ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN …
Transcript of ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN …
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
319 JAP Vol. 3 No. 2
ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
(Studi di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara)
Suwardi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak
Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah pengelolaan uang rakyat (public money) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara transparan, efektif, efisien, terarah, terencana, terpadu dan bertanggung jawab agar tercipta akuntabilitas publik dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Selain itu dampak yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas, transparasi serta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari stake holder Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses penyusunan APBD Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Kep.Mendagri) Nomor 12 Tahun 2006.. Penelitian ini bersifat deskriftif kualitatif dengan key informan diambil secara purposive. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belum sepenuhnya mencerminkan kondisi yang ada, dimana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi oleh kepentingan atasan. Persoalan mendasar dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara masih ada indikasi tarik menarik kepentingan eksekuti dengan legislative, serta kesiapan SKPD dalam penatausahaan, pelaporan dan pertanggung jawaban dan perangkat aturan yang berubah-ubah mengakibatkan perlu pemahaman secara mendasar tentang teknis penyusunan anggaran yang baru. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Penyusunan APBD di era otonomi daerah dan desentrasisali keuangan harus berorientasi kepada kepentingan public dan menggunakan pendekatan kinerja sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.Pengalokasian anggaran harus sesuai dengan perioritas dan tututan masyarakat, dimana anggaran harus benar-benar digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang perlu. Dalam menyusun anggaran belanja rutin perlu adanya standarisasi anggaran dan perioritas pada masing-masing SKPD, sehingga dana yang digunakan masing-masing unit kerja bisa mencukupi untuk menjalan kegiatannya. Perlu adanya sosialisasi yang dijadikan acuan baku dalam penyusunan anggaran, agar SKPD dapat melakukan kerjanya harus benar-benar sehingga terhindar dari proyek-proyek titipan. Kata kunci : Formulasi Kebijakan, APBD, Dinas Pendidikan
Abstract
The demand for renewal of the financial system is the management of public money in a transparent and effective, efficient, directional, planned, integrated, and accountable budget of the local budget (APBD) in order to create public accountability and public welfare as a regional autonomy goal. In addition, the subsequent impacts on regional autonomy are the demand for the government to create good governance as a prerequisite for the administration of government by promoting accountability, transparency and community participation as part of the Regional Government stakeholder. The purpose of this research is to find out the mechanism of the APBD preparation process of North Sumatera Provincial Education Department based on the Regulation of the Minister of Home Affairs (Kep.Mendagri) Number 12 Year 2006 .. This research is descriptive qualitative with key informant taken purposively. Data analysis was done by qualitative descriptive analysis. The results show that in the process of Budgeting the Regional Budget and Budget (APBD), it has not fully reflected the existing condition, where the general direction and general budget policy is dominated by the superior's interests. The fundamental issue in the process of compiling the local budget revenue and expenditure in the North Sumatra Provincial Education Department is still an indication of attracting the interests of execution with legislative, as well as the readiness of SKPD in administration, reporting and accountability and changing regulatory tools resulting in a fundamental understanding of technical Drafting a new budget. Based on the above conclusions, the suggestions that can be given are as follows: The preparation of APBD in regional autonomy era and financial concentration should be oriented to public interest and use performance approach in accordance with Permendagri Number 13 Year 2006. Budget allocation must be in accordance with community and community response , Where the budget should actually be used to carry out the necessary activities. In preparing the routine spending budget there is a standardization of budgeting and periority in each SKPD, so the funds used by each work unit can be sufficient to carry out its activities. Socialization needs to be standardized in budget formulation, so that SKPD can do its job must really be avoided from deposit projects
Keyword: Policy Formulation, APBD, Education Department
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 320
PENDAHULUAN
Reformasi yang diperjuangkan oleh
seluruh lapisan masyarakat membawa
perubahan dalam kehidupan politik
nasional maupun di daerah. Salah satu
agenda reformasi tersebut adalah adanya
desentralisasi keuangan dan Otonomi
daerah. Berdasarkan ketetapan MPR
Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, pemerintah telah mengeluarkan
satu paket kebijakan otonomi daerah
yaitu: Undang-Undang nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Kedua undang-undang tersebut
menjadi sangat penting karena akan
membawa perubahan yang mendasar
pada kehidupan sistem pemerintahan
dan system keuangan pemerintah pusat
dan daerah. Pada sistem pemerintahan
khususnya pemerintah daerah
perubahan yang terjadi adalah berupa
pelaksanan otonomi daerah dan
desentralsasi yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Jika pada masa
sebelumnya otonomi daerah hanya
dijadikan jargon politik belaka, akan
tetapi daerah saat ini ditantang
kesiapannya baik secara kelembagaan,
sumber daya manusia dan teknologi
untuk dapat mewujudkan otonomi dan
desentralisasi secara nyata, bertanggung
jawab dan dinamis.Oleh karena itu
pemerintah daerah dituntut untuk
melakukan reformasi kelembagaan
dilingkungan mereka (institutional
reform).
Di bidang sistem keuangan
pemerintah pusat dan daerah, implikasi
kedua undang-undang tersebut adalah
perlunya dilakukan reformasi anggaran
(budgeting reform), sistem pembiayaan
(financing reform), sistem akuntansi
(accounting reform), sistem pemeriksaan
laporan keuangan pemerintah daerah
(audit reform), serta sistem manajemen
keuangan daerah.
Tuntutan pembaharuan sistem
keuangan tersebut adalah pengelolaan
uang rakyat (public money) dalam
anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) secara transparan, efektif,
efisien, terarah, terencana, terpadu dan
bertanggung jawab agar tercipta
akuntabilitas publik dan kesejahteraan
masyarakat sebagai tujuan otonomi
daerah. Selain itu dampak yang
kemudian muncul dalam rangka
otonomi daerah adalah tuntutan
terhadap pemerintah untuk menciptakan
good governance sebagai prasyarat
penyelenggaraan pemerintahan dengan
mengedepankan akuntabilitas,
transparasi serta partisipasi masyarakat
sebagai bagian dari stake holder
Pemerintahan Daerah.
World Bank memberikan definisi
governance sebagai “the way state power
in used in managing economic and social
resource for development of society”
sedangkan United Nation Development
Program (UNDP) mendefinisikan
governance sebagai “the exercise of
politycal, economic, and administrative
authority to manage a nations affair at
all levels”. Dalam hal ini, World Bank
lebih menekankan pada cara pemerintah
mengelola sumber daya sosial ekonomi
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
321 JAP Vol. 3 No. 2
untuk kepentingan pembangunan
masyarakat, sedangkan UNDP lebih
menekankan pada aspek politik, ekonomi
dan administratif dalam pengelolaan
negara. Political governance mengacu
pada proses pembuatan kebijakan
(policy/strategy formulation). Economic
governance mengacu pada proses
pembuatan keputusan dibidang
ekonomi yang berimplikasi pada
masalah pemerataan, penurunan
kemiskinan, dan peningkatan kualitas
hidup. Administrative governance
mengacu pada sistem implementasi
kebijakan. Jika mengacu pada World
Bank dan UNDP, orientasi pembangunan
sektor publik adalah menciptakan good
governance.
Apabila dicermati, sistem otonomi
yang demikian lebih mendekati makna
dan hakekat otonomi sebagaimana
termaktub dalam pasal 18 UUD 1945.
Yaitu bahwa penyelenggaraan
pemerintahan di daerah harus dilakukan
berdasarkan desentralisasi, dan tidak
mengatur mengenai pemerintahan
wilayah yang merupakan manivestasi
dari asas dekonsentrasi. Dalam pasal 18
UUD 1945 disebutkan sebagai berikut :
“Pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa”
Departemen Dalam Negeri
Republik Indonesia (Depdagri) melalui
Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PerMendagri) nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah memberikan implikasi yang
cukup bermakna bagi Pemerintah
Daerah terutama dalam hal proses
penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) untuk Propinsi
maupun Kabupaten Kota.
Di dalam Kep.Mendagri tersebut
disebutkan bahwa Rencana Anggaran
Satuan Kerja (RASK) merupakan rencana
anggaran kegiatan yang disusun dan
diusulkan oleh Dinas/Unit Kerja yang
berada dalam kewenangannya, yang
berpedoman pada Dokumen Rencana
Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah
(Renja-SKPD) untuk periode 1 (satu)
Tahun.
Dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan di daerah, Pemerintah telah
menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Keuangan
Negara dan Daerah yang diperjelas
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
59 Tahun 2007 atas perubahan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.
Permendagri Nomor 59 Tahun
2007 yang merupakan sebagai pedoman
dalam melaksanaan, penatausahaan
APBD dan laporan keuangan juga
mencakup kebijakan akuntansi.
Kebijakan akuntansi merupakan sebagai
dasar yang harus dipatuhi dalam
menyusun laporan keuangan. Di samping
kebijakan akuntansi, pemerintah daerah
juga harus memiliki SDM yang mampu
menyusun laporan keuangan daerah
yang sesuai dengan Permendagri 59
Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 322
Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan. Hal ini
merupakan salah satu tuntutan yang
harus dipenuhi dari Permendagri 59
Tahun 2007 di mana setiap SKPD harus
menyusun laporan keuangannya masing-
masing.
Sebagaimana yang diamanatkan
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 Pasal 265 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) wajib
menyusun dan melaporkan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
secara periodik yang meliputi a. Laporan
realisasi anggaran; b. Neraca SKPD; c.
Catatan atas laporan keuangan SKPD dan
berdasarkan Pasal 290 ayat (1), (2) dan
(3) yang intinya menyatakan bahwa
Kepala SKPD harus menyampaikan
laporan realisasi anggaran sebanyak dua
kali setahun yakni semester pertama
(Januari sampai dengan Juni) yang
menerangkan realisasi anggaran
pendapatan dan belanja SKPD disertai
dengan prognosis untuk enam bulan
berikutnya paling lama tujuh hari kerja
setelah semester pertama tahun
anggaran berkenaan. Selanjutnya Kepala
SKPD menyampaikan laporan tahunan
yang dimulai dari periode Januari sampai
dengan Desember tahun anggaran.
Bentuk laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD SKPD sebagai berikut:
Pertanggungjawaban Pelaksanaan
APBD-SKPD
Gambar 1. Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD - SKPD
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) merupakan
kebijaksanaan keuangan tahunan
pemerintah daerah yang disusun
berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, serta berbagai
pertimbangan lainnya dengan maksud
agar penyusunan, pemantauan,
pengendalian dan evaluasi APBD mudah
dilakukan. Pada sisi yang lain APBD
dapat pula menjadi sarana bagi pihak
tertentu untuk melihat atau mengetahui
kemampuan daerah baik dari sisi
pendapatan maupun sisi belanja. Khusus
dalam penyusunan laporan keuangan
daerah, pemerintah daerah di samping
harus memiliki kebijakan akuntansi
sebagai dasar dalam menyusun laporan
keuangan, pemerintah daerah juga harus
memiliki SDM, komitmen dan perangkat
pendukung yang mampu dalam
menyusun laporan keuangan daerah
sesuai dengan Permendagri 59 Tahun
2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor
Bentuk dan Isi Laporan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan
APBD
disusun dan disajikan sesuai
Standar Akuntansi Pemerintahan
(PP No.24/2005)
A. Laporan Realisasi APBD
B. Neraca
C. Catatan atas Laporan Keuangan
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
323 JAP Vol. 3 No. 2
24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas maka
perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana Implementasi Peraturan
Daerah Nomor 11 tahun 2011 dalam
pencapaian target Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan Perkotaan di
Kelurahan Bunut Barat Kecamatan
Kota Kisaran Barat?
2. Hambatan- hambatan apa saja yang
terjadi dalam pencapaian target Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan
Perkotaan di Kelurahan Bunut Barat?
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Kebijakan Publik
Kebijakan publik marupakan
konsep yang sangat kompleks.
