Post on 30-Apr-2019
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TENTANG TINDAKAN PIDANA KEKERASAN ATAU
PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN
(Analisa Putusan Nomer: 443/pid/B/2014/PN.BEKASI)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk memenuhi salah satu persyaratan
Memperoleh Gelar S.sy
Oleh :
AHMAD FERIYANTO
NIM : 1110045100013
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Abstrak
Ahmad feriyanto. NIM 1110045100013 Persfektif Hukum Islam Terhadap
Putusan Hukuman Penjara 1 Tahun Bagi Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen ( Kasus Putusan Pengadilan
Negri Bekasi Nomor: 443/Pid/B/2014/PN. Bks.). Program Studi Jinayah Siyasah,
Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M.
Masalah utama dari pembahasan skripsi ini adalah mengenai sanksi Tindak
Pidana Kekerasan atau Penganiayaan di tinjau dari hukum pidana Islam dimana
ada kesamaan tentang tinjauan hukumnya dengan hukum pidana Positif.
Hasil dari penelitian ini adalah memahami dan mengetahui secara spesifik
mengenai sanksi dari tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang
mengakibatkan cacat permanen dari tinjauan hukum pidana Islam, shingga kita
semua dapat mengetahui dan paham perbedaan maupun kesamaan antara hukum
pidana Positif maupun hukum pidana islam.
Pembimbing : Dr. Alfitra, SH, MH.
Dedi Nursamsi, SH, M. Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2013
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratanmemperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuanyang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbuktibahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakandari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif hidayatullah
Jakarta
Jakarta, 7 April 2015
Ahmad Feriyanto
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Tak ada untaian kata yang Indah yang senantiasa saya ucapkan selain rasa
syukur saya kepada Allah SWT yang telah meridhoi perjalanan hidup saya, sampai
saya bisa menyelesaikan dari apa yang menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai
mahasiswa yaitu menyelesaikan Skripsi saya. Sholawat ma’a salam semoga
tercurahkan kebaginda alam ya’ni NabiyAllah Muhammad SAW, berikut kepada
keluarga, para sahabat, para tabi’in, dan semoga saya khususnya bisa selalu
istiqomah dalam menjalankan apa-apa yang telah disunnahkan oelh Rasulullah
SAW, serta kita semuanya mudah-mudahan mendapatkan syafa’at diyaumil
qiyamah nanti AMIIN.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak sekali
hambatan dan kesulitan yang dihadapi maupun dijalani, namun akhirnya disetiap
ada kesulitan pasti ada kemudahan yang akhirnya, tentunya tak lepas dari beberapa
individu yang selalu memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis sampai
akhirnya skripsi inipun terselesaikan.
Dengan demikian pada kesempatan kali ini penulis ingin mengungkapkan
rasa terimakasih yang takterhingga sekaligus kehormatan disertai penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sayarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hj, Maskufa, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah yang telah
memberikan kebaikan kepada saya khususnya sebagai mahasiswa.
3. Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang telah
memberikan kebaikan kepada saya khususnya dalam data-data mahasiswa.
4. Dr. Alfitra, SH, MH., selaku dosen pembimbing pertama saya yang telah
membimbing saya dalam hal penulisan skripsi ini.
5. Dedi Nursamsi, SH, M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua saya yang telah
membimbing saya juga dalam hal penulisan skripsi ini.
6. Terlebih lagi yang paling utama dan istimewa untuk kedua orang tua saya
khususnya Manta Gunawan dan Ibunda Encih yang telah memberikan
dukungan berupa do’a, finansial, nasehat, dan memberikan yang tidak bisa
penulis haturkan dan balas semua jasa-jasanya, serta seluruh keluarga yang
telah memberikan support kepada saya dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh pengurus lembaga Yayasan Pembinaan Yatim Piatu Al-Ikhlas yang
telah membantu dalam hal kebutuhan ataupun kekurangan yang ada dalam
penulisan skripsi ini.
8. Kawan-kawan seperjuangan khususnya yang berkonsentrasi dikepidanaan
Islam serta adik kelasnya angkatan tahun 2010 dan 2011. Khususnya buat
teman saya Rodhi Firdaus, Aditiya, Imas, Amanah, Reniati, Ade, Yongki, dan
Gea, serta seluruh kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan namanya satu
persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya karena kalian yang sudah
bisa membuat saya tetap semangat dalam menempuh perjuangan diperkuliahan
ini.
9. Buat kawan-kawan alumni SD Jati Reja 03 Lemahabang (Cikarang Timur),
khususnya Santa Wijaya, Anim Sanusi, Rohman yang selalu mendo’akan saya
agar sabar dalam menuntut ilmu diperkuliahan ini.
Kepada seluruh pihak yang telah memberikan motivasi baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk mengejar cita-cita yang ingin dicapai,
semoga semuanya dibalas sama Allah SWT atas kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis selama ini.
Penulispun menyadari banyak kekurangan dalam penulisan maupun yang
lainnya, oleh karena itu kritik dan saran yang bisa membangun, perlu kiranya
diberikan agar bisa lebih sempurna lagi dalam penulisan skripsi ini. Maka akhirnya
penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfa’at bagi penulis khususnya, dan
umumnya bagi para pembaca.
“Amiin Yaa Allah Yaa Robbal ‘Aalamiin…
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENYERTAAN….………………………………………………………..
KATA PENGANTAR………………………………………………………………vi
DAFTAR ISI...……………………………………………………………………..viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masala.…………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………..………5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………...…….........6
D. Review Studi Terdahulu…………………………...………………7
E. Metode Penelitian………………………………...……………….8
F. Sistematika Penulisan…………………………………...…….…10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN MENURUT
HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Positif………………………..15
1. Pengertian Tindak Pidana…………………………...……….15
2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya…………...20
3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana……..23
B. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Islam…………………………24
1. Pengertian Tindak Pidana……………………………………24
2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya…………...25
3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana……..31
BAB III TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN
MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA
ISLAM
A. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum
Positif…………………………………………………………….34
ix
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan
……………………….……………………..………………...34
2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan ………………………………………………..35
3. Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen…….....38
B. Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Menurut Hukum
Islam………………………………………………………….......38
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan
……………………….……………………..………………..38
2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan ………………………………………………..40
3. Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan…………………………………………….......53
C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan….58
BAB IV PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PUTUSAN PENGADILAN TENTANG TINDAK PIDANA
KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN YANG
MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN
A. Deskripsi Putusan Pengadilan……………………………………60
B. Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan
Pengadilan………………………………………………………..62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beranjak dalam hidup manusia tidak lepas dengan yang namanya hak
dan kewajiban, semuanya itu telah menjadi pengetahuan yang umum dalam
konteks Islam. Diantara hak manusia itu adanya hak hidup dan hak milik, hak
kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pernyataan, hak amal bil-ma’ruf,
hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, dan hak persamaan. sedangkan
kewajiban manusia adalah kewajiban hubungan dirinya dengan tuhannya dan
kewajiban hubungan dirinya dengan orang lain ( Masyarakat )1.
Adapun hak dan kewajiban itu mengandung arti yang sangat penting
dalam rangka pembinaan hidup individu. Islam mengharuskan adanya suatu
opini umum yang bermoral, mendorong kearah kebaikan dan mencegah segala
bentuk kejahatan dan kemungkaran.2
Bentuk kejahatan dan kemunkaran adalah perbuatan keji yang sangat
dilarang oleh Allah, karena dari dampak perbuatan yang dilarang maka akan
berdampak kepada kehidupan sosial bermasyarakat. Sebagaimana Rosul
sangat melarang perbuatan kejinya itu :
من تركه الناس إتقاء فحشه ةمياالق موي اهللدنع ةلزنم سالنارإن ش
1Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta :
PT. Pustaka Firdaus 1987) hal. 49 dan 65-69 2Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, (Jakarta 12048: PT.
Pustaka Firdaus 1994) hal. 19
2
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah
dihari kiamat, yaitu orang yang mana manusia meninggalkannya karena
perbuatan kejinya.”3
Tetapi tak lepas dari semuanya itu dalam diri manusia ada yang
namanya sifat baik dan sifat buruk. Sifat baik mencerminkan sikap terpuji dan
sifat buruk mencerminkan sikap kejahatan. Sedangkan kekerasan atau
penganiayaan, merupakan sifat buruk yang terdapat dalam diri manusia atau
para ahli ilmu sosial menggunakan istilah “Agresi” untuk setiap perbuatan
manusia yang bertujuan untuk menyakiti badan atau menyakiti perasaan orang
lain.4 Gejala kekerasan atau penganiayaan (violence), kebiadaban (barbarity),
kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas
kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan umat manusia, pada
hakikatnya telah tua setua sejarah manusia sendiri. Demikian pula gejala
kehidupan yang berorientasi pada landasan kemanusiaan (humanity),
kedamaian (peace) keamanan (security) toleransi kebajikan (benevolence) dan
rasa cinta kasih atas sesama juga telah tua setua sejarah manusia mengenal
kebudayaan, peradaban dan agama.5
Hal ini bisa dirasakan oleh kejiwaan setiap manusianya itu sendiri ,
baik dilihat dari kenyataan yang dialami oleh setiap individunya sendiri
maupun dari beberapa fenomena yang dihadirkan oleh informasi yang aktual
3Sejumlah Para Ulama Dari Para Penuntut Ilmu Didunia Islam (Tafsir Al’Usyr Al-
Akhir), Hukum-Hukum Penting Bagi Seorang Muslim, cet. 4, hal, 203. 4Willie Koen, Kekerasan dan Agresi (Perilaku Manusia), (PT. Tira Pustaka, 1987), hal. 9
5Yaya Khisbiyah dkk, Melawan kekerasan Tanpa kekerasan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Opset, 2000) hal. 32
3
tajam bahkan akurat yang ada pada zaman sekarang, karena seiring dengan
teknologinya pula yang bisa memberikan tentang pengetahuan yang begitu
canggih dan bisa secara langsung dilihat ataupun disaksikan walupun tidak
berada dalam kejadiannya itu sendiri, yang memberikan suatu kabar tentang
maraknya sebuah kejahatan, sebagai bukti kenyataan dalam sosial.
Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat
ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat
maraknya sebuah kejahatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri baik dari kalangan tua bahkan yang muda yang berdampak kepada
kehidupan bangsa dan negara pada masa sekarang ini dan yang lebih
mengkhawatikannya lagi akan terus-menerus terjadi dikehidupan sebuah masa
yang akan datang.6
Adanya sebuah kejahatan kekerasan atau penganiayaan yang ada
dimasyarakat khususnya di Indonesia, secara tidak langsung bisa membatasi
pergaulan bagi seseorang yang terlibat didalamnya baik pelaku terlebihlagi
korbannya itu sendiri. Oleh karena itu, larangan Islam tidak semata-mata
untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan
peradaban manusia yang pada dasarnya sebagai langkah baik agar tidak
melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang
telah disepakati masyarakat.7
6Andi Hamzah, System Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : PT. Pradya
Paramita, 1997), hal. 67. 7Rachmat Syafe’I, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, (Bandung : Pustaka
Setia, 2003), cet. 2, hal. 209.
4
Adapun salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana, namun
demikian persoalan ini masih sering dipermasalahkan. Penggunaan hukum
termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan sosial yang ada dimasyarakat.8
Sebenarnya Pembangunan suatu wilayah dalam hal mengurangi
tingkat kejahatan kekerasan atau penganiayaan itu menghendaki adanya cara
baru dan suasana baru yang sejalan dengan irama perkembangan zamannya.
Tentu hal ini akan membawa konsekuensi pada perlunya ditinggalkan cara-
cara mengatasi kejahatan yang sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu
dipertahankan lagi didalamnya. Oleh karena itu, pembangunan suatu wilayah
yang hanya berorientasi pada aspek fisik semata tidaklah cukup apabila tidak
disertai dengan pembangunan pada aspek nonfisik, seperti perubahan pada
cara berfikir yang berdasarkan konsep keagamaan.9Selain itu kemampuan
dalam bicara yang dibarengi dengan peningkatan daya otak memperkaya
hubungan sosial orang primitif dan mempertebal rasa kemasyarakatannya
pula.10
Jika dilihat secara mendalam pada dasarnya mencegah sebuah
kejahatan itu sendiri khususnya kekerasan atau penganiayaan bisa
dikategorikan dalam konsep Maqasid Al-Syari’ah yang bertujuan untuk
8Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung: Nusa Media, 2010), Cet.
