalah Seminar Fotografi Oleh Eddy Hasby (Artikel pada www.tribunkaltim.co.id)
8 Ibid.
14
berkisah dengan sebuah gaambar, melaporkannya dengan sebuah kamera,
merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra
tersebut mengungkap sebuah cerita.9
Jenis-jenis foto jurnalistik dapat diketahui melalui kategori yang dibuat
badan foto jurnalistik dunia (World Press Photo Foundation) pada lomba foto
tahunan yang diselenggarakan bagi wartawan seluruh dunia. Kategori itu adalah
sebagai berikut:
a. Spot Photo
Foto spot adalah foto yang dibuat pada peristiwa yang tidak terduga yang
langsung diambil oleh fotografer di tempat kejadian. Misalnya, foto
kecelakaan, kebakaran, perkelahian, dan perang. Karena dibuat dari
peristiwa yang jarang terjadi serta menampilkan konflik dan ketegangan,
maka foto spot harus segera disiarkan. Dalam hal ini, keberanian seorang
fotografer sangat dibutuhkan. Selain itu, keberuntungan menjadi patokan
utama dalam hal posisi dan keberadaannya.
b. General News Photo
General News Photo adalah yang diabadikan dari peristiwa-peristiwa
yang terjadwal, rutin, dan biasa. Temanhya bisa bermacam-macam, ada
politik, ekonomi, dan humor. Contohnya, Presiden membuka sebuah
acara pameran foto, atau badut mengisi sebuah acara karnaval dan lain-
lain.
c. People in the News Photo
People in the News Photo adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita. Yang ditampilakan adalah sosok porang pada berita
itu. Bisa kelucuannya, nasib, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh dalam
foto ini bisa tokoh yang populer dan bisa juga tidak, akan tetapi
kemudian menjadi populer karena foto tersebut di publikasikan.
Contohnya, foto Juned, korban kecelakaan peristiwa tabrakan kereta api
Bintaro.
d. Daily Life Photo
Daily Life Photo adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari sisi kemanusiaannya. Misalnya, foto seorang pengemis di
depan sebuah Universitas.
e. Potrait
Potrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up.
Ditampilkan karena ada kekhasan pada wajah yang dimiliki atau khas
lainnya.
9 Ibid.
15
f. Sport Photo
Sport Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena
olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton
dan fotografer, dalam pembuatan foto olahraga diperlukan perlengkapan
yang memadai, misalnya lensa yang panjang, serta kamera yang
menggunakan motor drive. Menampilkan gerakan dan ekspresi atlet serta
hal lain yang menyakngkut dengan olahraga.
g. Science and Technology Photo
Science and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini membutuhkan perlengkapan khusus misalnya, lensa mikro
atau film x-ray untuk melakukan pemotertan pada organ dalam tubuh.
h. Art and Culture Photo
Art and Culture Photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya misalnya pertunjukan artis di atas panggung.
i. Social and Environment
Social and Environment adalah foto-foto tentang kehidupan sosial
masyarakat serta lingkungan hidupnya. Misalnya, foto asap buangan
kendaraan di jalan. 10
Ada delapan karakter foto jurnalistik yang menurut Frank P. Hoy, dari
sekolah Jurnalistik dan Telekomunikasi Walter Cronkite, Universitas Arizona,
pada bukunya yang berjudul Photojurnalism The Visual Approach adalah sebagai
berikut.
1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto (communication
photography). Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan
pandangan wartawan foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang
disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.
2. Medium foto jurnalistik adalah media cetak Koran atau majalah, dan
media kabel atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire service).
3. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita.
4. Foto jurnalistik adalah paduan dari foto dan teks foto.
5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek,
sekaligus pembaca foto jurnalistik
6. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiens).
Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera
diterima orang yang beraneka ragam
7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto.
10
Audy Alwy Mirza, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 7-9.
16
8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian
informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan
kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).11
2. Pengertian Headline
Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau lebih
populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang di
halaman depan, dengan judul yang merangsang perhatian dan menggunakan tipe
huruf yang relatif besar. Pendeknya adalah berita yang istimewa.12
Sementara Onong Uchjana Effendy mengatakan,” Headline News atau
berita utama adalah berita surat kabar, majalah, radio atau televisi, yang dinilai
terpenting untuk suatu masa penyiaran.13
Berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi surat kabar
merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan surat kabar pada hari
itu. Karena itu, untuk headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu
halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri. Headline
biasanya terdiri dari 3,4 atau 5 kolom.14
Berdasarkan isi headline dapat dikelompokan dalam 2 kategori yaitu
langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan terus
terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional. Daya
tarik rasional membangkitkan kepentingan diri audience. Daya tarik rasional
11
Audi Mirza Alwi, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, hal 4-5. 12
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 1991),
h. 257. 13
Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, (Bandung: Mandar Maju,
1981), h. 160 14
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik, (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta
IISIP,2003), h. 78.
17
menunjukan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.
Contohnya adalah headline yang menunjukan kualitas, nilai ekonomis, manfaat,
atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis
tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap
headline ini.
Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam memberi
informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik emosional. Daya
tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau negatif yang akan
memotivasi pembelian. Dalam hal ini headline memiliki asosiasi yang unik bagi
audience yang secara emosional mampu mendorong munculnya suatu image yang
baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu dapat dicapai dengan
menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa bersalah dan malu agar
orang berhenti melakukan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Selain itu juga
dapat digunakan daya tarik emosional yang positif seperti, humor, cinta,
kebanggaan, dan kebahagiaan.
Menurut Robert W Bly dalam bukunya “Copywriter‟s Handbook” setiap
headline yang anda hasilkan harus mencapai 4 fungsi yang berbeda:
Tarik Perhatian
Bila anda baca majalah atau surat khabar, anda abaikan kebanyakkan iklan
dan cuma baca beberapa saja. Mungkin ada iklan yang anda skip mungkin
menjual produk yang anda perlukan. Punca kenapa anda tak baca semua iklan
adalah mudah: Ada terdapat banyak iklan yang bersaing untuk mendapatkan
perhatian anda; dan anda tak ada masa nak baca semuanya. Inilah sebabnya
18
sebagai seorang penulis anda mesti kerja keras untuk menarik perhatian prospek
anda.
Pilih audien anda
Jika anda menjual insuran nyawa untuk orang yang berumur lebih dari 65
tahun tak ada gunanya menulis iklan yang menarik perhatian golongan muda.
Headline berupaya untuk memilih audien yang betul untuk anda dan
menyingkirkan mereka yang tak berkenaan. Contoh: “Untuk lelaki dan wanita
yang berumur 65 dan ke atas yang perlukan insuran nyawa yang mampu dimiliki”
Sampaikan pesan yang lengkap
Menurut David Ogilvy, 4 dari 5 pembaca akan membaca headline tetapi
tidak membaca kontennya. Jika ini benar adalah sangat berbaloi untuk
menyempurnakan headline anda. Dengan cara ini anda boleh jual kepada 80%
pembaca yang membaca headline saja.
Alirkan pembaca kepada kontent/isi
Hanya beberapa produk saja boleh dijual dengan menunjukkan gambar
saja. Tetapi kebanyakan (terutama di online) memerlukan pembaca diberi banyak
info. Info tersebut terkandung dalam kontent/isi supaya iklan jadi efektif, headline
mestilah boleh memaksa pembaca membaca kontent. Untuk membangkitkan rasa
ingin tahu pembaca. Anda boleh lakukannya dengan cara yang lucu atau tipu
muslihat. Anda boleh bertanyakan soalan atau membuat kenyataan yang
provokasi. Anda boleh menjanjikan hadiah, berita terkini atau info yang berguna.
19
Berdasarkan bentuknya, headline dikelompokan ke dalam 6 kategori,
diantaranya sebagai berikut15
:
1. Headline berita menyatakan suatu berita (“Krisi Multifungsi Segera
Selesai...”);
2. Headline pertanyaan biasanya mengajukan pertanyaan problematik
(“Saban Bulan Mengganggu Sampeyan”);
3. Headline narasi menceritakan suatu peristiwa yang mengesankan
(“Permen Yang Terlalu Enak Buat Anak Kecil”);
4. Headline perintah biasanya memberi sugesti audience untuk melakukan
suatu tindakan (“Jangan Membeli Sebelum Anda Mencoba
Ketiganya...”);
5. Headline cara 1-2-3 berisi kiat untuk mengatasi persoalan (“12 Cara
Untuk Mengurangi Pajak Penghasilan Anda”);
6. Headline bagaimana-apa-mengapa mngungkapkan rangkaian kejadian
sebab-akibat (“Mengapa Mereka Tidak Dapat Berhenti Membeli”).