Setidaknya hal itu dapat dilihat dari
banyaknya definisi tentang kebijakan
publik dalam kepustakaan ilmu politik.
Secara umum kebijakan publik
merupakan tindakan pemerintah yang
mempunyai tujuan. Oleh karenanya
untuk mengkaji atau menganalisa
kebijakan dalam studi ini perlu kiranya
meninjau pengertian kebijakan publik
yang bermacam-macam.
Menurut Charles O. Jones (dalam
Budi Winarno, 2002 : 14) kebijakan
(policy term) digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan
yang sangat berbeda. Istilah ini sering
dipertukarkan dengan tujuan (goals),
program, keputusan (decision), standar,
proposal, dan grand design.
Pengertian senada dikemukakan
oleh Harold D Laswell dan Abraham
Kaplan (dalam Irfan Islamy, 2002 : 15)
yang menyebutnya sebagai “a projected
program of goals, values and practtices”
(suatu program pencapaian tujuan nilai-
nilai dan praktek-praktek yang terarah).
Akan tetapi dewasa ini istilah kebijakan
lebih sering dan lebih luas dipergunakan
dalam kaitannya dengan tindakan-
tindakan atau kegiatan-kegiatan
pemerintah serta perilaku negara pada
umumnya (Johnson dalam Abdulwahab,
1991:13). Oleh karena itu kebijakan
dapat bermakna sebagai tindakan politik.
Konsep kebijakan oleh Carl J. Friedrich
(dalam Irfan Islamy , 2002 : 17) diartikan
sebagai serangkaian tindakan yang
diusulkan pada seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap pelaksanaan
usulan kebijakan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
Thomas R. Dye (dalam Budi
Winarno, 2002 : 15) mendefinisikan
kebijakan publik adalah apapun yang
dipilih pemerintah untuk dilakukan dan
tidak dilakukan. Irfan Islamy (2002 : 18)
mengartikan batasan Dye tersebut
bahwa apabila pemerintah memilih
untuk dilakukan sesuatu maka harus ada
tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan
politik itu harus meliputi semua
“tindakan” pemerintah bukan semata-
mata merupakan keinginan pemerintah
atau pejabat-pejabat pemerintah saja.
Disamping itu sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun,
mernurut Dye, termasuk kebijakan
negara. Hal ini disebabkan karena
“sesuatu yang tidak dilakukan” oleh
pemerintah akan mempunyai (dampak)
yang sama besarnya dengan “sesuatu
yang dilakukan “ oleh pemerintah.
Pengertian kebijakan negara yang
mirip dengan pendapat Dye,
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 324
dikemukakan oleh George C. Edwards III
dan Sharkansy (dalam Irfan Islamy,
2002:18) yang mendefinisikan kebijakan
negara adalah “…is whats government say
and do, or do not do. It is the goals or
purpose of government Programs …”
(adalah apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah. Kebijakan negara itu berupa
sasaran atau tujuan program-program
pemerintah…).
Menurutnya kebijakan itu dapat
ditetapkan secara jelas dalam peraturan-
peraturan perundang-undangan atau
dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras
pemerintah ataupun berupa program-
program dan tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah.
Senada dengan pendapat-pendapat
di atas, Udoji (dalam
Abdulwahab,1995:15) mendefinisikan
kebijakan negara sebagai suatu tindakan
bersanksi yang mengarah pada suatu
tujuan tertentu, yang diarahkan pada
suatu masalah atau sekelompok masalah
tertentu yang saling berkaitan yang
mempengaruhi sebagian besar
masyarakat.
Amir Santoso ( dalam Budi
Winarno , 2002 :17) , menyebutkan
bahwa pandangan tentang kebijakan
publik dapat dibagi kedalam 2 wilayah
kategori. Pertama pendapat ahli yang
menyamakan kebijakan publik dengan
tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli
dari kelompok ini cenderung
menganggap bahwa semua tindakan
pemerintah dapat disebut sebagai
kebijakan publik. Pandangan kedua
menurut Amir santoso berangkat dari
para ahli yang memberikan perhatian
khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para
ahli yang masuk dalam kategori ini
terbagai dalam 2 kubu, yakni mereka
yang memandang kebijakan publik
sebagai keputusan - keputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan dan
maksud-maksud tertentu dan mereka
yang menganggap kebijakan publik
sebagai memiliki akibat-akibat yang
diramalkan.
Dalam glosary di bidang
administrasi negara, kebijakan publik
mempunyai arti : (1) The organizing
framer work of purposes and rationales
for government programs that deal with
specifed societal problems, (2) Whatevers
government chooser to do or not to do, (3)
The complex programs enacted and
implemented by governments. (“ Bahwa ;
(1) susunan rancangan tujuan-tujuan dan
dasar pertimbangan programa-programa
pemerintah yang berhubungan dengan
masalah-masalah tertentu yang dihadapi
masyarakat, (2) Apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau tidak,
(3) Masalah-masalah yang kompleks
yang dinyatakan dan dilaksanakan
pemerintah”) (dalam Islamy,2002:20).
Di samping berkait tindakan
pemerintah yang mempunyai tujuan juga
terdapat cara pencapaian dari tujuan
tersebut. Seperti definisi yang diberikan
Nakamura dan Smallwood, yang
memandang kebijakan negara dalam tiga
aspek, yakni perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Dalam hal ini mereka
berpendapat bahwa kebijakan negara
adalah serentetan instruksi / perintah
dari para pembuat kebijakan yang
ditunjukkan kepada para pelaksanaan
kebijakan yang menjelaskan tujuan-
tujuan serta cara-cara untuk mencapai
tujuan tersebut (Abdul Wahab,1990,32).
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
325 JAP Vol. 3 No. 2
Kemudian Jenkins mendefinisikan
kebijakan publik adalah
“ A set of interelated decisisons
taken by a political group or actor
concerning the selection of goals
means of achieving them within a
specified situations shold in
principles, bewithin power of these
actors to achievi”( Serngkaian
keputusan yang saling berkaitan
yang diambil oleh seorang aktor
politik berkenaan dengan tujuan
yang dipilih beserta cara-cara
untuk mencapainya dalam suatu
situasi dimana keputusan itu pada
prinsipnya masih berada dalam
batas-batas kewenangan kekuasaan
dari para aktor tersebut). (dalam
Abdulwahab, 1997:4)
Dari definisi-definisi di atas dapat
disimpulkan makna dari kebijakan
publik adalah sebagai berikut :
1. Merupakan tindakan yang mengarah
pada tujuan daripada sebagai perilaku
atau tindakan yang serba acak.
2. Merupakan tindakan yang berpola dan
bersangkut paut yang mengarah pada
tujuan tertentu yang dilakukan oleh
pejabat pemerintahan dan bukan
merupakan keputusan yang berdiri
sendiri.
3. Merupakan apa yang senyatanya
dilakukan pemerintah dalam bidang-
bidang tertentu.
4. Dapat berbentuk positif, apabila
dalam keputusan atau tindakannya
untuk mempengaruhi masalah-
masalah tertentu, dan dapat dalam
bentuk negatif apabila pemerintah
tidak merespon permasalahan yang
ada dalam masyarakat.
Dengan demikian kebijakan negara
adalah serangkaian tindakan yang
bersifat memaksa dan dilakukan oleh
pemerintah sebagai respon dari
serangkaian keadaan dalam masyarakat
serta berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Dari pengertian tersebut,
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah termasuk kategori Kebijakan
Publik. Oleh karenanya penulis
sependapat dengan glosary di bidang
administrasi negara, yang
mendefinisikan Kebijakan Publik adalah :
Bahwa ; (1) susunan rancangan tujuan-
tujuan dan dasar pertimbangan
programa-programa pemerintah yang
berhubungan dengan masalah-masalah
tertentu yang dihadapi masyarakat, (2)
Apapun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau tidak, (3) Masalah-
masalah yang kompleks yang dinyatakan
dan dilaksanakan pemerintah” (dalam
Islamy,2002:20). Penelitian ini
memfokuskan perhatianya pada
formulasi kebijakan sebagai salah satu
aspek dalam analisis kebijakan Publik.
Teori Formulasi Kebijakan Publik
Proses Formulasi Kebijakan Publik
Membuat atau merumuskan suatu
kebijakan negara bukanlah hal yang
mudah dan sederhana tapi suatu proses
yang rumit dimana didalamnya terdapat
kekuatan yang berpengaruh. Menurut
Charles E. Lindblom (1986) (dalam
Abdulwahab, 1997 : 16 ), Pembuatan
kebijakan publik merupakan:
“ an extremely complex, analitycal
and political process to which there
is no begininging or end, and the
boundaries of which are most
uncertain, Somehow a.complex set of
forces that we call policy-making all
taken together, produces affect
called policies” (Merupakan proses
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 326
yang amat kompleks dan analitis
dimana tidak mengenal saat
dimulai dan diakhirnya, dan batas-
batas dari proses itu sesungguhnya
yang paling tidak pasti. Serangkaian
kekuatan yang agak kompleks yang
kita sebut sebagai pembuatan
kebijakan negara itulah yang
kemudian membuahkan hasil yang
disebut kebijakan).
Charles E. Lindblom (1986 : 3 )
menunjuk pada metode untuk
mempelajari peliknya perumusan
Kebijakan. Suatu metode yang populer,
membagi perumusan kebijakan kedalam
tahap-tahap dan kemudian menganalisis
masing-masing tahap. Pertama
mempelajari bagaimana masalah-
masalah itu timbul dan masuk dalam
agenda para pengambil keputusan
pemerintah, kemudian bagaimana
masyarakat merumuskan masalah-
masalah tersebut untuk pengambilan
suatu tindakan, kemudian sikap apa yang
diambil oleh badan legislatif atau
lembaga lainnya, kemudian bagaimana
para pemimpin menerapkan kebijakan
itu, dan akhirnya bagaimana kebijakan
tersebut dievaluasi.
Senada dengan itu, Etzioni (1968)
menjelaskan bahwa “melalui proses
pembuatan keputusanlah komitmen-
komitmen masyarakat yang acapkali
kabur dan abstrak, sebagaimana nampak
dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan
masyarakat, diterjemahkan oleh para
aktor (politik) ke dalam komitmen-
komitmen yang spesifik menjadi
tindakan-tindakan yang kongkrit. (dalam
Wahab, 1997 : 17)
William N Dunn ( 2000 : 22 ),
memberikan pendapat, proses
perumusan kebijakan merupakan
aktivitas politik yang divisualisasikan
sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung yang diatur menurut urutan
waktu : penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan dan penilaian
kebijakan.
Anderson (dalam Budi Winarno,
2002 : 69-70) membedakan antara
pembentukan kebijakan dan Perumusan
Kebijakan. Perumusan Kebijakan
diartikan sebagai aktivitas yang
menyangkut upaya menjawab
pertanyaan bagaimana berbagai
alternatif disepakati untuk masalah-
masalah yang dikembangkan dan siapa
yang berpartisipasi, Ia merupakan proses
yang secara spesifik ditujukan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan
khusus. Sedangkan pembentukan
kebijakan lebih merujuk pada aspek-
aspek seperti misalnya, bagaimana
masalah-masalah publik menjadi
perhatian para pembuat kebijakan,
bagaimana proposal kebijakan
dirumuskan untuk masalah-masalah
khusus, dan bagaimana proposal
tersebut dipilih diantara berbagai
alternatif yang saling berkompetisi.