1, hal. 19 9
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, urgensi perlindungan korban
kejahatan,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007) Cet.1, hal.15-16. 10
Willie Koen, The Community (Lingkungan Masyarakat),(PT. Tira Pustaka, 1987)
hal.16
5
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau mengambil
manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sederajat dengan inti dari maqasid
al-syari’ah tersebut adalah Maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat, untuk memahami hakikat dan peranan
maqasid al-syari’ah yang bertujuan memelihara Agama, Jiwa, Akal,
Keturunan dan Harta yang dimasukan dalam sebuah hukum jinayat ketika
melanggarnya.
Dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh
orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilangkan salah satu
panca indra.11
perbuatan kekerasan fisik menurut hukum pidana Islam dapat
digolongkan kepada perbuatan kejahatan terhadap nyawa atau badan orang
lain, perbuatan itu merupakan bentuk tindak pidana penganiayaan atas selain
jiwa, dapat juga dikatakan sebagai pelukaan (al-jarh) atau tindak pidana selain
jiwa (jinayatun ‘ala maaduunan nafs).12
Sedangkan tindak pidana selain selain jiwa didalamnya terdapat
penganiayaan atau kekerasan atas anggota badan dan semacamnya yang
meliputi diantaranya: pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji
pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, pemotongan
rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan
lidah.13
11
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), cet. 57,
hal. 429. 12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet.1,
hal.179 13
Ibid, hal. 181
6
Sebagai mana Firman Allah S.W.T :
ذن والسن وكتبنب عليهم فيهآأن النفس ببلنفس والعين ببلعين واألنف ببألنف واألذن ببأل
ببلسن والجروح قصبص ج فمن تصدق به,فهى كفبرةله
ج لمومن
يحكم بمآأنزل اهلل
) ( فؤولئك هم الظبلمىن
“Kami telah menetapkan bagi mereka dai dalamnya (Taurat) bahwa
nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya
(balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
zalim.”(Al-Maidah: 45).
Dari ayat diatas dapat disimpulakan bahwa kejahatan itu harus
dihukum seperti apa yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Tetapi pada kenyataannya sebuah kejahatan yang berkembang
dimasyarakat pada zaman sekarang, banyak menemukan sebuah kejadian
yang luar biasa dari kejahatannya itu sendiri sekaligus menghebohkan
dibeberapa kalangan masyarakat.
Sedangkan di Indonesia banyak sekali kejahatan khususnya kekerasan
yang bisa menghilangkan panca indra yang mengakibatkan cacat permanen
terlebih lagi di kota Bekasi khususnya. Karena kota Bekasi merupakan tempat
yang terkenal dengan kota Industri dan kota Produktif dalam barang-barang
serta jasa, sudah barang tentu banyak kejahatan khususnya kekerasan atau
penganiayaan yang terjadi didalamnya.
7
Melihat kejadian dari beberapa kejahatan khususnya kekerasan atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen yang terjadi, khususnya di
daerah Bekasi, Penulis ingin menghadirkan sebuah karya tulis yang di beri judul :
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU
PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN
(Analisa Putusan Nomer : 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI).” Sebagai bahan dan
syarat untuk menyelesaikan tugas akhir dari perkuliahan, serta berharap dengan
adanya skripsi ini para hakim khususnya bisa menghukum para pelaku kejahatan
selain dengan hukum yang ditentukan Negara khususnya hukum positif, bisa
menghukum dengan hukum Islamnya pula, yang berdasarkan dari hukum Allahnya
langsung. Agar menjalankan kewajiban dari sebuah Negara, menjalankan
kewajiban pula yang Allah tentukan yaitu, dengan menjalankan hukum-hukum
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah-sunnahnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Beberapa kejahatan yang ada, bisa terjadi kepada siapa saja baik antara
kelompok dengan kelompok seperti, kelompok SMA dengan kelompok SMA
lainnya, antara orang yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal, bahkan
antara keluarga terdekatpun bisa terjadi. Teramat banyak kasus kejahatan yang
ada adalah kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan oleh individu dengan
individu lainnya baik dikampung maupun dikota, dan lebih dikhususkannya
lagi dikota Bekasi sendiri.
8
Agar skripsi ini menjadi jelas terperinci dan menjadi lebih baik lagi,
penulis akan membahas apa yang menjadi isi pokok dari permasalahan yang
telah dirumuskan. Maka penulis merumuskan sebagai berikut :
1.Bagaimana faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen
dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif ?
2. Bagaimana isi Putusan Hakim Pengadilan Negri Bekasi perkara No.
443/Pid/B/2014/PN.BEKASI terhadap pelaku kekerasan atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen ?
3.Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap
putusan hakim Pengadilan Negri Bekasi perkara No.
443/Pid/B/2014/PN.BEKASI tindak pidana kekerasan atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen
dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif.
b. Untuk mengetahui isi putusan hakim Pengadilan Negri Bekasi
perkara No. 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI terhadap pelaku kekerasan
atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen.
9
c. Untuk mengetahui pandangan hukum islam dan hukum positif
terhadap putusan Pengadilan Negri Bekasi perkara No.
443/Pid/B/2014/PN.BEKASI perkara kekerasan atau penganiayaan yang
mengakibatkan cacat permanen.
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah wawasan yang luas tentang ilmu pengetahuan hukum,
khususnya dalam bidang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan
dalam pandangan hukum islam dan hukum positif.
b. Bermanfaat bagi peneliti agar mengetahui tentang tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan, khususnya dibidang hukum, dan
penerapannya terhadap pencegahan sebuah kejahatan.
c. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, penulisan ini menjadi
informasi untuk memperluas wawasan tentang tindak pidana kekerasan
atau penganiayaan yang terjadi didaerah Bekasi khususnya dan apa
hukuman bagi pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut.
D. Review Studi Terdahulu
Karya Abdul Qadir Audah At-tasyri Al-Jina’I Fil Islam,Beirut :Ar-
Risalah, 1992, Al-Islam wa Audhauna Al-Qanuniyah, Beirut, Dar Fikr 1989.
Adalah sebuah buku yang menjadi bahan rujukan hukum islam kaum
intelektual Mesir khususnya, dan dunia islam modern pada saat ini umumnya.
10
Skripsi karya Miftah Faridh yang berjudul Kekerasan Dalam
Penyidikan Menurut Hukum Positif (KUHP) dan Hukum Islam, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi karya Adi Supriatna yang berjudul Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Yang Mengakibatkan Luka
Berat, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada tulisan beliau menguraikan sebuah tindak pidanan
kekerasan secara kolektif saja, tidak menjelaskan jenis-jenis sebuah kekerasan
atau penganiayaan yang menjadi pokok dari rangkaian kejahatan.
Kelebihannya pada tulisan beliau adalah membahas tentang bagaimana
pertanggung jawaban pidana serta hukumannya menurut hukum islam itu
sendiri mengenai tindak pidana kekerasan secara kolektif.
Sedangkan perbedaan penulis dengan sebuah tulisan beliau adalah
terletak pada menjelaskan jenis-jenis sebuah kekerasan atau penganiayaan
yang menjadi pokok dari rangkaian kejahatan terhadap kekerasan atau
penganiayaan yang menjadi cacat permanen dalam bagian tubuh sikorban.
E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan dari data tulisan ini, penulis menggunakan
sistem metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
yang kualitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk
11
simbolik seperti pertanyaan tafsiran, tanggapan-tanggapan tidak
berupa ucapan lisan dan grafik-grafik. Dan biasanya diperoleh berupa
kata-kata, nilai, norma, aturan-aturan dari sebuah kejadian yang
diteliti, berupa memahami secara mendalam, mengupas isi masalah,
dan mencermati secara ilmiah serta kulaitatif dalam pembahasan
tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat
permanen.14
2. Jenis Data Yang Digunakan Dalam Penelitian
a. Data Primer yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber
primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data
tersebut yang berupa suatu putusan pengadilan Negri Bekasi
tentang Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, Pasal 351 ayat (2) tentang Kekerasan.
b. Data Skunder yakni data yang diperoleh dari sumber bukan asli
memuat informasi atau data tersebut seperti bahan-bahan
hukum, internet (website) yang ada korelasinya dengan
pembahasan materi yang menjadi pokok pembahasan masalah
yaang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu Nomor:
443/Pid/B/2014/PN. Bks.15
3. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
14
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian,( Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995 ), cet.3, hal.119 15
Ibid, hal.132.
12
Tinjauan tentang teknik analisa data ini menggunakan tinjauan
kualitatif yaitu dengan membaca dan memahami dari beberapa literatur dan
refrensi-refrensi yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan yang
mengakibatkan cacat permanen dan argumen dari pembahasanya. Yang
ditujukan untuk memberikan ulasan secara jelas, sistematis, objektif dan
menguraikan apa adanya. Baik yang secara ungkapan sebuah lisan ataupun
ucapan yang tidak dispesifikan lagi menjadi sebuah variable yang terpisah
melainkan dipandang secara universal.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam
bentuk teks yang naratif.16
Adapun sebuah metode penulisan ini, penulis mengacu kepada sebuah
tulisan skripsi, yang dihadirkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, tahun
2013.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penyusunan penulisan skripsi ini maka penulis
terlebih dahulu akan menguraikan sistematika penulisan yang digunakan,
sehingga dengan jelas menguraikan pokok-pokok permasalahan dan
pemecahannya. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
16
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohili, (Jakarta: UI Perss, 1992), hal. 137.
13
BAB I : PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang : Latar Belakang
Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika
Penelitian.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN
Merupakan bab pembahasan yang menerangkan tentang : Pengertian Tindak
Pidana, Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya, Tujuan
Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang ditinjau dari hukum
positif dan Pengertian Tindak Pidana, Macam-macam Tindak Pidana dan
Hukumannya, Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang
ditinjau dari hukum islam.
BAB III : TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN
Merupakan bab pembahasan yang mengkhususkan dari inti skripsi yang
ditulis tentang : Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan,
Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan
yang ditinjau Menurut Hukum Positif dan Pengertian Tindak Pidana
Kekerasan atau Penganiayaan, Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana
Kekerasan atau Penganiayaan, dan Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana
Kekerasan atau Penganiayaan yang ditinjau Menurut Hukum Islam.
14
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGRI BEKASI
Merupakan Bab Analisis Putusan Hakim Terkait Tentang Tindak Pidana
Kekerasan Atau Penganiayaan Tentang: Putusan Nomer :
443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi, yang didalamnya terdapat, Deskripsi Putusan
Pengadilan, Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tentang
Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat
Permanen.
BAB V : PENUTUP
Merupakan bab terakhir dari Skripsi ini yang berisi tentang : Kesimpulan dari
apayang dibahas dalam skripsi diatas dan Saran yang bermuatan positif agar
bisa menjadi bahan yang dipertimbangkan untuk menjadi lebih baik dan
membangun lagi dalam pembahasan maupun penulisannya.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM
PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Menurut Hukum Positif
1. Pengertian Tindak Pidana
Menurut Prof. Moeljanto, S.H. tindak pidana ialah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.1
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana
yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa
merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan
hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan
sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan
ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan
atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap
setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan
demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan
pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan
larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara
1 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal.
54.
16
kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan
yang erat pula.2
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Straftbaar Feit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu
hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian
yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum
pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.3
Perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila
tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang
oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”Adapun perumusan tersebut
yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan
2 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal.
54. 3 Kertonegoro, pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, (Jakarta: Yayasan
Tenaga Kerja Indonesia, 2001), hal. 62.
17
memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan
hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.4
Adapun ruanglingkup berlakunya hukuman tindak pidana adalah berlaku
bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai dengan asas
ruanglingkup berlakunya, asas ruanglingkup berlakunya aturan tindak pidana
ada empat macam:
1). Asas Teritorialitas
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang
menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Yang dimaksud tujuan dari pasal ini adalah bermuara pada konteks
universal supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat
terbang yang berada di perairan bebas atau yang berada di wilayah udara bebas,
tidak termasuk wilayah teritorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili
apabila terjadi suatu perbuatan pidana dari setiap masing-masing Negaranya itu
sendiri.
4 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana,( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal.
130.
