repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 64683... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 64683... · BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Total Parenteral Nutrition (TPN)
Nutrisi parenteral adalah pemberian nutrien yang dibutuhkan secara
parenteral (melalui intravena). Larutan nutrisi parenteral juga disebut Total
Parenteral Nutrition (TPN) atau hyperalimentation solution (hyperal). Nutrisi
parenteral digunakan untuk pasien yang tidak dapat menelan atau mengabsorbsi
nutrien melalui saluran gastrointestinal. Nutrisi parenteral total menyuplai semua
nutrien yang dibutuhkan, sedangkan nutrisi parenteral parsial memberikan
tambahan kebutuhan nutrisi pasien jika kalori dalam jumlah yang cukup tidak
dapat diberikan secara enteral (Ansel dan Prince, 2004). Pemberian nutrisi
parenteral disesuaikan dengan kondisi pasien setelah menghitung energi basal
dengan persamaan Harris-Benedict (Chowdary dan Reddy, 2010).
Infus dengan volume berlebihan menyebabkan edema paru dan konsentrasi
tinggi glukosa menyebabkan trombofeblitis vena. Untuk mengatasi masalah ini,
digunakan infus dari lemak yang merupakan emulsi minyak kacang kedelai yang
distabilkan dengan fosfolipid kuning telur yang terbukti secara klinis aman dan
efektif sebagai sumber kalori dan asam lemak esensial (Burgess, 2005). Emulsi
tipe m/a dan a/m/a digunakan untuk rute intravena (Mestres dan Nielloud, 2002).
Jenis nutrisi parenteral total terdiri atas dua yaitu nutrisi parenteral total periferal
dan nutrisi parenteral total sentral.
2.1.1Nutrisi parenteral total periferal
Nutrisi parenteral total periferal adalah nutrisi parenteral total yang
diberikan melalui akses perifer. Nutrisi parenteral total perifer digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
7
memberi nutrisi kepada pasien dalam waktu yang singkat (7-10 hari). Apabila
nutrisi parenteral total dibutuhkan dalam jangka waktu yang lebih panjang maka
larutan lemak ditambahkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan energi lebih dan
mencegah kekurangan asam lemak esensial (Holman, 1987; Jauch, et al., 2009).
Vena perifer dapat menerima larutan injeksi ≤ 900 mOsm/L dan sesuai
untuk diberikan emulsi lemak intravena yang isotonis dan larutan dekstrosa
hipokalori (contoh, dekstrosa 10%) (Isaacs, et al., 1977). Vena akses perifer yang
sering digunakan adalah vena metacarpal, dorsal venous arch, vena sefalik dan
vena basilik (Scales, 2005).
Gambar 2.1 Vena akses perifer pada tangan (Scales, 2005)
Gambar 2.2 Vena akses perifer pada permukaan lengan (Scales, 2005)
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.2 Nutrisi Parenteral Total Sentral
Pemberian melalui vena sentral bersifat lebih permanen daripada
pemberian secara perifer. Vena sentral dapat menerima larutan dengan
osmolaritas tinggi dan volume larutan yang lebih banyak dapat diberikan pada
satu waktu. Pemberian sentral menggunakan suatu tipe tube kateter yang dipasang
pada vena dibawah tulang selangka (vena jugularis atau vena subklavian) setelah
dioperasi. Apabila jarum suntik berada didalam tubuh, di bawah kulit, selalu
terdapat resiko infeksi yang memasuki darah dan menyebabkan septisemia.
Infeksi ini bersifat sangat serius. Jika infeksi terjadi, selang infus yang dipasang
harus dikeluarkan dan nutrisi pasien dihentikan (Holman, 1987; Payne-James dan
Khawaja, 1993).
2.2 Emulsi Lemak Intravena
Emulsi lemak intravena digunakan sebagai sumber lemak, nutrisi dan kalori,
mencegah kekurangan asam lemak esensial (asam linoleat dan asam α-linolenat
yang tidak dapat disintesis tubuh) yang terjadi ketika nutrisi parenteral diberikan
selama tiga minggu tanpa lemak (Bartlett, 2014; Waitzberg, et al., 2006; Seidner,
et al., 1989).
Penggunaan emulsi lemak intravena harus dibatasi penggunaannya sebab
trigliserida dan komponen lain dari emulsi lemak membentuk kilomikron buatan,
yang dihidrolisis tubuh menjadi asam lemak bebas dan sisa partikel kecil diambil
oleh hati (Wanten dan Calder, 2007; Atkinson dan Worthley, 2003; Kumpf,
2006); fosfolipid yang berlebihan juga akan membentuk liposom yang
mengganggu metabolisme lemak dan menyebabkan hiperkolesterolemia. Ketika
lemak parenteral diberikan secara berlebihan dan kemampuan hati untuk
Universitas Sumatera Utara
9
memprosesnya sedikit dapat menyebabkan hiperlipidemia dan kerusakan hati
(Wanten dan Calder, 2007; Kumpf, 2006; Waitzberg, et al., 2006). Emulsi lemak
intravena harus diberikan hati-hati kepada pasien sepsis dan kondisi klirens hati
terhadap asam lemak terganggu (Kumpf, 2006; Miles, 1993).
Syarat emulsi lemak intravena dalam nutrisi parenteral menurut USP 36
adalah sediaan steril dengan kandungan lemak 10%, 20% atau 30% dalam
pembawa berair. Fase air mengandung 0,6-1,8% fosfolipid telur parenteral, bahan
osmotik seperti gliserin dengan jumlah 1,7-2,5% atau bahan penstabil yang lain
seperti garam asam lemak dan emulsi ini mempunyai pH 6-9. Ukuran droplet
menurut metode light scattering, data diinterpretasi dari intensity-wighted mean
droplet diameter (MDD) dimana ukurannya harus kurang dari 500 nm atau 0,5
µm. Globul lemak yang besar dari fase terdispersi dinyatakan sebagai persentase
residu lemak dalam globul yang lebih besar dari 5 µm harus tidak lebih dari
0,05%. Pengukuran globul besar dilakukan dengan metode light obstruction atau
extinction, Menurut Burgess (2005), syarat emulsi lemak intravena adalah
diameter rata-rata dari droplet <1 µm, distribusi droplet yang homogen, tegangan
permukaan yang rendah dan isotonis dengan osmolaritas 280-300 mOsm/Kg.
