Acehkini 10

56
ACEHKINI April 2009 1 JANUARI, 2009 Rp 16.000,- www.acehkini.co.id

description

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah, seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata.

Transcript of Acehkini 10

Page 1: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 1

JANUARI, 2009 Rp 16.000,-

www.acehkini.co.id

Page 2: Acehkini 10

2

Page 3: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 3

SuratAda Polisi, kok Jaga MalamMenjelang pemilu seluruh desa di Aceh di-wajibkan menggelar ronda malam. Kegiatan ini mengingatkan kita pada kondisi Aceh saat berkecamuknya konflik. Giliran jaga malam menjadi momok tersendiri masyarakat di pedalaman Aceh. Pasalnya saat Aceh masih menyala, para petugas jaga malam sering menjadi sasaran pihak bertikai.

Di satu sisi, maraknya aksi kriminal di Aceh pascadamai menjadi alasan pembenar untuk mengaktifkan kembali kegiatan ini. Di lain hal, menjaga keamanan suatu daer-ah dan lingkungan merupakan tugas dan tanggung jawab kepolisian yang telah digaji oleh negara. Apalagi untuk mengamankan pemilu kali ini, polisi juga dibantu seribu personel TNI, yang siap berpatroli di kam-pung-kampung. Apakah ini tidak cukup?

Memang, tanpa bantuan masyarakat, aparat penegak hukum tidak dapat bek-erja maksimal. tapi masyarakat juga punya pekerjaan lain yang harus dilakukan untuk mengepulkan asap dapurnya. Bisa dikata-kan, praktik jaga malam telah mengurangi waktu istirahat kaum pria di Aceh, yang sehari-harinya harus menafkahkan keluar-ganya.

Jadi menurut saya, budaya era orde baru ini sudah sepatutnya ditinggalkan. Sebab masyarakat Aceh sudah cukup jenuh dan trauma dengan berbagai kisah jaga malam. Sudah saatnya di masa damai ini, polisi benar-benar bekerja maksimal dalam menjaga keamanan masyarakat. Tentu saja masyarakat sepenuhnya mendukung dan akan selalu bekerjasama dalam membantu tugas polisi. Tapi bukan untuk ikut jaga malam. Terima kasih telah memuat komen-tar saya.

Abdul HadiSyamtalira Bayu

Jadi Wakil Rakyat atau Cari Kerjaan?Pemilu kali ini beda dari sebelumnya. Se-lain metode pemilihan dari yang biasanya mencoblos ke mencontreng, tambah mem-bingungkan masyarakat. KIP sebagai pelaksana pemilu juga tidak begitu gencar melakukan sosialisasi, meskipun mereka mengaku telah bekerja maksimal.

Partai yang banyak apalagi. Ditambah lagi dengan keputusan mahkamah konsti-tusi yang tidak menyatakan bahwa nomor urut caleg tidak menjadi patokan menjadi anggota dewan. Yang paling banyak suara dialah yang terpilih. Ini lah yang memun-culkan para caleg berkompetisi lebih gen-car. Bahkan sesama caleg dari partai yang sama.

Masyarakat menurut saya sudah cukup lelah dengan tingkah polah anggota dewan yang tidak bisa menepati janjinya ketika duduk di kursi terhormatnya. Kebanyakan mereka lebih penting menarik modal dari pada memikirkan kepentingan rakyat.

Saya ragu dengan kemampuan para ca-leg yang coba meraup simpati rakyat dalam pemilu kali ini. Kita tau, angka pengangu-ran di Aceh cukup tinggi. Itu terbukti den-gan banyaknya peserta CPNS yang ikut tiap tahunnya. Ditambah lagi banyak orang Aceh yang lebih banyak ngomong di warung kopi dari pada mengerjakan sesatu yang meng-hasilkan uang.

Yang lebih parah lagi, setelah pengu-muman CPNS kemarin, banyak caleg yang mengundurkan diri. Terbesit di pikiran saya apakah mereka mau jadi wakil rakyat atau mau cari kerjaan ya? Untuk itu masyarakat perlu lebih hati-hati dalam menentukan pi-lihannya.

Yang penting bukan ganteng, cantik. Sudah saatnya masyarakat memilih wak-ilnya yang sesuai dengan sifat Rasulullah. Bukan orang yang munafik.

MaulanaBanda Aceh

Surat Terbuka untukWakapolda AcehSehubungan dengan pernyataan Wakapol-da Aceh, Brigjen Pol Herman Efendi yang dimuat di harian Serambi Indonesia tanggal 19 Maret 2009 yang memaparkan tentang situasi Kamtibmas (Keamaman dan Ketert-iban Masyarakat) di Aceh dan mengatakan bahwa tak ada satu pun TPS (Tempat Pe-mungutan Suara) di Aceh yang digolongkan aman. Dalam hal ini, Wakapolda mengelom-pokkan semua TPS dalam tiga status yaitu kurang rawan, rawan I dan rawan II dengan tidak disertai penjelasan lebih lanjut men-

surat/foto untuk redaksi harap dialamatkan ke: Jl. Bahagia No.3

Punge Blang Cut, Banda Acehatau

[email protected]

Penerbit PT. ACEHKINI

Dewan RedaksiYuswardi AS, Nurdin Hasan, Irfan

Sofni, Adi WarsidiRedaktur

Fakhrurradzie GadeRedaktur FotoFauzan Ijazah

Koordinator LiputanMaimun Saleh

WartawanMismail Laweueng, Dedek

Parta, Daspriani Y Zamzami, Rza Nasser, Jamaluddin (Banda

Aceh), Imran MA (Lhokseumawe), Halim Mubary (Bireuen),

FotograferHasbi Azhar, Chaideer Mahyuddin

KeuanganAbdul Munar

Penata LetakKhairul Umami

OmbudsmanStanley

KolumnisAzhari

DistribusiMuhammad Yusuf,

AlamatJl. Bahagia No 3,Punge Blang Cut

Banda AcehTelepon/Faksimil

0651.44416website

www.acehkini.co.ide-mail

[email protected]

Page 4: Acehkini 10

4

Pengamanan PemiluPasukan gabungan TNI dan POLRI melakukan simulasi pengamanan pemilu di lapangan Blang Padang, Banda Aceh.3 Maret 2009. [Fauzan Ijazah]

genai indikator kerawanan yang dimaksud. Bagi kami, penjelasan lebih lanjut diper-

lukan mengingat pernyataan Wakapolda tersebut bisa menimbulkan keresahan da-lam masyarakat, mengingat pelaksanaan pemilu tentu membutuhkan penciptaan situasi yang kondusif dengan pengamanan yang proporsional oleh institusi yang ber-wenang.

Berkaitan dengan hal di atas, maka kami dari KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh meminta kepada Wakapolda untuk:1. Memberi penjelasan lebih lanjut kepada

masyarakat Aceh mengenai fakta yang mendasari kepolisian menyimpulkan semua TPS di Aceh tidak aman sekaligus penjelasan tentang upaya-upaya yang terukur oleh kepolisian dalam menga-mankannya.

2. Memastikan efektifitas pengendalian keamanan oleh kepolisian ketika tugas-tugas perbantuan dari TNI diterapkan dalam pengamanan pemilu di Aceh.

Demikian surat ini kami buat, atas per-hatian dan kerjasama yang telah terbangun kami ucapkan terima kasih.

Banda Aceh, 19 Maret 2009KontraS Aceh

Hendra Fadli (Koordinator)

LBH Banda AcehHospinovizal Sabri

(Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik)

Koalisi NGO HAM AcehFaisal Hadi (Direktur)

Waspadai ProvokatorMenjelang Pemilihan Umum yang akan digelar pada 9 April nanti, kondisi keaman-an di Aceh semakin mengkhawatirkan. Kabar mengejutkan dating dari Jeuram, Kabupaten Nagan Raya: tim sukses Par-tai Aceh meninggal dunia akibat digorok. Polisi belum mengetahui pelaku dan motif pembunuhan itu. Apapun alasan pembunu-han itu, jelas-jelas itu merupakan tindakan

biadab, tidak berperi kemanusian. Apalagi di saat semua pihak sedang menjaga kelang-sungan perdamaian.

Ini merupakan rangkaian teror. Tak hanya kepada Partai Aceh, tapi juga kepa-da kita semua. Beberapa waktu lalu, Bank Dunia dalam sebuah laporannya menyebut-kan, kekerasan dan aksi kriminal di Aceh meningkat. Di awal tahun ini saja sudah terjadi 16 orang tewas, 47 luka-luka, dan 17 bangunan dan kendaraan rusak. Angka ini terbilang tinggi, dalam tiga bulan pembuka tahun ini.

Teror, aksi kriminalitas, dan pembunu-han biadab ini tak bisa dibiarkan. Kita ber-harap pihak Kepolisian Aceh mampu men-gungkap berbagai kasus teror yang terjadi di Bumi Seulanga ini. Tak ada kata lain, selain waspadai segala aksi provokasi yang dilaku-kan pihak-pihak yang tidak ingin Aceh be-rada dalam kedamaian.

MursalinBeureunuen, Pidie

Surat

Page 5: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 5

BANDUL KECEPATAN MAtic-NYAnaik turun, antara 50 sampai 60 kilometer perjam. Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah itu, mendadak jadi pembalap. Pesan singkat yang masuk ke telepon genggam yang membuatnya gusar. “Siang ini kita harus evaluasi!” bunyi pesan itu. Pengirimnya, pemilik modal ACEHKINI.

Dia sampai, rapat dimulai. Bukan sebab mendapat sanksi, sehingga Riza Naseer duduk di lantai beralas gordin. Kisah tak kebagian kursi, juga dirasa Daspriyani Y Zamzami, ia bahkan terpaksa duduk di kusen jendela. Hanya direktur dan tiga peserta rapat lain yang beruntung duduk di kursi busa.

Maklum pembaca, di sela-sela menyiapkan edisi ini, awak redaksi juga sibuk menyiapkan kantor baru. Sebelumnya di Lueng Bata. Kini sudah di Jalan Bahagia, Punge Blang Cut. Jangankan kursi, bantal tidur awak redaksi juga hasil ‘sitaan’ rumah kakaknya Riza. Semuanya serba darurat.

“Bagaimana ini, tinggal laporan utama saja. Kapan diselesaikan!” sang direktur memulai bahasan.

“Maaf data tak lengkap, butuh peralihan penugasan,” jelas koordinator liputan.

“Aku bantu siapkan tulisan qanun,” tegas Daspriyani.

“Selebihnya, semua bahan yang telah ada kirim ke saya. Biar saya yang menulis,” tegas direktur mantap.

Rapat selesai. Riza tak langsung menyambar komputer. Ia justru sibuk menatap sampah yang dibakarnya, serupa kebiasaan almarhum Pramoedya Ananta Toer, menjala inspirasi jelang menulis. Tapi siang itu, sama sekali Riza tak menulis, ia malah tertidur di lantai beralas gordin.

Untuk menyelesaikan laporan utama edisi ini tak mudah. Butuh kesabaran, keahlian meyakinkan sumber dan tentunya kehati-hatian saat melaporkan. Edisi ini kami memilih isu AIDS, di tengah semua media membicarakan isu pemilu.

Kami lebih mencemaskan penyebaran HIV di negeri syariat ini, dibandingkan kinerja penyelenggara pemilu. Bagaimana tidak, di tengah kesibukan khalayak menseriusi rekonstruksi Aceh, ternyata tanpa sadar virus yang mematikan kian melejit.

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Aceh mencatat ada 29 kasus penyebaran virus itu di 13 kabupaten/kota. Tujuh di antaranya meninggal dunia. Kalau 29 kasus diare, tentulah biasa. Tapi 29 jiwa teridap HIV tentulah luar biasa.

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

memang ada di sekitar kita. Namun, kehadiran mereka jangan sampai melahirkan diskriminasi dan pengucilan. Penyebaran virus HIV tak seperti disangka orang. Ia hanya menular melalui hubungan intim, jarum suntik, cairan darah, dan air susu ibu.

Melihat penyebaran HIV/AIDS di Aceh yang semakin meluas, ACEHKINI edisi ini membentuk tim khusus. Mismail Laweueng, dipercayakan memimpin proyek. Mulanya, tak mudah meyakinkan ODHA bicara.

Tapi, masalah muncul setelah bahan dikumpulkan. Sang direktur ada halangan, urusan keluarga. Laporan yang katanya akan ditulis, hingga jelang deadline tak kunjung selesai. Akhirnya, segenap daya

Darurat

Saleuem

diupayakan agar laporan “pasukan yang terbatas tetap tersaji buat Anda, pembaca setia kami.

Sebut saja namanya Cahaya. Sejak beberapa tahun lalu, ia terjangkit virus HIV/AIDS, yang ditularkan suaminya. Ia dalam kecemasan dan khawatir apakah bayinya yang lahir awal Maret lalu, nantinya akan membawa penyakit yang dideritanya.

Kisah peliknya kehidupan ODHA juga dirasa Lestari, juga bukan nama sebenarnya. Sang suami telah lebih dulu menghadap sang Khalik akibat virus HIV/

AIDS yang menggerogoti imunitas tubuhnya. Lestari pantas saja terpukul. Ia terancam dikucilkan komunitasnya, karena menderita penyakit mematikan itu. Vonis dokter bagai kiamat bagi Lestari.

Berkat dukungan keluarga dan LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS, Lestari mulai bisa menerima kenyataan hidup. Dia terus menjalani hidup layaknya orang tanpa HIV/AIDS.

Selain soal AIDS, edisi kali ini juga menurunkan laporan tentang manusia perahu etnis Rohingya dari Burma yang

terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk. Mereka lari dari Burma setelah mendapat penyiksaan junta militer Burma. Di negaranya, Rohingya tidak lagi mempunyai status kewarganegaraan.

Di rubrik politik, ACEHKINI menurunkan laporan soal politisi perempuan yang bertarung dalam Pemilihan Umum ini. Mereka harus pandai membagi waktu: untuk keluarga dan politik.

Agar Anda tak jenuh dengan sajian politik, kami menyuguhkan sejumlah laporan hasil perjalanan kontributor ACEHKINI. Ada laporan dari timur Indonesia dan bekas rumah Lenin di Zurich, Swiss. Selamat membaca edisi darurat! [a]

Page 6: Acehkini 10

6

07

0812141618

202426

28

33

39

41

43

45

53

Sura

tSa

leue

m

Kolom | Maimun Saleh

Bencana di Ambang Mata

Liku Street Junkie

Cahaya Bersalin Cemas

Sengkarut Payung AIDS

Kandas di Tanah harapan

Getir Sepotong Roti

Pendatang di Negeri Sendiri

No. 03/II/November 2008

Bila Juri Telat Meniup Peluit

Mimpi Perubahan Pemain Ganda

Legitnya Niaga Nada

Perempuan 100 Wajah

Pendekar Jihad Sekitar Exxon

Revolusi Sebatang Cokelat

Rambu Solo Menuju Puya

Nabella Volary | Elviana | Indra Helmi

Ekonomi & Bisnis

Hukum & Politik

Figura

Seni & Budaya

Nanggroe

Pelesir

Kolom | dr. Mohd. Andalas, Sp.OG

FOTO | Menjemput Halimun

Page 7: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 7

Maimun [email protected]

TELAH KAU PAHAT SENDIRI LAHAT jauh dari ibumu. Aku paham, kau tak mengidamkan lelap di pinggir danau dengan nisan kaligrafi Arab, gemuruh tahmid, atau hujan airmata. Aku ingat, kau ingin sekali menentukan kematian dan corak kafanmu sendiri; legam tak putih seperti di negeri naga, selatan Aceh.

Kematian, seperti katamu pada malam-malam tak bertepi, ”mati itu mula kehilangan. Sejak aku hilang, aku telah mati.” Jangan kira aku lupa kalimat itu. Kau ucapkan saat menanti senja seraya meniup seruling, menghembus nada bungong jeumpa di Darussalam.

Termasuk terik siang, saat gas airmata menggenangi indera. Sama sekali aku tak lupa, kala fatamorgana menembus koran yang telah berubah rupa, jadi sajadah. Tentu kau bangga mati di jembatan Pante Pirak saat itu. Namun, kau justru dilayukan Human Immunodeficiency Virus. Semua tentangmu, terlalu panjang untuk dicatat. Kuanggap saja kau mendengar romansa ini, sambil memutar biji tasbih dalam kantung baju. Lalu berlalu, melintasi pematang sawah menuju rumah kecil kediaman ibumu.

Di pematang tandus. Debat panjang pernah meletup. Waktu itu, kau kabarkan niatmu meninggalkan Darussalam.

“Durhaka meninggalkan ibu!” bukankah sempat kukatakan itu, sebelum kau menyeberang laut. “Apalagi dia sakit.”

“Aku harus pergi demi kemulian ibuku!” dalihmu seakan menunjukkan tekad sebesar Seulawah.

Di sana, Jakarta nan jadah yang merenggut, kau masih bertahan pada mimpi buruk. “Hijrah,” katamu. Tapi jujur saja, aku tak percaya engkau memilih langkah nabi. Bagiku, kau sedang menanam bulus.

Sebagai tukang kisah, kutahu kau punya nyali. Tapi rupamu yang pasi itu tak bisa menutup takut, para perempuan yang diperkosa telah membalikkan cerita. Serdadu, telah memutar pahitnya menjadi korban, menjadi keiklasan dicabuli. Setahuku sejak peristiwa itu, kau raib.

Perkara membangun percaya, aku juga lihat dengan mataku sendiri. Bagaimana piawainya kau ayun lidah, sampai Pidie cadas kita tembus. Almarhum panglima rimba, kulihat juga sering melempar senyum saat kau bertanya. Padahal, itu berlangsung saat kalut menjilat sekujur Aceh.

Zaman keruh, di taman kesenian senyap. Tapi entah apa yang kau perbuat, kutahu orang sekali-sekali membicangkanmu. Sudah pasti bukan hanya sebab kau mendaur dentum rapai. Entahlah, jejakmu memang aneh.

***

Walau murka meretas dan merambat di

suwung kayu kumuh dan siap meluruhkan setiap tiang-tiang rapuh, malam itu, aku

tak bisa memaafkanmu. Suwung kayu itu bak Moradon sesak Karus kalah perang. Dan kau, Roque yang tak punya daya menyembunyikan dirimu. Kau pecundang yang meratap.

Jujur kukatakan, sulit kutanggalkan peristiwa itu dalam ingatan. Namun kala ‘matahari’ mengirim kabar lama sudah kau pergi, spontan kuharap pemilik langit menyambutmu. Semoga pula Dia telah menghapus segala catatan, dan pekik beberapa kawan yang berkata, “kau homo!”

Tapi aku berterimakasih, atas segala hujah sebelum tanah memanggilmu. Penting kau tahu, sejak perpisahan itu aku tak merindumu lagi hanya karena keroncongan. Jemariku juga telah kaku untuk menutup lubang nada seruling. Sementara onak yang terlanjur kau pacak, telah kucabut jauh sebelum ilalalang merengguhmu.

Seperti harapmu; nisan tak bernama, maka tak kutambat namamu di sini, di majalah ini. Kisah punahnya darah putih-mu, menjadi awal segala kisah. Aceh kini setelah bencana dahsyat dan damai bersua, terus digempur virus mematikan. Tapi masih seperti dulu, orang-orang mengutuk penderitanya.

***

Telah kau pahat sendiri lahat jauh dari

ibumu. Seakan tak butuh teungku bersila sambil menaruh telapaknya di nisan, kusyuk mengingatkan segala jawaban saat malaikat tiba. Aku yakin kau tahu, tanah Negeri Naga rindu memelukmu. Seperti anak-anaknya yang lain, diberinya riang pada kamboja agar membujuk angin mengirim kelopak atas pusaramu. Selamat jalan Mandis, semoga ilalang menutup rumah barumu; lahat. [a]

Kolom

M a n d i s

Semoga pula Dia telah menghapus segala catatan,dan pekik beberapa kawan yang berkata, “kau homo!”

Page 8: Acehkini 10

8

UTAMA | HIV/AIDS

Page 9: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 9

oleh FAKHRURRADZIE GADE

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan

antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah,

seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak

segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata.

Bencana di Ambang Mata

FOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

Page 10: Acehkini 10

10

Kasus HIV/ADISmenurut Umur

KABAR ItU BAK pEtIR DI sIANG bolong. Cahaya sama sekali tak percaya dengan hasil tes darah yang dijalani sang suami. Saat itu, dokter menyatakan suamin-ya, sebut saja namanya Arman, divonis mengidap virus HIV positif. Hari-hari di-jalani Cahaya bagai orang putus asa. Ia ke-mudian menjalani tes. Hasilnya, membuat ia semakin terpuruk: Cahaya positif HIV dan AIDS. Mulanya, Cahaya marah dan menyesali hidupnya. Terlebih keluarganya shock dengan kejadian ini.

Cahaya tertular virus HIV dari sang suami, yang seorang pecandu narkotika. Saat terinfeksi, Cahaya sedang mengandung anaknya. Awal Maret lalu, dia melahirkan si buah hati. Kegembiraannya atas kehadiran bayi juga direnggut rasa was-was. Kelak di usia 18 bulan, nasib bayinya dipastikan: tertular HIV/AIDS atau tidak. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap meneri-manya,” katanya, pasrah.

Cahaya merupakan potret orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Aceh, provinsi ujung barat Indonesia yang katanya telah memberlakukan syariat Islam secara kaf-fah. Ia merupakan ODHA yang mampu ber-tahan dan bangkit menjalani hidup normal. Sisa hidupnya diabdikan untuk berkecim-pung di lembaga nirlaba yang bergerak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Aceh.

Penyebaran virus mematikan itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang dilansir Dinas Kesehatan Aceh cukup mem-buat mata publik terbelalak. Hingga Desem-ber tahun lalu, ada 29 kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Dibandingkan daerah lain, memang angka ini relatif kecil. Tapi, penyebaran meningkat drastis dalam empat tahun terakhir.

Kepala Seksi Pencegahan dan Penang-gulangan Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr. Abdul Fatah menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS di Aceh terbilang cepat. Pada ta-hun 2004, pihaknya hanya mencatat satu kasus. Namun angka itu terus merangsek naik pertahunnya. Pada 2005 tercatat dua kasus. Di tahun 2006 ditemukan tujuh kasus, tahun 2007 (sembilan kasus). Pun-caknya pada 2008 yang tercatat 10 kasus. Dari data itu, hubungan seks menjadi faktor dominan penyebaran virus mematikan itu.