Udoji merumuskan secara rinci
pembuatan kebijakan negara sebagai :
“ The whole articulating and
defining problems, formulating
posible solutions into political
demands, channeling those demands
into political system, seeking
sanctions or legitimation of the
prefered course of action,
legitimation and implementation,
monitoring and review (feedback)
(keseluruhan proses yang
menyangkut pengartikulasian dan
pendefinisian masalah, perumusan
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
327 JAP Vol. 3 No. 2
kemungkinan pemecahan masalah
dalam bentuk tuntutan politik,
penyaluran tuntutan tersebut ke
dalam sistem politik, pengupayaan
pemberian sanksi-sanksi atau
legitimasi dari arah tindakan yang
dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan atau implementasi,
monitoring dan peninjauan kembali
(umpan balik)” (dalam
Abdulwahab, 1997 : 17).
Lydden, Shipman dan Wilkinson
(dalam Abdulwahab, 1990 : 4).
menyebutkan bahwa proses pembuatan
kebijakan publik negara biasanya
mengacu pada langkah-langkah yang
teratur mengenai interaksi pihak
pemerintah dan pihak swasta yang
memperbincangkan atau berdebat, serta
usaha untuk mencapai kesepakatan
bersama tentang ruang untuk menangani
masalah sosial tertentu. Proses kebijakan
negara tersebut meliputi : (1) Pencarian
informasi yang tepat untuk merumuskan
masalah sosial, (2) Mengembangkan
alternatif masalah sosial, (3)Mencapai
kesepakatan pendapat alternatif terbaik
untuk memecahkan masalah
Makna pembuatan kebijakan
negara menurut Dror (1968) dengan :
“ A very complex, dynamic process
whose various components make
different contributons to it, it dicides
major guidlines for action directed
at future, mainly aim at achievning
wahat is the public interest by the
posible means” (suatu proses yang
sangat kompleks dan dinamis yang
terdiri dari berbagai unsur yang
satu sama lain kontribusinya
berbeda-beda terhadap pembuatan
kebijakan negara tersebut. Artinya
pembuatan kebijakan negara
memutuskan pedoman-pedoamn
umum untuk melakukan tindakan
mengarah pada masa depan,
terutama bagi lembaga pemerintah,
pedoman-pedoman umum secara
formal dimaksudkan untuk
mencapai apa yang termaktub
dalam istilah kepentingan umum
dengan cara sebaik mungkin )
(dalam Abdulwahab, 1990 : 34)
Dari definisi-definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa formulasi kebijakan
publik meliputi beberapa aspek yaitu :
a. Merupakan tindakan yang berpola dan
berkesinambungan yang berlangsung
dalam suatu sistem.
b. Adanya keterlibatan beberapa aktor
yang mempunyai peranan yang
berbeda.
c. Artinya sama dengan pengambilan
keputusan.
d. Diarahkan pada masa depan
e. Dilakukan oleh lembaga pemerintah.
f. Adanya proses kompromi dalam
pembuatan kebijakan
g. Adanya kesepakatan tujuan bersama
oleh para aktor yang terlibat di
dalamnya, tujuan ini mengandung
maksud untuk kepentingan umum.
Dari definisi tersebut, tampak
adanya faktor yang mempengaruhi
dalam proses formulasi kebijakan publik.
Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah lingkungan baik itu imternal
maupun eksternal. Nigro dan Nigro
(dalam Islamy, 2002 : 25 ) menjelaskan
adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam pembuatan
kebijakan dan beberapa kesalahan umum
dalam pembuatan kebijakan.
Irfan Islami (2002 : 25-26 )
menyebutkan beberapa faktor yang
mempengaruhi dalam proses formulasi
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 328
kebijakan publik adalah : (1) Adanya
tekanan-tekanan dari luar, (2) Adanya
pengaruh kebiasaan lama
(Konservatisme); (3) Adanya pengaruh
sifat-sifat pribadi ; (4) Adanya pengaruh
dari kelompok luar; (5) Adanya pengaruh
keadaan masa lalu.
Menurut Gerald E. Caiden,
disamping faktor-faktor tersebut di atas
ada beberapa faktor yang menjadikan
sulitnya membuat kebijakan, yaitu :
sulitnya memperoleh informasi yang
cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan,
adanya berbagai macam kepentingan
yang berbeda, dampak kebijakan sulit
dikenali, umpan balik keputusan bersifat
sporadis, proses perumusan kebijakan
tidak mengerti dengan benar dan
sebagainya. (dalam Irfan Islami; 2002 :
27)
Sedangkan kesalahan-kesalahan
umum yang sering terjadi dalam proses
formulasi menurut Nigro & Nigro ada
tujuh macam yaitu:
a. Cara berpikir yang sempit (cognitive
nearsightedness)
b. Adanya asumsi bahwa masa depan
akan mengulang masa lalu (Asumption
that future will repeat past)
c. Terlalu menyederhanakan sesuatu
(over simplification);
d. Terlampau menggantungkan pada
seseorang (Overline on one’s own
experience);
e. Keputusan-keputusan yang dilandasi
oleh pra konsepsi pembuat keputusan
(Procencieved nations);
f. Tidak adanya keinginan aktor untuk
melakukan percobaan (Unwillingness
to experiment)
g. Keengganan untuk membuat
keputusan (reluctance to decide)
(Islamy, 2002 : 27-30)
Dalam kontek pembuatan
kebijakan, James E. Anderson melihat
adanya bermacam-macam nilai yang
melandasi tingkah laku pembuat
keputusan dalam membuat keputusan,
yaitu :
a. Nilai-nilai politis (political values).
Keputusan-keputusan dibuat atas
dasar kepentingan politik dari Partai
Politik atau kelompok kepentingan
tertentu.
b. Nilai-nilai organisasi ( Organization
values). Keputusan-keputusan dibuat
atas dasar nilai-nilai organisasi,
seperti balas jasa (reward) dan sanksi
(sanctions).
c. Nilai-nilai pibadi (personal values).
Seringkali keputusan dibuat atas dasar
nilai-nilai pribadi yang dianut oleh
pribadi pembuat keputusan untuk
mempertahankan status quo, reputasi,
kekayaan dan sebagainya
d. Nilai-nilai kebijakan (policy values) .
Nilai dibuat atas dasar persepsi
pembuat kebijakan tentang
kepentingan publik atau pembuat
kebijakan yang secara moral dapat
dpertanggungjawabkan.
e. Nilai-nilai idiologi (idiological values).
Misalnya nilai nasionalisme dapat
menjadi landasan pembuat kebijakan
seperti misalnya kebijakan dalam dan
luar negeri. (dalam Islamy, 2002 : 27)
Dari uraian tersebut diatas, penulis
memilih teori Udoji merumuskan secara
terperinci pembuatan kebijakan negara
sebagai :
“keseluruhan proses yang
menyangkut pengartikulasian dan
pendefinisian masalah, perumusan
kemungkinan pemecahan masalah
dalam bentuk tuntutan politik,
penyaluran tuntutan tersebut ke
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
329 JAP Vol. 3 No. 2
dalam sistem politik, pengupayaan
pemberian sanksi-sanksi atau
legitimasi dari arah tindakan yang
dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan atau implementasi,
monitoring dan peninjauan kembali
(umpan balik)” (dalam
Abdulwahab, 1997 : 17).
Dari pandangan Udoji tersebut,
Proses formulasi kebijakan publik
merupakan sebuah proses; terdiri atas
tahapan-tahapan yang dapat
disederhanakan menjadi 4 tahap yaitu :
a. Perumusan masalah kebijakan publik,
b. Penyusunan agenda pemerintah
c. Perumusan usulan kebijakan publik,
d. Pengesahan kebijakan publik.
e. Perumusan masalah kebijakan publik
Schattschneider (1960)
mendefinisikan, masalah-masalah
kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai,
atau kesempatan-kesempatan yang tidak
terealisir tetapi yang dapat dicapai
melalui tindakan publik. Karenanya,
perumusan masalah oleh Dunn dikatakan
merupakan sistem petunjuk pokok atau
mekanisme pendorong yang
mempengaruhi keberhasilan semua fase
analisis kebijakan (dalam William Dunn
2000: 210). Itu sebabnya mengenali dan
merumuskan masalah merupakan
langkah yang paling fundamental dalam
perumusan kebijakan. Dibuatnya suatu
kebijakan pada umumnya berasal dari
adanya suatu masalah yang ada di dalam
masyarakat dan masyarakat menyadari
bahwa itu adalah masalah yang harus
dipecahkan oleh pemerintah. Menurut
Smith masalah dalam konteks kebijakan
publik adalah :
“ For policy purposes, a problem can
be formaly defined as condition or
situation that producers need or
dissatis factions on the part or
people for which relief or redress is
sought this may be done by thos
directly affected or by others acting
on their behalf ” (untuk kepentingan
kebijakan suatu masalah dapat
diartikan secara formal atau
sebagai kondisi atau situasi yang
menghasilkan kebutuhan-
kebutuhan atau ketidakpuasan
pada rakyat untuk mana dicari
penanggulangannya, hal ini
dilakukan secara langsung terkena
akibat oleh masalah itu atau oleh
orang lain yang punya tanggung
jawab). (dalam Islamy, 2002 : 79 )
Charles E.Lindblom (1980 : 3)
menjelaskan, untuk memahami siapa
yang sebenarnya merumuskan kebijakan,
lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat
semua pemeran serta (participants),
bagian atau peran apa yang mereka
mainkan, wewenang atau bentuk
kekuasaan apa yang mereka miliki dan
bagaimana mereka saling berhubungan
serta saling mengawasi. Menurutnya,
tahapan-tahapan dalam perumusan
kebijakan, pertama dipelajari bagaimana
masalah-masalah yang timbul dan masuk
kedalam agenda pengambil keputusan
pemerintah, kemudian bagaimana
masyarakat merumuskan masalah-
masala tersebut untuk mengambil suatu
tindakan, kemudian sikap apa yang
diambil oleh badan legislatif atau
lembaga lainnya, kemudian bagaimana
para pemimpin menerapkan kebijakan
itu, dan akhirnya bagaimana
kebijaksanan tersebut dievaluasi.
Kesimpulannya, masalah adalah
kebutuhan-kebutuhan atau
ketidakpuasan manusia harus
dipecahkan atau diatasi. Banyak sekali
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 330
masalah atau problem yang dimiliki
masyarakat, tidak selalu hal itu langsung
menjadi problem umum (public
Problem). Problema umum adalah
kebutuhan-kebutuhan atau
ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia
yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi
secara pribadi (privat), Problema-
problema umum (public problems) itu
adalah masalah-masalah yang
mempunyai akibat yang luas termasuk
akibat yang mengenai orang-orang
secara tidak langsung terlibat (Islamy,
2002 : 79).
Menurut Dunn (2000 : 226)
Perumusan masalah dapat dipandang
sebagai suatu proses dengan empat fase
yang saling tergantung, yaitu : (1)
Pencarian Masalah (Problem Search), (2)
Pendefinisian Masalah (problem
definition), (3) Spesifikasi Masalah
(Problem Specification), (4) Pengenalan
Masalah (Problem Sensing).
Penyusunan Agenda Pemerintah
Setalah perumusan masalah
kebijakan tahap selanjutnya adalah
penyusunan agenda pemerintah.
Menurut Cobb dan Elder ( dalam Islamy,
2002 :91) Agenda pemerintah sebagai “
That Sets of items explicity up for the
active and sriousconsideration of
authoritative decision makers “
(Serangkaian hal-hal yang secara tegas
membutuhkan pertimbangan-
pertimbangan aktif dan serius dari
pembuat keputusan yang sah akan
otoritatif).
Dari pendapat di atas disimpulkan
agenda pemerintah disusun atau dibuat
berdasarkan masalah-masalah yang
membutuhkan keseriusan pembuat
keputusan untuk mempertimbangkan
guna dicari pemecahannya.
