Post on 26-Dec-2015
description
Skenario E Blok 19 Tahun 2012
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan
kejang. Dari catatan rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan kejang
saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rectal dua kali dan intravena satu kali kejang
juga belum teratasi. Kejang berhenti setela diberikan drip fenitoin. Kejang tidak didahului atau
disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.
Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,
namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.
Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS
penderita mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, mata mendelik ke atas,
kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung kurang lebih lima
menit. Setelahnya penderita tidak sadar. Penderita kemudian dibawa ke RS. Sekitar 10 menit
setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit, bangkitan serupa
berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan rumah sakit lebih
kurang 10 kilometer. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan di atas, kejang
berhenti. Pasca kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai sadar.
Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering
tersedak.
Riwayat Penyakit Sebelumnya :
Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalai kejang dengan demam tinggi. Dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita meningitis. Penderita
dirawat di RS selama 15 hari.
Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak
dua kali. Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak
tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah enam bulan berobat,
orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang. Penderita sudah bisa
bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.
Pemeriksaan fisik :
1
Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi 100x/menit, laju
nafas 30x/menit.
Pemeriksaan neurologis :
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak mata
dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi deviasi
ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan nampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit
diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai
kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan
tungkai kanan meningkat, serta ditemukan reflex Babinski di kaki sebelah kanan.
I. Klarifikasi Istilah
1. Kejang : Kontrasi otot secara mendadak keras dan involunter
2. Diazepam : Obat penenang golongan benzediazepin digunakan sebagai ansiolitik
agen antipanic, sedative, relaksan otot rangka, anti konvulsan, dan dalam penatalaksanaan
gejala-gejala akibat penghentian alkohol
3. Drip Fenitoin : Anti konvulsan yang digunakan untuk mengatasi berbagai bentuk
epilepsy dan kejang akibat bedah syaraf yang diberikan dalam benuk infuse cairan atau
tetesan
4. Bangkitan : Epileptic seizure merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa
perubahan kesadaran disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel syaraf di otak
yang bukan disebabkan oleh penyakit otak akut
5. Kelojotan : Rangkaian kontraksi dan relaksasi otot yang involunter serta pergantian
secara cepat
2
6. Meningitis : Radang pada membran pembungkus otak dan medulla spinalis
(meningen)
7. Asam Valproat: Obat yang bekerja di jaringan otak untuk menghentikan kejang ; anti
konvulsan asam 2-proprilpentanoat yang digunakan untuk mengontrol kejang yang tidak
terlihat
8. Deviasi : Penyimpangan ke salah satu arah
9. Tonus : Kontraksi otot yang ringan dan terus menerus
10. Tremor : Gemetar atau menggigil yang involunter
11. Reflex Babinski: Tindakan reflex jari-jari kaki yang normal selama masa bayi tetapi
abnormal setelah usia 12-18 bulan
II. Identifikasi masalah
1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan
kejang.
2. Dari rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan kejang saat
datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan IV satu kali kejang juga
belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Kejang tidak didahului
atau disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.
3. Setelah 8 jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik, namun
masih malas bicara serta tatapan sering kali kosong.
4. Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar 20 menit sebelum masuk RS penderita
mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, mata mendelik ke atas,
kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung 5 menit.
Setelahnya penderita tidak sadar.
3
5. Sekitar 10 menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit,
bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dan
rumah sakit lebih kurang 10 kilometer.
6. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan diatas, kejang berhenti. Pasca
kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar.
7. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita
sering tersedak.
8. Riwayat Penyakit Sebelumnya :
- Saat berusia 9 bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi. Dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita meningitis.
Penderita dirawat di RS selama 15 hari.
- Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam
sebanyak dua kali.
- Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak
tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah 6 bulan
berobat, orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.
- Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai
sepeda roda tiga.
9. Pemeriksaan fisik :
Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi
100x/menit, laju nafas 30x/menit.
10. Pemeriksaan neurologis :
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak
mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah
terjadi deviasi ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan
nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan
tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan
dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya.
Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan
reflex Babinski di kaki sebelah kanan.
4
III. Analisis masalah
1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan
keluhan kejang.
a. Bagaimana etiologi dari keluhan diatas?
Secara umum etiologi kejang antara lain:
- Metabolik Sistemik
o Hipernatremia : Pada kondisi hipernatremia, air keluar dari intrasel ke
ekstrasel yang mengakibatkan volume otak mengecil sehingga
menimbulkan robekan pada vena. Robekan vena tersebut dapat
menyebabkan perdarahan lokal dan subarakhnoid, sehingga memicu
terjadinya kejang.
o Hiponatremia : Kondisi hiponatremia menyebabkan berpindahnya air dari
ekstrasel ke intrasel otak sehingga menimbulkan edema otak. Seperti
halnya pada perdarahan otak akibat hipernatremia, edema sel otak juga
dapat menimbulkan gejala kejang.
- Tumor
Pada dasarnya ruang kranium tidak mentolerir adanya tambahan massa atau tumor
sebab ruang kranium yang sempit dan terbatas. Sehingga dengan adanya tumor maka
tekanan intrakranial dapat meningkat. Selain itu, tumor intrakranial juga dapat
menimbulkan perdarahan setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor
menyebabkan jaringan otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa
diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor
terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.
Peningkatan tekanan intrakranial sendiri dapat memicu gejala kejang.
- Epilepsi (sesuai dengan kasus)
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu serangan kejang berkala yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya
gejala- gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang-ulang yang disebabkan
lepas m/uatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel.
5
- Trauma
Pada trauma kepala, sering kali didapatkan perdarahan yang menyebabkan hipoksia
otak dan peningkatan tekanan intrakranial otak, sehingga dapat menimbulkan kejang.
- Intoksikasi dan Efek obat
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat depresan
trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiasin. Menghentikan obat-obatan
penenang/sedatif secara mendadak seperti barbiturat dan valium juga dapat
mencetuskan kejang.
- Infeksi
Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk
empiema epidural, subdural, atau abses otak. Infeksi biasanya disertai dengan demam.
b. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, BB dengan keluhan?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi terjadinya kejang
pada anak, yaitu:
o Faktor Umur
o Faktor Jenis kelamin
Resiko serangan kejang demam lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada anak
perempuan, perbandingannya 2:1. Hal ini mungkin disebabkan karena pada
anak perempuan perkembangan otaknya lebih cepat.
o Faktor keturunan
Anak dengan riwayat anggota keluarga yang pernah mengalami kejang
demam memiliki kemungkinan mendapat serangan kejang demam dari pada
anak yang tidak memiliki riwayat keluarga kejang demam.
o Faktor Suhu badan
Kejang demam bisa terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah
relatif normal. Pemicu utama terjadinya kejang demam adalah kenaikan suhu
badan. Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai
ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar
antara 38.3 derajat Celcius hingga 41.4 derajat Celcius. Adanya perbedaan
ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang anak baru
6
timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
c. Apa saja klasifikasi kejang?
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven,
Ozuna 2005).
- Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
Motorik
Sensorik
Otonom
Psikis
- Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran saat awal serangan.
- Serangan umum sekunder
Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
Parsial kompleks menjadi tonik klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
- Serangan umum.
Absans (lena)
Mioklonik
Klonik
Tonik
Atonik.
- Tak tergolongkan.
2. Dari catatan rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan
kejang saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan
intravena satu kali kejang juga belum teratasi. Kejang berhenti setela diberikan drip
fenitoin. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.
a. Apa makna klinis penderita sering mengalami kejang?
Penderita sering mengalami kejang karena
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
7
pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
b. Bagaimana pertolongan pertama untuk anak kejang?
0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal
0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis
diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
8
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis
30 mg/kgbb.
30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda-
tanda depresi pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
intensif.
c. Apa indikasi pemberian diazepam per rectal dan IV dan mengapa kejang tidak
teratasi?
Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, serangan panik,
tambahan pada putus alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, tetanus dan
spasme otot.
Pada orang normal, di otak ada reseptor GABA (asam gamma
aminobutirat). GABA adalah neurotransmitter yang berfungsi sebagai agen
“penenang saraf” alami. Ini membantu menjaga aktivitas saraf di otak seimbang,
dan terlibat dalam mendorong kantuk, mengurangi kecemasan dan relaksasi otot.
Sedangkan pada orang yang mengalami kejang reseptor GABA berkurang
sehingga kerja diazepam yang mengikat reseptor GABA tidak maksimal. Hal ini
lah yang menyebabkan kejang tidak teratasi pada kasus ini.
d. Apa indikasi pemberian fenitoin ?
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali
bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting
untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian
dengan efek sedasi. Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi
umum susunan saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal
menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada
penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek
9
stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel
lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung.
Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal
ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron.
e. Bagaimana mekanisme kerja:
o Diazepam
agonis reseptor GABA à meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan
kerja reseptor GABA à contoh: benzodiazepin, barbiturate
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini
pada SSP dengan efek utama: sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap
rangsangan emosi/ ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek
saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer: vasodilatasi
koroner setelah pemberian dosis terapi secara IV dan blockade neuromuscular
yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi.
Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini
terdiri dari subunit α, β, dan γ dimana berkombinasi dengan lima atau lebih
dari membrane postsinaptik. Benzodiazepine meningkatkan efek GABA
dengan berikatan ke tempat yang spesifik dan afinitas tinggi. Reseptor
ionotropik ini, suatu protein heteroligometrik transmembran yang berfungsi
sebagai kanal ion klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA
inhibiotrik. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh
GABA. Pemasukan ion klorida tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil
yang menggerakkan potensial postsinaps menjauh dari threshold sehingga
menghambat kejadian potensial aksi. Dengan kata lain diazepam bersifat
GABA agonist.
Diazepam digunakan dalam jangka pengobatan jangka pendek untuk
ansietas berat, hypnosis untuk manajemen sementara insomnia, sebagai
sedative dan premedikasi, sebagai anti konvulsan, dalam pengontrolan spasme
otot, dan pada manajemen gejala putus obat.
o Fenitoin
10
• Mempengaruhi perubahan fungsi membran saraf, misal pada pengaturan
perubahan voltase yang diatur melalui kanal ion. Fenitoin memblok kanal
Na pada saraf sehingga dapat mereduksi perulangan potensial aksi yang
sangat berguna untuk mengontrol serangan tonik-klonik
• Fenitoin menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi dengan
cara mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan
istirahat atau selama depolarisasi.
f. Mengapa kejang tidak disertai demam?
Suatu kondisi yang ditandai oleh adanya bangkitan kejang yang timbul
dua kali atau lebih secara spontan (unprovocated seizure) disebut epilepsi. Jadi,
pada skenario ini anak mengalami epilepsi pada umur 1 tahun. Epilepsi ini berasal
dari gangguan metabolisme pada fokal epileptogenik, yang timbul akibat lesi
pasca meningitis.
Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang yang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan
anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama didaerah yang peka
seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
“matang” dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
Kejang demam dapat berkembang menjadi epilepsi diperkirakan melalui
11
mekanisme biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan
efek kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya
kejang kembali). Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh
Raharjo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme
sebagai berikut6 :
1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA
dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-
eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.
2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga rangsang
dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak
mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa
amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.
5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen,
dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak.
g. Mengapa pasca kejang anak tidak sadar?
o Kejang à metabolisme meningkat karena Natrium masuk ke CIS itu
membutuhkan ATP, sehingga pasien mengalami hipoksia, hipoglikemia dsb
sehingga pasien memerlukan waktu untuk sadar.
o Gangguan pada formatio retikularis di sepanjang batang otak menyebabkan
gangguan kesadaran menurun
3. Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,
namun masih malas bicara serta tatapan sering kali kosong.
Apa makna klinis dari keadaan tersebut?
Pada epilepticus dibagi menjadi 3 fase yaitu :
- Sebelum Ictus
a. Bukti yang sering dari penyakit neurologis.
b. Berbagai aura epilepsi.
12
b. Jarang diinduksi kecuali kejang reaktif.
- Selama Ictus
a. Fit jenis kejang tertentu.
b. Pola kejang stereotip.
c. Sering terjadi tanpa saksi atau di malam hari.
d. Onset mendadak, durasi pendek.
e. Kekakuan tonik pada onset kejang GTC.
f. Inkontinensia, lidah tergigit pada epilesi general.
g. Reaktivitas autono terganggu,reflex cornea dan respon pupil.
h. Tidak dapat menghindar dari rangsangan yang berbahaya.
i. Vokalisasi tunggal,jika terdapat,saat onset.
j. EEG ictal normal.
- Setelah ictus
Pada fase setelah ictus dibagi menjadi 2 yaitu :
Fisiologi
Untuk fisiologi berupa :
1. Spesifik (kesadaran mulai membaik, malas bicara dan tatapan kosong)
2. Prolactin >1,000 IU/L, 10 sampai 20 menit pasca ictal.
3. EEG melambat pasca ictal.
4. Tidak ingat atau hanya ingat sebagian dari kejadian ictal.
5. Hilangnya frekuensi kejang dengan obat antiepilepsi.
Motorik
Pada fase motorik, pasien sulit untuk menggerakan anggota tubuh dikarenakan
setelah kejang suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot berkurang.
Jadi, setelah dilakukan perawatan intensif di RS, mulai terjadi kembali
perbaikan-perbaikan untuk status generalisata anak, metabolisme mulai membaik,
kesadaran membaik, pengaruh obat antikonvulsan yang diberikan juga memberi efek
13
kembali normalnya transmitter muatan di neuron. Hal tersebut menandakan pasien
sudah masuk dalam fase setelah ictus.
4. Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS
penderita mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, meta
mendelik ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini
berlangsung lima menit. Setelahnya penderita tidak sadar.
a. Bagaimana mekanisme kejang ?
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron
untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];atau 3] meningkatnya eksitasi
sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang
berulang.
b. Apa makna klinis dari bangkitan yang berlangsung 5 menit dan setelahnya
penderita tidak sadar?
o Keluhan kejang yang dialami selama 5 menit tersebut akibat gangguan
membran sel yang skaligus juga mengganggu keseimbangan ion memacu
timbul depolarisasi dan mengaktifkan potensial aksi à pelepasan
neurotransmitter di ujung akson yang continued hingga timbul kejang à
mempengaruhi sistem metabolisme dan respirasi, dimana hipermetabolisme
yang terjadi à kebutuhan O2 dan ambilan glukosa juga meningkat ditambah
terjadi hambatan suplai O2 menyebabkan hipoksia sel-sel ditambah penurunan
ATP dan kesemuanya à melemahnya tubuh si pasien sampai kesadaran
menurun
o Gangguan pada formatio retikularis di sepanjang batang otak menyebabkan
gangguan kesadaran menurun
5. Sekitar sepuluh menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke
rumah sakit, bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak
antara rumah dan rumah sakit lebih kurang 10 kilometer.
14
a. Apa dampak kejang berdasarkan durasi kejang?
Tidak ada patokan khusus antara durasi kejang dan dampak yang ditimbulkan,
tetapi hubungannya adalah semakin lama kejang itu terjadi maka akan semakin
besar juga kerusakan sistem saraf dan otak sehingga manifestasi klinik kerusakan
neurologis pun akan semakin berat. Contohnya Pada status epileptikus stadium 5 (
lebih dari 30 menit) akan menyebabkan kerusakan irreversible pada lima area dari
otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteksserebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Selain itu kejang yang lama juga dapat mengganggu fungsi kognitif, bahasa
dan memori anak karena terputusnya hantaran antara neuron yang satu dengan
yang lainnya, contohnya Kejang yang terjadi pada lobus temporal dan frontal dari
hemisfer kiri daerah yang bertanggung jawab terhadap kemampuan
bicaramenyebabkan gangguan bicara/ bahasa. Kejang yang tidak teratasi (lama)
juga dapat menimbulkan komplikasi diantara nya :
•Otak
Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Oedema serebri
Trombosis arteri dan vena otak
Disfungsi kognitif
•Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
•Gagal Nafas
Apnoe
Pneumonia
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
•Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Glikosuria, dilatasi pupil
15
Hipersekresi, hiperpireksia
•Jantung
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
•Metabolik dan Sistemik
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
•Idiopatik
Fraktur, tromboplebitis, DIC
6. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan diatas, kejang berhenti.
Pasca kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai
sadar.
Bagaimana tatalaksana saat pasien tidak sadar akibat kejang?
- Jangan panik, segera longgarkan pakaiannya dan lepas atau buang semua yang
menghambat saluran pernapasannya (pastikan jalan nafas baik). Jadi kalau sedang
makan tiba-tiba anak kejang, atau ada sesuatu di mulutnya saat kejang, segera
keluarkan.
- Miringkan tubuh anak karena umumnya anak yang sedang kejang mengeluarkan
cairan-cairan dari mulutnya. Guna memiringkan tubuh adalah supaya cairan-cairan ini
langsung keluar, tidak menetap di mulut yang malah berisiko menyumbat saluran
napas dan memperparah keadaan.
- Lender dihisap , beri oksigen 100%
- Lakukan resusitasi
- Atasi kejang dengan obat antikonvulsan
7. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan
penderita sering tersedak.
16
Bagaimana mekanisme lengan dan tungkai sebelah kanan tanpak lemah dan
mekanisme tersedak?
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteksserebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Daerah
yang tersering mengalamo kerusakan adalah lobus temporal korteks serebri, sehingga
kemungkinna besar pada kasus ini terjadi kerusakan pada korteks motorik primer
lobus temporal cerebri sinistra yang menyebabkan hemiparese dextra tipe sentral
sehingga akan tampak sebagai kelemahan sisi tubuh sebelah kanan. Tersedak sendiri
terjadi akibat parese nervus VII yang menyebabkan penurunan tekanan cavum oris
untuk meneruskan saliva masuk ke esophagus selain itu parese nervus XII juga yang
menyebabkan tidak bisa mendorong saliva masuk ke esofagus, dan peningkatan
hasilan Co2 akibat kejang sehingga membuka epiglotis yang menyebabkan
terbukanya trakea, akibatnya saliva yang terkumpul akan masuk ke trakea dan
terjadilah gejala tersedak.
Selain itu kelumpuhan nervus VII dan XII juga akan menunjukkan gejala pada
pemeriksaan neurolgi yaiitu mulut tertarik pada sisi sehat ( kiri) dan lidah deviasi ke
kanan (tempat yang saiki) hal ini dikarenakan kedua nervus tersebut dipersarafi
secara ipsilateral, sehingga erusakan pada satu sisi akan berdampak pada daerah yang
dipersarafi, tetapi pada nervus VII bagian dorsal juga dipersarafi secara bilateral
sehingga pada pemeriksaan didapatkan kerutan dahi masih nampak.
8. Riwayat Penyakit Sebelumnya
- Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi.
Dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita
meningitis. Penderita dirawat di RS selama 15 hari.
- Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam
sebanyak dua kali.
- Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak
tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah 6 bulan
berobat, orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.
17
- Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai
sepeda roda tiga.
a. Bagaimana mekanisme kejang disertai demam tinggi?
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.
Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi
kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan
keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan
neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang
yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang, seorang
anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi
pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa
berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang
yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang
demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan
mendapat serangan.
b. Apa komplikasi dari meningitis?
Komplikasi meningitis pada anak dapat terjadi karena pengobatan yang
tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin
ditemukan ialah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri,
paresis / paralisis, retardasi mental, epilepsi.
c. Apa hubungan meningitis dengan kejang?
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang
di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
18
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema
serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps
sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel
dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari
metabolisme glukosa melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses
oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-
paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh
suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran
permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran
permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium
( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di
luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi
ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya :
1) perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2) rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya
19
3) perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.
Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi
kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan
keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan
neurotransmiter sehingga terjadilah kejang
d. Apa hubungan penyakit dahulu dan keluhan yang diderita sekarang?
Kejang pada meningitis (9 bulan)
Kejang timbul karena adanya demam tinggi. Pada keadaan demam,
kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%
dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada
seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan
membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion
Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter
sehingga terjadilah kejang.
=> kejang tidak disertai demam 2 kali (12 bulan/1 tahun)
Suatu kondisi yang ditandai oleh adanya bangkitan kejang yang timbul dua
kali atau lebih secara spontan (unprovocated seizure) disebut epilepsi. Jadi,
pada skenario ini anak mengalami epilepsi pada umur 1 tahun. Anak dengan
kejang demam mmepunyai resiko sebesar 30%-40% untuk berulangnya
kejang dan sebagian kecil mengalami epilepsi di kemudian hari. Faktor
20
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi
yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi ( Ilmu Kesehatan Anak FK
UI, 2002).
Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Suwitra dan
Nuradyo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme
sbb:
1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan
DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini
dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan
inhibisieksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.
2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga
rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak
mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik
berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.
5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,
oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron
menjadi rusak.
Pada jejas otak terdapat lebih banyak acetycholine daripada dalam keadaan
otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikastriks setempat pada
permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis,ensefalitis, kontusio
serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari
acetycholine. Oleh karena itu pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan
listrik neuron-neuron.
21
=> Kejang disertai demam tidak tinggi (18 bulan)
Pada pasien epilepsi didapatkan ambang kejang yang rendah. Kejang yang
berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga rangsang dibawah nilai
ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
Pada bayi dan anak, selain sstem saraf yang belum matur, tetapi juga
variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi memainkan peranan
dalam menentukan ambang kejang. Jaringan saraf dapat hipereksitabel oleh
perubahan homeostats tubuh, seperti demam, hipoksia, hipoglikemia, dan
gangguan asam-basa. Pada kasus ini, karena ambang kejang menurun maka,
demam yang tidak tinggi dapa menjadi faktor presipitasi bangkitan kejang
pada epilepsi.
Status epileptikus (3 tahun)
Status epileptikus yang terjadi pada skenario, diakibatkan karena
menurunnya ambang batas kejang (seizure threshold), dan ketidak
seimbangan neurotransmitter eksitatorik>inhibitorik yang terjadi pada saat
perkembangan otak (imatur). Ditambah dengan konsumsi obat antiepileptik
yang tidak tepat.
e. Apa indikasi, kontraindikasi, dosis, aturan pakai, dan mekanisme kerja asam
valproat ?
Indikasi:
- Epilepsi / kejang
- Mania
- Migrain
Kontraindikasi : Penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam keluarga,
porfiria.
Dosis: Dosis Anak : 10-30 mg/kgBB/hari
Mekanisme kerja :
22
Valproate diyakini mempengaruhi fungsi neurotransmitter GABA dalam
otak manusia, sehingga alternatif untuk garam litium dalam pengobatan gangguan
bipolar. Prinsip mekanisme kerjanya diyakini penghambatan GABA transaminasi.
Valproate juga diyakini untuk membalikkan proses transaminasi untuk
membentuk lebih GABA. Oleh karena itu, secara tidak langsung Valproat
bertindak sebagai agonis GABA. Namun, beberapa mekanisme lain tindakan
dalam gangguan neuropsikiatri telah diusulkan untuk asam valproik dalam
beberapa tahun terakhir.
Asam valproik juga menghalangi saluran tegangan-gated sodium dan T-
jenis saluran Kalsium. Mekanisme ini membuat Asam valproat obat Spektrum
Luas anticonvulsant. Asam valproik adalah inhibitor dari enzim deacetylase
histon 1 (HDAC1) maka itu adalah inhibitor deacetylase histon.
f. Apa dampak dari penghentian konsumsi asam valproat ?
Penghentian konsumsi asam valproat yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
dapat menyebabkan kambuhnya bangkitan karena pengobatan yang tidak adekuat.
g. Bagaimana tumbuh kembang anak usia 2 tahun?
Kemampuan fisik
Pada usia ini, tubuh anak mulai tumbuh dengan lebih kuat. Ia juga semakin aktif
dengan beragam gerakan. Seorang anak bisa naik turun tangga, memanjat, naik
sepeda roda tiga, melompat, serta semakin lincah untuk berlari
Kemampuan motorik
Anak akan mendapatkan kemampuan motorik yang cukup baik seperti memegang
pensil, memotong kertas, mampu menekan beragam tombol di mainannya, bisa
melepas pakaian sendiri, dan masih banyak lagi.
Kemampuan berbicara
Seorang anak mampu mengucapkan beberapa kata dengan baik dan bahkan
mereka bisa memperkenalkan nama lengkap dengan percaya diri.
Perkembangan imajinasi
Anak bisa merencanakan sesuatu, membat konstruksi dengan mainan mereka, dan
ikut campur dalam pembicaraan yang kita lakukan.
23
9. Pemeriksaan fisik :
Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi
100x/menit, laju nafas 30x/menit.
Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?
Status Generalisata pasien masih dalam batas normal
- Nadi usia anak 3 tahun normal sekitar 100-140x/menit
- Laju nafas masih dalam batas normal 20-30 menit
10. Pemeriksaan neurologis :
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua
kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta
mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan
dan tungkai kanan nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah
kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat
melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan
kuat sewajar usianya. Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan tungkai kanan
meningkat, serta ditemukan reflex Babinski di kaki sebelah kanan.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan neurologis?
Dari hasil pemeriksaan neurologis dapat disimpulkan bahwa penderita
mengalami hemiparesis dextra tipe spastic , paresis N.VII dan N.XII dextra tipe
sentral karena didapatkan penurunan kekuatan pada lengan dan tungkai kanan ,
peningkatan tonus dan reflex fisiologis pada lengan dan tungkai kanan , reflex
babinsky pada kaki kanan , lipatan nasolabialis kanan yang menghilang , sehingga
mulut Nampak mengot kekiri , namun otot – otot wajah sebelah atas dan kelopak
mata belum terganggu , serta kelumpuhan otot lidah sebelah kanan. Deficit
neurologis kemungkinan karena disebabkan oleh status epileptikus karena deficit
tersebut tidak dijumpai sebelum kejang dan timbulnya segera setelah kejang.
b. Jelaskan cara pemeriksaan neurologis untuk kasus ini!
N.VII = N. Facialis
Pemeriksaan N. Facialis ini meliputi fungsi:
24
- Motorik, yang mempersarafi semua otot wajah kecuali M. Levator
palpebra superior
- Sensorik khas, pengecap 2/3 anterior lidah
- Visceromotorik, mengatur sekresi kelenjar lakrimalis, lingualis, dan
submaxillaris.
Motorik
Otot wajah
Perhatikan lipatan nasolabialis simetris atau tidak. Pada sisi parese lipatan
tersebut datar atau hampir datar. Sudut mulut simetris atau tidak. Hasil
pemeriksaan akan tampak lebih jelas pada saat penderita diajak berbicara.
Gerakan abnormal: ada tidaknya tic facialis.
Otot dahi
Penderita disuruh mengerutkan dahinya, mengangkat kedua alis mata atau melihat
ke atas tanpa menggerakkan kepalanya. Kemudian perhatikan apakah kerutan
dahinya simetris atau tidak.
M. Orbicularis oculi
Perhatikan apakah ada LAGOPHTALMUS atau tidak dengan menyuruh penderita
menutup matanya pelan-pelan. Adanya lagophtalmus bila celah mata masih tetap
terbuka. Didapat pada lesi N.VII tipe perifer.
Kemudian penderita disuruh MEMEJAMKAN MATANYA kuat-kuat dan
pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut. Pemeriksa membandingkan
kekuatan mata tersebut. Bila sama kuat kanan dan kiri berarti normal, tapi bila
salah satu lebih mudah dibuka maka berarti M. Orbicularis oculi mata tersebut
parese.
M. Orbicularis oris
Penderita disuruh MENUNJUKKAN GIGINYA/MERINGIS, lalu perhatikan
sudut mulut kanan dan kiri. Bila salah satu sudut mulut tertinggal pada
pergerakkan tersebut berarti terdapat parese di sisi tersebut.
N.XII = N. Hypoglossus
25
Bersifat motorik yang mempersarafi otot-otot penggerak lidah
Cara pemeriksaan:
Penderita diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya lurus ke depan.
Perhatikan:
Deviasi lidah (lidah membelok ke arah mana)
Fasikulasi (gerakan kecil-kecil pada otot lidah secara terus-menerus)
Papil lidah: ada atrofi atau tidak (pada atrofi lidah tampak licin)
Selanjutnya penderita diajak bicara atau disuruh mengucapkan kata-kata yang
banyak mengandung huruf R dan L. Misalnya: ular loreng-loreng lari di lorong-
lorong. Tujuannya adalah untuk mengetahui disartria atau tidak.
Gerakan
Mengukur range of motion (luasnya bidang gerak). Penderita disuruh
menggerakkan lengan setinggi mungkin sampai ke belakang dan
mempertahankan posisi waktu diangkat. Bila tidak dapat menggerakkan sendi
besar disuruh menggerakkan sendi-sendi kecil ataupun disuruh menggeser saja di
tempat tidur. Bandingkan dengan yang sehat. Nilai: cukup, kurang, tidak ada
Kekuatan
Penderita disuruh menggerakkan sendi-sendi lalu kita berikan tahanan/beban
mulai tahanan ringan, lalu tahanan diperbesar, dan terakhir diberi tahanan penuh.
0 bila tidak ada gerakan sama sekali
1 bila dapat menggerakkan sendi kecil atau bisa bergerak tanpa mengangkat
anggota (tidak dapat melawan gaya berat)
2 bila dapat menggerakkan sendi besar (dapat melawan gaya berat)
3 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan ringan
4 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan sedang
5 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan penuh
Pemeriksaan ini sifatnya sangat subjektif, sehingga pembandingnya adalah
bagian yang sehat dari penderita. Bila keempat ekstremitas lumpuh perneriksaan
dengan membandingkan dengan orang ain yang kondisi fisiknya sama.
26
Tonus
Dilakukan dengan meraba otot penderita, mula-mula pada sisi yang sehat
kemudian baru ke sisi yang sakit. Dalam penilaian tonus ini penderita harus
tenang dan relax. Bila tonus menurun otot terasa lebih lembek sedangkan tonus
otot yang meningkat akan terasa lebih tegang. Kemudian lakukan gerakan fleksi
dan ekstensi maksimal pada sendi siku secara perlahan kemudian cepat.
Perhatikan adanya tahanan yang terasa oleh pemeriksa pada waktu mulai fleksi
atau setelah fleksi ekstensi. Bandingkan dengan yang sehat.
Refleks fisiologis
Pada lengan ada 2 macam refleks yaitu : refleks tendo dan refleks periost
Cara menilai refleks:
- Dengan intensitas pukulan
Lakukan ketukan pada tendo/periost dengan refleks hammer dari intensitas
kuat ke intensitas lemah
- Dengan memeriksa zona refleksogen
Yaitu mengetuk daerah sekitar tendo yang masih dapat dibangkitkan
reflex. Suatu refleks dikatakan meningkat kalau Dengan intensitas yang
kecil refleks tersebut sudah dapat dibangkitkan (bandingkan dengan sisi
yang sehat). Perhatikan dengan intensitas yang sama bahwa yang
refleksnya tinggi akan berkontraksi lebih kuat.
Zona refleksogennya lebih luas
Pada lengan refleks fisiologis yang diperiksa adalah:
1. Refleks tendo biceps
Lengan dalam posisi sedikit fleksi pada sendi siku, lakukan ketukan pada
tendo M. Biceps brachii, perhatikan kontraksi M. Biceps brachii.
2. Refleks tendo triceps
Lengan dalam posisi fleksi 90", ketuk tendo M. Triceps, perhatikan
kontraksi M. Triceps brachii.
27
3. Refleks periost radius Posisi lengan dan tangan sedikit supinasi, lalu
ketuk processus styloideus radii. Positif jika terjadi fleksi jari-jari terutama
jari I dan II disertai supinasi lengan.
4. Refleks periost ulna
Posisi seperti refleks periost radius, lalu ketuk ujung os ulnaris pada
circumferentia ulnaris. Positif jika terjadi fleksi jari-jari terutama jari III,
IV, dan V disertai pronasi lengan.
Refleks patologis
Refleks patologis yang diperiksa pada lengan adalah refleks Hoffman Tromner. Sendi
siku dan pergelangan tangan dalam keadaan fleksi membentuk sudut 90°. Jan III diangkat
dan diberi rangsangan dengan menjentikkan kuku pemeriksa pada kuku penderita. Positif
jika terjadi fleksi jari-jari lain dan adduksi jari I.
Tungkai
a. Gerakan
Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan gerakan lengan.
b. Kekuatan
Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan kekuatan lengan. Yang dinilai otot-otot
fleksor dan ekstensor.
c. Tonus
Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan tonus lengan.
d. Refleks fisiologis
Berbeda dengan lengan, di tungkai hanya ada refleks tendo saja.
Refleks tendo patella
Posisi tungkai dalam keadaan sedikit fleksi pada sendi lutut, lalu ketuk tendo patella.
Perhatikan kontraksi M. Quadriceps femoris.
Refleks tendi Achilles
Posisi tungkai dalam keadaan fleksi sendi lutut dan lakukan dorsofleksi maksimal
kaki dan beri sedikit tahanan, lalu ketuk tendo achilles. Perhatikan kontraksi
M.Gastrocnemius. Posisi tungkai lurus pada tempat tidur, lalu pegang kulit di atas
28
patella dan sentakkan tiba-tiba ke arah distal dan ditahan. Positif bila
terlihat/terasa kontraksi klonik M.Quadriceps femoris.
2. Klonus kaki
Posisi fleksi sendi lutut dan melakukan dorsofleksi maksimal secara tiba-tiba dan
ditahan. Positif bila terlihat/terasa kontraksi M. Triceps surae.
f. Refleks patologis
Babinsky group
Positif bila terjadi dorsofleksi ibu jari dan fanning jari-jari lainnya (gerakan membuka
seperti kipas). Menggores telapak kaki sepanjang sisi lateral ke atas lalu ke sebelah
medial seperti huruf J terbalik.
Refleks Chaddock
Menggores sepanjang bagian bawah maleolus lateralis.
Refleks Oppenheim
Menggosok dengan keras sepanjang tibia dari arah proksimal ke distal.
Refleks Gordon
Memijit dengan kuat M.Gastrocnemius.
Refleks Schaeffer
Mencubit tendo achilles.
Mendel-Bechterew-Rossolimo
Positif bila terjadi plantar fleksi jari-jari kaki.
Mendel-Bechterew
Memukul bagiian kaki pada dorsum pedis.
Rossolimo
Memukul bagian kaki pada plantar pedis.
11. Apa DD dari kasus ini?
- Sinkop
- Drop attack
- Narcolepsi
29
- Kelainan psikiatrik
- Breath holding spells
- Tics
- Sindrom neurologis periodic tanpa gangguan kesadaran
-
12. Bagaimana cara penegakan diagnosis untuk kasus ini?
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan
penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan
adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. 2 Ditanyakan riwayat kejang
sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obatobatan, trauma, gejala-gejala
infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut
kepala dan adanya kelainan sistemik, 2 terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya
kelainan neurologis fokal. 8 Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan
lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Untuk menentukan faktor penyebab dan
komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu:
laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan
jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang
dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit,
dan hitung jenis.
13. Apa WD dari kasus ini?
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis
berupa hemiparese tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.
14. Apa etilogi dari kasus ini?
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
- Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
30
- Kriptogenik : Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus
- Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya
trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro
degenerative.
Faktor pencetus Status Epileptikus :
- Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
- Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
- Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau
stres fisik.
- Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi
Pada kasus ini etiologinya termasuk ke dalam simptomatik .
15. Apa epidemiologi dan faktor resiko dari kasus ini?
Epidemiologi:
Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%1% populasi umum (Neville, 1997;
Schachter, 2004). Insiden epilepsi pada anak di negara maju secara umum
diperkirakan sebesar 40 per 100.000 penduduk pertahun, dan di negara berkembang
sebesar 50100 per 100.000 penduduk pertahun (Schachter, 2004; Covanis, 2003).
Tingginya insiden epilepsi di negara berkembang diduga karena tingginya faktor
risiko gangguan atau infeksi saraf pusat yang dapat menjadi fokus epileptik, seperti
penatalaksaan persalinan yang tidak optimal, kebersihan diri dan lingkungan yang
buruk, infeksi otak, dan infestasi parasit (Manford, 2003; deBoer dkk, 2008). Insiden
epilepsi tertinggi dijumpai pada umur 1 tahun pertama, yaitu 120 per 100.000
populasi, dan menurun secara dramatis pada umur 1 – 10 tahun yaitu sebesar 40 per
100.000 populasi (Sagraves, 1998; Schachter, 2004).
Faktor resiko:- Faktor prenatal
a. Umur saat ibu hamil
31
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi.
c. Kehamilan primipara atau multipara
d. Pemakaian bahan toksik
- Faktor natal
a. Asfiksia.
b. Berat badan lahir
c. Partus lama
d. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, seksio sesaria ).
e. Perdarahan intracranial
Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya
bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan struktur serebral dengan epilepsi sebagai salah satu
manifestasi klinisnya.
- Faktor postnatal
a. Kejang Demam
b. Trauma kepala/ cedera kepala
c. Infeksi susunan saraf pusat.
d. Epilepsi akibat toksik
e. Gangguan Metabolik
- Faktor heriditer ( keturunan )
a. Kelainan genetik ion channelopathies
Perkembangan terbaru menunjukkan telah diketahuinya kelainan yang
bertanggung jawab atas epilepsi yang diwariskan termasuk masalah-masalah
Iigand-gated (saluran natrium dan kalium) yang pewarisannya secara autosom
dominan. Sebagai contoh adalah autosomal-dominant noctumal frontal lobe
epilepsy telah diketahui sebabnya yaitu mutasi sub unit alfa 4 yang terdapat di
reseptor nikotinat, benign neonatal familial convulsions disebabkan oleh mutasi
saluran kalium dan epilepsi umum (grand mal) dengan febrile convulsions plus
yang disebabkan oleh kelainan pada saluran natrium.
16. Bagaimana patofisiologi dari kasus ini?
32
Otak terdiri dari sekian miliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik
dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau
dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi
secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini
adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil
kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine,
serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy
belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area
otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut
sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil
neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron
di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena
dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang
berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan
hal ini yaitu:
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi
GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA
ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
17. - Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan
impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi
33
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan
peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga
kejadian yang saling terkait :
- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis
(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron
akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan
kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia,
hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran
EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang
makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya
serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan
34
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa
terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)
depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan
yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion
Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan
konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat
diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan
potensial membran. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat
merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak
teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron
secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.
Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain
itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-
neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Ada dua jenis neurotransmiter, yakni neurotransmiter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmiter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmiter eksitasi dapat disebut glutamat, aspartat
dan asetilkolin sedangkan neurotransmiter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik
35
dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan
fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran
neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.
Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
18. Apa saja manifestasi klinik dari kasus ini?
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.
Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
36
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik
dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia
berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam
waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau
kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi,
tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike
wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi
dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
37
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
19. Bagaimana tatalaksana untuk kasus ini?
Tujuan utama dari terapi epilepsi antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal
mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Dalam farmakoterapi, prinsip penatalaksanaan epilepsi yaitu :
A. OAE mulai diberikan apabila diagnosis epilepsy sudah dipastikan. Selain itu,
pasien dan keluarga pasien harus diberi tahu tentang tujuan pengobatan dan
efek samping dari obat
B. Terapi dimulai dengan monoterapi
C. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secarabertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai
D. Apabila OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi maka OAE
dosis pertama diturunkan perlahan
E. Pemberian OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol setelah pemberian OAE pertama dan kedua.
38
Pada kasus ini, apabila bangkitan telah teratasi, obat rumatan dapat diganti
dengan obat jangka panjang. Pasien ini mempunyai riwayat mengkonsumsi
asam Valproat dan responnya baik sehingga dapat diberikan asam valproat
mulai dari dosis terakhir atau dari dosis terendah. Selain itu pasien juga harus
mendapatkan terapi fisik guna memperbaiki defisit neurologis yang timbul.
20. Bagaimana tindakan preventif untuk kasus ini?
Mencegah timbulnya epilepsi ini merupakan sebuah upaya sosial luas yang
menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko
epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang
digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
39
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang
sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.
21. Apa komplikasi untuk kasus ini?
- Radang paru
- Cedera atau luka saat melakukan sesuatu
- Gangguan pada otak sehingga anak sulit untuk belajar dan memahami sesuatu
- Gangguan otak yang permanen
-
22. Bagaimana prognosis nya?
Prognosis tergantung pada:
- Tipe syndrom epilepsi
- Ada tidak kelainan neurologi dan psikiatri
- Cepat/tidaknya bangkitan teratasi
- Umur awitan saat bangkitan
- Jumlah bangkitan kejang
- Tipe banyaknya bangkitan kejang
- EEG menentukan prognosis
Prognosis kasus ini : dubia ad malam
23. Apa KDU dari kasus ini?
3B
40
IV. Hipotesis
Aanak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis berupa hemiparese
tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.
V. Kerangka Konsep
41
usia meningitis
Kejang dengan demam
Fokal epileptikus
Epilepsy unprovocated
Kejang berulang (epilepsy)
Status epileptikus
Peningkatan suhu badan &
Penurunan ambang kejang
Penghentian penggunaan
as. valproat
Defisit neurologis
(hemiparese dextra tipe sentral & paresis
N.VII&XII)
VI. Sintesis
1. Anatomi dan fisiologi sistem syaraf
Susunan saraf terdiri dari 3 bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan
otonom. Ketiga susunan saraf ini saling terkaitan satu dengan yang lain nya. Adanya
gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang
berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan
tetapi keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan
manifestasi klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan
bermanifestasi lebih dari satu topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan
manifestasi klinik yang berbeda-beda dari satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang
penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit yang topisnya berbeda sehingga
ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan yang berbeda pula atau
memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena nya diperlukan
pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya dalam
melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf.
Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex,
peningkatan tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang
menurun dan reflex yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis
penyakit secara bersamaan misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya
seorang penderita polineuropati diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka
akan ditemukan manifestasi kelainan yang bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu
kita dalam menegakkan diagnose apabila pengetahuan mengenai neuroanatomi dan
neurofisiologi.
Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan
neurotransmitter sebagai mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls
tersebut. Diketahui neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam
susunan saraf ada kalanya neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang
sama pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah
42
norepineprin, tetapi untuk produksi keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan
neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian keberadaan neurotransmitter mempunyai
peran yang sangat penting untuk dapat diketahui dengan jelas sehingga gangguan
manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat mungkin.
Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui
suatu sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak
merupakan suatu sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan
strukturnya dengan pembuluh darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia.
Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif
yang merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi
kerja berlebih sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik,
sensorik maupun otonom yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik
yang memberikan respon kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik,
motorik maupun otonom.
Untuk mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan mengenai neuroanatomi tersebut
selanjutnya akan dijelaskan mengenai neuroanatomi susunan saraf pusat.
Anatomi Susunan Saraf Pusat
Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Otak
Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum,
diencepahalon dan batang otak atau brainstem.
Cerebrum atau Otak besar.
Cerebrum atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer
yaitu otak kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu
corpus calosum. Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek
serebri , jaringan masa putih atau white matter dan ganglia basalis.
43
Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda,
di mana otak kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-
fungsi lain. Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping
fungsi fungsi lainnya. Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere
otak yaitu otak kanan dan otak kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu
mendapatkan kontrol balik penuh baik dari otak kanan maupun otak kiri.
Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut
sulkus dan apabila sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau
fissura ialah untuk memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative
kecil. Di antara dua sulkus terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai
nama-nama spesifik yang berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus
presentralis, girus post sentralis dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu
sehingga disebut subtansia grisea, warna abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak
tersebut mengandung badan sel saraf seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini
disebut sebagai cortex, sedangkan bagian dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai
subtansia alba dikarenakan mengandung serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam
bangunan berwarna putih yang disebut sebagai subtansia alba ini akan ditemukan
kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai komponen sel neuron dan
disebut sebagai ganglia basalis.
Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang
disebut dengan lobus antara lain :
- Lobus frontal
- Lobus parietal
- Lobus oksipital
- Lobus temporal
- Insula
- Rhine-Encephalon
Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus
atau fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut
44
sulkus centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus
paritooksipitalis. Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain
disebut sulkus lateralis .
Lobus frontalis
Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari
belakang orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini
mempunyai peran penting sebagai pusat dari perintah gerak, pusat pergerakan, pusat
bicara (broka), pusat emosi, pusat berfikir, pusat pengatur gerak mata, pusat perilaku,
pusat inisiatif, pusat reaksi terhadap jatuh, pusat untuk mengatur kondisi tubuh, dan
pusat-pusat lainnya.
Lobus Parietalis
Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh
sulkus paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini
yang paling menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post
sentralis yang mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik
yang meliputi untuk perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian
kecil yang bersebelah dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara
(speech).
Lobus Temporalis
Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran
dalam sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan
(speech), memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada,
mengerti nama, mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya.
Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis
dari bagian samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus
temporalis media, dan gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam
akan terdapat gyrus parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan
gyrus occipito-temporal media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus
45
occipito-temporal dipisahkan dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan
dari gyrus parahypocampus terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini
memisahkan gyrus parahypocampus dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus.
Sedangkan bagian belakang dari gyrus parahypocampus disebut gyrus lingual.
Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian
media) dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan
dibagian samping atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures
(lekukan halus). Lobus oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan
analisa penglihatan dikenal sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta
warna. Dikenalsebagai area 17 sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai
pusat penglihatan sekunder dan tersier dengan peran utama sebagai pusat memori
penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area 18,19 akan menimbulkan aura penglihatan
dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis, sedangkan kerusakan daerah ini akan
menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan pengenal obyek, bentuk dan
ukuran benda (optical agnosia, alexia)
Insula
Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus
frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus
centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak
diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada
insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan.
Rhineencephalon (bulbus olfactorius)
Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam
penciuman. Terdapat sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan
neuron pertama dalam sistim penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral
dan tuftel yang berada pada bulbus olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam
proses penciuman, selanjutnya axan dari sel sel ini akan membentuk traktus olfaktorius,
46
selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial olfactory striae dan lateral olfactory
striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat penciuman Brodmann’s area
28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan medial olfaktori striae akan
menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai bagian dari system
limbic.
Kommisura (Commisura)
Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia
alba dari jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi
sebagai penghubung neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan
sesuai dengan funsi penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu kommisura transversal,
kommisura assosiasi, dan kommisura proyeksi.
Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang
menghubungkan satu hemisphere dengan hemisphere lainnya contohnya corpus calosum,
commissura anterior, commissura hyppocampal . Sedangkan kommisura assosiasi adalah
kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan
lainnya dalam satu hemisphere contohnya serabut intracortical, serabut subcortical, dan
serabut assosiasi panjang.(FLS untuk menghubungkan lobus frontal dengan lobus
occipital, FLI untuk menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal, uncinate
Fasc untuk menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior, Arcuate
Fasc untuk menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis, dan
Cingulum Yang mengitari cortex gyrus cingulated.
Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang
menghubungkan satu bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah
(bawah keatas atau sebaliknya) contohnya serabut corticipetal atau serabut afferent,
serabut corticifugal atau serabut efferent.
Ganglia Basal
Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa
putih). Terdiri dari nucleus Caudatus, nucleus Lentiformis/Lenticularis (Putamen+
47
Globus palidus ), dan amygdale. Sedangkan Globus Pallidus masuk dalam diencephalon
(subthalamus). Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis
kecuali claustrum. Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum
oleh capsula externa.
2. Kejang
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya.1 Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan
tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan
sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau
cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara
baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat
menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah
awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan.
Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
PATOFISIOLOGI
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa
disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1]
kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang
berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];
atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui
jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang
berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
48
KRITERIA KEJANG
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat
penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel 1:
Keadaan Kejang Menyerupai kejang
OnsetLama seranganKesadaranSianosisGerakan ekstremitasStereotipik seranganLidah tergigit atau luka lainGerakan abnormal bola mataFleksi pasif ekstremitasDapat diprovokasiTahanan terhadap gerakan pasifBingung pasca seranganIktal EEG abnormalPasca iktal EEG abnormal
Tiba-tibaDetik/menitSering tergangguSeringSinkronSelaluSeringSelaluGerakan tetap adaJarangJarangHampir selaluSelaluselalu
Mungkin gradualBeberapa menitJarang tergangguJarangAsinkronJarangSangat jarangJarangGerakan hilangHampir selaluSelaluTidak pernahHampir tidak pernahjarang
KLASIFIKASI
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan
jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan
Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981,
yaitu dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi kejang
I. Kejang parsial (fokal, lokal)
A. Kejang fokal sederhana
B. Kejang parsial kompleks
C. Kejang parsial yang menjadi umum
II. Kejang umum
A. Absens
B. Mioklonik
C. Klonik
49
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III. Tidak dapat diklasifikasi
ETIOLOGI
Langkah selanjutnya, setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang
adalah mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan
untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi.
Adapun etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Penyebab tersering kejang pada anak
- Kejang demam
- Infeksi: meningitis, ensefalitis
- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan
elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan
- Trauma kepala
- Keracunan: alkohol, teofilin
- Penghentian obat anti epilepsi
- Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya
faktor pencetus atau penyebab kejang.
Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-
obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut
kepala dan adanya kelainan sistemik, 2 terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan
neurologis fokal. 8 Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan
untuk mencari faktor penyebab.
50
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal,elektroensefalografi,
dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah
kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.
TATALAKSANA
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang mengancam jiwa
dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama kejang berlangsung makin
sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit
adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
Penghentian kejang:
0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rectal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam
intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit..
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit:
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30
mg/kgbb.
51
30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan
interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula
darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda -tanda depresi pernafasan.
- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.
3. Epilesi
DEFINISI
Epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanien” yang berarti “serangan” dan
menunjukan bahwa “sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh”.
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure) yang
terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara
paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan
gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan
etiologi, umur, awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.
KLASIFIKASI EPILEPSI
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan
menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi.
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
52
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa
reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun.
Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak
jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar
ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan,
penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya.
Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang
berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada
bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi
lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik /Grand mal
53
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-
klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak
sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca
serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran
klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak
yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.
3. Tak Tergolongkan
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,
1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)
C. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan
usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome
lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
54
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik
non ketotik.
D. Epilepsi refrektorik
ETIOLOGI EPILEPSI
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox
Gastaut syndrome.
Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain ;
1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu
mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-minuman
alkohol atau mendapatkan terapi penyinaran.
2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :
- Brain malvormation
- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)
- Gangguan elektrolit
- Gangguan metabolisme janin
- Infeksi
3. Saat usia bayi – anak-anak
- demam (kejang demam)
- tumor otak (jarang)
- infeksi
4. Saat usia anak – dewasa
- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.
55
- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.
- Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)
- Trauma kepala
5. Saat usia tua/lanjut
- Stroke
- Penyakit Alzeimer
- Trauma
PATOFISOLOGI EPILEPSI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan
aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos
membran neuron. Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada
korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai
tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah
potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas
elektrik.
56
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila
cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama,
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan
bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian epilepsi dapat
tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat
dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED
dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium
dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama
halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan
57
di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari
impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang
atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik
utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang
disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya
bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi
dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron
otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu
fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )
berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan
kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan
58
di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi
parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih
imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi,
infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel
glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron
glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan
tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik
dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui
mekanisme yang sama.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
59
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-
anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang
khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit
mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi
60
mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman
video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang
optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek
samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni,
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya
harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping
dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
61
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas
glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan
kalsium (T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi
aktivitas chanel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride,
modulasi efek reseptor GABAA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan
secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang
dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat
yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,
1. Syarat umum yang meliputi :
- Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana
penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
62
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan
menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
4. Status Epileptikus
Pendahuluan
Status epileptikus merupakan keadaan kedaruratan neurologik medik utama dalam kaitannya
dengan morbiditas dan mortalitas. Istilah SE (status epileptikus) digunakan sebagai gambaran
bangkitan yang berlangsung terus menerus atau SE didefinisi sebagai suatu kondisi dimana
terjadinya aktivitas epileptik yang menetap selama 30 menit atau lebih. Bangkitan dapat
berlangsung berkepanjangan atau berulang tanpa pulih kesadaran diantara waktu tersebut.
Berbagai variasi klasifikasi SE yaitu berdasarkan asal bangkitan (partial convulsion status
epilepticus = PCSE dan generalized convulsion status epilepticus = GCSE), obsevasi klinik
(konvulsif dan non konvulsif) dan berdasarkan usia ( neonatal, infant, anak dan dewasa).
Penyebab terjadinya bangkitan antara lain sepsis, penyakit kardiovaskuler, gangguan
metabolik, infeksi SSP, tumor otak, putus obat atau rendahnya kadar obat anti kejang dan
intoksikasi akut akibat obat-obatan maupun alkohol. Komplikasi status epileptikus antara lain
adalah aritmia kardiak, gangguan metabolik dan fungsi otonom, edem paru neurogenik,
63
hipertermia, rhabdomiolisis dan aspirasi paru. Gangguan neurologik menetap terjadi akibat
berkepanjangannya aktivitas bangkitan yang tak terkontrol. Penanganan status epileptikus
membutuhkan kecepatan dalam mengakhiri aktivitas bangkitan, proteksi jalan napas,
pencegahan aspirasi, komplikasi, bangkitan berulang dan pengobatan terhadap penyebab.
Adanya kegagalan terapi dengan anti konvulsan lini pertama selanjutnya akan digunakan
terapi dengan dosis anastesi umum.
Bagaimanapun juga terapi emergensi harusnya dimulai sesegera mungkin pada bangkitan
yang berlangsung lebih dari 5 menit atau ada 2 bangkitan tanpa pulih kesadaran diantaranya.
Kegagalan dengan terapi anti kejang lini pertama untuk mengatasi SE membutuhkan
penanganan terapi dosis anestesi umum. Tulisan ini membicarakan status epileptikus pada
dewasa khususnya mengenai generalized convulsive status epilepticus (GCSE) yang banyak
dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Definisi
Status Epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan umum yang berlangsung 30
menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang yang terjadi lebih dari 30 menit
tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi operasional status epileptikus yang
dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih
dari 5 menit atau terdapat 2 atau lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya.
Yang dimaksud dengan SE refraktorik adalah bangkitan berulang walaupun kadar terapi OAE
dalam satu tahun terakhir setelah bangkitan telah tercapai. Bangkitan tersebut benar-benar
akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis yang tidak tepat,
ketidaktaatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. Namun
klinik lebih menyukai untuk mempertimbangkan SE refraktorik sebagai pasien yg tidak
berespons terhadap terapi lini pertama.
Klasifikasi
Banyak variasi pendekatan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Salah satu versi
klasifikasi terbagi atas status epileptikus general (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik,
64
akinetik) dan status epileptikus parsial (simpleks atau kompleks).Versi lain membagi dalam
kondisi status epileptikus yang konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif (parsial
simpleks, parsial kompleks, absens). Versi ketiga mengambil pendekatan yang berbeda, yaitu
berdasarkan usia (periode neonatal, bayi dan kanak-kanak, kanak – kanak dan dewasa, hanya
dewasa).
Marik PE (2004) mengklasifikasi SE berdasarkan gambaran elektroklinikal atas SE konvulsif
( konvulsi motorik) dan SE non konvulsif. Kemudian membagi lagi atas SE generalized
( mempengaruhi seluruh otak) dan SE partial ( sebagian otak).
Diperkirakan ada lebih dari 150.000 kasus status epileptikus dan mengakibatkan 55.000
kematian yang terjadi setiap tahun di US. Dari berbagai tipe SE ditemukan GCSE merupakan
tipe terbanyak. Geografi, jenis kelamin, usia dan ras dapat mempengaruhi epidemiologi status
epileptikus. Dilaporkan insiden diantara 6,2 sampai 18,3 per 100.000 populasi (US). Wanita
dan pria tidak ada perbedaan bermakna. Menurut geografi, SE tampak lebih sering pada pria
kulit hitam dan lanjut usia. Insiden pada orangtua dua kali lebih sering dari populasi
umumnya.SE pada lanjut usia mendapat perhatian besar karena berbarengan dengan kondisi
medis pasien sendiri, dan adanya terapi komplikasi serta buruknya prognosis.
Pada suatu studi epidemiologis lain ditemukan mayoritas adalah SE partial. Terdapat
sebanyak 69% kasus pada orang dewasa dan 64% kasus pada anak – anak. Sedangkan status
epileptikus general didapatkan 43 % pada orang dewasa dan 36% pada anak-anak.11 Insidens
status epileptikus terjadi paling sering dalam tahun pertama kehidupan dan setelah 60 tahun.
Diantara orang dewasa, pasien yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki risiko paling tinggi
untuk berkembang menjadi status epileptikus, dengan insidens 86 per 100.000 orang per
tahun. Diantara anak-anak berusia 15 tahun atau lebih muda, bayi kurang dari 12 bulan
memiliki insidens dan frekuensi paling tinggi. Banyak variasi etiologi terhadap kondisi ini.
Pada orang dewasa, penyebab utama adalah rendahnya kadar obat anti epilepsi (34%) dan
penyakit serebrovaskuler (22%), termasuk stroke akut atau stroke lama dan perdarahan.
Tingkat mortalitas status epileptikus (didefinisikan sebagai kematian dalam 30 hari status
epileptikus) adalah 22% (studi Richmond). Tingkat mortalitas pada anak – anak sebanyak 3
65
%, sebaliknya pada orang dewasa 26%. Populasi yang lebih tua memiliki tingkat mortalitas
tertinggi, yaitu 38%. Penyebab utama mortalitas adalah lamanya kejang, usia saat serangan,
dan etiologi.
Pasien dengan anoksia dan stroke memiliki mortalitas yang lebih tinggi, tidak tergantung pada
variabel – variabel lain. Status epileptikus yang terjadi akibat penghentian tiba-tiba
penggunaan alkohol, atau rendahnya kadar obat antiepilepsi memiliki tingkat mortalitas yang
rendah. Kematian pada SE refraktorik sebanyak 76% pada lanjut usia.
Etiologi
Bangkitan merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis. Penyebab terbanyak bangkitan
yang dirawat ICU adalah sepsis dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan lainnya
dengan angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik dan intoksikasi akut
akibat obat-obatan ( antibiotik, gagal ginjal, hepar, CHF, obat-obat anestesi, atau akibat
penghentian obat psikotropik, alkohol).
Penyebab gangguan neurologik primer adalah akibat stroke iskemik, intraserebral hemoragik,
AVM, infeksi SSP, trauma dan tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan
relatif tinggi. Insiden bangkitan sebagai komplikasi trauma kapitis sangat bervariasi, dengan
perkiraan 2%-12% pada orang biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat
meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG secara terus menerus.
Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai GCSE. Terbanyak diantaranya adalah
respons sistemik yang merupakan lonjakan katekolamin yang terjadi saat serangan. Respon
sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi, aritmia, dan hiperglikemia. Suhu
badan dapat meningkat mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat serangan GCSE
berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah bangkitan motorik umum tunggal
yang akan menghilang seiring berakhirnya bangkitan. Kebutuhan metabolik otak meningkat
seiring bangkitan GCSE, akan tetapi oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga bahkan
meningkat saat awal serangan GCSE. Percobaan pada hewan yang dilumpuhkan dan diberi
66
ventilasi artificial menunjukkan bahwa kehilangan neuron yang terjadi setelah status
epileptikus baik yang umum maupun fokal berhubungan dengan abnormal neuronal discharge
dan bukan merupakan respon sistemik dari GCSE. Hipokampus tampaknya paling rentan
terhadap kerusakan dalam mekanisme sistemik ini.
Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan
dan kurangnya inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamate
dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtype NMDA (N-methyl-D-aspartate).
Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus.
Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam normalnya terminasi bangkitan .
Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam
perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler
yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian
menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol.
Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABAergik inhibisi yang inadekuat
ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan.
Pada manusia dan hewan percobaaan, bangkitan yang terus menerus menyebabkan
kehilangan/kerusakan neuron selektif pada area yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan
thalamus. Derajat beratnya cedera neuron berhubungan erat dengan lamanya bangkitan, hal ini
menegaskan betapa pentingnya penanganan yang cepat pada status epileptikus. Meldrum dkk
telah membuktikan walaupan tanpa adanya hipoksia, asidosis, hipertermia, atau hipoglikemia,
bangkitan yang berkepanjangan pada hewan percobaaan dapat menyebabkan kematian
neuron.
Wasterlain dkk melaporkan bahwa terdapat kehilangan/kerusakan neuron pada hipokampus
dan area otak lain pada penderita status epileptikus nonkonvulsif yang tidak mengalami
bangkitan atau kelainan sistemik sebelumnya. Enolase neuron –spesifik merupakan suatu
petanda cedera akut neuron, dilaporkan meningkat pada penderita status epileptikus
nonkonvulsif yang tanpa mengalami bangkitan sebelumnya ataupun mengalami cedera otak
67
lain. Thom dkk menunjukkan adanya cedera akut neuron pada penderita yang meninggal tiba-
tiba akibat epilepsi. Kematian neuron kemungkinan disebabkan oleh pelepasan
neurotransmitter eksitasi. Mikati dkk membuktikan peningkatan aktivasi NMDA
meningkatkan kadar ceramide yang diikuti kematian sel terprogram pada hewan percobaan.
Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan bangkitan
umum tonik klonik. Status epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah
memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor
twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk
memeriksa 236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di antaranya
mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu,
pemeriksaan EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonik-klonik umum
yang berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan hipertensi,
hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan
aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik otak. Sekitar 30 menit
sesudahnya, penderita memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi
otak, penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik.
Selama fase ini terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan
elektrik di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa hanya berupa minor
twitching.
Penanganan
Status epileptikus merupakan kegawat daruratan yang memerlukan penanganan segera dan
agresif untuk mencegah kerusakan neurologik dan komplikasi sistemik. Semakin lama mulai
diberikan terapi, semakin besar kerusakan neurologik yang terjadi. Di sisi lain, semakin
panjang suatu episode status berlangsung, maka semakin refrakter terhadap pengobatan dan
semakin besar kemungkinan terjadinya epilepsi kronik.
68
Penanganan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan sesegera mungkin, perlindungan
jalan napas, pencegahan aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial, penanganan
komplikasi, pencegahan serangan ulang, dan penanganan penyakit yang mendasari.
Penanganan dibagi dalam 2 tahap-yaitu penanganan di luar dan di dalam rumah sakit. Sebagai
terapi lini pertama di luar rumah sakit adalah benzodiazepine. Penanganan dalam rumah
sakit / gawat darurat adalah bantuan hidup dasar (basic life support) (0-10 menit) dan terapi
farmakologik (10-60 menit). Obat-obat yang digunakan antara lain diasepam, lorazepam,
midazolam, propofol, phenobarbital, phenytoin, fosphenytoin, valproate IV dan lain-lain.
Sebagai terapi awal pada Status Epileptikus digunakan obat lini pertama yaitu dari golongan
benzodiazepine ( diazepam 0.1–0.4 mg/kg, lorazepam 0.05–0.1 mg/kg atau midazolam 0.05–
0.2 mg/kg). Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT) 0.05–0.2 mg/kg, fosphenytoin
(fPHT) 15–20 mg/kg PE, valproate (VPA) 15–20 mg/kg, levetiracetam 1000–1500 mg tiap 12
jam.
Protokol Penanganan SE konvulsif
Stadium PenatalaksanaanStadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen, resusitasi
Stadium II (1-60 menit)
Pemeriksaan status neurologik Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu EKG Pemasangan infus Mengambil 50-100 darah untuk pemeriksaan
lab Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20
mg IV (kecepatan pemberian ≤ 2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian)
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg intravena
Menangani asidosisStadium III (0-60/90 menit)
Menentukan etiologi Bila kejang berlansung terus selama 30 menit
setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin IV 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
69
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasiStadium IV (30-90 menit)
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU, beri propofol (2 mg/kgBB bolus IV, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg bolus IV dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tappering off.
Memantau bangkitan dengan EEG, tekanan intrakranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan.
Tindakan Anestesi untuk status epileptikus refrakter
Obat Dosis DewasaMidazolam 0,1-0,1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit dilanjutkan
dengan pemberian 0,05-0,4 mg/kgBB/jam melalui infusThiopentone 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20 detik, kemudian dilanjutkan
dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai bangkitan teratasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian infus 3-5 mg kgBB/jam
Pentobarbital 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit, kemudian 0,5-1 mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3 mg/kgBB/jam
Propofol 2mg/kgBB kemudian ditingkatkan menjadi 5-10 mg/kgBB/jam
Prognosis
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.
Kesimpulan
Pasien dengan bangkitan umum terus menerus lebih dari 5 menit sudah seharusnya
dipertimbangkan mengalami SE. Sangat penting untuk mempunyai kemampuan
mengenali dan menangani bangkitan secara cepat dan agresif oleh karena SE sangat
potensial terhadap kerusakan neurologis. Dalam penanganan bangkitan juga dibutuhkan
pertimbangan cermat terhadap penyebabnya, ketepatan pilihan obat dan efek toksiknya.
70
VII. Kesimpulan
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis berupa
hemiparese tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Utama H., Gan VHS., Sunaryo. Anti Konvulsan. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 4.
Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1995:
163 – 74.
2. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam: Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1 – 32.
3. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Epilepsi. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf.
Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 179 – 86.
71