Post on 23-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dermatoterapi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari pengobatan penyakit kulit 1.
Seorang pasien dengan masalah kulit seringkali mengeluh gatal di seluruh tubuh. Seringkali
pasien di kirim/rujuk ke klinik kulit dengan “gatal di seluruh tubuh” sebagai diagnosis.
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan kulit, anda akan menemukan pasien tersebut
menderita berbagai macam kelainan seperti eksim, urtikaria,erupsi obat, infeksi kulit, skabies
atau penyakit kulit lain. Pemeriksaan kulit sebaiknya dilakukan dengan cahaya yang baik,
dan lebih disukai sinar matahari langsung. Idealnya seluruh kulit tubuh harus diperiksa. Luas
dan lokasi seluruh lesi penting untuk membuat diagnosis dan tatalaksana12.
Setelah membuat diaognosis yang tepat untuk penyakit atau kelainan pada kulit maka
sesuai dengan judul laporan ini adalah “Dermato-Terapi” , maka penting sekali menentukan
jenis terapi atau pengobatan yang akan diberikan pada pasien , apakah dengan topikal,
sistemik atau tindakan operatif.
Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam-macam cara, antara lain 1,2,3 :a. Topikalb. Sistemikc. IntralesiJika cara pengobatan di atas ini belum memadai, maka masih dapat dipergunakan cara-
cara lain, yaitu :- Radioterapi- Sinar Ultraviolet- Pengobatan Laser- Krioterapi- Bedah Listrik- Bedah Skalpel
1
Namun menurut (J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002) membagi dermato-terapi menjadi 2 yaitu 3 :
Obat- obatan Topikal Sistemik
Terapi Fisik / Physical Therapy Pembedahan Eksisi Kuretasi
Electrodessication Cyrotherapy Radiotherapy Phototerapy Lasertherapy
Tabel 1. J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002.Hal: 314 3
Sehingga pengelompokan jenis terapi yang dapat digunakan yaitu:
1. Medikamentosa : topikal dan Sistemik.
2. Bedah kulit : Bedah skalpel (untuk tumor), Bedah listrik (untuk veruca vulgaris),
Bedah kimia (podofilin untuk condyloma acuminata), Bedah beku/ Krioterapi (CO2
padat untuk neurofibroma).
3. Penyinaran : Radioterapi (untuk basalioma), sinar UV (untuk psoriasis), sinar laser
(untuk hemangioma),dll.
4. Terapi tambahan yaitu Psikoterapi : Pasien Neurodermatitis (kombinasi dengan terapi
medikamentosa)
B. Tujuan Penulisan
Memahami mengenai jenis-jenis terapi pada penyakit kulit.
Memperkenalkan bentuk dan cara pengobatan pada penyakit kulit sesuai dengan keadaan
penyakit.
BAB II
2
PEMBAHASAN
A. PENGOBATAN TOPIKAL
Sebelum jauh membahas tentang pengobatan topikal , penulis ingin mencoba
menjelaskan tentang prinsip pengobatan dermatologi, berikut tabel yang menjelaskan tentang
modalitas terapi pada dermatologi :
SISTEMIK TOPIKAL
Farmakosetika Diserap sampai mukosa usus Bentuk sediaan obat
Farmakodinamik Dari mukosa usus
pembuluh darah
Menembus Stratum korneum
Farmakokinetik Pembuluh darah Site of
action
Stratum korneum site of
action
Tabel 2. J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002.Hal: 318 3
Seperti telah di tampilkan pada gambar anatomi diatas bahwa penggunaan obat topikal
bekerja dengan penetrasi/menembus lapisan kulit , sedangkan pada pengobatan sistemik zat
aktif atau obat bekerja disalurkan melalui pembuluh darah yang sebelumnya diserap melalui
mukosa usus. Sehingga dalam pemilihan dan pembuatan sediaan atau bahan dasar obat untuk
terapi kulit bisa dikatakan penting, karena akan mempengaruhi daya kerja zat aktif atau
senyawa aktif untuk terapi.
Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi obat-
obat yang diaplikasi di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah mengeringkan,
membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan, memanaskan, dan melindungi
(proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan
homeostasis, yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke keadaan
fisiologik stabil secepat-cepatnya. Di samping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang
mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas.4,5
3
Cara pengobatan pada jaman dahulu terutama ditujukan kepada efek fisik terhadap kulit
yang sakit. Dalam jangka waktu 20 tahun terakhir ini telah dikembangkan preparat-preparat
topikal yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik terhadap organisme di kulit atau
terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topikal harus berkhasiat fisis
maupun kimiawi. Kalau obat topikal digunakan secara rasional, maka hasilnya juga optimal,
sebaliknya kalau digunakan secara salah obat topikal menjadi tidak efektif dapat
menyebabkan penyakit iatrogenik1.
Prinsip obat topikal secara umum terdiri atas 2 bagian 6 :
1. Bahan Dasar (Vehikulum)
2. Bahan Aktif
Keberhasilan pengobatan topikal6 :
vehikulum yang tepat
bahan aktif yang sesuai dengan etiologi
penetrasi obat ke dalam kulit
Prinsip terapi topikal :
Pemilihan vehikulum yang sesuai , Basah dengan Basah & Kering dengan Kering.
Semakin akut suatu dermatosis maka semakin lemah bahan aktif yang dipakai.
Menjelaskan cara pakai dan cara membersihkan. Hindari bahan-bahan sensitizer12.
1. Bahan Dasar (Vehikulum)
Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting
yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan ialah
4
pada keadaan dermatosis yang membasah dipakai bahan dasar yang cair/basah, misalnya
kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat/kering, misalnya salap. Secara
sederhana bahan dasar dibagi menjadi :
a. Cairan
b. Bedak
c. Salap
Di samping itu ada 2 campuran atau lebih bahan dasar, yaitu :
d. Bedak Kocok (Lotion), yaitu campuran cairan dan bedak.
e. Krim, yaitu campuran cairan dan salap.
f. Pasta, yaitu campuran salap dan bedak.
g. Linimen (Pasta Pendingin), yaitu campuran, cairan, bedak, dan salap.
a. Cairan
Cairan terdiri atas :
a. Solusio artinya larutan dalam air.
b. Tingtura artinya larutan dalam alkohol.
Solusio dibagi dalam :
1. Kompres
2. Rendam (bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan
3. Mandi (full bath)
Prinsip pengobatan cairan adalah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus,
krusta, dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu
terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah
keadaan yang basah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme
tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga
untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-
macam dermatosis1.
Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit menjadi
terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara telitu, kalau keadaan sudah
mulai kering pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan
bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada cara rendam dan mandi,
5
karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya penguapan, sedangkan pada
rendam dan mandi terjadi proses maserasi11.
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan
antimikrobial. Astringen mengurangi esksudat akibat presipitasi protein.
Dikenal 2 macam cara kompres, yaitu1 :
1) Kompres Terbuka
Dasar
Penguapan cairan kompres disusul absorbsi eksudat atau pus.
Indikasi
- Dermatosis Madidans
- Infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisipelas
- Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
Efek pada kulit
- Kulit yang semula eksudatif menjadi kering
- Permukaan kulit menjadi dingin
- Vasokonstriksi
- Eritema berkurang
Cara
Digunakan kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak terlalu tebal
(3 lapis). Balutan jangan terlalu ketat, tidak perlu steril, dan jangan menggunakan
kapas karena lekat dan menghambat penguapan.
Kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, lalu dibalutkan dan didiamkan,
biasanya sehari dua kali selama 3 jam. Hendaknya jangan sampai terjadi maserasi.
Bila kering dibasahkan lagi. Daerah yang dikompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar
tidak terjadi pendinginan.
2) Kompres Tertutup
Sinonim Kompres impermeabel.
Dasar
6
Vasodilatasi, bukan untuk penguapan.
Indikasi Kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium.
CaraDigunakan pembalut tebal dan ditutup dengan bahan impermeabel, misalnya selofan atau plastik.
b. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat
erat sehingga penetrasinya sedikit sekali1.
1) Efek bedak ialah1 :
- Mendinginkan
- Antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi
- Anti-pruritus lemah
- Mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo)
- Proteksi mekanis
Yang diharapkan dari bedak terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya adalah
talkum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini
bersifat mengabsorpsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus
lemah.
2) Indikasi pemberian bedak ialah :
a. Dermatosis yang kering dan superfisial
b. Mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya pada varisela dan
herpes zooster
3) Kontra indikasi :
Dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder.
c. Salap
Salap ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, dapat pula lanolin atau minyak1.
7
1) Indikasi pemberian salap ialah:
a. Dermatosis yang kering dan kronik
b. Dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salap paling kuat
jika dibandingkan dengan bahan dasar lainnya.
c. Dermatosis yang bersisik dan berkrusta.
2) Kontraindikasi ialah :
Dermatitis madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian yang berambut,
penggunaan salap tidak dianjurkan dan salap jangan dipakai di seluruh tubuh.
d. Bedak Kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan
gliserin sebagai bahan perekat. Supaya bedak tidak terlalu kental dan tidak cepat menjadi
kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin 10 – 15%. Hal ini
berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka presentase tersebut jangan
dilampaui1.
1) Indikasi bedak kocok ialah :
a. Dermatosis yang kering, superfisial, dan agak luas, yang diinginkan adalah
sedikit penetrasi
b. Pada keadaan subakut
2) Kontraindikasi :
a. Dermatitis madidans
b. Daerah badan yang berambut
e. Krim
Krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak), dan emulgator.
Krim ada 2 jenis1 :
• Krim W/O : air merupakan fase dalam dan minyak fase luar
• Krim O/W : minyak merupakan fase dalam dan air fase luar
Selain itu dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet, misalnya
paraben dan juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat dimasukkan di
dalam krim.
1) Indikasi penggunaan krim ialah :
a. Indikasi kosmetik
8
b. Dermatosis yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi
yang lebih besar daripada bedak kocok.
c. Krim boleh digunakan di daerah yang berambut.
2) Kontraindikasi ialah dermatitis madidans.
f. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan mengeringkan1.
1) Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
2) Kontraindikasi : dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu melekat.
g. Liniment
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak, dan salap1.
1) Indikasi : dermatosis yang subakut.
2) Kontraindikasi : dermatosis madidans.
h. Gel
Ada vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum” ialah gel. Gel
ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa
organik. Zat untuk membuat gel di antaranya ialah karbomer, metilselulosa, dan
tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu
akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus1.
Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan.
Absorpsi per kutan lebih baik daripada krim 7,8.
2. Bahan Aktif
Memilih obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan
ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal.
Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko-kimia permukaan kulit, di
samping komposisi formulasi zat yang dipakai.
9
Di dalam resep harus ada bahan aktif dan vehikulum. Bahan aktif dapat berinteraksi satu
sama lain. Yang penting ialah, apakah bahan yang kita campurkan itu dapat tercampurkan
atau tidak, sebab ada obat/zat yang sifatnya O.T.T. (=obat tidak tercampurkan)1.
Asam salisilat, misalnya dapat dicampur dengan asam lainnya, contohnya asam benzoat
atau dengan ter, resorsinol tidak tercampurkan dengan yodium, garam, besi atau bahan yang
bersifat oksidator.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas, dan efek
vehikulum terhadap kulit1. Bahan aktif yang digunakan diantaranya ialah :
a. Aluminium Asetat
Contohnya ialah larutan Burowi yang mengandung aluminium asetat 5%. Efeknya ialah
astringen dan antiseptik ringan. Jika hendak digunakan sebagai kompres diencerkan 1 : 101.
b. Asam Asetat
Dipakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptik untuk infeksi
Pseudomonas1.
c. Asam Benzoat
Mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Digunakan dalam salap, contohnya
dalam salap Whitfield dengan konsentrasi 5%. Menurut British Pharmaceutical Codex
susunannya demikian1 :
R/ Acidi benzoici 5
Acidi salicylici 3
Petrolati 28
Olei cocos 64
Modifikasi salap tersebut ialah A.A.V II yang digunakan untuk penyakit jamur
superfisial. Salap tersebut berisi asam salisilat 6% dan asam benzoat 12%. Sedangkan
salap lain ialah A.A.V I berisi asam salisilat 3% dan asam benzoat 6%, jadi konsentrasi
bahan aktif hanya separuhnya.
10
d. Asam Borat
Konsentrasinya 3%, tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak, kompres, atau
dalam salap berhubung efek antiseptiknya sangat sedikit dan dapat bersifat toksik,
terutama pada kelainan yang luas dan erosif terlebih-lebih pada bayi1.
e. Asam Salisilat
Merupakan zat keratolitik yang ter yang dikenal dalam pengobatan topikal. Efeknya
ialah mengurangi proliferasi epitel dan menormalisasi kretinisasi yang terganggu. Pada
konsentrasi rendah (1-2%) mempunyai efek keratoplastik, yaitu menunjang pembentukan
keratin yang baru. Pada konsentrasi tinggi (3-20%) bersifat keratolotik dan dipakai untuk
keadaan dermatosis yang hiperkeratotik. Pada konsentrasi sangat tinggi (40%) dipakai
untuk kelainan-kelainan yang dalam, misalnya kalus dan veruka plantaris. Asam salisil
dalam konsentrasi 1% dipakai sebagai kompres, bersifat antiseptik. Penggunaannya,
misalnya untuk dermatitis eksudatif. Asam salisil 3%-5% juga bersifat mempertinggi
absorbsi per kutan zat-zat aktif1.
f. Asam Undesilenat
Bersifat antimikotik dengan konsentrasi 5% dalam salap atau krim. Dicampur dengan
garam seng (Zn undecyclenic) 20%1.
g. Asam Vit. A (tretinoin, asam retinoat)1
Efek
- Memperbaiki keratinisasi menjadi normal, jika terjadi gangguan
- Meningkatkan sintesis D.N.A. dalam epitelium germinatif
- Meningkatkan laju mitosis
- Menebalkan stratum granulosum
- Menormalkan parakeratosis
Indikasi
- Penyakit dengan sumbatan folikular
- Penyakit dengan hiperkeratosis
- Pada prosis menua kulit akibat sinar matahari
11
h. Benzokain
Bersifat anastesia. Konsentrasinya ½ - 5%, tidak larut dalam air, lebih larut dalam
minyak (1:35), dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakan dalam vehikulum
yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi1.
i. Benzil Benzoat
Cairan berkhasiat sebagai skabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai emulsi dengan
konsentrasi 20% atau 25%.
j. Camphora
Konsentrasinya 1 – 2%. Bersifat antipruritus berdasarkan penguapan zat tersebut
sehingga terjadi pendinginan. Dapat dimasukkan ke dalam bedak atau bedak kocok
yang mengandung alkohol agar dapat larut. Juga dapat dipakai dalam salap dan krim1.
k. Kortikosteroid Topikal
Pada tahun 1952 Sulzberger dan Witten memperkenalkan hidrokortison dan
hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid (K.S). hal
ini merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit kulit topikal
karena KS mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti
pruritus, anti mitotik, dan vasokonstriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison
dan Adreno-Cortico-Trophic Hormone (A.C.T.H) tidak efektif sebagai obat topikal6.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan KS yang lebih
poten daripada hidrokortison, yaitu KS yang bersenyawa halogen yang dikenal sebagai
fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai
samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi.
Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi
yang kuat, yang termasuk dalam golongan ini ialah, antara lain : betametason,
betametason valerat, betametason benzoat, fluosinolon asetonid, dan triamsinolon
asetonid 7.
Penggolongan
12
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan
anti inflamasi dan antimitotik. Golongan I yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti
mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).1,7,8
Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan I :
(super poten)
Diprolene ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol proprionate
Temovate cream
Ultravate ointment 0,05% halobetasol proprionate
Ultravate cream
Golongan II :
(potensi tinggi)
Cyclocort ointment 0,1% amcinonide
Diprosone ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
13
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone
Golongan III :
(potensi tinggi)
Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Cutivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1% amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethason
dipropionate
Florone cream 0,05% diflorasone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethason valerate
Golongan IV :
(potensi medium)
Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V :
(potensi medium)
Cordran cream 0,05% flurandrenolide
14
Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,01% betamethason valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI :
(potensi medium)
Aciovate ointment 0,05% aclometasone
Aciovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
DesOwen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,01% betamethason valerate
Golongan VII :
(potensi lemah)
Obat topikal dengan hidrokortison, deksametason, glumetalon,
prednison, dan metilprednisolon
Tabel 5. Mochtar Hamzah : Dermatoterapi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6.
Jakarta: FKUI, 2010. hal: 347-348.
15
1) Indikasi
K.T. dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu
penyakit kulit (MARKS, 1985). Harus selalu diingat bahwa K.T. bersifat paliatif dan
supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal1.
Dermatosis yang kurang responsif dengan K.T. ialah : psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis statis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dan dermatitis
solaris (fotodermatitis)6.
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritromatosus diskoid, psoriasis di
telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma
anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum1.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan
parut hipertrofik, alopesia aerata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis
dengan likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo (sebagian responsif)1.
Di samping K.T. tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid7,8.
2) Pemilihan Jenis K.T
Dipilih K.T. yang sesuai, aman efek samping sedikit dan harga murah, di samping
itu beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu jenis penyakit kulit, jenis
vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi,
dalam/dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur penderita1.
3) Aplikasi Klinis
a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salap 2-3x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang
16
berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan
menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan1.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat. Sebagai
ilustrasi dapat diberikan contoh sebagai berikut1 :
Psoriasis
Penyakit psoriasis dnegan skuama tebal berupa plakat, memerlukan steroid
yang poten (golongan I) dengan vehikulum salap atau krim.
Dermatitis atopik
Pada anak diperlukan steroid topikal yang lemah mengingat umur anak,
lokalisasi penyakit dan kulit pada anak masih halus dan tipis. Dapat bentuk
krim. Pada dewasa diperlukan K.T. yang poten dalam bentuk salap.
Dermatitis kontak alergik
Pemakaian steroid dengan potensi sedang biasanya cukup untuk mengatasi
penyakit ini. Zat penyebab harus dihindari.
Dermatitis dishidrotik
Dermatitis ini memerlukan steroid yang poten dalam bentuk salap, sebab kulit
di daerah itu tebal.
Dermatitis numular
Lesi biasanya multipel dan memerlukan K.T. yang poten.
Dermatitis seboroik
Dermatitis ini cukup sensitif terhadap K.T. dan memerlukan steroid potensi
sedang.
Dermatitis intertriginosa
Dermatitis ini memerlukan K.T. dnegan potensi sedang untuk menghilangkan
gejala gatal dan rasa panas.
4) Efek samping
17
Efek samping terjadi bila :
1. Penggunaan K.T. yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan K.T. dengan potensi kuat atau sangan kuat atau penggunaan
secara oklusif.
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi K.T., makin cepat terjadinya
efek samping. Gejala efek samping : atrofi, strie atrofise, telangiektasis, purpura,
dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis
perioral, menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi dan meluas,
gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur12.
Dermafitosis yang diobati dengan K.T. gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas
menjadi kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito1.
5) Pencegahan efek samping
Efek samping sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang
dianjurkan ialah jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi1.
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai K.T. yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai pula K.T. yang lemah. Pada kelainan kronis dan tebal
dipakai K.T. kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua
kali sehari menjadi sekali sehari atau diganti dnegan K.T. sedang/ lemah untuk
mencegah efek samping1.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah lipatan
(inguinal,ketiak) dan wajah digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi mikotik,
infeksi virus, dan skabies1.
Di sekitar mata hendaknya berhati-hati untuk menghindari timbulnya
glaukoma dan katarak. Terapi intralesi dibatasi 1 mg pada satu tempat, sedangkan
dosis maksimum per kali 10 mg1.
l. Mentol
18
Bersifat antipruritik seperti camphora. Pemakaiannya seperti pada camphora,
konsentrasinya ¼ - 2%1.
m. Podofilin
Damar podofilin digunakan dengan konsentrasi 25% sebagai tingtur untuk
kondiloma akuminatum. Setelah 4-6 jam hendaknya dicuci1.
n. Selenium Disulfid
Digunakan sebagai sampo 1% untuk dermatitis seboroik pada kepala dan tinea
versikolor. Kemungkinan terjadinya efek toksik rendah1.
o. Sulfur
Merupakan unsur yang telah digunakan selama berabad-abad dalam dermatologi.
Bersifat antiseboroik, anti akne, antiskabies, antibakteri positif. Gram dan anti jamur.
Yang digunakan ialah sulfur presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning
kehijauan. Biasanya dipakai dalam konsentrasi 4-20%. Dapat digunakan dalam pasta,
krim, salap, dan bedak kocok. Contoh dalam salap ialah salap 2-4 yang mengandung
asam salisilat 2% dan sulfur presipitatum 4%. Sedangkan contoh dalam bedak kocok
ialah losio Kummerfeldi dipakai untuk akne. Susunannya ialah sebagai berikut1 :
R/ Camphorae 3
Sulfuris praecipitati 20
Mucilaginis gummi arabici 10
Solutionis hydratis calcici 134
Aquae rosarum 133
p. Ter
Preparat golongan ini didapat sebagai hasil destilasi kering dari batubara, kayu
dan fosil. Yang berasal dari batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens.
Yang berasal dari kayu misalnya oleum kadini dan oleum ruski. Contoh yang berasal
dari fosil ialah iktiol1.
19
Preparat ter yang sering gunakan ialah likuor karbonis detergens karena tidak
berwarna hitam seperti yang lain dan tidak begitu berbau. Konsentrasi 2-5%.
Efeknya antipruritus, antiradang, antiekzem, antiakantosis keratoplastik, dapat
digunakan untuk psoriasis dan dermatitis kronik dalam salap. Jika terdapat lesi yang
universal, misalnya pada psoriasis, tidak boleh dioleskan di seluruh lesi karena akan
diabsorbsi dan memberi efek toksik terhadap ginjal. Cara pengolesan digilir, tubuh
dibagi 3, hari I : kepala dan ekstremitas atas, hari ke II : batang tubuh dan hari III
ekstremitas bawah8.
Efek sampingnya pada pemakaian tar perlu diperhatikan adanya reaksi
fototoksik, pada ter yang berasal dari batubara dapat juga terjadi folikulitis dan ter
akne. Efek karsinogen ter batubara dapat terjadi pada pemakaian dalam waktu yang
singkat efek samping ini tidak pernah terjadi1.
q. Urea
Dengan konsentrasi 10% dalam krim mempunyai efek sebagai emolien, dapat
dipakai untuk iktiosis atau xerosis kutis. Pada konsentrasi 40% melarutkan protein1.
r. Zat Antiseptik
Zat ini bersifat antiseptik dan/atau bakteriostatik. Zat-zat antiseptik lebih disukai
dalam bidang dermatologi daripada zat antibiotik, sebab dengan memakai zat
antiseptik persoalan resistensi terhadap antibiotik dapat dihindarkan1.
Golongan antiseptik :
1) Alkohol
2) Fenol
3) Halogen
4) Zat-zat pengoksidasi
5) Senyawa logam berat
20
6) Zat warna
1) Golongan alkohol
Etanol 70% mempunyai potensi antiseptik yang optimal. Efek sampingnya
menyebabkan kulit menjadi kering1.
2) Golongan fenol1
• Fenol :
Pada konsentrasi tinggi, misalnya fenol likuifaktum yang berkonsentrasi jenuh
mempunyai efek kaustik, sedangkan pada konsentrasi rendah bersifat
bakteriostatik dan antipruritik (1/2-1%)
• Timol :
Bersifat desinfektan pada konsentrasi 0,5% dalam bentuk tingtur
• Resorsinol :
Efeknya ialah antibakterial, antimikotik, keratolitik, antiseboroik, konsentrasi 2-
3%
• Heksaklorofen :
Senyawa ini mengandung klor. Bersifat bakteriostatik. Larutan heksaklorofen 3%
berkhasiat terhadap kuman positif-Gram.
3) Golongan halogen
Yodium. Bersifat bakteriostatik, misalnya pada tingtur yodium dan lugol.
Tingtur yodium berwarna coklat, dapat menyebabkan iritasi, vesikulasi kulit, dan
deskuamasi. Khasiatnya antibakterial dan antimikotik dengan konsentrasi 1%.
Dalam klinik yodium dipakai untuk desinfeksi kulit pada pembedahan. Segera
sesudah itu kulit harus dibersihkan dengan alkohol 70%.
4) Zat pengoksidasi
Zat pengoksidasi dipakai sebagai desinfektan pada dermato-terapi topikal1.
1. Permanganas kalikus
21
Zat ini mempunyai efek antiseptik lemah dalam larutan encer dalam air. Pada
konsentrasi tinggi bersifat astringen dan kaustik. Dipakai sebagai kompres terbuka
(1:10.000) untuk dermatosis yang akut dan eksudatif. Untuk ulkus yang eksudatif
dapat dipakai konsentrasi 1:5000. Larutan harus dibuat segar karena cepat
mengadakan dekomposisi (warna coklat)1.
2. Benzoil-peroksid
Zat ini merupakan zat pengoksidasi kuat pada konsentrasi 2,5-10%. Bersifat
antiseptik, merangsang jaringan granulasi dan bersifat keratoplastik. Efek samping
: kadang-kadang terjadi alergi dan memutihkan pakaian1.
5) Senyawa logam berat
Merkuri
Zat ini dulu banyak dipakai dalam dermatologi. Sekarang tidak dipakai lagi
karena sensitisasi garam-garam merkuri1.
Perak
a. Larutan perak nitrat
Perak nitrat berbentuk kristal putih, mudah larut dalam air, warna perak
nitrat berubah menjadi hitam bila terkena sinar matahari, karena itu harus
disimpan dalam botol berwarna gelap1.
Larutan dengan konsentrasi 20% bersifat kaustik dipakai pada ulkus dengan
hipergranulasi. Caranya ditutul dengan lidi dan kapas sehari sekali. Kulit di
sekitarnya tidak boleh terkena karena akan rusak12.
b. Sulfadiazin perak
Sulfadiazin perak dipakai untuk pengobatan luka bakar. Dibagian kami juga
dipakai untuk nekrolisis epidermal toksik1.
22
Kerjanya sebagai antiseptik berdasarkan gugus sulfa dan gugus perakny.
Sulfa berkhasiat untuk kuman positif-Gram, sedangkan perak bersifat astringen
dan untuk kuman negatif-Gram. Konsentrasi 1% dalam krim1.
6) Zat warna
Zat warna masih sering dipakai dalam pengobatan topikal. Efeknya ialah
astringen dan antiseptik. Misalnya1 :
Zat warna akridin, umpamanya akridin laktat (rivanol) dipakai untuk
kompres dengan konsentrasi 1%, juga bersifat deodoran. Metil rosanilin klorida
atau gentian violet, dipakai dalam konsentrasi 0,1-1% dalam air. Zat ini juga
mempunyai efek entimikroba terhadap Candida albicans, di daerah intertrigo
atau anogenital1.
s. Obat Imunomodulator Topikal
Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam riset obat yang bersifat imunomodulator
yaitu yang tercakup dalam terapi imun. Salah satu obat imunomodulator adalah
takrolimus (TKL) suatu calcinerin inhibitors (CnLs) yaitu suatu makrolactam yang
pertama-tama diisolasi dari streptomyces1.
TKL dapat diberikan secara oral, topikal, dan intravena. TKL di metabolisasi di hati dan
mempunyai bioavabilitas lebih tinggi. Formulasi topikal mempunyai konsentrasi 0,03%
dan 0,1% dalam bentuk salap1.
TKL terutama diindikasikan untuk dermatitis atopik dan mencegah sel T, dengan
demikian mencegah sisntesis IL2-IL3-IL4, IL5 dan sitokin yang lain misalnya CSF,
TNFα dan TNFγ. TKL tidak menyebabkan atrofi kulit dan tidak berpengaruh pada
sintesis kolagen kulit12.
Pimekrolimus juga dikenal sebagai ASM981 adalah derivat gugusan asli ascomycin
yang semula diisolasi dari hasil fermentasi S. Higroscopicus ascomyticus. Pimekrolimus
mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan CnLs yang lain. Pimekrolimus
diformulasi dalam bentuk krim 0,1%, 0,6%, dan 1,0%1.
B. PENGOBATAN SISTEMIK
23
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan selang-seling (alternate), atau diturunkan
bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian
jangka panjang dapat menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang
lebih berat akan muncul kembali.1
Kortikosteroid bersifat imunosupresif, yang sering digunakan ialah prednison dan
deksametason. Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni
60-150 mg sehari. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m. atau i.v.
sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis.1
2. Antihistamin
Antihistamin yang digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat
terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai
ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus
yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan
memblokade reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam
hari pada orang dewasa.1
Terapi sistemik umumnya bersifat simtomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika
disertai disertai infeksi sekunder diberikan antibotik.1
C. PENGOBATAN INTRALESI
Bila pengobatan topikal gagal, injeksi kortikosteroid intralesi khusus digunakan hanya
pada kasus-kasus tertentu saja dengan lesi setempat (seperti parut keloid, lichen planus
hypertrofik atau alopecia localised areata)1.
Suntikan intralesi kortikosteroid kuat (triamsinolon asetonid 10 mg/cc) pada lesi nodulo-
kistik1.
24
Gambar-6 Terapi Intralesi pada Keloid ( Sterry, Wolfram. “Thieme Clinical Companions Dermatology” New York : 2006. Hal : 442
)
D. RADIOTERAPI
Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk
menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-sel kanker bisa dipengaruhi
oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun
pembelahan sel-sel kanker akan terhambat. Sekitar 50-60% penderita kanker memerlukan
radioterapi. Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal, sebagai terapi paliatif
yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman akibat kanker dan
sebagai adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko kekambuhan dari kanker. Dengan
pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak sel-sel kanker yang mati dan tumor akan
mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar
dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi. Tetapi
bagaimanapun juga, kerusakan yang terjadi pada sel-sel yang sehat merupakan penyebab
terjadinya efek samping radiasi. Radiasi mempunyai efek yang sangat baik pada jaringan
yang membelah dengan cepat6.
Dosis dari radiasi ditentukan dari ukuran, luasnya, tipe dan stadium tumor bersamaan
dengan responnya terhadap radioterapi. Perhitungan yang rumit telah dilakukan untuk
menentukan dosis dan jadwal radiasi pada rencana terapi. Seringkali pengobatan diberikan
dari berbagai sudut yang berbeda untuk mendapatkan efek radiasi yang maksimal terhadap
tumor dan efek yang minimal terhadap jaringan yang sehat1.
25
Gambar-7 Alat Radioterapi
Sjamsoe Daili, Emmy S. , Menaldi , Sri Liniwuh. dan Wisnu, I made. : “Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia” Jakarta : 2005. ( Hal : 48 )
Hal-hal yang harus diingat pada radioterapi adalah: efek samping yang terjadi selama
radioterapi bisa ditangani, radiasi yang diberikan melalui tubuh pasien dan tidak tertinggal di
dalam tubuh sehingga pasien tidak bersifat radioaktif, hanya bagian tubuh pada area radiasi
yang dipengaruhi dan sel-sel normal yang terpapar radiasi akan segera memulihkan diri
beberapa jam setelah terkena paparan.2
E. SINAR ULTRAVIOLET
Sinar ultra violet (UV) adalah radiasi gelombang elektromagnetik non ionisasi dengan
panjang gelombang 10-400 nm. Sinar tak tampak ini dibagi dalam tiga spektrum : UV A
(320-400 nm), UV B (290-320 nm), dan UV C (10-190 nm). Sumber sinar UV dapat sinar
matahari atau buatan (karbon, xenon, merkuri, lampu fluoresen)6.
Gambar-8 sinar UV
26
Fototerapi adalah penggunaan radiasi elektromagnetik non ionisasi untuk kepentingan
pengobatan. Di bidang dermatologi meliputi fototerapi UV A/UV B/ UV A-B, regimen
Goeckerman, fototerapi UV selektif, dan fototerapi di rumah 9.
Gambar-9 sinar UV
Fotokemoterapi adalah fototerapi yang dikombinasi dengan bahan kimia yang bersifat
fotosensitizer seperti psoralen dalam PUVA1.
Fototes adalah penggunaan sinar UV untuk membantu menegakkan diagnosis dengan
dua teknik yang berbeda. Teknik pertama dengan mendeteksi bahan yang diuji dengan
fluoresen, teknik kedua dengan menginduksi lesi kulit pada penderita yang dicurigai
menderita penyakit kulit fotosensitif1.
Kombinasi UV B dan UV A lebih baik daripada hanya UV B. UV A bekerja pada sel
Langerhans dan eosinofil, sedangkan UV B mempunyai efek imunosupresif dengan cara
memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.9
F. BEDAH KULIT
Bedah kulit yang paling sering dilakukan adalah biopsi eksisional maupun insisional
untuk mendiagnosis dan atau sekaligus mengobati kelainan kulit. Biopsi kemudian
bertambah dengan tindakan eksisi pada bedah kulit yang sangat berguna dalam mengangkat
tumor, kulit, baik yang jinak maupun yang ganas.9
27
Gambar-10. J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002.Hal: 324
G. PENGOBATAN LASER
Terapi laser pada penyakit kulit dimasukkan dalam bidang bedah kulit, dikenal sebagai
bedah laser terutama laser dengan energi tinggi (High Power Laser Therapy) yang bersifat
destruktif. Di samping itu terdapat laser dengan energi rendah (Low Power Laser Therapy)
yang bersifat biostimulan, yaitu stimulasi untuk mempercepat respons fisiologis sel dan
jaringan. Kemudian sinar laser dipakai juga dalam bidang estetika dan kosmetologi kulit,
yang berkembang sangat cepat.3,7,8,9
Gambar-11. J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002.Hal: 334
Karakteristik laser
Sinar laser merupakan sinar yang unik. Ada 4 sifat utama sinar laser yang menonjol
yang membuktikan keunikannya10 :
28
1. Monokromatik, yaitu mempunyai satu macam panjang gelombang bergantung pada
medium yang digunakan.
2. Kolimasi, yaitu sinar laser berjalan dengan arah yang sinkron, sejajar (paralel), tidak
terbias.
3. Koheren, yaitu gelombang elektromagnetik memiliki bentuk dan fase yang sama.
4. Sinar laser tampak terang sekali (bright) karena emisi tinggi.
Sinar laser berbeda dengan sinar lampu biasa, karena lampu biasa arahnya menyebar ke
segala jurusan, warna putih sebab terdiri atas spektrum berbagai panjang gelombang. Sinar
tersebut arahnya tertentu dan mempunyai warna tunggal (monokromatik) karena mempunyai
satu panjang gelombang. Keunikan, bersifat monokromatik yakni energi laser hanya diserap
oleh kromofor spesifik organ target11.
Macam bentuk laser
1. Laser Ruby
2. Laser Argon
3. Laser CO2
4. Laser Nd Yag
5. Tuneable Dye Laser
I. KRIOTERAPI
Krioterapi disebut juga cryosurgery adalah suatu tindakan yang tidak hanya digunakan
untuk tumor-tumor eksternal seperti yang ada di kulit, tetapi akhir-akhir ini juga mulai
digunakan untuk tumor-tumor yang ada dalam tubuh, seperti kanker prostat, kanker hati baik
yang primer maupun yang merupakan metastasis dari tumor lain, kanker tulang, otak dan non
small cell lung cancer. Beberapa ahli bahkan menggabungkan tindakan ini dengan radiasi,
operasi dan terapi hormon1,7,8.
29
Gambar-12. J.A.A, Hunter. “Clinical Dermatology 3rd Edition”.2002.Hal: 324
Cara terapi dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan
penekanan selama 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Penggunaan N2 liquid juga
dicobakan. Cara beku dengan beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi.7
J. BEDAH LISTRIK
Bedah listrik (electrosurgery) adalah suatu cara pembedahan atau tindakan dengan
perantaraan panas yang ditimbulkan arus listrik bolak-balik berfrekuensi tinggi yang
terkontrol untuk menghasilkan destruksi jaringan secara selektif agar jaringan parut terbentuk
cukup estetis dan aman baik bagi dokter maupun penderita. Teknik yang dapat dilakukan
dalam bedah listrik adalah : elektrofulgurasi, elektrodedikasi, elektrokoagulasi, elektroseksi
atau elektrotomi, elektrolisis, dan elektrokauter 8.
Gambar-14. Bedah Listrik
30
K. BEDAH SKALPEL
Satu cara konservatif namun tetap dipakai sampai sekarang ialah bedah skalpel.
Umumnya karena invasi tumor sering tidak terlihat sama dengan tepi lesi dari permukaan,
sebaiknya bedah ini dilebihkan 3-4 mm dari tepi lesi agar yakin bahwa seluruh isi tumor bisa
terbuang. Keuntungan prosedur ini ialah tingkat kesembuhan yang tinggi serta perbaikan
kosmetis yang sangat baik8.
Gambar-14. Bedah Skalpel
Bedah skalpel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang menonjol atau
melakukan eksisi elips pada jaringan parut hipotrofik yang dalam8.
L. DERMABRASI
Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi yang luas.8
Gambar-15. Dermabrasi
31
M. BEDAH KIMIA
Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan jaringan parut yang
berbenjol.8
Gambar-17. Bedah Kimia
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengobatan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Kadang
diketahui penyebab multifaktor atau juga tidak diketahui dengan pasti. Jadi pengobatan bersifat
simtomatis, yaitu dengan menghilangkan atau mengurangi keluhan dan gejala, dan menekan
peradangan.1
Pada terapi atau pengobatan kulit banyak jenis dan bentuk sediaan obat yang dapat di
gunakan. Jenis pengobatannya ada yang menggunakan obat-obatan seperti penggunaan topical
dan sistemik , selain itu dengan pengobatan fisik seperti tindakan atau operatif, sinar radiasi,
sinar laser dan berbagai macam jenis tindakan dalam pengobatan kulit.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar Hamzah : Dermatoterapi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
FKUI, 2010: 342-352.
2. Maddin S, Ho VC : Dermatologic therapy. In: Moschella, Harry J, Hurley, eds.
Dermatology. 3rd ed. Philadelphia: W.B Saunders Co, 1992. 2187-93.
3. Hunter, J.A.A , dkk. Clinical Dermatology 3rd Edition. Denmark : Blackwell Science, 2002 .
Hal : 314 -35).
4. Adhi Djuanda : Efek samping kortikosteroid topikal dan pencegahannya; dalam : Surtito
Basuki, Sri Linuwih, maria Dwikarya, I Made Wisnu, E.C, Natahusada, 1987, halaman 27-
35.
5. Schaefer H, Redelmeier TE, Ohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and topical
aplication of drugs. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leff el DJ,
Fitzpatrick, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.
2097-100.
6. Sjamsoe Daili, Emmy S. , Menaldi , Sri Liniwuh. dan Wisnu, I made. : “Penyakit Kulit yang
Umum di Indonesia” ISBN 979-9924-1-5. Jakarta : PT Medical Multimedia Indonesia UI ,
2005. Hal : 8-15.
7. Wyatt EL, Sutter SH, Drake LA. Dermatological pharmacology. In: Hardman JG, Limbird
IE, eds. Goodman and Gillman’s the pharmacological basis of therapeutic. 10th ed. New
York: McGraw Hill, 2001: 1795-814.
8. Strober BE, Washenik K, Shupack JL. Principles of topical therapy. In: Fitzpatrick TB,
Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed.
New York:McGraw-Hill, 2008:2090-6.
9. Roenigk R.K and Roenigk Jr. H. H: Dermatologic Surgery, Principles and Practice Second
Edition. Standard Procedures pp 177-209.
34