Post on 13-Jan-2017
1
PENYAKIT JANTUNG RHEUMATIK
Rahmad Isnanta,Zaenal Safri,Refli Hasan,Herlina M.Sitorus
Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam
FK-USU/RSUP.H.Adam Malik/RSU dr.Pirngadi Medan
PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Rheumatik adalah suatu kondisi dimana katup rusak yang
disebabkan Penyakit Demam Rheumatik oleh karena infeksi Streptoccocus Beta Hemoliticus
Grup A.Meskipun sendi-sendi merupakan organ yang paling sering dikenai tetapi jantung
merupakan organ dengan kerusakan yang terberat.Sedangkan keterlibatan organ lain bersifat
jinak dan sementara(Rheumatic Fever lips the joints,but bites the hearts).1,2
Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam
rheumatik dan penyakit jantung rheumatik masih merupakan problem karena merupakan
penyebab kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam
rheumatik belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan penggunaan
antibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam rheumatik dan pernyakit jantung
rheumatik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan didunia,
termasuk Indonesia. Dinegara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens demam
rheumatik dan prevalens penyakit jantung rheumatik menurun, tetapi sampai permulaan abad
ke-21 ini masih tetap merupakan problem medik dan public health didunia karena mengenai
anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif.2,3
Sekuele demam rheumatik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup
jantung menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya memerlukan sarana,
prasarana dan tenaga trampil yang handal sehingga memerlukan biaya yang sangat besar.
Penanganan yang tidak sempurna menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian bagi
penderitanya, dan penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang
terus menerus sepanjang usia penderitanya.1,2,3
ETIOLOGI 2,3
Demam rheumatik (RF) dan penyakit jantung rheumatik (RHD) adalah komplikasi
non supuratif Grup A faringitis streptokokus karena respon imun tertunda. Beta-hemolitik
2
streptokokus dapat dibagi menjadi beberapa serologi kelompok atas dasar mereka dinding sel
polisakarida antigen. Mereka yang berada dalam kelompok serologi A (Streptococcus
pyogenes) dapat lebih dibagi menjadi lebih dari 130 jenis serotipe M yang berbeda dan
bertanggung jawab untuk sebagian besar infeksi pada manusia . Selain itu, hanya faringitis
yang disebabkan oleh streptokokus grup A telah dikaitkan dengan etiopathogenesis RF dan
RHD.
Hubungan kuman Streptokokus β hemolitik grup A sebagai penyebab DR terjadi
secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi
banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit
ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A, terutama serotipe
M1,3,5,6,14,18,19 dan 24 2,4,6,7,. Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya
riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus
tenggorokan terhadap Streptokokus β hemolitik grup A sering negatif pada saat serangan DR.
Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada
hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya respons
antibody. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode faringits setiap tahunnya dan
15-20 persen disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80 persen lainnya disebabkan infeksi
virus.
Insidens infeksi Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan bervariasi diantara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia
5 -15 tahun. Pharingitis streptokokus jarang terjadi pada anak dalam 3 tahun pertama
kehidupannya dan pada orang dewasa. Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada
penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan
etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis.
PATOGENESIS
Dijumpai hubungan epidemiologi antara kelompok A β hemolitik infeksi streptokokus
dan perkembangan selanjutnya dari akut demam rheumatik (RF) . RF adalah penundaan
respon autoimun ke grup faringitis streptokokus, dengan manifestasi klinis dan tingkat
keparahan pada individu ditentukan oleh kerentanan genetik inang, virulensi dari menginfeksi
organisme, dan lingkungan yang kondusif . Meskipun streptococci dari serogrup B, C, G, dan
3
F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun, mereka belum terkait dengan
etiologi RF atau penyakit jantung rheumatik (RHD).2
Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran
antigen histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody yang
berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang
potensial dalam patogenesis penyakit ini.
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus
memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3
persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR.
Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen
streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi
streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan
melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri
dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai
oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding proteins.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O (ASTO),
antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes yang biasa
dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A. DR merupakan
manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang berlebihan (hipersentivitas) terhadap
beberapa produk yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan
mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta
hemolitycus grup A. dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen
Streptococcus beta hemolitycus grup A. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul,
berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan Mprotein.M-protein adalah salah satu
determinan virulensi bakteri,strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-
helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein
ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari
struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14,
18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR.2,3
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan
virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan
nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian
yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga
4
streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR. Terbukti sel limfosit T memegang
peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grupA
mempunyai potensi rheumatogenik 3.
Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun. Dalam keadaan normal,sistem imun
dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai
toleransi terhadap self antigen, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya
timbul reaksi autoimun. Reaksi autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel
jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut
autoantibodi. 2,3
Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis
disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli sependapat bahwa DR
termasuk dalam penyakit autoimun.1,3
Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang
berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam
distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya
infeksi streptokokkus untuk terjadi DR. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat skema
patogenesis DR dan PJR 2
Gambar :Faktor-faktor yang menyebabkan Penyakit Jantung Rheumatik
5
MANIFESTASI KLINIS 2,3,4
Diagnosis
6
Pada 2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan
kriteria Jones yang telah direvisi). Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk
menghindarkan overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan diagnosis :
Kriteria tersebut adalah:
— a primary episode of RF
— recurrent attacks of RF in patients without RHD
— recurrent attacks of RF in patients with RHD
— rheumatic chorea
— insidious onset rheumatic carditis
— chronic RHD.
Manifestasi klinis dari Penyakit Jantung Rematik
1.Carditis
- manifestasi paling serius, satu satunya penyebab kematian pada serangan akut, atau bila
melampaui fase akut akan meninggalkan cacat jantung dan penyebab kematian fase akhir
- pada karditis yang asimtomatik didiagnosis dari pemeriksaan fisik pada waktu penderita
berobat dengan keluhan non kardiak, yaitu poliartritis migrant maupun chorea.
- Pada karditis berat, datang karena gagal jantungnya seperti dispnea(DOE, ortopnea/PND),
udema tungkai dan hepatomegali. Karditis ringan apabila pada pemeriksaan fisik dengan
auskultasi didapati bising organic(fungsional) dan kadang-kadang pericardial friction rub.
- Poliartritis (radang sendi dibeberapa bagian tubuh) adalah gejala umum dan merupakan
manifestasi awal dari demam reumatik (70 – 75 %).
Umumnya artritis
- dimulai pada sendi-sendi besar di ekstremitas bawah (lutut dan ankle) lalu bermigrasi ke
sendi-sendi besar lain di ekstremitas atas atau bawah (siku dan pergelangan tangan).
- Sendi yang terkena akan terasa sakit, bengkak, terasahangat, kemerahan dan gerakan
terbatas. Gejala artritis mencapai puncaknya pada waktu 12 – 24 jam dan bertahan dalam
waktu 2 – 6 hari (jarang terjadi lebih dari 3 minggu) dan berespon sangat baik dengan
pemberian aspirin. Poliartritis lebih umum dijumpai pada remaja dan orang dewasa muda
dibandingkan pada anak-anak.
7
2. Khorea Sydenham,
Khorea minor atau St. Vance, dance mengenai hampir 15% penderita demam
reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem syaraf sentral pada proses
radang. Hubungan khorea Sydenham sampai demam reumatik tetap merupakan tanda tanya
untuk beberapa waktu lamanya. Periode laten antara mulainya infeksi streptokokus dan
mulainya gejalagejala khorea lebih lama daripada periode laten yang diperlukan untuk
arthritis maupun karditis. Periode laten khorea ini sekitar 3 bulan atau lebih, sedangkan
periode laten untuk arthritis dan karditis hanya 3 minggu. Penderita dengan khorea ini datang
dengan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil.
Manifestasi ini lebih
nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres. Penderita tampak selalu gugup dan
seringkali menyeringai. Bicaranya tertahan- tahan dan meledak-ledak. Koordinasi otot-otot
halus sukar. Tulisan tangannya jelek dan ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap
dengan garis yang ragu-ragu. Pada saat puncak gejalanya tulisannya tidak dapat dibaca sama
sekali.
3.Erithema marginatum
· merupakan ruam (kemerahan) yang khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada
penyakit lain. Karena kekhasannya tanda ini dimasukkan dalam manifestasi minor.
