111277151-EPIDEMI-OBESITAS
-
Upload
miftahul-jannah -
Category
Documents
-
view
125 -
download
0
description
Transcript of 111277151-EPIDEMI-OBESITAS
EPIDEMI OBESITAS
OBESITY EPIDEMIC
ABSTRACT
Obesity has become a serious public health problem throughout the world. The
World Health Organization (2006) states that the global trends of obesity keep on
getting higher. This phenomenon is occurred both in older age and younger age as well
as in children. Childhood obesity becomes a more essential problem to be tackled since
there are various health consequence of it in later life. There has been eating habit
changes in big cities from consuming healthy food containing complex carbohydrate,
and high fiber to junk food containing a lot of protein, fat, sugar, and salt but the fiber
and lack of physical activities will increase obesity.
PENDAHULUAN
ebagaimana dengan Negara berkembang lainnya, pembangunan nasional yang
dilaksanakan di Indonesia dalam semua aspek kehidupan telah meningkatkan taraf
hidup dan umur harapan hidup. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam bidang
kesehatan dan gizi telah dapat menurunkan penyakit infeksi dan kekurangan gizi di
beberapa daerah. Namun sebagai hasil samping dari keberhasilan pembangunan
nasional. Indonesia mengalami era transisi masyarakat, salah satunya adalah transisi
demografik yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologic dalam bidang
kesehatan.
Kondisi ini ditandai dengan jumlah penyakit menular yang mulai menurun di
beberapa daerah dan penyakit tidak menular (jantung coroner, diabetes, kanker,
hipertensi dan lain-lain) yang meningkat. Pola yang sama terjadi pada keadaan gizi,
gejala gizi lebih mulai meningkat terutama di daerah-daerah perkotaan. Hal ini dapat
dijelaskan dari laporan rumah sakit tahun 2000, tentang gambaran penyebab utama
kematian penderita rawat inap di RS yang disebabkan penyakit tidak menular, seperti
penyakit stroke 4,8%, gagal ginjal 3,7% penyakit jantung 3,7%, diabetes mellitus tak
bergantung insulin 2,1% dan penyakit iskemik 2,1% dari seluruh kematian.
Salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular adalah adanya
peningkatan pendapatan yang menimbulkan pergeseran pola konsumsi. Melalui
kemajuan ilmu pengethuan dan teknologi, masyarakat dalam waktu relative singkat
telah diperkenalkan dengan selera makanan gaya fast food dan junk food. Pola makan
masyarakat di perkotaan bergeser dari pola makan tradiosional yang mengandung
banyak karbohidrat, serat, dan sayuran ke pola makan berat yang kompisisinya terlalu
banyak mengandung protein, lemak, gula, garam tetapi kurang serat. Disamping itu
perbaikan ekonomi juga menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat
berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi
lebih berupa kegemukan dan obesitas. Penelitian Monia (1994) yang dikutip dari Untoro
(2003) menunjukkan bahwa hipertensi didapati pada 19,9% usila gemuk dan 29,8%
pada usila dengan obesitas. Sedangkan di Negara maju kelompok masyarakat usia 20-
45 tahun dengan gizi lebih memiliki risiko relative sebesar 5,9 kali untuk hipertensi dan
2,9 kali untuk diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok gizi normal.
S
WHAT IS OBESITY?
Obesity and overweight are defined as abnormal or excessive fat accumulation
that presents a risk to health. The body mass index (BMI) is the measurement of obesity
in crude population that is a person’s weight (in kilograms) divided by the square of his
or her height (in meters). A person with a BMI of 30 or more is commonly considered
obese while a person with a BMI equal to or more than 25 is considered overweight.
Table 1
Weight Classification Based On BMI
Category BMI (kg/m2)
Underweight < 18,5
Normal 18,5 – 24,9
Overweight 25,0 – 29,9
Class I Obesity 30,0 – 34,9
Class II Obesity 35,0 – 39,9
Class III Obesity > 40,0
National Institutes of Health (NIH) 1998
FREKUENSI OBESITAS
Sensus Kesehatan tahun 1989 menunjukkan prevalensi obesitas di daerah
perkotaan adalah 1,1 persen sedangkan di pedesaan adalah 0,7 persen, kata dokter gizi
Fiastuti Witjaksono MSC. SpGK di Jakarta, Rabu.Tenyata, lanjutnya, 10 tahun
kemudian, angka ini naik menjadi 5,3 persen di perkotaaan dan 4,3 persen di desa.
Pada tahun 2004, Himpunan Studi Obesitas Indonesia menemukan angka
obesitas pada pria telah naik menjadi 9,16 persen dan untuk wanita 11,2 persen. Dalam
lokakarya media bertemakan "Pola Makan Gizi Seimbang Untuk Atasi Kekurangan dan
Kelebihan Berat Badan" dokter Fiastuti mengatakan, terus naiknya tingkat obesitas baik
untuk kelompok pria maupun wanita di tanah air menunjukkan bahwa obesitas
merupakan persoalan serius karena jumlah penderitanya terus meningkat.
Awalnya obesitas hanya di temukan di antara orang usia dewasa di wilayah
urban, kemudian terus meningkat memasuki semi-urban dan pedesaan, dan menyerang
kelompok umur yang lebih muda. Menurut data Riskesdas 2007 di pulau Sulawesi. Data
yang diterima dan direcleaning hingga diperoleh sampel akhir sebesar 12.469
responden. Variabel dependen yaitu obesitas, dengan melihat dua indikator obesitas
(indikator IMT; obesitas umum dan indikator lingkar perut; obesitas sentral) terdapat
prevalensi obesitas umum sebesar 14,9 dan prevalensi obesitas sentral sebesar 11,8%.
Prevalensi obesitas ini bervariasi pada berbagai tingkatan umur, cenderung terjadi pada
perempuan, penddikan tertinggi tamat Perguruan Tinggi, bekerja sebagai ibu rumah
tangga, dan tinggal di perkotaan.
DISTRIBUSI OBESITAS
Sejumlah ilmuwan meneliti berat badan warga negara di seluruh dunia untuk
mengetahui di mana saja kasus kelebihan berat badan dan obesitas banyak terjadi.
Mereka menggunakan data Body Mass Indexes (BMI) dan tinggi badan orang dari
berbagai negara yang tercatat pada 2005. Dari data tersebut ilmuwan meneliti rata-rata
berat tubuh orang dewasa. Mereka mengelompokkan BMI sesuai ambang batas, yakni
25 untuk orang kelebihan berat badan dan 30 untuk orang yang mengalami obesitas.
berat badan kolektif orang dewasa penderita obesitas di seluruh dunia pada 2005
adalah 3,9 juta ton, sementara rata-rata berat satu orang dewasa adalah 62 kilogram.
Saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih
(overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada
tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700
juta di antaranya obesitas.
Peneliti juga mengelompokkan negara mana saja yang memiliki kasus obesitas
terbanyak. Berikut daftar negara-negara tersebut seperti dilansirLivescience, Minggu
(17/6) waktu setempat.
10 Negara terberat (untuk Negara
penduduk lebih dari 100.000 orang)
- Amerika Serikat
- Kuwait
- Kroasia
- Qatar
- Mesir
- Uni Emirat Arab
- Trinidad dan Tobago
- Argentina
- Yunani
- Bahrain
10 Negara dengan jumlah teringan
- Korea utara
- Kamboja
- Burundi
- Nepal
- DR. Congo
- Bangladesh
- Sri lanka
- Ethiopia
- Vietnam
- Eritrea
Laporan Statistik Kesehatan Dunia 2012 dari WHO menyebutkan secara global
kawasan Amerika merupakan penyumbang angka terbesar jumlah penderita obesitas
atau kegemukan.
“Di setiap kawasan di dunia, obesitas meningkat dua kali lipat antara 1980–
2008. Saat ini, setengah miliar orang atau sekitar 12 persen orang tergolong menderita
obesitas,” kata Ties Boerma, Direktur Departemen Statistik Kesehatan dan Sistem
Informasi WHO. Tingkat obesitas terbesar ditemukan di kawasan Amerika, di mana 26
% dari orang dewasanya menderita kegemukan. Tingkat obesitas terendah terdapat di
kawasan Asia Tenggara (3 %).
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa di seluruh kawasan di dunia, wanita
penderita obesitas lebih banyak dari pria. Obesitas dinilai sebagai penyakit berbahaya
karena meningkatkan risiko menderita diabetes, penyakit kardiovaskular dan beberapa
jenis kanker.