Usai bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh, akhir tahun 2004, banyak “pekerja kemanusiaan” dari berbagai bela-han dunia datang ke Aceh. Bandingkan den-gan keadaan sebelum tsunami, warga asing sulit bisa masuk ke Aceh. Tetapi, sekarang hampir setiap hari, kita bisa menemukan warga asing yang bekerja di berbagai lem-baga internasional dan bergaul bersama warga Aceh.

“Aceh sekarang menjadi wilayah open area. Jadi potensi terjadinya penyebaran HIV juga semakin besar,” kata Abdul Fatah kepada ACEHKINI, medio Maret lalu.

AIDS ibarat sisi mata uang. Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, virus yang meny-erang sistem kekebalan tubuh itu menyebar cepat. Hal ini tak terlepas dari bebasnya praktik prostitusi. Angka pengidap HIV/AIDS pada 1997 yang hanya berjumlah satu orang, bergerak cepat dalam jangka 10 tahun. Awal Januari 2007, seperti dilapor-kan Antara, di Mimika telah 1.181 warga

Kasus HIV/ADISmenurut Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki

Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Aceh giat memberikan penyuluhan dan pe-mahaman tentang penyakit ini. Selain pe-nyuluhan soal bahaya AIDS, Dinas Keseha-tan juga berupaya menekan stigma negatif terhadap ODHA. “Selama ini ada stigma negatif terhadap penderita HIV. Padahal, HIV tidak ditularkan melalui makan ber-sama, bersentuhan. Bahkan tak ditularkan melalui ciuman,” ujar Fatah.

Menurut dia, penyebaran HIV/AIDS di Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan ke-beradaan pekerja asing pada masa rehabili-tasi dan rekonstruksi. Sebab, kebanyakan penderita HIV terinfeksi saat mereka bera-da di luar Aceh. “Setelah terinfeksi, mereka kembali ke Aceh. Dulunya mereka pernah bekerja di Batam, misalnya,” kata dia.

Pernyataan ini seperti menghibur diri. Tetapi, bagaimana menjamin para pekerja asing itu tidak membawa virus memati-kan itu. Apakah sebelum mereka datang ke Aceh, pernah dilakukan tes darah bahwa pekerja asing itu tak terjangkit HIV. Bukan rahasia umum lagi kalau selama ini mereka juga sering menggelar party terbatas, yang juga diikuti warga Aceh, untuk menghilan-gkan penatnya bekerja.

Harus diakui, praktik prostitusi terse-lubung juga menjamur di daerah bersyariat ini. ACEHKINI sempat menelusuri jejaring dan lokasi pelacuran terselubung di Banda Aceh dan beberapa kota besar lain. Sejumlah salon kecantikan malah menyediakan servis plus bagi para lelaki hidung belang. Bisnis esek-esek ini juga menghinggapi kalangan remaja di Aceh. Inilah yang menyebabkan Aceh menjadi rentan dan berpotensi me-luasnya penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Praktik prostitusi dan penyebaran HIV/

UTAMA | HIV/AIDS

Page 11: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 11

Jenis Kasusyang Ditemukan

Kasus HIV/ADISdari Tahun ke Tahun

mengidap HIV/AIDS. Mimika menyum-bang 45 persen dari total kasus HIV/ADIS di Papua dan Irian Jaya Barat. Hal yang sama juga terjadi di Maluku.

Gencarnya penyebaran HIV/AIDs di Mimika karena pemerintah setempat ga-gal dalam menanggulanginya. Selama ini, Pemerintah Mimika hanya memberikan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi warga.

Namun penyuluhan ini tak disertai dengan regulasi pemerintah soal penanggulangan penyakit itu.

Kasus Mimika harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah Aceh. Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh butuh payung hukum tersendiri. Apalagi pascatsunami Aceh men-jadi wilayah terbuka. Baby Rivona, Ketua Medan Aceh Partnership (MAP), menye-

butkan, selama ini penanganan HIV/AIDS tak terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, jumlah penderita di Aceh terus bertambah. Karenanya, “perlu aturan khusus,” ujar Baby.

Rencana aktivis peduli HIV/AIDS men-dulang pro-kontra. Ketua Panitia Legis-lasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun tersebut. “Se-lama masalah penting dan dirasa mend-esak,” ujar Amir.

Ada juga pihak yang menentang ren-cana pembuatan qanun tersebut. Sebut saja, Khairul Amal. Menurut politisi Partai Kea-dilan Sejahtera ini, untuk menangani kasus AIDS di Aceh tidak perlu kekhususan. Bag-inya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpu-nan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Menurut Faisal, HIV bukanlah masalah yang harus dihindari. Dia juga meminta ma syarakat tak mengucilkan penderita pe-nyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, pe-nyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidak-sengajaan.

Jumlah penderita HIV/AID yang dipapar Dinas Kesehatan ialah angka yang tercatat. Menurut prediksi WHO–badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, berke-mungkinan 100 kasus lain terjadi. Jadi tak tertutup kemungkinan HIV positif di Aceh, yang belum diketahui, masih banyak. Nah, bila tidak segera ditangani serius, bencana baru kini mengancam di ambang mata. [a]

HIV[4 orang]

AIDS[25 orang

Kondisi PengidapHIV/AIDS

Hidup Mati

Page 12: Acehkini 10

12

oleh MAIMUN SALEHFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

Liku Street Junkie

UTAMA | HIV/AIDS

Page 13: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 13

Segenap daya dicurahkan demi menjaga sesama. Penyakit itu terus menggerogoti Aceh, negeri yang diklaim telah menjalankan syariat. Klinik pun kritis, tak terurus.

BABY RIVONA NASUTION, BERDIRI persis di ambang pintu. Ia terpaku. Perem-puan itu, menyapu pandang pada delapan bangsal. Tiga belas manusia lunglai, berjajar tak berdaya. ‘Ruang khusus’ di Rumah Sakit Adam Malik, Medan, itu, seakan loby room kunjungan Izrail, sang pencabut nyawa.

Meski tak menyaksikan bagaimana malaikat bekerja, ia merasa kuasa Tuhan sedang mereguhnya. Virus yang mendekam dalam tubuh, belum melumat usia. “Ya Al-lah, bersyukur saya masih bisa berdiri di sini,” ucapnya membatin, seraya memilin sesal.

Baby masih bisa bersyukur, bukan hanya tak berbaring di bangsal. Tapi, sta-tus kesehatannya, yang masih window pe-riod, artinya walau sudah diserang Human Immunodeficiency Virus (HIV), sistem kekebalan tubuhnya belum porak-poranda. Berbeda dengan penghuni ruang yang di-tatapnya, semua berstatus; pasien Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Riwayat virus jadah itu mendekam da-lam tubuhnya terbongkar enam tahun sil-am. Alangkah terkejutnya Baby, mendengar hasil cek darah; ia divonis positif terjangkit HIV. Seketika hancur harapannya untuk merintis karir yang kadung bersinar di neg-eri jiran. Kala itu, ia telah menjadi manajer sebuah perusahaan swasta. “Ketahuannya waktu cek darah untuk memperpanjang kontrak kerja,” jelasnya.

Baby sendiri bukan ‘penganut sex bebas’. HIV menyergap tubuhnya lewat jarum sun-tik. 14 tahun silam, ia pecandu narkotika. Penat menjalani rutinitas sebagai sekretaris sebuah perusahaan swasta di Bali, “sejak itu aku kenal dunia hiburan.” Sampai akhirnya dia berkenalan dengan serbuk candu itu, walau berpindah-pindah kota Jakarta dan Bandung ia tak bisa jauh dari narkoba. “Gue bener-bener terjebak narkoba!” akunya.

Ia pindah ke Malaysia, alasan utaman-ya bukan cari kerja. Melainkan ketakutan sendiri. Pasalnya, polisi menembak mati gembong narkoba yang tak lain adalah tet-angganya di sebuah apartemen di Jakarta. “Waktu itu aku masih street junkie walau wanita karier,” jelasnya.

Bila hanya nafkah, ia tak begitu galau.

Toh, di tanah air ia bisa memulai peker-jaan baru. Perkaranya, tak mudah ‘menu-tup wajah’ di tengah keluarga, sahabat dan masyarakat yang menganggap AIDS ‘penyakit kotor.’ Dari Malaysia, Baby tak kembali ke Jakarta. Ia memilih menetap di Medan. “Di sana tak banyak yang mengenal aku,” terangnya.

Namun Baby, tak menutup cerita pada adik perempuannya. Atas kisahnya, ia direkomendasikan ke Medan Plus, sebuah lembaga swadaya yang berfokus pada isu AIDS. Di sana, ia seakan menemukan ‘hidup baru.’

Sebelum karib satu sama lain, ia diper-kenalkan dulu dengan sakit yang mender-anya. ”Aku dikasi buku dan bacaan tentang AIDS,” ujarnya. Sejak itu, dia keranjingan membaca. Aktif di setiap kegiatan. Sampai kemudian diangkat jadi staf dan trainer.

Pemandangan Rumah Sakit Adam Ma-lik, menumbuhkan tekadnya untuk meng-habiskan sisa usia bersama para penderita AIDS. Untuk itu, ia bersama lima rekan-nya yang juga dari Medan Plus, kemudian mendirikan Perempuan Medan Tegar (Per-mata).

Ia menampik, anggapan perempuan yang terjangkit HIV melakoni profesi ‘rental kelamin.’ Baby memberi contoh anggota Permata, mayoritas tertular virus itu dari suaminya. “Tidak ada pelacur dalam Per-mata,” tegasnya.

Tiga tahun silam, Baby meninggalkan Permata. Sebagian rekannya tak meres-tui. Ia dinilai terlalu berani untuk ke Aceh. “Apa? Ke Aceh? Gila lo, Aceh gitu loh,” ujar seorang rekannya, saat pamitan.

Mendengar itu, Baby tersenyum. Ia tahu benar, di benak teman-temannya, Aceh memang ‘seram’. Warga yang terjangkit, ditutupi dan untuk layanan medis di kirim ke Medan. “Hari gini mau bicara AIDS di Aceh!” cibir temannya yang lain.

Bagi penderita AIDS asal Aceh, Medan hanyalah ‘kota pembuangan’. Sementara kampung halaman, peristirahatan akhir. Stigma negatif, dilekatkan pada mereka yang terjangkit. Warga menganggap AIDS sebagai aib. “Padahal banyak sekali kasus, mereka yang terjangkit orang baik-baik,” jelas Baby.

Bulat tekatnya ke Aceh, bukan tak beral-asan. Aceh sejak tiga tahun lalu, dikepung HIV seiring gencarnya program besar-be-saran rekonstruksi pascatsunami. Tapi, tak jelas apakah ada kaitan antara banyaknya pekerja asing dan meningkatnya kasus HIV di nanggroe bersyariat ini. Namun, isu itu tidak mencuat. Konon lagi menjadi perha-tian serius dari pemerintah. Padahal ia tahu betul, ada 13 orang penderita HIV/AIDS (ODHA) asal Aceh di Medan.

Dari angka tersebut, hanya tiga orang lagi yang belum dijemput Izrail. Keduanya, ibu rumah tangga. Asalnya dari Lhokseu-

mawe, Takengon dan Tapak Tuan. Baby, mengunjungi satu persatu mereka di Aceh. Kondisi mereka memprihatinkan, jelang ajal tiba. “Yang di Lhokseumawe itu janda. Terinfeksi dari suami yang sudah duluan meninggal!”

Ironisnya, penanganan medis tidak me-nyentuhnya. Padahal, sejak empat tahun lalu Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA), sudah melatih lima dokter khusus menangani kasus AIDS, begitu pula di set-iap kabupaten.

Baby ke Aceh dengan harapan, agar masyarakat paham AIDS dan tidak ada lagi ODHA yang dikirim ke Medan. Penanganan medis dijalankan di Aceh. Untuk itu, dia mendirikan Medan Aceh Patnership (MAP). Lembaga swadaya yang dimotori Baby ini, gencar melalukan sosialisasi AIDS ke ber-bagai kabupaten.

Selain itu, tiga tahun lalu, ia mendorong terbentuknya NAD support Groups (NAD sG). Organisasi itu beranggotakan para ODHA. Tujuannya, agar solidaritas sesama terus terjalin dan empati masyarakat men-galir.

Untuk meluruskan pandangan masyarakat ihwal AIDS, MAP mengorgani-sir sejumlah jurnalis, agar bersimpati lewat pemberitaan. Belasan jurnalis yang mengi-kuti training, akhirnya, bersepakat mem-bentuk Aceh Journalis for AIDS (AJFA). Or-ganisasi ini rutin mengeluarkan buletin dan mengabarkan berbagai kisah lewat blog.

Baby tak puas sampai di situ. Ia meya-kinkan Aceh Patnership Help (APIH) agar membantu dana untuk Pemerintah Aceh merintis klinik Voluntary Counselling and testing (VCT), di RSUZA. Usaha yang tidak sia-sia, November 2007 klinik itu aktif. Se-jak itu, ODHA bisa mengakses layanan kon-seling, check up dan testing HIV. Klinik itu juga menyediakan Anti Retroviral (ARV), obat penekan perkembangan virus.

Agar layanan maksimal, pihak rumah sakit membentuk kelompok kerja (Pokja). Sejumlah dokter ahli, bergabung di dalam-nya. Bahkan, di klinik juga ada staf adminis-trasi. Staff tersebut yang akan menghubung-kan dokter dan ODHA yang membutuhkan layanan.

Sayangnya, kini klinik VCT dalam kon-disi kritis. Tak lagi ada staf yang saban hari siaga melayani kunjungan pasien. Alasan-nya sederhana, APIH sudah berhenti me-nyuplai dana. Sementara pihak rumah sakit mengaku, “tidak ada anggaran,” jelas Baby.

Di lain sisi, HIV terus menggerogoti Aceh. MAP mencatat, belakangan nyaris saban bulan ditemukan kasus baru. Belum lagi, ODHA asal Aceh dari berbagai penjuru tanah air dan mancanegara mulai kembali ke kampung halaman. “Kalau tidak ditan-gani serius, bahaya!” tegas perempuan yang sedang hamil tiga bulan itu. “Mereka harus ada layanan.” [a]

Page 14: Acehkini 10

14

UTAMA | HIV/AIDS

Page 15: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 15

Cahaya Bersalin Cemas

PISAU-PISAU BEDAH ITU MERAYAP,silih berganti menyusul bius yang sudah lebih dahulu menjalar. Penuh hati-hati, paramedis Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, mengiris pe-rut Cahaya (bukan nama sebenarnya). Je-lang senja, bayi perempuan itu menangis nyaring, disambut riang sang juru selamat yang mengepung ibunya. Persalinan selesai di ujung pisau bedah.

Tak ada pilihan, selain operasi caesar. Langkah itu diambil demi Cahaya dan buah hatinya. Dalam darah Cahaya berkerumun Human Immunodeficiency Virus (HIV). Paramedis sempat gentar, hingga menggu-nakan sarung tangan berlapis dua.

Sebagai ibu, Cahaya berharap menjamu buah hatinya dengan air susi ibu (ASI). Na-mun, dokter menyarankannya agar memberi susu kaleng. Saran itu terpaksa dilakukan, agar virus tak berpindah ke jabang bayi.

Susu pabrik, momok tersendiri bagi Ca-haya. Ia hanya bekerja di lembaga nirlaba,

yang tidak lain wadah bagi penderita AIDS di Banda Aceh. Pendapatannya pas-pasan. “Harga susu mahal,” ujarnya saat ditemui ACEHKINI, awal Maret lalu.

Selain perkara susu, ia juga harus rajin mengkonsumsi Anti Retroviral (ARV), obat penekan laju pertumbuhan virus. Obat yang harus ditelannya saban bulan itu, harganya selangit, mencapai Rp 350 ribu.

Peliknya nasib Cahaya, terdengar Komi-si Penangulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh. Jelang persalinan, lembaga milik pemerintah itu turut membantu biaya. Se-jawatnya, juga mewujudkan solidaritas den-gan berbagai cara.

Kegembiraannya atas kehadiran bayi, awal Maret lalu, juga direnggut rasa was-was. Kelak pada usia ke-18 bulan, nasib bay-inya dipastikan; tertular atau tidak AIDS. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” ujar Cahaya pasrah.

Perempuan berusia 30 tahun itu, jauh-jauh hari telah menyiapkan segala hal sebe-

lum persalinan. Dari dalam ruang beruku-ran 9 x 6 meter, di lantai dua sebuah toko di Banda Aceh, yang tak lain kantornya sendi-ri, ia menyusun rencana agar bayi selamat. "Proses perencanaan mutlak dibutuhkan, sehingga calon bayi tak tertular HIV selama dalam proses kehamilan hingga melahir-kan," terang Cahaya.

Perencanaan matang harus dilakukan karena Arman (bukan nama sebenarnya), suaminya, juga pengidap HIV. Itu sebabnya, keduanya melakukan tes viral load untuk mengetahui jumlah virus dalam darah.

Katanya, jika kedua viral load tidak terdeteksi, mereka bisa melakukan hubun-gan suami istri tanpa pengaman. "Ini un-tuk membantu proses kehamilan saja dan selanjutnya, hubungan suami istri harus menggunakan kondom," ungkapnya.

Agar viral load tak terdeteksi, Cahaya melakukan terapi antiretroviral (ARV). Ini dimaksudkan untuk memperkecil peluang virus mematikan itu menular ke si jabang bayi.

Arman adalah suami keduanya. Dari suami sebelumnya, ia dikarunia seorang anak. Selain orang terdekatnya, tak banyak yang tahu Cahaya hidup dengan virus HIV. Ia memang sengaja merahasiakannya.

Maklum, di masyarakat kita, penderita HIV masih dipandang aib. Padahal, untuk memperlancar proses persalinan, selain terapi medis, dibutuhkan dukungan dari se-mua pihak, terutama keluarga.

“Stigma bagi ibu hamil memperbesar kemungkinan janin tertular, sebab karena merasa tertekan si ibu, bisa-bisa tak lagi menghiraukan kondisi janinnya,” ujar Ca-haya. Karena stigma itu pula, ia menolak foto dirinya diabadikan wartawan majalah ini.

Sebagai penderita HIV, Cahaya memang ekstra keras memelihara si jabang bayi. Sebelum dan semasa hamil, ia rajin berkun-jung ke dokter: melakukan pengecekan dan menjalani terapi.

Selesaikah? Belum. Pada masa usia ke-hamilan enam bulan, calon bayi juga diberi profilaksis agar tak tertular saat di dalam kandungan sampai proses persalinan. "Obat jenis AZT itu masih belum tersedia di Indo-nesia. Hanya saja tersedia dosis nevirapine yang disuntikkan pada si bayi saat dia terla-hir," ujarnya.

Itu pun belum menjamin si bayi tak tertular. Kepastiannya, baru didapat saat sang bayi berusia 18 bulan, lewat tes anti-bodi. Pengecekan dilakukan tiga kali: saat lahir, saat enam minggu dan pada usia tiga bulan.

Sayangnya, biaya tes tak murah. Ironis-nya lagi, hasil tes belum tentu jitu. Itu se-babnya, perlu pemeriksaan berulang kali. Namun, apapun hasilnya kelak, tak bakal membuat kasih Cahaya menyusut. “Syukur bila tidak!” [a]

Ikhtiar seorang ibu melindungi janin dari virus dan cemooh warga.Walau bayi selamat,cemas tak tamat.

oleh MIsMAIL LAWEUENGFOTO: HYPNOTHERAPYSERVICE.ORG.UK

Page 16: Acehkini 10

16

HIV kian berjaya di Aceh.Para aktivis peduli AIDS,berkumpul menyusun draft qanun. Di parlemen suara politisi tak bulat; antara restu dan mencibir.

oleh DASPRIANI Y ZAMZAMIFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN -ACEHKINI

Sengkarut Payung AIDS

UTAMA | HIV/AIDS

Page 17: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 17

KERTAS-KERTAS BERTEBAR DI ATAS meja. Komputer jinjing berlayar 12 inci me-nyembulkan hawa panas, penanda sudah berjam-jam bekerja. Di atas papan huruf laptop yang hangat itu, Baby memainkan jarinya, curahkan pikiran, seraya mem-bolak-balikkan kertas.

Baby kerja ekstra keras.Dalam waktu dekat, ia harus merampungkan rancangan draft qanun HIV/AIDS untuk diajukan ke parlemen Aceh. Draft qanun yang dirin-tisnya, bukan hanya untuk kepentingan para penderita, tapi juga mengikat kepedulian pemerintah dan masyarakat memberangus HIV.

“Jangan lagi bicara kutukan, tapi ba-gaimana kita bisa menangani dan memberi perhatian kepada penderita,” ujar Manager Program Medan Aceh Partnership (MAP), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV/AIDS, itu.

Fasilitas medis yang tersedia selama ini, menurut Baby, tak cukup menunjuk-kan seriusnya komitmen Pemerintah Aceh. Pasalnya, hingga saat ini, pengetahuan masyarakat tentang menghindari dan me-nangani HIV/AIDS masih sangat lemah. Buktinya, masih kuatnya stigma bahwa HIV hanya menyerang pelaku asusila. Draft qa-nun juga untuk menyusutkan anggapan itu. ”Tidak cuma mengatur bagaimana pemer-intah menyiapkan fasilitas untuk penderita, tapi juga sosialisasi dan penanganan HIV/AIDS,” ujar Baby.

Kini klinik VCT, hanya ada di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Diharapkan kelak juga akan ada di semua kabupaten di Aceh. Sehingga pend-erita di kabupaten tak perlu lagi datang ke ibukota provinsi untuk mendapat layanan medis. Jarak tempuh, menurut Baby, sangat berpengaruh pada kondisi penderita.

”Kasihan kalau mereka harus jauh da-tang. Itu akan membuat kondisi penderita HIV menjadi lemah, belum lagi jika obat yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia, maka mereka harus ke provinsi lain, misal-nya Medan,” urai Baby.

