Post on 01-Dec-2015
REFERAT
TRANSFUSI DARAH DAN TERAPI KELASI PADA THALASSEMIA
Pembimbing :
dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD
Disusun oleh :
Rahmah Fitri Utami G1A212042
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERANSMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
TRANSFUSI DARAH DAN TERAPI KELASI PADA THALASSEMIA
Diajukan untuk memenuhi syarat
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Dibagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo, Purwokerto
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal: Februari 2013
Disusun oleh :
Rahmah Fitri Utami G1A212042
Purwokerto, Februari 2013
Pembimbing,
dr.Wahyu Djatmiko, Sp.PD
I. Transfusi Darah
A. Tujuan Transfusi
Pasien thalassemia bergantung pada transfusi untuk mempertahankan
kadar hemoglobin (Hb) yang cukup bagi oksigenasi jaringan. Terapi diberikan
secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 gr/dL. Regimen ini
mempunyai keuntungan klinis yang nyata, sebab memungkinkan pasien
beraktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan
masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang
muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis (Ratih, Susanto, &
Sudarmanto, 2011).
B. Penentuan Awal Transfusi
Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar Hb
< 6 gr/dL dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut dan adanya
gejala eritropoiesis yang tidak efektif. Secara klinis, ketidakmampuan untuk
mengkompensasi hemoglobin rendah ditandai oleh adanya tanda-tanda usaha
jantung meningkat, takikardia, berkeringat, nafsu makan, dan pertumbuhan
yang buruk. Sedangkan, gejala eritropoiesis yang tidak efektif akan ditandai
dengan adanya ekspansi sumsum tulang dan splenomegali massif.
C. Persiapan Transfusi
Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus
diukur, vaksin hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah merah secara
lengkap ditentukan, sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi.
Selain itu, kadar bilirubin, transaminase, dan ferritin serum harus diperiksa
sebelum transfusi dimulai.
D. Transfusi Darah
Produk darah pilihan yang biasa digunakan adalah packed red cells
depleted of leucocytes dan cocok dengan fenotip antigen sel darah merah
pasien. Darah utuh atau darah tanpa leukodepletion tidak cocok untuk
transfusi rutin, karena dapat menimbulkan reaksi transfusi non-hemolitik.
Jumlah darah yang diterima pada hari transfusi ditentukan oleh kadar
hemoglobin sebelum transfusi. Targetnya adalah untuk mempertahankan
kadar hemoglobin sebelum transfusi yaitu antara 9 dan 10 g / dL. Upaya untuk
mempertahankan hemoglobin pre-transfusi di atas 10 g / dL akan
meningkatkan kebutuhan transfusi dan tingkat pembebanan besi. Transfusi
harus diberikan dalam pengaturan rawat jalan dengan tim yang berpengalaman
transfusi dengan menggunakan tindakan pencegahan untuk keselamatan yang
tepat (pasien / darah gelang identifikasi). Darah harus ditransfusikan pada 5
mL / kg per jam, dan hemoglobin pasca transfusi tidak boleh melebihi 14 g /
dL.
Pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin kurang dari 5 g / dL)
atau cardiac compromise, tingkat transfusi harus dikurangi menjadi 2 mL / kg
per jam untuk menghindari overload cairan. Diuretik seperti furosemide (1
sampai 2 mg / kg) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien.
Transfusi umumnya diberikan dengan dosis 15-20 mL/kgBB Packed
Red Cells (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu. Akan tetapi, jika ada
insufisiensi jantung, kadar hemoglobin pra-transfusi yang lebih tinggi (10
sampai 12 g / dL) harus dipertahankan dengan volume transfusi yang lebih
kecil dan diberikan setiap satu atau dua minggu.
E. Pasca Transfusi
Pada pasien thalassemia juga diberikan vitamin C, vitamin E, dan asam
folat. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari bertujuan untuk meningkatkan
ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Asam folat 2-5
mg/hari diberikan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, dan vitamin E
200-400 IU/hari bertujuan untuk memperpanjang umur sel darah merah.
Pemeriksaan kadar feritin juga perlu dilakukan setiap 1-3 bulan untuk
memantau kadar besi dalam darah.
F. Dampak Transfusi Akut
1. Reaksi Tipe Cepat
a) Hemolisis Intravaskular Akut
Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah
(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma
donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major
incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang
berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang
antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai
terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa
kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan
eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat
terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor
sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat
diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang sekali (Drews,
2003; Strobel, 2008).
