Post on 30-Jun-2015
AR 6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi, Institut Teknologi Bandung, 2010 1
Transformasi Program Penataan Permukiman Kumuh
(Kajian terhadap Sejarah Program Penataan Permukiman Kumuh Pemerintah Kota
Bandung)
Komang Tria Prabawati
whitelatern@yahoo.co.id
Abstrak
Pertumbuhan penduduk khususnya di perkotaan merupakan fenomena yang sering terjadi
di Indonesia yang menyebabkan tingginya konsentrasi penduduk di kota-kota besar.
Berdasarkan penelitian BKKBN pada tahun 2000, persebaran kawasan kumuh di Kota
Bandung telah menyebar hampir diseluruh kelurahan. Kondisi tersebut menyebabkan
banyaknya program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam penataan permukiman
kumuh. Konsep program-program tersebut mengalami transformasi seiring dengan
perubahan kondisi masyarakat pada permukiman kumuh dan dengan tujuan memperbaiki
kekurangan program-program sebelumnya yang belum menghasilkan perubahan signifikan.
Transformasi program-program penataan permukiman kumuh yang diluncurkan oleh
pemerintah berkaitan dengan cakupan tujuannya, seperti perbaikan fisik permukiman,
program perbaikan dan peningkatan ekonomi serta program pemberdayaan masyarakat
untuk perbaikan dan peningkatan sosial budaya masyarakat. Analisis yang akan dilakukan
dalam studi ini, yaitu penggambaran/inventarisasi program-program penataan permukiman
kumuh yang pernah diluncurkan Pemerintah Kota Bandung, menganalisis konsep
program-program tersebut berdasarkan sasaran dari program, tujuan, stakeholder yang
terlibat serta kegiatan yang dilakukan serta melihat transformasi yang terjadi dan
penyebabnya.
Kata kunci : transformasi, program, penataan permukiman kumuh, Pemerintah Kota
Bandung
1. Pendahuluan
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar
di Indonesia bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Pertumbuhan
penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan permukiman, sedang
kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan pengelola kota akan menentukan
kualitas permukiman yang terwujud. Kota Bandung sebagai kota besar tidak terlepas dari
permasalahan permukiman kumuh dengan kepadatan penduduknya yang kian hari kian
meningkat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan BKKBN Kota Bandung, sebaran lokasi
2 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
kawasan kumuh di Kota Bandung pada tahun 2000 menunjukkan bahwa hampir disetiap
kelurahan terdapat kawasan permukiman kumuh, baik yang berstatus kampung kota
maupun permukiman liar. Menurut data kawasan kumuh di Kota Bandung yang telah
dikeluarkan oleh Puslitbang Permukiman, Dep Kimpraswil, terlihat bahwa hampir disetiap
kecamatan terdapat kawasan kumuh, berdasarkan proporsi dan komposisi jumlah keluarga
dalam peringkat pra sejahtera di wilayah Kota Bandung, peringkat tertinggi adalah
Kecamatan Cicadas (27%) kemudian disusul Kecamatan Regol (25%) dan Kecamatan
Bandung Kulon (15%). Kalau melihat sebaran kawasan kumuh di Kota Bandung mulai
menampakan perambahan dipinggiran kota.
Kawasan kumuh meskipun tidak dikehendaki namun harus diakui bahwa keberadaannya
dalam perkembangan wilayah dan kota tidak dapat dihindari. Oleh karena itu dalam rangka
meminimalisir munculnya kawasan kumuh, maka perlu dilakukan upaya-upaya secara
komprehensif yang menyangkut berbagai aspek yang mampu menghambat atau
memperbaiki kondisi kumuh tersebut.
2. Definisi Kawasan Kumuh
Secara umum konsep permukiman kumuh mengandung dua pengertian, yaitu daerah slums
dan squatter. Kawasan kumuh merupakan produk pertumbuhan kemiskinan dan kurangnya
pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan menyediakan layanan kota yang
memadai.Tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali telah mengakibatkan
munculnya kawasan-kawasan permukiman kumuh dan squatter (permukiman liar). Untuk
mencapai upaya penanganan yang berkelanjutan tersebut, diperlukan penajaman tentang
kriteria permukiman kumuh dan squatter dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi
masyarakat serta lingkungannya.
