10 BAB II -...
Transcript of 10 BAB II -...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Deret Waktu (Time Series)
Deret waktu adalah serangkaian pengamatan yang diambil berdasarkan urutan
waktu dan antara pengamatan yang berdekatan dan saling berkorelasi, sehingga
dikatakan bahwa pada deret waktu, tiap pengamatan yang di ambil dari variabel
berkorelasi dengan variabel itu sendiri pada waktu sebelumnya (Wei, 2006).
2.1.1 Kestasioneran Deret Waktu
Suatu pengamatan Z1, Z2… Zn sebagai suatu proses stokastik, maka
variable random Z t1, Z t2… Z tn dikatakan stasioner apabila:
F(Z t1, Z t2… Z tm) = F (Z t1+k, Z t2+k… Z tm+k ) (2.1)
Dikatakan strictly stationary apabila persamaan (2.1) terpenuhi untuk m=
1,2,…, n. Deret waktu yang bersifat strictly stationary, waktu pengamatan
tidak terpengaruh terhadap mean µ,varians σ2 dan kovarians γk (Wei, 2006)
Ketidakstasioneran dalam time series dibedakan menjadi dua, yaitu tidak
stasioner dalam mean (disebabkan µt tidak konstan ) dan tidak stasioner
dalam varians ( disebabkan σ2t yang dependent terhadap deret waktu ). Tidak
stasioner dalam mean dapat diatasi dengan melakukan differencing
(pembedaan) dan untuk mensetasionerkan varians dilakukan transformasi
(Wei, 2006)
2.2 Autocorrelation Function (ACF) dan Partial Autocorrelation Function (PACF)
2.2.1 Autocorellation Function (ACF)
Untuk suatu proses (Zt) yang stasioner, terdapat nilai mean E(Zt) = µ,
var(Zt) = E{Zt - µ}2 = 2k , dimana nilai-nilai tersebut konstan dan cov
7
(Zt,Zs) yang merupakan fungsi hanya dari pembedaan waktu st . Dengan
demikian covarians antara Zt dan Zt-k adalah sebagai berikut :
γk = cov(Zt, Zt+k) = E(Zt - µ)( Zt+k - µ) ( 2.2 )
dan autokorelasi antara Zt dan Zt+k adalah :
)var()var(
),cov(
zzzz
ktt
kttk
( 2.3 )
Untuk keadaan yang stasioner var (Zt) = var (Zt+k) = γo , sehingga :
0
k
k ( 2.4 )
Syarat untuk proses yang stasioner ialah, fungsi autokovarians (γk) dan fungsi
autokorelasi (ρk) memenuhi asumsi :
1. γo = var (Zt) ; ρo = 1
2. k ≤ γo ; k ≤ 1
3. γk = γ-k ; ρk = ρ-k (Wei, 2006)
Pada analisis time series, γk disebut sebagai fungsi autokovarian dan
ρk disebut fungsi autokorelasi yang merupakan ukuran keeratan antara Zt dan
Zt+k dari proses yang sama dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Karena
pada dasarnya tidak mungkin fungsi autokorelasi dihitung dari populasi,
maka fungsi autokorelasi dihitung sesuai dengan pengambilan data dan
dirumuskan sebagai berikut :
8
n
tt
kn
tktt
k
Z
ZZ
z
zz
1
2
1
)(
( ))(
Dimana k = 0,1,2,… ( 2.5 )
(Wei, 2006)
2.2.2 Partial Autocorellation Function (PACF)
Fungsi autokorelasi parsial berguna untuk mengukur tingkat keeratan
hubungan antara pasangan data Zt dan Zt+k setelah dependensi linier dalam
variabel Zt+1,Zt+2,Zzt+3…,Zt+k-1 telah dihilangkan. Fungsi PACF dinyatakan
dalam :
kk = Corr(Zt, Zt+k Zt+1,…,Zt+k-1) ( 2.6 )
Nilai PACF dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
kk =
1
1.1
1
1,1
1k
jjjk
k
jjjkk
( 2.7)
dimana ij = jj - ii jj (Wei, 2006)
2.3 Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Model ARIMA pertama kali diperkenalkan oleh Box dan Jenkins pada
tahun 1970. Model ini biasanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi data
dengan fluktuasi yang stasioner. Secara umum bentuk model persamaan Box
Jenkins adalah sebagai berikut
tS
Qqt
DSdSPp BByBBBB 11 (2.8)
9
Dimana Bp =p
pBBB ...1 221 adalah koefisien komponen AR non
musiman dengan order p
SP B = koefisien komponen AR musiman S dengan order P
Bq =q
qBBB ...1 221 adalah koefisien komponen MA non
musiman dengan order q
SQ B = koefisien komponen MA musiman S dengan order Q
t = error white noise, t 2,0 IIDN
B = operator Backward
dB1 = pembedaan tak musiman dengan order pembedaan d
DSB1 = pembedaan musiman S dengan order pembedaan D
Order pembedaan yang bernilai bulat tak negatif dapat memberikan
indikasi terhadap kestasioneran suatu model ARIMA. (Box, G.E.P., Jenkins, G.M.