18
2). Asas Nasionalitas Aktif
Yakni apabila warganegara Indonesia melakukan kejahatan meskipun
terjadi di luar Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia,
apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia.
Sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di negara
asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat
dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP.
3). Asas Nasionalitas Pasif (Non Aktif)
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap
negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau
kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang
tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia
merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan
nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional
tersebut ialah:
(1). Keselamatan kepala atau wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara
serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI
pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
(2). Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
(3). Keamanan perekonomian;
(4). Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
(5). Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
19
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap
negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau
kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang
tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia
merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan
nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional
tersebut ialah:
a. Keselamatan kepala atau wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan Negara
serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang
RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
b. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
c. Keamanan perekonomian;
d. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
4). Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang
melakukan perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana
Indonesia di luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh
dunia. Asa ini melihat hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang
wilayah dan orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis
kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak
20
hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara
universal kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.5
2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya
Tindak Pidana menurut sistem KUHP kita terbagi kedalam dua bagian;
Pertama, kejahatan yang bisa didefinisikan sebagai peristiwa pidana atau
perbuatan melanggar hukum yang dipidana berdasarkan asas legalitas Pasal 1
ayat 1 KUHP artinya suatu perbuatan penjahat dapat dipidana (dihukum)
berdasarkan adanya undang-undang pidana.6
Sedangkan menurut sebagian
pakar hukum menyatakan perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan
dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, akan tetapi telah dirasakan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.7
Kedua, pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan,
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan dengan
demikian yang bisa diartikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan undang-undang pidana ditentukan lebih ringan
pidananya dari pada kejahatan.8 Pembagian dua jenis ini, tidak ditentukan
dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian
adanya.9
5 Teguh Prastyo, Hukum pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 41
6 Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi),
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, hal. 33 7 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal, 71
8 Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 2,
hal. 95 9 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal.
54.
21
Adapun jenis hukuman yang ada diIndonesia khususnya seseorang
melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi berupa penjara disertai denda
yang dalam hal ini dilihat dari pandangan menurut hukum pidana positif
(KUHP) dan diluar (KUHP) ada dua macam juga, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan.
a. Pidana pokok, meliputi:
1). Pidana Mati
Hukuman mati adalah hukuman yang dilaksanakan untuk
menghilangkan nyawa terhukum. Menurut Pasal 11 KHUP, hukuman mati
dilakukan oleh algojo pada tempat gantungan dengan mengeratkan tali yang
terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri.10
2). Pidana Penjara
Pidana Penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan
orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam
lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib
bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.11
10
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 118. 11
P.A.F. Laminating dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 54. Untuk batasan minimum dan maksimum pidana menurut pasal 12 KUHP:
22
3). Pidana Kurungan
Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentukk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan ini dalam beberapa hal lebih ringan
dari pada pidana penjara. Keringanan tersebut diantaranya seperti pidana
kurungan mempunyai hak pistol.12
4). Pidana Denda
Secara umum, kata denda berarti hukuman yang berupa harus membayar
dengan uang atau bisa juga diartikan dengan uang yang harus dibayarkan
sebagai hukuman karena melanggar hukum. Sedangkan dalam bahasa Belanda
hukuman denda berasal dari kati vermogenstraf yang berarti hukuman
kekayaan.13
5). Pidana Tutupan (ditambah UUNo. 20/1946).
Pidana ini adalah salah satu pidana yang menghilangkan kemerdekaan
namun lebih berat dari pada hukuman denda hukuman ini biasanya diberikan
kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Indonesia yang
melakukan kejahatan dan telah berjasa kepada Negara.14
b. Pidana Tambahan, meliputi:
1). Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Pidana penjara ialah seumur hudup atau selama waktu tertentu (ayat 1), Pidana penjara selama
waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut (ayat 2). 12
Hak pistol ialah hak atau kesempatan para terpidana kurungan untuk mengurus makanan
dan alat tidur sendiri. Lihat Pasal 23 KUHP. 13
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni 1992), hal. 119. 14
Andi Hamzah, Asas-asas hukum Pidana ((Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997), hal. 191
23
Pencabutan hak-hak tertentu bersifat sementara, berkisar antara 2-5
tahun lebih lama daripada pidana pokok. Kecuali jika dijjatuhi pidana mati atau
penjara seumur hidup, maka lamanya pidana pencabutan hak adalah seumur
hidup.15
2). Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana ini bertujuan untuk mencegah pengurangan atau penggantian dari
barang-barang hasil kejahatan. Barang-barang yang boleh dirampas ialah
corpora delicta (barang-barang milik si terpidana yang diperoleh sebagai hasil
dari kejahatan) dan instrumenta delicta (barang-barang milik terpidana yang
digunakan untuk melakukan kejahatan).16
3). Pengumuman Putusan Hakim.17
Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada
khalayak ramai agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati
terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang
mana kesemuanya di tanggung atas biaya si terhukum. Jadi, cara-cara
menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan.18
Disamping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif
dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya:
15
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya ( Jakarta : BPK
Gunung Muria, 1996), hal. 142. 16
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),
hal. 144. 17
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 10. 18
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,… hal. 112-113.
24
a. Penempatan dirumah sakit jiwa bagi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
terganggu penyakit;
b. Bagi anak yang berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat
mengembalikan kepada orang tuanya, memerintahkan agar anak tersebut
diserahkan kepada pemerintah.19
3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pemikiran yang menjadi landasan aktivitas Union tentang tujuan
penghukuman ini adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat,
agar bagi pelaku tindak pidana merasakan efek jera dalam melakukan kejahatan
dan tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan lainnya.20
Menurut Andi Hamzah, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan dari pidana ada
empat bagian:
1. Pembalasan (revenge)
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan mala petaka pada orang lain,
menurut alas an ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2. Penghapusan Dosa (ekspiantion)
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religious yang bersumber dari
Allah.
19
Teguh Prastyo, Hukum pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 98. Lihat juga
pasal 44 ayat 2 dan pasal 45 KUHP. 20
Ibid, hal. 74-75.
25
3. Menjerakan
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilition of the criminal).
Pidana ini ditetapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun
agar tidak mengulangi kejahatannya.21
B. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana (jarimah) didefinisikan oleh imam al-Mawardi
sebagai berikut:
حؼضيش ب ثحذ ا ساث ششػيخ صجشاهلل ػ يحظ
“segala larangan syara‟ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had
atau ta‟zir.22
Sedangkan hukuman atau dalam hukum pidana islam disebut juga
sebagai „uqubah yang menurut bahasa berasal dari kata عقوبا ج عقب yang artinya
mengikuti atau mengiringi.23
Sedangkan menurut istilah derita atau nestapa
yang ditetapkan bagi suatu perbuatan yang dilarang, yang didasarkan kepada
sumber dan dalil hukum islam. Abdul Qadir Audah mendefinisikan hukuman
sebagi sanksi hukum yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan umat khususnya
21
Andi Hamzah, Asas-asas hukum Pidana ((Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997), hal. 193 22
A.Djazuli, fiqh jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), (PT
RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 28. 23
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990),
hal. 274.
26
masyarakat karena melanggar perintah syar‟i (Allah SWT dan Rasul-Nya).24
Ibnu „Abidin dari ulama madzhab Hanafi mendefinisikan bahwa hukuman
penghalang sebelum melakukan, ancaman sesudahnya. Maksudnya, dengan
mengetahui syari‟atnya menghalangi keberanian melakukan dan terjerumusnya
sesudahnya menghalangi kembali kepadanya.25
2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya
Berdasarkan suatu ketentuan yang ada dalam hukum pidana islam,
hukuman mempunyai macam-macamnya diantaranya hukuman ditinjau dari
segi terdapat dalam nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya
hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang
yang mendzihar istrinya. Sedangkan yang tidak ada nashnya hukumannya
disebut ta‟zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
amanah, sanksi palsu, dan melanggar aturan lalu-lintas.26
a. Hudud
Hudud secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata حد ج حدودا
yang berarti عقوبة (hukuman).27
Sedangkan menurut istilah hudud adalah
batasan-batasan ketentuan dari Allah SWT tentang hukuman yang diberikan
kepada orang-orang yang berbuat dosa atau melanggar hukum. Sedangkan
24
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid III, Penerjemah: Tim
Tsalisah, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 19 25
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Puidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005),
cet. 5, hal. 225 26
A. Djazuli, fiqh jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), (PT
RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 28. 27
Ahmad Warson Munawir, Al Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hal. 243.
27
perbuatan melanggar hukum disebut jarimah, sehingga sebuah pelanggaran
terhadap hudud disebut jarimah hudud. Adapun secara umum pengertian hudud
berarti larangan atau batas antara dua barang yang bertentangan.28
Jadi hukuman
hudud adalah sanksi dari sebuah hukum yang ditetapkan untuk jarimah hudud.
Sedangkan dari sebuah pengertian jarimah hudud adalah perbuatan
pidana dimana bentuk tindak pidana dan batas hukumannya sudah ditetapkan
secara khusus (eksplisit) oleh nass-nass syara‟, baik dari al-qur‟an dan hadits,
dimana tindak pidana tersebut menyangkut hak Allah. Yang ditetapkan
sanksinya berupa had (ketetapan dalam al-qur‟an dan sunnah). Hukumannya
berupa rajam, jilid atau dera, amputasi tangan, eksekusi bunuh, pengasingan
atau deportasi, dan salib.29
Adapun contoh hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan
tindakan seperti hukuman orang melakukan zina yang muhsan maka harus
dihukum dengan hukuman rajam, yang ghoiru muhsan harus dicambuk atau
dera 100 kali sekaligus diasingkan, kemudian dicambuk 80 kali bagi yang
menuduh berzina atau yang disebut qadzaf, sedangkan yang syurb al-khamar
(meminum minuman keras) dihukum dengan 40 atau 80 kali dera, adapun al-
baghyu (pemberontakan) diancam dengan pidana mati, sariqah (pencurian)
hukumannya harus potong tangan atau amputasi tangan, hirabah diancam
hukumannya dengan pidana mati, penyaliban, dan pengasingan dan riddah
(murtad) dihukum dengan hukuman mati.
28
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal.106. 29
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.13.
28
b. Qishas
Secara bahasa qishas berasal dari kata اصصق-صقي -صق yang berarti هعبتت
(mengikuti), menelusuri jejak langkah. Sedangkan menurut istilah yang
dikemukakan oleh Al-Jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi
hokum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku
tersebut (terhadap korban).30
Dalam fiqih jinayah, sanksi qishas ada dua macam, yaitu sebagai
berikut:
1). Qishas karena melakukan jarimah pembunuhan
2). Qishas karena melakukan jarimah kekerasan atau penganiayaan
Ulama fiqih membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga kategori,
yaitu:
1). Pembunuhan Sengaja
Adapun jarimah ini sanksinya terdapat dalam firman Allah sebagai
berikut.
ا كتت ػهيكى انقصبص فى انقتهى أي يآيبانزيقهى
انحش
خى خى ثبنب انب انؼجذ ثبنؼجذ ثبنحش
قهى ثبحسب ادآء اني ف ؼش شيء فبتجبع ثبن اخي ,ي ػفي ن ف
قهى, ػزاة انيى رانك فه
(٨٧١ ح) انجقش
”Hai orang-orang yangberiman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
30
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2003), cet. Pertama, hal.4.
29
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar (diyat)
kepada yang member ma‟af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih. (Qs. Al-
Baqara: 178).
Ayat ini berisi tentang hukuman qishas bagi pembunuhan yang dilakukan
kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak mema‟afkan
pelaku. Adapun keluarga korban mema‟afkan pelaku, maka sanksi qishas tidak
berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat.31
2). Pembunuhan semi sengaja atau pembunuhan tersalah
3). Pembunuhan tersalah
Ketiga pembunuhan diatas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam
Malik. Mengenai hal ini, Abdul Qodir Audah mengatakan perbedaan pendapat
mendasar bahwa imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi sengaja,
karena menurutnya didalam Al-Qur‟an hanya jenis pembunuhan sengaja dan
tersalah. Barangsiapa menambah satu macam lagi, berarti ia menambah
ketentuan nash.32
c. Diyat
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan kekerasan atau
penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. meskipun bersifat hukuman,
namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban bukan kepada
31
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2003), cet. Pertama, hal.5. 32
Ibid. hal. 6.