· Keadaan ini paling sering ditemukan padabatang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan,
tidak melibatkan muka.
· Ruam makin tampak jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat,
sementara pada penderita berkulit hitam sukar ditemukan.
4.Nodul subkutan.
Frekuensi manifestasi ini menurun sejak beberapa decade terakhir, dan kini hanya ditemukan
pada penderita penyakit jantung reumatik khronik. Nodulus ini biasanya terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama ruas jari, lutut, dan persendian kaki. Kadang-kadang
nodulus ini ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis.
Gejala kardiak:
1. Stenosis mitral
- Berkurangnya aliran darah selama diastolic melewati katup mitral akibat penyempitan katup
- Penyebab utama:demam rheumatik, merupakan petunjuk adanya beberapa kali
kekambuhan
8
mitral valvulitis
- Katup mitral sempit akibat fusi pada komisura,daun katup kaku,menebal dan mengalami
kalsifikasi,korda tendiane mengalami kontraktur melekat satu sama lain akibat jaringan parut.
Proses ini ditambah pemendekan dari korda yang menyebabkan daun katup tertarik ke bawah
sehingga membentuk struktur berbentuk corong sempit.
- Dispnea: disebabkan tekanan tinggi pada atrium kiri dan pembuluh kapiler sehingga terjadi
bendungan paru kronik disertai episode edema alveolus
- Dispnea on effort: keluhan sesak napas apabila ada beban fisik di mana HR meningkat
- Orthopnea:tanpa beban fisik sekalipun sudah bendungan. Terjadi beberapa menit dalam
keadaan baring dan penderita tidak tidur..
- PND
- EKG: hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kanan. LAH dan P mitral pada sandapan I,II dan
sandapan dada. LAH pada sandapan V1 ditunjukkan oleh P negative yg jelas.
- Foto toraks: CTR>50%, apeks ke lateral dibentuk oleh ventrikel kanan. Pembesaran atrium
kiri nampak sebagai double contour, pinggang jantung mendatar/mencembung.
- Keluhan tergantung dari derajat MS
1. MS ringan:MVA 1,6-2 cm2 – mungkin terjadi sesak napas pd beban fisik yg sedang, tetapi
pd umumnya dapat mengerjakan aktivitas sehari2
2. MS sedang berat: MVA 1-1,5 cm2 – sesak napas mengganggu aktivitas seharian, mula
timbul bila jalan cepat atau menanjak.batuk, sesak napas, wheezing
3. MS berat: MVA<1 cm2 – keluhan sudah timbul pada aktivitas ringan,dispnea
berat,palpitasi, lelah yg berat,batuk,hemomptisis,suara serak,udema,orthopnea dan PND.
Cardiac output menurun, edema paru dan tanda2 gagal jantung kanan yg berat.
2. Regurgitasi mitral
- Penutupan katup(koaptasi) tidak sempurna apabila satu atau lebih dari apparatus mitral
(dinidng atrium kiri annulus mitralis,daun katup,korda tendinae,M.papilaris,dinidng ventrikel
kiri) disfungsi karena penyakit.
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR) diantaranya adalah
gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh bagian jantung), pneumonitis
reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark
(kematian sel jantung).
9
Gagal jantung
- miokard kehilangan fungsinya sehingga terjadi penurunan cardiac output.
- pada keadaan mitral stenosis, darah sedikit dapat melewati katup yang sempit dari atrium
kiri ke ventrikel kiri(restriksi&obstruksi pengisisan ventrikel) darah banyak terkumpul di
atrium menyebabkan atrium dilatasi dan hipertrofi. Tekanan di atrium meningkat sehingga ia
bergerak pasif menyebabkan tekanan di pulmo meningkat dan terjadi edema
Pulmonal,dispnea,orthopnea dan PND
- apabila terjadi regurgitasi mitral, darah yang mengalir ke ventrikel kiri balik lagi ke atrium
kiri. Pada masa yang sama, atrium kiri turut menerima darah dari v.pulmonalis banyak darah
dari atrium akan
masuk ke ventrikel kiri sehingga kerja ventrikel bertambah dan terjadi hipertrofi ventrikel
kiri.