Merancang sebuah headline bukan pekerjaan yang sekedar mengandalkan
akal sehat, pikiran kritis, kreativitas, atau intuisi. Secara teknis headline dituntut
untuk mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi
secara cepatdengan ide yang tepat pula. Suatu penelitian mengenai dua versi iklan
yang sama dengan elemen-elemen iklan yang sama persis namun dengan headline
yang berbeda, telah menimbulkan reaksi audience secara berbeda pula.
Untuk menulis headline dibutuhkan waktu berhari-hari. Dalam hari-hari
yang dihabiskan untuk „mengkhawatirkan perkataan‟ itu barangkali telah
dihasilkan puluhan atau bahkan hingga ratusan headline, dan desainer harus
memilih satu diantaranya yang dianggap paling tepat. Tapi pilihan ini belum tentu
sesuai dengan kebutuhan audience.
Pada prinsipnya, perancangan headline idealnya berpihak pada karakteristik
dan kebutuhan target audience. Untuk itu, desainer tidak dapat sekedar
15
Pranata Moeljadi, Apakah Desain Komunikasi Visual itu?, (Surabaya: Fakultas Seni
dan Desain UK Petra, 2002), h. 76-79.
20
mengandalkan kreativita. Eksplorasi kreatif barangkali mampu menghasilkan
suatu headline yang unik dan menarik. Namun hal ini belum cukup memberikan
jaminan bahwa audience bersedia melanjutkan ketertarikannya itu.
Sesungguhnya apapun isi dan bentuknya, headline harus mampu
mengemban fungsinya secara optimal. Sebuah headline yang bagus akan mampu
menghentikan audience, menerangkan produk dan merk, serta memulai penjualan
dengan menarik perhatian audience ke arah bodycopy.
3. Fungsi Headline
Pada dasarnya headline yang bagus akan menarik perhatian audience yang
memiliki prospek; headline tidak akan menarikperhatian mereka yang tidak
berkepentingan dengan produk. Sebuah headline yang bagus akan memilih target
audience-nya dan membicarakan kesenangan mereka.
Headline berfungsi untuk menghentikan audience. Salah satu cara untuk
menghentikannya adalah dengan melalui pesan yang menantang. Teknik ini akan
semakin memiliki pengaruh jika mengundang audience untuk berpartisipasi dalam
mengembangkan pesan, atau dipaksa untuk membaca dan menemukan
jawabannya. Untuk itu, pesan yang agak tidak sesuai dengan yang diyakini
audience merupakan penarik perhatian yang paling berharga.
Headline juga berfungsi untuk menerangkan produk dan merk. Untuk itu,
headline mengemban tugas untuk menjawaab pertanyaan: “ Apa kebaikan merk
itu?” satu dari tantangan terbaik dalam perancangan headline ialah menciptakan
memori, bahwa, merk yang ditawarkan merupakan jenis terbaik untuk jenis
produk itu. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kunci verbal sebagai pengingat
21
dan pemandu identitas merk. Kunci verbal yang bagus antara lain ditunjukan oleh
headline Larutan Cap Badak yang memberitakan bahwa Larutan Cap Badak
bukanlah minuman pencegah panas dalam yang sama dengan Larutan Cap Kaki
Tiga dengan adanya gambar “Badak” di bagian kemasannya.
Fungsi headline yang bagus adalah untuk mengenalkan kepada audience
ide yang hendak dijual. Hal ini dapat dilakukan jika iklan akan dibarengi dengan
perencanaan penjualan, strategi pemasaran, atau strategi promosi yang unik.
contoh headline ini antara lain dapat dilihat pada minuman soda Sprite dengan
headline “Ku Tahu Yang Ku Mau”. Akhirnya, headline yang bagus akan
mengajak audience untuk membaca bodycopy. Hal ini bukanlah hal yang mudah,
sebab riset telah menunjukan bahwa 20% mereka yang membaca headline
meneruskan untuk membaca bodycopy. Jika hal ini tidak terjadi, headline
dipastikan belum berfungsi secara baik; headline hanya berfungsi untuk menarik
perhatian tetapi tidak mau mengikat perhatian.16
Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa Head berarti
kepala dan Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita.
Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan
menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau
khalayak menganggap sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat berperan
membentuk opini publik (public opinion).
Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada
halaman depan surat kabar yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena
headline yang berada pada halaman depan adalah peristiwa yang dianggap
penting oleh pemilik dan orang-orang yang berada dalam media tersebut.
16
Pranata Moeljadi, Apakah Desain Komunikasi Visual itu?, (Surabaya: Fakultas Seni dan
Desain UK Petra, 2002), h. 79-80.
22
Grand M. Hyde dalam bukunya The journalistic Writing, mengatakan
bahwa judul dalam sebuah surat kabar dapat dinamakan headline. Sedangkan
dalam majalah disebut heading atau titles.
Terdapat dua pengertian tentang headline. Headline sebagai judul berita
dan headline sebagai berita utama yang ditonjolkan. Cirinya menggunakan huruf
lebih besar dibanding dengan yang lain.17
1. Pengertian Analisis
Dalam penilaian kualitatif, data dapat diperoleh dari berbagai sumber
dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam
(triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan
pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali.
Data yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak
menolak data kuantitatif), sehingga teknik analisis data yang digunakan belum ada
polanya yang jelas. Oleh karena itu sering mengalami kesulitan dalam melakukan
analisis. Seperti yang dinyatakan oleh beberapa pakar seperti:
a. Miles and Huberman (1984) bahwa yang paling serius dan sulit dalam
analisis kualitatif adalah karena metode analisis belum dirumuskan dengan baik.
b. Susan Stainback menyatakan: belum ada panduan dalam penelitian
kualitataif untuk mendukung kesimpulan atau teori.
c. Nasution menyatakan bahwa: melakukan analisis adalah pekerjaan
yang sulit, memerlukan kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta
kemampuan intelektual yang tinggi. Tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti
17
http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-Headline-pada.html
diakses pada 17 Juli 2009.
23
untuk menganalisis, sehingga setiap peneliti harus mencari sendiri metode yang
dirasakan yang cocok dengan sifat penelitiannya. Bahan yang sama bisa
diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda.
d. Bogdan menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya
dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dapat dilakukan dengan
mengorganisasikan data, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari
serta membuat kesimpulan yang akan diceritakan kepada orang lain.
e. Spradley (1980) menyatakan bahwa analisis dalam penelitian jenis
apapun, adalah merupakan cara berfikir. Hal itu berkaitan dengan pengujian
secara sistematis terhadap sesuatu untuk menetukan bagian, hubungan antar, dan
hubungannya dengan keseluruhan. Analisi adalah untuk mencari pola.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikemukakan disini bahwa, analisis
data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakuakan sintesa dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan
tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan
berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicariakn data lagi secara berulang-ulang
24
sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau
ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang
dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesis
diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.
Analisis menurut Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa adalah :
Orang yang menganalisa atau melakukan analisa atau orang yang mencari,
mengumpulkan data untuk penilaian kekayaan atau kemampuan seseorang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisa adalah sesuatu yang dilakukan
seseorang untuk menyelidiki sebuah peristiwa demi mengumpulkan data-data
yang konkrit yang nantinya menjadi ilmu atau pengetahuan baru.
2. Pengertian Semiotik
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut
ilmu yang dikembangkan semiologi (semiology).18
Ferdinand de Saussure di
dalam Course in General Linguistics mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu
yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.19
Menilik dari sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh
utama, yaitu: Charles Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan
Ferdinand de Saussure yang mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah
bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai
18
Sumbo Tinarboko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna
pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 11 19
Yasraf Amir Pialang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h.256.
25
kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya,
namun seringkali mereka mempunyai perbedaan. Barangkali keduanya berangkat
dari disiplin yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan logika,
sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik. 20
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
rajin mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.21
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-
bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah
“order of signification”.22
Jadi, pada dasarnya para ahli semiotika melihat
kehidupan sosial dengan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat
essensial objek.23
Menurut Pateda, semiotika ada sembilan macam, yaitu:
1. Semiotika Analitik, yakni semiotik yang menganalisa sistem tanda, Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda yang menganalisanya
menjadi ide, objek dan makna.
2. Semiotika Deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda
yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit mendung menandakan
akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu.
Namun, dengan kemajuan teknologi, pengetahuan dan seni, telah banyak
tanda diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semiotika Founal (zoo semiotic), yaitu semiotik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan
20
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida
Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta:
Gramedia, 1991), h.1. 21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 63. 22
Rahmat Kriyono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268. 23
Untung Yuwono dan Christomy. T, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia,
2004), h. 77-78.