30
perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip gengan ganti kerugian
apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material
yang terjadi yang terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya
terhadap jarimah.33
Adapun dasar dari hukuman diyat ini terdapat dalam firman Allah SWT.
ى ي اق يؤي كى يؤي ا يشيذ أخشي ستجذط
افيب خ اسكس آإنى انفت كهب سدد
فب
ى حيج حقفت اقته ى ى فخز آايذي يكف آانيكى انسهى يهق كى ى نى يؼتضن ط
انـئكى
ى ( ١٨سهطببيجيب ) انسآء : جؼهب نكى ػهي
“Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang
bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya,
Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun
kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau
mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka
(dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan orang-
orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan
membunuh) mereka. (Qs. : Annisa Ayat 91).
Adapun hadits yang menerangkan tentang diyat adalah
سسل اهلل صهى اهلل ػهي سهى كتت ػ أثى ثكش ي ػشث حضو ػ أثي ػ جذ : أ
في اال ف إرا أػت جذػ انذيخ في انهسب إني أم انيي كتبة كب في كتبث ... إ
ي اانذيخ في انشفتي انذيخ في انجيضتي انذيخ في انزكش انذيخ في انصهت انذيخ ف
خ حهج انذيخ في انجبئفخ حهج اناحذدح صف انذيخ في انؤيانؼيي انذيخ في انشجم
انذيخ في انقهخ خسخ ػشش يبإلثم في كم أصجغ ي اصبثغ انيذانشجم ػشش ي
33
A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1997), cet. 2,
hal.155-156
31
انشجم يقتم ثبنشأح ػهى ام انزة أنف ديبس اإلثم في انضحخ خس ي اإلثم إ
بئى( )سا انس
Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam suratnya
itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai gerumpung
adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu diyat, pada dua
telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang belakang satu diyat,
pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat, pada ma‟munah (luka
yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada dibelakang otak) sepertiga
diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan, yaitu bagian leher, dada, dan
perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang membuat tulang beralih dari
tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan
atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima
ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di qishash) dengan perempuan, dan untuk
pemilik emas diyatnya seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).34
Dari kedua dasar dalil diatas diyat dalam pembunuhan sengaja itu bukan
hukuman pokok, melainkan hukuman pengganti dari qishas bila qishas itu tidak
dapat dilaksanakan atau dihapus dengan sebab-sebab yang telah disebut
dimuka.35
d. Ta’zir
Ta‟zir menurut bahasa سضػ yang sinonimnya ةدأ yang artinya mendidik
atau ىظػ yang artinya mengagungkan dan menghormati.36
Sedangkan menurut
istilah ta‟zir didefinisikan oleh Al-Mawardi ta‟zir adalah “hukuman yang
bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’.”
34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41. 35
A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1997), cet. 2,
hal.155-156 36
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung), cet. 8,
hal. 37 dan 272
32
Kemudian Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta‟zir secara rinci kepada
beberapa bagian, yaitu:
1). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuman mati dan jilid
2). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang atau pelukaan,
seperti hukuman penjara dan pengasingan
3). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan,
perampasan harta, dan menghancurkan barang
4). Jarimah ta’zir lain yang ditentukan ulil amri demi kemaslahatan umum
seperti, kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.37
3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat Islam
adalah:
1). Pencegahan ( ( انضجشانشدع
Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia
tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Disamping mencegah pelaku,
pencegah juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak
ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang
dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga
melakukan perbuatan sama.
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet.
2, hal. 248-256.
33
2). Perbaikan dan Pendidikan ( يت انتز ( اإلصالح
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku
jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini
terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap pelaku. Dengan adanya
hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa
ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena
kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan
mendapat ridha dari Allah SWT.
3). Kemaslahatan Masyarakat.
Pada dasarnya bermuara pada sebuah keinginan agar para pelaku tindak
pidana menyadari akan pentingnya syariat Islam yang harus dijalani dalam
kehidupan sehari-hari, maka dari itu Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa
prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu
menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana
dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak
pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara
stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk
memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi
segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentraman masyarakat yang menghendaki.38
38
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal.
157-158.
34
BAB III
KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU
PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum
Pidana Positif
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan
Kekerasan atau Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimuat artinya sebagai perlakuan sewenang-wenang dengan penyiksaan,
penindasan dan sebagainya terhadap korban kekerasan atau penganiayaan.1
Perumusan dalam tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dalam sebuah
pasal adalah gambaran rumusan secara umum, karena tidak dijelaskan secara
rinci bagaimana bentuk kejahatannya, tetapi yang dirumuskan hanya sebuah
akibat dari kekerasan atau penganiayaan saja, akan tetapi dalam sebuah ilmu
pengetahuan telah didefinisikan ialah dengan sengaja yang dapat
menimbulkan nestapa, rasa sakit, atau merusak kesehatan orang lain.2
Dengan demikian, seseorang dapat disebut sebagai pelaku kekerasan
atau penganiayaan apabila dilakukannya dengan sengaja yang dapat
menimbulkaan rasa sakit, menimbulkan luka, ataupun merugikan dari
kesehatan orang lain.3 Lain halnya ketika dalam konteks kedokteran, apabila
seorang dokter melakukan sebuah operasi seperti mengamputasi kaki
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 70. 2 Suharto, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 50.
3 P.A.F. Laminating, “Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan
Kesehatan, hal. 132
35
pasiennya maka tidak bisa dikatakan sebagai pelaku tindak pidana kekerasan
atau penganiayaan.4
2. Klasifikasis dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan
Bedasarkan unsur kesalahannya, tindak pidana ini dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1). Tindak Pidana Yang Disengeja
Tindak Pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dapat dibedakan
menjadi empat macam, yaitu kekerasan atau penganiayaan biasa, kekerasan
atau penganiayaan ringan, kekerasan atau penganiayaan berencana, kekerasan
atau penganiayaan berat.5
Adapun sanksi bagi seseorang yang melakukan tindak pidan kekerasan atau
penganiayaan yang disengaja terdapat Dalam pasal:
(a). 351 KUHP tentang kekerasan atau penganiayaan biasa (ayat 1)
dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2) diancam
pidana penjara paling lama lima tahun, kekerasan atau penganiayaan yang
mengakibatkan kematian (ayat 3) dikenai pidana paling lama tujuh tahun
penjara, dan kekerasan atau penganiayaan yang berupa sengaja merusak
4
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya, 1986), hal. 134. 5Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 8.
36
kesehatan (ayat 4) serta percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana (ayat 5).6
(b). 352 KUHP tentang kekerasan atau penganiayaan ringan dengan
ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah, namun hukuman tersebut dapat ditambah
sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang
bekerja padanya atau menjadi bawahannya.7 Percobaan melakukan kekerasan
atau penganiayaan yang dimaksud dalam pasal 352, tidak dikenai hukuman.
Akan tetapi, percobaan melakukan kekerassan atau penganiayaan yang
dimaksud dalam pasal 353, 354, dan 355 tidak dikecualikan dari hukuman.8
(c). 353 tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan berencana,
dalam pasal ini hukuman bagi seseorang yang melakukannya dijatuhi
kukuman pidana penjara paling lama empat tahun terdapat dalam ayat (1)
tentang direncanakan terlebih dahulu. Sedangkan dalam ayat (2) dijatuhi
hukuman pidana penjara paling lama tujuh tahun apabila perbuatannya itu
mengakibatkan luka berat, jika sampai pada kematian maka terdapat dalam
ayat (3) yang akan dijatuhi pidana penjara paling lama Sembilan tahun.9
(d). 354 tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan berat biasa
dengan ancaman pidana penjara paling lama delapan tahun (pasal 354 ayat
(1)), dan kekerasan atau penganiayaan berat yang menimbulkan kematian
6 Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 16-17. Dan Lihat Pasal 351 KUHP 7 Pasal 352 KUHP
8M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya, 1986), hal. 136. 9 Pasal 353 KUHP
37
dapat dijatuhi ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun (pasal 354
ayat (1)).10
2). Tindak Pidana Karena Kealpaan
Dalam pasal 360 KUHP dimuat hanya satu ketentuan mengenai tindak pidana
terhadap tubuh yang dilakukan karena kealpaan, adanya unsur subjektif
karena kealpaan dan unsur objektif karena kekerasan atau penganiayaan yang
karena kealpaan dapat mengakibatkan luka berat dan menimbulkan rasa sakit
serta mengakibatkan kecacatan seumur hidup atau cacat permanen. Tetapi
unsur yang terpenting dalam kekerasan atau penganiayaan adanya unsur
kesalahan atau kejahatan yang dilakukan secara lupa.11
Adapun sanksi bagi setiap seseorang yang melakukan tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan yang tidak disengaja terdapat dalam pasal 360
KUHP, yang berbunyi:
i. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun
ii. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaanjabatan atau pencarian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau pidana
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.12
10
Pasal 354 KUHP. Akibat kematian bukanlah yang menjadi tujuan, yang diinginkan
hanya pada luka beratnya saja. Adapun kematian hanya faktor untuk memperberat pidana
pada kekerasan atau penganiayaan berat saja dan bukan syarat sebagai terjadinya kekerasan
atau penganiayaan berat. Dalam Adami Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh…”, hal. 33. 11
Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), hal. 51. 12
Pasal 360 KUHP
38
Dari sebuah pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya
kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh seseorang yang dikarenakan tidak
sengaja kemudian mengakibatkan luka berat dapat diancam hukuman penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan, jika
hal tersebut menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan terhadap menjalankan pekerajaa jabatan serta
pencarian selama waktu tertentu, maka diancam dengan pidana penjara paling
lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda
paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
3. Penganiayaan Yang Menyebabkan Cacat Permanen
Cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak) sedangkan
permanen yang berarti tetap (tidak untuk sementara waktu) berlangsung lama
(tanpa perubahan yg berarti)13
Dalam hal ini penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen
adalah penganiayaan terhadap anggota tubuh yang dibedakan dalam
penyebutannya saja agar lebih khusus lagi dalam anggota tubuh mana yang
dilukai sehingga mengalami kecacatan, karena pada dasarnya dalam
penganiayaan ini sama istilahnya yang disebutkan dalam hukum pidana
Positif maupun hukum pidana Islam itu sendiri yang pada intinya sama-sama
13
http://kbbi.web.id/cacat, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi
online/daring (dalam jaringan),
39
pelukaan terhadap anggota tubuh yang dilakukan oleh seseorang kepada
angota tubuh orang lain.
B. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum
Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan
Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan jarimah yang
berasal dari kata (جرم) yang sinonimnya ( كسبو قطع ) yang berarti berusaha
dan bekerja yang dalam hal ini khusus untuk pengertian usaha yang tidak baik
atau dibenci oleh manusia. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik definisi
yang jelas bahwa pengertian jarimah secara bahasa adalah melakukan setiap
perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus
(agama).14
Menurut Ahmad Wardi Muslich sebagaimana dikutip dari Abdul Qadir
Audah dalam kitabnya yang berjudul Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, jarimah
kekerasan atau penganiayaan atau tindak pidana selain jiwa adalah setiap
perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai
menghilangkan nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana selain jiwa adalah
setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan
anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan nyawanya tidak
terganggu.15
14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
Cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 9. 15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet.
2, hal. 179.
40
Menurut sebagian fukaha, kekerasan atau penganiayaan (tindak pidana
selain jiwa) adalah perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang,
namun tidak mengakibatkan kematian. Ini adalah pendapat yang sangat teliti
dan mampu memuat setiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa
digambarkan, sehingga masuk di dalamnya: melukai, memukul, mendorong,
menarik, memeras, memotong rambut dan pencabutannya, dan lain-lain.16
2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan Atau
Penganiayaan
Unsur-unsur tindak pidana kekerasan atau penganiayaan secara umum
harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah, yaitu:
a. Rukun syar’i ( unsur formil )
yaitu nash yang melarang perbuatan dan mengancam perbuatan
terhadapnya. Terdapat lima masalah pokok sebagai berikut:
1). Asas Legaitas Tindak Pidana KekerasanAtau Penganiayaan.
Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai jarimah dan harus dituntut
apabila ada nash yang melarang dan mengancamnya dengan hukuman. Hal ini
sesuai dengan kaidah syari‟at Islam yang berbunyi :
ال حكى ال فعبل ءانعقال قجم سد انض
Artinya: “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan
orang-orang yang berakal sehat”.17
16
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum PIdana Islam, (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008), hal. 19. 17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 29.
41
Untuk tindak pidana kekerasan atau penganiayaan ketentuannya tercantum
dalam :
(a). Qs. Al- Baqarah ayat 179:
(٢:٩٧١) نكى في انقظبص حيبح يب أني انؤنجبة نعهكى تتق
Artinya :“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
(b). Qs. Al- Maidah: 45:
ثبأل األر ف ف ثبأل األ ثبنعي انعي انفس ثبنفس آأ ى في ب عهي كتج انس ر
ح قظبص انجش ثبنسج ف كفبسحن ,ف تظذق ث
ج نى ي
زل اهلل آأ يحكى ث
) ( ى انظبن فؤنئك
Artinya:” Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengantelinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun)
adakisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itulah orangorang
zalim”.18
(c). Hadits „Amr Ibn Hazm:
سسل اهلل طهى اهلل عهي سهى ع أثى ثكش ي عشث حزو ع أثي ع جذ : أ
في اال ف إرا أعت جذع انذيخ في كتت إني أم انيي كتبة كب في كتبث ... إ
انهسب اانذيخ في انشفتي انذيخ في انجيضتي انذيخ في انزكش انذيخ في انظهت انذيخ
خ ثهث انذيخ في يخ في انؤيفي انعيي انذيخ في انشجم اناحذدح ظف انذ
18
Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro , 2008), hal.115.
42
سخ عشش يبإلثم في كم أطجع ي اطبثع انيذانشجم انجبئفخ ثهث انذيخ في انقهخ خ
انشجم يقتم ثبنشأح عهى ام انزة عشش ي اإلثم في انضحخ خس ي اإلثم إ
أنف ديبس )سا انسبئى(
Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam
suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai
gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu
diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang
belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,
pada ma‟munah (luka yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada
dibelakang otak) sepertiga diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan,
yaitu bagian leher, dada, dan perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang
membuat tulang beralih dari tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas
ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi
lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di
qishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar.
(HR. An-Nasa‟i).19
2). Sumber Aturan Jarimah Kekerasan atau Penganiayaan.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber aturan tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan terdiri dari dua, yaitu:
(a) Al-Qur‟an, yakni tertulis dalam QS. Al- Baqarah ayat 179 dan Qs.Al-
Maidah ayat 45.
(b) As-Sunnah, ialah apa yang bersumber dari Rasul, baik perkataan
(qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan ketetapannya (takririyah).
Adapun hadits yang menerangkan tentang hukuman tindak pidana
penganiayaan adalah hadits dari „Amr Ibn Hazm.
3). Masa Berlakunya Aturan Jarimah Kekerasan atau Penganiayaan.
19
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41.
43
Dalam hukum positif, ketentuan tentang masa berlakunya peraturan ini
dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia. Pasal tersebut berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang undangan yang
telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.20
Menurut hukum pidana Islam ketentuan masa berlakunya peraturan
pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum pidana positif. Seperti halnya
dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum pidana Islam berlaku
sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum
peraturan itu dikeluarkannya atau ditetapkan.Dengan demikian, peraturan
pidana dalam hukum postif tidak berlaku surut.
4). Lingkungan Berlakunya Aturan Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan
Pada dasarnya syari’at Islam bukan syariat regional atau kedaerahan,
melainkan syari’at yang bersifat universal dan internasional. Akan tetapi tidak
semua orang percaya kepada syari’at Islam , sedangkan syari’at ini tidak
mungkin dipaksakan maka dalam kenyataannya syari’at Islam hanya dapat
diterapkan di negerinegeri yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin saja.
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam,
secara teoritis para fukaha membaginya dalam dua bagian yaitu negeri Islam (
.( دارالحرب ) dan negeri bukan Islam ( داراالسالم21
20
Redaksi Sinar Grafika, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 3. 21
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2,
(Jakarta: SinarGrafika, 2006), hal. 53.
44
5). Asas Pelaku Atau Terhadap Siapa Berlakunya Aturan Tindak Pidana
Kekerasan atau Penganiayaan.
Hukum pidana syari‟at Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak
membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syari‟at
Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum sama tingkatannya.
Tidak ada perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin, bangsawan dan
rakyat jelata serta penguasa dan penduduk biasa. Dalam Islam perbedaan
tingkatan itu hanya satu, yaitu yang paling taqwa saja disisi sang pencipta
yaitu Allah SWT.22
b. Rukun Maddi (unsur materil)
yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-
perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur materil adalah perbuatan
atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat.
Dalam jarimah zina unsur materilnya adalah perbuatan merusak keturunan,
dalam jarimah qodhaf unsur materilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan
zina, jarimah pembunuhan unsur materilnya adalah perbuatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Sedangkan jarimah kekerasan atau penganiayaan unsur materilnya
adalah perbuatan yang mengakibatkan pencederaan pada tubuh orang lain.
Perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai dilakukan dan
adakalanya tidak selesai karena ada sebab-sebab dari luar.Jarimah yang tidak
selesai ini dalam hukum positif disebut perbuatan percobaan. Disamping itu,
22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2,
(Jakarta: SinarGrafika, 2006), Ibid, hal. 41.
45
perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang dan
bersama-sama dengan orang lain, dalam hukum positif ini dinamakan dengan
turut serta melakukan jarimah.23
c. Rukun Adabi (unsur moril)
yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap
jarimah yang diperbuatnya.24
Mengenai pertanggungjawaban seseorang, ada kaidah yang berbunyi:
ال يكهف ششعب إال ي كب قبدسا عهى فى دنيم انتكهيف أال نب كهف ث ال يكهف ششعب
و ن عهب يحه عهى إيتثبن إال ثفعم يك يكذس نهكهف يعه
Artinya: “Menurut syara‟ seseorang tidak dapat diberi pembebanan
(taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk
mengerjakannya. Dan menurut syara‟ pula seseorang tidak dibebani taklif
kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta
diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tersebut”.25
Kaidah di atas menyatakan tentang syarat-syarat yang terdapat pada
pelaku. Adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam. Pertama,
Pelaku sanggup memahami nash-nash syara‟ yang berisi hukum taklifi.
Kedua, pelaku pantas untuk dimintai pertanggungjawaban dan di jatuhi
hukuman. Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga
macam:
1) Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
23Ibid, hal. 41. 24
Ibid, hal. 6 25
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2,
(Jakarta: SinarGrafika, 2006), hal. 30.
46
2) Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan
kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
3) Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.26
Adapun sanksi-sanksi bagi seseorang yang melakukan tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan sebagai berikut:
1. Qishash
Pengertian qishash sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Hanafi
yang dikutip dari Muhammad Abu Zahrah adalah:
قظبص ا يز نجبنجبى ي انعقثخ انبديخ يثم يبأزل ثهجي عهي
Artinya: “Qishsah adalah memberikan hukuman kepada pelaku perbuatan
persis apa yang dilakukan kepada sikorban.”27
Qishsah merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan
objek (sasaran) jiwa ataupun anggota badan yang dilakukan dengan sengaja,
seperti membunuh, melukai menghilangkan anggota badan.28
Dalam penganiayaan, hukuman qishash dapat dikenakan pada tindak pidana
sebagai berikut:
a. Perusakan terhadap athraf dan sejenisnya dengan sengaja.
26
Maksudnya adalah 1). Pelaku mengetahui hukum- hukum taklifi dan untuk itu
maka hokum tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. Dengan
demikian maka hal ini berarti tidak ada jarimah kecuali dengan adanya nash (ketentuan). 2).
Pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat . hal
ini berarti ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak menaati peraturan
atau ketentuan hukum tersebut. Dengan demikian, maka pengertiannya adalah bahwa suatu
ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumnya. 27
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
cet. 5, hal. 255. 28
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakrta: Pustaka Setia, 2000),
hal. 125.
47
Athraf menurut para fuqaha adalah tangan dan kaki, pengertian
tersebut kemudian diperluas kepada anggota badan yang lain sejenis athraf,
yaitu jari, kuku, bulu mata, gigi, rambut, jenggot, alis, kumis, hidung, lidah,
zakar, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan bibir kemaluan perempuan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perusakan athraf ialah tindakan berupa
pemotongan seperti pada tangan dan kaki, pencongkelan seperti pada mata,
dan pencabutan seperti pada gigi, serta tindakan lain yang sesuai dengan jenis
anggota badannya.29
b. Menghilangkan Manfaat Anggota Badan Secara Sengaja.
Menghilangkan manfaat anggota badan bukan berarti menghilangkan
jenis anggota badan itu sendiri.Maksudnya, yang hilang hanya manfaatnya
saja sedangkan jenis anggota badannya masih tetap ada.Manfaat anggota
badan ada yang menyatu seperti kemampuan memegang dengan
tangan.Adapun manfaat anggota badan yang tidak menyatu dengan anggota
badan misalnya adalah kemampuan mendengar (daya pendengaran) terpisah
dari telinga. Menurut Wahbah Zuhaili, yang mengutip pendapat sebagian
ulama, jenis manfaat anggota badan yang terpisah dengan anggota badannya
ada dua puluh jenis bahkan lebih. Diantara jenis manfaat anggota badan
tersebut adalah daya akal, pendengaran, penglihatan, penciuman,
pembicaraan, suara, rasa (dzauq), pengunyahan (madhgun), pengeluaran mani
29
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
185.
48
(imna’), penghamilan (ihbal), persetubuhan (jima’), pengeluaran air seni
(ifdha’), daya gerak (bathsyu), dan berjalan.30
c. Pelukaan Terhadap Muka dan Kepala (sajjaj).
Menurut Imam Abu Hanifah, hanya luka mudhihah yang dapat
dikenakan qishash, mudhihah adalah pelukaan yang agak dalam sehingga
memotong atau merobek selaput antara daging dan tulang, sehingga tulang
tersebut kelihatan. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah seperti
hasyimah, munqilah, al-ammah, dan ad-damighah, tidak menggunakan
hukuman qishash karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat ada
kelebihan. Menurut Imam Malik semua jenis syajjaj sebelum mudhihah
berlaku hukuman qishash, karena hal itu mungkin yntuk dilaksanakan.31
d. Pelukaan Terhadap Jirah (anggota badan selain wajah, kepala, dan
athraf).
Hukuman qishash dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan
apabila memiliki syarat sebagai berikut:
1). Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut,
baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping.
2). Ghoir jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari
anggota badan tesebut, melainkan hanya bagian luarnya saja.
Hukuman qishash untuk jirah ini memiliki beberapa pendapat yang berbeda,
diantaranya :
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
185-186. 31
Ibid, hal. 186
49
Imam Malik, berpendapat bahwa qishash berlaku pada semua jirah,
baik lukanya munqilah maupun hasyimah. Alasannya karena pada luka
tersebut masih memungkinkan untuk dilaksanakannya qishash, kecuali jika
menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah tidak berlaku hukuman
qishash.
Abu Hanifah, bependapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman
qishash, baik jaifah maupun ghoir jaifah. Alasannya adalah karena sulit untuk
menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya.
Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa dalam jirah
berlaku hukuman qishash apabila pelukaannya sampai mudhihah, yaitu
pelukaan sampai kepada tulangnya. Alasannya karena dalam hal ini
kesepadanan mungkin diterapkan karena ada batas, yaitu tulang.
Hukuman qishash dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan apabila
memiliki syarat sebagai berikut:
1. Korban adalah orang yang terlindungi darahnya. Menurut hukum Islam
yang tidak terlindungi darahnya adalah seorang pezina, muhsan, orang
murtad, kafir harbi, dan lain-lain.
2. Pelaku penganiayaan adalah orang yang mukkalaf, akil baligh, tidak hilang
ingatan (gila).
3. Pelaku melakukan perbuatan penganiayaan tanpa paksaan dari siapapun.32
Dalam pelaksanaan hukuman, baik untuk penganiayaan sengaja
maupun penganiayaan (pelukaan) sengaja, pelaku menerima hukuman sesuai
32
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
127.