- oleh karena ventrikel gagal berfungsi dengan baik untuk memompa darah ke aorta, darah
kurang melewati aorta untuk ke seluruh tubuh sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan
darah ke organ berkurang, fungsi organ berkurang ( di otak hilang keseimbangan,di ginjal
sehingga anemia)
- EKG: QRS melebar dan meninggi (hipertrofi ventrikel kiri)
- foto toraks: CTR meningkat (normal < 50%), jantung bergeser ke lateralkaudal(gagal
jantung kiri), aorta mengecil (darah <lewat), cornus pulmo melebar(A.pulmonalis dilatasi)
Pemeriksaan Penunjang 3,4
- Laboratorium
Kultur tenggorok hanya fase akut, tidak sensitive Streptococcus B hemolyticus
• Dalam agar darah :
Koloni keabuan Translucent, diameter 1 – 2 mm, dikelilingi halo tdk berwarna, transparant
akibat disolusi sel-sel darah merah.
Gram (+)
ASTO (antibody Streptoccocus Titer O) dan Antistreptoccocal DNAse B (ADB) test
terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi umur dan lingkungan. Titer
ASTO (+) > 210 Todd pada orang dewasa dan > 320 Todd pada anak-anak.
Sedangkan ADB (+) >120 pada orang dewasa dan > 240 pada anak-anak. Antibodi
ini dapat terdeteksi pada minggu kedua minggu ke tiga setelah fase akut DR atau 4-5
minggu setelah infeksi kuman SGA di tenggorokan.
• Mengeluarkan toxin + enzyme terjadinya antibody, tetapi tidak menyebabkan
10
imunitas
• Pengukuran antibody mendeteksi infeksi strept. Yg baru/ blm lama terjadi (ASO)
• Strept, tdk bermigrasi dari pharynx ke jantung atau sendisendi. Tidak ada
penyebaran kuman diseluruh tubuh.
Acute-phase reactants, Erythroscyte Sedimentation Rate (ESR) and C-reactive
protein (CRP) non-spesific tapi berguna untuk memonitoring perjalanan penyakit.
Blood culture untuk menyingkirkan diagnosis banding: septic bakeremia, infective
endocarditis and disseminated gonococcal infections.
Rheumatoid Factor untuk menyingkirkan Rheumatoid arthritis
Imaging
Chest Radiography untuk menilai cardiomegaly and CHV karena karditis
EKG dijumpai PR interval memanjang (AV blok derajat I) dan mitral valvular
stenosis. AV blok derajat II dan III mungkin terjadi dan Aortic valvular jarang
PR Interval normal: Jarak antara permulaan P sampai dengan permulaan QRS
Normalnya 0,12-0,20 detik
TERAPI 2,3,4
Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat
serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya,
seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan korea.
Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan
DR dan diberikan fase awal serangan. Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah
serangan ulangan DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup
jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung
11
Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Rheumatik
Durasi Pencegahan Sekunder Demam Rheumatik
.Menghilangkan gejala yang menyertainya
12
Penunjuk Tirah Baring dan Ambulasi
Penekanan Proses Inflamasi
Sangat disarankan untuk mencegah pemberian dini salisilat atau kortikosteroid sampai
diagnosis RF dipastikan. aspirin, 100 mg / kg-hari dibagi menjadi 4-5 dosis, adalah baris
pertama terapi dan umumnya memadai untuk mencapai respon klinis. Pada anak-anak, dosis
dapat ditingkatkan sampai 125 mg / kg-hari, dan untuk 6-8g/ hari pada orang dewasa. Dosis
aspirin yang optimal harus memastikan respon yang memadai tetapi menghindari toksisitas.
Jika gejala keracunan muncul, mereka bisa mereda setelah beberapa hari walaupun kelanjutan
dari obat, namun salisilat kadar darah bisa dipantau jika fasilitas tersedia.Setelah mencapai
yang diinginkan konsentrasi awal dipertahankan selama dua minggu, dosis dapat diturunkan
60-70mg/kg-hari dengan tambahan 3-6 minggu .
