Post on 12-Nov-2020
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDDE BARU
Oleh:
ISTIKHORI
NIM. 102033224767
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU
Oleh:
ISTIKHORI
NIM. 102033224767
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
ISTIKHORI
NIM. 102033224767
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
A. Bakir Ihsan, M.Si
NIP. 150326915
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah .
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.
Ciputat, 15 Juni 2008
( ISTIKHORI )
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, inayah
dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan tema ”Profesionalisme Militer Pasca Orde Baru”, sebagai persyaratan
untuk meraih gelar sarjana. Shalawat dan salam, semoga tetap dicurahkan kepada
junjungan kita, Nabi tercinta, Muhammad SAW.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak sedikit mengalami hambatan dan
rintangan terutama karena keterbatasan kemampuan penulis, waktu dan juga
buku-buku referensi yang tersedia. Oleh karena itu, dengan bangga dan rendah
hati penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang
yang telah turut membantu dan memberikan dukungan baik do’a, moril maupun
materil dengan tulus ikhlas. Terutama penulis persembahkan kepada kedua orang
tua, ayahanda Alm. H. Marzuki dan ibunda Hj. Aminah, berkat do’a dan kasih
sayang, serta perjuangan mereka yang senantiasa dilakukan untuk kesuksesan
masa depan penulis. demikian juga tidak ketinggalan kepada kakak-kakak dan
adik-adikku tercinta yang kesemuanya telah memberikan dukungan bagi penulis.
Selain itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
segenap pihak yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan dan
penyelesaian skripsi ini:
1. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA., sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat beserta segenap pembantu Dekan. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.
Fils., selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti
Sajaroh, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan, serta segenap dosen yang telah
memberikan bekal pengetahuan kepada penulis, baik secara teoritis, maupun
praktis selama berada dalam perkuliahan.
2. Bapak A. Bakir Ihsan, M.si, selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan waktu luangnya bagi penulis, serta dengan penuh kesabaran,
ketelitian dan perhatian selama memberikan bimbingan kepada penulis.
Penulis haturkan terima kasih semoga Allah membalas segala kebaikan dan
kesabaran bapak dalam membimbing penulis.
3. Teman-temanku yang selama ini mendukungku mahasiswa Pemikiran Politik
Islam angkatan tahun 2002, Idham, Iepul, Dedek, Edi, Anay, Ubay, Yeni dan
lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, serta teman-teman ASPA,
Acoenk, Bengo, Cadel, Jaep, Belek, Rian, Ogeb, Phoker dan yang lainnya,
dan juga rekan-rekan BLIZMER 96. Thanks yaa..!
4. Terima kasih buat yang’ku Siti Marfu’ah yang telah banyak memberikan
dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
5. Dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skirpsi ini.
Akhirnya penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat
untuk seluruh kalangan. Walaupun, penulis menyadari masih banyak kekurangan
di sana-sini, karena berbagai keterbatasan penulis.
Jakarta, 15 Juni 2008
ISTIKHORI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................7
D. Metode Penelitian .......................................................................8
E. Sistematika Penulisan .................................................................9
BAB II: KONSEP PROFESIONALISME
A. Pengertian Profesi, Profesional dan Profesionalisme ....................11
B. Kriteria dan Elemen Profesional Secara Umum............................19
C. Pengertian Profesionalisme Militer...............................................22
BAB III: PERGULATAN SEJARAH PROFESIONALISME MILITER DI
INDONESIA
A. Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik
dan ekonomi di Indonesia ...........................................................27
B. Reformasi Internal dan Paradigma Baru Militer..........................33
1. Militer sebagai Alat Pertahanan Negara .................................37
2. Militer sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan
Tentara Nasional yang Profesional.........................................38
C. Perkembangan Paradigma Baru Militer ......................................40
BAB IV: PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU
A. Kembali ke Barak ......................................................................44
B. Tidak Berpolitik Praktis .............................................................47
C. Pemisahan TNI-POLRI ..............................................................51
D. Tidak Berbisnis ..........................................................................54
E. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Teritorial .........................60
BAB V: PENUTUP…………………………………………………………...64
A. Kesimpulan..................................................................................64
B. Saran............................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi
diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer
merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai
dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang
dilakukan, pada hakikatnya, merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan
image serta prestasi militer.
Pada dasarnya, reformasi internal militer bertujuan mewujudkan militer
yang profesional, efisien, efektif dan modern (PEEM) sebagai alat pertahanan
nasional dalam negara Indonesia yang demokratis dan modern. Hakikat reformasi
internal militer juga bertujuan memantapkan jati diri militer dalam kehidupan
negara Indonesia yang demokratis dan modern. 1
Ada tiga rumusan hakikat reformasi internal militer, pertama, fungsi
militer ialah sebagai alat pertahanan dan sebagai bagian dari sistem nasional,
yang otoritasnya diatur oleh undang-undang. Kedua, reformasi internal militer
ialah menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan kesadaran
hukum. Ketiga, bahwa implementasi identitas dan jati diri militer sebagai tentara
1Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI Abad XXI: Redefinisi,
Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-Langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI,
tahap II (Jakarta: Mabes TNI, 2001 ), h. 3.
rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional harus ditegakkan
kembali.
Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer
mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah
dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No.
3 Tahun 2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak
melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.
Wujud dari reformasi internal militer adalah menciptakan profesionalisme
militer. Adapun bentuk nyata dalam menciptakan militer yang profesional pasca
Orde Baru ialah sebagai berikut; pertama, militer harus kembali ke barak, kedua,
tidak berpolitik praktis, ketiga, pemisahan TNI-POLRI, keempat, tidak berbisnis,
dan kelima, melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial.
Tidak seperti yang kita saksikan pada masa-masa sebelumnya, dimana
militer telah meninggalkan profesionalismenya serta mempunyai tugas dan peran
yang dwifungsi, bahkan ada yang mengatakan multifungsi. Untuk memperjelas
gambaran kita tentang militer berikut akan dijelaskan mengenai sejarah militer
dan keterlibatannya dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia.
Di Indonesia militer terlahir dari proses gerakan pembebasan nasional,
yang asal-usulnya adalah dari perlawanan rakyat dengan tujuan untuk merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah.2 Pada awal pembentukannya, tujuan dari
militer selain untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, juga hanya
sebagai alat pertahanan negara saja. Hal ini dapat dilihat dalam amanat Panglima
2Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 59.
Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta pada 25 Mei 1946, yang antara lain
menyebutkan sebagai berikut:
Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan
kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup tentara teguh memegang kewajiban ini. Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus
dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkan. Harus diingat pula, oleh karena
negara Indonesia tidak cukup dipertahankan tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerja sama seerat-eratnya dengan golongan serta badan-badan
di luar tentara; tidak bisa menjadi alat suatu golongan atau siapapun juga.3
Memperoleh kekuasaan merupakan suatu tujuan ketika masuk ke dalam
dunia politik, dan mempertahankan kekuasaan yang sudah dicapainya merupakan
kegiatan yang penting dan memerlukan kesungguhan yang sangat besar dari pada
ketika mendapatkan kekuasaan tersebut.4 Inilah yang terjadi dimana ketika militer
memasuki dunia politik. Militer (TNI) khususnya TNI-AD sejak awal tahun 1945
sampai Orde baru memainkan peranan politik yang penting.5 Tanpa dukungan
TNI-AD pemerintah manapun tidak akan berkuasa lama.6
Keterlibatan militer Indonesia dalam politik dan ekonomi mempunyai akar
dan latar belakang yang panjang. Keadaanlah yang kemudian membuat militer
berubah dan terlibat dalam percaturan politik dan eknomi. Kaum militer campur
tangan dalam dunia politik karena beberapa faktor: yaitu keadaan yang
menuntutnya lantaran dalam keadaan perang kemerdekaan; dipojokkan dan
3Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 1-2. 4Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1993), h. 49. 5Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), h. 389,
yang menyatakan bahwa dari awal sejarahnya dalam tahun 1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya kekuasaan penjajah Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di
bawah Orde Baru, para perwira Angkatan Darat senantiasa melibatkan dirinya ke dalam masalah-
masalah politik dan hampir sepanjang masa itu dengan giat memainkan peranan politik yang
penting. 6Takashi Shiraishi, “Militer Indonesia dalam Politik”, dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial
UNISIA, No.38/XXII/II/1999, h. 12.
dicemooh oleh elite sipil secara tidak wajar; kegagalan pemimpin dan elite sipil
dalam menjalankan tugasnya dan adanya kekosongan pemerintah di daerah ketika
perang melawan Belanda, mengakibatkan militer mengisinya untuk menjalankan
pemerintahan.7
Dalam menghadapi keadaan ini, peran militer lebih menonjol, karena
kekuatan pemimpin sipil relatif tidak kokoh dan tidak mampu memainkan
perannya. Inilah yang kemudian menyebabkan militer mengambil peran politik.
Pemimpin sipil pada masa itu terlalu sibuk dengan perselisihan dan lebih
mementingkan golongannya saja.8
Peran politik militer berlanjut pada masa pemerintah Indonesia menganut
bentuk pemerintahan Demokrasi Parlementer. Pada masa ini banyak terjadi
kekacauan yang berlangsung di daerah akibat pemberontakan-pemberontakan dan
inilah keadaan yang menyebabkan tentara memainkan peran yang semakin
dominan dalam bidang politik. Apalagi karena kekacuan tersebut pemerintah
memberlakukan keadaan darurat perang pada 1957, yang berarti bahwa segala
wewenang administrasi dan pembangunan ekonomi ditangani oleh tentara.
Ketidakstabilan politik ini kemudian mendorong Presiden Soekarno
mengeluarkan Dektrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945).9
7Bambang Sutedjo, “Peran ABRI dalam Kehidupan Nasional”, dalam Yusuf Solichin,
Atmadji Sumarkidjo dan Suhadi, ABRI Profesional dan Dedikatif, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 14.
8ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI
(Jakarta: LP3ES,1986), h. 211. 9UUD 1945 adalah UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disahkan leh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang 18 Agustus 1945, sehari sesudah
proklamasi kemerdekaan.
Sejak itu mulailah demokrasi terpimpin di Indonesia. Dalam demokrasi
terpimpin, tentara, khususnya Angkatan Darat, ditarik ke dalam politik kekuasaan.
Banyak perwira militer dibawa masuk untuk memegang jabatan dalam lembaga-
lembaga resmi pemerintah, seperti menjadi menteri, anggota DPR/MPR,
Gubernur, atau jabatan-jabatan lainnya.10
Sedangkan pada Orde Baru, TNI atau militer menjadi lebih aktif lagi
dalam arena politik praktis. Peran politik militer dalam bidang sosial politik
menjadi sungguh luar biasa luasnya. Pemimpin Orde Baru, Soeharto memang
memberikan peluang secara luas kepada militer untuk itu, karena format politik
Orde Baru mendayagunakan peran sosial politik militer untuk menjaga
kepentingannya.11
Dengan demikian fungsi militer sebagai alat negara telah bergeser menjadi
alat pemerintah Soeharto dan keluarganya serta para kroninya (klien). Hal ini
secara sadar diakui oleh pihak militer (ABRI) sendiri yang menyatakan bahwa
“format politik Presiden Soeharto untuk mendayagunakan peran sosial politik
ABRI bagi kepentingannya”.12
Namun setelah Orde Baru tumbang atau pada era reformasi ini, maka
sebagai komponen bangsa dan bagian dari sistem nasional, TNI menyadari
pentingnya reformasi nasional sebagai usaha mewujudkan kehidupan masyarakat
10
Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, h. 179. 11
Lihat: Dewi Fortuna Anwar & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Gusdur versus Militer: Studi
tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi, (Jakarta: PT. Grasindo, 1998), h. 4; dan lihat juga:
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan
Reaktualisasi Peranan TNI dalam Kehidupan Bangsa (Jakarta: mabes TNI,1999 ), h. 22. 12Mabes ABRI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 14.
dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Karena itu, sejak reformasi dicanangkan,
TNI telah merumuskan konsep-konsep reformasi secara konstitusional.
TNI telah melakukan redefinisi, reposisi, dan rektualisasi peran, karena
menyadari keterlibatannya dalam politik sudah kebablasan (over reach), yang
meyebabkan demokrasi tidak bisa berkembang. TNI melakukan reformasi internal
melalui perumusan paradigma barunya. Paradigma baru TNI ini bertujuan untuk
melaksanakan tujuan nasional secara terpadu oleh segenap komponen bangsa,
tanpa ada yang mendominasi satu sama lain, dan tanpa ada yang menempatkan
diri pada posisi sentral.13
Proses reformasi politik yang terus berlangsung telah memaksa TNI
melakukan perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Tuntutan untuk
melakukan perubahan tersebut adalah konsekuensi dari kehendak rakyat dan
otoritas politik dalam membangun sebuah sistem ketatanegaraan yang lebih
demokratis, yang mensyaratkan adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi
sipil.14
Kalau diamati, perkembangan kehidupan militer di Indonesia sebelum
reformasi internal banyak menyimpang dari prinsip profesionalisme. TNI selalu
ikut campur dalam politik praktis dengan mendominasi pemerintahan dan menjadi
tonggak partai Golkar. Karena itu, dalam melakukan dan mengimplementasikan
reformasi internalnya, TNI harus berpedoman dan mengacu pada prinsip
pengembangan profesionalisme.
13
Mabes ABRI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 22-23. 14
Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional, Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik:
Perjalanan Advokasi RUU TNI, (Jakarta: Imparsial, Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, LSPP,
2005), h. 1.
Dengan penjelasan singkat di atas, maka dalam hal ini penulis ingin
membahas lebih jauh lagi tentang perkembangan militer di Indonesia dan
berusaha untuk memperjelas bahwa sebenarnya fungsi militer adalah sebagai alat
pertahanan dan keamanan negara, juga militer sebagai tentara rakyat, tentara
pejuang, dan tentara nasional yang profesional dan tidak ikut campur dalam dunia
perpolitikan, bukan seperti yang selama masa Orde Baru kita saksikan
bahwasannya militer dijadikan alat kekuasaan. Dalam hal ini penulis juga akan
menggambarkan tentang profesionalisme militer pasca Orde Baru. Berkaitan
dengan masalah di atas maka penulis membuat skripsi ini dengan tema,
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dalam bahasan
skripsi ini perlu membatasi agar lebih terfokus dan terarah. Batasan dalam skripsi
ini hanya berkisar tentang bentuk nyata yang harus dilakukan militer untuk
menciptakan profesionalisme militer pasca Orde Baru.