50
dengan apa yang diterima korban, tidak boleh melebihi apa yang dilakukan
pelaku terhadap korban. Melebihkan hukuman dianggap sebagai perbuatan
yang melampaui batas dan tidak dikehendaki oleh Allah SWT.33
Qishash tidak dapat dilakukan apabila terdapat sebab-sebab sebagai
berikut:
a) Tidak adanya tempat (obyek) qishash.
b) Pengampunan
c) Perdamaian.
Adapun dasar dari hukuman qishos terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 179
dan Al-Maidah ayat 45
2. Diyat
Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila
hukuman qishash terhalang oleh suatu sebab.Diat, sebagai hukuman
pengganti berlaku dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja.Di
samping itu, diyat juga merupakan hukuman pokok apabila tindak pidananya
menyerupai sengaja atau kesalahan.34
Adapun hadits yang menerangkan tentang diyat adalah
سسل اهلل طهى اهلل عهي سهى ع أثى ثكش ي عشث حزو ع أثي ع جذ : أ
في اال ف إرا أعت جذع انذيخ في كتت إني أم انيي كتبة كب في كتبث ... إ
انهسب اانذيخ في انشفتي انذيخ في انجيضتي انذيخ في انزكش انذيخ في انظهت انذيخ
في خ ثهث انذيخ يخ في انؤيفي انعيي انذيخ في انشجم اناحذدح ظف انذ
33
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakarta: Pustaka Setia,
2000), hal. 131. 34
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet.
2, hal. 195-196.
51
انجبئفخ ثهث انذيخ في انقهخ خسخ عشش يبإلثم في كم أطجع ي اطبثع انيذانشجم
انشجم يقتم ثبنشأح عهى ام انزة عشش ي اإلثم في انضحخ خس ي اإلثم إ
أنف ديبس )سا انسبئى(
Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa
Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam
suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai
gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu
diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang
belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat,
pada ma‟munah (luka yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada
dibelakang otak) sepertiga diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan,
yaitu bagian leher, dada, dan perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang
membuat tulang beralih dari tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas
ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi
lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di
qishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar.
(HR. An-Nasa‟i).35
Diyat, baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman
pengganti, digunakan untuk pengertian diyat yang penuh (kamilah), yaitu
seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diyat kamilah
menggunakan istilah irsy ( ارش ).ganti rugi atau irsy ada dua macam:
1) . Irsy (ganti rugi) yang telah ditentukan ( ارش مقدر ), irsyun muqaddar
adalah ganti rugi yang sudah ditentukan batas dan jumlahnya oleh syara‟.
Contohnya seperti ganti rugi satu tangan atau satu kaki.
2) . Irsy (ganti rugi) yang belum ditentukan( adalah ganti ,( ارش غير مقدر
rugi atau denda yang belum ditentukan oleh syara‟. Dan untuk penentuannya
diserahkan kepada hakim.
35
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41.
52
Hukuman diyat (kamilah) berlaku apabila manfaat jenis anggota
badan ada yang hilang seluruhnya, seperti hilangnya dua tangan. Sedangkan
irsy berlaku apabila manfaat jenis anggota badan itu hilang sebagian,
sedangkan sebagian lagi utuh.
Contohnya seperti hilangnya satu (sebelah) tangan, satu (sebelah) kiri, atau
satu jari. Berikut adalah pembagiannya:
a) Diyat Kamilah.
Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila kekerasan atau
penganiayaan tersebut mengakibatkan hilangnya manfaat ataupun merusak
anggota badan. Anggota badan yang berlaku diyat kamilah ada empat
kelompok, adapun kelompoknya yaitu sebagai berikut:
(1) . Anggota badan yang tanpa pasangan.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah hidung, lidah, zakar
(kemaluan), tulang belakang, lubang kencing, lubang dubur, kulit, rambut,
dan jenggot.
(2) . Anggota badan yang berpasangan.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tangan, kaki, mata, telinga,
bibir, alis, payudara, testis, bibir vagina, pinggul, dan tulang rahang.
(3) . Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu kelopak mata dan bulu
mata.
(4) . Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih terdiri dari jari tangan,
jari kaki, dan gigi.36
36
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet.
2, hal. 196.
53
b) Diyat ghoir kamilah
Diyat ghoir kamilah berlaku dalam ibanahal-athraf, apabila jenis
anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi
masih utuh.Diyatghoirkamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis
anggota badan, baik yang tunggal (tanpa pasangan) maupun yang
berpasangan.
3. Ta’zir
Ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Sedangkan
secara terminologis adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan
kadar hukumnya oleh syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau
hakim.37
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan
dengan pelanggaran hak Allah SWT dan hak hamba yang tidak ditentukan Al-
Qur‟an dan hadits. Dalam praktek penjatuhan hukuman, hukuman ta’zir
kadangkala dijatuhkan sebagai hukuman tambahan yang menyertai hukuman
pokok bagi jarimah hudud atau qishash diyat. Hal ini bila menurut
pertimbangan siding pengadilan dianggap perlu untuk dijatuhkan sebagai
hukuman tambahan.38
4. Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan atau
Penganiayaan.
Dalam konteks penyelesaian menurut syar’i berkaitan dengan tindak
pidana kekerasan atau penganiayaan diklasifikasikan dalam dua bentuk yang
ditinjau dari cara penyelesaiannya itu sendiri agar terbentuk menjadi lebih
37
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) ,(Bandung: CV. Setia
Pustaka, 2000), hal.140. 38
Ibid, 143.
54
spesifik lagi, maka dengan itu hukum syar’i membagi kedalam dua
klasifikasinya. Pada dua klasifikasi diatas dalam menentukan pembagian
tindak pidana kekerasan atau penganiayaan bisa disimpulkan bahwa
perbuatannya itu masuk dalam beberapa tinjauan dari aspeknya itu sendiri,
yaitu ditinjau dari segi niatnya, dan ditinjau dari segi obyeknya (sasarannya).39
a. Ditinjau dari segi niatnya.
Ditinjau dari niat seseorang pelaku, jenis tindak pidana
kekerasan penganiayaan dapat dibagi kepada dua bagian yang di
paparkan oleh sebagian para ulama yang klasik maupun kontemporer
yang berkembang pada saat ini.
1) Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dengan sengaja
Pengertian tindak pidana kekerasan penganiayaan dengan sengaja, seperti
dikemukakan oleh Ahmad Wardi Muslich dari kitab Abdul Qadir Audah
adalah:
فبنعذ يبتعذ في نجبى انفعم ثقظذا
Artinya: “Perbuatan sengaja adalah setiap perbutan pelaku sengaja melakukan
perbuatan dengan maksud melawan hukum”.40
Dari definisi di atas dapat diambil asumsi bahwa tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan dengan sengaja adalah pelaku berniat sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud untuk menyakiti orang
lain. Sebagai contoh, seseorang sengaja melempar batu kepada orang lain
39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet.
2, hal. 180. 40
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet.
2, hal. 180.
55
dengan maksud agar batu itu mengenai anggota tubuhnya.
2) Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dengan tidak di sengaja
انخطؤ يبتع في انجبى انفعم د قظذ انعذا
Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan dimana
pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud melawan
hukum.”41
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan yang
dilakukan pelaku sengaja, akan tetapi tidak ada niat untuk menyakiti orang
lain. Contohnya, seseorang membuang batu melalui jendela, kemudian
mengenai seseorang yang sedang melintas.Bisa juga perbuatan yang terjadi
akibat kalalaian pelaku tanpa ada maksud melakukan perbuatan
tersebut.Misalnya orang yang membalikkan badan dan menimpa orang yang
sedang tidur disampingnya sehingga tulang rusuknya patah.42
b. Ditinjau dari Obyek Atau Sasarannya.
Ditinjau dari obyek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa, baik
sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1) Memisahkan Anggota Badan atau Sejenisnya.
Yang dimaksud dengan memisahkan anggota badan adalah memotong atau
melukai bagian dari anggota badan sehingga terpisah dari anggota badannya,
misalnya memotong kaki, jari-jari, kuku, hidung, dua belah pelir (testis), bibir
kemaluan perempuan, telinga, bibir, lidah, men cukilmata, mencabut gigi dan
41
Ibid, hal. 180. 42
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008), hal. 19.
56
memecahkannya, mencukur atau mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis,
dan kumis.43
2) Menghilangkan Manfaat Anggota Badan, Tetapi Anggota Badannya
Tetap Ada.
Maksud dari jenis menghilangkan manfaat anggota badan, Tetapi anggota
badannya tetapi ada adalah tindakan yang merusak manfaat dari suatu fungsi
anggota badan, sedangkan anggota badannya masih utuh seperti semula.
Misalnya, menghilangkan daya pendengaran tetapi telinganya tetap ada,
penglihatan tetapi matanya tetap ada, penciuman tetapi hidungnya tetap ada,
pengecap untuk lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.44
3) Melukai Kepala dan Muka.
Asy-syijaj merupakan nama khusus dari pelukaan terhadap muka dan kepala,
Dalam pembagian asy-syijaj terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama. Di antaranya:
a) Asy-Syijaj menurut Imam Abu Hanifah:
1. Al-Kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan
mengalir seperti air mata.
2. Ad-Dami’ah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai
mengalir seperti air mata.
3. Ad-Damiyah, yaitu luka yang mengalirkan darah.
4. Al-Badiah, yaitu luka yang memotong daging.
5. Al-Mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging lebih banyak
daripada luka pada al- badiah.
6. As-Samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan
tipis antara daging dan tulang.
43Ibid, hal. 20
44 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. 2,
hal. `181.
57
7. Al-Mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan
menampakkan tulang walaupun hanya sebesar jarum.
8. Al-Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang.
9. Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu
lapisan di bawah tulang dan di atas otak.
10. Ad-Damigah, yaitu luka yang menembus lapisan (di bawah tulang) sampai
keotak.45
b) Asy- Syijaj menurut Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal:
1. Al-Kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan
pendarahan.
2. Ad-Dami’ah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai
mengalir seperti air mata.
3. Ad-Damiyah, yaitu luka yang mengalirkan darah.
4. Al-Badiah, yaitu luka yang memotong daging.
5. Al-Mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging lebih banyak
daripada luka pada al badiah.
6. As-Samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan
tipis antara daging dan tulang.
7. Al-Mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan
menampakkan tulang walaupun hanya sebesar jarum.
8. Al-Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang.
9. Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu
lapisan dibawah tulang dan di atas otak.46
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, “sebenarnya jenis syajjaj yang
disepakati oleh para fuqaha adalah sepuluh macam, yaitu tanpa memasukkan
jenis yang ke sebelas, yaitu ad-damighah. Hal ini karena ad-damighah itu
pelukaan yang merobek selaput otak, sehingga karenanya otak tersebut akan
berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian.”47
4) Melukai Selain Kepala dan Muka
45
Ahhsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008), hal. 20. 46
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008), hal. 20. 47
Ibid, hal. 21.
58
Al-Jirah atau pelukaan terhadap anggota badan selain wajah dan
kepala.Seperti leher, dada, perut sampai batas pinggul. Luka ini di bagi
menjadi dua;
(a). Al-Ja’ifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari rongga dada
dan perut, seperti pelukaan pada tenggorokan, punggung, lambung, dua buah
pelir, dan dubur.
(b). Ghoiru Ja’ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari
rongga dada dan perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.
5) Luka yang Tidak Termasuk Empat Jenis Sebelumnya.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah setiap perbuatan menyakiti, akan
tetapi tidak sampai menimbulkan luka syajaj atau jirah, serta tidak sampai
merusak ataupun menghilangkan manfaat dari anggota tubuh. Misalnya
pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, dan badan, akibat pemukulan
tersebut korban hanya mengalami memar, muka merah, atau terasa sakit pada
anggota badannya.48
C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu
kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang
karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status sendiri, dari
semua proses yang terjadi mengakibatkan seseorang melakukan tindak pidana
48
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008), hal. 22.
59
khususnya kekerasan atau penganiayaan.49
Dari segi faktornya seseorang
melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan sebagai berikut:
1. Disebabkan kondisi masyarakat disekelilingnya yang dapat
mempengaruhi. Karena pergaulan bebas yang terjadi dalam masyarakat
maka kurangnya pengontrolan diri dalam menghadapi masalah yang ada
dihadapannya kemudian terjadilah hal-hal yang demikian.
2. Disebabkan kondisi ekonomi minim yang ada didalam keluarga.
Kebutuhan pokok yang semakin meningkat sedangkan persaingan yang
begitu banyak, menyebabkan seorang melakukan tindak pidana untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan kekerasan atau
penganiayaan.
