Analisis Perda Bermasalah

download Analisis Perda Bermasalah

of 96

Transcript of Analisis Perda Bermasalah

  • ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 23 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN METODE RIA (REGULATORY IMPACT ASSESSMENT)

    SATRIO ANINDITO H14104127

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

    1

  • RINGKASAN

    SATRIO ANINDITO. Analisis Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 1998 Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek dengan Metode RIA (Regulatory Impact Assessment). (Dibimbing oleh HENNY REINHARDT). Semenjak otonomi daerah dicanangkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dirubah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 35 Tahun 2004, iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan hukum dan administrasi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk mengatur dan mengadministrasikan perdagangan dan industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha.

    Pada tahun pertama desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia telah mengeluarkan ratusan Perda yang menerapkan pengenaan pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Akibat yang dihasilkan dari penerbitan regulasi demi regulasi pun menimbulkan masalah. Ini dapat terlihat dari perjalanan satu tahun saja dari kebijakan otonomi daerah diduga 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya bermasalah (Hardjasoemantri, 2003). Perda-perda bermasalah tersebut diantaranya telah dipertimbangkan untuk dicabut.

    Walaupun otonomi daerah memberikan harapan besar bagi perubahan daerah tetapi dinamika pelaksanaan otonomi itu sendiri sebenarnya tidak lepas dari tantangan dan permasalahan. Sebagai contoh Kabupaten Bogor, pemerintah daerah Kabupaten Bogor telah menginventaris perda-perda yang masih berlaku yang seharusnya sudah di revisi atau dicabut sebanyak 31 perda (Setwilda Kabupaten Bogor, 2007). Perda Nomor 23 Tahun 1998 Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek merupakan studi kasus yang akan diangkat dalam tulisan ini yang merupakan satu dari sekian kebijakan yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

    Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi permasalahan substansial dan prinsipil Perda Nomor 23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek dalam implementasi pada tataran kebijakan publik. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan metode RIA (Regulatory Impact Analysis) sebagai masukan untuk memperbaiki Perda No 23 tahun 1998, serta turut memberikan alternatif pemecahan masalah dalam Perda tersebut. RIA (Regulatory Impact Assessment) adalah metode yang secara sistematis dan konsisten mengkaji pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah, mengomunikasikan informasi kepada para pengambil keputusan. Metode RIA memiliki 7 tahapan review regulasi yaitu: perumusan masalah, identifikasi tujuan, identifikasi alternatif, analisis manfaat dan biaya, komunikasi dengan stakeholders, penentuan opsi terbaik, perumusan strategi implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi sampai dengan tahap penentuan alternatif terbaik

    Hasil penelitian menunjukkan pada tahap perumusan masalah, masalah berpangkal pada Ketidakteraturan dalam kegiatan usaha angkutan penumpang (trayek). Hal ini disebabkan oleh kurangnya partisipasi pengusaha angkutan pada

    2

  • implementasi perda dan kurangnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari aparatur dalam implementasi perda. Sedangkan review regulasi mempunyai tujuan yaitu teraturnya kegiatan usaha angkutan penumpang (trayek). Hal ini merupakan hasil dari meningkatnya partisipasi pengusaha angkutan pada implementasi perda dan meningkatnya fungsi pengawasan dan pengendalian dari aparatur dalam implementasi perda Melihat perumusan masalah dan identifikasi tujuan dari Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek penulis dapat merumuskan 3 alternatif opsi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada sehingga tujuan review regulasi tercapai. Alternatif-alternatif tersebut diantaranya adalah: (a) Do nothing (tidak melakukan apa-apa), (b) Revisi Perda No 23 Tahun 1998 tentang retribusi Izin Trayek yang disesuaikan dengan revisi atau perubahan beberapa peraturan dan melakukan sosialisasi terhadap perda tersebut, (c) Tindakan non regulasi berupa penertiban yang melayani rute jalan Kabupaten Bogor wilayah Bogor Barat,Tengah, dan Timur. Setelah alternatif teriidentifikasi, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis manfaat dan biaya untuk masing-masing opsi dari sudut padang setiap stakeholders. Tahap konsultasi publik pada analisis Perda no 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa pihak yaitu pihak Dinas Perhubungan, Bappeda, Setwilda bagian hukum, dan pengusaha angkutan di Kabupaten Bogor.

    Mengacu pada analisis manfaat dan biaya yang muncul pada opsi kedua, baik bagi sisi pamerintah dan pengusaha angkot, maka dapat diketahui manfaat yang diperoleh adalah : (1) dasar hukum Perda menjadi relevan dengan prinsip dasar regulasi, (2) kesadaran, penegakan dan kepastian hukum, bagi pihak subjek dan objek hukum semakin meningkat, (3) terciptanya standar pelayanan administrasi yang baik, (4) bertambahnya jumlah PAD yang diperoleh dari retribusi, dan (5) terciptanya persaingan usaha yang sehat di antara pengusaha angkot. Selain itu opsi kedua akan memberikan net present value sebesar 63,658 miliar rupiah atau 531,784 juta rupiah lebih tinggi dari opsi ketiga.Sedangkan di sisi biaya, cenderung bersifat teknis, yaitu dibutuhkannya anggaran biaya yang dialokasikan guna proses sosialisasi dan penyuluhan, agar perda yang baru dapat secara efektif dan efisien sampai pada masyarakat.

    Oleh karena itu, studi ini menentukan bahwa opsi kedua adalah opsi terbaik dengan beragam manfaat yang kualitatif dan juga biaya sedikit yang cenderung dibutuhkan secara teknis saja. Hal tersebut pula yang diajukan sebagai saran dalam studi ini. Dari hasil wawancara peneliti dengan para pihak terkait pun menunjukkan bahwa opsi tersebut merupakan salah satu upaya terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki sebuah sistem regulasi dan bentuk penerapannya.

    Melalui metode RIA dan tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan dalam studi ini, maka perlu digarisbawahi bahwa otonomi daerah berkaitan dengan proses penerapan regulasi di setiap daerah. Namum ada kalanya regulasi dan penerapannya ternyata masih bermasalah. Oleh karena itu studi RIA dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan untuk memperbaiki dan merevisi regulasi tanpa mengubah secara keseluruhan sistematika yang telah ada, namun dikaji sesuai dengan kebutuhan yang proporsional.

    3

  • ANALISIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 23 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN METODE RIA (REGULATORY IMPACT ASSESSMENT)

    SATRIO ANINDITO H14104127

    Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

    pada Departemen Ilmu Ekonomi

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

    4

  • DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    Dengan ini menyatakan bahwa proposal penelitian yang disusun oleh:

    Nama Mahasiswa : Satrio Anindito

    Nomor Registrasi Pokok : H14104127

    Program Studi : Ilmu Ekonomi

    Judul Skripsi : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Bogor

    No 23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin

    Trayek dengan Metode RIA (Regulatory Impact

    Assessment)

    dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

    Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian

    Bogor.

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing

    Henny Reinhardt, SP, M.Sc

    NIP: 132 321 419

    Mengetahui,

    Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

    Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS

    NIP: 131 846 872

    5

  • Tanggal Kelulusan :

    PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

    BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH

    DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA

    PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

    Bogor, Mei 2008

    Satrio Anindito

    H14104127

    6

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama Satrio Anindito lahir pada tanggal 20 November 1986 di

    Jakarta. Penulis anak terakhir dari 4 bersaudara, dari pasangan dr. Waloejo Djati

    dan dr. Manggarsasi Arum Wardhani. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa

    hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Beji I Depok, kemudian

    melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Depok dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang

    sama penulis diterima di SMUN 1 Depok dan lulus pada tahun 2004.

    Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang universitas di

    Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis masuk IPB melalui jalur Seleksi

    Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa

    Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama

    menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kepanitiaan acara kemahasiswaan di

    lingkungan IPB. Pada tahun 2006 penulis mengikuti lomba esai ekonomi yang

    dilaksanakan oleh HIPOTESA FEM IPB dan memenangkan juara III. Untuk

    menambah pengetahuan tentang metode Regulatory Impact Assessment (RIA)

    yang menjadi alat analisis pada skripsi ini, penulis mengikuti pelatihan metode

    RIA di Bappeda Kabupaten Bogor pada tahun 2007.

    7

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR ISI........................................................................................... vi

    DAFTAR TABEL................................................................................... vii

    DAFTAR GAMBAR .............................................................................. viii

    DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... ix

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1

    1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 8

    1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 9

    1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................. 9

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Reformasi Regulasi .................................................................... 11

    2.2. Retribusi Daerah ........................................................................ 13

    2.2.1. Retribusi Secara Umum .................................................. 13

    2.2.2. Retribusi Izin Trayek ...................................................... 14

    2.3. Teori Transportasi ...................................................................... 16

    2.4. Penelitian-Penelitian Terdahulu ................................................. 18

    2.5. Kerangka Pemikiran................................................................... 24

    III. METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 26

    3.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 26

    3.3. Metode Pengambilan Contoh..................................................... 26

    3.4. Metode Analisis Data................................................................. 28

    3.4.1. Regulatory Impact Assessment........................................ 28

    3.4.2. Tahapan Review Regulasi dengan Pendekatan RIA........ 29

    3.4.2.1. Perumusan Masalah ........................................... 29

    3.4.2.2. Identifikasi Tujuan ............................................. 30

    3.4.2.3. Identifikasi Alternatif Penyelesaian Masalah.... 30

    3.4.2.4. Analisis Manfaat dan Biaya (Costs/Benefits)..... 31

    3.4.2.5. Konsultasi Publik ............................................... 32

    3.4.2.6. Penentuan Opsi Terbaik ..................................... 32

    8

  • 3.4.3. Net Present Value (NPV) ................................................ 34

    IV.GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR

    4.1. Kondisi Umum Kabupaten Bogor.............................................. 36

    4.1.1. Letak Geografi ................................................................ 36

    4.1.2. Administrasi Pemerintahan ............................................. 37

    4.2. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Bogor .................. 37

    4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan ................................................. 38

    4.3.1. Laju Pertumbuhan Penduduk .......................................... 38

    4.3.2. Tingkat Pengangguran .................................................... 39

    4.4. Perkonomian Kabupaten Bogor ................................................. 40

    4.5. Sarana dan Prasarana Transportasi............................................. 42

    V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Perumusan Masalah ................................................................... 50

