Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Lesteekonomi dan pembangunan infrastruktur (jalan raya,...
Transcript of Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Lesteekonomi dan pembangunan infrastruktur (jalan raya,...
BAB IV
ADAPTASI BUDAYA PARA EKSPATRIAT
DI TIMOR LESTE
4.1 KARAKTERISTIK INFORMAN
Sebelum data dianalisis, penulis perlu
menyajikan karakteristik informan. Informan adalah
sekumpulan orang dimana peneliti bisa memperoleh
informasi atau data yang diperlukan untuk
melakukan suatu penelitian. Para bisnis ekspatriat
yang dijadikan informan dalam penelitian terdiri dari
27 orang yaitu: Gladys P. Pustrua, John Paul S
Valdes, Miraclan Abejero, Curistian Serrano, Roel
Fernandez, Maricar, Kanjana Tongdee, Sucmart
Rucankhamfu, Phong Phan Samaketkarn,
Chawbanted Lerdsak, Boonthom, Panvin Sultama,
Noman Fatemi, Golano Mostafa, Tan C.H, Chen Shao,
Aiko, K. Kotaki, Loo Teck Lim, Narasihmmarao
Sinnayah, Rajendar Jaau, Muhammad Hamid, Trieu
Hai Van, Aziz-Ul-Haq, Kimberly Washington, Aliser
Park dan Mark Nicholson. Adapun karakteristik
informan dalam penelitian ini dapat dikategorikan
berdasarkan jumlah dan asal Negara, jenis kelamin,
umur, Pendidikan, Agama, status keluarga, pekerjaan
dan lamanya bertugas.
39
Untuk karakteristik berdasarkan asal Negara
maka bisnis ekspatriat terdiri dari 11 Negara yaitu :
Filipina, Bangladesh, Thailand, Singapore, Jepan,
Malaysia, India, Australia, Amerika Serikat, Pakistan
dan Vietnam. Para bisnis ekspatriat ini dikategorikan
dalam Jenis Kelamin maka yang berjenis kelamin
Laki-laki 20 orang dan Perempuan 7 orang apabila
dilihat dari jumlah ekspatriat laki-laki dan
perempuan, maka lebih banyak ekspatriat yang
berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan
dengan total 20 orang. Jika didasarkan pada umur
maka kay informan yang berusia antara 20-35
berjumlah 13 orang sedangkan narasumber yang
berumur antara 35-50 berjumlah 14 orang.
Dari jumlah 27 para eksptariat yang dijadikan
narasumber, apabila didasarkan pada Jenis
pendidikan maka ekspatriat yang berpendidikan
Diploma berjumlah 9 orang, Sarjana S1 berjumlah 13
orang dan S2 berjumlah 5 orang. Dilihat dari segi
sumber daya manusia maka para ekspatriat yang
diteliti dalam obyek penelitian ini semua memiliki
kompetensi pengetahuan yang baik.
Bila diasaskan pada agama maka ekspatriat
yang beragama Katholik berjumlah 8 orang, Budha 7
orang, Hindu 5 orang, Protestan, Kong Hu Cu, Shinto
masing-masing 2 orang dan Islam 1 orang. Diurutkan
40
berdasarkan Negara maka ekspatriat yang berasal
dari Filipina semua beragama Katholik dan Thailand
beragama budha.
Ada 3 jenis status keluarga dari ekspatriat
yaitu menikah (Married) berjumlah 8 orang, singel 10
orang dan Cerai (divorce) 9 orang. Dan jika
didasarkan pada lamanya penugasan maka
ekspatriat yang bertugas antara 1-3 tahun berjumlah
15 orang, 3-5 tahun adalah 7 orang dan antara 5-10
tahun berjumlah 4 orang. Selain itu juga didasarkan
pada penyertaan atau pengikut keluarga maka
informan yang didampingi keluarga berjumlah 6
orang dan tinggal sendirian berjumlah 21 orang,
apabila dilihat dari jumlah ekspatriat yang tinggal
bersama dengan keluarga dan tinggal sendirian maka
ekspatriat yang tinggal sendirian jumlah lebih banyak
daripada yang tinggal bersama dengan keluarga.
Adapun dari 27 informan dalam penelitian
digolongkan sesuai dengan Negara asal maka
narasumber yang berasal dari Filipina berjumlah 6
orang, Thailand 5 orang, Bangladesh 3 orang,
Singapore, Jepan, Malaysia, India dan Australia
masing-masing 2 orang sedangkan Amerika Serikat,
Vietnam dan Pakistan masing-masing berjumlah 1
orang. Para informan ini, bila di kategorikan pada
jenis pekerjaan maka para ekspatriat ini bekerja
41
sebagai karyawan di perusahan ekspor dan impor
(Trading) berjumlah 13 orang yang terdiri dari
perempuan 4 dan laki-laki 9 orang. Selanjutnya yang
bekerja di restoran berjumlah 8 orang terdiri dari 5
perempuan dan 3 orang laki-laki. Selain itu yang
bekerja sebagai karyawan Industri berjumlah 3 orang
(perempuan 1 dan laki-laki 2 orang) kemudian yang
bekerja di konstruksi hanya 2 orang (laki-laki) dan
yang terakhir hanya 1 orang ( laki-laki) yang bekerja
di konsultan.
4.2 FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG ADAPTASI
4.2.1 Individual
A. Anticipatory adjustment
Salah satu faktor yang dapat membantu
ekspatriat ketika melakukan penyesuaian terhadap
lingkungan umum (general adjustment), pekerja
(work) dan interaksi sosial (social Interaction) di
Negara baru adalah adaptasi individual. Hal ini
penting untuk dilakukan oleh setiap ekspatriat
karena dalam proses penugasan diluar negeri para
ekpatriat di harus untuk segerah melakukan
penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Salah
satu faktor pendukung adaptasi individual adalah
penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan
self efficacy.
42
Penyesuaian antisipatif (anticipatory
adjustment) terdiri dari 2 faktor yaitu penyediaan
pelatihan sebelum keberangkatan (pre-departure
training) dan pengalaman kerja sebelumnya (previous
work experience). Kedua faktor individual ini cukup
bermanfaat bagi ekspatriat dalam melakukan
adaptasi dinegara baru dimana ekspatriat bekerja.
ekspatriat yang memiliki penyesuaian antisipatif
(anticipatory adjustment) akan lebih efektif dalam
penyesuaian diri. Akan tetapi, pengalaman kerja
sebelumnya (previous work experience) harus mirip
dengan keadaan atau kondisi yang akan ditugaskan
sehingga para ekspatriat bisa dapat mengantisipasi
kemungkinan perbedaan-perbedaan yang akan
terjadi. Selain itu juga pelatihan budaya (cultural
training) yang akan diberikan kepada ekspatriat
harus disesuaikan dengan keadaan dimana mereka
akan ditugaskan. Sebab kondisi Negara maju
(developed country) dan Negara sedang berkembang
(developing country) bukan hanya perbedaan kultur
dan bahasa namun juga memiliki banyak perbedaan
seperti kondisi keamanan internal (konflik sosial),
ekonomi dan pembangunan infrastruktur (jalan raya,
listrik, telekomunikasi, fasilitas kesehatan, fasilitas
tempat tinggal dan lain-lain). Bisnis ekspatriat yang
pengalaman kerja sebelumnya (previous work
experience) tidak relevan dengan keadaan baru
43
tersebut juga akan mengalami culture shock namun
para eksptariat ini lebih cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru bila dibangdingkan dengan
yang tidak pernah mempunyai pengalaman kerja di
luar negeri.
Dari 27 ekspatriat yang bekerja di Timor Leste,
hanya ada 4 ekspatriat yang memiliki pengalaman
kerja di luar negeri dan tidak seorangpun diantara
para ekspatriat yang mendapatkan pelatihan sebelum
keberangkatan (pre-departure training). 4 ekspatriat
yang mempunyai pengalaman kerja diluar negeri
berasal dari India, Thailand, Bangladesh dan
Malaysia. Para bisnis ekspatriat ini melakukan
penyesuaian umum (general adjustment) dan
pekerjaan (work adjustment) dengan cepat. Namun
sulit melakukan penyesuaian terhadap sosial
interaksi (social interaction adjustment). Hal ini sulit
untuk dilakukan karena Timor Leste adalah Negara
baru yang sedang berkembang (developing country)
yang mempunyai banyak keterbatasan seperti kondisi
keamanan internal, ekonomi, pembangunan
infrastruktur (jalan raya, telekomunikasi, listrik,
fasilitas tinggal dan lain-lain) masih dibawah standar.
Disamping itu juga diwarnai dengan konflik sosial
yang tinggi sehingga para ekspatriat merasa
44
kekuatiran untuk berinteraksi dengan masyarakat
lokal diluar pekerjaan.
Sedangkan para ekspatriat yang tidak memiliki
Penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) sulit
melakukan penyesuaian umum (general adjustment)
dan penyesuaian interaksi sosial (social interaction).
