icebuss.orgicebuss.org/paper/206.doc · Web viewKey Word : Investment disparity, regional autonomy,...

32
OTONOMI DAERAH DAN DINAMIKA SPASIAL INVESTASI ASING LANGSUNG DI INDONESIA TAHUN 2000-2012 Jamzani Sodik* JJ. Sarungu** Abstract This paper analyzes the impact of regional autonomy on the disparity of foreign investment in Indonesia. The method used is to Entrophy Theil Index and GIS analysis, which is divided into two intervals ie, before the 1990-2000 regional autonomy, and after the 2001-2012 regional autonomy. The results of the analysis before and after the regional autonomy shows that the pattern of spread of foreign investment between the provinces in Indonesia tends to be spread with the dispersal patterns shaped "U" upside down. This reflects that the spatial distribution pattern of foreign investment uneven These findings provide the conclusion that decentralization has not had a positive impact on the development of foreign investment in Indonesia. Key Word : Investment disparity, regional autonomy, foreign investment, Entrophy Theil Index and GIS A. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1980-an wacana otonomi atau desentralisasi telah merebak ke berbagai penjuru dunia. Berawal dari motivasi politik, reformasi desentralisasi pun diharapkan menjadi sarana reformasi fiskal dan administrasi (Wonoadi, 2012). Terdapat dua faktor pendorong perubahan peran pemerintah saat ini yang berlangsung di hampir semua negara, yaitu adanya globalisasi dan desentralisasi. Desentralisasi dengan berbagai variasinya merupakan kecenderungan umum di berbagai negara * Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta ** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 1

Transcript of icebuss.orgicebuss.org/paper/206.doc · Web viewKey Word : Investment disparity, regional autonomy,...

OTONOMI DAERAH DAN DINAMIKA SPASIAL INVESTASI ASING LANGSUNG DI

INDONESIA TAHUN 2000-2012

Jamzani Sodik*

JJ. Sarungu**

Abstract

This paper analyzes the impact of regional autonomy on the disparity of foreign investment in Indonesia. The method used is to Entrophy Theil Index and GIS analysis, which is divided into two intervals ie, before the 1990-2000 regional autonomy, and after the 2001-2012 regional autonomy.

The results of the analysis before and after the regional autonomy shows that the pattern of spread of foreign investment between the provinces in Indonesia tends to be spread with the dispersal patterns shaped "U" upside down. This reflects that the spatial distribution pattern of foreign investment uneven These findings provide the conclusion that decentralization has not had a positive impact on the development of foreign investment in Indonesia.

Key Word : Investment disparity, regional autonomy, foreign investment, Entrophy Theil Index and GIS

A. LATAR BELAKANG

Sejak tahun 1980-an wacana otonomi atau desentralisasi telah merebak ke berbagai

penjuru dunia. Berawal dari motivasi politik, reformasi desentralisasi pun diharapkan menjadi

sarana reformasi fiskal dan administrasi (Wonoadi, 2012).

Terdapat dua faktor pendorong perubahan peran pemerintah saat ini yang berlangsung di

hampir semua negara, yaitu adanya globalisasi dan desentralisasi. Desentralisasi dengan berbagai

variasinya merupakan kecenderungan umum di berbagai negara sebagai jawaban atas

permasalahan ketidakefektifan dan inefisiensi sektor pemerintah, ketidakstabilan makro

ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Desentralisasi sendiri bukanlah sesuatu yang

baik, ataupun buruk (World Bank, 1997, Sodik dan Nuryadin, 2005). Di sebagian besar negara,

desentralisasi merupakan suatu refleksi proses reformasi politik, sosial-budaya dan ekonomi.

Perubahan politik dan sosial-budaya terutama di negara-negara berkembang pada periode

tersebut diwarnai dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang

pemerintah pusat beralih menjadi wewenang tingkat pemerintah yang lebih dekat dengan rakyat.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 1

Desentralisasi telah mendorong terjadinya pembagian kewenangan (authority sharing)

yang ditandai dengan semakin meningkatnya peran daerah dan inisiatif lokal (authonomy).

Meningkatnya tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah pada gilirannya akan mengakibatkan

perubahan peran, fungsi, kelembagaan, dan sumberdaya manusia di berbagai tingkatan

pemerintah.

Sehingga melalui kebijakan desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah dan

pemerataan pembangunan antar daerah dapat lebih terwujudkan. Namun demikian, sampai

dengan saat ini masih banyak perdebatan tentang efektivitas desentralisasi, khususnya tentang

pengaruhnya terhadap kinerja makro ekonomi daerah, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan,

inflasi dan juga pelayanan publik. Simanjuntak (2008) berpendapat bahwa bukti mengenai

manfaat dari desentralisasi fiskal terhadap tujuan-tujuan efisiensi ekonomi masih cenderung

kurang meyakinkan. Walaupun ada beberapa hasil studi yang memperlihatkan manfaat yang

positif dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, studi lainnya justru

memperlihatkan berbagai persoalan dalam pembangunan ekonomi muncul akibat desentralisasi.

(KADIN, 2012).

Terkait tujuan pembangunan ekonomi desentralisasi, investasi swasta memainkan

peranan yang sangat penting. Dalam konsep ekonomi neoklasik, investasi sangat diperlukan

untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan investasi juga akan

menciptakan peningkatan pendapatan dan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa.

Menurut Said (2008) dalam Badrudin (2012) terdapat empat perspektif yang mendasari

segi positif dan dan empat perspektif yang mendasari segi negatif dari otonomi daerah. Empat

perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah adalah sarana untuk demokrasi,

membantu meingkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah, mendorong stabilitas dan kesatuan

nasional, dan memajukan pembangunan daerah. Sedangkan empat perspektif yang mendasari

segi negatif otonomi daerah adalah menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan,

melemahkan kualitas pemerintah, menciptakan kesenjangan antar daerah/ketimpangan yang

lebih besar, memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar.