2.1 Slums
Definisi slums menurut Abrams adalah :
The word slums is a catch all for poor housing of every kind as a label for the environment.
(Abrams;1964:3)
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan yang dimaksud slum selalu dihubungkan dengan
lingkungan : perkampungan miskin dan kotor, perkampungan yang melarat, dimana tanah
yang mereka tempati sudah menjadi milik mereka dengan atau tanpa izin pemerintah atau
pemilik tanah, namun karena kondisi ekonomi dan pendidikan yang rendah, lingkungan
permukiman pun tidak terawat sehingga menjadi kotor.
Menurut CSU’s Urban Studies Department, kawasan kumuh merupakan suatu wilayah
yang memiliki kondisi lingkungan yang buruk, kotor, penduduk yang padat serta
keterbatasan ruang (untuk ventilasi cahaya, udara, sanitasi, dan lapangan terbuka). Kondisi
yang ada seringkali menimbulkan dampak yang membahayakan kehidupan manusia
Komang Tria Prabawati 3
(misalnya kebakaran dan kriminalitas). Sebagai akibat kombinasi berbagai faktor.
Gambar 1. Beberapa contoh kawasan kumuh
Ciri-ciri fisik daerah kumuh adalah: sangat padat penduduknya, jalan sempit berupa
gang-gang kecil, drainase tidak memadai bahkan ada yang tanpa drainase, tidak ada ruang
terbuka diantara rumahnya, fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim, fasilitas
sumber air bersih sangat minim, tata bangunan yang sangat tidak teratur, sistem sirkulasi
udara dalam rumah tidak baik, tidak ada privacy bagi penghuni rumah dan berlokasi di
pusat kegiatan ekonomi kota.
2.2 Squatter
Selain kawasan kumuh yang menempati lahan-lahan yang legal, yang disebut “Slum Area”,
kawasan kumuh seringkali juga muncul pada lahan-lahan tanpa hak yang jelas, baik secara
status kepemilikan maupun secara fungsi ruang kota yang umumnya merupakan lahan
bukan tempat hunian. Kawasan seperti ini menurut literatur termasuk ke dalam kriteria
kawasan squatter. Squatter adalah suatu area hunian yang dibangun di atas lahan tanpa
dilindungi hak kepemilikan atas tanahnya, dan masyarakat squatter adalah suatu masyarkat
yang mendiami (bertempat tinggal) di atas lahan yang bukan haknya atau bukan
diperuntukkan bagi permukiman; seringkali tumbuh terkonsentrasi pada lokasi terlarang
untuk dihuni (bantaran sungai, pinggir pantai, dibawah jembatan, dll) dan berkembang cepat
sebagai hunian karena terlambat diantisipasi.
Kelompok squatter umumnya merupakan pendatang dari wilayah perdesaan atau pinggiran
kota yang berimigrasi ke perkotaan. Selain secara ekonomi umumnya mereka merupakan
komunitas yang berpenghasilan rendah, bekerja di sektor informal, dengan penghasilan
tidak tetap, juga secara sosial mereka berpendidikan rendah, berketerampilan terbatas
dengan akses terbatas terhadap pelayanan sosial dan administrasi publik.
4 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
3. Transformasi
Menurut Habraken dalam Structure of The Ordinary, transformasi adalah proses
impermanen/perubahan yang terus menerus karena adanya adaptasi terhadap kegiatan
tumbuh, mati (pembaharuan). Di dalam proses ini terjadi juga perubahan nilai-nilai
bersama (gaya hidup, lingkungan sosial). Transformasi juga dapat didefinisikan sebagai
proses perubahan yang melibatkan nilai-nilai budaya, agen, konsepsualisasi dan
konfigurasi yang akan membentuk suatu struktur lingkungan binaan.
Gambar 3. Defnisi transformasi
“Kita membangun untuk bertahan, untuk melawan waktu. Apa yang dibangun oleh
generasi sebelumnya, dengan tujuan untuk menjadi abadi, kita hancurkan. Kemudian,
dengan maksud yang sama, kita membangun lagi. Keabadian adalah naluri yang
senantiasa ada”
(Habraken;1998)
Dari kalimat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses transformasi akan terus
berlangsung, tidak akan ada hentinya selalu memperbaharui.
