70957705 Laporan Tutorial 1

57
PENGARUH EKSTRAK DAUN TEH HIJAU (Camelia sinensis L) TERHADAP PERTUMBUHAN Porphyromonas gingivalis (Penelitian Eksperimental Laboratoris) PROPOSAL Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember Oleh DIAN RETNO UTARI NIM 081610101057

description

man

Transcript of 70957705 Laporan Tutorial 1

Page 1: 70957705 Laporan Tutorial 1

PENGARUH EKSTRAK DAUN TEH HIJAU (Camelia sinensis L)

TERHADAP PERTUMBUHAN Porphyromonas gingivalis

(Penelitian Eksperimental Laboratoris)

PROPOSAL

Diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Oleh

DIAN RETNO UTARI

NIM 081610101057

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS JEMBER

2011

Page 2: 70957705 Laporan Tutorial 1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah malpraktek tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan

istilah yuridis. Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya

tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi, baik dibidang

kedokteran maupun dibidang hokum.

Tindakan yang salah secara yuridis diartikan melalui putusan pengadilan.

Tindakan yang salah dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan

kerugian baik nyawa, maupun harta benda. Malpraktek menyangkut pelaksanaan

profesi yang memiliki ciri sebagai berikut:

1. Ilmu pengetahuan yang diperoleh secara sistematika dan dalam waktu

relatif lama

2. Orientasi utama lebih pada kepentingan umum

3. Ada mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi, melalui kode

etik oleh organisasi profesi

4. Ada reward sistem yang tidak didasarkan pada tujuan komersial.

Transaksi terapeutok dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian

antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjkian itu adalah

usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan

hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar.

Agar dapat berlaku dengan sah, transksi tersebut harus memenuhi empat syarat,

pertama ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan

untuk membuat sesuatu, ketiga mengenai suatu hal atau obyek, dan yang keempat

karena suatu kausa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hokum dengan

transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya

transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku

dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci, ataupun menegaskan

Page 3: 70957705 Laporan Tutorial 1

berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan

bagi dokter atau pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan

perlindungan hak pasien dapat dilihat pada undang-undang 29 tahun 2004 tentang

praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara

lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan

pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak

menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban

pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi

yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau

petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan

dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran harus

memberikan pelayanan medik secara professional, serta memiliki etik dan moral

yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bagi dokter dan

dokter gigi dalam menjalankan tugasnya. Dalam beberapa dekade terakhir ini

istilah malpraktik banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik

bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita

flashback beberapa dekade ke belakang, khususnya di Indonesia anggapan banyak

orang, dokter adalah professional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas

profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat

sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administrative

yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atau

hasil perawatan atau pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam laporan tutorial ini adalah:

1. Bagaimanakah Standar Operating Procedure (SOP) penanganan

Phlegmon?

2. Apakah yang dimaksud dengan:

a. Malpraktek

Page 4: 70957705 Laporan Tutorial 1

b. Kelalaian medik

c. Resiko medik

d. Visum et Repertum

3. Apa saja dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan

praktik kedokteran gigi?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan laporan tutorial ini adalah agar mahasiswa

mampu mengetahui dan memahami:

1. Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon.

2. Pengertian dan penjelasan:

a. Malpraktek

b. Kelalaian medik

c. Resiko medik

d. Visum et Repertum

3. Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan praktik

kedokteran gigi.

Page 5: 70957705 Laporan Tutorial 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malpraktek

Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak

rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat

kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun

perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam

bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang

merupakan sebutan "genus" dari kelompok perilaku profesional medis yang

"menyimpang" dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi

pasiennya.

Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional

misconduct or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering

professional services to exercise that degree of skill and learning commonly

applied under all the circumstances in the community by the average prudent

reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the

recipient of those services or to those entitled to rely upon them".

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis,

melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan,

perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis

menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice

involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of

the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the

patient, which is the direct cause of an injury to the patient."