Selama ini, sebut Baby, penanganan HIV/AIDS tidak terlalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Semua program terintegrasi dalam program dari Dinas Kes-ehatan. Padahal hari demi hari, diakui atau tidak, jumlah penderita di Aceh semakin bertambah. ”Untuk itu perlu ada aturan khusus. Sejumlah aktivis peduli HIV/AIDS, sedang menggodok draft rancangan qanun untuk diserahkan kepada legislatif,” jelas-nya.

Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwaki-lan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mem-persilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir.

Hanya saja, dia mengingatkan, sebuah draft qanun baru bisa masuk ke meja pani-

tia legislasi dan menyandang status inisi-atif dewan jika naskah akademiknya sudah sempurna dan mendapat dukungan kuat dari anggota dewan. “Minimal lima orang, atau dua hingga tiga fraksi di DPR. Kalau sudah ada dukungan seperti itu, kemung-kinan menjadi qanun prioritas bisa saja,” jelasnya.

Hanya saja untuk 2009, pihak pemerin-tah daerah dan dewan sudah menetapkan 12 rancangan qanun prioritas untuk diselesai-kan. Tahun ini juga, para anggota parlemen disibukkan dengan agenda kampanye pemi-lu legislative 9 April nanti, karena mereka ingin kembali terpilih. Di antara rancangan qanun prioritas yang sudah masuk daftar program legislasi Aceh adalah soal tata ru-ang, rumah ibadah. “Tapi masih mungkin bertambah jika dirasa mendesak,” ujarnya.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpu-nan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Menurut Faisal, HIV bukan masalah yang harus dihindari. Ia juga meminta masyarakat tak mengucilkan penderita pe-nyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, pe-nyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidak-sengajaan. “Misalnya, ada yang tertular dari jarum suntik saat memeriksa kesehatan. Jadi jangan langsung diberi stigma negatif,” ujar pengelola pesantren di Sibreh, Aceh Be-sar, ini.

Faisal mengingatkan, dalam Islam selalu terbuka pintu memperbaiki diri. Itu sebab-nya, dia mengapreasiasi upaya pembuatan rancangan qanun untuk menjamin hak-hak

pengidap HIV/AIDS seperti layaknya ma-nusia normal. “Yang paling penting, hindari sebisa mungkin sebelum tertular,” ujarnya.

Sejumlah kota besar telah punya pera-turan daerah tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Di Jakarta, disahkan pada 14 Juli 2008 lalu, setelah sebelumnya sempat dibalut kontroversi. Ketua DPRD Jakarta Ade Supriatna, ketika itu menjelaskan, peraturan itu disahkan karena penularan kian menderas. “Dengan adanya peraturan daerah, bisa dilakukan upaya penanggulan-gan yang optimal,” ujarnya.

Khairul Amal, politisi Partai Keadilan Sejahtera, justru berseberangan pendapat dengan Faisal. Menurutnya, untuk menan-gani kasus AIDS tak perlu kekhususan. Bag-inya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja. “Belum perlu itu qanun AIDS,” tegas-nya.

Tentang mencuatnya desakan agar pe-merintah mengadakan klinik VCT di set-iap kabupaten, menurutnya, juga tak perlu ditetapkan lewat qanun. Cukup dengan ke-bijakkan pemerintah setempat.

“Kalau soal diskiriminatif bukan hanya penderita AIDS, penderita kusta juga. Pan-dangan masyarakat tidak bisa diatur dalam qanun tapi lewat sosialisasi,” paparnya.

Khairul justru menduga, meningkatkan jumlah penderita AIDS, akibat prostitusi di Aceh. Menurutnya, pelacuran berjalan diam-diam. ”Bagaimana ini diatur. Sumber penyakit di situ, ini yang harus dihilangkan dulu,” ujarnya.

Jika benar ada prostitusi di Aceh sep-erti kata Khairul, artinya, HIV menemukan inang untuk menyerang. Kelak penyebaran dipastikan semakin drastis. Pendapat Faisal patut dipertimbangkan, sebelum semua ter-lambat. [a]

Page 18: Acehkini 10

18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN Acquired Immune Deficiency syndrome (virus HIV dan sindroma AIDS) telah menusuk Aceh. Vi-rus ini terus mengintai, terutama kelompok risiko tinggi. Satu demi satu kasus baru ditemui. Bebera-pa minggu lalu, seorang ibu dengan HIV melahir-kan melalui operasi Caesar di Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Menurut tim kelompok kerja HIV-AIDS RSUZA, dua ibu hamil lain dengan HIV sedang menanti giliran.

Tak banyak orang mau melakukan pemerik-saan darah. Ibu-ibu tadi adalah pengecualian. Mer-eka dengan sadar melakukan pemeriksaan darah dan mengikuti anjuran pemerintah yakni mengon-sumsi obat antiretrovirus (ARV) demi mencegah menurunnya kekebalan tubuh, serta mencegah penularan pada bayinya. Untung saja, penyakit mereka cepat terdeteksi. Jika tidak, resikonya bisa menular pada bayi, petugas kesehatan, petugas ke-bersihan dan terkontaminasi pada alat medis.

Beberapa kasus baru HIV-AIDS di Aceh Utara, umumnya ditemukan secara kebetulan. Terutama saat yang bersangkutan melakukan donor darah. Mereka berasal dari kelompok pengguna narkoba. Bila temuan ini benar, Pemerintah Aceh melalui KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) harus lebih serius meresponnya. Hampir 50 persen kasus ini

HIV-AIDS di Sekitar Kita

baru. Di Indonesia, berasal dari kelompok peng-guna jarum suntik saat memakai narkoba.

Aceh saat ini masuk dalam mapping nasional kasus epidemik HIV-AIDS. Aceh juga termasuk daerah yang perlu disuplai obat antiretrovirus. Jika tidak, alamat menjadi neraka bagi mereka yang imunitas tubuhnya telah menurun akibat in-feksi virus mematikan. Selain itu, obat antiretrovi-rus mahal sehingga sulit terjangkau.

Hal lain yang perlu perhatian serius adalah jika si pengidap tak sadar HIV bersarang di tubuhnya. Menurut prediksi WHO – badan kesehatan dunia—bila terdeteksi satu kasus, maka berkemungkinan ada 100 kasus terjadi. Jadi, bisa saja masih banyak kasus HIV positif yang belum diketahui. Memang, prevalensi kasus HIV-AIDS perseratus ribu pen-duduk di Aceh masih rendah: 0,23. Setidaknya, jika dibandingkan daerah tetangga kita Sumatera Utara, yaitu 1,67.

Sejarah Terjangkitnya HIV-AIDSVIRUS HIV-AIDS PERTAMA DIISOLASI TAHUN 1983. Virus ini adalah suatu lentavirus subgroup dari retrovirus. Mengingat begitu cepatnya virus mematikan ini berkembang, masyarakat pemer-hati dan peduli HIV-AIDS, mencanangkan Hari AIDS Sedunia saban 1 Desember. Tepatnya dimu-

Kolomdr. MOHD. ANDALAS, Sp.OG.Staf PengajarFakultas Kedokteran Unsyiah

Page 19: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 19

lai tahun 1990 silam. Perlu diingat, HIV sebenarnya bukan virus

pertama yang ditularkan melalui hubungan seks. Namun, virus ini berbeda dimensi penyebarannya. Ini dapat dilihat dari melambungnya jumlah kasus dari tahun ke tahun.

Peningkatan virus AIDS di Indonesia melejit cepat. Jika pada 1987 hanya terdeteksi sembilan kasus, akhir 2006 menurut laporan Direktorat Penyakit Menular DEPKES, meningkat men-jadi 11.400 kasus, meliputi 6.700 kasus HIV dan 4.700 penderita AIDS. Tahun 2003, diperkirakan antara 90.000 sampai 130.000 orang terinfeksi HIV-AIDS. Dengan menanjaknya jumlah kasus, penyuluhan tentang bahaya virus HIV harus di-gencarkan.

Epidemik AIDS telah menjadi salah satu ben-cana yang merusak kesehatan dalam sejarah ma-nusia. Sampai sekarang, virus ini masih memangsa keluarga dan warga hampir di seluruh dunia. Se-banyak 25 juta orang meninggal akibat AIDS sam-pai akhir tahun 2005. Selain itu, sekitar 40 juta orang saat ini hidup dengan orang-orang terinfeksi HIV. Pada 2005, diperkirakan ada 4,9 juta orang penderita baru terinfeksi, sebagian besar (95%) ada di sub sahara Afrika, Eropa Timur, atau Asia.

Di Sub Sahara Afrika umumnya orang mening-gal berhubungan dengan AIDS. Sangat sedikit yang meninggal karena penyakit lain. Afrika Selatan saat ini menjadi salah satu daerah dengan preva-lensi tinggi masyarakatnya yang tinggal bersama orang yang terinfeksi HIV yaitu antara 4,5 sampai 6.2 juta orang.

Secara nasional, distribusi kasus HIV-AIDS, DKI Jakarta di urutan teratas dengan 3.902 ka-sus, disusul Papua dengan 1.817 kasus dan Jatim di urutan ketiga dengan 1.104 kasus. Dari seluruh data terakhir mayoritas (hampir 50%) kasus baru berasal akibat penggunaan jarum suntik akibat narkoba.

Kekebalan Tubuh TurunDARI sEGI MEDIs, HIV-AIDs INI DIsEBUtKAN, penyakit yang disebabkan oleh virus yang meng-ganggu sistem kekebalan tubuh manusia dan ditu-larkan lewat hubungan seks. HIV bekerja dengan menggerogoti sistem kekebalan tubuh yang dalam keadaan normal dijaga oleh sel T4. Inilah sel yang bertugas melindungi tubuh dari serangan penya-kit.

Bila terinfeksi, sistem daya tahan tubuh (sel T4) berkurang dan rentan penyakit. Akibatnya, jika terjadi kontak dengan suatu sumber infeksi ter-tentu maka mulai timbul masalah klinis, keadaan inilah yang dikenal dengan AIDS.

HIV-AIDS sangat menakutkan. Sebab, ses-eorang yang terinfeksi, gejala klinis atau penyakit-nya tidak langsung muncul. Akibatnya, mereka tak segera berobat ke dokter. Selain itu, masa inkubasi dari seseorang yang terinfeksi sampai bisa menim-bulkan penyakit yang dikenal dengan AIDS (win-dow periods) butuh waktu 2 sampai 15 tahun.

Munculnya keluhan dan tanda klinis HIV san-gat dipengaruhi daya tahan tubuh. Maka, sejauh kekebalan bisa dipertahankan dengan obat-obat

ARV, sesesorang dapat bertahan hidup. Tapi, kan-tong harus tebal. Lihat saja biaya yang dibutuhkan seseorang dengan HIV, dengan CD4 kurang 350 membutuhkan dana Rp30 juta perbulan, sedang bagi seseorang dengan CD4 kurang 500 membu-tuhkan dana Rp18 juta perbulan.

Virus Immunodeficiency sangat unik karena dia virus kompleks baru yang aneh. Setelah masuk ke pembuluh darah, dia akan menyatu dan hidup dengan sel T4 yang berfungsi membentuk anti-bodi. Setelah itu, virus mereplikasi menjadi virus dengan struktur genetik yang berbeda.

Penularan dan PencegahanpENULARAN HIV BIsA MELALUI HUBUNGAN seksual (tanpa perlindungan sarung) baik pervagi-nal atau anal, transfusi darah yang mengandung virus HIV, menggunakan alat medis atau jarum suntik yang masih ada darah terinfeksi HIV, dan ibu hamil dengan HIV positif yang menularkan pada bayi.

Bila darah terinfeksi HIV, menurut sebuah stu-di yang dilakukan selama 12 tahun pada kelompok gay di Amerika, sekitar 1 persen berkembang men-jadi AIDS dalam setahun. Sebanyak 15-20 persen menjadi AIDS dalam kurun waktu 2 sampai 5 ta-hun dan umumnya (50 persen) berkembang men-jadi AIDS dalam 10 tahun.

Salah satu upaya pencegahan penyebarannya adalah dengan mendeteksi orang-orang berisiko terinfeksi HIV dengan memeriksa darah secara gratis dan rahasia. Pemeriksaan ini didapat di Vol-untary Counseling Testing (VCT). VCT adalah tem-pat untuk konseling dan testing HIV secara sukar-ela. Jika terdeteksi, pencegahan bisa lebih mudah.

Misalnya, seorang ibu hamil dengan HIV positif, maka petugas penolong persalinan telah melakukan persiapan sesuai aturan, karena si petugas berisiko tertular sampai 14 persen bila hanya pakai sarung tangan, dan semakin rendah risiko bila memakai dua lapis sarung tangan.

Selain itu, alasan pemakaian sarung tangan ganda adalah menghindari faktor resiko bocor (1,5-4 %) sarung tangan. Resiko infeksi virus HIV pada petugas kesehatan sama tingginya dengan resiko terinfeksi virus hepatitis. Itu sebabnya, hati-hatilah terhadap kedua virus ini.

Prevensi UmumMengingat ganasnya penyakit ini, ada standar

komprehensif yang bisa dilakukan dalam upaya menekan terkena HIV bagi kita yang tinggal ber-sama orang terinfeksi atau terduga terinfeksi.

Tingkatkan pengetahuan tentang risiko penu-laran secara seksual. Anjurkan mereka mengguna-kan kondom, cegah penularan ke bayi, pakai jarum sekali pakai dan melakukan konseling dengan baik.

Agama menjadi salah satu benteng bagi kita untuk membendung berjangkitnya HIV. Aceh yang mayoritas muslim dan memberlakukan syar-iat Islam, akan relatif lebih mudah karena Islam melarang seks bebas. Selain itu, penyuluhan ba-haya narkoba bagi remaja sangat baik dilakukan, demi mencegah mereka terperangkap di dalam-nya. Sebab, jangan sampai Aceh menjadi Afrika.[a]

Page 20: Acehkini 10

20

Page 21: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 21

tUBUHNyA MUNGIL. DIA tAMpAK gesit saat memanjat kelapa. Dua butir ke-lapa berhasil dipetik. Belum lagi sempat memetik yang lain, seorang tentara Nasion-al Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) me-nyuruhnya turun. Sambil memperagakan gerakan, sang tentara menyuruh lelaki itu push up. Awalnya, lelaki berkulit legam itu hanya squad jump sekali, namun si tentara menyuruhnya mengulangi gerakan push-up. Enam kali gerakan. Lelaki itu lantas me-mungut kelapa dan berlalu.

Dalam kerumunan, kelapa itu berpin-dah tangan. Seorang lelaki kurus tinggi coba mengupas dengan giginya. Sama sekali tak memakai pisau atau parang. Hanya pecahan batu. Kurang dari 15 menit, kelapa itu telah tak berkulit.

Pemandangan itu terlihat, akhir Janu-ari lalu, di Pangkalan TNI AL Sabang. Se-jak 7 Januari silam, pangkalan itu dipenuhi 193 warga etnis Rohingya, yang terdampar di perairan Pulau Rondo, 20 mil dari bibir pantai Sabang. Saat diselamatkan ke darat, kondisi mereka mengenaskan: dehidrasi akut, karena kekurangan cairan akibat 10 hari terombang-ambing di laut, tanpa ma-kanan dan minuman.

Di penampungan itu, muslim Rohingya mengisi hari-hari dengan senam, bermain bola, catur, bulu tangkis, dan lompat tali. Sesekali, mereka dibebankan mengecat pa-gar Pangkalan TNI AL. Pagi –jika matahari terik, mereka “dijemur” di lapangan terbuka. Seorang tentara yang berjaga di pangkalan itu bilang, mereka dijemur karena kondisi mereka sangat lembab. Ini agar mereka tak mudah terserang biri-biri basah.

Setelah sepuluh hari terombang-ambing di laut, mereka juga tidur berdesak-desakan di penampungan. Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Angkatan Laut Sabang menyediakan dua tenda masing-masing berukuran sekitar 10 x 6 meter dan 6 x 4 meter.

Untuk membunuh jenuh, relawan PMI mengatur pola hidup ‘manusia perahu’ itu. Mereka dibekali pemainan catur, ular tang-ga, halma, lompat tali, bulu tangkis, bola kaki, dan bola voli. Malam hari, mereka menonton film di layar proyektor yang dise-diakan relawan PMI Sabang. Khusus malam Jumat, mereka diharuskan membaca surat Yasin.

Saat ACEHKINI bertandang ke kamp penampungan mereka, akhir Januari lalu, pengungsi etnis Rohingya sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka menjamu tim PMI. Setelah salat Asar dan makan maka-nan ringan, sebelas etnis Rohingya menuju lapangan upacara TNI AL. Di sana, mereka membentuk formasi.

Kaos putih bertuliskan GN-OtA dike-nakan kesebelasan Rohingya. Sementara kesebelasan PMI memakai rompi berwarna biru donker dan bertuliskan PMI di bela-

KandasdiTanah Harapan

oleh FAKHRURRADZIE GADEFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

Page 22: Acehkini 10

22

kangnya. Etnis Rohingya terbilang pandai bermain bola. Dalam tempo tak sampai 15 menit, mereka berhasil membobol gawang tim PMI. Berselang sepuluh menit kemu-dian, gol lain diciptakan etnis Rohingya. Sore itu, Rohingya menaklukkan tim PMI dengan skor 2-0.

***

MANUsIA pERAHU EtNIs ROHINGyA ini terdampar di Sabang setelah dilarung di lautan lepas oleh Angkatan Laut Thai-land. pihak otoritas negeri Gajah putih itu menangkap, lalu menganiaya para manusia perahu. Puas menganiaya, Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka ke laut lepas dengan boat kayu tanpa mesin. Stok makan-an dan minuman tak mencukupi. Praktis, mereka hanya berharap pada angin yang akan membawa mereka ke daratan terdekat.

“Mereka menarik kami dalam boat kayu tanpa mesin. Tak ada makanan, dan minu-man,” kata Muhammad Hassan, satu dari 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sa-bang. Saat diwawancarai ACEHKINI akhir Januari lalu, Hassan sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Sabang akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya.

Hassan menceritakan kekejaman ten-tara Thailand saat mengusir mereka dari sebuah pulau terpencil negeri Gajah putih itu. Saat berlabuh di selatan Thailand pada 26 Desember 2008, mereka ditangkap Ang-katan Laut dan dijebloskan dalam penjara selama empat hari. Di sana, mereka men-galami penyiksaan bertubi-tubi. Ada yang dicambuk, diinjak dengan sepatu lars, dan dipukul dengan popor senapan.

Usai melampiaskan kekejamannya, ten-tara Thailand melepaskan etnis Rohingya ke lautan lepas. Mula-mula, empat boat yang berisi 583 muslim Rohingya itu ditarik dengan kapal otoritas Thailand. Sesampai di lautan lepas, “mereka memotong tali boat kami dan membiarkan kami terombang-ambing di laut,” kata Hassan.

Boat yang membawa mereka tak besar ukurannya. Hanya 10 x 3 meter. Boat tak bermesin itu mengangkut 200 orang. Mer-eka berhimpit-himpitan, nyaris tak ada ru-ang untuk bergerak. Selama 10 hari mereka dihanyutkan gelombang tanpa tujuan. Tu-juh orang tak bertahan, meregang nyawa di lautan lepas. “the oxygen will bring us to another place,” kenang Hassan dalam ba-hasa Inggris terbata-bata. “Kami hanya bisa berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan hidup kami.”

Selama 10 hari “berkelana” di laut, mer-eka kerap menjumpai kapal yang melintasi jalur padat Selat Malaka. Hassan menyebut-kan, mereka kerap meminta bantuan pada kapal yang lalu lalang, sambil melambaikan kain dan pakaian. Sayang, suara mereka tak

terdengar. “Saat saya melihat kapal, saya berteriak minta bantuan. Tapi tak satu pun yang membantu kami,” ujar pemuda berusia 22 tahun itu.

Boat yang ditumpangi Hassan bersama 192 orang lainnya merupakan bagian dari empat boat yang dilarung Angkatan Laut Thailand ke lautan lepas. Hassan dan te-mannya terdampar di Sabang. Satu boat lain terdampar di Pulau Andaman, India. Sementara sisanya hingga kini tak jelas juntrungannya.

Nur Muhammad, etnis Rohingya yang juga terdampar di Sabang, menyebutkan, mereka berlayar ke Thailand untuk mencari pekerjaan yang layak. Sebenarnya, pers-inggahan akhir mereka, Malaysia. Namun sebelum bisa menjejakkan kaki di Malaysia, mereka ditangkap tentara dan dipenjara di Ranong, Thailand Selatan.

Di negeri sendiri, menurut Muham-mad, mereka tak bebas bekerja. Sebelum ke Thailand, Muhammad menyeberang perbatasan secara ilegal ke Bangladesh. Di sana, dia bekerja sebagai nelayan dan men-gumpulkan uang untuk membayar “tiket” boat ke Malaysia, sekitar US$430. Dia dan temannya berlayar dengan boat kayu pada 16 Desember 2008. Celakanya, sang kapten boat sama sekali tak tahu arah tujuan mer-eka, hingga terdamparlah di Ranong.

Keberuntungan belum berpihak pada etnis Rohingya. Saat mencapai Thailand, mereka malah ditangkap tentara dan dipen-jara, sebelum akhirnya dilepaskan ke laut dengan boat tanpa mesin, makanan, dan minuman.

“Boat yang kami tumpangi sangat jelek,” kata pria berusia 37 tahun itu ketika ditemui di RSU Sabang, akhir Januari lalu. Dia mendapat perawatan medis akibat mender-ita sakit di pinggang dan luka dalam. “Air laut masuk dalam boat sampai selutut dan kami mulai membuang airnya. Kami hanya bisa berdoa pada Allah agar kami selamat,” kata Muhammad.

Thailand dan Myanmar menolak ber-tanggungjawab atas kasus ini. Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva berjanji akan menyelidiki aksi yang dilakukan ten-tara Angkatan Laut terhadap warga Roh-ingya. Myanmar menyebutkan bahwa etnis Rohingya bukan warga mereka.

Undang Undang Kewarganegaraan Burma yang disahkan pada 1982 mencabut kewarganegaraan etnis muslim minoritas Rohingya. “Etnis Rohingya tidak eksis da-lam (Union of Myanmar) dan mereka bu-kan bagian etnis pribumi Myanmar,” kata pemerintah Myanmar kepada UNHCR, ta-hun lalu.