Penyakit tidak menular saat ini menyumbang dua pertiga angka kematian di
seluruh dunia. Hal itu membuat WHO memberikan perhatian khusus antara lain dengan
menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi untuk membahas peningkatan angka
kematian akibat penyakit hati dan jantung, diabetes serta kanker diseluruh dunia.
Pertemuan “The World Health Assembly” yang digelar di Jenewa, Swiss pada 21-26
Mei juga akan melakukan evaluasi perkembangan dari setiap negara serta
membicarakan langkah selanjutnya.
Menurut WHO, sekitar 80 persen kasus baru penyakit kanker, diabetes, dan
kardiovaskular di dunia sekarang ini bukan tercatat di negara Barat yang kaya. Justru
penyakit tidak menular itu meningkat pesat di negara-negara miskin yang di satu sisi
menghadapi kelaparan, tetapi di sisi lain juga masalah obesitas.
”Ledakan obesitas itu sebagai konsekuensi impor gaya hidup negara-negara
Barat,” kata Francis Collins, Pemimpin Institut Nasional Kesehatan Amerika Serikat,
dalam acara World Health Summit di Berlin, Jerman, pertengahan Oktober ini.
THE DETERMINANT FACTORS OF OBESITY
Fundamental cause of obesity and overweight is an energy imbalance between
calories consumed on one hand, and calories expended on the other hand. Societal
trends and “obesogenic” environments which promote the consumption of excess
calories and physical inactivity are considered as part of the reason of global trends of
obesity within the community found at home, work, school and community as well as
promote overeating and in the meantime, individual eat too many calories whereas not
getting enough physical activity. Policy and environmental change initiatives that make
healthy choices in nutrition and physical activity accessible, inexpensive and easy will
likely bear out most effective in addressing obesity.
Meanwhile, some clinical aspects can increase the risk for childhood obesity as
well such as maternal nutritional deprivation and smoking; infants born to women with
insulin dependent diabetes; maternal smoking during pregnancy; rapid weight gain
during the first year of life and fewer hours of sleep during infancy the susceptibility to
overweight is influenced by genetic (heredity) and determine how the body burn
calories for energy and fat storage, appetite and satiety as well.
Furthermore, according to WHO (2006), global increases in overweight and
obesity are attributable to several factors including energy intake due to a global shift in
diet towards increased intake of energy-dense foods that are high in fat and sugars but
low in vitamins, minerals and other micronutrients as well as a drift towards decreased
physical activity due to the increasing sedentary nature of many forms of work,
changing modes of transportation and rising urbanization.
Obesity and social appetite
The recent explosive increase in prevalence of obesity reflects a complex
interplay among: changes in individual behavior, changes in community structure,
lifestyle and the built environment and possible exposures to certain synthetic
chemicals. The access to resources such as money to purchase food, grocery stores, land
to plant food or transportation to the stores can be a structure factors that can influence
the condition of family feeding practice. Constraints may occur when resources are
lacking for example when a person’s capacity for choosing and preparing food is
restricted in relation to family members whose food preferences are unfeasible to
please. Conversely, food choice conditions may be enabled when adequate money,
transportation and food retail outlets are easily accessible and time to attain food does
not contend with other activities (e.g. employment).
Social appetite is a term applied by Williams and Germov to refer to the social
patterns of food production, distribution and consumption. The social factors that
influence why we eat the way we do are considered noteworthy to be taking into
account. While we all have individual food likes and dislikes, many of our food choices
reflect our social appetite that is the social, cultural, political, religious and economic
factors that affect what we eat.
Food production
Firstly, foods were used to be prepared and consumed in the home, however
nowadays, there has been a shift away towards food being prepared outside the home.
As a consequence, recently, fast cars/fast foods concept is being popular within the
community. Freund and Martin state that fast cars/fast foods based on application of
mass production techniques to food is related with a particular socio material landscape
and motorized urban sprawl that both endorse hyper consumption. Moreover, by a range
of managerial and technological means, food production is standardized so that more
and more food products are uniform, cheap, and readily available. In Indonesia, there
were only 29 fast foods outlet from overseas and 6 local fast foods in 1992 yet this
number increased sharply in 2005 that reached 237 and 129 respectively.
The reality that more people are moving to the city compounds the problem. In
1900, just 10 percent of the world population settled cities. Today, that figure is nearly
50 percent. Obesity is consider more prevalent in the city since urban areas have more
changing in many sectors compare to rural areas. A greater range of food choices is
being provided in the city with lower prices and urban activities often need less physical
action than rural work as well. In addition, as more and more women work away from
home, they may be too busy to shop for, prepare and cook healthy meals at home. There
has been dual effect of female work-force possessing food-preparation skills, whilst
taking away the time obtainable for women to complete these skills in their own homes.
Moreover, according to a study findings regarding maternal employment and
early childhood overweight from the UK Millennium Cohort Study, young children's
access to healthy foods and physical activity may be hindered by long hours of maternal
employment rather than lack of money. Policies supporting work-life balance may assist
parents diminish potential barriers. Linn and Novosat (2008) argue that parents can no
longer keep pace either with innovations in advertising or increased spending,
suggesting the need for more rigid government regulations on food marketing to
children.
Food distribution
The social structure can influence some conditions in the community. According
to FAO (2009), the less advantage people have less food choices and more limited
access to nutrition education whereas the rich can select to adopt a healthy lifestyle.
Among lower socio-economic and socially disadvantaged people, excess weight gain is
more widespread. The most important contributer to the problem in this group of people
is food security issue that is defined as “the ability of individuals, households and
communities to acquire appropriate and nutritious food on a regular and reliable basis,
and using socially acceptable means”.
Furthermore, it is considered that some industrialized countries selling the high-
fat remainders such as cuts of skin, fat and little meat to other countries yet they
producing leaner cuts of meat for their own people. Meanwhile, other dietary changes
has been happened without influences from outside. For instance, in China, the
consumption of high-fat foods soared as soon as per capita income grew fourfold after
the economic reforms of the late 1970s, and while incomes grew, the income needed to
purchase a fatty diet decreased.
Affordability and food availability of healthful food are essential, mainly for less
advantaged people in low income neighborhoods. Certain foods such as whole grain
products and fruits and vegetables are not as available in fast food outlets, school
canteen, workplace cafeterias or other places convenient to people out of home
activities as are more highly processed food items and they often cost more. A study by
Galvez et al (2008) found that inequalities in food store availability exist by
race/ethnicity in New York has implications for racial/ethnic differences in dietary
quality, obesity and obesity-related disorders.
Food consumption
The preparation and consumption of food is an inherently social activity;
whether over the family dinner table or eating-out with friends at a café. Food can also
be used as a means of social differentiation between groups of people and as a social
marker of identity. For example, people of different social classes tend to choose
different foods. People’s food habits are an effect of their social environment or the
consequence of personal choice. Milburn et al study on adolescent eating practice
showed that from parent and adolescent perspectives, eating practice are intensely
rooted in the contexts of home and school and relationships with parents and peers.
Eating pattern was resulted from the group’s practiced with foods, and this experience
was transmitted through the culture.
Some foods are of concern for its nutritional composition, for instance, fast food.
The food is typically energy dense (that is contains a high amount of kilojoules or
calories for each gram of the product), being high in fat, which is a concentrated form of
energy. The foods are high in salt and sugar as well. The more fat, sugar, and salt we
consume, the more our taste preferences shift toward foods with high concentration of
these ingredients. Foods such as fruits and vegetables that low in fat, sugar and salt but
high in nutrients are more likely to taste plain in comparison. When children’s palates
become familiarized to foods high in fat, sugar and salt, this will become difficult since
an extensive body of research shows that food preferences are formed in childhood.
The fast food industry as well as the broader food industry has altered the food supply
towards products that are high in energy (that is more fattening) as a result of the change
in taste preferences. This trend has also increased the amount of kilojoules available for
consumption and is one of the structural factors contributing to an environment
favorable to obesity in western countries. A study conducted by Hadi in 2004 in
Yogyakarta show that obese adolescents are more likely to consume fast food 2-3 times
than non obese adolescents. Meanwhile low consumption of fruits and vegetables and
increased consumption of sweetened beverages are associated with the high of waist
circumference and overweight among female. Children who consumed three or more
restaurant meals in the three days of recall consumed, on average, 2004 kJ (479 kcal)
more energy daily than children consuming no restaurant meals and had higher intakes
of fat, saturated fat, calcium and soda.