Mengacu pada batasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahannya yang berkisar pada tolak ukur apa saja yang harus dilakukan
militer sehingga tercipta profesionalisme militer pasca Orde Baru?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini meliputi dua tujuan, yakni :
1. Tujuan Umum
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh
mengenai perkembangan, sejarah, dan keterlibatan militer dalam
dunia politik di Indonesia, juga tentang perkembangan
profesionalisme militer pasca Orde Baru. Dan juga untuk
memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa sesungguhnya
militer pada zaman reformasi sekarang ini berbeda dengan militer
pada masa sebelumnya.
2. Tujuan Penulisan
Skripsi ini merupakan tugas akhir agar penulis memperoleh
gelar S1 pada Program Pemikiran Politik Islam, Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Dalam rangka menyusun skripsi yang berjudul PROFESIONALISME
MILITER PASCA ORDE BARU ini, penulis menggunakan metode penelitian
dengan teknik deskriptif-analisis, yaitu sebuah metode yang berusaha
menggambarkan sejarah, perkembangan, dan keterlibatan militer dalam politik,
serta mengenai prinsip-prinsip tentang profesionalisme militer di Indonesia pada
era reformasi sekarang ini sehingga mendapatkan pemahaman yang lebih
mendetail.
Adapun mengenai teknik pengumpulan data, penulis memilih metode studi
pustaka (Library Reseach) yang data-datanya diperoleh dari buku referensi
primer, adalah buku Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI), TNI
Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-
Langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI, tahap II (Jakarta: Mabes TNI, 2001).
Sedangkan data-data sekunder, diantaranya buku Abdoel Fatah, Demiliterisasi
Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogyakarta: LKIS, 2005), dan
buku Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer
di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2005). Kedua buku tersebut ditulis oleh dua orang
dengan latar belakang dan profesi yang berbeda. Abdoel Fatah berasal dari militer,
sedangkan Yuddy Chrisnandi berasal dari sipil. Juga berasal dari buku lainnya
yang menyangkut masalah yang dibahas skripsi ini, termasuk surat kabar,
majalah, artikel-artikel, data dokumenter, media elektronik dan lainnya yang
berkenaan dengan judul skripsi ini.
Sedangkan mengenai sistematika penulisannya berpedoman pada Buku
Pedoman Akademik 2005-2006 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini menjadi lebih sistematis, maka skripsi ini akan
dibagi menjadi lima bab. Yakni masing-masing terdiri dari sub-sub bab, yang
terdiri sebagai berikut :
Tulisan ini dimulai dari bab pertama, yang diawali dengan latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Selanjutnya dalam bab kedua berisi mengenai landasan teori, yang
menjelaskan tentang konsep profesionalisme. Lebih jelasnya dalam bab ini
dijelaskan tentang pengertian profesi, profesional, dan profesionalisme, juga
tentang kriteria untuk kualifikasi sebagai profesional dan elemen profesional
secara umum, pada bab ini juga menjelaskan tentang pengertian profesionalisme
militer.
Berikutnya pada bab ketiga menggambarkan secara umum tentang sejarah
dan keterlibatan militer dalam dunia politik di Indonesia, tentang paradigma baru
dan reformasi internal militer. Bab ini juga menerangkan mengenai perkembangan
paradigma baru militer di Indonesia.
Selanjutnya ialah bab empat yang merupakan bab utama. Dalam bab ini
lebih pada analisa penulis yang menjelaskan tentang bagaimana wujud nyata
militer Indonesia yang berusaha untuk menjadi militer yang profesional pasca
Orde Baru. Adapun wujud nyata yang telah dilakukan militer atau TNI adalah
sebagai berikut; pertama, militer harus kembali ke barak, kedua, tidak berpolitik
praktis, ketiga, pemisahan TNI-POLRI, keempat, tidak berbisnis, dan kelima,
melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial.
Yang terakhir adalah bab lima, yang merupakan bab penutup yang berupa
kesimpulan dan saran-saran serta kritik penulis.
BAB II
KAJIAN TEORITIS MENGENAI KONSEP PROFESIONALISME
A. Pengertian Profesi, Profesional dan Profesionalisme
1. Profesi
Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua
pengertian, yaitu janji atau ikrar dan pekerjaan. Artinya bila dibuat dalam
pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk
memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan,
dalam arti sempit, profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian
tertentu, juga dituntut adanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.15
Dalam pengertian yang lain, profesi memiliki makna yaitu bidang
pekerjaan yang ditekuni yang didasarkan pada keahlian atau kemampuan atau
kompetensi yang dimiliki.16
Profesi juga dapat diartikan sebagai pekerjaan yang
dilandasi oleh pengetahuan atau pendidikan tertentu.17
Istilah profesi didapat dari orang-orang yang mengajarkan “to profess”
atau menyatakan, yang pada awalnya ini merupakan perintah dari agama, tetapi
pada abat ke 17, definisi dari perkataan ini dialihkan ke dalam masalah duniawi
yang berarti “proses pencapaian hak kualifikasi”.
Cafario berpendapat mengenai profesi, menurutnya bahwa definisi
profesi memiliki beberapa unsur pengertian, yaitu: pekerjaan dilakukan dalam
15
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www1.bpkpenabur.or.id, 16
M. Dahlan Y. Al-Basry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, (Surabaya: Target
Press, 2003), h. 168. 17
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Kamus Terbaru, (ttp: Gita Media
Press, tt ), h. 175.
waktu yang panjang, pekerjaan itu penting bagi kelompok atau kesatuan,
pekerjaan itu berguna untuk mencapai kemajuan. Dengan kata lain, profesi
merupakan sebuah keahlian dan kemahiran melalui proses belajar untuk
meningkatkan pengetahuan yang spesifik.18
Istilah profesi dan pekerjaan untuk sebagian masyarakat yang belum
memahami istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, namun jika dikaji
lebih mendalam kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda.
Untuk mengetahui lebih jauh, marilah kita lihat dari sudut bahasa, yaitu istilah
pekerjaan (accupation) adalah setiap aktivitas kerja, baik yang menghasilkan
imbalan ataupun yang bersifat sukarela atau tanpa imbalan. Istilah profesi
(Profess) berarti pengakuan atau merupakan pekerjaan dalam pengertian khusus
dan memenuhi persyaratan tertentu.
Menurut Carrsander dalam kuliahnya di Oxford University berpendapat
bahwa, cikal bakal perkembangan profesi atau keahlian, dimulai pada masa
Revolusi Industri, yang kemudian berkembang atau tercipta berbagai jenis
pekerjaan baru yang disebut sebagai profesi.19
Ilmuwan lainnya Louis D. Brandeis mengemukakan perbedaan antara
pekerjaan dan profesi. Dalam pendapatnya, disebutkan bahwa profesi adalah
pekerjaan yang memerlukan persyaratan khusus, antara lain meliputi:
a. Memiliki intelektual dalam ilmu pengetahuan atau sains serta mampu
menguasai keterampilan yang cukup.
18
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http.//www.ipai.info/profesionalisme.htm 19
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.perpusjatim.go.id
b. Untuk melakukan kegiatan, profesi harus mengikuti pendidikan dalam
bidang ilmu tersebut.
c. Pekerjaan profesi ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada orang
lain atau pemakai jasa.
d. Berhasilnya pekerjaan tersebut tidak diukur berdasarkan imbalan uang,
tetapi diukur berdasarkan hasilnya.
Menurut Abraham Flexner, suatu profesi harus memenuhi 6 syarat, yaitu:
a. Profesi merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan
intelegensia yang bebas dan diterapkan atau dipraktekan pada persoalan
atau masalah dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya.
b. Profesi merupakan pekerjaan yang berdasarkan pengetahuan.
c. Profesi merupakan pekerjaan praktikal artinya bukan seluruh teori
akademik, tetapi dapat diterapkan atau dipraktekan.
d. Profesi terorganisir secara sistematis.
e. Memiliki standar dan tolak ukur dalam pelaksanaannya.
f. Berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya, bukan kepada diri
profesional.
Dengan demikian profesi merupakan jenis pekerjaan tetap dan penuh.
Artinya profesi merupakan pekerjaan yang layanannya diperlukan oleh
masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi atau memenuhi
kebutuhan mereka secara terus menerus.20
20Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.perpusjatim.go.id
2. Profesional
Menurut Kamus Bahasa, definisi profesional adalah yang berkaitan dengan
atau bergiat dalam bidang profesion, yang memerlukan kepandaian khusus untuk
melaksanakannya, mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.21
Dalam pengertian lain, professional mengandung arti memerlukan tekhnik atau
keterampilan khusus untuk melaksanakannya, bersifat bayaran atau mengharuskan
adanya bayaran untuk melakukannya, lawan dari amatir.22
Kata profesional sering muncul dalam lingkungan kerja maupun
organisasi. Tentunya tidak mudah mendefinisikan arti profesional ini. Kata
profesional sering kita dengar dan bahkan kita sendiri juga sering
mengucapkannya. Istilah profesional biasanya dipakai untuk menunjukkan status
si pelaku yang karena keahliannya memang harus dibayar untuk menampilkan
kemampuannya, berbeda dengan amatir, amatir lebih karena hobi. Ada definisi
praktis misalnya, profesional berarti bayaran, seperti petinju profesional, petenis
profesional, dan sebagainya. Biasanya ini berhubungan dengan olah raga, dalam
dunia olahraga mengenal olahragawan profesional dan amatir.23 Dari definisi ini
dapat dipahami bahwa sesuatu tugas yang dilaksanakan oleh seseorang dengan
baik dan mengikuti aturan-aturannya, maka pelaksana itu dikenali sebagai orang
yang profesional.24
21Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 175. 22
Al-Basry, Kamus Induk Istilah, h. 168. 23
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://rovicky.wordpress.com/2006/05/06/mental-
profesional-untuk-buruh-maupun- juragan/ 24
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://laptopdarulfiqh.blogspot.com/2007/05/siapakah-
profesional-pas-sebenar.html
Pellegrino memberikan perspektif meyakinkan mengenai sesuatu yang
profesional. Dia menyatakan bahwa dasar filosofi dari suatu profesi yang
sesungguhnya itu terletak pada “adanya sesuatu yang khusus” yang dibutuhkan
dalam hubungan antar-manusia, antara pemberi jasa dan mereka yang
membutuhkan jasa bantuannya. Pellegrino menyimpulkan ucapannya seperti
berikut “Menjadi seorang profesional adalah membuat janji untuk pengharapan,
memegang janji itu, dan melaksanakan janjinya untuk kepentingan terbaik dari
pasien-pasien”. 25
Pada masyarakat umum, terdapat pengertian bahwa profesional selalu
dikaitkan dengan keahlian dan dengan tinggi rendahnya bayaran seseorang dalam
melaksanakan tugasnya. Mutu hasil kerja yang kurang baik sering juga disebut
kerja tidak profesional atau amatiran. Bagi seorang profesional mutu kerja harus
tinggi karena dia dibayar untuk melakukan tugasnya, dengan kata lain dia harus
bertanggung jawab atas apa yang dia kerjakan. Apabila mutunya tidak
memuaskan tentu dia tidak akan laku. Dengan demikian, istilah profesional
minimal harus mempertimbangkan dua hal yaitu dari sisi kemampuan pelaku dan
mutu hasil karyanya.
3. Profesionalisme
Dalam Kamus Bahasa, profesionalisme berarti keadaan atau ciri-ciri yang
menunjukkan suatu profesi.26
Dalam pengertian lain, profesionalisme adalah suatu
paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam
masyarakat, berbekalkan keahlian tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan,
25
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.jls.gov.my 26Al-Basry, Kamus Induk Istilah Ilmiah, h. 78.
serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut, dengan semangat pengabdian
selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung
kesulitan di tengah gelapnya kehidupan.27
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu
yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus,
disamping itu pula, ada unsur semangat pengabdian atau panggilan profesi di
dalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk
membedakannya dengan kerja biasa yang semata bertujuan untuk mencari nafkah
atau kekayaan materiil-duniawi.
Lebih lanjut Wignjosoebroto menjabarkan profesionalisme dalam tiga
watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian "jasa
profesi" ialah bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan
kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya
tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil. Kerja
seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas
tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan pelatihan yang panjang,
eksklusif, serta berat, bahwa kerja seorang profesional diukur dengan kualitas
teknis dan kualitas moral, harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme
kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam
sebuah organisasi profesi.28
27
Sritomo Wignjosoebroto, Makalah Pengantar untuk Perbincangan Tentang
" Perspektif Pembangunan Daya Saing Global Tenaga Kerja Profesional ", Institut Teknologi
Sepuluh November – Surabaya, 1999. 28Wignjosoebroto, Makalah Pengantar
Profesionalisme bukanlah suatu hal yang mudah dipahami, karena istilah
ini sudah digunakan secara luas di semua kalangan sehingga konsep yang jelas
sulit untuk diformulasikan. Namun demikian, ada indikator-indikator yang
menunjukkan tentang sikap profesionalisme, yang salah satunya adalah tidak
adanya rangkap jabatan.
Rangkap jabatan akan lebih menarik lagi kalau dihubungkan dengan
keinginan terciptanya profesionalisme aparatur pemerintahan. Berdasarkan konsep
Max Weber, profesionalisme mempunyai arti bahwa seseorang memegang suatu
jabatan atau kegiatan sesuai dengan keahliannya, baik dilihat dari kesesuaian
pendidikan maupun pengalaman yang berhubungan dengan jabatannya. Oleh
karena itu, sudah lama istilah profesionalisme digunakan dalam jabatan-jabatan
atau kegiatan-kegiatan birokrasi pemerintahan.