Saat satu tim Departemen Luar Negeri Indonesia dan International Organization for Migration (IOM) sedang memverifikasi etnis Rohingya di Sabang, satu perahu kayu tanpa mesin yang penuh manusia kembali

ditemukan sebuah kapal nelayan di perairan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Mereka berjumlah 198 orang. Nasib mereka tak jauh beda dengan kelompok manusia perahu di Sabang. Ketika ditemukan, kondisi mereka sangat memprihatinkan.

Menurut kesaksian Rahmad, seorang manusia perahu yang ditemukan terapung di Selat Malaka, mereka sebenarnya ber-jumlah 220 orang. Tetapi, 22 orang telah meninggal dunia di laut setelah terombang-ambing 21 hari. Mereka juga ditarik ke ten-gah lautan oleh serdadu Thailand setelah tiga bulan ditahan di pulau kecil Provinsi Ranong. Ke-198 manusia perahu itu kini ditampung di Kantor Camat Idi Rayeuk.

***

DEpARtEMEN LUAR NEGERI Indonesia semula bersikukuh untuk tidak melibatkan lembaga PBB yang mengurus pengungsi (UNHCR), karena beralasan warga etnis Rohingya merupakan “migran ekonomi”. Selain itu, ungkap pejabat De-partemen Luar Negeri, ada “pengalaman buruk” dalam menangani manusia perahu

Page 23: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 23

dengan UNHCR.Pejabat Departemen Luar Negeri me-

nyatakan, akan memulangkan warga etnis Rohingya ke negaranya. Tapi karena deras-nya tekanan berbagai kalangan dalam dan luar negeri, Indonesia akhirnya mengizink-an UNHCR untuk memverifikasi 391 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk, Aceh Timur.

“Kita bersedia mengikutsertakan UNH-CR untuk menangani siapa yang tidak mau kembali ke negara mereka,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada international Herald tribune. “Kita ingin melaksanakan yang terbaik untuk mencari jalan keluar kasus Rohingya.”

Meski bersedia bekerja sama dengan UNHCR, pemerintah tetap tak mengizinkan pengungsi Rohingya menetap di Indonesia. Pasalnya, jika diizinkan, gelombang pen-gungsi etnis minoritas di Myanmar akan terus berdatangan ke Indonesia. “Negara kita bukan untuk para pengungsi,” kata dia.

Pendirian pemerintah bertolak bela-kang dengan keinginan sejumlah kalangan di Aceh. Mereka tetap berharap agar pemer-intah bersedia mengizinkan warga etnis Rohingya menetap di Aceh. Beberapa dayah sudah menyatakan kesediaan untuk me-nampung manusia perahu itu. Alasannya, mereka adalah saudara seiman, dan bila dikembalikan ke negaranya akan mendapat perlakuan tidak manusiawi dari junta mili-ter Myanmar.

Jauh-jauh hari, etnis Rohingya yang ter-dampar itu juga menolak dikembalikan ke Myanmar, negara yang mayoritas beragama Budha. “Saya lebih baik mati di sini, dibunuh oleh orang muslim,” kata Nur Muhammad. “Jika dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami.”

Di tanah harapan, cita-cita Hassan kan-das. Niat hati ingin mempunyai kehidupan lebih baik, malah berakhir terapung-apung di tengah samudera. Padahal, ia ingin mengikuti jejak sang abang yang kini men-etap di Italia. “Saya tidak ingin kembali ke Myanmar. Takut, karena militer akan mem-bunuh saya. Saya berharap agar pemerintah Indonesia mau mengirim saya ke Italia,” kata Hassan. Nafasnya tersengal-sengal. [a]

Pengungsi Rohingya mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Idi Rayeuk, Aceh Timur (atas). Seorang pengungsi Rohingya sedang berwudhuk di tempat penampungan di Pangkalan Angkatan Laut, Sabang (bawah).FOTO ATAS-BAWAH: JUNAIDI HANAFIAH; CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Page 24: Acehkini 10

24

Getir Sepotong

Roti.Junta militer mengusirnya, serdadu jiran merajam.

Sambil menahan perih, dia mengiba, "lebih baik matidi tangan muslim, daripada dibunuh di negara sendiri."

MATAHARI MENYALAK, TERIKNYA tepat di atas ubun. Namun Rahmad, 37 tahun, acuh pada peluh yang membasahi tubuhnya. Pria legam itu menelusuri jalan setapak, menuju Pasar Ranong, di selatan Thailand. Suaranya parau menjajakan pu-luhan roti yang dijinjingnya.

Setahun sudah ia mengais rezeki di neg-eri gajah putih, demi tiga anak dan istrinya yang ditinggalkan di daerah Arakan Mog-dow, Myanmar. Di kampungnya, pemerin-tah junta militer mengharamkan etnis Ro-hingnya mencari nafkah. Bahkan tak diakui sebagai warga negara. "Saya sudah meran-tau ke beberapa negara," jelasnya.

Naas, perjalanannya terhenti pertenga-han November tahun lalu. Menjelang zuhur, sebelum roti laku, sekelompok serdadu Thailand menggelandangnya ke dalam truk.

oleh RIZA NASSERFOTO-FOTO: JUNAIDI HANAFIAH

Kedua lengannya diikat dengan seutas tali, disambung tamparan dan tendangan ke sekujur tubuh.

Siksa tak berakhir di dalam truk. Rah-mad dibawa ke pulau Meso, sebelah barat laut provinsi Ranong. Di pulau tak berpen-duduk itu aniaya berlanjut. "Kami dipukuli pakai kayu, minum cuma diberi seteguk perhari dan makan cuma segenggam beras," kenangnya. Tiga bulan ia menahan dera.

Di Meso, Rahmad tak sendirian. Ada ra-tusan warga Rohingya yang bernasib seru-pa. Dari kamp penyiksaan, lalu etnis mus-lim dinaikkan ke sembilan perahu. Setiap perahu berukuran 12 x 3 meter itu diisi lebih 200 orang. Sebelum sesak penumpang, ser-dadu Thailand mencambuk silih berganti.

Luka belum mengering, kapal serdadu menyeret perahu ke Selat Malaka. Lalu, tali penghubung dipotong. "Mesin perahu dibuang ke laut, tidak ada makanan di da-

lamnya, kami hanya minum air laut, satu perahu kami ada 220 orang," kisahnya.

Di perjalanan 22 karib senasib tak ber-tahan, mereka mengerang nyawa. Jasadnya terpaksa disemayamkan ke laut setelah dis-alatkan. Beruntung setelah 21 hari di lautan, jelang fajar nelayan Idi Rayeuk, Aceh Timur menemukan dan menarik perahu mereka ke Kuala Idi, pada 3 Februari lalu.

***

RAHMAD PUNYA ALASAN KUAT meninggalkan tanah leluhurnya. "Masjid kami sekarang ditutup, saya pernah dipen-jara 10 tahun karena salat di masjid," katan-ya. "Perlakuan seperti itu sudah terjadi saat saya masih kecil. Kalau laki-laki tak boleh tinggal, perempuan tak apa," ungkapnya.

Setelah lepas dari penjara junta, usai menikahi seorang gadis Rohingnya, Rah-mad memutuskan meninggalkan Myanmar. Mengembara ke beberapa negara terdekat. Di Malaysia, dia sempat menetap lima ta-hun, sampai mahir berbahasa Melayu.

"Kalau sudah punya duit sedikit saya pulang ke kampung, itu pun curi-curi. Ka-lau tak ditangkap, setelah bertemu keluarga selama seminggu saya balik lagi pergi cari kerja," akunya.

Cerita yang hampir serupa juga dikisah-kan Nurullah, 20 tahun. Pria lajang ini, dua tahun silam telah menamatkan pendidikan-nya di sekolah tinggi pendidikan biologi di Bangladesh. Dia sempat menjadi guru di Myanmar. Belakangan junta meliter men-gendus kegiatannya. "Saya ditangkap dan dipenjara," akunya.

Melangkah ke Thailand baru dilaluinya tiga bulan. Di negara itu, dia bekerja sebagai

Page 25: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 25

buruh serabutan di perahu nelayan sekitar. Saat ACEHKINI menemuinya di ruang pe-nyakit dalam Rumah Sakit Umum Idi Ray-euk, awal Februari lalu, Nurrullah masih lemah. Di bagian tubuhnya terlihat bebera-pa bekas cambukan.

Tapi, penyiksaan terhadap Nurul-lah tak separah yang dialami Muhammad

Salim. Lajang berusia 20 tahun itu terpaksa merelakan satu ruas jari telunjuknya, di-potong militer Thailand. Perkaranya hanya hendak salat di kamp penyekapan. Luka masih mengeluarkan nanah. "Tangan dia dipotong pakai kayu," jelas Rahmad, mener-jemahkan jawaban Salim dari bahasa Urdu ke bahasa Melayu.

Salim, Nurullah, Rahmad dan ratusan warga Rohingnya lain berharap pemerin-tah Indonesia tak memulangkan mereka ke Myanmar. "Lebih baik kami mati di negara orang muslim, dari pada kami mati di nega-ra sendiri," ucap Rahmad.

***

SEJAK DITEMUKAN 'MANUSIA PERAHU' yang terdampar itu, kota Idi Rayeuk lebih ramai dari sebelumnya. Kehadiran warga Rohingnya mengundang simpati. "Kami

di sini kebanyakan nelayan juga, jadi kami tahu bagaimana rasanya terdampar di tempat orang," kata Hasan, seorang warga Ketapang Mameh.

Ia bahkan sempat membawa dua warga Rohingya ke rumahnya. Diberinya pakaian serta makan seadanya. Hasan juga sem-pat mengajak keduanya berkeliling kota Idi. "Saya cuma membawa mereka potong rambut di pasar," akunya.

Antusiasnya warga Idi membantu mem-buat petugas kecamatan kelimpungan. Se-bab saat mendata selama sepekan berada di daratan Idi, ada saja pengungsi Myanmar itu yang tak berada di lokasi penampungan.

"Kadang waktu kita data di rumah sakit dan di tenda, jumlahnya kurang dari 198 orang, banyak warga yang membawa pulang ke rumahnya, tapi nanti kembali lagi," jelas

Camat Idi Rayeuk, Irfan Kamal.Lain lagi dengan Nasir, 28 tahun, warga

Seuneubok Kuyuen, Idi Rayeuk. Ia rela bo-lak-balik dari rumahnya ke tenda penam-pungan, hanya untuk menyerahkan telpon gengamnya ke seorang warga Rohingya. "Saya mencari nama pengungsi yang dis-ebutkan oleh orang yang mengaku keluarga mereka di Malaysia, tidak masalah bagi saya, hanya itu yang saya bisa bantu," sebut-nya tulus.

Warga Idi berharap pemerintah tidak memulangkan manusia perahu itu ke negara asalnya. "Biarkan saja mereka di sini, saya siap menampung lima orang untuk meng-urusi kebun, kasihan kalau harus disiksa lagi," harap Sulaiman, warga Keude Dua, Kecamatan Darul Ihsan.

Bila harapan itu terwujud, Rahmad mungkin membalik kata, "lebih baik jadi penjaga kebun daripada pedagang roti." [a]

Perlakuan seperti itu sudah terjadi saat saya masih kecil. Kalau laki-laki tak boleh tinggal, perempuan tak apa...

Page 26: Acehkini 10

26

Pendatang di Negeri Sendiri

MUHAMMAD HAssAN tERBARING lemas di ruangan 3 x 2,5 meter. Di deka-tnya, ada sebuah lemari kecil. Di atasnya ada obat dan infus. Sebuah Al Quran warna kuning emas bertengger di atas lemari yang dipenuhi obat dan makanan. Di atas Quran, ada dua boat mainan kecil yang dibuat dari kertas buku.

Bukan tanpa alasan pria berusia 22 ta-hun itu membuat boat kertas. Selama sepu-luh hari, dia bersama 583 orang terombang-ambing di laut lepas, setelah Angkatan Laut Thailand melepas mereka di laut. Boat kayu yang ditumpangi Hasan bersama 192 re-

kannya dari etnis Rohingya, terdampar di perairan Sabang dan diselamatkan nelayan setempat, 7 Januari silam.

Mereka sebelumnya dilaporkan berjum-lah 200 orang. Tetapi, tujuh orang mening-gal dunia karena kekurangan makanan saat terombang-ambing dalam ganasnya lautan setelah dilarung Angkatan Laut Thailand. Jenazah ketujuh orang itu telah dibuang ke laut.

Awalnya, mereka hendak mencari kerja di Malaysia. Rencananya, mereka masuk ke Malaysia lewat Thailand. Sayangnya, sebe-lum rencana itu terwujud, mereka keburu

Ribuan etnis Rohingya mengarungi lautan, mencari tanah harapan.Perlakuan kasar dan penyiksaan diterima dari junta militer Myanmar dan tentara Thailand. Ratusan orang terdampar di Aceh, tapi pemerintah bermaksud memulangkan mereka.

oleh FAKHRURRADZIE GADEFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN-ACEHKINI

ditangkap Angkatan Laut Thailand. "Se-lama tiga hari tiga malam, kami dipenjara oleh Angkatan Laut Thailand. Kami dipukul dan disiksa," kata Hasan saat ditemui di Rumah Sakit Umum Sabang, akhir Janu-ari lalu. Hasan mendapat perawatan medis akibat penyakit tuberkolosis (TBC) yang dideritanya.

Selang 26 hari, satu rombongan lain juga terdampar di perairan Selat Malaka dan diselamatkan oleh nelayan Idi, Aceh Timur, setelah terombang-ambing sekitar tiga pekan. Jumlahnya, 198 orang. Menu-rut kesaksian mereka, 22 orang dalam kel-

Page 27: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 27

Pendatang di Negeri Sendiri

ompok manusia perahu ini telah meninggal dunia karena kelaparan dan mayatnya telah dibuang ke laut. Mereka adalah bagian dari 1.200 orang yang diusir Thailand dan di-paksa kembali ke laut lepas.

Muslim etnis minoritas Rohingya ber-bondong-bondong meninggalkan Myan-mar untuk mencari kehidupan layak dan terbebas dari penindasan junta militer. Se-jak junta militer berkuasa, etnis Rohingya makin tertindas. Mereka tak boleh menikah, menguasai tanah, dan bepergian, termasuk tak diperkenankan melaksanakan ajaran agama secara bebas.

"Negara saya mayoritas penganut Bud-ha, mereka tak suka pada muslim. Kami tidak diperbolehkan salat di masjid. Saya selalu salat di rumah, tidak ada masjid," kata Hasan dalam bahasa Inggris yang pa-tah-patah dalam logat Benggali.

Etnis Rohingya merupakan penduduk asli negara bagian Arakan di barat Myan-mar. Daerah berdemografi pegunungan ini berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian China di timur laut, distrik Magwe dan Pegu di timur, distrik Irrawady di selatan, dan Bangladesh di barat laut. Arakan dihuni sekitar 5 juta penduduk, yang terdiri atas Rohingya yang muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha.

Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Ini membantah pernyataan junta militer yang menyebut Ro-hingya sebagai pendatang yang dibawa Ing-

janjian penyatuan Burma pada 12 Septem-ber 1947 di Pinlong antara Jenderan Aung San dan perwakilan negara bagian Burma untuk bersama-sama merebut kemerdeka-an dari Inggris dan kemudian membentuk negara federasi Burma. Etnis-etnis yang ada di Burma diperbolehkan mendirikan negara bagian. Namun tidak untuk Rohingya. Neg-ara bagian Arakan kemudian dikuasai oleh etnis Rakhin –minoritas Budha.

Sejak junta militer berkuasa di Burma, nasib Rohingya kian memprihatinkan. Pusat-pusat pendidikan Rohingya ditu-tup tahun 1965. Mereka semakin menderita setelah junta militer meloloskan Undang Undang "Burma Citizenship Law of 1982." Undang Undang ini menghapus kewargane-garaan muslim etnis Rohingya. Mereka dis-ebut pendatang di tanah air sendiri. Sejak saat itu, mereka tak diakui lagi. Tanah-ta-nah mereka dikuasai negara. Mereka dilece-hkan, dipukuli, dan dihukum tanpa alasan yang jelas.

Populasinya juga semakin menyusut dari tahun ke tahun. Saat ini populasi Ro-hingya di Myanmar diperkirakan dua juta orang, sebanyak 1,5 juta di antaranya ting-gal di Arakan dalam kondisi memprihatink-an. Sebanyak 600.000 menetap di Bangla-desh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Arab Saudi, dan 100.000 di Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia.

Mulai tahun 2006, etnis Rohingya me-langlang buana lewat laut. Tujuan mereka ke Thailand, lalu menyeberang ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Perjalanan via laut itu tak selalu membuah-kan hasil. Di Thailand, mereka tak hanya ditolak, tapi dikejar-kejar, ditangkapi, dan dikembalikan ke laut dengan kapal tanpa mesin, makanan, dan minuman.

Pada 7 Januari lalu, 193 etnis Rohingya terdampar di perairan Kepulauan Rondo, sabang. Gelombang imigran Rohingya juga kembali ditemukan nelayan di perairan Idi Rayeuk, Aceh Timur, awal Februari lalu set-elah 21 hari terombang-ambing di lautan, tanpa makanan dan minuman. Sebelumnya, akhir tahun 2006 juga pernah ditemukan satu perahu terdampar di perairan Sabang.

Rencana pemerintah Indonesia me-mulangkan mereka ke negara asal, ditolak mentah-mentah. "Kami lebih baik mati di sini. Jika kami dipulangkan, saya yakin pe-merintah akan membunuh kami," kata Nur Muhammad yang diwawancarai saat dira-wat di Rumah Sakit Umum Sabang. Mu-hammad dirawat akibat luka dalam yang diderita setelah mengalami penyiksaan di Thailand.

Hasan malah punya mimpi, berangkat ke Italia. "Ingin bertemu abang saya yang telah mendapat suaka di sana," ujar Hasan, sambil memegang dadanya yang sesak.

Diusir di negeri sendiri, mereka juga di-tolak di tanah harapan. [a]

gris dan Bangladesh saat menjajah Burma. secara fisik dan bahasa, Rohingya sangat berbeda dengan kebanyakan penduduk Bur-ma/Myanmar. Ciri-ciri fisik etnis Rohingya lebih mendekati Bangladesh dan Arab. Ro-hingya merupakan keturunan dari Beng-gali, Persia, Mongol, dan Turki. Karenanya, saat Inggris memasukkan Arakan menjadi bagian British-Burma pada 1937, etnis Ro-hingya menolaknya. Mereka sebenarnya ingin bergabung dengan India. Arakan akh-irnya menjadi bagian Burma merdeka pada 1948. Sejak itu, hidup etnis Rohingya kian tertindas. Mereka terusir, dianiaya, dan tak boleh melaksanakan agama dan keyakinan secara bebas.

Pemerintah Burma juga tak mengun-dang perwakilan Islam Rohingya saat per-

Kami lebih baik mati di sini. Jika kami

dipulangkan, saya yakin pemerintah akan

membunuh kami.NuR MuHAMMADPengungsi Rohingya di Sabang

Page 28: Acehkini 10

28

Halimun masih menyelimuti Laut Tawar, kala derap kaki-kaki tegap melangkah, menyusuri jalanan berkerikil Desa Toweren, Kebayakan, Aceh Tengah. Berbekal mesin robin tua, sejumlah pria paruh baya memacu perahu, menembus keheningan. Jaket lusuh dan kain sarung yang melilit di leher jadi penghalau hawa dingin, menusuk persendian tulang.

Matahari masih tersembul sejengkal dari ujung perbukitan, perahu satu persatu mera pat di bibir danau. Riak air menyapu diiringi senyum ibu-ibu yang setia, menunggu suaminya kembali dengan jaring-jaring basah setelah kemarin sore dilabuh untuk menjerat ikan.

Jari-jari keriput, lincah menari di tiap senti jaring, mencabut kepala ikan depik. Tiga ember sudah terisi penuh, Hasnah, 40 tahun, tersenyum girang. Kemarin, suaminya hanya mampu menjerat satu bambu depik. Tiap hari, puluhan

MenjemputHalimunFoto dan Teks: Chaideer Mahyuddin

Page 29: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 29

nelayan pinggiran danau coba meng ayuh asa dari hasil jaring, cukup mengasapi dapur dan jajan anak-anak mereka di sekolah.

Kune, dele ka hasel serlo ni? (Bagaimana, banyak hasil hari ini?) tanya Hasan, 50 tahun, sambil menyeruput kopi di sebuah bale tua. Gelak dan kelakar riuh saat penggalas berdatangan. Sebagian hasilnya langsung dijual, tapi banyak nelayan membawa pulang untuk dijemur karena harga tebusnya lebih tinggi. Depik kering dilego seharga 25 ribu rupiah perkilo di pasar Takengon.Belakangan ini, hasil tangkapan mulai menyusut seiring susutnya air danau di dataran negeri Antara tersebut. Daya curah hujan satu-satunya penambah debit air, penebangan kayu ilegal juga ikut andil penyebab susutnya air. Hawa sejuk di musim kemarau mulai hilang, dibawa sepoi-sepoi angin. Kaum nelayan depik melabuh harapan di keheningan danau Putroe Bungsu merendam diri... [a]

Page 30: Acehkini 10

30

Jelang senja, kala hendak memulai rehat, telepon gengamnya bergetar. Seorang te-man, di pantai barat Aceh, mengabarkan alat kampanye hilang. Bicaranya tergesa-gesa, seperti memendam murka. TAF Haikal hanya tersenyum, sambil menunggu pendukung-nya itu selesai laporan.

Namun dia tak gusar. “Tidak apa-apa, jangan marah. Satu dua orang tak senang itu biasa,” begitu nasihatnya. Sehari kemudian, “baliho dipasang kembali, orang yang menu-runkan juga meminta maaf.”

Calon anggota legislatif (caleg) nomor urut tiga Partai Amanat Nasional (PAN), Daer-ah Pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 1, untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini tidak cemas-kan hilangnya poster dan baliho. Bukan se-bab sumbangan rekan-rekannya, melainkan publikasi diri bukan faktor utama. “Asal cu-kup, masyarakat tahu saya mencalonkan diri,” ujarnya.