Apabila emulsi lemak intravena tidak stabil secara fisika selama
penyimpanan akan menyebabkan agregasi dan koalesensi yang akan
meningkatkan ukuran droplet lemak dan meningkatkan resiko terjadinya emboli
akibat droplet lemak yang besar (Moynihan dan Crean, 2009). Ukuran droplet
lemak diatas 5 µm menyebabkan emboli paru (Florence dan Gregoriadis, 1998).
Intralipid 20% adalah contoh produk emulsi lemak intravena yang
mempunyai indikasi berupa bantuan nutrisi untuk pra dan paska operasi, penyakit
saluran cerna akut dan kronik, penyakit yang melemahkan fisik, luka bakar dan
Universitas Sumatera Utara
10
trauma serta kondisi yang tidak sadar dalam waktu yang lama. Intralipid 20%
mengandung minyak kedelai yang dimurnikan 20%, fosfolipid yang dimurnikan
1,2%, gliserin 2,2%, natrium hidroksida untuk mengatur pH ±8 dan air untuk
injeksi. Dosis hariannya adalah 2g/ kgBB/ hari (ISO, 2014).
2.3 Emulsi
2.3.1 Pengertian emulsi
Emulsi adalah suatu sistem heterogen, campuran dari dua atau lebih cairan
yang tidak tercampur dengan bahan pengemulsi yang digunakan untuk
menstabilkan fase terdispersi. Untuk meningkatkan stabilitas sering ditambahkan
zat ko-pengemulsi dan zat tambahan lain untuk mencegah terjadinya koalesensi
dari tetesan terdispersi (Burgess, 2005; Agoes, 2009).
Gambar 2.3Emulsi minyak mineral dalam air (Ansel, 2011)
2.3.2Tipe emulsi
Fase cairan dalam emulsi bersifat polar sedangkan yang lainnya umumnya
bersifat nonpolar. Ketika fase minyak didispersikan sebagai globul pada
lingkungan yang berair, sistem ini disebut emulsi minyak dalam air (m/a). ketika
minyak berperan sebagai fase kontinu, maka emulsi ini merupakan tipe air dalam
minyak (a/m) (Martin, 2011). Terdapat tipe emulsi dalam emulsi, yang dapat
berupa minyak dalam air dalam minyak (m/a/m) atau air dalam minyak dalam air
Universitas Sumatera Utara
11
(a/m/a). Emulsi tipe ini disiapkan dengan mendispersikan emulsi a/m dalam
larutan berair untuk membentuk emulsi a/m/a atau dengan mendispersikan emulsi
m/a dalam minyak membentuk emulsi m/a/m (Burgess, 2005).
Terdapat beberapa cara untuk menentukan tipe emulsi :
1. Sejumlah kecil pewarna larut air seperti metilen biru atau biru brilian FCF
dapat mewarnai emulsi. Jika air adalah fase luar (contoh tipe emulsi m/a),
pewarna akan larut dan secara seragam berdifusi diseluruh air. Jika emulsi
adalah tipe a/m, partikel dari pewarna akan menggumpal pada bagian
permukaan.
2. Teknik kedua meliputi pengenceran emulsi dengan air. Jika emulsi bercampur
dengan air, maka emulsi itu merupakan tipe m/a.
3. Menggunakan elektroda yang dihubungkan dengan sumber listrik dan
dicelupkan ke dalam emulsi. Jika fase luarnya adalah air maka jarum voltmeter
akan bergerak atau menyebabkan bola lampu menyala. Jika emulsi tersebut
memiliki fase luar minyak, maka emulsi akan gagal menghantarkan arus listrik
(Martin, 2011).
2.3.3 Jenis-jenis emulsi
Berdasarkan ukuran fase terdispersi, stabilitas dan kenampakannya, emulsi
terdiri dari beberapa jenis yaitu:
1. Emulsi konvensional (Makroemulsi)
Emulsi konvensional memiliki ukuran partikel di atas 400 nm (Burgess,
2005).Emulsi konvensional bersifat stabil secara kinetika, tidak stabil secara
termodinamika dan menyebabkan pemisahan fase. Makroemulsi mempunyai
warna yang keruh atau tidak tembus cahaya (buram) secara visual (McClements
dan Rao, 2011; Kriwet dan Mϋller-Goymann, 1995).
Universitas Sumatera Utara
12
2. Mikroemulsi
Mikroemulsi bersifat stabil secara termodinamika, secara visual campuran
bersifat transparan dari suatu sistem bifasik m/a yang distabilkan surfaktan (dalam
jumlah banyak) yang biasanya dikombinasi dengan ko-surfaktan (alkohol rantai
panjang). Diameter droplet pada mikroemulsi mempunyai jangkauan dari 100 Å
(0,01 µm) sampai 1000 Å (0,1 µm) (Ansel, 2011; Singh, et al., 2014; Burgess,
2005; Kemken, et al., 1992). Mikroemulsi a/m dan m/a dapat terbentuk secara
spontan dengan mengaduk fase minyak dan air dengan surfaktan yang dipilih
secara hati-hati. Tipe emulsi yang dihasilkan tergantung sifat minyak dan
surfaktan. Surfaktan hidrofilik dapat digunakan untuk menghasilkan emulsi m/a
yang transparan dari banyak minyak, termasuk minyak yang beraroma dan
minyak vitamin seperti vitamin A, D dan E. Surfaktan yang umumnya digunakan
adalah polisorbat 60 dan polisorbat 80 (Ansel, 2011).
3. Nanoemulsi
Nanoemulsi adalah emulsi yang stabil secara kinetika, termodinamika dan
secara visual jernih yang terdiri dari dua larutan yang tidak dapat bercampur (air
dan minyak) untuk membentuk fase tunggal dengan menggunakan surfaktan dan
ko-surfaktan yang sesuai dan memiliki diameter droplet dengan ukuran 0,5-100
nm (Shah, et al., 2010; Mishra, et al., 2014; McClements dan Rao, 2011).