Tidak ada uji coba terkontrol membandingkan aspirin dan nonsteroidal agen anti-
inflamasi telah dilakukan. Namun, dalam pasien yang tidak toleran atau alergi terhadap
aspirin, naproxen (10-20mg / kg-hari) telah digunakan . Salah satu kesalahan paling umum
dilakukan oleh dokter adalah pemberian awal terapi anti-inflamasi sebelum diagnosis
akhirnya telah ditetapkan.
Pasien dengan perikarditis atau gagal jantung memberi respon dengan kortikosteroid,
kortikosteroid juga dianjurkan pada pasien yang tidak merespon salisilat dan yang terus
memburuk dan berkembang menjadi gagal jantung meskipun terapi anti-inflamasi .
Prednisone (1 - 2mg/kg-hari, sampai maksimal 80mg/hari diberikan sekali sehari, atau dosis
terbagi) umumnya obat yang dipilih.
Dalam keadaan yang mengancam jiwa, terapi dapat dimulai dengan intravena metil
prednisolon. Setelah 2-3 minggu terapi dosis dapat menurun dengan 20-25% setiap minggu .
Sementara mengurangi dosis steroid, dengan waktu saling tumpang tindih ,aspirin dianjurkan
untuk mencegah rebound aktivitas penyakit .
13
Rekomendasi penggunaan anti inflamasi
Pengobatan pada gagal jantung
Gagal jantung di RF umumnya merespon tidur istirahat dan steroid, tetapi dalam
pasien dengan gejala berat, diuretik, angiotensin converting enzyme inhibitor, dan digoksin
dapat digunakan .Pada awalnya, pasien harus mengikuti diet natrium dibatasi dan diuretik
harus diberikan. Pasien dengan penyakit jantung katup rheumatik yang lanjut Angiotensin
converting enzyme inhibitor dan / atau digoxin dapat diberikan
Pengobatan Chorea
Chorea selama ini dianggap sebagai tidak berbahaya dan dapat sembuh sendiri
penyakit, tidak memerlukan terapi. Namun, ada laporan terbaru bahwa suatu kasus
berkepanjangan dapat menyebabkan kecacatan dan / atau keterasingan sosial. Tanda-tanda
dan gejala chorea umumnya tidak merespon baik terhadap agen anti-inflamasi. Neuroleptik,
benzodiazepines dan antiepileptics diindikasikan, dengan kombinasi langkah-langkah
dukungan seperti istirahat di ruangan yang tenang. Haloperidol, diazepam, carbamazepine
semua telah dilaporkan efektif untuk pengobatan chorea. Tidak ada bukti meyakinkan di
dalam literatur bahwa steroid bermanfaat bagi terapi dari chorea dikaitkan dengan rheumatik
demam.
TindakanPembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan untuk penyakit katup rheumatik kronis. Sekarang
jarang diperlukan selama demam rheumatik akut (RF). Secara umum, perlunya perawatan
bedah ditentukan oleh tingkat keparahan gejala-gejala pasien dan / atau bukti bahwa fungsi
jantung secara signifikan terganggu. Hal ini sangat penting untuk mencegah ireversibel
kerusakan pada ventrikel kiri dan hipertensi pulmonal ireversibel, karena keduanya sangat
14
meningkatkan risiko pengobatan bedah, merusak hasil jangka panjang dan membuat operasi
kontra-indikasi.
Indikasi untuk pengobatan bedah adalah sebagai berikut :
Bila ada MS, pasien dengan MS sedang atau berat (mitral area klep 1.5cm2) dan
NYHA kelas III/IV.
Bila ada MR, pasien dengan gejala kelas fungsional NYHA II / III / IV dengan
- Yang normal ventrikel kiri (LV) function (fraksi ejeksi> 60% dan akhir-sistolik
dimensi(<45mm)
- Disfungsi ringan (fraksi ejeksi 50-60% dan akhir-sistolik dimensi 45-50mm);
- Disfungsi sedang (fraksi ejeksi 30-50% dan endsystolic dimensi 50-55mm);
- LV disfungsi berat dan preservasi chordal, atau normal LV fungsi dan hipertensi
pulmonal.
Bila ada AS, pasien dengan gejala berat AS atau adanya disfungsi LV, takikardia
ventrikel,> 15mm LV hipertrofi, area katup <0.6cm2.