    5.2. Identifikasi Tujuan ..................................................................... 57

    5.3. Identifikasi Alternatif Penyelesaian Masalah ........................... 62

    5.4. Analisis Manfat dan Biaya (Costs/Benefits) ............................. 63

    5.4.2. Analisis Kualitatif ........................................................... 64

    5.4.3. Analisis Kuantitatif ......................................................... 72

    5.5. Konsultasi Publik ...................................................................... 76

    5.6. Penentuan Opsi Terbaik ............................................................. 78

    KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 80

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 82

    LAMPIRAN............................................................................................ 85

    9

  • DAFTAR TABEL

    Nomor Halaman

    1.1. Realisasi PAD Kabupaten Bogor Tahun 2006.............................. 6

    1.2. Realisasi Retribusi Izin Trayek Kabupaten Bogor........................ 7

    2.1. Tarif Retribusi Izin Trayek dan Izin Operasi untuk

    Permohonan Baru.......................................................................... 15

    2.2. Tarif Retribusi Izin Trayek dan Izin Operasi untuk

    Permohonan Ulang........................................................................ 16

    2.3. Ringkasan Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ................................ 22

    3 Jumlah Sample Wawancara........................................................... 27

    4.1. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2002-2006 ................................. 41

    4.2. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian

    di Kabupaten Bogor Tahun 2006 .................................................. 42

    4.3. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan

    di Kabupaten Bogor Tahun 2006 .................................................. 43

    4.4. Rute dan Jumlah Angkutan Kota Kabupaten Bogor .................... 46

    5.1. Rasio Jumlah Penduduk dan Angkutan Umum ............................ 55

    5.2. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 1................................. 64

    5.3. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 2................................. 68

    5.4. Tabel Ringkasan Manfaat dan Biaya Opsi 3................................. 70

    5.5. Tabel Perkiraan Penerimaan Retribusi.......................................... 73

    5.6. Tabel Perkiraan Penerimaan Supir Angkutan ............................... 73

    5.6. Tabel Perkiraan Biaya Opsi 2 ....................................................... 74

    5.7. Tabel Perhitungan Net Present Value Opsi 2................................ 74

    5.8. Tabel Perkiraan Penerimaan Retribusi.......................................... 76

    5.9. Tabel Perkiraan Biaya Penertiban Angkutan ................................ 76

    5.10. Tabel Perhitungan Net Present Value ........................................... 77

    10

  • DAFTAR GAMBAR

    Nomor Halaman

    2 Kerangka Pemikiran...................................................................... 25

    3 Tahapan Review Regulasi ............................................................. 33

    5.1. Sistematika Pohon Permasalahan.................................................. 56

    5.2. Sistematika Pohon Tujuan ............................................................ 59

    11

  • I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah tidak akan tercapai apabila

    pelaku ekonomi dan pemerintah tidak memiliki persepsi yang sama terhadap suatu

    peraturan daerah sebagai bentuk regulasi dalam mengatur perekonomian. Pelaku

    ekonomi maupun pemerintah daerah tampaknya perlu memahami latar belakang,

    tujuan dan maksud dikeluarkannya suatu regulasi agar dapat menjadi faktor

    pendorong bagi perkembangan ekonomi daerah. Menurut Candra (2003) pada

    dasarnya regulasi diperlukan pada saat pasar gagal (market failure) untuk

    memberikan alokasi terbaik bagi pelaku-pelakunya. Dengan demikian pemerintah

    (government) harus turun tangan untuk membenahi alokasi sumber daya yang

    gagal dilakukan oleh pasar tersebut.

    Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar.

    Pertama, kurangnya persaingan (lack of competition) terhadap penyediaan barang

    publik (public goods). Kedua, dalam pasar terdapat adanya halangan (barrier to

    entry and to exit), ketiga, aliran informasi yang tidak lancar (asymmetric

    information), dan keempat, eksternalitas dan biaya sosial (externality and social

    cost). Jadi suatu regulasi adalah instrumen yang dapat dipakai oleh pemerintah

    untuk melakukan pengalokasian sumber daya yang tersedia pada tingkat yang

    efisien karena pemanfaatan sumber daya tersebut diperkirakan tidak optimal

    mengingat pihak swasta tidak akan mampu bertahan bilamana berusaha pada

    jenis-jenis produksi tertentu.

    12

  • Peran pemerintah diperlukan sebagai upaya agar pasar dapat diatur

    sedemikian rupa guna menciptakan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat.

    Untuk menghindari kecurigaan yang berlebihan terhadap regulasi atau peraturan

    daerah yang diberlakukan pemerintah dalam mengatur sumber daya yang tersedia

    tersebut, pemerintah diharapkan dapat memenuhi suatu standarisasi pemerintahan

    di mata publik yang selalu disebut dengan pemerintahan yang bersih (good

    governance) di seluruh tingkat kepemerintahan. Standar pemerintahan yang bersih

    sangat penting bagi masyarakat, terutama ketika pemerintah daerah akan

    menjalankan fungsi regulatornya (Syahwier, 2007).

    Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan yang

    cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik misalnya, otonomi daerah

    berdampak positif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Indikatornya antara lain,

    benar-benar berfungsinya DPRD sebagai lembaga legislatif daerah. Pada era

    diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1974, DPRD hanyalah kelengkapan

    eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai

    lembaga legislatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain adalah

    masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah.

    Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan

    rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah

    daerah (Hardjasoemantri,2003).

    Emirzon (2005) berpendapat semenjak otonomi daerah dicanangkan

    melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

    dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

    Pusat dan Daerah, yang kemudian dirubah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan

    13

  • UU Nomor 35 Tahun 2004, iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan

    besar. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan hukum dan administrasi

    kepada kabupaten dan kota sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) yang

    menentukan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan

    mengadministrasikan perdagangan dan industri. Oleh karena itu, pemerintah

    daerah berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha. Namun sayangnya

    praktik di lapangan belum menunjukkan hasil yang maksimal, bahkan di awal

    peraturan tersebut keluar pemerintah daerah (pemda) seakan-akan tidak siap untuk

    mengemban fungsi baru itu. Pada tahun pertama desentralisasi, pemerintah daerah

    di Indonesia telah mengeluarkan ratusan perda yang menerapkan pengenaan

    pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Akibat yang dihasilkan dari penerbitan

    regulasi demi regulasi pun menimbulkan masalah. Ini dapat terlihat dari

    perjalanan satu tahun saja dari kebijakan otonomi daerah diduga 1053 perda yang

    diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 perda diantaranya bermasalah

    (Hardjasoemantri, 2003). Perda-perda bermasalah tersebut diantaranya telah

    dipertimbangkan untuk dicabut.

    Selain menimbulkan biaya tinggi (high cost), regulasi yang diterbitkan

    Pemerintah daerah cenderung tumpang-tindih (overlapping). Timbulnya

    permasalahan dalam pembuatan regulasi daerah juga disebabkan oleh

    permasalahan dalam proses kebijakan itu sendiri, seperti buruknya identifikasi

    masalah, kurangnya pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan, kurangnya

    peninjauan efektif terhadap peraturan-peraturan lokal, kurangnya partisipasi

    dalam proses kebijakan tersebut, dan kurang siapnya SDM yang dimiliki oleh

    14

  • Pemerintah daerah dalam mengkaji, menganalisa serta mengimplementasi

    regulasi-regulasi tersebut.

    Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

    1 Januari 2001, maka daerah, baik pada level propinsi maupun kabupaten/kota,

    semakin memiliki posisi yang penting dan strategis dalam konteks perkembangan

    ekonomi, sosial dan politik pada tingkat nasional lebih banyak ditentukan oleh

    daerah. Walaupun otonomi daerah memberikan harapan besar bagi perubahan

    daerah tetapi dinamika pelaksanaan otonomi itu sendiri sebenarnya tidak lepas

    dari tantangan dan permasalahan. Sebagai contoh Kabupaten Bogor, pemerintah

    daerah Kabupaten Bogor telah menginventaris perda-perda yang masih berlaku

    yang seharusnya sudah di revisi atau dicabut sebanyak 31 perda (Setwilda

    Kabupaten Bogor, 2007). Perda-perda tersebut antara lain Perda tentang Garis

    Sempadan (Rooiljn), Perda tentang Izin Mendirikan Bangunan, Perda tentang

    Retribusi Izin Gangguan, dan Perda tentang Retribusi Izin Trayek. Perda Nomor

    23 Tahun 1998 Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek

    merupakan studi kasus yang akan diangkat dalam tulisan ini yang merupakan satu

    dari sekian kebijakan yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

    Bogor. Retribusi izin trayek pada dasarnya adalah pembayaran atas pemberian

    izin kepada orang pribadi atau badan untuk menyediakan pelayanan angkutan

    umum pada satu atau beberapa trayek tertentu dalam wilayah daerah.

    Semakin pesatnya perkembangan pembangunan dalam sektor transportasi

    telah mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Transportasi juga

    berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah

    yang berpotensi namun belum berkembang dalam upaya peningkatan dan

    15

  • pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Penyebaran penduduk yang

    semakin meluas dan adanya peningkatan pembangunan di daerah memerlukan

    sarana transportasi yang memadai untuk arus perputarannya, khususnya sarana

    angkutan penumpang. Dengan adanya tuntutan kebutuhan tersebut berakibat

    makin maraknya usaha angkutan penumpang di wilayah daerah.

    Agar lalu lintas khususnya lalu lintas angkutan penumpang tidak

    menimbulkan kemacetan dan ketidakteraturan serta karena investasi untuk

    pembangunan jalan sangat terbatas maka diperlukan strategi pengelolaan

    angkutan penumpang yang dirumuskan dalam jaringan trayek dalam hirarki yang

    jelas dan peningkatan peran serta masyarakat. Guna kelancaran dalam pembinaan

    dan pengawasan usaha angkutan penumpang serta peningkatan pelayanan bagi

    masyarakat di bidang transportasi juga untuk memberikan kepastian hukum bagi

    kompensasi yang diberikan masyarakat atas pelayanan yang diberikan maka perlu

    diatur dan ditetapkan peraturan daerah tentang izin trayek yang dalam

    pelaksanaannya membutuhkan peran serta pengusaha angkutan umum melalui

    pembayaran retribusi izin trayek.

    Retribusi merupakan salah satu komponen yang cukup berpengaruh besar

    terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Tabel 1.1 menunjukan pada tahun 2006

    retribusi merupakan penyumbang terbesar kedua sebesar 82.883.944.857 rupiah

    atau sekitar 36 persen dari total PAD Kabupaten Bogor keseluruhan. Sedangkan

    retribusi izin trayek menyumbang sebanyak 261.254.750 rupiah atau sekitar 0,11

    persen terhadap total PAD (BPS, 2006).

    16

  • Tabel 1.1 Realisasi PAD Kabupaten Bogor 2006

    No. Uraian Realisasi 2006

    (dalam rupiah)

    Proporsi

    terhadap PAD

    (dalam %)

    1. Pajak Daerah 120.021.444.047 51,71

    2. Retribusi Daerah 82.883.944.857 35,71

    3. Bagian Laba Usaha

    Daerah

    6.878.684.306 2,30

    4. Lain-lain PAD 22.333.794.270 9,63

    5. Pendapatan Asli Daerah

    (PAD)

    232.117.867.480 100

    Sumber: BPS (diolah)

    Dalam kasus Perda tentang Retribusi Izin Trayek terdapat masalah yuridis

    yaitu acuan yang sudah tidak relevan. diantaranya adalah UU nomor 18 tahun

    1997 karena telah diberlakukan UU Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas

    UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan

    berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2000, maka PP Nomor 20 Tahun 1997 tentang

    Retribusi Daerah yang menjadi acuan hukum perda Nomor 28 tahun 1998 tentang

    Retribusi Izin Trayek sudah tidak sesuai lagi diganti menjadi PP Nomor 66 Tahun

    2001.

    Masalah yang lain yang teridentifikasi adalah menurunnya pencapaian

    target realisasi pendapatan asli daerah dari retribusi izin trayek. Dari tabel 1.2

    terlihat penurunan yang drastis realisasi retribusi izin trayek di tahun 2006 sebesar

    56,62 persen. Pada tahun 2007 realisasi makin menurun dengan penurunan

    sebesar 8,02 persen. Dari masalah-masalah tersebut maka akan dikaji lebih lanjut

    apakah terdapat masalah-masalah substansi maupun masalah prinsip dari Perda

    Retribusi Izin Trayek.

    17

  • Tabel 1.2. Tabel Realisasi Retribusi Izin Trayek

    Tahun Target

    (dalam rupiah)

    Realisasi

    Proporsi

    terhadap target

    (dalam persen)

    2004 175.000.000 181.547.500 103,74

    2005 400.000.000 400.650.000 100,16

    2006 600.000.000 261.254.750 43,54

    2007 750.000.000 266.396.500 35.52

    Sumber: Dishub Kabupaten Bogor (2007)

    Pemaparan tersebut menggambarkan betapa kesempatan luas yang

    diberikan kebijakan otonomi daerah ternyata belum sepenuhnya memberikan hasil

    yang optimal. Bahkan dalam batas-batas tertentu, kebijakan otonomi daerah justru

    dipahami secara kurang tepat, sehingga yang timbul adalah tindakan-tindakan

    yang justru kontra-produktif bagi daerah, seperti sifat kedaerahan yang berlebihan,

    lahirnya konflik horisontal, dan keinginan melakukan perubahan secara cepat

    tanpa diiringi perhitungan yang memadai.

    Dalam rangka mengajukan alternatif penyelesaian permasalahan terhadap

    perda-perda tersebut, maka diperkenalkanlah metode atau cara yang saat ini telah

    banyak dilakukan di negara maju dan berkembang lainnya, yaitu Regulatory

    Impact Assesment atau dikenal dengan RIA. Dalam RIA terdapat proses review

    yang mencakup analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial dari

    suatu regulasi dan konsultasi dengan para stakeholder. Analisis dan konsultasi

    tersebut terangkum dalam suatu kerangka yang disebut Regulatory Impact

    Analysis.

    RIA berperan secara sistematis dalam memastikan penentuan pilihan

    kebijakan yang paling efektif dan efisien. RIA dapat memberikan alasan perlunya

    18

  • intervensi pemerintah, memberikan alasan bahwa regulasi memberikan alasan

    bahwa regulasi adalah alternatif terbaik, memberikan alasan bahwa regulasi

    memberikan manfaat lebih besar dari biayanya, mendemonstrasikan bahwa

    konsultasi yang cukup telah dilakukan, dan menunjukkan mekanisme kepatuhan

    dan implementasi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan (Emirzon,2005 )

    1.2. Perumusan Masalah

    Perda No 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek diidentifikasi

    memiliki masalah yuridis. Selain itu partisipasi pengusaha angkutan yang kurang

    juga menambah permasalahan dalam kegiatan usaha angkutan yang diduga

    berasal dari implementasi yang buruk dari perda tersebut yang juga menyebabkan

    target realisasi pendapatan asli daerah dari retribusi izin trayek tidak tecapai.

    Berkaitan dengan studi kasus Perda bermasalah yang diangkat dalam tulisan ini,

    yaitu Perda No.23 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di Kabupaten Bogor,

    maka penelitian ini mengkaji bagaimana metode RIA dapat diimplementasikan

    dalam rangka memperbaiki regulasi yang bermasalah tersebut. Adapun pertanyaan

    penelitian yang dirangkum dalam rumusan masalah tulisan ini adalah sebagai

    berikut:

    1. faktor apa sajakah yang dapat diidentifikasikan sebagai masalah

    substansial dan prinsipil yang berkaitan dengan implementasi

    kebijakan Perda No 23 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di

    lingkungan publik?

    19

  • 2. bagaimanakah proses mengimplementasikan metode RIA dalam

    melakukan kajian Perda yang bermasalah, khususnya Perda Nomor 23

    tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek tersebut?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka adapun tujuan dari

    penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi permasalahan

    substansial dan prinsipil Perda Nomor 23 Tahun 1998 tentang

    Retribusi Izin Trayek dalam implementasi pada tataran kebijakan

    publik

    2. mengimplementasikan metode RIA (Regulatory Impact Analysis)

    sebagai masukan untuk memperbaiki Perda No 23 tahun 1998, serta

    turut memberikan alternatif pemecahan masalah dalam Perda tersebut.

    1.4. Kegunaan Penelitian

    Kegunaan penelitian ini adalah :

    1. memberikan gambaran secara ilmiah penggunaan metode RIA dalam

    melakukan kajian terhadap produk hukum daerah (misalnya: perda)

    2. memberikan masukan kepada stakeholder mengenai kebijakan publik

    yang dapat diimplementasikan untuk memperbaiki produk hukum agar

    mampu menjamin iklim usaha di daerah.

    20

  • 3. sebagai wahana bagi penulis untuk meningkatkan pengetahuan dan

    kompetensi di bidang assessment produk hukum yang berhubungan

    dengan investasi di daerah.

    21

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Reformasi Regulasi

    Regulasi dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu regulasi ekonomi yang

    mengatur kerangka acuan bagi pelaku ekonomi, regulasi sosial yang mengatur

    standar kesehatan, keselamatan, lingkungan dan sebagainya, serta regulasi

    administrasi yang mengatur formalitas dan prosedur (Asian Development Bank,

    2003). Bank Dunia menyimpulkan bahwa selama ini regulasi (peraturan

    perundang-undangan) dipandang sebagai kendala dalam menjalankan bisnis di

    negara-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development).

    Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia dan Letter of Intent dengan IMF perlu

    review regulasi persaingan usaha tidak sehat dan ekonomi biaya tinggi, sehingga

    tahun 2001 diterbitkan Manual Review Regulasi Indonesia (MRRI) dan direvisi

    tahun 2003. Hal ini terkait dengan reformasi regulasi yang meliputi revisi atau

    menghapuskan regulasi yang tidak diperlukan dan tidak efisien. Membangun

    ulang seluruh kerangka regulasi dan pelembagaannya, meningkatkan proses untuk

    merancang dan mengelola regulasi.

    Reformasi regulasi untuk menuju Good Regulatory Governance (GRG),

    terdiri atas tiga elemen yaitu kebijakan yang diadopsi di tingkat politik, alat

    kontrol kualitas, dan manajemen kelembagaan. Regulasi adalah keputusan politik,

    oleh karena itu dalam membuat putusan politik, pemerintah dan DPR haruslah

    secermat mungkin, karena akan berlaku untuk semua warga negara dan

    berdampak negatif, jika regulasi yang diambil tidak memenuhi prinsip-prinsip

    dasar review regulasi (Emirzon, 2005)

    22

  • Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami oleh pembuat regulasi,

    agar regulasi baik dan bermanfaat, yaitu: satu, regulasi efektif minimum.

    Pemerintah hanya mengeluarkan regulasi untuk mengatasi masalah yang tidak

    dapat diselesaikan selain melalui penerbitan regulasi. Jika harus dengan regulasi,

    maka regulasi yang diterbitkan adalah yang tidak memiliki dampak negatif/biaya

    yang paling sedikit. Kedua, netralitas terhadap kompetisi, yaitu regulasi harus

    menciptakan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha. Regulasi yang

    dikeluarkan tidak diskriminatif terhadap pihak atau golongan tertentu, sehingga

    ada pihak yang dirugikan. Ketiga, perumusan regulasi dilakukan secara terbuka

    dan memperhatikan aspirasi stakeholder dan masyarakat. Keempat, Cost-Benefit

    Assessment (Cost Effectiveness). Setiap regulasi harus mempunyai manfaat yang

    lebih besar daripada biayanya. Jika benefit tidak dapat ditentukan, gunakan ukuran

    cost yang terkecil.

    Dalam penerbitan perda seharusnya diperhitungkan bagaimana cost-

    benefit, jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk penerbitan perda lebih besar

    dibanding manfaat yang diharapkan. Oleh karena itu perlu perhitungan yang

    matang. Selama ini dalam penyusunan undang-undang atau peraturan daerah tidak

    atau kurang memperhatikan prinsip dasar review regulasi, sehingga sebagian besar

    perda yang diterbitkan menimbulkan permasalahan, khususnya di bidang

    investasi. Hampir semua perda yang diterbitkan mengatur tentang pungutan

    retribusi dan pajak yang berlindung di balik pembinaan (Emirzon, 2005)

    23

  • 2.2. Retribusi Daerah

    2.2.1. Retribusi Secara Umum

    Retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah

    sehubungan dengan adanya suatu fasilitas jasa yang diberikan oleh pemerinah

    kepada pembayarnya. Objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang

    disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh

    pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa

    tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan objek

    retribusi.

    Menurut UU No 34 Tahun 2000 dinyatakan bahwa retribusi adalah

    pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang

    khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah pribadi atau badan.

    Retribusi daerah menurut Kaho (1991) adalah pembayaran-pembayaran kepada

    kas negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Atau

    merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa timbal balik

    secara langsung dapat ditunjukan. Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa

    saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran itu.