Agenda pemerintah dapat berisi
hal-hal (items) yang baru atau lama. Hal-
hal lama (old items) selalu muncul secara
reguler pada agenda pemerintah. Hal ini
sudah cukup dikenali oleh pembuat
keputusan dan alternatif yang dipilihpun
sudah terpola, sehingga pembuat
kebijakan lebih banyak memberikan
pada hal-hal lama dimana hal tersebut
selalu terus menerus muncul dan mereka
sudah mengetahui seluk beluknya
sedangkan hal-hal baru (new items)
adalah hal-hal yang belum didefinisikan
sebagai akibat munculnya situasi atau
peristiwa khusus dan baru.
Menurut Anderson (dalam Islamy,
2002 : 86-88) ada beberapa faktor yang
dapat menyebabkan problema-problema
umum masuk dalam agenda pemerintah.
Faktor tersebut adalah : (1) Bila terdapat
ancaman terhadap kesinambungan antar
kelompok (group equilibrium), (2)
kepemimpinan politik, (3) Timbulnya
krisis atau peristiwa luar biasa, (4)
Adanya gerakan-gerakan protes
termasuk tindakan kekerasan, (5)
Masalah-masalah khusus atau isu politik
yang timbul di masyarakat yang menarik
perhatian media komunikasi.
Perumusan Usulan Kebijakan Publik
Tahap perumusan usulan kebijakan
publik dilakukan setelah problema
umum dimasukkan dalam agenda
pemerintah. Perumusan usulan
kebijakan publik menurut Islamy. (2002 :
92-96), adalah kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan
yang perlu untuk memecahkan masalah.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah :
a. Mendefinisikan Alternatif
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
331 JAP Vol. 3 No. 2
b. Mendefinisikan dan Merumuskan
alternatif,
c. Menilai Alternatif
d. Memilih alternatif yang memuaskan.
Suatu alternatif yang telah dipilih
secara memuaskan itu akan menjadi
usulan kebijakan (policy proposal), yang
telah diantisipasi dapat dilaksanakan dan
memberikan dampak yang positif. Tetapi
belum tentu semua usulan kebijakan itu
dapat langsung menjadi keputusan
kebijakan (policy decision), karena sangat
tergantung dari proses terjadi dalam
pengesahan kebijakan (policy adoption).
Bentuk dan jenis kebijakan banyak pula
dipengaruhi oleh pihak dalam (inside
participans) dan pihak luar (outside
participans). Pihak-pihak yang terlibat
dalam perumusan kebijakan tergantung
dari sistem politik (political system)
negara yang bersangkutan .
Pengesahan Kebijakan Publik
Dalam proses formulasi kebijakan
publik pengesahan merupakan tahap
penting dan tidak bisa dilepaskan dengan
proses pembuatan kebijakan. Karena
usulan kebijakan dapat menjadi suatu
kebijakan dan mengikat bagi kelompok
sasaran apabila diberi pengesahan oleh
badan yang berwenang. Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Irfan Islamy
(2002 :98), bahwa suatu usulan
kebijakan yang dibuat oleh pembuat
keputusan (baik oleh orang atau badan)
dapat saja usulan itu disetujui atau
ditolak oleh pengesah kebijakan. Sekali
usulan kebijakan diadopsi atau diberikan
legitimasi (pengesahan) oleh seorang
atau badan yang berwenang, maka
usulan kebijakan itu berubah menjadi
kebijakan (policy decision) yang syah
(legitimate) dalam arti dapat dipaksakan
pelaksanaan nya dan bersifat mengikat
bagi orang atau pihak yang menjadi
sasarannya.
Pertama, adalah bentuk yang
memberi wewenang (authorizes) kepada
proses politik dasar yang meliputi juga
proses yang dirancang untuk
mengesahkan proposal-proposal khusus
mengenai pemecahan masalah-masalah
publik (public problems). Kedua, meliputi
proses-proses khusus lewat mana
program-program pemerintah disahkan.
Yang pertama mengacu pada pengesahan
(legitimasi) sedang yang kedua pada
persetujuan (dalam Jones 1991 : 198).
Proses pengesahan kebijakan adalah
proses-proses penyesuaian dan
penerimaan secara bersama terhadap
prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-
ukurannya yang diterima.
Di Indonesia, landasan utama
dalam perumusan dan pengesahan
kebijakan negara dilakukan secara
“Musyawarah untuk mufakat “.
Pemungutan suara (voting) dimana satu
orang punya satu suara (one man one
vote) barulah dilakukan kalau
musyawarah untuk mufakat sudah
buntu.
Proses pengesahan biasanya
diawali dengan kegiatan persuasi
(persuasion) dan tawar menawar
(bergaining). Menurut Anderson Persuasi
adalah: “Attemps to convice others of
correctness of value of one’s position, and
threbay cause them to adapt it as their
own” Usaha-usaha untuk meyakinkan
orang lain tentang suatu kebenaran atau
nilai keduduk an seseorang dan sehingga
mereka mau menerimanya sebagai
miliknya.
Dari pendapat diatas disimpulkan
persuasi adalah proses untuk
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 332
meyakinkan kepada orang lain bahwa
pendapatnya benar sesuai dengan
kebutuhan. Sedangkan arti dari tawar
menawar (bergaining) menurut
Anderson juga adalah :
“ As a process in which two or mor
persons in postions of power of
authority adjust their al lease
partialy inconsistent goals in order
to formulate a course of action that
acceptable but not necessarily ideal
to the participants” (sebagai suatu
proses dua orang atau lebih yang
mempunyai kekuasaan atau
otoritas untuk mengatur atau
menyesuaikan sebagian tujuan-
tujuan yang tidak mereka sepakati
agar dapat merumuskan
serangkaian tindakan yang dapat
diterima bersama tetapi tidak
terlalu ideal bagi mereka.)
Dari pendapat di atas tawar
menawar merupakan suatu proses 2
orang atau lebih yang mempunyai
wewenang untuk bernegosiasi dalam
memperoleh kesepakatan tentang suatu
tujuan tertentu walau kesepakatan itu
tidak terlalu ideal bagi masing-masing.
Yang termasuk dalam tawar menawar
adalah : perjanjian (negotiation), Saling
memberi dan menerima (Take and give)
dan kompromi (compromise) (dalam
Islamy, 2002 : 101).
Kesimpulannya, pada tahap ini
perumus kebijakan akan dihadapkan
pada pertarungan kepentingan antar
berbagai aktor yang terlibat. Dengan
demikian, alternatif penetapan kebijakan
yang diambil pada dasarnya merupakan
kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan.
Keterlibatan Aktor dalam perumusan
Kebijakan
Budi Winarno (2002 : 84),
menyebutkan, bahwa pembahasan
mengenai siapa saja aktor yang terlibat
dalam perumusan kebijakan dapat
dilihat misalnya dalam tulisan James
Anderson (1979), Charles Lindblom
(1980) maupun James Lester dan Joseph
Stewart, J (2000). Menurutnya aktor-
akor dalam proses pembuatan kebijakan
dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu para pemeran resmi dan pemeran
tidak resmi. Termasuk kedalam
pemeran resmi adalah agen-agen
pemerintah (biokrasi), presiden
(eksekutif), legislatif dan Yudikatif.
Sedangkan kelompok pemeran tidak
resmi meliputi : kelompok-kelompok
kepentingan, Partai Politik, warga negara
dan individu.
Tentang aktor-aktor yang berperan
dalam proses kebijakan publik, Jones
(dalam Abdulwahab, 1997 : 29-34)
menyebut sedikitnya ada empat
golongan atau tipe aktor yang terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan.
Masing-masing adalah golongan
rasionalis, golongan teknisi, golongan
inkrementalis dan golongan reformis.
Menurut dia, bahwa dalam kasus
atau isu tertentu kemungkinan hanya
satu atau dua golongan aktor tertentu
yang berpengaruh dan aktif terlibat.
Peran yang dimainkan oleh keempat
golongan tersebut dalam proses
kebijakan, nilai-nilai dan tujuan yang
mereka kejar serta gaya kerja mereka,
berbeda satu sama lain.
Golongan rasionalis, mempunyai
ciri-ciri utama bahwa dalam melakukan
pilihan alternatif kebijakan mereka akan
selalu menempuh metode dan langkah-
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
333 JAP Vol. 3 No. 2
langkah berikut : 1) Mengidentifikasi
masalah, 2) Merumuskan adanya tujuan,
3) Mengidentifikasi Alternatif kebijakan,
4) Meramalkan atau memprediksikan
akibat-akibat dari tiap alternatif, 5)
Membandingkan akibat-akibat tersebut
dengan mengacu pada tujuan, 6) memilih
alternatif terbaik.
Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut,
maka perilaku golongan aktor rasionalis
akan identik dengan peran yang
dimainkan oleh para perencana dan
analisis kebijakan yang profesional
dalam menghadapi masalah publik.
Metode rasional mereka
mengansumsikan bahwa segala tujuan
dapat ditetapkan sebelumnya, dengan
pengetahuan serta data-data atau
informasi yang lengkap dan disediakan.
Gaya kerja golongan aktor
rasionalis cenderung seperti gaya kerja
seorang perencana yang komprehensif,
yakni berusaha menganalisis semua
aspek dari setiap isu kebijakan publik
yang muncul.
Golongan teknisi, pada dasarnya
tidak lebih dari seorang rasionalis, sebab
ia adalah seorang yang karena bidang
keahliannya atau spesialisasinya
dilibatkan dalam proses tahapan
kebijakan. Golongan ini mempunyai
kebebasan dalam lingkup sebatas
pekerjaan dan keahliannya dan apapun
yang mereka bekerja dalam proyek yang
membutuhkan keahliannya dan apapun
yang mereka kerjakan ditetapkan oleh
pihak lain. Peran yang dimainkan dalam
hubungan ini adalah seorang spesialis
yang karena dibutuhkan tenaganya
untuk melaksanakan tugas tertentu.
Nilai-nilai yang diperjuangkan
adalah nilai-nilai yang berkait dengan
latar belakang pendidikan mereka, misal
sebagai insinyur elektro, ahli komputer
dan sebagainya. Di luar disiplinnya,
cenderung tidak percaya diri.
Golongan inkrementalis, Golongan
ini dapat dapat kita identikan dengan
pada politisi, sebagaiman kita ketahui
cenderung memiliki sikap kritis namun
acapkali tidak sabaran terhadap gaya
kerja para perencana dan teknisi,
walaupun mereka sebenarnya dalam
melangkah amat tergantung pada gaya
kerja pada teknisi dan perencana.
Golongan inkrementalis pada
umumnya meragukan bahwa sifat yang
komprehensif dan serba rasional itu
merupakan suatu yang mungkin dalam
dunia yang amat penuh dengan
ketidaksempurnaan. Golongan ini
memandang bahwa tahap-tahap
perkembangan kebijakan dan
implementasinya sebagai suatu
rangkaian proses penyesuaian yang terus
menerus terhadap hasil akhir dari suatu
tindakan.
Mereka cenderung hanya
melakukan perubahan-perubahan kecil
karena merasa bahwa informasi dan
pengetahuan yang kita miliki tidak akan
pernah mencukupi hasil untuk
menghasilkan suatu program kebijakan
yang lengkap. Nilai-nilai yang
diperjuangkan atau yang terkait dengan
metode atau pendekatan ini ialah hal-hal
yang berhubungan dengan masa lampau
atau hal-hal yang berhubungan dengan
terpeliharanya status-Quo dan kestabilan
sistemnya. Kebijakan apapun akan
cenderung dilihat sebagai suatu
perubahan yang terjadi sedikit demi
sedikit (Gradual changes).
Dalam hubungan ini tujuan
kebijakan dianggap sebagai
konsekwuensi dari adanya tuntutan-
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 334
tuntutan, baik karena didorong
kebutuhan untuk melakukan sesuatu
upaya yang baru atau yang sudah
dikembangkan dalam teori. Gaya
kerjanya dapat dikategorikan sebagai
orang yang mampu melaksanakan proses
tawar menawar atau bergaining dengan
secara teratur mendengarkan tuntutan,
menguji seberapa jauh intensitas
tuntutan tersebut dan menawarkan
kompromi.