Namun sedikit mudah melakukan penyesuaian
terhadap pekerjaan, hal ini terjadi karena mereka
sudah terbiasa bekerja di perusahaan induk hanya
melakukan penyesuaian terhadap fasilitas yang di
pakai. Menurut beberapa informan yang berasal dari
Australia, Jepan, Amerika, Singapore dan Filipina
mengatakan hal yang sama bahwa Fasilitas yang
dipakai di tempat kerja mereka masih memiliki
keterbatasan (manual) sehingga mereka perlu
melakukan penyesuaian. Aliser Park dari Australia
mengatakan bahwa penyesuaian terhadap pekerja
cukup penting dalam adaptasi individu karena hal ini
bisa menganggu psikologi kita ketika melakukan
pekerja,
“ketika saya datang, saya melihat fasilitas
yang digunakan di kantor sangat berbeda dengan perusahaan induk dimana saya
bekerja…pekerjaan yang seharus diselesaikan
dalam 1 jam bisa selesai dalam 3 jam seperti
mesin-mesin kurang perawatan sehingga kurang
efektif dalam operasi selain itu juga sistem
komonikasi dan elektronik..semuanya biaya sangat mahal sehingga komonikasi online kurang
efektif dan tidak bisa efisien dengan biaya tetapi
itu bukan suatu persoalan besar untuk adaptasi
45
hanya perlu waktu sedikit untuk penyesuaian
diri”.
Sedangkan Roel Fernandez dari Filipina
menyatakan bahwa adaptasi individo terhadap
pekerjaan penting untuk dilakukan karena ditempat
kerjanya masih ada pekerjaan yang dilakukan secara
manual,
“Diawal saya bekerja, saya melihat banyak computer tapi aplikasi jaringan lunak (software)
masih sangat kurang sehingga saya membuat
desain masih secara manual dan hal ini membuat saya cukup tegan karena pekerjaan yang
diselesaikan dalam beberapa jam harus di
selesaikan dalam beberapa hari…saya pikir ini
memang sangat kurang efisien tetapi ini hanya
sedikit perbedaan dan bukan masalah besar bagi saya…saya bisa berusaha menyesuaikan diri ”.
B. Self Efficacy
Walaupun para ekspatriat mengalami kesulitan
dalam penyesuaian akan tetapi para ekspatriat
memiliki kemampuan untuk mengelola setiap
perbedaan budaya dan bahasa dengan cara belajar
sendiri (self study) atau otodidak yaitu mengenal
budaya Timor Leste melalui buku, Koran, majalah
dan internet. Selain itu mereka sendiri mempelajari
budaya dengan cara observasi dengan melakukan
pengamatan tentang kebiasaan di Timor Leste dan
banyak berkomunikasi dengan interpreter. Kemudian
para ekspatriat selalu mempunyai niat yang kuat
untuk mengkopi budaya, menyesuaikan diri pada
46
kondisi-kondisi lain seperti fasilitas tempat tinggal,
makanan, pembangunan jalan raya, telekomunikasi,
tempat pembelanjaan, black out listrik, dan
menghindari diri dari konflik sosial. Tidak hanya
melakukan adaptasi secara umum (general
adjustment) tetapi juga melakukan adaptasi terhadap
pekerjaan (work) bahwa walaupun ada perbedaan
sedikit pengunaan fasilitas mereka selalu berusaha
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Namun
adaptasi terhadap karyawan lokal di tempat kerja
agak sulit bagi bisnis ekspatriat karena karyawan
lokal sulit untuk berorientasi kerja dan hal ini juga
menjadi kendala bagi mereka dalam adaptasi kerja.
Aliser Park di perusahaan Esset dari Australia
mengatakan bahwa dalam adaptasi pekerjaan
karyawan adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi adaptasi pekerjaan karena
lingkungan pekerjaan juga harus nyaman baru kita
lebih flexible dalam melakukan pekerjaan,
“karyawan lokal tidak bisa bekerja
mandiri atau indepeden, mereka selalu disuru dan diawasi baru bisa bekerja…kalau tidak
disuru atau dikontrol mereka tidak mau kerja
secara mandiri, kalau saya tegur mereka malah
dendam dan marah sama saya sehingga sulit
bagi saya untuk beradaptasi dengan mereka. Walaupun demikian saya juga tetap berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan mereka dan
meyelesaikan pekerjaan saya dengan baik tampa
dukungan penuh mereka. Jadi adaptasi terhadap
karyawan lokal juga cukup penting untuk
dilakukan. Kalau tidak, bisa menimbulkan konflik
47
kerja. Saya anggap ini memang tantangan yang
saya hadapi tapi saya harus lebih sabar untuk
menangapi sehingga semuanya bisa berjalan dengan baik”
Selain itu Mark Nicholson dari Australia juga
mengatakan hal yang sama bahwa,
“Semua karyawan lokal susah untuk
membangun suatu kerja tim yang baik, dalam
melakukan pekerjaan lebih gila…artinya tidak ada keselamatan kerja (safety work) kemudian
sudah salah ditegur susah menerima kesalahan
dan malah dendam dan banyak diam…padahal
tidak berkomonikasi bisa menganggu pekerjaan.
Tapi, saya selalu berusaha memahami dan
melakukan pekerja dengan baik…kalau sudah terjadi demikian saya harus sabar dan kadang-
kadang ingatkan mereka supaya tetap menjadi
tim kerja yang baik. Jadi adaptasi individo untuk
pekerjaan terutama tim kerja cukup penting
untuk dilakukan.”
Tidak hanya ekspatriat dari Australia yang
mengatakan demikian namun bisnis ekspatriat yang
berasal dari Negara lain dalam penelitian ini hampir
mengatakan hal yang sama bahwa adaptasi terhadap
pekerjaan penting sehingga mereka selalu berusaha
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan baik.
4.2.2. JOB FACTOR
Dalam menjalankan tugas mayoritas para
ekspatriat mengatakan bahwa mereka memiliki job
description yang jelas sehingga mereka tidak bingun
dalam melakukan pekerjaan. Adaptasi yang perlu
dilakukan adalah fasilitas kerja dan penyesuaian
48
terhadap karyawan lokal. Kadang-kadang para
ekspatriat juga menemui beberapa pekerjaan yang
berbeda bahkan baru, namun para ekspatriat
mempelajari dengan seksama dan sering mencoba
melakukan sehingga para ekspatriat terbiasa dengan
pekerjaan tersebut dan hal ini tidak terlalu sulit bagi
mereka karena mereka mempunyai keinginan untuk
belajar sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh
ekspatriat : Gladys P. Pustrua, John Paul S Valdes,
Miraclan Abejero dari Filipina (ketiga bisnis ekspariat
mengatakan makna pernyataan yang sama) bahwa,
“Kadang-kadang saya dibebangi dengan
pekerja yang baru, pada awalnya saya tidak mengerti tetapi saya selalu berusaha untuk
belajar dengan seksama dan apabila saya sangat
bingun maka saya mencari petunjuk dari
pimpinan perusahaan atau para senior untuk
memberikan petujuk dan akhirnya saya mampu
menyelesaikan pekerjaan saya dengan baik….dan lama kelamahan saya terbiasa dengan pekerjaan
baru...saya termotivasi sebagai pengalaman baru
bagi saya.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh
seorang bisnis ekspatriat dari Vietnam-Trieu Hai Van
bahwa,
”pada awalnya saya binggun karena
pekerjaan dan tanggungjawab yang diberikan
berbeda dengan kontrak kerja saya tetapi saya
melihat bahwa pekerjaan ini baru pertama kali bagi saya maka saya penasaran ingin tau tentang
pekerjaan ini…maka saya berusaha
melakukannya walaupun hasil tidak
maksimal…tetapi saya selalu didampingi oleh
superviser sehingga pekerjaan berikutnya saya
49
menyelesaikan dengan baik dan benar-benar saya
termotivasi.
Jadi faktor pekerjaan merupakan salah satu
faktor yang menbantu para ekspatriat dalam
melakukan proses adaptasi kerena para ekspatriat
dapat didukung ; job description yang jelas,
keleluasaan atau otoritas dalam melakukan
pekerjaan. Selain itu para bisnis ekspatriat juga
diberikan tugas-tugas yang baru (berbeda dengan
sebelumnya) dan dibebangi juga dengan pekerjaan
yang baru sehingga menjadi motivasi dalam
melakukan adaptasi individual.
4. 2.3 ORGANIZATION CULTURE
Setiap organisasi mempunyai budaya masing-
masing baik organisasi induk maupun cabang juga
mempunyai sub kultur yang berbeda seperti gaya
manajemen dapat disesuaikan dengan keadaan
setempat maka ekspatriat perlu diorientasikan sesuai
dengan keadaan setempat. Bila hal ini dilakukan
dengan baik maka perlu ada dukungan dari
organisasi dalam hal memperkenalkan keadaan baru,
menyediakan fasilitas dan dukungan lain yang bisa
dapat memotivasi bisnis ekspatriat. Semua bisnis
ekspatriat dalam penelitian ini mengatakan bahwa
rata-rata mereka yang bertugas di cabang
perusahaan mereka diberi dukungan logistik bahkan
50
akomodasi gratis (free accommodation) dan juga
diberikan informasi tentang keadaan keamanan di
Timor Leste. Selain itu juga diberikan kontrak kerja
yang jelas sehingga membantu bisnis ekspatriat
dalam melakukan adaptasi. Seperti yang dikatakan
oleh Maricar Roldan bisnis ekspatriat dari Filipina
mengatakan bahwa,
“Saya bekerja di perusahaan Australia, organisasi memberikan banyak asistensi dimulai
dari akomodasi dan fasilitas lain, jadi kalau saya
ada masalah tentang kebutuhan pribadi saya
selalu berhubungan dengan pimpinan
perusahaan. Disamping itu saya juga diberi
kontrak yang jelas oleh karena itu, apapun masalah yang saya peroleh saya selalu sadar dan
menyesuaikan diri dan saya disini tergantung
kontrak yang mereka berikan kalau kontrak saya
tetap dilanjutkan maka saya tetap memilih untuk
tinggal dan bekerja disini.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mark
Nicholson dari Australia bahwa,
“Saya bekerja disini perusahaan memberikan fasilitas termasuk akomodasi.