2.3.4 Aplikasi emulsi melalui rute intravena
Ketika emulsi dihantarkan secara intravena, droplet-droplet lebih cepat
diabsorbsi oleh sel dari sistem retikuloendotelial, khususnya makrofag yang
terdapat di dalam hati. Laju klirens dari makrofag meningkat apabila ukuran
droplet semakin besar atau meningkatnya muatan permukaan, baik positif atau
negatif. Oleh karena itu, droplet emulsi yang distabilkan dengan surfaktan
Universitas Sumatera Utara
13
nonionik mempunyai klirens yang lebih lambat daripada droplet yang distabilkan
dengan fosfolipid yang bermuatan negatif (Martin, 2011).
Penggunaan emulsi parenteral digunakan untuk berbagai tujuan, seperti :
1. Sediaan depot lepas lama yang diberikan secara intramuskular, contoh : Injeksi
vitamin K1.
2. Emulsi nutrien minyak dalam air (m/a) yang diberikan secara intravena, contoh
: Intralipid 20% (Agoes,2009).
2.3.5 Teori emulsifikasi
Terdapat beberapa teori emulsifikasi yaitu:
A. Adsorpsi monomolekuler
Surfaktan, atau amfifil, mengurangi tegangan antarmuka karena adsorpsinya
pada antarmuka minyak-air membentuk selaput monomolekuler. Tetesan
terdispersi dilapisi oleh lapisan tunggal yang koheren yang menghambat dua
tetesan ketika satu sama lain berdekatan. Lapisan selaput tersebut bersifat
fleksibel sehingga mampu terbentuk kembali dengan cepat jika pecah atau
terganggu. Efek lain yang meningkatkan stabilitas adalah adanya muatan
permukaan yang menyebabkan tolak-menolak antara partikel-partikel berdekatan.
Hal ini menyebabkan secara praktek, lebih sering digunakan penggabungan bahan
pengemulsi daripada bahan pengemulsi tunggal.
B. Adsorpsi multimolekuler dan pembentukan selaput
Dalam teori ini, contoh bahan pengemulsi adalah koloid liofilik terhidrasi.
Penggunaannya sekarang telah menurun karena tersedia bahan pengemulsi
sintetis. Koloid ini aktif pada permukaan karena tampak pada antarmuka minyak-
air. Koloid ini berbeda dari bahan aktif permukaan sintetis, yaitu:
a. Tidak menyebabkan penurunan tegangan antarmuka yang berarti
Universitas Sumatera Utara
14
b. Zat ini membentuk suatu lapisan multimolekuler dan bukan lapisan
monomolekuler pada antarmuka.
Kerja koloid ini sebagai bahan pengemulsi disebabkan oleh efek yang kedua
karena selaput yang terbentuk kuat dan mencegah koalesensi. Efek pembantu dari
koloid ini adalah meningkatkan viskositas medium dispersi yang signifikan.
Karena bahan pengemulsi yang membentuk multilapisan disekitar tetesan selalu
hidrofilik, bahan pengemulsi tersebut cenderung menyebabkan pembentukan
emulsi m/a.
C. Adsorpsi partikel padat
Partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi hingga derajat tertentu oleh
minyak dan air dapat bekerja sebagai bahan pengemulsi. Hal ini disebabkan
partikel padat tersebut terkonsentrasi pada antarmuka, tempat partikel tersebut
menghasilkan suatu selaput partikulat di sekitar tetesan terdispersi sehingga
mencegah koalesensi. Serbuk yang lebih mudah dibasahi dengan air membentuk
emulsi m/a, sedangkan yang mudah dibasahi dengan minyak membentuk emulsi
a/m (Martin, 2011).
2.3.6 Zat pengemulsi
Zat pengemulsi dapat digolongkan berdasarkan sumber sebagai berikut:
a. Bahan karbohidrat, seperti gom, tragakan, agar dan pektin. Bahan-bahan ini
merupakan koloid hidrofilik yang ketika ditambahkan ke dalam air
menghasilkan emulsi m/a.
b. Substansi protein, seperti gelatin, kuning telur dan kasein. Substansi-substansi
ini menghasilkan emulsi m/a.
c. Alkohol dengan berat molekul yang tinggi,seperti alkohol stearat, setil alkohol,
dan gliseril monostearat. Umumnya bahan ini digunakan sebagai pengental dan
Universitas Sumatera Utara
15
penstabil emulsi m/a dari beberapa lotion dan salep yang digunakan secara
eksternal. Kolesterol dan derivat kolesterol dapat digunakan secara eksternal
untuk menghasilkan emulsi a/m.
d. Bahan pembasah, dapat berupa anionik, kationik atau nonionik yang diadsorpsi
pada permukaan minyak-air untuk membentuk selaput monomolekuler dan
mengurangi tegangan antar muka.
e. Partikel padat yang terdistribusi halus, dimana bahan ini akan diadsorpsi pada
bagian antarmuka antara dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk
suatu selaput pada partikel disekeliling globul terdispersi. Contohnya adalah
bentonit, magnesium hidroksida dan aluminium hidroksida (Ansel, 2011;
Martin, 2011).
2.3.7 Stabilitas fisik emulsi
Faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi adalah pH, suhu, proses
pembuatan, jumlah bahan pengemulsi yang digunakan untuk membuat emulsi,
perbandingan minyak dan bahan pengemulsi, interaksi komponen emulsi pada
bagian antarmuka dan aktivitas biologis (Iriart, et al., 2011). Secara umum, suatu
emulsi dikatakan tidak stabil secara fisika apabila fase internal membentuk
agregat globul bergerak ke bagian atas atau bawah emulsi untuk membentuk
lapisan terkonsentrasi serta jika semua atau sebagian cairan dari fase internal
memisah dan membentuk suatu lapisan yang berbeda pada bagian atas atau bawah
emulsi (Ansel, 2011). Stabilitas emulsi ditandai dengan tidak berubahnya
penampilan fisik, bau, warna dan sifat fisik lainnya (Martin, 2011).
2.3.7.1 Flokulasi (agregasi)
Flokulasi (agregasi) merupakan gabungan dari partikel emulsi yang kecil
membentuk agregat yang besar yang masih dapat diredispersi. Prosesnya bersifat
Universitas Sumatera Utara
16
reversibel dimana tetesan-tetesan minyak tetap utuh. Flokulasi dianggap
merupakan awal dari proses koalesensi (Banker dan Rhodes, 2002). Agregasi
berkaitan dengan potensial listrik dari droplet (Gennaro, 2001).