3. Disebabkan kejiwaan sipelaku yang mempunyai kelainan dalam kondisi
badannya, tokoh yang paling terkemuka dalam mazhab anthropologi ini ialah C.
Lombroso (1835 – 1909) dengan buah pekerjaannya yang paling penting ialah
“L‟uomo delinqunte”. Menurut Lombroso manusia yang pertama adalah penjahat
dari sejak lahirnya.50
Quetelet sebagai seorang yang statis, beliau juga menyelidiki pengaruh
besar kecilnya kemungkinan untuk berbuat jahat seperti dilihat dari
pendidikan, pekerjaan, kemiskinan, iklim, perubahan musim dengan
bertambahnya kejahatan ekonomi dalam musim dingin dan kejahatan
penyerangan dalam musim panas dengan jenis kelamin dan umur.51
49
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal 3 50
W. A. Bonger, Pengantar tentang Psikologi Kriminal,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981),
edisi ke empat, hal, 100. 51
Ibid, hal. 67
60
BAB IV
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU
PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT
PERMANEN
A. Deskripsi Putusan Pengadilan
Dalam suatu pembahasan mengenai bab ini akan memaparkan
bagaimana duduk perkara mengenai penjatuhan pidana kekerasan atau
penganiayaan kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,-
(dua ribu rupiah) dengan analisis berdasarkan Putusan Pengadilan Nomer :
443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi dengan tersangka Suharyanto bin Mulgiono yang
berusia 35 tahun beralamat dikampung Jatijaya Rt. 002/003 desa Laban Sari
Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi.1
Adapun tentang kasaus kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan
oleh Suharyanto bin Mulgiono terhadap Maman Sumantri bin Enteg
berdasarkan saksi yang ada dipersidangan yaitu Enteg Bin Nisan, Kemudian
Mamannya sendiri, mengatakan sebagai berikaut:
Asal mula kejadian tersebut pada hari Sabtu tanggal 08 Pebruari 2014
sekitar pukul 07.30 Wib di Kampung Jati Jaya Rt. 002/003 Desa Labansari
Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi, anak dari korban bermain bola
bersama teman-temannya, lalu bola tersebut masuk kepekarangan rumah
terdakwa, sepulangnya dari mengambil bola anak korban tersebut menangis
1Deskripsi Putusan Pengadilan Nomor: 443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi
61
dan mengadu pada ibunya yaitu Ecih Mayasari, kemudian Ecihpun mulai
curiga kepada Suharyanto ketika melihat anaknya menangis, kemudian
Ecihpun menghampiri Suharyanto sekaligus menegurnya dengan keadaan
marah-marah, setelah itu terjadilah percekcokan mulut diantara keduanya.
Sedangkan Maman Sumantri mendengar istrinya bertengkar dalam hal
ini beradu mulut Mamanpun segera keluar dari dalam rumah dalam keadaan
emosi, kemudian keluarlah perkataan ”dasar banci” yang ditujukan kepada
Suharyanto, dikarenakan Suharyanto tidak terima atas perkataan Maman
kepadanya disitupun saling tidak terima antara keduanya sehingga
mengakibatkan perkelahian physik atau pukul-memukul. Kertika mereka
saling memukul maka bergulatlah mereka sehingga keduanya terjatuh diatas
tanah sampai mereka terguling-guling, ketika itu posisi terdakwa ada dibawah
tubuh Maman, kemudian Suharyanto menarik rambut dari Maman tersebut
selanjutnya menggigit daun telinga Maman sebelah kanan sampai putus dan
banyak mengeluarkan darah selanjutnya Mamanpun kesakitan sambil
terbaring ditanah, kemudian tanpa dipikirkannya lagi Suharyantopun
meninggalkan Maman yang sedang terbaring kesakitan ditanah.
Melihat kejadian tersebut langsunglah Maman dibawa beobat ke
RSUD Karawang, ketika dibawa kerumah sakit karawang bahwa Maman
tidak sampai diopname melainkan hanya dijahit daun telinganya saja agar
tidak mengeluarkan banyak darah, ketika dirumah sakit korbanpun kemudian
diVisum, hasil dari Visum Repertum No. 08/FK-VER/II/2014 yang
dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik yaitu dr. Hafiful Syah, SP. F., hasil
62
dari tersebut adalah daun telinga Maman sebelah kanan terputus 5 Cm x 1
Cm, pada paha kanan ditemukan terdapat memar warna kemerahan berukuran
5 Cm x 3 Cm dan pada daun telinga kanan Maman ternyata tidak bisa
disambung lagi dikarenakan putus dan mengalami cacat permanen, ketika
keluarga korban meminta kepada terdakwa untuk membiayai dalam proses
penyembuhan atau pengobatan ternyata dari pihak terdakwa tidak
membiayainya dan bisa disebut tidak bertanggung jawab dan tidak meminta
ma’af sedikitpun atas perbuatannya itu.
Sedangkan menurut saksi Agus Sugianto Bin Enteg asal mula kejadian
itu pada anak kaka saksi bernama Salimah sedang bermain bola kecil bersama
teman-temannya, lalu bola tersebut masuk kedalam pekarangan rumah
saudara Suharyanto atau terdakwa, dan ketika Salimah mengambil bola
tersebut ada terdakwa, tetapi entah kenapa Salimah pulang menangis dan
kemudian pulang mengadu pada ibunya yang bernama Ecih bahwa ia
dipelototi oleh terdakwa, melihat anaknya menangis Ecihpun begegas
menemui terdakwa dan menegurnya kemudian Ecih marah-marah kepada
terdakwa sehingga terjadi percekcokan antara keduanya.
Setelah beberapa menit keluarlah suami Ecih yang bernama Maman
Sumanti yang sedang memperbaiki motor dirumahnya melihat istrinya
bertengkar, Maman Sumantripun emosi lalu begegas menemui terdakwa
kemudian mengeluarkan ucapan “dasar banci” yang ditujukan kepada
terdakwa Suharyanto, karena mereka saling tidak terima maka terjadilah
perkelahian physik diantara keduanya yaitu saling memukul sehingga
63
mengakibatkan jatuh keduanya serta guling-gulingan keduanya. Selanjutnya
terdakwa menjambak rambut Maman sekaligus menggigit telinga sebelah
kananya.
Akan tetapi menurut saksi ini sebelum terjadi perkelahian bahwa
sebelumnya antara keluarga ini sudah mempunyai permasalahan dimana dua
tahun yang lalu keponakan terdakwa membawa kabur lari istri saksi.
Sesuai dengan deskripsi yang berada disebuah arsip putusan
pengadilan penulis mengamati dari putusan hakim tersebut sebagai berikut.
1. Unsur Barang Siapa
Barang siapa disini adalah seorang subyek hukum yang didakwakan
telah melakukan tindak pidana dan perbuatannya itu dapat dipertanggung
jawabkan secara yuridis.
Sedangkan yang dimaksud barang siapa dalam perkara ini adalah
terdakwa Suharyanto Bin Mulgiono benar dalam identitasnya dan
dibenarkan juga oleh terdakwa kemudian terdakwa dihadapkan dimuka
persidangan oleh jaksa penuntut umum.
2. Unsur Melakukan Penganiayaan
Dimaksud disini adalah melukai atau melakukan sebuah kekerasan
dalam bentuk menyiksa yang mengakibatkan kerugian dari belah pihak
dengan unsur kesengajaan. Dengan demikian pengertian melakukan
penganiayaan jelas dilakukan oleh terdawa Suharyanto Bin Mulgiono.
Karena dari beberapa keterangan saksi yang diungkapkan dimuka
persidangan mengatakan terdakwa Suharyanto Bin Mulgiono melakukan
64
hal tersebut yang alamat di kp. Jati Jaya Desa Laban Sari Kec. Cikarang
Timur Kab.Bekasi.
Awalnya terpicu dari pertengkaran mulut Ecih dengan terdakwa
karena tidak terima melihat anaknya menangis seketika keluarnya dari
halaman terdakwa, mendengaar pertengkaran dari keduanya, suami dari
Ecih yang bernama Maman menghampiri dan mengatakan “Banci” kepada
Tedakwa dari kejadian tersebut kemudian terjadi perkelahian fisik.
Dengan kejadian tersebut Majlis Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan
tersebut termasuk dalam unsur penganiayaan.
3. Unsur Yang Mengakibatkan Luka-luka Berat
Dimaksud Luka-luka Berat adalah melakukan tindakan pidana yang
mengakibatkan nestapa bahkan cacat sementara atau selamanya bagi sikorban.
Dengan demikian melihat hilangnya panca indra dari pihak korban yaitu
telinga sebelah kanan maka Majlis Hakim menyimpulkan
bahwa luka tersebut adalah luka berat dan mengatakan bahwa perbuatan
tersebut masuk dalam perbuatan yang termaktub dalam pasal 351 tentang
kekerasan atau penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, karena
hilangnya anggota dari salah satu pendengarannya.
Setelah majelis hakim pengadilan melihat dari unsur-unsur yang
dilakukan oleh terdakwa maka barulah diputusakan dengan putusan yang
dikeluarkan pada hari kamis tanggal 19 Juni 2014 oleh majelis hakim yang
bernama Lince Anna Purba, S.H.,M.H, selaku hakim ketua memutuskan
bahwa Suharyanto Bin Mulgiono ini melakukan tindak pidana kekerasan atau
65
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dalam hal ini disebut
sebagai luka-luka berat dengan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun
dan membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,-
(dua ribu rupiah), penulispun menyetujui hasil putusan tersebut karena dilihat
dari perspektif hukum pidana Positif sendiri sudahlah baik yang mana
memberikan sanksi sebagai efek jera bagi pelakunya, karena tujuan dari
penghukuman yang dilaksanakan pada dasarnya adalah bertujuan memberikan
efek jera bagi setiap pelaku yang melakukan tindak pidana.
Adapun unsur yang dipaparkan diatas terkandung didalam pasal 351
KUHP ayat (2) yang menerangkan seseorang yang melakukan kekerasan atau
penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dalam hal ini disebut
sebagai luka-luka berat.
B. Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Dalam agama Islam terdapat beberapa peraturan yang datangnya dari
Allah langung yang tertulis didalam Al-Qur’an maupun Hadits yang bertujuan
untuk setiap manusia bisa menjalankan syaritnya dengan baik sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku dalamnya, baik hubungan dengan Allah maupun
dengan manusia yang lainnya atau bisa disebut sebagai Hablum Minallah Wa
Hablum Minannas terkecuali bagi orang-orang yang tidak berakal, karena
hukuman bisa batal kepada orang yang demikian.
Prilaku manusia dikerjakan secara sembrono yang berdasarkan hawa
nafsunya saja berdampak kepada keburukan yang pada akhirnya, baik dalam
66
hal kejahatan melakukan pembunuhan, pemerkosaan, bahkan penganiayaan
yang sudah jelas dilarang oleh Allah.
Dari salah satu penyebutan tentang kejahatan tersebut adalah tentang
kekerasan atau penganiayaan, dalam agama Islam sangat dilarang melakukan
tindakan yang dapat merusak anggota badan dalam hal ini adalah pelukaan
terhadap hilangnya salah satu dari dua telinga. Melihat pokok dari
permasalahan melalui putusan Hakim yang dikeluarkan pengadilan Negeri
Bekasi Nomer. 443/Pid/B/2014/PN. Bks.
Penulis menganalisis jenis tindak pidana yang dilakukan masuk dalam
kategori perbuatan penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan jiwa
sikorban dalam bentuk pemukulan dan pelukaan.2 Bila dimasukan dalam
analisis sebuah putusan diatas pada dasarnya hukum Islam mempunyai dasar
yang harus dijalankan menurut hukum syari’atnya sendiri karena, untuk
menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap diri manusia yang pada
khususnya. Konsep yang terkenal dalam syari’at Islam itu sendiri bermuara
pada prinsip dasar yaitu demi kemaslahatan individu maupun kelompok
lainnya.