Kadang-kadang saya mendapatkan masalah
piminanan perusahaan turut membantu mencari
solusi jadi saya pun harus membantu
perusahaan melalui kontribusi kerja saya dan
kapan kontrak saya berakhir baru saya kembali.”
51
4.2.4 JOB SATISFACTION
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
terjadi kegagalan dalam penugasan internasional
adalah job satisfaction, banyak ekspatriat yang pulan
sebelum saatnya (early return) karena pekerjaan
mereka tidak memberikan timbal balik (feedback)
bagi mereka. Sebab job satisfaction mengilustrasikan
keadaan emosi yang menyenangkan hati mereka
secara positif sesuai dengan presepsi mereka
terhadap pekerjaan baik secara intrinsik atau
ekstrinsik yang benar-benar berada dalam diri
mereka. kadang-kadang para ekspatriat merasa
belum mampu untuk menyesuaikan diri dengan
budaya baru tapi dengan adanya faktor intrinsik/
motivator ekspatriat akan berusaha tetap tinggal di
luar negeri. Seperti yang dikatakan oleh beberapa
informen dalam penelitian ini, ketika ditanya
bagaimana kesan anda terhadap pekerjaan sekarang
bila dibandingkan dengan perusahaan induk dimana
sebelum anda bekerja. Seorang informen Mark
Nicholson dari Autralia mengatakan,
“Saya sangat senang dan puas dengan
pekerjaan ini karena saya diberi kesempatan
untuk mengembangkan karir saya dan dipercayakan bekerja secara mandiri dan apabila
pekerjaan saya bagus maka saya diberi
kesempatan dalam promosi jabatan. Kalau hal ini
saya bandingkan di tempat saya bekerja
sebelumnya beda karena disana banyak
persaingan walaupun saya mampu kadang-
52
kadang saya tidak diberi kesempatan. Selain itu
saya bekerja disini gajinya lebih besar dan
diberikan fasilitas tinggal kemudian pemotongan pajak gaji juga kecil jadi saya bandingkan gaji
saya lebih besar di bandingkan sebelumnya.”
Cuma kadang-kadang masih ada ketegangan dari
faktor lain namun saya bisa mengatasi karena
saya sudah lebih senang bekerja di sini daripada
di Negara saya mungkin saya bisa pulan kalau perusahaan sudah tidak membutuhkankan saya
tetapi saya masih bisa mencari pekerjaan di
perusahaan lain karena Australia dengan Timor
Leste adalah Negara tetangga jadi saya harus
berusaha melakukan adaptasi.”
Selanjutnya ekspatriat dari Philipina, Malaysia,
Singapore, Japan, Thailand, India, Pakistan,
Banladesh dan Vietnam juga mengatakan hal yang
sama bahwa mereka senang dengan pekerjaan
mereka karena perusahaan memberikan asistensi
yang cukup tinggi bila dibandingkan di tempat kerja
sebelumnya (perusahaan induk), disana banyak
persaingan karena banyak karyawan yang
professional kemudian satu hal yang menarik bagi
kami mengunakan karansi uang dolar Amerika
sehingga dalam penukaran kami tidak begitu
mengalami persoalan tentang kurs. Selain itu disini
perusahaan kami juga muda mendapatkan profit
karena persaingan juga masih kurang jadi kami
merasa senang tentang pekerjaan walaupun ada
faktor lain tetapi kami berusaha untuk
menyelesaikan dengan baik.
53
Sedangkan informer-Kimberly Washington dari
Amerika Serikat juga mengatakan bahwa,
“Saya bekerja disini senang walaupun gaji
saya dengan di Amerika hampir sama tapi saya
lebih senang bekerja disini karena saya
mendapatkan banyak hal yang baru disini, kadang-kadang kita melakukan pekerjaan dengan
penuh kreatif…tidak terlalu tergantung pada
teknologi dan saya melihat Negara ini baru
merdeka jadi banyak kesempatan yang kita
mamfaat dan banyak hal yang saya pelajari
secara real…saya benar-benar tertarik bekerja disini walaupun kadang-kadang ada ketegagan.
Orang Amerika Serikat yang bekerja disini rata-
rata sangat dihargai jadi kalau saya bekerja di
Negara saya tidak sama…tidak ada orang yang
memandang saya bahwa saya adalah Amerika…bekerja disini memang benar-benar
beda.”
Dari hasil wawacara diatas menunjukkan
bahwa dalam melakukan adaptasi umum
(general adjustment), Pekerjaan (work) dan
interaksi social (social interaction) dapat
didukung oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik
dari job satisfaction sehingga bisnis ekspatria
mampu melakukan ke tiga adaptasi diatas
dengan baik walaupun mereka mengalami
banyak kesulitan namun mereka tetap optimis
untuk menyesuaikan diri dan bertahan bekerja
di Timor Leste. Hasil adaptasi ini merupakan
suatu outcome bagi ekspatriat. Faktor-faktor
pendukung adaptasi ekspatriat di Timor Leste
dapat dimodelkan sesuai dengan gambar berikut
:
54
Anticipatory Adjustment
Table 4.2
Model faktor-faktor pendukung penyesuaian bisnis ekspatriat di Timor Leste (In-Country Adjustment)
INDIVIDUAL
ANTICIPATORY ADJUSTMENT
*PREVIOUS WORK EXPERIENCE
INDIVIDUAL 1. SELF EFICACY 2. RELATION SKILLS 3. PRECEPTION SKILLS
JOB 1. ROLE CLARITY 2. ROLE DESCRETION 3. ROLE NOVELTYOLE 4. ROLE CONFLICT
ORGANIZATION CULTURE
1. ORGANIZATION CULTURE NOVELTY
2. SOCIAL SUPPORT 3. LOGISTICAL HELP
JOB SATISFACTION
1. JOB FEED BACK
ADJUSTMENT
I. GENERAL ADJUSTMENT II. WORK ADJUSTMENT III. INTERACTION ADJUSTMENT
55
4.3 UPAYA EKSPATRIAT MELAKUKAN ADAPTASI
4.3.1 Adaptasi Umum (General Adjusment)
Adaptasi umum yang dilakukan oleh ekspatriat
di Timor Leste adalah adaptasi terhadap keadaan
umum setempat yang terdiri dari penyesuaian
terhadap : keamanan Negara (National Security),
Ekonomi, pembangunan dan infrastruktur, sistem
hukum dan peraturan daerah, sistem fasilitas
kesehatan, pembelanjaan, makanan, fasilitas tempat
tinggal, sistem komonikasi, lalu lintas dan bahasa.
Jadi bukan hanya budaya yang berbeda namun
banyak hal yang perlu dilakukan penyesuaian diri.
Dalam penyesuaian diri seorang ekspatriat harus
memiliki kemampuan untuk mengelola setiap
perbedaan diatas agar dapat beradaptasi dengan
baik. Adaptasi umum (general adjustment) ini
berkaitan dengan kemampuan individu untuk
memahami, menerima dan menyesuaikan diri dengan
keadaan baru.
Adaptasi umum (general adjustment) sangat
penting untuk dilakukan karena ekspatriat menemui
banyak hal yang berbeda dengan negara asalnya
yaitu keamanan internal yang tidak kondusif, kondisi
tinggal (living conditions) yang tidak memadai,
makanan, fasilitas kesehatan, situasi ekonomi dan
infrastruktur yang masih dibawah standart sebagai
56
contoh : jalan raya, listrik dan telekomunikasi.
Dalam menghadapi semua perbedaan ini, para bisnis
ekspatriat berusaha mengelola setiap perbedaan
dengan cara membiasakan diri untuk menyesuiakan
diri terhadap keadaan setempat dan Mencari
informasi tentang keadaan keamanan internal
melalui kedutaan masing-masing, media elektrinik
dan masa (radio, TV dan Koran) yang memberikan
berita tentang situasi dan keamanan rial di Timor
Leste. Selain itu juga para bisnis ekspatriat mengenal
budaya Timor Leste melalui buku, majalah, Koran-
koran yang memuat tentang budaya dan kehidupan
masyarakat Timor Leste. Para bisnis ekspatriat
Australia dan Amerika selalu mencari informasi
tentang keamanan melalui UN network (Polisi dan
Militer PBB) terutama polisi PBB dari Australia. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh para bisnis
ekspatriat yang berasal dari Filipina, mereka selalu
mencari informasi melalui polisi Filipina yang
bergabung di Misi PBB dan Staff PBB lainnya.