Desentralisasi fiskal memiliki peluang untuk meningkatkan kesenjangan antar daerah.

Dengan keragaman sumberdaya yang dimiliki, suatu daerah yang kaya akan semakin cepat

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 2

tumbuh dan berkembang sedangkan daerah yang miskin sumberdaya semakin tertinggal

(Dartanto dan Brojonegoro, 2003).

Berkaitan dengan salah satu dampak negatif dari kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal yaitu terjadinya kesenjangan antar daerah, maka dalam penelitian ini ingin

melihat sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasai fiscal di Indonesia turut

andil dalam meningkatkan disparitas/kesenjangan investasi yang berakibat pada

disparitas/kesenjangan pendapatan antar daerah Propinsi di Indonesia selama tahun penelitian

yaitu tahun 1990-2012

B. LANDASAN TEORI

Desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan

yang dilakukan daerah ada tiga variasi. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab

yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua delegasi

hubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat

untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan)

berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi, melainkan kewenangan untuk

memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah ( Bird dan Vaillancourt, 2000).

Semua itu bertujuan antara lain untuk : mengurangi beban pemerintah pusat dan propinsi

dalam menyediakan barang dan jasa publik, untuk menaikkan partisipasi masyarakat di dalam

perencanaan dan implementasi program pembangunan, melepaskan kegagalan dari pemerintah

pusat didalam menjamin ketersediaan barang dan jasa publik dan melepaskan perangkap

ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintah, ketidakstabilan makroekonomi, dan

ketidakmampuan pertumbuhan ekonomi dan reorganisasi pemerintahan untuk ongkos ketentuan

barang dan jasa publik (Vazquez dan McNab, 2001).

Secara ekonomi desentralisasi fiskal itu adalah baik. Desentralisasi fiskal pada pokoknya

akan mempertinggi efisiensi ekonomi secara keseluruhan sehingga lebih efektif di dalam

mengimplementasikan kebijakan dan perencanaan ekonomi, khususnya berhubungan dengan

pembangunan daerah atau pedesaaan. Argumen ini menjadi dasar dari sejumlah pemikiran yang

percaya bahwa desentralisasi pertama, menaikkan partisipasi masyarakat dan pengaruh di dalam

proses politik dan perencanaan ekonomi dan pembangunan, kedua, produsen lebih efisien artinya

pelayanan terhadap jasa lokal, ketiga, fasilitas yang terkoordinat atau perencanaan yang menyatu,

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 3

keempat, menaikkan kecepatan dan fleksibilitas pembuatan kebijakan pemerintah. Dengan kata

lain output propinsi lokal berbeda menurut selera lokal dan hasilnya akan mempertinggi keadaan

kesejahteraan sosial dibanding kalau yang menentukan pusat dan dengan tingkat output yang

lebih seragam (Oates, 1993; Philip and Woller, 1997).

Dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah berharap pemberhentian

ketergantungan anggaran pemerintah pusat. Tingkat ketergantungan terhadap anggaran adalah

berhubungan terbalik dengan PAD, selanjutnya ketergantungan yang kecil terhadap anggaran,

pemerintah daerah butuh desain dan penerapan semua kebijakan jangka pendek di dalam usaha

memperbaiki PAD. Usaha itu antara lain mengoleksi penerimaan daerah yang luas (retribusi dan

pajak); memperbaiki eksplorasi sumber daya alam, dan ini akan menarik investor asing (Abd.

Ghafar dan Hamzah, 2004).

Terkait tujuan pembangunan ekonomi desentralisasi, investasi swasta memainkan

peranan yang sangat penting. Dalam konsep ekonomi neoklasik, investasi sangat diperlukan

untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Pertumbuhan investasi juga akan

menciptakan peningkatan pendapatan dan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa.

Iklim usaha yang kondusif sangat diperlukan bagi kegiatan produksi dan distribusi,

karena iklim usaha secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi opportunity cost

yang dihadapi pengusaha dalam berinvestasi. Iklim investasi yang kondusif akan mendukung

proses akumulasi modal melalui reinvestasi profit serta tingkat produktivitas yang tinggi karena

proses produksi dapat berlangsung secara efisien. Dengan demikian, dalam era desentralisasi,

upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama untuk mendorong

pertumbuhan investasi di daerah (KADIN, 2012).

C. TINJAUAN EMPIRIS

Studi Kelly Liu, et.al (2012) bahwa sejak reformasi China dan mengadopsi kebijakan 'up

terbuka' pada tahun 1979, investasi asing langsung (FDI) telah meningkat secara substansial. FDI

secara luas diakui sebagai salah satu dari faktor utama di balik pertumbuhan ekonomi di Cina,

untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, teknologi dan perbaikan dalam manajemen

pengetahuan melalui efek spill-over (Whally & Xin, 2010; Wei dan Liu, 2006; Liu, 2008; Yao,

2006). Namun tidak meratanya distribusi FDI di seluruh daerah memiliki kontribusi terhadap

disparitas ekonomi regional antara wilayah pesisir dan non-pesisir, yaitu timur laut, daerah