Lagi pula, namanya berkibar seantero Aceh jauh sebelum balihonya bertebar. Teranyar, dia dikenal lantang menyuarakan percepatan pembangunan kawasan barat dan selatan Aceh. Media massa baik lokal, na-sional bahkah internasional kerap mengutip ucapannya karena dia menjabat jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS).

Selangkah Lagi…

Setelah 13 tahun berjuang di Aceh,kini dia selangkah lagi ke Senayan

membawa damai dan kemakmuran.

Page 31: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 31

kepedulian rakyat Aceh,” ujarnya saat itu. ”Saya kecanduan membantu orang dan akan berusaha terus membantu orang lain.”

Mungkin karena terlalu banyak mem-perjuangkan aspirasi rakyat, ia sampai lupa memikirkan nasibnya sendiri. Seharusnya, sebagai seorang korban tsunami, dia berhak memperoleh rumah bantuan. Tapi, hingga menjelang masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir, rumah bantuan itu tak didapatnya.

Walau belum jadi anggota parlemen, Hai-kal sudah berkecimpung dalam urusan legis-lasi sejak lama. Suksesnya Pilkada Aceh, juga tak lepas dari kerja kerasnya. Dia tergabung dalam tim legal drafting revisi Qanun No. 2/2003 menjadi Qanun No. 2/2004, tentang Pilkada.

Selanjutnya, terlibat dalam tim lobi revisi Qanun No. 2/2003 dan No. 3/2004 tentang Pilkada Aceh Juni-Agustus 2006 menjadi Qanun No 7/2006. Haikal juga terlibat dalam komponen masyarakat sipil untuk mengga-gas pembuatan Prolega (Program Legislasi Aceh).

Selama kurun waktu 2007-2008, seti-daknya dia terlibat dalam penyusunan tujuh draft qanun, di antaranya Pilkada, tata cara penyusunan qanun dan transparansi penye-lenggara pemerintahan Aceh dan partisipasi di Aceh. Selain itu, dia juga aktif dalam tim drafting Qanun No 7/ 2007 tentang penye-lenggara pemilihan umum di Aceh, qanun pelayanan kesehatan di Aceh, serta qanun adminstrasi dan kependudukan Kabupaten Pidie.

Jauh sebelumnya, ia telah terlibat dalam serangkaian pendampingan pembuatan aturan di Aceh. “Saya paham cara kerja DPR RI. Kental proses politik, makanya butuh pengawalan yang ketat. Untuk itu saya men-calonkan diri menjadi caleg,” tukasnya.

Bila dia dipilih rakyat Aceh, dua hal pen-ting harus segera dilakukan. “Menjaga UUPA terealisasi sepenuhnya dan hasil pengelolaan sumberdaya alam harus dibagi adil,” jelas mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh periode 2003-2006 itu. “Untuk menghindari konflik, butuh pemerataan dan keadilan.”

Komitmen para wakil rakyat Aceh di

Senayan kelak, menurutnya, harus benar-benar teruji untuk mendukung perdamaian. Selain itu, harus punya kemampuan meya-kinkan anggota parlemen dari daerah lain, mendukung perdamaian agar tetap abadi di Aceh. Sebab, perdamaian Aceh masih labil dan baru memasuki usia empat tahun.

Selain menjaga perdamaian Aceh, dia kelak akan mengontrol kebijakan minyak dan gas. “Harus ada orang yang mampu me-mastikan bahwa hasil yang dibawa pulang dan dibagi-bagikan di Aceh itu sesuai kebu-tuhan,” tegasnya.

Untuk urusan anggaran, Haikal berjanji, bila diberi kepercayaan oleh rakyat, dia akan memastikan pemerintah Aceh dapat melaku-kan pekerjaaannya dengan baik. Sehingga mampu mengurangi daerah-daerah terisolir, meningkatkan mutu pendidikan dan men-gurangi angka kemiskinan.

Berbekal pengalaman mengurus berba-gai organisasi kemasyarakatan, Haikal men-gaku tidak sulit memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh di Senayan. Menjadi anggota DPR RI, baginya sama dengan menjalankan aktifitas mengadvokasi di LSM. “Selama ini, saya melakukan kegiatan yang sama seperti dilakukan anggota dewan,” tegasnya.

Tekadnya untuk melenggang ke Senayan, sebenarnya, memuncah akibat sering men-dengar keluh kesah masyarakat pedalaman yang sangat sering didatanginya. “Mende-ngar kesedihan orang lain membuat saya terus bersemangat melakukan perubahan,” jelasnya.

Bukan berarti ia tak punya keresahan, perilaku caleg lain yang gemar membeli su-ara rakyat sering membuatnya gundah. Ia meng aku budaya yang hangat saban pemilu itu tantangan berat. “Saya masih menentang praktik politik uang. Sayang rakyat, suaranya sangat menentukan,” ujarnya dengan kening bergelombang.

Bagi Haikal, kursi parlemen bukanlah tempat menggali nafkah. Melainkan medan juang yang panas, nasib rakyat ditentukan dari sana. “Dulu berteriak dari luar, sekarang waktu yang tepat berjuang dalam sistem.” Pemilu tinggal menghitung hari. Selangkah lagi… (adv)

Sebenarnya nama lengkap tokoh muda kelahiran Bakongan, Kabupaten Aceh Sela-tan, 21 Maret 1970, itu adalah Teuku Ach-mad Fuad Haikal. Karena terlalu panjang Teuku Achmad Fuad disingkat TAF. Akhirnya, itu pula yang melekat di Kartu Tanda Pen-duduk (KTP) dan ijazahnya.

Tanah kelahirannya jelas banyak melahir-kan tokoh besar. Sebut saja, pahlawan Aceh, Teuku Cut Ali dan Teuku Raja Angkasa, be-rasal dari sana. Boleh jadi, dalam darahnya mengalir jiwa kepahlawanan kedua tokoh besar Aceh Selatan itu.

Keseriusan Haikal memperjuangkan per-cepatan pembangunan pesisir barat dan se-latan Aceh, sempat menarik perhatian para calon bupati Aceh Selatan untuk meraup su-ara dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) lalu. Beberapa kandidat meminangnya men-jadi wakil. “Semua saya tolak. Saya memilih berjuang dengan kawan-kawan di kaukus untuk memperjuangkan pembangunan wilayah barat dan selatan Aceh,” jelasnya.

Sebelum di KPBS, nama Haikal juga sudah sering terpampang di media massa. Saat Aceh dibalut kecamuk, dia sudah dikenal sebagai penentang perang, musuh para perusak ling-kungan dan maling uang negara. “Sudah 13 tahun saya aktif di lembaga sosial,” tegasnya.

Dalam konflik yang tengah berkecamuk, menjadi aktivis kemanusiaan tentu saja cu-kup berisiko. Haikal masih ingat peristiwa 18 November 1999 saat aparat negara menang-kap dan menyiksanya, ketika dia sedang membantu pengungsi di Aceh Selatan. Sam-pai kini, luka penyiksaan itu masih membe-kas di wajahnya.

Dia tak hanya dikenal sebagai ‘tukang kri-tik’ pemerintah. Saban alam murka, dia ser-ing lebih dulu menjulur bantuan. Tak hanya di Aceh, bahkan saat Yogyakarta diremuk gempa tahun 2006, Haikal dan aktivis kema-nusiaan Aceh membangun aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemudian diberi nama, ”Poros Kemanusiaan Aceh un-tuk Yogya.” Ia sendiri menjadi koordinator.

”Meski Aceh sedang bangkit dari ben-cana gempa dan tsunami, tetapi kita perlu menyisihkan sedikit sumbangan bagi sau-dara-saudara kita di Yogya sebagai bentuk

Page 32: Acehkini 10

32

Page 33: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 33

PolitikHukum &

HUKUM POLITIK KRIMINAL

Bila Juri Telat Meniup Peluit. Mereka telat terbentuk. Bekerja dalam keadaan serba kekurangan, saat suhu politik terus memanas, mampukan menjadi juri yang tegas, berani, adil dan tak memihak?

RAUT NYAK ARIEF FADHILLAH SYAH terlihat segar dan cerah. Dia baru saja kelar salat Zuhur di Masjid Anjong Mon Mata, Banda Aceh, suatu hari pertengahan bulan lalu. Tangannya masih dingin, meski di luar suasananya cukup panas. Boleh jadi sepa-nas posisinya sebagai Ketua Panitia Penga-was Pemilu (Panwaslu) Aceh.

Arief berada di komplek Meuligoe Aceh itu juga untuk membahas masalah ‘panas’ dengan romobongan Sekretaris Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keaman-an (Sesmenko Polhukam) Letnan Jenderal TNI Rumolo R Tampubolon, yang berada di

oleh MISMAIL LAWEUENGFOTO-FOTO: UCOK PARTA —ACEHKINI

Aceh. Jika ini adem, tak mungkin Rumolo berkunjung di Tanah Rencong.

Arief dilantik jadi Panwaslu di hari pe-nutupan tahun 2008 silam. Dia bersama dua rekannya: Zuraida Alwi dan Asqalani, ditetapkan sebagai anggota Panwaslu Aceh berdasarkan surat keputusan Badan Pen-gawas Pemilu (Bawaslu) Nomor 559 Tahun 2008.

Penetapan mereka telat sekian bulan karena adanya perseteruan Dewan Perwak-ilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan Bawaslu menyangkut perekrutan ‘sang juri’ pemilu di Aceh. Padahal gong kampanye telah dit-abuh sejak pertengahan tahun lalu. Politik kian memanas. Namun juri belum pakai se-

patu dan masih sibuk mencari peluit.Politik Aceh, pada pemilu 2009 ini

tampil beda. Bukan cuma adu strategi antarcalon anggota legislatif (caleg) saja, tetapi juga laga antara partai nasional dan pendatang baru dalam ranah politik nang-groe yaitu partai lokal. Boleh jadi inilah yang membuat iklimnya semakin memanas. Seiring alotnya masa kampanye, berbagai pelanggaran terjadi.

Partai lokal adalah satu amanah kese-pakatan damai Helsinki antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikuatkan dalam Undang-undang Pemer-intahan Aceh. setelah dilakukan verifikasi, hanya enam partai lokal (Parlok) yang lolos

Page 34: Acehkini 10

34

dan berhak jadi peserta pemilu legislatif, 9 April nanti. Mereka akan bertarung dengan partai berbasis nasional, memperebutkan kursi DPRA dan DPRK di seluruh Aceh.

Ada teror, ada juga intimidasi. Belum lagi penggranatan terhadap kantor partai. Di tengah kondisi seperti ini, Arief yang menggawangi Panwaslu, harus bekerja keras. Menindak provokator pesta demokra-si. Katanya, mengungkap pelaku pelangga-ran pemilu yang marak terjadi selama ini di Aceh bukanlah perkara mudah.

“Di samping sulitnya mengendus pelaku, ketakutan masyarakat untuk menjadi sak-si juga jadi kendala. Malah ada yang me-laporkan, ketika kita kasih form untuk diisi, mereka tidak berani,” katanya kepada ACE-HKINI, Februari lalu.

Usai dilantik, menurut dia, Panwaslu Aceh banyak menerima laporan pelangga-ran pemilu dari berbagai pihak, baik lisan maupun tulisan. Namun, hingga pertengah-an Februari 2009, hanya 15 kasus yang bisa ditindaklanjuti. Selebihnya, pelanggaran yang terjadi sebelum Panwaslu Aceh terben-tuk. Secara aturan, kata dia, pelanggaran pemilu atau kampanye harus dilaporkan ke Panwaslu paling lama dua hari setelah keja-dian. “Lewat dua hari kita tak akan menin-dak lagi,” ujarnya.

Dalam menindaklanjuti laporan pelang-garan, Panwaslu lebih dulu mengategorikan apakah termasuk pidana atau pelanggaran administrasi. “Jika pidana kita limpahkan pada kepolisian untuk diproses. Kita sudah melakukan koordinasi dengan Polda dan Kejati,” jelasnya.

Panwaslu Aceh baru seumur jagung. Tapi, beban tugas yang diemban sangat be-rat dan juga tak diimbangi fasilitas yang me-madai. Arief mengaku, sebulan lebih setelah dilantik, pihaknya belum memperoleh dana operasional. Di sisi lain, mereka harus terus bekerja karena pemilu kian dekat.

Jadilah, untuk membiayai operasional lembaga, pihaknya sementara merogoh kocek sendiri. “Kami harus mengeluarkan uang sendiri, karena jika terus menunggu ini tak akan jalan,” akunya.

Perjalanan Panwaslu Aceh sebelumnya sempat terkatung-katung, terjadi polemik antara Aceh dan Pusat, sebelum terbentuk akhir Desember 2008 lalu. Meski begitu, anggaran untuk Panwaslu Aceh tahun 2008 telah diplotkan Bawaslu. Karena tidak ter-bentuk hingga jelang tutup buku anggaran, dana dikembalikan ke kas negara.

Tahun 2009, Panwaslu Aceh yang telah terbentuk akan menerima plot anggaran Rp 2 milyar lebih dari APBN. Namun, yang membuat Arief kelimpungan hingga bulan kedua tahun ini, dana itu belum dicairkan.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebenarnya sudah turun, hanya Ba-waslu meminta Panwaslu Aceh melengkapi Panduan Operasional Kegiatan (POK). “Da-

lam waktu dekat ini, akan kita kirim dan kita berharap dana itu segera cair,” kata Arief.

Selain kendala dana, kurangnya fasilitas dan tak adanya anggaran sosialisasi juga menjadi momok bagi Panwalu Aceh. Sebe-lumnya nebeng bareng Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, kini bermarkas di Dinas Syariat Islam. Namun, fasilitas lain seperti alat-alat kantor sangat minim.

Dalam bergerak, Panwaslu Aceh tak pu-nya dana sosialisasi. Dana tak dianggarkan dalam APBN, melainkan APBA 2008. Tapi hingga pertengahan Februari 2009, belum juga cair. “Padahal untuk mensosialisasi tentang pengawasan pemilu sudah sangat kepepet,” urai mantan anggota KIP Aceh itu.

Pun demikian, Panwaslu Aceh tetap berupaya bekerja maksimal. Panwaslu di 23 kabupaten/kota telah “dibaiat” bulan lalu di Banda Aceh. Arief mengungkapkan, pihaknya dalam waktu dekat akan memilih Panwas untuk seluruh kecamatan di Aceh. Meskipun terlambat karena pemilu sudah diambang pintu, tentu harus tetap dilaku-kan daripada tidak sama sekali.

Dalam mengawasi tahapan pemilu, Pan-waslu berharap ikut serta sejumlah pihak. Mereka juga telah membuat strategi pre-ventif (pencegahan) pelanggaran melalui peserta pemilu dan menertibkan atribut kampanye yang melanggar aturan. Na-mun, pelanggaran terus terjadi di lapan-gan, ditandai dengan maraknya perusakan atribut kampanye.

Masyarakat diminta ikut melapor jika mengetahui pelanggaran pemilu. Pelapor-an dilakukan secara tertulis dan diajukan ke Panwaslu Aceh atau di kabupaten/kota. “Pelapor harus berupaya memberitahukan pihak pelanggar agar mudah ditindak,” kata dia.

*** GUBERNUR ACEH, IRWANDI yUsUF kepada Sesmenko Polhukam mengakui, menjelang pemilu, eskalasi kriminal politik di Aceh terus meningkat dan terjadi ham-pir setiap hari. Dari data yang dimilikinya, sudah 14 kantor partai lokal ludes dibakar, empat granat dilempar terhadap kantor dan rumah pengurus partai dan lima mo-bil hangus sejak gong kampanye ditabuh pertengahan tahun lalu.

“Belum lagi kasus-kasus pembakaran dan pencurian bendera partai, jadi cukup kuat alasan untuk mengundang pemantau asing ke Aceh,” kata dia.

Menganggapi itu, Rumolo R Tampubo-lon berkelit. Dia sepakat kekerasan tersebut adalah aksi kriminal. Pelakunya juga di-jerat dengan hukum kriminal karena tidak mungkin digunakan delik pemilu. Dia juga meminta semua pihak agar tidak menyalah-

kan polisi semata, terhadap belum terung-kapnya kasus-kasus tersebut.

“Yang terpenting masyarakat mau me-laporkan kasus-kasus tersebut dan mau jadi saksi. Kepada semua kelompok tidak lagi mencurigai, tidak memfitnah, tidak sal-ing tuduh, bantu polisi dalam mengungkap kasus-kasus ini, lapor, berikan kesaksian, dan polisi pun harus memberi perlindungan khusus terhadap saksi tersebut,” ajak Tam-pubolon.

Sementara Deputi V Kamnas Irjen Pol Budi Utomo menambahkan, banyaknya kasus kriminal menjelang pemilu di Aceh menjadi tugas berat polisi untuk mengusut-nya hingga tuntas. Selain itu, juga menjadi kewajiban masyarakat melapor dan menjadi saksi.

“Kalau tidak mampu, polisi juga harus meminta bantuan ke TNI, karena secara teknis dan personil mereka dapat mem-bantu tugas polisi. Kalau kasus demi kasus kriminal ini tidak terungkap, tentu akan mengganggu ketertiban di masyarakat, dan rentan terhadap perdamaian,” ujar Utomo.

Sejumlah kalangan khawatir akan men-ingkatnya eskalasi politik menjelang pemilu di Aceh. Tapi, bila merujuk pada pemilihan gubernur dan 19 bupati/walikota tahun 2006 lalu, semua prediksi dan kekhawati-ran itu tidak terbukti. Di pundak Nyak Arief dan dua kawannya serta seluruh Panwaslu kabupaten/kota dituntut adil, tegas dan be-rani bertindak dalam mengawal tahapan pemilu meski peluit telat ditiup. [a]

Page 35: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 35

POLITIK

Mimpi Perubahan Pemain Ganda. Kaum perempuan bersaing mengincar kursi dewan. Sejauhmana peluang menang?

oleh DASPRIANI Y ZAMZAMIFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

HARI MAsIH pAGI KEtIKA KAMARIAH mengeluarkan sepeda motor dari rumah-nya. Tak lupa ia memakai jaket dan sar-ung tangan. Perempuan 40 tahun itu, akan menempuh perjalanan jauh, menuju Bener Meriah yang berjarak 70 kilometer dari Bi-reuen, tempat ia tinggal.

Kamariah bukan hendak menjajakan dagangan atau sekadar jalan-jalan ke dat-aran tinggi itu. Tapi, ia bermaksud menemui pendukungnya menjelang pemilu legislatif, April mendatang. Ya, Kamariah adalah se-orang calon anggota legislatif (caleg) Par-tai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Bercokol di posisi enam, ia masuk daerah pemilihan empat: Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah

Meski sehari-hari ‘hanya’ ibu rumah tangga, Kamariah yakin bisa merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), mengalahkan politisi senior dari partai poli-tik peserta pemilu berbasis nasional. “Saya ingin buktikan, meski ibu rumah tangga, kita juga bisa berkiprah memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya perem-puan,” ujarnya.

Bermodal semangat itulah, ibu empat anak ini menjajaki kekuatan suara bagi di-rinya. Dengan semangat itu pula, ia rela jauh-jauh naik sepeda motor ditemani ke-ponakannya.

Menjadi caleg, apalagi perempuan, ten-tu punya konsekuensi tersendiri. Ini dira-sakan benar oleh Eva Susanti Haffan. Sep-

erti Kamariah, ia datang dari Partai SIRA. Menempati nomor urut 1 untuk DPR Aceh dari daerah pemilihan tiga, jauh-jauh hari ia telah mempersiapkan mental. Namun, ia yakin peluang perempuan masih besar. “Masyarakat kita sudah cerdas, melalui ca-leg perempuan mereka akan mencoba mem-beri kesempatan untuk berubah,” ujar Eva.

Eva tak melaju sendiri. Suaminya, Mu-hammad Saleh, juga maju sebagai caleg dari partai sama. Bedanya, sang suami menyasar daerah pemilihan lima. “Karena suami lebih dulu terjun ke politik, saya selalu merasa ada guru yang selalu dekat dan bisa membantu saat saya menemui kesulitan,” ujarnya.

Eva tak khawatir kekurangan waktu, mengurus keluarganya. Baginya, itu ada-lah tantangan tersendiri. “Inilah peran ganda yang harus dimainkan. Keluarga harus diperhatikan, masalah rakyat juga,” ujarnya.

Pasangan suami istri yang maju seba-gai caleg bukan hanya Eva dan Saleh. Rita Indahyati juga maju bersama suaminya Raihan Iskandar, yang kini menjabat wakil ketua DPRA. Rita akan bertarung untuk DPRA, sedangkan sang suami ingin meraih kursi DPR Republik Indonesia.

Bagi Rita, adanya porsi keterwakilan perempuan sebagai wakil rakyat harus di-manfaatkan. Sebab, ini adalah kesempatan bagi perempuan untuk mengakses pen-didikan politik. “Jika akses politik rendah, perempuan tidak bisa memberi warna dan perubahan,” ujar caleg Partai Keadilan Se-jahtera (PKS) ini.

Hadirnya caleg perempuan, bagi Rita, akan memberi paradigma baru: politik tak selamanya kotor. Ia yakin, perempuan akan saling berbagi dan bersanding untuk rakyat.

Namun, jalan menuju gedung dewan tentu tak mulus. Tak sedikit aral meng-hadang. Adi Warni Husin, misalnya. Caleg perempuan Partai Bulan Bintang (PBB) itu kini sedang menyusun strategi ‘menakluk-kan’ daerah pemilihan lima yang bukan basis pendukungnya. Itu sebabnya, meski bertengger di urutan teratas, ia merasa jalannya belum mulus.

“Saya harus bekerja keras, karena daerah pemilihan lima bukan basis saya. Tapi kar-ena MK (Mahkamah Konstitusi) memutus-kan begitu, ya saya harus terima. Ini adalah tantangan,” ujar caleg DPRA ini. Keputusan MK dimaksud adalah tentang perolehan su-ara terbanyak.

Bagi Warni, keterlibatan perempuan sebagai caleg bukan menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. “Sangat salah, jika jadi caleg untuk kebutuhan perut sendiri. Tugas kami adalah menjalankan amanah rakyat, bukan membuat perusahaan atau berbis-nis,” tegas wanita yang didukung penuh suaminya ini.