Golongan reformis (pembaharu)
seperti halnya golongan inkrementalis
golongan ini juga mengakui adanya
keterbatasan dalam informasi dan
pengetahuan yang dibutuhkan dalam
proses kebijakan, sekalipun berbeda
dalam menarik kesimpulan. Golongan
inkrementalis berpendapat bahwa
keterbatasan mendikte gerak langkah
dalam proses pembuatan kebijakan.
Sedang golongan reformis
sependapat dengan padangan Easton
yang menyebutkan bahwa kita harus
menerima sebagai kebenaran-kebenaran
akan perlunya mengarahkan diri kita
langsung pada persoalan-persoalan yang
berlangsung pada hari ini untuk
memperoleh jawaban yang singkat dan
cepat, memanfaatkan perangkat analisis
dan teori-teori mutakhir yang tersedia,
betapapun tidak memadainya perangkat
tersebut.
Dengan demikian tekanan
perhatiannya adalah pada tindakan
sekarang karena urgensi dari persoalan
yang dihadapi. Pendekatan macam ini
umumnya dilakukan oleh para Lobbyst.
Nilai-nilai yang dijunjung tinggi ialah
yang berkaitan dengan upaya untuk
melakukan perubahan sosial. kadangkala
demi perubahan itu sendiri namun lebih
sering terpaut dengan kepentingan
kelompok tertentu.
Tujuan kebijakan umumnya
ditetapkan dalam lingkungan kelompok-
kelompok tersebut melalui bermacam-
macam proses, termasuk diantaranya
atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil
akhir dari tindakan pemerintah sekarang
telah melenceng arahnya bahkan gagal.
Karena itu gaya-gaya reformis ini
umumnya sangat radikal, kerapkali
disertai dengan tindakan-tindakan
demonstrasi dan konfrontasi dengan
pihak pemerintah.
Melihat perbedaan-perbedaan
perilaku empat golongan tersebut
Abdulwahab dalam buku Analisis
Kebijakan, Dari formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara,
menyebut bahwa seringkali satu sama
lain saling mengecam.
Golongan rasionalis sering dikecam
/ dikritik karena tidak memahami kodrat
manusia, Braybrooke dan Lindblom
sebagai penganjur teori inkrementalis,
menyatakan bahwa golongan aktor
rasionalis itu terlalu idealis, malahan
menyatakan bahwa golongan aktor
rasionalis itu terlalu idealistis, sehingga
tidak cocok dengan keterbatasan
kemampuan manusia dalam mengatasi
masalah. Sementara golongan aktor
teknisi kerapkali dituduh memiliki
pandangan yang picik karena peduli
terhadap masalah-masalah yang sempit
sebatas pada bidang keahlian semata dan
tidak perduli kepada masalah-masalah
publik yang luas, mungkin melampaui
bidang-bidang keahlian yang
dikuasainya.
Golongan inkrementalis di lain
pihak seringkali dianggap memiliki sikap
konservatif sebab mereka tidak terlalu
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
335 JAP Vol. 3 No. 2
tangap perubahan sosial yang lain.
akhirnya golongan aktor reformis
seringkali dituduh mau menangnya
sendiri, tidak sabaran, tidak kenal
kompromi dan karena ini tidak realistis.
Sedangkan Samudra Wibawa
(1987: ) membagi aktor kebijakan atau
kelompok kepentingan atau kekuatan
atau pihak yang mempengaruhi
kebijakan sebagai berikut: (1) Partai
politik, yang mengeluarkan resolusi, (2)
lembaga pendidikan atau kelompok
studi, (3) Kelompok kepentingan
(organisasi profesi), (4) Pers, (5) Opini
publik, (5) Perorangan ilmuan sosial, (6)
Lembaga internasional.
Besarnya peran partai politik dalam
proses kebijakan, juga dikemukakan
Hans Dieter Klingemann,dkk (2000 : 12).
Disebutkan, didalam proses kebijakan,
partai-patai menjalankan tugas yang
komplek dan saling berkaitan. Demokrasi
menurutnya bukanlah sekedar deskripsi
tentang bagaimana pemerintah dibentuk,
tetapi juga berkaitan dengan bagaimana
berfungsinya pemerintahan. Partai
terlibat dalam rekruitmen politik,
penyatuan dan pengungkapan beragam
kepentingan, komunikasi politik,
memobilisasi dan memperantai
partisipasi politik massa.
Di samping itu dari tubuh birokrasi
itu sendiri ada beberapa sumber
inspirasi bagi perumusan kebijakan
(yang berarti mempengaruhi pilihan
masalah kebijakan) :
a. Pejabat puncak dan para pegawai
bawahanya.
b. Karyawan-karyawan kantor atau
tenaga skill
c. Lembaga penelitian dan
pengembangan di tiap departemen.
d. Para menteri kabinet
e. Pegawai atau pejabat senior.
Dengan kata lain aktor yang ikut
mempengaruhi setiap kebijakan dengan
intensitas masing-masing adalah
lembaga ekskutif, legislatif, yudikatif dan
publik itu sendiri dengan berbagai
macam pengelompokan di dalamnya.
Model Sistem Dalam Formulasi
Kebijakan Publik
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa
proses formulasi suatu kebijakan publik
bukanlah suatu proses yang sederhana
tetapi merupakan proses yang sulit
karena banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi. Oleh sebab itu, beberapa
ahli mengembangkan model-model
perumusan kebijakan publik agar lebih
mudah dipahami. Thomas R Dye
merumuskan sembilan model formulasi
kebijakan, yaitu :
a. Model Kelembagaan ( Institusional)
b. Model Proses (Process)
c. Model Kelompok (Group)
d. Model Ellit ( Elite)
e. Model rasional ( Rational)
f. Model Inkremental (incremental)
g. Model Teori permainan (Game theory)
h. Model Pilihan Publik (public Choice)
i. Model Sistem (System)
Dalam Penelitian ini memilih Model
Sistem yang menurut hemat penulis lebih
cocok sebagaimana ditawarkan Paine
dan Naumes (1979) (dalam Budi
Winarno, 2002 : 70 - 72). Menurutnya,
model proses perumusan pembuatan
kebijakan merujuk pada model sistem
yang dikembangkan oleh David Easton.
Model ini merupakan model deskriptif
karena lebih berusaha menggambarkan
senyatanya yang terjadi dalam
pembuatan kebijakan, disusun hanya
berasal dari sudut pandang para
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 336
pembuat kebijakan. Para pembuat
kebijakan dilihat dari perannya dalam
perencanaan dan pengkoordinasian
untuk menemukan pemecahan masalah
yang akan ; (1). Menghitung kesempatan
dan meraih / menggunakan dukungan
internal dan eksternal, (2). Memuaskan
permintaan lingkungan, dan (3). Secara
khusus memuaskan keinginan /
kepentingannya itu sendiri.
Menurut model ini, kebijakan
merupakan hasil dari suatu sistem
politik. Konsep “ Sistem” itu sendiri,
menunjuk pada seperangkat lembaga
dan kegiatan yang dapat diidentifikasi
dalam masyarakat yang berfungsi
mengubah tuntutan-tuntutan (demands)
menjadi keputusan-keputusan yang
otoritatif. Konsep “sistem” juga
menunjukan adanya saling hubungan
antara elemen-elemen yang membangun
sistem politik serta mempunyai
kemampuan dalam menanggapi
kekuatan-kekuatan dalam
lingkungannya. Masukan-masukan
diterima oleh sistem politik dalam
bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.
Dengan bahasa lain dapat
digambarkan bahwa model sistem
sebagai interaksi yang terjadi antara
lingkungan dengan para pembuat
kebijakan dalam suatu proes yang
dinamis. Oleh Budi winarno (2002 : 71)
diasumsikan bahwa dalam pembuatan
kebijakan terjadi interaksi yang terbuka
dan dinamis antara pembuat kebijakan
dengan lingkungannya dalam bentuk
keluaran dan masukan ( inputs dan
outputs). Outputs yang dihasilkan oleh
organisasi pada akhirnya akan menjadi
bagian lingkungan dan seterusnya akan
berinteraksi dengan organisasi.
Dalam model sistem, kebijakan
politik dipandang sebagai tanggapan dari
suatu sistem politik terhadap tuntutan-
tuntutan yang timbul dari lingkungnnya
dimana hal tersebut merupakan kondisi
yang berada di luar batas-batas politik.
Sementara kekuatan-kekuatan yang
timbul dari dalam lingkungan dan
mempengaruhi sistem politik dipandang
sebagai inputs bagi sistem politik,
sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan
oleh sistem politik dan merupakan
tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan
tersebut dipandang sebagai outputs dari
sistem politik.
Tuntutan-tuntutan akan timbul
apabila individu atau kelompok dalam
sistem politik memainkan peran dalam
mempengaruhi kebijakan publik.
Kelompok-kelompok ini secara aktif
berusaha mempengaruhi kebijakan
publik. Sedangkan dukungan atau
support diberikan apabila individu-
individu atau kelompok - kelompok
menerima hasil-hasil pemilihan,
mematuhi undang-undang, membayar
pajak dan secara umum mematuhi
keputusan-keputusan kebijakan.
Model sistem menurut David
Easton (dalam Riant Nugroho D, (2003 :
134) diandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari sistem
politik. Seperti dipelajari dalam ilmu
politik, maka sistem politik terdiri dari
input, throughtput, dan output
sebagaimana pada Gambar 1 yang
diadopsi dari kerangka kerja sistem.
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
337 JAP Vol. 3 No. 2
Gambar 2 : Proses Perumusan Kebijakan
Model “Sistem”
Sumber : David Easton (dalam Riant
Nugroho D, (2003 : 134)
Seperti dikemukakan didepan,
kebijakan publik menurut model sistem
merupakan hasil dari suatu sistem
politik, dimana konsep “sistem” itu
sendiri menunjuk pada seperangkat
lembaga dan kegiatan yang dapat
diidentifikasi dalam masyarakat yang
berfungsi mengubah tuntutan- tuntuan
(Demands) menjadi keputusan-
keputusan yang otoritatif. Konsep
“sistem juga menunjukkan adanya saling
berhubungan antara elemen yang
membangun sistem politik dan
mempunyai kemampuan menanggapi
kekuatan-kekuatan dalam
lingkungannya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
Suparmoko (2001 : 26)
memberikan pengertian bahwa anggaran
adalah suatu alat perencanaan mengenai
pengeluaran dan penerimaan (atau
pendapatan) dimasa yang akan datang,
umumnya disusun untuk satu tahun.
Disamping itu disebutkan juga bahwa
anggaran merupakan alat kontrol atau
pengawasan terhadap pengeluaran
maupun pendapatan di amasa yang akan
datang.
Pengertian serupa juga
dikemukakan oleh Goedhart (dalam
Ratmoko, 1981:304) yang menyebutkan
bahwa istilah anggaran ( budget) negara
biasanya digunakan untuk menamai
perkiraan normatif dari semua
pengeluaran negara dan alat pembiayaan
untuk menutup peluaran mengenai
sesuatu jangka waktu tertentu dimasa
yang akan datang. George A. Steiner (
1979:215) memberikan pengertian
sebagai suatu metode untuk
mewujudkan perencanaan strategis
dalam kegiatan sehari-hari. Anggaran itu
mengetengahkan suatu standar untuk
koordinasi kegiatan dan merupakan
dasar untuk pengawasan pelaksanaan
kegiatan sehingga suatu kegiatan dapat
diketahui sesuai–tidaknya dengan
rencana yang ada. Menurutnya, anggaran
memiliki tiga fungsi secara bersamaan,
yaitu fungsi perencanaan, koordinasi dan
pengawasan. Seperti halnya Suparmoko ,
Steiner juga menyebutkan bahwa suatu
anggaran lazimnya diadakan untuk
waktu satu tahun, meskipun ada pula
anggaran yang berjangka waktu tiga
bulan, satu bulan bahkan hanya satu
minggu.