2.3.7.2 Creaming dan sedimentasi
Creaming adalah pergerakan ke atas dari droplet terdispersi terhadap fase
pendispersi. Sedimentasi adalah proses kebalikan dari creaming. Kejadian ini
terjadi tergantung terhadap massa jenis fase terdispersi dan fase kontinyu
(Gennaro, 2001; Langley dan Belcher, 2008). Proses ini bersifat reversibel tetapi
menyebabkan partikel semakin dekat dan memungkinkan terjadinya koalesensi
(Ansel, 2011).
Berdasarkan hukum Stokes, laju pemisahan tergantung terhadap ukuran
partikel dari fase terdispersi, perbedaan densitas antara kedua fase dan viskositas
fase eksternal. Dari hukum ini, dapat diketahui cara-cara yang digunakan untuk
mencegah terjadinya creaming adalah meningkatkan viskositas fase kontinu
dengan menambah bahan pengental seperti metilselulosa, tragakan atau natrium
alginat, mengurangi ukuran partikel globul dengan homogenisasi. Apabila ukuran
partikel dikurangi hingga diameter dibawah 2 hingga 5 µm, gerak Brown pada
suhu kamar cukup berpengaruh sehingga partikel-partikel mengendap atau
mengkrim lebih lambat dari yang diperkirakan dengan hukum Stokes. Selain itu,
dapat dilakukan dengan mengatur densitas fase eksternal dan internal hingga
memiliki nilai yang sama. Akan tetapi, perubahan suhu dapat menyebabkan
perubahan densitas pula (Ansel, 2011; Martin, 2011).
2.3.7.3 Koalesensi
Koalesensi adalah penggabungan penuh droplet sehingga mengurangi
jumlah globul lemak dan pemisahan dua fase yang tidak bercampur. Koalesensi
Universitas Sumatera Utara
17
terjadi karena pelindung mekanik atau elektrik tidak cukup untuk mencegah
pembentukan progresif droplet-droplet besar. Koalesensi dapat dicegah dengan
menggunakan beberapa bahan pengemulsi yang sinergis dan meningkatkan
viskositas dari selaput tipis emulsi antarmuka sehingga droplet yang satu susah
berkontak dengan droplet lainnya serta meningkatkan elastisitas selaput
antarmuka. Peningkatan elastisitas dapat menahan pemecahan droplet emulsi
(Gennaro, 2001; Banker dan Rhodes, 2002).
2.3.7.4 Inversi fase
Suatu emulsi dikatakan inversi karena berubah dari emulsi m/a menjadi a/m
atau sebaliknya. Inversi terjadi akibat penambahan elektrolit, mengubah rasio
fase-volume dan ketika emulsi disiapkan dengan pemanasan serta mencampur dua
fase yang akan didinginkan (Gennaro, 2001).
2.3.7.5 Pemecahan emulsi (breaking)
Pemecahan merupakan proses ireversibel. Jika emulsi pecah, pencampuran
sederhana tidak dapat mensuspensikan globul kembali karena selaput yang
melapisi partikel telah rusak dan minyak cenderung menyatu (Martin, 2011).
Gambar 2.4 Jenis ketidakstabilan emulsi
2.3.8 Komponen yang diperlukan untuk memformulasi emulsi lemak intravena
Komponen yang diperlukan untuk memformulasi emulsi lemak intravena
meliputi lemak, bahan pengemulsi dan fase air. Salah satu emulsi lemak intravena
Universitas Sumatera Utara
18
adalah Intralipid 20%. Intralipid 20% mengandung minyak kedelai yang
dimurnikan 20% sebagai komponen lemak, fosfolipid yang dimurnikan 1,2%
sebagai bahan pengemulsi, gliserin 2,2% dan air untuk injeksi sebagai fase air.
2.3.8.1 Lemak
Fase minyak untuk formulasi emulsi lemak intravena harus memiliki
kemurnian yang tinggi, tidak mengandung komponen yang tidak diinginkan
seperti peroksida, pigmen, hasil dekomposisi dan bahan yang tidak dapat
disaponifikasi seperti sterol dan polimer (Hippalgaonkar, et al., 2010). Asam
lemak tidak jenuh rantai panjang adalah senyawa reaktif yang dapat berubah
menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak terjadi melalui ikatan lemak dengan
oksigen. Pembentukan peroksida lemak mengarah pada terjadinya proliferasi
(pertumbuhan pesat untuk menghasilkan jaringan baru) melalui autooksidasi dan
menyebabkan ketidakstabilan dan kerusakan membran sel yang luas (Sulastri dan
Keswani, 2009). Adanya bahan yang tidak dapat disaponifikasi di dalam lemak
menunjukkan bahwa lemak tersebut tidak murni (Channon, 1926).
Lemak (trigliserida rantai panjang dan trigliserida rantai menengah)
umumnya digunakan sendiri atau dikombinasi. Contoh dari trigliserida rantai
panjang (Long Chain Triglyceride-LCT) yang dapat digunakan adalah minyak
kedelai, minyak bunga matahari, minyak wijen dan minyak jarak. Trigliserida
rantai menengah (Medium Chain Triglyceride-MCT) yang dapat digunakan
adalah minyak kelapa (Cannon, et al., 2008).