*** KEtERWAKILAN 30 pERsEN CALEG perempuan memberi warna tersendiri da-lam pemilu mendatang. Direktur Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia,

Page 36: Acehkini 10

36

Sri Budiarti Wardhani menilai, peluang itu memberi semangat berarti bagi kaum perempuan Indonesia. “Kalau sebelumnya, caleg perempuan hampir pasti tidak pernah mendapat nomor cantik, alias nomor kecil. Tapi sekarang sudah beda,” ujar Wardhani.

Ini pula yang memotivasi caleg perem-puan untuk membuktikan diri mereka bisa meraih suara terbanyak. Meski begitu, ham-batan bukannya tak ada. Soal dana kampa-nye, misalnya. Bisa dipastikan, tak sedikit uang keluar untuk kampanye. “Mereka har-us kerja ekstra keras untuk mensiasati ini,” tambah Wardhani.

Inilah yang dialami Eva. Untuk dana kampanye, meski disokong orang tuanya, ia masih kelimpungan. Sayangnya, ia eng-gan menyebut jumlah uang yang sudah dikeluarkan untuk modal melaju ke gedung dewan.

Sejauh mana peluang menang? Meski tak bisa memprediksi kemenangan caleg perempuan, Wardhani menargetkan, mini-mal setiap DPR Kota memiliki satu anggota perempuan. “Kalau target itu terpenuhi, su-dah cukup baik,” ujarnya.

Untuk meraih target ini, sejumlah lembaga yang bergerak di bidang pendidi-kan politik perempuan, terus melakukan penguatan kapasitas. Anggota Majelis Ke-bijakan Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, mengatakan, caleg perempuan Aceh terus dibekali berbagai informasi dan pendidikan terkait dengan perkembangan demokrasi dan politik. “Ini akan terus memperkaya caleg perempuan, bahwa targetnya bukan hanya kursi, tapi perubahan pandangan,” katanya.

Suraiya menilai, selama ini, caleg perem-puan cukup kompak. Dalam beberapa pelati-han yang dilakukan lembaganya, ia melihat para caleg saling berbagi dan mengingatkan satu sama lain. Padahal, mereka berbeda la-tar belakang politik dan tingkat pendidikan. Kenyataan itu, kata Suraiya, menunjukkan ‘politik kotor’ jauh dari perempuan. “Kondi-si ini mudah-mudahan memberi perubahan bagi sistem perpolitikan kita,” ujarnya.

Secara psikologis, kata Suraiya, mereka juga harus siap kalah. “Tidak menang hari ini bukan berarti kekalahan, tapi itulah per-juangan, yang masih harus terus dijalank-an,” jelas Suraiya.

Menang dan kalah adalah bagian dari perjuangan. “Ini bagian pergerakan, bagian politik yang harus dilewati. Ya jalani saja,” kata Marchucah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pusat.

Kamariah, Eva, Rita dan puluhan caleg perempuan di Aceh terus mencari simpati untuk mendulang suara. Di berbagai persim-pangan jalan protokol hingga lorong-lorong sempit, poster caleg perempuan bertengger di antara caleg lelaki. Pesona dan sentuhan perempuan memang diharapkan untuk pe-rubahan Aceh? [a]

Page 37: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 37

Page 38: Acehkini 10

38

Page 39: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 39

rak kaca, sementara kepingan Video Com-pact Dist (VCD) berisi lagu dari berbagai genre, tertempel di seluruh dinding.

Untuk menarik pengunjung, Man-syur, 24 tahun, mengeraskan suara musik dengan memanfaatkan dua loudspeker. ”Saya sudah tiga tahun jualan VCD disini penghasilan saya lu-mayan,” sebutnya.

Dia hafal benar koleksi yang paling dicari. selain film dari negeri Bolly-wood, musik Aceh paling digandrungi pembeli. Menurutnya, slow rock ma-

sih teratas diikuti disco dan dangdut. ”Kalau kasidah banyak laku bulan puasa

saja.” Sebenarnya musik etnik paling di-buru pembeli, namun yang dicari dalam kemasan cakram. Sayangnya, musik etnik mayoritas masih berbentuk kaset.

Menariknya, musik plagiat juga menda-pat tempat, walau harganya serupa dengan lirik dan musik original yang mencapai Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Dari menjual VCD, dompet Mansyur bisa tebal. Bayang-kan, dari musik Aceh saja, penjualannya bisa mencapai Rp 225.000 sehari. ”Sehari bisa laku 15 keping,” sebutnya.

Menanjaknya bisnis musik Aceh, tak hanya terlihat di kaki lima. Sejak petaka gelombang raya berlalu, rumah produksi menjamur. Sederet nama yang paling dike-nal produktif misalnya Gita Video, Menara Milenium, SWI, Kasga Record, FAC record dan Dien keramik.

Lomba cipta tak terelakkan, saban bu-lan ada saja perusahaan rekaman yang mengeluarkan album kepingan cakram. Itu pun kebanyakan house musik Aceh, yang umumnya mencontek lagu India atau lagu dangdut melayu.

Dari dunia hiburan, tak sedikit yang sukses. Khariruddin, misalnya. Dari penju-al kaki lima, pria 32 tahun itu kini menjadi pemilik studio musik. Mulai berjualan lagu Aceh sejak 1996, ia biasa menggelar lapak di jalan Diponegoro dan depan mesjid Ulee Kareng, Banda Aceh. Delapan tahun bernia-ga kaset dan VCD lagu Aceh, membuatnya

BisnisEkonomi &

oleh MAIMUN SALEHBAHAN: JAMALUDDIN; FOTO: UCOK PARTA

tENDA DI jALAN DIpONEGORO, BANDA Aceh itu tak layak disebut toko. Ukurannya hanya 2x2 meter. Letaknya persis di depan gedung percetakan negara Banda Aceh. Se-buah rak kaca yang tingginya hanya 70 cen-timeter, memisahkan pengunjung dengan pengelolanya.

Kepingan cakram dibalut sampul ber-gambar artis memadati seisi ruang. Tentu saja antara cakram berisi film dan lagu di-tempatkan terpisah. Film berjejer di dalam

Legitnya Niaga Nada. Bisnis musik Aceh kian menggema. Kini rumah

pro duksi menjamur, pedagangVCD panen raya. Perizinan masih

menjadi kendala..

Page 40: Acehkini 10

40

paham benar seluk beluk menjual nada. Studio yang diberi nama Din Kramik

itu kini telah memproduksi 10 album mu-sik. selain itu, meluncurkan dua film ko-medi Aceh; Umpang Breuh dan Zainab. Modalnya tak cekak, mencapai Rp 30 sam-pai 40 juta untuk membeli sebuah master lagu, pembuatan klip dan editing yang bisa menghabiskan Rp 100 juta rupiah.

Biasanya untuk satu album Khariruddin mencetak 9.000 hingga 10.000 ribu keping. Tak dipungkiri, kadang hanya laku 7.000 keping. Menurutnya, jika laku mencapai 10.000 keping maka Khariruddin hanya mendapatkan Rp 20 juta hingga Rp 30 juta.

Namun jika biaya pembuatan master naik, bayaran penyanyi turut menanjak. Tak ayal cetakan 1.000 keping belum men-dapat laba raya. Peluang untung justru dari cetakan kedua. “Apalagi sekarang banyak pemusik Aceh yang baru bermunculan dan memerlukan promosi maksimal untuk bisa bersaing dipasaran,” jelasnya.

Khariruddin, tak menampik pihaknya juga gemar menjiplak musik India dan me-masukkan lirik Aceh. Menurutnya, itu han-ya jalan pintas menghasilkan album baru. Lagi pula, musik Bolllywood masih sangat diminati. Namun pihaknya, terus berusaha menciptakan musik sendiri. Lagi pula dari seluruh album yang dikeluarkan, justru musik ciptaan sendiri yang paling laris, ia mencontohkan album Umpang Breuh yang harus cetak ulang.

Selain Kariruddin yang telah mendu-lang laba, ada syeh Ghazali yang kini me-lambung namanya di dunia hiburan Aceh. Bisnis dagang buku dan teka-teki silang yang digelutinya sejak 1993, diubah haluan ke musik. Nama usahanya tetap sama: Ka-sga. Untuk menunjukkan identitas perusa-haan rekaman, ia menambah embel-embel ‘Record’ dibelakangnya. “Saya ingin men-gembangkan seni Aceh, sebab jiwa saya dari kecil sudah mengemari seni Aceh seperti seudati,” katanya.

Dapur rekaman yang dibangunnya 10 tahun silam sempat lumat. Album pertama bertajuk Sabe Lambala punah di pasar dibawa gelombang raya ujung tahun 2004. “Saat tsunami, kita banyak kehilangan ceta-kan,” kenangnya.

Tapi tsunami tak menenggelamkan nama Kasga record, justru sebaliknya se-makin melambungkan perusahaan reka-man ini. Bagaimana tidak, suara emas Rafli artis andalan Kasga diputar di televisi dan radio nasional mengiringi tayangan nestapa Aceh digulung ombak hitam.

Cerita tenar Kasga unik. Bermodal keya-kinan masyarakat rindu musik etnik, Syeh berburu penyanyi bersuara khas Aceh. Hat-inya tertambat pada Rafli yang waktu itu masih seniman antar pentas dan tak ada rumah produksi yang bersedia mencetak al-bumnya. syehk dan Rafli sehati soal aliran

tentara kala itu. Penguasa darurat, meng-anggap lagu Nyawong, Prang Sabil, Haro Hara memicu semangat pemberontakan. Setelah menjelaskan isi lirik lagu-lagu ter-sebut, Kasga terpaksa menarik Haro Hara dari pasar.

Tahun lalu, kasus penarikan album teru-lang lagi. Kali ini, korbannya album Pusaka Nanggroe yang dinyanyikan Imum Jon. En-tah kenapa, polisi Aceh Barat melarang pe-redaran lagu itu di sana. ”Main comot saja di pasaran. Ini merugikan produser dan yang menyedihkan para penjual yang tidak mengerti apapun,” keluh Syeh.

”Jadi sekarang para seniman ini seperti ditekan lagi, dan pedagang jadi ketakutan kalau begini caranya. Maunya panggil kita dulu, lalu kita tarik di pasaran kalau me-mang hasil penyelidikan lagu itu tidak layak beredar,” ujar Syeh.

Namun Syehk tidak tinggal diam, sete-lah menggondol restu Lembaga Sensor Film (LSF) No. 3130/VCD/R/PA/5.2001/2008, lagu tersebut kembali beredar. Menurut LSF, lirik dalam lagu tersebut tidak meng-andung unsur gangguan perdamaian Aceh.

Mengurus perizinan sampai ke Jakarta, terang butuh biaya besar, sebab itu Kasga dan Din Kramik bersepaham mengusulkan pemerintah Aceh untuk mendirikan lemba-ga sensor lokal. ”Kalau udah ada di daerah kan sudah fair,” kata Syeh.

Selain itu, menurut Khariruddin keber-adaan lembaga sensor juga sangat menolong perkembangan musik Aceh. Budaya jiplak lagu India juga bisa luntur. ”Mempermudah memahami mana lagu yang layak beredar dan mana yang tidak boleh,” tukasnya.

Jika sudah begitu, tentu bisnis nada kian menggiurkan.[a]

musik, singkat kata mereka bersepakat lun cur kan album. Hasilnya, runtuhlah ke-jayaan musik ‘plagiat Bollywood’ delapan tahun lalu. Album Hasan Husen milik Rafli digemari semua lapisan masyarakat hingga sekarang.

Usai gelombang raya, Syeh mengaku bangkit bermodal kucuran kredit bank. Tak sedikit modal yang dibutuhkan. Untuk satu album, rata-rata mencapai Rp 70 juta. Se-rupa dengan pengakuan Khariruddin, laba dari bisnis ini baru dirasa bila memproduksi 10 ribu cetak. Namun, Syehk merahasiakan untung yang telah diperolehnya, ”cukuplah untuk makan,” katanya.

Namun yang jelas, Kasga telah mem-produksi 23 album. Sementara artis sudah 20 orang yang diorbitkan. “Mereka tidak terikat, setelah garap album sudah terlepas dengan kita,” jelasnya.

Album terakhir yang diluncurkan Kas-ga, Kutidieng juga laris di pasar. Bahkan suara Liza Aulia pelantunnya kini masuk dalam trend ringtone. Sayangnya, baru dic-etak dalam format kaset 5.000 copy. Seperti mengamini ucapan Mansyur, pedagang VCD di jalan Ponegoro, “banyak pengemar minta VCD tapi kita belum mencetaknya,”kata Syeh.

Soal getirnya berbisnis musik, juga sem-pat dirasakan Kasga. Pasalnya, Syeh sempat ingkar pada aliran musik yang diusungnya. Sempat ia meluncurkan album yang ngepop dan dangdut, walhasil lagu bertajuk Bate tajam yang dinyanyikan Hanaz Hamzah dan album berjudul toke Sabang, tak laris di pasar.

Perizinan juga sempat menjadi aral bagi Kasga. Saat Aceh dalam status darurat mili-ter, produser dan penyanyi sempat dipangil

Page 41: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 41

BudayaSeni &

TRADISI SASTRA ADAT MUSIK FILM

DALAM tELAGA, EMpAt pEREMpUAN saling lempar pandang ke arah berbeda. Tak sehelai benang di tubuhnya, berhari-hari, bercokol di kanvas yang terongok di sudut ruang.

Mahdi Abdullah, sang pemilik kanvas, mencemaskan ‘kepolosan’ itu. Lalu, dia bi-arkan cat di ujung kuas mengering sejenak. Ia sibukkan dirinya memandang daun pisang yang digantung di langit-langit ru-

Perempuan 100 Wajah. Ia melukiskan sejarah lewat tubuh perempuan. Protes, semangat dan kecemasan warna di setiap kanvasnya.

oleh MAIMUN SAlehFOTO: CHADEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

mah, diletakkan di tangga bahkan berserak di dapur. “Kalau orang masuk sini persis ke-bun pisang,” ujarnya terbahak.

Apa yang dicari? Hanya pembalut tubuh. “Aku ini meniru WH (Wilayatul Hisbah = polisi syariah,red) menangkap perempuan lalu memberi pakaian,” terang Mahdi sam-bil menghembus asap kretek.

Akhirnya, ia memberi pakaian untuk para perempuan dalam telaga; daun pisang. Tak sekedar berfungsi sebagai pembungkus tubuh, daun koyak dan layu yang dipilih

Mahdi, sekaligus menjadi tubuh. “Daun itu simbol waktu!” jelasnya, awal bulan lalu.

Lukisan itu diberi nama ‘Imaji’. Mengi-sahkan mekarnya sinisme terhadap perem-puan dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Namun ia menolak, ‘Imaji’ sebagai bentuk protes. “Saya hanya menggambar-kan apa yang terjadi,” tukas Mahdi seraya menelan asap kreteknya.

Tak hanya ‘Imaji’ yang menggambarkan kondisi perempuan Aceh. Baginya, perem-puan bukan tema. Melainkan bejana me-

Page 42: Acehkini 10

42

nyampaikan kehendak dan cerita. Sebab itu, nyaris tak ada lukisannya tanpa wajah perempuan. Salah satu majalah politik ter-bitan Jakarta menyebutnya; pelukis femi-nis.

Sebenarnya, pria kelahiran tahun 1960 silam itu tak mahfum kenapa selalu ada perempuan dalam kanvasnya. Ia hanya tahu bahwa perempuan adalah ibu dan sering dilemahkan walau, “rambutnya saja bisa menjatuhkan pria.”

“Tanpa sadar, perempuan telah mem-beriku semangat menyampaikan realitas,” jelasnya.

Menariknya, sosok yang dilukis Mahdi tidak datang dari alam hayal. Semuanya nyata. Ditemui saat bermenung di simpang jalan, bekerja atau bahkan melayat. Lukisan berjudul ‘Dipersimpangan’ misalnya, in-spirasinya lahir dari wajah sendu para perempuan paruh baya yang menghadiri pemakaman Safwan Idris, mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, yang meninggal dunia ditembak di zaman Aceh berkecamuk.

Lewat rupa-rupa gamang para perem-puan itu, Mahdi meluapkan amarahnya. “Aceh saat konflik tak jelas ada dimana dan mau kemana. Rakyat bingung!” kisahnya, ihwal pesan lukisan tahun 2001 itu. “Kalau tidak kulukiskan, tak enak rasanya hidup-ku.” Sayangnya, lukisan itu hilang dibawa gelombang raya empat tahun silam.

Bukan hanya ‘Dipersimpangan’, karya Mahdi yang mengisahkan peliknya hidup dalam kemelut. Tragedi kemanusian Mon Geudong, Aceh Utara, persis sepuluh tahun lalu, juga tak luput dari goresan kuasnya. Di atas kanvas, simbol kekerasan tak berwu-jud.

Lagi-lagi tubuh perempuan menjadi wadah, sekalipun tragedi kemanusian yang dicitrakan. Kisah Mon Geudong, dilampias-kan lewat tubuh nan molek yang sesak luka. Ia memberi judul lukisan itu, ‘Torso yang Luka.’

Sesungguhnya, iman melukis Mahdi telah berganti. Dia sempat berkiblat pada sueralis. Lalu, sueralisme ditanggalkan-nya, usai perang batin berkepanjangan. Kecamuk yang muncul usai meninggalkan Yogyakarna dan kembali menetap di Banda Aceh sekitar 26 tahun silam.

Aceh kala itu menyala. Sekujur barat Sumatera ini, nyaris tak bebas dari desing senjata. Media massa, tak berhenti meng-abarkan ‘orang tak dikenal’ mencabut nya-wa. Pihak bertikai masih samar. “Orang sekelilingku terluka,” kenang maestro seni rupa itu.

Buramnya kondisi Aceh, membuat lu-lusan teknik arsitektur Unsyiah ini mulai tidak sreg dengan suerlisme. Menurutnya, aliran seni lukis yang telah digeluti puluhan tahun itu sangat mengandalkan keindahan, irasional dan bertabur metafora.

Walhasil, awam sulit membaca pesan di balik goresan. “Orang dapat menikmati keindahan namun sulit membaca pesan,” jelas Mahdi serius. Baginya riwayat Aceh harus terus digambar. “Aku tak mungkin tetap diam,” ujarnya.

Ia memang tak diam. Bersama para sen-iman lantas menggelar pameran tunggal di Hotel Aceh, sekarang tanah kosong persis di selatan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Dalam gelar karya 18 tahun lalu itu, Mahdi semakin meyakini, sueralis rawan menyimpang pesannya dibenak penikmat awam.

Pasalnya, lukisannya yang berjudul ‘Se-patu dan Doa’ diminta turunkan seorang pengunjung. Alasannya, “ada ayat di atas se-patu,” jelas Mahdi. Pada lukisan itu, Mahdi memang memainkan simbol-simbol.

Menurutnya, sepatu hanya simbol dari perjalanan. Sementara ayat tersebut, perin-tah agar manusia mengasihani sesama. “Di-pahami bermuatan sekulerisme, padahal seruan kembali ke jalan Allah.” ‘Sepatu dan Doa’, kini dimiliki seorang dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang tak lain reka-

nnya sendiri.Lebih sekadar persoalan ‘Doa dan Se-

patu.’ “Melukis itu haram!” kalimat yang di-lontarkan seorang pengajar IAIN Ar-Raniry itu begitu menyengkat pikirannya. Walau telah berlangsung belasan tahun, Mahdi mengingatnya sampai sekarang.

Ia bahkan sempat menanyakan sahihnya ucapan itu ke almarhum Ali Hasjmy, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh era 90an. Ulama Aceh itu tak sepaham, bah-kan dia bersedia menulis di katalog lukisan-lukisan Mahdi. “Siapa bilang haram, suruh datang orangnya kemari!” ujarnya waktu itu pada Mahdi.

*** WAyANG ORANG ItU tAK LAZIM; matanya melotot, bertopi pet, bergigi runc-ing bak hiu. Tepat di atas kepalanya, merpa-ti putih menungkik dengan kaki terikat dan sayap terkepak. Azhari, cerpenis Aceh, be-rada di urutan dua di barisan orang-orang terjepit. Walau tujuh orang di hadapan, den-gan sikunya, wayang menjepit. Sementara tangannya memegang sapu.

“Yang Dijepit dan Yang Menjepit!” itu judulnya, ujar Mahdi sambil menunjuk ke dinding rumahnya. Lukisan yang men-ceritakan, peliknya hidup tanah perang itu, akhir bulan lalu sepekan keliling Malaysia, dari Kuala Lumpur sampai beberapa negara bagian.

Mahdi mengikutkan lukisannya itu da-lam pameran international Art Exhibition Entitled Peace; Expression of Hope. Pe-sertanya 30 pelukis dari berbagai negara, di antaranya Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Palestina, Indonesia dan Bos-nia. “Lukisannya saja yang terbang, aku ngak bisa ikut karena ongkosnya mahal,” katanya.

Jam terbang Mahdi, bukan lagi ‘kelas lokal’. Setidaknya, sejak 1982 hingga kini, sudah 11 kali dia bikin pameran di Jepang. Sementara Malaysia sudah beberapa kali. Pameran bersama taraf nasional, sudah dii-kutinya sejak tahun 1977.

Ia hanya tersenyum dan enggan men-jawab, mengapa dirinya identik dengan Jepang? Namun yang jelas, negeri Sakura lebih sekadar negara yang paling sering memajang lukisannya. Beberapa perem-puan dalam lukisannya, juga dari Jepang. Tak cuma itu, Mahdi juga bisa berbahasa negara Nippon itu. “Enak rasanya kalau pu-nya murid perempuan Jepang,” ujarnya ter-bahak, suatu malam di Kuta, Bali.

Jelang usia senja, dia memang mencari pewaris ilmu mewarnai realitas. “Lebih se-ratus wajah perempuan telah kulukis, dari dulu sampai sekarang,” ujarnya, dengan kening bergelombang dan menelan dalam-dalam asap kreteknya. “Aku berharap, kelak Aceh memiliki pelukis perempuan.” [a]

Page 43: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 43

Nanggroë

Pendekar Jihad Sekitar Exxon. Dibekali karate seadanya, mereka disiapkan melawan mesin perang Israel. Atas dalih; membela Islam.