Howard M. Carlisle (dalam Libertus
Bruno Merep; 1995:12) menyebutkan
beberapa karakteristik anggaran yang
disebutnya sebagai The Significance of
Budgeting yaitu anggaran sebagai suatu
rencana yang seragam (uniform) yang
mencakup keseluruhan organisasi.
Dalam konteks ini anggaran diadakan
demi dapat dikoordinasikannya semua
usaha dalam rangka penggunaan
sumber-sumber daya; anggaran sebagai
dasar pemandu dan pembanding seluruh
dasar kegiatan operasi sepanjang
dinyatakan dalam suatu kesatuan uang;
Lingkungan
THROUGHPUT (atau sistem
politik)
Kebijakan OUTPUT
Tuntutan
INPUT
Dukungan
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 338
anggaran sbagai suatu landasan operasi
merupakan suatu efisiensi dan ddapat
dianggap sebagai bagian penilaian hasil
kegiatan.
Disisi lain Suparmoko ( 2000:48)
berpendapat bahwa anggaran pada
pokoknya harus mencerminkan politik
pengeluaran pemerintah yang rasionil
secara kualitatif maupun kwantitaiff
sehingga akan terlihat adanya
pertanggungjawaban atas pungutan
pajak dan pungutan lainnya oleh
pemerintah, misalnya untuk
memperlancar proses pembangunan
ekonomi; adanya hubungan yang erat
antara fasilitas penggunaan dana dan
penarikannya; adanya pola pengeluaran
pemerintah yang dapat dipakai sebagai
pertimbangan didalam menentukan pola
penerimaan pemerintah yang pada
akhirnya menentukan pula tingkat
distriibusi penghasilan dalam
perekonomian.
Dari beberapa pendapat tentang
anggaran tersebut, dapat dikemukakan
bahwa kelancaran roda pemerintahan
dan pembangunan akan ditentukan oleh
tujuan akhir yang ingin dicapai
disamping dana yang tersedia.
Sedangkan alokasi dana pemerintah
tercermin dalam anggaran yang disebut
dengan APBN / APBD.
Fungsi dan Manfaat Anggaran
Anggaran memiliki beberapa fungsi
utama (Mardiasmo,2003) yaitu :
1. Sebagai Alat Perencanaan.
Anggaran merupakan alat untuk
mencapai visi dan misi organsasi.
Anggaran digunakan untuk
merumuskan tujuan serta sasaran
kebijakan agar sesuai dengan visi
dan misi yang telah ditetapkan.
Kemudian untuk merencanakan
berbagai program dan kegiatan serta
merencanakan alternatif sumber
pembiayaan.
2. Alat Pengendalian.
Anggaran digunakan untuk
mengendalikan (membatasi
kekuasaan) eksekutif, mengawasi
kondisi keuangan dan pelaksanaan
operasional program karena
anggaran memberikan rencana detail
atas pendapatan (penerimaan) dan
pengeluaran pemerintah sehingga
pembelanjaan yang dilakukan dapat
diketahui dan
dipertanggungjawabkan kepada
publik.
3. Alat Kebijakan Fiskal.
Anggaran digunakan untuk
menstabilkan ekonomi dan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Melalui anggaran dapat diketahui
arah kebijakan fiscal pemerintah.
Anggaran juga digunakan untuk
mendorong, memfasilitasi dan
mengkoordinasikan kegiatan
ekonomi masyarakat sehingga dapat
mempercepat pertumbuhan
ekonomi.
4. Alat Politik.
Anggaran merupakan dokumen
public sebagai komitmen eksekutif
dan kesepakatan legislatif atas
penggunaan dana publik.
5. Alat Koordinasi dan Komunikasi.
Penyusunan anggaran memerlukan
koordinasi dan komunikasi dari
seluruh unit kerja sehingga apabila
terjadi inkonsistensi suatu unit kerja
dapat dideteksi secara cepat.
6. Alat Penilaian Kinerja.
Kinerja eksekutif akan dinilai
berdasarkan pencapaian target
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
339 JAP Vol. 3 No. 2
anggaran dan efisiensi pelaksanaan
anggaran.
7. Alat Motivasi.
Anggaran hendaknya bersifat
menantang tetapi dapat dicapai
(challenging but attainable) atau
menuntut tetapi dapat diwujudkan
(demanding but achiveable) sebagai
motivasi bagi seluruh pegawai agar
dapat bekerja secara ekonomis,
efektif dan efisien dalam mencapai
target dan tujuan organisasi.
Anggaran menjadi penting karena
beberapa alasan, yaitu :
1. Anggaran merupakan alat bagi
pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan social ekonomi,
menjamin kesinambungan dan
meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
2. Anggaran diperlukan karena adanya
kebutuhan dan keinginan
masyarakat yang tak terbatas dan
terus berkembang, sedangkan
sumber daya yang ada terbatas.
3. Anggaran diperlukan untuk
meyakinkan bahwa pemerintah
telah bertanggung jawab terhadap
rakyat. Dalam hal ini anggaran publik
merupakan instrumen pelaksanaan
akuntabilitas publik.
Perencanaan dan pengendalian
manajerial merupakan suatu proses
siklus yang berlanjut dan saling
berkesinambungan, sehingga salah satu
tahap akan terkait dengan tahap yang
lain dan terintegrasi dalam satu
organisasi. Jones dan Pendlebury (1996)
membagi proses perencanaan dan
pengendalian manajerial pada organisasi
sektor publik menjadi lima tahap, yaitu :
1. Perencanaan tujuan dan sasaran
dasar.
Merupakan proses perumusan tujuan
dasar dari organisasi yang
tergambarkan dengan visi dan misi
organisasi. Perencanaan ini dilakukan
diluar dari perencanaan operasional.
Perencanaan ini dirumuskan dan
disusun oleh manajemen tingkat atas
dan merupakan proses perencanaan
yang rumit dan pelik karena
menyangkut keberlangsungan
organisasi dan terkait dengan harapan
dan tujuan dasar organisasi.
2. Perencanaan operasional.
Merupakan perencanaan yang
dirumuskan dan disusun untuk
tercapainya tujuan dan sasaran dasar
organisasi.
3. Penganggaran.
Adalah proses penyusunan anggaran
untuk mendukung perencanaan
operasional yang telah disusun serta
untuk melaksanakan tujuan-tujuan
dan target-target organisasi dalam
jangka pendek (kegiatan operasional).
4. Pengendalian dan pengukuran.
Proses pengendalian, pengawasan
dan pengukuran atas anggaran yang
telah disepakati untuk dilaksanakan.
Merupakan proses pelaksanaan
tujuan-tujuan dan target-target jangka
pendek organisasi (kegiatan
operasional).
5. Pelaporan, analisis dan umpan balik
Merupakan proses akhir dari siklus
perencanaan dan pengendalian
manajerial. Terdiri atas proses
pelaporan hasil kegiatan operasional
yang telah dicapai selama periode
berlangsung, analisa atas seluruh
kegiatan yang telah dilaksanakan
maupun kegiatan yang gagal
dilaksanakan. Serta umpan balik
untuk pelaksanaan kegiatan periode
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 340
berlangsung ataupun periode
berikutnya.
Pengertian Keuangan Daerah (APBD)
Dalam pasal 1 PP No 105 tahun
2000 pengertian keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah
dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintahan yang dapat dinilai dengan
uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut, dalam
kerangka APBD. Pengertian keuangan
negara adalah semua hak dan kewajiban
negara serta segala sesuatu yang
berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban tersebut yang dapat dinilai
dengan uang (Revrisond Baswir,1999).
Bertolak dari pengertian keuangan
negara tersebut diatas, maka pengertian
keuangan daerah pada dasarnya sama
dengan pengertian keuangan negara
dimana “negara” dianalogikan dengan
“daerah”. Hanya saja dalam konteks ini
keuangan daerah adalah semua hak-hak
dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang. Demikian pula sesuatu
baik uang maupun barang yang dapat
menjadi kekayaan daerah berhubungan
dengan pelaksanaan hak-hak kewajiban
tersebut dan tentunya dalam batas-batas
kewenangan daerah (Ichsan, 1997)
Norma dan Prinsip-prinsip Anggaran
Berbasis Kinerja
1. Transparansi dan Akuntabilitas
Anggaran.
Transparansi tentang anggaran
merupakan salah satu persyaratan
untuk mewujudkan pemerintah yang
baik, bersih dan bertanggungjawab
(good governance). Sejalan dengan
“Code of good practice on fiscall
transparancy” yang diperkenalkan
oleh IMF, maka dalam proses
pengembangan wacana publik
sebagai salah satu instrumen control
pengelolaan anggaran daerah,
masyarakat perlu diberikan
keleluasaan untuk mengakses
informasi tentang kinerja dan
akuntabilitas anggaran. Oleh karena
itu anggaran harus mampu
memberikan informasi yang lengkap
akurat dan tepat waktu untuk
kepentingan masyarakat, pemerintah
daerah dan pemerintah pusat.
2. Disiplin Anggaran.
Struktur anggaran harus disususn dan
dilaksanakan secara konsisten dengan
berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat tanpa harus meninggalkan
keseimbangan antara pembiayaa
penyelenggaraan Pemerintah,
pembangunan dan pelayanan
masyarakat. Oleh karena itu anggaran
yang disusun harus berlandaskan
azas efesiensi, tepat guna dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pemilihan
dana harus didasarkan atas skala
priorotas yang telah ditetapkan,
terutama untuk program yang
ditujukan pada upaya peningkatan
pelayanan masyarakat, dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan
/proyek yang belum/tidak tersedia
kredit anggarannya serta tidak boleh
melebihi kredit plafon anggaran yang
telah ditetapkan.
3. Keadilan Anggaran.
Pembiayaan pemerintah dilakukan
melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang dipikul oleh segenap
masyarakat. Untuk itu pemerintah
wajib mengalokasikan penggunaannya
secara adil agar dapat dinikmati oleh
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
341 JAP Vol. 3 No. 2
seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi dalam pemberian
pelayana. Penetapan besarny pajak
dan retribusi harus mampu
menggambarkan nilai-nilai rasional
yang transparan dalam menentukan
tingkat pelayanan bagi masyarakat.
4. Efesiensi dan efektifitas Anggaran.
Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimal guna kepentingan
masyarakat. Oleh karenanya, dalam
penyusunan anggaran harus
memperhatikan tingkat efisiensi
alokasi dan efektivitas kegiatan dalam
pencapaian tujuan dan sasaran yang
jelas.
5. Format Anggaran.
Pada dasarnya anggaran disusun
berdasarkan anggaran defisit (deficit
budget format). Selisih antara
pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus dan
defisit anggaran. Apabila terjadi
surplus dapat membentuk dana
cadangan, sedangkan apabila defisit
dapat ditutupi melalui sumber
pembiayaan pinjaman dan atau
penerbitan obligasi sesuai ketentuan
perundang–undangan yang berlaku.
Pendekatan Dalam Proses Anggaran
Pendekatan dalam proses
penganggaran adalah suatu cara atau
metode yang ditempuh dalam
menyiapkan, merumuskan, dan
menyusun anggaran. Dalam pendekatan
ini akan tergambar arah atau arus dari
proses persiapan, perumusan dan
penyusunan anggaran, akan tergambar
pula mengenai asal atau sumber inisiatif
dan kearah mana inisiatif tersebut
dilaksanakan.
Top Down Approach
Adalah rencana, program maupun
anggaran ditentukan sepenuhnya oleh
unit kerja yang tertinggi tingkatannya,
sedangkan unit–unit kerja dibawahnya
hanya sekedar melaksanakan, tanpa
mempertimbangkan usulan dari unit
kerja dibawahnya. Kebaikan pendekatan
ini koordinasi dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kerja akan lebih mudah dan
lebih cepat dilakukan karena disusun
oleh pihak- pihak yang melakukan
koordinasi dan pengawasan.