Trigliserida rantai panjang (LCT) merupakan sumber lemak utama untuk
pembuatan nutrisi parenteral. LCT menyediakan sumber kalori non-gula yang
tinggi, asam lemak esensial seperti asam linoleat (ω-6 PUFA)dan asam α-linolenat
(ω-3 PUFA), vitamin E dan vitamin K (Johnson, et al., 1990; Waitzberg, et al.,
Universitas Sumatera Utara
19
2006; Carpentier dan Dupont, 2000). Emulsi lemak yang mengandung LCT hanya
1½ bagian yang dimetabolisme untuk menghasilkan energi, sisanya disimpan
pada jaringan adiposa. Kandungan yang tinggi dari ω-6 PUFA telah menimbulkan
perhatian ketika lemak ini diberikan secara tunggal kepada pasien yang sakit kritis
dan pasien dengan fungsi imun yang lemah, sepsis dan trauma (Carpentier dan
Dupont, 2000). Tingginya kandungan ω-6 PUFA menyebabkan peningkatan
produksi asam arakidonat yang meningkatkan sintesis mediator pro-inflamasi,
faktor nekrosis tumor α dan interleukin-6 (de Meijer, et al., 2009;Fϋrst dan Kuhn,
2000). Meningkatnya kandungan ω-6 PUFA juga dihubungkan dengan aksi
imunosupresif seperti merusak sistem fungsi retikuler endotelial dan menghambat
fungsi limfosit, makrofag dan neutrofil (Waitzberg, et al., 2006). Selanjutnya,
banyaknya ikatan rangkap pada ω-6 PUFA dan ω-3 PUFA, menyebabkan lemak
tersebut cenderung mengalami peroksidasi (Calder, et al., 2010). Peroksidasi
lemak dapat menyebabkan kematian sel dan menyebabkan kerusakan DNA,
lemak dan protein (Calder, et al., 2010; Waitzberg, et al., 2006). Tambahan pula,
fitosterol, suatu isomer dari kolesterol dan komponen lain dari minyak kedelai,
dapat menyebabkan efek samping terhadap fungsi hati. (de Meijer, et al., 2009;
Clayton, et al., 1993).
Trigliserida rantai menengah (MCT) dapat mengatasi masalah yang
disebabkan LCT. MCT mempunyai keuntungan berupa efek melarutkan yang
tinggi, sedikit akumulasi pada jaringan adiposa dan hati, klirens yang cepat dan
resisten terhadap peroksidasi (Calder, et al., 2010; Ulrich, et al., 1996; Keenoy, et
al., 2002). MCT juga tidak menyebabkan sintesis mediator pro-inflamasi dan
dapat meningkatkan sistem imun (Keenoy, et al., 2002; Radermacher, et al.,
1992). Oksidasi MCT lebih cepat dan lebih lengkap daripada LCT sehingga lebih
Universitas Sumatera Utara
20
cepat menghasilkan energi. Akan tetapi, pemecahan MCT mungkin menyebabkan
ketosis, sehingga penggunaannya dibatasi terhadap pasien diabetes mellitus atau
kondisi klinis yang memburuk dengan kejadian asidosis atau ketosis (Fϋrst dan
Kuhn, 2000; Waitzberg, et al., 2006). MCT bukan merupakan sumber asam lemak
esensial dan oksidasi MCT menyebabkan peningkatan suhu tubuh, peningkatan
penggunaan energi dan menginduksi toksisitas pada sistem saraf pusat (Bach, et
al., 1988).
Minyak kedelai merupakan minyak yang kaya akan omega 3 dan omega 6
(asam lemak esensial). Penelitian menunjukkan bahwa minyak kedelai efektif
dalam mengurangi kandungan kolesterol dan Low Density Lipoprotein (LDL)
dalam serum serta berperan dalam mencegah aterosklerosis dan penyakit jantung
karena kemampuan minyak kedelai dalam mengatur keseimbangan eikosanoid
(Karasulu, et al., 2013).
Fraksi lemak dari biji kedelai mengandung asam lemak dengan rantai jenuh
yang banyak (polyunsaturated fatty acids) seperti asam linoleat dan asam
linolenat serta asam lemak yang terdapat satu rantai jenuh-asam oleat yang tinggi.
Fraksi lemak dari biji kedelai mengandung asam lemak sekitar 80%, 50% dari
asam lemak tersebut adalah asam linolenat. Kandungan asam lemak pada minyak
kedelai dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi asam lemak minyak kedelai (Banaszkiewicz, 1997) Asam lemak Jumlah (%) Asam palmitat 7-12 Asam stearat 2-5 Asam oleat 19-34 Asam linoleat 48-60 Asam linolenat 2-10 Asam arakidat <1.0
Universitas Sumatera Utara
21
2.3.8.2 Bahan pengemulsi
Bahan pengemulsi menstabilkan emulsi dengan mengurangi tegangan
antarmuka dari sistem dan menyediakan muatan permukaan yang cukup untuk
tolakan globul-globul. Pemilihan bahan pengemulsi tergantung profil toksisitas,
tempat yang akan dihantarkan dan kemungkinan menstabilkan sistem emulsi.
Lesitin alami, yang diperoleh dari kuning telur, telah digunakan untuk
menstabilkan emulsi yang diinjeksikan (Rossi dan Leroux, 2006). Bahan
pengemulsi ini bersifat biokompatibel, nontoksik dan dimetabolisme seperti
lemak alami (Floyd, 1999). Walaupun demikian, hidrolisis dari lesitin alami
selama emulsifikasi, sterilisasi dan penyimpanan menyebabkan pembentukan
lisofosfolipid, dengan sifat seperti deterjen, dan menyebabkan hemolisis.
Kombinasi surfaktan sintetis dengan lesitin, penggunaan lesitin yang dimurnikan
dan penambahan asam lemak bebas telah disarankan untuk mengurangi
pembentuk lisofosfolipid (Herman dan Groves, 1992).
Sebagian fosfolipid yang telah dimurnikan merupakan lesitin. Lesitin
merupakan campuran bahan yang kompleks. Lesitin telur umumnya mengandung
fosfatidilkolin. Lesitin banyak digunakan dalam produk farmasi seperti bahan
pendispersi, pengemulsi dan penstabil yang sering digunakan dalam injeksi
intramuskular dan intravena, formulasi nutrisi parenteral dan produk topikal. R1
dan R2 pada Gambar 2.5 adalah asam lemak yang dapat berbeda ataupun sama
(Rowe, et al., 2009). Umumnya asam lemak pada fosfolipid kuning telur
mengandung asam lemak polyunsaturated dari n-6 dan n-3, terutama asam
arakidonat dan asam dokosaheksaenoat; selain itu juga mengandung asam linoleat
dan asam oleat. Asam lemak jenuh yang terkandung berupa asam palmitat dan
stearat. Posisi asam lemak jenuh umumnya pada posisi sn-1 sedangkan asam
Universitas Sumatera Utara
22
lemak tidak jenuh pada posisi sn-2 (Li, et al., 2015;Tattrie, 1959). Sebagian bahan
dari fosfolipid yang telah dimurnikan selain lesitin mencakup asam fosfatidat,
fosfatidiletanolamin dan fosfatidilinositol (Rowe, et al., 2009).