"ALLAH AKBAR… ALLAHU AKBAR!" pekik sejumlah pria lantang. Berhamburan melompat dari mobil pick up. Wajah mer-eka ditutup kain, hanya mata yang terlihat, persis gerilyawan Hamas, Palestina. "Kami baru pulang jihad," ujar seorang di antaran-ya. Jihad yang dimaksud pria itu tak sung-guhan, tapi sekadar 'perang-perangan'.

Januari lalu, perbukitan Cot Kareung di Desa Blang Weu Panjoe, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, memang berubah seakan medan tempur. Saban waktu, para

logistik untuk calon pendekar. Tanah lapang tempat latihan, letaknya berdampingan dengan lintasan pipa milik Exxon Mobil, raksasa minyak asal Amerika Serikat (AS).

Soal guru ilmu perang dan karate, diser-ahkan ke FPI Pusat di Jakarta. Dua pelatih dikirim untuk mengajarkan teknik dasar bela diri; gerakan kaki dan tangan, serta cara efektif melumpuhkan lawan. Ilmu dasar kemiliteran, diasuh tutor khusus yang juga kiriman Jakarta.

Ketua FPI Aceh, Yusuf Al Qardhawi, mengatakan, selama latihan tempur dan taktik perang gerilya, mereka digembleng

oleh IMRAN MAFOTO: MUHAMMADAN —ACEHKINI

santri berbagai pesantren dan warga yang ingin berjihad ke Palestina berkumpul. Tidak untuk mempelajari ilmu agama, me-lainkan belajar karate.

Front Pembela Islam (FPI), di belakang 'latihan tempur' para pemuda itu. Sebuah pesantren didirikan untuk menjadi markas, namanya Darul Mujahidin. Pimpinan pe-santren bersemboyan "hidup mulia berma-tikan syahid" itu, menyatakan telah menc-etak puluhan lulusan yang siap membantu pejuang Hamas melawan serdadu Israel.

Pesantren ini hanya memfasilitasi sega-la kebutuhan santri dari penginapan sampai

Page 44: Acehkini 10

44

oleh Abu Alyas, 38 tahun. Alyas, katanya, adalah seorang mujahidin yang telah ber-pengalaman di Afghanistan, berperang bersama kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan dan bergabung dengan pejuang Hamas.

"Kita tidak memandang suku. Hanya memandang agama, untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, biar kuat kita harus berjaringan," ujar Tengku Muslim At-Thahiri, petinggi FPI Aceh lain, pada ACE-HKINI, Januari lalu.

Sistem rekrutmen pendekar tak serupa pesantren lain di Aceh. Serangkaian seleksi harus dilalui, dari tes ilmu agama, ketaatan menjalankan ibadah dan yang terpenting siap mati di jalur Gaza. tahap akhir, penen-tu kelulusan usai latihan fisik.

Peminat jihad di Aceh terbilang ramai. Menurut Muslim, yang mendaftar menca-pai 500 santri. Namun tak semuanya lulus seleksi. "100 lewat administrasi, dari lati-han gugur lagi, tinggal 80 orang yang siap dikirim ke Palestina," jelasnya. "Kita hanya menyiapkan dasar saja, kemudian setelah di Palestina akan digembleng kembali."

Walau mengaku melatih relawan jihad, tapi para santri tidak langsung diterjunkan ke medan perang sesungguhnya. Bahkan bisa jadi, tidak ikut perang sama sekali. "Di Palestina akan ada arahan kembali, mung-kin saja dibekali kemampuan yang lain," jelas Muslim.

***

AKHIR JANUARI, DARUL MUJAHIDIN mulai lengang kembali. Namun 'bau FPI' masih tersisa di selembar spanduk, dipa-

ini siap menjadi pasukan bom syahid, Yusuf mengatakan karena selama latihan, mereka telah teruji dari segi mental dan fisik. "saat latihan, mualim bilang bahwa keempat orang ini sudah siap dari segi jiwa dan raga untuk menjadi pasukan bom syahid. Mer-eka mujahidin sejati dan merupakan orang-orang pilihan," katanya.

"Mereka kami sebut 'Mujahidin Al Ala-mi' atau mujahidin internasional yang siap diberangkatkan kemana saja untuk mem-bela umat Islam," ujarnya. "Mereka sudah menjadi tentara Allah yang telah siap ber-juang untuk membela agama Islam." [a]

jang di pagar masuk. Bunyinya, "ulama ja-hat lebih berbahaya daripada dajjal." Bekas markas militan ini juga masih menyisakan slogan pembakar semangat, "rumoh ureung meujihad," jelas tertulis di balai-balai.

Tak hanya itu, anak-anak desa juga te-lah giat memainkan trik-trik pertempuran. Sebelum mengaji usai Magrib, sempat mer-eka unjukkan aksi layaknya militan Gaza. "Allahu Akbar….Allahu Akbar!" teriak santri cilik sambil mengacungkan potongan bambu seolah senjata.

Militan jebolan Darul Mujadin sudah dipulangkan ke basisnya, bersiap-siap ke Gaza. seiring dengan itu, santri lain masih sibuk mengumpulkan dana dari penguna jalan. Menurut Muslim, FPI Pusat yang bertanggungjawab untuk pemberangkatan relawan ke Palestina.

Awal bulan lalu, 15 pendekar lulusan sekitar Exxon telah diberangkatkan ke mar-kas pusat FPI di Jakarta. Sementara sisanya akan dikirim sesuai dengan permintaan FPI Pusat. "Dalam waktu dekat akan diberang-katkan."

Sebelum diperangkatkan, mereka dipeu-sijeuk di sebuah pesantren pinggiran Kota Banda Aceh. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, mujahid yang telah lulus tes itu tak hanya dikirim ke Palestina, tetapi ke semua negara Islam yang membutuhkan bantuan.

Di antara 15 mujahidin gelombang per-tama, katanya, terdapat empat orang yang siap melakukan aksi bom bunuh diri dan dua sniper. "Kami menyebutnya pasukan bom syahid. Bukan pelaku bom bunuh diri karena istilah itu konotasinya negatif yang dilabelkan oleh media asing," katanya.

Ketika ditanya alasan keempat orang

Page 45: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 45

Pelesir WISATA PERJALANAN ANGIN SEGAR

WISATA

sAAt sAyA BARU BEBERApA MINGGU di Switzerland (biasa disingkat dengan CH, kependekan dari nama lamanya, Confed-erationis Helveticae), saya tertarik sekaligus penasaran ketika diberi tahu Sigit —seorang teman yang sudah lama berkeluarga di CH— bahwa Lenin, penggerak revolusi komunis di Rusia, pernah tinggal di Zürich, salah satu ibukota kanton (semacam provinsi) paling dinamis dan memiliki tingkat kenyamanan hidup paling tinggi di dunia.

Sigit mengatakan, rumah Lenin itu su-dah tak berarti banyak sekarang. Tapi saya merasa seperti detektif penasaran dengan cerita lama yang semakin hari semakin hil-ang oleh ketidakberpihakan dan kenyaman-

Revolusi Sebatang Coklat

oleh RAISA KAMILAPelajar Kelas 2F Kantonsschule Im Lee, Winterthure -CH.

PERJALANAN

Page 46: Acehkini 10

46

an hidup di CH. Akhirnya, Sigit mengajak saya berkunjung sebentar ke rumah Lenin di Zürich, yang tidak terlalu jauh dari sta-siun kereta utama kota Zürich atau Zürich Hauptbahnfof.

Kami berjalan kaki dari Zürich Haupt-bahnhof menuju Limmatquai, yang menu-rut panduan berkeliling kota Zürich adalah jalan besar menyebrangi sungai Limmat yang dikelilingi banyak bangunan antik. Limmatquai tidak pernah kekurangan pe-jalan kaki yang mengejar jadwal kereta yang kelewatan tepat waktunya, orang-orang yang sekadar berbelanja di kiri kanan jalan yang penuh pertokoan yang menjual min-yak wangi, jam tangan, mantel berbulu, atau orang sekadar jalan santai kemudian rehat di kedai-kedai minuman pinggir jalan.

Yang sangat saya senangi adalah, pe-jalan kaki di CH sangat dihormati sehingga saat menyeberang pejalan kaki diutamakan dan mobil- mobil wajib berhenti sampai si pejalan kaki berhasil menyeberang dengan aman. Saya merasa sangat kurang ajar kalau harus membandingkannya dengan kondisi saat saya pulang sekolah di Banda Aceh, me-nyeberang harus lihat kanan kiri, kalau ada mobil atau motor jangan menyeberang dulu dan selalu kena damprat pengguna kend-araan kalau menyebrang sembarangan. Di sini, sesembarangan apa pun pejalan kaki menyebrang, semua kendaraan akan ber-henti.

Kami berbelok dari jalan besar Lim-matquai menuju gang-gang yang biasa dis-ebut catwalk. Bukan catwalk yang berarti tempat peragaan busana, tapi catwalk da-lam artian sesungguhnya: jalan kucing, yang disebut demikian karena memang merupakan lorong-lorong sempit dan pan-jang, tak akan cukup memuat tiga atau bah-kan empat orang penderita obesitas jalan berbarengan.

Gang-gang kecil di Limmatquai semacam tempat alternatif bagi orang-orang Zürich.

Kalau di jalan besar Limmatquai saya melihat orang-orang dengan mantel dan jas kantoran berwarna netral (coklat, biru tua, hitam), orang-orang dengan muka serius; seperti tidak punya banyak waktu untuk tertawa, dan menyaksikan semacam keang-kuhan atas kunonya peradaban Eropa di bangunan-bangunan antik yang megah. Di gang-gang Limmatquai saya justru menda-pat yang sebaliknya: orang-orang muda dengan baju warna-warni yang norak atau terlalu nyentrik, tawa-tawa riuh di kafe-kafe milik penjual imigran dari bangsa Turki, Al-bani, Tamil dan Tionghoa, toko-toko yang menawarkan barang-barang aneh (seperti toko khusus permen Loli, tidak permen lain) dan nyaris tidak terlintas di benak saya. Be-tapa asing mendapati dunia lain yang hanya berjarak beberapa langkah kaki dari dunia lainnya.

Kami kemudian berbelok lagi menuju

gang lain, agak menanjak, tidak terlalu sempit dan lebih senyap ketimbang gang-gang kecil utama tadi. Spiegelgasse, gang yang lumayan terkenal karena aliran seni dadaisme pernah lahir di sebuah kedai ber-nama ‘Cabaret Voltaire’, di tengah riuhnya perang dunia pertama, seniman-seniman eksil duduk mendiskusikan aliran baru ini. Menurut catatan Sigit, “da, da” dalam ba-hasa Rumania berarti ya, ya.

Sekarang Cabaret Voltaire masih menja-di tempat berkumpulnya seniman dan poli tisi di Zürich. Selain itu, Cabaret Vol-taire juga menjual barang-barang aneh se -perti susunan kertas yang bisa dibentuk menjadi mainan seru, sapu tangan dengan gambar agak ajaib, pin yang gambarnya bisa berubah, dan lainnya. pemutaran film, pertunjukan, diskusi, dan pameran seni in-

stalasi juga masih berlangsung hingga seka-rang.

Dadaisme dan Lenin secara tak sengaja berada di Zürich pada tahun yang sama, 1916. Tapi Sigit memberitahu saya, Lenin tidak pernah mampir ke Cabaret Voltaire. Dadaisme, meskipun merupakan aliran seni yang menolak seni yang dikuasai kaum bor-juis, tapi juga tidak sepakat dengan aliran seni realisme sosialis. Tidak jauh dari Caba-ret Voltaire, tiba-tiba Sigit menunjuk sebuah rumah, itu tempat tinggal Lenin. Tapi saya masih saja tidak percaya kalau Lenin bah-kan tidak pernah sekadar minum air putih di Cabaret Voltaire yang tidak seberapa jauh dari tempat tinggalnya.

Sebenarnya, Lenin dan pencetus mani-festo aliran dadaisme, Tristan Tzara, pernah bertemu di Zürich. Namun Tzara, penyair

Page 47: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 47

sebenarnya yang merupakan sindikat ma-fia terbesar di Eropa atau mungkin jaringan bawah tanah kelompok komunis di CH yang terkenal netral dan tidak pernah perang se-jak tahun 1815.

Itu sudah kelewatan, kata saya dan ter-tawa. Hahaha.

Nenek penjual mainan itu menyapa kami dengan ramah, kemudian sibuk kem-bali di depan komputer Mac yang canggih. Saya menyuruh teman saya langsung ber-tanya pada si nenek, apakah dia cucu Lenin, atau saudara jauh? Atau semacamnya? Tapi akhirnya pertanyaan interogasi itu ditunda, mainan-mainan yang dijual sangat menarik untuk dilihat lebih dulu.

Mainan yang dijual di toko AHA bukan mainan sejenis mobil-mobilan, atau boneka Barbie, tapi lebih ke mainan yang bisa di-mainkan semua umur. Ada mangkok hitam cembung dengan cermin di tengah, dan di atasnya ada patung babi kecil yang berpijak pada koin emas. Saya mencoba menyen-tuh penampakan patung babi kecil itu, tapi terus-menerus tidak bisa. Saya menduga itu hologram, tapi setelah saya melihat ada cer-min di bawahnya, sepertinya itu permainan refleksi cermin. saya kemudian kesal sendi-ri karena tidak terlalu memahami pelajaran fisika mengenai ini.

Ada segala macam permainan aneh yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya dan teman saya ingin mencoba memainkan semuanya, tapi saya takut mainannya ru-sak dan kami harus ganti rugi. Mainannya mahal sekali, untuk satu buah gasing yang saya tidak tahu apa unsur ajaibnya dihargai

dari Rumania yang menjadi eksil di CH ini tidak punya ide apapun tentang orang yang bernama ‘Lenin’.

Rumah yang sempat ditempati Lenin, awalnya saya kira seperti rumah-rumah Eropa kuno kebanyakan, antik dan klasik sekaligus sedikit menyeramkan. Tapi ter-nya ta perkiraan saya salah. Rumah yang dulu ditempati Lenin dan istrinya, Krups-kaya, cuma bangunan biasa dengan warna pucat (dinding berwarna putih mayat, daun jendela berwarna abu-abu muram). Tidak terlalu menarik kelihatannya, tapi sejarah yang ikut hidup di rumah itu membuatnya sedikit misterius. Tetap menyenangkan bagi saya.

Saya membaca tulisan ‘AHA’ di kaca bawah tempat tinggal Lenin. Ada kepala Lenin dibelah dua, sebelah kiri berwarna merah, sebelah kanan berwarna hijau. Ka-lau kita melihat dari sisi kiri, akan ada cer-min yang membuat seakan-akan seluruh kepala Lenin berwarna merah, dan kalau kita melihat dari sebelah kanan, akan ada cermin yang juga memantulkan refleksi kepala Lenin seluruhnya berwarna hijau. Tapi kalau kita berdiri di tengah, akan ter-lihat kepala Lenin di belah menjadi dua warna: merah dan hijau.

Saya mengira ini teka-teki, sebuah per-mainan filosofis yang bahkan saya sendiri masih menerka-nerka maksudnya. Saya langsung bersemangat dengan perkiraan pribadi saya itu. Betapa menyenangkan ka-lau rumah Lenin sekarang sudah menjadi tempat kajian filsafat dan diberi nama AHA, ungkapan yang biasa diucap saat orang-orang mendapat gagasan, semacam Eureka.

Tapi sebenarnya Sigit sudah mengatakan sebelumnya, yang ada di hadapan kami saat itu toko mainan yang bernama AHA yang dulunya pernah ditempati Lenin. Kemudian Sigit menunjuk jendela di atas kaca AHA, saya berusaha memahami tulisan berba-hasa Jerman itu, sedikitnya berarti Lenin pernah tinggal di sini, dari bulan Februari 1916 sampai April 1917. Hanya satu tahun, tapi saya percaya di sinilah Lenin sedikit banyak membuat rumusan untuk revolusi sekembalinya ke Rusia.

*** BERsELANG BEBERApA BULAN kemudian, saya kembali mengunjungi ru-mah Lenin di Spiegelgasse 14 dan berharap bisa tahu lebih banyak hal, seperti kenapa sekarang rumahnya menjadi toko mainan? Kenapa bukan museum seperti rumah Einstein di Bern, ibukota CH? Kenapa bu-kan toko buku, atau kedai diskusi? Kenapa harus toko mainan? Saya tak menemukan penjelasan hubungan yang masuk akal, dan saya memutuskan untuk mencari tahu men-genai hal ini lagi.

Karena itu, kali ini saya minta ditemani

seorang teman dari CH, dengan harapan dia tahu lebih banyak karena penduduk Zürich sendiri. Kami tidak langsung menuju rumah Lenin di Spiegelgasse, karena setelah tidak ke sana dalam waktu relatif lama, saya lupa jalan masuk ke rumahnya yang harus me-nyusuri gang-gang sempit di Zürich. Mesin pencari di Internet menjadi pahlawan kali ini, melalui pencarian singkat di situ kami akhirnya tahu di mana persisnya rumah Lenin.

Akhirnya saya sampai di rumah Lenin atau toko mainan AHA untuk kedua ka-linya. Kali ini saya berniat mencari tahu melalui pemilik toko mainan mengenai hubungannya dengan tempat tinggal Lenin. Tapi teman saya mengatakan bahwa bisa jadi tidak ada hubungan apa-apa, si pemilik toko mainan AHA cuma pengusaha biasa yang secara kebetulan membeli lahan bekas tempat tinggal Lenin dengan menimbang, tokonya akan ramai dikunjungi karena juga bekas tempat tinggal Lenin. Nilai sejarah dimanfaatkan untuk bisnis.

Tapi saya tidak bisa percaya hubungan-nya akan sesederhana itu.

Kami memutuskan untuk bertanya langsung pada si nenek pemilik toko main-an. Di pintu masuk ditulis, toko mainan ini cuma dibuka hari Jumat dan Sabtu dari jam 4 sampai 6 sore. Saya beruntung kar-ena datang hari Jumat. Teman saya lalu mengatakan, betapa tidak beruntungnya penjual mainan yang hanya berjualan dua jam dalam dua hari saja. Kami kemudian mengira-ngira kalau si nenek hanya penjual mainan gadungan untuk menutupi kedok

Page 48: Acehkini 10

48

sekitar 180 CHF atau Rp 1,4 juta. Belum lagi mainan patung babi kecil yang sedikit ajaib itu.

CH memakai empat bahasa nasional, yaitu Prancis, Italia, Jerman dan Roma kuno. Pemakaian tiga bahasa pertama ber-laku sesuai daerah perbatasan, sementara bahasa Roma Kuno atau Rätoromanisch sudah mulai jarang. Zürich, tempat tinggal saya berbatasan dengan Jerman dan karena itu saya mau tidak mau harus belajar bahasa Jerman yang kedengarannya seperti orang marah-marah dan penuh huruf-huruf kon-sonan yang bertabrakan dan kelihatan sulit dibaca karena hanya ada satu atau dua hu-ruf vokal.

Karena belum lancar berbahasa Jer-man, saya menyuruh teman saya menga-jak bicara nenek pemilik toko mainan itu mengenai hal-hal yang dia tahu tentang toko mainannya dulu. Tapi barangkali saya memang tidak terlalu beruntung, si nenek mengaku tidak ada hubungan apa-apa den-gan Lenin maupun istrinya, Krupskaya. Si nenek dan suaminya tinggal di lantai bawah tempat tinggal Lenin selama 35 tahun. Dulu sebelum menjadi toko mainan, suami si nenek membuat kediamannya sebagai biro arsitektur yang merangkap dengan usaha penerbitan buku. Tahun 1988, usaha pener-bitan dan biro arsitek selesai, diganti den-gan toko mainan. Si nenek yang baik hati itu

menambahkan, dulu Lenin tinggal di lantai atas dan sekarang sudah tidak ada lagi sisa apapun, semua sudah direnovasi sebelum si nenek dan suaminya membeli lantai bawah rumah itu. Yang tertinggal sekarang cuma papan pengenal sederhana yang menuliskan Lenin pernah tinggal di situ.

Belakangan melalui catatan Krupskaya, saya tahu mereka menyewa kamar di lantai kedua rumah yang ternyata milik seorang buruh pabrik sepatu yang disapa Frau Kam-merer. Dalam bahasa Jerman, Frau berarti Ibu atau Nyonya. Rumah Frau Kammerer adalah gedung kuno seperti peninggalan dari abad ke-16, dan kamar-kamar di ru-mahnya disewakan untuk banyak orang. Meskipun menurut Krupskaya, kamarnya tidak terlalu bagus dan dengan biaya yang sama mereka bisa mendapat kamar lebih layak. Tapi Lenin dan Krupskaya terlanjur tertarik dengan suasana revolusioner kelu-arga buruh pabrik sepatu, lengkap dengan kehidupan yang mereka sebut ‘internasion-al’, karena penyewa tiap-tiap kamar berasal dari bangsa yang berbeda. Satu kamar dis-ewa oleh ibu dan anak yang bapaknya bek-erja sebagai pembuat roti dan harus pergi berperang, satu kamar disewa seorang dari Italia, ada yang disewa oleh beberapa aktor Austria yang memelihara kucing cantik, dan kamar yang terakhir disewa oleh Lenin dan Krupskaya, sepasang suami istri Rusia.

Musim gugur 1916 dan menjelang tahun 1917, mereka lebih memilih bekerja di per-pustakaan ketimbang di penginapan, yang meskipun memiliki penerangan cukup, pe-mandangan yang bagus, tapi di pekarangan-nya ada pabrik sosis yang mengumbar bau aneh dan membuat Lenin tak bisa bekerja di kamar penginapan. Lenin dan Krupskaya menghabiskan enam jam di Zentralbiblio-thek atau perpustakaan utama kota Zürich untuk menekuni banyak bahan. Setelah itu, dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal, biasanya Lenin membeli dua batang coklat isi kacang dalam bungkusan berwarna biru yang kadang dibawa untuk cemilan setelah makan siang.

Saya meminta seorang teman yang juga sudah lumayan lama menetap di CH, Ronny, untuk menemani saya mengunjungi Zentral-bibliothek juga untuk melihat tempat di mana Lenin dan Krupskaya menghabiskan waktunya. Ternyata Zentralbibliothek itu bisa dilihat dari bagian depan tempat ting-gal Lenin.