Kelemahannya adalah unit kerja
yang tertinggi sering kali tidak dapat
merumuskan rencana anggaran atau
rencana kerja yang benar-benar
memenuhi keinginan dan kebutuhan unit
kerja yang lebih rendah, sehingga akan
sulit untuk dilaksanakan.
Bottom-Up Approach
Pada pendekatan ini cara atau
metode yang digunakan dalam
mempersiapkan, merencanakan dan
merumuskan anggaran dimulai dari
tingkat/jenjang organisasi terbawah
mengarah secara hirarki ke
tingkat/jenjang yang lebih tinggi.
Kebaikan dari anggaran ini adalah
bahwa rencana kerja yang diusulkan
oleh unit kerja terbawah
menggambarkan keinginan dan
kebutuhan yang nyata (realistik).
Kelemahan dari pendekatan
bottom-up ini adalah seringkali terjadi
bahwa unit kerja terkecil/terbawah
mempunyai kemampuan yang berbeda–
beda dalam menyusun rencana kerja
sehingga mutu hasil rencana bervariasi
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 342
dan kadang sulit untuk berkoordinasi
sehingga waktu penyusunan menjadi
lebih lama. Kelemahan lainnya dimana
usulan rencana kerja dengan beban
rencana yang sangat tinggi sementara
dana sangat terbatas sehingga tidak
dapat dibiayai, hal ini menimbulkan
kekecewaan dan apatisme di kalangan
unit–unit yang mengusulkan.
Mixture Approach
Pendekatan ini merupakan
penggabungan antara pendekatan Top
Down dan Pendekatan Bottom-Up yang
dilaksanakan secara bersama–sama oleh
semua level dalam organisasi dalam
penyusunan dan perumusan yang
sejelas– jelasnya. Unit kerja diatas
cukup mengawasi dan mengendalikan
penyusunan rencana dan program sesuai
dengan pedoman yang telah digariskan.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan dari
pendekatan Top Down ataupun Bottom-
Up dengan harapan akan memberikan
hasil yang paling baik.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif, dengan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan induktif. Metode
pengumpulan data yang dilakukan
adalah melalui wawancara Informan
utama terdiri dari yaitu: Kepala SKPD,
Kepala Tata Usaha, Kepala Bidang,
Kepala Sub Bidang, Sekretaris SKPD dan
Staf SKPD. Serta Informan pendukung
terdiri dari: pengguna anggaran
(pimpinan unit kerja), pemegang kas.
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Sehubungan dengan ditetapkannya
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, maka dalam rangka mewujudkan
akuntabilitas dan transparansi di
lingkungan pemerintah daerah dalam hal
pengelolaan keuangan daerah, maka
dituntut untuk menyusun Perencanaan
Pengelolaan Keuangan Daerah melalui
RKA dan DPA. Dokumen tersebut
disusun serta disampaikan dalam
laporan pertanggung jawaban
pengelolaan keuangan dengan cakupan
yang lebih luas dan tepat waktu.
Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, menjabarkan lebih
rinci komponen laporan keuangan yang
wajib disusun dan disampaikan oleh
setiap tingkatan pengguna anggaran,
pengelola perbendaharaan serta
pemerintah daerah.
Proses Penyusunan Anggaran
Pendapatan Daerah Di Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatera Utara
Analisa dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui proses
penyusunan Anggaran Pendapatan
Daerah di Dinas Pendidikan Provinsi
Sumatera Utara yang dimulai dari
penyusunan anggaran dengan cara
mendeskripsikan keadaan yang nyata
terjadi serta pandangan teori yang
terkait.
Permendagri No.13 Tahun 2006
yang merupakan penjabaran PP No. 58
Tahun 2005 telah mengatur secara rinci
mekanisme, proses,dan procedure
penyusunan penganggaran tahunan
daerah, termasuk di dalamnyaRKPD,
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
343 JAP Vol. 3 No. 2
KUA, PPAS, RKA-SKPD, RAPBD, dan
APBD. Mengingat RPJMD dan Renstra
SKPD perlu sedemikian rupa sehingga
mudah diterjemahkan ke dalam rencana
dan penganggaran tahunan daerah yang
diatur dalam Permendagri No. 13Tahun
2006. Hal ini juga bermakna bahwa
RPJMD dan Renstra SKPD harus
mencerminkan kerangka penganggaran
yang diatur dalam Permendagri tersebut.
Untuk itu, renstra SKPD perlu
menggunakan kerangka fungsi, urusan
wajib, dan urusan pilihan pemerintah
daerah dalam menganalisis isu strategis,
merumuskan strategi, kebijakan, dan
menetapkan prioritas programnya,
setiap program perlu mempunyai tolok
ukur dan trget kinerja capaian program
yang jelas.
Untuk mengimplementasikan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,
khususnya yang terkait penyusunan
laporan anggaran dan penatausahaan
anggaran SKPD, yang mencakup
beberapa aspek penting dalam
pengelolaan anggaran.
I. a. Penyusunan RKA meliputi :
1. Menyusun rancangan APBD dan
Kebijakan Umum APBD secara
perioritas dan plafon anggaran.
2. Rencana kerja pemerintah
daerah.
3. Kebijakan Umum APBD serta
perioritas dan plafon anggaran
sementara.
4. Menyusun rencana kerja dan
anggaran SKPD
5. Rencana Kerja dan Anggaran
SKPD.
b. Pelaksanaan APBD dan dokumen
pelaksanaan anggaran (DPA)
1. Asas Umum Pelaksanaan APBD
2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran
(DPA) SKPD
3. Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
4. Kebijakan umum perioritas dan
plafon anggaran perubahan
APBD.
II. a. Penatausahaan Keuangan Daerah
1. Asas umum penatausahaan
keuangan daerah
2. Pelaksanaan piñata usahaan
keuangan daerah
3. Penata usahaan penerimaan
4. Penata usahaan pembayaran
5. Permintaan dan prosedur
pembayaran
6. Permintaan membayar dan
pencairan dana
7. Pertanggungjawaban
penggunaan dana.
b. Laporan Keuangan pada SKPD
1. Laporan Realisasi Anggaran
SKPD
2. Neraca SKPD
3. Catatatn Atas Laporan Keuangan
SKPD
III.Sistem Akuntansi Keuangan SKPD
1. Proses akuntasi penerimaan kas
pada SKPD
2. Prosedur akuntansi pengeluaran
kas pada SKPD
3. Prosedur akuntansi selain kas
pada SKPD
Kebijakan tersebut merupakan
landasan bagi penyelenggaraan kegiatan
akuntasi mulai dari satuan kerja
pengguna anggaran, peenyusunan
laporan keuangan oleh entitas pelaporan
dan penyajiannya kepada BPK untuk di
audit, hingga penyampaian rancangan
peraturan tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 344
Penyusunan Rancangan APBD
Proses perencanaan dan
penyusunan APBD, mengacu pada PP
Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, secara
garis besar sebagai berikut: (1)
penyusunan rencana kerja pemerintah
daerah; (2) penyusunan rancangan
kebijakan umum anggaran; (3)
penetapan prioritas dan plafon anggaran
sementara; (4) penyusunan rencana
kerja dan anggaran SKPD; (5)
penyusunan rancangan perda APBD; dan
(6) penetapan APBD. Dalam gambar,
tahapan penyusunan rancangan APBD
terlihat sebagai berikut:
Gambar 4
Tahapan Penyusunan Rancangan
APBD
1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah
Penyusunan APBD didasarkan pada
perencanaan yang sudah ditetapkan
terlebih dahulu, mengenai program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan. Bila
dilihat dari perspektif waktunya,
perencanaan di tingkat pemerintah
daerah dibagi menjadi tiga kategori
yaitu: Rencana Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) merupakan perencanaan
pemerintah daerah untuk periode 20
tahun; Rencana Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) merupakan perencanaan
pemerintah daerah untuk periode 5
tahun; dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) merupakan perencanaan
tahunan daerah. Sedangkan perencanaan
di tingkat SKPD terdiri dari: Rencana
Strategi (Renstra) SKPD merupakan
rencana untuk periode 5 tahun; dan
Rencana Kerja (Renja) SKPD merupakan
rencana kerja tahunan SKPD.
Proses penyusunan perencanaan di
tingkat satker dan pemda dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. SKPD menyusun rencana strategis
(Renstra-SKPD) yang memuat visi,
misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan
yang bersifat indikatif sesuai dengan
tugas dan fungsinya masing-masing.
b. Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud
berpedoman pada rencana
pembangunan jangka menengah
daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah
kebijakan keuangan daerah, strategi
pembangunan daerah, kebijakan
umum, dan program SKPD, lintas
SKPD, dan program kewilayahan.
c. Pemda menyusun rencana kerja
pemerintah daerah (RKPD) yang
merupakan penjabaran dari RPJMD
dengan menggunakan bahan dari
Renja SKPD untuk jangka waktu satu
tahun yang mengacu kepada Renja
Pemerintah.
d. Renja SKPD merupakan penjabaran
dari Renstra SKPD yang disusun
berdasarkan evaluasi pencapaian
Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD)
Kebijakan Umum APBD
Prioritas Plafon Anggaran
Sementara
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
(RKA-SKPD)
Rancangan Perda APBD
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
345 JAP Vol. 3 No. 2
pelaksanaan program dan kegiatan
tahun-tahun sebelumnya.
e. RKPD memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas,
pembangunan dan kewajiban daerah,
rencana kerja yang terukur dan
pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemda
maupun ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.
f. Kewajiban daerah sebagaimana
dimaksud di atas adalah
mempertimbangkan prestasi capaian
standar pelayanan minimal sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan.
g. RKPD disusun untuk menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan.
h. Penyusunan RKPD diselesaikan
selambat-lambatnya akhir bulan Mei
tahun anggaran sebelumnya.
i. RKPD ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah.
2. Kebijakan Umum APBD serta
Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara (PPAS)
Suatu jembatan antara proses
perumusan kebijakan dan penganggaran
merupakan hal penting dan mendasar
agar kebijakan menjadi realitas dan
bukannya hanya sekedar harapan. Untuk
tujuan ini harus ditetapkan setidaknya
dua aturan yang jelas:
a. Implikasi dari perubahan kebijakan
(kebijakan yang diusulkan) terhadap
sumber daya harus dapat
diidentifikasi, meskipun dalam
estimasi yang kasar, sebelum
kebijakan ditetapkan. Suatu entitas
yang mengajukan kebijakan baru
harus dapat menghitung pengaruhnya
terhadap pengeluaran publik, baik
pengaruhnya terhadap pengeluaran
sendiri maupun terhadap departemen
pemerintah yang lain. Semua proposal
harus dibicarakan/dikonsultasikan
dan dikoordinasikan dengan para
pihak terkait: Ketua TAPD, Kepala
Bappeda dan Kepala SKPD.
b. Dalam proses penyusunan anggaran,
tim anggaran pemerintah daerah
(TAPD) harus bekerjasama dengan
baik dengan satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) untuk menjamin
bahwa anggaran disiapkan dalam
koridor kebijakan yang sudah
ditetapkan (KUA dan PPAS); dan
menjamin semua stakeholders terlibat
dalam proses penganggaran sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
c. Konsultasi dapat memperkuat
legislatif untuk menelaah strategi
pemerintah dan anggaran. Dengan
pendapat antara legislatif dan
pemerintah, demikian juga dengan
adanya tekanan dari masyarakat,
dapat memberi mekanisme yang
efektif untuk mengkonsultasikan
secara luas kebijakan yang terbaik.