dan Reinsel, G.C, 2008)
2.3.1 Identifikasi Model ARIMA
Identifikasi terhadap data time series dilakukan dengan membuat plot
time series dari data tersebut. Dengan melihat plot time series maka dapat
diketahui perilaku dari data, apakah perlu dilakukan transformasi atau
difference terhadap suatu data. Pada Tabel 2.1 dan 2.2 terdapat beberapa
identifikasi model dasar ARIMA berdasarkan struktur ACF dan PACF secara
teoritis (Wei, 2006).
10
Tabel 2.1 Struktur ACF dan PACF untuk Proses Stasioner Non Musiman
Model Struktur ACF Struktur PACF
AR (p) Menurun mengikuti ben-
tuk eksponensial
0kk untuk k > p atau
cut off setelah lag p
MA (q) 0k untuk k > q atau
cut off setelah lag q
Menurun mengikuti ben-
tuk eksponensial
ARMA (p,q) Tails off setelah lag ke-
(q-p)
Menurun mengikuti be-
ntuk eksponensial
Tails off setelah lag ke-
(p-q)
Menurun mengikuti be-
ntuk eksponensial
Tabel 2.2 Struktur ACF dan PACF untuk Proses Stasioner Musiman
Model Struktur ACF Struktur PACF
AR (P)s Menurun secara ekspo-
nensial pada lag-lag musi-
mannya
Cut off setelah lag s
musimannya
MA (Q)s Cut off setelah lag s
musimannya
Menurun secara ekspo-
nensial pada lag-lag musi-
mannya
ARMA (P,Q)s Menurun secara ekspo-
nensial pada lag-lag musi-
mannya
Menurun secara ekspo-
nensial pada lag-lag musi-
mannya
11
2.3.2 Uji Signifikansi Parameter
Proses ini dilakukan untuk melihat kelayakan suatu model, dengan
melakukan pengujian signifikansi parameter dan kesesuaian asumsi, dimana
asumsi dasar yang harus dipenuhi adalah residual bersifat white noise.
Pengujian signifikansi parameter digunakan untuk menguji apakah suatu
parameter model ARIMA layak masuk dalam model atau tidak. Apabila
ternyata tidak signifikan, maka parameter tersebut dikeluarkan dari model.
Jika merupakan estimasi parameter suatu model ARIMA, maka uji
hipotesisnya adalah:
0:0 H (tidak signifikan)
0:1 H (signifikan)
Statistik uji yang digunakan adalah :
)ˆ(
ˆ
sdtratio (2.9)
Daerah penolakan adalah:
Tolak H0 jika npndfratio tt ,2/ dimana np adalah banyaknya parameter
yang ditaksir (Wei, 2006).
2.3.3 Pengujian Kesesuaian Model
Ada dua asumsi yang harus dipenuhi dalam menentukan model yang
sesuai, yaitu residual bersifat white noise dan berdistribusi normal. Suatu
residual bersifat white noise jika tidak terdapat pola dari residual atau tidak
12
terdapat korelasi antar residual, dengan mean dan varians yang konstan.