Sebenarnya konsep profesionalisme tidak hanya berlaku dalam kegiatan
atau jabatan pemerintahan. Setiap orang yang mempunyai jabatan sesuai dengan
keahliannya dapat dikatakan profesional dengan penilaian bahwa ia akan berhasil
dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, sifat profesionalisme bukan
hanya dilihat dari kesesuaian antara pendidikan atau keahlian dengan jabatan,
tetapi juga dihubungkan dengan hasil yang diperolehnya. Yang dimaksud adalah
semangat kerja dan ketaatan akan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Termasuk juga di dalamnya konsentrasi terhadap pekerjaan sebagai refleksi dari
rasa tanggung jawab atas jabatan yang dipercayakannya. 29
29
Diakses tanggal 5 Juli 2007 dari http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/1105/23/0801.htm
Profesionalisme adalah kombinasi dari pengetahuan dan kemahiran yang
berkemampuan tinggi dalam bidang yang spesifik. Sedangkan profesi merupakan
tugas atau pekerjaan yang spesifik itu. Perlmutter menyatakan:30
Profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan latihan dan pendidikan
yang sempurna dalam suatu bidang yang terspesialisasi. Tujuan pendidikan yang
lama dan intensif dimaksudkan agar tetap terpelihara tingkat-tingkat prestasi dan
pelaksanaan yang tinggi sesuai dengan standar-standar, baik yang ditentukan oleh
aturan main organisasi atau pendapat para kolega. Tingkat profesionalisme suatu
pekerjaan tertentu diukur lewat pelaksanaan, metode, karakter, status, dan standar
orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Karena status khusus ini, kaum
profesional yang sejati memperoleh wewenang yang menentukan dalam
hubungannya dengan para klien (rakyat dan pemerintah).
Pernyataan Perlmutter ini mengandung beberapa makna. Pertama, suatu
profesi merupakan pekerjaan khusus. Kedua, profesional memerlukan pendidikan,
latihan yang lama dan intensif untuk memelihara, meningkatkan dan
mengukuhkan tingkat profesionalisme. Ketiga, pekerjaan itu dinilai dengan
pelaksanaannya, metode, dan standar yang ditentukan oleh orang atau kawan
seprofesi. Keempat, keabsahan wewenang seorang profesional berdasarkan
keahliannya dalam badan-badan profesional yang berkaitan. Kelima, profesional
mempunyai tanggung jawab sosial.
30
A. Perlmutter, Militer dan Politik, Terj. Sahat Simamora, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 1.
B. Kriteria dan Elemen Profesional Secara Umum
1. Kriteria Sebagai Sesuatu yang Profesional
Paling tidak ada empat prinsip etika profesi yang harus menjadi pegangan
dalam menjalani suatu profesi. Keempat prinsip tersebut adalah:
a) Prinsip tanggung jawab
Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional. Ada dua rasa tanggung jawab yang melekat pada orang
profesional. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan
dan hasilnya. Artinya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja
sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil maksimum,
dan dengan kualitas terbaik. Kedua, bertanggung jawab atas dampak
profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya
kepentingan orang-orang yang dilayani.
b) Prinsip keadilan
Prinsip ini terutama menuntut orang profesional agar dalam
menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
tertentu, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani dalam rangka
profesinya. Prinsip ini juga menuntut agar dalam menjalankan profesinya
orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun, termasuk orang yang tidak membayar jasa keprofesionalannya.
c) Prinsip otonomi
Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan
profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya
dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi
dari hakikat profesi itu sendiri. Prinsip ini terutama ditujukan kepada pihak
pemerintah, agar menghargai otonomi suatu profesi dan karena itu tidak
boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi penting,
agar kaum profesional bisa secara bebas mengembangkan profesinya,
dengan berbagai inovasi dan kreativitasnya yang berguna bagi
perkembangan profesi dan kepentingan masyarakat luas. Hanya saja
prinsip otonomi punya batas-batasnya.
Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan
komitmen profesional atau keahlian dan moral atas kemajuan profesi
tersebut serta dampaknya pada kepentingan masyarakat. Kedua, otonomi
juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat
pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga,
dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi
tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum.
d) Prinsip integritas moral
Sebenarnya prinsip ini merupakan tuntunan kaum profesional atas
dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya tidak akan
merusak nama baik, serta citra dan martabat profesinya. Konsekuensinya,
pertama, orang profesional tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apapun untuk lari atau melakukan tindakan yang
melanggar nilai yang dijunjung tinggi profesinya. Kedua, malah
sebaliknya, malu kalau bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat dan diperjuangkan profesinya.31
Abin Syamsuddin memberikan 7 kriteria profesional, yaitu: 32
1. Profesional itu dinyatakan dalam bentuk “pekerjaan full-time” yang
merupakan sumber penghasilan baginya.
2. Profesional memiliki “specialized body of knowledge” dan “keterampilan”
yang didapatkan melalui pendidikan dan pelatihan formal dalam waktu
yang lama.
3. Profesional membuat keputusan atas nama klien atas dasar ketetapan yang
jelas, berdasarkan pengetahuan teori yang luas dan keahlian di dalam
penerapan klinis.
4. Profesional memiliki satu orientasi pelayanan. Pelayanan ini dinyatakan
secara tidak langsung dalam bentuk keterampilan diagnostik, kemampuan
menerapkan pengetahuan pada kebutuhan khusus dari klien dan tidak
mementingkan diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri.
5. Memberikan pelayanan berdasarkan pada kebutuhan obyektif dari klien
dan tidak ada pamrih tertentu yang diharapkan oleh profesi dari klien.
6. Profesional memiliki otonomi dalam bertindak dan memutuskan.
7. Memiliki kriteria untuk registrasi, standar pendidikan, lisensi, ujian masuk,
dan yurisdiksi atau batas kekuasaan.
31
Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari
http://www.bharian.com.my/Joran/JoranBH/Sally/20050616151437/joranews_htm 32
Abin Syamsuddin, Pengembangan Profesi Kependidikan, (Bandung: Pascasarjana UPI,
2000), h. 12.
2. Elemen Profesional Secara Umum
Secara teoritis, profesionalisme itu sulit diukur dan hanya bisa diakui
secara ekstrim, sukses dan gagal. Elemen profesional secara umum adalah:
a) Altruisme adalah berani berkorban, mementingkan orang lain. Bentuk
dari sikap profesionalnya adalah suka membantu, problem solver,
membuat keputusan secara tepat, obyektif.
b) Komitmen terhadap kesempurnaan. Bentuk dari sikap profesionalnya
adalah efektif – efisien, memberikan atau mengerjakan yang terbaik.
c) Toleransi, bentuk dari sikap profesionalnya adalah adaptable, suka
bekerja sama, komunikatif, bijaksana, minta tolong jika memerlukan.
d) Integritas dan karakter, bentuk dari sikap profesionalnya adalah jujur,
teguh, percaya diri, berjiwa pemimpin, memberi teladan.
e) Respek kepada semua orang, bentuk dari sikap profesionalnya adalah
menerima kritik, menepati janji, memegang rahasia, menghormati
orang lain, tahu diri.
f) Sense of duty, Bentuk dari sikap profesionalnya adalah disiplin, tepat
waktu, dan taat aturan.33
C. Pengertian Profesionalisme Militer
Sejarah kelahiran militer yang profesional sudah dimulai sejak abad 18
yang muncul dan berkembang di Eropa. Revolusi Perancis tahun 1789 menandai
menggejalanya profesi militer. Profesionalisme adalah kombinasi dari
pengetahuan dan kemahiran yang berkemampuan tinggi dalam bidang yang
spesifik. Konsep profesionalisme militer mengandung arti bahwa militer harus
33Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari http://www.ipai.info/profesionalisme.htm
memiliki keahlian dan keterampilan khusus dalam bidangnya dan memiliki
tanggung jawab terhadap tugas yang dilakukannya.34
Militer yang profesional menurut Erick A. Nordlinger terkait juga dengan
kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan ketertiban
nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam pertempuran,
serta tidak melibatkan diri dari urusan nonmiliter.35 Mengacu kepada
Hungtington, profesionalisme militer mengandung tiga makna, yaitu:36
Pertama,
Expertise atau keahlian yang di dalamnya mengandung makna bahwa orang yang
profesional adalah orang ahli yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
khusus dalam bidang tertentu.
Kedua, Social responsibility (tanggung jawab sosial) yang di dalamnya
mengandung makna bahwa orang yang profesional adalah orang yang memiliki
tanggung jawab sosial atas profesinya yang memiliki klien yakni anggota
masyarakat sendiri dimana segala bentuk kerja dan imbalannya tidak semata-mata
atas kinerja yang dilakukan. Dalam konteks profesionalisme militer, tanggung
jawab sosialnya terlihat dari peran, fungsi dan kerjanya yang melindungi negara
dan masyarakat dari ancaman bersenjata.
Ketiga, Corporatennes (kesatuan), yang dimensinya menunjukkan pada
kesadaran dan loyalitas bahwa militer adalah anggota sebuah kelompok atau
lembaga khusus dan terhormat yang mempunyai kompetensi profesional
34
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru “Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan
Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter”, (Bandung: PT.Remaja Pos Perkasa, 1998),
h. 5. 35
Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69. 36
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245.
berdasarkan standar formal yang ditetapkan. Dimensi ini mengandung makna
bahwa militer memiliki prinsip, struktur, lembaga dan kode etik tersendiri.
Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi yang
sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah kepada
pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung jawab pokok
seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter dan pengacara,
perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan kliennya. Ia hanya
menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam bidang ini,
menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan klien tersebut, dan
setelah kliennya tersebut mengambil keputusan, membantu klien tersebut
menerapkan itu semua.37
Huntington menambahkan bahwa profesionalisme tidak hanya dimaknai
sebagai kemampuan, skill, dan expertise seseorang atau lembaga terhadap
pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain.
Salah satu hal yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.
Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai
sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung
jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan
negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam
konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi
juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi
dan pertimbangan.
37Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 246.
Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional
mempunyai tiga karakter atau ciri. Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang
karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan
dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk
mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam
kondisi perang maupun damai.
Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang
khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari
insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini
berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan
”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan
sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak
mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan kepentingan rasional.
Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan
rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan
apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar
bagi hubungan militer dan negara.
Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan
dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari politisasi
kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik yang melembaga.
Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir apabila suatu koalisi sipil
memperoleh supremasi terhadap militer. Militer dengan pengetahuan dan keahlian
profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara
yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil.38
Berikut penting untuk kita perhatikan tentang perbincangan Perlmuttter
dan Huntington tentang arti dan ciri profesionalisme sebagai bahan untuk
merumuskan ciri-ciri profesionalisme militer:39
1. Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau
perang melawan ancaman dari musuh negara.
2. Bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
3. Memiliki disiplin, menaati hukum, memiliki esprit de corps (jiwa
korsa) yang tinggi dan sehat.
4. Memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi.
5. Menghargai dan membela rakyat secara proporsional.
6. Menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil.
38
Diakses tanggal 12 Juli 2007 dari
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/23/opi02.html 39Perlmutter, Militer dan Politik, h. 34.
BAB III
PERGULATAN SEJARAH PROFESIONALISME MILITER
DI INDONESIA
A. Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik dan
Ekonomi di Indonesia
Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau
dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat
dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan
perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah.40 Jadi, tentara atau militer Indonesia adalah tentara yang menciptakan
diri sendiri. Artinya, tidak diciptakan oleh pemerintah, dan juga tidak diciptakan
oleh suatu partai politik. Dengan kata lain berdirinya militer di Indonesia adalah
bukan dari atas, akan tetapi berasal dari bawah, dari rakyat dan oleh rakyat
sendiri, terutama para pemudanya.41
Rakyat pejuang bersenjata tercipta melalui para pemuda yang mempunyai
semangat dan keberanian yang tinggi serta siap berkorban untuk membela bangsa
dan negara, dengan berusaha melawan kekuatan asing. Para pemuda itu datang
dari berbagai organisasi, seperti Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA),
Seinendan (organisasi pemuda), Keibodan (pasukan keamanan), Shusintai
(barisan pelopor), Heiho (pembantu prajurit), Gokukotai (pasukan pelajar),
40
Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59. 41
Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001), h. 2.
Hizbullah, dan pemuda-pemuda mantan KNIL42
. Mereka semua merasa
mempunyai tugas bersama dalam mempelopori perjuangan kemerdekaan dan
untuk merebut kekuasaaan dari Jepang.43
Perkembagan organisasi militer Indonesia yang merupakan gabungan dari
berbagai organisasi pemuda dan para pejuang yang kemudian menyatukan diri
sebagai Badan Keamanan Rakyat (BKR)44 bukan sebagai tentara reguler. BKR
berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tanggal 5 Oktober 1945
dan baru memiliki panglima besar yang dipilih sendiri yaitu Jenderal Sudirman
pada tanggal 18 Desember 1945.
Pada 1 Januari 1946 dengan penetapan pemerintah, maka Tentara
Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dan juga
mengubah Kementrian Keamanan Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan.
Tentara Keselamatan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946, yang merupakan organisasi militer bersifat
nasional (kebangsaan).45
Karena adanya perbedaan strategi antara pemuda pejuang bersenjata yang
menginginkan tindakan berani dan cepat (perang) dengan para pemimpin
42
KNIL adalah tentara yang dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya. Bekas
KNIL terbagi dua, mereka yang aktif sebagai perwira pada zaman penjajahan Belanda, dan bekas
perwira KNIL dari pendidikan Calon Perwira Cadangan (CORO) dan Akademik Militer Kerajaan
Belanda (KMA) di Bandung yang relatif muda, seperti A.H Nasution, T.B. Simatupang. Golongan
muda inilah yang memiliki dan memahami semangat revolusi. (Lihat, Abdoel Fatah,
Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, [Yogyakarta: LKIS.2005] ), h. 45. 43T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1981), h. 79. 44
BKR yang didirikan tanggal 22 Agustus 1945 terdiri dari unsur PETA, KNIL, Heiho, dan organisasi-organisasi lain yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan
melaksanakan tugas pertahanan. Nama BKR diambil karena agar tidak terjadi perlawanan oleh
tentara penjajah di Indonesia. (Lihat, Amrin Imran (dkk), Sedjarah Angkatan-Darat, [Jakarta:
Dephankam Pusat Sedjarah ABRI, 1971] ), h. 2 dan Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 46. 45
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis tentang Respon Militer
terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 26.
pemerintah yang selalu berhati-hati, penuh perhitungan, dan mengedepankan jalan
diplomasi secara damai, maka pembentukan tentara kebangsaan tidak segera
dilakukan. Dalam mengatasi permasalahan ini pemerintah mengeluarkan dektrit
untuk membentuk panitia yang diketuai presiden yang menghasilkan keputusan
yang dituangkan dalam penetapan presiden tertanggal 7 Juni 1947 yang antara lain
menetapkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 telah disyahkan secara resmi
berdirinya TNI serta anggota Angkatan perang yang ada dan segenap anggota
laskar yang bersenjata dimasukkan serentak ke dalam TNI.46
Dengan demikian
TNI yang disahkan secara resmi berdiri tanggal 3 Juni 1947 merupakan gabungan
dari TRI, kesatuan biro perjuangan dan pasukan-pasukan bersenjata lainnya.47
Militer di Indonesia sejak awal memang terpisah-pisah ke dalam tiga garis.