Sedangkan bisnis ekspatriat dari Negara lain berbeda
mereka selalu mencari informasi melalui Polisi
Nasional Timor Leste dan karyawan lokal sehingga
mereka dapat menyesuiakan diri dengan keadaan
setempat. Semua usaha yang dilakukan secara
individual ini merupakan pengalaman bagi mereka
57
sehingga lama kelamahan para ekspatriat terbiasa
dan tetap bertahan untuk bekerja di Timor Leste.
4.3.2 WORK ADJUSTMENT
Adaptasi terhadap pekerjaan menurut
ekspatriat dari Australia, Amerika Serikat Japan dan
Singapore bahwa cukup penting untuk dilakukan.
Sedangkan para ekspatriat dari Filipina, Bangladesh,
Thailand, Malaysia, India, Vietnam dan Pakistan
menganggap bahwa work adjustment penting untuk
dilakukan oleh setiap orang tampa terkecuali.
Walaupun para ekspatriat mempunyai job description
yang jelas akan tetapi penyesuaian terhadap
pekerjaan tetap dilakukan karena standart tempat
kerja, fasilitas, etos kerja seperti keleluasaan untuk
mengerjakan tugas dan tanggungjawab dengan bebas
sesuai dengan kebijaksanaan, pengoperasian
pekerjaan baru, dan pemberian kerja lebih besar dari
sebelumnya. Semua hal ini merupakan budaya
organisasi yang bisa dapat mempengaruhi kinerja
para bisnis ekspatriat. Mean, (1994) mengemukakan
bagaimana budaya mempengaruhi perilaku di tempat
kerja seperti standard performance, motivasi dan
tanggungjawab. Selain itu, bagaimana budaya
mempengaruhi interaksi formal seperti struktur
organisasi dan system, peraturan dan hubungan
58
dengan relasi, perencanaan kebutuhan yang ada dan
segala prosedur yang diterapkan dalam perusahaan
serta pengaruhnya pada sistem komonikasi yang
diterapkan. Oleh sebab itu para ekspatriat
menganggap adaptasi pekerjaan (work adjustment)
perlu dan penting untuk dilakukan walaupun bisnis
ekspatriat sudah memperoleh kontrak kerja yang
jelas, seperti yang dikatakan oleh seorang ekspatriat-
Roel Fernandez dari Filipina bahwa,
“Adaptasi terhadap pekerjaan bagi saya
penting untuk dilakukan walaupun saya bekerja di perusahaan induk mempunyai posisi yang sama “project engineer” pekerjaan yang dilakukan
disini sama dengan pekerja di perusahaan induk
sama tetapi saya datang disini perlu penyesuaian
terhadap kebiasaan-kebiasaan kerja disini,
computer-computer disini bagus tapi aplikasi jaringan lunak tidak lengkap terpaksa saya harus
melakukan dengan cara manual untuk disain
gambar. Kemuadian perlu penyesuaian dengan
teman-teman lain karena kita perlu tim kerja
bukan sendiri-sendiri..tetapi kadang-kadang saya juga mengunakan cara saya sendiri supaya
pekerjaan bisa selesai dengan baik..ada juga
pekerjaan yang saya kurang mengerti saya
komonikasi dengan pimpinan perusahaan untuk
memberikan petunjuk dan kadang-kadang juga
tetap ada kendala tapi saya tetap berusaha untuk menyesuaiakan diri dengan keadaan”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh
ekspatriat yang berasal dari Jepan, Singapore Amerika Serikat dan Australia bahwa,
“adaptasi pekerjaan penting untuk
dilakukan karena kondisi perusahaan disini beda
dengan perusahaan induk. Disini kita perlu
melakukan adaptasi terhadap fasilitas kerja
seperti system komonikasi, computer dan lain-lain. Selain itu perlu adaptasi dalam pekerjaan
59
terutama masalah komonikasi dan kebiasaan
kerja jadi adaptasi terhadap pekerja di Negara
baru pasti cukup penting untuk dilakukan”.
Sedangkan ekspatriat yang berasal dari Negara
lain mengatakan bahwa adaptasi terhadap pekerjaan
penting tetapi itu hanya dilakukan sementara karena
kondisi tempat kerja baru, menemui karyawan dan
pemimpin yang baru sehingga perlu ada bimbingan
dalam menjalankan tugas.
Semua bisnis ekpatriat dalam penelitian ini
menganggap Adaptasi pekerjaan penting bagi mereka
namun dalam menjalan adaptasi pekerjaan
ekspatriat yang berasal dari Australia, Amerika
Serikat, Singapore dan Jepan tidak membutuhkan
mentor dalam melakukan adaptasi pekerjaan mereka
langsung menyesuaikan diri dengan keadaan
setempat dan para ekspatraiat ini mempunyai
keleluasaan untuk mengerjakan tugas dan
tanggungjawab dengan bebas sesuai dengan
kebijaksanaan dan pengoperasian pekerjaan baru
tampa bingun. Sedangkan ekspatriat selain dari ke
empat Negara tersebut, membutuhkan mentor dalam
melakukan pengoperasian pekerjaan baru dan
kadang-kadang tidak leluasa untuk mengerjakan
tugas dan tanggungjawab dengan bebas karena
harus menunggu kebijakan.
60
4.3.3 SOCIAL INTERACTION / NONWORK ADJUSTMENT
Adaptasi interaksi social (Nonpekerja) yang
dilakukan oleh para ekspatriat adalah interaksi
terhadap nonwork atau diluar pekerjaan. Hal ini
sangat penting untuk dilakukan karena tinggal di
Negara lain tentunya para bisnis ekspatriat harus
berinteraksi secara langsung dengan konsumer,
aparat pemerintah dan masyarakat lokal pada
umumnya. Dalam melakukan interaksi para
ekspatriat harus memiliki kemampuan individu
untuk memahami bahasa dan budaya setempat agar
dapat menyesuaikan diri dengan baik. Bahasa dan
budaya merupakan suatu jembatan yang penting
dalam penyesuaian interaksi sosial sebab tampa
memahami bahasa dan budaya individu seperti
nakoda tanpa kompas yang kehilangan arah.
Timor Leste memiliki budaya yang heterogen
yang sangat berbeda dengan Negara lain, dimulai dari
kebiasaan hidup masyarakat dan adat istiadat yang
masih sangat kental. Selain itu ada empat bahasa
sebagai sarana komunikasi yang sering digunakan
dalam interaksi sosial yaitu : bahasa Portugues,
Tetun, Inggris dan Indonesia. Ke empat bahasa ini
mempunyai fungsi masing-masing dalam komunikasi
yaitu bahasa Portugues sebagai bahasa official
(official language) yang mana digunakan sebagai
61
bahasa resmi kenegaraan dan kepentingan Negara;
dimana para ekspatriat harus menyesuaikan diri
ketika berkomunikasi atau negosiasi dengan aparat
pemerintah, pengurusan dokumen dan lain-lain yang
berhubungan dengan pemerintah. Dalam proses
negosiasi dan pengurusan dokumen semua
ekspatriat yang di interview dalam penelitian ini sulit
untuk menyesuaikan diri sehingga mereka selalu
membawa penerjemah (interpreter) dari perusahaan
atau minta bantuan dari orang lain dalam melakukan
interaksi.
Bukan hanya bahasa portugues tetapi juga
bahasa tetum, yang perlu dipahami oleh eksptariat
dalam interaksi sosial sebab bahasa tetum
merupakan bahasa nasional (nasional language) yang
digunakan oleh masyarakat dalam berkomonikasi.
Dalam proses penyesuaian terhadap interaksi sosial
(nonpekerjaan) ini, banyak ekspatriat yang
mempunyai cara adaptasi yang berbeda. Ekspatriat
yang berasal dari Malaysia, Filipina dan Singapore
mengatakan bahwa para ekspatriat melakukan
komunikasi dengan masyarakat lokal dengan
mengunakan bahasa Indonesia sebab bahasa
Indonesia masih dimengerti oleh sebagian besar
masyrakat. Selain itu bahasa Indonesia juga masih
merupakan bahasa komunikasi (communication
62
language) di Timor Leste, akan tetapi kadang-kadang
kami tetap sulit melakukan interaksi sosial karena
masih ada kesalahpahaman dalam komunikasi hal
ini terjadi karena bahasa yang kami gunakan adalah
bahasa malayu sedangkan masyarakat lokal
mengunakan bahasa Indonesia murni. Tetapi kami
juga tetap belajar bahasa lokal dengan orang lokal
dan melalui buku-buku sehingga bisa membatu kami
dalam beradaptasi. Bukan hanya bahasa tetapi
banyak perbedaan dalam interaksi sosial diantaranya
adat istiadat dan kebiasaan lainnya seperti kebiasaan
minum alkhol dengan mabuk kemudian melakukan
keributan dan intimidasi para pendatang. Perilaku
seperti ini sangat berbeda bila dibandingkan di
negara kami. Jadi ketika melihat hal seperti ini kami
merasa tidak aman (unsave), akan tetapi lama-
kelamahan kami juga terbiasa dan bisa
menyesuaikan diri dengan keadaan.
Selanjutnya ekspatriat yang berasal dari
Bangladesh, India, Pakistan dan Vietnam
mengungkapkan mereka sulit berinteraksi dengan
pemerintah terutama dalam pengurusan dokumen
tetapi mereka selalu meminta bantuan pada
interpreter dari perusahaan atau dari luar untuk
membantu memahami tentang pengisian formulir
baik visa, pajak dan dokumen lainnya. Akan tetapi
63
mereka lebih optimis dalam mempelajari bahasa lokal
dengan interpreter, karyawan lokal dan buku-buku
sehingga mereka bisa berbahasa Tetum dalam
melakukan interaksi sosial. Bagi mereka bahasa
lokal mudah untuk dipelajari namun yang menjadi
tantangan bagi mereka adalah kebiasaan hidup
masyarakat yang sering mabuk dan membuat
keributa (violence) dan satu hal lagi yang sangat
berbeda dengan kebiasaan mereka adalah ketika ada
orang meninggal bukan hanya datang untuk
memberikan hormat dengan doa namun diberikan
makan, minum seperti acara pesta baru mayat di
kuburkan” hal ini sangat berbeda dengan budaya
ekspatriat tetapi makin hari semakin menemui
kebiasaan ini maka ekspatriat dapat memahami dan
kadang-kadang mereka juga ikut berpartisipasi bila
ada acara duka.
Sedangkan ekspariat Australia, Amerika Serikat
dan Jepan mengatakan hal yang berbeda bahwa
mereka selalu melakukan adaptasi interaksi sosial
selalu pergi bersama dengan interpreter dan mereka
senang belajar bahasa lokal daripada bahasa
Portugues (bahasa ofisial Timor Leste). Mereka belajar
bahasa lokal melalui kursus di kedutaan mereka,
buku dan bersama interpreter. Sedangkan mereka
belajar budaya melalui internet, majalah dan Koran-
64
koran lokal yang memuat tentang budaya Timor Leste
dan akhirnya mereka bisa memahami bahwa
kebiasaan hidup masyrakat lokal sangat berbeda
dengan mereka. Seperti yang dikatakan seorang
ekspatriat dari Australia bahwa,
“Saya tidak banyak interaksi dengan
masyarakat lokal karena saya susah memahami
bahasa walaupun saya sudah belajar dari
kedutaan Australia dan para interpreter, jadi saya
kebanyakkan berinteraksi dengan komunitas Internasional daripada lokal. Hal ini benar-benar
terjadi karena saya susah memahami bahasa
lokal dan mengikuti kebiasaan lokal. Tetapi saya
tetap berusaha mencari informasi melalui internet
dan teman-teman yang sudah bekerja duluan di
Timor Leste untuk memberikan petunjuk dan saya selalu berjalan sama para interpreter untuk
memahami dan beradaptasi.”
Dan ketika ekspatriat ini di Tanya bahwa
“bagaimana anda mengatasi persoalan anda dalam
interaksi sosial”, ekspatriat ini mengatakan bahwa,
“Untuk mengatasi persoalan interaksi
memang penting kalau tidak dilakukan maka kita
akan terkurun dikamar dan bisa-bisa pulan
Australia lebih awal maka saya selalu mencari
teman-teman saya dari Australia ke kafe atau restoran konsumsi alkhol atau kadang-kadang
saya pergi sendiri minum beer dan
menyenangkan diri agar hari berikutnya saya bisa
bekerja seperti biasa dan lama-lama saya terbiasa
dengan keadaan.”
Bagi ekspatriat yang berkeluarga mereka juga
melakukan interaksi secara bersamaan ketika suami
dan istri pulan dari masing-masing kantor mereka
belajar bahasa lokal bersama dan tukar pikiran
65
tentang budaya dan kebiasaan lokal, kemudian
mereka lebih banyak memilih tinggal dirumah
daripada keluar kecuali ada keperluan kebutuhan
rumah tangga atau rekreasi di pantai. Selain itu
mereka juga membangun komunikasi yang baik
dengan tetangga atau pemilik rumah kontrakan dan
juga dengan rekan kerjanya yang dianggap menjadi
teman baik sehingga orang tersebut yang senantiasa
memberikan bantuan.
Ke empat bahasa ini merupakan suatu kendala
besar bagi ekspatriat dalam melakukan interaksi
sosial sebab mayoritas para ekspatriat hanya
menggunakan bahasa perusahaan (corporate
language) yaitu bahasa inggris untuk melakukan
interaksi dengan stakeholders. Namun yang menjadi
kendala bagi para ekspatriat untuk berinteraksi
dengan masyarakat umum dan aparat pemerintah
setempat adalah bahasa portugues dan Tetum. Kedua
bahasa ini sangat penting bagi ekspatriat dalam
melakukan interaksi karena semua aplikasi dokumen
di Timor Leste menggunakan bahasa portugues dan
tetum. Selain itu, Timor Leste juga mempunyai
budaya yang sangat haterogen yang sulit bagi
ekspatriat untuk berinteraksi baik dengan masyrakat
lokal.
66
Namun para ekspatriat memiliki self efficacy
yang tinggi sehingga mereka mampu menyesuaikan
diri dengan perbedaan yang dialaminya dan tetap
bertahan bekerja di Timor Leste
4.4 HASIL ADAPTASI YANG DILAKUKAN PARA BISNIS
EKSPATRIAT
Penyesuaian yang dilakukan oleh ekspatriat
tersebut telah mempunyai hasil. Hasil ini meliputi
penyesuaian umum (general adjustment), penyesuain
pekerjaan (work adjustment), dan non Pekerjaan atau
interaksi sosial nonwork/ social interaction
adjustment). Didalam melakukan penyesuaian di
tempat kerja para ekspatriat Rajendar Jaau dari
India, Narasimmarao Sinnayah dari Malaysia,
Boonthom Koonog dari Thailand dan Noman Fatemi
dari Bangladesh mereka bisa melakukan adaptasi
dengan cepat hal ini didunkung dengan pengalaman
kerja mereka sebelumnya di negara lain sehingga
mereka melakukan pekerjaan dengan baik walaupun
mereka menemui banyak hal yang berbeda
diantaranya konflik etnitas dan organisasi,
kebutuhan telekomunikasi yang sangat mahal dan
listrik sering terjadi black out. Namun mereka sudah
memiliki pengalaman beradaptasi secara individual di
negara lain maka para ekspatriat tetap berusaha
sehingga kendala tersebut tidak menghalangi
67
pekerjaan mereka secara menyeluruh walaupun
mereka mengalami ketegangan.
23 ekspatriat yang tidak memiliki pengalaman
kerja Internasional sebelumnya. Para ekspatriat
tersebut melakukan adaptasi terhadap general
adjustment dan nonwork / social interaction
adjustment banyak mengalami kesulitan namun
mereka selalu berusaha dengan mengkopi dan
menyesuaian diri dengan keadaan. Selain itu para
bisnis ekspatriat ini juga didukung oleh organisasi
dengan memberikan dukungan informasi tentang
situasi dan keamanan, kebutuhan hidup dan
menyediakan para interpreter untuk menemani
mereka ketika mereka menemui kesulitan adaptasi.
seperti yang dikatakan oleh ekspatriat dari Australia,
Amerika, Jepan dan Singapore bahwa ketika mereka
melihat Timor Leste bukan yang seperti mereka
bayangkan disaat mereka masih berada di Negara
mereka, dan saat para ekspatriat tiba melihat banyak
perbedaan dari ekspektasi mereka diantara kondisi
makanan, tempat tinggal, jalan raya, kebutuhan
telekomunikasi, listrik yang masih sering black out
dan konflik sosial. Kondisi ini benar-benar
menyiksakan mereka namun para ekspatriat ini tetap
optimis untuk berusaha meminta dukungan dari
organisasi dan kedutaan untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan tersebut. Selain itu juga mereka
68
meminta bantuan dengan para interpreter untuk
memahami lingkungan baru sehingga tidak
menghalangi pekerja ekspatriat.
Untuk adaptasi pekerjaan para ekspatriat dari
Australia, Amerika, Japan dan Singapore tidak
mengalami banyak perbedaan, para ekspatriat hanya
menyesuaikan diri dengan fasilitas perusahaan yang
ada.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh seorang
ekspatriat yang berasal dari Filipina yang bekerja di
perusahaan Australia bahwa adaptasi pekerjaan
tidak memiliki banyak perbedaan namun hanya
melakukan penyesuaian terhadap fasilitas setempat.
Ekspatriat yang berasal dari Malaysia,
Pakistan, Bangladesh, Thailand dan India merasakan
hal yang sama bahwa di lingkungan pekerjaan para
ekspatriat menyelesaikan tugas dengan baik karena
didukung dengan job description sesuai dengan
kontrak kerja walaupun ada sedikit perbedaan
tentang fasilitas perusahaan.
Sedangkan para ekspatriat yang berasal dari
Vietnam dan 3 ekspatriat lainnya yang berasal dari
Filipina menyatakan hal yang berbeda bahwa mereka
menemui banyak perbedaan dalam job adjustment
namun mereka lebih optimis untuk menyelesaikan
dengan baik karena para ekspatriat diberi fleksibilitas
melakukan pekerjaan. Disamping itu, kadang-kadang
69
dibebankan banyak pekerjaan baru namun
didampingi atau sebelumnya diberi instruksi yang
jelas sehingga para bisnis ekspatriat tidak mengalami
kendala dalam pekerjaan baru bahkan mampu
bekerja dengan efektif karena para ekspatriat merasa
termotivasi untuk memperoleh pengetahuan dan
pengalaman baru.
Dalam hasil adaptasi ini pihak perusahaan
juga merasakan dampak positive dari adaptasi yang
dilakukan oleh ekspatriat. Sebab negara Timor Leste
memiliki keunikan perbedaan yang sangat jauh bila
dibandingkan dengan negara asal para ekspatriat,
namun pihak perusahaan juga selalu membantu para
ekspatriat dalam melakukan adaptasi sehingga dapat
bekerja dengan baik dan merasa nyaman untuk
tinggal dan tetap bekerja diperusahaan. Disamping
itu perusahaan juga memberikan insentif sebagai job
feedback bagi ekspatriat sehingga para bisnis
ekspatriat termotivasi dalam menjalankan tugas
walaupun mengalami banyak kesulitan. Hasil
adaptasi yang dilakukan oleh para ekspatriat di
Timor Leste dapat dilihat pada tabel berikut.
70
Table 4.4
Hasil adaptasi yang dilakukan oleh bisnis ekspatriat
NEGARA
ADAPTASI GENERAL
ADJUSTMENT WORK
ADJUSTMENT NONWORK
ADJUSTMENT
Filipina ***** **** ***** Bangladesh ***** **** ***** Thailand ***** **** ***** Singapore ***** *** ***** Malaysia ***** **** ***** Japan ***** *** ***** India ***** **** ***** Pakistan ***** **** ***** Vietnam ***** **** ***** Australia ***** *** ***** Amereika
Serikat ***** *** *****
Keterangan :
* : Dianggap Sangat Tidak Penting
** : Dianggap Tidak Penting
*** : Dianggap Cukup Penting
**** : Dianggap Penting
***** : Dianggap Sangat Penting
71
4.5 TAHAP ADAPTASI
Berikut ini adalah bentuk tahap adaptasi yang
dilakukan oleh ekspatriat. Adapun uraian dari
tahapan tersebut, akan dibahas menurut negara para
ekspatriat yaitu Filipina, Bangladesh, Thailand,
Singapore, Malaysia, Japan, India, Pakistan, Vietnam,
Australia, dan Amerika Serikat.
4.5.1 Ekspatriat Filipina
Ekspatriat yang berasal dari Filipina pada saat
kedatangan atau tiba di Timor Leste merasa takut
dan gelisa. Pada tahap awal ini ekspatriat mengalami
tahap keterkejutan dengan keadaan yang ada yaitu
keadaan situasi dan keamanan yang tidak kondusif
seperti konflik etnitas (Loro-monu vs Loro-sae) dan
organisasi (pencak silat/beladiri dan partai), kondisi
listrik yang sering black out lebih dari 2 jam, system
telekomonikasi dan biaya hidup yang sangat mahal.
Semua keadaan ini terjadi diluar ekspektasi para
ekaptariat sehingga mereka menganggap hal ini
sangat aneh, kemudian terkejut dan mulai merasa
kerinduan kepada keluarga dan kampung halaman.
Tahap ini disebut tahap culture shock. Setelah
mengalami tahap ini, menurut ekspatriat mulai
masuk ke tahap berikutnya, yaitu tahap mental
isolation. Pada tahap ini ekspatriat mulai mengalami
gelisa yang berat karena mereka tidak bisa bergaul
72
dengan tetangga karena tidak memahami bahasa dan
tidak bisa keluar pada sore hari untuk mencari
kebutuhan karena situasi dan keamanan setempat,
selain itu listrik sering black out pada sore hari dan
sirkulasi system transportasi pada malam hari juga
berkurang sehingga merasa lebih tertekan dan tidak
mampu untuk beradaptasi karena merasa kekuatiran
yang berlebihan sehingga ekaptariat lebih memilih
untuk tetap tinggal di dalam rumah.
Namun para ekspatriat merasa jangan sampai
kehilangan pekerjaan dan kepercayaan dari
perusahaan induk, maka para ekspatriat mulai
berusaha belajar bahasa dan mencari informasi
tentang situasi dan keamanan melalui berbagai cara
yaitu internet, Koran lokal, radio, TV dan juga
mencari informasi lewat polisi Filipina di Timor Leste
sehingga mulai mencoba untuk mengamati keadaan
secara langsung. Tahap ini disebut tahap recovery,
dalam tahap ini mulai meniru budaya dan mencoba
untuk keluar sendirian mencari makan dan
kebutuhan lain, tidak hanya sendirian kadang-
kadang bersama dengan interpreter atau pemilik
rumah kontrakan dan yang berkeluarga bersama-
sama dengan keluarga melakukan adaptasi.
Setiap hari melakukan hal yang sama maka
para ekspatriat mulai memahami bahasa, budaya
dan terbiasa dengan situasi dan keadaan setempat
73
bahwa masyarakat lokal tidak pernah menyiksa
orang asing. Selain itu, konflik etnitas dan organisasi
yang terjadi hanya antara masyarakat lokal. Dalam
tahap ini para ekspatriat mulai percaya diri dan
membuka diri untuk lebih memahami budaya dan
kondisi-kondisi setempat sehingga lebih fleksible
dalam adaptasi yang akhirnya lebih familiar dengan
keadaan. Tahap ini disebut tahap adjustment.
4.5.2 Ekspatriat Bangladesh
Bisnis ekspatriat dari Bangladesh mengalami
tahapan ketika datang di Timor Leste, hal yang sama
juga dialami oleh ekspatriat dari Bangladesh.
ekspatriat merasa tertekan dan gelisa karena sulit
mencari kebutuhan diluar, keadaan listrik yang
sering black out, sistem infrastruktur yang tidak
memadai bahkan semua gedung masih bekas
kebakaran dan sangat sepih. Padahal informasi yang
mereka peroleh dari teman-teman dan yang ada di
internet membuat mereka sangat penasaran, namun
setelah para ekspatriat tiba malah menemukan
kebalikan yang menyebabkan gelisah dengan
keadaan. Pada tahap ini disebut tahap Culture Shock.
Setelah beberapa minggu keadaan semakin
membosankan karena tidak bisa berinteraksi dengan
keadaan setempat karena situasi dan kondisi
74
keamanan tidak kondusif seperti di tempat dimana
mereka tinggal sering terjadi penyerangan antar masa
dalam konflik sehingga para ekspatriat tidak bisa
keluar mencari kebutuhan karena merasa takut yang
berlebihan sehingga mereka lebih memilih tinggal di
rumah. Pada tahap ini disebut tahap Mental Isolation.
Walaupun tahap ini sangat sulit bagi para ekspatriat
namun para ekspatriat merasa jangan sampai
keadaan ini menganggu kinerja pekerjaan mereka,
maka para ekspatriat mulai mencoba diri untuk
mencari bantuan dengan polisi Timor Leste untuk
memberikan informasi dan perlindungan. Disamping
itu mereka juga mencari informasi melalui internet,
TV , media lokal dan para interpreter untuk
mendampingi mereka guna mencari kebutuhan
mereka sambil mengamati dan menyesuaikan diri
dengan keadaan. Dalam proses tahap adaptasi ini
disebut Tahap Recovery.
Selanjutnya para ekspatriat mulai merasa
terbiasa dengan keadaan karena sudah sering kali
melakukan adaptasi yang sama, maka semua
keadaan baru menjadi kebiasaan bagi para ekspatriat
Bangladesh baik di lingkungan kerja maupun
nonkerja. Dalam tahap ini disebut tahap adjustment.
75
4.5.3 Ekspatriat Thailand
Ekspatriat Thailand diawal kedatangannya di
Indonesia semua ekspatriat sebagai tenaga kerja di
Restauran. Para ekspatriat ini mengalami tahap
Culture Shock di awal kedatangan. Ketika mereka tiba
di bandara udara melihat keadaan real hingga
sampai tempat tinggal dimana mereka tinggal, para
ekspatriat merasa stress karena kondisi
infrasturuktur restaurant sangat jelek bila
dibandingkan di Thailand dan kondisi keamanan
setempat tidak stabil. Selain itu bukan hanya kondisi
keamanan namun juga tidak memahami budaya lokal
“bagaimana cara yang terbaik dalam memberi salam
dan melayani konsumer”, walaupun para ekspatriat
ini sudah diberikan informasi dari manajer hotel
tentang kebiasaan namun hal ini pertama kali bagi
mereka sehingga mereka kaku dan tidak merasa
nyaman dalam melakukan penyesuaian. Setelah
pulan dari pekerjaan mereka selalu memilih tinggal
dirumah karena kondisi keamanan dan lingkungan
dimana mereka tinggal tidak kondusif. Selain itu,
Komunikasi antara para ekspatriat dengan para
tetangga pun tidak terjadi karena para ekspatriat
tidak memahami bahasa. Dalam tahap ini para
ekspatriat hanya bisa berkomunikasi dengan sesama
76
teman Thailand dan memisahkan diri dari yang lain,
tahap ini disebut tahap Mental Isolation.
Akan tetapi para ekspatriat ini sering menemui
konsumer lokal dan komunitas Internasional yang
tinggal di Timor Leste maka mulai bergaul dan belajar
bahasa lokal bersama-sama, meminta informasi
tentang keadaan situasi dan keamanan. Kadang-
kadang di hari libur ditemani oleh teman lokal dan
ekspatriat lain untuk mengamati keadaan dan mulai
meniru dengan keadaan setempat. Dalam tahap ini
disebut tahap recovery.
Dalam tahap recovery para bisnis ekspatriat
mulai meniru dan melakukan adaptasi setiap saat
maka mereka akan terbiasa dengan semua perbedaan
yang ada. Akhirnya mereka beralih ketahap yang
dinamakan tahap adjustment. Dalam tahap ini para
sudah bisa melakukan penyesuaian dengan sendirian
terhadap keadaan Timor Leste secara menyeluruh,
berinteraksi terhadap konsumer dan masyarakat
Timor Leste pada umumnya.
4.5.4 Ekspatriat Singapore
Tidak hanya ekspatriat dari Thailand yang
mengalami tahapan ketika datang di Timor Leste,
namun hal yang sama juga dirasakan oleh ekspatriat
yang berasal dari Singapore. Diawal kedatangan juga
77
mengalami tahap cultur shock. Pada tahap ini para
ekspatriat sangat khawatir akan keamanan seperti
konflik senjata antara angkatan darat (Army) dengan
Polisi Nasional dan konflik sosial. Selain itu, masalah
kesehatan karena lingkungan pada umumnya kotor
dan tidak sehat. Dalam tahap ini para ekspatriat
sangat stress memikirkan kesehatannya dan
merindukan kampung halaman serta keluarga, pada
tahap ini disebut tahap Cultur Shock. Selanjutnya
hari demi hari para ekspatriat merasa kesepian dan
powerless dengan keadaan. Sebab tempat tinggal
atau lingkungan dimana mereka bekerja sering kali
terjadi bentrokan antar masa sehingga mereka
merasa takut dan tertekan untuk mengurungkan diri
didalam rumah. Dalam tahap ini para ekspatriat
mengalami tahap yang dinamakan tahap Mental
Isolation. Namun karena desakan pekerjaan dan
kebutuhan mereka, para ekspatriat mencari
informasi melalui polisi nasional Timor Leste
sekaligus meminta perlindungan terhadap mereka.
Cara lain yang juga dilakukan adalah mencoba
berjalan bersama dengan teman kerja untuk keluar
secara bertahap untuk mengamati keadaan,
kemudian menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi setempat. Pada proses tahapan ini disebut
tahap recovery karena para ekspatriat mulai
78
berusaha untuk mengamati dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru.
Dengan melakukan hal yang sama secara
berulang-ulang dan terbiasa dengan semua
perbedaan seperti masalah lingkungan, keamanan
dan keadaan Timor Leste secara menyeluruh maka
dalam tahap ini disebut Tahap Adjustment sebab para
bisnis sudah bisa melakukan penyesuaian dengan
sendirian terhadap semua perbedaan yang mereka
temui dan hal ini sudah menjadi kebiasaan walaupun
masih ada sedikit ketegagan.
4.5.5 Ekspatriat Malaysia
Ekspatriat yang berasal dari Malaysia, diawal
kedatangan merasa kaget dengan keadaan sebab
ekspatriat merasa bahwa sebelumnya Timor Leste
adalah bagian dari Indonesia yang seharusnya
pembangunan infrastruktur maju. Namun semuanya
berbeda dari ekspektasi mereka, malah mereka
melihat hampir semua bangunan bekas dari
kebakaran. Malam pertama para ekspatriat tinggal
dikota dili tetap terjadi kebakaran yang dilakukan
oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, hampir
setiap malam di sepanjang jalan sangat sepih, terjadi
bentrokan masa dengan melempar mobil di
sepanjang jalan. Para ekspatriat merasa gelisa
melihat keadaan yang penuh dengan konflik sehingga
79
diawal kedatangan mereka diawali dengan tahap
Culture Shock. Setelah mengalami tahap ini mereka
merasa sangat binggun dan kahwatir tentang
keselamatan mereka dan memikirkan bagaimana
cara melakukan penyesuain dengan keadaan. Akan
tetapi para ekpatriat tidak mau keadaan ini
mempengaruhi pekerjaan mereka dan para ekspatriat
tidak ingin gagal dari pekerjaan maka mereka mulai
berusaha menyesuaiakan diri dengan keadaan,
dimulai dengan cara pencarian informasi tentang
keamanan kepada polisi Malaysia yang bertugas di
PBB. Disamping itu, bersama dengan rekan-rekan
kerja keluar secara bertahap untuk mengamati
situasi dan keadaan. Adapun cara lain yang
dilakukan, yaitu setiap hari jumat mengunjungi
masjid dan tukar pikiran bersama dengan kaum
muslimin di Timor Leste sehingga mereka bisa
meniru keadaan setempat, pada tahap ini disebut
tahap recovery.
Setiap hari jumat dan setelah pulan dari kerja
mereka sering ke masjid untuk solat dan selalu
berkumpul dengan kaum muslim untuk tukar
pikiran tentang keadaan Timor Leste maka mereka
telah mempunyai pengetahuan tentang budaya dan
memahami situasi dan keamanan sehingga mudah
untuk melakukan adaptasi. Pada tahap ini disebut
tahap adjustment sebab mereka telah melakukan
80
adaptasi secara mandiri dan merasa jauh lebih bagus
dari pada sebelum.
4.5.6 Ekspatriat Jepan
Para ekspatriat yang berasal dari Jepan pada
tahap awal mengalami tahap culture shock. Para
ekspatriat tersebut mengakui tahap ini setelah tiba di
Timor Leste. Terdapat bermacam-macam kesulitan
untuk tinggal dan bekerja di Timor Leste seperti
kesulitan terhadap lingkungan, bahasa, keamanan
dan budaya. Para eksptariat ini selalu merasa
kahwatir dengan keadaan lingkungan yang kurang
bersih sehingga akan menimbulkan penyakit, sulit
melakukan berkomonikasi dan interaksi dengan
aparat pemerintah dan masyarakat lokal karena tidak
memahami bahasa tetum dan portugues, selalu
merasa kahwatir terhadap keadaan keamanan
internal dan sulit juga memahami budaya dan
kebiasaan masyarakat. Setelah mengalami tahap
culture shock, menurut ekspatriat masuk ke tahap
selanjutnya. Pada tahap ini ekspatriat semakin sulit
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan karena
situasi keamanan internal kurang kondusif, sering
terjadi black out pada listrik dan terjadi konflik sosial
sehingga takut dan kahwatir yang akhirnya mereka
lebih memilih tinggal dirumah. Di kantorpun lebih
banyak diam untuk melakukan pekerjaan, pada
81
tahap ini ekspatriat Jepan berada pada tahap Mental
Isolation. Akan tetapi ekspatriat merasa bahwa
bekerja di Timor Leste merupakan suatu peluan yang
baik dan bisa mengembangkan karier di luar negeri
sehingga mulai berkomitmen untuk menghadapi
perbedaan dengan berusaha mencari informasi
tentang keamanan melalui kedutaan dan jalan
bersama dengan para interpreter untuk memahami
budaya. Selanjutnya merasa optimis pada dirinya
bahwa kondisi kesehatan mereka akan baik-baik saja
dan mulai mencoba menyesuaikan diri dengan
keadaan. Pada tahap ini disebut tahap recovery.
Menganggap tahap tersebut menjadi tahap
yang harus dilalui maka para ekspatriat melakukan
adaptasi secara terus menerus dan terbiasa dengan
keadaan baik dilingkungan pekerjaan maupun diluar
pekerjaan (non-work). Pada tahap ini ekspatriat
merasa percaya diri dan betah bekerja di Timor Leste,
pada tahap ini disebut sebagai tahap adjustment.
4.5.7 Ekspatriat India
Ekspatriat dari India diawal kedatangannya di
Timor Leste sebagai tenaga kerja professional asing
pun juga mengalami berbagai tahapan, ditahap awal,
ekspatriat dari India merasa tertekan dan gelisa
karena sulit mencari kebutuhan diluar, keadaan
listrik yang sering black out, system infrastruktur
82
yang tidak memadai bahkan tidak ada tempat-tempat
keramaian. Para ekspatriat mencoba menelpon
keluarga di Indian namun biaya telekomonikasi
sangat mahal sehingga tidak mengekspresikan
perasaannya kepada keluarga. Pada tahap ini
ekspatriat mengalami tahap culture shock.
Setelah beberapa minggu keadaan semakin
membosankan karena situasi dan kondisi keamanan
tidak kondusif malah terjadi peyerangan antar masa
dan pelemparan kendaraan di jalan raya sehingga
para ekspatriat tidak bisa keluar mencari kebutuhan
karena merasa takut yang berlebihan sehingga
mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah. Pada
tahap ini disebut tahap Mental Isolation. Walaupun
tahap ini sangat sulit, namun para ekspatriat merasa
jangan sampai keadaan ini menganggu kinerja
pekerjaan mereka maka para bisnis ekspatriat mulai
mencoba diri untuk mencari bantuan dengan polisi
Timor Leste untuk memberikan informasi dan
perlindungan. Disamping itu mereka juga melakukan
cara lain dengan mencari informasi melalui internet,
TV , media lokal dan para interpreter untuk
mendampingi mereka untuk mencari kebutuhan
mereka sambil mengamati dan menyesuaikan diri
dengan keadaan. Dalam proses tahap adaptasi ini
disebut Tahap Recovery.
