Post on 19-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Bronkitis adalah peradangan bronkus yang dapat disebabkan oleh infeksi
atau tanpa infeksi dimana peradangan tersebut menyebabkan sekresi mukus atau
phlegm ke saluran pernafasan sehingga saluran nafas menyempit. Terdapat dua
jenis bronkitis, yaitu: bronkitis akut dan bronkitis kronik. Bronkitis akut ditandai
dengan flu dan batuk dengan atau tanpa dahak lebih dari 1-2 minggu sedangkan
bronkitis kronik ditandai dengan batuk dahak produktif lebih dari 3 bulan dalam
setahun selama 2 tahun berturut-turut yang tidak disebabkan oleh penyakit lain
yang menyebabkan batuk (National Lung, Heart and Blood Intitute, 2012).
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter. Ileus menjadi salah
satu kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai, yaitu 60% - 70%
dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Ileus memiliki
mortalitas tinggi jika tidak segera didiagnosis dan ditangani dalam 24 jam. Ileus
sendiri merupakan suatu keadaan dimana pergerakan kontraksi normal dinding
usus terganggu. Gerak peristaltik seperti gerakan kontraksi bergelombang yang
merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan otot polos usus, system saraf
simpatis, system saraf parasimpatis, keseimbangan elektrolit, dan sebagainya.
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang.
Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang
dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti
perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan
berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,
dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis
(corpus). Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang
asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari
40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu
berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada
usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan
dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis,
yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-
64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita
berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis. Spondilosis lumbalis sering
bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui
patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan
penanganan yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bronkitis
2.1.1. Definisi
Bronkitis akut adalah istilah klinik yang menunjukkan peradangan “self-
limited” pada saluran pernafasan bagian bawah (bronkus). Bronkitis akut
merupakan penyakit akut yang berlangsung tidak lebih dari 3 minggu yang ditandai
oleh gejala utama batuk dan gejala dari saluran pernafasan bawah seperti wheezing,
produksi sputum dan kadang disertai oleh nyeri dada (BMJ Evidence Centre, 2012).
Bronkitis kronik merupakan salah satu tipe PPOK yang dapat didefinisikan
sebagai batuk produktif yang terjadi lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam 2 tahun
terakhir tanpa disertai penyakit lain yang mendasari (American Lung Association,
2012).
2.1.2. Epidemiologi
Data setiap tahunnya di Poliklinik PPOK RS Persahabatan Jakarta,
menunjukkan kunjungan meningkat 334 kali pada bulan November sampai dengan
Februari dibandingkan bulan 3 bulan lainnya. Kejadian eksaserbasi merupakan
episode perburukan gejala respirasi yang berulang mengakibatkan penurunan fungsi
paru, perburukan kualitas hidup dan peningkatan kebutuhan perawatan medis
(kunjungan ke dokter, penambahan medikasi, emergensi, rawat inap, dll.)
(American Lung Association, 2012).
Dengan kata lain eksaserbasi akut bronkitis kronis adalah penyebab utama
rawat inap dan kematian pada penderita bronkitis kronis. Lima puluh persen
penderita bronkitis kronis mengalami episodik eksaserbasi >2x dalam setahunnya
dengan seperlimanya membutuhkan rawat inap pada eksaserbasi tersebut dan
sebagiannya membutuhkan perawatan di ICU. Banyak pula penderita bronkitis
kronis membutuhkan rawat inap ulang (readmission) karena gejala yang menetap
dan berkepanjangan (American Lung Association, 2012).
Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus pernapasan dan
infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung
kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti
narkotik dan lain-lain (Sutoyo K.D., 2008). Didunia bronkitis merupakan masalah
dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi
rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki
dibanding wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat minim (Samer Qarah, 2007).
2.1.3. Etiologi
Penyebab utama dari bronkitis akut adalah virus. Virus yang menyerang
epitel bronkus menyebabkan peradangan dan meningkatkan sekresi mukus.
Bronkitis akut sering diawali oleh gejala dari saluran pernafasan atas seperti flu dan
common cold (National Institutes of Health, 2012). Sekitar 90% dari bronkitis akut
disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, coronavirus, adenovirus,
metapneumovirus, parainfluenza virus dan influenza virus. Sedangkan 10% kasus
bronkitis akut disebabkan oleh bakteri seperti Mycoplasma pneumonia,
Chlamydophila pneumoniae, Bordetella pertussis, Stretococcus pneumonia, dan
Haemophillus influenza (Albert RH, 2010).
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus
(RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain;
b. Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae atau bakteri
atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella);
c. Jamur;
d. Noninfeksi: polusi udara, rokok, dan lain-lain. Penyebab bronkitis akut yang
paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90% sedangkan infeksi
bakteri hanya sekitar <10% (Jonsson J., Sigurdsson J., Kristonsson K, et al,
2008).