Bila ada AR, dengan NYHA kelas fungsional II gejala / III / IV dengan:
- NYHA fungsional kelas III / IV dan dipertahankan LV fungsi (fraksi ejeksi> 50%);
- dipertahankan LV function (fraksi ejeksi> 50%), namun LV dilatasi atau menurun
fraksi ejeksi pada saat istirahat
- Disfungsi ringan (fraksi ejeksi 50-60% dan akhir-sistolik dimensi 45-50mm);
- Disfungsi sedang (fraksi ejeksi 30-50% dan endsystolic dimensi 50-55mm).
Kontra-indikasi untuk operasi
Ada beberapa kontra-indikasi mutlak untuk operasi katup. Kontra-indikasi
relatif dan melibatkan risiko / perhitungan manfaat. Kontra-indikasi relatif meliputi
manifestasi katup stadium akhir penyakit, seperti fungsi LV sangat miskin dalam
hubungan dengan regurgitasi lesi, hipertensi pulmonal berat tetap atau extraannular
ekstensif kerusakan jaringan akibat endokarditis yang tidak terkendali. Buruk LV
fungsi dalam hubungan dengan AS terisolasi parah jarang kontraindikasi, sebagai
peningkatan yang cukup dapat diharapkan mengikuti relief obstruksi. Penilaian sering
lebih sulit ketika AS yang parah berdampingan dengan penyakit koroner yang luas
dan penyebab LV disfungsi tidak pasti. Usia pasien dan adanya komorbiditas juga
15
memengaruhi resiko / perhitungan manfaat. Pasien muda sering memiliki yang luar
biasa kemampuan untuk pemulihan, bahkan dari stadium akhir penyakit katup.
Sebaliknya, faktor risiko yang merugikan memiliki pengaruh yang jauh lebih jelas
dalam tua pasien.
Co-morbiditas yang memerlukan pertimbangan termasuk:
- Gagal ginjal (terutama jika fasilitas lokal untuk hemofiltrasi atau hemodialisis
langka);
- Penyakit paru tingkat lanjut;
- Anemia hemolitik parah yang tidak dapat dikontrol secara medis;
- Arteriopathy umum berat;
- Penyakit ganas;
- Ekstrim kelebihan berat badan (yang mengarah ke komplikasi paru);
- infeksi berat sampai bisa dihilangkan.
Status gizi yang baik meningkatkan peluang pasca-operasi untuk bertahan hidup,
sedangkan parah cachexia karena penyebab jantung atau lainnya sangat mengurangi
harapan hidup.
Pembedahan
Prosedur pembedahan yang dilakukan mencakup commissurotomy mitral
tertutup,perbaikan katup dan penggantian katup. Teknik perbaikan katup
dan penggantian katup memerlukan operasi jantung terbuka menggunakan by pass
cardiopulmonary.Tidak diindikasikan perbaikan katup untuk mencegah
perkembangan rheumatik penyakit katup . Meskipun bioprosthetic katup mungkin
menarik bagi wanita muda yang ingin hamil, mungkin menurun lebih cepat selama
kehamilan, terutama dengan kehamilan kembar .
Di banyak negara berkembang, penggunaan katup biologis dan bioprosthetic
telah hampir ditinggalkan, dan katup mekanik merupakan kompromi terbaik untuk
usia muda atau setengah baya pasien dengan penyakit katup rheumatik, walaupun
perlu pengobatan antikoagulan jangka panjang . Bahkan, terjadi risiko tromboemboli
pada pasien muda yang aktif dalam ritme sinus dengan baik Fungsi LV jauh lebih
rendah dibandingkan dengan yang lebih tua khas setengah baya dan pasien katup tua
dengan faktor risiko yang terkait seperti diabetes,
hipertensi dan penyakit arteri . Adalah penting bahwa prostesis thrombogenic paling
tidak harus ditanamkan, karena dapat kesulitan untuk pengelolaan terapi
16
anticoaugulation jangka panjang walaupun dalam kasus yang ringan.Secara umum,
katup mekanik dengan desain bileaflet tampaknya lebih rentan trombosis pada katup
jika antikoagulasi tidak digunakan, atau jika pengobatan adalah kurang optimal, jika
dibandingkan dengan katup dengan desain disc miring yang modern
Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang meliputi penggantian katup :
- Katup kerusakan struktural (permaaslahan bilogi dan bioprosthetic katup dan
kerusakan adalah
tergantung waktu);
- Katup trombosis (0,01-0,5% per tahun);
- Tromboemboli (2-5% per tahun);
- Prostetik endokarditis (0,2-1,2% per tahun);
- Pendarahan besar (konvensional dikaitkan dengan antikoagulan),1-4% per tahun;
- Paravalvular kebocoran (0,1-1,5% per tahun).