26
biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya,
tetapi sering juga menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan manusia.
Misalkan, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu
telah bertelur atau terjadi sesuatu yang ia takuti. Tanda yang dihasilkan
hewan ini, menjadikan perhatian orang yang bergerak dalam bidang
semiotik founal.
4. Semiotik Cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui
bahwa masyarakat sebagai mahluk sosial memiliki sistem budaya
tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya
yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu,
menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakan dengan
masyarakat yang lain.
5. Semiotik Naratif, yakni semiorik yang menelaah sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Itu sebabnya
Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural
ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.
6. Semiotik Natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan hulu telah
turun hujan dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam
tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor,
sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah
merusak alam.
7. Semiotik Narative, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-
rambu lalu lintas.
8. Semiotik Sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing yang
berwujud kata atau yang berwujud kalimat. Buku Halliday (1987) itu
sendiri berjudul “Language Social Semiotic”. Dengan kata lain, semiotik
sosial menelaah tanda yang terdapat pada bahasa.
9. Semiotik Struktural, semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 24
Selain itu terdapat aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland
Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna
primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes
menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi.
Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan
semiotik linguistik yang dirintis oleh mentornya Saussure.25
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang
mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud,
24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 100-102. 25
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155.
27
keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche bagi
Marx, strukturnya adalah bahasa. Kesemuannya itu mendahului subjek manusia
individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia
pada semua keadaan.26
Dalam pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik
adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure memusatkan perhatian pada sifat
dan prilaku tanda linguistik. Di dalamnya terdapat poko-pokok pikiran yang
nantinya memberi bentuk pada tradisi pengkajian tanda di Eropa, yang kemudian
dikenal dengan istilah Semiologi (ilmu tentang tanda). Menurutnya, definisi tanda
linguistik merupakan entensitas dua sisi (dyad) dan bersifat arbitrer (berdasarkan
kesepakatan). Sisi pertama disebutkan dengan penanda (signifier) yaitu aspek
material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi pada saat orang
berbicara. Bunyi tersebut berasal getaran pita suara (yang tertentu saja bersifat
material). Penanda verbal tersebut disebut Saussure sebagai “citra bunyi (sound
image)”. Sisi kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh
penanda – disebut sebagai petanda (signified) yang merupakan konsep mental.27
Jadi, tanda menurut Saussure ada tiga :
Signifier (penanda), yaitu aspek material, wujud fisik dari tanda itu
sendiri, bunyi atau coretan bermakna, misalnya: tulisan dikertas dan
suara diudara.
Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang dipresentasikan atau
konsep sesuatu dari signifier.
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
dinamakan sign, yaitu upaya dalam memberikan makna terhadap dunia.
26
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 104 27
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 63.
SIGN
Signified
signifier
28
Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified
Tanda menurut Saussure ialah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan
signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah.
Sebagai contoh: kata „laki-laki‟ (yang terdapat pada pintu sebuah toilet umum)
adalah terdiri dari :
Penanda : kata „laki-laki‟
Petanda : sebuah ruang toilet umum yang hanya digunakan untuk
manusia yang berjenis kelamin laki-laki.28
Saussure mengibaratkan tanda, penanda, dan petanda seperti lembaran
kertas; satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu
sendiri adalah tanda. Kita dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda itu
sendiri. Sebagai contoh, penyebutan kata arbor (sejenis pohon, Terj.) adalah tanda
yang mengandung konsep “pohon (tree) dan bukan ide keseluruhan dari “arbor”
itu sendiri, namun karena asosiasi terhadap “arbor” sebagai pohon telah menjadi
konvensi publik, telah mengakibatkan konsep ide panca indra kita secara tidak
langsung menyatakan bahwa bagian ide tersebut menjadi konsep keseluruhan.29
Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak
isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film
bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.30
3. Denotasi, Konotasi dan Mitos
Untuk membahas semiotik gambar, pendekatan struktural Roland Barthes,
pakar semiotik asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat fenomena
gambar dan teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena gambar
(mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan masih
menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari
28
Pappilon Manurung, editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h.
45-46. 29
Ferdinand de Saussure, A Course In Generaal Linguistics, (New York: Mc. Graw- Hill,
1966). 30
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 124.
29
sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan dalam satu
garis dengan kritik budaya media (culture industry).31
Barthes menggunakan istilah order of signification. First order of
signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of
signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang
berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda
tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada
tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.32
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja :
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda
denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
s (PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Paul Cobley & Litzajanz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.33
Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara
pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi
gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi
31
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 156. 32
Pappilon Manurung, editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h.
57. 33
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 69.
30
sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar
atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara keseluruhan dan
pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam
foto.34
Sebagai contoh: secara denotatif, Tikus adalah nama sejenis binatang,
namun secara konotatif „tikus‟ dapan diasosiasikan dengan hal lain seperti:
pejabat yang korupsi dan lain sebagainya.
Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan
literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa
harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut. Tanda disebut juga
sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna
tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan
yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-
ideologi suatu informasi sosial tertentu.35
Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality.
Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteority),
tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang-di sini; dan disebut
real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial.
Kategori ini merupakan pengalaman modern (yang hidup dalam mass image) akan
realitas. Foto berita menurut Barthesialah meliputi pesan tanpa kode (message
without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message with a code).
Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau
analogon dari realitas sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah
dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah hipotesis bahwa
dala sebuah foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat konotasi. Akan
tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri melainkan pada
tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul karena foto berita
akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan
foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.36
Pengertian kode didalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem yang
memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-
34
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 160. 35
Pappilon Manurung, editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h.
57-58. 36
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 163-164.
31
tanda menjai sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode sebagai
aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi.37
Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam
membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca
berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengan foto berita, Barthes
masih memperhatikan hubungan antar posisi teks dan kaitannya dengan
signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan
oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, Headline, artikel atau gabungan dari
ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena
itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam
Headlinei atau artikel.38
Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary,
unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan
suatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran
semirip mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa
menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi
sebatas sebagai penambah (anhorage) dan pemancar (relay) belaka.
Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan
dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi
kognitif, dan etis-ideologis.
1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau
verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.
37
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 17-18. 38
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 183.
32
2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya
menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke
dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural
sangat menentukan.
3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang
siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.39
Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau
diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang
berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.
Foto ibarat kata kerja tanpa dasar (infinity), dalam “The Photographic
Message” Bhartes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk
mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan
dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah
kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic
message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scenen, lanskep, atau realitas
harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu :
a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message),
sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran konotasi yang berada
pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.
b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai
analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya
didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap streotip
39
Ibid.
33
tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur
konotasi citra –khusus yang menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-
prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang
diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita
itu sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects)dan konotasi yang diproduksi
melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism, dan syntax),
yaitu:
Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial.
Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto.
Object ialah penentuan point of interest gambar/foto.
Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar
(misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle dan
lainnya).40
Aestethism ialah format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
Sintaksis ialah rangkaian cerita dari isi foto/gambar, yang
biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption
ialah:
40
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 173.
34
Fungsi penambat/pembatasan (anchorage) agar poko
pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud
penyampaiannya.
Fungsi pemancar/ percepatan (relay) agar langsung
dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.41
John Fiske (1990) menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan
menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto dan
memunculkan pertanyaan “ini foto apa?”, sedangkan konotasi adalah bagaimana
ini bisa difoto? Atau menitikberatkan pertanyaan „mengapa fotonya ditampilkan
dengan cara seperti itu?.42
Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
digambarkan tanda pada objek: sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya.43
Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti
sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala juga
dirancukan dengan refrensi atau acuan. Sedangkan konotasi identik dengan
operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-niolai dominan yang
berlaku dala suatu periode tertentu.44
Denotasi adalah makna yang sesuai dengan makna sebenarnya atau sesuai
dengan makna kamus. Konotasi adalah makna yang bukan sebenarnya dan
merujuk pada hal lain. Sedangkan mitos adalah suatu pembelokan makna mitos
41
Ibid. 42
Pappilon Manurung, editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h.
58. 43
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 128. 44
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2004), h. 70-71.
35
juga mengubah pengalaman menjadi sesuatu yang alamiah atau suatu kejadian
yang terjadi secara berulang-ulang di suatu masyarakat sehingga melekat kuat
diakui oleh masyarakat sebagai suatu kebudayaan.