Bronkitis kronik adalah PPOK yang sering diakibatkan oleh kebiasaan
merokok atau paparan tembakau. Selain itu PPOK juga dapat disebabkan oleh
inhalasi berkepanjangan dari polusi udara, asap dan debu yang sering dijumpai pada
pekerjaan tambang, pabrik tekstik, perkebunan dan peternakan sehingga
menyebabkan peradangan kronik saluran nafas (Thornton AJ dkk, 2011).
Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis
infeksiosa dan bronkitis iritatif.
a. Bronkitis infeksiosa
Bronkitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, terutama
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa
terjadi pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan
menahun. Infeksi berulang bisa merupakan akibat dari:
Sinusitis kronis
Bronkiektasis
Alergi
b. Bronkitis iritatif
Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu
yang dapat menyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa
disebabkan oleh berbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa
pelarut organik klorin, hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi
udara yang menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan
rokok lainnya. Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan
Marlina, 2011).
2.1.4. Patogenesis
Bronkitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membran mukosa
bronkus. Pada orang dewasa, bronkitis kronik terjadi akibat hipersekresi mukus
dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel
goblet dalam epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan
oleh paparan asap rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena
produksi mukus yang berlebihan dan kehilangan silia, menyebabkan batuk
produktif. Pada anak-anak, bronkitis kronik disebabkan oleh respon endogen,
trauma akut saluran pernafasan, atau paparan alergen atau iritan secara terus-
menerus. Saluran nafas akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan
batuk, diikuti inflamasi, udem, dan produksi mukus (Fahy dan Dickey, 2010).
Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epitel pernafasan, seperti
aspirasi yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya
bronkitis kronik pada anak-anak. Bakteri patogen yang menyebabkan infeksi
saluran respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococus pneumonie.
Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis dapat patogen pada balita (umur
<5 tahun), sedang Mycoplasma pneumonia pada anak usia sekolah (umur > 5-18
tahun) (Braman, 2006).
Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus,
namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat
diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan.
Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut
adalah virus-virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni
influenza B, influenza A, parainflueza dan reapiratory syncytial virus (RSV).
Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan meyebar
secara cepat dalam suatu populasi (Fahy dan Dickey, 2010).
Gejala yang paling sering akibat infeksi virus influenza diantaranya adalah
lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila penyakit influenza sudah
mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka gejala batuk serta demam
dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang terinfeksi virus
influenza. RSV biasanya menyerang orang-orang tua yang terutama mendiami panti
jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya
dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien
dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV (Braman, 2006).
Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala dominan
yang timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer
dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis, bakteri juga memerankan perannya pada
bronkitis akut, antara lain, Bordatella pertusis, Bordatella parapertusis, Chlamydia
pneumonia dan Mycoplasma pneumonia. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak
terjadi di lingkungan kampus dan di lingkungan militer (Fahy dan Dickey, 2010).
Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis
akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi
virus atau terjadi infeksi campuran. Pada kasus eksaserbasi akut bronkitis kronik
merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut, karena ketiga bakteri
tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan keberadaan mereka dalam
sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan merupakan tanda infeksi
akut (Fahy dan Dickey, 2010).
Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi biasa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan
normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu
sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien
dengan bronkitis akut, sistem mukosiliar defence paru-paru mengalami kerusakan
sehingga lebih mudah terserang infeksi (Gonzales dan Sande, 2008).
Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang
mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan hyperplasia (ukuran
membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat.
Infeksi juga menyebabkan dinding bronkial meradang, menebal (sering kali sampai
dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental
dari dinding bronkial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah
banyak akan menghambat beberapa aliran kecil dan mempersempit saluran udara
besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkus akan mengobstruksi jalan napas
terutama selama ekspirasi (Gonzales dan Sande, 2008).Jalan napas selanjutnya
mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Pasien
mengalami kekurangan O2, jaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,
dimana terjadi penurunan PO2, kerusakan ventilasi juga dapat menilai PCO,
sehingga pasien terlihat sianosis. Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien
dapat mengalami reduksi nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEVI) yang
reversible. Sedangkan pada infeksi akibat bakteri M. pneumonie atau C.
pneumoniae biasanya mempunyai nilai reduksi FEVI yang lebih rendah serta nilai
reversibilitas yang rendah pula. Virus dan bakteri masuk melalui port d’entre mulut
dan hidung “droplet infection” yang selanjutnya akan nenimbulkan viremia atau
bakterimia dan gejala atau reaksi tubuh untuk melakukan perlawanan (Braman,
2006).