DETERMINAN OBESITAS LAINNYA
Faktor genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga ia diduga memiliki penyebab genetik.
Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen melainkan juga makanan dan gaya
hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Sering kali sulit memisahkan faktor
gaya hidup dengan faktor genetik. Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata
faktor genetik memberikan pengaruh 30% terhadap berat badan seseorang.
Faktor genetik berperan penting untuk memicu timbulnya obesitas. Bila salah
satu orang tua mengalami obesitas maka anaknya memiliki kecenderungan mengalami
obesitas sebesar 40 %. Bila kedua orang tua mengalami obesitas maka kecenderungan
anaknya untuk menjadi obesitas sebesar 80 %.
Faktor lingkungan dan gaya hidup
Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi
lingkungan juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk
perilaku/ pola gaya hidup, misal jenis makanannya, frekuensi makan dan jenis aktivitas.
Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya tetapi ia bisa mengubah
pola makan dan aktivitasnya.
Pola makan ini ditentukan oleh jenis makanan sehari-hari dan tingkat kesibukan
remaja. Konsumsi fast-food dan soft-drink yang cenderung dipilih oleh remaja yang
memiliki banyak kesibukan turut menyumbang risiko peningkatan berat badan.
Pergaulan remaja juga salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi. Remaja
cenderung mengonsumsi fast-food dan soft-drink untuk menciptakan citra diri yang
modern dalam komunitasnya.
Remaja cenderung meninggalkan makan sederhana dan sehat seperti tempe, tahu
dan sayuran. Selain pola makan dan pergaulan, kurangnya aktivitas fisik juga turut
menjadi penyebab timbulnya obesitas. Remaja masa kini lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menonton televisi, browsing internet dan bermain video game dimana
kegiatan ini akan mengurangi pembakaran kalori dan meningkatkan penimbunan lemak
dalam tubuh.
Terlebih bila kegiatan ini dibarengi dengan acara ngemil (makan makanan
kecil). Dari ukuran mungkin makanan kecil memang berukuran kecil seperti sanck,
biskuit dan krupuk, tapi jika dimakan beberpa kantong plastik sama saja dengan makan
porsi besar bila dilihat dari jumlah kalorinya. Namun demikian masih banyak yang
belum sadar akan pentingnya aktivitas fisik seperti olah raga untuk menjaga kesehatan.
Faktor psikis (phikologis)
Sebab-sebab psikologis terjadinya kegemukan, ialah bagaimana gambaran
kondisi emosional yang tidak stabil (unstabil emotional) yang menyebabkan individu
cenderung untuk melakukan pelarian diri (self-mechanism defence) dengan cara banyak
makan-makanan yang mengandung kalori atau kolesterol tinggi. Kondisi emosi ini
biasanya bersifat ekstrim, artinya menimbulkan gejolak emosional yang sangat dahsyat
dan traumatis.
Emosi bisa mempengaruhi kebiasaan makan seseorang. Ia dapat bereaksi
terhadap emosinya dengan cara makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah
persepsi diri yang negatif. Ini merupakan masalah serius yang banyak menimpa wanita
muda yang menderita obesitas. Hal ini yang membuat mereka paling banyak mencari
cara mengurangi berat badan. Ada pula pola makan abnormal yang menjadi penyebab
obesitas, yaitu binge (makan dalam jumlah sangat banyak) dan sindrom makan
malam.Kedua pola ini biasanya dipicu oleh stress dan kekecewaan.
Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak
bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan atau tekanan batinnya lebih diakibatkan
sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat
seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung
malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal
yang berhubungan dengan perilaku makan.
Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih
banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan
kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat
mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang
mencekam (McKenna,1999). Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada
kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan
yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan
empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria,
merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk
didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film
yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosannkan. Sedangkan pada
orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film
yang tegang maupun film yang membosankan.
Obesitas juga dapat disebabkan oleh emosi. Orang mungkin makan berlebihan
ketika depresi, merasa putus asa, marah, bosan, dan berbagai sebab lain yang
sebenarnya tidak butuh makan. Ini umum terjadi pada wanita muda. Perasaan mereka
berpengaruh terhadap kebiasaan makanya.
Faktor kesehatan Ada beberapa penyakit yang bisa menyebabkan obesitas, diantaranya
hipotiroidisme (menurunnya kadar hormon tiroid dibawah normal yang berpengaruh
pada perkembangan dan kecerdasan) , sindrom cushing (kelenjar adrenalin
memproduksi hormon kartisol berlebihan yang bisa mengakibatkan bertambahnya berat
badan) dan sindrom Prader-Willi (gangguan genetik sangat langka yang berpengaruh
pada kecerdasan).
Beberapa penyakit bisa menyebabkan obesitas, diantaranya:
- Hipotiroidisme
Hipotiroid atau kadar tiroid yang rendah. Kadar tiroid yang rendah juga
dapat menjadi pemicu berat badan seseorang mudah naik, yang umumnya
banyak dialami oleh kaum wanita. Seseorang yang kekurangan cairan tiroid
dalam tubuhnya menyebabkan lemak yang menumpuk dalam darah, susah
dicairkan dan laju metabolisme tubuh berjalan lamban.
- Sindroma Cushing
Sindrom Cushing adalah kondisi ketka terjadinya produksi hormon
kortisol yang berlebihan sehingga mneyebabkan akumulasi lemak terutama pada
bagian wajah, perut dan pundak bertambah lebar, kecuali tangan dan kaki tetap
langsing. Keadaan seperti inilah yang bertanggung jawab dengan tingkat kortisol
yang semakin meningkatnya kenaikan berat badan terutama pada bagian perut.
- Sindroma Prader-Willi
- Beberapa kelainan saraf yang bisa menyebabkan seseorang banyak makan.
Obat-obatan dan pengobatan Obat-obatan tertentu (misalnya steroid dan beberapa obat anti depresi ) bisa
menyebabkan bertambahnya berat badan.
Jika seorang wanita yang sedang menjalani program KB dengan Pil KB,
biasanya mempengaruhi siklus menstruasi menjadi tidak beraturan. Obat pil KB sangat
berpengaruh pada peningkatan nafsu, obat-obat steroid, anti peradangan, anti depresan
dan obat diabetes juga menjadi pemicu kenaikan berat badan wanita yang kadang tidak
dapat dijelaskan.
Faktor perkembangan pada masa kanak-kanak
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak menyebabkan bertambahnya
jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama yang menjadi
gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali lebih banyak
dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel lemak tidak
dapat dikurangi. Sehingga cara mengurangi berat badan hanya bisa dilakukan dengan
cara mengurangi jumlah lemak dalam setiap sel.
Aktivitas fisik Aktivitas fisik yang minim atau kurang merupakan salah satu penyebab utama
obesitas. Seseorang yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori. Sehingga bila ia
mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang
seimbang, ia akan mengalami obesitas.
Tabel 2
Distribusi Responden menurut karakteristik Varieabel, Riskesdas 2007
Karekteristik Variabel Jumlah (n= 484 278)
N %
Aktifitas Fisik Kurang 288
239
60,57
Cukup 196
546
39,43
Wilayah Perkotaan 186
168
45,44
Perdesaan 298
617
54,56
Umur (tahun) 18-30 163
477
32,32
31-65 321
308
67,68
Jenis Kelamin Perempuan 251
267
52,40
Laki – laki 233
518
47,60
Status Kawin Kawin 404
411
84,22
Belum kawin 80 374 15,78
Pendidikan ≤ SD
SMP
247
005
88 694
52,14
17,58
SMA + 149
086
30,28
Pekerjaan Petani/buruh/nelayan 178
272
34,27
Pelayan
jasa/pedagang
116
522
26,91
TNI/PNS/BUMN 27 491 4,73
Tidak bekerja 162
500
34,09
Kebiasaan Merokok Tidak merokok 313
021
64,83
Merokok 171
764
35,17
Kebiasaan Makan sayuran dan buah Kurang 247
014
47,87
Cukup 237
771
52,13
Kebiasaan makan makanan berlemak 7x/minggu 65 020 16,43
< 7x/minggu 419
765
83,57
Tabel 2 menunjukkan persentase aktivitas fisik responden menurut variabel
kovariat. Persentase aktivitas fisik kurang di perkotaan (68,42%) lebih banyak
dibandingkan dengan di perdesaan (54,03%). Dari variabel umur diketahui bahwa
persentase aktivitas kurang lebih banyak pada kelompok umur 18-30 tahun (64,74%)
dibandingkan dengan kelompok umur 31-65 tahun (58,58%). Menurut jenis kelamin
tampak bahwa persentase aktivitas fisik kurang pada perempuan lebih banyak (62,47%)
dibandingkan dengan laki-laki (58,48%). Persentase aktivitas fisik kurang pada
responden yang belum kawin (68,13%) lebih banyak daripada responden yang sudah
kawin/janda/duda (59,15%). Sementara persentase aktivitas fisik kurang pada responden
dengan pendidikan SMA ke atas (70,98%) lebih tinggi dibandingkan dengan responden
dengan pendidikan ≤ SD (53,90%) dan SMP (62,39%).