Dalam hal pelukaan ini ada tiga aspek bila dilihat dari perbuatan ini
apabila ditinjau dari hukum pidana Islam, pertama aspek syar’i, permasalahan
ini masuk dalam hal perusakan yang dilarang keras oleh Allah yang dalam
penerapanya adalah حفظ النفس yaitu menjaga diri yang mana masuk dalam
pembahasan selain jiwa yang bisa disebut perusakan kepada diri seseorang
2Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid I, Penerjemah: Tim
Tsalisah, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 100
67
baik sengaja maupun tidak sengaja yang dalam konteks memisahkan anggota
badan atau sejenisnya atau bisa diartikan memotong, melukai bagian dari
anggota badan sehingga terpisah dari badannya dan perbuatan ini harus
dikenakan qishas, karena sesuai dengan hukum syariat yang berlaku dalam
pandangan hukum pidana Islam, akan tetapi hukuman qishas ini bisa tidak
dilakukan apabila dari pihak yang dirugikan mema’afkan dari perbuatannya
tersebut, akan tetapi sebagai pengganti dari hukumanya itu adalah diyat, yang
mana hukuman diyat yang dimaksud disini adalah sebagai pengganti dari
hukuman qishas yang telah ditetapkan atau bisa disebut juga sebagai ganti
rugi dari pihak pelaku terhadap sikorban.
Melihat dari pembahasan yang penulis angkat dari putusan pengadilan
Bekasi ini, penulis berpendapat bahwa Suharyanto bin Mulgiono harus
dijatuhkan hukuman diyat, karena ia melakukan sebuah tindak pidana yang
dilakukan secara sengaja (al-qatlul ‘amd), menganalisis hasil dari
musyawarah pihak korban telah meringankan dari hukumanya itu, maka
pantaslah seorang terdakwa ini dibatalkan hukuman qishasnya akan tetapi
hanya dimintai pertanggung jawabannya saja. Dikarenakan dalam realisasinya
tidak mau bertanggung jawab yang hal ini membiayai dalam proses
pengobatannya maka sipelaku ini harus dikenakan diyat. Akan tetapi hukuman
diyatnya itu hanya separuh yang dalam hal ini merusak anggota badan atau
disebut dengan pelukaan. Adapun pelukaan ini yang dimaksud adalah masuk
dalam kategori athrof yaitu tangan dan kaki tetapi dari kesepakatan fuqoha
diperluas lagi sejenis athrof yang didalamnya termasuk telinga. Adapun
68
masalah dendanya bisa diserahkan kepada seorang Hakim dipengadilan yang
berdasarkan keadilan. Apabila ditinjau dari hukum maddinya, perbuatannya
itu sudah jelas sekali dapat merugikan seseorang yang dalam hal ini samapi
kepada kecacatan permanen. Sedangkan dari hukum adabinya, seseorang
yang berakal wajib mempertanggung jawabkan atas perbuatannya itu dan bisa
dibilang wajib bagi seorang yang mukallaf bertanggung jawab apabila
perbuatannya tersebut diketahui dengan sempurna melakukannya.3 Karena
bisa dibilang dilakukannya dengan unsur kesengajaan. Akan tetapi diyat ini
termasuk kepada ارش غير مقدر adalah ganti rugi yang belum ditentukan oleh
syara’ dan penentuannya ditentukan oleh hakim.4
Dari sebuah hukum pidana Islam diwajibkan kepada seorang pelaku
apabila melakukan tindak pidana tersebut harus dijatuhi hukuman qishas,
Ketika pihak korban tidak tau dari segi hukumnya kemudian mengajukan
kepersidangan, maka seorang hakim wajib mengajukan diyat terlebih dahulu.
Diyat inipun berlaku apabila jenis anggota badan atau manfaatnya
hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh dan berlaku pula untuk
semua jenis anggota badan, baik yang tunggal (tanpa pasangan) maupun yang
berpasangan yang dalam konteks permasalahan yang dibahas adalah
hilangnya sebagian telinga dari sebelah kanan. Dan apabila seorang pelaku
melakukannya berulang kali, maka diperbolehkan hukumannya ditambah
selain diyat dengan hukuman penjara pula yang ada diIndonesia saat ini,
3Maksudnya pelaku mengetahui hukum-hukum taklifi dan untuk itu maka hukum tersebut
bisa diberlakukan. 4 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet.2,
hal.196.
69
sebagai efek jera kepada sipelaku perbuatan kekerasan, karena sudah
melanggar ketentuan yang sudah berlaku.
Tertuju kepada pembahasan skripsi ini penulis melihat dikarenakan
unsur yang dikaji dalam hukum Islam maupun hukum pidana Positif Maka
dari itu sudah jelas bahwa sanksi yang harus diberikan bagi pelaku bukan
hanya dipenjara saja melainkan harus dikenakan diyat juga agar selain
menjalankan hukum Positif yang berlaku diIndonesia bisa pula menjalankan
hukum Islamnya juga yang sesuai dengan syari’at islamnya, karena sipelaku
tidak membiayai dari proses pemulihan seseorang yang dianiayanya.
Karena pada dasarnya hukum syari’at Islam ditegakan dalam
permasalahan kekerasan atau penganiayaan ini khususnya tertuju untuk
menjaga diri agar seseorang tidak bisa berbuat sewenang-wenang dalam
menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat atau bisa disebut main
hakim sendiri dan bisa disebut pula mengedepankan sebuah kemaslahatan dari
pada kemadharatan.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan
yang diangkat dalam skripsi ini tentang tindak pidana kekerasan atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen yang direlevasikan pada
putusan hakim pengadilan, yang disajikan oleh penulis dari hukum pidana
Islam maupun dari hukum pidana Positif merupakan ketertarikan penulis yang
diharapkan bisa menambah wawasan tentang keilmuan dalam bidang hukum
mengenai tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dan menambah ilmu
bagi yang membacanya. Adapun kesimpulanya sebagai berikut:
1. Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat
permanen dalam pandangan hukum pidana Islam telah ditentukan oleh
syariat yang terdapat dibeberapa macam tindak pidana seperti: Perusakan
terhadap athraf dan sejenisnya dengan sengaja, Menghilangkan Manfaat
Anggota Badan Secara Sengaja, Pelukaan Terhadap Muka dan Kepala
(sajjaj), Pelukaan Terhadap Jirah (anggota badan selain wajah, kepala,
dan athraf). Adapun hukuman bagi yang melakukannya dikenakan
hukuman diyat yaitu dengan denda, mengenai penjara selama 1 tahun
menurut hukum pidana Positif sudahlah baik bagi terdakwa karena,
terdakwa tidak meminta ma’af setelah kejadian tersebut dan tidak
membiayai dalam proses pengobatan sikorban, sedangkan dalam hukum
74
pidana Islam haruslah seseorang itu membayar diyat yang sudah
ditentukan dalam islam, karena sebagai bahan ganti rugi atas perbuatan si
pelaku terhadap sikorban dalam memenuhi tanggungjawab atas kejadian
yang dilakukan karena perbuatan yang merugikannya itu.
2. Tentang putusan perkara No. 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI, atas nama
Suharyanto bin Mulgiono sebagai terdakwa, terdakwa di dakwakan karena
melakukan unsur kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka
berat tetapi dalam hal ini luka berat bagi penulis digantikan dengan cacat
permanen yang dilakukan dengan unsur sengaja menggigit daun telinga
sebelah kanan dan Hakim memvonis terdakwa dengan ancaman pidana
penjara selama 1 tahun berdasarkan dakwaan primair pasal 351 ayat (2)
KUHP dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
3. Dalam pandangan hukum Pidana Islam dan hukum pidana positif tentang
masalah tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan
cacat permanen disebut juga dalam hukum Islam perusakan terhadap
athraf dan hukum Positifnya kejahatan yang disengeja yang
mengakibatkan luka berat.
B. SARAN
Dalam skripsi ini penulis menambahkan beberapa saran, yang
bertujuan untuk membantu mengatasi masalah tentang tindak pidana
kekerasan atau penganiayaan yang ada dimasyarakat, yang diharapkan bisa
diaplikasikan sarannya ini, adapun sarannya sebagai berikut:
75
1. Berperinsip bagi setiap penegak hukum berlaku adil, dan bijak dalam
menyelesaikan bahkan memutuskan setiap adanya perkara dan jangan
sampai merugikan dari salah satu belah pihak, yang sangat lebih
pentingnya peranan seorang hakim dan penegak hukum harus bisa lebih
cermat lagi dalam mengatasai sebuah tindak pidana kekerasan atau
penganiayaan karena, banyak oknum penegak hukum saat ini tidak adil
dalam memutuskannya, yang berakibat kerugian yang ditimbulkan dari
salah satu pihak.
2. Memasukan hukum Islam di Negara Indonesia saat ini, mungkin sudah
saatnya diberlakukan, karena dengan hukum Islam yang ditegakan sedikit
banyaknya bisa menimbulkan efek kejeraan bagi setiap pelaku tindak
pidana kekerasan atau penganiayaan, karena dalam hukum positif banyak
sekali orang salah mengartikan dalam pengambilan hukumnya itu yang
berdampak tidak memberikan efek jera bagi pelakunya.
3. Menumbukan dari setiap individu yang berpegang teguh kepada
keimanan, dengan mendalami ilmu-ilmu tentang agama, hukum, moral,
dan nilai-nilai akhlak, sebab terlebihlagi kepada akhlak sangat penting
bagi setiap individu, ketika terbentuknya orang sudah beriman yang
berilmu, bermoral bahkan berakhlak maka bisa dipastikan tidak akan
melakukan sebuah tindak pidana.
4. Membagi sebuah pengalaman dan pengetahuan kepada generasi-generasi
yang muda saat ini, tentang masalah tindak pidana kekerasan atau
penganiayaan disertai dengan akibat dan dampaknya sehinga dari setiap
76
genserasi-generasinya bisa mengetahui tentang masalah tersebut, agar
dimasa yang akan datang generasi penerus bangsa ini tidak lagi melakukan
tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dan lebih mengedepankan
solidaritas dari merekanya yang tinggi dalam bersosialisasi.
74
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Abdul Qodir, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid III, Penerjemah:
Tim Tsalisah, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007
Abu Zahrah Muhammad, Membangun Masyarakat Islami, Jakarta : PT.
Pustaka Firdaus 1994
Bonger, W. A, Pengantar tentang Psikologi Kriminal, Jakarta: Ghalia
Indonesia,1981
Chazawi Adam, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008
Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro , 2008
Djazuli A., Fiqh Jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), PT
RajaGrafindo Persada, 1997
Hamzah Andi, System Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta : PT. Pradya
Paramita, 1997
Hamzah Jur. Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
……………..., Asas-asas hukum Pidana Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997
Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta: Pustaka Setia,
2000
Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Puidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
2005
Kertonegoro, pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, Jakarta:
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 2001
Khisbiyah dkk Yaya, Melawan kekerasan Tanpa kekerasan, Yogyakarta :
75
Pustaka Pelajar Opset, 2000
Koen Willie, Kekerasan dan Agresi (Perilaku Manusia), PT. Tira Pustaka,
1987
…………..., The Community (Lingkungan Masyarakat), PT. Tira Pustaka,
1987
Kusuma Hilman Hadi, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni 1992
Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, urgensi perlindungan korban
kejahatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Laminating P.A.F. dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010
…………………., “Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh,
dan Kesehatan,
Marpaung Leden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika,
2008
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohili,
Jakarta: UI Perss, 1992
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002
Muhammad Ahsin Sakho (eds), Ensiklopedi Hukum PIdana Islam, Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2008
Mujieb M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Munawir Ahmad Warson, Al Munawir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Nasution Harun dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
Jakarta : PT. Pustaka Firdaus 1987
Nurul Irfan M., Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2003
76
Prasetyo Teguh, Hukum pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
………………, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media,
2010
Poernomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1992
Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012
Sejumlah Para Ulama Dari Para Penuntut Ilmu Didunia Islam (Tafsir Al’Usyr
Al-Akhir), Hukum-Hukum Penting Bagi Seorang Muslim,
Sianturi S.R, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya
Jakarta : BPK Gunung Muria, 1996
Sudradjat Bassar, M., Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang
undang Hukum Pidana, Bandung: Remadja Karya, 1986
Suharto, Hukum Pidana Materil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Sulista Teguh dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca
Reformasi) Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011
Syafe’I Rachmat, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, Bandung :
Pustaka Setia, 2003
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
………………………, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Yunus Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990
77
Redaksi Sinar Grafika, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Arsip Putusan Pengadilan Nomor: 443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi.