Post on 25-Jul-2015
REFERAT
DEMAM BERDARAH DENGUE
Pembimbing:
(Dr. dr. Djoko Trihadi, Sp.PD,FCCP)
Mahasiswa
Alse Kepermunanda
03006020
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umun Daerah Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 30 Januari 2012 - 8 April 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Alse Kepermunanda
NIM : 03006020
Universitas : Universitas Trisakti
Fakultas : Kedokteran Umum
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Diajukan : maret 2012
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik : 30 Januari – 8 April 2012
Judul Makalah : Demam Berdarah Dengue
TELAH DIPERIKSAAN DAN DISETUJUI TANGGAL: ……………………….
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Ketua SMF Pembimbing Kepaniteraan Klinik / Referat
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Bagian Ilmu Penyakit Dalam
dr. Pudjo Hendriyanto, SpPD (Dr. dr. Djoko Trihadi, Sp.PD,FCCP)
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga makalah dengan judul “Demam Berdarah Dengue”
ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di BLU RSUD Kota Semarang
periode 30 januari sampai 8 April 2012. Disamping itu, makalah ini ditujukan untuk menambah
pengetahuan bagi kita semua tentang Demam Berdarah Dengue.
Dalam Kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja
sama yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini, kepada :
1. Dr. Dr. dr. Djoko Trihadi, Sp.PD,FCCP, selaku Ka. SMF dan Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Semarang.
2. Dr. Pudjo Hendriyanto, Sp. PD, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSUD kota Semarang
3. Dr. syaiful niam, Sp.PD , selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD
kota Semarang
4. Dr. Diana Novitasari Sp.PD, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSUD kota Semarang
5. Residen dan Rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Kota Semarang.
6. Seluruh staff medis dan non-medis poliklinik Ilmu Penyakit Dalam, bangsal Bima, Banowati,
Arimbi, Yudistira, Prabu Kresna serta ruang ICU RSUD kota Semarang.
7. Teman-teman Co-ass FK Tarumanagara dan FK Trisakti siklus Ilmu Penyakit Dalam periode 30
januari sampai 7 april 2012 yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini
Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar referat ini dapat menjadi lebih baik,
dan dapat berguna bagi semua yang membacanya. Penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam makalah ini.
Semarang, maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan..…………………………………………………... i
Kata Pengantar…………………………………………………………... ii
Daftar Isi…..…………………………………………………………….. iv
Bab I Pendahuluan …..…………………………………...……………... 1
Bab II Definisi ….............................................…………………………. 3
Bab III Epidemiologi...........…..................…………............................… 4
Bab IV Etiologi……………………………….................……................ 6
Bab V Penularan Demam Berdarah Dengue............................................. 7
Bab VI Patofisiologi dan Patogenesis........................................................ 12
Bab VII Gejala Klinis............................................................................... 16
Bab VIII Diagnosa.................................................................................... 18
Bab IX Pemeriksaan Penunjang................................................................ 20
Bab X Diagnosa Banding.......................................................................... 22
Bab XI Komplikasi.................................................................................... 23
Bab XII Penatalaksanaan......................................................................... 24
Bab XIII Upaya Pemberantasan................................................................ 42
Bab XIV Kesimpulan………………...........………………….………..… 44
Daftar Pustaka………………………………………............………....… v
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah.
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke
berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya
dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Selanjutnya sejak saat itu
penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan
mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000
penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan sejalan
dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi.
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah
Dengue karena virus penyebab clan nyamuk penularnya tersebar luas baik di rumah maupun
tempat- tempat umum, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut.
Pada saat ini seluruh propinsi di Indonesia sudah terjangkit penyakit ini baik di kota maupun
desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar. Menurut laporan Ditjen
PPM clan PLP penyakit ini telah tersebar di 27 propinsi di Indonesia. Dari 300 kabupaten di 27
propinsi pada tahun 1989 (awal Pelita V ) tercatat angka kejadian sebesar 6,9 % dan pada akhir
Pelita V meningkat menjadi 9,2 %. Pada kurun waktu yang sama angka kematian tercatat sebesar
4,5 %.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini obat untuk membasmi virus dan vaksin
untuk mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue belum tersedia. Cara yang tepat guna untuk
menanggulangi penyakit ini secara tuntas adalah memberantas vektor/nyamuk penular. Vektor
Demam Berdarah Dengue mempunyai tempat perkembangbiakan yakni di lingkungan tempat
tinggal manusia terutama di dalam stan diluar rumah. Nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak di
tempat penampungan air seperti bak mandi, drum, tempayan dan barang-barang yang
memungkinkan air tergenang seperti kaleng bekas, tempurung kelapa , dan lain-lain yang
dibuang sembarangan. Pemberantasan vektor Demam Berdarah Dengue dilaksanakan dengan
memberantas sarang nyamuk untuk membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. Mengingat
nyamuk Aedes aegypti tersebar luas diseluruh tanah air baik dirumah maupun tempat-tempat
umum, maka untuk memberantasnya diperlukan peran serta seluruh masyarakat.
BAB II
DEFINISI
Demam Dengue adalah (dengue fever, selanjutnya disingkat DD) adalah penyakit yang
terutama terdapat pada anak dan remaja atau orang dewasa dengan tanda-tanda klinis berupa
demam, nyeri otot, nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam, dan limfadenopati,
demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, gangguan rasa
mengecap, trombositopenia ringan dan petekie spontan.
Demam Berdarah Dengue(Dengue Haemorrhagic Fever, selanjutnya disingkat DBD) ialah
penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi,
yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama. Disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi
yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di
negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi
klinik yang berbeda.
BAB III
EPIDEMIOLOGI
Penyakit Demam Berdarah Dengue atau yang dikenal dengan singkatan DBD adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan merupakan vector borne disease atau
ditularkan melalui vector, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama karena dapat menyerang semua golongan umur dan
menyebabkan kematian khususnya pada anak dan kejadian luar biasa (wabah). Namun dalam
decade terakhir terlihat kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa.
Gejalanya antara lain demam/panas tinggi mendadak disertai dengan perdarahan, kebococran
plasma dan berisko menimbulkan syok.
WHO memperkirakan tiap tahunnya sebanyak 500.000 pasien DBD membutuhan
perawatan di rumah sakit dimana sebagian besar pasiennya adalah anak-anak. Sekitar2.5%
diantara pasien anak tersebut diperkirakan meninggal dunia. Tanpa perawatan yang tepat, case
fatality rate (CFR) DBD dapat saja melampaui angka 20%. Adanya akses yang lebih baik sejak
gejala awal maupun perawatan lanjutan serta peningkatan pengetahuan tentang DBD dapat
menurunkan tingkat kematian hingga dibawah 1%.
Beberapa decade terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang
sangat pesat di seluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk
dunia berisiko terserang dengue. Sebanyak 1.6% milyar (52%) dari penduduk yang berisiko
tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi
dengue tiap tahunnya. Pada tahun 2007 di Amerika terdapat lebih dari 890.000 kasus dengue
yang dilaporkan dimana 26.000 kasus diantaranya tergolong dalam demam berdarah dengue
(DBD).
Di Indonesia kasus demam berdarah dilaporkan pertama kali di Jakarta dan Surabaya
pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang dan 24 orang diantaranya meninggal.
Tahun demi tahun daerah penyebaran meningkat walaupun Case Fatality Rate cenderung
menurun. Seluruh wilayah Indonesia memiliki resiko untuk terjangkit penyakit penyakit DBD,
karena virus penyebab dan vektor penularannya tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-
tempat umum, kecuali daerah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.
Pada tahun 2008, angka kasus DBD di Indonesia tercatat sebanyak 135.871 kasus. Di
propinsi Jawa Barat sendiri tercatat sebanyak 23.248 kasus selama tahun 2008. Angka tersebut
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana angka kasus berjumlah
sebesar 31.836 (sumber: Kompas , 2Maret 2009).
BAB IV
ETIOLOGI
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Virus ini termasuk termasuk kelompok B
Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus yaitu ;
1. Den- 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Den- 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Den- 3 diisolasi oleh Sather
4. Den- 4 diisolasi oleh Sather.
Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak
adalah type 2 dan type 3. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.
BAB V
PENULARAN DEMAM BERDARAH DENGUE
CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam
waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa
tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh
virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang paling
berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya di dalam
dan disekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih
jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan
laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan
bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak.
A. NYAMUK PENULAR DEMAM BERDARAH DENGUE
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan,
kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih
menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada
siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-
17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular
penyakit.
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti
Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah.
Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat
yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya
nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas
permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah
terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa.
B. MEKANISME PENULARAN.
Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini
mendapat virus Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit Demam Berdarah
Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang didalam
darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah.
Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita
tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam
lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan
tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah
penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik).
Gambar 2. Mekanisme penularan
Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
nyamuk Aedes Aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiapkali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum
mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang
diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang
lain.
C . AKlBAT PENULARAN VIRUS DENGUE.
Orang yang kemasukan virus dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti yang
spesifik sesuai dengan type virus dengue yang masuk. Tanda atau gejala yang timbul ditentukan
oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalarn virus dengue
yang baru masuk.
Orang yang kemasukkan virus dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita
sakit demam dengue atau demam yang ringan dengan tanda/gejala yang tidak spesifik atau
bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali (asymptomatis). Penderita demam
dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa pengobatan. Tanda – tanda
demam berdarah dengue ialah demam mendadak selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke
3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 panas mendadak turun.
Gambar 3. Pola demam pada Demam Berdarah Dengue
Tetapi apabila orang yang sebelumnya sudah pemah kemasukkan virus dengue,
kemudian memasukkan virus dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang
penyakit demam berdarah dengue (teori infeksi skunder).
D. TEMPAT POTENSIAL BAGI PENULARAN DBD
Penularan Demam Berdarah Dengue dapat terjadi disemua tempat yang terdapat nyamuk
penularan. Adapun tempat yang potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
1. Wilayah yang banyak kasus DBD (Endemis).
2. Tempat-tempat unlum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue
cukup besar tempat - tempat umum antara lain:
a. Sekolah.
b. RS / Puskesmas dan Sarana pelayanan kesehatan lainnya.
c. Tempat mnmn lainnya seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-
lain.
3. Pemukiman baru dipinggir kota.
Karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah dimana kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau carier.
BAB VI
PATOFISIOLGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis
ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya
dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk
menderita DBD lebih Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 4 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan
berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.
Gambar 4. Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 5). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan.
Gambar 5. Patogenesis Perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
BAB VII
GEJALA KLINIS
Tanda-tanda dan gejala penyakit DBD adalah :
1. Demam .
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus berlangsung 2
- 7 hari, kemudian turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai gejala klinis
yang tidak spesifik seperti: anorexia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan
kepala.
2. Manifestasi Pendarahan. Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari
2-3 setelah demam. Sebab perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat
berupa :
- Ptechiae
- Purpura
- Echymosis
- Perdarahan cunjunctiva
- Perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis)
- Perdarahan gusi
- Muntah darah (Hematenesis)
- Buang air besar berdarah (melena)
- Kencing berdarah (Hematuri)
Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan
toreniquet test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah
Dengue.
3. Pembesaran hati (Hepotomegali).
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Pembesan hati mungkin berkaitan
dengan strain serotype virus dengue.
4. Renjatan (Shock). Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7
mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra
vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan:
- Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.
- Penderita menjadi gelisah.
- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih buruk.
5. Gejala Klinis Lain.
Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit perut,
diare atau konstipasi dan kejang.
BAB VIII
DIAGNOSA
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji tourniquet
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Tabel Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda :
sakit kepala, nyeri retro-
orbital,mialgia, artralgia
Leukopenia,
trombositopenia,tidak
ditemukan bukti kebocoran
plasma
DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung
positif
Trombositopenia
(<100.000/mm3), bukti ada
kebocoran plasma
DBD II gejala di atas ditambah perdarahan Trombositopenia
spontan. (<100.000/mm3), bukti ada
kebocoran plasma
DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan
sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah)
Trombositopenia
(<100.000/mm3), bukti ada
kebocoran plasma
DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan
darah dan nadi tidak terukur
Trombositopenia
(<100.000/mm3), bukti ada
kebocoran plasma
BAB IX
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. LABORATORIUM
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan pada pasien tersangka demam dengue adalah
pemeriksaan kadar Hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk
melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosa pasti didapatkan dari tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik
terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total lekosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15%
dari jumlah total lekosit yang pada fase syok meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT,APTT, Fibrinogen, D-dimer atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT: dapat meningkat.
Ureum,kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.
IgM: mulai terdeteksi pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveillance.
B. RADIOLOGIS
Pada foto toraks didapatkan efusi pleura terutama di sebelah hemitoraks kanan (DBD
derajat III/IV, sebagian besar derajat II), tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi
pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen, sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
BAB X
DIAGNOSA BANDING
Demam pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup demam tifoid, campak,
influenza, chikungunya, dan leptospirosis, hepatitis, malaria, ITP (idiophatic thrombocytopenia
purpura), leukemia stadium lanjut, anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala seperti
DBD.
Sindrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dalam manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
BAB XI
KOMPLIKASI
Ensefalopati dengue
Pada umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan,
tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Kesadaran pasien menurun
menjadi apatis atau somnolen, dapat disertai kejang
Gagal ginjal akut
Pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan
baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml/kgBB/jam. Pada keadaan syok berat
sering dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin.
Udema paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan (overload). Pada waktu terjadi perembesan plasma, pemberian cairan sesuai
kebutuhan tidak akan menyebabkan udem paru, tetapi bila cairan masih diberikan padahal
sudah terjadi reabsorpsi plasma dari ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler, pasien akan
mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran udem paru pada foto rontgen.
BAB XII
PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien
DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD
dengan baik, diperlukan dokter danperawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis
dini danmemberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang
penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit
diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu
singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak
pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Protokol 1 – Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rwat / Pasien
Tersangka DBD Tanpa Syok
Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas atau Istalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan
tempat perawatan lainnya untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau
rawat. Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih belum tampak,
demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit dan trombosit) mungkin masih
dalam Batas-Batas normal, sehingga sulit membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut
lainnya. Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang
meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi/ pemeriksaan lebih lanjut.
Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis danpemeriksaan fisik serta
hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal
dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik Rumah Sakit dalam waktu 24
jam berikutnya atau bila keadaan pasien mmemburuk agar segera kembali ke Puskesmas atau
Fasilitas Kesehatan.
Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara pasien
tetap diobservasi di Puskesmas dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus ringer
laktat sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan
trombosit.
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah
trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam kemudian diminta kontrol ke
Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih
meragukan, pasien tetap diobservasi dan tetap diberikan infus ringer laktat 500cc dalam waktu
empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb. Ht danjumlah trombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah trombosit
normal atau menurun
Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekwensi nadi danpernafasan serta jumlah
urin minimal setiap 4 jam.
Bagan 1.
Protokol 1 Tersangka Demam Berdarah Dengue : Observasi & Pemberian Cairan di
ruang Observasi
Catatan :
1. Tatalaksana pasien dengan syok lihat Protokol 5
2. Observasi monitor keadaan umum, nadi, pernafasan,diuresis, minimal tiap 4 jam
3. Indikasi pulang:
a. Bila hemodinamik baik
b. Bila keadaan memburuk segera kembali ke puskesmas / RS
c. Kontrol ke poliklinik dalam waktu 1 x 24 jam (periksa darah perifer lengkap )
Protokol 2 -- DBD Tanpa perdarahan masif dan syok
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie, purpura,
epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat ; pemberian cairan
Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan
dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa
5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami
dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat
per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg
pemberian cairan infuse dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien
dengan berat badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24
jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa
dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan kelainan
jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada
pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi merupakan salah satu
standar prosedur operasional yang harus dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya tetap
sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun,
pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan tidak
didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari
50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan
masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl,
sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 -
150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan tekanan
darah, frekuensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila
keadaan pasien semakin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan
tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan pasien
DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini
yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran,
akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari
0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah
ke organ vital tersebut. Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan
tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat
dankecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan massif (perdarahan
dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/pl, dengan atau
tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.
Pasien dapat dipulangkan apabila
1. Keadaan umum /kesadaran danhemodinamik baik, serta tidak demam
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta stabil dalam 24
jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum mencapai normal
(diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau trombosit belum
dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam waktu 1x24 jam atau bi la
kemudian keadaan umum kembali memburuk agar segera dibawa ke UGD kembali.
Bagan 2.
Protokol 2 DBD Dewasa Tanpa Perdarahan & Tanpa syok
Observasi dan Pemberian Cairan di Ruang Rawat
Catatan :
1. Indikasi Pulang
a. Bila pasien tidak demam, hemodinamik baik
b. Bila keadaan pasien memburuk harus segera kembali keperawatan
c. Kontrol poliklinik 1 x 24 jam kemudian ( periksa darah parefer lengkap )
2. 1 (satu) kolf Ringer laktat (RL) = 500 ml
3. RL 4 jam / kolf = 40 tetes/menit
Protokol 3 – penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Meningkatnya Ht>20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami deficit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan pemberian cairan infuse
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Bila dalam perkembangannya keadaan pasien terus
membaik, bahkan setelah jumlah cairan infuse dikurangi sampai 3 ml/kgBB/jam, maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Namun dilain pihak bila perkembangan
kondisi pasien memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka psien ditangani sesuai dengan
protocol tatalaksana sindrom renjatan dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Bagan 3.
Protokol 3 – penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Protokol 4 -- DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan ringer laktat
tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan
terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID.
Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell
(PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada
DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000 /pl
disertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diulang 24 jam kemudian, sedangkan
pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita
DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan
infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia,
dapat digunakan cairan kristaloid.
Bagan 4
Protokol 4 DBD dengan Perdarahan Spontan /Masif, tanpa syok
Observasi dan Pemberian Cairan di ruang Rawat
Protokol 5 -- Tatalaksana Sindroma Syok Dengue
DBD dengan syok dan perdarahan spontan
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena angka
kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi
karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan
yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan
SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang sebaiknya
diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%.
Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin
.
Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infuse cepat/guyur)
dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi selama 30-120
menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam waktu 30 menit pertama.
Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf
pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekuensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit
tidak pucat, serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan klinis
stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini
kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak
terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari
saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht
lebih dari 30% dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan
4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel
darah merah (packed red cells)
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata syok
masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid. Bila hematokrit
kurang dari 30% dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan koloid diberikan dalam
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak mempengaruhi/menggangu
mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan
terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh
sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangannya, yaitu
1. Dekstran
2. Gelatin
3. Hydroxy ethyl starch (HES)
Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik,
maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan
menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam,
sedangkan efek volume 10% Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut
dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24
jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam
dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonic dan isonkotik,
sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10% HES
200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7
menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan
kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta
penurunan kekuatan bekuan.
Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka
penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam
setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer laktatjuga dapat diberikan obat-obatan
vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis
disimpulkan ada KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID,
maka heparin dan transfusi komponen darah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut
diatas.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan hemostasis
ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya pemberian
heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID; pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila
masih terdapat perdarahan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi
sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik
pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang
digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.
Bagan 5.
Protokol 5 Penatalaksanaan DBD Dewasa
Dengan Syok dan Perdarahan Spontan
Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol syok dengan
perdarahan hanya pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit) perlu
dilakukan secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang
tersembuyi disertai dengan KID, maka pemberian heparin dapat diberikan seperti pada protokol
syok dengan perdarahan. Tetapi bila tidak didapatkan tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil
pemeriksaan hemostasis menunjukkan adanya KID, maka heparin tidak diberikan, kecuali bila
ada perkembangan kearah perdarahan.
Bagan 5.
Protokol 5 Penatalaksanaan DBD Dewasa
Dengan Syok Tanpa Perdarahan
BAB XIII
UPAYA PEMBERANTASAN
Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1974 upaya pemberantasan penyakit Demam
darah Dengue belum diprogramkan dan upaya pemberantasan dimasukan dalam program
pemberantasan penyakit lain. Kegiatan pokok pemberantasan meliputi penemuan dan
pengobatan penderita serta penyemprotan dilokasi Demam Berdarah Dengue yang ditemukan.
Mulai tahun 1975 s/d 1979 dibentuk Subdit Arbovirosis pada Direktorat Jenderal PPM-
PLP. Kegiatan pemberantasannya mulai diprogramkan yang meliputi pengamatan, pengobatan
penderita, dan penyemprotan disekitar lokasi penderita (Foging Fokus) dengan radius 100 m.
Selaras dengan itu dibentuk unit-unit pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue di
Tingkat Dati I dan Dati II.
Kemudian mulai tahun 1985 s/d 1989 abatisasi massal dipertajam sasarannya melalui
stratifikasi desa endemis dan non endemis. Untuk desa endemis dilakukan abatisasi selektif
(abatisasi terhadap tempat-tempat penampungan air yang ditemukan jentik nyamuk Aedes
Aegypti), Foging massal dan Pemberantan Sarang Nyamuk (PSN).
Mulai tahun 1990 s/d sekarang dikembangkan program pemberantasan intensif Demam
Berdarah Dengue di desa/Kelurahan endemis Demam Berdarah Dengue dengan kegiatan
penanggulangan fokus, foging massal sebelum musim penularan, abatisasi selektif serta
penyuluhan don penggerakkan PSN melalui kerjasama lintas program dan sektor. Kemudian
stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu : endemis, sporsdis dan bebas/potensial.
Kebijaksanaan.
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit Demam Berdarah Dengue hingga dewasa
ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dititik
beratkan pada pemberantasan nyamuk penularnya (Aedes Aegypti) disamping kewaspadaan dini
terhadap kasus Demam Berdarah Dengue untuk membatasi angka kematian. Pemberantasan
nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menyemprotkan insektisida. Namun selama jentiknya
masih dibiarkan hidup, maka akan timbul lagi nyamuk yang baru yang selanjutnya dapat
menularkan penyakit ini kembali. Oleh karena itu dalam program P2 Demam Berdarah Dengue
penyemprotan insektisida dilakukan terbatas dilokasi yang mempunyai potensi untuk berjangkit
kejadian luar biasa alan wabah, untuk segera membatasi penyebaran dan penularan penyakit
Demam Berdarah Dengue. Atas dasar itu maka dalam pemberantasan penyakit Demam Berdarah
Dengue yang penting adalah upaya membasmi jentik nyamuk penular ditempat perundukan
dengan melakukan "3M" yaitu :
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali
atau menaburkan bubuk abate kedalamnya.
2. Menutup rapat-rapat tmpat penampungan air.
3. Mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti:
kaleng-kaleng bekas, plastik dan lain-lain.
Jika kegiatan "3M" yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
ini dilakukan secara teratur oleh keluarga di rumah dan lingkungannya masing-masing maka
penyakit ini akan dapat diberantas.
Mengingat semua wilayah mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah
Dengue, sangat luas maka upaya pemberantasan perlu dilaksanakan secara menyeluruh dan
meliputi semua wilayah. Namun mengingat keterbatasan sumber daya, upaya pemberantasan
penyakit Demam Berdarah Dengue dewasa ini diprioritaskan pada wilayah kecamatan yang
endemis Demam Berdarah Dengue, yaitu kecamatan yang dalam 3 tahun takhir mempunyai
desa/kelurahan yang setiap tahunnya ada kasus Demam Berdarah Dengue.
Strategi.
Strategi program Demam Berdarah Dengue, meliputi : (1) Kewaspadaan Dini penyakit Demam
Berdarah Dengue, guna mencegah membatasi terjangkitnya KLB/Wabah penyakit Demam
Berdarah Dengue, (2) Pemberantasan intensif penyakit Demam Berdarah di Desa kelurahan
endemis Demam Berdarad Dengue, melalui pelaksanaan:
a). Penyemprotan massal di desa /kelurahan endemis sebelum musim penularan
disertai abatisasi selektif
b). Penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam Berdarah Dengue melalui
penyuluhan dan motivasi dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi
dan informasi yang ada, melalui kerja sama lintas program dan sektor dan
dikoordinasikan oleh Kepala daerah/wilayah.
BAB XIV
KESIMPULAN
Demam dengue dan demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai lekopeni,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue:
- Hipotesis infeksi sekunder ( secondary heterologous infection theory)
- Hipotesis immune enhancement
Patogenesis utama yang membedakan demam dengue dengan DBD adalah peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, serta diatesis hemoragik.
Dasar penatalaksanaan DSS yang utama adalah penggantian volume plasma secepat mungkin
untuk memperbaiki kehilangan volume plasma. Dengan memahami patogenesis DBD yang baik
dan adanya keterampilan yang baik untuk menegakkan diagnosis secara dini dan pengambilan
keputusan yang tepat, akan menentukan keberhasilan pengobatan DBD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K,Pohan TH. DEMAM BERDARAH DENGUE. Dalam :
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III, edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 : 1709-1713
2. Demam Berdarah. http://www.scribd.com/doc/56569352/referat-pd#archive
3. Mansjoer A,Triyanti K,Savitri Rakhmi, Wardhani IW, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001 : 428 – 433.
4. Siregar AF,DR. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indonesia. FK Kesehatan Masyarakat USU, 2004.
5. Compendium of Indonesian Medicine. 2009. IPD’s CIM 1st edition Panduan Demam Berdarah
Dengue. PT Medinfocomm Indonesia.
6. Komplikasi dan pencegahan demam berdarah dengue.
http://www.berbagimanfaat.com/2011/04/komplikasi-dan-pencegahan-demam.html