Bagian luar Zentralbibliothek kelihatan antik dan seperti bangunan peninggalan abad pencerahan Eropa. Tapi saat saya masuk, pintu terbuka secara otomatis dan penjaga yang mengawasi setiap pengun-jung. Saya diajak Ronny naik ke lantai dua, dan menunjukkan satu pojok ruangan buku kamus istilah. Itu tempat dulu Lenin dan Krupskaya sering membaca banyak buku. Saya kemudian heran, kenapa Lenin duduk di bagian buku kamus istilah? Lalu, Ronny menjelaskan, waktu itu Lenin juga harus banyak mengkaji istilah ekonomi.

Kemudian kami menuju empat lantai bawah tanah, kesemuanya menyimpan buku dari awal perpustakaan ini berdiri. Menurut situs resmi Zentralbibliothek Zurich, ada 5,1 juta data (buku, koran, manuskrip, dan lain-lain) yang tersimpan di perpustakaan ini hingga tahun 2007. Zentralbibliothek ini memang gudangnya buku, dan selalu banyak dikunjungi mahasiswa, pelajar atau orang-orang yang suka membaca.

Kamis sore, saat Zentralbibliothek tu-tup, Lenin dan Krupskaya pergi ke gunung Zürichberg sambil membawa beberapa buku dan beberapa batang coklat, mereka menghabiskan waktu di bagian dalam hutan yang tidak dilewati banyak orang. Disitulah Lenin membaca sambil merebahkan badan di rumput. Kadang menekuni banyak bahan di perpustakaan membuat Lenin lelah dan memutuskan untuk ke gunung sambil mem-bahas demokrasi di CH dengan Krupskaya.

Krupskaya menuliskan, tinggal di Zürich saat itu cenderung tenang dan aman, meski situasinya sedikit demi sedikit jadi lebih revolusioner. Dan selama perang dunia pertama di Zürich yang tenang, Lenin men-jadi sangat temperamental, dia yakin sekali bahwa revolusi tidak bisa menunggu lebih lama. [a]

Page 49: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 49

Rambu Solo Menuju Puya. Manusia berasal langit. Kematian hanya perjalanan pulang ke nirwana. Di Toraja, warga menggelar pesta saat pemakaman.

LANGIt tANA tORAjA, BERHARI-HARI kelam dan mengirim hujan. Namun, pagi itu langit membiru, seakan merestui kem-balinya Batok Tua, yang meninggal dunia tahun 2006, kembali ke nirwana.

Kota Rantepao, Sulawesi Selatan, tampak meriah menyiapkan ritu-al ma’pasonglo, yang merupakan puncak acara Rambu Solo atau upacara pemaka-man dalam adat Toraja. Berbagai atraksi dan ritual dipertontonkan lima hari lima malam pada pesta pemakaman Batok Tua, pertengahan Agustus tahun lalu.

Dalam kepercayaan Aluk todolo, kesempurnaan pesta pemakaman akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), to-membali puang(arwah yang mencapai tingkat dewa), atau deata (menjadi dewa

oleh J. VIGNeShVARAFOTO-FOTO: FAUZAN IJAZAH

PERJALANAN

pelindung).Sebab itu, biasanya Rambu Solo diada-

kan berbulan-bulan bahkan bertahun-ta-hun setelah kematian. Waktu yang panjang bagi keluarga mengumpulkan uang untuk mengadakan pesta sesuai strata sosialnya.

Sebelum upacara pemakaman, jenazah diperlakukan layaknya orang sakit. Walau sudah tak bernyawa, masih diberi makan dan minum tiga kali sehari sampai keluarga mampu mengadakan pesta pemakaman.

Saat meninggal, jenazah dimasukkan ke dalam peti dan diletakkan di kamar tidur ruang selatan rumah Tongkonan, yang dis-ebut sumbung. Jenazah ditidurkan dengan kepala sebelah barat, lazimnya orang hidup tidur. Biasanya, keluarga juga mengajak bicara jenazah dan menungguinya hingga larut malam, bahkan tidur di samping jenazah.

Meskipun disimpan bertahun-tahun,

tak tercium bau busuk. Karena jasad telah dioles ramuan khas Toraja, dari dedaunan dan akar. Daun sirih, daun pinang, daun bilante –sebutan warga Toraja untuk dedaunan yang didapat dari hutan— serta beberapa akar pohon lain, diramu dengan abu siput dan diaduk dengan air perasan batang pisang.

Ramuan itu biasanya meninggalkan noda cairan. Nah, cairan ini disuling dan disimpan dalam bambu, hingga jenazah kering. Supaya pengawetan sempurna, jenazah disimpang dalam kotak yang dis-ebut duni. Kotak ini harus kering dan bebas organisme.

Setelah mulai kering, jasad dibersihkan, kemudian dibalut kain dari serat nanas. Setelah benar-benar tidak ada lagi pengua-pan dari dalam, jenazah dibalut lagi den-gan kait katun. Semua tahapan itu melalui ritual adat yang diikuti bacaan mantera.

Page 50: Acehkini 10

50

Bila dana pesta telah cukup, keluarga melakukan ritual ma’parempa yang artinya ‘mematikan’ jenazah. Jasadnya dipindah-kan ke bagian selatan ruang tengah rumah dan dibaringkan dengan kepala mengh-adap ke selatan.

Selanjutnya, ritual ma’tundan yakni ‘membangunkan’ jenazah untuk bersiap-siap melakukan perjalanan pulang ke nirwana. Diikuti ritual ma’balun, mem-bungkus jenazah, dan ma’roto yakni me-nambahkan ornamen berwarna perak dan emas pada peti mati.

Jelang pesta pemakaman, peti jenazah dipindahkan dari rumah ke lumbung di de-pan rumah. Ritual ini disebut ma’parokko alang. Semua ritual di atas biasanya hanya dihadiri keluarga terdekat saja. Ritual terakhir, ma’pasonglo yang berarti mengantarkan hingga ke tempat peristira-hatan terakhir, mengundang banyak tamu layaknya pesta.

Semasa hidupnya, Batok Tua pemangku adat. Ia membesarkan anak-anaknya men-jadi orang yang sukses. Sebab itu, Rambu Solo digelar akbar. Berbeda dengan kema-tian warga biasa; ritual, simbol, nyanyian, musik dan tarian pada pesta pemakaman Batok Tua, hanya dipertunjukkan pada pembesar adat.

Kerbau, salah satu simbol penting dalam Rambu Solo. Selain menunjukkan strata sosial, dalam Aluk todolo, kerbau diyakini menjadi tunggangan roh menuju alam baka, atau dalam bahasa setempat disebut puya.

Tidak semua kerbau pengantar roh. Ciri kerbau yang dipilih belang, berwarna menyerupai sapi, masyarakat menye-butnya tedong bonga atau tedong belo. Kenderaan ke nirwana itu mahal, harganya mencapai Rp 100 juta. Pada pesta kali itu, keluarga Batok Tua menyembelih lebih dari 50 kerbau dan lebih 100 ekor babi.

Kembalinya Batok Tua ke nirwana, diiring kidung ratapan yang dis-ebut ma’badong. Kidung berisi kisah per-jalanan, kebesaran jasa dan keluhuran budi tokoh adat itu semasa hidupnya. Semakin siang, halaman rumah salah satu anak Batok Tua yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan pesta pemakaman dipenuhi sanak keluarga, tamu-tamu dan wisatawan domestik maupun manca negara.

Shula dan Yalef, pasangan wisatawan asal Amerika, rela repot-repot mencocok-kan jadwal kunjungan ke Toraja dengan jadwal Rambu Solo. “Upacara pemakaman ini sangat unik dan merupakan pening-galan budaya yang sangat kuno. Kami sangat beruntung bisa menyaksikannya,” ujar Yalef, dosen di Massachusetts institute of technology.

Ma’pasilaga tedong atau adu kerbau, ritual selanjutnya usai kidung. Siang itu jelang atraksi, kerbau balian atau kerbau

Page 51: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 51

aduan diarak dan dipertontonkan men-gelilingi tempat upacara. Seorang lelaki tua berpakaian seperti prajurit adat, dengan membawa tombak dan perisai, memimpin barisan sambil membawakan tarian perang. Di belakangnya, tedong bonga di-tuntun seorang pawang yang juga men-genakan pakaian adat.

Tak lama kemudian orang-orang berbondong-bondong menuju sawah terdekat untuk menyaksikan adu kerbau. Kerumunan penonton yang berdesak-desa-kan di pematang sawah tiba-tiba tunggang-langgang berhamburan saat kerbau yang sedang berlaga mengejar lawannya ke arah mereka.

Beberapa di antaranya berjatuhan ke dalam kubangan lumpur. Namun becek tak menyurutkan keinginan mereka untuk menyaksikan pertandingan adu kerbau dari dekat. Julien, seorang wisatawan dari Pran-cis tampak tak menghiraukan kotor lumpur yang melekat di badannya. Ia melebur ber-sama masyarakat lokal dalam kegairahan menyaksikan atraksi yang mendebarkan. “Seru dan menarik!” ujarnya terengah-en-gah dalam bahasa Inggris. Menjelang senja pertandingan usai.

Keesokan harinya, prosesi penerimaan tamu dimulai. Gadis-gadis penerima tamu bersolek dengan pakaian adat Toraja. Sedangkan kerabat keluarga mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung. Barisan tamu yang memasuki tempat upacara dipandu seorang prajurit adat dan diantar untuk duduk di lantang atau pondok-pondok bambu yang dibangun sebagai tempat untuk tamu menyaksikan prosesi pesta pemakaman.

Pondok-pondok ini berwarna merah, berhias ornamen khas Toraja dan diberi no-mor. Setiap rombongan tamu atau kerabat akan ditempatkan di lantang sesuai dengan nomornya. Pada pesta pemakaman Batok Tua dibangun 20 pondok yang memiliki 80 ruang untuk menerima rombongan tamu.

Hari itu, kerbau dan babi disembelih untuk menjamu para tamu. Hewan-hewan ini akan dipotong melalui ritual adat Toraja yang disebut dengan ma’tinggoro tedong,yang artinya leher kerbau akan ditebas dengan sekali ayunan parang. Sebe-

Kerbau dan babi disembelih untuk tamu. Hewan-hewan ini dipotong melalui ritual adat Toraja yang disebut ma’tinggoro tedong

Page 52: Acehkini 10

52

lum dipotong, kerbau maupun babi diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat upac-ara pemakaman. Arak-arakan dipimpin seorang prajurit adat yang menarikan tar-ian perang dan diikuti tedong bonga yang dituntun pawangnya.

tedong bonga tak dipotong hari itu, melainkan pada hari terakhir menjelang Batok Tua disemayamkan di tempat peri-stirahatan terakhirnya. Kerbau dan babi kemudian ditambatkan di sebuah batu yang disebut simbuang batu dan dipotong dengan sekali tebas. Sebagian dagingnya dibagikan pada masyarakat sekitarnya. Sebagian lagi dimasak dalam drum-drum minyak yang besar, hanya dengan air dan garam. Terus terang, tak sanggup mem-bayangkan bagaimana rasa masakan itu. Namun daging rebus ini langsung tandas sesaat setelah disajikan. Dengan alasan hendak memotret, kami pun kabur semen-tara.

Tiba-tiba terdengar suara lesung yang dipukul bertalu-talu oleh sekelompok ibu, secara bergantian sehingga tercipta alunan nada harmonis. Saat lesung berhenti, kidung ratapan menyambutnya. Tak lama setelah kidung berhenti, terdengar suara gong memecah suasana. Sebuah barisan telah bersiap untuk berjalan mengelilingi tempat upacara.

Barisan diawali penabuh gong yang diikuti oleh enam laki-laki membawa umbul-umbul yang disebut tompi saratu. Di belakangnya, para wanita dari kelu-arga Batok Tua berbaris sambil membawa bentangan kain merah yang disebut lamba-lamba. Menurut bapak Stanislaus San-darupa, dosen Universitas Hasanuddin, yang kebetulan kami temui di tempat acara, semua ritual ini merupakan simbol-simbol yang menunjukkan strata Batok Tua.

Prosesi hari berikutnya, menaikkan keranda Batok Tua yang disebut duba-duba dari lumbung ke atas lakkian, menara tertinggi yang dibangun di tempat upacara.Lakkian terbuat dari bambu yang ber-bentuk rumah adat Toraja atau tongkon-gan. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, meletakkan jenazah di tempat paling tinggi akan memudahkan perjalanan roh menuju nirwana. Oleh karena itu, kuburan orang Toraja biasanya dibangun di tempat yang tinggi, misalnya tebing. Orang Toraja tidak menguburkan jenazah di dalam tanah.

Sebelum dinaikkan ke lakkian, keranda Batok Tua diarak mengelilingi kampung kelahirannya, kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan penghor-matan terakhir. Di urutan terdepan barisan

arak-arakan adalah penabuh gong, diikuti kelompok lelaki berpakaian hitam pemba-wa umbul-umbul. Di belakangnya, tedong bonga mengikuti dengan pawangnya yang memakai baju adat. Barisan para wanita dari keluarga Batok Tua berjalan di bela-kangnya sambil menarik bentangan kain merah panjang. Di urutan paling belakang adalah keranda Batok Tua yang diusung oleh sejumlah laki-laki.

Hari keempat, sebuah misa digelar un-tuk Batok Tua di gereja. Keluarga Batok Tua telah memeluk agama Kristen sebagaimana kebanyakan masyarakat Toraja. Meskipun demikian, menurut Dumak Tanderapak, anak kedua Batok Tua yang menetap di Ujung Pandang, upacara Rambu Solo hingga kini tetap digelar untuk menjaga kelestarian tradisi Toraja. “Upacara ini juga bentuk penghormatan dan bakti kami sebagai keluarga kepada yang meninggal,” jelasnya.

Jenazah Batok Tua akhirnya dikubur-kan di hari kelima upacara. Peristirahatan terakhirnya berbentuk rumah atau pa-tane yang diletakkan di kuburan yang berjarak tujuh kilometer dari rumahnya. Sebelumnya, tedong bonga dipotong agar dapat menjadi tunggangan roh Batok Tua menuju nirwana. Dengan berakhirnya ritualma’pasonglo maka selesai tugas kelu-arga mengantarkan almarhum melakukan perjalanan ke alam puya. [a]

Upacara ini juga bentuk penghormatan dan bakti kami sebagai keluarga kepada yang meninggal

Page 53: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 53

Bica

ra S

ama T

embo

kBUKAN KARENA TERKENA JAMPI-JAMPIakibat menolak cinta seorang pria, Na-bella Volary, 19 tahun, sering bicara dengan tembok. Hobi baru yang dijalani sebulan itu, hanya untuk memperlancar acting. Hasil-nya, ia lolos dua kali casting. Malah, rumah produksi Ide Production memilihnya sebagai pemeran utama dalam film drama komedi Aceh berjudul ‘Leumak Mabok’.

Bella memerankan tokoh Farida yang lem-but, sopan, penyayang dan pintar. Sebab itu banyak pria mengincarnya, mulai dari bandot tua bernama Toke Dien sampai Bang Jeck, pemuda tampan di kampungnya.

Karakter Farida tak jauh dari Bella, tak suka marah. Sebab itu cewek berkulit sawo matang ini mengaku sedikit kesulitan. “Susah waktu adegan marah-marah dan panik, soal-nya Bella nggak bisa marah,” ujarnya.

Dalam ranah seni peran, Bella sebenarnya belum berpengalaman. Tapi soal melenggang di catwalk, ia piawai. Beberapa penghargaan di bidang modeling sudah disabetnya. Selain itu, ia juga dinobatkan jadi duta wisata Aceh 2008 oleh Dinas Pariwisata Provinsi Aceh.

Kini, mahasiswi jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, Unsyiah, itu sering bergaya bak Keira Knightley dalam film Pirates of carribean. “Bella suka nonton film dan sinetron, jadi belajar juga dari mereka,” sebutnya.

Menurut mamanya, Rahmah, bakat acting Bella sudah tumbuh sejak kecil. Sayangnya, sang mama berharap Bella tak begitu serius menggeluti dunia entertain-ment. “Sambilan saja dulu yang penting serius kuliah,” katanya.

Tapi Bella kukuh ingin mengembangkan karirnya. “Ke depan Bella harus lebih bagus dari sekarang,” ucap cewek yang mengaku belum punya pacar ini, semangat. Sukses terus ya non! [a]

oleh RIZA NASSeR

NA

BEL

LA V

OLA

RY

FOTO: UCOK PARTA—ACEHKINI

oleh RIZA NASSeRFOTO: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

Figura

Page 54: Acehkini 10

54

DI tENGAH kesibukkannya melengkapi administrasi kelulusan pegawai negeri, Indra Helmi, 27 tahun, dihubungi Dedi Kale, seorang aktor pembantu dalam film “Ketika Cinta Bertasbih (KCB)”. Dari ujung telpon, Indra ditawari mengisi soundtrack film yang disutradarai Chaerul Umam itu.

Indra riang dan menyanggupi tawaran itu. Tak lama berselang, alumnus Fakults Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unsyiah, itu terbang ke Jakarta. Proses rekaman dilakukan di studio milik Anto Hood, di kawasan Bintaro. Anto sendiri dipercayai pihak Sinemart, mengurus musik pengiring KCB.

Bukan sebab Jakarta kehabisan penyanyi, sehingga ‘palang pintu’ Potret itu memilih Indra melantunkan lagu yang diaransemen sendiri. Lagi pula lagu yang dinyanyikan, tembang Aceh, “lagu Saleum yang di album Nyawoeng pertama,” jelas

Indra.Walau seharian di studio, hanya sekitar dua jam saja dihabiskan

untuk rekaman. Bagi Indra, menyanyikan lagu ‘Saleum’ tak sulit. Selain lagu itu sering didengar, ia sendiri sempat menjadi vokalis di kelompok musik Bijeh.

Bukan berarti mengisi suara soundtrack tak ada aral. tantangannya, menjiwai adegan film yang sama sekali belum dilihat. Sebab itu, pihak studio memutar cuplikan akhir cerita.

sebab diending film suara Indra diputar. “Kan dubing, jadi harus mengikut gerakan mulut pemain utama,” jelas Indra.

Sebenarnya, alih suara sudah diselesaikan pihak Anto. Untuk melantunkan lagu ‘Saleum’ dipilih Tompi, penyanyi jazz ternama asal Aceh. Serasa tak sreg dengan hasil, akhirnya,

Anto menggantikan dengan Indra. “Mungkin soal penjiwaan, saya sendiri tak terbayang menyanyi untuk soundtrack film itu,” kata Indra. [a]

Malam telah usang kala Elviana, 42 tahun, memimpin 35 pria menelusuri dingin, menghentikan langkah kawanan pencuri yang sedang menggasak rumah warga di Neusu, Kecamatan Baiturrah-man, Banda Aceh, dua bulan silam. Tak ada yang lolos, semua dige-landang ke Markas Polisi Sektor (Mapolsek) setempat.

Sejak delapan bulan lalu, malam bukan lagi pertanda istirahat baginya. "Tiap hari saya selalu pulang di atas jam tiga pagi, Sering ikut operasi malam hari," katanya.

Maklum kini ia tak lagi mengurusi lalu lintas, melainkan mem-bersihkan Baiturrahman dari pencuri, judi dan miras. "Itu jenis pe-nyakit masyarakat paling banyak di sini," ujar Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) perempuan satu-satunya di jajaran Polisi Daerah (Polda) Aceh itu.

Walau perempuan, ia tak pernah absen dalam setiap operasi. Tak terkecuali saat menangkap penyabung ayam. "Saya juga ikut kejar-kerjaan dengan mereka, saya berhasil menangkap satu orang di antaranya," kisah perwira polisi berpangkat Inspektur Satu (Iptu) sambil menahan tawa.

Memimpin para polisi yang identik dengan lelaki, tentu tak mu-dah. Tapi Elviana, punya jurus jitu. Kantor baginya rumah kedua. Lalu, ia menata Polsek dengan prinsip kekeluargaan dan cinta. Tak jarang ia menyapu ruangnya sendiri dan bergabung di pos penjag-aan. "Biar tidak ada jarak bawahan dan atasan," katanya.

Tak hanya dengan bawahan, ia juga ramah dengan tahanan. Ia acap menasihati dan mengundang penceramah ke ruang tahanan. "Saya berusaha menjadi bagian dari keluarga mereka," ujarnya. Resep kekeluargaan Elviana teruji sukses. Tiga bulan terakhir, ia meringkus tujuh pelaku kriminal dan menyita 200 lusin minuman keras.

Sebenarnya, dia tak berniat menjadi polisi. Saat masih berserag-am putih abu-abu, dia ingin jadi guru. Namun tahun 1986, nasib tak

Menggantikan Tompioleh MAIMUN SAlehFOTO: KHAIRUL UMAMI —ACEHKINI

berpihak padanya. Dia tak lulus di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Akhirnya, setahun kemudian, masuk pendidikan kepolisian di Ciputat, Jawa Barat. Usai pendidikan, ia meniti karier sebagai polisi lalulintas. "Waktu pendidikan saya satu-satunya wanita, melakukan latihan yang sama dengan laki-laki," ungkapnya.

Karier Elviana mulai terang selepas pendidikan perwira enam tahun lalu. Dia dipromosi jadi Kapolsek. "Ini tantangan bagi saya, memberikan contoh pada bawahan agar mereka juga mau bekerja lebih baik," sebutnya.

Yang ragu akan kemampuannya, bukan tak ada. Namun, Elviana tak surut. Dia terus mengukir prestasi. "Yang terpenting bagaimana kita membawa diri, perempuan juga bisa melakukan tugas berat seperti ini," ujarnya. [a]

Mengandalkan Cintaoleh RIZA NASSeRFOTO: YO FAUZAN —ACEHKINI

ELVIANA

INDRA HELMI

Page 55: Acehkini 10

ACEHKINI April 2009 55

COMMERCIAL

Space for R ent

Pemasangan iklan, hubungi:PT. ACEHKINI

Jl. Bahagia No. 3, Punge Blang Cut, Banda Aceh.Telp./Faks. 0651.44416

atauAbdul Munar [081360039003]

Page 56: Acehkini 10

56