Mitos menurut Roland Bhartes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami
selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, historis,
dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi
mitos menurut Bhartes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Bhartes, mitos
adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan
orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang
mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaannya dan tindakannya ternyata dapat
dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos kita dapat mengetahui
makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar). Roland
Bhartes pernah mengatakan “Apa yang tidak kita katakan dengan lisan,
sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan
signifikasi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain
dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan itnterpretasi terhadap
bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini tidak hanya terfokus pada bahasa verbal
atau bahasa non-verbalmanusia. Tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu
benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.45
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu:
signifier, signified, dan sign. Bhartes menggunakan istilah berbeda untuk tiga
unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.46
Form/penanda merupakan
subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil
perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda
diganti dengan sebutan makna, petanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut
tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, petanda tetap sebagai
konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu
bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos
45
Ibid. 46
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 128.
36
dalam semiotika.47
Dalam kerangka Barthes konotasi identik dengan operasi
ideologi, yang disebut dengan mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan bagi nilai-nilai yang dominan yang berlaku dalam satu periode
tertentu.48
Menurut Bhartes mitos memiliki empat ciri, yaitu:
1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan
deformatif. Concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjukan
pada fakta yang sebenarnya.
2. Internasional. mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan.
Dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud
tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu
diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dan nalar
awam.
4. Motivasional. Menurut Bhartes, bentuk mitos mengandung
motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap
berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan. 49
Salah satu mitos yang diangkat Bhartes dalam buku mitologi ialah pemain
gulat. Mitos gulat, menurut Bhartes, merupakan sebuah bentuk profesionalisme
dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton pertunjukan gulat.
Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan rekayasa yang menghibur
penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya seorang penonton akan puas dengan
ajang balas dendam dalam pertarungan gulat tersebut. Contoh, ketika si A,
misalnya dipukul dan tidak membalas, penonton akan mencemoohnya. Mitos
gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hali itu ditunjukan ketika salah
satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis sang pemenang akan
menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya karena melihat sang
lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Disitulah mitos gulat itu
terungkap.50
47
Media Indonesia, Bedah Buku:Belajar Membedah Mitos (Mitologi Karya Roland
Bhartes), Minggu 25 Maret 2007. 48
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 71. 49
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&view:replies=thereaded diakses pada 17
Juli 2009 50
Media Indonesia, Bedah Buku:Belajar Membedah Mitos (Mitologi Karya Roland
Bhartes), Minggu 25 Maret 2007.
37
Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas
bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain yang mengenai bagaimana
berita itu direpresentasikan (seperti tata letak/ lay out, rubrikasi dan lain
sebagainya) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga
menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan
bahwa membagi tanda denotasi dan konotasi sebagai pencapaian mitos. Pada
dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara
waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai
mitos lainnya. Mitos menjadi pegangan atas tanda yang hadir.51
Denotasi disini digambarkan dengan adanya objek yang dapat menjadi
penanda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Bentuk lain yang ada
didalam foto penelitian ini adalah gambar sebuah rumah yang terbakar dan api
besar kemudian rumah-rumah yang terbakar menjadi puing-puing dan telah rata
dengan tanah. Konotasi disini adalah menggambarkan bentuk kemarahan
kelompok warga non Syi‟ah kepada kelompok muslim Syi‟ah ditandai dengan
adanya api yang berkobar dengan besarnya dan melakukan beberapa kekerasan
sehingga menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi warga muslim Syi‟ah
karena kehilangan harta bendanya dengan menunjukan tanda wajah yang muram
dan tertunduk lesu. Mitos disini ditandakan dengan adanya tragedi ini dapat
menggambarkan bahwa didalam agama Islam terbagi-bagi menjadi beberapa
kelompok dan adanya kelompok-kelompok ini menjadikan banyak perbedaan,
51
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal
semiotika- roland-barthes diakses pada 17 Juli 2009.
38
khusunya dalam sebuah ajaran-ajaran agama. Itu pula yang menjadi pemicu
pertikaian antara kelompok dan kurangnya rasa toleransi antar sesama.
4. Pengertian Konflik
Konflik dalam organisasi telah didefinisikan oleh berbagai ahli antara lain
sebagai berikut :
1. S.P. Robbins mendefinisikan konflik sebagai suatu proses yang mulai
bila satu pihak merasakan bahwa ada pihak lain telah memengaruhi
secara negatif atau akan segera memengaruhi secara negatif, sesuatu
yang diperhatikan oleh pihak pertama.
2. Adam Ibrahim Indrawijaya mendefinisikan konflik :
a. Segala macam bentuk hubungan antarmanusia yang bersifat
berlawanan.
b. Segala macam bentuk pertikaian yang terjadi dalam organisasi, baik
antar seseorang dengan seorang lainnya, seseorang dengan kelompok,
antara kelompok dengan kelompok maupun antara kelompok dengan
organisasi atau mungkin pula antara perorangan dengan organisasi
secara keseluruhan.
1. Penyebab dan Akibat Konflik Organisasi
Setidak-tidaknya ada tujuh penyebab utama terjadinya konflik organisasi,
yaitu sebagai berikut :
a. Perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat dapat menimbulkan suatu konflik karena masing-
masing pihak merasa dirinya paling benar.
39
b. Salah paham
Salah paham merupakan salah satu yang dapat menimbulkan konflik.
Salah paham ini bisa terjadi karena pihak satu tidak mengetahui maksud
dan tujuan pihak lain, serta kurang komunikasi.
c. Salah satu atau kedua belah pihak merasa dirugikan
Jika salah satu pihak dianggap merugikan yang lain atau masing-masing
merasa dirugikan pihak lain, akan dapat menyebabkan orang merasa
tidak senang. 52
52
http://syafrizalhelmi.wordpress.com/ konflik-dan- perubahan- budaya _ syafrizal
Helmi.html
40
BAB III
PROFIL KORAN TEMPO
A. Sejarah dan Perkembangan Koran TEMPO
Tempo lahir dan besar pada zaman Orde baru, disokong oleh perusahaan
yang juga dibesarkan pada masa Orde baru tahun 1971, tetapi Orde baru juga
yang mematikannya.1 Tempo lahir dan mati dimasa Orde baru, beberapa pendiri
Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan
Soekarno. Tempo luput dari pembredelan dua kali pada masa Orde baru, tahun
1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi insiden Lapangan Banteng, menjelang pemilu
1982 dan dianggap oleh pemerintah menggangu keamanan. Untuk itu Goenawan
Mohammad harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan
untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang meliputi keluarga
cendana.
Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde baru, untuk itu Tempo
merupakan fondasi ekonomi yang menyokong orde baru, untuk itu Tempo berjaya
ialah pada dekade 1980-an, dimana anggaran belanja iklan perusahaan banyak
masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50% dari total belanja iklan tersebut.
Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan Tempo mencapai
puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen ke kawasan
Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus puluhan
wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah Editor,
1 http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9 September
2009.
41
keluarnya mereka karena Tempo telah berubah menjadi institusi bisnis, bukan lagi
institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela pemilik modal dan tidak
lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga.
Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika dalam
masyarakat secara mikro, kantor Tempo pertama di Senen banyak menyimpan
memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru menimbulkan suasana egaliter;
pintu penghubung ruangan yang mirip pintu bar di film-film koboi; perilaku para
kolumnis yang kocak-kocak, seperti misalnya: tulisan Ong Hok Ham yang sulit
diedit karena satu halaman keting tertinggal dirumahnya, atau abdurrachman
Wahid yang bisa menghabiskan nasi bungkus sebelum mulai mengetik kolomnya
di kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya sendiri yang memang jahil,
menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi itu bergeser ketika kemudian
Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran modern di kawasan
Kuningan.2
Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya
meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang
merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah.
Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994,
Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah
dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Megazine
dan pada 2 april 2001 Tempo juga menerbitkan Koran Tempo. Pelarangan terbit
2 http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9 September
2009.
42
Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan Editor dan Detik, tidak pernah jelas
apa penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Mentri Penerangan saat itu,
Harmoko mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) Tempo karena
laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari jerman, laporan ini dianggap
membahayakan stabilitas negara. Laporan utama membahas keberatan pihak
Militer terhadap impor oleh Menristek BJ. Habibie. Sekelompok wartawan juga
kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui
pembredelan Tempo, Editor dan Detik yang kemudian mendirikan aliansi Jurnalis
Indonesia (AJI).
Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di
Indonesia, pemiliknya adalah PT. Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya
dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya koran Tempo
melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana
tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali
diterbikan di Jakarta 12 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap
harinya.3 Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk
mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara
idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda
dengan surat kabar lainnya.
Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang
mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi. Market
Reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah keatas yang secara
3 http;//id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 September 2009
43
ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang dianut Koran
Tempo adalah “To Be Concise”, yaitu memberitakan sebuah peristiwa dengan
ringkas, padat dan jelas sesuai dengan 5W+1H. Motto ini juga yang mendasari
desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak bersambung dari satu halaman
lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain adalah waktu pembaca surat kabar
yang relatif pendek.
Saat itu Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah pergeseran
konsep surat kabar harian broadsheet menjadi tabloid lima kolom yang lebih
mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme
dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di mana-mana. Sebutlah nama-
nama petinggi di Indonesia saat ini, banyak diantaranya adalah alumni Tempo.
Kalau kita menyebut masalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak
ada alumni Tempo di dalamnya.
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media
1. Visi Tempo Inti Media
Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir
dan mengutarakan pendapat serta mambangun suatu masyarakat yang menghargai
kecerdasan dan perbedaan pendapat.4
2. Misi Tempo Inti Media
1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
menampung dan menyalurkan secara adil suara-suara yang berbeda-
beda.
4 Lampiran comapny profile Tempo Inti Media
44
2. Sebuah produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan
kekuasaan modal dan politik.
3. Terus–menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa,
dan tampilan visual yang baik.
4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik.
5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang
beragam sesuai kemajuan zaman.
6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor.
7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya
khasanah artistik dan intelektual.
C. Struktur Redaksi Koran Tempo
Penerbit : PT. Tempo Inti Media
Corporate Chief Editor : Bambang Harymurty
Pemimpin Redaksi : S Malela Mahargasari. PJ
Redaktur Eksekutif : Gendur Sudarsono
Redaktur Senior : Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan
Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia,
Yusril Djalinus
Corporate Secretary : Rustam F. mandayun
Redaktur Utama :Burhan Solihin, Purwanto Setiadi,
Wicaksono
Sekertaris Redaksi : Dyah Irawati Hapsari
Direktur Utama : Bambang Harymurti
Direktur : Herry Hermawan, Toriq Hadad
45
D. Prestasi
1. 1971 Edisi perdana TEMPO dapat menjual 20.000 kopi.
2. 1977 Penjualan mencapai 47.000 kopi.
3. 1988 Penjualan mencapai 166.000 kopi.
4. 1991 Menjadi satu-satunya jurnalis dari Indonesia yang meliput perang
Teluk dari Baghdad, Irak.
5. 1993 Penjualan mencapai 200.000 kopi.
6. 1996 Reporter TEMPO, Ahmad Taufik menerima anugerah S Tasrieb
Award.
7. 1997 Reporter Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman Journalist
Award.
8. 1998 Penjualan pada edisi perdana TEMPO pasca dibredel mencapai
150.000 kopi.
9. 1998 Goenawan Mohamad menerima CPJ Award.
10. 2000 Media pertama yang mengungkapkan sengketa Buloggate,
sedangkan yang lain hanya mengutip TEMPO.
11. 2002 Hasil survey AC Neilsen, MBM paling banyak pembacanya.
12. 2002 Rommy Fibri menerima penghargaan sebagai Nomine dari
International Federation of Journalist (IFJ) & European Union (EU) di
Belgia.
13. 2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari AJI (Aliansi
Jurnalistik Independent) untuk tulisannya mengenai investasi Buloggate II.
14. 2003 Rommy F dan Maria H menerima penghargaan Apresiasi Jurnalis
jakarta dalam peringatan 9 tahun AJI.
15. 2003 Merupakan media paling komprehensif mengangkat isu ilegal
logging periode 2002-2003 dari GreenCom & Inform (TWI, Walhi,
Telapak, WWF, Kemala, AMAN, TNC, FFI, BLI, CI).
16. 2003 Karaniaya Dharmasutra menerima penghargaan M. Hatta Award atas
kinerja nya memberantas korupsi.
46
17. 2004 Penghargaan kepada wartawan TEMPO Nezar Patria) : Tollearnce
Prize dari International Federation of Journalist atas pemberitaannya
mengenai Aceh.
Penghargaan
1. 1986 Best Cover-Asia Publishing Congress, Singapore.
2. 1989 Second Best Cover Asia Publishing Congress, Hongkong.
3. 1989 Best Article, 25th National Health Day Award.
4. 1990 Best Outdoor Ad, Citra Mara Award, Indonesia.
5. 1991 Best Photo, Adinegoro Award, Indonesia.
6. 1999 Best Foreign Series Foster, 7th International Printed Graphic Art,
Pakistan.
7. 1999 The Most Read News Megazine, AMI.
8. 1999 The Most Satisfactory News Megazine, Forntier Penghargaan.
9. 1999 The Most Recognized Magazine, AMI.
10. 1999 The Most Popular Brand News Megazine, Mars- Frontier- SWA.
11. 1999 The Most Read Megazine by Indonesia Bussinessmen, IPSOS-RSL
(Hongkong) Asian Bussinessmen Readership Survey.
12. 2002 Penghargaan Index Costumer Satisfication Award - Frontier.
13. 2004 Penghargaan Medal Of Honor dari Missouri School Of Journalism
Amerika Serikat.
14. 2004 Penghargaan Dewan Pers: Koran TEMPO sebagai harian yang
pemberitaannya paling berimbang dan harian kedua terbaik secara umum.
15. Dan sebagainya.
47
E. Deskriptif Pemberitaan
Peristiwa yang terjadi di Sampang Madura diduga kuat telah direncanakan
oleh para sekelompok masyarakat anti Syi’ah sudah dari jauh-jauh hari. Kejadian
ini terjadi sekitar pukul 08.00 WIB di Desa Karanggayam, Kecamatan Omben,
Sampang, Madura Jawa Timur.
Kejadian ini menimbulkan banyak kerusakan dan kerugian yang dialami
oleh para warga Syi’ah di sampang ada puluhan rumah yang dirusak dan dibakar
oleh sekelompok orang anti Syi’ah dan ada juga korban 1 orang tewas akibat
sabetan cerulit 4 lainnya mengalami kritis dan puluhan orang luka-luka.
Peristiwa kerusuhan yang terjadi di Sampang Madura ini bukan untuk
pertama kalinya, peristiwa ini terjadi juga pada bulan Desember akhir tahun 2011,
aksi ini dipicu oleh adanya ajaran-ajaran dan aliran yang dicurigai sebagai ajaran
yang melenceng dari ajaran agama Islam. Dalam peristiwa pada tahun 2011 ada
yang di tetapkan sebagai tersangka yaitu Tajul Muluk yang saat ini sedang
menjalani masa tahanannya di dalam penjara dalam kasus penistaan dan penodaan
agama.
Yang menjadi pemicu serangan tragedi kerusuhan di Sampang ini beragam
dari konflik antar keluarga hingga persoalan keyakinan yang berbeda. Akan tetapi
apapun alasannya, penyerangan yang terjadi di Sampang ini bukan hal yang harus
ditolerir oleh pemerintah dan aparat keamanan. Ini sudah menjadi bukti bahwa
keamanan yang ada di negara ini sudah tidak dapat diberi kepercayaan oleh
masyarakat karena telah lalai dalam memberikan keamanan dan kenyamanan
kepada masyarakat.
48
BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
A. Data dan Analisis Data
Dalam bab ini peneliti menjelaskan data serta hasil penelitian dari judul
“Analisis semiotik foto berita headline koran TEMPO Edisi 27-28 Agustus 2012”.
Analisis ini memakai analisis semiotika Roland Barthes yang bertumpu pada,
makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terkandung dari foto berita yang
diteliti.
Data foto-foto dalam penelitian ini adalah kerusuhan dalam tragedi warga
Syi’ah di Sampang Madura dan beberapa efek yang ditimbulkan dalam tragedi
pada tanggal 26 Agustus 2012. peneliti mengambil sampel berdasarkan
kepentingan penelitian, yang dianggap dapat menjadi bahan penelitian. Pada
umumnya, setiap foto yang ditampilkan di dalam headline yang ada didalam
koran Tempo dapat menjadi sampel bagi peneliti, sebab ditemukan banyak
kejadian-kejadian pada setiap foto yang patut untuk diteliti.
Barthes menunjukan ada dua tahap dalam membaca foto antara lain :
Tahap perseptif konotasi kognitif, kemudian tahap etis ideologis. Barthes juga
mendefinisikan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar
sebagai analogon. Keenam prosedur ini dikategorikan menjadi dua, yaitu :
1. Rekayasa yang secara langsung dapat mempengaruhi realitas itu sendiri.
Terdiri dari:
49
a. Trick Effect, yaitu memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Fose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto.
c. Pemilihan Objek, merupakan penentuan Point Of Interest (POI)
pada sebuah gambar atau foto.