Garis pertama, adalah angkatan yang kemudian membentuk korps sendiri. Garis
ini terdiri atas kelompok bekas opsir pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang
masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kelompok-kelompok bekas
opsir KNIL, dan kelompok perwira yang terdiri dari pemuda-pemuda yang
tergabung dengan tentara reguler secara langsung atau karena dipindahkan dari
organisasi kelaskaran.
Garis pemisah kedua dalam korps perwira Indonesia adalah agama, hanya
beberapa perwira yang beragama Katolik dan agama lain selain Islam yang
berhasil mencapai pangkat Jenderal. Garis ketiga adalah perwira Indonesia terbagi
46
G. Moedjianto, Indonesia Abad ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai Linggar Jati,
(Jakarta: Kanisius, 1992), h. 122-123. 47
Soebiyono, et.al., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan
Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997), h. 15.
menurut garis etnik. Etnik Jawa sangat mendominasi hampir 80 persen dari
keseluruhan perwira di Indonesia.48
Garis-garis inilah yang nantinya banyak mewarnai dinamika dan
perkembangan internal militer dalam kurun demokrasi parlementer sampai
demokrasi terpimpin terutama mengenai visi dan ideologi mereka menyangkut
posisi dan peran militer dalam kehidupan politik. Dari ketiga garis di atas, garis
pertama atau garis angkatanlah yang sangat berpengaruh mengenai peran politik
militer. Tentara didikan Belanda atau KNIL lebih berpandangan bahwa angkatan
bersenjata adalah alat negara yang bersifat non politik, sedangkan mayoritas
dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang berpandangan bahwa tidak ada
perbedaan antara wilayah politik dan militer.49
Pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat covert political
support terhadap politik Tan Malaka.50 Hal itu diperlihatkan dari rasa simpati
Panglima Besar Jendral Sudirman serta kalangan pimpinan tentara terutama dari
bekas PETA terhadap gerakan politik Tan Malaka melalui Persatuan Perjuangan
(PP) yang didirikan pada tanggal 16 Januari 1946. Jenderal Sudirman juga turut
hadir dalam rapat-rapat yang diselengarakan Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan
Tan Malaka.
Motif dukungan politik Panglima Besar Sudirman bukan karena sejalan
dengan ideologi Tan Malaka yang Komunis-Nasionalis, tetapi pada komitmen
nasional dan kecocokan pada strategi perjuangan PP serta karena sikap perlakuan
48
A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 31-32. 49
Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 38. 50
David Easton menyebutkan adanya dua macam support, yaitu bersifat overt dan covert,
yang overt seperti orientation atau states of maind. Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan
Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982), h. 42.
yang tidak wajar dari Sjahrir terhadap tentara yang berasal dari PETA.51
Bagi Tan
Malaka strategi yang tepat dalam melawan Belanda adalah menekan solidaritas
nasional dan penolakan berunding dengan Belanda sampai mereka meninggalkan
bumi Indonesia.52 Bukan dengan strategi diplomasi seperti yang ditekankan
Sjahrir.
Salim Said menilai bagaimanapun awal keterlibatan militer dalam politik
lebih bersifat “spontan dan komplementer” terhadap peran dominan politisi sipil.
Peran itu kemudian berkembang menjadi “peranan kepemimpinan yang
menentukan” ketika tentara memilih memimpin dari pada mengikuti pemerintah
yang menyerah kepada musuh saat krisis Perang Kemerdekaan 19 Desember 1948
(aksi militer Belanda ke II). 53
Ini terlihat dari hasil persetujuan Roem Royen tanggal 7 Mei 1949, yang
meminta agar tentara mengakhiri perang Gerilya, sehingga menciptakan
kekecewaan dari kalangan militer. Jadi sebab utama keterlibatan militer dalam
politik adalah karena terjadi perbedaan pandangan politik dan strategi perjuangan
antara kaum politisi sipil dengan militer. 54
Keterlibatan militer dalam politik baru mendapat pengakuan resmi ketika
Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1967.55
Dalam
Dewan Nasional posisi politik militer tidak begitu menonjol. Soekarno dan
51
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 56. 52Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 41. 53
Salim Said, “Kepemimpinan Politik TNI/ABRI dalam Perspektif Sejarah”, dalam Djoko
Subroto, dkk, Visi ABRI Menatap Masa Depan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm.163.
54Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 63.
55Menurut Hasnan Habib, “Keadaan Darurat dan Darurat Perang” atau SOB (Staat van
Oorlog en Beleg) pada tanggal 14 Maret 1957, peranan politik ABRI, terutama sekali Angkatan
Darat, sangat meningkat, lihat Hasnan Habib, “Perkembangan Pemikiran Strategi di Indonesia”,
Analisis CSIS, 1996-6, hlm. 444 .
anggota-anggota sipil masih menguasi lembaga politik yang baru didirikan itu.
Dengan diintensifikannya kampanye untuk membebaskan Irian Barat, tentara
mempunyai peluang untuk memainkan peranan yang lebih besar. Pada 10
Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Fron Nasional Pembebasan
Irian Barat. Tidak seperti Dewan Nasional, Fron ini didominasi oleh tentara.56
Begitu juga dalam hal ekonomi, keterlibatan militer dalam ekonomi telah
terjadi pada masa perang kemerdekaan, yang terlihat dengan adanya gerilya
ekonomi dengan cara memblokade kota Kerawang. Ini dilakukan untuk
menghancurkan perekonomian penjajah dan membiayai peperangan. Pasca
kemerdekaan keterlibatan itu semakin berkembang dengan melakukan kebijakan
politik Banteng untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang dikuasai
oleh PKI. Pada masa Orde Baru keterlibatan militer dalam ekonomi (bisnis)
mencapai puncaknya, karena adanya dukungan dari pihak penguasa. Keterlibatan
militer dalam politik dan ekonomi inilah yang telah merusak nilai profesionalisme
militer pada masa selanjutnya.
Sebenarnya profesionalisme militer telah terbentuk antara tahun 1955
sampai 1965, ini terlihat dari berubahnya militer dari satu kekuatan yang lemah,
terpecah belah dan kehilangan semangat, mampu menjadi lembaga yang kuat.
Juga ketika Nasution diangkat menjadi KSAD pada 1955, yang telah membawa
satu tekad untuk menjadikan militer indonesia sebagai suatu kekuatan yang
modern dan efektif, baik dalam arti militer maupun politis.57
56
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 32. 57
Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi
Jawa dan Barat, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 75.
Akan tetapi, pada masa Orde Baru dari tahun 1966-1998, militer
sepenuhnya menjadi alat kekuasaan politik Soeharto yang memimpin secara
otokratis. Militer menjadi tonggak politik Orde Baru dan lebih setia pada personal
Soeharto serta meninggalkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang,
dan tentara nasional yang profesional. Militer menjadi milik dan alat Golkar dan
tidak menjadi milik seluruh rakyat lagi, serta tidak bersifat nasional. Sangat
luasnya peran sosial politik militer pada masa itu mengakibatkan demokrasi tidak
berkembang dan tentara tidak bersikap profesional lagi.58
B. Reformasi Internal dan Paradigma Baru Militer
Saat awal-awal reformasi mulai bergulir, tepatnya pada bulan Maret 1997,
kalangan TNI telah berupaya melakukan beberapa perubahan mendasar, terutama
mengenai sikap dan visi TNI ke depan. Bertempat di Seskoad, Bandung,
pembahasan tersebut telah menghasilkan dokumen yang diterbitkan oleh Markas
Besar (Mabes) TNI-AD dengan judul “Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI Menghadapi
Perkembangan Zaman” (Bandung: Seskoad, Maret 1997).59
Naskah penting itu berisi beberapa visi TNI sebagai langkah menghadapi
perubahan politik ke depan. Secara umum visi tersebut dibagi dua, yakni visi yang
bersifat dasar dan visi yang bersifat kontekstual. Visi dasar merupakan visi yang
sangat esensial bagi upaya menjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), mengamankan dan menyelamatkan Pancasila dan UUD 45,
serta membantu pembangunan nasional untuk mewujudkan cita-cita nasional.
58
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 198. 59Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 202.
Sementara visi kontekstual berkembang sejalan dengan perkembangan
permasalahan yang dihadapi bangsa sehingga akan melahirkan persepsi untuk
memecahkan masalah secara proporsional dan bersifat kontekstual pada setiap
aspek kehidupan nasional.
Visi yang bersifat dasar meliputi tiga masalah pokok yang berkaitan
langsung dengan kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga visi tersebut adalah:
Pertama, visi TNI terhadap negara. TNI menganggap NKRI adalah bentuk final
dari negara yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Oleh karena itu,
eksistensi dan keutuhan kesatuan Indonesia menjadi kata kunci visi dasar TNI.
Kedua, visi TNI terhadap bangsa. Menurut TNI bangsa Indonesia adalah majemuk
dalam suku, agama, budaya, dan istiadat. TNI sebagai integrator bangsa memiliki
tugas berat untuk mempertahankan kesatuan Republik ini dengan menghormati
perbedaan-perbedaan tersebut. Ketiga, visi TNI tentang perjuangan bangsa dalam
pencapaian cita-cita nasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut TNI
memerlukan spesifikasi tugas, fungsi, dan peran yang dilandasi oleh nilai
Pancasila dan UUD 1945. fungsi sosial politik TNI merupakan wujud
keikutsertaan TNI dalam perjuangan bangsa guna mencapai cita-cita nasional.60
Sedangkan visi kontekstual terdiri dari beberapa hal, sebagai berikut.
Pertama, visi TNI terhadap aspek hankam. Fungsi TNI adalah sebagai alat negara
yang bertugas untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Kedua, visi TNI
terhadap aspek ideologi. Bagi TNI ideologi Pancasila merupakan prinsip final dari
ideologi negara Indonesia. Ketiga, visi TNI tentang aspek politik. TNI harus
60
Berbagai visi ABRI ini dikutip dari Mabes TNI AD, Seskoad 1997, “Makalah
Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI Menghadapi Perkembangan Zaman” (Bandung, 1997), hlm. 57-65.
memperdayakan kehidupan politik bangsa Indonesia yang ditandai dengan nilai-
nilai kebersamaan dan gotong royong serta tradisi dalam menyelesaikan
permasalahan. TNI harus mampu mendorong partisipasi politik rakyat yang
bersifat terbuka dan mau menampung serta menyalurkan aspirasi rakyat. Keempat,
visi TNI tentang ekonomi. TNI harus bisa menciptakan ketertiban dan keamanan
yang bisa mendukung stabilitas ekonomi. Kelima, visi TNI tentang aspek sosial
budaya.TNI sebagai suatu intitusi yang integralistik, yang mampu menjaga aspek
sosial budaya yang berbeda-beda di masyarakat.61
Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi
diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer
merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai
dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang
dilakukan, pada hakikatnya merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan
image serta prestasi militer.
Oleh karena itu, pada tanggal 22-24 September 1998. Sekolah Staf dan
Komando (Sesko) TNI Bandung mengadakan seminar bertajuk peran ABRI Abad
XXI. Dalam seminar tersebut terungkap bahwa doktrin Dwifungsi ABRI telah
mengalami distorsi penafsiran yang cukup serius selama pemerintahan Orde Baru.
Selama masa itu dwifungsi ABRI telah direkayasa sedemikian rupa sehingga TNI
telah menjadi alat kekuasaan yang berpusat pada satu orang.62
61
Mabes TNI AD, Seskoad 1997, “Makalah Aktualisasi, h. 60. 62Lihat Transkrip Seminar “Peran TNI Abad XXI.” Bandung: Seskoad, 1.
Kemudian bertepatan dengan hari ABRI, tanggal 5 Oktober 1998,
Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menerbitkan hasil diskusi tersebut
dengan meluncurkan sebuah buku yang menjelaskan secara rinci tentang peran
dan posisi di masa datang. Catatan-catatan penting sebagai pegangan untuk
melakukan reformasi internal ABRI itu sendiri diberi judul yang cukup
menjanjikan: TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI
dalam Kehidupan Bangsa. Buku tersebut berisikan empat keputusan penting
untuk menyikapi peran sosial politiknya ke depan.
Pertama, militer akan mengubah posisi dan metodenya untuk tidak selalu
harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat Orde Baru
diserahkan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah
konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang dulu
menguasai posisi strategis, saat ini harus dibatasi. Mempengaruhi bukan berarti
mengintervensi, tetapi lebih pada kontribusi TNI terhadap pembangunan. Ketiga,
mengubah cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung. Hal ini
penting dilakukan untuk menghindari keterlibatan TNI yang berlebihan dalam
berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat,
kesediaan untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting
kenegaraan dan pemerintahan dengan komponen bangsa lainnya.63
Pertimbangan utama yang menjadi latar belakang reformasi internal TNI
ialah menyesuaikan TNI dengan perubahan dunia yang begitu cepat berubah,
menyesuaikan tantangan TNI di abad ke-21 yang begitu besar, kompleks, dan
63
Mabes TNI, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam
Kehidupan Bangsa, (Jakarta: Mabes TNI, 1999), hlm. 22-25.
multidimensional, ini memungkinkan TNI senantiasa harus mau dan mampu
mendengar dan merespons aspirasi rakyat; mengakui secara jujur bahwa di masa
lalu, ada kekurangan dan penyimpangan sebagai akibat logis dari format Orde
Baru.64
Hakikat reformasi internal TNI tersebut menunjukkan bahwa secara
konsepsual TNI telah bertekad meninggalkan paradigma lamanya dan
membangun paradigma baru, khususnya kesadaran akan perlunya profesionalisme
dan pembangunan demokrasi, karena TNI merupakan alat pertahanan negara.
Mengenai paradigma baru yang dilakukan militer, secara garis besar ada
dua peran yang sangat urgen dalam membentuk image militer yang dapat
mengembalikan peran militer yang bersih dari peran aktifnya dalam panggung
politik di Indonesia. Dua peran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Militer sebagai Alat Pertahanan Negara
Pada masa Orde Baru, militer memiliki tugas dan fungsi di bidang
pertahanan dan di bidang sosial politik, bahkan ada yang mengatakan militer
memiliki multi fungsi. Karena itu, dalam rangka reformasi, militer mengatur
kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara dan telah dikukuhkan
dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun
2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak
melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.65
Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi
ancaman luar yang mengancam kedaulatan dan integritas negara serta melindungi
64
Mabes TNI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 16-17. 65Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 206.
bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata. Namun, TNI bisa juga dilibatkan
dalam masalah internal negara, jika wilayah nasional atau sebagian wilayah
nasional berada dalam keadaan darurat militer. Selain itu, semasa keadaan damai,
TNI bisa juga melibatkan diri dalam masalah dalam negeri atas permintaan
institusi pemilik fungsi yang sah, sesuai dengan undang-undang yang
membenarkannya bertindak demikian. Dalam UU TNI pada pasal 7, 17, dan 19,
yang menyatakan bahwa dalam melakukan tugas pokoknya TNI berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik negara, sedangkan kewenangan dan tanggung
jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada presiden yang harus mendapat
persetujuan DPR. Alasannya, TNI adalah sarana utama respons fungsi pertahanan,
sedangkan sarana utama respons fungsi keamanan dalam negeri ialah POLRI.66
2. Militer sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara
Nasional yang Profesional
Jati diri TNI yang pertama ialah sebagai tentara rakyat, karena TNI lahir
dari haribaan rakyat pejuang. Oleh sebab itu, TNI tidak bisa dipisahkan dari
rakyat, dan harus senantiasa berjuang membela kepentingan rakyat dan bangsa.
Dari segi sejarahnya pun, kelahiran TNI adalah dengan menggunakan nama
rakyat, yaitu Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian berubah menjadi TNI.
Pada masa reformasi, dengan paradigma barunya, TNI ingin kembali
kepada jalan yang benar, ke jati dirinya sebagai pembela dan pelindung rakyat.
Jati diri TNI yang kedua ialah sebagai tentara pejuang, yaitu tentara yang berjiwa
patriot, kesatria, dan perwira. TNI lahir pada masa perang kemerdekaan oleh para
66Mabes ABRI 2001, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 3-9.
pejuang, makna tentara pejuang ialah tentara tidak mengenal menyerah, yang
senantiasa memiliki sikap hidup dan perilaku yang sedia berkorban, siap
menderita, serta mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Jati diri TNI yang
ketiga adalah sebagai tentara nasional, menunjukan bahwa TNI merupakan milik
nasional yang berjuang untuk kepentingan seluruh bangsa dan seluruh tanah air
Indonesia.
Dalam hal ini, Tim peneliti dari pusat penelitian pengembangan politik
dan kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) dengan tepat
sekali menggambarkan salah satu identitas TNI ini sebagai berikut:
Yang paling ideal adalah apabila sipil dan militer dapat
menjalankan perannya masing-masing secara proposional. Ini sesuai
bidang tugas, panggilan hati nurani, dan kapasitas sipil dan militer. Sipil
melakukan tugas dan perannya sesuai dengan hak, tanggung jawab dan
fungsinya sebagai sipil, demikian pula militer dengan fungsi dan perannya
sebagai militer. Kedua bidang keahlian itu tidak dapat mengambil alih satu dengan lainnya dan tidak pula bisa saling menguasai. Hanya dengan cara
ini akan tumbuh suatu rasa saling percaya dan kerja sama satu sama lain.67
Pada masa Orde Baru, ABRI telah menyimpang dari amanat tersebut
karena digunakan untuk alat kekuasaan. Peneliti CSIS Kristiadi, menyatakan:
“ABRI tidak lagi memainkan peran sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara
yang berada di atas segala kepentingan individu dan kelompok. Ia menjadi
terkontrol dan digunakan semata demi kepentingan politik presiden Soeharto.”68
Jati diri militer bisa dilihat, antara lain dalam amanat Panglima Besar
Soedirman yang tertulis dalam Order Harian Panglima Besar tanggal 4 Oktober
1949 sebagai berikut: “Angkatan Perang Republik Indonesia lahir di medan
perjuangan kemerdekaan nasional, di tengah-tengah dan dari revolusi rakyat
67
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 212. 68J.Kristiadi, Masa Depan Politik ABRI, (Bandung: Unisia, 1999), h. 31.
dalam pergolakan membela kemerdekaan itu. Karena itu, Angkatan Perang
Republik Indonesia adalah tentara nasional, tentara rakyat, dan tentara revolusi.”69
C. Perkembangan Paradigma Baru Militer
Dalam rangka memberikan pedoman tentang apa yang perlu dilakukan
TNI dalam mengimplementasikan paradigma barunya, TNI telah membuat
kerangka model redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya guna
menyongsong masyarakat baru Indonesia yang demokratis dan modern.70
Redefinisi mulanya merupakan sebagian dari perubahan dwifungsi ABRI
menjadi peran ABRI. Tujuan redenifisi ini adalah menghindarkan salah tafsir
yang mengartikan dwifungsi sebagai kekaryaan. Dengan redefinisinya, TNI
menjadi lebih fungsional dengan melakukan penyederhanaan perannya,
menyesuaikan struktur organisasinya, dan mengarah kepada tentara profesional.
Reposisi ialah pengaturan kembali posisi TNI dalam kehidupan nasional
berdasarkan kebebasan, keterbukaan, ketertiban, dan kepastian hukum.
Reaktualisasi ialah mengatur kembali implementasi peran TNI supaya sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan perkembangan zaman.71
Demokratisasi,
penghargaan kepada hukum dan hak asasi manusia, kejelasan fungsi dalam
pemerintahan adalah tuntutan perkembangan zaman dan negara modern yang juga
merupakan tuntutan masyarakat.
69
Pusat Pembinaan Mental ABRI (Pusbintal ABRI), Wawasan Kejuangan Panglima
Besar Sudirman, (Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1991), h. 263. 70
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 214. 71Mabes ABRI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, h. 19.
Perbedaan paradigma baru peran sosial politik militer dengan paradigma
lama adalah: paradigma lama memberi kesempatan kepada militer untuk
menduduki jabatan sipil, sementara paradigma baru lebih menumpukan pada
sumbangan pemikiran; paradigma lama militer selalu mengambil keputusan dalam
masalah kenegaraan karena merasa paling bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala aspek kehidupan bangsa, sementara paradigma baru lebih menumpukan
kebersamaan dengan komponen bangsa yang lain.
Substansi paradigma baru peran sosial politik militer tersebut menunjukan
militer sudah banyak berubah jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Militer
mengakui bahwa ia hanya sebagian dari sistem nasional dan perannya
dilaksanakan atas dasar kesepakatan bangsa. Walaupun militer masih memiliki
peran sosial politik, paradigma baru itu berpengaruh besar terhadap berkurangnya
kegiatan kekaryaan militer. Dengan berkurangnya jabatan sipil yang diduduki
anggota tentara, maka persepsi negatif tentang militer yang sebelumnya dominan
tentu akan semakin berkurang.
Akhirnya, dalam paradigma baru TNI tentang fungsi sosial politik itu
tamat riwayatnya pada 20 April 2000, ketika hasil rapat pimpinan TNI
menyatakan bahwa TNI tidak lagi memiliki fungsi sosial politik, karena lebih
memusatkan perhatiannya pada peran dan tugas utama pertahanan, dan itu berarti
TNI telah meninggalkan doktrin dwifungsi.
Untuk mewujudkan peran ABRI tersebut, harus ada perubahan mendasar.
Perubahan tersebut sebagai dasar bagi ABRI untuk merespon tututan reformasi
yang semakin kencang disuarakan oleh elemen masyarakat. Empat belas (14)
rencana perubahan tersebut adalah: (1) Sikap dan pandangan politik ABRI tentang
paradigma baru dan peran ABRI abad ke-21, (2) Sikap dan pandangan ABRI
tentang peran sospol ABRI, (3) Pemisahan POLRI dari tubuh ABRI, (4) Dewan
Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, (6) Likuidasi Staf Karyawan ABRI,
Kamtibmas dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar), (7) Penghapusan
Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim, (8) Penghapusan
Kekaryaan ABRI melalui pensiun alih status, (9) Pengurangan Fraksi ABRI di
DPR/DPRD I/II, (10) ABRI tidak pernah lagi terlibat dalam politik, (11)
Pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan
semua partai politik, (12) Komitmen dan konsistensi netralisasi ABRI dalam
pemilu, (13) Perubahan paradigma hubungan ABRI dan kelurga besar ABRI, (14)
Revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI yang disesuaikan dengan era
reformasi dan peran ABRI abad ke-21.72
Dari 14 rencana perubahan mendasar agenda reformasi ABRI di atas,
terdapat beberapa kebijakan yang mulai diberlakukan atau sedang dikembangkan
pada tanggal 1 April 1999. Kebijakan tersebut antara lain adalah: (1) Perubahan
Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, (2) Pemisahan Kepolisian RI dengan
TNI, (3) Likuiditas Staf Karyawan (Syawan), Kamtibmas dan Badan Pembinaan
Karyawan (Babinkar), (4) Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan
pensiun atau alih status, (5) Pengurangan jumlah anggota Fraksi TNI di DPR,
DPRD I dan II, (6) Pemutusan hubungan secara organisatoris dengan Partai
Golkar dan bersikap netral terhadap partai politik lainnya, (7) komitmen dan
72
Lihat Wiranto, “Komitmen ABRI Menyelamatkan Bangsa dan Negara” Kompas, 10
Maret 1999. Lihat pula Wiranto, “Paradigma Baru ABRI: Tantangan dan Tekad ABRI sebagai
Bhayangkari Negara” (Widya Dharma, Edisi Khusus 1999), h. 107-115.
netralitas ABRI dalam penyelenggaraan Pemilu, (8) Perubahan paradigma ABRI
dengan keluarga besar ABRI.73
Tabel berikut ini akan meringkas sekaligus mengevaluasi dari ketetapan-
ketetapan yang dibuat TNI di atas.74
Tabel 1.
Limabelas Langkah Implementasi Paradigma Baru TNI No Langkah Implementasi Pelaksanaan
1 Sikap dan pandangan politik TNI tentang paradigma
baru peran TNI abad XXI
Sudah dilakukan
2 Paradigma baru peran sospol TNI Sudah dilakukan
3 Pemisahan Polri dari TNI Sudah dilakukan
(1 April 1999)
4 Penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda Sudah dilakukan
5 Perubahan Staf Sospol menjadi Staf Teritorial Sudah dilakukan
6 Likuidasi Syawan ABRI, Kamtibmas ABRI dan
Babinkar ABRI
Sudah dilakukan
7 Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem,
Dan Sospoldim
Sudah dilakukan
8 Penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan
pensiun atau alih status
Sudah dilakukan
9 Penghapusan Fraksi TNI di DPR, DPRD I dan II Sudah dilakukan
10 Pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil
jarak yang sama dengan partai-partai lain
Sudah dilakukan
11 Netralisasi TNI dalam pemilu Sudah dilakukan
12 Perubahan paradigma hubungan TNI dan keluarga besar
TNI
Sedang dikembangkan
13 Revisi piranti lunak berbagai doktrin TNI disesuaikan
dengan era reformasi dan peran TNI abad XXI
Sedang dikembangkan
14 Perubahan nama ABRI menjadi TNI Sudah dilakukan
73
Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 127. 74Diolah dari buku Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 128.
BAB IV
PROFESIONALISME MILITER PASCA ORDE BARU
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, militer terus berbenah diri untuk
menciptakan image yang baik di mata rakyat Indonesia, salah satunya adalah
dengan mewujudkan reformasi internal militer. Tujuan dari reformasi internal
militer tersebut adalah agar terciptanya profesionalisme militer. Adapun bentuk
nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer yang profesional pasca
Orde Baru adalah sebagai berikut; militer harus kembali ke barak, tidak berpolitik
praktis, pemisahan TNI POLRI, tidak berbisnis, serta refungsionalisasi dan
restrukturisasi teritorial.
Ini mengacu pada pendapat Huntington mengenai ciri profesionalisme
militer, yaitu; Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau
perang melawan ancaman dari musuh negara, bersikap netral dan tidak melibatkan
diri dalam politik praktis, menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil,
memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi, menghargai dan membela
rakyat secara proporsional, dan memiliki disiplin, menaati hukum, serta memiliki
esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi dan sehat.75
A. Kembali Ke Barak
Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau
dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat
75
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245.
dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan
perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah.76 Jadi, fungsi militer pada awal pembentukannya adalah untuk merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah dan menjaga kemerdekaan itu.
Namun, pada masa Soekarno tahun 1950-1966, militer mengalami
pertikaian di dalam tubuhnya sendiri, yang diakibatkan oleh persaingan antar
kelompok dan campur tangan politisi, sehingga membuat militer tidak padu.
Kondisi pemerintahan yang tidak stabil menyebabkan terjadinya pemberontakan-
pemberontakan, sekaligus mendorong militer untuk ikut serta dalam politik
praktis. Hal itu berlanjut hingga militer menjadi kekuatan politik yang menonjol
pada masa demokrasi terpimpin, walaupun belum mendominasi.
Sedangkan di masa Orde Baru dari tahun 1966-1998, militer sepenuhnya
menjadi alat kekuasaan politik Soeharto. Militer menjadi tonggak politik Orde
Baru dan lebih setia pada personalitas Soeharto serta meninggalkan jati dirinya
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional.
Militer menjadi milik dan alat Golkar dan tidak menjadi milik seluruh rakyat lagi.
Pada rezim ini, TNI memiliki tugas dan fungsi di bidang pertahanan dan
keamanan dan di bidang sosial politik. Bahkan, ada yang mengatakan TNI
memiliki multifungsi. Ini tidak sesuai dengan asas negara modern dan demokrasi
yang mengutamakan pembagian tugas, fungsi, profesi, dan pertanggung jawaban
yang jelas. Oleh karena itu, militer yang selama ini berkecimpung di berbagai
76Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59.
bidang, fungsi dan profesi yang tidak sesuai dengan keahlian dan tugasnya, maka
dalam menciptakan profesionalismenya, militer harus ditarik kembali ke barak.
Memasuki era reformasi, militer harus kembali ke barak untuk introspeksi
diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Menyadari
kesalahannya, dan menyikapi permasalahan yang kompleks dengan berusaha
untuk membentuk militer yang profesional. Mengembalikan tugas dan fungsi awal
militer yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
Sebenarnya tugas TNI sebagai alat pertahanan negara sudah menjadi
prinsip ketika TNI mula-mula berdiri. Hal itu tercermin dalam amanat Panglima
Besar Tentara Keamanan Rakyat Letnan Jenderal Soedirman pada Konfrensi TKR
di Yogyakarta, 12 November 1945. Ia menyatakan: Tentara hanya mempunyai
kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga
keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi
pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh.77
Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi
ancaman baik dari luar maupun dari dalam, yang mengancam kedaulatan dan
integritas negara serta melindungi bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.
Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsinya itu militer harus kembali ke barak,
dengan tujuan menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan
kesadaran hukum. Artinya peningkatan profesionalisme sebagai tentara yang
berfungsi sebagai alat pertahanan negara harus dilakukan dengan sungguh-
sungguh, disiplin, dan menaati hukum.
77Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara h. 206-207.
Jadi tujuan militer agar kembali ke barak adalah pertama, supaya militer
kembali kepada fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak ada
fungsi lain yang dimiliki militer selain fungsi utamanya sebagai alat pertahanan
negara. Kedua, untuk menciptakan keahlian prajurit sehingga mahir dalam
menggunakan senjata. Ketiga, supaya militer dapat menumpukan tugasnya pada
penciptaan profesionalisme, dimana selama Orde Baru militer selalu berada di
luar barak yang mengakibatkan lemahnya profesionalisme militer.
Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer
mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah
dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No.
3 Tahun 2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak
melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis.
Dengan kata lain, ini menjadi pedoman dan kewajiban bagi militer untuk kembali
ke barak, agar militer dapat menginstrospeksi diri serta memperbaiki tugas dan
fungsinya.
B. Tidak Berpolitik Praktis
Desakan agar militer segera melepaskan diri dari persoalan politik yang
semarak pada akhir tahun 1997 dapat dilihat sebagai tahap awal dari surutnya
peran politik militer atau depolitisasi. Tuduhan masyarakat bahwa surutnya
gerakan demokrasi, terpuruknya kehidupan politik, suburnya Korupsi Kolusi
Nepotisme (KKN) dan diskriminasi penegakan hukum muncul karena keterlibatan
militer yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan sosial politik di bawah rezim
kekuasaan Presiden Soeharto. Militer dianggap turut bertanggung jawab atas
terjadinya krisis multidimensi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997.
Tuntutan reformasi yang memasukan agenda pencabutan Dwifungsi ABRI dapat
dilihat sebagai pembuka jalan keluarnya militer dari politik.78
Sebagian besar perwira menganggap bahwa keterlibatan ABRI dalam
kehidupan sosial politik sebagai sesuatu yang wajar mengingat peranan prajurit
ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan
masyarakat. Militer dengan spirit kebangsaan yang yang kuat, memandang
kalangan sipil mudah terpecah-belah karena perbedaan latar belakang, suku
bangsa, agama, ras dan ideologi politiknya, yang merupakan potensi ancaman
bagi persatuan bangsa. Kehadiran para prajurit di tengah masyarakat sebagai
perekat paham kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Tampilnya Orde Baru79 di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang
menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi
ABRI/TNI.80 Dwifungsi ABRI dijadikan alasan ikut sertanya ABRI ke dalam
78Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005) h. 136. 79
Orde Baru adalah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang diletakkan
kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di satu pihak,
Orde Baru ini melakukan koreksi menyeluruh atas penyelewengan di segala bidang yang terjadi
pada masa sebelumnya. Di lain pihak, berusaha menyusun kembali kekuatan bangsa dan
menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas nasional jangka panjang, dalam
rangka mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD). Sebutan
“Orde Baru” juga bermakna bahwa pemerintahan sebelumnya, yang disebut dengan “Orde Lama”. 80
Dalam tulisan ini, sering ditulis istilah ABRI, TNI, tentara, dan militer yang
dimaksudkan sama. Sebelum Angkatan Perang Republik Indonesia (POLRI) digabungkan tanggal 21 Juni 1962, nama tentara indonesia adalah TNI. Setelah digabung namanya berubah Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun ABRI baru populer digunakan pada awal Orde
Baru ketika dilakukan integrasi ABRI secara sungguh-sungguh dan menggunakan doktrin
gabungan, yaitu Catur Dharma Eka Karma. Setelah reformasi internal ABRI yang dimulai pada
1998, maka mulai 1 April 1999, POLRI dipisahkan lagi dari ABRI dengan keputusan
Menhankam/Pangab No. Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999,dan sebutan ABRI kembali
semua aspek kehidupan bernegara. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya,
Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik
strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik.
Keterlibatan militer dalam politik pada awal Orde Baru tampak pada
banyaknya ABRI yang dikaryakan. Hal itu terlihat dari 27 anggota kabinet yang
diangkat Soeharto pada Juli 1966, terdapat 12 menteri yang merupakan ABRI,
yakni 6 menteri berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis
pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan
sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Pada
awalnya ABRI hanya beberapa saja yang menduduki jabatan sipil, namun pada
tahun 1968 jumlah itu meningkat menjadi 68%. Pada awal tahun 1970 meningkat
menjadi 92%. Jabatan Bupati yang dipegang perwira ABRI pada tahun 1968
sebanyak 59%. Pada awal 1970 jumlahnya menjadi 84% di Jawa Timur.81
Jumlah anggota ABRI yang duduk di dalam kabinet tahun 1973 sebanyak
13 orang. Anggota kabinet yang seharusnya wakil partai saat itu banyak diisi oleh
kaum teknokrat. Sementara itu anggota ABRI yang dikaryakan ditingkat pusat
pada tahun 1973 mencapai 400 oarang. Sedangkan untuk jabatan Gubernur ABRI
menempatkan anggotanya sebanyak 22 orang dari 26 propinsi.82
Keterlibatan
militer dalam politik ditingkatkan melalui partai politik Golkar dan perwakilan
politik di MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Militer juga meningkatkan
keterlibatan dalam politik melalui badan keamanan atau Kopkamtib/Bakornas. Ini
dengan nama TNI mulai 12 April 1999. Hal itu kemudian dikukuhkan dengan ketetapan MPR No.
VI/MPR/2000. 81
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta:
LP3ES, 1989), h. 152. 82Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, (Bandung: Mizan, 1998), h. 106.
karena pada setiap pemilu Golkar selalu menang, yang didukung oleh PNS dan
anggota ABRI.83
Upaya untuk memantapkan keterlibatan militer dalam politik juga
dilakukan melalui jalur yuridis. Maka munculah landasan konstitusional dalam
bentuk ketetapan MPR maupun perundang-undangan. Dwifungsi ABRI
dimasukkan dalam GBHN, ABRI menjadi modal dasar pembangunan bersama
bentuk perundang-undangan lainnya, seperti UU No. 20/1982 tentang pokok-
pokok Hankam negara yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 1/1989 dan
UU No. 2/1988 tentang pokok-pokok keprajuritan. Asas legalitas ini merupakan
pelengkap atau penyempurna legalitas sejarah dan perjuangan bangsa.84
Sementara itu, untuk menciptakan militer yang profesional, militer harus
bersikap netral, tidak memihak partai apapun juga militer dilarang terlibat dalam
politik praktis. Edy Prasetyono, peneliti senior CSIS menyebutkan: “UU No. 34
Tahun 2004 tentang TNI tegas menyatakan, TNI dilarang terlibat politik praktis.
Karena langkah ini akan merusak TNI hingga tidak mampu melaksanakan fungsi
pertahanan negara secara profesional”.85
Masyarakat militer secara langsung tunduk di bawah kekuasaan negara
atau pemerintah, bukan kepada segelintir orang. Ini karena negaralah yang
memenuhi kebutuhan primer anggota, seperti makanan, rumah, pakaian, uang,
83
A. M. Fatwa, DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 164. 84
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 47. 85
Edy Prasetyono, “TNI Boleh Kampanye? Sirkus Politik Paling Aneh,” Kompas, 28
Februari 2008, h. 6.
pengajaran, pelatihan, dan perlindungan kesehatan. Selain itu, negara juga
menyediakan fasilitas dan sarana materil perang dan sipil.86
C. Pemisahan TNI-POLRI
Secara umum, Militer di era reformasi menyatakan dirinya tidak lagi
terlibat dalam politik praktis dan menegaskan tidak akan mencampuri urusan
politik. Militer juga dituntut untuk kembali kepada fungsi tugas utamanya sebagai
alat pertahanan dan keamanan negara. Lebih jauh lagi, militer juga dituntut untuk
tidak mencampuri kebijakan politik pemerintahan sipil dan tidak terlibat pada
persoalan-persoalan yang tidak ada kaitannya dengan tugas pertahanan dan
keamanan. Ditambah lagi dengan munculnya tuntutan dari kalangan kepolisian
untuk memisahkan diri dari ABRI yang semakin membatasi peran militer yang
dianggap tidak perlu mencakup tugas keamanan.
Seiring dengan munculnya tuntutan pemisahan TNI-POLRI, muncul juga
ke permukaan tuntutan akan profesionalisme POLRI dalam melaksanakan
tugasnya. Pemisahan kepolisian dari tubuh TNI mutlak diperlukan agar praktik-
praktik kepolisian yang disalahgunakan oleh penguasa tidak terulang lagi.
Kepolisian harus menjadi badan yang menjalankan fungsinya secara mandiri
dalam arti bebas dari kepentingan apa pun dan dari kelompok manapun kecuali
kepentingan penegakan hukum itu sendiri.87
86
Imad Abdurrahim Az-Zaghul, Psikologi Militer, Edisi Indonesia, (Jakarta: Khalifa,
2004), h. 32-33. 87
Shanty M Sibarani, dkk, Antara Kekuasaan dan Profesionalisme, Menuju Kemandirian
Polri, (Jakarta: Dharmapena, 2001), h. 24.
Di era refrormasi, berbagai tindakan kepolisian dapat dilakukan lebih
mandiri oleh aparat kepolisian tanpa harus khawatir dengan intervensi
kepentingan militer. Pada masa sebelumnya, polisi berada di bawah lembaga
militer sebagai bagian dari ABRI, tugas-tugas kepolisian tidak dapat dilaksanakan
secara independen. Peran polisi pada era reformasi tentunya menggeser peran
satuan-satuan aparat teritorial militer yang selama itu mendapatkan fasilitas dari
peran sosialnya.
Pemisahan antara TNI dan POLRI ditegaskan dengan Ketetapan
MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI dari POLRI. Pasal 1 dari Tap berbunyi,
“Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing”. Pasal 2
dari Tap tersebut menyiratkan usaha untuk memperkuat, dengan cara
mempertegas peran TNI dan POLRI. Ayat (1) berbunyi, “TNI adalah alat negara
yang berperan dalam pertahanan negara”. Ayat (2) berbunyi, “Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan”. 88
Tentang peran TNI dan POLRI bisa kita lihat dalam sidang tahunan kedua
tahun 2000, dimana MPR berhasil mengubah judul BAB Pertahanan Negara
dalam UUD 1945, menjadi BAB Pertahanan dan Keamanan Negara. Disamping
itu, mengubah isi Pasal 30.89
Bunyi pasal tersebut adalah:
88
Landasan dikeluarkannya Kepres ini adalah dalam rangka memajukan profesionalisme
kepolisian dan meningkatkan peranannya selaku alat negara penegak hukum. Dengan Kepres ini
juga nama “ABRI” diganti dengan “TNI”. Lihat A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan
Politik, (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 209. 89
Pasal 30 ini sebelum diamandemen bunyinya adalah ayat 1. Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Ayat 2. Syarat-syarat tentang
1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara.
2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung.
3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
5. Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, syarat-syarat keikutsertaan warga
negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang
terkait dengan pertahanan dan kemanan diatur dengan Undang-Undang.
Secara tegas Pasal 30 UUD 1945 hasil amandemen ini menggariskan
bahwa TNI dan POLRI adalah dua instansi terpisah dengan kompetensi masing-
masing yang berbeda. Dalam Pasal 30 ini juga dapat diketahui pengertian dan
fungsi dari TNI dan POLRI. Fungsi TNI ada dalam ayat 3, yaitu: Tentara Nasional
Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara
pembelaan negara diatur dengan undang-undang. Lihat Tim Kontras, Politik Militer dalam
Transisi Demokrasi Indonesia Catatan Kontras Paska Perubahan Rezim 1998, (Jakarta: Kontras,
2005), h. 32.
sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan fungsi POLRI dapat dilihat dalam
pasal 4, yaitu: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Lebih jelas lagi mengenai fungsi POLRI, tertulis pada UU No. 20/82 dan
UU kepolisian No. 28/1997, inti tugas POLRI adalah alat negara penegak hukum
dan pembimbing, pelindung, serta pengayom masyarakat. Untuk melaksanakan
tugas itu, POLRI membagi dalam 3 komponen penggerak operasional, yakni:90
1. Subyeknya adalah susunan kekuatan POLRI yang terdiri dari satuan fungsi
Reserse-lalulintas-Samapta-Bimmas-Intel, dan lain-lain.
2. Metodenya tersusun dalam sistem operasional POLRI.
3. Obyeknya adalah gangguan Kamtibmas yang antara lain berupa kriminalitas,
pelanggaran, kecelakaan lalulintas, penyimpangan sosial, dan lain-lain.
D. Tidak Berbisnis
Secara umum, para peneliti LIPI mengklasifikasikan bisnis militer ke
dalam dua bagian utama yaitu informal dan formal, masih ada satu lagi bisnis
yang tidak banyak dibicarakan dan diakui oleh militer, yaitu criminal economy.91
Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai
institusi, melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah
90
Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1997), h. 233. 91
Kategori criminal economy dapat dilihat pada makalah McCuliough, Lesley, “Tri
Fungsi: The Role of The Indonesian Military in Business”, 2000, Fatchurahman Agam,
“Governance Yayasan Militer”, 2001, dan Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari
Legitimasi, (Jakarta: ICW dan National Democratic Institute, 2003) h. 9.
tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat
militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN.
Bisnis formal adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara
kelembagaan dalam bisnis, seperti bentuk yayasan dan koperasi. Susunan
pengurus yayasan dan koperasi mengikuti sturktur komando. Bisnis dalam bentuk
yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar.
Akan tetapi, seperti Kodam juga memiliki yayasan. Di tingkat Markas Besar,
koperasi menggunakan nama Induk, di tingkat Kodam, koperasi menggunakan
nama pusat, dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama primer. Bentuk
ketiga, criminal economy berupa perlindungan yang diberikan oleh anggota
militer terhadap praktek bisnis gelap yang melanggar hukum. Misalnya,
perdagangan narkotika, penyedia jasa tenaga demonstran, beking perjudian,
sumbangan keamanan, serta illegal logging, dapat juga disebut dengan bisnis
kelabu.92
Dalam masa perang kemerdekaan keterlibatan militer dalam ekonomi
bertujuan untuk merongrong sistem perekonomian penjajah serta untuk
membiayai perang dan revolusi. Misalnya, Laskar Rakyat Jakarta Raya
mengendalikan ekonomi dengan blokade kota Kerawang supaya beras daerah ini
tidak bisa diekspor ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Bentuk keterlibatan yang
lain adalah penyelundupan dan perdagangan candu yang merupakan komoditas
paling menguntungkan pada masa itu. Hasilnya kemudian ditukarkan dengan
senjata.
92
Istilah bisnis kelabu diperkenalkan oleh Goergo Junus Aditjondro untuk
menggambarkan posisi bisnis legalnya. Lihat Danang Widoyoko, Bisnis Militer Mencari
Legitimasi, h. 9-10.
Politik Banteng sebagai nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada
mulanya dikendalikan PKI. Untuk mencegah pengambilalihan secara meluas oleh
PKI, maka Jendral Nasution pada tanggal 13 Desember 1957 melarang setiap
pengambilalihan lebih lanjut dan dengan dekrit menempatkan semua perusahaan
asing terutama milik Belanda yang sudah diambil alih di bawah pengawasan
militer. Tujuannya agar jangan sampai perusahaan itu dikuasai oleh PKI.93
Keterlibatan militer dalam ekonomi telah dirintis pada masa sebelum Orba
terutama dalam melakukan hubungan dengan para pengusaha Cina dan
penanaman modal asing. Pada awal tahun 1965 ada tiga kelompok bisnis tentara
yang sangat menonjol, yaitu Yayasan Dharma Putra (YPD) milik kelompok bisnis
Kostrad, Propelat yang dimiliki kelompok Siliwangi dan sejumlah perusahaan
yang berada di bawah naungan divisi Diponegoro. Ketika Soeharto menjadi
komando Diponegoro, dia mengembangkan hubungan erat dengan pengusaha-
pengusaha Cina seperti Liem Sioe dan Bob Hasan.94
Kelompok bisnis Diponegoro pada tahun 1967, melakukan penggabungan
dari sepuluh perusahaan agribisnis dengan nama PT. Rumpun kemudian
memperluas bidang usaha di sektor perkapalan dan stevodoring. Pada dasarwasa
1970 ekonomi didominasi oleh semangat “pronasionalisme” dengan pilihan
kebijaksanaan politik dan menekankan praktek. Dengan kebijakan tersebut
keterlibatan militer dalam ekonomi semakin intens. Kepemimpinan dalam BUMN
di berbagai departemen didominasi militer.95
93
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 36. 94
Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma,
Filipina, dan Korea Selatan, (Jakarta: The Ridep Institute, 2003) h. 23. 95Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 75.
Kepemimpinan militer dalam BUMN seperti yang terjadi pada Pertamina,
Letjen Purn. Ibnu Sutowo sebagai Direktur pada 1957-1967 dalam prakteknya
bekerja sebagai perusahaan swasta dan bertanggung jawab kepada pimpinan
militer. Sebagian besar keuntungan industri minyak sebenarnya tidak diserahkan
kepada pemerintah khususnya sampai awal tahun 1970 melainkan digunakan oleh
Angkatan Bersenjata dan pimpinannya.
Perusahaan lain yang dikuasai militer adalah Bulog, pada waktu Bulog
dipimpin Brigjen TNI Achmad Tirtosudiro. Selain dalam BUMN, keterlibatan
militer juga dalam bentuk yayasan dan koperasi. Yayasan militer Angkatan Darat
yang menonjol adalah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), yang didirikan tahun
1972, dan Yayasan Dharma Putra. Yayasan Dharma Putra milik Kostrad ini yang
menikmati pengaruh kekuasan Soeharto dengan memperoleh 28% keuntungan PT
Bogasari Flour Mills yang dibagi dengan Yayasan Harapan Kita milik Ibu Tien
Suharto.96 Bisnis militer Angkatan Darat dalam bentuk koperasi yakni Inkopad
(Induk Koperasi Angkatan Darat), Inkopad sedikitnya memiliki 9 perusahaan
yang dimiliki sepenuhnya dan 7 perusahaan berstatus joint-venture.97
Laksamana Maeda (Purn) I Gede Artjana dari badan pemeriksa keuangan
menyebutkan “Sejumlah yayasan yang membiayai aktifitas militer yang telah
diaudit BPK, di Departemen Pertahanan ada Yayasan Kejuangan Panglima Besar
Sudirman (YKPBS) dengan empat unit usaha dan Yayasan Satya Bhakti Pertiwi
96Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 29. 97
Kesembilan perusahaan tersebut adalah Kartika Plaza Hotel, Duta Kartika Kencana
Tours & Travel, Kartika Aneka Niaga, Duta Kartika Cargo Service, Mina-Mina Kartika Samudra.
Sedangkan perusahaan yang berstatus joint-venture adalah Hotel Kartika Plaza Bali, Rimba
Kartika Jaya, Mitra Kartika Sejati, Kartika Inti Perkasa, Kartika Summa, Mahkota Transindo
Indah dan Duta Kartika Forwarder. Lihat Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 82.
(YSBP) dengan lima unit usaha. Di bawah markas besar TNI ada Yayasan Markas
Besar ABRI (YAMABRI) yang mengelola lima unit usaha. Juga terdapat yayasan
yang berada di bawah setiap markas angkatan. TNI AD mempunyai YKEP
dengan dua puluh tujuh unit usaha dan delapan belas perusahaan patungan,
Yayasan Dharma Putra Kostrad (YDPK) dan Yayasan Kesejahteran Korps Baret
Merah (YAKOBAME) Kopasus masing-masing dengan satu unit usaha. TNI AL
memiliki Yayasan Bhumiyamca (YASBUM) yang menjalankan tiga puluh dua
unit usaha, dan TNI AU menjalakan Yayasan Adih Upaya (YASAU) dengan
sepuluh unit usaha”98
Pada awalnya tidak ada aturan yang jelas tentang yayasan, atau peraturan
yang bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi yayasan. Namun, setelah
didesak oleh IMF, Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU No. 16/2001
tentang yayasan, yang merupakan peraturan pertama di Indonesia tentang
yayasan. Karena UU inilah, yayasan dipergunakan oleh banyak organisasi sebagai
badan hukum. Termasuk untuk kepentingan bisnis, seperti yayasan milik Soeharto
dan yayasan militer.99
Penelitian Samego dan kawan-kawan menunjukkan dampak negatif bisnis
militer lebih banyak dari pada dampak positifnya. Dampak positifnya adalah
pertama, menunjang kegiatan operasi militer. Kedua, demi kesejahteraan prajurit
dan keluarganya, dan ketiga, demi kesejahteraan masyarakat sipil yang terlibat
dalam bisnis TNI. Sedangkan dampak negatifnya adalah pertama, kelas
komparador penopang kapitalisme semu, kedua, korupsi dan State Corporation,
98
Diadaptasi dari Kompas 12 September 2003 99
Chatamarrasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) h. 27.
ketiga, nepotisme dan neopatrimonialisme, dan keempat, melunturnya
profesionalisme militer.100
Pada era reformasi ini, pemerintah telah berusaha untuk menghapus bisnis
militer, yaitu dengan membentuk Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI,
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008. ini terkait dengan
amanat pengambilalihan bisnis TNI sesuai Pasal 76 UU No.34 Tahun 2004
tentang TNI. Menurut Ketuanya, Erry Riyana Hardjapamekas Tim ini bertujuan
untuk menghilangkan stigmatisasi masa lalu soal keberadaan koperasi dan
yayasan di lingkungan TNI.101
Menurut Jaleswari Pramodhawardani, langkah yang harus dilakukan
pemerintah tentang bisnis TNI adalah dengan mengambil alih semua koperasi,
yayasan, dan unit-unit bisnis di bawahnya. Namun tidak cuma mengambil alih
begitu saja, melainkan dengan memberi kompensasi atau dengan cara membentuk
koperasi-koperasi baru yang fungsinya benar-benar untuk kesejahteraan prajurit
TNI, tidak seperti koperasi pada masa-masa sebelumnya.102
Pengambilalihan bisnis militer yang tertuang dalam UU TNI pasal 76
diharapkan dapat menciptakan militer yang profesional. Dalam hal ini negara
harus menjamin seluruh kebutuhan pertahanan negara yang dibutuhkan oleh
militer. Seperti yang dikatakan Andi Widjajanto:103
“Saat reformasi digulirkan,
100
Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 50. 101
“Penertiban Bisnis TNI Perlu Langkah Drastis,” Kompas, 10 Mei 2008, h. 2. 102
Jaleswari Pramodhawardani adalah peneliti pada Pusat Pengembangan Masyarakat dan
Ilmu Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan The Indonesian Institute;
Penulis buku Menggusur Bisnis Militer bersama Rex Rieffel. Jaleswari Pramodhawardani, “Bisnis
TNI dan Distorsi Ekonomi,” Investor Daily, 22 Juni 2007, h. 4. 103
Andi Widjajanto adalah Staf Pengajar FISIP UI, diadaptasi dari Media Indonesia, 18
Februari 2008
karakter tentara niaga berusaha untuk dicabut tuntas. Rumusan formula
teknokratiknya sederhana, yaitu seluruh kebutuhan pertahanan negara sepenuhnya
berasal dari negara, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.
E. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Teritorial
Pada awalnya fungsi pembinaan teritorial adalah untuk menyiapkan ruang
alat, dan kondisi juang di daerah untuk mendukung usaha pertahanan nasional
yang dilaksanakan langsung oleh militer teritorial di daerah itu. Ini bermula dari
kondisi negara dalam keadaan darurat perang pada masa perang kemerdekaan.
Selain itu bahwa fungsi teritorial yang dilakukan TNI adalah untuk tetap
memelihara kedekatan dengan rakyat. Karena kondisi darurat itulah, militer terus
saja melakukan tugas yang bukan fungsinya.104
Fungsi teritorial darat ini sebenarnya berasal dari cara pikir tahun 50-an,
dimana pada 1958, Nasution membentuk Komite Doktrin Militer yang dipimpin
oleh Letkol Aj Mokoginata dan wakilnya Letkol Soewarto. Dalam kajiannya,
komite tersebut berkesimpulan bahwa tentara tidak mungkin memenangkan suatu
peperangan modern tanpa dukungan dari rakyat. Ini yang menjadi dasar
dipakainya doktrin Perang Teritorial pada tahun 1960 yang kemudian tidak saja
menjadi doktrin TNI AD tetapi menjadi doktrin peperangan semesta.105
Pada Maret 1962, sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di
Bandung merumuskan Doktrin Perang Wilayah, yang membuat tentara bisa
104
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982), h. 234. 105
Atmadji Soemarkidjo dalam Rifqie Muna, Komando Teritorial TNI: Latar Belakang
Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan Nasional, (Jakarta: The Ridep
Institute, 2002), h. 85.
menjangkau langsung ke masyarakat. Terdiri dari, staf umum angkatan darat
ditambah dengan staf teritorial dan bagian staf kekaryaan. Dengan konsep perang
wilayah ini, tentara lebih mudah menjalankan peran di luar bidang pertahanan,
terutama di bidang politik. Kemudian dibentuk Komando Resort Militer (Korem)
yang sama tingkatnya dengan karesidenan; Komando Distrik Militer (Kodim)
yang sejajar dengan kabupaten (district); Komando Rayon Militer (Koramil)
seperingkat dengan kecamatan (subdistrik); dan Bintara Pembina Desa (Babinsa)
di desa. Dengan organisasi itu, Angkatan Darat menghidupkan kembali
pembinaan teritorial yang pada masa perang kemerdekaan digunakan untuk
mendukung operasi militer. Pada masa itu, fungsi pertama TNI adalah fungsi
tempur dan fungsi kedua adalah fungsi teritorial guna menyiapkan pertahanan dan
perlawanan rakyat. Pada masa selanjutnya, fungsi teritorial lebih banyak
digunakan untuk sarana kegiatan politik tentara.106
ABRI merasa paling bertanggung jawab atas semua persoalan bangsa dan
negara, hanya karena mau mengejar sasaran yang dibebankan oleh pimpinan Orde
Baru. Tindakan ABRI dengan pendekatan keamanan yang berlebihan ini
menimbulkan suasana yang menakutkan. Pemerintah membatasi kebebasan asasi,
seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyatakan pendapat,
dan sebagainya. Selain itu, pemerintah juga membentuk badan-badan ekstra
konstitusional, seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), yang diberi kewenangan darurat yang sangat luar biasa untuk
mengatur langkah-langkah demi menciptakan stabilitas, atau badan Penelitian
106
A.H. Nasution, Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini, ( Bandung: Prisma, 1980),
h. 41.