Di dalam transformasi terdapat 3 pokok bahasan yang diatur, diantaranya :
1. Physical order
Membahas pengamatan hirarki kualitas bentukan lingkungan binaan yang diatur
berdasarkan tahapan intervensi tertentu (kasat mata)
2. Territorial Order
Membahas kontrol berstruktur secara ruang (tidak kasat mata)
3. Understanding
Membahas asumsi pemahaman umum dari agen yang terlibat dalam lingkungan
binaan
Pada bahasan transformasi program penataan permukiman kumuh, kontrol yang terjadi
lebih kepada yang bersifat non fisik, dimana agen terlibat secara dominan dalam
Komang Tria Prabawati 5
menghasilkan suatu program/strategi/kebijakan tertentu. Stakeholder selaku agen berperan
dalam menentukan atau memutuskan strategi dalam penanganan permukiman kumuh
Transformasi kondisi masyarakat pada kawasan kumuh baik yang meliputi transformasi
secara fisik maupun nonfisik akan mempengaruhi strategi yang tepat dalam penanganan
kawasan tersebut. Untuk menghasilkan suatu strategi/konsep penanganan kawasan kumuh
yang tepat guna harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakatnya.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara
lain mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemisikinan
yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis.
Dengan memperhatikan perubahan/transformasi tatanan/struktur masyarakat pada kawasan
permukiman kumuh diharapkan mampu menghasilkan rumusan strategi penanganan
kawasan permukiman kumuh yang berkelanjutan dan tepat sasaran.
4. Metoda Penelitian
Metode pendekatan studi yang akan digunakan dalam studi ini melalui beberapa tahapan
sebagai berikut :
1. Studi kepustakaan :
Untuk mempelajari parameter-parameter dari suatu strategi/konsep penanganan
kawasan permukiman kumuh
2. Survei Institusional
Survei institusional dilakukan untuk mengumpulkan data dari instansi yang
terkait
3. Data dan analisis
Data yang diperoleh dari hasil studi literatur dan observasi institusional setelah
diidentifikasi kemudian dianalisis sesuai dengan parameter yang telah ditentukan.
Pengolahan dan analisis data dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
Melakukan identifikasi informasi hasil dialog yang memiliki makna dan
relevan dengan konsep-konsep yang diteliti. Informasi diperoleh dari lapangan
(hasil wawancara)
Kategorisasi data, mengelompokkan informasi
Analisis dan interpretasi, yaitu langkah yang dilakukan untuk konseptualisasi
informasi yang telah dikategorikan, termasuk dalam langkah ini adalah analisis
data secara induktif dengan menggunakan content analysis
5. Strategi Penanganan Kawasan Kumuh
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah
dalam mengatasai kawasan kumuh. Mulai dari program pengentasan kemiskinan yang
dianggap sebagai penyebab utama munculnya kawasan kumuh sampai kepada
6 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
program-program yang lebih bersifat spesifik.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan, salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah
adalah menata kawasan permukiman kumuh di perkotaan dengan meluncurkan
program-program penataan kawasan kumuh yakni program perbaikan fisik permukiman,
program perbaikan dan peningkatan ekonomi serta program pemberdayaan masyarakat
untuk perbaikan dan peningkatan sosial-budaya masyarakat.
Berbagai program pengentasan masyarakat dari kemiskinan, antara lain melalui
pendekatan permukiman, telah dirancang dan dilakukan oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah, seperti misalnya P2LDT, KIP, P2BPK, CAP, RP4D, NUSSP
(Neighbourhood Upgrading Shelter Sector Project), SAPOLA (Slum Alleviation Policy
and Action Plan), PLP3K-BK (Penanganan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan)
Salah satu program yang bersifat lebih spesfik yaitu program Perbaikan Kampung (KIP),
yang telah dilakukan sejak tahun 1978. Juga ada yang ditata dan dibangun kembali
menjadi rumah susun seperti yang telah dilakukan terhadap permukiman kumuh di industri
dalam. Ada pula yang dirangsang agar masyarakat memperbaikinya sendiri seperti yang
dilakukan dengan program bantuan aspal, tetapi juga ada yang cenderung dibiarkan.
Berbagai program yang diluncurkan pemerintah dari tahun ke tahun memiliki objektifitas
yang berbeda.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan agenda “Cities Without Slums” pada tahun
2010 dan mendorong pemerintah kota dan kabupaten untuk saling bekerja sama (city to
city cooperation) dalam rangka menggali potensi kota/kabupaten untuk menangani
urbanisasi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.
Untuk menangani kawasan kumuh, maka perlu didasarkan pada pandangan masyarakat
berpenghasilan rendah terhadap rumah. Dalam sistem perumahan sosial, maka Jo Santoso
(Jo Santoso;2002) mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah
adalah :
1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan
pekerjaan, minimal pekerjaan sektor informal
2. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih bisa
menyelenggarakan kehidupan mereka
3. Hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan khususnya hak milik tidak penting.
Yang penting bagi mereka adalah mereka tidak diusir atau digusur, sesuai dengan
cara berfikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.
Komang Tria Prabawati 7
Karena pandangan-pandangan itulah maka muncul kawasan-kawasan kumuh di sekitar
tempat-tempat berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga salah satu point
penting dalam menangani kawasan kumuh adalah strategi untuk mendapatkan peluang
pekerjaan.
Penanganan kawasan kumuh harus ditinjau kasus per kasus sesuai dengan kondisi fisik
kawasannya. Namun demikian secara umum dengan mengacu pada UU No.4/1992 tentang
perumahan dan permukiman, pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan
dalam rangka peningkatan kualitas permukiman meliputi upaya melalui perbaikan atau
pemugaran peremajaan serta pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
Konsep program-program tersebut mengalami transformasi seiring dengan perubahan
kondisi masyarakat pada permukiman kumuh dan dengan tujuan memperbaiki kekurangan
program-program sebelumnya yang belum menghasilkan perubahan signifikan. Berikut ini
gambaran sejarah perkembangan
Gambar 5.1. Lintas Sejarah Perbaikan Permukiman Kumuh
(sumber : Kementran Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia)
8 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
Program-program perbaikan permukiman kumuh yang akan dibahas dalam tulisan ini
hanya akan dibatasi pada program yang diterapkan pada permukiman kumuh yang terletak
di perkotaan yaitu kampung verbetering, KIP, P3KT dan P2BPK.
Gambar 5.2 Pokok Pembahasan Program Perbaikan Permukiman kumuh
(sumber : Kementran Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia)
Kampung verbetering
Sejak pertengahan abad ke-19, proses urbanisasi di Jawa berjalan sesuai dengan pola
pertumbuhan alamiah. Pihak kolonial Belanda mulai mendirikan kota-kota di Jawa dengan
mengambil referensi dari kota-kota jawa tua. Belanda meletakkan pusat kota pada
alun-alun dan pekan (pasar). Pusat pemerintahan didirikan disekitar alun-alun. Lokasi yang
dulunya dipakai oleh sultan pada kota Jawa kuno, ditempati oleh sang penguasa kota dan
masjid besar menjadi elemen kota yang dominan. Permukiman urban (kuarter) atau
“perkampungan” dibiarkan tumbuh alamiah
Fenomena kampung adalah fenomena perkampungan pedesaan atau niet-bebouwde kom
(daerah yang tidak dikembangkan) dari suatu wilayah urban. Istilah “kampung perdesaan”
dipakai karena daerah ini tidak termasuk wilayah administrasi kota. Pada awal abad ke-20,
Pemerintah Belanda memberi perhatian pada kampung dalam bentuk peningkatan
infrastruktur demi mengatasi penyebaran penyakit pes dan malaria. Program Kampung
verbetering yang dilaksanakan kemudian memusatkan perhatian hanya pada kondisi
kesehatan kampung, tetapi sama sekali tidak membawa perubahan bagi posisi “pribumi
Komang Tria Prabawati 9
kampung”. Program kampung verbetering melaksanakan beberapa peningkatan kondisi
lingkungan melalui intervensi langsung atau melalui regulasi. Tetapi semua itu tidak
merubah karakter kampung sebagai permukiman vernakular dengan sistem pertumbuhan
alamiah (Multhaup dan Santoso 1984)
Periode 1974 – 1979
Dalam periode ini diperkenalkan 3 program pokok, meliputi 2 program di perkotaan, yaitu
pembangunan 73.000 unit rumah sederhana dan Perintisan Perbaikan Kampung (KIP), dan
uji coba Site & Services serta 1 program di perdesaaan, yaitu bimbingan teknis dan
stimulan bagi 1.000 desa melalui Perintisan Pemugaran Perumahan Desa (P3D).
KIP (Kampung Improvement Programme)
Kampoeng Improvement Programme (KIP) sebagai proyek perbaikan kampung pernah
sukses diterapkan di DKI Jakarta dengan nama Proyek Muhammad Husni Thamrin
(MHT). Setelah dilakukan dalam empat tahap di MHT - Jakarta, KIP kemudian diterapkan
di kota-kota besar lainnya pada Pelita III. Namun seiring dengan tantangan urbanisasi dan
struktur masyarakat perkotaan, KIP diragukan bisa mengatasi permasalahan kawasan
perkotaan di kota-kota besar di Indonesia dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan
KIP pada jamannya.
Program KIP berfokus pada perbaikan prasarana serta jalan kampung saja. Dinas
perkotaan menentukan daerah dan cara perbaikan, kemudian menyediakan bahan bangunan
sedangkan masyarakat kampung menyediakan tenaganya. Walaupun sistem perbaikan
kampung ini dilakukan dengan konsep yang seragam dengan kondisi perkampungan yang
beragam, program ini dinilai cukup berhasil dalam memajukan kondisi kampung. Namun
program ini juga meningkatkan spekulasi, karena sesudah perbaikan kampung harga tanah
dan harga rumah naik sehingga banyak penghuni menjual rumahnya dan pindah ke
kampung lain dengan pengharapan akan dilaksanakan KIP pada kampung tersebut.
Keberhasilan KIP di MHT selama kurun 1969 – 1974 tak lepas dari gotong royong dan
kreatifitas warga urban untuk merelakan lahannya untuk ditata tanpa ganti rugi. Dalam
kurun tersebut, sebanyak 89 kampung atau setara dengan 2.400 ha dan 1,2 juta jiwa telah
menerima manfaat KIP. Pada 1974, Bank Dunia mulai menyalurkan bantuannya karena
seiring bertambahnya penduduk kota, kampung-kampung yang sudah ditata tersebut mulai
dipadati lagi dengan permukiman ‘liar’ dan kampung-kampung baru mulai muncul.
Selama lima tahun (sampai 1982), KIP yang didanai dari Bank Dunia setiap tahunnya
memperbaiki 1.000 ha kampung dengan penduduk lebih dari 400 ribu jiwa. Setiap
komponen ditangani Badan Pelaksana Pembangunan Proyek MHT (BAPPEM), mulai
perencanaan, pelelangan, dan pengawasan.
10 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
Lebih kanjut dijelaskan, pada 1969 – 1974 disebut sebagai permulaan Proyek MHT
berhasil memperbaiki 2400 ha, 1074 – 1982 (MHT I) antara DKI dan Bank Dunia
meningkat menjadi 15.600 ha, pada 1982-1988 (MHT II) 3.000 ha, dan 1989-1999 (MHT
III) DKI dan Bank DUnia menjangkau 85 dari 267 kelurahan yang ada. Pada MHT III
mulai diterapkan konsep Tri Bina atau Bina Ekonomi, Bina Lingkungan, dan Bina Sosial.
Namun saat ini tantangan penataan lingkungan permukiman di perkotaan semakin besar
dengan fakta dan prediksi jumlah penduduk kota dua kali lebih cepat (kota di Indonesia
pada 2010 akan mencapai 50%). Keberhasilan proyek KIP, dilihat dari kasus MHT, antara
lain memakai teknologi tepat guna, biaya rendah, mampu memanfaatkan diversitas sosial,
ekonomi, dan budaya, mendoorong penghuni mandiri dan inovatif, serta mudah
digandakan.
Periode 1984 – 1989
Tahun 1979 dibentuk Menteri Negara Perumahan Rakyat Tahun 1985 terbit
Undang-undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Tahun 1987 ditetapkan PBB
sebagai Tahun Papan Sedunia. Salah satu program yang dilaksanakan pada periode ini
adalah P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu)
P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu)
P3KT adalah program pembangunan perkotaan yang mencoba melihat kebutuhan dan
strategi perkembangan kota sebagai dasar menyusun program investasi bidang prasarana
perkotaan yang menjadi tugas Departemen Pekerjaan Umum, meliputi jalan kota, sungai
dalam kota, drainase, penyediaan air bersih, sistem pembuangan air kotor, sistem
pembuangan sampah, termasuk perbaikan kampung dan perbaikan manajemen perkotaan.
P3KT terkait erat dengan penatan ruang, karena elemen strategi yang dijadikan dasar
penyusunan program. P3KT mensyaratkan disusunnya PJM (perencanaan jangka
menengah) yang memuat pertimbangan tata ruang sebagai elemen strategis. Bahkan,
awalnya diragukan, apakah semua kota sudah siap dengan rencana tata ruangnya sehingga
dapat dijadikan dasar bagi P3KT? Muncul gagasan untuk mengisi kekosongan rencana tata
ruang dengan meluncurkan IDAP (Interim Development Assessment Plan). Lebih dari
sekedar program investasi, P3KT coba mendesentralisasikan perencanaan dan penyusunan
program pembangunan prasarana perkotaan yang semula sangat terkonsentrasi dan sektoral
menjadi terdekonsentrasi dan terpadu. P3KT dalam wujud program pembangunan
perkotaan yang sebagian besar dibiayai dana pinjaman luar negeri, mendominasi program
perkotaan di Indonesia sejak tahun 1985 sampai akhir tahun 2000, bahkan terus
berkembang sampai sekarang. P3KT yang mulai disiapkan sejak tahun 1970-an, terus
diperluas pelaksanaannya ke seluruh wilayah Indonesia. Dimulai dengan P3KT generasi
Komang Tria Prabawati 11
pertama, yaitu program perbaikan kampung (Urban I). Kemudian generasi kedua, berupa
proyek pembangunan perkotaan gaya lama (Urban II, Bandung, Medan, Urban III, Urban
IV dan Urban V). Disusul generasi ketiga, yaitu program pembangunan perkotaan untuk
melancarkan P3KT secara nasional (tidak terbatas pada proyek dengan bantuan luar negeri,
tetapi juga proyek APBN dan APBD). Lantas generasi keempat dengan proyek
pembangunan perkotaan gaya baru (Surabaya, East Java Bali, Kalimantan, Sulawesi Irian
Jaya, Bali tahap kedua, Sumatera dan Jawa Barat, Botabek, JUDP I,II dan III). Akhirnya,
generasi kelima berupa program sektor pembangunan perkotaan yang ditandai dengan
pinjaman Urban Sector Loan pada tahun 1987. Persiapan semua proyek P3KT melibatkan
konsultan luar dan dalam negeri.
Periode 1994 – 1998
Dalam periode ini ditargetkan pembangunan 500.000 unit Rumah Inti, Rumah Sangat
Sederhana dan Rumah Sederhana, perbaikan kawasan kumuh di 125 kota seluas 21.250 Ha,
peremajaan kawasan kumuh seluas 750 Ha, pembangunan prasarana air limbah di 9 kota
metropolitan dan kota besar, 200 kota sedang dan kecil serta 20.000 desa yang melayani 13
juta penduduk perkotaan dan 4 juta penduduk perdesaan, peningkatan pengelolaan
persampahan dan penanganan drainase di 20 kota metropolitan dan kota besar serta 200
kota sedang dan kecil. Salah satu program perbaikan kampung yang diberlakukan pada
periode ini adalah P2BPK.
P2BPK (Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada kelompok)
P2BPK adalah program pemenuhan kebutuhan perumahan yang bertumpu pada
kemandirian masyarakat yang merupakan kebijakan penanganan perumahan yang
diprioritaskan oleh pemerintah. Pemerintah melalui program P2BPK telah membina dan
mengarahkan agar masyarakat berpendapatan rendah dapat memiliki rumah secara
berkelompok. Pada segmen masyarakat berpendapatan rendah baik di perkotaan maupun
perdesaan, diharapkan 10% dari proporsi masyarakat yang membangun secara swadaya
melalui pemberian bantuan oleh pemerintah atau stimulan untuk dapat mewujudkan
keinginanya memiliki rumah.
Pola pembangunan perumahan berdasarkan pembangunan bertumpu pada kelompok ini
sangat berbeda dengan pola-pola yang pernah dilakukan sebelumnya dimana rumah
diposisikan sebagai komoditas dan penghuni sebagai objek yang harus menerima apa yang
direncanakan dan dibuat oleh pihak lain, pola ini merupakan pola penanganan perumahan
berorientasi penyediaan. Sedangkan P2BPK lebih menekankan nilai guna (use value) dan
mendudukan penghuni sebagai tokoh sentral dalam seluruh proses merumahkan diri.
Secara singkat pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat adalah pola
pembangunan yang mendudukkan masyarakat baik secara individu maupun kelompok
sebagai pelaku utama dan penentu semua keputusan dan tindakan pembangunan
12 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
didasarkan pada aspirasi masyarakat, kepentingan masyarakat, kemampuan masyarakat
dan upaya masyarakat.
Untuk menumbuhkan dan menggerakkan pola kerja pembangunan pola kerja
pembangunan partisipatif serta menciptakan iklim pembangunan yang kondusif maka antar
pelaku pembangunan dikembangkan 3 fungsi yang saling menunjang dan menjadi
penggerak sebagai berikut :
1. Fungsi katalis pembangunan dan pengendali diperankan oleh sektor pemerintah
baik pusat maupun daerah
2. Fungsi konsultan pembangunan yang selalu menciptakan berbagai inovasi
pembangunan diperankan oleh sektor swasta melalui para konsultan pembangunan
3. Fungsi kader pembangunan yang menciptakan pembaharuan ditingkat masyarakat
untuk mendorong perkembangan masyarkat. Fungsi ini diperankan oleh sektor
masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat, formal dan informal.
Periode 1998 – 2004
Tahun 1998 Menteri Negara Perumahan Rakyat dirubah menjadi Menteri Negara
Perumahan dan Permukiman. Tahun 1999 Menteri Negara Perumahan dan Permukiman
dan Departemen Pekerjaan Umum dilebur menjadi Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah, dan Menteri Negara Pekerjaan Umum dimana penanganan
perumahan dan permukiman dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan
Permukiman dan Direktorat Jenderal Perkotaan dan Perdesaan. Tahun 2002 Departemen
Permukiman dan Pengembangan Wilayah dirubah menjadi Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, dan Direktorat Jenderal Pengembangan Permukiman dirubah menjadi
Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. Tahun 2002 diperkenalkan Rumah
Sederhana Sehat sebagai pengganti Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana.
Tahun 2002 Presiden Megawati Sukarnoputri mencanangkan Gerakan Nasional
Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) di Denpasar Bali dalam rangka peringatan Hari
Habitat Dunia
Periode 2004 – Sekarang
Tahun 2004 dibentuk Kementerian Negara Perumahan Rakyat dan diterbitkan Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan
Nasional. Tahun 2005 dibentuk PT. Sarana Multigriya Finance (SMF). Dalam periode ini
dicantumkan target-target pembangunan perumahan dengan rincian rumah sederhana sehat
sebesar 1.350.000 unit, rumah susun sederhana sewa sebesar 60.000 unit dan rumah susun
sederhana milik dengan peranswasta sebesar 25.000 unit. Desember 2006 diterbitkan
Keputusan presiden No. 22 Tahun 2006 Tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan
Komang Tria Prabawati 13
Rumah Susun di Kawasan Perkotaan. Tanggal 5 April 2007 Pemancangan Pertama
Pembangunan Rusunami oleh Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono di
Pulogebang Jakarta. Tahun 2007 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007
yang menyatakan Rusunami sebagai barang strategis, dan dibebaskan dari PPN
6. Analisis Transformasi Program Perbaikan Permukiman Kumuh
Berdasarkan inventarisasi program-program perbaikan permukiman kumuh yang pernah
dilakukan dari periode abad ke-19 sampai sekarang dapat ditarik kesimpulan konsep
masing-masing program seperti dijelaskan pada tabel dibawah ini.
Program Sasaran Tujuan Stakeholder Kegiatan1. Kampung
VerbeteringPendudukkampung pribumidan nonpribumi
Mengatasipenyebaran penyakitpes dan malaria.Berfokus pada aspekkesehatanpermukiman
PemerintahBelanda
Memperbaikiinfrastrukturkampung danmelaksanakanbeberapa peningkatankondisi lingkunganmelalui intervensilangsung atau melaluiregulasi
2. KIP Masyarakatberpenghasilanrendah yangtinggal didaerah-daerahkumuh perkotaanyang padatpenduduknya
Meningkatkankesejahteraanmasyarakatberpenghasilanrendah
Pemerintah LSM
Menggerakkan peranserta masyarakatmelalui penyuluhantentang pentingnyakebersihan danperbaikan lingkungankampung yang diikutidengankegiatan-kegiatanfisik
3. P3KT Kota-kota diIndonesia
Menyusun rencanapembangunan kotadenganmempertimbangantata ruang sebagaielemen strategis
Pemerintah Konsultan
Perbaikaninfrastruktur,penyediaan air bersih,sistem pembuanganair kotor, sistempembuangan sampah,termasuk perbaikankampung danperbaikan manajemenperkotaan
4. P2BPK • Masyarakatberpenghasilanrendah
• Masyarakat yangmempunyaipenghasilantidak tetap
• Masyarakat yang
Membantumasyarakat yangkurang mampudalam memenuhikebutuhan rumahtinggal yangdilakukan dari, oleh,dan untuk
• KSM, adalahorganisasi yangdibentuk olehwarga secarademokratis untukmewakilikepentinganwarga
• Penggalangan dana• Perencanaan
partisipatif
14 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
belum memilikirumah sendiri
masyarakat. • KP, pihak yangdapatmendampingimasyarakat danmemiliki keahlianmelakukan prosespembangunanperumahan.Berperan sebagaicommunityorganizer
• Pemerintah
Sumber : analisa penulis
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan terjadi transformasi program perbaikan
permukiman kumuh yang meliputi transformasi sasaran, tujuan, pihak yang terlibat dan
kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki permukiman kumuh. Transformasi program
yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pertumbuhan alami masyarakat
dan lingkungan permukiman kumuh yang mengakibatkan perubahan kondisi permukiman.
Selain itu pelaku dan identitas agen juga turut mempengaruhi perkembangan program.
Gambar 6.1 Proses Transformasi Program Perbaikan Permukiman Kumuh
(Sumber : analisa penulis)
Komang Tria Prabawati 15
Pelaku atau agen yang terlibat dalam program perbaikan permukiman kumuh semakin
lama semakin kompleks mengimbangi kompleksnya karakteristik permukiman kumuh.
Semula program perbaikan permukiman kumuh hanya dimotori oleh pihak pemerintah dan
masyarakat sebagai objek harus menerima apa yang dilakukan dan disediakan oleh
pemerintah, namun seiring dengan berkembangnya budaya dan kondisi lingkungan konsep
ini tidak lagi efektif memperbaiki kondisi permukiman karena masyarakat menjadi
terus-menerus bergantung pada pemerintah tanpa mampu berkembang untuk meningkatkan
kehidupanya secara mandiri. Dengan kondisi seperti itu, diperlukan adanya pelaku-pelaku
yang mempriorotaskan perkembangan dan partisipasi masyarakat sebagai aktor bagi
peningkatan kualitas hidupnya sendiri, untuk itu diperlukan pihak yang mewakili dan
mendampingi masyarakat selama program perbaikan permukiman berlangsung. Semakin
bertambahnya pihak-pihak yang terlibat dalam program perbaikan permukiman kumuh
yang mewakili seluruh kepentingan diharapkan mampu mengatasi ketidakberhasilan
program-program terdahulu serta mampu menghadapi perkembangan masyarakat dan
lingkungan permukiman.
Gambar 6.2 Peran agen dalam perbaikan permukiman kumuh
(Sumber : analisa penulis)
16 AR6142 Perancangan dalam Konteks Transformasi
Referensi
Esmara, Hendra. 1975. Kesenjangan Pendapatan Daerah, Padang: Universitas Andalas
Habraken, N.J. 1998. The Structure of The Ordinary, London: The MIT Press.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Devolopment Programme,
1997.
Koestoer. RH, 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori dan Kasus, UI-Press.
Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Jakarta
Sri. P, 1988. Permukiman Kumuh; Pertimbangan Pengusiran Atau Perbaikan. Jakarta. :
Kongres Ikatan Peminat Dan Ahli Demografi Indonesia IV
Santoso, Jo., dkk.2002. Sistem Perumahan Sosial di Indonesia. Center for Urban Studies
dan IAP. Jakarta
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.