Pemerintah harus berusaha untuk
mengambil umpan balik atas
kebijakan dan pelaksanaan
anggarannya dari masyarakat,
misalnya melalui survey, evaluasi,
seminar, dsb. Akan tetapi, proses
penyusunan anggaran harus
menghindari tekanan yang berlebihan
dari pihak-pihak yang berkepentingan
dan para pelobi, agar penyusunan
anggaran dapat diselesaikan tepat
waktu
Kelemahan dalam proses
penganggaran selama ini seperti yang
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 346
terjadi di Sumatera Utara, dapat dilihat
dari sisi proses politik dan kelembagaan.
Proses penyusunan APBD selalu
dilandasi oleh tiga asumsi dasar yaitu: 1)
memandang proses penyusunan APBD
sebagai proses dalam menjalankan
manajemen pemerintahan, 2) birokrat
penyusun APBD dianggap tidak
mempunyai kepentingan pribadi dan
karenanya segala pertimbangannya
dalam penyusunan APBD dianggap
mewakili kepentingan umum, dan 3)
memandang bahwa suara rakyat telah
terwakili oleh lembaga representasi yang
telah ada. Asumsi ini tentu saja jarang
dikemukakan di depan publik. Tetapi
sebagaimana akan dikemukakan dalam
praktek, ketiga asumsi ini dianut DPRD
dan pemerintah pada tingkat kognisi dan
berpengaruh dalam proses penyusunan
APBD. Sehingga, persoalan partisipasi
masyarakat, dan keadilan cenderung
terabaikan.
Dengan memandang APBD sebagai
proses manajemen pemerintahan maka
proses penyusunan APBD dianggap
sebagai proses administrasi
pemerintahan. Dengan demikian
persoalan yang muncul direspon dalam
kerangka administrasi dan manajerial.
Lebih jauh, mengutip M. Gottdiener
(1987), pandangan secara lebih luas
berarti memandang seluruh persoalan
negara sebagai masalah manajerial (state
managerialism). Padahal, sebagaimana
dikemukakan diatas, APBD merupakan
instrumen fiskal. Sebagai instrumen
fiskal, maka APBD seharusnya
mencerminkan pilihan publik mengenai
apa dan berapa warga harus membayar
pajak dan retribusi untuk pelayanan
langsung dari pemerintah (dari sisi
penerimaan) dan berapa besar
pemerintah mengalokasikan belanja
untuk kepentingan publik (dari segi
belanja).
Kedua proses ini, seharusnya
melewati proses politik yang melibatkan
partisipasi aktif dari masyarakat warga.
Asumsi kedua, menganggap birokrat
penyusun APBD tidak punya kepentingan
pribadi dan karenanya seluruh
pertimbangannya dalam penyusunan
APBD adalah rasional dan berorientasi
pada kepentingan publik. Pandangan ini
dikukuhkan dengan berbagai standard
normatif kepegawaian yang menyatakan
bahwa pejabat/pegawai negeri adalah
‘abdi negara’ dan ‘abdi masyarakat’.
Pandangan ini telah dibantah oleh
beberapa studi yang menunjukkan
bahwa negara dengan biro-bironya
bukanlah sebuah entitas yang netral
dalam kerangka interaksi antar
stakeholder dalam pembangunan.
Menurut Niskanen (1971) birokrat
sebagaimana juga dengan orang lain,
adalah pihak yang memaksimumkan
kepuasannya, yaitu gaji, jumlah
karyawan, reputasi dan status sosialnya.
Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan
dengan besarnya anggaran, maka
seorang birokrat yang berusaha
mencapai kepuasan maksimum berarti
pula ia merupakan orang yang
memaksimumkan anggaran pemerintah.
Maksimisasi anggaran ini dapat dilihat
dari kecenderungan birokrasi untuk
memperbesar anggaran. Birokrasi
memperbesar anggaran dengan dua cara
yaitu melakukan ekspansi birokrasi dan
memaksimumkan pemborosan
(McKenzie, 1984).
Ekspansi birokrasi dilakukan
dengan cara memperbesar organisasi,
memperbanyak prosedur, dan
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
347 JAP Vol. 3 No. 2
memasukkan kegiatan yang dapat
disediakan pasar menjadi kegiatan yang
dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan
pemborosan dilakukan dengan cara
memperbesar biaya per-unit pelayanan,
memperbanyak perjalanan, dan
menambah jumlah pegawai untuk
menjalankan fungsi pelayanan umum.
Selain itu, birokrat juga seringkali
melakukan praktek rent seeking. Praktek
rent seeking merupakan hal yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan sektor
publik karena praktek tersebut
merupakan alat yang digunakan oleh
kelompok tertentu (vested interest
group) untuk memaksimumkan
kepentingan pribadi dan kelompoknya di
sektor yang sebenarnya merupakan
domain publik (Paul, 1991)
Asumsi ketiga memandang suara
rakyat terwakili oleh lembaga
representasi yang telah ada. Pemerintah
menganggap DPRD merupakan lembaga
representasi di tingkat Daerah/Kota
sedangkan di tingkat komunitas aspirasi
warga telah direpresantasikan oleh
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Kelurahan/desa (LPMK/D) atau Badan
perwakilan Desa (BPD). Dengan
mengikutsertakan kedua lembaga
tersebut pemerintah merasa sudah
mengikutsertakan seluruh komponen
masyarakat. Sekali lagi, asumsi ini layak
dipertanyakan. DPRD memang
mencerminkan representasi masyarakat
warga pada tataran politik. Tetapi
keberadaan DPRD sebagai representasi
politik tidak lantas menyisihkan
pelibatan berbagai komponen
masyarakat warga dan organisasi profesi
dalam proses perencanaan.
Sedangkan keberadaan LPMK/D
atau BPD sebagai representasi warga
layak dipertanyakan. Hal ini dikarenakan
LPMK/D merupakan lembaga yang
diinisiasi oleh pemerintah untuk
mendukung berbagai program
pemerintah. Dengan kata lain,
kelembagaan representasi yang
dilibatkan dalam proses penyusunan
APBD masih merupakan cerminan dari
tatanan kelembagaan di Indonesia yang,
meminjam terminologi G.O’Donnell dan
Muchtar Mas’ud, masih merupakan
negara birokratik (bureaucratic state)
dan koorporatis (coorporatestate). Dalam
tatanan ini birokrasi sebagai instrumen
negara merupakan kekuatan dominan
yang tidak hanya relatif mandiri
berhadapan dengan elit politik dan
masyarakat sipil, tetapi menjadi
kekuatan dominan yang mampu
mengatasi keduanya. Para birokrat
memainkan peran sebagai poros
pemerintahan yang mengatur,
mengintervensi, dan mengendalikan
segala segi kehidupan masyarakat.
Birokrasi pemerintahan juga beroperasi
sebagaimana organisasi perusahaan
dimana setiap elemen sosial dan
kenegaraan dikontrol dan diarahkan
untuk memenuhi tujuan yang telah
ditetapkan.
Dengan landasan asumsi yang
goyah, maka dapat dipastikan akan
menyebabkan berbagai distorsi dalam
APBD. Sebagai konsekwensinya, secara
konseptual distorsi yang terjadi dapat
berupa: pemborosan anggaran untuk
kepentingan birokrasi, alokasi anggaran
yang tidak sesuai dengan kebutuhan,
tertutupnya akses terhadap informasi
anggaran, rendahnya tingkat
akuntabilitas pengelolaan keuangan
daerah dan lain-lain.
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
JAP Vol. 3 No. 2 348
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan analisis
data, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dalam proses Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), belum sepenuhnya
mencerminkan kondisi yang ada,
dimana arah dan kebijakan umum
anggaran lebih didominasi oleh
kepentingan atasan.
2. Persoalan mendasar dalam proses
penyusunan anggaran pendapatan
dan belanja daerah pada Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatera Utara
masih ada indikasi tarik menarik
kepentingan eksekuti dengan
legislative, serta kesiapan SKPD dalam
penatausahaan, pelaporan dan
pertanggung jawaban dan perangkat
aturan yang berubah-ubah
mengakibatkan perlu pemahaman
secara mendasar tentang teknis
penyusunan anggaran yang baru..
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas,
maka saran-saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut :
1. Penyusunan APBD di era otonomi
daerah dan desentrasisali keuangan
harus berorientasi kepada
kepentingan public dan menggunakan
pendekatan kinerja sesuai dengan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.
2. Pengalokasian anggaran harus sesuai
dengan perioritas dan tututan
masyarakat, dimana anggaran harus
benar-benar digunakan untuk
melaksanakan kegiatan yang perlu.
Dalam menyusun anggaran belanja
rutin perlu adanya standarisasi
anggaran dan perioritas pada masing-
masing SKPD, sehingga dana yang
digunakan masing-masing unit kerja
bisa mencukupi untuk menjalan
kegiatannya.
3. Perlu adanya sosialisasi yang
dijadikan acuan baku dalam
penyusunan anggaran, agar SKPD
dapat melakukan kerjanya harus
benar-benar sehingga terhindar dari
proyek-proyek titipan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim (editor), Bunga Rampai
Manajemen Keuangan Daerah (revisi), UPP. AMP YKPN, Yogyakarta, 2001.
--------, Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Akuntansi Dan pengendalian Keuangan Daerah, UPP. AMP YKPN, Yogyakarta, 2002.
Eddi Wibowo,Tomo HS,dan Hesel Nogi S. Tangkilisan, Memahami Good Governance dan Good Corporate Governance, YPPAI, Yogyakarta,2004.
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusuna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Jakarta,2002.
Jones,Rowan and Maurice Pendlebury, Public
Sector Accounting 5th
edition, Pitman Publishing, London, 2000.
Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Andi, Yogyakarta , 2002.
--------, Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, Andi, Yogyakarta,2002
.--------, Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah : Implementasi Value for Money Audit Sebagai Antisipasi Terhadap Tuntutan Akuntabilitas publik, JAAI,2000 63-82 .
--------,Sopanah, Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, Proceding Simposium Nasional Akuntansi VI , 2003 1160-1173
Revvisoynd Baswir, Akuntansi Pemerintahan,
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal
349 JAP Vol. 3 No. 2
Edisi Tiga BPFE,Yogyakarta,1999. Republik Indonesia, Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung ,2001.
--------, Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung ,2004.
--------, Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Citra Umbara, Bandung 2004.
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung, 2004.
Abdul Wahab, Sholihin, Edisi Kedua 2003, Analisis Kebijakan dari Fomulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta
Charles E Lindblom, 1986, Proses Penetapan Kebijakan (alih Bahasa : Ardian Syamsudin), Erlangga, Jakarta.
Dieter Klingemann Hans, Richard I. Hofferbert,Budge Ian, 2000, Partai Kebijakan dan Demokrasi ( terjemahan : Sigit Jatmika),Jentera & Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Dunn, William,2000, Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada Pers, Yogyakarta.
Islami,Irfan, 2002,Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta
Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung
Milles dan Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, Universitas Indonesia Pers, Jakarta
Nazir Moh,1988, Metode Penelitian,Ghalia Indonsia, Jakarta
Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, PT Elex Media Komando, Jakarta
Singarimbun Masri dan Effendi Sofian, Metodologi Penelitian Survai, LP3ES Jakarta, 1989.
Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung
Suparmoko,M, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Andi , Yogyakarta
Suparmoko,M, 2000, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyarta
Sutopo,H.,1988, Pengantar Penelitian Kualitif, Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Thaib Dahlan, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, 2002.
Wibawa, Samoedra, 1987, Analisis Kebijakan Publik, Intermedia, Yogyakarta
Winarno Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Presindo,Yogyakarta
……………,2000, Otonomi Daerah : Desentralisasi Pemerintahan sebagai Tuntutan demokrasi Politik dan Ekonomi yang berkeadilan, Jurnal Studi Pembangunan Inter-disiplin No. 3, tahun 2000
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No. 25 tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah