Analisis Perda Hiv Jakarta

29
Tugas Individu Mata Kuliah : Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Dosen : Dr. Darmawansyah, S.E., M.Si ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS ITMA ANNAH P1804214028 KONSENTRASI EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

description

analisis peraturan daerah HIV Jakarta

Transcript of Analisis Perda Hiv Jakarta

Tugas IndividuMata Kuliah: Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Dosen

: Dr. Darmawansyah, S.E., M.SiANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

ITMA ANNAH

P1804214028

KONSENTRASI EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

UNAIDS menyatakan bahwa HIV / AIDS di Indonesia adalah salah satu epidemi berkembang tercepat di Asia. Pada tahun 2010, 5 juta orang Indonesia akan memiliki HIV / AIDS. Pada tahun 2007, Indonesia menduduki peringkat ke-99 di dunia dengan tingkat prevalensi, tetapi karena rendahnya pemahaman gejala penyakit dan stigma sosial yang tinggi yang melekat padanya, hanya 5-10% dari penderita HIV / AIDS sebenarnya bisa didiagnosis dan diobati di Indonesia.Pada tahun 2013 ada sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan kondom. Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang.Penderita HIV/AIDS di DKI Jakarta terus meningkat tiap tahun. Tahun 2013 ini tercatat ada 24.807 kasus positif HIV dan 6.973 penderita AIDS. Padahal tahun 2012 penderita baru berkisar 20 ribu orang. Sampai pada bulan September 2014, tercatat ada 32,782 kasus positif HIV dan 7,477 penderita AIDS. Dan DKI Jakarta merupakan daerah dengan angka HIV/AIDS tertinggi di Indonesia.Dengan menimbang bahwa kasus HIV dan AIDS di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta terus meningkat karena adanya penularan serta wilayah penyebarannya semakin meluas sehingga perlu di lakukan upaya penanggulangan secara optimal dan bahwa untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS perlu di lakukan secara terpadu melalui upaya peningkatan peri laku pola hidup sehat dan religius, ketahanan keluarga, edukasi sedini mungkin kepada kelompok- kelompok yang ada di masyarakat, pencegahan penularan, perawatan, dukungan dan pengobatan orang dengan HIV dan AIDS serta menghormati harkat dan martabat orang dengan HIV dan AIDS dan keluarganya; serta dalam rangka menekan laju penularan HIVdan AIDS di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka pemerintah DKI Jakarta merasa perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang akhirnya tertuang pada PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS.PEMBAHASANA. MAKSUD, TUJUAN, SASARAN DAN RUANG LINGKUP PERDA DKI JAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008

Pemprov DKI Jakarta menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 22 Juli 2008. Perda ini ada di uturan ke-31 dari 56 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia.

Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 5 tahun 2008 dimaksudkan untuk penanggulangan HIV dan AIDS dengan menekan laju penularan HIV dan AIDS serta meningkatkan kualitas hidup ODHA dan penyalahguna NAPZA suntik. Dan bertujuan untuk menanggulangi HIV dan AIDS dengan cara melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS dengan sasaran penanggulangan HIV dan AIDS ini adalah setiap orang yang berada di Provinsi DKI Jakarta. Ruang lingkup dari perda DKI Jakarta nomor 5 tahun 2008 ini adalah upaya penanggulangan, promosi, pencegahan, pengobatan terhadap HIV AIDS maupun perawatan dan dukungan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

B. RINGKASAN KEBIJAKANPeraturan daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta sektor terkait lainnya berdasarkan prinsip kemitraan. Dimana upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini harus memperhatikan populasi rentan dan populasi risiko tinggi serta harus menghormati harkat dan martabat ODHA dan keluarganya serta memperhatikan kesetaraan jender. Kegiatan promosi di lakukan melalui program pemberdayaan masyarakat yakni komunikasi, informasi dan edukasi; peningkatan perubahan perilaku pola hidup sehat dan religious; dan peningkatan pemahaman agama dan ketahanan keluarga. Promosi berisi pesan utama berkaitan dengan perilaku pola hidup sehat dan menghindari stigma. Kegiatan promosi dilakukan di sekolah-sekolah untuk anak didik dilakukan oleh masyarakat dan sektor terkait berkoordinasi dengan instansi bidang pendidikan untuk mencapai pengetahuan lebih baik tentang HIV dan AIDS serta membangun perilaku pola hidup sehat di kalangan anak didik.

Kegiatan pencegahan merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS di masyarakat terutama populasi risiko tinggi. Pencegahan penularan dan penyebaran HIV dan AIDS merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta sektor terkait lainnya. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang di lakukan melalui peningkatan pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang di timbulkan dan penyediaan layanan kesehatan yang dapat mencegah penularan HIV, dimana penyediaan layanan kesehatan ini meliputi antara lain penanganan khusus bagi populasi risiko tinggi dan populasi rentan serta program pengurangan dampak buruk penyalahguna NAPZA suntik.

Kegiatan pencegahan di laksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS yaitu:

a) Tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah.b) Hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.c) Menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.d) Program pengurangan dampak buruk penyalahguna NAPZA suntik di laksanakan oleh penyedia layanan kesehatan.e) Transplantasi organ tubuh dan transfusi darah harus melalui prosedur operasional standart.f) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjamin ibu hamil yang telah mengetahui status HIVnya positif untuk mendapatkan kemudahan akses dalam melakukan pencegahan penularan HIV kepada janin yang di kandungnya.g) Setiap penanggung jawab tempat yang di duga berpotensi untuk terjadi nya perilaku berisiko tertular HIV wajib:

1. Memasang media yang berisi informasi HIV dan AIDS dan NAPZA suntik.

2. Memeriksakan kesehatan secara berkala bagi karyawan yang menjadi tanggung jawabnya.h) Setiap pelayanan kesehatan dan kegiatan yang berisiko terjadi kontaminasi darah dan cairan tubuh wajib melaksanakan kewaspadaan umum.i) Berkomitmen untuk menci ptakan keluarga yang har monis, penuh cinta dan kasih sayang.j) Memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.Tindakan pengobatan terhadap ODHA di dukung dengan pendekatan perawatan berbasis keluarga, masyarakat, serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA. Setiap penyedia layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan tanpa diskriminasi dan menjaga kerahasiaan data ODHA. Tindakan pengobatan AIDS di mulai setelah seseorang dinyatakan sebagai ODHA melalui proses VCT.

Perawatan terhadap ODHA di lakukan melalui pendekatan klinis, pendekatan agama, pendekatan berbasis keluarga dan masyarakat dan dilakukan tanpa diskriminasi. Dukungan terhadap ODHA di lakukan oleh masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta sektor terkait.Dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS juga di bentuk KOMISI PENANGGULANGAN AIDS, KPAP pada tingkat Provinsi dan KPAK pada tingkat Kota/Kabupaten Administrasi. Keanggotaan KPAP dan KPAK, terdiri dari unsur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan masyarakat baik perorangan maupun kelembagaan. Setiap masyarakat perorangan, kelembagaan nasional, sektor vertikal dan lembaga internasional di provinsi yang melakukan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS harus berkoordinasi dengan KPAP.Peran masyarakat dalam hal ini ialah bagaimana masyarakat harus memperlakukan secara adil dan manusiawi setiap ODHA. Masyarakat harus proaktif membangun ker jasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta serta sektor terkait dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di laksanakan melalui :

a. Peningkatan ketahanan agama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap ODHA;

b. Pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga;

c. Penciptaan lingkungan yang kondusif terhadap ODHA, penyalahguna NAPZA suntik dan populasi risiko tinggi serta keluarganya;

d. Penyuluhan, pelatihan, VCT/KTS, pengawasan pengobatan, perawatan dan dukungan;

e. Pelibatan ODHA, penyalahguna NAPZA suntik dan populasi risiko tinggi sebagai subyek.

Segala biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas KPAP dan KPAK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Dalam hal penyidikan, selain pejabat penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana umum, penyidikan atas tindak pidana peraturan daerah ini dapat di lakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipi l (PPNS) dilingkungan pemerintah daerah yang pengangkatannya di tetapkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan. Dalam melaksanakan tugas penyidikan, pejabat PPNS berwenang:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian perkara dan melakukan pemeriksaan;

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka, dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;

e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti pidana, dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka atau keluarganya;

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat di pertanggungjawabkan.Jika terdapat pelanggaran maka setiap orang dan/atau penanggung jawab tempat yang melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi penghentian atau penutupan tempat penyelenggaraan usaha. Setiap orang dan/atau penanggung jawab yang melanggar ketentuan diancam pidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000, - ( lima puluh juta rupiah). Tindak pidana yang berkaitan dengan penularan HIV yang di lakukan secara sengaja dan/atau terencana selain di kenakan sanksi sebagai mana di maksud sebelumnya, diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. C. PASAL YANG BERMASALAHPemahaman yang akurat tentang penularan dan pencegahan HIV merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Hal ini sejalan dengan pasal 14 ayat 1 huruf a pada Perda AIDS Jakarta yang menyebutkan Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui (a) peningkatan pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang ditimbulkan.Tapi, hal ini tidak akan tercapai kalau materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang disampaikan kepada masyarakat melalui berita, ceramah, pidato, dan peraturan, seperti Perda, tetap bermuatan norma, moral, dan agama. Soalnya, kalau materi KIE tentang HIV/AIDS bermuatan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV/AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.

Maka, prinsip-prinsip mencegah penularan HIV yang diatur pada pasal 15 ayat a dan b tidak mendukung pasal 14 ayat 1 huruf a. Pasal 15 disebutkan Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan (b) hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.

Permasalahan lainnya ialah pernyataan pada pasal 15 ayat 1 huruf a dan b mengesankan bahwa penularan HIV terjadi karena: (a) hubungan seks sebelum menikah, dan (b) hubungan seks dengan pasangan yang tidak sah. Ini merupakan pernyataan yang normative bukan faktual. Juga tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seksual sebelum menikah dan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah.

Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fakta medis. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun hubungan seks dilakukan sebelum menikah dan di luar nikah. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (sebelum menikah atau di luar nikah).

Sedangkan pada ayat c disebutkan pula pencegahan HIV: menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV postif. Lagi-lagi pernyataan ini moralistis sehingga tidak ada maknanya. Apa yang dimaksud dengan alat pencegah?

Terkait dengan epidemi HIV penularan justru banyak terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sedangkan yang muncul hanya mitos. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum menikah, seks di luar nikah, jajan, selingkuh, seks menyimpang, waria dan homoseksual. Padahal, secara medis penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV apa pun jenis, konidisi, dan sifat hubungan seks yang mereka lakukan.

Pada pasal 15 ayat g angka 2 terkait dengan pencegahan disebutkan: setiap penanggung jawab tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV wajib memeriksakan kesehatan secara berkala bagi karyawan yang menjadi tanggung jawabnya. Pasal ini tidak sejalan dengan pasal 15 ayat c karena yang diwajibkan memakai alat pencegah hanya pasangan yang sah sedangkan pada kegiatan (baca: hubungan seksual) yang berisiko terjadi penularan HIV tidak diwajibkan memakai alat pencegah. Padahal, penularan HIV justru lebih banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi yaitu: (a) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Penyebutan tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV tidak akurat karena semua tempat di muka bumi ini, rumah, apartemen, kantor, losmen, hotel, taman, pantai, ladang, hutan, dll. bisa menjadi tempat yang berpotensi terjadi penularan HIV. Soalnya, perilaku berisiko tinggi tertular HIV bisa terjadi di semua tempat.

Kalau pasal ini mau menembak tempat-tempat yang menyediakan tempat untuk hubungan seks juga tidak pas karena yang menularkan HIV kepada karyawan di tempat-tempat itu justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajar, sopir, peccopet, perampok, dll.

Jika Perda ini dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk maka yang perlu diatur adalah kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV. Harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: Setiap orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan memakai kondom. Selanjutnya disebutkan pula: Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.

Sayang, dalam Perda ini, termasuk perda-perda AIDS lain di Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang yang mengatur upaya-upaya pencegahan dan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara eksplisit. Semua aturan hanya berdasarkan norma, moral, dan agama yang sangat implisit yang justru tidak ada hubungannya secara langsung dengan penularan HIV.

Seperti pada pasal 15 ayat g angka 2 yang mengatur pemeriksaan kesehatan secara berkala sangat riskan terhadap penyebaran HIV. Seorang karyawan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan tamu-tamunya berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari tamunya HIV-positif. Sejak karyawan tadi tertular HIV maka sejak itu pula dia bisa menularkan HIV kepada tamu-tamunya. Nah, kalau pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap minggu, setiap bulan atau setiap triwulan maka pada rentang waktu sebelum tes karyawan tadi sudah menularkan HIV kepada tamu-tamunya.

Pemeriksaan kesehatan berkala belum tentu bisa mendeteksi HIV pada karyawan tempat-tempat yang diduga berpotensi terjadi perilaku berisiko tertular HIV. Soalnya, kalau tes HIV dilakukan dengan rapid test atau ELISA maka tes ini baru akurat kalau yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.

Epidemi HIV menjadi persoalan besar karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, dan ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Dalam kaitan ini yang lebih pas untuk menanggulangi penyebaran HIV adalah orang per orang karena perilaku berisiko tinggi tertular HIV dilakukan oleh orang per orang.

Pada pasal 25 ayat 1 disebutkan Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui: (a) peningkatan ketahanan agama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhada ODHA, (b) pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga. Pasal ini pun sangat normatif karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan agama, keluarga, diskriminasi terhadap ODHA, dan pola hidup sehat.

Selama informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Akibatnya, upaya pencegahan pun tidak akan berhasil karena fakta tentang cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret tidak pernah sampai ke masyarakat.

D. TANTANGAN DAN MASALAHTantangan dan masalah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta adalah :

1. Dukungan politik yang belum memadai terhadap program promosi kondom dan pengurangan dampak buruk NAPZA suntik padahal kedua program ini merupakan program pokok upaya penanggulangan HIV; 2. Masalah HIV dan AIDS belum dianggap masalah prioritas baik oleh sektor kesehatan maupun sektor pembangunan terkait. 3. Jangkauan untuk mencapai universal access masih belum memadai karena keterbatasan dana untuk implementasi program di semua daerah yang memerlukan, baik untuk program pencegahan pada populasi kunci (WPS, Penasun, Waria, LSL dan pasangannya), pencegahan penularan dari ibu ke anak, perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA yang membutuhkan, maupun mitigasi dampak.

4. Untuk mengubah perilaku, diperlukan kontak intensif kepada populasi kunci, diperkirakan minimal 8 kali setiap tahun, sehingga diperlukan dukungan sumberdaya baik dalam bentuk pelaksana program maupun pendanaan untuk memastikan program intervensi dapat dilaksanakan.

5. Penggunaan kondom secara konsisten masih rendah karena program yang dilaksanakan masih belum mempunyai dukungan lingkungan yang memadai (baik oleh organisasi keagamaan maupun masyarakat lainnya) serta adanya kesulitan dalam menjangkau pelanggan pekerja seks. Para pemerhati AIDS akhirnya terjebak ke dalam lembah kontroversi promosi kondom; maju kena mundur pun kena. Apa yang kita saksikan di lapangan, promosi penggunaan kondom belum dikembangkan secara intensif dan efektif. Di sisi lain, pendekatan sosial keagamaan untuk mencegah semakin berkembangnya perilaku seks yang berisiko tercenar HIV juga belum gencar dilaksanakan, dan terjebak rutinisme.6. Keberlangsungan program belum dapat dipastikan. Masih terdapat kesenjangan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan program di tingkat provinsi baik sebagai pemimpin, pengelola maupun pelaksana program. Mengingat masih belum adanya kejelasan dukungan pendanaan dari bantuan untuk program HIV pada masa-masa yang akan datang. Dalam Perda sudah ada kejelasan bahwa sumber dana berasal dari APBD, hanya jumlah yang diperlukan belum bisa dipenuhi. 7. Sistem layanan kesehatan dan komunitas masih lemah. Sistem kesehatan perlu diperkuat untuk menangani HIV dan AIDS antara lain di bidang pencegahan, diagnostik, pengobatan dan perawatan, keamanan transfusi darah dan kewaspadaan universal. Sistem komunitas melalui LSM dan organisasi/jaringan populasi kunci perlu diperkuat untuk dapat lebih berperan aktif dan menjangkau populasi kunci.

8. Masih perlu peningkatan tata kelola kepemerintahan yang baik untuk koordinasi antar sektor, harmonisasi kebijakan, manajemen, penyediaan informasi strategik, monitoring dan evaluasi serta implementasi program.

9. Masih perlu peningkatan lingkungan yang lebih kondusif, untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, ketidaksetaraan gender dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan melibatkan organisasi masyarakat dan keagamaan serta sektor pendidikan

Masalah lain yang didapatkan di lapangan ialah keberadaan peraturan daerah, surat keputusan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang pembentukan komisi dan upaya penanggulangan bermaksud menjamin pelaksanaan kebijakan. Namun beberapa Perda (Peraturan Daerah) yang ternyata belum sinkron dapat menghambat program penanggulangan. Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2008 mendukung program pencegahan IMS dan HIV dan AIDS dengan mengharuskan penggunaan kondom setiap transaksi seksual, termasuk di tempat-tempat hiburan. Di pihak lain, Perda Dinas Pariwisata DKI Jakarta No.10 Tahun 2004 melarang pelayanan seksual dalam perijinan sarana hiburan, yang secara tidak langsung melarang sarana hiburan menyediakan kondom. Ketimpangan ini membuat bingung pengelola sarana hiburan sebagai pelaksana program, dengan akibat menghambat pelaksanaan program pencegahan penularan melalui transmisi seksual.Kita harus menyadari bahwa tujuan penanggulangan AIDS adalah menyelamatkan masyarakat dari renggutan virus AIDS ini. Kita juga harus menyadari bahwa masyarakat kita sangat plural. Kedua paradigma pendekatan tersebut memang mengandung unsur kekuatan dan kelemahan. Unsur kekuatannya, kalau keduanya telah dijadikan dasar pengembangan program secara intensif dan berkelanjutan. Unsur kelemahannya kalau keduanya justru tidak mampu menghasilkan gerakan di masyarakat yang akan untuk mengubah perilaku berisiko masyarakat menjadi yang lebih aman karena hanya ramai didiskusikan di berbagai seminar, hanya pintar mengejek dan mencari kelemahan pihak lainnya, tetapi kita belum mampu menjabarkannya kedalam program-program spesifik sesuai dengan kelompok sasaran masyarakat (target group) dan kecenderungan munculnya perilaku berisiko (target behaviour) pada kelompok tersebut.

Masalah mengenai HIV/AIDS lainnya ialah hadirnyakartu sehat yang baru saja diluncurkan oleh Jokowi. Kartu tersebut memang membantu para Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) namun ada juga beberapa hal yang dibutuhkan oleh ODHA. Ada beberapa tes rutin penunjang keberhasilan terapi obat ARV yang harus di konsumsi setiap hari dan harganya tidak terjangkau oleh sebagian besar dari ODHA. Sementara itu tes seperti CD4 dan Viral Load yang sebenarnya sangat dibutuhkan ODHA secara rutin, menjadi mimpi di siang bolong lantaran harganya tidak terjangkau bagi kebanyakan ODHA yang berasal dari kelompok miskin. Sehingga diharapkan kartu sehat tersebut bisa digunakan untuk menanggung biaya tes penunjang keberhasilan terapi ARV pada ODHA seperti tes CD4 dan tes Viral Load. Dan untuk terapi obat ARV yang harus di konsumsi setiap hari oleh ODHA.

E. IMPLEMENTASI KEBIJAKANImplementasi kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Pada dasarnya ada lima ketepatan yang perlu dipahami dalam hal keefektifan implementasi suatu kebijakan, sehingga kita dapat menilai nantinya apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan efektif. Kelima ketepatan itu adalah:

1. Ketepatan Kebijakan Dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan dalam kebijakan perda ini. Keempat upaya (upaya promosi, pencegahan, pengobatan, maupun perawatan dan dukungan) tersebut telah dilakukan oleh agen-agen pelaksana misalnya seperti telah ada sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat umum ataupun ODHA, adanya pemberian layanan kesehatan, pengembangan kapasitas orang-orang yang terkena HIV dan AIDS, pemberian jarum suntik steril dalam langkah pencegahan sebagai program pengurangan dampak buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (NAPZA) suntik, dan upaya lainnya. Akan tetapi, upaya-upaya yang ada belum berjalan maksimal sehingga masih ada tujuan-tujuan kebijakan yang belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Dari sisi lembaga-lembaga pembuat kebijakan, kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS telah dibuat oleh lembaga-lembaga yang kompeten dibidangnya dan sesuai dengan karakter kebijakan. Banyak pihak yang terkait dalam pembuatan perda, tidak hanya dari aspek kesehatan saja melainkan aspek-aspek yang lain juga terlibat didalamnya.2. Ketepatan Pelaksana Para agen pelaksana program Penanggulangan Penyakit HIV dan AIDS di DKI Jakarta adalah Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) dan semua stakeholder-stakeholder yang terkait didalamnya, baik itu SKPD-SKPD, LSM, dunia usaha, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan lainnya. Akan tetapi dilihat dari sisi keterlibatan agen-agen pelaksana dapat dikatakan hanya beberapa saja yang sudah berperan aktif dalam melaksanakan tugasnya, seperi Dinas Kesehatan, KPAP, LSM. Sebagai contoh yang menjadi perhatian adalah pada Departemen Agama, Dinas Pendidikan yang perannya belum begitu aktif. Dinas Pendidikan yang perannya belum begitu aktif, padahal dalam upaya pencegahan didalam perda ada upaya pemberian materi kesehatan reproduksi termasuk didalamnya tentang IMS dan HIV bagi para peserta didik yang menjadi program Dinas Pendidikan. 3. Ketepatan Target Target penerima kebijakan ini adalah seluruh masyarakat DKI Jakarta, para stakeholder, dan khususnya para penerima program ini adalah orang yang beresiko terkena HIV dan AIDS ataupun orang yang sudah terkena HIV dan AIDS (ODHA). Orang-orang yeng beresiko terkena HIV dan AIDS seperti kelompok waria, gay, pekerja seks, lelaki beresiko tinggi, orang yang menggunakan NAPZA, dan lainnya. Kelompok-kelompok inilah yang seharusnya sudah mengetahui tentang adanya upaya-upaya dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak penerima kebijakan ini yang belum mengetahui akan adanya kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta. Didaerah-daerah diwilayah DKI Jakarta pun masih banyak daerah yang masih belum memiliki perda kota. 4. Ketepatan Lingkungan Keterkaitan antara lembaga yang satu dengan lainnya tidak mengalami permasalahan. Keterkaitan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya sebenarnya berjalan baik. Namun yang masih kurang adalah koordinasi mengenai program-program penanggulangan HIV dan AIDS antara satu dan lainnya masih dirasakan kurang. Karena programnya berjalan sendiri-sendiri untuk mensinergikannya yang masih dirasa susah. Hal ini dikarenakan masing-masing lembaga sudah mempunyai tupoksinya masing-masing. Untuk itulah disini peran dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi untuk mengkoordinasikan program-program yang berjalan, sehingga program-program yang dijalankan dapat dirasakan manfaatnya.

5. Ketepatan Proses Kesiapan agen-agen pelaksana ada yang sudah siap dan ada juga yang belum. Masih perlunya kesiapan yang mendalam dalam menjalankan masing-masing tugasnya dalam pengimplementasian kebijakan penanggulangan penyakit HIV dan AIDS. Kesiapan agen pelaksana bukan hanya berada ditataran provinsi saja tetapi juga ditataran kabupaten/ kota yang diharapkan dapat menjangkau masyarakat yang lebih dekat. Kesiapan masyarakat dalam hal ini masih dirasakan kurang, karena masih banyak masyarakat yan melakukan diskriminasi terhadap prang-orang yang terkena HIV dan AIDS. Pengetahuan masyarakat yang masih minim masih menimbulkan penolakan.Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta ialah 1. Komunikasi Adanya hambatan yang terjadi dalam proses penyampaian (transmisi) komunikasi. Penyampaian informasi yang dilakukan ditandai dengan adanya sosialisasi mengenai program-program yang sedang dijalankan, dengan adanya pertemuan (rapat) dengan lembaga satu dan lainnya, baik yang dilakukan dengan agen para pelaksana dan juga kepada penerima program. Sosialiasasi yang dilakukan juga sering dilakukan, akan tetapi dalam penyampaian informasi, proses itu berhenti disatu pihak, tidak tersampaikan lagi pada yang lainnya. Hal lainnya yang membuat informasi yang diterima tidak jelas dan lengkap adalah adanya resistensi dari masyarakat karena minimnya informasi yang tidak menyeluruh kepada penerima program. 2. Sumberdaya Para agen pelaksana sudah memiliki kualitas yang kompeten di perkerjaannya masing-masing. Akan tetapi masih diperlukan penyesuaian kemampuan dibagian-bagian tertentu. Namun memang tidak dapat dipungkiri dengan program yang cukup banyak, dibandingkan dengan jumlah ketersediaan sumberdaya yang ada masih dirasa belum mencukupi. Pengalokasian dana untuk kebijakan ini juga masih mengalami keterbatasan. Hal ini dilihat dengan dengan banyaknya program-program yang ada, tetapi sumber pendanaan yang ada belum sepenuhnya mencukupi. Hal ini membuat adanya keterbatasan dalam melaksanakan program-program penanggulangan penyakit ini. Anggaran yang diberikan pemerintah untuk pengimplementasian perda ini masih belum memadai untuk melaksanakan program-program yang ada. 3. Kondisi Lingkungan Pengaruh lingkungan sosial dan ekonomi suatu masyarakat, khususnya kepada masyarakat yang menjadi kelompok penerima kebijakan, pengaruh akan lingkungan ini ikut mempengaruhi. Faktor-faktor lingkungan yang terjadi disekitar kehidupan para ODHA pastinya mempunyai pengaruh. Banyak ODHA yang berada di DKI Jakarta memiliki kondisi ekonomi yang berada menengah kebawah. Hal ini dapat kita analisis, untuk memenuhi kebutuhannya, ODHA pasti akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu dilain pihak kondisi sosial lingkungan ODHA maupun ODHA sendiri yang dalam kenyataannya bahwa masih ada penolakan terhadap ODHA dilingkungan masyarakat membuat para ODHA takut untuk membuka status mereka. 4. Disposisi Pemahaman sebuah kebijakan yang akan dilakukan oleh aparatur pelaksana atau implementor pastinya beragam satu dengan yang lainnya. Banyaknya pengetahuan atau informasi yang dimiliki juga dapat membuat agen pelaksana menjadi lebih paham tentang apa yang akan menjadi tugasnya. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana respon mereka dalam menjalankan tugasnya masing-masing dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Para agen pelaksana kebijakan penanggulangan penyakit HIV dan AIDS telah menunjukkan respon yang positf, respon yang baik. Agen pelaksana pada dasarnya telah mengetahui apa yang menjadi tugasnya. Ketika mereka sudah paham akan tugasnya, mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan tanggungjawabnya. Akan tetapi yang masih dirasa kurang adalah komitmen mereka dalam melakukan tugas dan kewajibannya tidak maksimal. Sehingga masih banyak pelaksanaan yang belum berjalan optimal.F. STRATEGI YANG PERLU DILAKUKANStrategi yang perlu ditempuh dalam rangka penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:a) Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan

b) Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan pengobatan

c) Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akses program mitigasi sosial.

d) Penguatan kemitraan, sistem kesehatan dan masyarakat.

e) Meningkatkan koordinasi antara pemangku kepentingan dan mobilisasi penggunaan sumber daya di semua tingkat.

f) Mengembangkan intervensi struktural.

g) Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data.

h) Meningkatkan efektifitas program

i) Mendorong kesinambungan program

PENUTUPA. KESIMPULAN1. Pemprov DKI Jakarta menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang dimaksudkan untuk penanggulangan HIV dan AIDS dengan menekan laju penularan HIV dan AIDS serta meningkatkan kualitas hidup ODHA dan penyalahguna NAPZA suntik.2. Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 5 tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang diselenggarakan oleh masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta sektor terkait lainnya berdasarkan prinsip kemitraan yang dilakukan melalui upaya promosi, pencegahan, pengobatan, maupun perawatan dan dukungan.3. Tantangan dan masalah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta adalah : Dukungan politik yang belum memadai, Masalah HIV dan AIDS belum dianggap masalah prioritas, Jangkauan untuk mencapai universal access masih belum memadai, Untuk mengubah perilaku, diperlukan kontak intensif kepada populasi kunci, Penggunaan kondom secara konsisten masih rendah, Keberlangsungan program belum dapat dipastikan, Sistem layanan kesehatan dan komunitas masih lemah, Masih perlu peningkatan tata kelola kepemerintahan yang baik untuk koordinasi antar sektor, dan masih perlu peningkatan lingkungan yang lebih kondusif.

4. Ada lima ketepatan yang perlu dipahami dalam hal keefektifan implementasi suatu kebijakan, sehingga kita dapat menilai nantinya apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan efektif yaitu Ketepatan Kebijakan, Pelaksana, Target, Lingkungan, Proses. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di DKI Jakarta ialah Komunikasi, Sumberdaya, Kondisi Lingkungan dan Disposisi.5. Strategi yang perlu ditempuh dalam rangka penanggulangan HIV AIDS di DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Meningkatkan dan memperluas cakupan seluruh pencegahan, Meningkatkan dan memperluas cakupan perawatan, dukungan dan pengobatan, Mengurangi dampak negatif dari epidemi dengan meningkatkan akses program mitigasi sosial, Penguatan kemitraan, sistem kesehatan dan masyarakat; Meningkatkan koordinasi antara pemangku kepentingan dan mobilisasi penggunaan sumber daya di semua tingkat; Mengembangkan intervensi structural; Penerapan perencanaan, prioritas dan implementasi program berbasis data; Meningkatkan efektifitas program; dan Mendorong kesinambungan program.B. SARANSaran atau rekomendasi atas permasalahan yang muncul berdasarkan fenomena dalam pelaksanaan Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS adalah :1. Mengoptimalkan pemanfaatan media cetak, audio, dan visual dalam mensosialisasikan program-program dan informasi mengenai penanggulangan HIV dan AIDS.

2. Monitoring dan evaluasi terhadap implementasi program-program dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS secara berkala.

3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dengan adanya pelatihan kepada para agen pelaksana.

4. Perencanaan yang matang mengenai program-program penanggulangan penyakit HIV dan AIDS sehingga dapat mengukur seberapa dana yang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKADitjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Jenis Kelamin/Sex Dilapor s/d September 2014. http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf. Diakses tanggal 20 Desember 2014

Harahap, Syaiful. 2012. Perda AIDS DKI Jakarta. AIDS Watch IndonesiaFelisiani, Theresia. 2012. Waspada Fenomena HIV AIDS Jadi Masalah Serius di Jakarta. http://www.tribunnews.com/kesehatan/2012/12/02/waspada-fenomena-hiv-dan-aids-jadi-masalah-serius-di-jakarta. Diakses tanggal 20 Desember 2014Komisi Penanggulangan HIV DAN AIDS Provinsi DKI Jakarta. 2013. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 2017. KPAP JAKARTAMuninjaya, Gde A. 1999. AIDS di Indonesia: Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC

Sagala, Afriani Hanna dkk. 2009. Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah (Kajian Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009). Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas DiponegoroWikipedia. 2013. HIV AIDS in Indonesia. http://en.wikipedia.org/wiki/HIV/AIDS_in_Indonesia. Diakses tanggal 25 Desember 2014