    Nasrun dalam Kaho (1988) merumuskan pengertian retribusi daerah adalah

    pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa

    pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa

    yang diberikan daerah baik langsung maupun tidak langsung. Secara umum

    keunggulan utama retribusi dibanding pajak adalah pemungutan retribusi

    didasarkan atas kontraprestasi dimana besarnya tarif tidak ditentukan secara

    liminatif seperti halnya pajak daerah. Pembatas utama bagi sektor retribusi adalah

    24

  • terletak ada atau tidaknya jasa yang disediakan pemerintah daerah. Oleh sebab itu,

    sebenarnya pemerintah daerah dapat saja mengusahakan retribusi selama dapat

    menyediakan jasa itu.

    Termasuk golongan dan jenis retribusi daerah adalah: 1) Jenis-jenis

    retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu yang

    ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan kriteria yang ditetapkan

    dalam undang-undang, 2) Dengan peraturan daerah dapat ditetapkan jenis

    retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan

    kewenangan otonominya (Elmi, 2001)

    2.2.2. Retribusi Izin Trayek

    Retribusi izin trayek adalah pembayaran atas pemberian izin kepada orang

    pribadi atau badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang umum

    pada satu atau beberapa trayek tertentu dalam wilayah daerah. Jenis angkutan

    umum penumpang yang menjadi objek retribusi terdiri dari :

    a. Angkutan kota/pedesaan yaitu Mobil Bis/Mobil Penumpang umum

    dengan menggunakan trayek yang seluruhnya berada dalam satu wilayah

    daerah;

    b. Angkutan Taksi yaitu Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda khusus

    dan dilengkapi argometer dengan wilayah operasi terbatas;

    c. Angkutan umum dengan cara sewa yaitu Mobil Penumpang Umum yang

    diberi tanda khusus pada penomoran kendaraan dan merupakan pelayanan

    dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi dengan wilayah operasi

    tidak terbatas;

    25

  • d. Angkutan untuk keperluan antar jemput karyawan/Siswa sekolah yaitu

    Mobil Bis Umum dan Mobil Penumpang Umum yang diberi tanda khusus

    dan merupakan pelayanan angkutan karyawan/Sekolah;

    e. Angkutan khusus adalah pelayanan angkutan orang yang penggunaanya

    bersifat khusus.

    Struktur dan besarnya tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis angkutan

    penumpang umum dan daya angkut. Struktur dan besarnya tarif retribusi izin

    trayek dan izin operasi untuk permohonan baru adalah sebagai berikut :

    Tabel 2.1 Tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk permohonan baru

    Jenis Angkutan Kapasitas Tempat Duduk Tarif

    Mobil Penumpang

    Mobil Bis

    Angkutan khusus

    s.d 8 orang

    9 s.d 15 orang

    16 s.d. 25 orang

    lebih dari 25 orang

    Rp. 71.500,-

    Rp. 110.000,-

    Rp.115.000,-

    Rp.121.000,-

    Rp. 55.000,-

    Sumber : Setda bagian hukum Kabupaten Bogor, 2007

    Setiap izin pemberian izin insidentil untuk satu kali perjalanan PP selama

    7 (tujuh) hari dikenakan tarif retribusi sebesar Rp.15.000,-. Setiap pemberian

    rekomendasi/pertimbangan/advis untuk sebagai salah satu syarat izin yang

    dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat atau Pemerintah Pusat

    tarif retribusi sebesar Rp. 25.000,-

    Izin trayek berlaku selama 5 (lima) tahun dan setiap 1 (tahun) wajib di

    daftar ulang. Jika wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang

    membayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 persen setiap

    bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan

    menggunakan STRD (Surat Tagihan Retribusi Daerah). Wajib retribusi yang tidak

    26

  • melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan Keuangan Daerah diancam

    pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak 4

    (empat) kali jumlah retribusi terutang (Perda no 23 tahun 1998 Kabupaten Bogor).

    Struktur dan besarnya tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk

    permohonan ulang adalah sebagai berikut :

    Tabel 2.2. Tarif retribusi izin trayek dan izin operasi untuk permohonan ulang

    Jenis Angkutan Kapasitas Tempat Duduk Tarif

    Mobil Penumpang

    Mobil Bis

    Angkutan khusus

    s.d 8 orang

    9 s.d 15 orang

    16 s.d. 25 orang

    lebih dari 25 orang

    Rp. 25.000,-

    Rp. 37.500,-

    Rp. 42.500,-

    Rp. 47.500,-

    Rp. 25.000,-

    Sumber : Setda bagian hukum Kabupaten Bogor, 2007

    2.3. Teori Transportasi

    Miro (2005), mengartikan transportasi sebagai usaha memindahkan,

    menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke

    tempat lain, dengan tujuan objek tersebut lebih bermanfaat dan dapat digunakan

    untuk tujuan-tujuan tertentu. Pemindahan barang dan manusia sebagai objeknya

    dari tempat asal ke tempat tujuan terkait dengan tiga hal, yaitu ada muatan yang

    diangkut, tersedia kendaraan sebagai alat angkutannya serta ada jalanan yang

    dapat dilalui (Siregar, 2005)

    Pengangkutan memberikan jasanya kepada masyarakat, yang disebut jasa

    angkutan (Siregar, 2005). Jasa angkutan ini sangat bermanfaat dalam membantu

    kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat seperti kegiatan produksi, perdagangan,

    pertanian, dan lain-lain. Miro (2005) membagi alat transportasi dalam 2 kelompok

    27

  • besar, yaitu kendaraan pribadi dikhususkan untuk pribadi seseorang dan

    pemakaiannya sangat bebas, lain halnya dengan kendaraan umum. Alat

    transportasi ini diperuntukan bagi banyak orang dengan kepentingan bersama,

    menerima pelayanan bersama, mempunyai arah dan titik tujuan yang sama serta

    terikat dengan peraturan trayek yang telah ditentukan.

    Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

    mempelancar roda perekonomian. Dengan adanya peran transportasi tersebut,

    maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu sistem transportasi

    nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi

    yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang

    tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang

    terjangkau oleh daya beli masyarakat.

    Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu diselenggarakan

    secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas daya jangkau dan

    pelayanannya kepada masyarakat dengan memperhatikan sebesar-besar

    kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan,

    koordinasi antar wewenang pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan atau

    unsur terkait serta terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat dalam

    penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus dalam rangka

    mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu. Untuk itu

    perlu peran yang harus dijalankan pemerintah dalam mengelola dunia transportasi

    ini sebagi penyedia regulasi pertransportasian untuk mencerminkan keseluruhan

    hal tersebut dalam bentuk undang-undang.

    28

  • 2.4. Penelitian-Penelitian Terdahulu

    Pada bulan September-Oktober 2007 Pemerintah Kabupaten Bogor telah

    membentuk tim untuk melakukan review peraturan daerah dengan menggunakan

    metode RIA (Regulatory Impact Assessment). Tim ini telah melakukan review

    pada 2 peraturan daerah yaitu Perda No. IV/DPRD Tahun 2007 tentang Garis

    Sempadan (Rooilijn), Perda No 23 Tahun 2000 tentang Mendirikan Izin

    Bangunan, dan Perda No 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan

    Bangunan.

    Pada review Perda No. IV/DPRD Tahun 2007 tentang Garis Sempadan

    (Rooiljn) dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang teridentifikasi adalah

    tidakteraturnya tata bangunan di daerah garis sempadan, pemkab tidak mampu

    mengantisipasi pertumbuhan kota, belum ditegakkannya Perda No IV/1977

    tentang Rooilljn terhadap masyarakat yang melanggar Garis Sempadan baik

    sungai dan jalan, kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat mengenai peraturan

    garis sempadan, perda Rooiljn yang lama tidak memiliki sanksi hukum yang jelas

    terhadap pelanggar. Dari hasil analisis terdapat tiga opsi yaitu: (1) Do Nothing,

    yaitu Perda No IV/1977 tentang Roolijn masih berlaku; (2) Revisi Perda No

    IV/1977 tentang Rooiljn dan tindakan non regulasi yaitu relokasi bangunan yang

    melanggar garis sempadan jalan dan sungai ditempatkan pada lokasi strategis

    khususnya untuk bangunan komersial; (3) pemberlakuan efektif Perda No

    IV/1977 Rooiljn, Perda No.17/2000 tentang Tata Ruang dan Perda No. 8/2006

    tentang Ketertiban Umum. Berdasarkan hasil analisis manfaat dan biaya yang

    dilakukan dan konsultasi publik terhadap stakeholder maka opsi yang dipilih

    adalah opsi nomor 2 yaitu Revisi Perda No IV/1977 tentang Rooiljn dan tindakan

    29

  • non regulasi yaitu relokasi bangunan yang melanggar garis sempadan jalan dan

    sungai ditempatkan pada lokasi strategis khususnya untuk bangunan komersial,

    karena opsi tersebut memiliki nilai manfaat bersih yang paling besar dibanding

    opsi-opsi lainnya yaitu sebesar 186,85 miliar rupiah.

    Pada review Perda No 23 Tahun 2000 tentang Mendirikan Izin Bangunan,

    dan Perda No 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dapat

    disimpulkan bahwa masalah-masalah yang teridentifikasi adalah besarnya tarif

    dalam memperoleh IMB memberatkan pemohon khususnya rumah tinggal diluar

    kawasan, dan irrelevansi perda ini dengan perizinan dan atau peraturan yang lain

    khususnya perda Rooiljn No IV/1977, perda tentang RTRW saat ini, dan perda No

    8/2006 tentang Ketertiban Umum dimana dalam perda IMB pasal 6 sudah tidak

    berlaku dan atau dicabut.

    Dari permasalahan yang diidentifikasi opsi-opsi yang diusulkan adalah: (1)

    Do Nothing; (2) Revisi Perda tentang IMB yang disesuaikan dengan revisi atau

    perubahan beberapa perda yang berkaitan dengan bangunan dan meningkatkan

    fungsi pengawasan dan pengendalian baik teknis maupun administrasi serta

    mengoptimalkan UPTD di wilayah masing-masing. Dengan melihat analisis

    manfaat dan biaya dari kedua opsi tersebut, ternyata opsi kedua memberikan

    manfaat yang paling besar dibandingkan dengan opsi pertama. Opsi kedua ( revisi

    perda IMB) memberikan nilai manfaat yaitu peningkatan pendapatan daerah

    menjadi 42,9 miliar rupiah, meningkatkan investasi daerah sebesar 13 miliar

    rupiah dan 18 juta US dollar, dengan biaya sebesar 9,940 miliar. Oleh karena itu

    opsi ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan keputusan pemerintah daerah

    Kabupaten Bogor.

    30

  • Oktariani (2007) meneliti dampak kebijakan pergulaan nasional

    menggunakan esensi metode RIA ( Regulatory Impact Assessment ) dan

    menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik digunakan

    metode 2SLS. Hasilnya menunjukan bahwa kebijakan proteksi dan promosi

    mampu menyehatkan kondisi pergulaan nasional. Namun, adanya disparitas harga

    gula domestik yang lebih tinggi dari harga impor menunjukan gejala penurunan

    daya saing sehingga kebijakan ini belum mampu meningkatkan daya saing gula

    domestik. Oleh karena itu, kebijakan proteksi dan promosi harus didukung dengan

    kebijakan lain untuk meningkatkan daya saing gula domestik secara komprehensif

    dari subsistem hulu sampai hilir.

    Dalam penelitian Rahmalia (2004) yang berjudul Analisis Dampak

    Implikasi PP No 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat

    Daerah menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik yang signifikan

    pada Pemda Propinsi, Pemda Kabupaten dan Pemda Kota. Selain itu, terdapat

    pula hubungan yang sangat signifikan antara variabel potensi konflik dengan

    jumlah perangkat daerah suatu pemda. Sementara variabel lainnya tidak cukup

    signifikan mempengaruhi potensi konflik. Dari 30 Pemda Propinsi yang ada, 10

    persen mengarah untuk terciptanya konflik yang sangat tinggi, sisanya 86,7 persen

    memiliki potensi konflik yang relatif sedang dan 3,3 % lainnya memiliki konflik

    rendah. Namun secara rata-rata nasional ada 8,8 atau 9 unit perangkat daerah yang

    harus dirampingkan bila diterapkan PP nomor 8 tahun 2003 dengan konsisten.

    Terkait dengan hal diatas Rahmalia (2004) menyarankan bahwa implementasi PP

    nomor 8 tahun 2003 perlu dilakukan dengan hati-hati dan dalam jangka pendek

    31

  • tidak semua pemda dapat diberlakukan secara generalisir dengan menerapkan

    batasan maksimum.

    32

  • 33

  • 34

  • 2.5. Kerangka Pemikiran

    Selama ini dalam penyusunan undang-undang atau peraturan daerah

    kurang memperhatikan prinsip dasar review regulasi, sehingga sebagian besar

    perda yang diterbitkan menimbulkan permasalahan, khususnya di bidang investasi

    sehingga muncul perda-perda bermasalah. Timbulnya permasalahan dalam

    pembuatan regulasi daerah juga disebabkan oleh permasalahan dalam proses

    kebijakan itu sendiri, seperti buruknya identifikasi masalah, kurangnya

    pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan, kurangnya peninjauan efektif

    terhadap peraturan-peraturan lokal, kurangnya partisipasi dalam proses kebijakan

    tersebut, dan kurang siapnya SDM yang dimiliki oleh Pemda dalam mengkaji,

    menganalisa serta mengimplementasi regulasi-regulasi tersebut. Untuk itu

    diperlukan metode RIA yang merupakan alat evaluasi kebijakan yang bertujuan

    menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif yang sedang diusulkan

    ataupun yang sedang berjalan.

    Dalam penelitian ini pendekatan metode RIA digunakan dalam review

    Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek di Kabupaten Bogor.

    Tahap-tahap yang akan dilakukan adalah perumusan masalah, identifikasi tujuan,

    identifikasi alternatif penyelesaian masalah, dan analisis manfaat-biaya. Dari

    tahap-tahap tersebut dapat terlihat bagaimana Perda Nomor 23 tahun 1998

    Kabupaten Bogor tentang Retribusi Izin Trayek diimplementasikan, dan apa saja

    kelemahan serta permasalahan yang muncul dalam penerapan kebijakan tersebut

    sehingga studi komparasi dapat dilakukan untuk memberikan alternatif

    penyelesaian masalah-masalah Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor.

    35

  • RIAS (Regulatory Impact Assessment Statement

    Kurangnya penerapan prinsip dasar review regulasi dalam penyusunan UU atau

    Perda

    Permasalahan dalam proses kebijakan : 1. Buruknya identifikasi masalah 2. Kurangnya pertimbangan

    alternatif terhadap peraturan 3. Kurangnya peninjauan efektif

    terhadap peraturan-peraturan lokal

    4. Kurangnya partisipasi Stakeholders

    5. Kurang siapnya SDM (Emirzon,2005)

    Perda bermasalah ( studi kasus Perda nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek )

    Metode RIA dalam review Perda nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek

    1. Perumusan masalah 2. Identifikasi tujuan 3. Identifikasi opsi 4. Analisis manfaat dan biaya 5. Konsultasi Publik 6. Pemilihan Opsi Terbaik

    `Gambar 1. Kerangka Pemikiran

    36

  • III. METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor dikarenakan salah satu misi

    kabupaten Bogor adalah Melakukan Reformasi Pelayanan Publik menuju Tata

    Pemerintahan yang Baik (good governance) sehingga relevan dengan tujuan

    penelitian. Waktu pengumpulan dan pengolahan data dilakukan mulai bulan

    Desember 2007 sampai Maret 2008.

    3.2. Jenis dan Sumber Data

    Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data

    primer dikumpulkan dengan survey. Survey merupakan suatu teknik penelitian,

    yang mana informasi dari suatu responden dikumpulkan, biasanya dengan

    menggunakan kuesioner atau wawancara. Pada penelitian ini survey dilakukan

    berdasarkan wawancara langsung dengan pengusaha angkot, dan pemerintah

    daerah (dinas perhubungan dan bappeda). Data sekunder diperoleh dari lembaga

    dan intansi terkait di daerah penelitian yang meliputi dokumen/arsip dan laporan

    tahunan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, Bappeda Kabupaten Bogor,

    dan Badan Pusat Statistik dari tahun 2006 sampai tahun 2007.

    3.3. Metode Pengambilan Contoh

    Populasi merupakan kumpulan lengkap dari objek pengamatan yang

    menjadi pusat perhatian penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah pihak yang

    37

  • terkait stakeholders dari Perda No 28 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek

    yaitu pemerintah, dan dunia usaha.

    Pengambilan contoh (sampling) adalah suatu prosedur yang hanya

    mengamati sebagian objek pengamatan. Sampling dilakukan dengan teknik

    penarikan contoh tanpa peluang (non-probability sampling) yaitu prosedur

    penarikan contoh yang tidak memungkinkan kita menghitung peluang terpilihnya

    anggota tertentu populasi kedalam contoh. Teknik pengambilan contoh dilakukan

    dengan purposive sampling dimana peneliti memilih contoh berdasarkan

    pertimbangan tentang karakteristik yang cocok berkaitan dengan anggota contoh

    yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

    Tabel 3.1. Jumlah sample untuk wawancara

    Sample yang diwawancara Jumlah

    Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor 2 orang

    Setwilda Bagian Hukum Kabupaten Bogor 2 orang

    Bappeda Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor 2 orang

    Pengusaha angkutan Kabupaten Bogor 5 orang

    Purposive sampling digunakan karena contoh yang akan dijadikan

    narasumber harus benar-benar ahli atau memahami fenomena yang terjadi

    sehingga mendapatkan informasi yang cukup untuk menjawab perumusan

    masalah dalam penelitian. Dalam hal ini penelitian mengambil sample untuk

    diwawancara yaitu pihak dinas perhubungan, bappeda, pengusaha angkot (trayek

    nomor 32, 33, 11, 05, 25), dan yang dipertimbangkan memiliki kompetensi dalam

    porsi masing-masing yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

    Pemilihan nomor trayek yang dijadikan sample dilakukan dengan pertimbangan

    38

  • nomor trayek dengan jumlah terbanyak, dan atau nomor trayek yang diidentifikasi

    memiliki permasalahan terkait dengan usaha angkutan penumpang.

    3.4. Metode Analisis Data

    Analisa data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan

    penelitiaan. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.

    Penganalisaan data secara kualitatif dijabarkan dalam pendeskripsian dengan

    pendekatan metode RIA (Regulatory Impact Assessment). Sedangkan analisa

    kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode NPV (net present value) untuk

    menganalisis tahap analisis manfaat dan biaya dalam metode RIA.

    3.4.1. RIA (Regulatory Impact Assesment)

    RIA adalah alat evaluasi kebijakan, sebuah metode yang bertujuan menilai

    secara sistematis pengaruh negatif dan positif regulasi yang sedang diusulkan

    ataupun yang sedang berjalan. RIA juga berfungsi sebagai alat pengambilan

    keputusan, suatu metode a) yang secara sistematis dan konsisten mengkaji

    pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah, dan b) mengkomunikasikan

    informasi kepada para pengambil keputusan. RIA pada dasarnya digunakan untuk

    menilai suatu regulasi dalam hal a) relevansi antara kebutuhan masyarakat dan

    sasaran kebijakan, b) kebutuhan terhadap intervensi pemerintah, c) efisiensi antara

    output dan input, d) efektifitas antara sasaran kebijakan dan hasil, e) keberlanjutan

    antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum diterapkannya atau dirubahnya

    suatu regulasi. Diantara berbagai faktor yang berpengaruh, aspek efisiensi dan

    efektivitas merupakan dua hal yang sangat penting. Tuntutan pokok dari RIA

    39

  • adalah: (1) memberi alasan perlunya intervensi pemerintah, regulasi adalah

    alternatif terbaik, dan regulasi memaksimumkan manfaat sosial bersih dengan

    biaya minimum, (2) mendemonstrasikan bahwa konsultasi yang cukup telah

    dilakukan, (3) menunjukkan mekanisme kepatuhan dan implementasi yang sesuai

    telah ditetapkan (Agustino,2005)

    3.4.2. Tahapan Review Regulasi dengan pendekatan RIA

    Dalam RIA terdapat 7 tahap yang harus dilakukan untuk mereview

    regulasi yaitu:

    1. perumusan masalah

    2. identifikasi tujuan

    3. alternatif penyelesaian masalah

    4. analisis manfaat dan biaya setiap alternatif

    5. konsultasi publik

    6. penentuan alternatif terbaik dalam menyelesaikan masalah

    7. perumusan strategis implementasi

    Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi sampai dengan tahap

    penentuan alternatif terbaik.

    3.4.2.1. Perumusan Masalah

    Dalam tahap perumusan masalah, analis kebijakan antara lain ingin

    mengetahui: apakah dalam mengeluarkan kebijakan, pemerintah telah memahami

    masalah yang sebenarnya ? Apakah masalah yang ingin diselesaikan benar-benar

    40

  • ada? Atau hanya gejalanya? Apakah tidak terdapat masalah yang lebih mendasar?

    Apakah akar penyebab timbulnya masalah? Dan bagaimana persepsi stakeholders

    (pihak yang terkait) terhadap masalah tersebut.

    3.4.2.2. Identifikasi Tujuan

    Dalam tahap ini analis kebijakan berusaha mengetahui sasaran yang ingin

    dicapai pemerintah melalui penerbitan kebijakan. Dalam beberapa kasus, sasaran

    suatu kebijakan tentu saja adalah untuk menyelesaikan masalah yang sudah

    diidentifikasi pada tahap tersebut diatas. Namun dalam banyak kasus, suatu

    masalah mungkin cukup pelik dan rumit dan tidak mungkin sehingga tidak bisa

    diselesaikan hanya dengan satu kebijakan (tindakan) saja. Dalam keadaan

    demikian, maka kebijakan pemerintah biasanya dibuat memang hanya ditujukan

    untuk mengatasi sebagian dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, analis

    kebijakan harus mengidentifikasikan dengan jelas sasaran yang ingin dicapai oleh

    kebijakan tersebut.

    3.4.2.3. Identifikasi Alternatif (opsi) Penyelesaian Masalah

    Pada tahap ini, analis kebijakan mereview pengembangan alternatif

    tindakan (opsi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang

    telah diidentifikasi. Fokus review dalam tahap ini adalah melihat apakah

    pemerintah telah mempertimbangkan seluruh opsi (alternatif tindakan) yang

    tersedia.

    Analis kebijakan juga harus memperhatikan apakah terdapat cara

    (alternatif) tindakan lain yang lebih baik dan lebih jelas, yang dapat digunakan

    41

  • pemerintah untuk mencapai tujuannya? Bagaimana dengan alternatif tidak

    melakukan apa-apa (do nothing)?. Dengan melihat alternatif penyelesaian

    masalah lainnya, kita dapat membandingkan dan mempertimbangkan alternatif

    manakah yang lebih baik dalam mencapai hasil yang diinginkan.

    3.4.2.4. Analisis Manfat dan Biaya (Costs/Benefits)

    Dalam tahap ini, analis kebijakan melakukan assessments atas manfaat dan

    biaya (keuntungan dan kerugian) untuk setiap opsi atau alternatif tindakan yang

    penting, dilihat dari sudut pandang pemerintah masyarakat, konsumen, pelaku

    usaha, dan ekonomi secara keseluruhan.

    Analis kebijakan perlu mencari jawaban atas pertanyaan berikut ini :

    a. Bagaimana implementasi kebijakan dalam prakteknya ? untuk menjawab

    pertanyaan ini, analisis kebijakan perlu berbicara dengan pihak-pihak yang

    terpengaruh oleh kebijakan , dan melakukan pengumpulan data.

    b. Manfaat apa sajakah yang diperoleh dari kebijakan tersebut? Apakah

    membuahkan hasil(manfaat) yang diinginkan oleh pemerintah? Apakah

    menghasilkan manfaat lainnya? Jika ya, apakah manfaat tersebut?

    c. Biaya (dampak) apa saja yang timbul dari (implementasi) kebijakan

    tersebut? Biaya (dampak) apakah yang harus ditanggung oleh pemerintah,

    masyarakat, konsumen, pelaku usaha, dan ekonomi secara keseluruhan?

    3.4.2.5. Konsultasi Publik

    Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang secara terus menerus

    dikomunikasikan kepada para stakeholders, terutama pelaksana yang

    42

  • menjalankan kebijakan di lapangan. Konsultasi ini harus dilakukan dari mulai

    tahap awal perumusan kebijakan sampai dengan tahap implementasi dan

    monitoring pelaksanaan kebijakan. Dalam model ini, konsultasi sudah mulai

    dilakukan dalam tahap identifikasi masalah. Konsultasi pada tahap ini

    bertujuan untuk memastikan bahwa pemerintah menangani masalah yang

    tepat, dan bahwa persepsi pemerintah terhadap masalah yang dihadapi sama

    dengan persepsi masyarakat, pelaku usaha, maupun stakeholders lainnya.

    Konsultasi pada pengembangan alternatif terutama bertujuan untuk

    mendapatkan masukan mengenai opsi yang dapat dipilih, dan menguji apakah

    opsi tertentu dapat dijalankan secara layak (workable). Dalam tahap analisis

    costs/benefits, konsultasi terutama bertujuan untuk mendapatkan dari setiap

    opsi, dan untuk mendapatkan konfirmasi apakah biaya/manfaat yang

    diharapkan benar-benar terwujud dalam prakteknya.

    3.4.2.6. Penentuan opsi (alternatif kebijakan) terbaik.

    Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan opsi tindakan, dan

    setelah membandingkan berbagai biaya dan manfaat dari opsi tersebut, maka

    tahap selanjutnya adalah memilih opsi tindakan yang terbaik untuk mencapai

    sasaran dan menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.

    Fungsi analis dalam tahap ini adalah memastikan bahwa pemerintah telah

    membandingkan semua costs/benefits memilih opsi yang paling efisien dan

    efektif

    43

  • Langkah 1

    Perumusan Masalah

    Langkah 2

    Identifikasi Tujuan

    Langkah 6

    Penentuan opsi terbaik

    Langkah 4

    Analisis Manfaat dan Biaya

    Langkah 3 Identifikasi alternatif (opsi)

    penyelesaian masalah

    Langkah 7 Perumusan Strategi

    Implementasi Kebijakan

    Langkah 5

    K O M U N I K A S I

    D E N G A N

    S T A K E H O L D E R S

    Langkah 5

    K O M U N I K A S I

    D E N G A N

    S T A K E H O L D E R S

    Gambar 2. Tahapan Review Regulasi

    Sumber : Asian Development Bank (2003)

    44

  • 3.4.3. Net Present Value (NPV)

    Net present value (NPV) adalah kriteria investasi yang digunakan dalam

    mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan net present value

    merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social

    opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount factor. Secara singkat,

    formula untuk net present value adalah sebagai berikut:

    NPV = NBi ( 1 + i )=

    n

    i 1

    -n

    atau

    NPV = =

    n

    i 1ni

    NBi)1( +

    atau

    NPV = =

    n

    i 1Bi - Ci = N

    =

    n

    i 1Bi

    Dimana:

    NB : Net Benefit = Benefit Cost

    C : Biaya Investasi + Biaya Operasi

    B : Benefit yang telah di discount

    C : Cost yang telah di discount

    i : Discount factor

    n : tahun (waktu)

    Apabila hasil perhitungan net present value lebih besar dari 0 (nol),

    dikatakan usaha/proyek tersebut feasible untuk dilaksanakan dan jika lebih kecil

    dari 0 (nol) tidak layak untuk dilaksanakan. Hasil perhitunagan net present value

    45

  • sama dengan 0 (nol) berarti proyek tersebut berada dalam keadaan break even

    point (BEP) dimana TR=TC dalam bentuk present value.

    46

  • IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BOGOR

    4.1. Kondisi Umum Kabupaten Bogor

    4.1.1. Letak Geografi

    Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten dalam wilayah

    provinsi Jawa Barat yang berlokasi dekat dengan ibukota Republik Indonesia.

    Batas wilayah Kabupaten Bogor, yaitu : Sebelah utara berbatasan dengan

    Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi dan Kota Depok; Sebelah Timur

    berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang; Sebelah Selatan

    berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan di Tengah-tengah

    terdapat Kota Bogor.

    Ibukota Kabupaten Bogor terletak di Kota Cibinong yang dikukuhkan

    menjadi ibukota berdasakan PP No. 6 Tahun 1982. Namun aktivitas Pemerintah

    Daerah Kabupaten Bogor secara efektif operasional di Kota Cibinong yang

    sebelumnya berada di Kotamadya Bogor, mulai awal tahun 1992 atau sepuluh

    tahun setelah penetapan ibukota Cibinong.

    Kota Cibinong sebagai pusat pertumbuhan baru dengan laju pertumbuhan

    penduduk rata-rata 2,76 % per tahun dan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-

    rata 6,31 % per tahun. Kota Cibinong merupakan kawsan strategis karena

    merupakan lalu lintas utama antara (buffer City) Kota Bogor dengan metropolitan

    Jakarta. Di wilayah ini terdiri dari tiga kecamatan yakni Citeureup, Cibinong dan

    Bojong Gede. Jalur lalu lintas yang melewati Kota Cibinong dapat dilalui jalan

    Tol Jagorawi, Jalan Raya Jakarta-Bogor, Jalan Raya Baru-Parung-Tangerang-

    47

  • Jakarta, Lintasan Kereta Listrik Jabotabek, dan Jalan Raya Bojong Gede-Depok-

    Pasar Minggu (Bappeda Kabupaten Bogor,2006).

    4.1.2. Administrasi Pemerintahan

    Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

    Kesejahteraan Sosial, pada tahun 2006 Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan,

    yaitu : Cibinong, Jonggol, Cijeruk, Klapanunggal, Citeureup, Cariu, Caringin,

    Cileungsi, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Gunung Putri, Dramaga, Jonggol,

    Cijeruk, Ciomas, Pamijahan, Jasinga, Putat Nutug, Semplak, Taman Sari,

    Leuwiliang, Parung Panjang, Rumpin, Sukaraja, Ciampea, Nanggung, Tenjo,

    Rancabungur, Sukamakmur, Cibungbulang, Sukajaya, Gunungsindur, Sawangan,

    Babakan Madang, Pamijahan, Cigudeg, Jasinga, Parung, Bojonggede, dan

    Kedunghalang; 427 desa/kelurahan 3.516 RW dan 13.603 RT. Berdasarkan

    klasifikasi daerah, yang di lihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan

    penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 96 desa dan desa

    pedesaan sebanyak 331 desa.

    4.2. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Bogor

    Untuk mencapai efektivitas pelaksanaan pembagunan di Kabupaten Bogor

    mana pemerintah Kabupaten Bogor mengacu pada Visi yang tertuang dalam

    Renstra Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 yaitu : Tercapainya

    Pelayanan Prima demi Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bogor yang Maju,

    Mandiri Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa. Visi tersebut kemudian

    dijabarkan secara konkrit kedalam Misi yaitu: (1) Melakukan Reformasi

    48

  • Pelayanan Publik menuju Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance); (2)

    Meningkatkan Profesionalisme Aparatur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

    Daerah; (3) Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan; (4)

    Menumbuhkembangkan Potensi Industri, Pertanian dan Pariwisata secara Optima

    dan Lestari; (5) Meningkatkan Kualitas dan Menata Sarana, Prasarana dan

    Infrastruktur Wilayah; (6) Memajuka Kehidupan Keagamaan dan Kondisi Sosial

    Kemasyarakatan.