83
Melakukan penyesuaian secara terus menerus
maka para ekspatriat mulai memahami dan
menggunakan bahasa lokal dalam berkomunikasi.
Selain itu mulai menerima dan menyesuaikan diri
dengan keadaan setempat walaupun masih
mengalami sedikit ketegangan. Dalam tahap ini
disebut tahap adjustment.
4.5.8 Ekspatriat Pakistan
Ekspatriat yang berasal dari Pakistan juga
mengalami culture shock pada saat tiba di Timor Leste
sebab sebelum ekspatriat diberangkatkan
perusahaan induk selalu memberikan informasi
bahwa Timor Leste adalah Negara baru yang
merupakan peluan pasar yang baik bagi perusahaan.
Namun setelah tiba di dili melihat keadaan
Infrastruktur dan ekonomi secara menyeluruh masih
sangat lemah dan tingkat konflik sosial juga masih
sangat tinggi sehingga benar-benar merasa kaget,
bingun dan menyesal dengan keadaan.
Selain faktor keamanan, budaya dan kebiasaan
hidup pun sangat berbeda dengan orang muslim
sehingga merasa sangat binggun untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Hal
yang sama juga di rasakan di tempat kerja karena
memiliki budaya yang sangat haterogen sehingga
sangat sulit bagi ekspatriat untuk meniru. Untuk
84
menghadapi kondisi ini, ekspatriat selalu
menyenangkan diri di ruang kerjanya dan setelah
pulan dari kantor pun selalu memilih untuk tinggal
dirumah. Dalam tahap ini ekspatriat mengalami
tahap Mental Isolation. Akan tetapi bisnis ekpatriat
tidak mau keadaan ini menganggu pekerjaannya
maka ekspatriat mulai memutuskan untuk
berakulturasi dengan belajar budaya dan bahasa
lokal dengan Interpreter dan teman-teman dari
negara lain, pada tahap ini disebut tahap recovery.
Pada tahap selanjut adalah tahap adjustment
dalam tahap ini ekspatriat sudah memahami budaya
dan bahasa serta keadaan Timor Leste secara
menyeluruh sehingga lebih mudah untuk melakukan
penyesuaian diri (adjustment).
4.5.9 Ekspatriat Vietnam
Ketika ekspatriat dari Vietnam tiba di Timor
Leste, tahap awal yang dialami adalah tahap culture
shock. Pada tahap ini ekspatriat merasa terkejut
dengan keadaan diantaranya infrastruktur,
keamanan internal, biaya hidup dan telekomunikasi
yang sangat mahal. Dalam tahap selanjutnya,
ekspatriat kurang mengelola diri dengan keadaan
tersebut sehingga masuk pada tahap mental Isolation,
sebab dalam tahap ini ekspatriat semakin sulit untuk
berkomunikasi karena tidak bisa memahami bahasa
85
dan budaya. Selain itu, merasa sangat kahwatir
terhadap konflik group yang terjadi di beberapa
tempat, termasuk di tempat dimana ekspatriat
tinggal. Keadaan ini semakin menekan ekspatriat
sehingga memilih untuk tetap diam dirumah. Di
tempat kerja pun ekspatriat selalu memisahkan diri
dengan karyawan lain karena banyak perbedaan
tentang etos kerja. Kendatipun demikian para
ekspatriat tidak mau kehilangan kepercayaan dari
perusahaan pusat, maka mulai berusaha mencari
informasi tentang budaya dan keadaan setempat,
mencari informasi tentang situasi real dan meminta
perlindungan kepada polisi setempat. Adapun cara
lain yang dilakukan belajar bahasa dan budaya
melalui buku dan berusaha untuk memahami etos
kerja yang ada. Pada tahap ini ekspatriat memulai
mengikuti budaya baru dan mengunakan bahasa
lokal dalam stratifikasi sosial sehingga para
ekspatriat berada pada tahap yang disubut tahap
recovery.
Setelah mengalami tahap recovery, ekspatriat
mulai beralih pada tahap berikutnya yaitu tahap
adjustment. Pada tahap ini ekspatriat mulai sering
melakukan penyesuaian terhadap hal yang sama
secara berulang-ulang sehingga tidak kaku dan
menerima keadaan setempat walaupun masih sedikit
dalam ketegangan dan kecemasan.
86
4. 5.11 Ekspatriat Australia
Ekspatriat dari Australia, diawal
kedatangannya di Timor Leste sebagai karyawan
Internasional yang dipercayakan oleh perusahaan
induk untuk mengelola perusahaan cabang di Timor
Leste pun juga mengalami tahap culture shock. Sebab
kondisi makanan, fasilitas tempat tinggal, jalan raya,
listrik, system telekomunikasi tidak sesuai dengan
harapannya sehingga merasa gelisah. Selain itu,
pengunaan bahasa dengan aparat pemerintah bukan
bahasa Inggris tetapi Portugues, hal ini membuat
para ekspatriat merasa kecewa dan emosi hingga
masuk pada tahap Mental Isolation. Pada tahap ini
ekspatriat mengalami frustrasi dan hilangnya rasa
percaya diri terhadap keadaan sebab ekspatriat
menemukan banyak tantangan terutama
penyesuaian terhadap pengunaan bahasa portugues,
penyesuaian pengemudian lalulintas, fasilitas tempat
tinggal, kebiasaan buruk karyawan lokal tentang
disiplin kerja dan peraturan keselamatan (safety
regulation) serta situasi dan keamanan. Namun pada
tahap ini para ekspatriat mengunakan banyak cara
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yaitu
sering berhubungan dengan pemimpin organisasi
untuk memberikan dukungan informasi. Adapun
cara lain yang dilakukan oleh ekspatriat yaitu
meminta bantuan pada interpreter untuk
87
menemaninya agar dapat memahami keadaan
setempat secara menyeluruh.
Selanjutnya eksptariat mulai mentolerir
keadaan secara bertahap dengan cara belajar bahasa
lokal dan budaya di kedutaan Australia, melalui
buku-buku dan bersama dengan interpreter. Selain
itu juga selalu meminta informasi di kedutaan
tentang situasi dan keamanan Timor Leste sehingga
dapat menyesuaikan diri secara perlahan-lahan
sampai masuk pada tahap recovery.
Tahap recovery dilakukan secara efektif
sehingga para ekspatriat memasuki pada tahap
terakhir yaitu tahap adjustment. Pada tahap ini
ekspatriat selalu melakukan penyesuaian secara
berulang-ulang dan sering mengalami hal yang sama,
bisnis ekspatriat menjadi terbiasa dan menerima
keadaan setempat walaupun kadang-kadang masih
mengalami sedikit ketegangan dan kecemasan.
5. 5.11 Ekspatriat Amerika Serikat
Bukan hanya ekspatriat dari Australia yang
mengalami tahap culture shock namun bisnis
ekspatriat dari Amerika Serikat juga mengalami hal
yang sama. Diawal kedatangannya ekspatriat merasa
terkejut dengan kondisi infrastruktur, ekonomi,
keamanan dan politik. Semua perbedaan ini diluar
ekspektasi ekspatriat sehingga merasa mulai tidak
88
bersentuhan dengan keadaan tersebut, pada tahapan
ini disebut tahap culture shock. Situasi keamanan
yang tidak stabil, kondisi tempat tinggal dan
makanan yang tidak memadai telah menyebabkan
ekspatriat semakin khawatir, frustrasi dan
kehilangan kepercayaan diri sehingga ekspatriat
beralih pada tahap berikutnya yaitu tahap mental
isolation.
Akan tetapi ekspatriat ini menganggap bahwa
ini merupakan suatu proses awal dalam penugasan
maka ekspatriat mulai bangkit menyesuaikan diri
dengan keadaan, selalu berhubungan dengan
pemimpin organisasi untuk memberikan dukungan
informasi. Selain itu juga meminta bantuan kepada
Interpreter untuk menemani dalam memahami
budaya dan bahasa. Pada tahap ini ekspatriat mulai
membuka diri secara perlahan-lahan sehingga masuk
pada tahap yang disebut tahap recovery.
Ekspatriat Amerika selalu berusaha melakukan
adaptasi secara berulang-ulang dan sering kali
mengalami hal yang sama maka ekspatriat telah
terbiasa dengan keadaan tersebut dan betah untuk
tinggal dan bekerja di Timor Leste walaupun kadang-
kadang masih mengalami sedikit ketegangan dan
kecemasan. Hasil tahap adaptasi yang dialami oleh
para bisnes ekspatriat di Timor Leste dapat
dimodelkan sebagai berikut.
89
Table 4.5
Tahapan Adaptasi para ekspatriat di Timor Leste
Positive Mood
Mood Changes
Negative Mood
Culture Shock
Recovery
Mental Isolation
Adjustment
Phases of adaptation