2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah estetis, terdiri dari :
a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam sebuah pengambilan
gambar.
b. Astheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna denotasi.
c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto atau gambar yang
biasanya berada pada keterangan foto dan dapat membatasi serta
menimbulkan makna konotasi.
Setelah memperhatikan setiap foto yang ada didalam headline,
maka penulis memilih 2 foto yang menurut penulis dapat dijadikan sampel
berita yang akan dianalisis. Berikut adalah kedua foto dengan hasil
penelitian sebagai berikut :
50
Data Foto 1
Headline : PEMERINTAH GAGAL LINDUNGI WARGA SYI’AH
Signifier Api Yang sangat
besar
Orang yang sedang
mengayunkan balok
kayu
Bilik rumah
Signified Yang menandakan
sebuah kebakaran
pada rumah warga
Menggambarkan
emosinya dengan
cara menghancurkan
rumah warga
Rumah Warga
Muslim Syi’ah
Gambar 1. Headline koran Tempo 27 Agustus 2012
B. Analisis Data Foto 1
1. Makna Denotasi
Digambarkan seorang pemuda non Syi’ah sedang menghancurkan rumah di
permukiman kaum Syi’ah desa Karanggayam, Omben, Sampang, Madura.
Menggunakan balok kayu yang diayunkan untuk menghancurkan bilik-bilik
rumah yang sedang dilahap oleh api yang membara.
Dalam data foto 1 dapat dijabarkan objek (analogon) apa saja yang terdapat
di dalam foto tersebut, antara lain:
51
Sebuah bilik rumah yang hampir seluruhnya dilalap habis oleh api
yang begitu besar.
Seorang pemuda dengan memakai kemeja sedang mengayunkan
sebuah balok kayu untuk melampiaskan kekesalan terhadap warga
syiah yag dituduh telah menodai agama khususnya Islam.
Latar belakang foto ada kebun kosong yang menggambarkan sebuah
pedesaan warga yang sepi karena tragedi tersebut.
Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa objek
yang mengungkapkan, secara verbal dapat dikatakan dalam gambar ini
menunjukan bahwa ada sebuah kekerasan dalam tragedi warga muslim sy’iah di
Sampang Madura yang mengakibatkan banyak kerugian baik pihak Syi’ah
ataupun warga yang menolak adanya Syi’ah.
2. Makna Konotasi
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
biasanya disebut sebagai konotasi kognitif atau yang biasa diartikan sebagai
makna yang dibangun atas dasar imajinasi. Dan dapat juga diperoleh dengan
mengamati beberapa perkembangan prosedur yang dapat mempengaruhi objek.
Gambar diatas menunjukan seorang sosok pemuda yang dengan wajah yang
sangat kesal dan dengan melakukan pengrusakan terhadap pemukiman para warga
muslim Syi’ah. Adanya api yang sedang melalap pemukiman para warga
melambangkan panasnya tragedi yang sedang terjadi di Sampang dan menunjukan
bahwa amarah para warga kepada para warga muslim Syi’ah sangatlah besar.
52
Dalam teknik pengambilan gambar adanya pemotongan (Croping) yang
dilakukan agar terlihat jelas fokus objek dalam sebuah frame yang
menggambarkan seseorang yang sedang meluapkan amarahnya. Frame foto yang
dikelilingi oleh kobaran api menjadikan kuatnya objek yang ada dalam foto
tersebut. Api biasanya menjadi simbol dari kemarahan dan kekesalan.
Dari beberapa pengamatan terlihat bahwa ada tanda-tanda yang muncul
secara jelas dan ada makna konotasi yang timbul. Seorang warga terlihat sedang
menghancurkan sebuah pemukiman warga muslim Syi’ah karena kesal akan
ajaran yang dilakukan para warga muslim Syi’ah yang dinilai telah melakukan
beberapa pelanggaran penistaan agama. Dan dalam konsep pengambilan gambar
yang dilakukan oleh fotografer ini sudah jelas dengan memperlihatkan fokus
objek yang diletakan ditengah-tengah kobaran api yang membakar sebuah rumah
warga muslim Syi’ah. Itu artinya objek pemuda yang ada dalam foto ini
menunjukan adanya sebuah tragedi yang terjadi di Sampang karena kurang nya
rasa toleransi beragama yang berujung dengan sebuah penghancuran.
3. Mitos
Adapun makna mitos yang terkandung dalam data foto 1 ini adalah kesan
ekspresi kemarahan seorang warga yang tidak terima dengan keberadaan para
warga muslim Syi’ah yang ajaran agama nya di nilai menyimpang dari ajaran
islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan keyakinan agama
memperlebar jurang permusuhan antar warga. perbedaan keyakinan agama
menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok
dalam masyarakat. Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan. massa yang
53
mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur.
Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang
yang umumnya dari mempunyai keyakinan agama yang berbeda dengan kaum
mayoritas lainnya. Jadi, nampaknya perbedaan agama ikut memicu terjadinya
konflik.
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa tidak semua sama. Secara
sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya
tradisional dan budaya modern. Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat
yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor
pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di
Indonesia. Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam
masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, islam terbagi-bagi menjadi beberapa
bagian kelompok massa yang mengamuk biasanya adalah kelompok yang
mayoritasnya lebih banyak, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami
kerugian fisik dan mental adalah kelompok-kelompok minoritas di Indonesia.
Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah
yang didiami lebih dari kelompok islam minoritas.
54
Data Foto 2
Headline : SERANGAN DIDUGA DIRENCANAKAN
Signifier Serpihan puing-
puing rumah
Seorang kakek
Sisa-sisa
ranting pohon
Signified Mengambarkan
telah terjadi
kebakaran
pemukiman para
warga muslim
Syiah.
Gambaran seorang
kakek warga
muslim Syiah
sedang berjalan
diatas puing-puing
rumahnya yang
terbakar berharap
adad barang-
barangnya yang
tersisa.
Menginformasi
kan bahwa
bukan hanya
rumah para
warga yang
terbakar tetapi
tumbuhan dan
pepohonan
disekitar pun
ikut terbakar
karena api yang
sangat besar.
Gambar 2. Headline koran Tempo 28 Agustus 2012
55
C. Analisis Data Foto 2
1. Makna Denotasi
Terlihat seorang kakek warga muslim Syi’ah dengan pakaian yang lusuh
terlihat sedang tertunduk sedih dengan raut wajah yang muram tengah berjalan
mnyusuri sisa puing-puing reruntuhan rumah seperti genteng, bilik rumah, dan
ranting-ranting pohon disekitar pemukiman yang hangus terbakar akibat serangan
yang terjadi.
Dalam gambar foto 2 dapat kita amati beberapa analogon yang berupa
objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain :
Serpuhan puing-puing dari rumah yang terbakar berserakan tanpa
tersisa menjadi abu.
Sisa-sisa ranting-ranting pohon yang berada di sekitar rumah yang
ikut terbakar.
Seorang kakek yang juga seorang muslim Syi’ah sedang meratapi
puing-puing rumahnya yang sudah rata dengan tanah.
Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan objek yang ada
mengungkapkan secara verbal dapat dikatakan foto atau gambar ini
menggambarkan pemandangan puing-puing dari rumah para warga Syi’ah pasca
terjadinya tragedi pembantaian terhadap warga Syi’ah di desa Karanggayam
Omben Sampang Madura. Tragedi tersebut secara otomatis telah menghancurkan
semua harta benda daripada warga muslim Syi’ah itu juga akan dapat
menimbulkan banyak problema yang terjadi. Dengan adanya masalah itu akan ada
banyak dari berbagai kalangan yang tidak dapat melanjutkan aktifitas seperti
56
biasanya. Semua harus dimulai dari nol kembali agar dapat mendapatkan
kehidupan yang layak seperti sedia kala.
2. Makna Konotasi
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
biasanya disebut sebagai konotasi kognitif atau yang biasa diartikan sebagai
makna yang dibangun atas dasar imajinasi. Dan dapat juga diperoleh dengan
mengamati beberapa perkembangan prosedur yang dapat mempengaruhi objek.
Raut wajah yang murung disini memberikan kesan kesedihan dan
memberikan arti sedih yang begitu mendalam bagi seorang kakek tua renta yang
seyogyanya saat ini dapat menikmati masa-masa pencapaiaan hasil-hasil terakhir
dalam sebuah kehidupan. Kesedihan juga dapat memberikan efek negatif bagi
para manula khususnya untuk pengembangan mental individu masing-masing.