Gambar 1. Patogenesis bronkitis kronis (Braman, 2006).
2.1.5. Manifestasi klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3
minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih,
kuning-kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala
berikut ini:
a. Demam (biasanya ringan);
b. Batuk (berdahak ataupun tidak berdahak);
ALERGEN
Aktivasi IgE
Peningkatan pelepasan histamin
Edema mukosa pada sel goblet di produksi
Invasi kuman ke jalan
Infeksi
malaiseDemam
Peningkatan laju metabolisme
hipertermi
Penyebaran bakteri/virus keseluruh tubuh
Iritasi mukosa bronkus
Bersihkan jalan nafas tidak efektif
Peningkatan akumulasi sekret
Batuk produktif
Penyempitan jalan nafas
Nyeri Penggunaan otot-otot pernapasan
c. Sesak napas, rasa berat bernapas;
d. Bunyi napas mengi atau ngik;
e. Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada;
f. Kadang batuk darah.
Gejala bronkitis akut adalah tidak spesifik dan menyerupai gejala infeksi
saluran pernafasan lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala-
gejala infeksi saluran respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya
muncul 3-4 hari setelah rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian
seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Karena
anak-anak biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya, maka dapat terjadi
gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar,
keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada
keadaan yang lebih berat (Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).
Karena bronkitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan
dapat membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui
secara jelas karena kurangnya ketersediaan jaringan pemeriksaan. Yang diketahui
adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mukus dan terjadinya deskuamasi sel-
sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen
saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen. Akan tetapi karena
imigrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap kerusakan jalan napas,
maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya superinfeksi bakteri
(Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).
Pemeriksaan auskultassi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring perkembangan dan progresitivitas batuk dapat terdengar berbagai macam
ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing atau suara kombinasi. Hasil
pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan corakan bronkial. Pada
umumnya gejala akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis
menetap hingga 2-3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu dapat
pula terjadi infeksi sekunder (Braman, 2006).
2.1.6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan dahak dan juga rontgen
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit lain. Bila penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah.
Untuk pasien anak yang di opname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur
pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu
mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus (Gonzales dan
Sande, 2008).
Untuk anak yang di opname dengan kemungkinan infeksi Chlamydia,
mycoplasma, atau infeksi virus saluran pernafasan bawah, lakukan pemeriksaan
sekresi nasofaringeal untuk membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum
IgM mungkin dapat membantu. Untuk anak yang diduga mengalami
imunodefisiensi, pengukuran serum immunoglobulin total, subkelas IgG, dan
produksi antibodi spesifik direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis
(Melbye, Kongerud dan Vorland, 2009).
Diagnosis bronkitis ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, tes faal paru, radiologi dan analisa gas darah:
a. Anamnesis
Adanya riwayat batuk disertai dahak, kemudian ditentukan waktu dari
semua gejala untuk menentukan jenis bronkitis akut dan kronis.
b. Gejala klinis
c. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik yang didapatkan tidak khas, bisa dijumpai rhonki
basah dan juga wheezing.
d. Tes faal paru dengan spirometri
VC : dapat normal / turun
FEV1 : normal / turun
FEV1/FVC : turun
TLC : normal/ meningkat
RV/TLC: meningkat
e. Analisa gas darah
f. Elektrokardiografi
2.1.7. Gambaran Radiologi Bronkitis
a. Foto Thorax
Radang akut bronkus biasanya berhubungan dengan infeksi saluran nafas
bagian atas. Penyakit ini biasanya tidak hebat dan tidak ditemukan komplikasi. Juga
tidak terdapat gambaran rontgen yang positif pada keadaan ini. Tetapi foto rontgen
berguna jika ada komplikasi lain, seperti pneumonitis (Rasad, Sjahriar, 2005).
Sedangkan untuk bronkitis kronik tidak selalu memperlihatkan gambaran yang khas
pada foto thorax. Pada foto thorax hanya tampak corakan yang ramai di bagian
basal paru. Kadang-kadang tampak corakan peribronkial yang bertambah di basis
paru oleh penebalan dinding bronkus (Braman, 2006).
Bronkitis kronik secara radiologi dibagi dalam 3 golongan, yaitu: ringan,
sedang, berat. Pada golongan yang ringan ditemukan corakan yang ramai di bagian
basal paru, pada golongan yang sedang, selain corakan paru yang ramai, juga
terdapat emfisema, dan kadang-kadang disertai bronkiektasis di parakardial kanan
dan kiri. Sedangkan golongan yang berat ditemukan hal-hal tersebut disertai cor
pulmonale sebagai komplikasi bronkitis kronik (Melbye, Kongerud dan Vorland,
2009).
