Post on 16-May-2019
PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PRAKTEK BOKA (MAHAR)
PERKAWINAN DI MASYARAKAT BUTON
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Razak
NIM. 1111044100011
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2018 M/ 1439 H
v
ABSTRAK
RAZAK. NIM 1111044100011. PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP
PRAKTEK BOKA (MAHAR) PERKAWINAN DI MASYARAKAT BUTON. Kosentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. ix +78 halaman + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana takaran nilai boka atau papolo
masyarakat adat Buton yang mempunyai stratifikasi sosial tinggi dan ingin malaksanakan
upacara perkawinan. Masyarakat yang strata sosialnya tinggi maka nilai boka atau papolo nya
akan tinggi juga, bahwasanya keturunan kaomu harus menikahi kaomu, keturunan walaka
menikahi walaka. Oleh karena itu, Praktek mahar perkawinan di masyarakat Buton tergantung
bagaimana stratifikasi sosial pada masyarakat Buton. Pada penelitian ini penulis melakukan
penelitian langsung turun ke lapangan melakukan wawancara terhadap para toko adat Buton dan
juga sumber pustaka sebagai tumpuan utamanya, ini digunakan agar dapat melakukan efesiensi
dalam penelitian dan memudahkan penulis untuk mendapatkan data yang diperlukan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian yang langsung
turun ke lapangan (field research) melakukan wawancara terhadap para tokoh adat Buton dan
juga sumber pustaka sebagai tumpuan utamanya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah praktek boka di masyarakat
Buton dari dulu sampai sekarang masih tetap berlaku dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Toko adat dan masyarakat Buton masih memberlakukan adat boka jika melaksanakan upacara
perkawinan. Nilai atau nominal boka masih tetap sama nilainya dari zaman dulu sampai sekarang
ini yang berubah itu adalah nilai tukarnya karena alat-alat perlengkapan perkawinan dulu dan
sekarang sangatlah berbedah. Oleh karena itu, kedua bela pihak mempelai laki-laki dan
perempuan bisa melakukan negosiasi.
Kata Kunci : Boka, Papolo, Stratifikasi, Kaomu, Walaka, Negosiasi
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d Tahun 2015
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah Suhanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dan juga telah memberikan petunjuk
dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.
Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh
setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju
gerbang masa depan yang cerah. Maka dari itu penulis mencoba untuk
menyelesaikan suatu karya tulis ilmiah yang merupakan salah satu syarat demi
menggapai masa depan tersebut yaitu dengan cara menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun oleh penulis untuk memenuhi persyaratan dalam meraih
gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Namun penulis sadar dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan
didalamnya, akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini bisa banyak
bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi orang banyak.
Dalam penyusunan skripsi ini, perlu diketahui penulis tidak akan dapat
menyelesaikannya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan tulus kepada
yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan
Bapak Indra Rahmatullah S.H.I, M.H., Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga (Al- Ahwal Al- Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dosen Pembimbing Akademik sekaligus
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan
arahannya yang juga tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan
memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga beliau senantiasa
diberikan kesehatan oleh Allah swt.
4. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan
membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi
ini, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Bapak Faza, Ibu Siti Sholehah, S.Ag, dan Ibu Yanti, terima kasih atas
bantuan administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.
6. Seluruh staff dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Para toko adat Buton yaitu bapak Al-Mujazi Mulku Zahari dan bapak La
Jaati yang telah memberikan informasi dan data
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan
dalam mengumpulkan referensi kepada penulis.
9. Yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang hayat,
ayahanda La Arabu dan ibunda Hamzia orang tua penulis, nenek tercinta,
(Alm.) kakek tercinta, kakak tercinta Rina, Rini dan Darlin, ibu Salmira
dan bapak Aezu La Heda yang saya sudah anggap sebagai orang tua
senidiri, calon teman hidupku Nining Paramita Heda, terima kasih tak
terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan
dalam mendampingi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu
diberi kesehatan dan semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt.
10. Teman-teman keluarga Besar prodi Peradilan Agama angkatan 2011 kelas
A dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Fauzan
Hakim, Muhammad Rizki Romdan, Edi Sudrajat, Muhammad Taufiq
Rahman, Samsul Bahri, Ibnu Iqbal, Raza Nur Fikri, Ma’mun Siraj,
Muhammad Nazir, serta teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan
viii
semua namanya satu persatu. Terima kasih atas kebersamaannya,
motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian
semuanya.
11. Kepada La Ode Chusnul Khuluk, Harsin Hamid, Muhammad Awaluddin
dan sahabat seperjuanganku Yudhi asfar Fahruddin terimah kasih tak
terhinggah yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi sejak
pertama datang di Jakarta sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
12. Untuk keluarga besar Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Buton
(HIPPMIB-Bersatu Jakarta) sangat banyak mengucapkan terimah kasih.
13. Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah
swt. Hanya untaian kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan.
Semoga semua pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, serta
arahannya kepada penulis senantiasa diberi kesehatan dan dalam
lindungan Allah swt, diridhoi setiap langkah kehidupannya serta
mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan
dukungannya, hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah
swt dengan balasan yang berlipat ganda. Penulispun berharap agar skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Tangerang, 06 Juli 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 6
E. Kerangka Teori ......................................................................... 7
F. Tinjauan Studi Terdahulu .......................................................... 9
G. Metode Penelitian .....................................................................
H. Sistematika Penulisan ………………………………………...
10
14
BAB II : KONSEP MAHAR DALAM ISLAM ........................................ 16
A. Pengertian Mahar …………………………………………….. 16
B. Mahar Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat …… 19
x
C. Pengertian Stratifikasi ............................................................... 27
BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON ................... 32
A. Wilayah Geografis Buton ......................................................... 32
B. Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka ..................................... 39
C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton .............................. 44
BAB IV : MAHAR DAN STATUS SOSIAL DI BUTON ......................... 48
A. Praktek Boka dalam Perkawinan Adat Buton .......................... 48
B. Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Penentuan Jumlah
Kadar Boka di Buton ..................................................................... 57
C. Pandangan Penulis tentang Praktek Mahar Dalam Perkawinan
Masyarakat Buton ...................................................... 62
BAB V : PENUTUP .................................................................................... 65
A. Kesimpulan ............................................................................... 65
B. Saran ......................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan negara yang meiliki banyak keberagaman.
Baik itu suku, budaya, agama dan adat istiadat. Oleh karena itu, Indonesia
terlahir dan terikat oleh norma dan agama sehinggah setiap orang memiliki
kebebasan untuk menganut dan mempercayai segala ketentuan norma dan
agama. Dengan demikian, norma itu mulai masuk ke dalam lapisan
masyarakat. Umat muslim, diatur perilakunya oleh hukum-hukum yang ada
pada agama Islam. Baik itu yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia,
maupun hubungan manusian dengan Tuhan. Dilihat dari segi fungsi hukum
Islam, masyarakat Muslim menjani kehidupannya dengan melakukan interaksi
sosial antar sesama.1 Adanya norma, membuat masyarakat mempunyai aturan
yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari sehinggah norma merupakan
bukti nyata yang melekat kuat pada masyarakat.2
Penegakan syariat Islam, Dilihat dari segi fungsi sangatlah bagus dan
memberikan kesan yang baik dalam membangun masyarakat yang beradab,
peduli dan sadar akan hukum. Namun, Islam hadir ditengah masyarakat yang
sebelumnya sudah memiliki tradisi. Disamping itu, ada agama lain yang
tumbuh dan memiliki hak yang sama di depan hukum sehinggah saat
menjalankan syariat Islam dibutuhkan toleransi antar sesama umat beragama
agar terhindar dari segala pertikaian. Indonesia bukanlah negara agama
melainkan negara yang beragama dan berdasarkan terhadap ideologi dan
memiliki semangat kebangsaan, yang mayoritas rakyatnya penganut agama
Islam. Penerapan syariat Islam harus memiliki semangat dan jiwa “Islam
rahmatan li al-aalamin”. Dalam penataan sistem hukum sebisa mungkin tidak
1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional,
(Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h., 11. 2 Hans Kelsen, Dasar-Dasar hukum Normatif, Penerjemah Nurlita Yusron, (Bandung:
Nusa Media, 2009), Cet. II, h., 214.
2
bertabrakan dengan sifat masyarakat yang memiliki banyak perbedaan agar
tidak bersifat kontra sehinggah menghasilkan sistem hukum yang disetujui.3
Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus
dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada istri
(QS. An-Nisa‟ (4): 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah
maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak.
Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya.
Berdasarkan ayat itu dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang
diberikan oleh pihak suami kepada istri untuk dimiliki sebagai penghalal
hubungan mereka.
Mengenai perkawinan, memang banyak adat yang mengatur disetiap
daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di
daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang
mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang
teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan
tersebut. Karena hukum adat efektif apabila mempunyai basis sosial yang
relative kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat
secara sukarela.4
Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari
masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku
bangsa yang lain, antara yang bergama islam berbeda dari yang beragama
Kristen, Hinndu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari
masyarakat kota. Dikarenakan perbedaan tata tertib adat maka seringkali dalam
menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-
kadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan
ketegangan.5
3 Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar pada buku Yayan Sopyan, Islam Negara:
Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, h., 12. 4 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.,
34. 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakri, 1990),
h., 12.
3
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh
masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap
masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam
melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan,
namun perbedaan-perbedaannya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau
sarana pendukung proses peminangan tersebut.6
Mahar selalu memainkan fungsi dan perannya yang sangat penting
terutama berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dan juga ekonomi. Ada
banyak istilah tentang mahar misalnya mahr (Arab) ke dalam pakem lokal
seperti dower dan dowry (Inggris), jujuran (Banjar), sompa, dui‟ menre atau
dui balanca (Bugis), uang panaik (Makassar), mahar, pisuka dan ajikrama
(sasak), serta maskawin (Jawa), menunjukkan bahwa mahar sangat banyak
pemaknaannya. Pada kalangan tertentu, mahar menunjukkan kelas sosial
seseorang. Zaman dulu dan sekarang, di masyarakat Jawa mahar selalu
ditunjukkan ke publik dan sosial.7
Mahar adalah syarat pernikahan. Dalam sejarah hukum Islam, jenis dan
jumlah mahar tidak pernah ditentukan jumlahnya. Mahar berfungsi sebagai alat
yang selalu digunakan praktek pernikahan. Praktek mahar mendapat banyak
sorotan dari banyak masyarakat sebagai bentuk keberpihakan terhadap
perempuan, ekonomis atau makna moralnya.8
Di dalam perkawinan mahar merupakan suatu bagian yang penting dari
perkawinan seorang Muslim. Mahar diberikan oleh pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan dan khusus menjadi harta milik perempuan tersebut.
Dengan demikian, derajat kaum wanita terangkat dan juga merupakan suatu
tanda penghormatan kepadanya.9
6 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberti, 2007), h., 107.
7 Geertz, The Javance Family, Sebuah Studi tentang Kekerabatan dan Sosialisasi, (New
York: The Free of Glencoe, 1961), h., 45. 8 Noryamin Aini, Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia. Ahkam jurnal Ilmu Syariah, h., 14. 9Abd. Rahman, Perkawinan Syariat Islam. PT. Rineka Cipta, Jakarta, h., 63.
4
Praktek mahar erat kaitannya dengan kelas atau status sosial seseorang
(baik pengantin laki-laki atau perempuan). Dalam hal ini tradisi mahar dalam
wujud uang identik dengan kultur masyarakat kelas bawah. Mereka umumnya
menekuni pekerjaan tradisional, sebagai petani, pelaut, nelayan, buruh, pekerja
domestik, sopir, masinis, mandor, tukang ojek, tukang becak, penjahit, tukang
cukur, karyawan rendahan, tenaga keamanan dan kebersihan, pesuruh kantor,
pelayan warung/toko, tukang kebun, penjual makanan keliling, kondektur dan
kenek.
Pola praktek mahar uang secara teoritis dapat dipahami dari perspektif
ekonomi. Kecenderungan masyarakat kelas bawah untuk memilih uang sebagai
mahar harus dipahami dengan logika praktis pemenuhan kebutuhan dasar.
Kehidupan kelas bawah relatif sederhana dan masih terbatas pada pemenuhan
kebutuhan dasar. Dalam konteks ini uang menjadi media yang sangat praktis
untuk segala kebutuhan. Harapan masyarakat kelas bawah umumnya masih
relatif sederhana yang tergambar dari trdisi praktek mahar. Dengan dinamika
hidup dan kebutuhan yang serba nyata dan sederhana, setiap sesuatu, termasuk
mahar, akan lebih dimaknai eksposisif, praktis dan apa adanya, tanpa
pemaknaan simbolik ideologis yang lebih bernuansa gaya hidup glamour.
Dalam hukum Islam mahar dapat diistilahkan dengan maskawin,
sedangkan dalam hukum adat Buton mahar dapat diistilahkan dengan Boka
atau Papolo. Boka adalah suatu standar nilai yang umum yang digunakan oleh
masyarakat Buton, sedangkan papolo adalah bagian dari boka tersebut. Jadi
tidak ada perbedaan antara boka dan papolo yaitu sama-sama mempunyai arti
yang sama yaitu mahar. Yang wajib menurut Agama dalam perkawinan adat
Buton disebut juga dengan maskawin, sedangkan yang wajib menurut adat
dalam perkawinan adat Buton yaitu Boka atau Papolo.
Boka atau Papolo tersebut dapat digunakan dalam upacara-upacara
perkawinan dan kematian. Dalam perkawinan adat buton, Boka (mahar)
digunakan sebagai acuan untuk menentukan jumlah biaya yang akan
dikeluarkan untuk serangkaian upacara-upacara adat perkawinan. Karena
masyarakat Buton mengandung sistem patrilinear maka pihak laki-laki yang
5
akan meminang perempuan harus menyiapkan boka (mahar). Besaran mahar
tersebut sesuai dengan derajat keluarga pihak perempuan. Semakin tinggi
status sosial calon mempelai perempuan, maka nilai mahar yang harus dibayar
juga semakin tinggi. Begitupula jika perempuan itu memiliki pendidikan yang
tinggi, maka semakin tinggi pula boka yang harus dikeluarkan. Namun seiring
berkembangnya zaman, praktek tradisi boka mengalami reduksi. Pada saat ini
prinsip-prinsip yang dipegang dalam praktek tradisi boka mengalami dinamika
perubahan. Sebagian masyarakat Buton enggan menggunakan ukuran boka
yang telah ditentukan pemuka adat dalam rangkaian proses perkawinan. Soal
kerumitan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan memunkinkan mereka
untuk lebih memilih bernegosiasi langsung dengan pihak mempelai.10
Berangkat dari uraian di atas, maka penulis ingin meneliti dan mengkaji
lebih lanjut persoalan tersebut, dengan kajian ini dapat menambah wawasan
terkait dengan persoalan yang dimaksud. Adapun tema penulisan skiripsi ini
adalah “Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Praktek Boka (Mahar)
Perkawinan di Masyarakat Buton”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian di atas penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana praktek boka (mahar) terhadap masyarakat Muslim
Buton?
2. Bagaimanakah boka dijadikan sebagai acuan untuk menentukan
jumlah biaya dalam perkawinan masyarakat Buton?
3. Apakah pengaruh status atau derajat perempuan dapat
mempengaruhi jumlah boka?
4. Bagaimana pengaruh dinamika perubahan sosial praktek boka yang
telah ditentukan secara adat?
5. Apakah penetapan mahar jumlah boka itu harus melalui rapat
keluarga?
10
Proyek Penelitian dan Pencacatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan
Kebudyaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara, h., 105.