Foto ini menyuguhkan informasi dengan disertai dengan keterangan yang
rinci (caption) serta memiliki jenis foto (Human Interest) dalam sebuah type atau
jenis fotografi. Secara kritis foto ini juga memiliki arti yang sangat dalam, ketika
seseorang kakek tua renta berjalan diatas tempat mereka biasanya berlindung dari
hujan dan terik matahari dan sekarang sudah rata dengan tanah harus kehilangan
baik materi atau inmaterinya, mereka harus memulai kehidupan yang baru mulai
lagi dari awal.
Beberapa puing-puing dan sisa-sisa hasil dari pembakaran yang terdapat
dalam foto ini dapat menyimbolkan dan mempunyai makna sebuah kehancuran
yang terkandung didalamnya.
57
3. Mitos
Makna mitos yang tersirat dari gambar 2 diatas adalah Konflik antar
agama yang belum lama ini telah terjadi pertikaian di daerah Sampang Madura.
Ini bukan pertama kalinya terjadi di wilayah itu, pada tahun lalu di daerah
Sampang para warga Non Syiah dengan gencarnya selalu melakukan sebuah
serangan-serangan terhadap warga muslim Syi’ah gar dapat sedikit demi sedikit
mengurangi populasi warga muslim Syi'ah. Sehingga pada akhirnya kini sebagian
besar warga muslim Syi'ah banyak yang mengungsi dari daerah Sampang.
Perebutan wilayah disana pun telah menghabiskan banyak darah, nyawa dan
materi. Sehingga berbagai macam cara telah dilakukan oleh pihak pemerintah
untuk menghentikan peperangan itu dengan cara damai. Tetapi semua itu selalu
saja kandas di tengah jalan. Sebenarnya, salah paham hanyalah sebuah alasan bagi
kedua belah pihak untuk saling berperang. Ada alasan paling inti yang sudah
bukan menjadi rahasia umum lagi dan alasan itu adalah agama. Sejak zaman
dahulu agama memang selalu menjadi hal paling sensitif karena sedikit saja
menyentuhnya maka emosi bisa naik dan terjadilah bentrokan. Padahal tak
seharusnya terjadi hal demikian yang hanya disebabkan oleh suatu hal seperti
agama. Agama merupakan petunjuk yang diturunkan Tuhan untuk memuntun
manusia, itulah definisi dari agama.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari data yang telah terkaji dengan analisis semiologi tipe Roland Barthes,
terdapat beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Hasil analisis makna denotasi dari rangkaian foto Headline koran Tempo,
mengungkapkan bahwa foto jurnalistik tidak hanya memberikan informasi
sebatas apa yang tampak didalam foto, yaitu ada sebuah pengrusakan yang
dilakukan seorang pemuda dalam foto 1 dan ada beberapa akibat yang
diakibatkan oleh pengrusakan dalam tragedi tersebut.
2. Makna konotasi yang dapat diambil dari hasil analisis foto Headline koran
Tempo, memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa apa yang
menjadi potret atau gambar dari sebuah tragedi dan memberikan beberapa
contoh objek dalam yang terjadi didaerah Sampang Madura Dari foto-foto
tersebut, kita dapat memperoleh informasi tentang kurangnya rasa
tenggang rasa dan bertoleransi sesama makhluk sosial dengan adanya
kekerasan dalam rangkaian foto tersebut terlihat ada banyak kekerasan
dan hasil dari kekerasan dalam tragedi itu.
3. Makna Mitos yang terdapat dalam anilisis foto berita ini adalah, seperti
apa yang kita ketahui bersama, Pandangan itu berangkat dari anggapan
bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah
tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau
gampang marah, pendendam sertasuka melakukan tindakan kekerasan.
Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan
59
menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan
balasan. Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura,
senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang
dihadapi, khususnya terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya,
jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa
basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu
juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila
perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
4. Dari hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan bahwa dalam foto
jurnalistik selain mengungkapkan objektifitas data atas suatu peristiwa,
juga tersirat, pandangan subjektif sang foto jurnalis. Foto-foto yang
ditampilkan bukan hanya tentang kekerasan saja.
B. Saran
Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang
dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi,
khususnya Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bagi
peminat fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik, antara lain:
1. Dengan berkembangnya penelitian dengan menggunakan analisis
semiotika atau semiologi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, agar bisa mengkaji lebih dalam dan mendapat perhatian
lebih guna untuk memperkaya khasanah keilmuan komunikasi.
2. Bagi peminat fotografi khususnya mahasiswa jurusan ilmu komunikasi,
metode semiotika berperan mengungkapkan makna yang tersirat dibalik
komunikasi visual, metode ini patut untuk didalami oleh seorang
60
fotografer agar lebih mengerti bagaimana suatu kesan dapat diciptakan
dan terbentuk.
3. Penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika perlu
dikembangkan dalam ranah penelitian media. Hal ini perlu dilakukan
mengingat begitu komprehesifnya analisis ini (ideologi) sehingga dapat
membongkar makna di balik sebuah teks berita. Cakupannya yang luas
dan dalam menjadi alat penulusuran yang menarik dalam sebuah rimba
raya semesta media.
4. Penelitian yang penulis lakukan memerlukan penelitian yang lebih lanjut
mengenai faktor sosial yang mempengaruhi media. Selain itu juga perlu
adanya upaya mengeksplorasi individu yang ada di media mulai dari
pemilik hingga wartawan dan melihat relasi mereka dengan kehidupan
sosial. Dalam penelitian ini faktor sosial belum tergarap mengingat
keterbatasan penulis. Selain itu maraknya foto berita yang lebih
mempromosikan sebuah tubuh ketimbang isi beritanya menjadi sesuatu
yang menarik (iklan) untuk ditelusuri. Apalagi dengan melihat konteks
media sekarang sebagai agen kapitalisme.
5. Bagi Pembaca media penelitian ini dapat memperkuat gerakan media
Literacy (melek media). Hasil penelitian ini setidaknya memperlihatkan
betapa media adalah sebuah institusi yang sarat kepentingan. Sehingga
teks yang lahir juga bias kepentingan. Hal ini bisa menjadi tambahan
pengetahuan bagi pembaca yang pada akhirnya akan menciptakan
pembaca kritis seperti yang dicita-citakan oleh media literacy.
61
6. Bagi Praktisi media, Penelitian ini dapat menyadarkan mereka tentang
proses produksi teks yang mereka lakukan adalah bagian dari bekerjanya
ideologi konsumerisme dan kapitalsime dalam media.
62
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik, (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta
IISIP,2003)
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari
Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika,
(Jakarta: Gramedia, 1991)
Ajidarmna Gumira, Seno, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002)
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
_________, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
Asmadi Alsa, Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Audy Alwy Mirza, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa
(Jakarta: Bumi Aksara, 2004)
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradifma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002)
Ed Zoelvadry, Mat Kodak, (Jakarta,: PT. Temprint, 1985)
F. Rahardi, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, (Depok: Kawan Pustaka, 2006)
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005)
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 1991)
LKBN Antara, Sebuah Pedoman Untuk Pewarta Kantor Berita (Jakarta: PT. Sinar Hudaya)
M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 1996)
__________, Dasar-Dasar Photo Jurnalism (Semarang: Aksara, 1976)
Makalah Seminar Fotografi Oleh Eddy Hasby (Artikel pada www.tribunkaltim.co.id)
Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensi Komunikasi, (Bandung: Mandar Maju, 1981)
Pappilon Manurung, editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi
Pranata Moeljadi, Apakah Desain Komunikasi Visual itu?, (Surabaya: Fakultas Seni dan
Desain UK Petra, 2002)
Rosadi Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005)
ST.Sunardi, Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal, 2002)
Sugiyono, Metode Penilitian Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008)
63
Sumbo Tinarboko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada
Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008)
Untung Yuwono dan Christomy. T, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004)
Yasraf Amir Pialang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
Daftar Pustaka Lain
http://www.kampus-info.com/2012/08/pengertian-aliran-syiah.html diakses pada tanggal 24
april 2013
http://syiahahlulbait.wordpress.com/2012/11/05/syiah-kafir-tong-kosong-nyaring-bunyinya/
http://www.blogspot.com/Zulfikar’Site,Mahasiswa/28/03/08/ Paradigma Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif/html
http:/www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses pada 17 Juli
2009
http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-Headline-pada.html diakses
pada 17 Juli 2009.
http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9
September 2009.
http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm, artikel berjudul
“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9
September 2009.
http;//id.wikipedia.org/wiki/Koran_Tempo, diakses pada 1 September 2009
Lampiran comapny profile Tempo Inti Media
Lembar Pertanyaan Wawancara Penelitian Skripsi :
1. Bagaimana pendapat redaktur foto koran Tempo tentang foto berita yang baik dan
layak di suguhkan untuk masyarakat ?