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 4

tengah dan barat (Chen, Ge & Lai, 2011). Pada tahun 1994, desentralisasi fiskal secara

substansial mengubah pengaturan kelembagaan antara pemerintah pusat dan daerah. Reformasi

fiskal mendefinisikan kembali pangsa pajak untuk pemerintah pusat dan pemerintah provinsi

masing-masing, juga menjelaskan kerangka bagi hasil pajak antara kedua lembaga. Pemerintah

daerah kini diberikan hak untuk surplus fiskal yang dihasilkan dalam daerah. Oleh karena itu,

pejabat lokal memiliki insentif kuat untuk memulai pertumbuhan dalam rangka untuk

mendongkrak pendapatan tambahan (Chiang, 2010). Kebijakan tersebut menyebabkan

kesenjangan FDI menurun dari 24% pada tahun 1989 menjadi 13% pada tahun 2005. Perbedaan

besar dalam akumulasi FDI antar daerah yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan

pemerintah (OECD 2000). Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk membuat kebijakan

umum untuk menarik investasi asing langsung. Namun struktur politik tidak harus berarti bahwa

China terpusat dalam hal regulasi FDI. Disini, sebaliknya pemerintah provinsi memiliki kekuatan

lebih dari yang digunakan untuk berpikir tentang kegiatan investasi asing. Bahkan untuk lebih

menarik investasi asing pada tahun 2009, prosedur investasi asing di Cina dipersingkat, yang

membuat China lebih menarik bagi dunia. Rupanya, investasi asing langsung di China akan lebih

lokal daripada yang sudah sudah. Pejabat lokal akan memiliki insentif yang kuat untuk

mengawasi kontrak investasi asing sejak kinerja FDI secara langsung dapat mempengaruhi

penerimaan pajak dan anggaran operasional di tingkat provinsi (Chiang, 2010).

Studi dari Chidlow and Young (2008) di Polandia menunjukkan hasil yang berbeda

bahwa meskipun desentralisasi administrasi diperkenalkan oleh pemerintah pada Januari 1999,

kualitas dan alokasi FDI ke daerah-daerah masih tidak merata. Misalnya, daerah di barat, utara,

selatan dan pusat Polandia, adalah yang paling makmur dan telah menjadi daerah yang paling

sukses dalam menarik modal asing, sedangkan daerah yang lebih jauh ke timur terus menderita

investasi yang lebih rendah, pendapatan rendah dan pengangguran yang lebih tinggi (The

Economist Intelligence Unit, 2004).Temuan tulisan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah di

Polandia relatif telah menyebabkan perbedaan dalam daya tarik mereka ke dalam untuk investasi

asing, potensi eksploitasi daerah, dan pembangunan ekonomi.

Di Indonesia studi Wijayanto (2001) menunjukkan bahwa model alokasi investasi

regional dari R-T menjadi relevan untuk menjelaskan masalah disparitas alokasi investasi

regional di Indonesia, dan juga ditemukan bahwa sampai akhir masa PJPT tahap I, kondisi

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 5

alokasi investasi regional di Indonesia menunjukkan masih terjadinya kesenjangan. Studi yang

sama dari Sarungu (2008) dengan menggunakan tahun penelitian 1985-1995 (sebelum

pelaksanaan otonomi daerah) menunjukkan bahwa pola penyebaran investasi perkapita antar

propinsi cenderung semakin menyebar dengan pola penyebaran yang berbentuk U terbalik.

Untuk Pulau Sulawesi, penyebaran investasi perkapita cenderung memusat, sedangkan untuk

Pulau Jawa, penyebaran investasi perkapita cenderung memusat dengan pola berbentuk garis

yang menaik. Mendukung studi sebelumnya, studi dari Rofi (2015) menunjukkan bahwa

perusahaan asing di sektor manufaktur (IMB-PMA manufaktur) tidak menyebar secara merata di

Indonesia dan hanya terkonsentrasi di sebagian kecil di wilayah Indonesia. Tingginya

konsentrasi IMB-PMA manufaktur ini dibuktikan dengan indeks Hoover di tingkat kabupaten

yang mencapai 89,0 pada tahun 2006 (setelah pelaksanaan otonomi daerah).

KADIN (2012) melakukan studi mengenai pengaruh desentralisasi terhadap

perkembangan investasi dan iklim usaha di daerah. Hasilnya pengaruh positif desentralisasi

terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Dengan membandingkan

perkembangan investasi pada periode sebelum (1990-2000) dan setelah desentralisasi (2001-

2010). Studi ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu : 1) nilai riil investasi pasca desentralisasi

bertumbuh sangat lambat, sehingga sehingga pertumbuhan nilai nominal investasi lebih

disebabkan karena inflasi; 2) kontribusi investasi terhadap PDRB pada periode setelah

desentralisasi relatif lebih kecil dibanding pada periode sebelum desentralisasi, menunjukan

kontribusi kegiatan produksi yang semakin kecil terhadap pendapatan daerah; 3) desentralisasi

juga tidak terbukti membuat ekonomi daerah lebih efisien, karena tidak ada perbedaan yang

signifikan antara nilai rata-rata ICOR pada periode sebelum dan setelah desentralisasi; dan 4)

iklim investasi terbukti berpengaruh positif terhadap kontribusi investasi terhadap PDRB,

sehingga penurunan rasio investasi terhadap PDRB pada periode setelah desentralisasi dapat

dijelaskan sebagai akibat dari iklim investasi di daerah yang belum kondusif.

C.1. Otonomi Daerah dan Perkembangan Investasi di Daerah

Salah satu elemen penting yang memperlebar kesenjangan ekonomi (disparitas) antar

daerah adalah arus masuk investasi, sebagai mesin pertumbuhan. Saat ini, daerah semakin

bervariasi satu sama lain untuk jumlah dari arus masuk investasi. Beberapa provinsi atau daerah

menyerap lebih banyak dari yang lain. Beberapa kebijakan telah dirancang untuk menarik

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 6

investor asing untuk datang ke daerah-daerah terpencil. Misalnya, paket deregulasi Oktober 1993

di masa Orde Baru dirancang untuk mendorong investasi industri baru. Namun, sampai dengan

tahun 2009, arus masuk investasi di Indonesia yang masih timpang. Pulau Jawa menarik hampir

65 persen dari investasi asing akumulatif dan 55 persen dari investasi domestik akumulatif dari

tahun 1983 sampai 2009. Sedangkan daerah lain, misalnya Pulau Kalimantan hanya menarik 4,5

persen untuk investasi asing dan hanya 11,5 persen utuk investasi domestik (Firdaus, 2010).

Data lima tahun terakhir dari tahun 2009-2013, menunjukkan bahwa arus masuk investasi

PMA di Indonesia sangat mencolok. Pulau Jawa menarik sejumlah 62,32 persen dari investasi

asing akumulatif senilai 43542,23 juta US$. Sedangkan daerah lain, misalnya Pulau Kalimantan

hanya mencapai 11,43 persen senilai 7987,94 juta US$. Pulau Sumatera mencapai 11,07 persen

senilai 7733,98 juta US$ dan Pulau Sulawesi mencapai 4,90 persen atau 3424,38 juta US$ (lihat

Tabel 1. dan Gambar 1.).

Tabel 1. Perkembangan Realisasi Investasi PMA berdasarkan Pulau th 2009-2013 (US$ Juta)

No Lokasi 2009 2010 2011 2012 2013 Total1 Sumatera 776.1 747.13 2076.56 3729.29 3395.35 7733.982 Jawa 9370.5 11498.77 12324.54 13659.92 17326.38 43542.23

3 Bali dan Nusa Tenggara 234.1 502.66 952.65 1126.55 888.87 3513.874 Kalimantan 284.4 2011.45 1918.85 3208.65 2773.4 7987.945 Sulawesi 141.6 859.1 715.26 1507.03 1498.16 3424.386 Maluku 5.9 248.89 141.54 98.77 321.23 583.27 Papua 2.8 346.77 1345.14 1234.47 2414.16 3080.37

Jumlah Total 10815.4 16214.77 19474.53 24564.67 28617.55 69865.97Sumber : Statistik Indonesia 2009-2013, diolah kembali.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 7

Gambar 1. Perkembangan Realisasi PMA Menurut Pulau Th 2009-2013 (%)

Secara umum pulau Jawa lebih menarik investor PMA dibandingkan daerah lain karena

adanya daya tarik seperti ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, tenaga kerja yang

melimpah, transportasi dan jalur informasi yang relatif lebih baik. Perkembangan investasi untuk

PMA yang telah disetujui pada lima tahun terkahir yaitu tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa

PMA masih terkonsentrasi di wilayah Jawa, terutama di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan

Jawa Timur (lihat Tabel 2.dan Gambar 2.).

Tabel 2. Perkembangan Realisasi Investasi PMA Pulau Jawa

Th 2009-2013 (US$ Juta)No Lokasi 2009 2010 2011 2012 2013 Total1 DKI Jakarta 5510.8 6,429.30 4,824.10 4,107.70 2591.1 23,646.942 Jawa Barat 1934.4 1,692.00 3,839.40 4,210.70 7124.9 18,898.683 Jawa Tengah 83.1 59.1 175 241.5 464.3 1,027.594 D.I Y 8.1 4.9 2.4 84.9 29.6 130.745 Jawa Timur 422.1 1,769.20 1,312.00 2,298.80 3396.3 9,245.776 Banten 1412 1,544.20 2,171.70 2,716.30 3720.2 11,630.38

Total P. Jawa 9370.5 11498.77 12324.5 13659.92 17326.38 64,580.11Sumber : Statistik Indonesia 1990-2000, diolah kembali.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 8

Gambar 2. Perkembangan Realisasi PMA di P. Jawa Th 2009-2013

D. METODE PENELITIAN

D.1. Teknik Analisa

D.1.1. Koefisien Theil (Indek Enthropy Theil)

Untuk mengukur variasi dan keragaman rata-rata alokasi investasi tersebut digunakan

koefisien Indeks Entrophy Theil (Kuncoro, 2013). Semakin besar nilainya, semakin timpang

penyebaran investasi menurut propinsi atau wilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa pola

penyebarannya semakin terpusat (concentrated) di propinsi atau wilayah tertentu. Sebaliknya,

jika nilainya semakin mendekati 0 maka pola penyebarannya cenderung semakin tersebar

(spread).

Indeks entrophy menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks

konsentrasi spasial yang lain. Keunggulan utama indeks ini adalah bahwa pada suatu titik waktu,

indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada

sejumlah daerah dan subdaerah dalam suatu negara. Dengan kata lain indeks ini mampu

mendekomposisi disparitas antar pulau dengan propinsi, antar propinsi dengan kabupaten/kota,

atau antar kabupaten/kota dengan kecamatan (Kuncoro, 2013).

Perhitungan koefisien Indeks Entrophy Theil dilakukan dua kali, yaitu : (1) sebelum

pelaksanaan otonomi daerah (1990-2000), dan (2) setelah pelaksanaan otonomi daerah (2001-

2012). Perhitungan koefisien Indeks Entrophy Theil dilakukan dengan cara sebagai berikut:

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 9

Variasi alokasi investasi antar propinsi di seluruh wilayah di Indonesia

(1.1)

I(y) adalah indeks entropi keseluruhan atas disparitas spasial investasi, yi adalah pangsa

propinsi i terhadap total investasi di Indonesia, N adalah jumlah keseluruhan propinsi yang ada

di Indonesia. Untuk mengukur disparitas spasial investasi antar pulau di Indonesia, kita dapat

memilah persamaan 1.1. ke dalam

(1.2)

dimana Yr adalah pangsa seluruh propinsi dalam pulau r; Nr adalah jumlah propinsi

dalam pulau r; dan R adalah jumlah keseluruhan pulau-pulau utama di Indonesia. Bagian

pertama dalam persamaan 1.2. mengukur disparitas investasi menurut pangsa pulau di Indonesia,

sedangkan bagian kedua mengukur derajat perbedaan dalam pangsa propinsi dalam masing-

masing pulau, yang diberi bobot dengan pangsa keseluruhan pulau di Indonesia. Indeks

entrophy, termasuk dekomposisi ke dalam disparitas spasial antar pulau dan dalam satu pulau,

dihitung untuk 34 propinsi di Indonesia.

D.1.2. Geographic Information System (GIS)

Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat

GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial

(bereferensi keruangan), atau dalam arti yang lebih sempit adalah sistem komputer yang

memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi

berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah

database. Menurut sumber lain GIS adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja

dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi, atau dengan kata lain suatu GIS

adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang

bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan

Wiradisastra, 2000).

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 10

SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik

tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang

akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan

merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga

aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend, pola dan

pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.

Pengukuran dengan metode SIG juga dilakukan dua kali, yaitu : (1) sebelum pelaksanaan

otonomi daerah (1990-2000), dan (2) setelah pelaksanaan otonomi daerah (2001-2012).

E.ANALISIS HASIL

E.1. Hasil Indeks Entrophy Theil

E.1.1. Sebelum Era Otonomi Daerah

Hasil indeks entrophy theil sebelum pelaksanaan otonomi daerah seperti pada table 3.di

bawah ini.

Tabel 3. Indeks Entrophy Theil Investasi Asing Sebelum OTDA

TAHUN INDEKS ENTROPHY THEIL1990 0.1980715221991 0.3490716541992 0.3293485741993 0.1760852681994 0.20011581995 0.1654096611996 0.0537158091997 0.153282291998 0.1763093111999 0.3648239742000 0.279645617

Sumber : Data Diolah

Dari Tabel 3. menunjukkan bahwa indeks entrophy theil total memberikan indikasi

tingginya disparitas spasial investasi asing sebelum otonomi. Penemuan penting yang lain adalah

selama tahun 1990 sampai 2000 (era sebelum otonomi daerah) memiliki pola yang naik turun,

tahun 1990 sebesar 0.198071522, mulai tahun 1991-1992 mengalami kenaikan sebesar

0.349071654, kemudian mengalami penurunan terus sampai tahun 1998 menjadi 0.176309311

dan tahun 1999 mencapai puncaknya dengan indeks sebesar 0,364823974 (disparitas meningkat).

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 11

Kenaikan yang cukup besar dari tahun 1998 sampai tahun 1999 ini menunjukkan bahwa mulai

tahun 1999 perekonomian Indonesia sudah mulai pulih dari krisis, sehingga investasi mengalami

kenaikan sejalan dengan perbaikan kondisi ekonomi makro yang akibatnya adalah naiknya nilai

indek entrophy theil yang artinya bahwa disparitas investasi asing meningkat. Ini mencerminkan

bahwa pola penyebaran spasial investasi asing yang tidak merata di era sebelum otonomi daerah

(lihat gambar 3.)

Gambar 3. Tren Indeks Entrophy Investasi Asing Sebelum Otonomi daerah

Dari gambar 3. menunjukkan bahwa indeks entrophy theil pada tahun 1991 mengalami

kenaikan kemudian turun sampai puncaknya tahun 1996 dan naik lagi sampa tahun 2000.

sehingga membentuk huruf “U”. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren dispersi investasi asing

sebelum otonomi daerah secara spasial antar propinsi di Indonesia. Pada periode sebelum tahun

1996 memiliki pola yang menurun. Ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran investasi

asing di Indonesia. Dengan kata lain, sampai dengan tahun 1996 terdapat bukti bahwa

konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun pola sebaliknya terjadi antara tahun 1996 hingga

tahun 2000, dimana konsentrasi spasial cenderung meningkat. Bahkan mulai tahun 1998 terjadi

peningkatan yang cukup tajam.

E.1.2. Setelah Era Otonomi Daerah

Hasil indeks entrophy theil setelah pelaksanaan otonomi daerah seperti pada table 4.di

bawah ini.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 12

Tabel 4. Indeks Entrophy Theil Investasi Asing Setelah OTDA

TAHUN INDEKS ENTROPHY THEIL2001 0.1000735092002 0.2218258192003 0.1600958342004 0.1657744962005 0.0987736052006 0.0814023522007 0.1542443172008 0.3522267122009 0.2751344042010 0.113521152011 0.203809142012 0.171393299

Sumber : Data Diolah

Dari Tabel 4. menunjukkan bahwa indeks entrophy setelah era otonomi daerah

mengalami naik turun (fluktuatif), hal ini memberikan indikasi bahwa di era otonomi daerah,

masing-masing daerah/propinsi dalam penelitian ini sudah saling bersaing untuk mendapatkan

investor dalam artian daerah/propinsi sudah semakin sadar akan pentingnya investasi untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Disini terlihat bahwa mulai tahun 2003-2007

mengalami penurunan (disparitas kecil), baru setelah itu yaitu tahun 2008 mengalami kenaikan

menjadi sebesar 0.352226712, dan mulai tahun 2009 mengalami penurunan sampai tahun 2010,

tahun 2011-2012 naik lagi dengan kenaikan yang kecil (lihat gambar 4.).

Gambar 4. Tren Indeks Entrophy Investasi Asing Setelah Otonomi daerah

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 13

Dari gambar 4. terlihat bahwa pola sebaran investasi asing setelah pelaksanaan otonomi

daerah juga mengalami fluktuatif seperti sebelum pelaksanaan otonomi daerah, tetapi dari tahun

ke tahun kenaikan dan penurunnya tidak begitu besar (disparitasnya lebih merata). Kenaikan

hanya terjadi pada tahun 2008 (posisi tertinggi) setelah pelaksanaan otonomi daerah. Pola

sebaran investasi asing dari tahun 2000 sampai tahun 2006 mengalami penurunan (disparitasnya

semakin merata). Kemudian mulai tahun 2006 naik sampai tahun 2008 (disparitasnya semakin

timpang). Mulai tahun 2008 turun lagi sampai tahun 2012 (disparitasnya semakin merata).

Ini terjadi dikarenakan setelah era otonomi daerah, daerah memiliki keluluasaan lebih

untuk menarik investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga masing-masing

daerah saling berlomba dalam menarik investor, dengan memasarkan daerahnya. Berdasarkan

studi KPPOD-BKPM tahun 2008, komitmen Pemda merupakan komponen utama yang

memberikan bobot terbesar dalam pembentukan iklim investasi di daerah. Komitmen Pemda

dalam upaya menciptakan kondusivitas sangat diperlukan untuk memberikan kepastian kepada

investor dalam memperoleh kemudahan berinvestasi dan ekspansi usaha.

E.2. Analisis Hasil SIG

Dalam (Fitriandi, et.al, 2013) investasi diakui sebagai faktor kunci pembangunan

ekonomi terutama bagi negara-negara berkembang; karena menyediakan sumber keuangan

utama untuk alih teknologi, praktek dan keterampilan organisasi dan manajerial, serta akses ke

pasar internasional. Disamping itu permodalan adalah masalah klasik bagi negara sedang

berkembang karena tidak mencukupinya tabungan domestik untuk membiayai pertumbuhan

ekonomi yang harus didorong cepat dalam rangka pencapaian target pembangunan.

Modal, merupakan aset yang sangat mudah untuk berpindah sesuai dengan kondisi dan

tempat yang paling menguntungkan. Untuk alasan itulah, maka pemerintah di negara sedang

berkembang membuat kebijakan yang diharapkan mampu mendorong dengan cepat aliran modal

baik asing maupun domestik untuk masuk dan meminimalkan aliran modal asing untuk keluar.

Peningkatan aliran masuk investasi tersebut sangat diperlukan di negara sedang berkembang,

mengingat negara sedang berkembang merupakan wilayah yang sedang mengalami pertumbuhan

yang cepat namun tidak diimbangi dengan akumulasi modal yang memadai.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 14

Peran dari investasi di dalam perekonomian Indonesia yang demikian penting, menarik

untuk dikaji dari sisi dimensi spasial dan regional. Dari kajian tersebut diharapkan dapat

diketahui lokasi-lokasi investasi asing menurut pulau dan propinsi.

E.2.1. Hasil Analisis SIG Investasi Asing Sebelum Era Otonomi Daerah (1990-2000)

Distribusi (sebaran) investasi asing sebelum era otonomi daerah menurut pulau-pulau

utama (% dari total) pada tahun 1990 didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Kemudian lima tahun berikutnya yaitu tahun 1995 sudah mengalami perubahan yaitu didominasi

oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Maluku & Papua. Pergeseran ini terutama diakibatkan oleh

naiknya investasi asing di wilayah timur (Maluku dan Papua) lebih berorientasi sumber daya

atau asset (resource or asset seeking) karena wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam.

Sedangkan tahun 2000 bergeser lagi menjadi didominasi oleh tiga pulau yaitu Pulau Sumatera,

Bali, NTT dan NTB, kemudian diikuti oleh Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat di tabel 5.

Pergeseran ini terutama diakibatkan oleh naiknya investasi asing di Bali, NTT, dan NTB yang

bergerak di sektor pariwisata, dikarenakan Pulau Bali dan sekitarnya terkenal sebagai tujuan

wisata di Indonesia bahkan di dunia. Sehingga investasi ini bias dikategorikan investasi yang

berorientasi pasar (market seeking). Hal ini dapat dilihat pada table 5.

Tabel 5. Distribusi Investasi Asing Menurut Pulau Utama (%)

Pulau 1990 1995 2000Sumatera 10.32 12.85 49.99Jawa 73.13 64.67 19.90Bali, NTB dan NTT 6.97 0.77 25.74Kalimantan 8.01 3.88 2.28Sulawesi 1.54 5.61 1.20Maluku & Papua 0.04 12.22 0.88

Jumlah 100 100 100Sumber : Data diolah

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 15

Gambar 5. Peta Sebaran Investasi Asing Sebelum Otonomi daerah

Dari Gambar 5. sebaran investasi PMA sebelum pelaksanaan otonomi daerah (1990-

2000) terlihat bahwa Pulau Jawa masih mendominasi, kemudian Pulau Sumatera dan perlahan

lahan pulau Papua dan Pulau Bali mulai menggeser dominasi tersebut. Hal ini menunjukkan

bahwa konsentrasi spasial investasi asing berdasarkan pulau masih didominasi oleh Pulau Jawa

yaitu propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur dan Sumatra yaitu propinsi Riau. Konsentrasi spasial

investasi asing sejalan dengan gambar 6. dimana terjadi bias ke Pulau Jawa sebagai pulau utama

dan Pulau Sumatera sebagai pulau utama ke dua. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian

Sarungu (2008) dieroleh hasil bahwa Pulau Jawa yang selama ini telah merupakan pusat daya

tarik investasi yang terbesar di Indonesia baik karena kebijakan pemerintah maupun karena

fasilitas infrastruktur ekonomi yang memungkinkan dibanding dengan wilayah lainnya, ternyata

semakin menunjukkan pola penyebaran investasi yang cenderung memusat. Firdaus (2010)

Investasi terbukti memainkan peran penting untuk mengatasi masalah disparitas regional.

pemerintah harus memberikan prioritas kepada beberapa upaya untuk menarik investasi asing

lebih ke provinsi. Beberapa daerah terpencil dan bagian timur dari Indonesia harus diberikan

insentif yang lebih besar karena kebijakan regional belum efektif untuk menarik investor asing.

Kebijakan tersebut adalah kebijakan preferensi pajak, kebijakan preferensial penggunaan lahan,

peningkatan investasi pemerintah dan daerah dalam memperluas investasi asing di daerah

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 16

terpencil dan bagian timur Indonesia. Pemerintah pusat harus memberikan lebih perhatian pada

pembangunan infrastruktur dan perbaikan Program pendidikan di daerah terpencil daerah dan

bagian timur Indonesia.

E.2.2. Hasil Analisis SIG Investasi Asing Setelah Era Otonomi Daerah (2001-2012)

Distribusi (sebaran) investasi asing setelah era otonomi daerah menurut pulau-pulau

utama (% dari total) pada tahun 2001 didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Bali, NTT dan

NTB. Kemudian lima tahun berikutnya yaitu tahun 2006 sudah mengalami perubahan yaitu

didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan untuk tahun 2012 masih

seperti tahun 2006 yaitu didominasi oleh Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, bedanya hanya

untuk Pulau Kalimantan mengalami kenaikan dari semula 8,92 persen pada tahun 2006 menjadi

13,06 persen pada tahun 2012. Kenaikan presentase investasi asing di Pulau Kalimantan ini lebih

didominasi oleh investasi di bidang sumber daya alam. Karena daerah Pulau Kalimantan kaya

akan sumber daya alam terutama batubara, sehingga bisa dikatakan bahwa investasi asing di

Pulau Kalimantan ini lebih berorientasi pada sumberdaya atau asset (resource or asset seeking).

Hal ini dapat dilihat pada table 6.

Tabel 6. Distribusi Investasi Asing Menurut Pulau Utama (%)

Pulau 2001 2006 2012Sumatera 26.04 14.74 15.18Jawa 63.53 73.91 55.61Bali, NTB dan NTT 5.81 1.83 4.59Kalimantan 2.68 8.92 13.06Sulawesi 0.78 0.26 6.13Maluku & Papua 1.16 0.34 5.43

Jumlah 100 100 100 Sumber : Data diolah

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 17

Gambar 6. Peta Sebaran Investasi Asing Setelah Otonomi daerah

Dari Gambar 6. sebaran investasi asing setelah pelaksanaan otonomi daerah (2001-2012)

terlihat bahwa Pulau Jawa tepatnya propinsi Jawa Barat, masih mendominasi, kemudian Pulau

Sumatera (propinsi Riau) dan Kalimantan (propinsi Kalimantan Timur). Pola sebaran investasi

asing setelah otonomi daerah tidak berbeda jauh dengan sebelum otonomi, yang menunjukkan

bahwa konsentrasi spasial investasi masih bias ke Pulau Jawa, sebagai pulau utama dan

kemudian diikuti pulau utama kedua Pulau Sumatera dan Kalimantan.

F. KESIMPULAN

Dari hasil analisis sebelum dan setelah otonomi daerah menunjukkan bahwa pola

penyebaran investasi asing antar propinsi di Indonesia cenderung semakin menyebar dengan pola

penyebaran yang berbentuk “U” terbalik. Temuan ini memberikan kesimpulan bahwa

pelaksanaan otonomi daerah belum berdampak positif terhadap perkembangan investasi asing di

Indonesia. Hasil ini temuan sejalan dengan penelitian KADIN (2012) bahwa pengaruh positif

desentralisasi terhadap perkembangan investasi di daerah belum dapat dibuktikan. Dengan

membandingkan perkembangan investasi pada periode sebelum (1990-2000) dan setelah

desentralisasi (2001-2010).

Berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah

dapat memberikan insentif atau kemudahan bagi masyarakat dan penanam modal untuk

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 18

meningkatkan perekonomian sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip pemberian insentif

dan kemudahan-kemudahan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ini

berarti bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menetapkan kemudahan-

kemudahan investasi atau insentif yang diberikan kepada investor. Klausul ini kemudian

diperkuat dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2008, yang menjadi pedoman

bagi Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (KPPOD,

2013: 12). Akibat dari kemudahan tersebut maka daerah dalam hal ini propinsi yang sudah maju

dan berkembang yang ditunjang oleh kondisi ekonomi yang baik maka akan menarik investor

yang tinggi dibandingkan daerah yang lain. Kondisi yang demikian inilah yang terjadi berdasar

analisis indeks entrophy theil bahwa setelah era otonomi daerah (2001-2012) terjadi disparitas

spasial investasi di Indonesia, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang berbeda dan

timpang antar daerah, yang akhirnya memicu disparitas pendapatan antar daerah di Indonesia.

G. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa selama lima belas tahun pelaksanaan otonomi daerah di

Indonesia masih adanya disparitas investasi PMA.

1. Perlunya pemerintah daerah terus berupaya untuk memperbaiki iklim investasi di daerah dan

melakukan berbagai reformasi kebijakan dan regulasi usaha.

2. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait pelimpahan wewenang berdasarkan

azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus jelas disertai dengan berbagai kebijakan

yang jelas pula, terkait Investasi sehingga tidak terjadi kebijakan yang tumpang tindih yang

akhirnya malah menjadi salah satu kendala bagi kelancaran arus investasi yang masuk ke

daerah.

3. Investor Asing harus melibatkan Pemerintah Daerah dalam proses awal sosialisasi Investasi

khususunya kepada masyarakat yang terkena dampak langsung. Hal ini dimaksudkan agar

investor mengetahui dan mengenal kondisi dan karakter masyarakat dilapangan. Pemerintah

Daerah harus dilibatkan sejak awal karena pemerintah daerah lebih mengenal apa, siapa dan

bagaimana kondisi alam, lingkungan dan masyarakat didaerahnya.

4. Daerah harus mempunyai kemampuan untuk menjual daerah yang didukung oleh terciptanya

iklim yang kondusif dan mendukung investasi di daerah seperti adanya jaminan keamanan

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 19

dan kepastian hukum bagi investasi di daerah. Pemda hendaknya juga mampu melahirkan

regulasi yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian yang mampu merebut investor

asing sekaligus memberdayakan investor lokal

5. Sejalan dengan studi Firdaus (2010) bahwa pemerintah harus memberikan prioritas kepada

beberapa upaya untuk menarik investasi asing lebih ke provinsi. Beberapa daerah terpencil

dan bagian timur dari Indonesia harus diberikan insentif yang lebih besar karena kebijakan

regional belum efektif untuk menarik investasi asing. Kebijakan tersebut adalah kebijakan

preferensi pajak, kebijakan preferensial penggunaan lahan, peningkatan investasi pemerintah

dan daerah dalam memperluas investasi asing di daerah terpencil dan bagian timur Indonesia.

Pemerintah pusat harus memberikan lebih perhatian pada pembangunan infrastruktur dan

perbaikan program pendidikan di daerah terpencil dan bagian timur Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Ghafar b. Ismail, M. and Zilal Hamzah, (2004)“Fiscal Decentralization Generates

Economic Growth: Evidence from Province-level Cross-section Data for the Indonesia”,

Paper Seminar Akademik Tahunan I: “Perubahan structural dalam rangka Penyehatan

Ekonomi” , Penguatan Kebijakan Publik dalam Perspektif Nasional dan Global, 8-9

Desember, Jakarta.

Badrudin, R, (2012), “Ekonomika Otonomi Daerah” UPP STIM YKPN, Yogyakarta

Barus, B and Wiradisastra U.S. (2000),” Sistem Informasi Geografis: Sarana Manajemen

Sumberdaya”, Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas

Pertanian, IPB.

Bird, M. Richard and Vaillancourt, Francois, (2000), “Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara

Berkembang”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Chidlow, A and Young, S. (2008),” Regional Determinants of FDI Distribution in Poland”,

William Davidson Institute Working Paper Number 943 November

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 20

Dartanto, T., dan Brodjonegoro Bambang, PS. (2003), “Dampak Desentralisasi Fiskal di

Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas antardaerah: Analisa Model

Makro Ekonometrika Simultan”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 4,

No. 1, hal. 17-38.

Firdaus, M. (2010), “Disparity of Investment Inflows Among Regions In Indonesia”, Economic

Journal of Emerging Market Economic Fakulty, Islamic Indonesia University,

December, (3) 237-250 )

Fitriadi, P, Kokinaka, and Koji Kotani. (2014), “Foreign Direct Investment and Infrastructure

Development in Indonesia : Evidence from provinsi level data”, Asian Journal Of

Empirical Research, No. 4, p. 79-94

KADIN, (2012), “Desentralisasi, Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha di Daerah”, Policy

Paper, No. 9 Oktober 2012

Kelly Liu, Kevin Daly & Maria Estela Varua. (2012),”Determinants of regional distribution of

FDI inflows across China’s four regions. International Business Research, 5(12), p.

1913-9012.

Kuncoro, M. (2013), “Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi”, UPP STIM

YKPN, Yogyakarta

Oates, Wallace E. “Fiscal Decentralization and Economic Development (1993)”, National Tax

Journal, Vol 46,

Phillip, K.L. and Woller, G. (1997),“Does Fiscal Decentralization Lead To Economic Growth?”,

International Economic Review. Vol 23.

Rofi, Abdur, (2015),” Perusahaan Asing Sektor Manufaktur di Indonesia : Dinamika Spasial

Dan Keputusan Lokasi Industri”, Desertasi Doktor, Program Studi Geografi Program

Pasca Sarjana, Fakultas Geografi, UGM, tidak dipublikasikan.

Sodik, Jamzani, dan Didi Nuryadin. (2005), “Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Indonesia (Studi Kasus pada 26 Propinsi)”, Jurnal Ekonomi dan Studi

Pembangunan, Fakultas Ekonomi UMY.Volume 6 No 2 Oktober 2005. ISSN 1411-9900,

Terakreditasi Nomor 23a/DIKTI/KEP./2004

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 21

Sidik, M.(2002),“Kebijakan Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah” , Edisi Revisi, Makalah, Yogyakarta.

The World Bank, (1997), “ The State in The Changing World”, World Developmnet Report.

Vazquez, J. M and McNab. Robert. M. (2001),“ Fiscal Decentralization and Economic Growth”,

Wijayanto, B. (2001), “Disparitas Alokasi Investasi Regional di Indonesia (Studi Cross-Section

pada tahun 1996)”, Jurnal Dian Ekonomi, Vol. VII, No.1, p. 1-18

Wonoadi, G.L. (2012), “ Wacana Desentralisasi : Pengalaman Indonesia dan China”, Jurnal

Hubungan Internasional, Vol. 1, No. 1, April

Yuah-Hsin (Rita) Chiang. (2010),” FDI location choice at provincial China”, International

Review of Business Research Papers, 6(5). p. 274-292.

* Dosen FE UPN “Veteran” Yogyakarta, Mahasiswa S3, PDIE UNS Surakarta** Guru Besar FE dan PDIE UNS Surakarta 22