Gambar 2.5 Struktur lesitin (Rowe, et al., 2009)
Gambar 2.6Struktur asam arakidonat (McMurry, 2008)
Gambar 2.7Struktur asam dokosaheksaenoat (McMurry, 2008)
Gambar 2.8Struktur asam oleat (McMurry, 2008)
Gambar 2.9Struktur asam linoleat (McMurry, 2008)
Gambar 2.10 Struktur asam palmitat (McMurry, 2008)
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 2.11 Struktur asam stearat (McMurry, 2008)
Gambar 2.12 Struktur asam fosfatidat (Rowe, et al., 2009)
Gambar 2.13 Struktur fosfatidilinositol (Rowe, et al., 2009)
Gambar 2.14 Struktur fosfatidiletanolamin (Rowe, et al., 2009)
2.3.8.3 Fase air
Bahan aditif seperti bahan modifikasi tonisitas, antioksidan dan pengawet
umumnya ditambahkan dalam fase berair. Pengaturan tonisitas dilakukan dengan
menambahkan gliserin, sorbitol atau xilitol. Sejumlah kecil natrium hidroksida
digunakan untuk mengatur pH sekitar 8 sebelum sterilisasi. pH yang sedikit basa
lebih disukai karena selama sterilisasi dan penyimpanan dapat menurunkan pH
akibat menghasilkan asam lemak bebas (Floyd, 1999; Hansrani, et al., 1983).
Universitas Sumatera Utara
24
2.3.9 Proses pembuatan emulsi lemak injeksi
Bahan yang larut dalam air dan larut dalam lemak dilarutkan dalam fase
air dan fase minyak. Bahan pengemulsi, seperti fosfatida, didispersikan dalam fase
air atau minyak. Kedua fase kemudian dipanaskan dan diaduk agar bahan
terdispersi. Fase lemak kemudian ditambahkan ke dalam fase berair dengan
mengontrol suhu dan agitasi (menggunakan mixer kecepatan tinggi) untuk
membentuk emulsi dengan dispersi kasar homogen (Floyd, 1999; Hansrani, et al.,
1983). Emulsi kasar dengan ukuran partikel dibawah 20 µm menghasilkan emulsi
stabil (Collins-Gold, et al., 1990). Emulsi kasar kemudian dihomogenisasi
(menggunakan microfluidizer atau homogenizer tekanan tinggi) pada tekanan
optimal, suhu dan jumlah siklus untuk mengurangi ukuran droplet dan
membentuk emulsi baik (Washington dan Davis, 1988; Innocente, et al., 2009).
Faktor-faktor seperti tipe dan konsentrasi fase minyak dan surfaktan,
pengaturan suhu, tekanan, jumlah siklus, dan lain-lain dapat mempengaruhi
ukuran droplet rata-rata selama homogenisasi tekanan tinggi dan mikrofluidisasi.
Proses pembuatan emulsi lemak injeksi dapat dilihat pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Proses pembuatan emulsi lemak untuk injeksi (Hippalgaonkar, et al., 2010)
Universitas Sumatera Utara
25
2.4 Larutan Elektrolit
Elektrolit adalah molekul-molekul yang berdisosiasi di dalam air menjadi
kation dan anion yang ekivalen. Terdapat banyak elektrolit yang penting secara
fisiologi, berupa Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-. Elektrolit dan beberapa
komponen bermuatan (seperti protein) terdistribusi tidak merata pada cairan tubuh
(Barret, et al., 2010). Ion-ion ini dinyatakan dalam mEq/L. Kebanyakan elektrolit
mempunyai fungsi fisiologis yang lebih dari satu; umumnya beberapa elektrolit
bekerja sama untuk memediasi peristiwa kimia. Peranan fisiologi elektrolit berupa
mempertahankan elektronetralitas kompartemen cairan; memediasi reaksi enzim;
mengubah permeabilitas membran sel; mengatur kontraksi dan relaksasi otot;
mengatur transmisi impuls saraf (Philips dan Gorski, 2014).
2.4.1 Infus larutan natrium klorida 0,9% (normal salin)
Infus larutan natrium klorida 0,9% (PT. Widatra Bhakti) dipasaran
dikemas dalam 500 ml dan mempunyai nilai osmolaritas 308 mOsm/L yang setara
dengan ion natrium (Na+) 154 mEq/L dan klorida (Cl-) 154 mEq/L. pH infus
larutan natrium klorida 0,9% adalah 4,5 sampai 7.
Kegunaan infus larutan natrium klorida 0,9% meliputi pengobatan shock
dan hiponatremia, perubahan cairan, metabolik alkalosis hiperkalsemia dan
pergantian cairan dalam diabetes ketoasidosis. Secara normal, natrium yang
dibutuhkan tubuh adalah 135 sampai 145 mEq/L. Fungsi fisiologis natrium
meliputi transmisi dan konduksi impuls saraf, bertanggung jawab terhadap
osmolalitas cairan vaskular sertamenjaga keseimbangan air. Natrium berpindah ke
dalam sel ketika kalium berpindah keluar sel akibat depolarisasi (aktivitas sel).
Ketika natrium berpindah keluar sel, kalium berpindah kembali ke dalam sel.
Proses ini disebut repolarisasi (aktivitas enzim) (Philips dan Gorski, 2014).
Universitas Sumatera Utara
26
Fungsi utama natrium adalah mempertahankan volume cairan
ekstraseluler. Natrium merepresentasikan 90% kation ekstraseluler karena natrium
tidak dapat melewati dinding sel membran dengan mudah (Philips, dan Gorski,
2014). Selain itu, natrium juga berperan dalam mengatur tekanan darah. Banyak
proses pada tubuh seperti otak, sistem saraf dan otot berfungsi apabila adanya
sinyal listrik yang diperoleh dari elektrolit (Akpan, et al., 2013).
Secara normal, klorida yang dibutuhkan tubuh adalah 95 sampai 108
mEq/L dan fungsi fisiologisnya berupa pengaturan osmolaritas serum;
keseimbangan cairan; keasaman cairan lambung; keseimbangan asam-basa;
berperan dalam pergantian oksigen-karbon dioksida (pergantian klorida). Klorida
merupakan anion terbanyak di cairan ekstraseluler (Philips dan Gorski, 2014).
2.4.2 Larutan Ringer
Larutan Ringer (PT. Widatra Bhakti) yang ada di pasaran dikemas dalam
500 ml mengandung 4,3 gram natrium klorida (NaCl), 0,15 gram kalium klorida
(KCl), 0,165 gram kalsium klorida (CaCl2.H2O) serta air untuk injeksi dengan
osmolaritas 311 mOsm/L yang setara dengan ion natrium (Na+) 147,1 mEq/L,
kalium (K+) 4 mEq/L, kalsium (Ca++) 4,5 mEq/L dan klorida (Cl-) 155,6 mEq/L.
Larutan Ringer adalah cairan dan elektrolit yang mengisi kembali cairan sel,
yang lebih sering digunakan untuk mengobati pasien dehidrasi. Konsentrasi
elektrolit dalam larutan Ringer menyerupai konsentrasi elektrolit yang terdapat
dalam plasma (Philips dan Gorski, 2014).
Secara normal, kalium yang dibutuhkan tubuh adalah 3,5 sampai 5 mEq/L.
Kalium adalah kation utama pada cairan intraseluler. Fungsi fisiologisnya
meliputi pengaturan volume cairan pada sel; menyebabkan transmisi impuls saraf;
kontraksi otot rangka, polos dan jantung; mengontrol konsentrasi H+,
Universitas Sumatera Utara
27
keseimbangan asam-basa; ketika kalium berpindah keluar dari sel, H+ berpindah
ke dalam dan sebaliknya; peranan dalam aksi enzim untuk produksi energi seluler.
Kalium adalah elektrolit intraseluler sebanyak 98% dan 2% pada cairan
ekstraseluler. Perubahan kalium di dalam darah dapat menyebabkan aritmia
(Akpan, et al., 2013; Philips dan Gorski, 2014).
Secara normal, kalsium yang dibutuhkan tubuh adalah 4,5 sampai 5,5
mEq/L atau 9 sampai 11 mg/dL. Fungsi fisiologis kalsium adalah
mempertahankan elemen tulang; mengatur aktivitas neuromuskular; memastikan
otot dan saraf berfungsi baik; mempengaruhi aktivitas enzim; mengubah
protrombin menjadi trombin (membantu dalam pembekuan darah). Kekurangan
kalsium yang tidak diobati dapat menyebabkan osteoporosis, hipertensi dan
aritmia jantung (Philips dan Gorski, 2014; Pravina, et al., 2013).
2.5 Pencampuran Parenteral
Pemberian injeksi sering dilakukan pencampuran dengan obat lain untuk
mengurangi ketidaknyamanan pada pasien akibat pemberian injeksi yang terpisah.
Pencampuran ini menyebabkan inkompatibilitas dan tidak aktifnya satu atau lebih
bahan obat atau timbulnya reaksi yang tidak diinginkan. Laporan kematian pasien
oleh pengendapan yang disebabkan oleh campuran dua bahan obat yang
inkompatibel. Terdapat dua jenis inkompatibilitas yaitu yang dapat diamati secara
visual dan yang tidak dapat diamati secara visual. Secara ideal, kombinasi obat-
obat parenteral tidak boleh diberikan kecuali telah dipelajari efek dan keamanan
kombinasi keduanya. Akan tetapi, kondisi ideal ini tidak mungkin terjadi. Oleh
karena itu, farmasis bertanggung jawab terhadap aspek fisika, kimia dan terapetik
dari kombinasi parenteral(Gennaro, 2001).
Universitas Sumatera Utara
28
2.6 Pencampuran Larutan Elektrolit dan Emulsi Lemak Intravena
Malnutrisi adalah kekurangan nutrisi kronik dan diakibatkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang nutrisi dan kemiskinan sehingga tidak dapat
memberikan nutrisi yang dibutuhkan (WHO, 1999).Pengobatan awal malnutrisi
adalah mengobati atau mencegah hipoglikemia dan hipotermia; dehidrasi dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit; mengobati septic shock; mulai
memberikan makan kepada anak; mengobati infeksi; mengidentifikasi dan
mengobati berbagai masalah, termasuk kekurangan vitamin, anemia parah dan
gagal jantung (WHO, 1999).
Apabila pasien malnutrisi tidak sadar diri atau mengalami kejang,
pengobatan harus diberikan secara intravena. Hipoglikemia untuk anak yang
mengalami malnutrisi parah dan tidak sadar diri dapat diberikan infus larutan
glukosa 10% (WHO, 1999). Infus larutan glukosa dapat meningkatkan glukosa
darah dan menghasilkan panas. Emulsi lemak intravena juga dapat meningkatkan
penghasilan panas pada tubuh, sebagai sumber energi dan mencegah kekurangan
asam lemak esensial (Green dan Macdonald, 1981; FDA, 2007). Pemberian lemak
dalam nutrisi parenteral dapat mencegah komplikasi metabolik karena infus
glukosa dalam jumlah yang tinggi (Innis, 2002). Komplikasi metabolik infus
glukosa adalah hiperglikemia (Medsafe, 2014).
Intralipid 20% dapat dicampurkan dengan larutan glukosa, asam amino,
vitamin dan larutan elektrolit. Terdapat ketentuan penambahan larutan elektrolit
yaitu Na+ (20-80 mmol/L); K+ (20-60 mmol/L); Ca2+ (2-5 mmol/L); Mg2+ (0,6-
3,5%), fosfat (2,5-15 mmol/L); Cl- (0-130 mmol/L); asetat (0-100 mmol/L); Zn2+
(0-0,07 mmol/L). Pencampuran harus digunakan selama 24 jam setelah disiapkan
untuk mengurangi kontaminasi mikroba (Medsafe, 2007).
Universitas Sumatera Utara
29
2.7 Inkompatibilitas secara Parenteral
Inkompatibilitas adalah reaksi yang tidak diinginkan yang terjadi antara
obat dengan larutan, wadah atau obat lainnya (Philips dan Gorski, 2014). Terdapat
tiga tipe inkompatibilitas yaitu inkompatibilitas fisika, kimia dan terapetik
(Scoville, 2013).
Inkompatibilitas fisika terjadi ketika kombinasi obat menyebabkan
perubahan visual yang dapat diamati (perubahan warna, pembentukan endapan
dan pembentukan gas) dan yang tidak dapat diamati (pembentukan partikel-
partikel yang tidak dapat diamati secara visual dan variasi pH) (Nagaraju, et.al.,
2015; Gikic, et al., 2000; Felton, 2013; Foinard,. et al., 2013). Inkompatibilitas
secara fisika dapat diamati dengan mengetahui sifat kimia dari bahan yang
dicampurkan. Contoh inkompatibilitas secara fisika adalah garam natrium dari
asam lemah, seperti fenitoin natrium atau fenobarbital natrium yang mengendap
dalam bentuk asam bebas ketika diberikan bersamaan dengan cairan yang bersifat
asam, garam kalsium mengendap ketika ditambahkan medium basa dan obat yang
membutuhkan pelarut khusus seperti diazepam mengendap apabila dicampurkan
dengan larutan berair karena diazepam kurang larut di dalam air (Felton, 2013).
Inkompatibilitas kimia menggambarkan degradasi kimia dari satu atau
lebih obat yang dicampurkan, menyebabkan toksisitas atau inaktivitas secara
terapetik (Foinard, 2013; Felton, 2013; Philips dan Gorski, 2014). Degradasi tidak
selamanya bersifat dapat diamati tetapi reaksi obat atau larutan obat menghasilkan
perubahan yang berkaitan dengan keutuhan atau potensi obat (Nagaraju, et.al.,
2015). Inkompatibilitas secara kimia terjadi akibat hidrolisis, oksidasi, reduksi
atau pembentukan kompleks. Inkompatibilitas kimia yang tidak dapat diamati
dapat dideteksi dengan metode analisis (Felton, 2013).
Universitas Sumatera Utara
30
Inkompatibilitas terapetik adalah pencampuran yang sulit untuk diamati
sebab menghasilkan aktivitas terapetik yang antagonis atau sinergis. Contoh obat
yang menghasilkan inkompatibilitas terapetik adalah penisilin atau kortison
mempunyai efek antagonis terhadap heparin dan menyebabkan heparin tidak
bekerja sebagai antikoagulan (Felton, 2013).
Tabel 2.2 memberikan contoh reaksi obat yang inkompatibel dan Tabel 2.3
memberikan data inkompatibilitas obat dengan emulsi lemak intravena..
Tabel 2.2 Contoh reaksi obat yang inkompatibel (Bentley, et al., 2015). Obat Inkompatibel Alasan Inkompatibilitas Aksi yang diambil Bahan tambahan yang mengandung Ca2+dan bahan aditif yang mengandung PO43- dalam nutrisi parenteral
Berhubungan dengan konsentrasi
Kurangi konsentrasi bahan aditif; jangan menambahkan kalsium dan fosfat dalam jangka waktu yang dekat.
Amfoterisin dan elektrolit
Inkompatibilitas ionik; amfoterisin dapat mengendap
Hindari larutan elektrolit (contoh : natrium klorida); gunakan infus glukosa 5% bila memungkinkan dan larutan dengan pH ˃ 4,2.
Furosemid dan larutan pH rendah
Larutan pH rendah Kemungkinan mengendap pada larutan pH rendah (glukosa 5%); sebagai pengganti, gunakan natrium klorida 0,9%.
Atrakurium dan larutan pH tinggi
Larutan pH tinggi Inkompatibel dengan larutan pH tinggi, harus diberikan terpisah dengan obat pH tinggi seperti tiopental untuk mencegah pengendapaan.
Lidokain dan propofol Memisah dan koalesensi pada pembawa propofol karena lidokain merusak sifat surfaktan sebagai pembawa
Gunakan lidokain konsentrasi rendah atau memberikan lidokain dan propofol pada jalur yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
31
Tabel 2.3 Daftar obat yang tidak kompatibel dengan emulsi lemak intravena (NCCU, 2011).
Obat A Obat B
Emulsi lemak intravena
Acyclovir Amfoterisin B Ampisilin Kalsium klorida Kalsium glukonat Ciprofloxacin Diazepam Furosemid Heparin (> 1unit/ mL) Indometasin Garam magnesium Midazolam Fenitoin Natrium bikarbonat Sulfametoksazol/Trimetoprim
2.8 Particle Size Analyzer
Particle size analyzer adalah alat yang digunakan untuk mengukur ukuran
partikel dari bentuk sediaan larutan, suspensi, emulsi dan aerosol. Particle size
analyzer mempunyai beberapa teknik yaitu teknik laser diffraction, dynamic light
scattering dan image analysis (Horiba, 2010). Teknik dynamic light scattering
juga dikenal sebagai Photon Correlation Spectroscopy. Hasil utamanya adalah
nilai rata-rata dari distribusi intensitas dan indeks polidispersitas untuk
menjelaskan lebar distribusi (Horiba, 2010; Goldburg, 1999).
Teknik ini berlandaskan pada analisis intensitas cahaya yang dihamburkan
partikel akibat adanya gerak Brown. Intensitas diukur pada sudut tertentu
(umumnya 90o) dengan detektor sesuai yang dapat mendeteksi hamburan cahaya
yang cepat dari tetesan lemak yang tersuspensi atau mengalami difusi (USP,
2012).Gerak Brown merupakan gerak acak partikel akibat tumbukan dengan
molekul pelarut disekitarnya. Semakin besar partikel, semakin lambat gerak
Universitas Sumatera Utara
32
Brown. Semakin kecil partikel, semakin cepat gerak Brown. Viskositas dan
temperatur juga perlu diketahui dalam pengukuran sampel (Malvern, 2014).
Intensitas cahaya (I) yang dihamburkan proporsional dengan diameter
pangkat enam (d6) yang sesuai dengan teori Rayleigh. Kecepatan gerak Brown
dinyatakan sebagai koefisien difusi translasi (D). Ukuran partikel dihitung
berdasarkan koefisien difusi translasi dengan persamaan Stokes-Einstein yaitu
(Horiba, 2010; Malvern, 2014) :
𝑑𝑑(𝐻𝐻) = 𝑘𝑘𝑘𝑘
3𝜋𝜋ƞ𝐷𝐷
Keterangan : d(H) : diameter hidrodinamik k : konstanta Boltzmann’s T : suhu absolut D : koefisien difusi translasi η : viskositas
Universitas Sumatera Utara