6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, Pembahasan skiripsi ini akan dibatasi pada
penerapan boka dalam perkawinan di masyarakat Buton yang akan
ditinjau baik dari perspektif hukum Islam maupun hukum adat di Buton
dengan menggunakan analisis deskriptif:
a. Praktek mahar di masyarakat Muslim Buton
b. Perubahan sosial berpengaruh dalam penentuan praktek boka
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dan untuk memudahkan
penulis melakukan kajian lebih mendalam, maka penulis merumuskan
beberapa masalah yaitu:
a. Bagaimana cara menentukan jumlah atau jenis mahar di masyarakat
muslim Buton?
b. Apakah stratifikasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah
praktek boka?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahuibagaimana praktek mahar di masyarakat muslim
Buton
b. Untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial berpengaruh dalam
penentuan jumlah kadar boka
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Secara teoritis tujuan penelitian ini adalah untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga
mengenai pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar
perkawinan di masyarakat Buton.
b. Secara praktis
7
Secara praktis, tujuan penelitian ini adalah untuk memperluas
pengetahuan penulis khususnya, dan umumnya bagi semua orang yang
ingin membaca skiripsi ini yaitu pengaruh stratifikasi sosial terhadap
praktek mahar perkawinan di masyarakat Buton, serta untuk
memenuhi syarat akademis dalam rangka memperoleh gelar sarjana di
Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Kerangka Teori
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada
Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk
itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera
(mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.11
Dalam akad nikah tersebut disebutkan nilai, rupa, atau jumlah mahar yang
akan diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan.
Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian wajib
berupa uang atau barang dan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.12
Menurut Peunoh Daly mahar
adalah hak istri yang di terimah dari suaminya, pihak suami memberikannya
dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang
dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah
imbalan daripada budkhul (menggauli) istri karena kenikmatan dan
kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.13
Dasar diwajibkan memberikan mahar terkandung dalam QS. An-Nisa‟ (4): ا آر
سئب ئب فسب فني ء ش ع ىن طج حيخ فب اىسبء صدقبر
Artinya: Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
11
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2004), h., 206. 12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai
Pustaka, 2005) h., 696. 13
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Stadi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahklus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), h., 219.
8
kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
4 dan QS. An-Nisa‟ (4) 24,
ن عي مزبة اىي بن ينذ أ ب اىسبء اىب حصبد اى زاء ذىن ب أحو ىن
أجز فآر ث زعز ب اسز ف سبفح س غ حص اىن رجزغا ثؤ أ
ثعد اىفسعخ ث ز ب رساظ ف ن ىب جبح عي ب فسعخ ب حن عي مب اىي ا
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri)
di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),
sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
dan aturan mengenai tatacara pemberiannya tertuang dalam QS. Al-
Baqarah
(2): 237, ى ز سظ د ف ق س ر و أ ج ق ز ق ي ط ا
بح ن ح اى د ق ع د ث ر اى ف ع أ ف ع ب أ ى ا ز سظ ب ف صف خ ف ع س ف
ي ع ب ر ث ىي ا ا ن عو ث ف ا اى س ب ر ى ق ز ي ة ى س ق ا أ ف ع ر أ
س ص ثArtinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang
yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada
takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.
dan QS. Al-Baqarah (2): 236,
ظا ى س ف ر أ س ر ب ى بء س اى ز ق ي ط ا ن ي بح ع ب ج ى
ب بع ز ز د س ق ز ق اى ي ع ز د ع ق س اى ي ع ع ز خ ع س ف
س ح اى ي ب ع ق ف ح س ع بى ث Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan
9
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Yang mengindikasikan tidak ada batasan maksimal dalam memberikan
mahar, meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan
batasan minimal mahar. Namun dalam salah satu hadisth yang diriwayatkan
Ahmad
ئ سس اىنبح ثسمخ ا اعظ ه اهلل ص قبه: ا زس عبئشخ زض ا خع
Dari „Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Nikah
yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”. [HR.
Ahmad]
Dalam prosesi pernikahan adat istiadat Buton, mahar dikenal dengan
istilah boka. Boka sama halnya dengan mahar yang pada umumnya dimaksud,
disebutkan dalam akad nikah, namun dalam ketentuan adat istiadat Buton,
nilai dan jumlahnya harus disesuaikan berdasarkan strata sosial yang dimiliki
oleh pihak mempelai perempuan. Perlu diketahui juga, bahwasanya boka tidak
hanya digunakan dalam upacara pernikahan semata, akan tetapi juga
digunakan dalam upacara kematian.
F. Tinjauan Studi Terdahulu
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik
yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupuan
perpustakaan fakultas syariah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti
lainnya. Namun terdapat beberapa tulisan yang memiliki hubungan dengan
penelitian ini yaitu:
1. Konsep Mahar Menurut Empat Mazhab oleh Eva Fatimah pada Tahun
2004. (Universistas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syariah dan Hukum. Skripsi ini membahas tentang mahar menurut
imam mazhab empat dalam hal syarat-syarat mahar, diwajibkannya
mahar, macam-macam mahar, dan hikmah pemberian mahar.
Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun adalah
skripsi tersebut lebih menekankan pada kajian mahar menurut empat
10
mazhab sedangkan pembahasan yang disusun oleh penulis mengenai
pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar perkawinan di
masyarakat Buton.
2. Konsep Mahar dalam Counter Legal Draft (CLD) Hukum Islam oleh
Azhar Anas pada Tahun 2011. (Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum. Skripsi ini
membahas tentang konsep mahar dalam counter legal draft yang berisi
tentang syarat-syarat mahar, bentuk mahar, dan kadar mahar.
Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun lebih
menekankan pada pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar
perkawinan di masyarakat Buton sedangkan skripsi tersebut lebih
menekankan konsep mahar dalam counter legal draft (LCD) hukum
islam.
3. Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia oleh Noryamin Aini pada
Tahun 2014. (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Syariah dan Hukum). Membahas tentang Tradisi Mahar di
Ranah Lokalitas Umat Islam yang berisi tentang mahar dan status
sosial, dan tren praktek mahar di masyarakat muslim indonesia.
Perbedaan dengan jurnal yang ditulis oleh Noryamin Aini tersebut
adalah beliau membahas tradisi mahar di ranah lokalitas umat Islam di
masyarakat muslim Indonesia sedangkan skripsi ini lebih fokus kepada
pengaruh stratifikasi sosial terhadap praktek mahar di masyarakat
Buton.
G. Metode Penelitian
Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu
metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang
dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat.
Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:
11
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini diketegorikan sebagai penelitian lapangan (field
research) yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian
(masyarakat dan tokoh adat) secara langsung di daerah penelitian.14
Penelitian ini merupakan penelitian etnografi. tentu saja sebagai suatu
rancangan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya
menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses
penelitian berlangsung secara lebih baik. Terdapat dua kelompok
dalam memandang etnografi yaitu etnografi sebagai paradigma
filosofis dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian.
Namun ada yang menganggap etnografi sebagai keduanya, Artinya di
satu sisi sebagai paradigma filosofis, sedangkan dilain sisi merupakan
rancangan penelitian yang hendak dilakukan.15
Terdapat dua jenis penelitian etnografi, yaitu Tradisional
Ethnography dan Problem-Oriented Ethnography. Tradisional
Ethnography mencoba untuk memberikan gambaran lengkap untuk
seluruh budaya berdasarkan pengalaman dari para etnografer yang
hidup ditengah-tengah masyarakat paling tidak selama satu tahun. Di
masa lampau inilah tujuan utama dari etnografi, pada masa kini,
banyak etnografer menggunakan pendekatan melalui masalah-masalah
yang berorientasi (issue-oriented approach) ke lapangan, yang
berkonsentrasi pada satu aspek dari sebuah budaya16
. Dan penelitian
etnografi ini termasuk kedalam jenis problem-oriented ethnography.
Jadi dapat dikatakan bahwa etnografi adalah suatu kebudayaan
yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu
bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi,
dan sebagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali
14
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009), h., 28. 15
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h., 59. 16
Robert Edward Leinkeit, Perkenalan Antropologi Budaya, (New York: The Mc Graw-
Hill Campanies, 2004), Lampiran A, h., 2.
12
bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik
mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah
mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut
yaitu pengetahuan dari semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.17
2. Metode Pendekatan
Saat ini banyak para etnografer mengambil sebuah pendekatan
yang disebut etnografi reflektif. Kategori yang luas ini mengacu pada
bagian-bagian yang mencakup perspektif pribadi dan reaksi dari
peneliti di lapangan ketika sedang tenggelam dalam hiruk pikuk situasi
di lapangan. Data sering disajikan seolah-olah seperti sebuah dialog
yang terjadi antara satu atau lebih informan dari masyarakat asli
dengan etnografer tersebut, sehinggah lebih menyerupai penulisan
sastra daripada sebuah deskripsi ilmiah. Biasanya etnografi tidak
memasukan data pembanding atau kuatifikasi data. Etnografi
merupakan cerminan dari pandangan humanistik dan posmedernis.18
Etnografer lainnya masih mencampurkan beberapa pendekatan,
etnografer ini menujukkan komitmennya pada metode ilmiah, dengan
penekanan pada pengamatan yang objektif, metode komparatif, dan
kuantifikasi data. Di saat yang sama para etnografer memasukan
beberapa elemen refleksif, seperti komentar mengenai perasaan
mereka pada saat pengumpulan data, serta sudut pandang dan pendapat
dari penduduk asli.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga
menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologis lebih
diarahkan pada penelusuran pola-pola yang dicita-citakan dalam
masyarakat. Antropologi lebih memusatkan pada usaha-usaha untuk
merekonstruksikan kebudayaan-kebudayaan didalam suatu
keseluruhan atau kebulatan. Pendekatan antropologis akan
menghasilkan pola-pola yang ideal dari hukum, yang didasarkan pada
17
James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth.
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12. 18
Robert Edward Leinkeit, Perkenalan Antropologi Budaya, h., 54.
13
aspirasi-aspirasi para warga masyarakat. Bedanya dengan pendekatan
filosofis adalah bahwa antropologi memperoleh hasil-hasilnya dari
kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di lapangan).19
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian
deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan
karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan
mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.20
4. Lokasi Penelitian
Lokasi ini dilaksanakan pada satu kabupaten yang berada di
Propinsi Sulawesi Tenggara yaitu kabupaten Buton.Kabupaten ini
dipilih karena merupakan pusat Kerajaan Keraton Buton.Dimana adat
dan tradisi budayanya masih kental mengikuti orang-orang terdahulu
dengan aturan keraton tersebut.Apalagi dalam tradisi pernikahan.
Adapun lokasi penelitian yang akan penulis fokuskan untuk melakukan
penelitian adalah di wilayah Keraton, Tolandona dan Lipu.
5. Kriteria dan Sumber Data
a) Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara
lansung dengan tokoh adat Buton, dan masyarakat setempat.
Termasuk keberadaan penulis yang juga berasal dari
masyarakat atau suku Buton yang berdomisili di daerah
tersebut.
b) Data sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan
penulis adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada
waktu penelitian dimulai data telah tersedia.21
Selain itu data
yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang
didapatkan selain data primer. Data ini juga dikumpulkan
19
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarat: CV.
Rajawali, 1981), h., 397-398. 20
Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, h., 20. 21
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h., 37.
14
melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku
fikih, dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan
dengan tema ini.
6. Metode Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data untuk memahami realitas yang
ada serta untuk lebih memfokuskan penelitin ini, penulis menggunakan
beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan data yang
maksimal:
a) Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan
wawancara tertutup dan terbuka kepaada pelaku, tokoh adat,
dan sebagian anggota masyarakat.
b) Dokumen: dalam penelitian ini penulis mengumpulkan
sejumlah besar informasi atau data tersimpan dalam bahan
yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat
berbentuk surat-surat, catatan harian, data tersimpan di website,
dan lain sebagainya.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skiripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman
Penulisan Skiripsi yang diterbitkan oleh pusat peningkatan jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 201222
.
Agar pembahasan skiripsi ini lebih sistematis maka dari itu, di susun menjadi
lima bagian yang akan dipaparkan sebagai berikut:
BAB 1: Merupakan bab dari skiripsi ini. Dalam pendahuluan ini penulis
menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerngka teori,
tinjauan studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan
skiripsi.
22
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu, Pedoman Penulisan Skripsi.
15
BAB II: Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pengertian dan
perspektif tentang mahar, mahar dalam perspektif adat, hukum islam, dan
istilah stratifikasi sosial
BAB III: Dalam bab ini penulis membahas tentang gambaran umum
tentang wilayah geografis buton, istilah kekerabatan dan sistem
perkawinan, agama dan sistem wilayah budaya buton.
BAB IV: Dalam bab ini penulis akan menganalisis praktek boka dalam
perkawinan, pengaruh stratifikasi sosial terhadap penentuan jumlah kadar
boka di Buton, pandangan penulis tentang praktek mahar dalam
perkawinan di masyarakat Buton
BAB V: Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
16
BAB II
KONSEP MAHAR DALAM ISLAM
A. Pengertian Mahar
Secara bahasa mahar berasal dari bahasa Arab merupakan kata benda
yang berbentuk mashdar سأ -س -س (kata kerja) فعو yang berasal dari أس ,
sedangkan jika digunakan dalam sebuah kalmia tseperti س اىسأح (dia laki-laki
memberikan mahar kepada perempuan) atau ىب جعو artinya (membrinya سأ
mahar).23
Adapun اىس (jamak: ز) bermakna اىصداق yang berarti maskawin.24
Secara istilah, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada
calon istri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian
yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk
benda maupun jasa (memerdekakan. Mengajar dan sebagainya).25
Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian
wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.26
Mahar dapat di artikan juga yaitu pemberian dalam pernikahan atau
sejenisnya yang diberikan berdasarkan kesepakatan kedua mempelai atau
berdasarkan putusan hakim. Dalam bahasa Arab, mahar juga disebut shadaq.
Tampaknya, penamaan itu menunjukkan kesungguhan atau keseriusan (shidq)
seorang suami untuk menikah.27
Kalau mahar itu dalam bentuk uang atau
barang berharga, maka Nabi menghendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih
sederhana. Hal ini tergambar dalam bentuk sabdanya dari Uqbah bin Amir
23
Ibrahim Madzkur, al-Mu‟jam al-Wasiih, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilidke 2, h., 889. 24
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h., 1363. 25
Abdurrahman Ghazali, fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h., 84. 26
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h., 696. 27
Abu Malik Kamal, Fiqih Sunnah Wanita 2, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2007), h.,
174.
17
yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan di sahkan oleh Hakim, dan Nabi
mengucapkan sebaik-baiknya mahar itu adalah yang paling mudah
(perempuan agar tidak menuntut mahar yang tinggi kepada pihak laki-laki).
Mahar juga di tafsirkan dalam Undang-Undang keluarga Islam 1984
dengan definisi: “Pembayaran maskawin yang wajib dibayar di bawa hukum
syara‟ oleh suami kepada istri pada masa perkawinan dalam akad nikah, sama
halnya berupa uang yang sebenarnya di bayar atau diakui sebagai utang
dengan atau tanpa uang muka, atau berupa suatu yang menurut hukum syara‟
dan dinilai dengan uang”.
Dengan kata lain bahwa mahar itu boleh berupa barang (harta
kekayaan) dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berbentuk barang
atau harta, di syaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang
mempunyai nilai atau harga, halal dan suci. Sedangkan bila maharnya
berbentuk jasa atau manfaat, maka di syaratkan harus dalam arti yang baik.
Di samping itu mahar juga akan memperkokoh ikatan dan
menimbulkan kasih sayang dari istri kepada suaminya sebagai teman hidup
dan mengeratka hubungan kekeluargaan dan di mana hubungan keduanya itu
diridhoi oleh Allah yang Maha pencipta lagi Maha mengetahui atas segalanya.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang
wanita dan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima
mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon
istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat
dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya,
meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridho dan kerelaan si istri.28
Menurut Peunoh Daly mahar adalah hak istri yang di terimah dari
suaminya; pihak suami memberikannya dengan sukarela tanpa mengharap
imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas
28
Abdurrahman Ghozali, Fiqih Munakat, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 84.
18
kesejahteraan keluargnya. Mahar bukanlah imbalan dari pada budhu‟
(menggauli) karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh
kedua belah pihak.29
Mahar atau shadaqa dalam hukum perkawinan Islam merupakan
kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan.30
Mahar adalah satu dari hak istri yang didasarkan atas
kitabullah, Sunnah Rasul, dan ijma‟ kaum muslimin.31
Mahar dalam bahasa
Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar
menurut Abd.Shomad adalah:32
a. Pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau
pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.
b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon istri dalam
rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambing
kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon
istri untuk menjadi istrinya.
Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal
1 huruf d disebutkan; “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai
seluruh anggota badannya.33
29
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h., 21. 30
SayutiThalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), h., 68. 31
Muhammad Jawad Mugniyyah, fiqih Lima mazhab. Penerjemah Maskur A.B. dkk.,
(Jakarta: Lantera, 1999), h., 364. 32
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Grup, 2010), h., 299. 33
Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-fiqh „alaMadzhibal-Arbah, Juz 4, h., 94.
19
B. Mahar dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat
Mahar itu ditetapkan dalam al-qur‟an dan hadist Nabi dari definisi
mahar tersebut di atas jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu adalah
wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib
menyerahkan mahar terhadap istrinya itu dan berdosa suami yang tidak
menyerahkan mahar terhadap istrinya.
Dasar wajibnya menyerahkan. Dalil dalam ayat al-qur‟an adalah
firman Allah dalam surat an-Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:
سئب ئب فسب فني ء ش ع ىن طج حيخ فب آرا اىسبء صدقبر
Artinya: Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Penjelasan tentang mahar juga diuraikan dalam hadist yang berasal
dari Sahal bin Sa‟ad al-Sa‟idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadist
muttafaq alaih:
سعد ع سو ث ع اث اث حبش ب عجداىعصصث ب قزجخ حدث قبه حدث اىسعبعد
ت ىل فس جئذ ا فقيذ ب زسه اىي سي عي صي اىي جبءد اساح اى زسه اىي
ث ص ب سي فصعد اىظس ف عي صي اىي ب زسه اىي غءطب قبه فظس اى ث
ب شعب جيسذ ى قط ف ساح ا ب زاد اى في سي زاءس عي صي اىي زسه اىي
و ب فقبه ب حبجخفص ا ى ن ىل ث فقبه ب زسه اىي اصحبث زجو فقب
ت ع و رجد شعب فر ايل فبظس ت اى فقبه اذ بزسه اىي اىي شء قبه ال دك
حدد ب ىخبر سي اظس عي جدد شعب فقبه صي اىي ب اىي زجع فقبه ال ث
زج ت ث و فر را اشاز قبه س ىن حدد ب الخبر ب زسه اىي اىي ع فقبه ال
ن ب رصع ثئشازك ا ىجسز سي عي صي اىي فقبه زسه اىي ب صف زداحفي بى
ا ش ء ب عي شء فجيس اىجو حز اذا طبه جيس قب ن عيل ث ىجسز
عل ب جبء قبه بد فدع في سي ئىب فبس ث عي صي اىي زسه اىي فسا
سزحه مراع ع سزح مر ت اىقسا قبه ع ظس قبه ع قبه اذ ب فقبه رقسإ دد
اىقسا عل ب فقد ينزنب ث
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah
menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari
Sahl bin Sa'd bahwasanya, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk
menyerahkan diriku padamu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu beliau menunduk. Dan
20
ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum memberikan keputusan akan
dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri
dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka
nikahkanlah aku dengannya."
Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (untuk
dijadikan sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah." Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan
lihatlah apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya
bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-
apa?" beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin
besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi
Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi yang ada
hanyalah kainku ini."
Sahal berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya
setengahnya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya:
"Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu
mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia
memakainya, maka kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu
pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk
memanggilkannya.
Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya, "Apakah kamu
punya hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan
ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu benar-
benar menghafalnya?" ia menjawab, "Ya.” Akhirnya beliau bersabda: "Kalau
begitu, perigilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan
mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an."
Dari adanya perintah Allah dan perintah Nabi untuk memberikan
mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar
kepada istri. Tidak ditemukan dalam kitab fikih bahwa mahar yang
menetapkan sebagai rukun nikah. Mereka sepakat menempatkan sebagai
syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai
mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriyah mengatakan bahwa bila
dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan.
Namun demikian, bila setelah menerima mahar si istri memberikan
lagi sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya secara sukarela, suami
boleh mengambilnya. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ujung ayat 4
surat an-Nisa tersebut di atas.
21
Walaupun mahar itu disepakati kedudukannya sebagai syarat sah
perkawinan, namun sebagian ulama di antaranya ulama Zhahiriyah
menyatakan tidak mestinya mahar tersebut disebutkan dan diserahkan ketika
akad nikah itu berlangsung. Namun dalam masa ikatan perkawinan mahar itu
harus sudah diserahkan.
Jumhur Ulama berpendapat sebelum istri menerima pendahuluan
mahar yang di tetapkan ia boleh menolak memberikan hak-hak suami seperti
bergaul dan melakukan hubungan kelamin, karena mahar itu adalah adalah
haknya dan sebelum haknya itu diterimahnya ia boleh tidak menjalankan
kewajibannya.34
Dalam tradisi Arab sebagaimana yang terdapat dalm kitab-
kitab fiqih mahar itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu
berlangsungnya akad nikah dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan
boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah itu. Definisi yang diberikan
oleh ulama waktu itu sejalan dengan tradisi yang berlaku waktu itu. Oleh
karena itu, definisi tepat yang dapat mencakup dua kemunkinan itu adalah:
“pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang
diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat
dari berlangsungnya akad nikah”.35
Definisi tersebut mengandung pengertian
bahwa pemberian wajib yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan tidak dalam kesempatan akad nikah atau setelah selesai peristiwa
akad nikah tidak disebut mahar, tetapi nafaqah. Bila pemberian itu dilakukan
secara sukarela diluar akad nikah tidak disebut mahar atau dengan arti
pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah selesainya pelaksanaan
akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan mempelai laki-laki
dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai perempuan, tidak
disebut mahar.36
34
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Edisi I, cet ke-3, h., 95. 35
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs
honogami barat, (Jakarta: Pedoman ilmu Jaya), cet ke-1, h., 85. 36
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, April 2006, cet ke-1, h., 173.
22
Saat ini terdapat tiga pandangan tentang kedudukan mahar dalam
hukum perkawinan Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Pendapat pertama, pendapat para fuqaha yang dirumuskan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 34 ayat (1), bahwa mahar adalah bukan rukun
dalam perkawinan. Tetapi mahar merupakan kewajiban calon mempelai laki-
laki atau suami untuk memberikannya kepada calon mempelai perempuan
atau istri (pasal 30 KHI), dan mahar adalah menjadi hak pribadi istri (pasal 32
KHI).
Pendapat kedua, sebagaiman dikembangkan oleh kalangan Islam
liberal, bahwa mahar adalah suatu pemberian dari calon suami atau calon istri
kepada pasangannya untuk kepentingan perkawinan (pasal 1 angka 6 CLD-
KHI). Dalam Bab IV tentang Mahar, pasal 16 ayat (1) Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam CLD-KHI, dirumuskan bahwa “calon suami dan
calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai
kebiasaan (budaya) setempat”.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, bahwa kalangan Islam
liberal yang telah membuat buku Pembaruan Hukum Islam Conter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam berpendapat bahwa mahar tidak hanya
keharusan pemberian suami terhadap istri, tetapi juga merupakan keharusan
pemberian istri kepada suami sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat.
Menurut Neng Djubaidah, ajaran tersebut merupakan pendapat yang tidak
sesuai dengan Hukim Islam dan tujuan Hukum Islam.
Hukum Islam mendudukkan perempuan sebagai makhluk terhormat
dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, buakn pihak yang
sama-sama memberi mahar. Persamaan hak laki-laki dan perempuan bukan
diimplementasikan dengan cara pemberian mahar. Karena mahar bukan
lambang jual-beli, tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan
sekaligus lambang kewajiban dan tanggung jawab suami memberi nafkah
23
kepada istri, selain lambang cinta dan kasih sayang suami terhadap istri,
sebagaimana dikemukakan ulama Syafi‟iyah.37
Pendapat ketiga terdapat dalam Pasal 13 Rancangan Undang-Undang
Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU-HM-PA-BP
Tahun 2007), bahwa mahar merupakan salah satu “rukun nikah”. Jika akad
nikah tidak memenuhi rukun yang ditentukan dalam pasal 13 ayat (1), antara
lain pemberian mahar oleh calon mempelai laki-laki atau suami terhadap calon
mempelai perempuan, ayat (2) RUU-HM-PA-BPerkw Tahun 2007). Pada
kalangan ini mahar didudukkan sebagai salah satu rukun perkawinan, yang
berakibat perkawinan berstatus “batal demi hukum” jika mahar tidak
disebutkan dalam akad nikah. Hal ini pun tidak sesuai dengan surat Al-
Baqarah (2) ayat 236 dan hadis Rasulullah saw.
Maskawin atau mahar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
suatu perkawinan di Indonesia, baik menurut Hukum Islam maupun menurut
Hukum Adat, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2, tetapi mahar
bukan rukun nikah.
Materi ketentuan tentang mahar atau maskawin yang berlaku bagi
umat Islam di Indonesia, tentu tidak dapat dilepaskan dari ketentan-ketentuan
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk
ketentuan yang terdapat dalam Kontitusi Negara Republik Indonesia,
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945.
Jika ketentuan mahar itu dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang tersebut telah memuatkan
secara tegas dalam konsiderans mengingat bahwa:
37
Ash-Shan‟ani, Subulus Salam III, diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad, cet. 1
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h., 535.
24
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1973.
Ketentuan pasal 13 RUU-HM-PA-BP Tahun 2007 yang memasukkan
mahar menjadi rukun nikah dan menjadi salah satu faktor penentu sah atau
tidaknya perkawinan, adalah tidak tepat, karena mahar adalah bukan rukun
nikah yang berakibat perkawinan “batal demi hukum”.
Rumusan Pasal 13 RUU-HM-PA-BP Tahun 2007 menimbulkan reaksi
dikalangan umat Islam, terutama kalangan aktivis yang senantiasa mengamati
dan mengikuti perkembangan atau perubahan pemikiran tentang Hukum
Islam di Indonesia, dan mereka selalu berusaha meluruskan pendapat yang
menyimpang dan tidak sesuai dengan Hukum Islam melalui cara-cara
akademik.
Mahar atau sadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan
kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan. Hukum pemberian mahar adalah wajib. Dan benda
atau uang pemberian itu adalah menjadi milik perempuan itu. Sungguhpun
demikian kalau dikehendaki oleh perempuan itu sendiri dan timbulnya
kehendak atau inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah si suami sekedar
ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang diberikannya yang telah
menjadi milik si istri itu.
Mahar tidak sama dengan maskawin yang biasa dalam adat kita
bangsa Indonesia. Pada masyarakat kita berkembang sejak lama kebiasaan
dan adat memberikan maskawin atau hantaran dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan untuk terlaksananya suatu perkawinan. Dapat berupa benda-
benda berharga yang bersifat sakti atau magis. Jalan pikirannya adalah karena
dengan suatu perkawinan, tercabutlah salah satu unsur penting yang ada
dalam lingkungan keluarga semula yaitu wanita yang hendak dikawinkan itu.
Tercabut dalam arti pindah kepada keluarga lain yang telah ada yaitu keluarga
suaminya dalam masyarakat yang menjadikan pindahnya seorang wanita
kemarga atau keluarga suaminya setelah dia kawin. Dan pindah keluarga itu
25
dapat pula diartikan dalam arti yang lebih umum, yaitu pindah dan keluar dari
keluarganya semula karena membentuk keluarga baru beserta suaminya.
Dalam hal keluarganya wanita itu dari keluarganya semula akan
terjadilah kegoncangan atau ketidak seimbangan dalam masyarakat yang
lama itu. Akibatnya akan timbul bancana-bencana alam, kebanjiran,
kebakaran dan bahaya-bahaya lain. Hal ini dapat diganti dengan mengganti
benda berharga dan magis yang ditarik keluar dari keluarga itu dengan benda
magis yang lain, berupa keris pusaka, binatang ternak, dan kain-kain tenunan
yang mempunyai nilai-nilai magis pula. Dengan demikian terjadilah
maskawin itu. Keadaan ini lama-lama berubah juga kemudian akhirnya
diganti uang. Dan akhirnya sekalipun uang atau benda yang diberikan sebagai
maskawin itu oleh family si calon pengantin perempuan tidak lagi
diperuntukkan bagi kepentingan nilai-nilai magis keluarga malahan diberikan
juga kepada calon pengantin perempuan itu misalnya dalam bentuk biaya
penyelenggaraan perkawinan atau keperluan rumah tangganya sesudah
perkawinan.38
Sungguhpun tetaplah bahwa maskawin itu berbeda dengan mahar atau
sadaq itu. Mahar langsung diberikan kepada pengantin perempuan.39
Pada
masa-masa terakhir ini di Indonesia biasanya mahar telah dilaksanakan
dengan memberikan sebuah al-qur‟an atau terjemahan al-qur‟an atau
perlengkapan mukena untuk sembahyang. Di samping itu adakalanya
dibarengi juga dengan sekedar perhiasan berbentuk cincin untuk sitri.
Menurut ketentuan Departeman Agama, mahar dibuat sedemikian ringannya
sehingga tidak menghalangi perkawinan. Ini tidak pula berarti menghinakan
perempuan yang akan dikawini itu malahan untuk kebaikan secara umum
anggota masyarakat Islam Indonesia.
Di Indonesia terdapat berbagai macam bentuk mahar yang mengikuti
kebiasaan di daerah dan ketentuan adatnya masing-masing, diantaranya
adalah:
38
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h., 69. 39
Hamka, Dalam Lembah Kehidupan, cetakan ke-8, 1967, h., 201.
26
1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin itu sebagai pangolin.
Pembayaran maskawinnya biasanya terdiri dari uang dan ternak.40
2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai
mahar/maskawinnya.41
3. Di Maluku, mahar biasanya (selain kain) juga terdiri sepasang
anting emas dan gading gajah yang ditaruh di dalam wadah sirih
dan disebut tol‟a kemudian ditempatkan di dalam lumbumg di
bumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam
perkawinan generasi selanjutnya.42
4. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) proses meminang gadis di
kalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah
ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar
kawin sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat Lamaholot,
ukuran atau jumlah mahar kawin (belis) atau gading gajah
tergantung pada status sosial gadis atau calon mempelai perempuan
yang akan dipinang.43
5. Di masyarakat Bugis, mahar yang dikenal dengan istilah sungrang
(Bugis) atau sompa (Makassar). Sompa atau sunrang itu besar
kecilnya sesuai dengan derajat sesuai dengan derajat sosialdari
gadis yang dipinang. Sompa atau sunrang menggunakan nominal
uang atau saja dapat terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka,
perahu, yang semuanya mempunyai makna penting dalam
perkawinan.44
40
J. C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LKiS, 2004), h.,
225. 41
Hattam Rosid dkk., Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h., 399. 42
Shariva Alaidrus, “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”, artikel
diakses pada 04 Oktober 2015 dari http://www.antarnews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisi-
pernikaha-bangsawan-babar 43
Kornelis Kewa Ama, “Mahar kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses pada
04 Oktober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejak peradabanntt/read/2010/12/10/08361911 44
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”, h., 269.
27
6. Di masyarakat Buton, mahar yang dikenal dengan istilah Boka atau
papolo. Boka atau papolo tersebut harus sesuai dengan pendidikan,
dan derajat sosial gadis yang akan dipinang.45
C. Pengertian Stratifikasi
Manusia adalah makhluk yang mampu mengadakan evaluasi. Ia tidak
saja menggolong-pembagian masyarakat ke dalam kelas atau tingkatan
sedemikian rupa, sehingga orang dalam kelas tertentu digolongkan sama;
tetapi tingkatan-tingkatan itu sendiri disusun secara hierakis. Kriteria mana
yang diperguanaka untuk menempatkan orang dalam tiap-tiap kelas berbeda
dari satu masyarakat kepada yang lain: keberanian dan keahlian dalam
peperangan, pengetahuan teknik, pendidikan kesusastraan, dan kemanusiaan,
kesucian, atau keberhasilan keuangan. Sistem stratifikasi dapat pula
dibandingkan dengan menggunakan berbagai variabel, seperti umpamanya
criteria untuk penempatan kelas, bagaimana sulitnya berpindah dari satu kelas
ke kelas, bagaimana tajamnya perbedaan kelas-kelas itu, bagaimana secara
sosial jauhnya perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah, atau bagaimana
jumlah keseluruhan penduduk terbagi diantara kelas-kelas.46
Masyarakat berbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang
terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat
heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan adanya atau
terjadinya kelompok sosial ini maka terbentukla pelapisan suatu masyarakat
atau terbentuklah masyarakat yang berstrata.
Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan
yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan ini, maka
dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan yang dalam
pembentukannya mempunyai gejala yang sama.
45
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, Adat dan
Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara, h. 106-107 46
Wiliam J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT Bumi Arkasa, 2002), h., 162.
28
Masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa individu, seperti juga
individu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya masyarakat.
Betapa individu dan masyarakat adalah komplementer dapat kita lihat
dari kenyataan, bahwa:
a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan
pribadinya;
b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan
(berdasarkan pengaruhnya) perubahan besar masyarakatnya.
Setelah itu kita mengerti bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang
selalu mengalami perubahan sosial, marilah kita pelajari apa yang dimaksud
dengan Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Masyarakat.
Istilah Stratifikasi atau Stratification berasal dari kata STRATA atau
STRATUM yang berarti LAPISAN. Karena itu Social Stratification sering
diterjemahkan dengan Pelapisan Masyarakat. Sejumlah individu yang
mempunyai kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya,
dikatakan berada dalam suatu lapisan atau stratum.47
Pitirim A. Sorokin memberikan definisi pelapisan masyarakat sebagai
berikut: “Pelapisan masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat
kedalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarkis).”
Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Selanjutnya disebutka bahwa dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat
adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban,
kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat.48
Lebih lengkap lagi batasan yang dikemukakan oleh Theodorson dkk.
Di dalam Dictionory of Sociology, oleh merek dikatakan sebagai berikut:
Pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif
permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke
masyarakat) di dalam hal perbedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.
47
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1998), h., 2004. 48
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
(Jakarta: Kencana, 2007), h., 153.
29
Masyarakat yang sering berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu
kerucut atau pramida, di mana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan
ini menyempit keatas.
Di dalam organisasi masyarakat primitif pun di mana belum mengenal
tulisan, pelapisan masyarakat itu sudah ada. Hal ini terwujud berbagai bentuk
sebagai berikut:
1. Adanya kelompok berdasarkan jenis kelamin dan umur dengan
pembedaan-pembedaan hak dan kewajiban;
2. Adanya kelompok-kelompok pemimpin suku yang berpengaruh
dan memiliki hak-hak yang istimewa;
3. Adanya pemimpin yang paling berpengaruh;
4. Adanya orang-orang dikecilkan di luar kasta dan orang di luar
perlindungan hukum (cutlaw men);
5. Adanya pembagian kerja di dalam suku itu sendiri;
6. Adanya pembedaan standar ekonomi dan di dalam ketidaksamaan
ekonomi itu secara umum.
Jika kita tidak dapat menemukan masyarakat yang tidak berlapis-lapis
di antara masyarakat yang primitif, maka lebih tidak munkin lagi
menemukannya di dalam masyarakat yang telah maju/berkembang. Bentuk
dan proporsi pelapisan masyarakat yang telah maju bervariasi; tetapi pada
dasarnya pelapisan masyarakat itu ada di mana-mana dan sepanjang waktu.
Di dalam masyarakt pertanian dan khususnya di dalam masyarakat
industripelapisan itu tampak menyolok mata dan jelas. Di demokrasi-
demokrasi yang modern pun tidak dapat mengecualikan adanya hukum-
hukum pelapisan masyarakat, walaupun di dalam konstitusinya menyatakan
bahwa “Semua manusia adalah sama (all men are created equal). Gradasi itu
dapat kita lihat misalnya: multi dari memilih modal yang kaya sampai kepada
buruh yang termiskin; dari presiden kepada lurah; dan jendral sampai kepada
prajurit dan sebagainya yang semua itu menunjukkan sebagai jenjang-jenjang
30
dan gradasi sosial yang menunjukkan walaupun di dalam sistem demokrasi
yang paling mutakhir pun ada pelapisan masyarakat.49
Orang yang menduduki lapisan (atau istilah lain ada yang
menggunakan dengan kelas) tertentu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
misalnya: keturunan, kecakapan, pengaruh, kekuatan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu beberapa sarjana memiliki tekanan yang berbeda-beda
di dalam menyampaikan teori-teori tentang pelapisan masyarakat. Beberapa
dicantumkan di sini yaitu:
1) Kurt B. Mayer, istilah kelas hanya dipergunakan untuk lapisan
yang bersandarkan atas unsur-unsur ekonomis, sedangkan
lapisan yang berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan
dinamakan kelompok kedudukan (status grup).50
2) Max Weber, berpendapat adalah membuat pembedaan antara
dasar-dasar ekonomi dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan
tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya
kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas yang
bersandarkan atas pemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas
yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan
kecakapannya. Adanya golongan yang mendapat kehormatan
khusus dari masyarakat yang dinamakan stand.51
3) Joseph Schumpeter, berpendapat bahwa, terbentuknya kelas
dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan
masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan
tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya
hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat
terjadinya.52
Dari apa yang diuraikan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa
ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-golongkan
49
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991), h., 199. 50
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205. 51
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205. 52
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h., 205.
31
anggot-anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial adalah sebagai
berikut:
1) Ukuran kekayaan: Ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan
suatu ukuran; barang siapa yang mempunyai kekayaan yang banyak,
termasuk ke dalam lapisan sosial teratas. Kenyataan tersebut,
misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, berupa
mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan
pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang
mahal dan sebagainya.
2) Ukuran kekuasaan: Barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan sosial teratas.
3) Ukuran kehormatan: Ukuran kehormatan mungkin terlepas dari
ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani
dan dihormati, mendapatkan atau menduduki lapisan teratas. Ukuran
semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat
tradisional. Biasnya mereka adalah golongan tua atau mereka yang
pernah berjasa besar kepada masyarakat.
4) Ukuran ilmu pengetahuan: ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-
kadang menyebabkan menjadi negatif, karena ternyata bahwa ukuran
ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar
kesarjanaannya. Sudah tentu hal itu mengakibatkan segala macam
usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak halal.
Ukuran-ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif (terbatas),
tetapi masih ada ukuran-ukuran lainnya yang dapat dipergunakan. Akan tetapi
ukuran-ukuran yang di atas yang menonjol sebagai dasar timbulnya pelapisan
sosial dalam masyarakat. Jadi kriteria pelapisan sosial hakikatnya tergantung
pada sistem nilai yang dianut oleh angota-anggota masyarakat yang
bersangkutan.53
53
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h., 205.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BUTON
A. Wilayah Geografis Buton
Sebelum membahas wilayah geografis Buton, kita perlu mengetahui
apa pengertian dari kata Buton tersebut. Kata „Buton‟ memiliki empat
pengertian. Pertama sebagai nama pulau, maka kata itu mengacu kepada satu
pulau dengan panjang sekitar 100 Km yang terletak di dalam kepulauan
Jazirah Tenggara pulau Sulawesi.54
Pulau Buton ini termasuk kedalam
wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, dan terletak persis di sebelah tenggara
tanjung Sulawesi, Indonesia.55
Kedua, sebagai nama menyebut orang Buton, maka kata ini mengacu
pada penduduk yang tinggal di Pulau Buton. Ketiga sebagai nama sebuah
kabupaten, maka kata ini mengacu pada satu wilayah kabupaten yang terletak
di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara
4,96°- 6, 25° Lintang Selatan, dan membentang dari barat ke timur di antara
120,00° -123,34° Bujur Timur.56
Keempat, sebagai nama sebuah kesultanan, yang sebelum masuknya
Islam masih berbentuk kerajaan, dan diperkirakan telah ada sebelum abad ke-
14. Kekuasaan kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama, seperti Buton,
Muna, dan Kabaena, serta kepulauan Tukang Besi dan dua daerah di bagian
tenggara pulau Sulawesi, yakni Rumbia dan Poleang. Pada sekitar tahun 1542,
kerajaan ini berubah menjadi kesultanan ketika raja keenam yang bernama
Lakilaponto masuk Islam,57
dan menjadi sultan pertama dengan gelar Sultan
Kaimuddin Khalifatul Khamis. Pada masa hidupnya beliau terkenal dengan
54
Para Pelaut di Kepulauan Nusantara Sering Kali Singgah dan Menyebutkan Pulau ini
„Butun‟, Yang Berasal Dari Kata Butu (Barringtonia asiatica, Lihat Anceaux, 1987), h., 25. 55
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 55. 56
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 55. 57
Zahari, 1980. h. 72
33
sebutan Murhum sebgai gelar kehormatannya. Di bawah pemerintahannya
seluruh kerajaan secara resmi masuk Islam.58
Dengan penjelasan diatas, kita sudah mengetahui bersama apa
pengertian dari kata Buton. Untuk itu, kita juga perlu membahas wilayah
geografis Buton. Kabupaten Buton di sebelah utara berbatasan dengan
kabupaten Muna, di sebelah selatan dengan laut Flores, di sebelah timur
dengan Kabupaten Wakatobi59
dan sebelah barat dengan Kabupaten Bombana
yang meliputi Kecamatan Poleang dan Rumbia di daratan Sulawesi
Tenggara.60
Kabupaten Buton memiliki wilayah daratan seluas lebih kurang
2.488,71 Km2 atau 248.871 Ha dan wilayah perairan laut seluas lebih kurang
21.054,69 Km2. Berdasarkan data statistic yang diterbitkan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Buton, yang terbagi ke dalam tiga kelompok utama,
yakni:61
1. Yang terdapat di dalam pulau Buton, yaitu:62
1) Kecamatan Lasalimu
2) Kecamatan Lasalimu Selatan
3) Kecamatan Pasar Wajo
4) Kecamatan Siontapina
5) Kecamatan Wolowa
6) Kecamatan Sampolawa
7) Kecamatan Batauga
8) Kecamatan Kapontori
9) Kecamatan lapandewa
10) Kecamatan Wabula
58
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 55. 59
Kata Wakatobi berasal dari singkatan nama pulau-pulau yang termasuk ke dalam
kabupaten ini, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko. 60
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 59. 61
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 59. 62
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 59.
34
2. Yang terdapat di pulau Muna, yaitu:63
1) Kecamatan Mawasangka
2) Kecamatan Mawasangka Timur
3) Kecamatan Mawasangka Tengah
4) Kecamatan Gu
5) Kecamatan Lakudo
6) Kecamatan Sangia Mambulu
3. Dan yang terdapat di pulau-pulau kecil lainnya, yaitu:64
1) Kecamatan Batu Atas
2) Kecamatan Talaga Raya
3) Kecamatan Siompu
4) Kecamatan Siompu Barat
5) Kecamatan Kadatua
Semenjak tahun 2002, Kabupaten Buton mengalami pemekaran
dengan terbentuknya Kotamadya BauBau yang melepaskan diri dari
Kabupaten Buton. Sebelumnya pemekaran ini terjadi, Ibukota Kabupaten
Buton berada di kota BauBau, namun setelah kota BauBau melepaskan
diri dari Kabupaten Buton, dan menjadi kotamadya tersendiri, maka
Ibukota Kabupaten Buton dipindahkan ke Kota Pasar Wajo di Kecamatan
Pasar Wajo. Wilayah Kotamadya BauBau sekarang ini terdiri dari 6
kecamatan, yakni: Kecamatan Betoambari, Kecamatan Wolio, Kecamatan
Murhum, Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan
Bungi.65
Adapun keadaan iklim di Kabupaten Buton pada umumnya sama
dengan daerah lainnya di Indonesia yang memiliki dua musim, yakni
63
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 59. 64
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 60. 65
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 60
35
musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan di kawasan Nusantara
yang terletak di belahan bumi bagian selatan hamper bersamaan waktunya
dengan terjadinya musim dingin di belahan bumi utara. Hal ini terjadi pada
bulan Desember, Januari, Februari, dan Maret. Saat itu matahari berada di
belahan bumi selatan, sehingga pemanasan matahari lebih tinggi di
belahan bumi selatan dibandingkan di belahan bumi bagian utara.
Akibatnya, daerah pusat tekanan tinggi terjadi di benua Asia (tepatnya di
Siberia). Sementara itu, daerah pusat tekanan rendah berada di benua
Australia. Hal ini mengakibatkan angin monson bertiup dengan
mengandung banyak uap air dari benua Asia menuju benua Australia.
Pada periode waktu inilah wilayah yang berada di Indonesia mengalami
musim hujan, atau disebut juga dengan musim angin Monson Barat.
Sedangkan saat musim dingin terjadi di belahan bumi selatan, yaitu
pada bulan Juni, Juli dan Agustus, matahari berada di belahan bumi bagian
utara. Pada saat itu pusat tekanan tinggi terjadi di benua Australia,
sebaliknya pusat tekanan rendah berada di benua Asia. Akibatnya, angin
bertiup dengan sedikit kandunngan uap air dari benua Australia melalui
kepulauan Nusantara menuju benua Asia. Karena angin Monson Timur ini
relatif kering dan membawa tidak cukup banyak kandungan air, maka
wilayah yang berada di dalam kepulauan Nusantara mengalami musim
kering atau kemarau pada periode waktu ini. Musim kemarau ini disebut
juga dengan musim angin Monson Timur.66
Khusus pada bulan April dan Mei di daerah Kabupaten Buton arah
angin tidak menentu, demikian juga dengan curah hujan, sehungga pada
bulan-bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba.
Berkenaan dengan musim angin Monson Barat dan musim angin
Monson Timur ini, ada dua pelabuhan yang penting untuk kawasan
Kabupaten Buton, yakni pelabuhan masiri di Batauga yang berperan
penting dalam musim angin Monson timur dan pelabuhan Kamaru di
66
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 64.
36
Lasalimu yang berperan penting dalam musim angin Monson Barat.
Keduanya berada di Pulau Buton. Pelabuhan masiri di Batauga pada
musim Monson Timur itu sangat membantu pelaut Buton dalam pelayaran
mereka ke arah Barat menuju ke pulau-pulau dan pelabuhan-pelabuhan
lain di Nusantara, seperti Muna, Kabaena, Ujung Pandang,
Surabaya/Gresik, dan Riau, hingga Bandar-bandar pelabuhan di luar
Nusantara, seperti malaka dan singapura. Sedangkan pada musim angin
Monson Barat, pelabuhan Kamaru di Kecamatan Lasalimu melayani
pelayaran mereka ke wilayah bagian Timur, seperti Wangi-Wangi,
Kaledupa, Binongko, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, Timor
Timur, dan pantai Australia. Di masa lampau, ketika kapal mereka belum
menggunakan tenaga bermotor, para pelaut Buton sangat tergantung pada
arah bertiupnya angin dari kedua musim ini untuk keperluan pelayaran
mereka. Di masa kini ketika mekanisasi perahu-perahu tradisonal sudah
terjadi, meskipun mereka relatif dapat lebih bebas melakukan pelayaran ke
tempat-tempat manapun tanpa keharusan mempertimbangkan tiupan
angin, tetap saja mereka mempertimbangkan pergerakan angina dari kedua
musim itu apabila hendak melakukan pelayaran dengan biaya yang lebih
hemat. Perahu-perahu tradisional tersebut dalam istilah setempat disebut
lambo atau bote atau bangka.67
Kedua pelabuhan ini (baca: Masiri di Batauga dan Kamaru)
sekarang lebih diperuntukkan melayani pelayaran prahu-perahu
tradisional, yang termasuk dalam kategori sektor Pelayaran Lokal dan
Pelayaran Rakyat. Untuk keperluan perdagangan antar pulau maupun
sebagai kapal-kapal perangkap ikan. Sedangkan bagi kapal-kapal besar
untuk pengangkut penumpang beserta barang bawaannya, seperti kapal-
kapal pelni, maka di pulau Buton ada pelabuhan lain, yakni pelabuhan
Murhum yang beada di kota BauBau. Pelabuhan Murhum di BauBau ini
67
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 65.
37
terutama dimaksudkan untuk melayani sektor pelayaran modern yang
sering kali disebut dengan istilah Pelayaran Nusantara.68
Terlepas dari keadaan iklim yang ada di Buton, kita perlu
mengetahui juga apa hasil bumi dan laut di Buton. Adapun hasil bumi dan
laut di pulau Buton yaitu enam puluh delapan persen dari seluruh lahan
yang ada di Kabupaten Buton digunakan untuk usaha pertanian, seperti
untuk tegal/kebun, ladang/huma, tambak, kolam/empang, lahan untuk
tanaman kayu-kayuan/hutan rakyat, hutan Negara, dan perkebunan rakyat.
Tanaman bahan makanan penting yang dihasilkan di Kabupaten
Buton adalah padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar.69
Penghasil utama padi
di Kabupaten Buton adalah Kecamatan Lasalimu, Kapotori dan Lasalimu
Selatan. Pada tahun 2005 Kecamatan Lasalimu menghasilkan 1.120 ton
padi sawah dan 1.058 ton padi ladang. Kecamatan Lasalimu Selatan
menghasilkan 3.962 ton padi ladang dan 628 ton padi sawah. Sedangkan
Kecamatan Kapontori menghasilkan pada tahun yang sama 1.970 ton padi
sawah dan 183 ton padi ladang. Tanaman jagung dihasilkan hampir
seluruh di Kecamatan yang ada di Kabupaten Buton. Empat penghasil
utama jagung pada tahun 2005 secara berurutan adalah Kecamatan Pasar
Wajo dengan hasil 4.662 ton, Kecamatan Sampolawa menghasilkan 4.572
ton, Kecamatan mawasangka 3.912 ton, dan Kecamatan Gu 3.165 ton.
Begitu juga ubi kayu dihasilkan hampir seluruh kecamatan dalam
Kabupaten Buton. Tempat penghasil ubi kayu terpenting adalah
Kecamatan Mawasangka yang pada tahun 2005 menghasilkan 23.319 ton,
disusul oleh Kecamatan Gu dengan hasil 22.533 ton pada tahun yang
sama. Sedangkan ubi jalar terutama dihasilkan di Kecamatan Lasalimu
dengan hasil pada tahun 2005 sebesar 1.628 ton.70
68
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 66. 69
Uraian Mengenai Angka Produksi Tanaman Bahan Makanan Berikut diambil Dari
Kabupaten Buton Dalam Angka, 2005, hal 157-158 70
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 67.
38
Hasil perkebunan rakyat yang utama di Kabupaten Buton adalah
jambu mete dengan produksi sebesar 6.585,71 ton, kelapa dengan produksi
sebesar 1.093,46 ton, dan kakao sebesar 630,63 ton (kesemua pada tahun
2005). Sedangkan hasil hutan utama adalah rotan, kayu jati, dan kayu
rimba campuran. Rotan dihasilkan di Kecamatan Lasalimu, Kecamatan
Lasalimu Selatan, Kecamatan Pasar Wajo, Kecamatan Batauga, dan
Kecamatan Kapontori. Pada tahun 2005 Kecamatan Pasar Wajo
menghasilkan 135.720 ton rotan batang dan 44.280 ton rotan lambing,
Kecamatan Kapontori menghasilkan 84.056 ton rotan batang dan 20.625
ton rotan lambing, Kecamatan Batauga menghasilkan 85.603 ton rotan
batang, Kecamatan Lasalimu menghasilkan 71.400 ton rotan batang dan
6.600 ton rotan lambing, sedangkan Kecamatan Lasalimu Selatan 49.000
ton rotan batang dan 11.000 ton rotan lambang. Kayu jati yang dihasilkan
di Kecamatan Gu sebanyak 103.890 M dalam bentuk batang gelondongan
dan sebanyak 1. 154,8246 M dalam bentuk papan gergajian pada tahun
2005. Sedangkan Kecamatan Kapontori pada tahun yang sama
menghasilkan 208.740 M kayu jati dalam bentuk batang gelondongan dan
497,5825 M kayu jati dalam bentuk papan gergajian. Terakhir Kecamatan
Batauga pada tahun 2005 menghasilkan 760,1726 M kayu jati dalam
bentuk papan gergajian. Sedangkan untuk kayu rimba campuran
dihasilkan di Kecamatan Lasalimu, Lasalimu Selatan, Pasar Wajo,
Batauga, Kapontori, dan Mawasangka. Pada tahun 2005 Kecamatan
Lasalimu menghasilkan kayu rimba campuran sebanyak 304,42 M,
Kecamatan Lasalimu Selatan 183,14 M, Kecamatan Pasar Wajo 145,81 M,
Kecamatan Batauga 21,08 M, Kecamatan Kapontori 220,70 M dan
Kecamatan Mawasangka 60,09 M.71
Produksi perikanan di Kabupaten Buton pada tahun 2005
berjumlah 104.914,88 ton yang terdiri dari perikanan laut sebesar
89.842,28 ton, hasil budidaya laut sebesar 7.078,30 ton dan rumput laut
71
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 68.
39
sebesar 15.071,88 ton. Hasil perikanan yang terbanyak berasal dari
Kecamatan Mawasangka berjumlah 14.848,52 ton. Di susul Kecamatan
Sampolawa dengan hasil 13.700,56 ton, Kecamatan Pasar Wajo 11.948,20
ton, Kecamatan Kapontori, 10.969,56 ton, Kecamatan Talaga Raya
3.403,34 ton, Kecamatan Mawasangka Timur 3.265,46 ton, Kecamatan Gu
2.594,26 ton, dan Kecamatan Lasalimu 2.566,84 ton.72
Adapun bahasa yang ada di dalam wilayah bekas kesultanan Wolio
ini sangat beragam dan rumit. Terdapat banyak sekali aneka ragam bahasa
yang diakui oleh penduduk setempat: Wolio, Wowoni, Kalingsusu,
Kambowa, Kumbewaha, Kamaru, Katobengke, Gonda Baru, Todanga,
Wabula, dan Cia-Cia (kesemua bahasa ini terdapat di Pulau Buton);
Wasilomata, Muna, Jawa (ketiganya terdapat di Pulau Muna), Siompu,
Rahantari (di Pulau Kabaena); dan Pulo (Kapota), Pulo (Kaledupa), Pulo
(Tomia), Pulo (Binongko), keempat bahasa yang terakhir ini terdapat di
Kepulauan Besi.73
Beragamnya bahasa yang ada mencerminkan beragamnya
penduduk yang mendiami Wilayah bekas kesultanan Wolio. Dahulu hanya
bahasa Wolio yang merupakan bahasa tertulis dengan menggunakan
aksara arab. Di zaman kesultanan, bahasa Wolio ini digunakan sebagai
lingua franca di dalam wilayah kesultanan.
B. Perkawinan dan Tingkat Praktek Boka
Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, sejatinya terlebih dulu
melakukan persiapan agar perkawinan tersebut berjalan dengan baik dan
sesuai apa yang diinginkan oleh kedua mempelai tersebut. Adapun persiapan
pernikahan yang dilakukan di Buton, tepatnya di daerah keraton dan baadia
sangatlah rinci dan rumit. Mulku Zahari telah menulis tentang berbagai
kebiasaan dalam perkawinan di Wolio (wilayah keraton dan Baadia serta desa
lain yang berhubungan dengan keraton).
72
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 68. 73
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h., 69.
40
Adapun di kalangan suku Wolio ada beberapa bentuk perkawinan,
yaitu pobaisa, uncura, popalaisaka, humbuni dan lawati.
Pobaisa (kawin biasa) adalah suatu bentuk perkawinan yang didahului
dengan perundingan dan persetujuan orang tua kedua belah pihak. Persetujuan
ini melalui perantara atau penghubung yang disebut tolowea. Upacara
peminangan kadang-kadang didahului dengan pennyelidikan pendahuluan
terhadap perempuan yang akan dipinang. Maksudnya adalah untuk
mengetahui apakah si gadis telah dipinang atau belum.74
Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi penolakan dalam upacara
peminangan. Setelah peminangan, pertunangan diresmikan untuk kepastian
perkawinan.
Uncura, artinya duduk. Perkawinan ini terjadi dimana seorang laki-laki
datang di rumah perempuan yang dikehendaki dengan maksud untuk
mengawininya. Hal ini biasa terjadi bagi mereka yang sementara bertunangan
dan laki-laki menghendaki agar perkawinan segera dilaksanakan. Sebab lain
adalah karena pinangan ditolak. Laki-laki yang datang itu diantar oleh seorang
tua atau pengawal lain, tetapi pengawal ini tidak menampakkan diri. Di
hadapan orang tua pihak perempuan, orang tua yang mengawal tadi
mengemukakan sebagai berikut:75
“Si A (nama laki-laki) datang kepada si B (nama perempuan) dan
sekarang ia telah berada dihadapan bapak, mati atau hidup terserah kepada
bapak, tetapi ia telah berada di hadapan bapak”.
Cepat lambatnya pelaksanaan perkawinan tergantung dari pihak
perempuan. Kadang-kadang dilaksanakan pada malam itu juga, tetapi juga
dalam waktu yang lama.
Selama laki-laki berada di rumah perempuan, orang tuanya melalui
tolowea mengirim sejumlah uang yang disebut balanja artinya uang belanja.
Bila pihak perempuan telah merestui maksud laki-laki itu, maka segala
74
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:
1978-1979), h., 106. 75
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:
1978-1979), h., 106-107.
41
kerugian laki-laki tunangan perempuan itu, harus dikembalikan oleh laki-laki
yang datang itu.76
Sebaliknya kalau tidak diterima dan keluarga perempuan mengadakan
penganiayaan sampai terbunuh, karena adat yang melakukan penganiayaan
tidak mendapat tuntutan hukum. Tindakan hukum ini adalah adat Wolio
dinamakan amate alandakia ajara, artinya mati diinjak kuda.
Meskipun adat menentukan demikian, tetapi sepanjang penelitian ini
kasus semacam itu tidak pernah terjadi.
Popalaisaka, artinya membawa lari perempuan. Arti yang sebenarnya
lari bersama atau “silariang” seperti orang Makassar mengatakan. Dalam hal
ini biasanya bukan hanya karena keinginan sepihak tetapi atas persetujuan
keduanya.
Humbuni, artinya membawa lari perempuan dengan paksaan dan
kekerasan untuk dikawini. Cara ini jarang terjadi, karena resikonya sangat
berat bila diketahui keluarga pihak perempuan. Laki-laki yang membawa lari,
biasa dikenakan sanksi yang berat.
Lawati, artinya terimah. Yang dimaksud dengan lawati adalah
perempuan yang diterimah oleh pihak laki-laki dan upacara peresmian
perkawinannya dilaksanakan di rumah pihak laki-laki. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kurangnya kemampuan puhak perempuan, tetapi ada
persetujuan dari kedua belah pihak.
Selain yang telah disebutkan di atas, di Wolio dikenal juga bentuk
perkawinan bersusun, dimana dua orang laki-laki yang bersaudara mengawini
dua orang perempuan yang bersaudara. Hal ini di Wolio disebut sarope. Di
samping itu dikenal juga bentuk perkawinan bertukar yang di Wolio disebut
sempa dula.77
76
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:
1978-1979), h., 107.
77
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:
1978-1979), h., 108.
42
Adapun tujuan dari perkawinan menurut adat di Wolio pada azasnya
adalah untuk memperoleh keturunan. Hal ini berkaitan juga dengan
kepentingan kehidupan dan status sosial dari lingkungan keluarga itu sendiri.
Materi yang cukup dan sanggup tidaknya seseorang bertanggung jawab
terhadap keluarga.
Melaksanakan perkawinan melalui pengucapan ikrar, dalam suatu akad
nikah yang berlaku di desa penelitian, pada keseluruhan bekas kesultanan
Wolio (Buton) telah menjadi ketentuan adat yang mendapat pengarug hukum
islam sebagaimana yang tercantum dalam buku Ajonga Inda Malusa:
“Okawi yaitu osunatina naby” artinya kawin itu adalah sunnah nabi.
Tujuan inilah yang mendapat pengertian secara umum di Wolio.78
Di samping itu khusus bagi pembesar-pembesar kerajaan (sultan)
sering melakukan perkawinan dengan seorang perempuan di daerah tertentu,
dengan tujuan untuk memperluas pengaruh dan memperkuat kedudukannya.
Di sini Nampak tujuan perkawinan untuk status sosial. Dengan lahirnya putra-
putri hasil perkawinan di berbagai kadie (kampumg) dalam kerajaan,
kedudukan sultan dan aparat kerajaan pada umumnya, mendapat dukungan
dari rakyat umum.
Bagian penting dari acara pernikahan adalah pembayaran maskawin,
dalam bahasa adat disebut dengan popolo atau boka. Besarnya uang yang
diminta tergantung dari kedudukan wanita dan pria. Pada dasarnya kedudukan
perempuan menentukan jumlahnya. Akan tetapi, jika laki-laki lebih rendah
kedudukannya, jumlah mahar akan berlipat dua atau tiga dari biasanya.
Dahulu sarana Wolio mengawasi jumlah maskawin, karena itu mencerminkan
kedudukan para mempelai di masyarakat Buton. Di tiga daerah terdapat
kecenderungan untuk meratakan perbedaan. Namun, perbedaan dalam hal
pernikahan di antara kaum La Ode (bangsawan) masih saja ada.
78
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta:
1978-1979), h., 105.
43
Uraian boka pada adat pernikahan masyarakat Buton menurut syara
Wolio dapat ditinjau menurut tingkatnya masing-masing (data adat syara
Wolio, BauBau, 2004)79
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk kaomu, yaitu:80
Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 117,5 boka = Rp. 2.892.000
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat walaka yaitu:81
Popolo 30 boka = Rp. 720.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara, yaitu:82
Popolo 30 boka = Rp. 720.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobiangi 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp.144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
79
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 80
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 81
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton) 82
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton)
44
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 2.172.000
Perhitungan maskawin berdasarkan syara Wolio untuk tingkat
kaomu/walaka bagi orang pendatang yaitu:83
Popolo 60 boka = Rp. 1.440.000
Kalamboka 30 boka = Rp. 720.000
Kapobianga 10 boka = Rp. 240.000
Katalosi 5 boka = Rp. 144.000
Bakena kau 5 boka = Rp. 144.000
Katandui 5 boka = Rp. 144.000
Kaempesi 2,5 boka = Rp. 60.000
Karangani 10 boka = Rp. 240.000
Jumlah semua 127,5 boka = Rp. 3.132.000
Perhitungan maskawin berdasarkan boka untuk tingkat papara/batua,
yaitu:
Popolo 15 boka = Rp. 360.000
Kalamboka 15 boka = Rp. 360.000
Kapobiangi 2 boka = Rp. 48.000
Katalosi 1 boka = Rp. 24.000
Bakena kau 3 boka = Rp. 72.000
Katandui 2 boka = Rp. 48.000
Kaempesi 1 boka = Rp. 24.000
Jumlah semua 39 boka = Rp. 936.000
Dari uraian diatas, tingkatan perhitungan maskawin berdasarkan boka
sara Wolio dalam pernikahan adat Buton, akan mengalami perkembangan
sesuai dengan sepakat dan mufakat seluruh toko adat keraton yang berada di
Buton.
C. Agama dalam Sistem Nilai Budaya Buton
83
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton)
45
Secara historis etnik Buton, merupakan gabungan dari berbagai etnik
yang dari penduduk asli dari pendatang yang berasal dari Melayu dan
Tiongkok. Dengan demikian sejak mula pembentukannya, etnik ini telah
mengacuh pada rinsip nilai-nilai keagamaan, sehinggah secara geonologi
orang Buton atau disebut juga dengan orang Wolio, sudah akrab dengan nilai-
nilai pluralitas yang mengendalikan pentingnya toleransi dan penguatan nilai-
nilai kebersamaan. 84
Menurut Tarimana, empat pilar penyangga etika dan integrasi sosial
masyarakat Buton, berikut empat nilai yang harus dihindari oleh masyarakat
sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang Martabat Tujuh kesultanan
Buton didasarkan atas sebuah hadisth فقد عسف زث عسف فس Artinya:
Barang siapa yang mengenal keadaan dirinya yang sejati, tentu ia akan
mengenal keadaan Tuhannya yang kekal. Maksudnya hubungan antara Tuhan
dan hambahnya sedemikian dekat eratannya, konsep ini dalam kearifan Buton
dirangkai dalam untaian kalimat “Poromu inda sanga pogaa inda kolota”
artinya, “berkumpul bukannya satu, berantai tidak berantai”.
Subtansi “Poromu inda sanga pogaa inda kolota” dalam perspektif
budaya Jawa, mirip dengan ungkapan “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa
wangenan” yang merupakan pantulan dari konsep falsafah “Manunggalin
kawali usti”. Seperti yang terjadi dalam pemahaman budaya masyarakat Jawa
mengenai konsep “Cedhak tanpa senggolan-Adoh tanpa wangenan” sebagai
konsep yang berdimensi keyakinan kepada Tuhan, konsep “Paromu inda
sanga poga inda kolota” dalam masyarakat Buton juga terkait erat dengan
paham keyakinan tentang Tuhan, dalam perspektif tasawuf dikenal dengan
paham “ittihad” ataupun “wihdat al-wujud”.
Pandangan di atas bukan tanpa alasan, bila pada corak keislaman
masyarakat Buton yang dalam berbagai hal lebih menonjolkan aspek
mistisme. Konsep atau ajaran “Martabat Tujuh” dalam kehidupan masyarakat
84
Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:
Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 21.
46
Buton dapat dilihat dua perspektif, yaitu sosio kultural dan religio spritural.
Dalam perspektif yang pertama, konsep Martabat Tujuh diartikan sebagai
sistem yang mengatur kehidupan social masyarakat Buton, dalam hal ini
sebagai undang-undang atau falsafah kenegaraan atau konstitusi resmi
kerajaan yang di berlakukan secara formal pada abad 17 hinggah abad 19.
Sedangkan dalam perspektif religio spiritual, konsep ini di jadikan landasan
yang mendasari segala pemahaman dan pengalaman rohani masyarakat Buton.
85
Deskripsi singkat di atas menunjukkan, betapa pengaruh mistik Islam
mengenai sifat Ilahi yang menampak pada wujud insani, memberi warna yang
menyolok dalam sistem dan konsep kekuasaan dan kesultanan buton yang
dalam konsep mistik Islam tampil dengan istilah hulul, ittihad, tajalli, serta
semacamnya. Dalam Bahasa setempat ungkapan tersebut terangkai dalam
sebuah kalimat “poromu inda sangu poga‟a inda kolota”. Perwujudan sifat
Ilahi dalam diri pemegang kekuasaan dalam koteks sejarah Buton masa lalu,
secara ekspelisit digambarkan dan dituangkan dalam undang-undang
Martabat tujuh kesultanan Buton.
Pengaruh kuat paham perwujudan sifat Ilahi yang nampak dalam
wujud insani di Buton, selain disebabkan oleh pengaruh paham mistik
monoteistik Islam, juga dapat dilepaskan dari kemunkinan adanya pengaruh
budya lokal atau peninggalan Hindu. Pandangan ini beralasan mengingat jauh
sebelum penduduk lokal melakukan konversi agama ke dalam Islam, di daerah
ini telah lebih lama terkena pengaruh ajaran Hindu, dimana dalam filsafat ke
Hinduan dikenal dengan konsep: advaita, angsha, aradhana, dan pathisa.
Oleh karena itu, penerimaan konsep mistik Islam tentang sifat Ilahi yang
nampak dalam wujud insani, boleh jadi karena konsep yang mirip telah
terbangun dalam benak masyarakat setempat sebelum Islam datang, sehingga
ajaran Islam dan doktrin yang sama datang dalam bingkai Islam, maka
85
Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:
Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 23.
47
masyarakat setempat tidak mengalami kesulitan untuk mengakomodir paham
tersebut.
Namun demikian, dengan berakhirnya sistem kesultanan dan
terkovensinya Buton kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak
dapat disangkal berdampak pada tatanan pelapisan sosial, demikian juga pada
pemahaman budaya dan religius masyarakat. Jika dalam perspektif historis,
masyarakat Buton dahulunya secara formal dipandu oleh sistem budaya yang
menjadi undang-undang dasar mereka, yaitu Martabat Tujuh dengan sultan
sebagai pemimpin yang diyakini sebagai manusia sempurna, maka pandangan
tersebut telah hilang terkikis bahkan hilang dari permukaan masyarakat Buton.
Dari uraian sekilas tentang tatanan budaya masyarakat Buton, dan
dapat dinyatakan, bahwa konsep nilai budaya masyarakat Buton yang
berkembang dari generasi kegenerasi sangat dipengaruhi oleh faktor
keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat. Dengan kata lain, keyakinan
dan kepercayaan agama yang dipegang memiliki pengaruh yang berarti dalam
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat
Buton. Kalau ditinjau dari sudut pandang kesejarahan, tradisi beragam orang
Buton telah melewati tiga fase perkembangan yaitu animisme dan dinamisme,
fase Hindu Jawa dan terakhir adalah pengaruh Islam. Dari ketiga fase tersebut,
maka fase pengaruh Islamlah yang dapat dikatakan sebagai ideologi yang
memiliki atau memberi dampak budaya yang sangat besar dan luas. 86
86
Harsin Hamid, Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton, (Jakarta:
Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h., 24.
48
BAB IV
MAHAR DAN STATUS SOSIAL DI BUTON
A. Praktek Boka dalam Perkawinan Adat Buton
Sebelum penulis menjelaskan praktek boka dalam perkawinan adat
Buton, saya akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan boka itu. Seperti
yang telah dijelaskan oleh bapak Al-Mujazi Mulku Zahari dan bapak Jaati
yaitu:
Boka adalah aturan (sistem) satuan nilai mahar pernikahan dalam
kebudayaan kesultanan Buton (wawancara tokoh adat Buton, 16 September
2016).87
Kita bisa lihat dari wawancara di atas, bahwasanya boka adalah suatu
bentuk sistem adat yang dilaksanakan pada pernikahan masyarakat Buton
untuk mengatur satuan nilai tukar mahar yang akan dikeluarkan oleh
mempelai pria untuk mempelai wanita, untuk masyarakat setempat khususnya
pada tataran Kesultanan Buton yang harus wajib mengikuti adat dan tradisi
budaya Buton.
Adapun bentuk pengamatan mahar adat syara Wolio Buton menurut
tingkatannya masing-masing 88
Mahar (boka) pada syara adat Wolio Buton terbagi atas tiga tingkatan
yaitu:
Mahar Lalaki (bangsawan)
Mahar Walaka
Mahar Maradika
Mahar Lalaki (bangsawan) Wolio (Buton) terbagi atas tiga tingkatan:
Mahar semua Lalaki (bangsawan) di Buton sebagai dasar (popolo
lalaki)
87
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk Al Mujazi Mulku Zahari 16 September 2016 di
Rumah (Keraton). 88
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk Al Mujazi Mulku Zahari 16 September 2016 di
Rumah (Keraton).
49
Sultan Sakiul Darul Alam (oputa sangia)
Yang melalui Sultan Idrus (oputa Moko Baadiana)
Mahar Lalaki sebagai dasar popolo lalaki Wolio (Buton) telah
dicantumkan menurut mufakat aparat Sultan, syara Wolio, dengan dasar Rp.
200 perak (200 perak mata kupa) dalam bahasa Buton, dan akan tetapi setelah
dipikirkan kembali, (real dalam bahasa Buton/Wolio, setiap Rp. 200 (200
mata kupa) menjadi 36 rupiah (36 boka). Jadi setiap 200 rupiah berarti sama
dengan: 72 atau 60 boka. dan jika di uraikan menurut hakikatnya, (data yang
tertulis dalam arsip adat masyarakat Buton, November 2004).
Berikut ini di uraikan mengenai beberapa tingkat Boka yang berlaku
pada masyarakat Buton, menurut data pegangan para tokoh adat:89
- Popolo 30 boka = 36 rupiah/perak
- Kalambako 30 boka = 36 rupiah/perak
- Kapobianga 10 boka = 12 rupiah/perak
- Katolosi 5 boka = 6 rupiah/perak
- Kakena kau 5 boka = 6 rupiah/perak
- Katandui 5 boka = 6 rupiah/perak
- Kaempesi 2,5 boka = 3 rupiah/perak
Jumlah semua 87,5 boka = 105 rupiah/perak
Kemudian yang disetor pada pihak perempuan hanya sebanyak 75
boka saja.
Hitungan boka (mahar) sekarang ini sudah menjadi 1 boka 60.000
untuk hitungan nilai tukarnya.
Dengan demikian, bahwa untuk satuan perhitungan boka sekarang
seperti yang di bawa ini:90
- Popolo 30 boka = Rp. 1. 800.000,-
- Kalamboko 30 boka = Rp. 1. 800.000,-
- Kapobiangi 10 boka = Rp. 600.000,-
89
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton). 90
Wawancara Tokoh Adat Buton Bpk La Jaati 19 September 2016 di Rumah (Keraton).
50
- Katolosi 5 boka = Rp. 300.000,-
- Bakena kau 5 boka = Rp. 300.000,-
- Katandui 5 boka = Rp. 300.000,-
- Kaempesi 2,5 boka = Rp. 150.000,-
Jumlah semua 87,5 boka = Rp. 5. 250.000,-
Dari pemaran boka di atas, terjadi perkembangan dan perubahan
dalam nominal disebabkan waktu dan zaman, maka perhitungan mahar
yang dikeluarkan mengikuti perkembangan zaman, namun tradisi boka
saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat adat Buton.
Budaya dan adat tradisi boka merupakan sistem adat masyarakat
Buton yang tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat setempat.
Pelaksanaan boka dilakukan setelah empat hari dari kedatangan
penghubung atau tolowea ke pihak keluarga wanita dan mendapat
persetujuan atau mufakat dengan membawa katindana oda (buah-buahan)
belum pasuo (pingitan) bisa juga disebut PEMONEA dan katangkana oni
(kalambe) yang sudah pasuo (pingitan). Empat hari selanjutnya disusul
pula dengan penyerahan suatu pemberian dari piahak pria yang disebut
bakena kau (buah-buahan) penyerahan bakena kau dilakukan dua kali
pada saat penyerahan katindana oda dan pada saat penyerahan boka
(mahar). Pada mempelai wanita ketika diadakan pasuo (pingitan) selama
delapan hari maka pihak pria membawakan beberapa penyerahan yaitu
antuna suo (isi atau biaya pingitan), langsa (dua potong kain masing-
masing panjang dua meter), mantumo (kunyit, burupa buah-buahan dan
makanan), bura (bedak, berupa padi (gabah) sebanyak satu karung), dan
kasipo (suapan uang), semua yang dipaparkan di atas merupakan proses
boka, namun proses adat tersebut mengalami dinamika perubahan dengan
bentuk penyerahan tanpa proses yang panjang, boka tersebut diberikan
ketika lamaran dilaksanakan dan keseluruhan boka dinominalkan ke mata
uang rupiah.
51
Meskipun demikian, bentuk-bentuk pelaksanaan boka pada
masyarakat Buton mengalami perkembangan dan perubahan, namun tidak
merubah makna adat. Artinya walaupun ada bagian kecil yang berubah,
tetapi secara garis besar adat boka itu masih ada dan masih dijaga serta di
lestarikan sampai sekarang.
Perlu diketahui juga, bahwasanya untuk melakukan perkawinan
bagi orang Buton adalah melalui salah satu yang tersebut di bawah ini;
1. Porbaisa atau Poporae
Pobaisa artinya perkawinan yang melalui persetujuan dari kedua
belah pihak yaitu antara orangtua laki-laki dan orangtua perempuan,
persetujauan ini melalui perantara atau penghbung yang dinamakan
tolowea.
Tolowea ini biasanya laki-laki yang sudah berumur atau pegawai
dan bekas pegawai syarat agama atau yang lain menurut pilihan yang
berkepentingan. Biasa pula berlaku dalam lingkungan keluarga yang
dekat, sebelum ada penghubung yang resmi lebih dahulu diadakan
penghubung rahasia. Maksud penghubung rahasia ini adalah untuk
menghubungi pihak perempuan yang dipinang itu belum atau sudah
ada tunangannya, dan kemunkinan diterimah tidaknya nanti pinangan
yang akan diantarkan. Ini disebut dalam bahasa adat “posolio”.
Akhir-akhir para tolowea atau orang tua perempuan sudah
menambahnya dengan pekerjaan atau pendidikan dari laki-laki. Tepat
pada waktu yang dijanjikan 4 hari sesudah mengantarkan sirih pinang
Tolowea datang kembali pada orang tua perempuan. Beberapa
lamanya bercakap-cakap pihak perempuan membuka pembicaraan:
Adapun maksud kedatangan saudara beberapa hari yang lalu telah
kami terimah baik. (kalau tidak diterimah dikatakan “amadaki okilala”
artinya tidak baik nujumnya). Kalau persetujuan sudah ada dari
perempuan maka diantarkanlah kepada pihak perempuan juga melalui
tolowea apa yang disebut “bale-bale na kau” artinya buah-buahan.
52
Bagi mereka yang tidak mampu untuk mengantarkan buah-buahan,
dapat diganti dengan uang yang besarnya sebagai berikut:
5 (lima) boka bagi kaum bangsawan = Rp. 6,
3 (tiga) boka bagi kaum walaka = Rp. 3,60
Seandainya perempuan itu belum dipingit yaitu masih “kabua-
bua” maka disamping “bake-bakena kau” juga disertai dengan
“katindana oda”. Ini berupa perhiasan perempuan berupa giwang,
cincin, dan lain-lain. Sekarang sudah menjadi umum walaupun sudah
dipingit juga disertai dengan “katindana oda”.91
Katindana oda kalau diuangkan sebagai berikut:
30 (tiga puluh) boka atau Rp. 36, bagi kaum bangsawan
3 (tiga) boka atau Rp. 3,60, bagi kaum walaka.
Besarnya mas kawin yang disebut dengan bahasa adat “popolo”
ada bertingkat-tingkat menurut adat dan lengkapnya sebagai berikut:92
1) 1000 boka real untuk putri Sultan yang sementara dalam
jabatan.
2) 600 boka real untuk anak cucu Sultan Lang Kariri apabila laki-
laki tidak berasal dari Lang Kariri, tetapi dari bangsawan lain.
3) 400 boka real bagi anak cucu sulta Lang Kariri sendiri.
4) 300 boka real bagi golongan bangsawan lain.
5) Kurang satali 100 boka untuk anak cucu Bontogena 1 Wantiro
dan Bontogena 1 Gama kalau orang tua dari yang bersangkutan
sementara di dalam jabatan sebagai Menteri Besar.
6) 80 boka real bagi kaum walaka keturunan Siolimbona.
7) 40 boka real bagi golongan Limbo.
8) 100 boka real bagi golongan analalaki.
9) 20 boka real untuk kaum papara.
91
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta: 1977), h., 97. 92
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta: 1977), h., 100.
53
10) 40 boka real untuk golongan budak dari sultan yang sementara
dalam jabatan.
Mas kawin tersebut di atas menjadi nama sebegitu banyak, tetapi
setelah diatur sedemikian rupa pada suatu tempat tertentu yaitu dalam
kopo-kopo dan kimia yang didudukkan di atas kimia kemudian kimia dan
kopo-kopo itu didudukkan di atas kabintingia yaitu baki persegi empat
terbuat dari blit bagi bangsawan dan kayu untuk walaka, kemudian
kabintingia itu dibungkus dengan kain berwarna lalu diantarka ke rumah
perempuan dengan syarat-syarat tertentu.93
Untuk menggampangkan perhitungan mahar maka besarnya itu
dibagi dua, kemudian dari hal itu, tiap-tiap 10 boka dinilai menjadi 3
boka.94
Mahar Putri Sultan
100 boka dibagi dua adalah 500 boka.
500 boka dibagi 10 x 3 = 150 boka atau Rp. 180,-
40 boka kalamboko (kiriman) Rp. 48,-
10 boka kapapobilangi Rp. 12,-
10 boka antona kawi (isi kawin) Rp. 12,-
Jumlah Rp. 252,-
Mahar 600 real
Popolo 300 dibagi 10 x 3 = 90 boka atau Rp. 108,-
Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-
Kapapobiangi 10 boka atau Rp. 12,-
Isi kawin 6 boka atau Rp. 7,2-
Jumlah Rp. 175,20
93
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta: 1977), h., 100. 94
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
(Jakarta: 1977), h., 101.
54
Katolisiana dingkana 5 boka atau Rp. 6-
Yang di terimah Tolowea:
Katandui 90 x 10 sen = Rp. 9-
Kayempesi 90 x 5 sen = Rp. 4,50-
Junmlah Rp. 13,50
Mahar 400 real
Popolo 200 dibagi 10 x 3 = 600 boka atau Rp. 72,-
Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-
Kapapobingia 10 boka atau Rp. 12,-
Jumlah Rp. 132,-
Katolosina dingkana 5 boka atau Rp. 6,-
Yang di terimah Tolowea:
Katandui 60 x 10 sen = Rp. 6,-
Kayempesi 60 x 5 sen = Rp. 3,-
Rp. 9,-
Mahar 300 real
Popolo 150 dibagi 10 x 3 = 45 boka atau Rp. 54,-
Kalamboko 40 boka atau Rp. 48,-
Kapapobiangi 10 boka atau Rp. 12,-
Rp. 114,-
Katolosina dingkana 5 boka atau Rp. 6,-
Yang d iterimah Tolowea:
Katandui 45 x 10 sen = Rp. 4,50
Kayempesi 45 x 5 sen = Rp. 2,25
Rp. 6,75
Mahar Kura Sarali 100 real
55
Popolo 50 dibagi 10 x 3 = 15 boka atau Rp. 18,-
Kalamboko 15 boka atau Rp. 18,-
Kapapobiangi 2 boka atau Rp. 2,40
Rp. 38,40
Katolosina dingkana 1 boka atau Rp. 1,20
Yang di terimah Tolowea:
Katandui 15 x 10 sen = Rp. 1,50
Kayempesi 15 x 5 sen = Rp. 0,75
Rp. 2,25
Mahar 80 boka real
Popolo 40 dibagi 10 x 3 = 12 boka atau Rp. 14,40
Kalamboko 12 boka atau Rp. 14,40
Kapapobiangi 2 boka atau Rp. 2,40
Rp. 31,20
Katolosina dingkana 1 boka atau Rp. 1,20
Yang di terimah Tolewa:
Katandui 12 x 10 sen = Rp. 1,20
Kayempesi 12 x 5 sen = Rp. 0,60
Rp. 1,80
Mahar 40 boka real
Popolo 20 dibagi 10 x 3 = 6 boka atau Rp. 7,20
Kalamboko 6 boka atau Rp. 7,20
Rp. 14,40
56
Yang di terimah Tolowea:
Katandui 6 x 10 sen = Rp. 0,60
Kayempesi 6 x 5 sen = Rp. 0,30
Rp. 6,90
Perlu dijelaskan bahwa perhitungan popolo dari analalaki tidak
diperhitungkan seperti ketentuan popolo lainnya, melainkan langsung
ditetapkan seperti tersebut, oleh karena mengingatkan popolo dari anak
cucu Bontogena 1 Wantiro, yang dimaksud utamanya hanya sekedar untuk
diketahui dengan jelas kalau popolo menurut keturunan siapa. Karena itu
maka diadakan perbedaan.
Demikian perhitungan uang mahar dan penerimaannya yang
selanjutnya dapat diuraikan bahwa pada hari diantarkan uang mahar begitu
pila penerimaannya di rumah kedua bela pihak berkumpul keluarga untuk
turut memeriahkan dan menyaksikan upacara adat. Sebelum diadakan
jamuan makan lebih dahulu Tolowea bersama dengan seorang pengikutnya
(dapat lebih dari satu orang) yang memegang bingkisan mahar,
mengantarkan uang mahar ke rumah pihak perempuan.
2. Uncura
Uncura adalah seorang laki-laki biasa terpaksa untuk datang
sendiri ke rumah perempuan yang dikehendakinya. Dalam hal ini baik
sudah ada ikatan dengan bertunangan menurut adat maupun belum,
dengan maksud untuk mengawininya.
Cepat tidaknya perkawinan ini dilangsungkannya tergantung dari
pihak perempuan, ada kalanya pada malam itu juga tetapi sebaliknya dapat
juga terjadi agak lama sampai satu atau dua tahun. Selama laki-laki berada
di rumah perempuan dari pihak orang tuanya mengirim sejumlah uang
melalui perantara yang dinamakan “balanja” yaitu maksudnya untuk
belanja laki-laki selama berada di rumah perempuan.
57
3. Popalaisaka
Popalaisaka yaitu membawa lari perempuan. Arti yang
sebennyarnya adalah lari bersama atau “silariang” dalam bahasa
Makassar. Dalam hal ini biasanya bukan hanya karena keinginan sepihak
tetapi atas persetujuan keduanya.
Popalaisaka dilakukan berdasarkan pertimbangan tidak adanya
kemungkinan lagi untuk ditempuh jalan pobaisa atau uncura. Mengenai
ketentuan-ketentuan adat seperti pembayaran uang mahar dan lain-lain
tempat seperti yang diuraikan di atas pada uncura, atau pobaisa tergantung
dari prosedurnya silariang. Kalau atas persetujuan dan perempuan ada
tunangannya maka seperti pobaisa.
4. Humbuni
Humbuni adalah mengambil perempuan dengan jalan kekerasan
yang disertai ancaman. Umumnya terjadi pada larut malam. Inilah jalan
satu-satunya yang terakhir yang ditempuh dimana laki-laki nekad,
disetujui atau tidak oleh pihak perempuan. Dalam hal ini, betapa besarnya
resiko yang harus ditanggung oleh laki-laki.
B. Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Penentuan Jumlah Kadar Boka di
Buton
Sebelum menjelaskan pengaruh stratifikasi sosial terhadap penentuan
jumlah kadar boka di Buton, terlebih dahulu menjelaskan mengapa terjadinya
stratifikasi sosial itu. Statifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang
dibanggakan oleh setiap orang atau kelompok orang dalam kehidupan
masyarakat. Stratifikasi ini dapat terjadi pada setiap masyarakat, bahkan
terjadi pada masyarakat yang paling sederhana sekalipun. Hanya jarak dan
tingkatan antara lapisan-lapisan itu yang berbeda. Pada masyarakat modern
orang berobat cenderung meminta pertolongan Dokter karena tingkatan
ekonomi dan pengetahuannya lebih tinggi dari pada masyarakat sederhana.
Pada masyarakat sederhana orang berobat cenderung meminta pertolongan
58
pada seorang dukun, bahkan pada zaman modernpun masih banyak anggota
masyarakat yang berobat dengan dukun.
Stratifikasi sosial dapat terjadi dengan sendirinya dalam masyarakat,
dapat pula dibentuk dengan sengaja dalam rangka usaha manusia untuk
mengejar cita-cita bersama. Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya,
seperti pembedaan umur, sifat keaslian adat istiadat, atau munkin harta benda
karena warisan. Sedangkan stratifikasi yang dibentuk dengan sengaja,
biasanya berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan wewnang yang
resmi dalam organisai-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai politik,
angkatan bersenjata dan lain-lain bentuk perkumpulan.
Pembagian kekuasaan dan sebagainya itu sama halnya dengan sistem
berlapis-lapisan dalam masyarakat yang menyangkut pembagian uang, tanah,
kehormatan dan benda-benda ekonomis lainnya. Uang dapat dibagi secara
bebas di antara anggota suatu organisasi berdasarkan kepangkatan atau ukuran
senioritas tanpa merusak keutuhan organisasi yang bersangkutan. Malah
apabila dalam suatu system pemerintahan, kekuasaan dan wewenang tidak
dibagi-bagi secara teratur sesuai dengan ukuran stratanya masing-masing,
maka justru akan menimbulkan kekacauan-kekacauan yang tidak hanya
berbahaya bagi keutuhan kehidupan masyarakat, akan tetapi berbahaya pula
bagi suatu Negara.
Menurut Soerjono Soekanto, semua manusia dapat dianggap sederajat,
akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok
sosial, halnya tidak demikian. Pembedaan atas lapisan-lapisan merupakan
gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial setiap masyarakat.
Mengenai sumber dasar dari terbentuknya stratifikasi dalam
masyarakat adalah suku bangsa (etnis) dan unsur sosial. Stratifikasi yang
terbentuk bersumber dari etnis apabila ada dua atau lebih grup etnis, di mana
grup etnis yang satu menguasai etnis yang lainnya dalam waktu yang relatif
sama. Sedangkan stratifikasi yang terbentuk dari sumber sosial, karena adanya
tuntutan masyarakat terhadap faktor-faktor sosial tertentu. Faktor-faktor sosial
itu merupakan ukuran yang biasanya ditetapkan masyarakat berdasarkan
59
sistem nilai yang dipandang berharga. Faktor-faktor sosial yang berharga itu
kemudian dimasukkan pada level tertentu sesuai dengan tinggi rendahnya
daya guna yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya.95
Menurut tradisi Buton, stratifikasi masyarakat Buton ditetapkan pada
masa kekuasaan sultan ke-4, Dayyan Ihsan ad-Din.96
Sultan yang menetapkan
lapisan-lapisan masyarakat ini untuk membedakan golongan yang boleh dan
tidak boleh menduduki tiga jabatan tinggi kesultanan, yaitu sultan, sapati, dan
kenepulu. Dengan demikian, terjadinya klasifikasi disebabkan oleh alasan
politik dan kekuasaan.97
Meskipun stratifikasi masyarakat Buton terjadi karena alasan politis
atau kekuasaan, yang terjadi batas pemisah antara satu dan lain lapisan adalah
garis keturunan, yaitu garis keturunan raja-raja dan garis keturunan bonto
(kepala kampung) sebelum Islam. Wakaka adalah raja pertama di negri Buton.
Disebutkan bahwa perkawinannya dengan Sibatara menghasilkan tujuh orang
putri, yang tertua bernama Bulawambona. Karena suatu sebab, Wakaka
bersama semua anaknya kecuali Bulawambona, pergi meninggalkan Buton.
Putrinya yang ditinggal menggantikannya menjadi raja (ratu). Dari
perkawinan raja ke-2 ini dengan La Baluwu, putra Dungkucangian, Raja
kerajaan Tobe-Tobe, lahirlah beberapa orang anak, Bancapatola atau bernama
juga Bataraguru dan Sembilan saudaranya. Bataraguru menggantikan
kedudukan ibunya sebagai raja ketiga, sementara saudara-saudaranya yang
lain menduduki jabatan bonto (kepala kampung). Raja keenam atau sultan
pertama, Murhum adalah cicit Bataraguru. Dayyan Ihsan ad-Din, La Singga
dan La Bula yang menjadi pangkal keturunan kaomu adalah cucu Sultan
Murhum dari pihak ibu. Awal dari penetapan garis keturunan ini bermula pada
95
Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Pt Bumi Askara,
Cetakan Kedua 2002, Cetakan Ketiga 2007, Cetakan Keempat 2012), h., 84-85. 96
Naskah Tertua Yang Menceritakan Hal Ini Berasal Dari Perempat Pertama Abad Ke-
19, Pada Masa Kekuasaan Sultan Muhammad „Aidrus. Dan Menurut Sumber Ini Stratifikasi
Masyarakat itu ditetapkan Oleh Sultan Dayyan Ihsan ad-Din. Lihat Zahari, Asrar, h. 7; Hazirun, h.,
9. 97
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h., 24.
60
masa pemerintahan Dayyan Ihsan ad-Din. Pada masa kekuasaannya, Sultan
Dayyan Ihsan ad-Din mufakat dengan sapatinya, Sapati La Singga dan
Kenepulunya, Kenepulu La Bula, menetapkan bahwa (sultan, sapati, dan
kenepulu). Keturunan mereka bertiga inilah yang dikenal dengan golongan
kaomu atau disebut juga lalaki atau lakina. Dan keturunan para bonto atau
kepala-kepala kampong pada masa itu yang menjadi golongan walaka atau
maradika.98
Jika ditarik garis keturunan ke atas, golongan kaomu dan walaka
ini bertemu pada satu nenek, La Baluwu dan Bulawambona. Keturunannya
melalui Bataraguru melahirkan golongan kaomu sementara keturunannya
melalui saudara-saudara Bataraguru menurunkan golongan Walaka.99
Mereka yang tidak mempunyai garis keturunan dari kedua golongan di
atas masuk golongan papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan
kerajaan yang dikenal dengan limbo atau kadie. Sesuai asal usulnya, ada
papara keturunan dari masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan, da ada
pula yang dtang dri luar dan tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan
sukarela.100
Lapisan terbawah adalah budak, dikenal dengan nama golongan batua.
Masuk dalam kategori lapisan ini ialah orang yang diturunkan dari ibu-bapak
yang budak. Dan jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak
masuk kategori ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Sedangkan yang masuk
golongan budak adalah: orang papara yang tunduk di bawah kekuasaan
kerajaan dengan paksa, yang disebut dalam adat dengan bente; musuh
kerajaan yang kalah dalam peperangan; orang luar kerajaan yang dirampas
dan dijual kepada golongan pertama atau kedua di atas.
98
Dalam Hal Ini, Zahari Berbedah Dengan Vonk. Menurut Zahari Bataraguru Dengan
Saudara-Saudaranya Yang Menjadi Pangkal Keturunan Walaka, Adalah Saudara Seayah Saja.
Tetapi Menurut Vonk, Mereka Saudara Seibu Dan Seayah. Lihat Zahari, Sejarah I, h., 37, h., 21.
Memorie Van Overgave Yang Ditulis Tahun 1919 Menyebutnya Maradika. Lihat Militaire
Memorie, Militaire Memorie Van Overgave, Boeton, Alg. Rijksarchief, 1919, h. 29. 99
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h., 24-25. 100
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h., 25.
61
Pemisahan garis keturunan ini sangat keras dalam masyarakat Buton.
Hal ini ditandai dengan tidak dibolehkannya seorang laki-laki walaka
mengawini perempuan kaumu oleh karena kelas kaumu lebih tinggi dari kelas
walaka, meskipun sebaliknya dibolehkan. Orang yang melanggar ketentuan
adat ini pada zaman kesultanan dikenakan hukuman mati.101
Stratifikasi masyarakat Buton bukan hanya dengan atas dasar
kekuasaan, akan tetapi dengan faktor domisili juga. Karena faktor domisili,
lahirlah lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaumu dan walaka. Kaumu dan
walaka dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:102
a. Kaumu dan walaka yang menetap di Keraton, pusat Kerajaan.
b. Kaumu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kerajaan
dan tidak kembali ke Keraton pada waktu Sultan ke-6, Dayyan
Ihsan ad-Din, membagikan daerah kekuasaan kepada para
pembesar kaumu. Hak mereka sebagai kaumu atau walaka hilang.
Derajat mereka turun, dan dalam stratifikasi sosial mereka disebut
analakilaki atau limbo. Yang pertama adalah orang yang berasal
dari kaumu, sementara yang kedua dari golongan walaka.
Meskipun hak mereka hilang, derajat mereka tidak turun menjadi
golongan papara.
c. Kaumu isambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaumu yang sudah
menetap diluar Keraton dan beristri orang biasa. Jika mereka kawin
dengan kaumu dan kembali menetap di Keraton, mereka tetap
dianggap sebagai kaumu. Sebaliknya, jika mereka tetap di kadie,
hak mereka untuk menduduki kekuasaan akan hilang, seperti
halnya kaumu yang menetap di Keraton. Kaumu, walaka yang
sudah lama menetap diluar Keraton dan kawin dengan orang kadie,
101
La Ode Man Arfa, Boeton en Haar Standenstelsel, Skiripsi, 1948, h., 23. 102
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h., 26.
62
kehilangan hak mereka sebagai orang walaka yang menetap di
Keraton.
Berdasarkan domisilinya, papara dapat juga dibagi menjadi:103
a. Papara yang menghuni wilayah yang berada di bawah
kekuasaan langsung penguasa pusat wilayah mereka inilah
yang disebut kadie.
b. Papara yang menghuni wilayah yang tunduk di bawah
kekuasaan kerajaan dan mempunyai struktur pemerintahan
sendiri. Wilayah mereka disebut barata.
Stratifikasi masyarakat Buton sebagaimana disebutkan di atas, baik
atas dasar keturunan atau domisili, menyebabkan terjadinya stratifikasi
masyarakat golongan kaomu dan walaka dalam lapisan-lapisan yang bisa atau
tidak bisa memegang kekuasaan dalam kerajaan.104
C. Pandangan Penulis Tentang Praktek Mahar Dalam Perkawinan
Masyarakat Buton
Pernikahan yang ada di Buton dahulunya merupakan pernikahan
klasifikasi pembentukan masyarakat dengan melihat status sosial dan
keturunan keluarga, bahwasanya keturunan kaomu harus menikahi koamu,
keturunan walaka menikahi walaka, dan kalau dari keturunan walaka
menikahi kaomu maka akan dikenakan pasali dan mata kupa sesuai adat yang
sudah disepakati, namun semenjak perubahan waktu yang bergulir proses
pernikahan sekarang hampir tidak menengok atau melihat status sosial
masyarakat lagi, sehinggah pernikahan adat pun mulai bergeser.
103
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h., 26.
104
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation In Islamic Studies (INIS), 1995),
h. ,26.
63
Dulu pernikahan di Buton sangatlah susah tidak semudah sekarang
dikarenakan semua proses tradisi dalam adat dilakukan secara detail, dari
sebelum pernikahan sampai pernikahan itu selesai, contoh yang dahulu,
sebelum pernikahan keluarga dari pihak laki-laki mereka itu tidak langsung
datang ke rumah pihak perempuan, tetapi memilih dari salah satu orang tua
bekas pegawai syarah atau pemerintah swapraja atau bekas pegawai masjid
Keraton yang disebut tolowea untuk menjadi penghubung. Salah satu dari
orang tua mereka itulah yang menjadi penghubung antara orang tua laki-laki
dan orang tua perempuan yang akan dipinang. Dari hasil konsultasi
penghubung ke pihak keluarga perempuan dapat diketahui jadi tidaknya
pertunangan laki-laki dengan perempuan yang diinginkan, bedah dengan yang
sekarang ini melakukan lamaran kadang dilakukan sendiri oleh pria yang
datang ke pihak orang tua wanita, kemudian pria ini menyatakan sendiri ke
pihak orang tua wanita tersebut untuk langsung melamar wanita tersebut.
Pelaksanaan adat boka dulu dan sekarang sangatlah berbedah dan
pastinya mengalami perubahan. Kalau dulu pelaksanaannya sangat teratur dan
mengikuti adat boka yang berlaku sesuai dengan ketentuannya, akan tetapi
sekarang masyarakat yang melaksanakan adat boka tidak sesuai dengan
ketentuan adat setempat, penyebabnya adalah dinamika perkembangan yang
terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Adapun bentuk perubahannya adalah
berlakunya adat Limba Dolango berubah menjadi adat Mata Kupa.
Limba Dolango adalah bukan suatu ketentuan adat dan juga sistem
adat dari syara‟ agama, tapi suatu luapan hati masyarakat yang dinikahi oleh
masyarakat pendatang, dengan boka yang berlebihan atau bisa disebut sebagai
hukuman bagi pendatang yang menikahi masyarakat Buton. Sedang
perubahan yang terjadi menjadi Mata kupa adalah mahar yang diminta dari
pihak mempelai wanita tanpa diuraikan perhitungan bokanya artinya bagi
masyarakat pendatang menikahi masyarakat Buton asli sudah mendapat
hitungan boka yang tidak ditentukan oleh adat.
Menurut pendapat saya, Praktek mahar dalam masyarakat Buton
sampai sekarang masih sangat dilestarikan dan selalu dijaga oleh toko adat
64
dan masyarakat setempat. Mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat
yang berlaku di daerah tersebut umumnya dan khususnya adat boka dalam
melaksanakan perkawinan di masyarakat Buton. Dalam pelaksanaan
perkawinan di masyarakat Buton pertama-tama harus membawa cincin dan
katindanaoda. Katindanaoda adalah tanda ikatan atau langkah awal menuju
perkawinan, setelah itu diwajibkan untuk membayar boka. Bagi kaomu
membayar 5 boka sedangkan walaka membayar 3 boka dan masing-masing
satu cincin, sekarang satu boka nilainya Rp 60.000, perlu diketahui
bahwasanya boka ini tidak boleh dilebih-lebihkan dan juga dikurangi itu
semua sudah ditentukan oleh adat.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang sudah penulis paparkan pada
bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil atau menarik kesimpulan
bahwa:
1. Cara menentukan jumlah boka (mahar) di masyarakat adat Buton
jika melangsungkan upacara adat perkawinan yaitu tergantung
status sosial masyarakat Buton, apabila status masyarakat tersebut
tinggi yaitu dari kalangan bangsawan maka jumlah nilai boka
(mahar) nya juga tinggi. Status sosial di masyarakat adat Buton
mempunyai tingkatan yaitu kaomu, walaka dan papara. Dan status
tertinggi di masyarakat adat Buton adalah kaomu (bangsawan).
2. Stratifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah
praktek boka. Letak dan kondisi georafis yang sangat strartegis
oleh sebab itu, banyak masyarakat yang berdatangan dari luar
Buton untuk berdagang, dengan kedatangan masyarakat dari luar
Buton peningkatan ekonomi menjadi tinggi. Dengan demikian,
mempengaruhi jumlah nilai boka. Jadi yang mempengaruhi boka
adalah faktor ekonomi bukan faktor stratifikasi sosial.
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah ditulis diatas, akhirnya penulis dapat
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Hendaknya para toko adat agar bekerjasama dengan mahasiswa
yang berada dalam daerah atau diluar daerah agar budaya dan adat
masyarakat Buton khususnya tradisi boka dan umumnya semua
budaya yang ada di daerah Buton bisa di perkenalkan kesemua
lapisan masyarakat.
2. Bagi masyarakat di daerah atau diluar daerah jika ingin mengetahui
lebih mendalam lagi tentang tradisi boka, agar sekiranya mencari
66
informasi atau menanyakan langsung dari sumber toko adat yang
ada di Keraton.
3. Bagi para toko adat, cendikiawan dan budayawan yang berada di
daerah agar lebih bisa mengekspor lagi pengetahuan masalah
tentang tradsi boka yang ada di Buton.
67
DAFTAR PUSTAKA
Alifuddin, ISLAM BUTON. Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal. Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, Oktober 2007.
Aini, Noryamin. Tradisi Mahar di Ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan
Sturuktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia.
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1991).
Aljaziri, Abdurrahman. Al-fiqh „alaMadzhibal-Arba;ah, Juz 4
Alaidrus, Shariya. “Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar”,
artikel diakses pada 04 Oktober 2015 dari
http://www.antarnews.com/berita/431398/mahar-dalam-tradisi-pernikaha-
bangsawan-babar
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan Dalam
Dkk, Rosyid, Hatam. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009).
Ghazali, Abdurrahman. fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006).
Ghazali, Abdurrahman. Fiqih Munakat, (Jakarta: Kencana, 2008).
Hadeli, Metode Penelitian, (Padang: Baitul Hikmah, 2001)
Hamid, Harsin. Perubahan Pada Praktek Tradisi Boka di Masyarakat Buton
(Skripsi 2015).
J. Goode, Wiliam. Sosiologi Keluarga, (Jakarta: PT Bumi Arkasa, 2002).
Kewa Ama, Kornelis. “Mahar kawin yang Membebani Keluarga”, artikel diakses
pada 04 Oktober 2015 dari http://lipsus.kompas.com/jejak
peradabanntt/read/2010/12/10/08361911
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
2005).
Kamal, Abdul Malik. Fiqih Sunnah Wanita 2, (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2007).
68
Lakebo, Berthyn, Zeth Meisu, Zahari, Abd Mulku. Ibu, La Ode. Hasanuddin, Adat
dan Upacara Pernikahan Daerah Sulawesi Tenggara, Proyek Penelitian
dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara, 1978/1979
Mazhkur, Ibrahim. al-Mu,jam al-Wasiih, (Beirut: Dar al-Fikr). Jilid ke-2
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
Mattulada, “Kebudayaan Bugis-Makassar”
Mugniyyah, Muhammad Jawad. fiqih Lima mazhab,Penerjemah Maskur A.B.
dkk., (Jakarta: Lantera, 1999).
Narwoko J. Dwi, Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
(Jakarta: Kencana, 2007)
Pim, School. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Djambatan-bekerja sama
dengan Perwakilan KITLV-Jakarta, 2003.
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Jakarta: 1977).
Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009).
Rahman, abdur. Perkawinan Syariat Islam, (PT. Rineka Cipta, Jakarta)
Sopyan, Yayan. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009)
Susanto, Zuhdi. Sejarah Buton Yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana, (Jakarta,
Rajawali Pers, 2010).
Shomad, Abdul. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Kencana Grup, 2010).
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih
Munakahat dan Undang_Undang Perkawinan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005).
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam,
(Jakarta: UI Press, 1986).
69
Vergouwen, J. C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: LKiS, 2004).
Yunus, Abd Rahim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan
Buton Pada Abad Ke-19, (Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies (INIS), 1994).
Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat Fi Darul Butuni (Buton), (Jakarta:
Depdikbud RI, 1997).
Wawancara:
Wawancara Bpk Al Mujazi Mulku Zahari
Wawancara Bpk La Jaati
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN
Nama : AL MUJAZI MULKU ZAHARI
Umur : 62
Jenis kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Tokoh Adat
1. Bagaimana tataran boka pada masa dahulu?
Jawab: Bagi orang-orang dulu kalau melakukan pernikahan itu dilihat dari istilah
keturunannya, karena dengan silsilahnya itu di masyarakat Buton menjadi keluarga
terpandang, dan apabila ingin melakukan pernikahan prosesnya itu sangatlah Panjang
karena proses pemberian boka itu tidak sekali pemberiannya akan tetapi dilakukan
beberapakali sesui dengan aturan yang telah ditetapkan oleh swapraja.
2. Apa pengertian dari Boka (mahar)?
Jawab: Boka (mahar) adalah aturan (sistem) satuan nilai mahar pernikahan dalam
kebudayaan kesultanan Buton.
3. Bagaimana Cara Menentukan jumlah atau jenis boka (mahar) di masyarakat
Buton?
Jawab: Cara menentukannya yaitu tergantung status masyarakat, apabila status
masyarakat tersebut tinggi maka nilai boka (mahar) nya tinggi juga.
4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Jawab: Kalau misalkan dulu itu ada aturan yang ditetapkan dan tidak diubah, tapi
kalau sekarang itu harus disesuaikan dengan nilai ekonomi, ekonomi dulu dan
sekarang itu sangatlah bedah di zaman sekarang ini ekonomi sangat tinggi tidak sama
dengan zaman dulu. Jadi menurut saya aturan dan batasan itu ada ada, akan tetapi
harus menyesuaikan waktu.
5. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan penduduk
pendatang, apakah adat boka masih berlaku?
Jawab: Masih tetap berlaku, jadi penduduk asli maupun pendatang jika melaksanakan
upacara perkawinan adat boka tersebut tetap berlaku karena dalam tradisi perkawinan
adat Buton menikah tanpa melakukan prosesi adat boka serasa kurang lengkap dalam
pelaksanaan pernikahan.
6. Apakah stratifkasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka?
Jawab: Stratifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka
akan tetapi yang mempengaruhi itu adalah peningkatan ekonomi.
7. Apakah ada upaya tertentu yang harus dilakukan untuk mempertahankan adat
dan tradisi boka di kampung ini dan apa saja upaya tersebut?
Jawab: Kalau saya pribadi kita kembali lagi pada peraturan-peraturan yang dulu dan
tetap dilestarikan sampai sekarang seperti apa kata orang tua dulu yaitu bahwa
melestarikan adat dan tradisi tanpa mencampuradukan dengan zaman.
Lampiran II
DAFTAR PERTANYAAN
Nama : La Jaati
Umur : 51
Jenis kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Tokoh Adat
1. Bagaimana tataran boka pada masa dahulu?
Jawab: Sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, tradisi boka dari zaman dulu sampai
dengan saat ini pada tetap dipegang dan dilestarikan yaitu dengan menggunakan
sislsilah keturunan atau status sosial, bagi orang dulu atau para sultan, pernikahan
merupakan sistem pembentukan kekuasaan untuk wilayah, sehinggah boka pada saat
ini masih sangat diperhitungkan melalui silsilah keturunan atau status sosial.
2. Apa pengertian dari Boka (mahar)?
Jawab: Boka itu disebut juga sebongka artinya sebuah atau benda, yang sekarang
dijadikan aturan nilai tukar untuk sistem pernikahan di masyarakat Buton dahulu dan
sampai sekarang.
3. Bagaimana Cara Menentukan jumlah atau jenis boka (mahar) di masyarakat
Buton?
Jawab: Cara menentukannya yaitu tergantung status masyarakat, apabila status
masyarakat tersebut tinggi maka nilai boka (mahar) nya juga tinggi. Kaomu harus
menikah dengan kaomu juga dan walaka menikah dengan walaka juga.
4. Apakah ada aturan atau batasan dalam perhitungan boka?
Jawab: Menurut adat Buton itu adalah aturan yang dibuat oleh para tokoh adat Buton
dan juga petuah Buton dan telah disepakati bersama, sedangkan boka tersebut adalah
bagian dari adat. Berarti dalam tradisi boka mempunyai aturan dan batasan dalam
perhitungannya, akan tetapi dilihat dari status sosial dari masyarakat tersebut.
5. Bagaimana jika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan penduduk
pendatang, apakah adat boka masih berlaku?
Jawab: Ketika terjadi perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang itu sudah
hal yang biasa bagi masyarakat Buton pada saat sekarang ini, dan boka itu masih tetap
berlaku bagi pendatang, jika dibandingkan dengan zaman dulu atau orang-orang dulu
pernikahan antara penduduk asli dengan pendatang itu sangatlah merusak silsilah
keturunan. bagi masyarakat Buton, hal tersebut bisa memunahkan keturunan atau
silsilah akan hilang. Oleh karena itu, para orang tua dulu selalu mengingatkan anak-
anak dan cucunya untuk menikah dengan satu suku atau satu daerah.
6. Apakah stratifkasi sosial berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka?
Jawab: Statifikasi sosial tidak berpengaruh dalam penentuan jumlah praktek boka
akan tetapi yang mempengaruhi itu adalah peningkatan ekonomi dan juga gaya hidup
masyarakat.
7. Apakah ada upaya tertentu yang harus dilakukan untuk mempertahankan adat
dan tradisi boka di kampung ini dan apa saja upaya tersebut?
Jawab: Upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan dan menjaga
kelestarian boka tersebut adalah salah satunya dengan menikahkan anak-anak dan
cucu dengan satu daerah dan suku juga, sehinggah adat dan budaya yang ada pada
kita saat ini bisa dijaga dan dilestarikan turun temurun sampai tua kelak.