Khusus (Litsus) di pusat maupun di daerah. Ini juga menjadi alat politik rezim
soeharto untuk mendukung dan memenangkan Golkar dengan berbagai cara. Dan
karena itu, penggunaan organisasi teritorial untuk kepentingan politik membuat
rakyat tidak senang kepada tentara.
Oleh sebab itu, TNI mengambil sikap baru dengan mengembalikan fungsi
teritorial kepada pemerintah yang melibatkan berbagai institutsi fungsional yang
terkait, dengan melakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial. Maksud
dari reformasi organisasi teritorial adalah untuk menyerahkan kembali fungsi
teritorial kepada pemilik fungsi yang sebenarnya, yaitu pemerintah.
Reformasi organisasi teritorial itu bisa dilakukan karena mempunyai
legitimasi undang-undang. Beberapa landasan konstitusional yang dapat
digunakan berkaitan dengan reformasi fungsi teritorial ini adalah ketetapan MPR
dan undang-undang seperti berikut:107
1. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Pasal 7
ayat 1, menyatakan bahwa wewenang daerah mencakup wewenang dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali wewenang dalam bidang hubungan
luar negeri, pertahanan keamanan, kehakiman, moneter, fiskal, dan agama.
Pasal 10 ayat 1 juga menyatakan, daerah memiliki wewenang mengelola
sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya.
2. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun
2002. ketetapan dan undang-undang ini menegaskan adanya perbedaan
antara peran dan tugas TNI dengan POLRI, dan perbedaan antara fungsi
107Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 236.
pertahanan dengan fungsi keamanan. Ini menunjukan bahwa TNI berperan
utama dalam bidang pertahanan.
3. Undang-undang No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara. Pasal 12
menyatakan bahwa sistem pertahanan negara sebagai salah satu fungsi
pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional
dan mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan.
Landasan tersebut mengandung arti bahwa fungsi pembinaan teritorial
yang pada masa lalu dilakukan oleh militer, harus dikembalikan kepada
pemerintah melalui pemerintah daerah. Atas dasar pemikiran itulah,
refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Dengan begitu, bagi TNI refungsionalisasi dan
restrukturisasi fungsi teritorial ini akan mendukung pembinaan profesionalisme
TNI, karena tentara tidak akan terlibat lagi dalam arena politik yang menyita
waktu, pikiran, dan fisik yang banyak, dan selanjutnya akan hanya menumpukan
kepada fungsi utamanya, yaitu pertahanan negara saja.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang panjang ini, penulis bisa menarik kesimpulan bahwa
keterlibatan militer di Indonesia dalam politik dan ekonomi mempunyai akar dan
latar belakang yang panjang. Keadaanlah yang kemudian menyebabkan militer
terlibat dalam percaturan politik. Ini sangat berlawanan dengan fungsi dan tugas
awal pembentukan militer di Indonesia. Fungsi dan tugas awal militer di
Indonesia adalah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan
penjajah.
Puncak dari keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi terlihat jelas
pada masa rezim Orde Baru, dengan adanya konsep dwifungsi ABRI. Konsep
inilah yang kemudian dijadikan dasar legitimasi politik militer secara meluas oleh
pemerintahan Orde Baru. Peran politik militer pada masa ini sugguh luar biasa
luasnya, ini juga karena Soeharto pemimpin rezim Orde Baru ini memberikan
peluang secara luas kepada militer untuk itu.
Namun, setelah tumbangnya rezim ini, banyak tekanan dari seluruh
elemen masyarakat agar militer meninggalkan peran politik dan ekonomi supaya
tercipta militer yang profesional. Militer juga menyadari akan hal itu, dan
berusaha untuk mengembalikan image di mata masyarakat indonesia. Salah satu
usaha yang dilakukan militer adalah dengan melakukan reformasi internal TNI.
Tujuan dari reformasi internal militer tersebut adalah agar terciptanya
profesionalisme militer.
Adapun bentuk nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer
yang profesional pasca Orde Baru adalah sebagai berikut; pertama, kembali ke
barak, ini dilakukan karena melihat bahwa tugas dan fungsi militer adalah sebagai
alat pertahanan dan keamanan negara. Militer harus ditarik kembali ke barak
untuk menginstropeksi diri dan berlatih sehingga mereka dapat mahir dalam
menggunakan senjata untuk mempertahankan kedaulatan negeri ini, bukan
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang saja.
Kedua, tidak berpolitik praktis, untuk menciptakan militer yang
profesional, militer harus bersikap netral, tidak memihak partai apapun, juga
militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Ini telah ditetapkan pemerintah
melalui UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang dengan tegas menyatakan, TNI
dilarang terlibat politik praktis. Karena, langkah ini akan merusak TNI hingga
tidak mampu melaksanakan fungsi pertahanan negara secara profesional.
Ketiga, pemisahan TNI POLRI, dengan dipisahkannya kedua instansi ini,
maka diharapkan baik TNI maupun POLRI dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya secara profesional. Karena itu, akan jelas terlihat perbedaan tugas
masing-masing, dimana tugas dan fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan
negara yang melindungi dan memlihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Sedangkan, fungsi POLRI adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat juga melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta
menegakan hukum.
Keempat, tidak berbisnis, salah satu ciri profesionalisme adalah tidak
adanya rangkap jabatan. Bila militer berbisnis dan juga berlatih, maka mereka
tidak akan bisa fokus pada latihan mereka. Ini sangat berbahaya, karena jika
terjadi serangan dari negara lain atau terjadi pemberontakan, militer tentu tidak
akan dapat menumpasnya. Militer tidak mempunyai keahlian dalam menggunakan
senjata, mereka hanya mementingkan bisnisnya saja. Oleh karena itu, pemerintah
harus bisa mengambil alih bisnis militer, dan menjamin kesejahteraan bagi para
prajurit sehingga mereka bisa fokus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kelima, refungsionalisasi dan restrukturisasi teritorial. Pada awalnya
fungsi pembinaan teritorial adalah untuk menyiapkan ruang alat, dan kondisi
juang di daerah untuk mendukung usaha pertahanan nasioanal yang dilaksanakan
langsung oleh militer teritorial di daerah. Namun pada perkembangannya, ABRI
melakukan pendekatan keamanan yang berlebihan, membatasi kebebasan asasi,
seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan menyatakan
pendapat, jika militer menjadi alat politik rezim Soeharto untuk mendukung dan
memenangkan Golkar dengan berbagai cara. Maksud dari refungsionalisasi dan
restrukturisasi terotorial adalah untuk menyerahkan kembali fungsi teritorial
kepada pemilik fungsi yang sebenarnya, yaitu pemerintah.
Kelima indikator ini akan mendukung pembinaan profesionalisme TNI
pasca Orde Baru di Indonesia, karena militer tidak akan terlibat lagi dalam arena
politik dan bisnis yang menyita waktu, pikiran, dan fisik yang banyak, dan
selanjutnya akan hanya menumpukan kepada fungsi utamanya, yaitu pertahanan
negara saja.
Dari kelima indikasi di atas, dapat kita lihat bahwa militer masih berusaha
untuk menciptakan profesionalismenya, atau belum menjadi militer yang
profesional. Ini terlihat dari belum tuntasnya pengambilalihan bisnis militer dan
masih adanya perwira militer yang masih aktif berusaha menjadi calon gubernur.
Jadi militer di Indonesia masih harus banyak berubah untuk menciptakan
profesionalismenya.
B. Saran
Kelima indikator profesionalisme militer di atas memerlukan dukungan
dari semua pihak, sehingga mampu menjadi bagian dari proses konsolidasi
demokrasi. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah konstruktif bagi penguatan
profesionalisme militer.
1. Komitmen sipil untuk menempatkan TNI sebagai kekuatan pertahanan
ansich, sehingga militer tidak tertarik lagi ke dunia politik.
2. Penuntasan masalah bisnis militer dengan diringi peningkatan
kesejahteraan dan modernisasi peralatan pertahanan, sehingga militer
konsisten dengan profesionalismenya.
3. Perlakuan yang sama terhadap militer di depan hukum sehingga muncul
supremasi sipil yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Imam Az-Zaghul. Psikologi Militer. Edisi Indonesia, Jakarta: Khalifa, 2004.
Al-Basry, M. Dahlan Y. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual. Surabaya:
Target Press, 2003.
Anwar, Dewi Fortuna & Idi Subandy Ibrahim (ed.). Gusdur versus Militer: Studi
tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo,
1998.
Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-
tradisi Jawa dan Barat. Jakarta: LP3ES, 1996.
Chatamarrasjid. Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Cholisin. Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis tentang Respon
Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002.
Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1986
Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
Yogyakarta: LKIS, 2005.
Fatwa, A. M. DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama
Diadili. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Habib, Hasnan. Perkembangan Pemikiran Strategi di Indonesia. Jakarta: Analisis
CSIS, 1996.
Haramain, A. Malik. Gus Dur, Militer, dan Politik. Yogyakarta: LKIS, 2004.
Imran, Amrin (dkk). Sedjarah Angkatan-Darat. Jakarta: Dephankam Pusat
Sedjarah ABRI, 1971.
Iswandi. Bisnis Militer Orde Baru “Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi
dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Rezim Otoriter”. Bandung: PT.Remaja Pos Perkasa, 1998.
Kristiadi, J. Masa Depan Politik ABRI. Bandung: Unisia, 1999.
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). TNI Abad XXI:
Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan TNI: Langkah-Langkah
Reformasi Internal Lanjutan TNI, tahap II. Jakarta: Mabes TNI, 2001.
___________. TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peranan
TNI dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta: mabes TNI,1999.
Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, 1989.
Moedjianto, G. Indonesia Abad ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggar Jati. Jakarta: Kanisius, 1992.
Muhaimin, A. Yahya. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-
1966. Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982.
Nasution, A.H. Dwifungsi ABRI: Pada Mulanya dan Kini. Bandung: Prisma,
1980.
Nordlinger, Erick A. Militer Dalam Politik. Jakarta: Rhineka Cipta, 1990.
Nurhasim, Moch. Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma,
Filipina, dan Korea Selatan. Jakarta: The Ridep Institute, 2003.
Pusat Pembinaan Mental ABRI (Pusbintal ABRI). Wawasan Kejuangan Panglima
Besar Sudirman. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1991.
Said, Salim. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001.
__________. Kepemimpinan Politik TNI/ABRI dalam Perspektif Sejarah. dalam
Djoko Subroto, dkk. Visi ABRI Menatap Masa Depan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1998.
Samego, Indria. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan, 1998.
Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1993.
Shiraishi, Takashi. Militer Indonesia dalam Politik. dalam: Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial UNISIA, No.38/XXII/II/1999.
Sibarani, Shanty M dkk. Antara Kekuasaan dan Profesionalisme, Menuju
Kemandirian Polri. Jakarta: Dharmapena, 2001.
Simamora, Sahat (Terj). Militer dan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000.
Simatupang, T.B. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1981.
Soebiyono. Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan
Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997.
Soemarkidjo, Atmadji. dalam Rifqie Muna. Komando Teritorial TNI: Latar
Belakang Sejarah, dalam Likuidasi Komando Teritorial dan Pertahanan
Nasional. Jakarta: The Ridep Institute, 2002.
Soemitro. Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Sundhaussen, ULF. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi
ABRI. Jakarta: LP3ES,1986.
Sutedjo, Bambang. Peran ABRI dalam Kehidupan Nasional. dalam Yusuf
Solichin, Atmadji Sumarkidjo dan Suhadi. ABRI Profesional dan
Dedikatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Syamsuddin, Abin. Pengembangan Profesi Kependidikan. Bandung: Pascasarjana UPI, 2000.
Tim Imparsial. Menuju TNI Profesional, Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik:
Perjalanan Advokasi RUU TNI. Jakarta: Imparsial, Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, LSPP, 2005.
Tim Kontras. Politik Militer dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan
Kontras Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta: Kontras, 2005.
Tim Prima Pena. Kamus Besar Bahasa Indonesia; Kamus Terbaru. Jakarta: Gita
Media Press 2002.
Widoyoko, Danang dkk. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: ICW dan
National Democratic Institute, 2003.
Wiranto. Paradigma Baru ABRI: Tantangan dan Tekad ABRI sebagai
Bhayangkari Negara. Widya Dharma, Edisi Khusus 1999.
Makalah:
Mabes TNI AD, Seskoad 1997, Makalah. Aktualisasi Dwi Fungsi ABRI
Menghadapi Perkembangan Zaman. Bandung, 1997.
Wignjosoebroto, Sritomo. Makalah Pengantar untuk Perbincangan Tentang Perspektif Pembangunan Daya Saing Global Tenaga Kerja Profesional.
Institut Teknologi Sepuluh November – Surabaya, 1999.
Surat Kabar:
Pramodhawardani, Jaleswari. “Bisnis TNI dan Distorsi Ekonomi.” Investor Daily,
22 Juni 2008.
Prasetyono, Edy. “TNI Boleh Kampanye? Sirkus Politik Paling Aneh.” Kompas,
28 Februari 2008.
“Penertiban Bisnis TNI Perlu Langkah Drastis.” Kompas, 10 Mei 2008.
“Efektifitas dan Profesionalisme Militer.” Media Indonesia, 18 Februari 2008.
Internet:
http://www.ipai.info/profesionalisme.htm http://www.bharian.com.my/Joran/JoranBH/Sally/20050616151437/joranews_ht
ml, http://www1.bpkpenabur.or.id
http://www.perpusjatim.go.id, http://rovicky.wordpress.com/2006/05/06/mental-profesional-untuk-buruh-
maupun- juragan/ http://laptopdarulfiqh.blogspot.com/2007/05/siapakah-profesional-pas-
sebenar.html,
http://www.jls.gov.my
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/23/0801.htm,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0406/23/opi02.html,