Menurut jenis pekerjaan responden diketahui bahwa persentase aktivitas fisik
kurang tertinggi terdapat pada responden yang bekerja sebagai TNI/PNS/BUMN, yaitu
sebesar 72,84 persen, sedangkan persentase aktivitas fisik kurang yang terendah
terdapat pada responden yang bekerja sebagai petani/buruh/nelayan, yaitu sebesar 45,38
persen. Selanjutnya dilihat dari kebiasaan merokok tampak bahwa persentase aktivitas
fisik kurang lebih tinggi pada responden yang tidak merokok (63,17%) daripada
responden yang merokok (55,77%).
Dari kebiasaan makan responden menunjukkan bahwa persentase aktivitas fisik
kurang lebih tinggi pada responden yang kurang mengonsumsi sayuran dan buah
(63,35%).
Pola makan abnormal
Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu
makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan
pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan.
Binge mirip dengan bulimia nervosa, dimana seseorang makan dalam jumlah sangat
banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa
yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada
sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan
diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari.
Pola makan berlebih pada orang yang kegemukan lebih responsif dibanding
dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan
bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia
merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang
menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak
memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan.
Faktor perkembangan
Penambahan ukuran atau jumlah sel-sel lemak (atau keduanya) menyebabkan
bertambahnya jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh. Penderita obesitas, terutama
yang menjadi gemuk pada masa kanak-kanak, bisa memiliki sel lemak sampai 5 kali
lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Jumlah sel-sel
lemak tidak dapat dikurangi, karena itu penurunan berat badan hanya dapat dilakukan
dengan cara mengurangi jumlah lemak di dalam setiap sel.
Kekurangan asam lemak esensial
Jika wanita kekurangan asam lemak esensial ( lemak baik bagi tubuh ) yang
dapat membantu menghasilkan dan mempertambah hormon serta mempertahankan
metabolisme tubuh pada wanita berkurang maka akan membuat seorang wanita
mengalami nafsu makan yang meningkat untuk menambah lemak dalam tubuhnya.
Terkadang seseorang salah dalam memenuhi kebutuhan lemak tubuh sehingga
mengakibatkan lemak yang tidak diperlukan tubuh tertimbun dalam darah dan berat
badan menjadi naik.
Menopause
Jika seorang wanita memasuki masa menopause atau sudah menopause akan
mengalami penurunan dan perubahan hormon, selama masa menopasuse secara tiba –
tiba nafsu makan akan meningkat drastis. Menopause juga memperlambat metabolisme
yang mengakibatkan lemak sulit terbakar yang mengakibatkan kenaikan berat badan.
Ditambah lagi jika pada masa menopause, kebanyakan wanita tidak di imbangi dengan
olahraga.
Ketidak seimbangan gula darah
Makanan dengan banyak kandungan gula sering kita temui dan konsumsi, sebut
saja nasi, cokelat, minuman dan makanan yang banyak mengandung karbohidrat.
Memang pada dasarnya tubuh membutuhkan karbohidrat yang akan dibakar dalam
pencernaan tubuh menjagi glukosa, Glukosa itulah yang menjadi sumber energi serta
hormon insulin yang bertugas menyimpan gula dengan benar. Tetapi makanan yang
banyak mengandung gula sering membuat seseorang ketagihan, sehingga hormon
insulin sulit mengatur kadar gula dalam darah. Alhasil berat tubuh bertambah.
Penyakit serius
Pada umumnya bila seseorang memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus,
ginjal, penyakit liver/hati memiliki nafsu makan yang cukup drastic sehingga
menyebabkan tubuh menyimpan banyak cairan lalu timbul efek seperti bengkak pada
mata dan pergelangan kaki. Penyakit kista ovarium dan getah bening juga bisa
menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis dapat bersifat herediter maupun non herediter. Variabel
yang bersifat herediter (internal faktor) merupakan variabel yang berasal dari faktor
keturunan. Sedangkan variabel non herediter (eksternal faktor) yakni faktor yang
berasal dari luar individu, seperti jenis makanan yang dikonsumsi dan taraf kegiatan
yang dilakukan individu.
Faktor kecelakaan atau cidera otak
Salah satu penyebab terjadinya kegemukan adalah karena faktor kecelakaan
yang menimbulkan kerusakan otak terutama pada pusat rasa lapar. Kerusakan syaraf
otak ini menyebabkan individu tidak pernah merasa kenyang, walaupun telah makan
makanan yang banyak, dan akibatnya badan individu menjadi gemuk.
EPIDEMI OBESITAS PADA BEBERAPA KELOMPOK USIA
OBESITAS PADA KELOMPOK USIA BALITA
Frekuensi dandistribusiobesitas
Obesitas pada anak balita makin meningkat. Peningkatan terutama terjadi di
perkotaan. Hal itu terungkap dalam jumpa pers terkait penyelenggaraan ”Asia
Postgraduate Workshop” yang diselenggarakan The European Society for Paediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN),
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010, prevalensi kegemukan
pada anak balita secara nasional 14 persen. Terjadi peningkatan disbanding hasil riset
serupa tahun 2007, yakni 12,2 persen.Prevalensi itu berdasarkan berat dan tinggi badan.
Prevalensi balita gemuk paling tinggi terjadi di Kota Jakarta. Provinsi lain yang tinggi
prevalensi balita gemuknya tinggi antara lain Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Bali,
Jawa Timur, Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Riau, Bengkulu, Papua Barat, dan
Jawa Barat. Dengan rincian prevalensi 14,9 persen dari keluarga kaya dan 12,4 persen dari
keluarga miskin. Jumlah anak balita kegemukan meningkat karena survei serupa tahun 2007
menunjukkan, prevalensi balita gemuk baru 12,2 persen.
Prevalensi kegemukan tertinggi ditemukan di Jakarta, yaitu 19,6 persen. Namun,
penelitian oleh Unit Riset Kedokteran FKUI di empat taman kanak-kanak dan pendidikan anak
usia dini di Jakarta tahun 2011 menunjukkan, prevalensi kegemukan anak usia 3-6 tahun lebih
dari 20 persen. Jumlah ini diperkirakan meningkat dua kali lipat saat balita mencapai usia
remaja. Hal ini sangat menyedihkan mengingat pada tahun 1990 tingkat obesitas hanya 4
persen.
Determinan obesitas
Pertumbuhan balita yang tidak seiring antara tinggi badan (TB) dan berat badan
(BB), dimana percepatan peningkatan TB lebih rendah dari BB mengakibatkan
terjadinya gizi lebih ataupun obesitas saat berusia sekolah. Oleh karena itu, perlu
diungkapkan karakteristik status gizi balita saat ini. Untuk mengetahui karakteristik
status gizi pada balita sehingga dapat disusun suatu program pencegahan dan
penanggulangan masalah gizi balita.
Selain itu terdapat pula determinan lain yaitu pola aktivitas fisik yang berubah. Kini
anak lebih banyak menonton televise dan bermain games di computer dari pada
berkegiatan fisik bersama teman-temannya.
Di kawasan Asia yang kesenjangan antara masyarakat ekonomi kuat dan lemah
masih tinggi, masalah obesitas berdampingan dengan persoalan gizikurang. Hal itu
terkait tidak meratanya distribusi kekayaan, fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan
serta ketimpangan tingkat pengetahuan.
- Faktorgenetik
Gen gemuk yang terdapat pada orang tua juga bias atau dapat turun pada
anaknya. Jadi jika kedua orang tua mengalami obesitas maka kemungkinan
besar anaknya terkena obesitas juga.
- Factor makanan cepatsaji
Anak-anak terkadang lebih suka dengan makanan cepatsaji di mana selain
instant makanan tersebut juga mempunyai rasa yang enak. Dan hal tersebut
membuat beberapa anak yang senang mengkonsumsinya mengalami
kegemukan.
- Makanan ringan atau jajanan
Makanan ini lebih sering di konsumsi dengan mereka pada saat jam istirahat,
dan Karena kurang terkontrol ha ltersebut dapat menyebabkan anak terlalu bebas
dalam mengkonsumsi jajanan yang tidak tau apa manfat makanan tersebut selain
memberikan rasa kenyang. Lebih baik mempersiapkan mereka bekal darirumah
karena sanitasinya terjamin sehatdan bergizi.
- Konsumsi soft drink
Soft drink yang memiliki rasa segar serta nikmat terkadang menggoda anak-anak
untuk mengkonsumsinya. Padahal mereka tidak tau kalau minuman tersebut
mengandung gula yang cukup banyak.
- Kurangnya aktifitas fisik
Dahulu permainan tradisional sering dilakukan oleh anak-anak di luar rumah dan
hal tersebu tmembuat mereka melakukan aktifitasfisik yang cukup baik. Kini
anak-anak lebih sering bermain di rumah bersama dengan gadgetnya seperti play
station, internet, I-Pad dan lain-lain.
- Kurangnya perhatian pada saat bayi.
Hal ini terkadang di anggap sepele seperti memberikan susu formula kepada
bayi padahal hal tersebut akan menyebabakn bayi tersebut menjadi obesitas
karena gula tambahan yang terdapat pada susu formula.
- Polamakan yang buruk
OBESITAS PADA KELOMPOK USIA ANAK-ANAK
Dunia mulai menaruh perhatian pada obesitas karena kondisi itu juga mewabah
di kalangan anak-anak. Peningkatan wabah ini merefleksikan perubahan yang serius di
masyarakat dan pola-pola tingkah laku masyarakat dalam dekade ini. Persoalan global
dengan cepat memengaruhi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Prevalensinya meningkat hingga ke tingkat yang mesti diwaspadai.
Secara global, pada 2010, jumlah anak-anak di bawah lima tahun yang
overweight diperkirakan lebih dari 42 juta. Hampir 35 juta tinggal di negara-negara
berkembang. Overweight dan obesitas yang dimulai pada usia anak-anak berpotensi
tetap terjadi ketika dewasa. Bahkan, kemungkinan berkembang menjadi penyakit tidak
menular, seperti diabetes dan kardiovaskular di usia yang lebih muda. Overweight dan
obesitas yang dicegah sejak dini dapat mencegah munculnya penyakit-penyakit kronis
yang memperpendek usia seseorang. Karena itu, pencegahan pada anak-anak perlu
prioritas tinggi.
Ancaman obesitas di kalangan anak-anak juga melanda Indonesia. Berdasarkan
data Kementerian Kesehatan tahun 2007, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6 dan
14 tahun mencapai 9,5 persen untuk pria, sedangkan pada perempuan mencapai 6,4
persen. Kondisi ini meningkat dari tahun 1990-an yang berkisar 4 persen. Apalagi
tingkat kebugaran para siswa tingkat dasar dan menengah di Indonesia ternyata amat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang
kesehatan yang berdampak tidak terbentuknya budaya hidup sehat dan bugar di
kalangan generasi muda.
Hasil tes kebugaran jasmani yang dilakukan Pusat Pengembangan Kualitas
Jasmani, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2004 pada 4.481 siswa SD, SMP, dan
SMA di delapan provinsi memperlihatkan, hanya empat siswa yang termasuk kategori
baik sekali. Siswa dengan tingkat kebugaran jasmani baik hanya 7 persen di setiap
tingkatan sekolah.
Oleh karena itu, orangtua mesti membantu anak-anak mereka untuk mengontrol
berat badan dalam level yang sehat. Ibu yang memberikan air susu ibu (ASI) dan
menunda pemberian makanan padat kepada bayinya dapat mencegah terjadinya kondisi
obesitas. Anak-anak balita seharusnya diberikan makanan ringan yang sehat, rendah
lemak, dan dilibatkan pada aktivitas fisik bertenaga setiap hari. Waktu menonton
televisi perlu dibatasi tidak lebih dari tujuh jam seminggu, sudah termasuk main game
dan internet.
Di usia selanjutnya, anak-anak dapat diajar memilih makanan sehat dan
mengembangkan kebiasaan berolahraga secara teratur. Ketika menonton televisi harus
dihindari mengunyah makanan ringan atau makanan berat. (AFP/WHO)
Berdasarkan penelitian DR.dr.Damayanti Rusli Sjarif,Sp.A(K) dari
FKUI/RSCM bersama koleganya pada tahun 2002 di 10 kota besar di Indonesia yaitu
Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar,
dan Manado dengan subjek siswa sekolah dasar menunjukkan angka yang cukup besar.
Prevalensi obesitas pada anak di Medan sebesar 17,75%, Padang 7,1%, Palembang
13,2%, Jakarta 25%, Semarang 24,3%, Solo 2,3%, Yogyakarta 4%, Surabaya 11,4%,
Denpasar 11,7%, dan Manado 5,3%. Paradoks sekali negeri ini. Disaat pemerintah
sedang berjibaku menangani masalah kekurangan gizi pada anak di negeri tropis
bercitrakan agraris ini, di sisi lain ternyata juga banyak anak-anak Indonesia yang justru
sangat berlebihan gizinya
Berdasarkan Survey yang dilakukan di Desa Langensari kecamatan ungaran
barat kabupaten semarang pada bulan Februari tahun 2011, dijumpai 20% dari 10 anak
mengalami obesitas. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab masalah obesitas
adalah pergeseran pola makan dan gaya hidup yang serba modern pada anak.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2010, menunjukkan
bahwa prevalensi obesitas dikalangan anak terus meningkat. Prevalensi obesitas pada
anak mengalami kenaikan 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14% pada tahun 2010.
Angka obesitas usia dini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir meningkat dua
kali lipat. Data kementrian kesehatan 2007 mencatat obesitas pada rentan usia 6-14
tahun : Anak laki-laki 9.5 persen, anak perempuan 6.4 persen.
OBESITAS PADA KELOMPOK USIA REMAJA
Frekuensi, distribusidandeterminan
Obesitasdua kali lebih sering terjadi pada remaja semenjak 30 tahun yang lalu.
Meskipun kebanyakan komplikasi pada obesitas terjadi pada masa dewasa, remaja yang
kegemukan lebih mungkin dibandingkan dengan remaja lainnya memiliki tekanan darah
tinggi dan diabetes tipe 2. Meskipun lebih sedikit dibandingkan sepertiga orang dewasa
gemuk yang obesitas adalah remaja, kebanyakan remaja yang kegemukan tetap
kegemukan ketika dewasa.
Faktor yang mempengaruhi obesitas pada remaja adalah sama seperti pada orang
dewasa. Orang tua seringkali memperhatikan bahwa obesitas adalah hasil dari jenis
penyakit endokrin, sepertijipertiroid, tetapi beberapa gangguan jarang menja
dipenyebab. Anak remaja dengan pertambahan beratba dan yang disebabkan oleh
gangguan endokrin biasanya berperawakan pendek dan memiliki tanda lain pada
kondisi yang mendasarinya. Kebanyakan remaja yang obesitas hanya karena makan
terlalu banyak dan sedikit berolahraga. Karena stigma masyarakat melawan obesitas,
banyak remaja obesitas memiliki gambar diri kurang dan menjadi tambah pendiam dan
terisolasi secara sosial.
Intervensi untuk remaja yang obesitas harus memfokuskan pada pembentukan
makanan kesehatan dan kebiasaan berolahraga dibandingkan menghilangkan berat
badan dalam jumlah tertentu. Asupan kalori dikurangi dengan mempertahankan
makanan seimbang pada makanan hari-hari, membuat perubahan tetap pada kebiasaan
makan, dan meningkatkan aktifitas fisik. Camp musim panas untuk remaja obesitas di
Amerika biasanya membantu mereka menghilangkan jumlah berat badan yang
signifikan, namun tanpa usaha melanjutkan, berat badan biasanya kembali lagi.
Konseling membantu remaja menghadapi masalah mereka, termasuk kurang
mengagumi diri sendiri, bias membantu.
Obat-obatan yang mengurangi berat badan biasanya tidak digunakan selama
remaja karena memperhatikan mengenai keselamatan dan kemungkinan
penyalahgunaan. Salah satu pengecualian untuk remaja obesitas dengan sejarah
kesehatan keluarga yang kuat pada diabetes jenis 2; mereka yang beresiko tinggi terkena
diabetes. Obat metformin, yang digunakan untuk mengobati diabetes, bias membantu
mereka menghilangkan berat badandan juga memperkecil resiko menjadi diabetes.
OBESITAS PADA KELOMPOK USIA DEWASA
Frekuensi dan distribusi obesitas
Menurut data penetilian sekunder Riskesdas 2007/2008. Persentase status gizi
obesitas pada orang dewasa di lima provinsi (Sumatera Utara, DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Gorontalo, dan Maluku Utara dengan IMT>27,0) ditemukan sebesar 12,4
persen. Persentase status gizi obesitas di perkotaan sebesar 15,6 persen lebih tinggi
dibandingkan persentase status gizi obesitas di perdesaan (9,3%).
Tabel 3
Karakteristik Sampel Usia Dewasa, SKRT 2004
Karakteristik Sampel Jumlah Sampel
Tertimbang
Persen
Daerah
Perkotaan
Perdesaan
8.741
11.396
43,4
56,6
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
9.390
10.747
46,6
53,4
Umur (tahun)
< 25
25 – 29
3.329
2.356
16,5
11,7
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
>= 65
2.634
2.557
2.173
1.829
1.542
983
998
1.737
13,1
12,7
10,8
9,1
7,7
4,9
5,0
8,6
Total 20.137 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata IMT sampel di perkotaan (22,58) lebih
tinggi daripada di perdesaan (21,57). Namun demikian menurut Azwar (2004)
menyatakan bahwa masalah kegemukan di perdesaan cenderung mengalami
peningkatan walaupun prevalensinya masih lebih rendah daripada perkotaan. Perubahan
gaya hidup yang berkaitan dengan pola makan dan aktivitas olah raga baik pada
masyarakat perkotaan maupun perdesaan diduga menjadi faktor pemicu terjadinya gizi
lebih dan obesitas.
Dari jenis kelamin diketahui bahwa rata-rata IMT perempuan tampak lebih
tinggi daripada laki-laki. Pada penelitian Ernawati, dkk (2003) juga mendapatkan bahwa
rata-rata IMT perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Bicep responden perempuan di
perkotaan lebih besar daripada di perdesaan, namun perempuan di perdesaan
mempunyai rasio subscapula dan suprailiaca dengan bisep dan trisep lebih besar
daripada perempuan di perkotaan. IMT mencerminkan kegemukan general sedangkan
bicep mencerminkan kegemukan di perifer, kemudian bicep dan tricep mencerminkan
kegemukan di bagian tengah.
Tabel 4
Rata-rata IMT Sampel Penduduk Dewasa Menurut Karakteristik, SKRT 2004
Karakteristik Sampel Jumlah Sampel
Tertimbang
IMT (Kg/M2)
Rata-rata SE
Daerah
Perkotaan
Perdesaan
8.741
11.397
22,58
21,57
0,04
0,03
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
9.390
10.747
21,42
22,51
0,03
0,04
Umur (tahun)
< 25
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
>= 65
3.329
2.356
2.634
2.557
2.173
1.829
1.542
983
998
1.737
20,64
21,83
22,61
22,94
22,96
22,82
22,49
21,93
21,26
20,55
0,05
0,07
0,07
0,07
0,08
0,09
0,10
0,12
0,11
0,08
Sedangkan menurut kelompok umur terlihat kecenderungan IMT semakin tinggi
dengan bertambahnya umur sampel. Kondisi ini mulai tampak dari kelompok umur
sampel < 25 tahun sampai dengan kelompok umur sampel 40-44 tahun. Hal ini sesuai
dengan penelitian Budiman (1997) terhadap 167 laki-laki dan 174 perempuan di
perkampungan kumuh Jakarta yang mendapatkan bahwa prevalensi gizi lebih
meningkat dengan bertambahnya umur baik pada laki-laki maupun perempuan.
Penurunan rata-rata IMT mulai terjadi pada umur 55 tahun atau lebih.
Tabel 5
Prevalensi BB Lebih dan Obesitas pada Penduduk Dewasa di Indonesia
Menurut Umur dan Daerah, SKRT 2004
Umur (tahun)
Perkotaan Perdesaan
N
tertimbang
Gizi
Lebih
Obese N
tertimbang
Gizi
Lebih
Obese
Umur (tahun)
< 25
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
>= 65
1.616
1.063
1.214
1.122
960
790
615
397
341
623
4,0
8,9
11,7
15,1
14,2
14,2
14,1
11,8
11,4
7,9
4,4
8,8
12,7
17,6
17,7
21,0
18,2
16,1
12,0
7,5
1.712
1.293
1.421
1.434
1.211
1.040
928
587
658
1.114
3,2
7,6
8,8
10,5
9,4
10,7
9,1
6,5
5,6
3,8
2,2
7,3
9,6
9,6
10,4
8,4
8,6
4,4
5,6
3,9
Total 8.741 10,8 12,8 11.396 7,5 7,1
Tabel 5 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas di perkotaan,
yaitu sebesar 10,8% dan 12,8% lebih tinggi daripada sampel di perdesaan (7,5% dan
7,1%) tidak jauh berbeda dengan SKRT tahun 2001 yang mendapatkan bahwa
prevalensi responden dengan gizi lebih (IMT≥25,0) di daerah perkotaan lebih tinggi
dibandingkan daerah pedesaan (Surkesnas, 2001).
Selanjutnya pada semua kelompok umur sampel diketahui bahwa prevalensi gizi
lebih dan obesitas di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di perdesaan. Prevalensi
gizi lebih tertinggi di perkotaan ditemukan sebesar 15,1% pada kelompok umur 35-39
tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 21% pada kelompok umur 45-49 tahun.
Sedangkan di perdesaan prevalensi gizi lebih tertinggi ditemukan sebesar 10,7% pada
kelompok umur 45-49 tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 10,4% pada
kelompok umur 40-44 tahun. Pada penelitian Kodyat, dkk. (1996) persentase status gizi
obesitas tertinggi terdapat pada kelompok umur 41-55 tahun baik pada laki-laki maupun
perempuan. Rata-rata IMT tertinggi, yaitu 24,0 terdapat pada kelompok perempuan.
Tabel 6
Prevalensi BB Lebih dan Obesitas pada Penduduk Dewasa di Indonesia
Menurut Umur dan Jenis Kelamin, SKRT 2004
Umur (tahun)
Laki-laki Perempuan
N
tertimbang
Gizi
Lebih
Obese N
tertimbang
Gizi
Lebih
Obese
Umur (tahun)
< 25
25 – 29
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
>= 65
1.494
1.026
1.194
1.192
1.043
889
790
488
450
826
2,1
6,8
7,0
10,5
9,3
10,1
10,0
7,4
4,9
4,5
2,2
2,8
4,6
6,1
9,4
8,7
7,0
6,6
3,6
3,4
1.836
1.329
1.438
1.365
1.130
940
754
496
547
912
4,7
9,2
12,7
14,2
13,5
14,0
12,2
9,9
9,9
5,9
4,1
12,0
16,3
19,2
17,6
18,8
18,2
11,7
11,2
7,0
Total 9.392 7,2 5,3 10747 10,4 13,3
Tabel 6 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas pada perempuan,
yaitu sebesar 10,4% dan 13,3%, lebih tinggi daripada sampel laki-laki (7,2% dan 5,3%).
Menurut kelompok umur sampel diketahui bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas
pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalensi gizi lebih tertinggi
pada perempuan ditemukan sebesar 14,2% pada kelompok umur 35-39 tahun dan
prevalensi obesitas tertinggi sebesar 19,2% pada kelompok umur yang sama. Sedangkan
pada laki-laki prevalensi gizi lebih tertinggi ditemukan sebesar 10,5% pada kelompok
umur 35-39 tahun dan prevalensi obesitas tertinggi sebesar 9,4% pada kelompok umur
40-44 tahun. Beberapa penelitian menyimpulkan adanya hubungan antara jenis kelamin
dengan gizi lebih dan obesitas. Budiman (1997) menyatakan bahwa gizi lebih dan
obesitas lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, yakni 29,1% dan
5,1% pada perempuan, sedangkan pada laki-laki sebesar 19,5% dan 1,7%. Hal yang
sama juga terdapat pada penelitian Kodyat, dkk. (1996) yang mendapatkan bahwa
prevalensi obesitas pada kelompok perempuan hampir dua kali lipat dibandingkan
kelompok laki-laki (14,7% pada wanita dan 7,4% pada laki-laki).
Gizi lebih dan obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung
koroner disamping faktor risiko lainnya, seperti hipertensi, diabetes melitus, merokok,
stres, dan kurang olahraga. Penelitian Manson dkk. (1990) dalam Suyono (1994)
terhadap 115.886 wanita berumur 30-55 tahun, setelah diikuti selama 8 tahun, ternyata
risiko relatif (RR) penderita gizi lebih berkisar antara 1,0 sampai 3,3 kali, sedangkan
pada indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29 risiko relatif 3,3 kali terjadinya penyakit
jantung koroner.
Pada saat ini pengukuran gizi lebih dan obesitas sedang memikirkan membuat
klasifikasi IMT yang disesuaikan dengan keadaan setempat. Hasil studi di Singapura
menunjukkan bahwa penduduknya dengan IMT 27-28 mempunyai lemak tubuh yang
sama dengan orang kulit putih dengan IMT 30. Dengan demikian lapisan lemak IMT
dapat berbeda untuk penduduk yang berbeda. Cut-off IMT yang digunakan WHO untuk
overweight adalah > 25, sama dengan batasan untuk gizi lebih di Indonesia.
Tetapi International Obesity Task Force (IOTF) seperti yang dikutip oleh
Harahap (2005) menggunakan cut-off > 23. Apabila cut-off ini yang digunakan maka
prevalensi gizi lebih dan obesitas yang ditemukan di Indonesia akan lebih tinggi. Hasil
penelitian Harahap, dkk (2005) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi,
hiperkolesterol, dan diabetes mellitus (kencing manis) cenderung semakin meningkat
dengan semakin meningkatnya IMT. Dengan batas cut-off IMT 23, prevalensi ketiga
penyakit di atas masing-masing adalah 40,1%, 11,4% dan 0,6%, lebih tinggi dibanding
IMT normal < 23, dengan odd ratio masing-masing sebesar 2.10 (95% CI 1,93-2,28),
1,93 (95% CI 1,25-3,00), dan 1,37 (95% CI 1,21-1,56). Hal ini menunjukkan bahwa
dengan cut-off 23 sudah terjadi peningkatan risiko terhadap penyakit hipertensi,
hiperkolesterol dan diabetes mellitus.
Determinan obesitas
Faktor determinan status gizi obesitas orang dewasa di perdesaan meliputi:
status kawin, konsumsi buah, jenis kelarnin, pekerjaan, dan kelompok umur. Risiko
status gizi obesitas di perdesaan lebih tinggi pada orang dewasa dengan status kawin,
konsumsi buah 7 kali per minggu, jenis kelamin perempuan, pekerjaan ibu
rumahtangga, dan kelompok umur ≤ 40 tahun dengan nilai odd ratio antara 1,237 -
2,846.
Faktor determinan status gizi obesitas orang dewasa di perkotaan meliputi: status
kawin, jenis kelamin, kelompok umur, konsumsi buah, dan pekerjaan. Risiko status gizi
obesitas di perkotaan lebih tinggi pada orang dewasa dengan status kawin, jenis kelamin
perempuan, kelompok umur ≤ 40 tahun, konsumsi buah 7 kali per minggu, pekerjaan
ibu rumahtangga, dengan nilai odd ratio antara 1,258 - 2,846.
Beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan tingginya persentase obesitas pada
responden perempuan, antara lain adalah: (1) Konsumsi makanan berlemak yang
mungkin lebih sering dibandingkan dengan laki-laki; (2) Aktivitas olahraga yang jarang
dilakukan; (3) Status perkawinan, dimana perempuan yang sudah menikah cenderung
mengalami pertambahan berat badan di kemudian hari (4) Pemakaian alat kontasepsi
hormonal seperti: susuk, pil, dan suntikan dapat menimbulkan efek samping
bertambahnya berat badan. Penggunaan alat kontrasepsi hormonal mempunyai resiko
2,05 kali lebih besar untuk menjadi obesitas dibandingkan alat kontasepsi non hormonal
Baraas (1993) mengemukakan bahwa kadar trigliserida dan kolesterol total
dalam darah akan cenderung makin tinggi akibat diet yang tidak terkendali dan aktivitas
fisik yang semakin berkurang. Pada wanita ditemukan kadar trigliserida umumnya lebih
rendah daripada pria, sedangkan untuk kadar kolesterol total pada laki-laki dan
perempuan tidak terlalu jauh berbeda. Namun pada waktu menopause, kadar trigliserida
dan kolesterol total wanita cenderung meningkat disertai dengan insiden koroner yang
meningkat pula.
Hasil analisis regresi logistik multivariat variable lingkungan terhadap obesitas
menujukkan bahwa tingkat pekerjaan ringan memiliki pengaruh paling kuat terhadap
obesitas umum (OR=2,038) dan obesitas sentral (OR=4,595). Analisis variabel perilaku
terhadap obesitas umum menunjukkan bahwa konsumsi makanan berlemak ≥ setiap hari
memiliki pengaruh paling kuat OR=I,642), kemudian kurang aktivitas fisik (OR=I,247)
dan konsumsi makanan manis ≥ setiap hari (OR=I,158). Analisis variable perilaku
terhadap obesitas sentral menunjukkan bahwa kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh
paling kuat (OR=2,267), kemudian konsumsi makanan berlemak (OR=I,312) dan
makanan manis (OR=I,184) ≥ setiap hari.
TATA LAKSANA TERHADAP ANAK DAN REMAJA OBESITAS
Tujuan utama tata laksana obesitas pada anak dan remaja adalah menyadarkan
tentang pola makan yang berlebihan dan aktivitas yang kurang serta memberikan
motivasi untuk memodifikasi perilaku anak dan orang tua. Tujuan jangka panjang
adalah perubahan gaya hidup yang menetap.
Pengaturanmakan
a. Pada bayi.
- Sebaiknya diberikan ASI eksklusif, bila menggunakan susu formula perhatikan
takaran dan volume pemberian susu.
- makanan padat tidak boleh diberikan kurang dari 4 bulan; bayi mulai
diperkenalkan minum dengan cangkir umur 7 -8 bulan, botol mulai dihilangkan
umur 1 tahun.
- Pemberian sayur dan buah jangan sampai terputus.
b. Anak usia pra sekolah (1 - 3 th).
- Hindari makan gorengan (krupuk, keripik, dll) dan penambahan lemak untuk
memasak. (mi sal : santan, minyak, margarine)
- Pilih daging yang tidak berlemak.
- Lebih baik gunakan margarine, keju yang rendah lemak
- Hindari penambahan gula pada makanan dan minuman, pemanis buatan (mis :
aspartame) bisa digunakan bila perlu.
- Hindari coklat, permen, cake, biskuit, kue kue dan makanan lain sejenis.
- Berikan sayuran setiap makan dan buah untuk makanan selingan.
- Gunakan susu rendah lemak atau tanpa lemak.
Pada usia ini (0 - 3 th) tidak perlu diberikan pengurangan kalori dari kebutuhannya,
bayi/anak akan mengalami penurunan BB secara spontan sesuai dengan
pertumbuhannnya. Pengurangan kalori dibawah kebutuhan jika tidak dirancang
dengan baik dapat menimbulkan defisiensi zat gizi yang mungkin dapat
menghambat tumbuh kembang anak yang masih pesat terutama tumbuh kembang
otak.
c. Anak usia sekolah (4 - 6 th).
Hal hal yang dianjurkan sama dengan anak usia pra sekolah. Energi diberikan sesuai
kebutuhan. Dalam keadaan yang terpaksa, misal pernafasan terganggu, susah
bergerak diberikan pengurangan kalori dengan pengawasan yang ketat.
d. Anak usia remaja.
Target penurunan berat badan dapat direncanakan setiap kunjungan, biasanya 1 - 2
kg/ bulan. Penurunan asupan kalori diberikan bertahap sekitar 300 - 500 Kalori dari
asupan makanan sehari-hari .
Penurunan berat badan tidak perlu menghilangkan seluruh kelebihan berat abdan
karena pertumbuhan linier masih berlangsung, penurunan berat badan cukup sampai
berat badan berada 20 % diatas berat badan ideal.
Modifikasiperilaku a. Monitor diri sendiri, anak dilatih untuk memonitor asupan makan dan aktivitas
fisik, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak dan keluarga terhadap
gizi dan kegiatan fisik
b. Stimulus kontrol, bermacam macam kejadian yang memicu keinginan makan atau
makan berlebihan, contoh : makan sambil menonton TV, Makanan dihidangkan di
meja. Strategi: TV tidak dipasang di kamar makan, makanan disimpan di lemari
untuk meminimalkan penglihatan terhadap makanan.
c. Perubahan perilaku, contoh: kebiasaan makan cepat dirubah perlahan lahan,
mengontrol besar porsi sehingga merasa puas dengan besar porsi sedang dan
meminimalkan snack.
d. Memberikan imbalan apabila anak berhasil menurunkan berat badan.
e. Tehnik perilaku kognitif, yaitu mengembangkan teknik pemecahan masalah, seperti
merencanakan untuk situasi dengan resiko tinggi, misal pada waktu liburan, atau
pesta/ pertemuan untuk menekankan agar tidak makan berlebihan.
Partisipasi orang tua Orang tua adalah contoh yang terbaik bagi anak. Sekurang kurangnya salah satu
orang tua ikut secara intesif dalam program perawatan anak. Penelitian menapatkan
bahwa kelompok anak yang orang tua ikut berpartisipasi, berat badannya turun lebih
banyak dan tetap stabil.
Penutup Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit dibandingkan obesitas dewasa,
karena penyebab obesitas yang multifaktorial dan anak yang masih dalam taraf tumbuh
kembang. Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam penanganan
obesitas anak. Perubahan pola makan dan peri laku hidup sehat lebih diutamakan untuk
mendapatkan hasil yang menetap. Penanggulangan obesitas anak sebaiknya dilakukan
secara terapadu antara dokter anak, dietisien, psikolog dan petugas kesehatan lain. Peran
serta orang tua memegang peranan penting dalam penangan anak obesitas. Pencegahan
sebaiknya dilakukan sebelum anak menjadi obesitas karena pencegahan lebih mudah
daripada pengobatan. Pencegahan harus dimulai sejak dini dengan menerapkan pola
hidup sehat dalam keluarga.
SUMBER
Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Badan Litbang Kesehatan. Data Susenas 2004 Substansi Kesehatan: Status Kesehatan,
Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan.
Jakarta, Badan Litbang Kesehatan. 2005.
Baraas, Faisal. Mencegah Serangan Jantung Dengan Menekan Kolesterol, Jakarta,
Gramedia. 1993.
Budiman, Hendra dan Surjadi, Charles. Penelitian Obesitas pada Orang Dewasa di
Perkampungan Kumuh Jakarta. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol.I Edisi 1.
1997
Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Jakarta. 2003.
Departemen Kesehatan RI. Survei Kesehatan Ibu dan Anak. 2001.
Ernawati, Fitrah, dkk. Profil Distribusi Lemak Tubuh dan Lemak Darah serta
Aktivitas Fisik Orang Dewasa dengan IMT 25 di Pedesaan dan Perkotaan,
Laporan Penelitian, Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor. 2003.
Harahap, H; Yekti Widodo dan Ria Sukarno. Penggunaan Berbagai Cut-off Indeks
Massa Tubuh sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif. Jakarta,
Badan Litbangkes. 2005
Hendriyani, Heni. Obesity and Social Appetittie In Community. Jurusan Gizi Poltekes
Depkes Bandung. 2010.
Hidayani,Healthy. Obesitas Pada Kelompok Ekonomi Rendah di Sulawesi.
Universitas Hasanudin. 2009.
Kodyat, dkk., “Survei Indek Massa Tubuh (IMT) di 12 Kotamadya, Indonesia”. Gizi
Indonesia. 21: 52-61. 1996.
Lumbantorum, Melyana. Karakteristik Obesitas Balita Berdasarkan Kombinasi
Pengukuran Antropometri BB/U dan TB/U. Puslitbang Bio Medis dn Farmasi.
2009.
Manuaba, Ida Bagus Gde. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta. Arcan.
1999.
Sandjaja dan Sudikno. Prevalensi Gizi Lebih Dan Obesitas Penduduk Dewasa Di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan: Bogor. 2005
Sudikno, dkk. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Orang
Dewasa Di Indonesia. Puslitbang Gizi dan Makanan: Bogor. Departemen
Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat UI: Depok. 2010
Sudikno. Faktor Determinan Status Gizi Obesitas Orang Dewasa di Pedesaan dan
Perkotaan. Puslitbang Gizi dan Makanan: Bogor. 2009.
Sugiharti, Sri. Penggunaan Kontrasepsi Hormonal sebagai Faktor Resiko Kejadian
Obesitas pada Akseptor KB di Kabupaten Kulon Progo (Studi Kasus Kontrol).
Tesis. Program Pasca Sarjana UGM. Jogjakarta. 2002
Supari, Fadillah. Penyakit Jantung Koroner dan Pencegahannya. Seminar Gizi dan
Kesehatan Populer, Bogor. 12 Juni 2003.
Suyono, Slamet dan Djauzi S. Penyakit Degeneratif dan Gizi Lebih. Risalah WKNPG
V, LIPI, Jakarta. 1994.
WHO. “Physical Status: The Use and Interpretation of Antropometry”. WHO
Technical Report Series 854. Geneva: 312-340. 1995.
Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Jakarta: Depkes,
2008.
Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4
Jilid III. Jakarta: FKUI, 2006.
Bowman A. Barbara, Russel M Robert. Present Knowledge in Nutrition. 8th
Edition.
Wasingthon DC: ILSI, 2001.
Soegondo S. Obesitas: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid III. Jakarta:
FKUI, 2006.
WHO. Physical Status: The Use and Interpretation of Anthropometry. Report of a
WHO Expert Committe. Geneva: WHO, 1995.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI, 2008.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Status Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Balitbangkes Depkes RI, 2004.
Schienkiewitz A. et al. Body mass index history and risk of type 2 diabetes: results
from the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-
Potsdam Study. Am J Clin Nutr. 2006
L-Y Chien, Y-M Liou, J-J Chen. Association between indices of obesity and fasting
hyperglycemia in Taiwan, Institute of Community Health Nursing, National
Yang-Ming University, Published online 16 March 2004, Taiwan.
Anderson, W James. Diabetes Mellitus: Medical Nutrition Therapy. In: Modern
Nutrition in Health and Disease. 10th
Edition. Philadelphia: 2006.
WHO. Diet, Nutrition and Prevention of Chronic Disease. Report of WHO /FAO
Expert Consultation. Geneva: WHO, 2003.
Roberts DE, Meakem TD, Dalton CE, Haverstick DM & Lynch-III C. Prevalence of
Hyperglycemia in a Pre-Surgical Population. The Internet Journal of
Anesthesiology2007; 12(1).
Caballero B et al. Pathways: A school-based, randomized controlled trial for the
prevention of obesity in American Indiana schoolchildren. Am J Clin Nutr 2003.
Willi Carole et al. Active smoking and the risk of type 2 diabetes: a systematic review
and meta-analysis. JAMA 2007;298(22):2654-664.
Miller-Brand Janette. Carbohydrate, glycemic index and human. Am J Clin Nutr
2002.
Foster-Powell Kaye, Holt HA Susanna, Brand-Miller Janette. International table of
glycemic index and glycemic load values. Am J Clin Nutr 2002.
Stevenson Emma J et al. Influence of high carbohydrate mixed meals with different
glycemic indexes on substrate utilization during subsequent exercise in women.
Am J Clin Nutr 2006;84:354-60.
Jiaqiong Xu et al. Macronutrient intake and glycemic control in population-based
sampel of American Indians with diabetes: the Strong Heart Study. Am J Clin
Nutr 2007:86:480-7.
Rodwell W. Victor 2003. Konversi Asam Amino Menjadi Produk Khusus. Dalam:
Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, 2003.
Manders Ralph JF et al. Co-ingestion of a protein hydrolysate and amino acid mixture
with carbohydrate improves plasma glucose disposal in patient with type 2
diabetes. Am J Clin Nutr 2005.