Pada radiografi dada bronkitis dapat ditemukan perubahan berikut:
Peningkatan “lung marking” pada kedua paru, yang biasa disebut ‘dirty
chest”
Tubular shadow atau Tramlines, yaitu berupa garis paralel keluar hilus
menuju apeks paru, yang merupakan bayangan bronkus yang menebal
Dapat juga ditemukan peningkatan ukuran paru (Lange dan Walsh,
2002).
Gambar 2. Corakan yang ramai di parakardial kanan
Gambar 3. Corakan yang ramai pada paru dan emfisema
Gambar 4. Corakan yang ramai disertai bronkiektasis kanan dan kiri
Gambar 5. Bayangan intersisial difus sesuai dengan bronkitis
Gambar 6. Pasien laki-laki 61 tahun dengan bronkitis kronik, tampak
tramline shadow pada pericardial kiri (Tramline: sign untuk
penebalan dinding bronkus)
b. CT Scan Thorax
Pada Ct scan thorax bronkitis dapat ditemui berbagai kelainan yang hampir
sama dengan foto dada. Dapat dijumpai kelainan berupa penebalan bronkus, sampai
pada kelainan seperti emfisema dan nodul.
Gambar 7. Menunjukan sign bronkitis: penebalan dari dinding bronkus
Gambar 8. Pada keadaan berat CT scan menunjukkan bayangan difus
intersisial dengan mikronodular subpleural berat yang
menunjukkan penebalan dinding bronkus
Gambar 9. Gambaran foto polos dan CT scan bronkitis kronik
2.1.8. Diagnosa banding
a. Bronkiekstasis;
b. Asma bronkial;
c. Tuberkulosis paru.
2.1.9. Penatalaksanaan
a. Pengobatan konservatif
Pengelolaan umum, meliputi :
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien;
Memperbaiki drainase sekret bronkus;
Berhenti merokok.
b. Pengobatan Khusus
Pemberian oksigen yang cukup pada kasus eksaserbasi;
Bronkodilator;
Antibiotik sesuai agen penyebab infeksi.
2.2. Ileus
2.2.1. Ileus Obstruktif
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi
karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus
sehingga menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal tersebut
menyebabkan pasase lumen usus terganggu.Ileus obstruktif disebut juga ileus
mekanik.
I. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstruktif dibedakan atas:
Letak tinggi: duodenum sampai jejunum
Letak rendah: kolon – sigmoid – rectum
Obstruksi letak tinggi dan letak rendah di batasi oleh iliocecal
junction
Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibedakan atas:
Parsial: menyumbat sebagian lumen
Simple/komplit: menyumbat seluruh lumen
Strangulasi: simple dengan jepitan vasa
2.2.1.1 Etiologi
Ileus obstruktif disebabkan oleh berbagai hal:
a. Adhesi
Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi
umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat adanya
peritonitis setempat atau umum. Adhesi dapat berupa perlengketan
mungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, mungkin setempat
maupun luas.
b. Hernia
Kelemahan atau defek pada dinding rongga peritoneum
memungkinkan penonjolan keluar suatu kantong peritoneal (kantong
hernia) sehingga segmen suatu dalaman dapat terjepit.
c. Askariasis
Kebanyakan cacing askariasis hidup di usus halus bagian jejunum.
Obstruksi bisa terjadi dimana-mana pada bagian usus halus, tetapi
biasanya di ileum terminal, tempat lumen paling sempit. Cacing
tersebut menyebabkan kontraksi lokal dinding usus yang disertai
reaksi radang setempat.
d. Invaginasi
Umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke kolon
asendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektrum, dapat
mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk
dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Pada bayi dan anak-anak
biasanya spontan dan irreversible, sedangkan pada dewasa jarang
terjadi.
e. Volvulus
Pemuntiran usus yang abnormal dari segmen usus. Volvulus di usus
halus agak jarang ditemukan. Biasanya volvulus didapatkan di bagian
ileum.
f. Kelainan kongenital
Gangguan passase usus dapat berupa stenosis maupun atresia.
g. Radang kronik
h. Tumor
i. Tumpukan sisa makanan
2.2.2. Ileus Paralitik
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal atau
tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya
(Sjamsuhidajat, 2003). Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus
melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang
berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Ileus paralitik merupakan kondisi dimana
terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltic usus tanpa adanya obstruksi
mekanik. (Badash, 2005)
Ileus paralitik terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan
tanpa adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu
dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong
terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.
Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi
adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus
merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut.
Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah
motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih
dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik
pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi
mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-
abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah
pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka
waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien
dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan
risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi
buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan medis
karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit (Badash, 2005).