Hemolisis yang terjadi juga dapat melibatkan IgG dengan atau
tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara
ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc
dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan
perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan
mengakibatkan lisis dari eritrosit (Strobel, 2008).
Hal ini sering terjadi karena kesalahan penulisan formulir
permintaan darah, pemberian label yang salah pada tabung sampel
yang dikirim ke bank darah, dan pengecekan darah yang kurang
memadai terhadap identitas pasien sebelum transfusi dimulai. Pasien
thalassemia memiliki risiko lebih besar untuk menerima darah yang
salah jika sering berganti rumah sakit.
Pada pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya muncul
dalam beberapa menit sesudah transfusi dimulai. Kadang-kadang tanda
dan gejala tersebut timbul pada pemberian < 10 mL darah. Pada pasien
yang tidak sadar, keadaan hipotensi dan perdarahan yang tidak
terkendali akibat Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
mungkin merupakan satu-satunya tanda yang menunjukkan transfusi
yang tidak kompatibel (Wu, Mantha, & Snyder, 2008).
b) Kontaminasi Bakteri dan Syok Septik
Tanda-tandanya biasanya muncul dengan cepat sesudah
transfusi dimulai, meskipun kemunculannya bisa saja tertunda selama
beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi
yang onsetnya mendadak, menggigil, dan hipotensi. Tindakan suportif
yang segera dan pemberian antibiotik dosis tinggi intravena sangat
diperlukan.
c) Overload Cairan
Dapat menimbulkan gagal jantung dan edema paru. Overload
cairan dapat terjadi karena terlalu banyak cairan yang ditransfusikan,
pemberian transfusi (infus) terlalu cepat, atau fungsi ginjal terganggu.
Keadaan ini terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronis berat
atau pasien dengan penyakit kardiovaskular.
d) Reaksi Anafilaksis
Terjadi beberapa menit sesudah transfusi dimulai dan ditandai
oleh kolaps kardiovaskular, gawat nafas, dan tanpa febris. Risiko
terjadinya reaksi anafilaksis akan meningkat pada pemberian transfusi
yang cepat, khususnya bila digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP)
sebagai cairan penukar dalam terapi pertukaran plasma.
Sitokin plasma dapat menjadi salah satu penyebab
bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada beberapa resipien tertentu.
Defisiensi IgA pada resipien merupakan kelainan langka yang dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis yang sangat berat. Keadaan ini dapat
ditimbulkan oleh setiap produk darah.
e) Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI)
Biasanya disebabkan oleh anti-netrofil spesifik atau anti-HLA
antibodi dalam plasma donor. Kegagalan faal paru yang terjadi dengan
cepat biasanya muncul dalam waktu 1-4 jam sesudah transfusi dimulai,
terlihat gambaran opasitas yang difus pada rontgen toraks. Gejala
TRALI berupa dispnoe, takikardia, febris, dan hipotensi.
Penatalaksanaannya meliputi pemberian oksigen, kortikosteroid,
diuretik, dan jika perlu digunakan ventilator.
Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi
transfusi akut (tipe cepat) dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2 berikut ini.
Tabel 1. Penegakan Diagnosis Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab
Urtikaria
Ruam
Pruritus Hipersensitifitas
KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT
Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab
Flushing
Urtikaria
Menggigil
Febris
Gelisah
Takikardia
Kecemasan
Pruritus
Palpitasi
Dispnoe ringan
Sakit kepala
Hipersensitifitas sedang-
berat
Reaksi transfusi febris
nonhemolitik :
- Antibodi terhadap
leukosit, trombosit
- Antibodi terhadap
protein (IgA)
Kemungkinan
kontaminasi dgn bakteri
KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab
Menggigil
Febris
Gelisah
Hipotensi (TD ↓
20%)
Hemoglobinuria
DIC
Kecemasan
Nyeri dada
Nyeri di tempat
transfusi
Sesak nafas
Nyeri pinggang /
punggung
Sakit kepala
Dispnoe
Hemolisis akut
intravaskular
Kontaminasi bakteri /
syok septik
Overload cairan
Anafilaksis
TRALI
Tabel 2. Penatalaksanaan Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Perlambat transfusi.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Jika dalam 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila
tanda/gejalanya memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 2.
KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur
infus tetap terbuka dengan pemberian salin normal.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Antipiretik oral/rektal (misalnya parasetamol 10 mg/kgBB).
Hindari aspirin pada pasien dengan trombositopenia.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala
anafilaksis (misalnya stridor, bronkospasme).
Kumpulkan urin 24 jam untuk pemeriksaan hemolisis.
Jika terjadi perbaikan klinis, mulai lagi transfusi secara perlahan
dengan unit darah yang baru.
Jika dalam 15 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila
tanda/gejalanya memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 3.
KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur
infus tetap terbuka dengan pemberian salin normal.
Infus salin normal (20-30 mL/kgBB) untuk mempertahankan TD
sistolik. Jika ada hipotensi, berikan infus tersebut selama 5 menit
dan tinggikan kedua tungkai pasien.
Pertahankan saluran nafas, beri oksigen aliran tinggi lewat
masker oksigen.
Adrenalin (larutan 1:1000) IM 0.01 mg/kgBB.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala
anafilaksis (misalnya stridor, bronkospasme).
Diuretik IV (misalnya furosemid 1 mg/kgBB).
Periksa urin untuk menemukan tanda hemoglobinuria.
Kumpulkan urin 24 jam untuk memantau keseimbangan cairan.
Perhatikan perdarahan/luka di tempat tusukan. Jika terdapat
bukti klinis/laboratorium yang menunjukkan adanya DIC,
berikan:
o Konsentrat trombosit (dosis dewasa 5-6 unit), dan
o Kriopresipitat (dosis dewasa 12 unit) atau FFP (dosis
dewasa 3 unit)
Jika masih hipotensi, ulang pemberian infus salin normal (20-30
mL/kgBB) dalam 5 menit. Berikan preparat inotropik jika
tersedia.
Jika terjadi gagal ginjal akut (K+, ureum, kreatinin ↑):
o Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.
o Ulangi suntikan diuretik.
o Berikan dopamin jika tersedia.
o Rujuk ke dokter spesialis jika diperlukan dialisis renal.
Jika curiga bakteremia (menggigil, febris, kolaps tanda ada bukti
reaksi hemolitik), berikan antibiotik broad spectrum IV.
2. Reaksi Tipe Lambat
a) Delayed Haemolytic Transfusion Reactions (DHTR)
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan
evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan
antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa
eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch
sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons
imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka
kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000 (Strobel, 2008).
DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di
intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular.
Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major
incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada
resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan
dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh
antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan
antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan
dihancurkan di lien (Rosse, Hillmen, & Schreiber, 2004; Wu, Mantha,
& Snyder, 2008).
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah
transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit,
peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan
dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Haptoglobin yang
menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang
terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang
mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit
(Marik & Corwin, 2008; Wu, Mantha, & Snyder, 2008).
Gejala timbul 5-10 hari sesudah transfusi berupa febris, anemia,
ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak dilakukan
terapi. Reaksi transfusi hemolitik lambat yang berat disertai dengan
gejala syok, gagal ginjal, serta DIC yang mengancam jiwa pasien
merupakan kejadian yang langka. Jika terjadi hipotensi dan oligouria,
maka dilakukan terapi seperti keadaan hemolisis intravaskular akut
(Marik & Corwin, 2008; Wu, Mantha, & Snyder, 2008).
b) Purpura Pasca Transfusi
Komplikasi yang jarang terjadi, tetapi berakibat fatal pada tindakan
transfusi sel darah merah atau konsentrat trombosit. Penyebabnya
adalah adanya antibodi terhadap antigen spesifik-trombosit dalam darah
resipien. Paling banyak dijumpai pada pasien wanita. Gejala berupa
adanya tanda perdarahan, dan trombositopenia akut berat (<
100.000/mm3) yang terjadi 5-10 hari sesudah transfusi.
Penatalaksanaan:
a. Kortikosteroid dosis tinggi.
b. Imunoglobulin intravena 2 gr/kgBB atau 0.4 gr/kgBB selama 5 hari.
c. Terapi pertukaran plasma.
d. Pantau jumlah trombosit resipien (N: 150.000-440.000/mm3).
e. Sebaiknya diberikan konsentrat trombosit dengan golongan ABO
yang sama seperti golongan darah pasien. Berikanlah konsentrat
trombosit yang tidak mengandung antigen spesifik-trombosit.
Pemulihan jumlah trombosit biasanya terjadi sesudah 2-4 minggu.
c) Graft vs Host Disease (GVHD)
Terjadi pada resipien cangkokan sumsum tulang yang mengalami
imunodefisiensi, dan pada pasien imunokompeten yang mendapat
transfusi darah dari donor yang tipe jaringannya kompatibel dengan
pasien tersebut dan biasanya memiliki hubungan darah. Secara tipikal
terjadi 10-12 hari sesudah transfusi, ditandai dengan adanya febris,
ruam dan deskuamasi kulit, diare, hepatitis, serta pansitopenia. Terapi
bersifat suportif dan tidak ada yang spesifik. Sebagai pencegahan,
dilakukan terapi sinar γ pada komponen sel darah untuk menghentikan
proliferasi limfosit.
G. Dampak Transfusi Berulang pada Thalassemia
1. Hemosiderosis
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang yang
tidak dapat dihindari, karena dalam setiap 500 mL darah dibawa 200 mg
besi ke jaringan. Pada individu normal, semua besi plasma terikat pada
transferin. Kapasitas transferin untuk mengikat besi terbatas sehingga bila
terjadi kelebihan besi seperti pada pasien thalassemia, seluruh transferin
akan berada dalam keadaan tersaturasi. Akibatnya besi akan berada dalam
plasma dalam bentuk tidak terikat, atau disebut juga Non-Transferrin
Bound Plasma Iron (NTBI). NTBI akan menyebabkan pembentukan
radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in
vitro sehingga menyebabkan kerusakan sel dan kematian (Laksmitawati,et
al., 2003; Rund & Rachmilewitz, 2005).
Besi yang berlebihan dalam tubuh terbanyak berakumulasi dalam
hati, namun efek paling fatal disebabkan oleh akumulasi di jantung.
Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan pada
kematian awal penderita. Gejala kelainan jantung lain yang ditemui adalah
perikarditis dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung yang berkelanjutan
akan menyebabkan blok atrioventrikular sehingga dapat menyebabkan
blok jantung total atau kanan atau kiri. Juga ditemukan aritmia atrial pada
setengah pasien thalassemia yang mendapat transfusi teratur tanpa terapi
pengikatan besi (Theil, 2003; Thein, 2005).
Pada pasien-pasien yang lebih tua, penyakit hati adalah penyebab
kematian yang umum, dan sering diperberat dengan infeksi virus hepatitis
C. Kelainan fungsi endokrin juga ditemukan, dimana kelebihan besi di
hipofisis anterior dapat menyebabkan gangguan maturasi seksual.
Beberapa penelitian menunjukkan sebagian pasien thalassemia mengalami
hambatan pubertas. Lebih jauh lagi, dapat terjadi amenore sekunder pada
seperempat pasien yang berusia > 15 tahun, diabetes mellitus pada 5-10%
pasien dewasa, serta kerusakan kelenjar tiroid, paratiroid, dan adrenal.
Selain itu, kelebihan besi juga telah dihubungkan dengan penurunan
densitas tulang, hipertensi pulmonal, dan penurunan fungsi paru
(Jaruratanasirikul et al., 2007 ; Ratih, Susanto, & Sudarmanto, 2011).
Kadar kelebihan besi dalam tubuh dapat diukur dengan melakukan
berbagai pemeriksaan penunjang, baik pengukuran secara langsung
maupun tidak langsung.
a. Tidak langsung
1) Konsentrasi feritin serum/plasma
2) Saturasi transferin serum
3) Tes deferoksamin 24 jam
4) Pencitraan (CT scan hati, MRI hati, MRI jantung, MRI hipofisis
anterior)
5) Evaluasi fungsi organ
b. Langsung
Biopsi jumlah besi di hati dan jantung
Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan dicegah dengan
pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs). Obat
pengkelasi besi yang dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan
deferasirox.
2. Infeksi Virus Hepatitis
Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian tersering pada
pasien thalassemia di atas 15 tahun. Kerusakan hepar yang disebabkan
besi, yang berhubungan dengan komplikasi sekunder dari transfusi dan
infeksi virus hepatitis C merupakan penyebab tersering hepatitis pada anak
dengan thalassemia.
3. Infeksi Yersinia
Infeksi Yersinia enterocolitica pertama kali ditemukan pada 2 pasien
thalassemia β pada tahun 1970. Infeksi harus dicurigai pada pasien dengan
kelebihan besi yang menderita panas tinggi dan fokus infeksi tidak
ditemukan, seringkali disertai dengan diare. Tanda-tanda kontaminasi
bakteri dan syok septik biasanya muncul dengan cepat sesudah transfusi
dimulai, kendati kemunculannya bisa saja tertunda selama beberapa jam.
Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang onsetnya
mendadak, menggigil, dan hipotensi. Meskipun pada kultur darah tidak
ditemukan adanya kuman Yersinia enterocolitica, terapi Gentamisin
intravena dan Trimetoprim + Sulfametoksazol oral sebaiknya diberikan
segera dan diteruskan sedikitnya 8 hari.
4. Hipersplenisme
Sebagian besar pasien thalassemia mayor akan mengalami
pembesaran limpa yang bermakna yang disebabkan oleh eritropoeisis
ekstramedular. Meskipun hipersplenisme kadang-kadang dapat dihindari
dengan transfusi lebih awal dan teratur, namun banyak pasien yang
memerlukan splenektomi. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah
meningkatnya kebutuhan transfusi, yang menunjukkan unsur
hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 mL/kg PRC/tahun
biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan
kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada pasien yang indeks
transfusinya melebihi 200 mL/kgBB/tahun. Karena adanya risiko infeksi,
splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3
minggu sebelum dilakukan splenektomi, pasien sebaiknya divaksinasi
dengan vaksin pneumococcal dan Haemophilus influenzae tipe B dan
sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.
II. Terapi Kelasi
A. Tujuan
Kelebihan besi merupakan komplikasi yang fatal pada thalassemia bila
tidak diatasi dengan baik, karena itu hal ini menjadi fokus utama dalam tata
laksana thalassemia. Bila seorang pasien thalassemia tidak mendapatkan kelasi
besi, akan terjadi disfungsi pada hati, jantung, dan kelenjar endokrin yang
progresif berakibat timbulnya fibrosis hati, sirosis hati, gagal jantung, diabetes
melitus, hipogonadisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme hingga kematian.
Sehingga tujuan utama terapi kelasi besi adalah mencapai kadar besi tubuh
yang aman. Pemberian terapi kelasi besi yang adekuat dan kepatuhan pasien
sangat menentukan keberhasilan terapi ini (Gatot et al., 2007).
B. Penentuan Pemberian Kelasi
Terapi kelasi besi secara umum harus dimulai setelah kadar feritin serum
mencapai 1000 µg/L, yaitu kira-kira 10-20 kali transfusi (± 1 tahun). Beberapa
penelitian menyarankan pemeriksaan kadar besi hati dengan biopsi hati
sebelum memulai terapi kelasi besi. Terapi hanya dimulai bila konsentrasi besi
hati minimal 3.2 mg/g berat kering hati. Apabila biopsi tidak mungkin
dilakukan, terapi kelasi besi dapat dimulai pada pasien usia < 3 tahun yang
sudah mendapat transfusi teratur selama 1 tahun (Gatot et al., 2007).
C. Macam Obat Kelasi Besi
1) Deferoksamin (DFO)
Merupakan obat kelasi standar pilihan utama untuk penimbunan besi
karena transfusi berulang. Deferoksamin adalah molekul berbentuk
heksadentat dengan berat molekul 560 kDa, dengan demikian
deferoksamin sulit diabsorpsi di saluran cerna. Satu molekul DFO dapat
mengikat 1 atom besi dan memiliki stabilitas yang tinggi terhadap Fe3+.
Deferoksamin merupakan suatu molekul hidrofilik sehingga ambilan
ke dalam sel dan kompartemen subselular menjadi lambat, tetapi ambilan
ke dalam hepatosit cukup cepat. Kadar terapi dicapai dalam waktu singkat
yaitu 5-10 menit dan akan hilang segera setelah penghentian terapi yaitu
sekitar 20 menit (Gatot et al., 2007).
Ekskresi obat terjadi melalui urin dan feses. Dosis yang biasa
diberikan adalah 40 mg/kg secara infus subkutan diberikan 8-12 jam,
dalam 5-7 hari perminggu. Pemberian vitamin C sebesar 2-3 mg/kg
peroral akan meningkatkan ekskresi besi di urin.
Lokasi infus yang umum adalah di abdomen, daerah deltoid, maupun
paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan
kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan,
reaksi lokal dan infeksi (Vichinsky, 2007).
2) Deferipron (DFP)
Merupakan terapi kelasi pilihan kedua yang diberikan secara oral
untuk terapi penimbunan besi pada pasien thalassemia mayor bila terdapat
kontraindikasi terhadap DFO atau tidak adekuat. Deferipron adalah
molekul berbentuk bidentat dengan berat molekul 139 kDa. Konsentrasi
puncak plasma DFP dicapai dalam waktu 45 menit, dan rerata waktu paruh
eliminasi antara 53-166 menit. Ekskresi utama deferasirox adalah melalui
feses (Gatot et al., 2007).
Terapi standar biasanya menggunakan dosis 75 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis. Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek
proteksinya terhadap jantung. Beberapa penelitian menemukan bahwa
pasien thalassemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden
penyakit jantung dan kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada
mereka yang menggunakan deferoksamin. Meskipun begitu, masih
terdapat kontroversi mengenai keamanan dan toksisitas deferipron sebab
deferipron dilaporkan dapat menyebabkan agranulositosis, artralgia,
kelainan imunologi, dan fibrosis hati. (Vichinsky, 2008).
3) Deferasirox (ICL-670)
Deferasirox adalah molekul tridentat yang molekulnya akan
membentuk ikatan 2 kelator dengan 1 atom besi (2:1). Afinitas deferasirox
terhadap besi sangat tinggi, mudah diabsorpsi,dan dapat bersirkulasi
selama beberapa jam. Hal ini terjadi karena konsentrasi puncak plasma
dicapai dalam waktu 2 jam, dan masih dapat terdeteksi selama 24 jam;
rerata waktu paruh eliminasi antara 11-16 jam. Dengan demikian
deferasirox dapat diberikan hanya dosis tunggal untuk mencapai kadar
terapi. Ekskresi utama deferasirox adalah melalui feses (Gatot et al.,
2007).
Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis
tunggal. Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding
deferoksamin dalam memobilisasi besi jaringan hepatoseluler, dan efektif
dalam mengatasi hepatotoksisitas. Capellini dkk, dalam penelitiannya
yang memberikan deferasirox per oral satu kali sehari pada pasien β-
thalassemia mendapatkan penurunan kadar ferritin terjadi setelah duabelas
minggu terapi. Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian obat
tersebut adalah sakit kepala, mual, diare, dan ruam kulit (Capellini, Cohen,
& Piga, 2006).
4) Terapi Kombinasi
Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun sekuensial.
Terapi kombinasi secara simultan adalah pemberian deferoksamin 2-6 hari
seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-12 bulan. Terapi kombinasi
sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4 hari
diikuti deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB selama 2 hari setiap
minggunya. Terapi kombinasi diharapkan dapat menurunkan dosis
masing-masing obat, sehingga menurunkan toksisitas obat namun tetap
menjaga efektifitas kelasi (Vichinsky, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Capellini, M., Cohen, A., & Piga, A. (2006). A phase 3 study of deferasirox
(ICL670), a once daily oral iron chelator, in patients with β-thalassemia.
Blood , 107, 3455-62.
Drews, R. (2003). Critical issues in hematology : anemia, thrombocytopenia,
coagulopathy, and blood product transfusions in critically ill patients. Clin
Chest Med , 24, 607-22.
Gatot, D., Amalia, P., Sari, T. T., & Chozie, N. A. (2007). Pendekatan Mutakhir
Kelasi Besi pada Thalassemia. Sari Pediatri , 8 (4), 78-84.
Marik, P., & Corwin, H. (2008). Efficacy of red blood cell transfusion in the
critically ill : A systematic review of the literature. Crit Care Med , 36 (9),
2667-74.
Ratih, D., Susanto, R., & Sudarmanto, B. (2011). Pengaruh Deferasirox Terhadap
Kadar T4 dan TSH pada β-Thalassemia Mayor dengan Kadar Ferritin
Tinggi. Sari Pediatri , 12 (6), 433-9.
Rosse, W., Hillmen, P., & Schreiber, A. (2004). Immune mediated hemolytic
anemia. Hematology , 1, 48-62.
Strobel, E. (2008). Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med Hemother , 35,
346-53.
Theil, E. (2003). Ferritin:at the crossroads of iron and oxygen metabolism. J. Nutr
, 1549-53.
Thein, S. (2005). Genetic modifiers of β- thalassemia. Haematologica , 90, 649-
60.
Vichinsky, E. (2007). Clinical application of deferasirox: practical patient
management. Am J Hematol , 1-5.
Vichinsky, E. (2008). Oral iron chelators and the treatment of iron overload in
pediatric patients with chronic anemia. Pediatrics , 121, 1253-6.
Wu, Y., Mantha, S., & Snyder, D. (2008). Transfusion reactions. In Hoffman,
Hematology : Basic principles and practices Edisi ke-5 (p. 153).
Philadelphia: Churchill Livingstone.