    Pengukuran dan penilaian tingkat pencapaian visi dan misi tersebut selama

    tahun 2003-2008 dirumuskan dalam tujuan dan sasaran serta strategi atau cara

    mencapainya. Strategi atau cara mencapai tujuan dan sasaran yaitu dengan

    menetapkan rumusan kebijakan dan program bagi masing-masing pernyataan misi

    serta pengelompokkannya menurut bidang kewenangan dengan jumlah program

    sebanyak 134 program serta mengaplikasikan secara berkelanjutan kedalam

    APBD pada setiap tahun anggaran dengan mengacu kepada Kebijakan Umum

    APBD menurut Kesepakatan dengan DPRD serta strategi dan prioritas APBD

    pada setiap tahun anggaran yang berkenaan selama 5 (lima) tahun.

    4.3. Penduduk dan Ketenagakerjaan

    4.3.1. Laju Pertumbuhan Penduduk

    Tingginya laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Kabupaten

    Bogor berdasarkan hasil Sensus Daerah tahun 2006 adalah sebanyak 4.215.585

    jiwa, lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 yang

    berjumlah 4.100.934 jiwa, berarti terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak

    114.651 jiwa atau laju pertumbuhan penduduknya sekitar 2,80 persen. Bilamana

    dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat yang mencapai

    49

  • 1,94% maka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor relatif tinggi.

    Kecamatan dengan laju pertumbuhan tertinggi adalah Bojonggede (22,19 persen),

    sementara yang terendah adalah Kecamatan Cariu (- 9,63 persen). Pada tahun

    2008, kondisi yang diharapkan adalah terkendalinya pertumbuhan penduduk

    melalui peningkatan jumlah peserta KB aktif sebanyak 66.932 akseptor serta

    pembinaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga (Bappeda Kabupaten

    Bogor,2006).

    4.3.2. Tingkat Pengangguran

    Tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor masih tinggi. Tingkat

    pengangguran terbuka menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang aktif

    mencari kerja (belum bekerja/menganggur) terhadap jumlah seluruh angkatan

    kerja. Jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 masih

    relatif tinggi, yaitu mencapai 193.244 orang, sedangkan tingkat partisipasi

    angkatan kerjanya (TPAK) baru mencapai 50,41 persen. Bila dibandingkan

    dengan tahun 2005, angka tersebut sedikit mengalami penurunan, yaitu jumlah

    pengangguran terbuka sebanyak 204.858 orang, dan tingkat partisipasi angkatan

    kerjanya mencapai 50,66 persen.

    Sampai awal tahun 2007, dari data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

    menunjukkan bahwa jumlah pencari kerja adalah sebanyak 71.430 orang. Namun

    jumlah lowongan kerja yang tersedia hanya sebanyak 4.503 orang. Dari jumlah

    tersebut, hanya 3.931 orang tenaga kerja yang berhasil memperoleh penempatan

    kerja, sehingga sisanya cenderung masuk dalam kegiatan ekonomi informal.

    50

  • Dari hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006, tingkat

    pengangguran penduduk usia produktif dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)

    kategori, yaitu :

    - Tingkat Pengangguran Tinggi (23.137 42.639 jiwa) terdapat pada

    5 kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Cibungbulang,

    Pamijahan, Sukaraja dan Sukamakmur;

    - Tingkat Pengangguran Sedang (12.087 23.136 jiwa) terdapat

    pada 20 kecamatan, yaitu Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Rumpin,

    Ciseeng, Parung, Kemang, Leuwisadeng, Ciampea, Dramaga,

    Ciomas, Tenjolaya, Cigombong, Bojonggede, Cibinong, Citeureup,

    Babakan Madang, Megamendung, Cisarua, Cileungsi dan Jonggol;

    - Tingkat Pengangguran Rendah (1.928 12.086 jiwa) terdapat pada

    15 kecamatan, yaitu Kecamatan Tenjo, Parungpanjang,

    Gunungsindur, Tajurhalang, Rancabungur, Sukajaya, Leuwiliang,

    Tamansari, Cijeruk, Caringin, Ciawi, Gunungputri, Klapanunggal,

    Cariu dan Tanjungsari.

    4.4. Perekonomian Kabupaten Bogor

    Indikator makro perekonomian diukur dari PDRB (Produk Domestik

    Regional Bruto). Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa PDRB Kabupaten Bogor

    untuk tahun 2002 harga konstan dan harga berlaku sebesar 22.401,08 miliar

    rupiah dan 19.904,55 miliar rupiah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun

    51

  • hingga pada tahun 2006 PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku sebesar

    44.792,69 miliar rupiah dan harga konstan sebesar 26.546,29 miliar rupiah.

    Tabel 4.1. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2002-2006

    Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

    (Juta Rp)

    PDRB Atas Dasar

    Harga Konstan

    (Juta Rp)

    Laju Pertumbuhan

    PDRB Atas Dasar

    Harga Berlaku

    (%)

    Laju Pertumbuhan

    PDRB Atas Dasar

    Harga Berlaku (%)

    2002 22.401.084,80 19.904.550 11,55 4,43

    2003 26.990.272,23 22.421.165,14 12,45 4,84

    2004 30.684.780,53 23.671.429,23 13,69 5,58

    2005 38.182.119.76 25.056.365,26 24,43 5,85

    2006 44.792.697,65 26.546.286,24 17,31 5,95

    Sumber: BPS (2006)

    Kontribusi setiap sektor terhadap PDRB Kabupaten Bogor berbeda-beda.

    Pada tahun 2004, Kabupaten Bogor memiliki sektor-sektor kegiatan

    perekonomian dominan dalam rangka memberikan kontribusi terhadap PDRB.

    Kontribusi 9 Sektor lapangan usaha ini sangat menentukan laju pertumbuhan

    ekonomi Kabupaten Bogor (Tabel 4.1). Dari tabel tersebut terlihat sektor industri

    pengolahan memiliki kontribusi yang terbesar yaitu sekitar 64 persen, disusul

    sektor perdagangan, hotel, dan restoran sekitar 15 persen. Sedangkan sektor yang

    memiliki kontribusi paling rendah adalah sektor pertambangan dan penggalian

    yaitu sekitar 1 persen.

    52

  • Tabel 4.2. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor Tahun 2006

    Sektor Distribusi PDRB Atas

    Dasar Harga Berlaku

    (%)

    Distribusi PDRB Atas

    Dasar Harga Konstan

    (%)

    Pertanian 5,03 4,69

    Pertambangan dan Penggalian 1,10 1,14

    Industri Pengolahan 64,13 64,30

    Listrik, Gas dan Air bersih 3,28 3,27

    Bangunan 3,15 3,23

    Perdagangan, Hotel dan

    Restoran 15,22 15,48

    Pengangkutan dan Komunikasi 2,85 2,90

    Keuangan, Persewaan & jasa

    perusahaan 1,59 1,48

    Jasa-jasa 3,66 3,52

    Total 100,00 100,00

    Sumber: (BPS, 2006)

    4.5. Sarana dan Prasarana Transportasi

    Transportasi merupakan urat nadi Pembangunan Nasional untuk

    melancarkan arus manusia barang maupun informasi sebagai penunjang

    tercapainya pengalokasian sumber-sumber perekonomian secara optimal untuk itu

    jasa transportasi harus cukup tersedia secara merata dan terjangkau daya beli

    masyarakat. Makin meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi, akan

    meningkatkan jumlah kebutuhan transportasi. Prasarana transportasi darat berupa

    jalan di Kabupaten Bogor meliputi jalan negara, jalan propinsi, jalan kota dan

    jalan lingkungan (tabel 4.3).

    53

  • Tabel 4.3. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kabupaten Bogor tahun 2006

    Status Jalan

    Keadaan Jalan Negara (km)

    Jalan Propinsi

    (km)

    Jalan Kota (km)

    Jumlah Jalan (km)

    I. Jenis Permukaan a. diaspal b. kerikil c. tanah d. Tidak diperinci

    72,44 0,00 0,00 0,00

    172,74 0,00 0,00 0,00

    1.352,24 136,86 12,21 6,20

    1.597,43 136,86 12,21 6,20

    Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70 II. Kondisi Jalan

    a. Baik b. Sedang c. Rusak d. Rusak Berat

    40,72 24,81 6,90 0,00

    96,53 42,43 33,77 0,00

    597,57 290,15 166,88 452,92

    734,83 357,40 207,55 452,92

    Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70 III. Kelas Jalan

    a. Kelas I

    Sumber: (BPS, 2006)

    Jalan negara di Kabupaten Bogor dengan ruas jalan sepanjang 72,44 km

    dan panjang jalan tersebut pada tahun 2006 dalam kondisi baik 40,72 km, kondisi

    sedang 24,82, dan kondisi rusak 6,9 km. Jalan propinsi dengan ruas jalan

    sepanjang 172,24 km dan panjang jalan tersebut pada tahun 2006 dalam kondisi

    baik 96,53 km, kondisi sedang 42,43, dan kondisi rusak 33,77 km. Jalan kota

    dengan ruas jalan sepanjang 1.507,52 km dan panjang jalan tersebut pada tahun

    2006 dalam kondisi baik 597,750 km, kondisi sedang 290,150, dan kondisi rusak

    166,880 km.

    b. Kelas II c. Kelas III d. Kelas III A e. Kelas III B f. Kelas III C g. Kelas Tidak Dirinci

    0,00 72,44 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

    0,00

    172,74 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

    0,00 52,25

    1.456,27 0,00 0,00 0,00 0,00

    0,00

    296,43 1.456,27

    0,00 0,00 0,00 0,00

    Jumlah 72,44 172,24 1.507,52 1.752,70

    54

  • Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan transportasi di

    Kabupaten Bogor adalah : (1) masalah pelayanan terhadap mobilitas masyarakat,

    yaitu menyangkut kelancaran transportasi yang ditandai dengan adanya titik-titik

    rawan kemacetan, (2) rendahnya kedisiplinan pengguna jalan, (3) kurangnya

    terminal penumpang maupun barang, (4) terbatasnya rambu lalu lintas, (5)

    masalah perparkiran, (6) lemahnya pengendalian beban tonase kendaraan, (7)

    terbatasnya layanan angkutan umum pada kawasan terisolir/pusat

    produksi/distribusi/koleksi, dan (8) belum optimalnya penanganan pos dan

    telekomunikasi.