2. Proses apa saja yang dilakukan sebelum foto berita di muat dihalaman surat kabar
koran Tempo?
3. Bagaimana proses pemilihan foto berita yang akan di muat Headline surat kabar
koran Tempo?
4. Apakah angel dalam sebuah foto berita atau ideologi redaktur koran Tempo
mempengaruhi foto tersebut?
5. Bagaimana tata cara penggunaan caption atau keterangan yang dilakukan oleh
redaktur koran Tempo?
6. Apakah foto berita yang disuguhkan redaktur koran Tempo berbeda dengan surat
kabar lain?
7. Bagaimana pendapat redaktur koran Tempo tentang “Tragedi Muslim Syi’ah di
sampang Madura”?
1. Pada prinsipnya sih tempo itu kita tidak mewajibkan fotograer untuk selalu
mewajibkan selalu harus bagus, cuman kita memilih foto dalam negeri lah. Jadi
akhirnya kalo secara singkatnya kita tidak kita bukan nya tidak menghargai hasil
sendiri tapi kita bertanggung jawab pada pembaca lebih berhak mendapatkan foto
yang bagus dibandingkan kita memasang foto sendiri yang kurang bagus dalam
penyampaian beritanya. Jadi artinya foto siapapun itu bisa masuk selama foto itu
bagus dan layak. Misalnya pada foto hari pertama kita khan pake foto ANTARA,
karena dia yang pertama kali datang kesana dan kita ga punya fotonya inilah yang
kita angkat, dan juga secara fotografi kenapa ini dipilih, karena ini foto yang
paling bagus karena dapat menggambarkan seluruh kejadian kepada khalayak
pembaca. Ini ada api, ada arti ada objek sehingga inilah yang dipilih karena dapat
menggambarkan kerusuhan itu terjadi. Ekstalasi nya seperti apa maka
dimunculkan ini.
2. Prosesnya kita cara kerja kita adalah kita akan melihat semua foto yang ada baik
dari kantor berita, kita ada kantor pusat Routers atau AP (Associated Pers) dari
Amerika kemudian ada ANTARA Jakarta nasional sama produksi kita sendiri.
dan tidak memungkinkan kalo ada orang yang mengirim diluar Tempo. Artinya
masyarakat ngirim kita pake gitu. Nah jadi yang pertama kita lakukan adalah,
pada saat pemilihan foto kita khan ada rapat nih, rapat sore. Ini ada kejadian
disana kemudian kira-kira tulisan seperti apa fotonya seperti apa, akhirnya
digabung pakah fotonya lepas atau fotonya terkait. Seperti ini khan fotonya
terkait. Jadi ada foto ada tulisan jadi baru ini berhubungan. Kemudian dirapat itu
kita menulis tentang sampang dan kumpulan foto-foto sampang. Sampang kita
pilih misalnya ada sepuluh foto kita pilih mungkin hanya tiga atau dua yang kita
tawarkan untuk halaman depan. Karena kita tim, jadi pemred bisa kita panggil,
bagian design kita panggil, inilah fotonya, kira-kira nanti desaign nya seperti apa
dan nanti foto bisa kita yang nentuin tapi bisa juga berembuk dengan bagian-
bagian lain. Artinya seperti desaign bagusnya seperti apa atau dari segi bahaya
atau tidak seperti ada anak kecil terbakar disini pasti gak akan dimuat tidak etis
gitu ya. Jadi prosesnya kita pilih dari beberapa puluh foto yang ada, kita pilih
mana foto yang layak untuk halaman depan dan mana foto yang layak untuk
halaman dalam misalnya. Kemudian ini yang terpilih.
3. Kalo secara visual, foto itu harus yang membuat orang itu seperti stop frame foto
itu terhenti seperti melihat foto lain secara otomatis. Seperti foto ini, api, orang ini
mau ngapain langsung terlihat. Foto yang langsung dalam hitungan detik tapi
mencuri perhatian dibandingkan dengan foto yang belum jelas maksud dan
tujuannya. Tapi kalo melihat seperti ini khan langsung ngerti gitu. Jadi ideologi
kita itu secara visual menarik. Visual itu khan seperti ada teknik fotografinya, ada
komposisi, ada momment kemudian setelah itu ada tentu nilai berita yah, dan
sekarang kita udah tau nilai beritanya bagus ya sekarang mungkin tinggal ke
visualnya aja. jadi secara ideologi secara visual bagus, menarik perhatian,
mengganggu pandangan orang gitu. Kalo yang lain-lainnya, etik misalnya ga
boleh ini itu beda. Dua hal yang berbeda. Tapi secara umum adalah, visualnya
dulu yang pertama dilihat menarik apa engga gitu baru nanti terakhir soal etik.
4. Pasti, karena anggel itu adalah bagian dari komposisi dalam foto jurnalistik yang
mempunyai beberapa makna, seperti foto pertama, kenapa ada api dan di dalam
bingkai foto ini ada seorang warga yang sedang merusak rumah. Itu adalah angel
yang diambil oleh fotografer agar mendapatkan hasil foto yang baik dan bagus
untuk disuguhkan kepada pembaca dan sebagai penguat dari berita itu sendiri.
5. Keterangan foto itu selalu melekat dalam karya foto jurnalistik, kalo foto ga ada
caption berarti itu bukan foto jurnalistik. Di caption itu sendiri biasa nya si
fotografer mencantumkan langsung tekanannya 5W+1Hdan peristiwanya pada
kalimat pertama dan kalimat keduanya kemudian ada konteksnya. Kita biasanya
hanya mengedit dari, contohnya seperti ini, ini asalanya panjang nih, biasa
captionnya seperti ini. Seorang penduduk menghancurkan dan membakar sebuah
rumah di desa Karanganyak Ombong Sampang Madura terus tanggalnya
misalkan, pembakaran ini diakibatkan karena ada kesalah pahaman diu
pemukiman kaum syiah dan sebagainya. Karena ini sudah ada tumpu beritanya,
kita merasa sudah tidak perlu lagi. Tetap menggunakan 5W+1H hanya saja
disederhanakan saja.
6. Kita gak pernah bisa melihat pemilihan foto media pada waktu itu, jadi pada
malam itu kita ga tau media lain itu seperti apa. Tapi pada pertimbangannya,
seperti yang saya bilang tadi, foto yang mengganggu foto yang bagus itu begitu
orang yang melihat itu tertarik. Karena begini, foto sebesar ini nilainya sama
dengan berita yang biada ada dihalaman dalam. Artinya satu foto ini nilainya
sama dengan ribuan karakter berita jadi foto ini harus bisa mengalahkan itu. Jadi
foto yang menjadi halaman depan Tempo itu harus bisa mewakilki berita tersebut
dengan ukuran sebesar itu. Kita bisa melihat hasil itu bersamaan, akan tetapi
anggapan beda atau tidak itu sudah pasti menurut setiap media. Tempo ingin
selalu memberikan yang terbaik dalam setiap suguhan fotonya.
7. Sebenernya kasus yang ada disampang itu adalah sebuah bentuk kebencian Rasial
satu kelompok dengan kelompok lain. Kalo menurut saya pada dua foto ini, foto
yang pertama menggambarkan bagaimana kerusuhan, kebencian dalam tragedi
sehingga terjadi kebakaran itu kemudian di foto kedua ada hasil dari kerusuhan
yang terjadi. Jadi ini sudah mewakili semua berita yang terjadi di sampang saat
itu. Foto ini sangat berkaitan, apabila foto ini dibalik hari nya itu gak mungkin
bisa, karena akan berbeda alur dari ceritanya dan tidak nyambung. Intinya apapun
itu alasaannya, tindak kekerasan adalah hal yang tidak terpuji dan melanggar
hukum atau etika kemanusiaan. Terlepas dari itu, semoga dua foto yang
disuguhkan oleh Tempo dapat memberikan dampaf posititif terhadap masyarakat
agar tidak kembali terjadi kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban.
Data Dokumentasi Hasil Wawancara
Dengan Redaktur Koran TEMPO
Rulli Kesuma di Ruang Meeting Redaktur Koran TEMPO
Data Foto Headline Koran TEMPO edisi 27 Agustus 2012
Data Foto Headline Koran TEMPO edisi 28 Agustus 2012