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa

malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada

misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-

mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Page 6: 70957705 Laporan Tutorial 1

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam

bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum

administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan

yang merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan

rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,

misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum

teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.

Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi

pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan

motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).

2.2 Kelalaian Medik

Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek

(malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan

kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama, padahal

istilah malpraktek tidak sama dengan kelalaian medik.

Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam

malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain

malpraktek mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik.

Perbedaan yang lebih jelas dapat terlihat dari istilah malpraktek yang selain

mencakup unsur kelalaian, juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan

dengan sengaja (dolus), dilakukan dengan sadar dan akibat yang terjadi

merupakan tujuan dari tindakan tersebut walaupun ia mengetahui atau seharusnya

mengetahui bahwa tindakannya tersebut bertentangan dengan hukum yang

berlaku.

Misalnya dengan sengaja melakukan pengguguran kandungan tanpa alasan

(indikasi) medis yang jelas, melakukan operasi pada pasien yang sebenarnya tak

perlu dioperasi, memberikan surat keterangan dokter yang isinya tidak benar.

Sebaliknya, istilah kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan

yang dilakukan secara tidak sengaja (culpa), kurang hati-hati, tak peduli/tak acuh,

dan akibat yang ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena

Page 7: 70957705 Laporan Tutorial 1

adanya kelalian yang terjadi di luar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien

dan tidak mengobatinya sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal.

Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia

bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana

lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai

menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal

ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah

mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain

maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa

maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata).

Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari

beberapa hal:

a.Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya

untuk mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan

pasien berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU

no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik

adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter

atau dokter gigi tentunya tidak dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya

tidak seperti yang diharapkan atau merugikan pasien, sepanjang tindakan yang

dilakukannya telah memenuhi standar profesi medik yang ada.

b.Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya

dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar

profesinya. Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi

mempunyai pendapat yang berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain

mengenai penyakit pasien belumlah berarti bahwa ia telah menyimpang, karena

untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan atau tidak harus berdasarkan

fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut dengan bantuan pendapat ahli atau

saksi ahli.

c.Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara

penyebab dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali

Page 8: 70957705 Laporan Tutorial 1

pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang

dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya.

Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya

kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien

dengan unsur kelalaian dokter.

2.3 Resiko Medik

“Saya berpendapat bahwa tempat praktik seorang dokter bukan saja untuk

memperbaiki kesehatan tetapi juga untuk menghilangkan nyeri dan kesakitan.”

(Francis Bacon, 1561-1626).

Pengertian resiko medic dalam beberapa pernyataan :

1. Informed Consent.

Pasien telah sepakat untuk mendapatkan perlakuan medic dari dokter

sepenuhnya atas resikonya, menyadari sepenuhnya atas segala resiko, atas

segala tindakan dokter. Dengan kesepakatan ini pasien tidak akan mengadakan

tuntutan hukum di suatu hari nanti, apapun yang terjadi. Dokter harus harus

menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik.

2. Pernyataan IDI.

“Setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar mengharuskan

adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah

sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya

tindakan medis yang bersangkutan serta resiko yang berkaitan dengannya.”

3. Pasal 2 ayat (3), pasal 3 ayat (1), dan pasal 7 ayat (2), peraturan menteri

kesehatan Republik Indonesia nomor : 585/Men.Kes/Per/IX/1989, tentang

Persetujuan Tindakan Medis, menyebutkan istilah resiko secara eksplisit dan

tersirat, antara lain :

a. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan

medic yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.

Page 9: 70957705 Laporan Tutorial 1

b. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medic yang mengandung resiko tinggi

harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak

memberikan persetujuan.

c. Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya

dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.

2.4 Visum et Repertum

Visum et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter

berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan

permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat

sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan

pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab

kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi

kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran

forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran

Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah

pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.

Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan.

Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik

keluarga kembali.

Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat

serendah-rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian

tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi

berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama".

Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk

memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang

memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam

bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).

Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang

berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan

Page 10: 70957705 Laporan Tutorial 1

bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan

keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak

ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak

diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya

pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak

tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).

Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada

majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan

sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga

dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk

menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal

sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa

berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban

melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan

melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang

diperiksanya.

Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah

diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli

Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang

menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan

hukum, bukan sumpah.

Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada

pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap

saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah

dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam

hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik).

Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.

Page 11: 70957705 Laporan Tutorial 1

Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan

bahwa demi kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan

keterangan apabila diperlukan kepada media massa.

Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya

sepotong kayu yang telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah

seorang manusia hidup yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan

tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti

hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum

kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam

pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-

juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan

kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang

memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan

berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.

Page 12: 70957705 Laporan Tutorial 1

MAPING

&Penyelenggaraan Praktik Kedokteran

UU Praktek Kedokteran No.

STR SIP

KKI Profesi

Korban

Sesuai SOP

Resiko Medik

Tidak sesuai SOP

Malpraktek

Non hukum (organisasi) Hukum

Pelanggaran etika Pelanggaran disiplin Pelanggaran hukum

Internal melalui Majelis

Kehormatan Etika

Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia

Korektif dan

Edukatif

Pidana:

1. Neglicence2. Recklessness3. Intensional

Perdata (wanprestasi)

Administratif

Tuntutan hukum

Visum et Repertum

Keputusan tetap

Penjara/kurungan denda

denda

Page 13: 70957705 Laporan Tutorial 1

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Standar Operating Procedure (SOP) penanganan Phlegmon

Ludwig’s angina ditandai dengan infeksi/selulitis bilateral yang parah,

yang mengenai region servikal, sublingual, submandibular, disertai pergeseran

posisi lidah dan kemungkinan tersumbatnya saluran pernafasan. Ludwig’s angina

merupakan kondisi yang sangat berbahayabdan pasien harus dirawat-inap untuk

mendapatkan terapi antibiotik intravena, prosedur bedah yang ekstensif untuk

drainase dan pmantauan yang teratur. Kenutungan lain dari rawat inap adalah

lebih mudah melakukan pengambilan radiograf, pemeriksaan laboratorium, dan

berbagai tindakan konsultatif yang lain. Misalnya pemeriksaan CT bisa

menyebabkan adanya gas (emfisema pada jaringan lunak) dalam jaringan atau

kantung-kantung nanah yang tidak terdeteksi sebelumnya. Karena dekatnya letak

sarana laboratorium, maka dapat dilakukan pengiriman bahan untuk kultur

(khususnya untuk pemeriksaan bakteri anaerob) dengan cepat, misalnya sampel

darah dan jaringan. Perhitungan sel-sel darah lengkap (CBC), hemoglobin dan

hematokrit, ESR, dan penentuan elektrolit serum (ini sangat kritis apabila pasien

menerima terapi cairan intravena) yang sering atau dilakukan setiap hari,

semuanya bisa dilakukan dengan mudah. Baragkali keuntungan utama dari rawat

inap adalahtersediya pelayanan rujukan, erutama untuk penyakit menular, terapi

respiratorik dan diabetik. Tempat yang paling baik yntyk melakukan perawatan

adalah rumah sakit.

Phlegmon dasar mulut (submandibular atau sublingual space) atau

Ludwig’s Angina. Ludwig’s Angina dikemukakan pertama kali oleh Von Ludwig

pada 1836 sebagai selulitis dan infeksi jaringan lunak disekeliling kelenjar

mandibula. Kata Angina pada Ludwig’s Angina dihubungkan dengan sensasi

tercekik akibat obstruksi saluran nafas secara mendadak. Ludwig’s Angina

merupakan infeksi yang berasala dari gigi kibat penjalaran pus dari abses

Page 14: 70957705 Laporan Tutorial 1

periapikal tergantung jenis gigi (sepei pada fasial spaces). Kriteria yan mendasari

suatu keadaan disebut dengan Ludwig’s Angina yaitu :

1. Proses selulitis pada submanibular space baik unilteral atau bilateral

2. Keterlibatan mandibular space baik uniletral atau bilateral

3. Adanya gangrene dengan keluarnya cairan serosangiinous yang

meragukan ketika dilakukan insisi dan tidak jelas apakan itu pus

4. Mengenai fasia, otot, jaringan ikat dan sedikit jaringan kelenjar

5. Penyebara secara langsung dan tidaka ada penyebarab secara limfatik

Gejala Ludwig’s Angina yaitu : sakit dan bengkak pada leher, leher

menjadi merah, demam, le,ah , lesu, mudah capek, bingung dan perubahan

mental, dan kesulitan bernafas gejala ini menunjukkan suatu keadaan darurat)

yaitu obstruksi jalan nafas. Pasien Ludwig’s Angina akan mengeluh bengkak yang

jelas dan jaringan lunak pada anterior leher, jika dipelpasi tidak terdapat fluktuasi.

Komplikasi paling serius dari Ludwig’s Angina adalah adanya penekanan jalan

nafas akibat pembengkakan yang berlangsung hebat. Diperlukan tindakan bedah

segera dengan trakeostomisebagai jaln nafas buatan. Kemudian jika saluran nafas

telah ditanganidapat diberikan antibiotic dan dilakukan incise ada pus untuk

mengurangi tekanan. Perlu dilakukan perawatan gigi pada penyebab infeksi

(sumber infeksi)baik perawatan endodontic maupun periodontik.

3.2 Malpraktek

3.2.1 Pengertian Malpraktek

Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian

malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari “malpractice”

yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang

timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh

dokter.

b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice,

atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan

Page 15: 70957705 Laporan Tutorial 1

teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri

khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan “how to practice the medical

science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana

kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan

praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah

“maltreatment”.

c. Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter

yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut

melakukan praktek buruk

d. Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai “pelaksanaan

atau tindakan yang salah”.

e. Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh

dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau

kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya

untuk kepentingan pribadi.

f. Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai

pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1)Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar

yang telah ditentukan oleh profesi.

2)Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam

menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan,

dan sesudah perawatan.

g. Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter

untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran

dilingkungan yang sama.

Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical

malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :

a. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai “a

form of professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff

patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner”

Page 16: 70957705 Laporan Tutorial 1

(malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau

cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan

sebagai akibat langsung dari tindakan dokter).

b. Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai “any professional

misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry

duties, evil practice, or illegal or immoral conduct…” (perbuatan jahat dari

seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak

cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek

yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).

Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas semua sarjana

sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan

yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan

sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka

atau cacat atau bahkan meninggal dunia.

Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh

beberapa sarjana diatas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek

medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin

disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke

pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter. Selain itu dalam

berbagai literatur, permasalahan malpraktek ataupun permasalahan yang

berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai patokan adalah profesi

dokter.

Akan tetapi menurut penulis, malpraktek medik tidak hanya dilakukan

oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan

oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa

disebut tenaga kesehatan.

Didalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri

dari :

a. Tenaga medis

b. Tenaga keperawatan

Page 17: 70957705 Laporan Tutorial 1

c. Tenaga kefarmasian

d. Tenaga kesehatan masyarakat

e. Tenaga gizi

f. Tenaga keterapian fisik

g.Tenaga keteknisan medis.

Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja

melakukan tindakan malpraktek medis. Jadi tidak hanya profesi dokter saja.

Misalnya tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan. Mereka juga

mungkin melakukan tindakan malpraktek medis karena perawat maupun bidan

juga sama seperti dokter yang profesinya memberikan pelayanan kesehatan

kepada masyarakat.

3.2.2 Jenis-jenis malpraktek

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi

dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis

(yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.

a. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan

tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.

Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan

etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan

merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku

untuk seluruh bidan.

b. Malpraktek Yuridis

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu

malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal

malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan

tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik

Page 18: 70957705 Laporan Tutorial 1

oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum

(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi

terlambat melaksanakannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi

tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.

d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah

memenuhi beberapa syarat seperti:

a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).

b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).

c. Ada kerugian

d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar

hukum dengan kerugian yang diderita.

e. Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena

kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat

unsur berikut:

a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.

b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim

dipergunakan.

c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti

ruginya.

d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan

adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang

berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal

demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian

pada dirinya.

Page 19: 70957705 Laporan Tutorial 1

Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang

disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis).

Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya

perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek

perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan

sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang

tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang

tertinggal tersebut.

Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan

tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.

2) Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami

cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam

melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat

tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:

a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus

aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus

gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,

serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. Contoh kasus

intensional:

Melakukan aborsi tanpa indikasi medik

Melakukan euthanasia

Membocorkan rahasia kedokteran

Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang

dalam keadaan emergensi meskipun tahu tidak ada dokter lain

yang akan menolongnya (negative act).

Menerbitkan surat keterangan yang tidak benar.

Membuat visum et repertum yang tidak benar.

Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan

dalam kapasitasnya sebagai ahli.

Page 20: 70957705 Laporan Tutorial 1

b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya

melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan

standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan

tindakan medis. Contoh kasus recklessness:

Melakukan tindakan medis yang tidak sesuai prosedur (legeartis).

Melakukan tindakan medis tanpa informed consent.

c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat

atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang

kurang hati-hati. Contoh kasus negligence:

Alpa atau kurang hari-hati sehingga meninggalkan gunting dalam

perut pasien.

Alpa atau kurang hati-hati sehingga pasien menderita luka-luka

(termasuk cacat) atau meninggal dunia.

3) Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan

pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya

menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan

yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin

yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

3.2.3 Teori-teori malpraktek

Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek

yaitu:

a. Teori Pelanggaran Kontrak

Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek

adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum

seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang

bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga

kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru

terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.Apabila

terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan

Page 21: 70957705 Laporan Tutorial 1

pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak

atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak

mungkin, misalnya dikarenakan sehubungan dengan adanya hubungan kontrak

pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga

kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama.

Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat

misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.penderita

gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain

yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut

perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan

memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum

telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.

b Teori Perbuatan Yang Disengaja

Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk

menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang

dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara

fisik mengalami cedera (asssult and battery).

c. Teori Kelalaian

Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah

kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang

dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu

kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat

(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan

merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum. Selain dikenal adanya

beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari

kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para

aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat

mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat

dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.

Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan

pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:

Page 22: 70957705 Laporan Tutorial 1

a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)

Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung

dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk

melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko

dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini

mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan

tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.

b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)

Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh

pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.

c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)

Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan

malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus

dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah

sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek.Teori pembelaan ini bersifat

spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya,

yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat

tergantung pada penilaian pengadilan.

d. Peraturan Good Samaritan

Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan

gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat

dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi

suatu kelalaian yang sangat mencolok.

e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)

Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari

seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan

penyelesaian bersama.

Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan

sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab

perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam

kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak

Page 23: 70957705 Laporan Tutorial 1

atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk

menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu

perdamaian antara kedua belah pihak.

Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori

hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga

mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab

bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut

kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga

kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan

padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada

umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan

sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini

diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang

tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi

tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam

menjalankan tugasnya.

f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)

Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka

waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan

hukum yang lain.

g. Workmen’s Compensation

Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus

malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama,

maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek

yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan

workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi

setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa

dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan

adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan

boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori

Page 24: 70957705 Laporan Tutorial 1

pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah

sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak

sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat

dijadikan alasan pembelaan baginya.

Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa

seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada

peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun

terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam

memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus

memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan

keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat,

seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan

tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika

terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang

ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara

hukum.

3.3 Kelalaian medik

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus

merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya

kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu

(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)

yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama

pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya

kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang

dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya

(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan

kerugian atau cedera bagi orang lain.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance

dan nonfeasance.

Page 25: 70957705 Laporan Tutorial 1

a. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak

tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis

tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).

b. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya

melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

c. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya.

Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error

(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada

kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum - khususnya

adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian

pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.

3.4 Resiko medik

Istilah “risiko medik” mempunyai makna yang sangat luas. Risiko medik

terbangun dari kata “Risiko” dan “Medik”. Risiko sendiri berasal dari kata “risk”

yang dalam bahasa Inggris berarti: “The possibility of something bad happening

at some time in the future; a situation that could be dangerous or have a bad

result“(Wehmeir, 2005), atau kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak baik

dikemudian hari; situasi yang dapat membahayakan atau mempunyai hasil yang

tidak baik.

Kata “medik” disini dimaksudkan untuk “tindakan medik” yang dilakukan

dokter. Arti tindakan medik adalah “suatu tindakan yang dilakukan terhadap

pasien berupa diagnostik atau terapeutik”. Dari perspektif “risk” dan “tindakan

medik” dapat kita artikan yang dimaksud dengan risiko medik adalah keadaan

atau situasi yang tidak diinginkan yang mungkin timbul setelah dilakukannya

tindakan medik oleh dokter.

Pengertian tindakan medik sendiri Menurut Peraturan Menteri Kesehatan

(PERMENKES) Nomor 585/MEN.KES/PER/IX/1989 dan sebagaimana telah

dicabut dengan (PERMENKES) Nomor 290/MEN.KES/PER/III/2008, dengan

Page 26: 70957705 Laporan Tutorial 1

pengertian tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,

diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter

gigi terhadap pasien. Dalam PERMENKES juga disebut bahwa Tindakan Invasif

adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan

tubuh. Jadi, tindakan medis dapat dilakukan antara lain dengan tiga cara, yaitu:

(1). Penegakan diagnosa,

(2). Melakukan terapi (pengobatan),

(3). Melakukan tindakan invasif.

Tindakan invasif sebenarnya merupakan bagian dari terapi. Namun, karena

tindakan ini sangat sarat dengan aspek etik, hukum dan medis (misalnya dengan

melukai tubuh pasien saat melakukan tindakan operasi), maka dalam penulisan ini

dikelompokkan menjadi bagian yang berdiri sendiri.

Risiko tindakan medis dapat terjadi dalam setiap rangkaian proses

pengobatan, seperti pada penegakan diagnosa, saat dilakukan operasi, penentuan

obat dan dosisnya, pasca operasi dan lain sebagainya. Risiko medik juga dapat

terjadi di semua tempat dilakukannya pengobatan: di rumah sakit, klinik, praktik

dokter, apotik, di rumah pasien, di tempat umum (pada kegiatan immunisasi,

misalnya), dan lain-lain.

Bentuk risiko medik bermacam-macam, seperti: kesalahan medic (medical

error, preventable medical error); kecelakaan medik (medical accident; medical

misadventure atau medical mishap); kelalain medik (medical negligence); adverse

event; adverse incident dan lain sebagainya.

Daldiyono menggunakan istilah “Risiko dari aspek upaya pengobatan”

yang artinya: “hasil yang tidak memuaskan, tidak diharapkan, yang sebagian tidak

dapat diprediksi dalam proses pertolongan kepada orang sakit” (Daldiyono, 2007).

Selanjutnya Daldiyono mengaitkan risiko medik ini dengan “musibah

medik”, yang dapat terjadi pada berbagai fase atau tingkatan:

a. Saat memilih dokter,

b. Kesimpulan atau diagnosis dokter yang kurang tepat,

c. Obat yang tidak tepat,

d. Risiko efek samping obat,

Page 27: 70957705 Laporan Tutorial 1

e. Risiko pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan untuk diagnosis,

f. Risiko operasi:

g. Risiko bius/ anastesi,

h. Risiko proses pembedahan,

i. Risiko proses pemulihan pasca operasi, termasuk proses penyembuhan

yang tidak lancar dan infeksi pasca operasi.

Dari beberapa literatur berkenaan dengan “medical risk” diketahui ada

perbedaan antara risiko relatif (relative risk) dan risiko mutlak (absolute risk).

Risiko relatif tindakan medik artinya risiko itu bersifat individual dan tidak

diperkirakan sebelumnya, sedangkan risiko mutlak bersifat umum, artinya semua

orang yang mendapatkan tindakan medik itu akan mendapatkan risiko yang sama

dan sudah diperkirakan sebelumnya.

Risiko relatif dapat dicontohkan dengan orang yang tidak tahan dengan

suntikan penicillin sehingga menyebabkan reaksi anafilaktik. Risiko mutlak

misalnya rontoknya rambut setelah seseorang menjalani kemoterapi pengobatan

kanker.

Risiko medik ini harus diantisipasi oleh dokter agar tidak muncul gugatan

atau tuntutan malpraktik medik. Untuk itulah dibutuhkan Persetujuan Tindakan

Kedokteran (informed consent) seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri

Kesehatan (PERMENKES) Nomor 290/MEN.KES/PER/III/2008 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran.

3.5 Visum et Repertum

3.5.1 Definisi dan dasar hukum Visum et Repertum

Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas

permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap

seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh

manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk

kepentingan peradilan.

Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai

berikut:

Page 28: 70957705 Laporan Tutorial 1

Pasal 133 KUHAP menyebutkan:

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban

baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan

penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.

Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1)

butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah

penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan

kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan

ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka

penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum,

karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang

menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP).

Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan

sanki pidana :

Pasal 216 KUHP :

Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau

permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang

tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya,

demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak

pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-

halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam

dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda

paling banyak sembilan ribu rupiah.

Page 29: 70957705 Laporan Tutorial 1

3.5.2 Peranan dan fungsi Visum et Repertum

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana

tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses

pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia,

dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang

tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai

pengganti barang bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter

mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian

kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah

menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca

visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada

seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada

perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk

persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau

diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang

memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang

bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat

hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180

KUHAP.

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk

mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu

berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi

Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau

membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu

Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit

tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.

3.5.2 Struktur dan isi Visum et Repertum

Page 30: 70957705 Laporan Tutorial 1

Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai

berikut:

a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

b. Bernomor dan bertanggal

c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan

temuan pemeriksaan

f. Tidak menggunakan istilah asing

g. Ditandatangani dan diberi nama jelas

h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut

i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada

lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik

POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut

dapat diberi visum et repertum masing-masing asli

k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,

dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun

3.6 Dasar-dasar yang mengatur pelanggaran dalam penyelenggaraan

praktik kedokteran gigi

3.6.1 Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29

TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN, Bab X

Ketentuan Pidana:

Pasal 75

(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik

kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

Page 31: 70957705 Laporan Tutorial 1

(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi

sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi

bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik

kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau

denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar

atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah

yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki

surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau

surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling

banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara

lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan

kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang

telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi

Page 32: 70957705 Laporan Tutorial 1

dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73

ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda

paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter

atau dokter gigi yang:

a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 41 ayat (1);

b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 46 ayat (1); atau

c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Pasal 80

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi

hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

3.6.2 Menurut PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

NOMOR 15/KKI/PER/VIII/2006 TENTANG ORGANISASI DAN TATA

KERJA MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN

INDONESIA DAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN

KEDOKTERAN INDONESIA DI TINGKAT PROVINSI, BAB IV

SANKSI DISIPLIN

Page 33: 70957705 Laporan Tutorial 1

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3)

adalah :

1. pemberian peringatan tertulis;

2. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;

dan/atau

3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

yang dimaksud dapat berupa:

a. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik

sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau

b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap

atau selamanya;

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan

kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa :

a. pendidikan formal; atau

b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi

pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana

pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan

paling lama 1 (satu) tahun.

3.6.3 Menurut KEPUTUSAN NOMOR: SKEP/035/PB PDGI/V/2008

TENTANG PEDOMAN KERJA MAJELIS KEHORMATAN ETIK

KEDOKTERAN GIGI INDONESIA PENGURUS BESAR PERSATUAN

DOKTER GIGI INDONESIA, Pasal 32S a n k s i :

Sanksi dilaksanakan oleh pengurus PDGI sesuai keputusan sidang

MKEKG

1. Sanksi tersebut berupa:

a. Peringatan lisan berlaku paling lama 6 bulan

Page 34: 70957705 Laporan Tutorial 1

b. Peringatan tertulis berlaku paling lama 6 bulan

c. Penarikan rekomendasi PDGI untuk mendapatkan SIP paling lama 12 bulan.

2. Sanksi peringatan lisan disampaikan langsung kepada teradu dalam sidang

MKEKG.

3. Sanksi peringatan tertulis disampaikan secara langsung kepada teradu dalam

sidang MKEKG, diikuti dengan peringatan tertulisnya.

4. Dalam hal peringatan lisan telah disampaikan tetapi tetap tidak ada

perbaikan paling lama 6 bulan, dilanjutkan dengan peringatan tertulis.

5. Peringatan tertulis dapat diberikan sebanyak 3 kali .

6. Dalam hal peringatan tertulis telah diberikan sebanyak 3 kali tetap belum

ada perbaikan, diusulkan pencabutan rekomendasi untuk memperoleh SIP.

7. Keputusan MKEKG yang telah diterima oleh teradu ditindaklanjuti oleh PDGI.

Page 35: 70957705 Laporan Tutorial 1

BAB 4. KESIMPULAN

Pada skenario, dokter bisa dikategorikan dalam resiko medik karena dokter

sudah melaksanakan perawatan/tindakan sesuai dengan SOP dibidangnya

yaitu seorang dokter gigi puskesmas untuk memberikan antibiotik. Tetapi bisa

juga dikatakan sebagai malpraktek karena dokter tidak segera merujuk ke

rumah sakit karena penanganan Phlegmon harus ditangani oleh ahli bedah

mulut dan tidak tersedianya sarana dan prasaran yang memadai di Puskesmas

untuk menangani pasien.

Untuk pelanggarannya, dokter gigi tersebut bisa diberikan hukuman pidana

dan atau hukuman perdata.

Page 36: 70957705 Laporan Tutorial 1

DAFTAR BACAAN

Gordon, W. Pedersen, D.D.S. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC

J Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Isfandyarie, A. Malpraktek dan Resiko Medik. http://id.shvoong.com/books/1933978-malpraktek-dan-resiko-medik/

Pane, A.H. Analisa Teoritis Kemungkinan Penerapan “Daubert Standard” Sebagai Syarat Admisibilitas (Admissibility) Keterangan Ahli Dalam Perkara Dugaan Malpraktik Medik di Indonesia. http://amirhamzahpane.wordpress.com/2011/04/15/analisa-teoritis-kemungkinan-penerapan-daubert-standard-sebagai-syarat-admisibilitas-admissibility-keterangan-ahli-dalam-perkara-dugaan-malpraktik-medik-di-indonesia/ April 15, 2011

Sampurna, B. Malpraktik Kedokteran. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat. http://malprate.webs.com/malpraktikkedokteran.htm

Siswoyo. Masalah Malpraktek Dan Kelalaian Medik Dalam Pelayanan Kesehatan. http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2085:masalah-malpraktek-dan-kelalaian-medik-dalam-pelayanan-kesehatan&catid=69:kesehatan&Itemid=241 Monday, 14 June 2010 06:21

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. http://hukumkes.wordpress.com/2009/05/26/uu-no-292004-tentang-praktik-kedokteran/

http://www.freewebs.com/malprate/malpraktikkedokteran.htm

http://www.dr-thia.com/2009/12/visum-et-repertum-pendahuluan-visum-et.html

http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2007/11/malpraktik-atau-malpraktek_17.html