2.2.2.1. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya ileus paralitik :
Trauma abdomen
Pembedahan perut (laparatomy)
Serum elektrolit abnormalitas
Hipokalemia
Hiponatremia
Hipomagnesemia
Hipermagensemia
Infeksi, inflamasi atau iritasi (empedu, darah)
Intrathorak
o Pneumonia
o Lower lobus tulang rusuk patah
o Infark miokard
Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul)
Rongga perut
o Radang usus buntu
o Divertikulitis
o Nefrolisiasis
o Kolesistitis
o Pankreatitis
o Perforasi ulkus duodenum
Iskemia usus (Mesenterika emboli, trombosis iskemia)
Cedera tulang
Patah tulang rusuk
Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak )
Pengobatan
Narkotika
Fenotiazin
Diltiazem atau verapamil
Clozapine
Obat Anticholinergic
2.2.3 Patofisiologi
Proses terjadinya ileus mekanik maupun non mekanik memiliki kemiripan
setelah terjadinya obstruksi, tanpa memandang penyebab obstruksi tersebut apakah
karena penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan yang tampak adalah bila ileus
tersebut disebabkan oleh penyebab non mekanik maka peristaltik usus dihambat
dari permulaan, sedangkan pada ileus karena penyebab mekanik maka peristaltik
mula-mula kuat kemudian bertambah pelan sampai akhirnya hilang.
Semua etiologi ileus menyebabkan usus di bagian distal kolaps, sementara
bagian proksimal berdilatasi. Usus yang tersumbat awalnya berperistaltik lebih
keras sebagai usaha alamiah dan akhirnya pasase usus jadi melemah dan hilang.
Usus yang berdilatasi menampung cairan dan gas yang merupakan hasil
akumulasi cairan dan gas yang menyebabkan distensi usus. Distensi usus tidak
hanya pada daerah sumbatan tapi dapat menjalar ke daerah proksimal. Distensi
yang menyeluruh menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah
berkurang (iskemik) dan dapat terjadi perforasi.
Usaha usus untuk berperistaltik disaat adanya sumbatan menghasilkan nyeri
kolik abdomen dan penumpukan kuman dalam usus merangsang muntah. Pada
obstruksi usus dengan stranguasi, terdapat penjepitan yang menyebabkan
gangguan peredaran darah sehingga terjadi iskemia, nekrosis kemudian gangren.
Gangren ini kemudian menyebabkan tanda toksis yang terjadi pada sepsis yaitu
takikardia, syok septik dengan leukositosis.
Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi usus halus
karena pada obstruksi kolon, kecuali pada volvulus, hampir tidak pernah terjadi
strangulasi. Kolon merupakan alat penyimpanan feses sehingga secara relatif
fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh karena itu kehilangan
cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi kolon distal.
Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi
berlebihan atau ruptur sedangkan dinding usus besar tipis, sehingga mudah
distensi. Dinding caecum merupakan bagian kolon yang paling tipis, karena itu
dapat terjadi ruptur bila terlalu tegang. Bila terjadi ruptur maka akan timbul
perforasi yang memperberat keadaan pasien.
2.2.4. Gambaran Klinis
Gambaran klinik obstruksi ileus sangat mudah dikenal, tidak tergantung
kepada penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan strangulasi, nyeri biasanya
lebih hebat dan menetap.
Obstruksi ileus ditandai dengan gambaran klinik, berupa nyeri abdomen
yang bersifat kolik, muntah-muntah dan obstipasi, distensi intestinalis, dan tidak
adanya flatus. Rasa nyeri perut dirasakan seperti menusuk-nusuk atau rasa mulas
yang hebat, umumnya nyeri tidak menjalar. Pada saat datang serangan, biasanya
disertai perasaan perut yang melilit.
Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat proyektil dengan cairan muntah
yang berwarna kehijauan. Pada obstruksi rendah, muntah biasanya timbul sesudah
distensi usus yang jelas sekali, muntah tidak proyektil dan berbau “feculent”, warna
cairan muntah kecoklatan.
Gambaran klinis ileus paralitik pada umumnya sama dengan ileus obstruktif
terdapat juga perbedaannya:
Ileus paralitik Ileus obstruktif
Nyeri kontinu Kolik
Darm contour + +
Darm steifung - +
Bunyi bising usus menghilang Meningkat
Rectal toucher terowongan Kolaps
2.2.5. Pemeriksaan Radiologi
2.2.5.1. Foto Polos Abdomen
Ileus merupakan penyakit abdomen akut yang dapat muncul secara
mendadak yang memerlukan tindakan sesegera mungkin. Maka dari itu
pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara segera tanpa perlu persiapan. Pada
kasus abdomen akut diperlukan pemeriksaan 3 posisi, yaitu :
1. Posisi terlentang (supine): sinar dari arah vertical, dengan proyeksi
antero-posterior (AP)
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri (erect), bila memungkinkan,
dengan sinar horizontal proyeksi AP
3. Tiduran miring ke kiri ( left lateral decubitus ), dengan arah horizontal,
proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu dipersiapkan ukuran kaset
dan film ukuran 35x 45cm.
Hal – hal yang dapat dinilai pada foto – foto di atas ialah:
1. Posisi terlentang (supine)
- Dinding abdomen, yang penting yaitu: lemak preperitoneal kanan
dan kiri baik atau menghilang.
- Garis psoas kanan dan kiri: baik, menghilang atau adanya
pelembungan (bulging).
- Batu yang radioopak, kalsifikasi atau benda asing yang radioopak.
- Kontur ginjal kanan dan kiri.
- Gambaran udara usus :
Normal
Pelebaran lambung, usus halus, kolon
Penyebaran dari usus – usus yang melebar
Keadaan dinding usus
Jarak antara dua dinding usus yang berdampingan
2. Posisi duduk atau setengah duduk atau tegak ( Erect)
- Gambaran udara bebas di bawah diafragma
3. Posisi tiduran miring ke kiri ( left lateral dekubitus)
- Hampir sama seperti posisi duduk, hanya udara bebas letaknya
antara hati dengan dinding abdomen
2.2.5.2. Barium Enema
Barium enema adalah sebuah pemeriksaan radiologi dengan menggunakan
kontras positif. Kontras positif yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan
radiologi alat cerna adalah barium sulfat (BaSO4). Bahan ini adalah suatu garam
berwarna putih, berat dan tidak mudah larut dalam air. Garam tersebut diaduk
dengan air dalam perbandingan tertentu sehingga menjadi suspensi. Suspensi
tersebut diminum oleh pasien pada pemeriksaan esophagus, lambung dan usus
halus atau dimasukkan lewat kliasma pada pemeriksaan kolon (lazim disebut
enema).
Sinar rontgen tidak dapat menembus barium sulfat tersebut, sehingga
menimbulkan bayangan dalam foto rontgen. Setelah pasien meminum suspensi
barium dan air, dengan fluroskopi diikuti kontrasnya sampai masuk ke dalam
lambung, kemudian dibuat foto – foto dalam posisi yang di perlukan. Pemeriksaan
radiologi dengan Barium Enema mempunyai suatu peran terbatas pada pasien
dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat
jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen.
2.2.5.3. CT-Scan Abdomen
CT ( Computed Tomograhy) merupakan metode body imaging dimana sinar
X yang sangat tipis mengitari pasien. Detektor kecil akan mengatur jumlah sinar x
yang diteruskan kepada pasien untuk menyinari targetnya. Komputer akan segera
menganalisa data dan mengumpulkan dalam bentuk potongan cross sectional. Foto
ini juga dapat disimpan, diperbesar maupun di cetak dalam bentuk film.
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai
adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya
kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan harus
dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
2.2.5.4. Radiologi Ileus
Untuk radiologi ileus perlu diperhatikan beberapa hal :
1. Posisi terlentang (supine). Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran
usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran
seperti duri ikan (Herring Bone Appearance). Gambaran ini didapat
dari pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar.
2. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis didapatkan
adanya air fluid level dan step ladder appearance.
3. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedangkan jika
panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang
diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid
level.
Pada foto polos abdomen, 60-70% dapat dilihat adanya pelebaran usus dan
hanya 40% dapat ditemukan adanya air fluid level. Walaupun pemeriksaan
radiologi hanya sebagai pelengkap saja, pemeriksaan sering diperlukan pada
obstruksi ileus yang sulit atau untuk dapat memperkirakan keadaan obstruksinya
pada masa pra-bedah.
Gambar 10. Coil spring dan Herring Bone
Gambar 11. Air-fluid level
Ileus obstruktif letak tinggi
Gambar 12. Ladder appearance
Pada ileus obstruktif letak tinggi tampak dilatasi usus di proksimal
sumbatan (sumbatan paling distal di iliocecal junction) dan kolaps usus dibagian
distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang terdilatasi memberikan
gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal
dan menempel membentuk gambaran vertebra (dari ikan), dan muskulus yang
sirkular menyerupai kostanya. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-
pendek yang berbentuk seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena
cairan transudasi berada dalam usus halus yang mengalami distensi.
Ileus Obstruksi Letak Rendah
Gambar 13. Dilatasi usus besar
Gambar 14. Air-fluid level pada usus besar
Pada ileus obstruktif letak rendah tampak dilatasi usus di proksimal
sumbatan (sumbatan di kolon) dan kolaps usus di bagian distal sumbatan.
Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran
herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan
menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai
kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak pada tepi
abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang berbentuk
seperti tangga disebut juga step ladder appearance karena cairan transudasi berada
dalam usus halus yang terdistensi dan air fluid level yang panjang-panjang di kolon.
Ileus Paralitik
Gambar 15. Semilunar shadow
Gambar 16. Herring bone appearance
Semilunar shadow
Pada ileus paralitik terdapat dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster
sampai rektum. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan
gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal
dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler
menyerupai kosta dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak
pada tepi abdomen. Tampak gambaran air fluid level yang pendek-pendek yang
berbentuk seperti tangga atau disebut juga step ladder appearance di usus halus dan
air fluid level yang panjang-panjang di kolon.
2.2.6. Terapi
1. Ileus obstruksi
Pengelolaan ileus obstruktif adalah sebagai berikut:
Pemasangan sonde lambung
Penderita dipuasakan
Perbaikan kadar elektrolit
Tindakan bedah diperlukan bila terjadi:
Strangulasi
Obstruksi totalis
Hernia inkarserata
Tidak ada perbaikan pada pengobatan konservatif
2. Ileus paralitik
Pengelolaan ileus paralitik adalah dengan konservatif. Tindakannya berupa
dekompresi dengan pipa nasogastrik, menjaga cairan dan elektrolit, mengobati
kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.
2.3. Spondylosis Lumbalis
2.3.1. Definisi
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang.
Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan
ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan
pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari
tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-
kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).
2.3.2. Epidemiologi
Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang
asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40
tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia
20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20
tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan
usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang
sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64
tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-
64 tahun mengalami osteofit lumbalis.
Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara
bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang
tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh,
aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi.
2.3.3. Patogenesis
Spondilosis muncul sebagai akibat pembentukan tulang baru di tempat
dimana ligament anular mengalami ketegangan.
Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak
diketahui, dengan kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan
hanya muncul saat pertumbuhan sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai
ukuran maksimal.
Kebanyakan ahli menerima teori yang menjelaskan stenosis spinalis
lumbalis terjadi melalui perubahan degeneratif yang menjadi instabilitas dan
penekanan akar saraf yang menimbulkan masalah jika anatomi canalis spinalis
seseorang tidak baik.
Faktor perkembangan dan kongenital termasuk beberapa variasi anatomis
yang memberikan ruang lebih sempit untuk jalannya saraf, sehingga bahkan hanya
dengan perubahan osseus minor dapat berkembang menjadi penekanan akar saraf:
canalis spinalis yang dangkal, canalis dengan bentuk trefoil, atau anomali dari akar
saraf.
Variasi anatomis facet joint dalam hal orientasi, bentuk, atau asimetrisitas
membuat degenerasi lebih mudah terjadi yang berkembang menjadi penekanan akar
saraf. Degenerasi lebih sering menyebabkan gejala penekanan akar saraf pada
canalis spinalis yang sempit, dibandingkan dengan yang lebar bahkan spondilosis
atau spondiloartrosis yang berat tidak memberikan tanda-tanda klinis.
Bentuk trefoil dari canalis spinalis adalah variasi anatomis dari canalis
spinalis, yang disebabkan oleh orientasi dari lamina dan facet joint. Paling sering
ditemukan setinggi L3 sampai L5. Kondisi ini dianggap sebagai faktor predisposisi
berkembangnya stenosis recessus lateralis melalui perubahan degeneratif dari facet
joint.
Kelainan-kelainan akar saraf (akar yang berhimpit, akar yang ukurannya
melebihi normal, akar yang melintang) juga dapat berperan dalam berkembangnya
gejala. Disproporsi antara ukuran recessus lateralis dan diameter akar yang di luar
normal dapat menimbulkan gejala yang sesuai.
Facet joint yang asimetris dapat mempercepat degenerasi discus, facet joint
dengan orentasi ke frontal memungkinkan ruang yang lebih lebar untuk
membengkok ke lateral dan oleh karena itu juga mempunyai akibat negatif terhadap
integritas discus. Pada saat yang sama, juga terdapat ruang yang lebih sempit di
recessus lateralis. Orientasi sendi ke sagital memungkinkan mudahnya pergeseran
ke sagital dari vertebra-yaitu berkembangnya spondilolistesis degeneratif. Faktor
yang didapat yaitu termasuk semua perubahan degeneratif yang berkembang
menjadi penekanan akar saraf baik osseus maupun non-osseus.