    Untuk memenuhi kebutuhan terminal, telah dibangun terminal Cileungsi

    pada tahun 2006 sehingga jumlah terminal di Kabupaten Bogor menjadi 5 unit,

    yang dilengkapi dengan 4 sub terminal dan 14 pangkalan. Empat lokasi terminal

    lainnya adalah di Cibinong, Jasinga, Laladon, dan Cigombong. Namun demikian,

    operasionalisasi kelima terminal tersebut sampai dengan saat ini belum optimal.

    Penataan trayek angkutan umum dilakukan melalui pemberian ijin

    trayek sesuai dengan kuota. Dari tabel 4.4 terlihat bahwa jumlah realisasi

    kendaraan trayek angkutan kota pada tahun 2007 secara keseluruhan sebesar 6142

    kendaraan, Trayek yang memiliki angkutan jumlah nol dapat disebabkan beberapa

    alasan, antara lain: (1) kurangnya minat pengusaha atau masyarakat untuk

    investasi angkutan di daerah tersbut, (2) minimnya kegiatan ekonomi di wilayah

    itu, (3) memang sengaja disiapkan pemda sebagai trayek perintis untuk menarik

    investasi di wilayah itu. Jumlah trayek terbanyak tahun 2007 adalah trayek nomor

    64 dengan jumlah kendaraan 541 kendaraan, kemudian trayek nomor 05.C dengan

    jumlah 495 kendaraan, trayek nomor 33 dengan jumlah kendaraan 438 kendaraan,

    55

  • trayek nomor 05.B dengan jumlah trayek 432 kendaraan, dan trayek nomor 46

    dengan jumlah kendaraan 407 kendaraan. Untuk angkutan umum terhadap

    kawasan terisolir/pusat produksi/distribusi/koleksi, telah digulirkan program

    kuningisasi yang masih membutuhkan kesepakatan dengan instansi terkait

    sehingga dapat mendorong proses legalisasi angkutan umum plat hitam menjadi

    plat kuning.

    56

  • 57

  • 58

  • 59

  • 60

  • V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    RIA (Regulatory Impact Assessment) adalah metode yang secara

    sistematis dan konsisten mengkaji pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan

    pemerintah, mengomunikasikan informasi kepada para pengambil keputusan.

    Pada dasarnya digunakan untuk menilai suatu regulasi dalam hal relevansi antara

    kebutuhan masyarakat dan sasaran kebijakan, kebutuhan terhadap intervensi

    pemerintah, efisiensi antara input dan output, efektivitas antara sasaran kebijakan

    dan hasil, keberlanjutan antara kebutuhan masyarakat dan hasil sebelum

    diterapkan atau diubahnya regulasi (Asian Development Bank, 2003).

    Metode RIA memiliki 7 tahapan review regulasi yaitu: perumusan

    masalah, identifikasi tujuan, identifikasi alternatif, analisis manfaat dan biaya,

    komunikasi dengan stakeholders, penentuan opsi terbaik, perumusan strategi

    implementasi kebijakan. Dalam penelitian ini tahap yang dilakukan dibatasi

    sampai dengan tahap penentuan alternatif terbaik. Untuk itu pembahasan masing-

    masing tahap akan diuraikan dalam sub bab sub bab berikut.

    5.1. Identifikasi Masalah Perda Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Trayek

    Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih luas

    kepada daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing. Hal ini diwujudkan

    antara lain dalam bentuk keleluasaan daerah menyusun kebijakan dan peraturan

    daerahnya. Namun ternyata di satu pihak kebijakan dan peraturan-peraturan

    daerah tersebut diidentifikasi telah menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi,

    61

  • sehingga tujuan awalnya untuk mengembangkan ekonomi daerah dan

    menciptakan iklim usaha yang kondusif, malah yang terjadi justru sebaliknya.

    Studi yang telah dilakukan KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan

    Otonomi Daerah) , menilai kualitas perda sesuai dengan tingkat permasalahannya

    terhadap 14 (empat belas) kriteria berikut yaitu : (1) relevansi acuan yuridis; (2)

    Up-to-date acuan yuridis; (3) Kelengkapan yuridis formal; (4) Kesesuaian tujuan

    perda dengan isi pasal-pasalnya; (5) Kejelasan obyek; (6) Kejelasan subyek; (7)

    Kejelasan hak dan kewajiban subyek pungutan; (8) Kejelasan standar pelayanan:

    prosedur, tarif, dan waktu; (9) Kesesuaian filosofi pungutan pajak dan retribusi;

    (10) Hambatan pada lalu lintas perdagangan dalam negeri; (11). Persaingan sehat;

    (12) Dampak ekonomi negatif (misal:adanya pungutan ganda); (13) Pelanggaran

    akses ekonomi masyarakat dan kepentingan umum; (14) Pelanggaran kewenangan

    tiap tingkat pemerintahan. Kriteria kriteria tersebut di atas digunakan KPPOD

    untuk mengidentifikasi tingkat pelanggaran/permasalahan perda terhadap kriteria-

    kriteria tersebut, yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok permasalahan

    yaitu: (a) permasalahan teknisyuridis formal (kriteria 1-3); (b) permasalahan

    substansial (kriteria 4-9) dan; (c) permasalahan prinsipil (10-14). Di luar perda-

    perda yang bermasalah tersebut adalah perda yang tidak bermasalah.

    Pada kasus Peraturan Daerah Nomor 28 tahun 1998 tentang retribusi izin

    trayek terdapat acuan hukum yang sudah tidak relevan lagi, diantaranya adalah

    UU nomor 18 tahun 1997 karena telah diberlakukan UU Nomor 34 tahun 2000

    tentang Perubahan atas UU Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

    Retribusi Daerah. Dengan berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2000, maka PP

    Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah yang menjadi acuan hukum

    62

  • perda Nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek sudah tidak sesuai lagi

    diganti menjadi PP Nomor 66 Tahun 2001.

    Dalam kasus Perda Nomor 28 tahun 1998 tentang Retribusi Izin Trayek

    masalah substansi dan prinsipiil ini perlu dikaji mendalam dengan melakukan

    konsultasi kepada para stakeholders yaitu pemerintah dan dunia usaha, dalam hal

    ini adalah dinas perhubungan dan pengusaha angkot untuk mengetahui masalah-

    masalah apa yang timbul dari implementasi perda ini. Lingkungan bisnis dan

    ekonomi di Indonesia ditandai dengan persyaratan regulasi dan perizinan yang

    tidak sedikit. Hal tersebut berimplikasi pada banyaknya kebijakan industri dan

    perdagangan, maupun kebijakan di bidang lain seperti politik, sosial dan budaya,

    terbukti menambah daftar panjang kebijakan yang tidak efektif dan efisien. Studi

    kasus yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu Perda No.23 Tahun 1998 mengenai

    Retribusi Izin Trayek menjadi salah satu contoh kebijakan yang dianggap

    demikian. Oleh karena itu, perlu dianalisa permasalahan yang muncul sebagai

    sebab dari inefektifitas dan inefisiensi Perda di atas.

    Sesuai dengan metode penelitian yang akan ditempuh oleh penulis, salah

    satu proses perolehan data dilakukan melalui wawancara langsung. Wawancara

    secara langsung terhadap stakeholder dalam hal ini pemerintah, yaitu dengan

    pihak Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, M.Sapharri yang bertindak sebagai

    sekretaris Kepala Seksi Angkutan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, didapati

    empat akar permasalahan yang mengakibatkan Perda No. 23 tahun 1998

    mengenai retribusi Izin Trayek dianggap inefisien dan inefektif. Pertama,

    lemahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal ini yaitu

    pihak-pihak terkait (stakeholder), baik dari sisi pemerintah maupun pengusaha

    63

  • angkutan umum di Kabupaten Bogor. Hal ini menjadi penting, karena terciptanya

    keselarasan sebagai tujuan dibuatnya peraturan daerah tidak hanya

    menguntungkan pihak-pihak terkait, tetapi juga turut melibatkan partisipasi

    masyarakat luas. Kedua, minimnya sarana administrasi yang dapat digunakan

    sebagai fasilitas atau wadah untuk mengkonsolidasikan kepentingan-kepentingan

    pihak pemerintah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dengan pihak pengusaha

    angkutan umum.

    Ketiga, system reward dan punishment terhadap pengusaha angkot yang

    mematuhi atau melanggar tidak diberlakukan secara bijak dan proporsional. Hal

    ini mengakibatkan ketidakadilan dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru.

    Keempat, kurangnya sosialisasi dan komunikasi yang baik yang terjalin antara

    pihak pemerintah dan pengusaha angkutan umum, menurunkan inisiatif dari setiap

    pihak untuk secara kooperatif dan aktif mensukseskan tujuan diberlakukannya

    perda tersebut. Akibatnya, tidak jarang permasalahan yang terjadi cenderung

    ditanggapi secara reaktif, bukan preventif dan proaktif.

    Paparan empat sebab di atas, menurut Sekretaris kepala Seksi Angkutan

    Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, Sapharri, merupakan akar permasalahan

    dari tidak efisien dan efektifnya Perda No.28 tahun 1998 mengenai Retribusi Izin

    Trayek. Oleh karena itu, perlu diadakan kajian ulang (review) yang secara

    komprehensif dapat menjadi solusi pembedah masalah. Kajian ulang tersebut pula

    yang diharapkan dapat mengurangi dampak-dampak buruk yang diakibatkan dari

    semakin menumpuknya Perda/kebijakan serupa di Kabupaten Bogor.

    Wawancara dengan stakeholder yang lain adalah dengan pihak pengusaha

    angkutan yang dilakukan kepada 3 pengusaha angkutan di Kabupaten Bogor.

    64

  • Hasil wawancara pengusaha-pengusaha tersebut hampir menunjukan hasil yang

    identik, sehingga dapat disimpulkan bahwa hal yang dikemukakan memang sudah

    umum terjadi. Hal yang menjadi perhatian utama oleh pihak pengusaha angkutan

    adalah masalah kurangnya sosialisasi dan pengawasan terhadap implementasi

    perda tentang retribusi izin trayek. Pengusaha angkutan mengeluhkan makin

    banyaknya angkutan ilegal (angkot bodong) yang dapat dilihat dari jumlah

    kendaraan angkutan yang melebihi j