(Wei, 2006)
Pengujian asumsi residual white noise dapat dituliskan dalam hipotesis
sebagai berikut :
0...: 210 KH
:1H minimal ada satu 0j dimana .,...,2,1,0 Kj
Statistik uji Ljung-Box :
K
kkknnnQ
1
21 ˆ)()2( (2.10)
dimana :
n
tt
kn
tktt
k
aa
aaaa
1
2
12
)ˆˆ(
)ˆˆ)(ˆˆ(
ACF residual
n = banyaknya residual data
Daerah penolakan :
Tolak H0 jika2
, qpKdfQ dimana p dan q adalah orde dari ARMA (p,q)
Sedangkan untuk pengujian asumsi distribusi normal dapat dilakukan
secara nonparametrik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov atau uji yang
lain. Pengujian ini dapat dilakukan melalui hipotesis sebagai berikut :
)()(: 00 xFxFH untuk semua x
)()(: 01 xFxFH untuk beberapa x
Statistik ujinya adalah :
)()(sup 0 xFxSDx
(2.11)
dimana :
13
F(x) = fungsi distribusi yang belum diketahui
F0(x) = fungsi distribusi yang dihipotesiskan berdistribusi normal
S(x) = fungsi distribusi kumulatif dari data asal
Daerah penolakan :
Tolak H0 jika ),1( nDD atau dapat digunakan P_value < .
(Conover, 1999)
2.4 Fungsi Transfer
2.4.1 Single Input
Model fungsi transfer merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan
masalah bila terdapat lebih dari satu data time series. Dalam statistika
keadaan ini sering disebut data multivariate time series. Dalam penelitian ini
deret yang digunakan berupa deret berkala bivariat dimana sebuah deret
output yang dihubungkan fungsi transfer dengan deret input. (Ardiani, 2005)
Model fungsi transfer adalah suatu model yang menggambarkan nilai
prediksi dari suatu time series (deret output atau Yt) berdasarkan pada nilai-
nilai dari deret itu sendiri (Yt) dan berdasarkan pula pada data time series
yang mempunyai hubungan (deret input atau Xt) dengan deret output.
Model fungsi transfer yang bersifat dinamis berpengaruh tidak hanya
pada hubungan linier antara waktu ke-t input Xt dan waktu ke-t output Yt,
tetapi juga saat input Xt dengan saat t, t+1, ... , t+k pada output Yt.
Bentuk umum model fungsi transfer single input (Xt) dan single output
(Yt) adalah :
ttt NXBvY )( (2.12)
14
dimana :
Yt = representasi dari deret output
Xt = representasi dari deret input
Nt = pengaruh kombinasi dari seluruh faktor yang mempengaruhi Yt
(disebut gangguan)
v(B) = (v0B + v1B + v2B2 + ... + vkB
k), dimana k adalah orde fungsi
transfer.
Karena adanya kemungkinan data yang tidak stasioner, maka deret input
dan deret output harus ditransformasikan dengan tepat (untuk mengatasi
ragam yang nonstasioner), dibedakan (untuk mengatakan nilai tengah yang
nonstasioner) dan mungkin perlu dihilangkan unsur musimannya
(deseasionalized) (untuk menyederhanakan model fungsi transfer).
(Markidakis, S., S.C. Wheelwright, dan V.E McGee, 1999)
Sehingga model fungsi transfer juga ditulis sebagai berikut :
tbtttbtt aB
Bx
B
Byataunx
B
By
)(
)(
)(
)(
)(
)(
(2.13)
Dimana :
yt = nilai Yt yang telah ditransformasikan dan dibedakan
xt = nilai Xt yang telah ditransformasikan dan dibedakan
at = gangguan acak
pp
rr
ss
BBBB
BBBB
BBBB
BBBB
...1)(
...1)(
...1)(
...)(
221
221
221
2210
15
r, s, p, q dan b konstanta.
)(B dan )(B menunjukkan operator moving average dan auto
regressive untuk gangguan nt. Sedangkan )(B dan )(B menggantikan
)(Bv yang merupakan konstanta fungsi transfer.
2.4.2 Fungsi Transfer Multi Input
Pada fungsi transfer multi input terdapat beberapa variabel input X yang
dimasukkan pada suatu pemodelan. Sehingga bentuk model fungsi transfer
multi input adalah :
taBθBbjj,t
xBjωm
jBδty j
11
1
(2.14)
dimana :
yt = variabel dependen
xjt = variabel independen ke-j
ωj(B) = operator moving average order sj untuk variabel ke-j
δj(B) = operator autoregresi order rj untuk variabel ke-j
θ(B) = operator moving average order q
(B) = operator autoregresi order p
at = nilai gangguan acak
Dalam fungsi transfer multi input dimana terdapat beberapa variabel
input yang masuk dalam sistem ditambah dengan noise yang ada akan
dihasilkan deret output (Wei, 2006).
2.4.3 Identifikasi Model Fungsi Transfer
Tahap awal dalam pembentukan model fungsi transfer adalah tahap
identifikasi pada variabel input dan variabel output. Tahap identifikasi ini
16
berguna untuk melihat perilaku dan karakteristik data yang ada. Tahapan
dalam identifikasi model fungsi transfer adalah :
1. Mempersiapkan deret input dan deret output
Apabila dalam identifikasi awal deret input dan deret output, data mentah
tidak stasioner, maka biasanya data tersebut dibedakan (didifference) terlebih
dahulu (mungkin pertama-tama ditransformasikan ke bentuk logaritma) untuk
menghilangkan ketidakstasioneran. (Markidakis, S., S.C. Wheelwright, dan
V.E McGee, 1999)
2. Prewhitening deret input
Dalam fungsi transfer dari suatu sistem, yang mengubah deret input (xt)
menjadi deret output (yt), akan sangat membantu apabila sistem input tersebut
dibuat sesederhana mungkin. Dengan pemutihan ini, sistem yang ada akan
menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami karena diperoleh input yang
terkendali sehingga output dapat diperiksa secara berulang – ulang sampai
sifat asli fungsi transfer tersebut menjadi terlihat jelas. (Markidakis, S., S.C.
Wheelwright, dan V.E McGee, 1999)
Jika diasumsikan bahwa input series (xt) mengikuti proses ARIMA, maka
dapat didefinisikan sebagai :
txtx BxB )()( menjadi t
x
xt x
B
B
)(
)(
(2.15)
dimana : - t adalah deret white noise dengan mean 0 dan varian 2 .
- antara t dan tx tidak berkorelasi.
17
3. Prewhitening deret output
Apabila transformasi prewhitening diterapkan pada deret input (xt)
sebagaimana persamaan (2.24) diatas, maka transformasi yang sama juga
dilakukan untik deret output (yt). Hal ini dilakukan untuk menjaga integritas
hubungan fungsional. Bila pada prewhitening deret input dihasilkan suatu
deret yang white noise, maka pada prewhitening deret output ini, belum tentu
deret yang white niose. Hal ini disebabkan deret output dimodelkan secara
paksa dengan menggunakan model deret inputnya. Prewhitening pada deret
output ini dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana prewhitening deret
input yaitu :
t
x
xt y
B
B
(2.16)
4. Menghitung Fungsi Korelasi Silang (Cross-Correlation Function/CCF)
Fungsi korelasi silang digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah
hubungan diantara dua variabel random. Diberikan dua proses stokastik xt dan
yt, dan keduanya adalah proses univariate stasioner maka kovarians silang
antara keduanya merupakan fungsi dari perbedaan lag (s – t). Sehingga fungsi
kovarians silang antara xt dan yt dapat didefinisikan sebagai berikut :
γxy(k) = E [(xt – μx)][ (yt+k – μy)] (2.17)
dimana k = 0, ±1, ±2, ...
Maka fungsi korelasi silangnya (CCF) adalah :
yx
xy
xy
kk
(2.18)
dimana σx dan σy adalah standar deviasi xt dan yt. (Wei, 2006)
18
Kedua fungsi diatas (fungsi kovarians silang dan fungsi korelasi silang)
pada hakekatnya juga merupakan fungsi autokovarian dan autokorelasi.
Tetapi yang membedakan adalah bahwa fungsi autokorelasi simetris terhadap
titik origin, sedangkan CCF tidak simetris. Jadi apabila ρxy(k) = ρyx(-k),
karena
γxy(k) = E [(xt – μx) (yt+k – μy)]
= E [(yt+k – μy) (xt – μx)]
= γyx(-k) (2.19)
Fungsi korelasi silang tidak hanya menyatakan kekuatan hubungan antara
dua variabel tetapi juga menyatakan arah hubungannya. Dalam hal ini
penerapannya adalah menjamin kebenaran dalam melakukan postulat model
untuk meyakinkan apakah benar saat terjadinya intervensi tersebut langsung
berpengaruh terhadap data respon (lag 0). Apabila CCF tersebut signifikan
pada lag positif k, berarti bahwa pengaruh dari variabel input tersebut baru
terasa setelah lag ke-k.
2.4.4 Pembentukan Model Awal
Setelah melewati tahap identifikasi maka tahap selanjutnya adalah
menentukan model awal yang kemudian dapat diuji apakah model awal akan
dapat menjadi model terbaik. Ada beberapa langkah untuk membentuk model
awal yaitu:
1. Penetapan (r,s,b) untuk model fungsi transfer
Setelah memperoleh hasil dari nilai cross-correlation maka dapat
ditentukan nilai r,s,b sebagai dugaan awal. Berikut ini adalah beberapa aturan
19
yang dapat digunakan untuk menduga nilai r,s,b dari suatu fungsi transfer
(Wei, 2006) :
a. Nilai b menyatakan bahwa Yt tidak dipengaruhi oleh Xt sampai pada periode
t+b. Besarnya b sama dengan jumlah bobot respon impuls v yang tidak
signifikan berbeda dari nol. Dengan demikian yang terlihat adalah deretan
awal v yang nilainya mendekati nol (v0, v1, ..., vb-1).
b. Nilai s menyatakan untuk seberapa lama deret Yt terus dipengaruhi oleh Xt. Yt
dipengaruhi oleh Xt-b-1, Xt-b-2, Xt-b-3, ..., Xt-b-s. Sehingga dapat dikatakan bahwa
nilai s adalah jumlah dari bobot respon impuls v sebelum terjadinya pola
menurun.
c. Nilai r menunjukkan bahwa Yt dipengaruhi oleh nilai masa lalunya. Yt
dipengaruhhi Yt-1, Yt-2, Yt-3, ..., Yt-r.
2. Penaksiran awal deret noise (nt)
Dengan diperolehnya bobot respon impuls v, maka taksiran pendahuluan
dari deret noise dihitung sebagai berikut :
tbtjj
m
jjt nxBBy
,
1
1
(2.20)
btjj
m
jjtt xBByn
,
1
1
(2.21)
j adalah banyaknya variabel input.
3. Penetapan model ARIMA dari deret noise
Model ARIMA deret noise dilakukan dengan melakukan penaksiran
dengan model time series univariate yaitu :
ф(B) nt = θn(B) at (2.22)
20
Dengan diperolehnya model ARIMA untuk deret noise, maka
diperoleh model fungsi transfer sebagaimana persamaan (2.12)
2.4.5 Penaksiran Parameter Model Fungsi Transfer
Setelah mengidentifikasi model fungsi transfer dalam persamaan (Wei, 2006):
tbtt aB
Bx
B
By
)(
)(
)(
)(
(2.23)
Yang akan dihitung adalah estimasi dari ω = ωj0, ωj1 ,..., ωjs ; δ = δj1, δj2,..., δjr
; θ = θ1, θ2,..., θq ; = 1, 2,..., p. Persamaan (2.23) diatas dapat ditulis
sebagai berikut :
tbtt aBBxBByBB )()()()()()( (2.24)
atau ekuivalen dengan :
tbtt aBexBdyBc )()()( (2.25)
dimana :
)...1(
)...1)(...1()()()(
221
11
rprp
pp
rr
BcBcBc
BBBBBBBc
)...(
)...)(...1()()()(
2210
101
spsp
ss
pp
BdBdBdd
BBBBBBBd
)...1(
)...1)(...1()()()(
221
11
qrqr
rr
BeBeBe
BBBBBBBe
Kemudian :
qrtqrt
spbtspbtbtrptrpttt
aeae
xdxdxdycycya
...
......
11
11011
(2.26)
21
dimana ji dc , dan ek adalah fungsi dari kji ,, dan 1 . Dengan asumsi at
berdistribusi ),0( 2aN merupakan white noise series, didapatkan fungsi
conditional likelihood adalah:
n
tt
a
naa aayxyxbL
1
2
2
2/2000
2
2
1exp)2(),,,,,,,,,(
(2.27)
dimana 000 ,, ayx adalah nilai awal untuk mencari at pada persamaan (2.26).
2.4.6 Uji Diagnosa Model
Setelah taksiran parameter dari model awal diperoleh, maka dilakukan
pengujian apakah model awal yang telah terbentuk memenuhi asumsi atau
tidak. Adapun langkah-langkah dalam uji diagnostik model adalah (Wei,
2006) :
1. Pemeriksaan autokorelasi untuk residual model
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemodelan deret
noise telah sesuai atau tidak. Indikator yang menunjukkan bahwa model yang
dipilih telah sesuai adalah ACF dan PACF dari residual model fungsi transfer
tidak menunjukkan pola tertentu.
Selain itu juga bisa digunakan statistik uji :
)(ˆ)()2(1
ˆ1
0 jjmmmQK
ja
(2.28)
Statistik Q mengikuti distribusi 2 dengan derajat bebas ( K-p-q) dimana
nilai ini hanya tergantung pada banyaknya parameter dalam model deret
noise.
22
2. Pemeriksaan cross correlation
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah deret noise dan
deret input yang telah diputihkan saling independent. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menghitung cross correlation (CCF) antara residual at dan
t . Model yang sesuai adalah model yang CCF antara at dan t tidak
menunjukkan pola tertentu dan terletak diantara 2 (n – k)-1/2.
Selain itu juga bisa digunakan statistic uji :
)(ˆ)()2(0
ˆ1
1 jjmmmQK
ja
(2.29)
Statistik Q mengikuti distribusi 2 dengan derajat bebas (K + 1) – M
dimana M adalah bamyaknya parameter j dan j yang diestimasi dari model
fungsi transfer
(B) = (B) / (B) (2.30)
2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik
Apabila terdapat beberapa model ARIMA yang sesuai untuk suatu data
time series, maka kriteria pemilihan biasanya berdasarkan nilai statistik yang
diperoleh dari residual in sampel yang diperoleh dari setiap model atau
residual yang diperoleh dari ramalan out of sampel. Dalam pembandingan in
sampel dilakukan dengan berbagai kriteria. Model terbaik berdasarkan
pembandingan in sampel adalah model yang semua parameternya signifikan,
mempunyai residual yang white noise dan berdistribusi normal, serta
mempunyai AIC dan SBC terkecil. Dalam pembandingan out sampel yang
dilihat adalah ketepatan model dalam meramalkan data. Salah satu ukuran
23
yang digunakan adalah MAPE, begitu juga untuk pemilihan model terbaik
dalam fungsi transfer (Wei, 2006).
a. AIC (Akaike’s Information Criterion)
Apabila kita asumsikan bahwa M merupakan jumlah parameter dalam
model , maka Akaike memperkenalkan sebuah kriteria untuk memilih sebuah
model yang disebut dengan AIC. Kriteria ini didefinisikan sebagai:
AIC (M) = -2 ln (maksimum likelihood) + 2 M
Untuk model ARIMAdengan n pengamatan, maka akan diperoleh
suatu fungsi likelihood seperti berikut :
2
22
2
),,(2ln
2),,,(ln
a
aa
SnL
(2.31)
dimana :
2)],,,([),,( ZaES t adalah sum of squares
b. SBC (Schwarz’s Bayesian Criterion)
Sama dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Akaike, Schwarz dengan
menggunakan kriteria Bayesian memperkenalkan SBC sebagai salah satu
kriteria pemilihan model terbaik. Kriteria ini apabila didefinisikan adalah
sebagai berikut :
SBC (M) = n ln ( )ˆ 2a + M ln(n)
24
Dimana 2ˆa adalah maksimum likelihood taksiran dari 2
a , M adalah jumlah
parameter dalam model dan n adalah jumlah observasi yang nilainya akan
sama dengan jumlah dari residual.
2.4.8 Penggunaan Model Fungsi Transfer Untuk Peramalan
Penggunaan model fungsi transfer untuk peramalan yang didefinisikan
(Wei, 2006):
...)()()(
)()()( 2
210 BvBvvBB
BBBBv
x
xb
(2.32)
...1)(
)()( 2
21 BBB
BB
(2.33)
maka persamaan fungsi transfer dapat ditulis sebagai berikut :
0 0
)()(j j
jtjjtjttt avaBBvY (2.34)
dimana 10 maka :
0 0111
j jjtjjtjt avY (2.35)
Apabila jtj
jljtj
jlt avlY
0
*
0
*)(ˆ merupakan nilai prediksi optimal
satu waktu ke depan dari Yt+1, maka nilai residual dari prediksi tersebut
adalah :
25
0 0
**1
0111 )(ˆ
j jjtjljljtjljl
l
jjtjjtjt avvavlYY
(2.36)
dan kuadrat nilai rata-rata dari residual hasil prediksi adalah ;
0
2*21
0 0
2*222222)()()()(ˆ
jjljla
l
j jjljljajtlt vvvlYYE
(2.37)
2.5 Curah Hujan
Curah hujan adalah butiran-butiran air atau kristal es yang jatuh atau keluar dari
awan atau kelompok awan (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2007). Curah hujan
ini ada yang sampai ke bumi sebagai hujan dan ada yang tidak sampai
kepermukaan bumi yang disebut virga. Curah hujan ini mampu sampai
kepermukaan dalam bentuk hujan jika butiran hujan memiliki ukuran garis tengah
200 mikrometer, jika kurang dari itu akan habis menguap di atmosfir.
Curah hujan yang jatuh kepermukaan tanah selama periode tertentu diukur
dalam satuan tinggi diatas permukaan horizontal apabila tidak terjadi
penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan (Nasrullah, 2009).
Data curah hujan dalam periode tersebut dikumpulkan dalam periode harian
sehingga dapat dihimpun data mingguan, bulanan, tahunan dan sebagainya.
Indonesia memiliki curah hujan cukup tinggi yakni rata-rata 2000-3000
mm/tahun, tetapi curah hujan dari satu tempat dengan tempat lain rata-rata curah
hujan berbeda (Aprialis, 2011).
Berdasarkan BMKG curah hujan dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Curah hujan rendah : 0-20 mm, 21-50 mm, 51-100 mm
2. Curah hujan menengah : 101-150 mm, 151-200 mm, 201-300 mm
26
3. Curah hujan tinggi : 301-400 mm
4. Curah hujan sangat tinggi : 401-500 mm, ˃500 (Aprialis, 2011)
2.5.1 Suhu Udara
Menurut Swarinoto dan Sugiyono (2011) suhu udara pada suatu tempat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
a. Lama penyinaran matahari
Intensitas sinar matahari yang semakin lama menyinari makin banyak panas
yang diterima. Keadaan atmosfir yang cerah sepanjang hari akan lebih panas
daripada jika hari itu berawan sejak pagi.
b. Kemiringan sinar matahari
Posisi matahari yang tegak lurus maka radiasi matahari yang diberikan akan
lebih besar dan suhu lebih tinggi, dibandingkan dengan tempat yang posisi
mataharinya lebih miring.
c. Keadaan awan
Adanya awan di atmosfir akan mengurangi pancaran radiasi matahariyang
diterima dipermukaan bumi.
d. Keadaan permukaan bumi
Perbedaan sifat darat dan laut akan mempengaruhi penyerapan dan
pemantulan radiasi matahari.
Dalam pengukuran suhu udara akan dihitung dengan persamaan :
Tmean =ଶכ ାଵଷାଵ
ଶ
27
2.5.2 Kelembaban udara
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam
udara atau atmosfir. Banyaknya air di udara bergantung kepada banyaknya
faktor, antara lain adalah ketersediaan air, sumber uap, suhu udara, tekanan
udara, dan angin (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2007).
Kelembaban udara dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelembaban
udara mutlak dan kelembaban udara relatif. Kelembaban udara mutlak atau
kelembaban udara absolut adalah kelembaban udara yang didasarkan pada
jumlah uap air pada suatu tempat setiap 1 m3 udara. Sedangkan kelembapan
relatif atau kelembaban nisbi adalah kelembaban udara yang didasarkan pada
jumlah uap air (e) pada suatu saat dibanding dengan jumlah uap air
maksimum (em ) pada suhu yang sama yang dinyatakan dalam persen.
Persamaan untuk mengukur kelembaban udara relative adalah seperti
berikut:
RH =
x 100 %
Dengan: RH = kelembaban udara relative (%)
e = tekanan uap air pada saat pengukuran (mb)
em = tekanan uap air maksimum yang dapat dicapai pada suhu udara dan
tekanan udara saat pengukuran (mb) (Swarinoto, 2011).