Secara morfologis, bentuk-bentuk perlekatan struktur saraf berikut ini dapat
muncul secara tunggal atau kombinasi dapat digolongkan sebagai stenosis spinalis
lumbalis :
stenosis spinalis centralis
stenosis recessus lateralis
penyempitan foramen intervertebralis
penekanan akar saraf osseus
2.3.4. Gambaran Klinis
Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat
keluhan nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya
merupakan temuan yang tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan
apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.
Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan
saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang
menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan
bertambah pendek, kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi
langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien
yang dengan kasus lanjut.
Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur
tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah,
defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat
ditemukan.
Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk
nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini
berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh
karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang
diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni
tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi.
Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam
waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung
merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot,
kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang.
Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh
instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan
postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan,
berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas
ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain,
menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang,
yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina
secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada
saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak
pendek.
Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung
kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan
kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah,
dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra
lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri,
berlawanan dengan claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten
neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar
saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan
kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang
mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya
penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi
nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar
akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan
mekanik adalah perlekatan arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan
menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada
metabolismenya.
2.3.5. Pemeriksaan Radiologis
- X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan
komplikasi.
- Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan
[DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang
digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang.
Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga
membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya
osteoporosis.
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna
untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina
intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis,
retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau
stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.
Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan
kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup.
CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada
saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3
mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan
juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum
juga terlihat.
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non
osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis
spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2
weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis
stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan
pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI
dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk
melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.
Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan
gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT
sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang
sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.
Gambar 17. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI
Gambar 18. Lumbar Spondylosis
2.3.6. Penatalaksanaan
Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada
kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-
gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah
berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada
1/3 pasien.
2.3.6.1 Pengobatan konservatif
Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana
dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan
meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan
yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk
kegiatan sehari-hari.
Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan
awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi
konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang
sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk
herniasi diskus.
Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari
gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.
- Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan
osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
- Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed
rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka
diindikasikan untuk bedah eksisi.
- Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.
2.3.6.2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya
gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik. Pembedahan tidak dianjurkan
pada keadaan tanpa komplikasi.
Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan
dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.
- Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang
mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang
30% dari normal.
- Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi
foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi
saraf yang diinduksi osteofit.
- Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis
adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
- Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta
dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika
osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah
erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.
- Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan
duodenum.
Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian
karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga
kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:
Operasi dekompresi
Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil
Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis
spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis,
dekompresi selektif dari akar saraf.
Dekompresi kanalis spinalis
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis
bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan
mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang
rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif
non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas
spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien
manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus
intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan
adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan
hasil yang buruk.
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif
atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden
yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang
sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel,
1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis
spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi,
kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi
recessus lateralis.
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang
berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika
jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.
Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk
mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak
post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya
dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar
stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga
biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing”
foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada
herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur
laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar
dan processus spinosus.
Dekompresi selektif akar saraf
Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis,
dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai
gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan.
Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi,
instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau
fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.
Dekompesi dan stabilisasi
Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi.
Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang
lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat
sublaminer.
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus
intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk
alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau
penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan
penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi
tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi
osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau
pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus.
Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan
dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil
percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat
diketahui.
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi
adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini
merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi
dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka
pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna
pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas
dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak
selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:
Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri
atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan
stabilisasi
Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala
intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur
stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan
menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan
pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.
BAB III
STATUS PASIEN
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cangakan
No. RM : 128088
Pemeriksaan pada pasien dilakukan di Poli Radiologi RST dr. Soedjono,
Magelang pada tanggal 21 Oktober 2015 dengan DPJP dr. Dadiya, Sp.B.
3.2. Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien adalah foto rontgen thorax AP dan
BNO.
a) Foto rontgen thorax AP view
Gambar 19. AP view
Kesan :
o Gambaran bronkitis
o Besar cor normal dengan aortosklerosis
o Sistema tulang intak
b) BNO
Gambar 20. Blass Nier Overzicht
Hasil :
o Dilatasi udara usus
o Minimal gambaran coil spring
o Tampak udara colorectal
o Multiple osteofit
Kesan :
o Curiga subileus DD ileus paralitik
o Spondylosis lumbalis
3.3. Penatalaksanaan
a) Non Farmakologi
Bed rest
Edukasi mengenai penyakit dan kepatuhan minum obat
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien;
Memperbaiki drainase sekret bronkus;
Berhenti merokok
Ileus dekompresi menggunakan NGT, evaluasi elektrolit, nutrisi
adekuat (rawat inap pasang IV fluid)
b) Farmakologi
Antibiotik : Amoksisilin 2x 250-500 mg PO
Antiemetik : Ondansentron 1x 8 mg PO