Dari studi yang tersedia , pengamatan berikut dapat dibuat :
• Pembedahan dapat dengan tidak aman dilakukan selama carditis aktif dan kasus
refraktori carditis aktif, mungkin lebih baik penggunaan kortikosteroid jangka
panjang.
• peradangan miokard tidak memainkan peran penting dalam klinis patologi carditis
aktif.
•Pilihan bedah mungkin bukan yang terbaik untuk perbaikan Valve selama carditis
aktif kecuali jika ada bukti makroskopik terjadi peradangan katup, karena perbaikan
katup dikaitkan dengan signifikan tingkat reoperation.
KESIMPULAN 3
1. Kriteria diagnostik untuk RF dan RHD telah ditinjau dan modifikasi,
direkomendasikan berdasarkan informasi baru dan pada kebutuhan untuk
menawarkan panduan praktis untuk diagnosis dan manajemen untuk dokter dan
otoritas kesehatan masyarakat.
Kriteria WHO 2002-2003 untuk diagnosis RF dan RHD secara khusus:
• serangan primer demam rheumatik
17
• Serangan berulang demam rheumatik pada pasien tanpa bukti penyakit jantung
rheumatik
• Serangan berulang demam rheumatik pada pasien dengan pra-ada penyakit jantung
rheumatik.
• Rheumatik (Sydenham) chorea
• carditis onset Insidious berhubungan dengan demam rheumatik
• Penyakit jantung rheumatik kronis
2. Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik tetap andalan untuk mendiagnosis penyakit
jantung katup RF dan rheumatik terutama di daerah yang miskin sumber daya. 121
3. Laboratorium mikrobiologi klinik memainkan peran penting dalam program
pengendalian demam rheumatik, dengan memfasilitasi identifikasi grup A infeksi
streptokokus dan memberikan informasi jenis streptokokus menyebabkan penyakit.
4. Pasien dengan penyakit katup rheumatik membutuhkan rujukan tepat waktu untuk
intervensi operasi saat kriteria klinis atau echocardiographic terpenuhi. Manajemen RHD
pada kehamilan tergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit katup, dan teratur
ditindaklanjuti dan evaluasi adalah wajib untuk tujuan ini.
5. Pencegahan primer demam rheumatik terdiri dari efektif pengobatan grup A streptokokus
faringitis beta-hemolitik, dengan tujuan mencegah serangan pertama .
6. Pencegahan sekunder demam rheumatik didefinisikan sebagai teratur pemberian antibiotik
(biasanya penisilin benzatin G diberikan intramuskuler) pada pasien dengan riwayat
rheumatik Demam / penyakit jantung rheumatik untuk mencegah kelompok faringitis
streptokokus dan kambuhnya demam rheumatik akut.
7. Endokarditis infektif tetap menjadi ancaman utama bagi individu dengan penyakit katup
rheumatik kronis dan juga untuk pasien dengan katup prostetik.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Leman,S :Demam Rheumatik dan Penyakit Jantung Rheumatik .Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam.Edisi IV,Jilid 3,Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK_UI Jakarta 2006;1560
2. Siregar,A,Afif:Demam Rheumatik dan Penyakit Jantung Rheumatik Permasalahan di
Indonesia.Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Kedokteran
USU_Medan,2008
3. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease WHO
Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 9 October -
1 November 2001.
4. National Heart Foundation Of Australia and the Cardiac Society of Australia and New
Zealand.Diagnosis and management of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease in Australia. An Evidence Base Review, June 2006
19