Stratifikasi Sosial dan Agama
Transcript of Stratifikasi Sosial dan Agama
Stratifikasi Sosial dan Agama
Mariatul Qibtiyah
ii
STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN : 978-602-9606-76-8
16,5 x 23,5 cm
xv, 233 hlm
cetakan Ke-1, November 2014
Cinta Buku Media, November 2014
Penulis
Mariatul Qibtiyah
Editor
Abd. Azim Amin
Desain Cover
Fitrul Quraisy
Penerbit
Cinta Buku Media
Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8
Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan
Hotline CBMedia 0858-1413-1928
Email: [email protected]
© Hak Pengarang dan Penerbit dilindungi oleh UU
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan kehadirat-
Nya yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menerbitkan buku ini. Buku ini awalnya
merupakan karya tesis penulis yang kemudian diterbitkan menjadi
buku dengan judul Stratifikasi Sosial dan Agama. Buku ini
merupakan pergulatan akademik selama masa penelitian tesis
penulis pada pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Tesis yang kemudian menjadi buku ini
merupakan analisis terhadap adanya interelasi stratifikasi sosial
dan agama dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dianggap sebagai
faktor yang menentukan kecenderungan-kecenderungan
keagamaan dan orientasinya. Semakin tinggi hierarki strata suatu
masyarakat maka akan semakin rasional pola kepercayaannya.
Berkaitan dengan interdependensi antara sratifikasi sosial
dan agama, menurut Azyumardi Azra, semula kelas-kelas yang ada
dalam masyarakat tidaklah dipisahkan atau dibedakan karena
pengetahuan atau keimanan. Namun hal-hal ini berubah tatkala
masyarakat yang bersangkutan semakin besar dan hasilnya
semakin terdiferensiasi. Sekarang ini terdapat bukti-bukti yang
kuat, bahwa kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat, kedudukan
dan pekerjaan – untuk menyebut bagaimana masyarakat dapat
dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan kecenderungan
keagamaan yang berbeda, dan dengan demikian, mengekspresikan
agama dalam cara-cara yang berbeda pula. Analisis yang
mencakup hanya salah satu dari pembagian-pembagian masyarakat
itu jelas tidak memadai; karena sangat besar kemungkinan bahwa
variabel-variabel itu saling mempengaruhi. Sehingga, interelasi
antara stratifikasi sosial dan agama bukanlah merupakan suatu hal
yang bersifat linear namun dapat bersifat overlapping antar
variabelnya.
iv
Adapun selama studi, penulis banyak mendapatkan inspirasi
dan pencerahan yang sangat berarti. Begitu juga masa penjajakan
untuk bertukar pikiran terutama dengan orang-orang yang cukup
menaruh perhatian terhadap penelitian ini. Komentar-komentar
yang sangat berarti, menjadi catatan penting bagi penulis. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyatakan rasa hormat
dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa tersebut.
Terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Azyumardi Azra selaku direktur
SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga kepada seluruh
jajaran pimpinan SPs, Prof. Suwito, M.A., Dr. Yusuf Rahman,
M.A., seluruh karyawan dan karyawati tata usaha, dan
perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA selaku pembimbing dan
promotor dalam penulisan karya ini yang telah memberikan
gagasan, saran, dan kritikan yang sangat berguna demi
berkualitasnya penulisan karya ini.
3. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Drs. Abd. Azim Amin,
M.Hum dan Ibunda Latifah yang tidak pernah lelah
memberikan motivasi, dukungan, dan doa dalam setiap sujud
mereka. Kepada saudara-saudaraku yang selalu
menyemangatiku dan memberikan dukungan kakak Abdur
Rohim, SE,. kakcik M.Nur Kholis, S.Hi, serta adik-adikku
M.Fitrul Quraisy, Nurul Hidayati, dan Aisyahtul Fadillah dan
keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
terima kasih atas dukungan moril dan materilnya.
4. Buat sahabat-sahabatku Yuk Her, Iffa, Yuk Nisa, Onnie Sarah,
Albab, Mami Ita, Mbak Zahra, Tante Fatma, Isti, Nadia, dan
teman-teman angkatan 2012 SPS UIN Syarif Hidayatullah yang
telah bersama-sama berjuang memberikan masukan-masukan
pada penulis semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu.
Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah penulis
persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian
pada kajian keislaman, disertai harapan semoga kehadiran karya
kecil ini bermanfaat dalam memperkaya wacana intelektual,
v
khususnya bagi pengembangan sosiologi-antropologi agama.
Namun, buku ini bukanlah karya yang sempurna sehingga penulis
mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca agar buku ini
dapat menjadi bahan rujukan yang lebih baik lagi bagi
pengembangan studi lanjutan.
Jakarta, 18 November 2014 M
25 Muharram 1436 H
Mariatul Qibtiyah
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah ALA–LC ROMANIZATION tables yaitu
sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}d ض Omit ا
}t ط B ب
}z ظ T ت
‘ ع Th ث
gh غ J ج
f ف {h ح
q ق Kh خ
k ك D د
l ل Dh ذ
m م R ر
n ن Z ز
,ه S س ة h
w و Sh ش
y ى {s ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah A A
Kasrah I I
D{ammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
...ى Fath}ah dan ya Ai A dan I
…و Fath}ah dan wau Au A dan W
Contoh :
ول H{usain : حسين H{aul : ح
viii
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas ىآ
Kasrah dan ya i> i dan garis di atas ى ى
D{ammah dan ى و
wau
u> u dan garis diatas
D. Ta>’ marbu >t}ah (ة)
Transliterasi ta’ marbut }ah (ة) di akhir kata bila
dimatikan ditulis h.
Contoh : مرأة : mar’ah مدرسة : madrasah
(Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab
yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat,
zakat dan sebagainya kecuali dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shaddah
Shaddah/tasydi>d di transliterasi ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
شوال rabbana : ربنا : shawwa>l
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah ditulis al.
Contoh :
al-Qalam : القلم
Apabila diikuti oleh huruf shamsiyah ditulis dengan
menggandeng huruf shamsiyah yang mengikutinya
serta menghilangkan huruf l-nya
Contoh:
An-Na>s : الناس Ash-Shams : الشمس
G. Pengecualian Transliterasi
Adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan
di dalam bahasa Indonesia, seperti الله, asma>’ al-husna> dan ibn,
kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 11
B. Metode Penelitian ..................................................................... 17
1) Desain Penelitian................................................................... 17
2) Pendekatan ............................................................................ 19
3) Unit Analisis ......................................................................... 20
4) Sumber dan Jenis Data .......................................................... 23
5) Teknik Pengumpulan Data .................................................... 24
6) Teknik Analisis Data ............................................................ 26
BAB II
PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS
STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA
A. Paradigma Stratifikasi Sosial .................................................... 31
B. Pola Kepercayaan dalam Sistem Sosial Masyarakat ................ 43
C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan .................................. 52
D. Islam dan Stratifikasi Sosial ..................................................... 69
BAB III
POTRET MASYARAKAT PALEMBANG
A. Profil Kota Palembang .............................................................. 77
\B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang .............................. 81
C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat Palembang .. 94
1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang ...................................... 94
2) Islamisasi di Kota Palembang ............................................... 97
3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang............................ 102
x
BAB IV
ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI
ISLAM DALAM MASYARAKAT PALEMBANG
A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi ........... 111
B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental ... 120
C. Motif Peziarah ......................................................................... 129
D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah ........................... 140
BAB V
INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL
TERHADAP POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT
A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang ....... 157
1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 168
2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 171
3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 174
4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 178
5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 181
6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik
Terhadap Perilaku Ziarah .................................................... 183
B. Stratifikasi Keagamaan dan Pola Kepercayaan ...................... 187
1) Traditional Action .............................................................. 190
2) Affectual Action ................................................................. 191
3) Werkrational Action ........................................................... 191
4) Zwerkrational Action ......................................................... 192
C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional ....................... 192
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 205
B. Saran ....................................................................................... 206
xi
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 209
GLOSSARIUM ............................................................................ 223
INDEKS ....................................................................................... 229
BIODATA PENULIS .................................................................. 233
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Profil Informan Berdasarkan Stratifikasi
Jenis Kelamin,Umur, Agama, Pendidikan, Jenis
Pekerjaan, dan Asal ......................................................... 21
Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi ............ 22
Tabel 3. World View dan Dampak Sosial .................................... 48
Tabel 4. Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan
Masyarakat Muslim ........................................................ 72
Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera
di Kota Palembang Tahun 2011...................................... 93
Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah ........................................... 134
Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah ............................................. 147
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa
Kesultanan Palembang Darussalam ............................... 89
Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia .............. 115
Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan
(Frame of Reference of The Theory of Action) ........... 147
Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi .............................. 160
Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson ....................... 165
Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap
Pola Kepercayaan di Palembang ................................. 167
Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan
Interdependensinya Terhadap Pola Kepercayaan ........ 185
Bagan 8. Dimensi Budaya ........................................................... 199
BAB I
“Pada umumnya stratifikasi dilihat berdasarkan determinan
ekonomi, politik, dan prestis sosial. Namun, buku ini mencoba
menggali interelasi stratifikasi sosial dan determinan agama yang
dilihat dari pendekatan sosiologi dan antropologi”
-- Penulis --
PENDAHULUAN
gama Islam dianut oleh mayoritas penduduk
Indonesia (statistik resmi mencatat lebih dari
87,18% orang Islam)1, namun sikap masyarakat
terhadap dunia sakral memiliki ciri-ciri budaya lokal khas yang
terbentuk oleh sejarah. Sebagai negara yang penduduknya
mayoritas muslim, fenomena ziarah2 sudah menjadi fenomena
tersendiri yang unik bagi masyarakat muslim di Indonesia pada
umumnya. Kehadiran peziarah bukan hanya didorong oleh motif
sejarah, melainkan juga karena ada tradisi untuk mengunjungi
makam3 keluarga atau tokoh yang dianggap berperan penting
1 Menurut BPS, pada akhir tahun 2010, penduduk Indonesia mencapai
237.641.326 orang dengan jumlah pemeluk agama Islam menjadi sekitar 87.18
% persen, Kristen (6.96%), Katolik (2.9%), Hindu (1.69%) Budha (0.72%),
Kong Hu Cu (0.05%), Lain-lain (0.13%). Sumber: http://www.bps.go.id
(diakses pada tanggal 04 Juni 2012). 2 Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziyara yang berarti kunjungan.
Kata ini pada dasarnya dapat diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke
semua objek, baik berupa tempat maupun orang. Namun, sebagian istilah lokal,
ziarah merujuk kepada kunjungan resmi kepada orang terkemuka (seperti
seorang Kyai yang dihormati) atau ke sebuah tempat suci (makam atau
peninggalan kramat wali atau orang suci) yang mengisyaratkan harapan untuk
mendapatkan barakah (berkah). Walaupun kunjungan kepada seseorang yang
masih hidup seperti kepada seorang Kyai yang dihormati juga dilakukan, ini
hanyalah bentuk penghormatan biasa, bukan praktik yang penting. AG.
Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon,(Jakarta:
Logos, 2002), 228. 3 Dalam bahasa Arab, makam berasal dari kata maqam yang berarti
tempat, status, atau hirarki. Tempat menyimpan jenazah sendiri dalam bahasa
Arab disebut Qabr, yang di dalam lidah orang Indonesia disebut kubur atau
A
2 Pendahuluan
dalam sejarah hidupnya dan sejarah masyarakatnya. Kebudayaan
ini berkembang dikarenakan masyarakat meyakini tradisi tersebut
dan selalu ada pesan dan harapan untuk mengikutinya4.
Masyarakat Indonesia tersegmentasi tidak hanya secara
vertikal tetapi juga secara horizontal. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai determinan, seperti ekonomi, politik, agama, gaya hidup,
perilaku dan gender, dan lain-lain. Segmentasi seperti ini ternyata
tidak hanya mempengaruhi pola pikir mereka melainkan dapat
mempengaruhi hal lainnya, seperti gaya hidup dan pola
kepercayaan. Fakta sosial yang memperlihatkan segmentasi dan
pola pikir masyarakat dapat terdeskripsi melalui fenomena ziarah.
Aktivitas ziarah di makam-makam istimewa sangatlah berbeda-
beda di mana tingkah laku dari masing-masing peziarah ini
berbeda-beda, hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang dari
masing-masing individu yang berbeda-beda, tak hanya itu keadaan
sosial, pengalaman serta motif mereka berziarah pun sangat
bervariasi. Namun adanya berbagai motif berziarah ke makam
keramat ini dari penjuru masyarakat seolah-olah menginstitusikan
makam ini sebagai makam yang sakral dan istimewa dibandingkan
makam orang-orang biasa.
Sebagai suatu fenomena agama, ziarah merupakan realitas
sosial yang berkembang dan menjadi hal unik di dalam masyarakat
karena ziarah merupakan bentuk akulturasi antara budaya dan
agama. Alasan sementara masyarakat merasa perlu menghadap
lebih tegas disebut kuburan. Baik kata makam atau kubur – biasanya
memperoleh akhiran an, sehingga diungkapkan kuburan atau makaman –
umumnya digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan
mayat. Keduanya tidak dibedakan secara tegas, sehingga orang yang berziarah
bisa menyatakan akan ke makaman atau ke kuburan. Namun demikian, ada
kekhususan, yakni jika yang dikuburkan adalah seorang wali atau orang suci
maka tempat penguburannya disebut makam wali dan bukan kuburan wali. Padahal semestinya, jika mengikuti tradisi bahasa Arab tempat tersebut disebut
qabr, seperti qabr Hud di Hadramaut, bukan maqam Hud dan maqam Ibrahim di
Makah. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 139, 4 Ruslan, dan Arifin Suryo Nugroho, Ziarah Wali: Wisata Spiritual
Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2007), 41.
Pendahuluan 3
seorang wali atau orang suci5 – bahkan lebih sering bukan
orangnya sendiri tetapi makamnya – daripada langsung
menghadap Tuhan, tentu berhubungan dengan perasaan orang itu
memerlukan perantaraan karena Tuhan dianggap tidak
terjangkau6. Paham perantaraan atau wasilah sangat utama dalam
hal itu. Tetapi fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan
perilaku agama. Hal ini dapat dilihat dari perkembangannya
melalui peranan berbagai tarekat. Sifat ini pun dapat membawa
sorotan baru pada sejarah perkembangan fenomena ziarah,
khususnya di Palembang. Pada masa kini, makam-makam keramat
yang terkenal dijadikan obyek pariwisata, sedangkan perilaku
ziarah dipromosikan sebagai program unggulan pariwisata daerah.
Makam-makam yang dikeramatkan biasanya merupakan
makam yang diyakini sebagai seorang wali atau tokoh yang
5 Pada dasarnya, tiada yang bersifat suci melainkan hanya Allah SWT.
Tiada siapa pun selain Dia yang bernama al-quddu>s5, nama satu-satunya yang
mengungkapkan kesucian-Nya. Ayat-ayat kitab suci mengenai kesucian Allah
dan kesucian manusia tampaknya melarang upaya untuk menghubungkan kedua
konsep tersebut. Konsep yang pertama, yaitu kesucian Allah, sebagaimana
tercantum dalam al-Qur’an (59: 23; 62:1). Sedangkan kata-kata yang
mengungkapkan konsep kedua, yaitu kesucian manusia, bukan sekedar dibentuk
dari akar kata yang berbeda, namun bahkan berasal dari akar kata yang makna
aslinya dapat dianggap sama sekali bertolak belakang: quddu>s (QDS), seperti
padanannya dalam bahasa Ibrani, mempunyai makna dasar yang berarti
“pemisahan” dan selanjutnya menjadi keluhuran yang tertinggi dan kemurnian
absolut. Sebaliknya wala>yah (WLY) mempunyani makna dasar yang berarti
“kedekatan”. Dalam al-Qur’an, istilah-istilah kata WLY cukup banyak
jumlahnya. Istilah wala>yah hanya muncul dua kali (8:27; 18:44), baik sebagai
ungkapan kesetiakawanan antar sesama umat muslim, maupun untuk
menyebutkan perlindungan yang diberikan Allah kepada umat. Istilah wali> dengan jamaknya awliya>’ sebaliknya muncul berkali-kali, namun harus
diterjemahkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Henri
Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010), 10. 6 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an (2: 186), “Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
4 Pendahuluan
dianggap telah berhasil menghimpun dirinya dengan berbagai
kesaktian, baik karena bakat lahiriah, maupun sebagai hasil suatu
perjalanan batin tertentu. Kesaktian yang tadinya berada dalam
dirinya itu kemudian bersemayam pula dalam makamnya. Itulah
sebabnya, dengan beberapa perkecualian, ziarah hanya diadakan di
satu-satunya tempat, yaitu di kuburannya7. Di daerah Jawa yang
terkenal adalah makam walisongo8, sementara obyek ziarah yang
mendapat sorotan bagi masyarakat di kota Palembang dan
sekitarnya adalah makam Kyai Marogan.9 Makam Kyai Marogan
adalah makam seorang ulama dan waliyullah di Bumi Sriwijaya.
Beliau merupakan sosok yang karismatik dan penyebar agama
Islam di wilayah Sumatera bagian Selatan ini. Lokasi tersebut
memiliki nilai historis tersendiri sehingga menjadi magnet bagi
peziarahnya. Setiap hari peziarah mengunjungi makam tersebut
agar mendapat berkah dari keistimewaannya.
Dalam suatu masyarakat terdapat figur yang dihormati dan
dianggap sebagai istimewa daripada yang lain sehingga figur ini
diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat. Eksistensi orang yang
7 Kuburan tokoh-tokoh itu disebut dengan istilah umum “keramat” (dari
bahasa Arab karomah jamak karamat yaitu “keajaiban”) yang di Indonesia
menunjuk baik tempat dan benda maupun manusia dan bukan hanya wali-wali
Islam ataupun makam saja. Seorang individu yang memiliki kekuatan
paranormal disebut keramat, seperti juga suatu pertemuan dengan dunia ghaib.
Dengan kata lain, terdapat kesinambungan antara makam-makam wali di satu
pihak dan tempat-tempat keramat lainnya yang tidak berkaitan dengan sosok
manusia. Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 229. 8 Menurut Amin Abdullah, walisongo adalah para pembawa dan
penyebar agama Islam di pesisir Jawa bagian utara, yang dikenal cukup intens
dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai Islam secara kreatif ke dalam
kompleksitas kehidupan masyarakatnya. (Ruslan dan Arifin, Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa), 4.
9 Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden
Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga
Masagus Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/
index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26. Lihat juga
Ahmad, Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005.
Pendahuluan 5
terpilih atau “orang suci”10 di dalam masyarakat menciptakan
suatu pola tersendiri di dalamnya. Geertz11 mengungkapkan bahwa
agama tampak tumpang tindih dengan kebudayaan karena sifatnya
yang kompleks dan ruang lingkup yang mendalam, khususnya
dalam ajaran agama Islam. Aspek kehidupan beragama tidak hanya
ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi
secara signifikan dengan institusi budaya material, perilaku
manusia, nilai, moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik,
pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang dan lain
sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang
lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.
Fenomena ziarah kubur tidak terkait langsung dengan al-
Qur’an dan pelaksanaannya kadang-kadang demikian khas
sehingga orang yang menentangnya tidak kekurangan alasan untuk
mencapnya sebagai perilaku keagamaan yang menyimpang atau
bahkan syirik. Praktiknya juga sering spektakuler, terutama pada
waktu perayaan-perayaan besar, bila kerumunan besar peziarah
memperagakan imannya dengan emosi yang meluap sehingga
mengganggu mereka yang lebih bersikap spiritual maupun
rasional.12 Kegiatan ini rutin dilakukan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang memiliki kepercayaan yang kuat
terhadap hal-hal yang berbau sakral. Kepercayaan tersebut
diaktualisasikan oleh peziarah melalui perilaku keagamaan yang
beragam, mulai dari menabur kembang, mengusap nisan, membaca
10 Orang yang terpilih ini dianggap sebagai orang yang memiliki
keistimewaan dan dekat sang Pencipta, sehingga ketika orang tersebut
meninggal maka dengan berdoa di makamnya maka harapan dan doa si pendoa
akan terkabul. Konsep “orang suci” merujuk pada konsep “wali Allah” yang
berarti orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang
didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam
terminologi Al Qur’an, sebagaimana Allah berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.”
(Yunus: 62 – 64) 11 Sebagaimana dikutip dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam
Kehidupan Manusia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 9. 12 Henri Chambert-loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia
Islam, 2010: 1
6 Pendahuluan
do’a, memuja, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti
rasa takut, optimis, atau pasrah. Kepercayaan semacam ini tampak
aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan
masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan
bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, ilmiah atau
terbukti secara empirik13. Hal ini dianggap suatu tradisi yang tak
bisa dilepaskan dan masih melekat dalam masyarakat sebagai
suatu kebudayaan. Akhirnya fenomena tersebut seringkali
mewarisi praktik agama pra-Islam, sambil mengambil alih tempat
serta ritus-ritusnya. Singkatnya, fenomena itu dapat saja dicap
kurang murni dari sudut akidah, bahkan kurang serius, sehingga
umumnya paling-paling ditolerir sebagai sarana yang dibutuhkan
umat yang goyah imannya, agar dapat mengamalkan dan
memperkuat imannya.14
Terlepas dari anggapan dan penilaian agama terhadap
praktik ziarah yang menyimpang atau tidak, fenomena seperti ini
kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari bahkan telah
membudaya. Kekeramatan makam dianggap sebagai magnet kuat
yang menarik masyarakat untuk menziarahinya. Berziarah ke
makam-makam keramat adalah suatu kebiasaan yang sangat
umum di masyarakat, sehingga siapa pun dapat menjadi peziarah.
Makam keramat Kyai Marogan dianggap sebagai magnet yang
telah menarik perhatian masyarakat Palembang dan sekitarnya
untuk berziarah di sana. Semua lapisan masyarakat15 terkena
13 Bustanuddin, Agus, Agama Dalam kehidupan Manusia, 2006: 2 14 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia
Islam, 2010: 1 15 Lapisan masyarakat juga dapat disebut sebagai stratifikasi sosial, yaitu
tingkatan yang ada di dalam masyarakat yang diukur atau diakui berdasarkan 4
unsur, yaitu kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan pendidikan. Dalam hal ini
pola pikir dan cara pandang masyarakat juga dipengaruhi oleh stratifikasi yang
mereka duduki. (Elly M.Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), 399. Menurut Jeffries dan Ransford,
stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas
(aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnis,
jenis kelamin, dan usia. (Jeffries and Ransford, Social Stratification : a Multiple
Pendahuluan 7
fenomena ziarah, namun ternyata anggota-anggota kelas sosial
tertentu lebih sering ditemukan daripada anggota-anggota kelas
sosial yang lain. Kecenderungan peziarah mayoritas dari kelas
sosial bawah di mana pola kepercayaan mereka umumnya masih
bersifat tradisional dan primitif. Berbeda dengan masyarakat
dengan kelas sosial atas yang memiliki pola kepercayaan modern
di mana segala sesuatu harus berasaskan pada rasionalitas dan
terbukti secara ilmiah. Namun pada kenyataan, mereka yang
berstatus sosial tinggi juga tampak terlihat berziarah ke makam
keramat. Kehadiran peziarah dari beraneka ragam lapisan ini tidak
terlepas dari motif pribadi yang terkadang sukar untuk diketahui.
Struktur masyarakat Palembang yang multikultur
menjadikan masyarakatnya terstratifikasi ke dalam beberapa
lapisan sosial. Stratifikasi sosial masyarakat yang dapat dilihat
dalam berbagai determinan - baik determinan ekonomi, sosial,
pendidikan dan budaya - tidak membuat masyarakat sungkan
untuk berkunjung ke makam keramat. Beragam lapisan
masyarakat yang hadir ternyata memiliki karakter pola
kepercayaan yang berbeda dalam menginterpretasikan ritual
ziarah. Hal ini terlihat ketika masyarakat yang tergolong dalam
kelas atas berziarah ke makam keramat di mana interpretasi
tindakannya berbeda dengan masyarakat kelas bawah. Pada
umumnya masyarakat kelas bawah masih terpengaruh dengan pola
pikir yang tradisional, yakni masih percaya kepada hal-hal yang
berbau mistik, seperti membawa sesajen atau membeli benda-
benda yang dianggap sakral. Hal ini berbeda dengan masyarakat
yang berada di strata atas, di mana pada umumnya mereka
memiliki pola kepercayan yang lebih rasional dan modern. Mereka
percaya kepada sesuatu yang ghaib namun dengan rasionalitas
mereka; mereka enggan untuk membawa hal-hal yang bersifat
tradisional seperti sesajen atau membeli barang-barang yang
mengandung kekuatan mistis karena hal tersebut tidak dapat
dibuktikan secara empirik manfaatnya.
Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC. United States of America. 1980),
3-4.
8 Pendahuluan
Status sosial peziarah juga bervariasi mulai dari golongan
petani, pedagang, pegawai, buruh, ulama, pejabat dan lain-lain
berziarah dan membentuk stratifikasi sosial. Tingkah laku
peziarah ini sedikit banyak dipengaruhi oleh status sosial dan pola
kepercayaan mereka. Terdapatnya tingkah laku berbeda dari
peziarah ketika melakukan ziarah dapat berdampak terhadap
enkulturasi ziarah itu sendiri. Perilaku peziarah di makam keramat
akan menjadi suatu kebiasaan sehingga terenkulturasilah menjadi
suatu tradisi budaya sebagai bagian dari budaya ziarah.
Bentuk-bentuk pola perilaku yang merupakan cermin dari
pola kepercayaan dan stratifikasi sosial masyarakat ketika
berziarah dapat terlihat di makam. Peziarah yang memiliki
stratifikasi sosial yang tinggi melakukan ziarah hanya untuk
berkunjung dan mendoakan orang yang berada di dalam makam
tersebut sebagai bentuk penghormatan. Lain halnya dengan
peziarah yang berada pada stratifikasi sosial yang rendah, motif
berziarah pun agak sedikit menyimpang dari adab berziarah. Motif
peziarah dari kelas ini adalah karena niat mereka yang
menginginkan sesuatu seperti kesembuhan, kelancaran rezeki,
kemudahan dalam berjodoh yangmana motif tersebut mereka
sampaikan bukan kepada Allah SWT, tetapi terkadang ada yang
menyampaikannya kepada orang yang dimakamkan di dalam
makam tersebut. Adanya penyimpangan niat seperti ini
kebanyakan disampaikan oleh orang-orang yang berada dalam
status sosial rendah. Tak hanya itu, selain menyampaikan hajat
mereka kepada sang Kyai yang berada di dalam makam, mereka
juga kerap mengambil batu kerikil yang ada di dalam makam
keramat tersebut. Selain itu mereka juga membeli kembang,
kemenyan, dan lain sebagainya sebagai ‘oleh-oleh’ dari
kunjungannya di makam keramat tersebut untuk mengambil
berkat/barokahnya.
Fenomena ziarah sebagai bentuk fakta sosial dalam
masyarakat memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara
stratifikasi dengan agama. Keith A.Roberts menyatakan bahwa
ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan
beragama. Agama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem
Pendahuluan 9
sosial ekonomi. 16 Menurutnya religiusitas seseorang dipengaruhi
secara signifikan oleh agama atau posisinya dalam sistem
stratifikasi. Selain itu, Max Weber17 mengemukakan bahwa
faktor-faktor ekonomi tidak dapat menerangkan ciri-ciri khusus
dari formasi group, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu
menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan
mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang
memperlihatkan ide dari kedudukan sosial. Hal ini bertolak
belakang dengan Karl Marx yang menyatakan bahwa hanya
kepentingan ekonomi yang mempengaruhi agama lebih daripada
agama yang mempengaruhi perilaku ekonomi.18 Marx
mengemukakan bahwa dasar pembentukan kelas sosial bukanlah
konsensus tetapi penghisapan suatu kelas oleh kelas sosial lain
yang lebih tinggi.19 Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E.
Lenski memberikan pandangan mengenai hubungan antara ketiga
dimensi stratifikasi sosial (privilese, kekuasaan dan prestise)
dengan menekankan aspek kekuasaan. Pendapat-pendapat ini
kemudian diadaptasi oleh Robert MZ Lawang yang menekankan
pentingnya dimensi privilese ekonomi dalam menentukan
dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial seperti yang
dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills.20
Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini,
kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari
kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama
ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati
modernisme21 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan,
16 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA:
Wadsworth, 2004), 218 17 Dalam Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983), 148 18 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, 218 19 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan, (Jakarta: Kencana, 2011), 166. 20 Robert M.Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores
Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press, 2004), 7. 21 Modernisme berbeda dengan modern. Yang pertama telah menjadi
anutan dan paham yang dipakai dalam memandang manusia, alam dan
10 Pendahuluan
industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi
masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena
kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut
Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam
dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.22
Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir
yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola
kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap
irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan
intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi
perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.
Kekeramatan makam menjadi potret terjadinya interelasi
antara pola kepercayaan masyarakat Palembang dan stratifikasi
sosial. Fenomena ziarah ke makam keramat menunjukkan bahwa
berbagai kelompok masyarakat dan stratifikasi sosial tertentu
memiliki pola kepercayaannya sendiri dalam mengaktualisasikan
perilaku ziarahnya. Fenomena makam keramat ini juga terjadi di
Kota Palembang sehingga menarik untuk diteliti dari perspektif
sosiologis-antropologis. Ketertarikan peneliti terhadap fenomena
kekeramatan makam ini karena masyarakat Kota Palembang
terstratifikasi dalam beberapa kelas dan memiliki interpretasi pola
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap keberadaan makam
keramat tersebut.
kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah modernisme dipasangkan dengan
tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat yang berorientasi kepada yang
konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada perubahan. Akan tetapi modern
hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar menggunakan alat dan produk yang
dihasilkan oleh teknologi modern sehingga tenaga untuk mengerjakan sesuatu
bisa terhemat, seperti handphone dan internet untuk berkomunikasi. Orang
Islam didorong untuk hemat dan melakukan sesuatu dengan sempurna yang
tentunya dengan menggunakan hasil teknologi modern, tetapi mereka tidak
direstui, bahkan diharamkan untuk berpandangan hidup atau berideologi
modernisme karena mengabaikan Allah dan agama sebagai pegangan hidup.
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 10. 22 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid
Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555.
Pendahuluan 11
A. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian ini pada dasarnya mengamati hubungan
stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat. Sebelumnya
ada beberapa penelitian sejenis mengenai stratifikasi sosial namun
tidak secara spesifik membahas hubungan stratifikasi dengan pola
kepercayaan. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sayyed
Zainuddin mengenai “Islam, Social Stratification and
Empowerment of Muslim OBCs”. Tulisan ini bertujuan untuk
menempatkan pertumbuhan dan perkembangan stratifikasi sosial
dalam Islam dari waktu ke waktu, membawa keluar dimensi kasta
di kalangan umat Islam di India Utara dan membuat kasus untuk
pemesanan terpisah untuk pemberdayaan OBCs Muslim.
Pertanyaan mendasar yang perlu ditangani sejak awal adalah
bahwa posisi ideologis Islam berkaitan dengan stratifikasi sosial.
Hal ini terjadi karena umat Islam secara keseluruhan mematuhi
prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup sering memanggil
ideologi iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek sosial
mereka. Oleh karena itu, diperlukan kepastian posisi Islam pada
pertanyaan tentang stratifikasi sosial, dan pada poin apa
stratifikasi sosial masuk ke dalam skema Islam seperti yang kita
kenal sekarang.23 Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi
secara herediter yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan
kompleksitas ekonomi. Namun, bukti etnografis tidak mudah
mendukung penjelasan tersebut. Ia mencontohkan masyarakat di
Asia Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada
yang menunjukkan bahwa stratifikasi turun temurun berasal dari
konstruksi sosial kepemimpinan.24
Relevansi penelitian terdahulu yang juga banyak dilakukan
adalah mengenai ziarah. Banyak peneliti yang menggunakan
23 Sayyed, Zainuddin. “Islam, Social Stratification and Empowerment of
Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November
2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April
2012). 24 Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range
Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1
(Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03
April 2012).
12 Pendahuluan
konsep ziarah sebagai acuannya melakukan penelitian. Namun,
untuk korelasi konsep ziarah dengan konsep stratifikasi sosial,
jarang dijumpai. Beberapa penelitian antropologis yang mengkaji
karakter keberagamaan kelompok muslim seringkali atau bahkan
tidak bisa menghindari penelusuran mengenai stratifikasi dan
ziarah (pola kepercayaannya). The Religion of Java Clifford
Geertz25 adalah riset pertama yang dilakukan selama tiga tahun
(1951-1954). Geertz menetapkan Mojokuto (satu kota kecil di
Jawa Timur) sebagai lokus utama dalam penelitian lapangannya.
Geertz pertama-tama menemukan bahwa ada tiga tipe kelas
perekonomian di Jawa (baca Mojokuto), yakni petani dan buruh,
pedagang, serta birokrat atau ningrat Jawa. Masing-masing
menjalankan tipe kebudayannya sendiri, yakni perilaku keagamaan
berupa ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang dijalani
masing-masing. Muncullah penamaan Abangan untuk kelas
pertama, Santri untuk kelas kedua, dan Priyayi untuk kelas ketiga.
Semuanya ditujukan untuk menjelaskan aspek keagamaan dan
bukan lagi ekonomi. Geertz mencatat, trikotomi itu sekaligus
mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa.26
Perihal ziarah kubur yang menjadi fokus penelitian ini,
Geertz menuliskan hasil pengamatan khusus bertajuk
“Pemakaman: Layatan” yang dituangkan dalam paparannya
mengenai Abangan. Setelah pemakaman, kalangan Abangan
menggelar selametan hingga tujuh hari setelah dari kematian, lalu
disusul seratus hari, satu tahun dan seribu hari. Tidak ada
pembahasan khusus yang menjelaskan mengenai ziarah kubur yang
dilakukan kaum Santri dalam paparan Geertz, meskipun ia sedikit
25 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). 26 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik
berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani
kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan
dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada
aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang.
Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik.
(Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur
Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013)
Pendahuluan 13
menyinggung keterlibatan kaum Santri dalam ritual ziarah yang
dilakukan kaum Abangan. Ketaatan pada diri Santri dalam
pengertian Geertz lebih dekat dengan kelompok pemurnian Islam
yang menolak ritual ziarah kubur. Pembahasan serupa juga tidak
ada dalam paparan Geertz mengenai Priyayi. Namun di awal
pembahasan mengenai Priyayi ia menekankan bahwa Priyayi
menjalani ritual keagamaan yang sama dengan Abangan dengan
tingkat atau kelas sosial yang lebih tinggi.27
Jeroen Peeters dalam bukunya “Kaum Tuo – Kaum Mudo :
Perubahan Religius di Palembang 1821-1942” menggambarkan
bahwa proses Islamisasi di sana diawali oleh stratifikasi sosial
yang merupakan ciri-ciri Kesultanan Palembang; sekelompok
dominan di puncak, yang memperoleh jati dirinya dari konsepsi
masyarakat yang hierarkis. Stratifikasi sosial yang ketat ini
khususnya menyebabkan adanya seleksi ketat terhadap orang atau
kelompok di mana komunikasi terjadi. Dengan kondisi ini, sangat
mustahil anggota lapisan sosial yang lebih tinggi dapat sering
berkomunikasi satu dan yang lainnya, mengenai tingkah laku, nilai
dan norma kelompok sosial yang lebih rendah. Sebaliknya,
diskriminasi simbolik mengenai distribusi pengetahuan tentang
berbagai kelompok, lebih dimaksudkan untuk merumuskan dan
memantapkan tempat kelompok lain dalam tata susunan sosial.
Sebelumnya, Peeters membagi Palembang dalam dikotomi
perkotaan-pedesaan yang reformis, dengan mendefinisikan NU
sebagai organisasi pedesaan dan Muhammadiyah sebagai gerakan
perkotaan. Namun dikotomi ini menjadi kabur dan sebagai
gantinya terbentur pada religius dan mental antara Iliran dan
Uluan sebagai susunan religius yang pada gilirannya merupakan
27 Menurut Geertz, golongan pertama, Abangan, mewakili suatu titik
berat pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa. Abangan menjalani
kepercayaan keagamaan Jawa yang asli, secara luas Abangan dihubungkan
dengan elemen petani. Golongan kedua, Santri, mewakili suatu titik berat pada
aspek Islam yang sinkretis dan terutama dihubungkan dengan elemen dagang.
Sementara golongan ketiga, Priyayi, dihubungkan dengan elemen birokratik.
(Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin & Bur
Rasuanto, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013)
14 Pendahuluan
ungkapan perbandingan kekuasaan religius di bawah negara
kolonial.28
Terhadap konsep ziarah sendiri, banyak peneliti yang
memusatkan perhatiannya di Jawa. Beberapa penelitian
pendahuluan ini sangat penting dan menjadi pintu masuk untuk
melakukan penelitian ini. Mark Woodward dalam Java, Indonesia and Islam mencatat beberapa perbedaan dalam tradisi ziarah kubur
di makam keluarga Keraton Yogyakarta dan tradisi ziarah pada
umumnya yang berlaku di Jawa Timur. Para peziarah, baik di
Yogyakarta maupun di Jawa Timur, berharap mendapatkan berkah
untuk mengatasi berbagai problem hidup yang mereka hadapi.
Namun beberapa perbedaan ditemukan. Di Yogyakarta dan
Surakarta tujuan para peziarah adalah makam para petinggi
kerajaan Mataram. Para peziarah juga harus mematuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh pengelola makam misalnya hanya boleh
berziarah pada hari tertentu atau jam-jam tertentu. Para peziarah
di makam keluarga keraton juga harus mengenakan pakaian resmi
dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Para lelaki membawa
keris di belakang mereka. Sementara para perempuan tidak
mengenakan penutup kepala. Para peziarah yang datang juga harus
ditemani oleh juru kunci yang telah ditunjuk di makam itu, dan
proses peziarahan berlangsung singkat. Tradisi ziarah di keraton
Yogyakarta itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur. Para
peziarah tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu. Makam-
makam yang diziarahi adalah makam para wali yang menyebarkan
agama Islam di kawasan ini. Ribuan peziarah datang ke makam-
makam para wali dengan bus-bus dari berbagai daerah di Jawa dan
daerah lain di Indonesia. Tidak ada aturan khusus dalam berbusana
pada saat berziarah. Para lelaki pada umumnya mengenakan kain
sarung dan perempuannya menggunakan busana muslim yang
menutupi rambut dan seluruh tubuh, selain muka dan telapak
tangan. Para peziarah tidak dibatasi untuk melakukan ritual
tertentu. Masing-masing tradisi ziarah di dua tempat ini memuat
unsur Islam dan unsur Jawa. Perbedaannya, pemegang otoritas
28 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di
Palembang 1821-1942, (Jakarta: INIS, 1997), 234.
Pendahuluan 15
keagamaan --dan pada beberapa aspek juga otoritas politik—di
Jawa Timur adalah para kyai, sementara di Yogyakarta, otoritas
keagamaan dan politik dipegang oleh sultan. Jika di Yogyakarta
dan Surakarta perilaku peziarah dikontrol oleh pihak istana, di
Jawa Timur, perilaku peziarah berdasar pada tradisi yang berlaku
dalam masyarakat setempat.29
Nur Syam, dalam penelitiannya tentang Tradisi Islam Lokal Pesisiran Jawa, mencatat ada tiga lokus penting yang
disakralkan oleh masyarakat dan menjadi medan budaya (cultural sphere), yaitu masjid, sumur dan makam. Masjid menjadi medan
pertemuan umat Islam, meskipun berbeda paham keagamaan. Ia
menyebut adanya ‘wong NU’ dan ‘wong Muhammadiyah’.
Sementara sumur dan makam sangat akrab dalam tradisi ‘wong
Abangan’ dan ‘wong NU’. Tiga medan budaya ini sekaligus
menjadi simbol-simbol Islam lokal yang didalamnya melibatkan
hubungan berbagai penggolongan sosial, agen-agen dan berbagai
tindakan di dalamnya. Tiga medan budaya itu pada umumnya
selalu terkait dengan keberadaan wali atau orang suci. Wali
meskipun telah meninggal – akan tetapi karena keramatnya—
mereka diyakini akan tetap memberikan berkah.30
Badruddin dalam disertasinya mengenai “Pandangan
Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin
Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif
Fenomenologis” menganalisis berdasarkan teori konstruksi sosial,
aktivitas ziarah di makam Kyai Hamid terbentuk dari perilaku
individu yang didasari keinginan tertentu dan didukung oleh teks-
teks suci atau ajaran normatif dari para pendahulu. Aktivitas
individu itu dilakukan berulang-ulang sampai membentuk pola
tertentu dan bisa dimengerti bersama. Teori konstruksi sosial juga
menjelaskan suatu proses pewarisan suatu dari generasi ke
generasi melalui suatu proses sosialisasi tertentu. Inti dari teori ini
adalah menjelaskan terjadinya proses dialektika, yakni
eksternalisasi, objektifasi dan internalisasi yang ada dalam suatu
29 Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam (New York: Springer,
2010) 30 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005)
16 Pendahuluan
tradisi. Bahwa ziarah kubur di makam Kyai Hamid berawal dari
tindakan individu-individu kemudian terakumulasi menjadi suatu
realitas obyektif. Selanjutnya, realitas obyektif itu ditarik kembali
ke dalam diri individu, dan diinterpretasikan menurut tingkat
pengetahuan, pengalaman dan kepentingan mereka masing-
masing.31
Karya Tashadi, dkk berjudul Budaya Spiritual dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur (1994/1995) memperjelas
fakta bahwa keyakinan masyarakat terhadap kekeramatan masih
sangat kuat, yang mana banyak motivasi yang melatari tradisi ini -
-meskipun motivasi ekonomi sangat dominan. Karya lain yang
senada ditulis oleh Jamhari, The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in Ziarah (2001).32 Studi lapangan di Bayat
Klaten Jawa Tengah ini menfokuskan pada pemahaman barokah oleh para peziarah makam Sunan Bayat. Karya-karya di atas
menekankan aspek tradisi ziarah yang dipertahankan, segi
ritualisme dalam pemujaan makam, dan pemahaman konsep
barokah dalam ziarah.
Ahmad Amir Aziz, dkk melakukan penelitian terhadap
“Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok). Penelitian ini
mengambil bidang khusus yang berhubungan dengan motivasi,
kepercayaan-keyakinan serta bentuk ritual yang dipraktekkan oleh
para peziarah. Perihal istilah “keramat” sesungguhnya merupakan
suatu istilah yang lazim dipakai kalangan masyarakat untuk
menyebut hal-hal yang berbau mistis. Terlebih bagi umat Islam
yang cukup kaya dengan berbagai pandangan teologis perihal
keabsahan suatu karomah. Persoalan kekeramatan ini tidak
31 Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul
Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel,
Surabaya. 2011 32 Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in
Ziarah”, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1,
(2001), 87-123.
Pendahuluan 17
samata-mata persoalan agama tetapi sekaligus juga berhubungan
tradisi dan budaya.33
Berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, fokus
dalam penelitian ini terletak pada hubungan stratifikasi dan pola
kepercayaan masyarakat ketika berziarah ke makam keramat di
Kota Palembang. Peneliti akan menggunakan analisis berdasarkan
perspektif sosiologi dengan pendekatan antropologis. Berdasarkan
perspektif dan pendekatan tersebut, peneliti melihat ziarah yang
dilakukan ke makam keramat merupakan suatu fenomena
keagamaan yang di dalamnya terdapat sistem sosial dan sistem
budaya yang mempengaruhi pola tindakan masyarakat ketika
berziarah.
B. Metode Penelitian
1) Desain Penelitian a. Lokasi Penelitian
Peneliti akan mengamati fenomena kekeramatan makam
yang ada di Kota Palembang. Alasan peneliti mengambil Kota
Palembang sebagai lokasi penelitian karena Kota Palembang
dulunya merupakan pusat kerajaan Sriwijaya dan terjadi akulturasi
antara Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai kota tertua di
Indonesia34, Palembang memiliki kompleks makam yang dianggap
keramat, antara lain makam Kyai Marogan. Makam Kyai Marogan
adalah makam seorang ulama Palembang yang menyebarkan
ajaran Islam hingga ke pelosok desa di wilayah Sumatera Selatan.
Makamnya dianggap penting bagi peneliti untuk diteliti karena
semasa hidupnya sosok Kyai Marogan diyakini oleh masyarakat
33 Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan
Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok)”. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77.
34 Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur
setidaknya 1383 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai
prasasti Kedukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682.
Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang
dikenal sebagai kota Palembang. (Sumber: Hapsa D, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id/2011/02/16/asal-usul-kota-
palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret 2012))
18 Pendahuluan
memiliki karomah yang luar biasa dan membekas di benak
masyarakat sehingga, meskipun sudah wafat, masyarakat masih
menganggap bahwa makamnya dapat memberikan barokah bagi
mereka. Masyarakat yang datang ke makam-makam ini berasal
dari berbagai stratifikasi dan mereka juga memiliki pola
kepercayaan yang bervariasi terhadap kekeramatan makam.
b. Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini,
maka jenis metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif35.
Penelitian ini bersifat deskriptif36 yang berusaha menemukan fakta
serta memberikan gambaran suatu pengalaman atau peristiwa dari
kehidupan masyarakat, yang dalam hal ini adalah perilaku maupun
pengalaman masyarakat terhadap kekeramatan makam yang
terdeskripsi ke dalam stratifikasi sosial dan pola kepercayaan yang
akan tergambar dalam situasi yang wajar (natural setting).
Landasan teoritis dari penelitian kualitatif ini bertumpu
secara mendasar pada fenomenologi yang berusaha memahami dan
menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi serta tingkah laku
manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.
Karena itu pada penelitian ini fenomenologi dijadikan sebagai
dasar teoritis utama sedangkan pendekatan etnografi dijadikan
sebagai dasar tambahan dalam menganalisis dan melatarbelakangi
secara teoritis penelitian kualitatif.37 Pendekatan etnografi38
35 Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghadirkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleong. “
Metodologi Penelitian Kualitatif” (Bandung: PT remaja Rosdakarya. 2010), 4) 36 Penelitian deskriptif (descriptive research) disini bermaksud membuat
penggambaran secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat populasi tertentu. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar.
“Metodologi Penelitian Sosial” (Jakarta: Bumi Aksara. 2008), 4. 37 Pendekatan fenomenologi yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah fenomenologi menurut Peter L. Berger yang lebih menekankan
rasionalisme dan realitas yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi
yang menitikberatkan pandangan masyarakat setempat. Realitas dipandang
lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. (Endraswara,
Metodologi Penelitian Kebudayaan, 2006: 42). Pendekatan fenomenologi
dijadikan pendekatan utama dibanding pendekatan etnografi karena
Pendahuluan 19
digunakan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana
adanya dan berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang
menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Oleh
karena itu, peneliti dituntut untuk terlibat di dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari dengan melakukan pengamatan terlibat
terhadap kehidupan masyarakat. Di makam Kyai Marogan ini
peneliti dengan leluasa bisa melakukan pengamatan terhadap
berbagai tindakan para peziarah, baik peziarah lokal maupun
regional. Melalui pengamatan terlibat secara seksama diperoleh
gambaran tentang bagaimana tindakannya ketika ziarah, apa saja
yang dilakukan peziarah serta motif-motif peziarah. Semuanya
ditangkap sangat memadai di ruang budaya ini.
2) Pendekatan Selain bersifat deskriptif-kualitatif, pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi dan
antropologi.39 Pendekatan sosiologi di sini melihat pola interaksi
antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif
sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi
pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Objek-
objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam
dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi
manusia dan konstruksi sosial. Para sosiolog mengkaji praktik-
praktik keagamaan untuk membuktikan hubungannya dengan
fenomenologi merupakan landasan teoritis dari penelitian kualitatif . (Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif, 2010: 14). 38 Sebagai suatu pendekatan, etnografi memiliki karakter dan langkah-
langlah tersendiri dalam penelitian, seperti yang dikemukakan oleh Spradley
dalam buku Metode Etnografi; (1) menetapkan informan; (2) melakukan
wawancara kepada informan; (3) membuat catatan etnografis; (4) mengajukan
pertanyaan deskriptif; (5) melakukan analisis wawancara etnografis; (6)
membuat analisis domain; (7) mengajukan pertanyaan struktural; (8) membuat
analisis taksonomik; (9) mengaukan pertanyaan kontras; (10) membuat analisis
komponen; (11) menemukan tema-tema budaya; (12) menulis etnografi.
(Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2006), 54-57. 39 Peter Connoly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta:
LkiS, 2002), 267
20 Pendahuluan
institusi, struktur, ideology, kelas, dan perbedaan kelompok yang
dengannya masyarakat terbentuk. Tak hanya itu, penelitian ini
juga menggunakan pendekatan antropologi karena penelitian ini
berusaha memotret apa adanya tentang dimensi-dimensi
kepercayaan, keyakinan, ritual, dan tradisi yang telah berlangsung
lama dan diikuti banyak orang. Di dalam fenomena kekeramatan
makam, terdapat makna-makna terdalam dari aktivitas
masyarakatnya. Hal ini harus diungkap berdasarkan pelbagai
penilaian dari sudut pandang antropologis. Bahkan, bila persoalan
ini memiliki kerumitan yang berhubungan dengan konstruksi
sosial dan kebudayaan masyarakat, maka pertimbangan-
pertimbangan sosiologis sangat diperlukan untuk melihat gejala-
gejala, faktor-faktor pembentuk, tingkah laku, pola-pola dan
implikasi-implikasinya.
3) Unit Analisis Unit analisis adalah pada level mana peneliti ingin
mengumpulkan data. Penentuan unit analisis ini penting agar
peneliti tidak salah dalam pengumpulan data dan pengambilan
simpulan nantinya saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini
unit analisis yang diambil yakni pada tataran individu, yaitu para
peziarah yang datang ke makam keramat dan masyarakat yang
mengetahui tentang kekeramatan makam di Kota Palembang.
Pendekatan yang peneliti gunakan untuk mempelajari
stratifikasi peziarah adalah pendekatan objektif.40 Artinya, usaha
untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan
dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel
yang mudah diukur, seperti kategori umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan pekerjaan. Pihak yang dikategorikan menurut
pendekatan objektif ini secara tidak sadar termasuk ke dalam
kategori tertentu yang dibuat secara objektif.
40 Menurut Zanden, di dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk
mempelajari stratifikasi sosial, yaitu pendekatan objektif, pendekatan subjektif,
dan pendekatan reputasional. Dalam Narwoko, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 166
Pendahuluan 21
20
.
19
.
18
.
17
.
16
.
15
.
14
.
13
.
12
.
11
.
10
.
9.
8.
7.
6.
5.
4.
3.
2.
1.
No
.
Tab
el 1. P
rofil In
form
an B
erdasark
an S
tratifikasi Jen
is Kela
min
, Um
ur, A
gam
a. Pen
did
ikan
, Jenis P
ekerja
an, d
an A
sal
RD
MR
SJ
MM
AT
IW
DD
HM
YT
SK
KL
BM
ST
YL
FD
DN
ZN
SW
CN
RN
Info
rman
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Perem
pu
an
Lak
i-laki
perem
pu
an
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Jenis
Kelam
in
58
36
39
51
40
38
35
28
72
27
42
44
54
34
44
42
36
65
38
22
Um
ur
(tahu
n)
Ko
ng
hu
chu
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
Ag
ama
SM
A
S-1
S1
S-1
SM
A
SM
A
SM
P
S-1
Tid
ak S
eko
lah
S-1
SM
A
D-3
SM
P
SM
A
SD
SM
A
S1
Tid
ak S
eko
lah
SD
D-3
Pen
did
ikan
Ped
agan
g
Caleg
Caleg
PN
S
Ibu
Ru
mah
Tan
gg
a
Ped
agan
g K
eliling
Bu
ruh
Wirau
saha
Petan
i
PN
S
Pen
jaga T
ok
o
Kep
ala Desa
Ibu
Ru
mah
Tan
gg
a
Ibu
Ru
mah
Tan
gg
a
Pen
gem
ud
i Ketek
Su
pir
Gu
ru
Petan
i
Bu
ruh
Mah
asiswi
Pek
erjaan
Cin
a Palem
ban
g
Palem
ban
g
Palem
ban
g
Ind
eralaya
Palem
ban
g
Ban
yu
asin
Mu
si Ban
yu
asin
Palem
ban
g
Ko
merin
g
Palem
ban
g
Palem
ban
g
Ba n
yu
asin
Pem
ulu
tan
Palem
ban
g
Og
an Ilir
Kay
u A
gu
ng
Palem
ban
g
Tan
jun
g R
aja
Sek
ayu
Palem
ban
g
Asa
l
22 Pendahuluan
Berdasarkan tabel profil informan berdasarkan stratifikasi
tersebut di atas, informan-informan tersebut dapat
dikategorisasikan sebagai berikut:
Tabel 2. Kategorisasi Informan Berdasarkan Stratifikasi
2.1. Kategorisasi Informan 2.2. Kategorisasi Informan
Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Agama No. Informan Jenis Kelamin No. Informan Agama
1. CN Laki-laki 1. CN Islam
2. SW Laki-laki 2. SW Islam
3. DN Laki-laki 3. DN Islam
4. FD Laki-laki 4. FD Islam
5. BM Laki-laki 5. BM Islam
6. YT Laki-laki 6. YT Islam
7. HM Laki-laki 7. HM Islam
8. DD Laki-laki 8. DD Islam
9. IW Laki-laki 9. IW Islam
10. MM Laki-laki 10. MM Islam
11. SJ Laki-laki 11. SJ Islam
12. RD Laki-laki 12. MR Islam
13. RN Perempuan 13. RN Islam
14. ZN Perempuan 14. ZN Islam
15. YL Perempuan 15. YL Islam
16. ST Perempuan 16. ST Islam
17. KL Perempuan 17. KL Islam
18. SK Perempuan 18. SK Islam
19. AT Perempuan 19. AT Islam
20. MR Perempuan 20. RD Konghuchu
Pendahuluan 23
2.3. Kategorisasi Informan 2.4. Kategorisasi Informan
Berdasarkan Pendidikan Berdasarkan Pekerjaan No. Informan Pendidikan No. Informan Agama
1. ZN S1 1. SJ Caleg
2. SK S1 2. MR Caleg
3. HM S1 3. HM Wirausaha
4. MM S1 4. BM Kepala Desa
5. SJ S1 5. MM PNS
6. MR S1 6. SK PNS
7. RN D3 7. ZN Guru
8. BM D3 8. RN Mahasiswi
9. DN SMA 9. RD Pedagang
10. YL SMA 10. KL Penjaga Toko
11. KL SMA 11. DN Sopir
12. IW SMA 12. IW Pedagang Keliling
13. AT SMA 13. FD Pengemudi Ketek
14. RD SMA 14.. YL IRT
15. ST SMP 15. AT IRT
16. DD SMP 16. ST IRT
17. CN SD 17. DD Buruh
18. FD SD 18. CN Buruh
19. SW Tidak Sekolah 19. SW Petani
20. YT Tidak Sekolah 20. YT Petani
4) Sumber dan Jenis Data Sumber data dalam penelitian adalah subyek darimana data
diperoleh. Menurut Lotfand dan Lotfand sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah data primer dan data sekunder.41
1. Data primer, yaitu sumber data utama yang berupa hasil
wawancara mendalam dan tindakan serta beberapa
keterangan yang diperoleh langsung dari informan
(peziarah yang berkunjung ke makam keramat di Kota
Palembang). Sumber data utama dicatat melalui catatan
tertulis atau melalui pengambilan foto.
2. Data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh bersifat
secara tidak langsung dan mampu melengkapi data primer.
Data sekunder diperoleh dari sumber tertulis yang
41 Dikutip dari Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 112
24 Pendahuluan
merupakan sumber data pendukung dalam penelitian
kualitatif. Sumber data tertulis ini berupa sumber buku,
majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi,
maupun dokumen resmi yang berkaitan dengan penelitian.
5) Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini dalam proses pengumpulan data akan
digunakan observasi, metode wawancara, dan dokumentasi.42
a. Observasi
Observasi43 yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini adalah teknik participation observation. Pengamatan
berpartisipasi ini dilakukan pada saat mengamati mengamati pola
tindakan, perilaku spiritual, pengalaman, serta pandangan
masyarakat Kota Palembang ketika berziarah ke makam keramat.
Analisis dilakukan secara deskriptif etnografik, yaitu analisis
dilakukan secara terus menerus baik pada saat di lapangan dan
setelah di lapangan. Dalam melakukan partisipant observation, peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan, membuat
penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak
menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan berpartisipasi
dipilih untuk menjalin hubungan baik dengan informan. Dalam hal
ini, peneliti melakukan pengamatan berpartisipasi pada saat
berziarah ke makam keramat. Pada saat itu, peneliti ikut
melakukan ziarah, ikut berdoa bersama peziarah yang lain, dan
ikut melihat benda-benda di sekitar makam keramat yang
dianggap memiliki kekuatan. Pengamatan terlibat ini dibantu
dengan catatan lapangan dan pendokumentasian melalui foto.
Catatan mengenai apa yang peneliti lihat ini berupa catatan
singkat yang berkaitan dengan nama-nama pelaku utama, tindakan
yang mereka lakukan, ungkapan-ungkapan yang mempengaruhi
42 Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 135 43 Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian. Observasi
dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena
yang akan diteliti di mana peneliti melakukan pengamatan atau pemusatan
perhatian terhadap objek dengan menggunakan alat indera (mata dan telinga).
(Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 176.
Pendahuluan 25
peristiwa yang menjadi sasaran pengamatan, dan nama beberapa
objek fisik untuk mengingatkan seluruh lingkungan tempat
peristiwa sasaran pengamatan tadi terjadi. Catatan-catatan ini
dibuat sesingkat mungkin agar tidak terlalu teralih perhatian dari
pengamatan kepada pencatatan.44 Selain itu, pendokumentasian
foto juga membantu dalam melakukan pengamatan. Hanya saja,
peneliti harus berhati-hati untuk mengambil gambar agar tidak
mengganggu kekhusukan peziarah. Bahkan peneliti juga
melakukan konfirmasi kepada informan untuk mengambil gambar
mana saja yang diperbolehkan dan saat mana yang tidak
diperbolehkan.
b. Wawancara mendalam (indepth interview)
Peneliti akan menggunakan metode wawancara
berstruktur, yaitu pertanyaan yang telah dirumuskan sebelum
berhadapan dengan informan. Selain itu, peneliti juga akan
menggunakan teknik tidak berstruktur untuk mendapatkan
jawaban yang lebih terbuka dengan tujuan untuk memahami
karakter asli peziarah. Dalam wawancara, peneliti menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Palembang. Oleh karena, ada hal-hal
dan ungkapan-ungkapan tertentu yang harus diungkap
menggunakan bahasa Palembang. Hasil wawancara yang
berbahasa Indonesia kemudian ditranskipkan, dan yang berbahasa
Palembang dialihbahasakan terlebih dahulu ke dalam bahasa
Indonesia untuk memudahkan analisis.
Pedoman wawancara disesuaikan dengan fokus penelitian,
dirumuskan atas tiga fokus dan pokok pertanyaan yakni :
1. Determinasi stratifikasi;
2. Pola kepercayaan masyarakat terhadap makam;
3. Interelasi stratifikasi dan pola kepercayaan melalui pola
tindakan peziarah.
Pertanyaan yang telah dirumuskan di atas lebih
memudahkan dalam pengolahan data. Wawancara akan dilakukan
dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak
44 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1997), 114.
26 Pendahuluan
langsung dengan kajian penelitian, seperti peziarah, juru kunci
makam, dan tokoh masyarakat.
Wawancara mendalam, dilakukan sebelum dan sesudah
pelaksanaan ziarah. Wawancara awal dilakukan kepada informan
kunci yakni peziarah dan juru kunci makam, kemudian dilanjutkan
atas rekomendasi informan kunci ini secara snowballing. Atas
dasar rekomendasi informan ini, peneliti baru meneruskan
wawancara kepada informan berikutnya, dan seterusnya, sampai
mendapatkan “data jenuh”, 45 yakni tidak ditemukan informasi
baru lagi.
Untuk mencapai kredibilitas data dilakukan dengan cara
pengamatan secara terus menerus dan triangulasi.46 Pengamatan
terus menerus ditempuh dengan cara beberapa kali berkunjung ke
makam keramat. Triangulasi dilakukan dengan cara pengecekan
ulang oleh informan setelah hasil wawancara ditranskip. Di
samping itu juga berkonsultasi kepada pembimbing.
c. Dokumentasi
Dokumentasi menjadi salah satu rujukan penulis dalam
meneliti, di mana penulis akan mengkaji berbagai referensi
tertentu yang berkaitan dengan penelitian ataupun menjadi sumber
dalam menjawab tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.
6) Teknik Analisis Data Penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif
yang berupa deskripsi mendalam terhadap fenomena kekeramatan
makam. Dalam kaitan ini diterapkan konsep analisis47 budaya
Geertz48 yang disebut model for dan model of. Model for artinya
konsep yang telah ada diterapkan ke dalam relitas fenomena sosial
45 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, 240. 46 Husaini dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, 98. 47 Menurut Bogdan dan Biklen47, analisis data ialah proses pencarian dan
penyusunan data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman
peneliti terhadap yang ditemukan. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady
Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 32 48 Dikutip dari Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan,
242.
Pendahuluan 27
budaya. Model of artinya realitas fenomena sosial budaya
ditafsirkan atau dipahami. Penelitian ini menggunakan model of yakni mengadakan pengamanatan terlibat, kemudian secara emik
menanyakan kepada pelaku yang berada dalam fenomena
kekeramatan makam untuk mengungkapkan peran dan tujuan
terlibat dalam fenomena tersebut, sesuai dengan stratifikasi dan
pola kepercayaannya. Peneliti melakukan refleksi dengan informan
terhadap sikap, ucapan, dan tindakan peziarah, sehingga terjadi
penafsiran intersubjektif. Hasil penafsiran ini kemudian
direlasikan dengan kerangka teori yang telah dibangun untuk
menemukan relasi stratifikasi sosial dan pola kepercayaan
masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mengungkap relasi stratifikasi sosial dan pola
kepercayaan masyarakat secara struktural fungsional, digunakan
teknik analisis kualitatif etnografik. Maksudnya, peneliti berusaha
mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap, kata-kata, dan
perbuatan peziarah. Deskripsi tersebut digambarkan secara holistik
dan mendalam. Analisis ini dilakukan secara terus menerus baik
pada saat di lapangan.
Sajian data analisis dilakukan secara deskriptif yang
mendalam. Proses analisis data dilakukan terus menerus baik di
lapangan maupun setelah di lapangan. Analisis dilakukan dengan
cara mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode,
dan mengkategorikan data. Setelah itu baru dicari tema-tema
budaya yang kemungkinan menjadi fokus penelitian. Fokus
penelitian ini, diperdalam melalui pengamatan dan wawancara
berikutnya.
Dalam analisis ini, yang berbicara adalah data dan peneliti
tidak melakukan penafsiran. Jika ada penafsiran, adalah hasil
pemahaman dari interpretasi informan terhadap fenomena yang
dialami. Dengan cara semacam ini, akan terlihat relasi stratifikasi
sosial dan pola kepercayaan masyarakat terhadap fenomena
kekeramatan makam tanpa intervensi peneliti.
28 Pendahuluan
BAB II
“...faktor-faktor ekonomi sendiri tidak dapat menerangkan ciri-ciri
khusus dari formasi grup dan kesadaran grup. Untuk memahami solidaritas grup, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu
menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang
memperlihatkan idea dari kedudukan sosial...” -- Max Weber –
PARADIGMA DAN KERANGKA TEORITIS
STRATIFIKASI SOSIAL DAN AGAMA
iskursus mengenai stratifikasi sosial seringkali
dikaitkan dengan determinan ekonomi dan
kekuasaan. Padahal stratifikasi sosial dapat juga
dipengaruhi oleh determinan lain, seperti aspek keagamaan.
Stratifikasi sosial dalam penelitian ini difokuskan pada
pembahasan tentang adanya stratifikasi keagamaan sebagai relasi
antara stratifikasi sosial dan agama yang ada di dalam masyarakat.
Untuk mengetahui adanya keterhubungan antara
stratifikasi sosial dan agama, maka penting untuk diuraikan
mengenai paradigma stratifikasi sosial dan agama dalam sistem
sosial masyarakat serta pandangan Islam terhadap stratifikasi
sosial sehingga didapat keterhubungan masyarakat dan stratifikasi
keagamaan.
A. Paradigma Stratifikasi Sosial
Kehidupan sosial merupakan suatu tingkat realitas yang
tidak dapat diinterpretasikan dalam hubungannya dengan
karakteristik individu-individu. Dalam kehidupan sosial,
masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap
hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan
D
32 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari
hal-hal lainnya. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat akan
menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan di
dalam masyarakat itu.1 Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat
dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau
mungkin juga keturunan yang terhormat.2
Pitirim A.Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan
dalam masyarakat di dalam sosiologi dikenal dengan social stratification3. Dasar dari inti lapisan masyarakat ini tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial pengaruhnya di antara anggota-anggota
masyarakat. Selanjutnya, Talcott Parson menilai bahwa pelapisan
sosial dianggap sebagai kedudukan yang berbeda-beda, mengenai
pribadi-pribadi manusia yang merangkaikan suatu sistem sosial
1 Pitirim A. Sorokin, Social Mobility (New York, 1927), telah
membedakan apa yang di sini disebut sebagai pelapisan sebagai poros “vertikal”
dan poros “horizontal”. Poros vertikal muncul karena ketimpangan distribusi
dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti uang,
kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Sementara itu poros
horizontal muncul karena pembagian kerja, perbedaan agama, ras, etnis, atau
perbedaan jenis kelamin. Menurutnya dalam masyarakat yang masih sederhana,
perbedaan kedudukan dan peran bersifat sederhana, mengingat warganya masih
sedikit dan mereka yang mempunyai kedudukan tinggi pun tidak banyak
jumlahnya. Sebaliknya, semakin kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks
pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat. Talcott Parson, Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta: Aksara Persada Press, 1985), 70. Lihat
juga Vincent Jeffries dan Edward Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980)
2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali
Pers,2012), 199. Lihat juga H{usain S{iddiq, “al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al-
Tanz{i>ma>t al-Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m”, Majallah Ja>mi‘ah Dimishqa 27,
al-‘Adad al-Tha>lith 2011. 3 Kata stratification berasal dari kata stratum (jamaknya: strata yang
berarti lapisan). Pitirim A.Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang
lebih rendah. (Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 198). Lihat juga
Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Mobility, (Collier-Macmillan Limited
London: The Free Press of Glencoe, 1959), 11.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
33
yang ada dan perlakuannya sebagai hubungan orang atasan
(superior) dan orang bawahan (inferior) satu sama lain dalam hal-
hal tertentu yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedudukan4
yang bermacam-macam itu dianggap suatu fenomena sistem-
sistem sosial yang benar-benar mendasar. Kedudukan merupakan
salah satu di antara banyak dasar yang memungkinkan di mana
individu dapat dibeda-bedakan berdasarkan stratanya. Namun,
perbedaan kedudukan seseorang hanya berlaku sepanjang
perbedaan-perbedaan tersebut masih berhubungan dengan
superioritas dan inferioritas yang relevan dengan teori pelapisan.5
Pada tiap-tiap kelompok masyarakat selalu akan dijumpai
variasi stratifikasi sosial. Faktor-faktor yang menjadi determinan
stratifikasi sosial memang relatif beragam baik berdasarkan
dimensi usia, gender6, agama7, kelompok etnis atau ras8,
4 Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan kedudukan sosial
(social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam
suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut.
Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, hak-hak, dan kewajiban-kewajibannya. J. Dwi Narwoko dan
Bagong Suyanto (Ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana, 2004), 156. 5 ‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, “al-Tabaqah al-Ijtima>‘iyah
Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma> Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah
Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al-Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah-
al-Urdun”, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al-‘Adad 1, 2008. 6 Lihat Collins, Randals and others. “Toward an Integrated Theory of
Gender Stratification”. Sociological Perspectives, Vol. 36, No. 3 (Autumn,
1993): 185-216. http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April
2012). 7 Lihat Pyle, Ralph E and James D. Davidson. “The Origins of Religious
Stratification in Colonial America”. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (March, 2003): 57-76. http://www.jstor.org/stable/
1387985. (diakses pada 02 April 2012). 8 Lihat Levin, Shana. “Perceived Group Status Differences and the
Effects of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance Orientation”.
Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb., 2004): 31-48. http://www/jstor.org/
stable/ 37925222 (diakses pada tanggal 02 April 2012).
34 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
pendidikan formal9, status dan kekuasaan10, pekerjaan serta
dimensi ekonomi11. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar
pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu
tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap
perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku.12 Di
lingkungan masyarakat pedesaan, tanah sewa dan hewan ternak
seringkali dianggap jauh lebih berharga daripada gelar akademis,
misalnya. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota yang
modern, yang terjadi seringkali sebaliknya.
Pada kelompok masyarakat yang lain, kelas tertentu lebih
didominasi oleh kelompok keagamaan tertentu. Karakteristik yang
demikian ini akan menghasilkan suatu stratifikasi sosial yang khas
pada setiap kelompok masyarakat. Stratifikasi sosial ini dalam
suatu masyarakat pada akhirnya akan membentuk stratifikasi
sosial dari yang berada pada strata tinggi sampai yang berada pada
strata bawah.13 Mereka yang berada pada strata atas adalah
mereka yang lebih banyak memiliki aset kekayaan, kekuasaan, dan
atau status sosial di masyarakat tersebut. Sedangkan mereka yang
berada pada strata bawah atau berada pada status yang inferior di
masyarakat adalah mereka yang kurang memiliki aset baik pada
kekayaan, kekuasaan, dan atau status sosial di masyarakat.
9 Lihat Bond, George C. “Education and Social Stratification in Northern
Zambia: The Case of The Uyombe”. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, (Autumn, 1982): 251-267. http://www.jstor.org/ stable/3216637.
(diakses pada 02 April 2012). 10 Lihat Trujillo, Joaquin. “Accomplishing Meaning in a Stratified
World: An Existential Phenomenological Reading of Weber’s Class, Status,
Party”. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec., 2007): 345-356.
http://www.jstor.org/stable/27642807. (diakses pada 02 April 2012) 11 Lihat Hostettler, Ueli. “Labor Regime and Social Justice.
Consequences of Economic and Social Stratification among Maya Peasents in
Central Quintana Roo, Mexico”. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116.
http://www.jstor.org/ stable/40465619. (diaksess pada 02 April 2012). 12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy
Approach, 3-4 13 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy
Approach, 10.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
35
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata
yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak
lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan
jenis kelamin atau usia. Akan tetapi, determinan stratifikasi sosial
menjadi makin kompleks dan tidak lagi bersifat given. Secara
umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh
dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang makin
modern adalah: dimensi privilese (kelas-kelas sosial), prestise
(status sosial) dan power (kekuasaan). Seperti dikatakan Jeffries
dan Ransford14, di dalam masyarakat pada dasarnya bisa
tiga macam stratifikasi sosial, yaitu (1) Hierarki kelas (privilese),
yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa; (2)
Hierarki kekuasaan (power), yang didasarkan pada penguasa dan
yang dikuasai; (3) Hierarki status (prestise), yang didasarkan atas
pembagian kehormatan dan status sosial.
Pada umumnya mereka yang menduduki lapisan atas tidak
hanya memiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai oleh
masyarakat, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat
kumulatif. Artinya mereka yang mempunyai uang banyak,
misalnya, akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu
pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu. Bentuk
konkret lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-
macam. Namun, pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut ada yang
menekankan pentingnya dimensi privilese15 ekonomi dalam
14 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy
Approach, 36. 15 Konsep privelese dalam studi Weber mengenai stratifikasi sosial,
dihubungkannya dengan kesempatan dalam bidang ekonomi. Penyebaran
kesempatan ekonomi ini dalam masyarakat berkaitan erat dengan apa yang
dinamakannya dengan konsep “kelas”. Kita dapat berbicara mengenai “kelas”
apabila (1) sejumlah orang sama-sama memiliki faktor penunjang khusus
terhadap kesempatan-kesempatan hidupnya, yang (2) secara istimewa tercermin
dalam kepentingan-kepentingan ekonomi berupa pemilikan barang-barang dan
kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pendapatan, dan (3) yang tercermin
dalam kondisi-kondisi komoditi atau pasaran-pasaran tenaga kerja. Dalam nada
yang kurang lebih sama, G. E. Lenski mendifinisikan privelese sebagai
pemilikan atau kontrol terhadap sebagai surplus yang dihasilkan oleh
masyarakat. Definisi Lenski ini jelas dipengaruhi oleh pandangan Weber.
36 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial
seperti yang dikemukakan oleh Gerhard E. Lenski dan C. Wright
Mills. Sedangkan E. A. Ross menekankan pentingnya dimensi
prestise16. Konsep ini menunjukkan kehormatan sosial yang
diterima seseorang dalam suatu struktur sosial tertentu. Khusus
hubungan antara dimensi kekuasaan dan prestise , E. A. Ross
dalam studinya mengenai kontrol sosial mengemukakan bahwa
dimensi prestise itu mempunyai peranan penting dalam
masyarakat. Mereka yang memiliki prestise yang tinggi, akan
mempunyai kekuasaan yang tinggi pula. Robert Bierstedt
menambahkan bahwa prestise yang merupakan sumber kekuasaan
sosial itu sangat penting dalam kehidupan sosial modern. Tetapi
kedua dimensi itu harus dilihat sebagai variabel yang berdiri
sendiri. Sering prestise itu tidak dibarengi kekuasaan dan apabila
keduanya muncul bersamaan, maka dimensi kekuasaan biasanya
merupakan dasar bagi dimensi prestise lebih daripada sebaliknya.
Selain itu, Jerome Rousseau melihat stratifikasi secara herediter
yang biasanya dijelaskan dalam kaitannya dengan kompleksitas
ekonomi. Stratifikasi turun temurun ini berasal dari konstruksi
sosial kepemimpinan. Ia mencontohkan masyarakat di Asia
Tenggara, Melanesia, Polinesia, dan Pantai Barat Kanada
meskipun bukti etnografis tidak mudah mendukung penjelasan
tersebut.17
Struktur atau sistem ekonomi yang ada dalam suatu masyarakat tertentulah
yang merupakan landasan di mana orang dapat merebut kesempatan-
kesempatan ekonomi itu. Robert MZ. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an, (Jakarta: FISIP UI Press,
2004), 10. Lihat juga G. E. Lenski, Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification, New York: McGraw-Hill, 1966: 45 dan Weber, Economy and Society, New York: Bedminister, 1978: 927.
16 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6.
Untuk lebih jelas lihat juga Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power”, (dalam Marvine E. Olsen (Ed), Power in Societies, New York: The Macmillan
Company, 1970), 12. Lihat juga Weber, Economy and Society, 932. 17 Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range
Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1
(Maret 2001): 117-131. http://www.jstor.org/stable/2660839. (diakses pada 03
April 2012).
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
37
Studi tentang stratifikasi sosial yang dikembangkan
Jeffries dan Ransford memperlihatkan kecenderungan agak lain
yang bertalian dengan ketiga dimensi stratifikasi sosial itu.
Mereka melihat dimensi stratifikasi sosial itu dalam kaitannya
dengan teori konflik dan fungsional. Para ahli teori fungsional
memberi tekanan pada dimensi prestise. Sedangkan dimensi
privelese kurang diperhatikan. Dimensi kekuasaan sangat kurang
diperhatikan, dan malah cenderung untuk diabaikan. Sebaliknya,
para ahli teori konflik memberi perhatian utama pada dimensi
kekuasaan. Sesudah itu baru memperhatikan dimensi privelese,
dan yang terakhir adalah prestise.18 Kecenderungan yang berbeda-
beda ini nampaknya dapat diterima sepanjang hasil penelitian dan
asumsi teoritis yang dikembangkan masing-masing oleh kedua
paradigma itu menunjukkan adanya tekanan pada salah satu
dimensi lebih daripada yang lainnya.19 Tetapi masalahnya adalah
ketidakkonsistenan mereka untuk menghubungkan dimensi
privelese dengan suatu kecenderungan paradigmatis tertentu.
Pendekatan konflik yang dipelopori oleh Karl Marx
berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang
menciptakan stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan.
18 Jeffries and Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy
Approach, 64 19 Tekanan yang diberikan oleh teori fungsional dan konflik mengenai
stratifikasi sosial: (1) Stratifikasi adalah struktur sosial yang memiliki nilai-
nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan
stabilitas sosial. (2) Penyebaran kekuasaan, privilese dan prestise dalam
masyarakat pada dasarnya bersifat adil, merupakan keharusan dan berguna bagi
kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak. (3)
Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam
masyarakat bersifat minimal. (4) Institusi-institusi sosial yang ada dalam
masyarakat mengandung nilai-nilai konsensus dan melaksanakan kebijaksanaan
yang mendukung kebaikan bersama. (5) Penghargaan yang tidak merata untuk
posisi-posisi sosial dalam masyarakat membantu mempertahankan dan
meningkatkan kepentingan lapisan atas. (6). Posisi-posisi individu dalam
masyarakat pada dasarnya tidak memberikan kesempatan yang sama dalam
mencapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka.
Tentang pandangan kedua teori itu, lihat Jeffries dan Randsford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, 57-60.
38 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
Selain itu, C. Wright Mills dan Gerhard E. Lenski memberikan
pandangan mengenai hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi
sosial (privilese, kekuasaan dan prestise) dengan menekankan
aspek privelese. Pendapat-pendapat ini kemudian diadaptasi oleh
Robert MZ Lawang20 yang menekankan pentingnya dimensi
privilese ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga
dimensi stratifikasi sosial. Artinya, menurut pendekatan konflik,
adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus –
karena semua masyarakat menyetujui dan membutuhkan hal itu –
tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus
menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menentangnya. Karl Marx mengemukakan
bahwa dasar pembentukan kelas sosial terjadi karena adanya
penghisapan suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi.
Pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk
diskriminasi dinilai menghambat orang-orang dari strata rendah
untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal
mungkin. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, para
pemilik sarana produksi pada hakikatnya adalah wakil dari kelas
atas yang melakukan tekanan serta dapat memaksakan kontrol
terhadap kelas buruh yang posisinya dalam lapisan masyarakat
lebih rendah.21
Tesis utama Marx adalah struktur internal sistem ekonomi
terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam
kesempatan memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang
dihasilkan dalam kepentingan ekonomi. Di dalam bukunya yang
terkenal, Das Kapital, Marx menyatakan bahwa kehancuran
feodalisme yang diikuti dengan berkembangnya kapitalisme dan
sektor industri modern telah mengakibatkan terpecahnya
masyarakat ke dalam dua kelas ekstrem, yaitu kelas borjuis yang
20 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 7 21 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
166.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
39
memiliki dan mengendalikan alat produksi dan kelas proletar yang
tidak memiliki alat produksi.22
Pendekatan Marx ini sama dengan pendapat Ali Syari’ati.
Menurut Ali Syari’ati23, hanya ada dua struktur yang mungkin
terdapat dalam suatu masyarakat, yaitu struktur Qabil dan struktur
Habil.24 Pada struktur pertama masyarakat menjadi penentu
nasibnya sendiri, segenap warganya beramal untuk masyarakat dan
demi kepentingan masyarakat. Namun, di dalam masing-masing
struktur tersebut terdapat aneka ragam cara produksi, bentuk
hubungan, alat, sumber dan barang: semua ini merupakan
superstruktur. Di dalam struktur Habil bisa saja berlaku sosialisme
ekonomi (yakni sistem milik kolektif), tetapi mungkin pula
terdapat cara produksi yang berbeda seperti penggembalaan dan
perburuan dalam komunitas primitif, atau cara produksi industrial
dalam masyarakat post-kapitalis, tanpa kelas. Pada struktur kedua,
para perseoranganlah yang menjadi pemilik dan penentu nasib
mereka masing-masing maupun nasib masyarakat. Pada kutub
yang berlawanan, yakni struktur Qabil, atau sistem monopoli dan
milik pribadi, mungkin pula terdapat berbagai sistem ekonomi,
bentuk hubungan kelas, alat, tipe dan sumber produksi.
Perbudakan, perhambaan, feodalisme, borjuasi, kapitalisme
industrial dan – sebagai puncaknya – imperialisme, semuanya
termasuk dalam struktur Qabil.
Demikianlah sesuai dengan kedua struktur tersebut,
masyarakat bisa dibagi atas dua kutub, yakni kutub Qabil dan
kutub Habil. Kutub Qabil berarti yang berkuasa = raja, pemilik,
sang ningrat. Pada tahap perkembangan sosial yang masih primitif
dan terbelakang kutub ini cukup diwakili oleh seorang saja yang
22 Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia,
1986), 120-159. 23 Ali Syari’ati adalah seorang Muslim Iran dan sarjana di bidang
sosiologi agama dan mendapat pendidikan di Masyhad dan Paris. Melalui
kuliah-kuliah, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya dia menganalisa
masyarakat dengan mempergunakan istilah-istilah,konsep-konsep dan
pengalaman-pengalaman Islamiah. 24 Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah Mahyudin,
Yogyakarta: Ananda, 147-150
40 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
merupakan kekuatan tunggal,yang menjalankan kekuasaan dan
menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik, sang ningrat) tersebut.
Tetapi pada tahap berikutnya dalam perkembangan serta evolusi
sistem sosial, peradaban dan kebudayaan, maupun dalam
pertumbuhan sebagai dimensi kehidupan sosial dan struktur kelas,
maka kutub ini memerlukan tiga dimensi terpisah dan tampak
pada tiga aspek yang berlainan. Manifestasi politiknya adalah
kekuasaan, manifestasi ekonominya harta dan manifestasi
keagamaannya adalah kependetaan.25 Kutub Habil adalah mereka
yang dikuasai dan tertindas. Berhadapan dengan kelas tritunggal
raja-pemilik-sang ningrat adalah kelas rakyat, an-nas. Sepanjang
sejarah, kedua kelas ini selalu bertentangan dan berkonfrontasi.
Meskipun demikian, Syari'ati mengklaim bahwa analisisnya
mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol
pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam
konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat
dalam al-Qur’an.
Dalam pertarungan antara dualisme kosmik ini, agama
menjadi faktor determinan dalam menanamkan kekuatan suci
untuk membangun sikap keberagaman yang penuh harmoni.
Dualisme kelas Habil dan Qabil dijadikan oleh Syari’ati sebagai
cara baca dalam melihat kecenderungan manusia modern yang
hakikatnya menelma dalam pertarungan antara kelas feodal
dengan kelas borjuis. Pada abad pertengahan, feodalisme
merupakan kelas dominan yang merupakan infrastruktur
masyarakat, sedangkan suprastrukturnya adalah agama yang
berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme
tergeser dengan lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai
akibat kontak hubungan perdagangan antara Timur dan Barat.
25 Dalam al-Qur’an, Fir’aun adalah lambang kekuasaan politik; Qarun
melambangkan kekuasaan ekonomi; sedang Bal’am melambangkan jabatan
kependetaan rasmi. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil
yang sama. Ketiga manifestasi ini dalam al-Qur’an disebut sebagai mala’ (37:66, 56:53), mutraf (17: 16; 34:34; 56:45), dan rahib (9: 34, 35), yang
masing-masing berarti: yang serakah dan kejam, yang rakus dan buncit
kekenyangan, dan pendeta rasmi. Ketiga kelas ini masing-masing selalu saja
berusaha untuk menguasai, memeras dan mengelabui rakyat.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
41
Kontak ini telah meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik,
mistik dan kepausan dan menggantinya dengan tradisi industrial,
urban, sekuler, intelektual dan nasional. Borjuasi baru sebagai
kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip dan keyakinan
norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan
liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang
mendominasi kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi
yang melahirkan semangat dehumanisasi.26
Berbeda dengan pendekatan konflik yang menyatakan
bahwa timbulnya pelapisan sosial sesungguhnya hanyalah ulah
kelompok-kelompok elite masyarakat yang berkuasa untuk
mempertahankan dominasinya, para penganut pendekatan
fungsional biasanya akan menjawab bahwa pelapisan sosial adalah
sesuatu yang inheren dan diperlukan demi kelangsungan sistem.
Pelopor pendekatan fungsionalis, Davis dan Moore, menyatakan
bahwa stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup
masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan.27
Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang
untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau yang
membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Sistem
pelapisan dengan demikian adalah suatu ganjaran (hukuman) bagi
pelayanan yang diberikan agar memperlancar masyarakat
berfungsi.
Konsep utama yang mendominasi penjelasan teoritis
mengenai stratifikasi sosial – yakni kekuasaan, privelese dan
prestise – berasal dari Weber.28 Mengenai hubungan ketiga konsep
itu dalam sistem stratifikasi sosial, di satu pihak ketiganya
memperlihatkan adanya hubungan timbal balik. Dalam hubungan
ini, privilese dalam bidang ekonomi memperlihatkan pengaruhnya
yang besar. Tetapi di lain pihak, ketiganya perlu dilihat secara
terpisah. Walaupun ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat
26 Ali Syari’ati, Man In Islam. Terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan
Muslim, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), 37-44. 27 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
154-166 28 Weber, Economy and Society, 926-940
42 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
besar, ekonomi bukan satu-satunya yang menentukan kedua
dimensi lainnya. Baik dimensi kekuasaan maupun dimensi prestise
perlu dilihat secara terlepas dari dimensi privelese.29
Weber melihat kelas sebagai suatu konsep dengan
penggunaan terbatas yang agak baik. Dasar dari konsep analitis
Weber adalah suatu perbedaan antara kelas sebagai suatu aspek
situasi pasar dan status sebagai suatu aspek dari situasi status.
Bagi Weber, kekuasaan yang timbul dari suatu kelas pelaku utama
tidak identik dengan kekuasaan yang dihasilkan dari hak-hak
istimewa status. Akibatnya stratifikasi sistem-sistem masyarakat
kelas dan status masyarakat secara fundamental mempunyai ciri-
ciri yang berbeda.30 Khususnya Weber mengemukakan bahwa
faktor-faktor ekonomi sendiri tidak dapat menerangkan ciri-ciri
khusus dari formasi grup dan kesadaran grup. Untuk memahami
solidaritas grup, kolektivitas dan komunitas tertentu, perlu
menguji ranking status dan macam-macam status kepercayaan
mereka, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang
memperlihatkan idea dari kedudukan sosial.31 Senada dengan
29 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 3 30 Bryan S. Turner, Weber and Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam), 148 31 Berbeda dengan kelas-kelas, Stande (kelompok status) biasanya adalah
kelompok. Bagaimana pun juga mereka terbentuk dari suatu golongan tanpa
bentuk. Berbeda dengan istilah ‘situasi kelas’ secara ekonomis semata-mata,
kita ingin menunjukkan status situation setiap komponen kehidupan manusia
yang khas yang ditentukan oleh suatu perkiraan prestise yang spesifik, positif
atau negatif. Prestise biasanya diekspresikan melalui kenyataan bahwa yang
terpenting sekali suatu cara hidup yang khas diharapkan dari semua mereka
yang ingin sekali berada dalam lingkungan itu. (Weber, Economy and Society,
932)
Keanggotaan masyarakat pada grup-grup tertentu akan menunjukkan
eksibisi kebiasaan berbicara, berpakaian, bertingkah laku dan gaya hidup
berdasarkan kelompok statusnya. Prestise yang dimiliki oleh orang-orang
terhormat akan mendapatkan tuntutan-tuntutan kekuasaan yang didasarkan
pada kesejahteraan. Agar orang-orang yang berkuasa secara ekonomi
mendapatkan kehormatan sosial, mereka harus menunjukkan suatu cara hidup
yang terhormat pula. (Turner, Weber dan Islam), 149.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
43
Weber, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt32 menyatakan bahwa
terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya
sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang (ekonomi).
Stratifikasi sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang
yang berkedudukan sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan
status sosial. Para anggota suatu strata sosial tertentu acapkali
memiliki jumlah penghasilan atau uang yang relatif sama. Namun,
lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya
hidup yang berbeda. Semakin rendah kedudukan seseorang di
dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula
perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan
sosial rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa
pun – klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan
lembaga keagamaan – daripada orang-orang strata menengah dan
atas.
B. Agama dalam Sistem Sosial Masyarakat
Keberadaan agama dalam sistem sosial budaya tidak hanya
ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi
secara signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religius
ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral,
sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains,
teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya.
Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih luas
pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.33
Dalam sejarahnya, definisi agama pertama kali
dikemukakan oleh EB. Taylor (1832-1917), “religion is the belief
in spiritual being”34 dan, apa yang disebutkan EB. Taylor tersebut
32 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition
(terjemahan), (Jakarta: Erlangga, 1991). 33 Malefijt dalam Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia,
(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 201. 34 “Agama adalah suatu kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual”.
Untuk melihat lebih jelas, Ogburn dan Nimhoff menjelaskan bahwa “agama
adalah suatu pola aqidah-aqidah (kepercayaan-kepercayaan), sikap-sikap
emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk
mencoba memecahkan soal-soal “ultimate dan kehidupan manusia”. Lihat
44 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
merupakan salah satu aspek dari agama. Haviland juga
mengungkap bahwa agama dapat dipandang sebagai kepercayaan
dan pola perilaku yang diusahakan oleh suatu masyarakat untuk
menangani masalah penting yang tidak dapat dipecahkan oleh
teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk
mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada manipulasi
kekuatan supernatural.35
Emile Durkeim,36 menyimpulkan bahwa agama adalah
sistem simbol di mana masyarakat bisa menjadi sadar akan
dirinya; ia adalah cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Agama
tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran
manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan
tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun, akan tetap menghasilkan
simbol-simbol pengertian diri kolektifnya; dan dengan demikian
menciptakan agama. Konsepsi Durkheim ini sama seperti Geertz
yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem
kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan
sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Selaras dengan
itu, Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu sistem
simbol yang berfungsi untuk mengukuhkan suasana hati dan
motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan
memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan
James Hastings, (ed) Encyclopedia of Religion and Ethics, vol. 10, New York,
Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663. 35 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002, 119. 36 Emile Durkheim adalah sosiolog Perancis (1961) yang telaahnya
terfokus pada unsur-unsur sosial yang menghasilkan solidaritas. Ia melihat
agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat.
Menurutnya agama merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Tujuan
utama agama dalam masyarakat primitif adalah membantu orang berhubungan
bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya. Ritual-ritual religius
membantu orang untuk mengembangkan rasa sepaguyuban (sense of community), misalnya mereka bersama-sama ambil bagian dalam pesta
perkawinan, kelahiran, dan kematian; dan bersama-sama merayakan musim
tanam dan panen. Hal itu mempersatukan kelompok dengan cara kontraksi
religius. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Free Press
of Glencoe, 1961), 315.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
45
membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi
perasaan dan motivasi tampak realistis.37 Oleh karenanya,
kepercayaan atau agama berfungsi untuk memberikan signifikansi
pemaknaan, serta menawarkan penjelasan terhadap peristiwa-
peristiwa dan pengalaman yang menyimpang dari tradisi. Di
samping itu agama juga dapat memberikan suatu kriteria etis
untuk menjelaskan diskontinuitas beberapa kelompok budaya
tertentu.38
Tingkat atau aspek lain yang terdapat dalam pelembagaan
agama ialah tingkat keyakinan atau tingkat intelektual.39 Weber
berupaya melihat tingkatan ini, namun terjadi ketidakkonsistenan
dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai
istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang
ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan
sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.40 Dalam pengalaman manusia, di samping
mitos berkembang cara-cara pemahaman bentuk pemikiran dan
mode penjelasan lainnya. Perkembangan yang demikian sering
dihubungkan dengan kontak kebudayaan antara berbagai ragam
manusia, dan dengan perubahan batin yang tumbuh di masyarakat
ke dalam strata dengan gaya dan pengalaman hidup yang berbeda.
Auguste Comte berbicara tentang “Hukum Tiga Tahap”
yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman mistis; tahap
metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk
37 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1970), 90. 38 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2010), 38. 39 Menurut Thomas F.O’Dea, pengungkapan intelektual dari agama
dapat dibagi dalam dua bagian utama, yaitu mitos dan rasional. Sedangkan
Weber menganggap tingkatan intelektual ini dengan istilah tingkat rasionalitas
yang terbagi menjadi tiga, yaitu mitos, agama, dan rasional. Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 80.
40 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi.
46 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional
subjektif, tetapi kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap
positif merupakan periode di mana dikembangkan mode
pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep modern.41
Perkembangan pikiran yang demikian itu jelas telah terjadi. Tetapi
kita tidak harus mempostulatkan hukum gerak kepada kemajuan,
dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap-tahap itu
sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia memang
sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat tahap-tahap
perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga mengalami
tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa tertentu. Harus
diakui bahwa tahap awal perkembangan rasionalitas manusia
diawali dan didominasi oleh magis, sedang perwujudan nyata
magis meliputi simbol-simbol, cara-cara pemujaan, dan orangnya
sendiri (magician). Sementara dampak kekuatan magis dalam
kehidupan sosial adalah meningkatkan stabilitas hubungan-
hubungan magis di sekitar manusia yang dimanipulasi untuk
tujuan duniawi.
Mitos42 merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang
primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan. Mitos
telah dianggap sebagai “filsafat primitif, bentuk pengungkapan
pemikiran yang paling sederhana, serangkaian usaha untuk
memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian,
takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”.43 Tetapi mitos juga
merupakan jenis pernyataan manusia yang kompleks. Merupakan
41 O’Dea, Sosiologi Agama, 82. 42 Menurut Cassier mitos berasal dari emosi dan latar belakang
emosionalnya mengilhami semua hasilnya dengan warnanya yang khusus.
Manusia primitif bukan kurang memiliki kesanggupan untuk memahami
berbagai perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya tentang
alam dan kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih
kuat: Keyakinan yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental
dan tidak terelakkan, yang menjembatani keberagaman dan variasi bentuk-
bentuk tunggal . . . kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari
pemikiran mitos. O’Dea, Sosiologi Agama, 80. Lebih lanjut lihat juga Ernst
Cassier, An Essay on Man (Garden City, New York: Doubleday Anchor Books,
1953), 109. 43 O’Dea, Sosiologi Agama, 80
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
47
pernyataan yang dramatis, bukan hanya sebagai pernyataan yang
rasional.44 Sangat disesalkan bahwa Levy-Bruhl, yang dengan
tepat mengenali unsur-unsur partisipasi mistik dalam komunikasi
mitos dari mereka yang mendengar dan yang menyampaikannya,
hanya mengkonsep-tualisasikan berbagai pandangannya dalam
hubungannya dengan bentuk pemikiran yang logis dan pralogis.45
Determinan agama sangat berbeda secara kontras dengan
magis atau mitos. Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya
agar sesuai dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin
seseorang akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk
kembali hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh
pada perubahan sosial dan ekonomi. Seluruh legitimasi kekuatan
agama diturunkan dari sumber-sumber yang sakral dan
transendental, yaitu dari Tuhan dan Dewa. Selain itu, sumber-
sumber tersebut dibebaskan dari perwujudan konkret sehingga
dapat menjadi subjek interpretasi pada jenjang yang abstrak.46
Munculnya sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu
pengetahuan (science) yang menawarkan teknik rasional,47 seperti
44 Disebut sebagai pernyataan yang dramatis sebab melibatkan pikiran
dan perasaan, sikap dan sentimen. Lebih lanjut Cassier juga menyatakan bahwa
mitos memahami dan menggambarkan dunia sebagai yang “cair dan tidak
tetap” tidak seperti dunia menurut teori filsafat tradisional. Bahkan selanjutnya
ia mengatakan bahwa dunia mitos adalah dunia yang dramatis – sebuah dunia
tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan . . . . Apapun yang
dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus – suasana gembira atau
duka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi. Di sini kita tidak
dapat membirakan “sesuatu” sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak
perlu ditanggapi. Semua objek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan,
familiar atau tidak, memikat dan menjemukan atau menjijikan dan menakutkan.
O’Dea, Sosiologi Agama, 81. 45 O’Dea, Sosiologi Agama, 79 46 Ralph Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 47 Menurut Weber, rasionalitas menawarkan kepada manusia modern
kemungkinan adanya kontrol yang efektif terhadap alam dan masyarakat,
membebaskan manusia daripada rasa khawatir akan suatu dunia yang tidak
dapat diperhitungkan dan membebaskannya daripada dominasi tenaga-
tenaga/kekuatan-kekuatan magis. Namun, problem yang dihadapi manusia
modern adalah bahwa dunia privat dan sosialnya secara fundamental telah
menjadi tidak bermakna. Kodifikasi hukum, pengetahuan ilmiah, organisasi
48 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
kalkulasi sarana-tujuan (means-ends calculation), telah
menurunkan peran magis dan agama dalam hal memahami realitas
dunia. Ini merupakan gejala memudarnya daya-daya magis dunia
karena dengan penerapan metode ilmu untuk menguak berbagai
fenomena yang sebelumnya dianggap misteri menjadi dapat
dijelaskan secara rasional. Fenomena seperti ini oleh Weber
dinamakan disenchantment of the world. Semua kenyataan di
dunia dapat diketahui (knowable), dipelajari, diperhitungkan
(calculable), bahkan dapat diprediksi ke arah mana kecenderungan
suatu gejala. Maka penjelasan terhadap isi dunia secara drastis
berubah dari cara berpikir yang dogmatik menjadi kausalistik, dari
metafisik menjadi empirik, atau dari irasional menjadi rasional.
Bahkan, eliminasi kekuatan-kekuatan irasional telah mewujudkan
bentuk-bentuk efisiensi dalam administrasi dan organisasi.48
Tabel 3. World View dan Dampak Sosial49 World-views Cara Tujuan Dampak Sosial
Magis Tidak Rasional
(misal sesaji,
bakar
kemenyan, dll)
Rasional
(misal:
keselamatan
dunia, sehat,
kaya, dll)
Otoritas dukun atau
magician, pengokohan
hubungan-hubungan
sosial, struktur sosial
komunitas magis
Agama Rasional
(misal: puasa,
zakat, ziarah,
dll)
Tidak
Rasional
(misal:
masuk surga)
Otoritas ulama atau elit
agama, pengokohan
kekuasaan politis, struktur
sosial, keagamaan,
perubahan budaya
Ilmu Rasional Rasional Otoritas ilmuwan,
rasional dapat menolong merumuskan cara-cara yang cocok tujuan-tujuan sosial
dan tujuan-tujuan hidup, tapi prosedur-prosedur demikian tidak menolong kita
memilih di antara nilai-nilai absolut atau antara tujuan-tujuan yang saling
diperebutkan. Pengetahuan ilmiah tidak dapat menolong kita membuat putusan-
putusan moral bila kita dihadapkan pada cara-cara bersikap yang tidak sama;
akhirnya ilmu pengetahuan tidak relevan untuk mempermasalahkan perumusan
kehidupan yang baik. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 231-234. 48 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 49 Heru Nugroho, Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar
untuk Weber dalam Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, ix.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
49
Pengetahuan (misal: metode
ilmu)
(misal:
pemecahan
problem
duniawi)
pengokohan hubungan
politis, struktur sosial
komunitas keilmuwan,
perubahan budaya, dan
disenchantment)
Tiap-tiap tingkat perkembangan rasionalitas manusia ditandai
dengan bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Tingkat perkembangan
magis ditandai dengan adaptasi individu atas norma-norma dan
kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia. Menurut sistem
kepercayaan magis, manusia dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan
supranatural yang belum disistematisasikan sehingga kekuatan-
kekuatan itu bisa bersifat konstruktif atau destruktif terhadap
manusia. Magis memanipulasi kekuatan-kekuatan ini secara
sistematik dalam rangka mencapai tujuan-tujuan praktis yang
spesifik, seperti sistematisasi kekuatan-kekuatan alam untuk
mewujudkan kekayaan, kesehatan, keselamatan, dijauhkan dari
gangguan setan, dan lain-lain.50
Sedangkan tingkat perkembangan agama, keberadaan
norma-normanya telah diinternalisasi dan disistematisasi. Norma-
norma yang telah sistematis itu kemudian menjadi guide dalam
perilaku sosial tiap-tiap pemeluknya. Selain itu, norma-norma itu
juga menjadi sumber interpretasi atas realitas yang ada di dunia.
Bahkan, perubahan sosial yang terjadi juga dapat diinterpretasikan
lewat norma-norma tersebut.51
Ada pun dalam dunia modern, ilmu pengetahuan telah
mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun
demikian, ilmu pengetahuan hanya mencurahkan kepentingan
material dan kegiatan praktis sehari-hari. Dalam hal ini, Weber
juga melihat sisi pesimis dari dominasi ilmu terhadap kehidupan
50 Schroeder, Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii 51 Dalam hal ini, Weber mendemonstrasikan bagaimana etika Protestan
menjadi sumber rujukan berperilaku ekonomi dan sekaligus subjek reinterpretasi
atas terjadinya proses sekulerisasi dalam masyarakat pada waktu itu. Lihat
Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup
Priyadisudiarja, (Yogyakarta: Jejak, 2007).
50 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
manusia, yaitu merebaknya sekulerisme52, materialisme, dan
menurunnya peran agama sebagai rujukan memahami dunia.
Namun, menurut Weber dalam kehidupan modern masih tersisa
adanya idealisme etik (ethical ideal) yang telah diinternalisasi oleh
masyarakat pada masa perkembangan dan dominasi agama yang
lalu dan menjadi personality guide bagi setiap individu. Idealisme
etik ini cenderung akan menghindarkan individu jatuh pada
tingkat tindakan pragmatis yang buta. Pada tahap perkembangan
sosial ini, agama cenderung tertekan menjadi bidang kehidupan
privat.53
Teologi rasional54 berkembang sebagai bagian dari
rasionalisasi55 pemikiran dan dapat dijumpai di semua agama di
52 Dalam diskusi Weber tentang sekulerisasi, argumentasinya tidak
secara positif menyatakan bahwa “Tuhan mati” (‘God is dead’), namun
hanyalah menyatakan bahwa masyarakat modern menghasilkan sejumlah Tuhan
yang saling berlomba yang tidak memiliki kekuasaan, baik secara individu
maupun secara kelompok. Perkembangan pengetahuan yang progresif dan
bertambahnya spesialisasi disegenap lapangan pengetahuan melahirkan
pandangan-pandangan dunia dan tafsiran-tafsiran tentang realitas yang tak
terhitung banyaknya, namun tepatnya karena tafsiran-tafsiran ini belum final
mereka tidak bisa menuntut adanya suatu nilai yang mutlak. Dalam pelayanan
singkat Weber terhadap kesadaran modern, ia mencatat tiga fase penting yang
terdapat pada perkembangan sekulerisasi, yaitu ketidakajaiban, fragmentasi dan
konflik di antara pandangan-pandangan dunia yang tidak utuh (partial world-views). Lihat Bryan S. Turner, Islam and Weber, 235-236. Lihat juga Peter L.
Berger, The Sociall Reality of Religion, London, 1969. 53 Dalam dunia sekuler, satu-satunya tempat bagi agama adalah dalam
daerah hubungan-hubungan interpersonal dan bukan dalam hubungan-hubungan
umum. Secara paradoksal, penghapusan agama sebagai ikatan sosial yang
menghubungkan semua aspek kehidupan manusia disediakan oleh pembaharuan
itu sendiri. Tesis Weber bahwa sekulerisasi yang melibatkan pluralisme nilai-
nilai yang saling bertentangan dan penurunan nilai derajat institusional agama
menjadi semata-mata bersifat pilihan pribadi. Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam, 239.
54 Perkembangan teologi rasional dihubungkan dengan perubahan-
perubahan batin atau internal yang terjadi di dalam organisasi keagamaan, di
mana lapisan kependetaan profesional sangat dibedakan dari lapisan anggota
biasa. Walaupun mitos tidak tertutup bagi logika, dan pandangan mitos bisa
dirasionalisasikan, namun gerak maju dari mitos menuju logos ini biasanya
menunggu perkembangan kelompok kependetaan. Perkembangan penuh
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
51
dunia ini dalam berbagai bentuk. Ia mencerminkan kesungguhan
kelompok spesialis agama yang membuat implikasi intelektual dan
esensial pada sejumlah tradisi keagamaan yang eksklusif dan
konsisten. Perkembangan teologi rasional juga mencakup
pengembangan etika rasional (teologi moral) yang disandarkan
pada implikasi praktis pengalaman keagamaan dan tradisi. Batasan
eksistensi dan etika tentang apa adanya dan apa yang seharusnya terbentuk di dalam evolusi tradisi teologi yang kemudian jadi
doktrin organisasi keagamaan. Dengan demikian, ia ditujukan
untuk pendidikan keanggotaaan. Dengan cara ini mereka masuk ke
dalam batasan situasi di mana manusia bertindak, konsepsi mereka
tentang tujuan yang tepat dan sarana untuk mencapainya, dan
dengan demikian menjadi “terikat dengan sifat-sifat praktis
terhadap hampir semua aspek kehidupan sehari-hari”.56
Perkembangan teologi rasional yang demikian merupakan
pergeseran pemikiran dari mitos menuju logos, dari yang bersifat
mitologi menuju rasional.
Dalam fenomena sosial budaya di zaman modern ini,
kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil dari
kehidupan sehari-hari. Fenomena penciutan kehidupan beragama
ini karena pengaruh budaya modern yang kadang kala mendekati
modernisme57 dan sekulerisme. Kemajuan ilmu pengetahuan,
rasionalisasi metafisik dan etika keagamaan membutuhkan lembaga
kependetaan yang bebas dan terlatih serta profesional, secara permanen
dipenuhi dengan pemujaan dan dengan masalah praktis yang terdapat dalam
perawatan jiwa. Weber, The Sociology of Religion, 30. 55 Proses rasionalisasi merupakan suatu istilah yang berasal dari
Emmanual Kant dalam bukunya Essay on Universal History. Pikiran manusia
dengan cepat telah mengalami rasionalisasi, baik dalam arti formal sehubungan
dengan konsistensinya dan sifat sistematisnya, maupun dalam arti substansi
dalam menyisihkan unsur-unsur fantasi dan mitosnya. O’Dea, Sosiologi Agama,
83 56 Talcott Parsons, Essai-Essai Sosiologi, 209 57 Menurut Bustanuddin Agus, modernisme berbeda dengan modern.
Yang pertama telah menjadi panutan dan paham yang dipakai dalam
memandang manusia, alam dan kehidupan secara keseluruhan. Kalau istilah
modernisme dipasangkan dengan tradisionalisme, ia adalah sifat masyarakat
yang berorientasi kepada yang konkret, otomatisasi, kecenderungan kepada
52 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi
masyarakat telah menyebabkan agama semakin surut dari arena
kehidupan sosial yang dikuasainya secara tradisional. Lebih lanjut
Durkheim mengatakan bahwa agama mati perlahan-lahan dalam
dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.58
Mereka yang terpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir
yang rasional dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola
kepercayaan mereka terhadap hal-hal yang sakral yang dianggap
irrasional dan jauh dari kata ilmiah. Adanya perubahan
intelektualitas masyarakat dari irasional ke rasional mempengaruhi
perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.
C. Masyarakat dan Stratifikasi Keagamaan
Lapisan sosial atau stratifikasi sosial di dalam masyarakat
terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat. Hal ini tentunya tidak hanya berkaitan dengan
kepemilikan materil saja tetapi juga dapat berupa immateril,
seperti kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang
terhormat. Agama muncul karena manusia hidup di dalam
masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-
kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif
mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi
sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama.
Peranan utama agama, menurut Durkheim, sebagai integrator
kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu
dengan mempersatukan mereka dengan melalui seperangkat
perubahan. Akan tetapi modern hanya sekedar sikap bersedia atau sekadar
menggunakan alat dan produk yang dihasilkan oleh teknologi modern sehingga
tenaga untuk mengerjakan sesuatu bisa terhemat, seperti handphone dan
internet untuk berkomunikasi. Orang Islam didorong untuk hemat dan
melakukan sesuatu dengan sempurna yang tentunya dengan menggunakan hasil
teknologi modern, tetapi mereka tidak direstui, bahkan diharamkan untuk
berpandangan hidup atau berideologi modernisme karena mengabaikan Allah
dan agama sebagai pegangan hidup. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 10.
58 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan oleh Farid
Wajidi, S. Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 555.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
53
kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama
membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu
komunitas moral.59
Masyarakat bukan saja suatu struktur sosial stabil, tetapi
suatu struktur yang berkembang dan berubah terus menerus
sebagai akibat dari kekuatan hukum masyarakat yang disebut
proses sosial dan perubahan sosial baik dalam ritme yang cepat
maupun lambat. Laju proses sosial (social process) dan perubahan
sosial (social change) itu sendiri tidak terlepas dari perubahan
sosio-kultural, bahkan justru karena dipengaruhi secara langsung
oleh sosio-budaya, teristimewa apabila kebudayaan asli bertemu
dengan kebudayaan asing. Unsur-unsur kebudayaan agama
memainkan peranan dominan atas masyarakat, baik itu agama asli
maupun agama asing. Sebagaimana defakto unsur kebudayaan
nonreligius mempengaruhi dan mengubah masyarakat melalui
lapisan-lapisan sosial, demikian pula agama sebagai unsur
kebudayaan religius hanya dapat masuk dan meresap dalam
masyarakat melalui lapisan-lapisan masyarakat.60
Pandangan lebih konkrit mengenai hubungan agama
dengan stratifikasi sosial dikatakan Weber tentang agama dari
berbagai kelas yang ia amati.61 Weber mengungkapkan bahwa
59 Stephen K Sanderson, Macrosociology, diterjemahkan Farid Wajidi, S.
Menno (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2000), 554. 60 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1983),
58. 61 Weber telah melakukan penelitian tentang agama-agama dunia dan
dapat ditarik dua kesimpulan penting berkenaan dengan penelitiannya tersebut,
yaitu: yang pertama terdapat dalam sejarah agama Kristen, Yahudi, Islam,
Hinduisme, Buddha, Konfusianisme, dan Toisme – suatu hubungan yang jelas
dan dapat diamati di antara posisi misalnya dengan kecenderungan menerima
pandangan keagamaan yang berbeda. Yang kedua, ini bukanlah suatu penentuan
yang tepat tentang pandangan keagamaan oleh stratifikasi sosial. Misalnya,
kelas menengah rendah yang dianggap Weber memainkan peranan strategis
dalam sejarah agama Kristen, melihatkan suatu kecenderungan yang pasti ke
arah “congregational religion”, ke arah agama keselamatan, dan akhirnya ke
arah agama “etika rasional”. Ini berbeda sekali dengan kecenderungan
keagamaan kaum petani. Tetapi Weber menegaskan bahwa hal ini jauh dari
setiap/determinisme yang serupa. Dia menegaskan bahwa dalam kelas
54 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
stratifikasi dibentuk tidak hanya dilihat dari faktor ekonomi saja
melainkan juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri khusus seperti
world view, upacara-upacara keagamaan dan simbol-simbol yang
menggambarkan kedudukan sosial masyarakat dalam stratifikasi
tersebut. Berbagai studi memperlihatkan bahwa stratifikasi sosial
mempengaruhi agama. Studi yang dilakukan Sayyed Zainuddin
mengenai Islam, Social Stratification and Empowerment of Muslim OBCs62, menempatkan pertumbuhan dan perkembangan
stratifikasi sosial dalam Islam dari waktu ke waktu. Penelitian ini
membawa keluar dimensi kasta di kalangan umat Islam di India
Utara dan membuat kasus untuk pemesanan terpisah untuk
pemberdayaan OBCs Muslim. Posisi ideologis Islam berkaitan
dengan stratifikasi sosial karena umat Islam secara keseluruhan
mematuhi prinsip-prinsip dasar agama Islam dan cukup
mengideologikan iman mereka untuk menjelaskan praktek-praktek
sosial mereka.
Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore menyebut interelasi
agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut
Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian masyarakat
ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan agama, afiliasi,
atau praktik iman. Alasan mengapa agama diperlukan ternyata
dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa masyarakat manusia
mencapai kesatuan terutama melalui kepemilikan oleh anggotanya
nilai utama tertentu dan berakhir kesamaan. Selanjutnya, Davis
dan Moore berpendapat bahwa stratifikasi keagamaan merupakan
“peran keyakinan agama dan ritual untuk menyediakan dan
memperkuat penampilan realitas bahwa nilai-nilai utama tertentu
telah dimiliki. Ini merupakan salah satu penjelasan mengapa
agama merupakan salah satu faktor yang mendasari dan
menengah rendah, dan khususnya di kalangan pengrajin, terdapat perbedaan
besar yang saling berdampingan, dan bahwa para pengrajin ini memperlihatkan
suatu diversifikasi yang sangat nyata. (Lihat O’Dea, Sosiologi Agama, 109. Lebih lanjut lihat Juga Weber, The Sociology of Religion, 95-96)
62 Sayyed, Zainuddin. “Islam, Social Stratification and Empowerment of
Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November
2003): 4898-4901. http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April
2012).
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
55
menghubungkan berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam
stratifikasi. 63
Para sosiolog terdahulu biasanya lebih memperhatikan
stratifikasi berdasarkan ras, kelas, gender, etnis, dan ekonomi
dibanding agama. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa
stratifikasi agama layak untuk mendapatkan perhatian lebih dari
biasanya. Ini merupakan pengembangan umum dalam agama
masyarakat yang sangat beragam. Sosiolog James D. Davidson
dan Ralph E. Pyle (2011) berpendapat bahwa akhir dekade ini ada
kemungkinan untuk mengkalkulasikan status sosial ekonomi dan
menemukan perwakilan identifikasi keagamaan penduduk
Amerika. 64 Menurut Davidson dan Pyle, stratifikasi agama sudah
muncul selama masa kolonial Amerika, sebagai akibat dari
etnosentrisme agama, persaingan agama, dan sumber daya yang
tidak merata. Mereka menunjukkan bahwa kelompok Anglikan,
Kongregasionalis, dan Presbiterian lebih terwakili di kalangan elit
ekonomi, politik, dan pendidikan. Sedangkan kelompok-kelompok
lain seperti Protestan, Katolik, Yahudi, dan orang-orang tanpa
preferensi agama memiliki peringkat yang jauh lebih rendah dalam
status sosial.65
Selain itu, Keith A.Roberts66 juga menyatakan bahwa ada
hubungan antara keadaan sosial ekonomi dan ketaatan beragama.
Agama dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial
ekonomi masyarakat. Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap
masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu
kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu
63 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of
Stratification,” American Sociological Review 10 (April): 242-249.
http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April
2012) 64 Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious
Stratification in America (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2011), pp. 219. 65 Davidson, James D, Religious Stratification: Its Origins, Persistence,
and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest
Research Library, 371. 66 Keith A. Robert, Religion In Sociological Perspective, (USA:
Wadsworth, 2004), 218
56 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang
pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan
dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang
hubungan agama dengan masyarakat – yang menurutnya, terbagi
tiga tipe. Tipe-tipe yang dimaksud Nottingham67 tersebut, yaitu:
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe
masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota
masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada
lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga
keluarga; agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama
memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-
nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat pra-industri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe
pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem
nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang
sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit
banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase
kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara
keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas
sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya
mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai
keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus
67 Pembagian Nottingham ini tampaknya mengikuti konsep August
Comte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat, yaitu tahap teologis
(di mana tingkat pemikiran manusia menganggap bahwa semua benda di dunia
mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas
manusia); tahap metafisis (merupakan transisi dari teologis ke tahap positif
yang ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan dalam akal budi); dan tahap positif (tahap di mana manusia
mulai berpikir secara ilmiah). Lebih lanjut Nottingham membahas tipe-tipe ini
dalam satu bab yang berjudul “Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama” di dalam
bukunya Agama dan Masyarakat, terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta:
CV. Rajawali, 1985, 41-58.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
57
utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan,
dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota
masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode
empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
3. Masyarakat Industri-Sekuler. Masyarakat tipe ini
merupakan masyarakat yang paling agresif dan dinamik di
dunia sekarang ini, dengan menggunakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai sekuler mereka,
terus-menerus memusuhi masyarakat-masyarakat tipe
kedua dan sebagian kecil masyarakt tipe pertama yang
lebih berorientasi kepada agama.
Dari gambaran kondisi dan tingkat persepsi keagamaan di
atas dan memperhatikan perkembangannya sekarang ini, maka
dapat dijelaskan bahwa agama sekarang ini di suatu tempat telah
mengalami modernisasi pemahaman yang mendorong masyarakat
kepada masyarakat maju, sementara sebaliknya di tempat lain,
agama masih hanya sebagai pendukung status quo. Ternyata
agama pada suatu saat bisa berfungsi sebagai pendorong
perubahan dan pada saat lain bisa berfungsi sebagai penjaga status quo. Perbedaan posisi terhadap status quo tersebut dijelaskan
dengan melihat lokasi sosial agama. Pertama, keterpisahan agama
dengan elemen-elemen masyarakat yang lain. Bila agama dalam
pengertian nilai agama, terdifusi secara baik dalam keseluruhan
lembaga-lembaga sosial yang lain, maka kemungkinan kecil akan
mendorong perubahan sosial. Ini dapat dimengerti karena
sesungguhnya target agama adalah mendifusikan nilai-nilai dan
cita-cita agama ke dalam tatanan sosial. Bila ini sudah tercapai,
agama akan cenderung jalan di tempat dan mempertahankan
kondisi ini. Sebaliknya bila agama terpojok dan hanya menjadi
satu bagian yang terpisah dari masyarakat, agama akan mendorong
perubahan ke arah terdifusinya nilai agama dalam masyarakat.
Kedua, adalah kedudukan agama sebagai motivator aktivitas
58 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
masyarakat. Dalam masyarakat terdapat sesuatu bentuk
kepercayaan (belief) yang berfungsi sebagai motivator bertindak.
Weber misalnya, menggambarkan motivasi masyarakat untuk
melakukan berbagai tindakan ekonomis adalah untuk meraih
kesejahteraan duniawi berdasarkan imannya, atau menurut istilah
Weber disebut inner-worldly ascetism68. Relevansi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan
masyarakat (world view) dapat dianalisis dengan menggunakan
struktural fungsional. Asumsi dasar teori fungsional terletak pada
cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat (sebagai sistem
sosial) terintegrasi oleh adanya kesepakatan bersama, collective consciousness. Kebersamaan dan kohesi sosial dimungkinkan
karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk
sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat
akan selalu dalam keadaan equilibrium. Seandainya ada
perubahan-perubahan – baik karena faktor internal maupun
eksternal – perubahan itu diyakini tidak akan sampai mengganggu
integritas sosial atau keseimbangan sosial, sebab sifat perubahan
yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang mendasar.69 Hal ini
68 Inner worldly-asceticism merupakan asketisisme yang terarah ke
dalam dunia. Pola asketisisme ini diperkenalkan oleh Protestanisme (golongan
Calvin dan Luther). Sikap dasarnya, yaitu asketisisme dalam pengertian: tekun,
disiplin diri, menolak godaan kenikmatan. Tetapi orientasi asketisismenya
berbeda dari “asketisisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism). Sikap bertarak dari Protestanisme tidak lagi diarahkan kepada
kehidupan “syurga”; tetapi terarah kepada kehidupan masa kini di dunia.
Sehingga orang disebut beriman apabila kehidupannya di masa kini senantiasa
ditandai oleh tanggungjawab yang optimal terhadap seluruh pekerjaan yang
dipercayakan Tuhan kepadanya. Etos kerja inilah yang menurut Weber
kemudian mampu mengubah wajah dan peradaban Eropa, bahkan kemudian
mengubah seluruh dunia. Makna kerja bukan lagi dianggap sebagai hal yang
duniawi, tetapi dihayati sebagai hal yang suci. Karena nilai pekerjaan adalah
suci, maka setiap orang beriman harus melakukan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh dan benar secara moral. Kerja menjadi manifestasi dari
ibadah. Hasilnya adalah penanganan pekerjaan yang makin profesional dan
didasari oleh moralitas yang tinggi. Lihat Weber, The Sociology of Religion, 242.
69 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, , 257.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
59
dapat dilihat pada fenomena ziarah di Kota Palembang.
Masyarakat yang memiliki perbedaan strata dan pola kepercayaan
tetap berada dalam equilibrium dan hal ini tidak mengakibatkan
terpecahnya integritas dalam masyarakat ketika berziarah
walaupun pola tindakan yang mereka aplikasikan beraneka ragam.
Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara
stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola
tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin
dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi
memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang
mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah.
Talcott Parsons yang mengajukan teori tentang tindakan manusia
dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini
tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut
Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.70
Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson
sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang
dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata
diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang
bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi
karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan
tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh
situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam
situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber
membedakannya ke dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan
sosial itu semakin mudah dipahami.71
1. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam
tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang
baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai
dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak
absolut. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain
70 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
262. 71 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39.
60 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling
rasional maka mudah memahami tindakannya.
2. Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak
dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu
merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk
mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu
sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan
cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk
dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan
terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang
diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski
tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat
dipertanggungjawabkan untuk dipahami.
3. Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi
oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan
ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional.
4. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas
kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa
lalu saja.
Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan
tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua
tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: budaya,
sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem kultural merupakan
sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol.
Sistem ini penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan
informasi, tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada
tindakan nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai
mediator terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol
budayawi diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang
kemudian disampaikan kepada individu-individu warga
masyarakat (sistem sosial) melalui proses sosialisasi dan
internalisasi.72
72 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan
dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa
pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pada tempat pertama, evaluasi
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
61
Berdasarkan hal tersebut, deskripsi mengenai interelasi
stratifikasi sosial dan pola kepercayaan masyarakat dapat dilihat
dari apa yang dikatakan Weber tentang berbagai kelas yang
diamatinya. Golongan yang pertama adalah golongan Petani dan Nelayan yang pada umumnya golongan petani termasuk
masyarakat yang terbelakang. Hal ini disebabkan lokasinya berada
di daerah yang terisolasi, sistem masyarakatnya masih sederhana,
lembaga-lembaga sosialnya pun belum banyak berkembang. Di
samping alasan-alasan tersebut, unsur-unsur ketidakpastian,
ketidakmampuan, dan kelangkaan, sangat erat dengan kehidupan
petani. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang
tidak bisa dipercepat, diperlambat, atau diperhitungkan secara
cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor cuaca, faktor
pertumbuhan tanaman, faktor hewan – baik sebagai alat pembantu
maupun sebagai hama – faktor subur tidaknya tanah, dan
sebagainya merupakan faktor-faktor yang berada di luar jangkauan
petani. Oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan
di luar dirinya yang dipandang mampu dan dapat mengatasi semua
persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya. Maka,
diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap
sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen
bagi Dewi Sri, yang dipercaya sebagai pelindung sawah dan
ladang, pada waktu akan panen menjadi keharusan bagi mereka ,
agar hasil panennya berlimpah. Upacara-upacara semacam itu
kerap dilakukan sebagai suatu tradisi; meninggalkan upacara-
upacara tersebut diyakini akan mendatangkan bala atau panennya
moral merupakan suatu aspek penting tindakan dalam sistem-sistem sosial. Ia
merupakan suatu aspek utama fenomena yang lebih luas orientasi normatif,
karena tidak semua pola normatif yang relevan dengan tindakan merupakan
objek sentimen-sentimen moral. Fakta penting kedua adalah pentingnya pribadi
manusia sebagai suatu unit sistem-sistem sosial yang konkret. Jika pribadi-
pribadi manusia sebagai unit-unit dan evaluasi moral esensial bagi sistem-
sistem sosial, maka pribadi-pribadi itu dievaluasikan sebagai unit-unit dan tidak
hanya menghormati kualitas-kualitas, tindakan-tindakan khusus dan
sebagainya. Pelapisan sebagaimana diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek
dari konsep struktur sebuah sistem sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei-Essei Sosiologi, 73.
62 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
tidak berhasil. Dengan pengamatan selintas, pengaruh agama
terhadap golongan petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka
relatif lebih besar karena kedekatannya dengan alam. Menurut
Weber petani sebagai kelas sosial tidak begitu sudi menjadi
penyebar agama yang aktif kecuali kalau tidak diancam
perbudakan atau dirampas harta miliknya. Untuk golongan
nelayan, karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan
karakter golongan petani. Mata pencahariannya bergantung pada
keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus, tidak ada badai,
boleh jadi hasil tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada
waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati
penguasa laut, yang – pada masyarakat Indonesia – dikenal
sebagai Nyi Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh
agama terhadap kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.73
Apabila dilihat menurut konsep Nottingham, baik
golongan petani atau golongan nelayan, termasuk tipe masyarakat
terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat memasuki sistem nilai
masyarakatnya. Kalangan petani perlu dirembesi oleh pengaruh
luar yang sangat kuat sehingga dalam penyampaian ajaran agama
kepada mereka dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan
memakai contoh-contoh yang bisa diambil dari lingkungan
alamnya.74
Golongan selanjutnya adalah Pengrajin dan Pedagang Kecil. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang
memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan
diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih
mempercayai perencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti.
Menurut Weber, golongan pengrajin dan pedagang kecil suka
menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan.75
73 Lihat Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, 132. Lihat juga Weber, The
Sociology of Religion, 80, 97. 74 Nottingham, Agama dan Masyarakat, 43. 75 Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang
berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat
dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada hukum alam. Mereka
menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang
baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
63
Hal ini serupa dengan tipe masyarakat pra-industri yang sedang
berkembang. Bagi mereka, dalam persoalan-persoalan yang
menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak dijadikan
rujukan utama tapi rasiolah yang menjadi pegangannya. Meskipun
demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan-
tahapan kehidupan sosial – seperti kelahiran, pertumbuhan anak,
perkawinan, dan kematian – masih diliputi oleh perasaan
keagamaan yang kental. Dalam hal ini, mereka masih mengadakan
upacara-upacara keagamaan.
Kategori berikutnya menurut Weber adalah golongan
Pedagang Besar76 yang lebih berorientasi pada kehidupan duniawi
(mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis.
Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional.77 Kemampuan
yang mereka miliki terletak pada kekuatan ekonominya.
Selanjutnya Weber menyebut golongan karyawan sebagai
kaum birokrat. Jika dilihat dari teori Nottingham, golongan ini
dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena sistem sosial
yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian
fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian
suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.
Berdasarkan asumsi ini, dapat dipastikan bahwa rasa
keberagamaan golongan karyawan berbeda dengan golongan-
golongan lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang
Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional. Dengan
kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan utama seperti
pada golongan petani dan nelayan. Weber, The Sociology of Religion, 97. 76 Golongan ini memiliki sikap yang lain terhadap agama. Pada
umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang
imbalan jasa (compensation) moral, seperti yang dimiliki golongan tingkat
menengah bawah. Menurut Weber, semakin tinggi posisi privilese kelas
tersebut, semakin kurang kemungkinan mereka untuk mengembangkan agama
keduniawian lainnya. Weber, The Sociology of Religion, 91. 77 Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak segan-segan menyumbang
sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama, tetapi mereka sendiri tidak
terlibat langsung pada kegiatan tersebut. Pemberian dana dianggapnya cukup
untuk mewakili perasaan keagamaannya.
64 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
penganut agama Konfusius,78 menyimpulkan bahwa
kecenderungan rasa keagamaan birokrasi bersifat “serba mencari
untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya, karena rasa
kekhawatiran akan ketidakpastian, ketidakmampuan, dan
kelangkaan dalam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidak
pernah mereka alami. Mereka sudah terjamin dengan kepastian
datangnya sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya yang
dikembangkan, boleh jadi – seperti penemuan Weber tersebut –
adalah serba mencari keuntungan dan keenakan. Akan tetapi,
golongan karyawan di Indonesia, terutama pada masa sekarang,
tampaknya cukup religius. Di kantor-kantor sudah terdapat
tempat-tempat sholat. Instansi-instansi tertentu kadang ikut aktif
dalam mengumpulkan dana zakat fitrah atau zakat harta, atau
menyelenggarakan sholat Adha dan Kurban, menghajikan
karyawan-karyawannya yang beragama Islam secara bergilir atau
berdasarkan prestasi kerja, membolehkan karyawan wanita
menggunakan jilbab sebagai salah satu kewajiban yang
diperintahkan dalam ajaran Islam.79
Penggolongan berikutnya Weber menemukan kelas buruh
industri modern di Eropa yang memperlihatkan pra-disposisi bagi
doktrin keselamatan, tetapi lebih sering bersifat semu-agama
ketimbang bersifat agama.80 Weber juga berbicara secara umum
78 Weber sangat tertarik mengkaji birokrasi di masyarakat Barat dan di
dunia peradaban lainnya. Dia melihat kecenderungan agama di kalangan
birokrat yang “secara klasik dirumuskan dalam paham Kong Hu Cu
(Confuciasm). Akibatnya, walaupun menarik secara estetika, adalah sikap
opputunitis dan utilitarian. Ini memperlihatkan “tidak adanya perasaan butuh
bagi keselamatan atau bagi setiap penempatan transenden bagi etika”. Artinya
agama personal yang sifatnya emosional cenderung dihilangkan. Menurut
Weber di Cina pejabat menjunjung tinggi upacara menghormati (ritus) arwah
leluhur dan orang-orang tua demi: terpeliharanya tertib sosial, tetapi sungguh
dirasakan adanya jarak tertentu dari roh”. Weber, The Sociology of Religion, 90.
79 Lihat Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisius, 1983), 62.
Lihat juga Thomas F.O’Dea, The Sociology of Religion, diterjemahkan oleh
Tim Yasogama, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1995. 80 Dalam lingkungan rasionalisme proletar, agama pada umumnya
digantikan oleh ideologi lainnya”. Marx menyebut kelas buruh Eropa sebagai
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
65
tentang kaum elit dan kelas yang tidak memiliki hak istimewa.
Ide-ide seperti keselamatan, dosa dan kerendahan hati ditemukan
Weber jauh dari semua kelas elite politik dan sebenarnya layak
dicela sesuai dengan rasa kehormatan diri kelas yang demikian.
Dia mengatakan: “Jika hal-hal lain tetap sama, maka kelas-kelas
yang punya status sosial tinggi dan yang memiliki privilese
ekonomi akan kurang cenderung mengembangkan gagasan
keselamatan. Sebaliknya, mereka memanfaatkan fungsi agama
sebagai pengabsah pola kehidupan dan kondisi mereka di dunia”.81
Sebaliknya, kelas yang tidak mempunyai hak istimewa atau yang
sudah tergusur, menunjukkan kecenderungan untuk merangkul dan
mengembangkan agama-agama penyelamat, menerima pandangan
dunia rasional yang dijiwai oleh etika kompensansi.82 Untuk
memberikan persamaan derajat pada wanita dalam partisipasi
keagamaan.83 Weber menyatakan: ”selama setiap kebutuhan untuk
keselamatan merupakan ungkapan dari beberapa keadaan yang
sulit, maka tekanan sosial atau ekonomis merupakan sumber yang
efektif bagi keselamatan keyakinan, walaupun bukan sebagai
sumber eksklusif satu-satunya”.84 Sebaliknya, Weber
menyimpulkan “kelas-kelas yang secara ekonomis paling tidak
mampu, seperti para budak dan buruh harian, tidak akan pernah
bertindak sebagai pembawa panji-panji agama tertentu”.85
Selain penggolongan yang telah dijabarkan oleh Weber
tersebut, terdapat juga penggolongan lain yang berlaku di
masyarakat. Golongan tua-muda misalnya, meskipun secara sosial
penggolongan tua-muda ini ada, namun susah ditentukan
“proletariat”, yang dimaksudkannya dengan istilah ini ialah kelas yang tidak
memperoleh “bagian” dalam sistem sosial yang ada. Buruh bekerja dan hidup di
suatu masyarakat di mana ia tidak merasa sebagai bagian dari masyarakat itu.
Marxisme menjadi ajaran penyelamat sekuler bagi sejumlah besar kelas buruh di
masa pertengahan abad kesembilan belas dan perang dunia kedua. Max Weber,
The Sociology of Religion, 101. 81 Weber, The Sociology of Religion, 107. 82 Weber, The Sociology of Religion, 97. 83 Weber, The Sociology of Religion, 12. 84 Weber, The Sociology of Religion, 107. 85 Weber, The Sociology of Religion, 99.
66 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
batasannya secara praktis. Kesulitan ini akhirnya mengimbas pada
pernyataan tingkat pengaruh kepada masing-masing golongan. Di
Indonesia, usia 40 tahun ke atas biasanya dianggap telah tua, dan
usia 40 tahun ke bawah dianggap muda. Usia 40 tahun ini
seringkali dijadikan patokan oleh penganut agama untuk
mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya
menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah
dan larangan ajaran agamanya. Misalnya saja, sholat berjamaah di
mesjid-mesjid seringkali lebih banyak diisi oleh golongan tua
daripada golongan muda. Golongan muda lebih banyak mengisi
kegiatan yang bersifat duniawi. Berdasarkan pengamatan sepintas
tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih
kental dibandingkan dengan golongan muda. Namun, bila asumsi
ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan
juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 tahun ke
atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotik atau
cafe-cafe untuk berhura-hura. Sebaliknya, banyak di antara
golongan muda mengikuti, melaksanakan, dan mengisi waktunya
dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan
kelompok pengajian remaja masjid yang mengadakan berbagai
kegiatan keagamaan, seperti pesantren kilat, tabligh akbar, dan
lain sebagainya. Bahkan, kini jilbab sudah menjadi mode yang
trend di kalangan anak muda.86
Perbedaan status dalam masyarakat juga dapat dilihat
berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu pria dan wanita.87 Secara
psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam
menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan
menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih
dominan emosionalnya. Jika dilihat secara keseluruhan, tujuan
beragama seseorang itu rata-rata mencari untuk ketenangan batin.
Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan
wanita lebih dominan karena faktor pembawaan mereka umumnya
cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari
86 Kahmad, Sosiologi Agama, 134. Lihat juga Hendropuspito, Sosiologi
Agama, 66. 87 O’Dea, Sosiologi Agama, 114
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
67
keberagaman itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara
golongan pria kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu.
Mereka memerlukan dasar rasionalnya terlebih dahulu. Oleh
karena itu, pengaruh agama terhadap golongan wanita cukup
signifikan, sebaliknya golongan pria cenderung mengarah ke arah
sekuler.
Selain Weber, Geertz juga melihat agama sebagai pola
untuk melakukan tindakan (pattern for behaviour) atau interpretasi
tindakan manusia. Geertz menggambarkan praktik keagamaan di
Jawa sebagai suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada
banyaknya variasi dalam upacara, pertentangan dalam
kepercayaan, serta konflik-konflik nilai yang muncul sebagai
akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Ia
memilah tradisi Jawa menjadi tiga varian, yakni abangan, santri, dan priyayi.88 Tipologi ini berpegang pada konsep Parsonian, yang
menyebutkan bahwa ketiga tipe tersebut mencerminkan level nilai
(kultur) yang berbeda. Oleh karenanya, Geertz ingin
menginterpretasikan level nilai yang berbeda pada ketiga tipe
kebudayaan Jawa tersebut berdasarkan kepercayaan agama,
preferensi etis dan ideologi politik. Tipe abangan orientasi
sosialnya adalah petani. Sistem keagamaan masyarakat Jawa pada
saat itu juga lazimnya terdiri atas sebuah integrasi yang berimbang
antara unsur-unsur animisme, Hindu dan Islam.89 Tipe santri
orientasi sosialnya adalah pedagang dengan menonjolkan
kemurnian Islam yang tidak begitu terkontaminasi oleh animisme
88 Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab dan Bur, (Jakarta:
Komunitas Bambu: 2013), v 89 Sebuah sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat
yang sebenarnya di pulau itu. Namun situasinya lebih kompleks dari ini, tidak
hanya banyak petani yang tidak mengikuti sinkretisme ini, tetapi juga banyak
orang kota – kebanyakan para petani kelas rendah yang tersingkir atau anak-
anak petani yang tersingkir – mengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang
terutama sekali atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan
yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan
praktik pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem
keagamaan umum orang Jawa. Geertz, The Relligion of Java, xxx.
68 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
atau mistisisme, dalam masyarakat Jawa.90 Tipe priyayi orientasi
sosialnya adalah birokrat.Pada mulanya, priyayi hanya merujuk
pada kalangan aristokrasi turun temurun yang oleh Belanda
dicomot dengan mudah dari raja-raja pribumi yang ditaklukkan,
untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil yang digaji.
Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa
yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula
menekankan elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan
menitikberatkan pada elemen Hinduisme.91
Apa yang ditawarkan oleh para tokoh di atas, seperti
Nottingham, Weber dan Geertz, pada pembaca adalah pandangan
yang mendalam kepada kecenderungan hubungan antara
stratifikasi sosial dan doktrin keagamaan. Ini bukan hukum-hukum
sosiologis; mereka tidak mengklaim faktor sederhana dan faktor
kedaulatan yang membentuk sifat sensitif keagamaan manusia.
Kondisi kehidupan mempengaruhi kecenderungan agama manusia,
dan kondisi kehidupan memiliki korelasi yang cukup berarti
dengan fakta stratifikasi sosial di semua masyarakat. Namun,
perkembangan ide, nilai dan praktek tertentu di suatu masyarakat
dapat mempengaruhi semua kelas, strata dan kelompok yang ada
di masyarakat tersebut. Bila manusia disosialisir dalam suatu
kebudayaan dan masyarakat tertentu, mereka akan belajar
menerima ide-ide dan nilai-nilainya yang dominan, dan pelajaran
mana ditunjang oleh pendapat umum para sahabat mereka –
melalui pensahihan konsensus. Weber menunjukkan kelas-kelas
yang mungkin tidak berasal dari suatu tipe agama tertentu dalam
90 Tidak semua pedagang betul-betul merupakan pemeluk subvarian itu.
Ada elemen santri yang kuat di desa-desa. Mereka seringkali berada di bawah
pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah
dan setelah kembali, mendirikan sekolah-sekolah agama. Geertz, The Relligion of Java, xxxi.
91 Elite pegawai kerah putih ini, yang ujung akarnya terletak pada
keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara serta mengembangkan
etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi,
yang sangat kompleks dan mistisisme Hindu-Buddha. Geertz, The Religion of Java, xxxii.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
69
hal ini dapat dipengaruhi oleh agama.92 Tambahan lagi ide-ide
agama tertentu cenderung memiliki daya tarik yang universal.
Misalnya bila ide-ide tersebut telah dimapankan maka agama
keselamatan (solvation religion) akan mempunyai daya pikat yang
sangat luas.
D. Islam dan Stratifikasi Sosial
Menurut Kuntowijoyo93, sampai sejauh ini tampak sulit
mendapatkan definisi yang jelas mengenai konsep kelas di dalam
al-Qur’an, apalagi jika dikaitkan dengan pengertian yang lazim
dipahami dalam khazanah ilmu-ilmu sosial modern. Dalam
pengertian tersebut, konsep kelas selalu dihubungkan dengan
masalah ketidaksamaan sosial (social inequality). Tentu saja tidak
bisa dikatakan bahwa Islam tidak memiliki pandangan mengenai
masalah ketidaksamaan sosial tersebut. Tapi yang menjadi
pertanyaan apakah konsep ketidaksamaan sosial di dalam al-
Qur’an dapat disejajarkan dengan konsep perbedaan kelas dalam
definisi ilmu sosial modern saat ini.
Al-Qur’an jelas diturunkan di dalam setting sosial yang
aktual. Terkadang respon normatifnya merefleksikan kondisi sosial
yang aktual tersebut, meskipun jelas sekali al-Qur’an memiliki
cita-cita sosialnya sendiri. Untuk memahami konsep-konsep sosial
dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam setting sosial masyarakat
Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Pada zaman Rasululah,
masyarakat Arab pada umumnya terbagi dalam dua kelas sosial.
Yang pertama adalah kelas bangsawan dan yang kedua adalah
kelas budak. Istilah yang digunakan oleh Ali Syari’ati untuk
menjelaskan kedua konsep kelas tersebut adalah kelas Qabil dan
kelas Habil.94 Kelas pertama merupakan kelas aristokrat yang
terdiri atas para elit suku yang menguasai sumber-sumber ekonomi
92 Weber mengatakan: periode agitasi pembaharuan agama atau agitasi
risalat sering menarik kebangsawanan ke jalur agama etika risalat, karena tipe
agama seperti ini merembes ke seluruh kelas dan estate, oleh sebab itu
kebangsawanan umum dianggap sebagai pembawa pendidikan pertama bagi
awam”. Weber, The Sociology of Religion,86. 93 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 487. 94 Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, 147.
70 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
dan perdagangan. Mereka menjadi warga kelas satu. Sedangkan
kelas budak adalah warga kelas dua yang jumlahnya tidak begitu
banyak dan tidak memiliki kekuatan yang besar.
Konsep kelas aristokrat dan kelas budak nampaknya
memiliki kesamaan dengan konsep Qabil dan Habil yang
diungkapkan oleh Ali Syari’ati maupun konsep borjuis dan
proletar yang dikemukakan oleh Karl Marx. Pada konsep Karl
Marx, ia menempatkan penguasaan alat produksi sebagai sumber
kesejahteraan dan kekuasaan, namun tidak demikian dengan Ibn
Khaldun yang lebih menempatkan status (kelas) sebagai sumber
kesejahteraan dan kekuasaan. Pandangan Ibn Khaldun
menunjukkan bahwa modal sosial jauh lebih penting daripada
modal material seperti yang dianut oleh Karl Marx. Perbedaan lain
adalah pandangan mereka tentang relasi antar kelas. Ibn Khaldun
melihat kecenderungan masyarakat dari kelas rendah untuk
mendekati dan meminta perlindungan kepada masyarakat dari
kelas yang lebih tinggi. Imbalan terhadap perlindungan itu adalah
berbagai layanan gratis yang nilai lebihnya secara ekonomis, sosial
dan politik yang dapat dinikmati oleh kelas yang lebih atas. Di sisi
lain, Karl Marx lebih melihat relasi antar kelas sebagai lebij dijiwa
oleh semangat kompetisi dan konflik.95
Meskipun mengenal adanya kelas budak, pembedaan kelas
dalam masyarakat Arab lebih didasarkan pada kategori
kekerabatan etnik dan kesukuan. Pembedaan kelas berdasarkan
suku ini misalnya terefleksi di dalam sebuah ayat yang
menyatakan bahwa meskipun manusia itu diciptakan dari satu diri,
tapi mereka terpilah-pilah dan terpecah dalam kelompok-
kelompok suku dan bangsa.96 Kesukuan dan kabilah inilah yang
menjadi kriteria pokok pembagian sosial masyarakat Arab saat itu.
95 Ibn Khaldu>n., Muqaddimah, chapter V-5, Damaskus: Da>r Ya‘rub.
2004. 96 Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. Al-H}ujura>t: 13
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
71
Oleh karena itu, secara politis, stratifikasi sosial yang terbentuk
dari pembagian kemasyarakatan berdasarkan suku dan kabilah lalu
menyebabkan munculnya kelas-kelas bangsawan yang berkuasa.
Secara ekonomis, oleh karena basis ekonomi masyarakat
Arab adalah perdagangan, maka terbentukalah kelas aristokrasi
pedagang sebagai elit yang paling berpengaruh dalam masyarakat
Arab. Tapi kemudian al-Qur’an juga merefleksikan kenyataan
sosial lain mengenai strata sosial atas pemilikan dasar ekonomi.97
Tak hanya itu, terdapat pula konsep-konsep seperti golongan
dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan kaum masakin yang
menggambarkan golongan berdasarkan ekonomi.98 Selain secara
ekonomi, strata sosial atas kepemilikan ilmu pengetahuan pun
dijelaskan dalam al-Qur’an di mana Allah akan meninggikan
derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan.99
97 Allah SWT berfirman: “ Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari
sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. (QS. An-Nahl: 71).
98 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 489. Dalam Al-Qur’an Allah
berfirman: “Bukanlah kebaikan-kebaikan itu menghadapkan ke waah kamu ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu adalah barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan membebaskan perbudakan, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang memenuhi janjinya bila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam mengahadapi kesempitan, penderitaan, dan pada waktu peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:
177). 99 Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Mujadilah: 11).
72 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
Stratifikasi dalam Al-Qur’an juga dapat dilihat dari adanya
stratifikasi dalam keimanan individu. Menurut Syed Nizar
Hussaini Hamdani stratifikasi keimanan muslim di ukur
berdasarkan pengetahuan agama dan praktek terhadap
pengetahuan agama tersebut. Stratifikasi keimanan ini di bagi
dalam tiga kategori yaitu yang mempercayai agama, strata
munafik, dan strata yang tidak mempercayai agama.Hierarki
stratifikasi keimanan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
ini:100
Tabel 4.
Stratifikasi Keimanan dalam Masyarakat dan Masyarakat Muslim Dalam Masyarakat Dalam Masyarakat Muslim
Believer
Sangat Religius Muttaqi>n
Mukmin
Lahir dan bathin shaleh
Sholeh
Religius Moderat Muslim Setiap orang yang
menerima Islam secara
lisan
Kurang Religius Fa>siq
Fa>jir
Pendusta agama
Lahir dan bathin tidak
baik
Hypocrit Munafik oportunis
Non-Believer
Kafir Tidak memeluk agama
Islam
Masyarakat muslim yang sangat religius adalah muslim
yang memiliki sikap positif, berperilaku baik, praktek keagamaan
yang sangat baik, jujur dalam semua urusan, memiliki kepribadian
yang bisa diandalkan. Muslim yang religiusitasnya moderat adalah
mereka yang dikenal sebagai muslim yang menerima doktrin
Islam, bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi sebagian ajaran
Islam namun tidak mematuhi sebagian ajaran Islam yang lainnya.
Muslim yang kurang religius adalah yang mengaku beragama
100 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in
Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” Ph. D.
Dissertation in Quiad-i-Azzam University Pakistan, (2000): 61.
Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi Sosial dan Agama
73
Islam, kadang-kadang menjalankan ajaran Islam,tetapi tidak jujur,
dan sering melanggar syariah.101
Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi
sosial. Banyak ayat Al-Quran yang memaklumkan dilebihkannya
derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari
sebagian orang atas sebagian yang lainnya. Kendatipun demikian,
ini tidak dapat diartikan bahwa Al-Quran menoleransi social inequality.102 Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara
terus menerus menegakkan egalitarinisme. Namun, konsep-konsep
yang ada di dalam Al-Qur’an tersebut tidak dapat dengan begitu
saja diadaptasi untuk mengidentifikasi fenomena kelas di dalam
masyarakat modern dan disamakan konsepnya dengan
penggolongan sosial yang merujuk pada adanya sistem kelas
seperti konsep-konsep ilmu sosial. Apalagi konsep kelas baru
muncul sekitar abad kesembilan belas dalam setting masyarakat
Eropa.103
101 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in
Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” PhD.
Dissertation, Quiad-i-Azzam University-Islamabad, Pakistan, 2000, 62 102 Dalam Islam dikatakan bahwa Allah tidak memandang derajat
manusia, karena dimata-Nya semua manusia derajatnya sama dan hanya
ketaqwaan dan keimanan setiap umat-Nyalah yang membedakannya.
Sebagaimana firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS. Al-H}ujura>t: 13
103 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 500.
74 Paradigma dan Kerangka Teoritis Stratifikasi
Sosial dan Agama
BAB III
“...proses Islamisasi di Palembang diawali oleh stratifikasi sosial
yang merupakan ciri-ciri Kesultanan Palembang; sekelompok dominan di puncak, yang memperoleh jati dirinya dari konsepsi
masyarakat yang hierarkis...” -- Jeroen Peeters –
POTRET MASYARAKAT PALEMBANG
ab ini membahas mengenai sistem stratifikasi
masyarakat yang ada di kota Palembang. Namun,
sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut
mengenai sistem stratifikasi, terlebih dahulu akan dideskripsikan
sekilas mengenai kota Palembang. Selanjutnya juga akan dibahas
mengenai perkembangan sistem kepercayaan masyarakat
Palembang sebagai suatu deskripsi adanya unsur kepercayaan yang
masuk dalam tradisi ziarah. Bab ini juga membahas mengenai
akulturasi Islam dan budaya Palembang sebagai bagian yang ada
dalam masyarakat Palembang hingga sekarang.
A. Profil Kota Palembang
Kota Palembang merupakan ibu kota provinsi Sumatera
Selatan, dengan luas wilayah menurut Peraturan Pemerintah (PP)
No. 23 tahun 1988 sebesar 400, 61 km2 atau 40.061 Ha yang
terbagi ke dalam 16 kecamatan dan 107 kelurahan.1 Dalam segi
budaya, Kota Palembang terdiri dari berbagai unsur budaya
penduduk, menurut suku dan daerahnya. Palembang merupakan
kota pluralistik karena hidup berbagai suku dan daerah yang
berasal dari dalam maupun luar Provinsi Sumatera Selatan, antara
lain Jawa, Sunda, Minang, Bugis, China, Arab, Komering, Ogan,
Lahat, Pasemah, penduduk asli Melayu Palembang dan lain
1 BPS Kota Palembang, Palembang dalam Angka (Palembang In Figure)
2012.
B
78 Potret Masyarakat Palembang
sebagainya yang semuanya itu bersatu dalam satu simpul harmonis
dengan bahasa Palembang sebagai mata rantai pengikat dari setiap
suku dan budaya yang ada.
Penduduk Palembang termasuk dalam etnis Melayu
sehingga Bahasa Melayu menjadi bahasa ibu di daerah ini. Bahasa
Melayu ini kemudian telah disesuaikan dengan dialek setempat
dan kini dikenal sebagai Bahasa Palembang. Namun para
pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai
bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi,
Pasemah, dan Semendo. Pendatang dari luar Sumatera Selatan pun
kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sendiri
sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas
kedaerahannya. Akan tetapi, untuk berkomunikasi dengan warga
Palembang lainnya, penduduk umumnya menggunakan bahasa
Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk
asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga
keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan
Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang
adalah Tionghoa, Arab dan India. Kota Palembang juga memiliki
beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas
seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas
Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf,
Kampung Al Habsyi, Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan
Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10 Ilir yang merupakan
wilayah Komunitas Arab.
Asal usul nama Palembang lahir tepatnya belum dapat
diperkirakan. Apakah nama Palembang lahir sejak Sriwijaya
runtuh atau sebaliknya nama Palembang lahir lebih dahulu
sebelum nama Sriwijaya lahir sehingga nama Palembang pun
banyak memiliki arti. Menurut R.J.Wilkinson2 dalam kamusnya A Malay English Dictionary: lembang adalah tanah yang berlekuk,
tanah yang rendah, akar yang membengkak karena terendam lama
di dalam air. Sedangkan menurut cerita pemuka-pemuka adat, kata
Palembang berasal dari kata limbang yang artinya memisahkan
2 Dalam Djohan Hanafiah, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah
Palembang, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 15.
Potret Masyarakat Palembang 79
atau mencuci dalam air untuk mengambil sesuatu, dalam hal ini
logam mas dari dalam lumpur sungai. Arti Pa atau Pe menunjukkan keadaan atau tempat. Menurut cerita masyarakat
setempat, dulu penduduk kota Palembang mempunyai mata
pencaharian melimbang emas, terutama di sekitar Muara Ogan
Kertapati. Tempat inilah yang kemudian disebut Palimbang yang
kemudian berubah menjadi Palembang yang kini dipakai menjadi
nama ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya berdasarkan
kronik Tiongkok terdapat nama Pa-lin-fong dalam buku Chu-fan-chi, yang ditulis pada tahun 1225 oleh Chau-Ju-Kua, dan nama ini
dirujuk sebagai Palembang.3
Menurut sejarahnya, Kota Palembang bermula dari
kerajaan Sriwijaya yang ada pada tahun 450 M dan mencapai
puncak kejayaannya pada tahun 550 M dan berhasil mendominasi
Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9. Kerajaan
Sriwijaya terus berkembang hingga hampir meliputi seluruh
wilayah Nusantara bahkan sampai keluar negeri. Sejarah
Palembang yang pernah menjadi ibu kota kerajaan bahari Buddha
terbesar di Asia Tenggara pada saat itu membuat kota ini dikenal
dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Bukti-bukti adanya suatu
kerajaan besar tersebut adalah dengan adanya beberapa prasasti
yang ditemukan. Prasasti tersebut antara lain Prasasti Kedukan
Bukit yang bertarikh 11 bulan Wai caka tahun 605 atau 683 M.
Batu ini merupakan prasasti yang mengandung kata-kata Dapunta
Hiyang Sidhyarta dan termasuk batu tertulis berangka tertua di
Indonesia. Prasasti lain yang ditemukan juga adalah Prasasti
Talang Tuo yang ditemukan di dekat Bukit Siguntang. Namanya
Dapunta Hijang Djajanaga Criksetra yang tujuannya adalah
mengatur kesejahteraan dan kemakmuran seluruh makhluk hingga
tidak terdapat orang yang buta huruf. Selain itu ada juga prasasti
Sabokingking di 2 Ilir Palembang yang berbentuk telapak kaki dan
pinggiran atas berbentuk kepala ular kobra yang berbahasa Melayu
kuno. Namun, adanya penghancuran bangunan-bangunan
Sriwijaya oleh pasukan Lie Tao Ming dan jatuhnya Kerajaan
Sriwijaya, Palembang yang tadinya hanya merupakan sarang
3 Djohan, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang , 20.
80 Potret Masyarakat Palembang
penyamun, pada abad ke-16 M berdiri kerajaan Islam yang dikenal
dengan Kesultanan Palembang.4
Terkenal dengan berbagai kekhasan budaya dan latar
belakang sejarah yang panjang melalui suku, adat dan agama yang
beragam, Kota Palembang terbelah menjadi dua pemukiman oleh
Sungai Musi, yang menjadi salah satu ciri khas serta merupakan
salah satu sungai yang terbesar di Provinsi Sumatera Selatan,
yaitu daerah Ilir dan daerah Ulu. Tak hanya itu, sebagai salah satu
kota terbesar di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat Palembang
memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.481.814 jiwa5 dengan
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 741.356 jiwa dan perempuan
sebesar 740.458 jiwa. Rasio jenis kelamin di Kota Palembang pada
tahun 2011 sebesar 100,12 persen yang berarti jumlah penduduk
laki-laki lebih besar dibanding dengan jumlah penduduk
perempuan. Sedangkan untuk jumlah penduduk Kota Palembang
menurut agama yang dianut pada tahun 2011 sebanyak 1.354.586
jiwa menganut agama Islam, 16.884 jiwa beragama Katolik,
28.724 jiwa beragama Kristen Protestan, 792 jiwa beragama
Hindu, 49.638 beragama Buddha, dan 533 beragama Kong Hu
Chu.6 Namun, keberagaman yang ada dalam masyarakat tetap
membuat Kota Palembang berada dalam harmonisasi sosial dan
tidak memicu terjadinya konflik sosial antar masyarakat meskipun
4 Bappeda & BPS Kota Palembang, Monografi Kota Palembang, 14.
Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. Lihat
KHO. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. Lihat juga Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. 1998. Jakarta: Logos. Lebih lanjut lihat
Taufik Abdullah. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. 1987.
Jakarta: LP3ES. Selain itu lihat juga Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional. 1985. 5 Jumlah penduduk Palembang pun mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Tercatat pada Januari 2013, jumlah penduduk Palembang mencapai
1.703.740 jiwa dengan rasio penduduk laki-laki sebanyak 868.197 jiwa dan
jumlah penduduk perempuan sebanyak 840.216 jiwa. 6 BPS Kota Palembang. Palembang Dalam Angka 2011.
Potret Masyarakat Palembang 81
perubahan demi perubahan terjadi di sini. Kehidupan sosial
keagamaan dijaga dengan baik. Agama yang lebih dahulu
berkembang dihormati dengan sebenarnya, seperti tampak pada
diperbolehkannya berdiri bangunan-bangunan tempat ibadah selain
masjid. Penganut agama Buddha, Hindu dan Khong Fucu
dihormati. Tempat-tempat ibadah mereka berdiri dengan
megahnya yang sampai kini bisa dilihat di kawasan 10 Ulu dan
Pulau Kemaro Palembang.
B. Sistem Stratifikasi Masyarakat Palembang
Sifat sistem stratifikasi di dalam suatu masyarakat dapat
bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification).7 Sistem lapisan yang bersifat tertutup
membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke
lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke
bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk
menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran.
Sebaliknya di dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat
mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri
untuk naik lapisan. Atau, bagi mereka yang tidak beruntung jatuh
dari lapisan yang atas ke lapisan di bawahnya. Pada umumnya
sistem terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada
setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan
masyarakat daripada sistem yang tertutup. Kedua sifat stratifikasi
sosial ini terdapat pada masyarakat Palembang. Sistem stratifikasi
sosial masyarakat Palembang yang bersifat tertutup dapat dilihat
secara historis dari sistem gelar yang ada di wilayah ini. Gelar
hanya didapat atas dasar kelahiran dan diturunkan secara
patrilineal. Kedudukan orang-orang yang memiliki gelar disebut
sebagai ascribed status, yaitu hanya orang-orang tertentu yang
memiliki gelar yang bisa berada dalam sistem stratifikasi. Namun,
sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi
maka stratifikasi sosial sekarang adalah kemampuan atau peranan
7 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali. 2012),
202. Lihat juga Vincent Jeffries dan Edward Ransford, Social Stratification: A Multiple Hierarchy Approach, (USA: Allyn and Bacon, Inc, 1980), 155.
82 Potret Masyarakat Palembang
seseorang atau didasarkan kepada status dan peranan seseorang
dalam masyarakat, dapat berupa ilmunya, kekayaan atau
peranannya di lingkungan sekitar. Pelapisan masyarakat seperti ini
disebut stratifikasi sosial yang bersifat terbuka dan disebut sebagai
achieved status. Selain itu kadang-kadang dibedakan lagi satu
macam kedudukan, yaitu assigned status yang merupakan
kedudukan yang diberikan.8
Secara historis, sistem stratifikasi Palembang berdasarkan
jumlah penduduk pada saat itu dapatlah dibagi dalam tiga
golongan besar: golongan priyayi dan pengeran yang berasal dari
keluarga sultan, golongan pedagang yang terdiri dari orang-orang
Palembang, orang Arab, orang Cina dan India, dan rakyat biasa.
Pada zaman Kesultanan Palembang abad ke-19, penduduk ibukota
sebagai pusat konsentrasi pemerintahan kesultanan berjumlah +
53.788 jiwa yang terdiri dari 242 orang Eropa, 46.870 penduduk
bumiputera, 4.726 orang China, 1.825 orang arab dan 126 orang
keturunan India Keling. Pada saat itu Palembang sebagai bekas
ibukota kesultanan yang dibangun oleh sekelompok aristokrasi
yang berasal dari Demak, pernah berkembang menjadi kerajaan
yang cukup besar. Kerajaan seperti ini, tidak memiliki basis
agraris, di mana pengawasan terhadap pelayaran dan perdagangan
merupakan sendi-sendi kekuasaan, yang memungkinkan kerajaan
ini memperoleh penghasilan yang cukup besar. Perdagangan yang
menjadi basis kekuasaan politik dan hubungan yang tetap dengan
orang-orang asing, telah meninggalkan pula jejak-jejaknya pada
struktur sosial masyarakat di daerah ini. Oleh karena itu penduduk
yang mendiami kota sebagai bekas pusat konsentrasi pemerintah
kesultanan, menunjukkan adanya struktur yang bersifat vertikal
dan horizontal, di mana komunitas politik sebagai titik sentral
terciptanya penggolongan-penggolongan masyarakat berdasarkan
status. 9
8 Soekanto, 211. Lebih lanjut lihat Pitirim A. Sorokin, Social and
Cultural Mobility (London: The Free Press of Glencoe, 1959). 9 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan
Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah
Potret Masyarakat Palembang 83
Seperti lazimnya masyarakat tradisional di Indonesia,
masyarakat di daerah ini terdiri dari kelompok-kelompok
masyarakat menurut suku, menurut kepercayaan, menurut
pekerjaan, dan menurut struktur sosial-politik. Dalam hubungan
ini dapat dibedakan antara masyarakat yang tinggal di pusat
kerajaan dengan masyarakat yang tinggal di daerah Uluan yang
belum begitu banyak mendapat pengaruh dari luar. Palembang
sebagai bekas kerajaan tradisional, masyarakatnya lebih banyak
seluk beluknya daripada masyarakat modern sekarang ini. Oleh
sebab itu baik masyarakat pedusunan maupun di pusat kerajaan,
dapat dibagi atas dua golongan besar, yaitu: golongan penguasa
dan golongan yang diperintah. Struktur teritorial kesultanan
bertalian dengan kepercayaan yang bersifat kosmopolitan, yang
merupakan prototip daripada sifat kedaerahan yang pernah
dikuasai oleh Sultan Palembang. Ibukota sebagai tempat kediaman
sultan terletak jauh dari daerah sekitarnya seperti daerah Musi,
Pasemah, Komering dan lain sebagainya. Daerah-daerah tersebut
dipimpin oleh anggota keluarga raja atau orang-orang tertentu
yang disayang oleh raja.10
Dalam struktur politik ini, kaum ningrat menduduki tempat
yang tertinggi dalam tata urutan sosial. Di lingkungan keraton,
lapisan atas aristokrasi dibentuk oleh golongan priyayi, yang
terdiri atas keturunan raja dengan gelar pangeran dan raden. Sebagai imbangan politik kaum ningrat, raja Palembang
menciptakan jabatan bangsawan sendiri, yang secara kolektif
dikenal sebagai para mantri. Dalam golongan ini dapat diangkat
orang dari semua lapisan penduduk sesuai keinginan sultan,
dengan satu-satunya syarat bahwa mantri harus beragama Islam.
Nasib mantri sama sekali tergantung dari kebaikan sultan sebagai
pelindungnya, sehingga raja lebih suka memilih calon dari
golongan ini untuk memangku jabatan penting. Golongan mantri
dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
1985), 81. 10 J.I. Sevenhoven, dalam Jeroen Peeters, Kaum Tuo – Kaum Mudo:
Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Diterjemahkan oleh Sutan
Maimoen, (Jakarta: INIS, 1997), 25-26.
84 Potret Masyarakat Palembang
dibagi menurut status ibu mereka. Dalam hierarki sosial, tempat
pertama diduduki oleh bangsawan yang berasal dari perkawinan
priyayi dengan wanita dari golongan mantri. Golongan ini dengan
gelar masagus sebenarnya merupakan kategori yang tersendiri.
Meskipun para masagus berasal dari lingkungan priyayi, status
mereka tetap di bawah raden, dan dalam pergaulan sehari-hari
status mereka lebih mendekati para mantri. Di bawah masagus terdapat lapisan kemas, yang berasal dari perkawinan kedua
pasangan dari golongan mantri. Pangkat bangsawan yang lebih
rendah lagi ialah kiagus, yang berasal dari perkawinan kemas dengan wanita rakyat biasa.11
Mengganti gelar yang dimiliki oleh kaum wanita dari
golongan priyayi, yaitu istri sultan lazim disebut ratu. Anak-anak
perempuan dari pangeran dan raden disebut raden ayu dan anak-
anak perempuan dari golongan masagus disebut masayu. Anak-
anak perempuan dari lapisan kemas diberi gelar nyimas, dan anak-
anak perempuan dari lapisan kiagus diberi gelar nyiayu. Mengingat
golongan feodal ini hidup dalam masyarakat kota, yang sebagian
besar berkecimpung dalam dunia dagang dan peranan uang turut
menentukan harga diri seseorang, di mana kesenjangan tidak
begitu tajam antar kelompok, maka gelar-gelar yang merupakan
hiasan teoritis itu secara demokratis dipanggil dengan istilah “cek”
yang berasal dari kata “encik” (panggilan terhadap laki-laki
berdasarkan kedudukannya yang sedang). Gelar-gelar tersebut
bersifat ascribed status di mana hanya diturunkan secara
patrilineal. Apabila seorang perempuan yang bergelar menikah
dengan pria dari lapisan sosial rakyat biasa maka secara otomatis
anaknya tidak mendapatkan gelar apapun.12
Assigned status yang diberikan secara pribadi oleh sultan
kepada priyayi pilihan, biasanya memperoleh tanah sebagai
11 Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di
Palembang 1821-1942, 9. 12 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan
Industri. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
1985), 83.
Potret Masyarakat Palembang 85
sumber penghasilannya dan berperan sebagai penguasa tradisional
di daerah pedalaman (kepala marga atau dusun) dan
mempergunakan kekuasaannya untuk mengambil dan mengatur
produksi dari marga dusun yang dikuasainya.13 Assigned status juga diberikan untuk posisi fungsional agama dalam lapangan
pemerintahan pada zaman kesultanan yang nampaknya lebih
menonjol daripada golongan yang lain berdasarkan status. Sebagai
kepala agama ia diberi gelar Pangeran Penghulu Nata Agama,
yang pada zaman kesultanan biasanya berasal dari keluarga sultan.
Pada golongan ulama (golongan agama Islam) kedudukannya sama
dengan golongan pangeran, bahkan dalam trilogi pemerintahan
kesultanan terdapat unsur pemerintahan, agama dan pengadilan
raja (Koningsrecht).14 Golongan yang termasuk kelompok dagang terdiri atas
penduduk pribumi dan orang asing seperti: orang Arab, India, dan
Cina.15 Di samping orang Palembang, banyak sekali turunan Arab
13 Hasil produksi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hasil-hasil
saja, tetapi juga menyangkut konsumsi keraton seperti: kayu bakar, kayu balok
untuk perahu, bahan makanan dan laskar-laskar yang memiliki perlengkapan
perang. Dalam hal ini nampak bentuk terlihat betapa penting peranan dan fungsi
mereka sebagai pembantu sultan dalam keadaan yang sangat diperlukan.
Dengan kata lain mereka merupakan agen-agen sultan di daerah. 14 Ulama menduduki tempat khusus dalam sistem pemerintahan
tradisional, sehingga wewenang penguasa selalu dikaitkan dengan unsur agama
(Islam) atau sekurang-kurangnya tokoh agama sebagai tangan kanan penguasa.
Fenomena budaya ini nampak jelas, setelah agama Islam diakui sebagai agama
resmi dalam sistem Kesultanan Palembang. Para pangeran penghulu bekerja di
pengadilan khusus dengan dibantu oleh para khatib atau ulama-ulama tingkat
rendah dalam menjalankan tugas pemerintah. Segala perkara yang berhubungan
dengan perkawinan, kematian, tempat ibadah, kelahiran dan kejahatan
penduduk terhadap agama, ditangani oleh lembaga ini berdasarkan hukum
Islam. Jeroen Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 10.
15 Biasanya orang-orang asing membentuk daerah perkampungan
tersendiri, kecuali orang-orang Cina yang bertempat tinggal di rakit-rakit di tepi
sungai. Memang sejak semula orang-orang Cina walaupun mereka sudah
memeluk agama Islam, tidak banyak diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam mempertahankan negara di daerah ini, karena kepatuhannya sangat
diragukan. Lain halnya orang Arab atau India yang oleh sultan sering diberi
86 Potret Masyarakat Palembang
dan Cina yang diberi ascribed status oleh sultan Palembang.
Orang-orang asing yang dimaksudkan itu mendapat perlakuan
yang sama dengan penduduk lainnya, bahkan ada di antara orang-
orang Cina yang memeluk agama Islam diberi gelar Demang (anak
laki-laki dari Demang diberi gelar Baba dan anak perempuannya
diberi gelar nona ayu) dan orang-orang Arab diberi gelar Pangeran
oleh sultan. Itulah sebabnya pemberian gelar itu tidak hanya
terbatas pada kerabat raja saja, tetapi dapat pula diberikan kepada
siapa saja yang menurut pertimbangan penguasa berjasa kepada
keraton, seperti kebiasaan yang berlaku dalam kerajaan Mataram.
Golongan yang termasuk rakyat biasa, yang jumlahnya
jauh lebih besar dari golongan priyayi, diharuskan ikut serta dalam
pekerjaan-pekerjaan tertentu pada alingan raja atau bangsawan.
Golongan rakyat ini terbagi lagi dalam beberapa strata, yaitu
orang-orang Miji, Senan dan orang-orang Cili.16 Golongan ini
bertugas untuk mengabdi kepada Sultan sebagai bentuk atas
diberikannya dispensasi sosial oleh Sultan kepada mereka.
tempat tertentu di antara pemukiman penduduk pribumi, bahkan tidak sedikit
orang Arab yang aktif mempertahankan daerah ini di masa Sultan Mahmud
Badaruddin II berkuasa. 16 Orang-orang Miji (kepala keluarga) yang tinggal di dalam kota
dipersamakan kedudukannya dengan rakyat di daerah Uluan yang tidak
dikenakan pajak. Dispensasi yang dimiliki oleh mereka ini, karena mereka itu
sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh penguasa (sultan) memikul tanggung awab
sebagai laskar untuk berperang atau dapat dipekerjakan dalam hal-hal yang
sangat diperlukan. Sejauh mana hubungan mereka dengan alingannya (raja
bangsawan), menunjukkan hubungan yang tidak terlalu terikat dalam arti
mereka bebas memilih tuannya sebagai pelindung. Sebaliknya orang-orang
Senan yang dianggap lebih rendah daripada orang Miji, secara riil golongan ini
dimonopoli oleh raja tanpa dikenakan pajak. Tugas mereka mengabdi kepada
raja seperti membuat perahu sampan, tukang dayung, memperbaiki istana dan
lain-lain. Sedangkan orang-orang yang menggadaikan diri karena hutang
piutang atau melanggar adat dan golongan budak belian yang sebagian besar
termasuk golongan cili, secara kultural merupakan strata sosial yang paling
rendah dalam kelompok rakyat biasa. Mereka dilarang berhubungan dengan
golongan ningrat dan hubungannya terbatas pada orang tuannya atau orang
yang membelinya. Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri, 84
Potret Masyarakat Palembang 87
Terdapat suatu sistem distribusi simbol-simbol sosial yang
memungkinkan para bangsawan membedakan gaya hidup mereka
dari rakyat biasa sampai detail-detail yang kecil. Van Sevenhoven
dalam sketsanya tentang Palembang misalnya mencatat bahwa
hanya sang raja berhak untuk mendiami gedung terbuat dari batu,
sedangkan anggota ningrat lain menikmati hak istimewa untuk
mendiami rumah yang dibangun dengan jenis kayu yang mahal
seperti kayu besi dan tembesu.17
Namun, direbutnya keraton oleh pasukan Belanda pada
tahun 1821, tidak saja mempunyai dampak politik, tetapi juga
mempunyai implikasi yang kuat untuk kebudayaan keraton
Palembang. Pertama- tama, jatuhnya kesultanan juga
mengakibatkan keruntuhan istana secara fisik.18 Setelah
pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintahan kolonial, perlahan-
lahan mulai diberlakukan proses mobilisasi sosial bagi kaum
ningrat yang tidak dapat dielakkan. Hubungan vertikal ini diakhiri
secara resmi pada tahun 1824, waktu pembagian dalam kelompok
sosial seperti miji (kepala keluarga) dan alingan (anggota keluarga
dan pelindung) dihapuskan oleh pemerintah kolonial, dan
kemudian diganti dengan pembayaran pensiun yang diberikan
kepada sebagian kecil kaum ningrat. Dengan demikian hilang pula
dasar material dan fisik untuk kekuasaan kaum ningrat, yang tidak
mampu lagi memberikan bantuan materiil dan perlindungan politik
17 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang
1821-1942, 10 18 Ketika Mayor Jenderal De Kock berhasil menduduki keraton pada
bulan juni 1821, istana kerajaan langsung dimanfaatkan sebagai kediaman
komisaris Belanda serta stafnya. Kemudian diambil kangkah untuk
mentransformasikan keraton menjadi pusat kekuasaan kolonial. Dengan
pembongkaran istana, lenyap pula kebudayaan keraton. Korban pertama dari
perkembangan ini ialah pengetahuan bahasa dan sastra Jawa di kalangan
priyayi. Sesudah keraton atuh, tidak ada alasan lagi untuk memakai bahasa
Jawa sebagai bahasa etiket dan seremoni, dan dengan pengasingan Sultan
Mahmud Badaruddin, menghilang pula pelindung utama sastra Jawa. Peeters,
Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, 12
88 Potret Masyarakat Palembang
kepada pengikut mereka. Kaum priyayi ini pun jatuh miskin dan
mati-matian berusaha memelihara kedudukan sosial mereka.19
Kelas sosial yang dikenal dalam masyarakat Palembang
asli, berdasarkan status dan pokok pangkal posisi fungsional pada
struktur sosial yang ada, maka posisi fungsional memiliki berbagai
fungsi seperti: fungsi politik, fungsi militer, fungsi agama dan
ekonomi. Dalam membicarakan sistem status pada masyarakat
Palembang, secara mutlak tidak dapat diterapkan beberapa definisi
yang berhubungan dengan pengertian status yang ada. Diferensiasi
dan stratifikasi sosial yang ada di daerah ini, agaknya lebih
sederhana daripada stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat
industri. Peranan sosial dan status yang tergambar dalam
masyarakat di daerah ini adalah suatu fenomena kultural.
Namun masyarakat Palembang yang mengenal berbagai
strata sosial dalam lingkungan feodal pada zaman keemasaannya
barangkali sudah tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan
sekarang hanya terbatas pada sebutan gelar saja tanpa ada makna
fungsional. Mobilitas antar lapisan di kalangan masyarakat yang
terjadi di dalam kota akhir-akhir ini menunjukkan tidak adanya
rintangan antar golongan penguasa dengan golongan yang
dikuasai, antara golongan berpendidikan dengan golongan agamis,
kecuali proses pembauran itu masih dianggap tabu di kalangan
penduduk dengan orang-orang Cina. Pembauran dengan Cina di
daerah ini sangat langka, mungkin salah satu faktor yang
menyebabkan adalah faktor religius yang berakar pada tradisi
rakyat yang kompleks. Pelapisan masyarakat yang berdasarkan
status, nampaknya sedang mengalami transformasi, sebagai akibat
perkembangan yang pesat di bidang pendidikan dan pengajaran.
Sementara itu pula stratifikasi sosial yang baru dan condong untuk
berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem
birokrasi kepegawaian, atau atas dasar pendidikan sekolah belum
lagi mendapat wujud yang mantap.
19 Peeters, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang
1821-1942, 14
Potret Masyarakat Palembang 89
Bagan 1. Struktur Stratifikasi di Palembang Pada Masa
Kesultanan Palembang Darussalam20
Keterangan:
: Golongan Priyayi
: Golongan Pedagang
: Golongan Rakyat
: Assigned Status21
20 Bagan ini peneliti buat berdasarkan deskripsi naratif Peeters dalam
bukunya “Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942” mengenai sistem stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Palembang
pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam.
Cina
Arab
Demang
Pangeran
Pangeran
Kiagus
Sultan
Raden
Masagus
♂ Raden + ♀ Mantri
Mantri
Kemas
♂ Mantri + ♀ Mantri
Kiagus Demang
Demang
Pangeran Arab
Cina
Kemas
♂ Mantri + ♀ Rakyat Pribumi
Palembang
Miji
Senan
Cili
90 Potret Masyarakat Palembang
Stratifikasi sosial pada masyarakat Palembang telah
mengalami transformasi, setelah Belanda menduduki Kota
Palembang, stratifikasi masyarakat pun menjadi tidak bernilai lagi
dan yang ada hanya golongan penjajah dan yang dijajah. Namun,
setelah Belanda keluar dari tanah Palembang, sifat stratifikasi
masyarakat Palembang pun mulai terbuka. Sistem stratifikasi yang
tadinya tertutup (ascribed status) di mana status hanya dimiliki
oleh orang-orang berketurunan tertentu, yang ditandai dengan
gelar Pangeran, Raden, Kemas, Masagus, dan Kiagus, tidak
memiliki kekuatan fungsional tertentu untuk saat ini. Meskipun
demikian, gelar-gelar ini masih dilestarikan oleh masyarakat
Palembang. Sistem stratifikasi terbuka memberikan peluang bagi
usaha orang-orang untuk meningkatkan status sosialnya atau
malah menjatuhkan status sosialnya. Stratifikasi sosial pada saat
ini lebih merupakan usaha yang didapat baik berupa kekayaan,
jabatan, pendidikan maupun kehormatan. Orang-orang yang
berada pada strata atas biasanya ditandai dengan memiliki
pendidikan yang tinggi, kekayaan yang mewah, dan jabatan yang
tinggi. Selain itu dapat juga dilihat dari gaya hidup mereka mulai
dari cara berpakaian dan bergaul.
Sistem stratifikasi yang nampak saat ini berupa adanya
class systems22 yang ada di kota Palembang. Class systems ini
21 Assigned Status merupakan gelar pemberian yang diberikan oleh
Sultan kepada orang-orang yang dipilih. Dalam hal ini, Sultan memberikan
gelar kepada para pendatang, seperti pendatang Arab yang diberi gelar Pangeran
dan gelar Demang yang diberikan kepada pendatang Cina. Selain itu Sultan uga
memberikan gelar kehormatan kepada orang-orang pribumi dengan gelar
Kiagus. Orang-orang ini memiliki tugas sebagai pengawas di daerah-daerah
(dusun). 22 Istilah kelas tidak selalu mempunyai arti yang sama, walaupun pada
hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedukan yang pokokdalam
masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam masyarakat inilah yang disebut
class systems. Artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan
mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Joseph Schumpeter
mengatakan bahwa kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk karena diperlukan
untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata.
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 205. Lihat juga Joseph Schumpeter, The Problem of Classes, yang dikutip Selo Soemardjan dan Soelaeman, Setangkai
Potret Masyarakat Palembang 91
mempengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing
masyarakat karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat
mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan menjalani
jenis pendidikan atau rekreasi tertentu. Dalam masyarakat
Palembang perbedaan tersebut dapat dilihat dari data mengenai
tingkat kesejahteraan keluarga yang ada di Palembang. Menurut
BKKBN, berdasarkan UU No.10 Tahun 1992, indikator tingkat
kesejahteraan keluarga terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu keluarga
pra sejahtera, sejahtera tahap I, Sejahtera Tahap II, Sejahtera
Tahap III, dan Sejahtera Tahap III Plus.23
Keluarga Pra Sejahtera (sering dikelompokkan “sangat miskin”) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu
atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai
keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama,
pangan, papan, sandang dan kesehatan. Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap I (dikelompokkan sebagai miskin) adalah
keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal yaitu (1) melaksanakan ibadah menurut agama
oleh masing-masing anggota keluarga; (2) pada umumnya seluruh
anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih; (3) seluruh
anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian; (4) bagian yang terluas dari lantai
rumah bukan dari tanah; dan (5) bila anak sakit atau pasangan usia
subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan.
Indikator berikutnya Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu
keluarga - keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria
keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis
6 sampai 14 yaitu: (6) Anggota Keluarga melaksanakan ibadah
secara teratur; (7) paling kurang, sekali seminggu keluarga
menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk; (8) seluruh
anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru
per tahun; (9) luas lantai rumah paling kurang delapan meter
persegi tiap penghuni rumah; (10) seluruh anggota keluarga dalam
Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), 293.
23 www.bkkbn.go.id
92 Potret Masyarakat Palembang
3 bulan terakhir dalam keadaan sehat; (11) paling kurang 1 (satu)
orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai
penghasilan tetap; (12) seluruh anggota keluarga yang berumur 10-
60 tahun bisa membaca tulisan latin; (13) seluruh anak berusia 5 -
15 tahun bersekolah pada saat ini; dan (14) bila anak hidup 2 atau
lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai
kontrasepsi (kecuali sedang hamil).
Selanjutnya Keluarga Sejahtera Tahap III merupakan
keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula
memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga
yaitu: (15) mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan
agama; (16) sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan
untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga; (17) biasanya
makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu
dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga; (18)
ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya; (19) mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling
kurang 1 kali/6 bulan; (20) dapat memperoleh berita dari surat
kabar/TV/majalah; dan (21) anggota keluarga mampu
menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi
daerah setempat. Indikator terakhir Keluarga Sejahtera Tahap III Plus adalah keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21
dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria
pengembangan keluarganya yaitu: (22) secara teratur atau pada
waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi
kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materiil; dan (23) kepala
Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat.
Potret Masyarakat Palembang 93
Tabel 5. Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera di
Kota Palembang Tahun 201124 No. Keluarga Jumlah
1. Pra Sejahtera 27.919
2. Sejahtera I 95.367
3. Sejahtera II 147.418
4. Sejahtera III 65.227
5. Sejahtera III Plus 5.048
Jumlah 340.979
Berdasarkan data tersebut, kategori Keluarga Pra Sejahtera
dan Sejahtera I merupakan masyarakat yang berada dalam kelas
bawah, sedangkan Keluarga Sejahtera II dan Sejahtera III dapat
digolongkan sebagai kelas menengah dan Keluarga Sejahtera III
Plus sebagai golongan kelas atas. Data tersebut menunjukkan
bahwa 36,15% masyarakat Palembang berada dalam kelas bawah,
62,36% berada dalam kelas menengah dan 1,48% berada dalam
kelas atas. Sehubungan dengan data tersebut, hal ini menunjukkan
bahwa mayoritas masyarakat Kota Palembang termasuk dalam
kategori kelas menengah di mana masyarakat Palembang selain
sudah mampu memenuhi 5 kebutuhan dasar (basic needs) -
pengajaran agama, pangan, papan, sandang, dan kesehatan - dapat
pula memenuhi syarat sosial psikologis.
Pertumbuhan sistem stratifikasi yang terbuka di kalangan
masyarakat Palembang saat ini sangat membuka peluang adanya
mobilisasi secara besar-besaran. Mobilisasi ini pun dapat berupa
perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) yang
membuka peluang bagi penduduk desa untuk bersifat lebih terbuka
dan mendapatkan akses informasi yang lebih baik. Kota
Palembang sebagai salah satu kota metropolitan, membuat
masyarakat desa, khususnya yang berasal dari Uluan tertarik untuk
menetap di daerah Iliran ini. Adanya mobilisasi ini mengakibatkan
terjadinya transformasi strata dari yang tadinya berada di strata
bawah kemudian meningkat menjadi strata menengah.
Perkembangan strata menengah ini pun berperan aktif dalam
24 Sumber: BPS Kota Palembang, Palembang Dalam Angka 2011.
94 Potret Masyarakat Palembang
memotori perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Menurut
Fachran Bulkin, kelas menengah25 di Indonesia merupakan
kelompok sosial yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa,
pemimpin surat kabar, pengusaha dan pedagang, serta kelompok
profesional lainnya.26
C. Perkembangan Sistem Kepercayaan Masyarakat
Palembang
1) Kehidupan Pra-Islam di Palembang Berdasarkan letak dan keadaan lingkungan geografis kota
Palembang, yaitu banyaknya anak-anak sungai yang melintasi
pusat perkampungan di dalam kota yang oleh penduduk dipakai
sebagai jalur lalu lintas antar kampung, maka sedikit banyaknya
akan mempengaruhi perilaku penduduk kota yang menampilkan
budaya majemuk bertumbuh dan berkembang dengan segala
macam pemilikan tradisi masa lampaunya dan proses adaptasi
sosialnya terhadap penerimaan hal-hal baru yang berasal dari luar,
menunjukkan penduduk kota jauh lebih dinamis daripada
masyarakat pedusunan.27
25 Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah adalah mereka dengan
pengeluaran harian per kapita antara US$2 hingga US$20. Namun, kelas
menengah Indonesia masih didominasi kelas menengah rendah, yaitu mereka
yang pengeluaran harian per kapita sebesar US$2–4. Berdasarkan analisis
McKinsey Global Institute, kelas menengah Indonesia umumnya berprofesi
sebagai profesional dalam sektor perbankan, rekayasa rancang bangun,
akuntansi, dan lainnya, yang kemampuan mereka sangat dibutuhkan untuk
menggerakkan perekonomian. Selain profesi tersebut, ada hipotesis bahwa
kenaikan kelas menengah Indonesia ini didukung kuat oleh naiknya tunjangan
bagi PNS khususnya guru dengan sertifikasinya. Pada tahun 2012 lebih kurang
dari 60% penduduk Indonesia akan mempunyai pendapatan lebih dari US$3.000
per tahun. Hal ini didukung oleh fakta bahwa konsumerisme meningkat dari
tahun ke tahun, masyarakat cenderung konsumtif dalam berbagai bidang
kehidupan. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas-
menengah-di-indonesia-493650.html 26 Faisal Siagian, Kelas Menengah Digugat, 145. 27 Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan
Industri, 84
Potret Masyarakat Palembang 95
Palembang merupakan ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.
Keberhasilan raja-raja Sriwijaya dalam menguasai kepulauan
Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-
7 hingga abad ke-9, turut serta mengembangkan kebudayaannya di
Nusantara. Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya
menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Salah satunya adalah It-Sing dari Tiongkok yang mampir dahulu
ke Palembang selama 6 bulan untuk kemudian melanjutkan
perjalanannya ke India. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di
Sriwijaya, dengan Mahagurunya yang terkenal Dharmapala.
Namun, sebelum Buddha berkembang, Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi oleh budaya Hindu dari India. Perkembangan agama
Buddha di tanah Swarnadwipa ini dapat dibuktikan dengan
dibangunnya tempat pemujaan agama Buddha di Ligor,
Thailand.28 Namun sayangnya, peninggalan-peninggalan
kebesaran zaman Buddha tersebut sudah tidak ada lagi dan hanya
meninggalkan prasasti-prasasti sebagai bukti berkembangnya
ajaran tersebut.
Runtuhnya kerajaan Sriwijaya menjadikan Palembang
berada pada titik kemerosotan. Penulis Belanda menyebutkan
bahwa di abad ke-15 dan 16 sebagai masa gelap sejarah
Palembang, karena mereka tidak mendapatkan catatan tentang
sejarah Palembang kurun waktu tersebut. Sebaliknya penduduk
setempat mempunyai catatan historiografi tradisional mereka baik
yang tercatat di atas lontar ataupun potongan bambu bahkan cerita
tutur. Menurut Raymond Williams29 historiografi tradisional pada
umumnya memperlihatkan apa yang disebut the myth of concern, yang berfungsi bagi kemantapan nilai dan taat. Keseimbangan dan
kewajaran kosmos adalah tujuan utama. Dengan demikian
historiografi tradisional harus selalu memberikan kesahan bagi
struktur yang selalu mendukung tuntutan kultural. Struktur
tersebut bisa diwakili oleh raja, bangsawan, atau kelas pemelihara,
28 Lebih lanjut lihat Slamet Muljana, Sriwijaya, Yogyakarta: LkiS. 2006. 29 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah
Mada Univ. Press, 1986), 23.
96 Potret Masyarakat Palembang
atau semua, yang penting ialah kemantapan kosmos. Bagi daerah
Sumatera Selatan umumnya struktur ini diwakili dengan tokoh
puyang, tokoh nenek moyang, pendiri suku, wilayah dam
kekuasaan setempat. Tokoh puyang ini dalam cerita tutur dan
catatan setempat menjadi mitos dan legenda setempat. Menurut O.
W. Wolters, tokoh puyang tidak hanya ada di Sumatera Selatan,
tetapi juga merupakan kebudayaan Asia Tenggara. Menurutnya,
kepemimpinan dari big men atau mempergunakan terminologi O.
W. Walters pilih men of prowess, tergantung dari asalnya yang
luar biasa dari pribadi soul stuff (pemimpin yang berkeahlian dan
berkemampuan penuh dedikasi), tampak dalam penampilan yang
sangat berbeda/istimewa di antara generasinya, teristimewa di
antara kerabatnya. Walaupun demikian, seorang yang mempunyai
identitas spiritual dan kapasitas leadership dapat dimantapkan
apabila para pengikutnya mengakui kelebihan bakat dan
merasakan dekat dengan tokoh ini, adalah merupakan satu
keuntungan, bukan hanya disebabkan mendampinginya yang
mendatangkan hasil material, tapi juga disebabkan hal-hal
spiritualnya. Setelah kematiannya dia sangat dihormati oleh para
pengikutnya. Statusnya sebagai nenek moyang dan tempatnya di
daerah-daerah seperti pedalaman, dapat memberikan tambahan
identitas pada pemukiman itu.30
Pada dasarnya sebelum agama Islam, Kristen, Hindu dan
Buddha masuk ke Palembang, masyarakatnya telah menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Walaupun penduduk asli
Palembang telah memeluk agama Islam sejak lama, namun masih
nampak adanya sisa-sisa sistem religi (kepercayaan) yang asli dari
zaman sebelum masyarakat memeluk agama Islam. Sisa-sisa religi
itu dapat dilihat dari tingkah laku dalam proses penyembuhan
penyakit yang menimpa keluarganya. Mereka lebih banyak
berorientasi pada dukun, melakukan sesajen di atas kuburan
tertentu, memegang teguh larangan-larangan (pemali) dalam
lingkaran hidup dan lain-lain.
30 Djohan Hanafiah, Melayu Jawa, 8 Lihat O. W. Wolters, History,
Culture, and Region in Southeast Asian Perspective, (Singapore: ISAS, 1982),
6-7.
Potret Masyarakat Palembang 97
Masyarakat pedusunan di Palembang lebih bersifat agraris-
tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat Palembang,
sehingga mereka nampaknya masih belum mau melepaskan sama
sekali tradisinya. Meskipun proses interaksi antar masyarakat
maupun antara masyarakat dengan lingkungan alamnya terus
berlangsung, pada dasarnya penduduk asli pedusunan belum begitu
banyak mempergunakan ilmu pengetahuan dalam memecahkan
suatu permasalahan hidup. Mereka masih mengikuti cara-cara
lama, di mana unsur agama dan kepercayaan setempat telah
mencampuri segala aspek kehidupan di kampung-kampung dan
telah memberikan warna yang jelas dalam kehidupan sosial-
kultural. Agama yang dianut oleh penduduk kota adalah agama
Islam yang telah berkembang pesat semenjak agama itu diakui
oleh Kesultanan Palembang sebagai agama resmi. Disamping itu,
terdapat pula golongan minoritas asing yang memiliki kepercayaan
lain dari golongan mayoritas penduduk.
2) Islamisasi di Kota Palembang Berdasarkan sumber-sumber Arab dan China, pada abad
ke-19 M di Palembang, ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya , telah
terdapat sejumlah Muslim pribumi di kalangan penduduk kerajaan.
Ini merupakan konsekuensi dari interaksi antara penduduk
Sriwijaya dengan kaum muslimin Timur Tengah yang sudah
berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun Sriwijaya
merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia
merupakan kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk muslim tetap
dihargai hak-haknya sebagai warga kerajaan sehingga sebagian
dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang perdagangan
tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan.
Sejumlah warga muslim telah dikirim oleh pemerintah Sriwijaya
sebagai duta kerajaan baik ke Cina maupun ke Arab.31
Bukti-bukti historis tersebut membantah pendapat
sejarawan terkenal Thomas Arnold yang menyatakan bahwa Islam
31 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), 36-43.
98 Potret Masyarakat Palembang
pertama kali masuk ke Sumatera Selatan dibawa oleh Raden
Rahmat atau Sunan Ampel kira-kira tahun 1440 M. Pendapat ini
juga dibantah oleh Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa Islam
masuk ke Sumatera Selatan lebih dahulu dari Minangkabau,
pedalaman Jawa, dan bahkan Sulawesi Selatan. Sejarawan
Indonesia terkenal ini bahkan menduga bahwa sejak akhir abad ke
15 M, Palembang telah menjadi enklave Islam terpenting di
Nusantara sehingga Raden Fatah yang lahir di awal belajar agama
Islam di Palembang.32
Akan tetapi, tidak banyak diketahui mengenai
perkembangan Islam di Sumatera Selatan sampai menjelang
berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Selama kira-kira
dua abad Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa. Palembang baru resmi menjadi kesultanan yang
berdiri sendiri ketika Raden Tumenggung memproklamasikan
dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman pada tahun 1666 M dan
kemudian mengambil gelar Sultan Jamaluddin 1681 M. Tidak jelas
apakah ini menunjukkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik di
Palembang termasuk lemah atau kuatnya pengaruh kultur Jawa di
Palembang dan lemahnya identitas Melayu Palembang. Namun
yang menarik adalah bahwa sejak Palembang resmi memisahkan
diri dari protektorat Kerajaan Mataram, semakin ditingkatkan
usaha menerapkan hukum Islam di kesultanan. Struktur
Kesultanan Palembang terus disesuaikan dengan ketentuan ajaran
Islam.33
Hasil penelitian Peeters di Palembang memperlihatkan
sejak paruh pertama abad ke-20 (1925-1935), Islam di Palembang
terdikotomis ke dalam dua kubu, yaitu Kaum Tuo (yang mewakili
kaum tradisionalis) dan Kaum Mudo (yang mewakili kaum
reformis).34 Taufik Abdullah berkesimpulan bahwa perkembangan
32 Taufik Abdullah , Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 1987), 206. 33 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19,
dalam buku Islam dan Masyarakat, 202. 34 Lihat penelitian ini dalam Jeroem Peeters, “Kaum Tuo-Kaum Mudo,
Social Religiewze verandering in Palembang, 1821-1942,” diterjemahkan oleh
Potret Masyarakat Palembang 99
Islam di Sumatera Selatan pada periode klasik kesultanan
berlangsung tersendat-sendat tidak hanya karena kecilnya peranan
istana dalam proses tersebut tetapi juga karena ulama sibuk
melayani kebutuhan dan tugas dari istana. Menurut sejarawan ini,
para Sultan Palembang terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan
politik dan ekonomi dengan kesultanan-kesultanan lain dan
pemerintah Hindia Belanda sehingga kesempatan untuk
mengadakan Islamisasi menjadi berkurang. Di samping itu, sultan
juga harus menyelesaikan persoalan kesetiaan daerah pedalaman
yang merupakan daerah sumber ekspor. Ulama pada periode ini
juga tergolong ulama birokrat yang waktu dan pikirannya lebih
tercurahkan pada persoalan-persoalan di istana. Sementara ulama
tidak mempunyai corak hubungan yang intim dengan sultan dan
pengaruh mereka sangat tergantung dengan kemampuannya
meyakinkan sultan.35
Betapapun lambannya perkembangan Islam di Sumatera
Selatan hasil usaha para sultan dan ulama masih nampak dalam
realitas historis. Di samping peningkatan kualitas Islam kultural
maupun politis, Islam menjadi agama yang dianut penduduk di
berbagai daerah di pedalaman Sumatera Selatan. Institusi-institusi
keislaman seperti masjid turut mengalami perkembangan. Dapat
dipastikan bahwa telah ada masjid di Palembang apapun bentuk
dan ukurannya, pada periode awal proses Islamisasi.
Dalam batas-batas tertentu, perkembangan Islam di
Sumatera Selatan zaman kesultanan tidak dapat lepas dari peranan
dan pengaruh ulama. Dalam Islam dan masyarakat muslim
manapun ulama menempati posisi yang sangat penting. Dalam
ajaran Islam kedudukan ulama ditempatkan sebagai warathah al anbi>ya (pewaris para Nabi)36 yang secara historis-sosiologis
Sutan Maimoen dengan judul, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), h. 143
35 Abdullah, Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada Abad ke-19, dalam buku Islam dan Masyarakat, 207-210.
36 Rasulullah SAW bersabda:
ه ب ذ أخ نا ورثوا العلم فممإن امهلم يورثوا دينارا ولا در ءاء، إن الأنبيايلأنبثة اإن العلماء ورظ وافر حب ذفقد أخ
100 Potret Masyarakat Palembang
memiliki otoritas dalam bidang keagamaan. Mereka tidak hanya
sekedar dihormati dan disegani, tetapi gagasan dan pemikiran
keagamaannya dalam berbagai dimensi dipandang sebagai
kebenaran, dipegang dan diikuti secara ketat dan mengikat.
Artinya baik secara teologis maupun secara historis-sosiologis,
ulama merupakan kelompok elit keagamaan yang sangat penting
dan sangat memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.37
Ulama tidak ada catatan yang meyakinkan tentang
kehidupan dan pemikiran ulama Sumatera Selatan hingga awal
abad ke-18 M. Pada abad ini para ulama dan cendikiawan
mendapat dorongan dan perhatian yang besar dari pihak
kesultanan sehingga muncul ulama dan penulis Sumatera Selatan
yang karya-karyanya masih tetap dibaca dan diajarkan di
masyarakat hingga sekarang. Paling tidak, terdapat tiga ulama dan
penulis Sumatera Selatan yang membuktikan kemajuan
perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada abd ke-18, yaitu
Abdus Shamad, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, dan
Kemas Muhammad bin Ahmad.38
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi). Abu> ‘I<sa> at-Tirmidhi>,
Sunan Tirmidhi>, ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut: Da>r al-Gharb
al-Isla>mi>, 1998. 37 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 4. 38 Tidak banyak diketahui tentang kehidupan dua ulama yang disebut
terakhir kali kecuali keterkaitan mereka dengan Tarekat Sammaniyah.
Keduanya menulis biografi dan kekeramatan pendiri tarekat tersebut yakni
Syaikh Muhammad Samman. Adalah Abdus-Shamad, salah satu murid terkenal
Syaikh Muhammad Samman, yang berperan besar dalam penyebaran Tarekat
Sammaniyah di Nusantara terutama melalui karya-karyanya. Mengenai
pemikiran dan kehidupan Abdus-Shamad, terutama tasawuf, jauh lebih jelas
dibandingkan ulama-ulama Sumatera Selatan lainnya. Ulana yang menulis
paling sedikit delapan karya ini adalah seorang tokoh sufi yang berhasil
mengkombinasikan ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi, yang
sebelumnya dipanadang sebagai dua corak tasawuf yang bertentangan. Zulkifli,
Ulama Sumatera Selatan,6. Lebih lanjut lihat H.M. Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Shamad Al-Palimbani. Jakarta: Bulan Bintang. 1985.
Potret Masyarakat Palembang 101
Salah satu ulama yang melanjutkan penyebaran agama
Islam di Sumatera Selatan adalah Masagus Haji Abdul Hamid atau
yang lebih dikenal sebagai Kyai Marogan. Masagus Haji Abdul
Hamid adalah putra seorang bangsawan Palembang yang bernama
Masagus Haji Mahmud bin Kanan al-Palimbani, yang merupakan
salah satu murid Syaikh Abdus Shamad.39 Menurut Gadjahnata,
Kyai Marogan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi sehingga
ia dapat menyerap ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan mudah.
Semasa mudanya, Beliau adalah seorang pengusaha yang sukses di
bidang saw-mill. Bakat pengusaha tersebut mungkin didapat dari
ibunya, seorang wanita Cina bernama Perawati. Kesuksesan
tersebut telah memungkinkannya untuk pulang pergi ke tanah suci
dan banyak berkelana di tanah Arab guna mempelajari berbagai
ilmu agama Islam. Kehadirannya sebagai ulama memang sangat
diperlukan masyarakat Palembang yang, setelah terjadi
peperangan, dikuasai oleh kolonial Belanda. Beliau aktif dan gigih
mengajar, berdakwah dan memberikan bimbingan kepada
masyarakat bahkan hingga ke pelosok desa. Dalam berdakwah,
Beliau menggunakan perahu untuk mencapai pelosok desa dan
membangun masjid sebagai tempat ibadah dan belajar para
muridnya. Kyai Marogan merupakan ulama yang zuhud sehingga
ia sangat dihormati dan menjadi populer di kalangan masyarakat
Sumatera Selatan. Ada tiga faktor yang membuat dirinya populer
pertama, ia mewariskan dua buah karya monumental saat ini yang
masih terpelihara dengan baik yaitu masjid Ki Marogan di daerah
Kertapati Palembang dan masjid Lawang Kidul di 5 Ilir
Palembang. Kedua, semasa hidupnya, ia disebut-sebut banyak
melakukan penyiaran ke daerah-daerah Uluan, suatu aktivitas yang
39 Pada waktu Kyai Marogan lahir (diperkirakan tahun 1812 M),
kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan kolonial
Belanda. Dilahirkan oleh seorang ibu berama Perawati yang keturunan Cina dan
ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alian Kanang, keturunan priyayi atau
ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia,
diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan
Palembang yang bernama susuhan Abdurrahman Candi Walang, Masagus
Fauzan, Sekilas Tentang Ki Marogan, http://kiaimarogan.com/
index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ittemid=26
102 Potret Masyarakat Palembang
membuat dirinya dikenal sampai ke pedalaman, dan ketiga, ia
diyakini sejumlah kalangan masyarakat sebagai ulama yang
memiliki kekeramatan. Bahkan setelah beliau wafat pada usia 89
tahun - pada 17 Rajab 1319H atau 21 Oktober 1901M – makam
Beliau masih ramai diziarahi orang hingga sekarang.40
3) Akulturasi Islam dan Budaya Palembang
Menurut KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, masyarakat Islam mulai terbentuk di beberapa tempat, pada
umumnya terletak di daerah pantai. Di daerah-daerah yang tidak
terjangkau oleh kekuasaan Sriwijaya seperti Aceh lebih mudah
membentuk masyarakat Islam daripada daerah lainnya. Di daerah-
daerah di mana pengaruh Hindu-Buddha terbilang kuat, apalagi di
daerah kekuasaan Sriwijaya, para mubaligh Islam bersikap lebih
luwes. Mereka sangat toleran tetapi tidak mengorbankan prinsip.41
Di daerah-daerah yang belum terpengaruh oleh kebudayaan
Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam, seperti
di Aceh, Banten, dan Kalimantan Barat. Di daerah-daerah yang
pengaruh kebudayaan pra-Islam telah kuat seperti di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, agama Islam bersentuhan dengan unsur-unsur
budaya pra Islam sekaligus menciptakan tatanan kehidupan sosial
budaya yang penuh toleransi, termasuk di Palembang. Proses
akulturasi42 antara agama dan budaya pra-islam dan Islam
40 Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, 20. Lihat juga, KHO. Gadjahnata,
Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI-Press, 1986.
Lihat Abdul Karim Nasution, Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah
Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269. Lihat juga Ahmad,
Memet, Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang: Yayasan Kyai Muara Ogan, 2005.
41 KH. Saifuddin Zuhri dalam tulisan Ali Amin “Sejarah Kesultanan
Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya” dalam KHO.
Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (editor). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. 1986. Jakarta: UI-Press. 70.
42 Menurut Koentjaraningrat akulturasi merupakan proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,
Potret Masyarakat Palembang 103
mengembangkan corak kehidupan keagamaan yang khas.
Misalnya, tradisi pemakaman dengan segala atributnya yang serba
menonjol sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran Islam. Islam juga
tidak mengenal kegiatan perkabungan dalam bentuk
persedekahan.43
Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui
pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan
dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia
dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama.
Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif
terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan
pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering
berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan
kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah44
memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di
Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka,
dan Jawa. Berdasarkan tiga pola penyebaran Islam ini, Taufik
Abdullah, menemukan dua bentuk penerimaan Islam yang
berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pola Pasai
dan Malaka, formasi sosial Islam di dalam kehidupan masyarakat
bersifat lebih integritas. Dengan pola ini terjadilah pengisian-
pengisian terhadap kultur-lokal (integrative tradition). Jelas sekali
bahwa di dalam pola ini terjadi tradisi integratif yang sangat
masif. Sebaliknya, pola Jawa dengan titik fokus pada upaya
penaklukan pusat kerajaan, formasi sosial Islam lebih cenderung
untuk mengembangkan pola dialog. Pola dialog ini biasa disebut
tradition of dialogue.
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), 202. 43 Salleh dalam Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama.
(Bandung: Humaniora. 2011), 59 44 Taufik Abdullah, dalam seminar “Masuk dan Berkembangnya Islam di
Asia Tenggara” di Jakarta, 17 November 1999. Dikutip dari Hanani, Silfia,
Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung: Humaniora.
2011),.hlm.93.
104 Potret Masyarakat Palembang
Taufik Abdullah memberikan gambaran mengenai tingkat
perkembangan Islam di daerah Sumatera Selatan. Pertama, Islam
di awal abad 19 merupakan agama resmi, yang harus dipelihara
dalam struktur kekuasaan. Maka kelihatanlah bahwa peranan
birokrat agama tidak saja terdapat pada tingkat pusat kerajaan,
tetapi juga di tingkat marga dan bahkan di tingkat dusun. Kedua, jarak yang cukup besar antara struktur kekuasaan yang didasarkan
atas keinginan mengadakan adaptasi ajaran agama dengan sistem
yang telah ada, dengan pola perilaku pribadi memang masih jauh.
Demikian halnya pada golongan priyayi dan tak jauh bedanya
dengan golongan rakyat biasa. Ketiga, tradisi keraton Melayu-
Jawa, yang mementingkan ilmu agama dan sastra juga
berkembang di pusat kerajaan. Maka di bawah naungan para
sultan, ulama dan pengarang, baik keturunan asing maupun
pribumi menghasilkan karya sastra dan uraian keagamaan tentang
akhlak, tauhid dan syariah.45
Ada beberapa faktor yang memupuk kelanjutan tradisi
keraton Melayu-Jawa ini berkembang di Palembang. Di samping
kontinuitas kultural dari keraton Palembang yang berorientasi
pada Jawa, tetapi tak terlepas dari dunia Selat Malaka,
heterogenitas penduduk serta terbukanya Palembang sebagai kota
pelabuhan, adalah faktor-faktor penunjang.46 Palembang sebagai
kota pelabuhan yang banyak dikunjungi pendatang membuat Islam
mulai berkembang. Kontak kebudayaan antara para pendatang
yang sering singgah di wilayah ini menyebabkan adanya proses
tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya luar yang tak
jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat.
Kemudian yang terjadi adalah akulturasi budaya seperti praktik
meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetapi masih
mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Dalam perkembangan kebudayaan, dengan adanya kontak-
kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik, ditambah pula
45 Taufik Abdullah dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di
Sumatera Selatan”. 56. 46 Taufik Abdullah dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di
Sumatera Selatan”. 57.
Potret Masyarakat Palembang 105
keterbukaan dan ketergantungan dalam kehidupan, terjadilah
proses perkawinan dari kebudayaan-kebudayaan yang ada
(terjadinya akulturasi). Bentuk dan isi kebudayaan menurut para
ahli antropologi, suatu kebudayaan sedikit-dikitnya mempunyai
tiga bentuk, yaitu cultural system, social system, dan material culture.47 Ketiga bentuk kebudayaan tersebut merupakan satu
sistem yang sangat erat kaitannya satu sama lain. Sistem budaya
yang paling abstrak seakan-akan berada di atas untuk mengatur
sistem sosial yang lebih konkret. Selanjutnya aktivitas sistem
sosial tersebut menghasilkan kebudayaan materialnya. Sebaliknya
dari sini, yaitu yang bersifat konkret ini memberi energi kepada
yang di atas.
Material culture yang berkenaan dengan wujud budaya
yang monumental, salah satu bentuknya terdapat pada bidang seni
bangun, sebagai contoh penampilan arsitektur masjid Agung
Palembang yang memperlihatkan adanya wujud akulturasi lokal,
Cina, maupun Eropa. Dari segi arsitektur masjid Agung
Palembang merupakan perpaduan Timur dan Barat. Budaya Cina,
Eropa, Arab, dan lokal menyemat pada garis arsitektur, dengan
komposisi yang nyaris tanpa cacat. Di atas sisi limas masjid ada
jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk
47 Koentjaraningrat sependapat dengan J.J. Honigmann, dalam buku
antropologinya berjudul The World of Man (1959: 11-12), yang membedakan
adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. Wujud pertama merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide,
gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Gagasan ini satu sama lain
selalu berkaitan menjadi suatu sistem yang disebut sebagai cultural system atau
sistem budaya. Wujud kedua dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat yang disebut juga sebagai social system atau sistem sosial. Wujud
ketiga dari kebudayaan adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia yang disebut sebagai material culture atau kebudayaan fisik.
Sedangkan isi dari semua kebudayaan universal yang ada di semua kebudayaan
dunia, sederhana, terisolasi, mau besar maupun kompleks menurut para ahli
antropologi terdiri dari tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 150-
152.
106 Potret Masyarakat Palembang
kambing yang melengkung dan lancip sebanyak 13 buah di setiap
sisinya. Struktur ini menyerupai atap kelenteng dan bangunan
tradisional Cina lainnya. Masjid Agung Palembang juga memiliki
serambi seperti arsitektur klasik Yunani-Dorik, gaya seperti itu
juga banyak ditemui pada bangunan Hindia buatan abad XVIII
hingga awal abad XX. Sedangkan budaya Arab berpadu dengan
budaya lokal terasa dalam beragam lengkungan halus gaya
kaligrafi yang terdapat pada leher mustaka, jendela, mimbar,
mihrab, dan pintu masuk masjid. Perpaduan budaya ini menjadi
ciri khas Masjid Agung Palembang.48
Adanya proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal di
Palembang membentuk suatu identitas baru lahirnya Islam yang
bercorak lokal. Penekanan terhadap ajaran-ajaran Islam yang
subtantif dikemas melalui budaya yang berubah menjadi suatu
tradisi. Bahkan enkulturasi tradisi ini pun bersifat dinamis dan
terus mengalami perkembangan. Social system atau praktik
keagamaan merupakan suatu bentuk kebudayaan yang kompleks.
Akulturasi antara budaya dan Islam dapat dilihat dalam kegiatan
keagamaan yang dilakukan, masyarakat Palembang mengenal
berbagai upacara seperti upacara pertanian, upacara leluhur, dan
upacara-upacara menurut siklus penanggalan agama. Upacara
pertanian biasanya dilakukan setelah selesai panen. Upacara
leluhur, dilakukan oleh kalangan penganut agama Islam berupa
upacara nigo hari, nujuh hari, empat puluh hari, dan nyeratus hari. Dalam upacara itu dibacakan ayat-ayat suci al-Qur’an, surat
Yasin, dan tahlil. Upacara menurut siklus penanggalan agama
antara lain diwujudkan dalam bentuk peringatan hari-hari raya,
Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya’ban, dan
Nuzulul Qur’an.
Palembang yang mayoritas penduduknya menganut agama
Islam, di dalam catatan sejarahnya, Palembang pernah menerapkan
undang-undang tertulis berlandaskan Syariat Islam, yang
48 Lebih lanjut lihat Djohan Hanafiah, Masjid Agung Palembang: Sejarah
dan Masa Depannya, (Palembang: Haji Masagung, 1988).
Potret Masyarakat Palembang 107
bersumber dari kitab Simbur Cahaya.49 Simbur Cahaya ini
merupakan cultural systems yang mengandung nilai-nilai sosial
dan pola kehidupan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
Palembang. Masyarakat Sumatera Selatan dapat dibedakan atau
dua macam, yaitu masyarakat kota dan masyarakat desa.
Masyarakat kota atau masyarakat Ilir adalah masyarakat yang
mendiami kota-kota seperti Palembang dan kota-kota kabupaten.
Masyarakat kota itu bercorak heterogen, berasal dari berbagai
suku. Mereka itu adalah kaum cerdik pandai, pedagang (besar dan
kecil), pengusaha, buruh, dan karyawan/pegawai. Meskipun
masyarakat kota pada umumnya bersifat individualis, masyarakat
kota di Sumatera tidak/belum memperlihatkan sifat-sifat itu
secara mencolok. Apabila ada anggota keluarga yang ditimpa
kematian, misalnya, bukan saja kaum kerabat (dekat dan jauh)
yang datang melayat dan memberikan bantuan, para tetangga,
kenalan dan handai tolan juga ikut melayat. Mereka memberikan
bantuan dan bahkan sampai mengantar jenazah ke kuburan serta
ikut takziah tiga malam berturut-turut. Dengan kata lain, para
kerabat, tetangga, kenalan, dan handai tolan, semua masih peduli.
Demikian juga situasi dalam masyarakat desa atau uluan yang
pada umumnya adalah petani. Sifat kegotongroyongan dalam
masyarakat desa masih hidup, walaupun kondisi tersebut sekarang
sudah agak longgar.
Masyarakat Palembang memiliki ciri khas dalam kegiatan
upacara-upacaranya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh
49 Pada mulanya di Sumatera Selatan keberadaan adat-istiadat diatur
dalam Undang-Undang Simbur Cahaya, yaitu undang-undang adat asli yang
tertulis dan tertua. Pengkodifikasian undang-undang itu dilakukan pada abad
ke-17 oleh Ratu Sinuhun Sindang Kenayan. Undang-undang Simbur Cahaya
terdiri dari lima bab yang mengatur (1) adat bujang gadis dan kawin, (2) aturan
marga, (3) aturan dusun dan berladang, (4) aturan kaum, dan (5) adat
perhukuman. Secara garis besar hukum adat di Provinsi Sumatera Selatan
meliputi (1) hukum tanah, (2) hubungan kekerabatan, (3) hukum perkawinan,
(4) hukum waris, dan (5) hukum pelanggaran. Namun, kenyataan yang muncul
sekarang ada beberapa hukum adat yang ditinggalkan oleh masyarakat
pendukungnya. Misalnya, aturan marga tidak dipakai lagi karena adanya
pemberlakuan Undang-Undang No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah.
108 Potret Masyarakat Palembang
kebudayaan lokal yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Taufik Abdullah bahwa terdapat tiga
pola dalam penyebaran Islam di Nusantara, yaitu pola Pasai,
Malaka, dan Jawa. Untuk pola Pasai dan Malaka, kedua pola ini
memiliki kesamaan, khususnya dalam adat istiadatnya. Hal ini
berbeda dengan pola Jawa di mana Islam harus lebih mampu untuk
berdialog dengan budaya setempat sehingga memunculkan Islam
yang kolaboratif. Palembang merupakan salah satu kota yang
penting untuk disinggahi pada saat Kerajaan Malaka masih
berjaya. Penyebaran Islam dalam pola Malaka merupakan
penyebaran yang sentrifugal, yaitu penyebarannya berpusat pada
kesultanan sebagai pusat struktural kekuasaan dan menyebar ke
luar (rakyat). Penyebaran Islam pun kemudian mendapat otoritas
penuh dari Sultan yang memimpin, yang pada akhirnya mengajak
rakyat untuk ikut memeluk ajaran Islam. Di antara yang menonjol
– terutama dalam kaitannya dengan Islam – ialah ciri masyarakat
Palembang yang adaptif terhadap ajaran Islam dibanding dengan
masyarakat Jawa. Integrative tradition tersebut tampak dalam
tradisi-tradisi lokal yang dijiwai oleh Islam dalam corak lokal.
Dalam hal ini terjadi akulturasi antara Islam dan budaya setempat.
Kolaboratif ini terjadi tanpa meninggalkan unsur masing-masing
corak (Islam dan budaya lokal). Akulturasi antara budaya Islam
dengan budaya lokal sangat dinamis, misalnya saja tradisi
slametan, yasinan, tahlilan, ziarah, dan lain sebagainya. Orang
mengetahui bahwa tradisi tersebut adalah apa yang terlihat
sekarang. Mereka tidak mengetahui bahwa tradisi tersebut
sebenarnya telah turun temurun serta mengalami berbagai tahap
perubahan. Namun demikian, tradisi yang turun temurun tetap
memperlihatkan adanya benang merah, yaitu hadirnya doa-doa
Islami sebagai ruh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah
dalam budaya Islam lokal.
BAB IV
“Enkulturasi (enculturation) merupakan suatu proses bagi seorang
baik secara sadar maupun tidak sadar mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat”
-- M.J. Herskovits –
ENKULTURASI ZIARAH SEBAGAI TRADISI ISLAM
DALAM MASYARAKAT PALEMBANG
emaparan hasil penelitian lapangan dalam bab ini
menganalisa mengenai fenomena kekeramatan
makam yang terdeskripsi melalui tradisi ziarah di
Kota Palembang. Pada bab ini akan dibahas mengenai ziarah
sebagai bentuk ritual keagamaan dan memiliki potensi sebagai
wisata religi. Selain itu, aktivitas peziarah membuktikan bahwa
makam dianggap sebagai suatu simbol dan sarana instrumental
bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginnya melalui motif-
motif tertentu. Motif inilah yang kemudian menginterprest\asikan
tindakan-tindakan masyarakat dalam berziarah melalui proses
habitualisasi sehingga terenkulturasi sebagai suatu tradisi.
A. Ziarah Sebagai Ritual Keagamaan dan Wisata Religi
Kata ziarah dipinjam dari bahasa Arab ziya>rah yang
mengandung arti bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan
melakukan suatu perjalanan.1 Kata ini pada dasarnya dapat
diterapkan untuk segala bentuk kunjungan ke semua objek, baik
berupa tempat maupun orang. Istilah ini juga mengacu baik pada
1 Syekh Muh}ammad Hisya>m Kabba>ni>, Maulid dan Ziarah ke Makam
Nabi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 119.
P
112 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
kunjungan ke makam wali; juga digunakan untuk menyebut
kunjungan pemimpin tarekat kepada para pengikutnya. 2 ‘Abd al-
H>>}aqq al-Isybili> menyatakan bahwa ziarah ialah suatu sunah yang
diharuskan (sunnah wajibah).3 Adapun menurut mazhab-mazhab
fikih, hukumnya berbeda-beda antara wajib (menurut beberapa
ulama Ma>liki> dan Zha>hiri>), mendekati wajib (menurut ulama
H}anafi), dan sunnah mandu>bah (menurut ulama Sya>fi.’i> dan
H}anbali>).4 Namun terdapat sebagian ulama yang mengatakan
bahwa hukum ziarah bagi perempuan adalah makruh.5 Ziarah merupakan sebuah konsep kunjungan yang lazimnya
untuk menyebut hubungan yang ada antara anggota masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan, dengan sejumlah tokoh – baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal – yang konon
2 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot (ed), Ziarah dan Wali di
Dunia Islam,(Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 95. 3 Rasullullah bersabda: “Sesungguhnya aku (Nabi Muhammad SAW)
melarang kamu menziarahi kubur, kemudian sungguh diizinkan bagi Muhammad SAW menziarahi kubur ibunya, maka ziarahilah oleh kamu akan kubur, karena dia akan mengingatkanmu kepada hari kiamat.” (H.R. Tirmidi, Muslim, Abu Dauz, Ibnu Hibban dan Hakim). Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001).
4 Adapun berkaitan dengan ziarah ke makam Nabi saw., menurut
mayoritas ulama dari mazhab-mazhab utama, hal tersebut diperbolehkan dan
dianggap baik dalam Islam. Pandangan mayoritas kitab fikih mengenai hal ini
adalah: ziya>rat qabr al-Nabi shalla Allah ‘alayhi wa sallama masyru>’ah bi al-ijma>’ wa hiya min afd}al al-a’ma>l bi al-ijma>’ (ziarah ke makam Nabi saw. Itu
disyariatkan berdasarkan ijmak, dan termasuk amal paling utama berdasarkan
ijmak). Syekh Muhammad Hisyam Kabbani. Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi. 112-114.
5 Ziarah kubur diperbolehkan bagi kaum perempuan dengan tetap
menjaga kesopanan guna mencegah terjadinya fitnah. Para perempuan
hendaknya menghindari dari ratapan. Hadist Nabi juga menjelaskan:
“Bahwasanya Siti Asyah pada suatu hari kembali dari pekuburan, maka aku bertanya kepadanya: Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau? Ia menjawab: dari kubur saudaraku Abdurrahman. Lalu aku bertanya lagi: Bukankah Rasulullah telah melarang kita menziarahi kubur? Ia menjawab: Benar Nabi telah melarang kita menziarahinya kemudian Nabi menyuruh kita menziarahinya.” (H.R. Asra) (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Hakim dan Ibnu
Majjah). Syaikh Abu Umar Shalih, Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah, (Solo: At-Tibyan, 2001).
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
113
dikaruniai suatu karomah serta memberikan suatu keberkahan6
bagi yang mengunjunginya dan dikategorikan oleh masyarakatnya
sebagai awliya>’, murabitu>n (ra>biti>n), syurafah (chorfa), shalihi>n
(sa>lihi>n), asya>d, atau syuyu>kh (chyou>kh, plural dari syekh)... yaitu
istilah yang mengandung makna simbolis yang berbeda-beda. 7
Konsep ziarah menyangkut kunjungan individual atau kolektif ke
makam wali atau kepada wakil-wakilnya yang masih hidup, yang
dilakukan oleh mereka yang mencari berkah dengan tujuan
memohon sesuatu atau mengucapkan terima kasih telah
terkabulnya suatu permohonan. Di Indonesia sendiri, makam wali
yang ramai dikunjungi masyarakat adalah makam walisongo8 yang
tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa. Namun, tak hanya
makam walisongo yang dianggap keramat atau suci, makam ulama
atau yang kerap dijuluki Kyai oleh masyarakat juga menyita
perhatian ribuan peziarah untuk menziarahinya, khususnya
peziarah yang berasal dari pulau Jawa.
Keberadaan ulama diyakini oleh masyarakat sebagai para
tokoh mata rantai yang menyambungkan ajaran Islam sampai
6 Menurut Sossie Ande\zian yang melakukan penelitian di kawasan
Magribi (Aljazair, Maroko, Tunisia) dalam kepercayaan masyarakat magribi,
berkah (barakah) adalah kekuatan bermanfaat yang bersal dari kekuasaan
supranatural, yang memberikan kebaikan berlimpah-limpah pada semua bidang
kehidupan. Berkah konon terutama terpusat dalam diri Nabi Muhammad dan
wali-wali yang mampu menyampaikannya kepada orang-orang yang memohon
berkah itu. Para pemimpin tarekat juga dianggap memiliki kekuatan
supranatural ini, yang menjadi sumber dari semua karomah yang mereka
lakukan. Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 95.
7 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 96.
8 Walisongo dikenal sebagai wali yang berjasa menyebarkan Islam di
tanah Jawa dan sekitarnya. Mereka jumlahnya ada sembilan wali. Antara lain
Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Giri,
Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kaliaga dan Sunan Gunung
Jati. Ahmad Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”,
Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November 2012, 430..
114 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
kepada ajaran nabi.9 Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa
“Ulama adalah pewaris para nabi”: hadis ini memberikan
gambaran yang jelas mengenai masalah wali, meskipun mesti
ditambahkan bahwa di mata para sufi “ulama itu bukanlah
“ulama” biasa, tetapi “mereka yang bermakrifat” yaitu telah
mencapai tingkat pengetahuan tertentu (mar’rifah).10 Oleh karena
itu, keberadaan makam ulama atau orang-orang suci ini yang
tersebar di beberapa tempat, dan mendorong lahirnya tradisi
berkunjung ke makam-makam tersebut atau disebut dengan tradisi
ziarah. Tradisi ini membuktikan, khususnya kepada masyarakat
modern saat ini, bahwa eksistensi “orang-orang suci” yang
dikenalkan lewat kitab suci sebagai para nabi utusan Allah itu
memang benar-benar ada.
Hubungan antara umat dengan tokoh-tokoh agama adalah
hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi
keagamaan dan dimensi sosial.11 Pada dimensi keagamaan,
hubungan itu dikukuhkan oleh ajaran-ajaran keagamaan, yaitu
konsep derajat manusia atas dasar ketakwaan dan konsep wasilah
atau tawassul12. Sampai saat ini., pandangan umat Islam tentang
tawassul kepada para wali masih belum mencapai kata sepakat.
Sebagian menganggapnya tidak masalah, sebagian kalangan lain
menganggap kunjungan ini bisa merusak akidah, terutama akibat
9 Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
10 Eric Geoffroy dalam Loir dan Fuillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 33.
11 Mudjahirin Tohir, Orang Islam Jawa Pesisiran (Semarang: Fasindo
Press, 2006),. 41-42. 12 Dalam al-Qur’an, kata al-wasilah ini ditemukan di dua tempat. Yakni,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Maidah: 35), dan “Orang-orang yang
mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di
antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya
dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti” (Q.S. al-Isra’: 57). Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
115
terpesona “secara berlebihan” oleh karomah yang dimiliki para
kekasih Allah tersebut. Pertentangan dua pendapat tentang
tawassul ini tentu memiliki argumen masing-masing. Namun,
seiring dengan keterbukaan dari kedua belah pihak, perbedaan
tersebut sudah mulai mencair dengan ditandai oleh maraknya
wisata religius yang diikuti oleh hampir semua aliran dalam Islam.
Dalam dimensi sosial, orang-orang suci direpsentatifkan
sebagai nabi, wali sampai Kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan
Tuhannya dan karena itu mereka lebih didengarkan atau
dikabulakn permohonannya. Logika keagamaan ini menjadi alasan
bagi umat untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi dan
ulama sebagai mutawassul (mediator) dalam berbagai kegiatan
atau upacara keagamaan maupun dalam upacara semi keagamaan
yang selama ini banyak mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakat. Konsep tawassul (mediasi) dan mutawassul (mediator) digerakkan oleh sistem berpikir bipolar tentang Tuhan
– manusia, yaitu: atas – bawah; suci – kotor; sakral – profan; dan
jauh – dekat. Sistem klasifikasi simbolik yang dipakai untuk
menjelaskan tingkat atau bentuk hubungan Tuhan – manusia
dalam perwujudan seperti ini, menuntun mereka untuk
menciptakan moderasi (penengah) yang mengantarai, sehingga
melahirkan klasifikasi tiga (trikotomi).13
Bagan 2. Trikotomi Pola Hubungan Tuhan – Manusia
13 Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata”, 430-451.
Tuhan
Tokoh Suci
Umat
Hubungan
Langsung
Hubungan
Berperantara
116 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Menurut Henri Chamber-Loir dan Claude Guillot,14
fenomena ziarah berkaitan dengan konsep kewalian. Mereka
memandang bagaimana para wali membentuk sebuah jaringan
rantai panjang melalui fenomena pengeramatannya dan
menghubungkan para peziarah dengan sang Ilahi. Para ulama
memiliki peziarah setia atau client yang terikat oleh suatu janji
kesetiaan pribadi. Namun para ulama dengan rela hati juga
menerima siapa saja yang meminta mereka menjadi perantara
Allah. Ziarah dapat dilakukan oleh seseorang hanya dengan tujuan
mengungkapkan kesetiaannya kepada sang wali, dalam kerangka
suatu hubungan yang berkelanjutan. Begitu pula halnya dengan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan pribadi seseorang
atau keluarganya, semua ini dapat dipercayakan kepada seorang
ulama tertentu. Upacara-upacara agama adalah kesempatan yang
baik untuk melakukan kunjungan untuk memperingati sang ulama;
dalam hal ini, ziarah menyerupai fungsi ritus ziarah kepada
leluhur. Akhirnya, ziarah dapat pula berupa kegiatan yang bersifat
hiburan. Maka, ziarah ke ulama sekaligus merupakan kegiatan
penghormatan, upaya permohonan, dan hiburan.15
Berbagai praktik ziarah, yang dijalankan baik oleh laki-laki
maupun perempuan, penduduk kota maupun penduduk desa,
kalangan terdidik maupun buta huruf, mencakup kegiatan-kegiatan
beragam mulai dari yang bersifat informal sampai yang
sepenuhnya terorganisir. Secara Islam, adab berziarah adalah
dengan memberikan salam dan membuka alas kaki serta masuk
dengan hati yang tunduk. Tidak dipebolehkan untuk duduk di atas
kubur, menginjak ataupun melangkahinya. Tujuan berziarah
adalah untuk mengingat akan adanya akhirat dan hari kiamat
sehingga tujuan-tujuan lain yang dianggap sebagai perbuatan
syirik16 di areal pekuburan (hal-hal yang dimurkai oleh Allah
SWT).17
14 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 9 15 Sossie Ande\zian dalam Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia
Islam, 96. 16 Menurut sebagaian umat Islam, ziarah adalah bagian dari bid’ah
karena dapat memicu adanya perbuatan syirik . Gerakan menentang konsep
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
117
Ziarah seolah-olah telah menjadi tradisi yang tidak bisa
dilepaskan bagi masyarakat. Praktik ziarah pun telah menyatu atau
terenkulturasi dengan baik di dalam kehidupan masyarakat.
Perilaku keagamaan di makam-makam juga menarik perhatian
pengamat. Di Palembang, pengunjung makam ada yang tidak
terlalu peduli pada perantara sewaktu berziarah; ada yang
menggunakan jasa juru kunci makam untuk membantu peziarah itu
berdoa; ada juga yang membaca Yasin18 dan doa-doa langsung di
depan makam; bahkan ada yang mengutarakan beberapa
ziarah ini mulai muncul pada 1744 TU (Tahun Umum) di Arabia Tengah.
Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan sokongan keluarga kerajaan Su’usd,
Emir setempat dari Dar’ijah, memulai suatu pergerakan pembaharuan
berdasarkan mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari Ibn
Taimiyah beserta penganutnya di abad XIV. Pergerakan Wahabi ini
(Sebagaimana pergerakan ini seterusnya terkenal) pertama-tama ditujuan untuk
menghadapi kemunduran tata susila dan kemerosotan agama di pedesaan dan
suku-suku terpencil, mengutuk pemujaan orang suci dan bid’ah-bid’ah lain yang
dianggap sebagai penyelewengan dan kekufuran. Gerakan ini pada akhirnya juga
menyerang mazhab-mazhab lain karena komprominya dengan bid’ah-bid’ah
yang dibenci tersebut. Purwadi, dkk, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), 4. Lihat juga Subhani, S.J.
Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi, (Jakarta: Pustaka Al Hidayah, 1989), 7.
17 Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan
Hidup, Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara
Bebas, 2006), 115. 18 Dalam hadits Nabi disebutkan :
كم يس قلب القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتا "
" )رواه أحمد(
Artinya: "Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit–mayit kalian " (H.R.
Ahmad). Perihal ini, al-Hasan bin as-Shabah az-Za’faroni bertanya kepada
Imam Syafii tentang membacakan al-Qur’an di atas kubur, beliau menjawab:
“Tidak Masalah.”. Rasulullah bersabda: “Siapa yang memasuki pemakaman dan membacakan surat Yasin niscaya Allah akan memberikan keringanan kepada parapenghuni pemakaman tersebut pada hari itu, serta baginya (yang membaca) akan mendapatkan sejumlah kebaikan sejumlah dai huruf (yang dibacanya).”
Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup.
Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam. (Jakarta: Suara Bebas, 2006), 113.
118 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
“hajatnya” langsung kepada makam. Pada umumnya para peziarah
yang mengunjungi makam dikarenakan hal tersebut merupakan
suatu kebiasaan atau tradisi lama seperti membeli kembang yang
kemudian diletakkan di makam sambil berdoa “memohon hajatnya
terkabul”; mereka menyentuh batu nisan dan menggosok-
gosokkannya sambil mengusapkannya di wajah mereka. Para
peziarah menunjukkan sikap yang amat beragam: ada yang
berbicara dengan lantang atau justru berdiam diri, ada yang duduk
di dekat batu nisan, ada yang berdoa membaca paling sedikit Surat
al-Fa>tihah atau beberapa surat lain yang dapat membawa berkah
seperti surat Yasin, dan ada yang menyisipkan sedikit uang di
celengan Kyai (sebuah kotak yang ditujukan bagi orang-orang
yang bernazar untuk menyumbangkan uangnya sebagai suatu
imbalan); ada yang bahkan menyampaikan permohonan kepada
sang Kyai. Aktivitas peziarah yang dilakukan di makam
sebenarnya merupakan akulturasi antara budaya masyarakat
setempat dengan Islam. Terdapat tradisi khas Islam yang
ditemukan dalam ziarah kubur, seperti ketika orang-orang
membaca Surat al-Fa>tihah di makam maka mereka sesungguhnya
menghormati al-Qur’an dengan membaca salah satu surat yang ada
di dalamnya sehingga untuk meremehkan hal-hal tersebut
merupakan suatu sikap yang kurang objektif.
Kota Palembang sebagai kota yang penuh dengan sejarah,
memiliki beberapa kompleks pemakaman yang dianggap keramat
dan dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat sebagai tempat
yang sakral sehingga banyak dikunjungi oleh peziarah. Makam-
makam yang ada di Kota Palembang tidak hanya terdiri dari
kompleks-kompleks pemakaman Kesultanan Palembang, namun
juga kompleks-kompleks pemakaman masyarakat lainnya.
Pemakaman kesultanan itu antara lain: Kompleks makam
kesultanan di Candi Walang, Kebon Gede, Ilir I, dan Kawah
Tengkurep. Sementara itu kompleks-kompleks pemakaman
lainnya antara lain pemakaman Arab di 14 dan 16 Ulu, dan makam
KH. Masagus Abdul Hamid bin Mahmud atau lebih dikenal
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
119
sebagai makam Kyai Marogan.19 Berbagai makam yang
dikeramatkan tersebut hingga sekarang tetap mendapatkan
perhatian dari sebagaian umat Islam melalui tradisi ziarah.
Kunjungan ke makam dapat dilaksanakan pada hari apa
pun, namun ada hari yang lebih disukai dan ramai dikunjungi oleh
peziarah, seperti hari raya ied dan peringatan-peringatan Islam
lainnya. Tak hanya itu, makam Kyai Marogan misalnya ramai
dikunjungi ketika bertepatan dengan khaul Beliau. Khaul adalah
pola penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri
sebuah orde keagamaan yang pada masanya memiliki karisma
yang sangat tinggi. Khaul menghadirkan nuansa kharismma itu
datang lagi dan dianggap sebagai pengejewantah karisma
tersebut.20 Khaul Kyai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud
(Kyai Marogan) biasa dilaksanakan setiap tanggal 17 Rajab di
Masjid Kyai Muara Ogan Kertapati, Palembang. Secara
antropologis dan sosiologis, kehadiran peziarah ke acara ini
membuktikan bahwa semakin banyaknya orang yang merasa
membutuhkan penyelesaian masalah-masalah di dalam
kehidupannya, seperti persoalan ekonomi, religiusitas, psikologis,
dan bahkan politik. Ketika khaul dilaksanakan, banyak peziarah
yang hadir sebagai bentuk untuk menghormati dan mengenang
19 Karena berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini peneliti berfokus
pada makam Kyai Marogan (Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud) di Kota
Palembang. Makamnya sendiri tidak begitu istimewa, namun sesuai dengan
tuntunan Islam. Dalam ajaran Islam, di atas liang lahat suatu makam tidak
boleh disemen, tidak boleh dibangun apapun, dan di atas makam bagian kepala
diberi tanda dengan batu atau kayu. Makam Kyai Marogan ini ditandai dengan
dua buah nisan dari batu andesit berwarna hitam, tidak dibentuk layaknya
menhir yang dipasang di atas makam bagian kepala dan kaki. Nisan kepala
berukuran tinggi 0,17 meter, lebar 0,12 meter, lebar 0,8 meter, dan tebal 0,5
meter. Karena ketokohan Kyai itu maka makam tersebut dikeramatkan orang,
sehingga sampai sekarang makam ini masih ramai diziarahi banyak orang.
Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah al’aruf Billah
Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan) yang ke-109
(17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428). Lihat juga Zulkifli Abdul Karim Nasution,
Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. (Palembang:
UNSRI Press, 2001), 32. 20 Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: Lkis, 2005), 184.
120 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
perjuangan Kyai Marogan yang menyebarkan agama Islam hingga
ke pelosok-pelosok daerah di Sumatera Selatan.
Ziarah tidak hanya dilakukan secara individual saja
melainkan juga dapat dilakukan secara massal. Bahkan kegiatan
ziarah secara massal ini merupakan kegiatan wisata religius yang
dapat mendatangkan keuntungan tersendiri bagi berkembangnya
pariwisata suatu daerah. Ziarah yang dilakukan secara massal
umumnya disebut sebagai ziarah kubra yang oleh pemerintah
setempat biasanya dijadikan sebagai agenda tahunan. Kota
Palembang yang memiliki beberapa makam ulama kerap
menjadikan kegiatan ziarah sebagai agenda tahunan wisata religi
bagi masyarakat. Peziarah pun tak hanya datang dari penjuru
Sumatera Selatan, bahkan peziarah juga datang dari berbagai
daerah di Indonesia, terutama dari Pulau Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan, dan juga dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura,
Thailand, Yaman, Arab Saudi dan negara-negara lainnya.21
Agenda wisata religi ziarah kubra ‘Ulama dan Auliya’ Palembang
Darussalam ini biasanya dilakukan setiap mendekati bulan
Ramadhan dan terkhusus bagi kaum laki-laki saja. Wisata religius
ini dimaksudkan untuk menghadirkan kembali kesadaran
beragama setelah mereka disibukkan dengan rutinitas yang
melelahkan. Dengan mengunjungi makam ulama, melihat situ dan
peninggalan mereka, diharapkan ada stimulus baru yang masuk ke
dalam benak kesadaran peziarah sehingga memunculkan kekuatan
baru dalam beragama. Dengan cara ini, ziarah akan memberikan
arah, motivasi dan akhirnya tumbuh kesadaran secara penuh untuk
patuh, tunduk dan menjalankan perintah Allah SWT.
B. Makam Keramat Sebagai Simbol dan Sarana Instrumental
Corak kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia sangat
dipengaruhi oleh perpaduan tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan
Islam di masyarakat. Masuk dan berkembangnya Islam tidak
menyebabkan hilangnya kebudayaan Indonesia pra-Islam
(prasejarah dan Hindu-Buddha), tetapi justru memperkaya
21 http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal 10
Juni 2013.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
121
keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Kebudayaan pra-Islam
yang baik terus dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan
pola budaya Islam dalam wujud akulturasi kebudayaan.
Perwujudan akulturasi kebudayaan itu sendiri terlihat dari
berbagai aspek kehidupan, seperti ziarah sebagai bentuk akulturasi
budaya Hindu dan Islam.22 Tak hanya dalam bentuk tradisi, seni
bangunan Islam juga menunjukkan akulturasi dengan budaya pra-
Islam, seperti halnya makam. Makam sebagai hasil kebudayaan
zaman Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya
Islam dan unsur budaya sebelumnya. Misalnya dilihat dari segi
fisik, tata upacara pemakaman, dan letak makam.
Menurut Nur Syam, dalam tradisi ziarah, pemakaian istilah
makam dan kuburan sering dibedakan. Kuburan sering dikaitkan
dengan tempat menyimpan jenazah orang biasa. Sementara istilah
makam, dimaksudkan dengan tempat menyimpan jenazah orang
wali, orang suci atau tokoh masyarakat yang dihormati.23 Istilah
kuburan sering dikesankan sebagai tempat yang gelap, seram dan
berada di pinggiran atau di sudut terluar dari suatu perkampungan.
Hal ini tidak berlaku bagi makam ulama atau orang-orang salih
yang dihormati oleh masyarakat. Mereka justru dimakamkan di
tengah-tengah kawasan yang ditinggali warga masyarakat, bahkan
dibuatkan tempat khusus yang letaknya cukup strategis dan mudah
dijangkau dan senantiasa didatangi oleh para peziarah.
Makam ulama bukanlah tempat yang sepi. Bahkan makam
bisa menjadi pusat alternatif sebagai tempat menggelar berbagai
22 Tradisi ziarah merupakan bentuk akulturasi budaya yang sudah
dilakukan para wali untuk menyiarkan agama Islam pada masanya. Menurut
Koentjaraningrat, ziarah ke makam suci sebenarnya telah menjadi bagian dari
tradisi leluhur yang diwarisinya jauh sebelum Islam datang. Ziarah ke makam
wali merupakan kepanjangan dari tradisi Hinduisme bernama upacara srada.
Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang
memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14. Srada adalah upacara
untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah,
masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur.
Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 105. 23 Nur Syam, Islam Pesisir, 139.
122 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
acara keagamaan. Tidak hanya berupa ritual tahlil atau tawassul
yang sangat berkaitan dengan makam, beberapa pemakaman juga
dimanfaatkan untuk kegiatan ta’lim dan dakwah, seperti khataman
al-Qur’an dan peringatan hari besar Islam. Makam Kyai Marogan
merupakan salah satu makam yang memenuhi penjelasan tersebut.
Makam Kyai Marogan adalah makam yang disakralkan oleh
masyarakat Palembang. Makamnya sendiri juga terkadang disebut
gubah24 oleh sebagian masyarakat dan terletak bersebelahan
dengan masjid Marogan. Selain makamnya dikunjungi oleh
peziarah, masjid Marogan juga dijadikan sebagai pusat kegiatan
keagamaan, seperti pengajian, dakwah, pusat tahfiz al-Qur’an dan
lain sebagainya. Bahkan dibangun pula sekolah tingkat TK,
ibtidaiyah, dan tsanawiyah di sekitar komplek pemakaman. Selain
berkontribusi dalam dunia pendidikan, kehadiran makam Kyai
Marogan juga memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat
yang tinggak di sekitar komplek pemakaman tersebut. Banyaknya
peziarah yang berkunjung membuka peluang ekonomi bagi
masyarakat sekitar. Kompleks pemakaman Kyai Marogan ini
memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat
yang tinggal di sekitar makam.
Ritual berziarah ke makam keramat merupakan pendekatan
dimensi kebudayaan dalam agama. Geertz25 mengartikannya
dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu
sistem simbol-simbol yang bertindak untuk menciptakan perasaan
dan motivasi pada manusia dengan memformulasikan konsepsi
24 Gubah adalah sebutan masyarakat Palembang terhadap makam. Istilah
gubah ini berbeda dengan istilah kuburan biasa. Istilah gubah biasanya
mengacu pada makam yang berada di dalam bangunan. Kata gubah merupakan
pengaksentualisasian masyarakat Palembang dari kata “kubah” di mana dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kubah berarti 1 lengkung (atap); 2 atap
yang melengkung merupakan setengah bulatan (kupel). Masyarakat Palembang
biasa menyebut gubah Kyai yang dimaksudkan untuk berziarah ke makam Kyai
yang berada di dalam bangunan di mana atapnya melengkung seperti kubah
masjid, apalagi letak makam Kyai persis bersebelahan dengan masjid yang
sama-sama memiliki kubah. 25 Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1970), 91.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
123
mengenai aturan umum dari eksistensi dan memakaikan konsepsi-
konsepsi ini dengan nuansa faktualistas sehingga perasaan dan
motivasi itu secara unik nampak realistik. Simbol bisa berarti
banyak hal. Bisa berarti representasi dari asosiasi antara dua hal
terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal
yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara
langsung.
Geertz melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam
apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti dari
simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi
dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam
representasi konkrit. Ketika berbicara mengenai makam secara
umum, maka konsepsi spesial terhadap makam tidak begitu
berarti. Namun, ketika makam tersebut adalah makam orang yang
dianggap suci oleh masyarakat. Maka makam ini berubah menjadi
suatu simbol yang dikonsepsikan sebagai makam keramat atau
makam suci oleh masyarakat. Masyarakat memperlakukan simbol
makam keramat ini dengan sikap yang khas dan dengan
pengalaman yang dituangkan dalam representasi konkrit terhadap
makam keramat, simbol ini pun kemudian menjadi terinternalisasi
dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pola-pola budaya
(sistem-sistem simbol) memiliki sifat bahwa ia merupakan sumber
informasi yang eksternal dan dapat memberikan konsepsi yang
bisa didefinisikan secara internal. Masyarakat membutuhkan
konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui
simboleksternal. Selanjutnya, simbol-simbol ini kemudian
membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam
masyarakat. Makam keramat sebagai simbol suci mampu
terinternalisasi dengan baik kepada masyarakat melalui disposisi
aktivitas dan pengalaman masyarakat yang berziarah ke makam
tersebut. Disposisi ini sendiri sebenarnya merupakan pola dari
aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau
aktivitas tertentu. Disposisi ini merupakan motivasi yang berupa
kecenderungan di mana terdapat kemampuan untuk melakukan
tindakan tertentu.
124 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Makam sebagai suatu simbol dapat membangun suasana hati
dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Berziarah ke
makam dapat membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin
melakukan sesuatu. Motivasi ini memiliki tujuan tertentu, seperti
berharap akan kesembuhan, usaha lancar, meminta jodoh, dan lain
sebagainya. Pengalaman-pengalaman peziarah yang berkunjung ke
makam keramat tersebut kemudian terkonsepsikan dengan baik
dan apabila motif peziarah tersebut terpenuhi maka mereka akan
membagikan pengalamannya tersebut kepada orang lain melalui
proses interaksi dan internalisasi. Konsepsi mengenai eksistensi
makam keramat inilah yang akan menciptakan suatu tatanan
sistem simbol dalam suatu struktur masyarakat di mana simbol ini
selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi masyarakat untuk
mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.
Dalam menjaga kelestarian sejarah dan kebersihan makam,
biasanya terdapat juru kunci26 makam yang menjaga makam
tersebut. Hefner memandang juru kunci sebagai kasus kompromi
budaya antara agama Islam dan tradisi sebelumnya, barangkali
mengingatkan pada suatu masa ketika pengetahuan tentang Islam
memerlukan para ahli. Para ahli ritual tersebut biasanya menguasai
bahasa dan doa-doa berbahasa Arab yang dipelajari dari pedoman
agama.27Juru kunci di makam ini biasanya lebih mengetahui doa-
doa yang bisa dipanjatkan. Juru kunci ini memiliki hubungan
pribadi yang bersifat keturunan dengan Kyai Marogan. Kadang-
kadang, para peziarah umum meminta juru kunci setempat, (yang
kadang disebut Yai atau Ustad di Palembang), agar menjadi
26 Juru kunci juga disebut sebagai kha>dim atau mutawalli> di Irak. Di
makam yang besar jabatan kha>dim merupakan posisi yang amat penting dan
sekaligus suatu penghormatan untuk orang yang diberi tugas itu. Oleh
karenanya kedudukan itu sering ditempati oleh seorang ulama atau syekh: Ibn
Battuta menyatakan bahwa kha>dim makam Ibra>him Ibn Adham di Jabala adlah
“orang yang sangat saleh”. Posisi juru kunci (kha>dim) juga merupakan tugas
yang diwarisi secara turun temurun dalam keluarga yang sama. Wajar apabila
keturunan seorang wali tetap menjaga makamnya. Lihat Loir dan Guillot (ed),
Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 54. 27 Hefner Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion (Princeton:
Princeton University Press, 1999), 139.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
125
perantara dalam ritus ziarah. Walaupun orang itu tak lain daripada
penjaga makam biasa, di mata peziarah, dia tak terpisahkan dari
makam; maka orang yang meminta bantuan tersebut lazim
memberikan sesuatu pada penjaga makam. Penjaga makam yang
acap kali berada di dekat makam merupakan pemandu yang
jasanya paling diminati oleh peziarah; orang-orang yang
membayar nazar dengan meminta bantuan kepada penjaga makam
untuk membaca doa atau hanya sekedar meminta bantuan juru
kunci untuk sekedar membacakan doa tolak balak;28 dan jasa itu
dibalas dengan memberikan sejumlah uang. Dalam menilai makna
komparatif peranan juru kunci ini, juga penting dicatat bahwa juru
kunci tidak dipandang sebagai dukun, ahli magic atau penyembuh.
Fungsinya sebagai ahli kepercayaan tidak berdasarkan pada
kekuatan pribadi atau karisma, dan ia bebas dari kecurigaan dan
tudingan melakukan praktek magic yang kerapkali menimpa
dukun.
Bagi banyak peziarah, makam merupakan sebuah simbol
tempat mustajaba>h untuk berdoa. Menurut Beatty, makam
merupakan titik persandian dari suatu sistem yang menciptakan
makna dengan bantuan konstruksi simbolis.29 Makam tidak hanya
menjadi tempat untuk mendoakan jenazah, tetapi juga menjadi
tempat yang dianggap cocok untuk mengungkapkan dan
menghayati berbagai problematika hidup yang dihadapi oleh
mereka. Hal ini dikarenakan jasad orang yang berada di dalam
makam keramat tersebut itu tidak rusak, makamnya juga dianggap
28 Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ه تلاه به وفضلني على كثير من خلقمن رأى مبتلى فقال: )الحمد لله الذي عافاني مما اب تفضيلا(، لم يصبه ذلك البلاء
“Barangsiapa yang melihat orang yang tertimpa bala lalu membaca: ALH{AMDULILLA<HILLADHI ‘A<FA<NI MIMMABTALA<HU BIHI WAFAD}D}ALANI< ‘ALA KATHI<RIN MIN KHALQIHI TAFD}I<LAN (Segala pujian hanya milik Allah yang memberikan keselamatan kepadaku dari bala yang menimpa orang itu, dan Dia telah mengutamakan saya di atas kebanyakan makhluknya dengan keutamaan yang besar), niscaya bala itu tidak akan menimpanya.” (HR. At-Tirmizi no. 3431 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’ no. 6248). 29 Beatty, Varieties of Javanese Religion, 140.
126 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
memiliki kekuatan magis sehingga peziarah ramai mendatangi
makamnya. Sebagian masyarakat percaya bahwa roh orang yang
dianggap suci itu mengetahui siapa saja yang datang ke makamnya
dan mendengarkan bagaimana doanya. Sebagai orang yang sangat
dekat dengan Allah, orang suci bisa menjadi perantara agar doanya
cepat samapai kepada Allah. Memang, tak semua yang menziarahi
makam itu “benar” tujuannya, sebab ada di antara mereka yang
justru meminta kepada roh para wali untuk mengabulkan
permohonannya. Bahkan ada juga di antara mereka yang
mengambil barang tertentu untuk di bawa pulang, bisa air, batu,
atau bunga yang ada di makam tersebut. Benda-benda itu pun
dianggap sebagai “jimat” atau simbol yang dapat memberikan
ketenangan di dalam hidup peziarah sesuai dengan motif penziarah
tersebut. Adapun keteladanan dari sosok orang suci yang berada di
dalam makam tersebut menjadi mediator (tawassul) dalam
mengajukan permohonan kepada Allah. Orang-orang suci yang
diziarahi seakan hadir kembali dalam batin peziarah dalam bentuk
optimisme (tafa>’ul) yang diinginkan, yaitu meminta suatu
kebaikan kepada Allah sebagaimana Dia telah menghadirkan
kebaikan ke muka bumi ini berupa para kekasih-Nya.30
Makam bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya
bukan hanya sekedar tempat menyimpan mayat, tetapi merupakan
suatu simbol yang dianggap suci dan keramat. Pada awalnya, kata
keramat mengacu kepada sesuatu yang “suci” dan dapat berupa
kata, benda, orang, ataupun tempat. Secara etimologis, kata
kramat yang diacu sebagai “tempat suci” dapat dilacak dari kata
Arab haramat (jamak dari haram), berarti “suci” atau “terlarang”,
atau karamat (jamak dari karomah), yang berarti kemuliaan atau
kehormatan (dari Allah).31 Tempat-tempat yang dianggap suci
30 Badruddin, “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul
Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program pascasarjana IAIN Sunan Ampel,
Surabaya. 2011, 25. 31 Dalam Islam ada tiga tempat yang secara formal diakui sebagai tempat
suci: dua di Arab disebut haramain, artinya “dua tempat suci” dan satu lagi di
Palestina. Dua pertama tersebut adalah Masjid Suci (Masjid al-Haram) di
Mekkah, dengan objek yang paling dipuja di dalmnya, Ka’bah, atau disebut juga
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
127
kemudian diaksentuasikan dari karomah, keajaiban yang berasal
dari karunia Allah di seputar kehidupan para wali. Kara Arab
karomah (jamak: karamat) yang berarti “kemuliaan” atau
“kehormatan (dari Allah)” mengalamai pergeseran menjadi
“kramat”. Dengan demikian, kata-kata haramat dan karamat digabungkan menjadi istilah kramat, yang berarti tempat suci
(haram) atau keajaiban (karamat) menyangkut kehidupan para wali
Allah. 32
Dalam perspektif antropologi, pengkultusan makam-makam
keramat yang diyakini sebagai makam orang suci, telah membawa
ingatan bersama pada segenap hubungan antara “orang suci” dan
“tempat suci” dalam pemaknaan ruang dan waktu.33 Tidak ada
satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar yang
tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup
orang-orang suci. Misalnya saja Kyai Marogan sebagai ulama yang
diakui eksistensinya oleh masyarakat Palembang dan sekitarnya
adalah agen dakwah agama Islam. Beliau melakukan dakwahnya
hingga ke pelosok daerah terpencil di Sumatera Selatan dan
sekitarnya, seperti di Pemulutan, Jejawi, dan lain sebagainya
sekitar Batang Hari Sembilan. Selain mengaarkan agama Islam,
beliau juga mendirikan dan memperbaiki masjid-masjid di daerah
tempat beliau berdakwah. Sosok Kyai Marogan sebagai ulama
besar dan karismatis, membuat masyarakat kagum terhadapnya,
sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niatnya
untuk membongkar atau menggusur makam dan masjid beliau.
Padahal, jika dilihat dari sudut ekonomi, lokasi makam dan masjid
ini sangat strategis dan menguntungkan jika dibongkar karena
Rumah Allah (Bayt Allah); dan Masjid Nabi (Masjid al Nabawy) di Madinah,
tempat Rasulullah dimakamkan. Satu lagi yang berada di Palestina adalah
Masjid al-Aqsa (Kubah Batu), yang dahulu menjadi kiblat sholat kaum muslim
dan tempat persinggahan nabi dalam perjalanan Isra’ Mi’raj. Pengakuan atas
tempat-tempat suci ini ikut membentuk keyakinan bahwa makam-makam
setempat, khususnya makam dan peninggalan wali Allah, memiliki derajat
kesucian, walaupun derajatnya itu jauh di bawah ketika tempat suci tersebut.
AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 253. 32 AG Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 254. 33 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 434.
128 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
letaknya di tepian Sungai Ogan dan berdekatan dengan stasiun
kereta api. Salah satu karomah yang dimiliki oleh Kyai Marogan
di mana pada waktu Kyai Marogan berdakwah mengajar agama ke
arah pedalaman Sungai Musi. Ketika dalam perjalanan pulang ada
yang memberi sayur mayur. Kyai pun menyuruh muridnya untuk
meletakkan sayur tersebut di bawah petak (lantai) perahu. Namun,
setelah sampai di Palembang, petak yang berisi sayur mayur
tersebut telah berubah menjadi emas murni. Para murid Kyai ini
pun melaporkanya kepada Kyai Marogan. Kyai Marogan kemudian
menyuruh muridnya untuk membuang semua sayuran yang telah
menjadi emas tersebut ke sungai Musi. Murid-murid Kyai
Marogan pun merasa heran kenapa emas-emas tersebut harus
dibuang. Lalu Kyai Marogan pun menjelaskan bahwa hal ini
mengandung sebuah filosofis bahwa kita harus bekerja keras dan
beruang untuk mendapatkan hasil yang baik, kita tidak boleh tidak
berusaha tetapi ingin mendapatkan hasil yang banyak. Karomah
beliau34 yang diinterpretasikan oleh masyarakat ini terus
34 Menurut beberapa cerita yang beredar di lingkungan sosial masyarakat
di Palembang, ada beberapa kisah menarik seputar kehidupan maupun sesudah
wafatnya Kyai Marogan. Diantara kisah-kisah kemasyhuran Kyai Marogan yang
masih diingat oleh penduduk adalah kisah tentang ikan. Pada suatu hari seorang
pedagang ikan di daerah Ogan Komering Ilir membawa ikan-ikannya untuk
diual di pasar ikan di Palembang. Ikan-ikan itu dimuatkannya di dalam bagian
dasar perahunya lalu dikayuhkanlah perahu tersebut menuju Palembang.
Mendekati kota Palembang si pedagang menyaksikan bahwa ham[ir semua
ikannya dalam keadaan mati. Si pedagang telah membayangkan bahwa dia akan
menderita kerugian yang cukup besar kalau ikan –ikan yang mati itu dijual ke
Palembang, maklum karena ikan yang sudah mati harganya jauh lebih murah
dibandingkan ikan yang hidup dan segar. Tiba-tiba ia teringat akan
kemasyhuran dan kekeramatan Kyai Marogan, maka tanpa pikir panjang
diarahkanlah perahunya menuju Masjid Kyai Marogan mengharapkan nasihat
dari Kyai. Seteah perahunya diikatkan di tangga masjid maka dia pun segera
naik untuk menemui Kyai yang biasanya pada pagi hari seperti itu selalu
memberikan pelayaran kepada murid-muridnya. Tetapi aneh sekali sebelum dia
sempat menyapa dan mengemukakan maksudnya, maka Kyai pun menegurnya:
“Ki Sanak, ikan-ikan yang kau bawa dalam perahumu tidaklah mati, InsyaAllah
ikanmu hidup, juallah ke pasar dan peliharalah keluargamu baik-baik”. Sambil
mengucapkan salam si pedagang menuju ke perahunya sambil terheran-heran.
Benar saa setelah tiba di perahunya dilihatnya semua ikan yang dibawanya
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
129
mengalami sosialisasi dari mulut ke mulut sehingga ceritanyapun
berkembang yang mengakibatkan munculnya stereotype
”suci/keramat” atas makam beliau. Dari sini nampak bahwa
sebenarnya dalam Islam tidak ada lembaga yang bertugas
mengesahkan kewalian, masyarakatlah yang mengangkatnya
menjadi wali yang erat kaitannya dengan jaringan kehidupan.
C. Motif Peziarah
Menurut Weber motif-motif dan sikap-sikap yang dominan
bersatu dengan aneka tradisi-tradisi agama dan dapat dihasilkan
oleh pelaku-pelaku sosial. Menurutnya, motif rasional keduniaan
yang aktif (an active, this worldly rational motive) tampak dalam
konsep Protestan mengenai keahlian/pekerjaan (calling) yang
bertentangan secara diametral dengan motif-motif keakhiratan
dari aneka agama. Mengenai motif ini, Weber menjelaskan bahwa
(1) istilah motif berarti sebuah kompleks arti yang subjektif yang
nampaknya bagi si pelaku sendiri atau bagi si pengamat
merupakan suatu dasar yang kuat bagi adanya tingkah laku yang
dipermasalahkan; (2) motif bila ditafsirkan secara sosiologis
adalah suatu uraian yang bersifat kata-kata (a verbal account) yang menyediakan deskripsi, eksplanasi atau pembenaran
(justifikasi) tingkah laku yang menarik perhatian seorang pelaku
sosial; dan (3) motif-motif adalah jawaban yang dapat diterima
terhadap pertanyaan dalam konteks dan situtasi khusus sehingga
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tertentu dianggap
dalam keadaan hidup dan aktif bergerak. Maka dijualnya ikan-ikan tersebut
dengan harga pantas dan dia mendapat untung yang besar.
Karomah Kyai Marogan pun tidak hanya berhenti sebatas masa
hidupnya. Setelah beliau wafat pun, karomahnya masih bisa dirasakan. Hal ini
dituturkan oleh masyarakat setempat, bahwa kawasan makam dan masjid Kyai
Marogan ini tidak pernah kebanjiran. Padahal ketika Sungai Ogan meluap dan
hujan turun deras, perkampungan lain di dekat makam Kyai ini kebanjiran. Hal
ini pun sangat dirasakan oleh penduduk sekitar makam dan masjid karena
mereka tidak perlu untuk mengungsi atau membersihkan rumah mereka yang
terkena banjir. Makalah memperingati wafatnya Asy-Syeikhul Imam al’allamah
al’aruf Billah Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud (Kiai Muara Ogan)
yang ke-109 (17 Rajab 1319 – 17 Rajab 1428).
130 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
wajar.35 Dalam kebudayaan-kebudayaan yang masih didominasi
oleh lembaga-lembaga agama dan sistem-sistem kepercayaan
agama, penyelidikan-penyelidikan terhadap motif-motif seseorang
yang mengunjungi makam keramat akan dianggap sebagai tidak
wajar. Namun seorang ahli sosiologi modern merasa perlu
mengabsahkan tingkah laku tersebut dengan cara beralasan pada
motif yang masuk akal. Untuk memahami suatu motif seseorang,
analisa terhadap konteks-konteks sosial dalam konteks mana
motif-motif tadi sangat dipertimbangkan, lebih lanjut apabila
motif-motif tersebut menyangkut hubungan interperson yang
subjektif secara fundamental dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan makro sosial dalam kondisi-kondisi kebudayaan dan
ekonomi masyarakat.
Menurut Weber tindakan identik dengan motif untuk
tindakan atau in order to motive, artinya untuk memahami
tindakan individu haruslah dilihat dari motif apa yang mendasari
tindakan itu, sedangkan Schultz menambahkan dengan because-motive atau motif asli yang benar-benar mendasari tindakan yang
dilakukan oleh individu. Misalnya pernyataan WW (lk/43) sebagai
berikut:
“aku kesini tu supayo ketek aku ni selamet teros, kan aku ngeteknyo disekiter sungi Kyai inila”
“saya berziarah kesini supaya perahu saya selamat selalu
karena saya bawa perahunya di sungai Kyai ini”.36
Dari pernyataan tersebut maka sesungguhnya terdapat
motif dasar ialah penghormatan kepada Kyai Marogan sebagai
ulama yang tinggal di tepian Sungai Ogan Palembang. Jadi
kedatangannya berziarah ke makam Kyai Marogan disebabkan
oleh penghormatannya terhadap sang tokoh dan itu berakibat
terhadap keselamatannya di sungai. Penghormatan kepada sang
35 Bryan S Turner, Weber dan Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), 211. 36 Wawancara dengan WW, 21 Agustus 2013.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
131
tokoh (Kyai Marogan) adalah first type of motive, sedangkan
keselamatan ialah second of motive. 37 Praktik ziarah ke makam yang dianggap keramat beragam
bentuknya: dapat merupakan kegiatan individual maupun kolektif;
dapat merupakan kegiatan informal atau kegiatan yang
diselenggarakan secara periodik. Mencermati apa yang terjadi
dalam fenomena ziarah pada makam keramat, terdapat motif-
motif yang kadangkala bersifat kolektif maupun motif yang
bersifat personal. Dalam motif yang bersifat kolektif, Gerungan38
berpandangan bahwa dorongan atau motif bersama itu menjadi
pengikat dan sebab utama terbentuknya kelompok sosial. Tanpa
adanya motif yang sama antara sejumlah individu itu akan sukar
terbentuk kelompok sosial yang khas. Gejala inilah yang kemudian
melatari identitas sosial budaya pelaku ziarah. Sementara motif
yang bersifat personal bentukkannya menjadi sangat beragam,
tergantung kecenderungan para peziarah.39
Motif yang paling mendasari peziarah ke makam keramat
adalah untuk mendapatkan berkah dengan makam keramat sebagai
simbol mediatornya. Berkah dalam khazanah istilah Islam berasal
dari kata baraka (kata kerja, fi’il madhi) yang berarti telah
memperoleh karunia yang bermakna kebaikan. Barakah adalah
kata benda (isim), yang berarti kebahagiaan (saidah) dan nilai
tambah (ziyadah).40 Nilai tambah tidak disebut barakah41 jika
37 Waters dalam Syam, Islam Pesisir, 36. Lebih lanjut lihat Malcom
Waters, Modern Sociological Theory..., 33-34. Periksa juga Finn Collin, Social Reality..., 110-114.
38 W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama,
2009), 151 39 Falah, Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan Wisata, 436. 40 Menurut Musthafa al-Maraghi, ada dua jenis barakah, yaitu: barakatus
sama’ (berkah-berkah dari langit) yang berupa ilmu pengetahuan produk akal
yang berdasarkan wahyu dan anugerah Ilahi yang berupa ilham-ilham dan juga
hujan dan sebagainya yang menyebabkan kesuburan dan timbulnya kekayaan di
muka bumi. Barakatu fil ardi (berkah-berkah dari bumi) ialah kesuburan, hasil
tambang dan sebagainya). Agar diperoleh barakah itu, maka penduduk bumi
harus bertaqwa kepada Allah, sehingga akan dibuka pintu-pintu kenikmatan dan
keberkahan, yaitu dengan diturunkannya hujan yang bermanfaat yang dapat
menyuburkan tanah dan memberi kemakmuran hidup di dalam negeri, dan akan
132 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
tidak diikuti dengan kebahagiaan, ketenangan dan kebaikan.
Misalnya seseorang memperoleh tambahan rezeki, akan tetapi jika
tidak memperoleh ketenangan atau kebahagiaan dengan tambahan
rezeki tersebut, maka tidak bisa dinyatakan memperoleh barakah atau berkah. Dengan demikian, untuk memahami sebuah nilai
tambah itu barakah atau tidak tergantung dari apakah nilai tambah
tersebut membawa serta kebahagiaan atau tidak. Dari konteks
inilah, barakah berubah menjadi berkah, yang memiliki banyak
arti, misalnya berkah kesembuhan dari penyakit, terselesaikannya
problem individu, keluarga atau masyarakat, memperoleh
kenikmatan dalam kehidupan, seperti memperoleh jodoh, lulus
ujian, usahanya berhasil, panen banyak, dan sebagainya.42
Makam Kyai Marogan selalu ramai dikunjungi masyarakat,
tidak hanya masyarakat lokal namun juga masyarakat di luar
Palembang. Pada hari-hari biasa selalu ada saja peziarah yang
datang, meskipun yang paling ramai adalah pada hari libur.
Mereka pada umumnya datang secara kolektif bersama keluarga,
kerabat maupun teman/tetangga. Menurut juru kunci makam Kyai
Marogan, jumlah pengunjung pada hari-hari biasa, selain hari libur
tidaklah terlalu banyak. Jika dibuat rata-rata, kurang lebih sekitar
didatangkan ilmu-ilmu, bermacam-macam pengetahuan tentang banyak hal.
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al Maraghi, Juz VII, (Mesir. Darul Hikam,
1974), 14-15. 41 Jamhari dalam penelitiannya mengenai ziarah ke Sunan Tembayat di
Bayat Klaten menemukan perbedaan antara “barakah” dan “perolehan”.
Barakah adalah hasil yang didapat setelah melakukan ziarah. Barakah ini
berasal dari Tuhan, baik secara langsung maupun melalui perantaraan wali, yang
memberikan manfaat pada ketenangan jiwa. Selain itu, barakah, seperti halnya
pahala yang didapat ketika melakukan ibadah, akan bermanfaat pada hari
kiamat nanti. Sementara itu, “perolehan” adalah hasil yang didapat dari ziarah
yang bersifat duniawi, yaitu “sesuatu” yang dapat dimanfaatkan untuk mencari
kekayaan, menarik lawan jenis, sukses dalam berbisnis maupun sekolah, dan
semacamnya. Jadi bagi peziarah di Bayat, barakah bersifat suci dan mungkin
saja didapat tidak kasat mata, sedangkan perolehan bersifat duniawi. Tidak
seperti barakah, perolehan mempunyai sifat “panas” yang dapat membahayakan
manusia yang mencarinya. Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of
Barakah in Ziarah”, Studia Islamika, (Vol. 8, No. 1, 2001), 87. 42 Syam, Islam Pesisir, 158.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
133
100 orang per hari. Tetapi jumlah tersebut akan meningkat jauh
pada saat hari libur. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir ini,
ziarah (ziarah kubro) dijadikan program wisata oleh pemerintah
Palembang sehingga mengakibatkan membludaknya peziarah yang
datang ke makam ini.43
Kebanyakan peziarah yakin bahwa dengan berziarah ke
makam keramat, mereka akan mendapatkan berkah atau
keberuntungan sesuai yang dihajatkan. Pada dasarnya barakah
sering dimaksudkan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Namun para peziarah tidak banyak yang peduli dengan definisi
normatif itu. Berkah lebih dimaksudkan sebagai berbagai
keinginan material peziarah yang diharapkan dapat terkabul
dengan cara berdoa di makam Kyai Marogan. Peneliti sempat
berbincang dengan IW (lk/38). Ia berziarah bersama anak dan
istrinya dari Banyuasin. IW adalah seorang pedagang keliling yang
mengungkapkan bahwa maksud dan tujuannya berziarah ke
makam Kyai Marogan adalah berharap mendapatkan berkah dari
Kyai Marogan. Menurut penuturannya, hasil dagangannya akhir-
akhir ini kurang menguntungkan. Ketika ditanya “apa maksud
berkahnya?” IW menjawab “Mudah-mudahan saja dengan
berziarah kesini, usaha saya lancar, dagangan saya habis terus”.44
Peziarah yang mengunjungi makam pada umumnya telah dilandasi
dengan niat dan tujuan yang didorong oleh kemauan batin yang
mantap. Masing-masing memiliki motivasi yang belum tentu
sama. Secara umum, motivasi ziarah ke makam Kyai Marogan ini
sesungguhnya hampir sama, yaitu seputar untuk mendapatkan
keselamatan, kesehatan, keberkahan, kesembuhan, ungkapan
syukur, kemudahan rezeki, jodoh, dan nasib baik. Namun
demikian, tidak sedikit ditemukan bahwa motivasi para peziarah
tidaklah tunggal, misalnya karena keinginan untuk sembuh saja,
tetapi biasanya termasuk keinginan banyak rezeki, keselamatan
dan lain sebagainya. Bila dirinci secara detail, tujuan/motif yang
beragam tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
43 Wawancara dengan IS, juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal
21 Agustus 2013. 44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013).
134 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Tabel 6. Motif dan Tujuan Peziarah NO MOTIF DAN TUJUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Meminta keselamatan dan kesehatan
Bayar nazar
Syukuran
Kelancaran rezeki, usaha, dan panen yang melimpah
Segera mendapatkan jodoh
Sebagai rutinitas
Minta kesembuhan
Mendapatkan berkah
Kagum terhadap sang tokoh
Agar anak pintar dan tidak nakal
Nyukur anak (slametan dengan menggunting rambut bayi dan
memberi nama si bayi)
Membeli benda yang dianggap sarat, seperti kembang gantung,
kemenyan, kembang keramas, gelang dan kalung untuk bayi, dan
lain sebagainya.
Ingin mendapatkan anak (laki-laki/perempuan)
Agar rumah tangga harmonis
Meminta restu karena akan melakukan perjalanan jauh
Mencari peruntungan
Supaya anak (bayi) tidak nangis terus
Ikut-ikutan / diajak keluarga/teman
Mengambil/mengembalikan batu kerikil makam
Ngeramas (mencuci) kendaraan (motor, mobil, truk, ketek, perahu,
tongkang) yang baru dibeli ataupun dikeramas karena baru saja
mengalami kecelakaan.
Meminta restu agar dapat menduduki posisi jabatan tertentu
Doa-doa yang dipanjatkan untuk mendapatkan berkah itu
sering dijelaskan dalam satu konsep mengenai tawassul atau
berdoa dengan perantara. Namun lagi-lagi para peziarah tidak
banyak yang peduli dengan konsep normatif ini, kecuali membaca
doa-doa tawassul secara praktis yang terangkum dalam bacaan
tahlil. Tapi terkadang kebanyakan peziarah hanya memanjatkan
doa mereka tanpa membaca tahlil. Para peziarah memahami
tawassul secara praktis, yakni berdoa di sisi makam Kyai
Marogan. Dengan berdoa di sisi makam Kyai Marogan yang
dinilai dekat dan mempunyai posisi terhormat di sisi Allah, para
peziarah berharap doa-doa mereka dikabulkan. Para peziarah
mendatangi makam sendiri-sendiri, bersama keluarga, atau
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
135
bersama para tetangga dengan menggunakan angkutan darat
(seperti becak, motor, mobil, atau angkot) maupun angkutan laut
(seperti kapal, speedboat, atau ketek-perahu kecil). YL (pr/34)
misalnya ia datang dengan menggunakan jasa ketek dari 16 Ilir
menuju Kertapati tempat makam Kyai Marogan yang melintasi
Sungai Musi menuju Sungai Ogan. Ia datang bersama anaknya.45
Terdapat beberapa klasifikasi motif peziarah yang
berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Pertama berkah
keselamatan. Bagi peziarah yang datang ke makam Kyai Marogan,
motif untuk mendapatkan keselamatan seringkali dilontarkan
kepada juru kunci. Kyai Merogan adalah ulama yang tinggal di
tepian Sungai Ogan, sehingga siapapun yang datang – khususnya
orang yang bekerja membawa kapal, baik kapal kecil (ketek)
maupun kapal besar (seperti tongkang) – mereka menganggap
seperti suatu keharusan tersendiri untuk meminta izin dari sang
Kyai agar ia selamat di sungai. Kyai Marogan dipercaya
masyarakat sebagai “pemilik” Sungai Ogan sehingga siapapun
yang berlayar di sungai Ogan, dipercaya harus berziarah dahulu ke
makam Kyai agar selamat. Namun, tak hanya pelayar di sungai
saja yang datang untuk mendapat berkat keselamatan. Ada juga
sopir truk yang datang untuk keramas (memandikan truknya) agar
ia selamat sampai tujuan. Atau ada juga yang mengharapkan
keselamatan dalam perjalanannya.46 Adapun, setelah mendapat
berkah keselamatan, peziarah melakukan syukuran dengan
berziarah.47
45 Wawancara dengan YL (pr/48) pada tanggal 21 Agustus 2013.
46 “Mamang nak bejalan jaoh bawa truk ni nak ke Jawo sano, jadi sebelum pegi truk ni dikeramaske dulu. Yo kato wong tu biar selamet la katek hambatannyo di perjalanan agek. Tau la dewek dek sekarang tu rawan nian. Minta berkat selametnyo samo Kyai ni”
(Paman akan melakukan perjalan jauh dengan truk ini ke daerah
Jawa, jadi sebelum pergi truk ini dikeramas dulu. Ya kata orang sih biar
selamat tidak ada hambatan di perjalanan nanti. Tau sendiri lah kalau
sekarang itu sangat rawan. Minta berkah selamatnya saja dari Kyai ini).
Wawancara dengan DN (lk, 42) pada tanggal 21 Agustus 2013. 47 “perahu aku ni ilang dipaleng wong di sungi musi, jadi aku
beniat kalu prahu ni balek, aku nak ke Kyai ni, nah dak taunyo sukur nian sekarang tu la dibalekke wong prahu tu”
136 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Kedua, berkah untuk menjadi keluarga yang sakinah dan
bahagia. Bagi peziarah yang telah membina rumah tangga,
umumnya mereka berziarah untuk berdoa mengharapkan
keberkahan di makam Kyai Marogan agar keluarganya
mendapatkan kebahagiaan. Keutuhan dan kebahagiaan dalam
perjalanan pernikahan sebuah keluarga menjadi motive in order dalam ziarah. Pernah ada seorang ibu yang datang karena sedang
mengalami masalah keluarga, ia sering bertengkar dengan
suaminya bahkan sang suami mau menceraikannya. Ia berziarah ke
makam Kyai Marogan agar permasalahan rumah tangganya
terselesaikan dengan baik dan meminta untuk didoakan agar hati
sang suami terbuka sehingga keluarganya bisa kembali harmonis.48
Ada juga yang datang untuk minta didoakan agar segera memiliki
anak dari rahim sendiri. Ia telah dua belas tahun menikah namun
belum juga memiliki anak meskipun ia telah mengadopsi anak
laki-laki, namun ia berharap untuk mendapatkan anak kandung. Ia
pun berziarah ke makam Kyai Marogan agar dipermudah untuk
mendapatkan anak sekaligus ia juga mendoakan anak angkatnya
yang nakal agar keluarganya menjadi keluarga yang sakinah.49
Ketiga, berkah untuk mendapatkan jodoh. Bagi perempuan
maaupun laki-laki yang telah menginjak usia matang, mereka
berharap agar segera mendapatkan jodoh atau pasangan hidup. Tak
hanya itu, orang tua yang memiliki anak yang berusia dewasa juga
berharap agar anaknya segera menemukan jodohnya. Menurut
keyakinan banyak orang, urusan jodoh adalah takdir yang telah
diatur oleh Allah. Oleh karena itu agar segera mendapatkan jodoh
banyak cara yang dilakukan sebagai bentuk ikhtiar. Berziarah ke
makam Kyai Marogan adalah salah satu cara yang dilakukan
peziarah yang menghendaki cepat mendapatkan pasangan dalam
hidupnya. Mereka berharap, dengan berziarah ke makam Kyai
(Perahu saya hilang dicuri orang di Sungai Musi, jadi saya
bernazar jika perahu ini kembali (ke tangan saya), saya mau (ziarah) ke
(makam) Kyai ini, saya bersyukur sekarang perahu ini kembali ke saya).
Wawancara dengan ST (pr/54) pada tanggal 23 Agustus 2013. 48 Wawancara dengan SK (pr/27) pada tanggal 21 Agustus 2013. 49 Wawancara dengan AT (pr/40) pada tanggal 23 Agustus 2013.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
137
Marogan bisa memperoleh berkah dan kemudahan dalam
menemukan jodoh yang terbaik dan bisa membangun rumah
tangga yang sakinah. ZN (pr/36) misalnya adalah seorang peziarah
dari Plaju. Guru di sebuah sekolah swasta Palembang ini mengaku
berziarah ke makam Kyai Marogan untuk menyampaikan keluh
kesahnya karena hingga saat ini ia belum mendapatkan jodohnya.
Ia berharap, dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, doanya
terkabul untuk segera mendapatkan jodoh. “Jodoh itu di tangan
Allah, siapa tahu dengan berziarah kesini doa saya semakin
dikabulkan sama Allah. Kan Kyai sudah dekat dengan Allah,
mudah-mudahan doa saya disampaikan oleh Kyai kepada Allah”,
katanya.50
Keempat, berkah agar hasil panen melimpah. Bagi petani
yang sedang berada dalam masa tanam, berziarah merupakan salah
satu cara memohon kepada Allah agar tanaman yang mereka
tanam nantinya menghasilkan panen yang melimpah. Mereka
biasanya membeli kemenyan dan kembang keramas untuk
diletakkan di petakan sawahnya. Setelah masa panen, biasanya
petani tersebut membawakan beras hasil panennya sebagai
ungkapan syukur karena telah diberi kemudahan ketika bercocok
tanam.51
Kelima, berkah agar usaha/dagangannya lancar. Banyak
pedagang yang berziarah ke makam Kyai Marogan untuk
memohon berkah agar usaha maju dan dagangannya laris. Mereka
meyakini bahwa berkah Kyai bisa memberikan dampak kemajuan
pada usaha dagangannya. Persaingan yang ketat dalm dunia
perdagangan menjadikan beberapa pedagang mencari cara lain
yang bersifat “spiritual” untuk dapat memajukan usahanya. HM
(lk/28), peziarah dari Lemabang-Palembang yang sehari-harinya
bekerja sebagai pedagang menganggap Kyai Marogan sebagai
sosok yang penuh dengan karismatik dan karomah. Ia kagum akan
sosok Kyai Marogan. “Kyai ini adalah orang yang pantas dikagumi
karena memiliki karomah yang luar biasa dari Allah”, katanya.
50 Wawancara dengan ZN (pr/36) pada tanggal 22 Agustus 2013. 51 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013.
138 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Ketika berziarah, ia membaca surat Yasin dan tahlil untuk
beliau.52
Keenam, berkah akan pekerjaan. Motif sebagian pelaku
ziarah adalah meminta berkah agar pekerjaannya dimudahkan dan
bagi yang belum bekera, mereka biasanya meminta berkah agar
mendapatkan pekerjaan. Kunjungan peziarah yang meohon berkah
pekerjaan ini akan meningkat ketika musim kelulusan sekolah atau
setelah wisuda sebuah universitas, bahkan ketika musim
pembukaan lowongan CPNS, peziarah yang datang pun semakin
banyak. Harapan untuk mendapatkan pekerjaan menyebabkan
orang-orang berziarah sebagai salah satu bentuk ikhtiar mereka
agar mendapatkan pekerjaan yang berkah. Tak hanya mendapatkan
pekerjaan, peziarah yang datang pun bahkan sudah memiliki
pekerjaan dan berharap mendapatkan berkah agar memiliki jabatan
di instansinya. Selain itu juga, pada saat gencar-gencarnya pemilu
legislatif, banyak calon anggota legislatif yang berziarah untuk
meminta berkah agar terpilih menjadi wakil rakyat.
Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke
makam Kyai Marogan sangatlah banyak. Hal ini dikarenakan
setiap peziarah yang datang memiliki motif-motif tersendiri. Hal
ini diakui oleh juru kunci makam Kyai Marogan. Menurutnya,
orang-orang yang berziarah ke makam Kyai Marogan memiliki
latar belakang yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang,
petani, pengemudi perahu, sopir, ibu rumah tangga, PNS, anggota
DPRD, ustaz/pekerja sosial keagamaan, buruh, dan lain
sebagainya. Masing-masing memiliki tujuan sendiri-sendiri, sesuai
dengan kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, mereka
umumnya minta didoakan agar usahanya lancardan maju. Petani
minta didoakan agar bisa menghasilkan panen yang melimpah.
Seorang ibu meminta untuk kesembuhan anaknya, dan lain
sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai
Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan
hajat karena Kyai Marogan adalah mediator doa kepada Allah
52 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013).
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
139
SWT. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih
tenang.53
Ziarah ke makam Kyai Marogan (tokoh yang dianggap
suci) didasari oleh motif-motif yang lahir dari dalam diri para
peziarah, baik yang bersifat kolektif, yakni motif tradisi ataupun
motif yang bersifat personal yang sifatnya sangat beragama karena
latar belakang dan orientasi peziarah yang berbeda-beda. Untuk
motif kolektif, ziarah cenderung dilakukan bersama anggota
keluarga, teman-teman atau para tetangga. Ada pendapat bahwa
permohonan-permohonan akan lebih mudah terkabul apabila
disampaikan secara kolektif, dan berkah yang akan diperoleh juga
lebih besar. Mengantar seseorang berziarah berarti memberikan
dukungan baik fisik maupun moral kepada orang yang
bersangkutan. Sekalipun dilakukan secara perorangan, ziarah tetap
merupakan suatu tindakan yang bersifat sosial. Namun sifat
sementara dari hubungan antar pengunjung itu bukanlah kendala
bagi adanya intensitas yang tinggi dalam komunikasi dan
kesungguhan dalam ucapan-ucapan. Para peziarah secara sosial
diketahui identitasnya, dipahami keprihatinannya, dan
terungkapkan keinginannya. Baik datang seorang diri maupun
dalam kelompok, ketika pulang para pengunjung diliputi perasaan
bahwa mereka adalah bagian dari suatu komunitas. Maka ziarah
merupakan suatu kesempatan untuk mengalami perasaan
kebersamaan kolektif dan menghidupkan kembali hubungan
keakraban yang sulit dipertahankan di tengah kehidupan modern.
Ziarah mengaitkan individu pada suatu kelompok spiritual.
Meskipun praktik ziarah tampaknya memainkan peran perekat
sosial dan memperbanyak kesempatan menghidupkan kembali rasa
kebersamaan kolektif, hal itu hanya dimungkinkan oleh adanya
ruang dan waktu yang secara fungsional masih memungkinkan
modus pertukaran kolektif, baik ekonomis sosial maupun simbolis
di tengah masyarakat.54
53 Wawancara dengan IS juru kunci makam Kyai Marogan pada tanggal
21 Agustus 2013. 54 Loir dan Guillot (ed), Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 6.
140 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Keseluruhan dari motif-motif peziarah ini umumnya
berangkat dari sistem kepercayaan yang meyakini jika makam
orang suci itu bersifat sakral dan bisa menjadi media tawassul mereka untuk menyampaikan doa dan hajatnya. Orang-orang yang
dianggap suci ini adalah mediator yang bisa menghubungkan
dalam relasinya kepada Allah. Kebiasaan untuk memohon bantuan
kepada wali tidak dapat begitu saja dicari penyebabnya pada
ketidakmampuan golongan-golongan tertentu masyarakat untuk
mencapai rasionalitas, ataupun pada kecenderungan untuk
menyukai kejadian-kejadian luar biasa, yang menandakan suatu
pola berpikir yang bertumpu pada kekuatan magis. Kebiasaan itu
tidak juga dapat dikatakan sebagai sekedar suatu strategi untuk
melepaskan diri dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari di
kalangan masyarakat yang putus asa dan tertindas itu, yang
berupaya menyalurkan hasrat dan keinginan yang tak terpenuhi
melalui hubungan dengan sesuatu yang disakralkan.
D. Masyarakat dan Enkulturasi Tradisi Ziarah
Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari
sistem kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang
dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia.55
Selaras dengan hal tersebut Geertz juga mengungkapkan bahwa
agama adalah suatu sistem simbol yang berfungsi untuk
mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam
pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang
tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan
aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak realistis.56
Sistem simbol di dalam agama merupakan bentuk simbol
suci57 yang biasanya terinternalisasi di dalam tradisi masyarakat
55 Geertz, The Interpretation of Culture, 87-125. 56 Geertz, The Interpretation of Culture, 90. 57 Menurut Nur Syam, yang suci atau sakral adalah sesuatu yang berbeda
dengan yang profan. Yang sakral itu mencakup keyakinan, mitos, dogma dan
legenda-legenda yang mengekspresikan representasi atau sistem representasi di
mana hakikat yang sakral itu terdapat dan kekuatan-kekuatan yang
dilambangkandan saling hubungannya dengan lainnya dan dunia profan. Akan
tetapi untuk memahami yang sakral tersebut tidak sederhana, sebab banyak
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
141
yang disebut sebagai tradisi keagamaan. Yang dimaksud dengan
tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan
sepanjang sejarah: ada unsur baru yang masuk, ada yang
ditinggalkan juga.58 Hampir sama dengan pendapat Steenbrink –
yang mengedepankan dimensi historis- maka menurut konsepsi
Fazzlurrahman bahwa tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang
tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Jadi, perlu dibedakan antara Islam itu sendiri dengan
sejarah Islam yang termuat di dalam teks al-Qur’an dan al-Hadith
adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu
digunakan atau diamalkan di suatu wilayah – sebagai pedoman
kehidupan – maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja
mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Karena penafsiran itu
bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkannya
juga merupakan sesuatu yang sakral.59
Setiap tradisi keagamaan60 memuat simbol-simbol suci
yang dengannya orang melakukan serangkaian tindakan untuk
menumpahkan keyakinan dalam bentuk ritual, penghormatan, dan
penghambaan. Menurut Beatty, sebuah tradisi terdiri dari makna-
makna yang berbeda-beda adalah persoalan perbedaan interpretasi.
Makna suatu simbol tergantung pada tingkat strategi apa
benda-benda profan yaang diatribusikan dengan kesakralan, misalnya batu,
gunung, pohon dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit atau bahkan
dinyatakan sebagai Tuhan. Lebih lanjut lihat Emile Durkheim, The Elementary Form of Religious Life (London: George Allen and Unwin, Ltd., 1976), 37.
Menurut Mircea Eliade, yang profan adalah wilayah urusan setiap hari, hal-hal
yang biasa, tak disengaja dan pada umumnya tidak penting, yang sakral ialah
sebaliknya, wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan
penting. Periksa Daniele L.Pals, Seven Theories of Religion (Jakarta: Qalam,
2001), 275. 58 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), 42. 59 Syam, Islam Pesisir, 17. 60 Menurut Nur Syam, tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran
agama disebut Islam offisial atau Islam Murni, sedangkan yang dianggap tidak
memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama disebut sebagai Islam Popular
atau Islam Rakyat. Syam, Islam Pesisir, 17.
142 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
seseorang menggunakannya dalam pembicaraan.61 Salah satu
contoh ialah melakukan upacara lingkaran hidup dan upacara
intensifikasi, baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran
agama atau yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam
ajaran agama.
Tradisi lahir sebagai akibat dari dinamika yang
berkembang di suatu komunitas atau lingkungan masyarakat
tertentu. Tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu
komunitas yang terdiri dari perilaku, kebiasaan, atau khazanah
yang dijumpai secara turun temurun dan merupakan warisan dari
para pendahulu. Menurut Shils, tradisi berarti segala sesuatu yang
disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini. Dalam
pengertian yang lebih sempit ini tradisi hanya berarti bagian-
bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni
yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya
dengan kehidupan masa kini. Dilihat dari aspek benda material
yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan khususnya dengan
kehidupan masa lalu adalah bangunan istana, tembok kota abad
pertengahan, candi, puing kuno, kereta kencana serta sejumlah
benda peninggalan lainnya, jelas termasuk ke dalam pengertian
tradisi. Dilihat dari aspek gagasan (termasuk keyakinan,
kepercayaan, simbol, norma, nilai, aturan dan ideologi) haruslah
yang benar-benar memengaruhi pikiran dan perilaku dan yang
melukiskan makna khusus atau legitimasi masa lalunya. Gagasan
kuno mengenai demokrasi, keadilan, teknik pedukunan dan resep
masakan kuno merupakan contoh tradisi pertama yang muncul
dalam pikiran. Termasuk pula benda atau gagasan baru yang
diyakini berasal dari masa lalu dan yang diperlakukan secara
khidmat. 62
Dalam hal ini makam merupakan tradisi yang dilihat dari
aspek benda material yang menunjukkan dan mengingatkan kaitan
khususnya dengan kehidupan masa lalu. Makam sebagai simbol
keagamaan, khususnya Islam, menjadikannya sebagai bagian
tradisi keagamaan (Islam). Dilihat dari aspek gagasan, keyakinan,
61 Beatty, Variasi Agama di Jawa, 60. 62 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, 66- 70.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
143
dan kepercayaan, berziarah ke makam keramat memiliki makna
tersendiri bagi para peziarah. Mereka menginterpretasikan makna
ziarah melalui motif-motif tertentu sehingga ketika motif tersebut
terwujud dalam suatu realitas sosial maka mereka akan
melegitimasi ziarah sebagai bentuk aktivitas. Makam sebg\agai
simbol ini terlegitimasi dalam masyarakat sehingga masyarakat
membentuk suatu pola tindakan tertentu ketika melakukan
aktivitas ziarah, khususnya ketika berziarah ke makam yang
dianggap keramat.
Menurut Giddens,63 penyebaran tradisi melalui lisan jauh
lebih terbatas ketimbang melalui tulisan. Meskipun penyebaran
tradisi melalui lisan digunakan manusia untuk mengobjektivasikan
pengalaman-pengalamannya kepada yang lain, namun selain
sangat terbatas cakupan penerimanya, juga terbatas jangka
waktunya. Masyarakat Palembang yang mengganggap makam
Kyai Marogan sebagai makam yang penuh dengan karomah karena
historisitas karomah atau kemampuan Kyai Marogan yang berada
di luar batas kemampuan manusia biasa. Cerita mengenai karomah
Kyai Marogan ini pun mulai menyebar setelah beliau meninggal
dan makamnya pun menjadi sasaran peziarah untuk dikunjungi.
Masyarakat Palembang yang senang mengembangkan cerita
tentang karomah merupakan faktor penting dalam mengangkat
makam Kyai Marogan sebagai makam yang keramat dan membuat
para peziarah ke makamnya terus mengalir. Peziarah yang datang
berkunjung pun tak hanya berasal dari wilayah sekitar makam,
terdapat banyak peziarah luar daerah yang datang berkunjung,
khususnya masyarakat yang berasal dari daerah pedesaan yang ada
di Sumatera Selatan.
Menurut Piotr, masa lalu memasuki masa kini melalui rute
ideal (psikologis) dan material.64 Melalui mekanisme ideal
63 Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory, (London:
Macmillan, 1979), 204. 64 Dapat dikatakan, “keberadaan di masa kini” mengandung dua arti:
objektif bila objek dari masa lalu secara material dilestarikan, dan subjektif bila
gagasan dari masa llau diingat dan tertanam dalam kesadaran anggota
masyarakat sehingga menjadi bagian kultur. Piotr, 67
144 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
(psikologis) orang mewarisi keyakinan, pengetahuan, simbol,
norma, dan nilai masa lalu. Kesemua warisan ini dipelihara,
ditafsirkan digunakan, dan diwariskan melalui berbagai agen
seperti keluarga, masjid, sekolah, media massa, dan lain
sebagainya. Mekanisme pewarisan benda material dan gagasan
dari masa lalu saling berinteraksi. Artefak di sekitar yang berasal
dari masa lalu mengaitkan ingatan pada masyarakat terdahulu.
Yang penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau orientasi
pikiran tentang benda material atau gagasan yang berasal dari
masa lalu yang dipungut orang di masa kini. Sikap atau orientasi
ini menempati bagian khusus dari keseluruhan warisan historis dan
mengangkatnya menjadi tradisi. Arti penting penghormatan atau
penerimaan sesuatu yang secara sosial ditetapkan sebagai tradisi
menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi itu.
Ziarah menjadi bagian dari aktivitas keagamaan yang
dianggap penting oleh sebagian besar umat Islam di berbagai
belahan dunia Islam.65 Meskipun ritual ini hanya disunnahkan,
atau tidak menjadi suatu keharusan, namun bagi sebagaian
kalangan umat Islam, ziarah menjadi pilihan ritual yang sangat
penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT,
khususnya ziarah ke makam ulama yang dianggap sebagai “orang
suci dan pilihan”.
Ziarah ke makam bagi masyarakat Indonesia telah menjadi
tradisi dengan beragam motivasi. Selain untuk meminta berkah
hidup, peziarah juga dapat menyaksikan warisan budaya, baik
yang kasat mata (tangible heritage) maupun yang tidak kasat mata
(intangible heritage).66 Tradisi ziarah terutama dilakukan terhadap
leluhur, orang tua atau anggota keluarga yang dicintai. Maksud
ziarah adalah untuk mengenang kebesaran Tuhan, dan
menyampaikan doa agar arwah ahli kubur diterima di sisi Allah.
65 Lebih lanjut bisa dilihat dalam buku yang dikumpulkan oleh Henri
Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Buku ini
menjelaskan mengenai tradisi ziarah di belahan dunia Islam, seperti di negara
Timur Tengah, Mesir, Sudan, kawasan Magribi, Afrika Barat, Iran, India, Turki,
Tiongkok, termasuk Indonesia. 66 Dawson Munjeri, “Tangible and Intangible Heritage”, Museum
International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
145
Dal hal ini ziarah adalah perbuatan sunnah, artinya jika dilakukan
mendapat pahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Ziarah
dalam arti umum di Indonesia berupa kunjungan ke makam,
masjid, relik-relik tokoh agama, raja dan keluarganya, dan
terutama ke makam para wali penyebar agama Islam.
Tradisi ziarah kubur erat hubungannya dengan karisma
leluhur yang makamnya banyak dikunjungi orang. Karisma leluhur
ini dapat pula diwujudkan dengan bentuk dan hiasan bangunan
makam yang beraneka ragam, sesuai dengan tradisi seni bangun
yang dikuasai atau yang disukai. Karisma para tokoh agama yang
berkarisma begitu melekat di hati masyarakat sampai sekarang.\,
sehingga banyak di antaranya yang berkunjung dan mengadakan
ziarah ke makam-makam tersebut. Sebagai dampak dari adanya
dan berkembangnya budaya ziarah ke makam, pemerintah maupun
swasta merespons positif dengan mengembangkan tempat ziarah
sebagai obyek wisata ziarah, dengan cara pengelolaan sedemikian
rupa sehingga para peziarah dapat melaksanakan aktivitas
ziarahnya dengan nyaman dan aman.
Tradisi ziarah terenkulturasi dengan baik di dalam
masyarakat. Istilah enkulturasi (dalam bahasa Inggris digunakan
istilah institutionalization)67 sebagai suatu konsep, secara harfiah
dapat dipadankan artinya dengan proses pembudayaan.68 Menurut
M.J. Herskovits,69 enkulturasi (enculturation) adalah suatu proses
bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar mempelajari
seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi ini merupakan suatu
proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang
bernalar, punya daya refleksi dan intelegensia, belajar memahami
67 Menurut Koentjaraningrat, dalam bahasa Indonesia sekarang istilah
institualization sering diterjemahkan dengan “pelembagaan”. Hal itu salah,
karena “lembaga” adalah istilah Indonesia untuk institute” dan bukan untuk
institution, yang mempunyai arti yang lain sama sekali. Istilah Indonesia untuk
institution adalah pranata. Koentjaraningrat, Antropologi, 189. 68 Koentjaraningrat, Antropologi, 233. 69 M.J. Herskovits, Man and His Work, 39, dikutip dalam Herbert
Alphonso and Robert Faricy, Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context, (Rome: Gregorian University Press, 1997), 29.
146 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan
sekelompok manusia lain.70
Berkaitan dengan enkulturasi, Talcott Parsons dalam teori
tindakan sosialnya merumuskan suatu konsep kebudayaan sebagai
tindakan manusia yang berpola, yang disebut sebagai Kerangka
Teori Tindakan (Frame of Reference of the Theory of Action). Di
dalamnya terkandung konsepsi bahwa dalam hal menganalisis
suatu kebudayaan dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam
antara empat komponen, yaitu: (1) sistem budaya;71 (2) sistem
sosial;72 (3) sistem kepribadian;73 dan (4) sistem organisme74.
70 Definisi sederhananya “enculutration refers to the process of learning a
culture consisting in socially distribute and shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feeling intentions, and orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life” . Peter Poole,
“Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity”, In
Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York: Routledge.
71 Sistem budaya (cultural system) merupakan komponen yang abstrak
dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-
konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan. Fungsi dari budaya
adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku
masyarakat. 72 Sistem sosial (social system) merupakan aktivitas manusia atau
tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antarindividu dalam kehidupan
masyarakat.Sistem sosial bersifat lebih konkret dan nyata daripada sistem
budaya, dalam arti bahwa tindakan manusia itu dapat dilihat dan diobservasi.
Interaksi manusia itu di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi
di p\ihak lain dibudayakan menjadi pranata oleh nilai dan norma tersebut. 73 Sistem kepribadian (personality system) mengenai isi jiwa dan watak
individu yang berinteraksi sebagai warga masyaarakat. Kepribadian individu
dalam suatu masyarakt, walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga
distimulais dan dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya, serta
oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya
melalui sosialisasi dan enkulturasi selama hidup sejak masa kecilnya. Dengan
demikian sistem kepribadian ini berfungsi sebagai motivasi dari tindakan
sosialnya. 74 Sistem organik (organic system) melengkapi seluruh kerangka dengan
mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dalam organisme manusia
sebagai makhluk alamiah. Hal ini juga ikut menentukan kepribadian individu,
pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-gagasan yang dicetuskan
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
147
Keempat komponen tersebut, walaupun berkaitan satu dengan
yang lain, tetapi merupakan entitas yang khusus, masing-masing
dengan sifat-sifatnya sendiri. Berikut bagan yang menggambarkan
kerangka teori tindakan sosial.
Bagan 3. Kerangka Teori Tindakan
(Frame of Reference of The Theory of Action) KEBUDAYAAN
DALAM ARTI
LUAS
KOMPONEN WUJUD FUNGSI PROSES
BELAJAR
Kebudayaan
Masyarakat
Sistem Budaya
(Culture System)
Sistem Sosial
(Social
System)
Sistem
Kepribadian
(Personality System)
Sistem
Organik
(Organic
System)
Gagasan
Konsep
Aturan
Tindakan
antarindivi
du yang
berpola
Tindakan
pribadi
Organisme
Manusia
Menata
Memantapkan
Interaksi
antarindividu
Memenuhi
hasrat dan
motivasi
Adaptasi
terhadap
lingkungan
Pembudayaan
(Enkulturasi)
Sosialisasi
Internalisasi
Proses belajar seorang individu dalam suatu masyarakat
bermula dari cara individu tersebut beradaptasi terhadap
lingkungannya. Individu ini belajar menanamkan dalam
kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang
diperlukan sepanjang hidupnya. Proses belajar selanjutnya adalah
sosialisasi di mana individu melakukan interaksi terhadap individu
karena manusia secara alamiah menghadapi adaptasi terhadap lingkungan
sekitarnya.
148 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
lain di lingkungan sosialnya (masyarakat) untuk belajar mengenai
pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu
sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian individu ini pun
melakukan penyesuaian sikapnya terhadap nilai dan norma yang
ada dalam kehidupan kebudayaan dalam suatu masyarakat.
Enkulturasi merupakan proses seorang individu
mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya
dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Proses ini juga disebut pembudayaan yang sudah
dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat;
mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya
hingga ke lingkungan sosial. Terdapat beberapa penggolongan
enkulturasi atau institusionalisasi berdasarkan atas fungsi dan
pranata-pranata untuk memenuhi keperluan-keperluan hidup
manusia sebagai masyarakat, salah satunya adalah religious institutions yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk
berhubungan dengan dan berbakti kepada Tuhan atau dengan alam
gaib, seperti doa, kenduri, penyiaran agama, ilmu gaib, dan lain
sebagainya.75 Ziarah merupakan salah satu bentuk religious institutions. Sebagai suatu proses enkulturasi, ziarah awalnya
merupakan suatu kunjungan biasa yang berubah menjadi suatu
tradisi atau kebiasaan. Tradisi ini diselimuti oleh motif para
pelaku ziarah yang menginginkan niatnya tersebut “terkabul” atau
terwujud. Ketika hal itu terwujud maka masyarakat lain akan
mulai melakukan suatu imitasi (peniruan) mulai dari niat hingga
tindakannya. Seringkali seorang individu dalam suatu masyarakat
belajar dengan meniru berbagai macam tindakan, setelah perasaan
dan nilai budaya pemberi motivasi akan tindakan meniru maka
tindakannya menjadi suatu pola yang mantap, dan norma yang
mengatur tindakannya “dibudayakan”. Kadang-kadang berbagai
norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian.
Caranya dengan mendengar berbagai orang dalam lingkungan
75 S.F Nadel dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 136.
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
149
sosialnya pada saat-saat yang berbeda-beda, menyinggung atau
membicarakan norma tadi.76
Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur
(budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Seperti yang dilakukan oleh seorang peziarah SW (lk/65) yang
berziarah bersama keluarga besarnya, ia berasal dari luar Kota
Palembang, dusun Tanjung Rajo, mereka menyewa 1 mobil angkot
yang diisi sekitar 16 orang (pria, wanita, anak-anak dan dewasa).
Mereka masuk ke makam Kyai sambil membawa sesaji yang
berisikan ketan kunyit panggang ayam dan nasi gemuk untuk
diberikan kepada juru kunci. Juru kunci mengambil setengah dari
makanan-makanan tersebut untuk kemudian dikembalikan lagi
kepada peziarah tersebut untuk dimakan oleh mereka sebagai
berkah dari kunjungan mereka ke makam Kyai Marogan. SW
sudah sangat rutin berziarah ke makam Kyai Marogan ini,
terkadang ia sendiri dan terkadang mengajak keluarganya.
Berbagai hajat telah ia sampaikan di depan makam Kyai dan
kemudian menyuruh anak cucunya untuk melakukan hal yang
sama dengan apa yang telah ia lakukan. Hal ini menunjukkan
adanya transmisi enkulturasi ziarah dari satu generasi ke generasi
berikutnya. SW mentransmisikan nilai-nilai ziarah kepada anak
cucunya sehingga nantinya anak cucunya tersebut tetap
melestarikan tradisi ziarah ini. 77 Berdasarkan hal tersebut tampak
bahwa proses enkulturasi merupakan proses pembudayaan yang
tanpa disadari sudah ditanamkan sejak kecil terhadap individu.
Pada tahapan selanjutnya si individu tersebut melakukan peniruan
dan membudayakannya melalui berbagai macam tindakan di mana
tindakan tersebut telah diselubungi dengan perasaan dan nilai
budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru yang telah
terinternalisasi dalam kepribadiannya.
Berkaitan dengan enkulturasi yang berkembang menjadi
suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah, dalam teori konstruksi sosial
yang diungkap Peter L Berger dalam bukunya The Social Construction of Reality, tradisi dimulai dengan proses
76 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 189 77 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013
150 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
eksternalisasi atau pencurahan kedirian orang-perorang secara
terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun
mental. Selanjutnya eksternalisasi ini dilakukan berulang-ulang
atau mengalami proses habitualisasi sehingga terlihat polanya dan
dipahami bersama. Habitualisasi yang telah berlangsung inilah
yang kemudian memunculkan pengendapan yang disebut sebagai
tradisi.78
Tradisi dikonstruksikan oleh Berger sebagai suatu dialektik
yang di dalamnya terdapat tiga momen, yaitu eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi merupakan momen
pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia yang
ditempatinya, baik dalam aktivitas fisik maupun mental.79 Ritual
ziarah, disamping dilakukan oleh para peziarah melalui proses
menyesuaikan diri dengan teks-teks normatif80, dasar
legitimasinya juga diperoleh melalui proses penyesuaian diri
terhadap nilai-nilai lama yang tertanam di dalam tradisi
masyarakat.
78 Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of
Reality, 70. 79 “Externalization is the ongoing outpouring of human being into the
world, both ini the physical and the mental activity of men.” Peter L. Berger,
The Social Reality of Religion, 14. 80 Pada permulaan Islam, syari’at telah melarang untuk melakukan ziarah
kubur, karena pada masa itu manusia baru saja terlepas dari peribadatan kepada
berhala. Kemudian hukum tersebut dihapus berdasarkan sabda
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kalian, karena sesungguhnya hal itu mengingatkan kalian akan hari akhirat”. [HR. Muslim (977), Abu Dawud
(3235), Tirmidzi (1054), Nasaai (4/89), Ahmad (5/356) dan selain mereka dari
hadits Buraidah]. http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang-
ziarah-kubur/
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
151
Tabel 7. Dialektika Tradisi Ziarah MOMEN DEFINISI FENOMENA
Eksternalisasi Pencurahan diri
manusia secara
terus menerus ke
dalam dunia yang
ditempatinya,
baik dalam
aktivitas fisik
maupun mental
Para peziarah berkunjung ke makam
Kyai Marogan untuk berdoa dan
bertawassul atau sekedar membayar
niatnya. Mereka memiliki pilihan doa
sendiri-sendiri dengan motif/niat yang
berbeda-beda. Mereka menyesuaikan
tindakan mereka di makam dengan
teks-teks normatif yang bersumber
dari al-Qur’an atau hadist, bahkan
dengan tradisi yang telah/memang
terbentuk sebelumnya.
Objektivasi Produk dari
berbagai
aktivitas-aktivitas
tersebut telah
membentuk suatu
fakta yang
bersifat eksternal
dan lain dari
prosedur itu
sendiri
Aktivitas ziarah di makam Kyai
Marogan dipahami bersama sebagai
ritual yang mempunyai sebuah makna
penting di dalamnya. Para peziarah
bersama-sama datang ke makam Kyai
Marogan didasarkan bahwa Kyai
Marogan adalah sosok ulama yang bia
menjadi panutan dan sosok wali yang
krtika diziarahi dan didoakan bisa
mendatangkan berkah. Ziarah di
makam Kyai Marogan tersebut
dipahami oleh para peziarah sebagai
suatu kenyataan objektif atau sebagai
sesuatu yang begitulah adanya,
seakan-akan terpisah dari keinginan-
keinginan individual peziarah.
Internalisasi Penyerapan
kembali realitas
tersebut oleh
manusia dan
mentransformasik
annya sekali lagi
dari struktur-
struktur dunia
objektif ke dalam
struktur
kesadaran
subjektif.
Beralihnya kenyataan objektif yang
ada di seputar makam Kyai Marogan
ke dalam kenyataan subjektif para
peziarah. Para peziarah melakukan
pemaknaan sendiri-sendirimengenai
kenyataan objektif yang mereka hayati
di makam tersebut dan disesuaikan
dengan kesadaran subjektifnya dan
keinginan-keinginannya. Mereka juga
memproduksi pengalaman-pengalaman
sendiri yang disesuaikan dengan
format pengalaman umum para
peziarah lainnya.
152 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
Peter L. Berger dalam teori konstruksi sosialnya
merumuskan suatu konsep dialektik, yaitu eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial, menurut Berger,
berlangsung secara dialektik dalam tiga momen tersebut. Pertama
adalah bahwa manusia membentuk sebuah masyarakat. Kedua
adalah kebalikannya bahwa masyarakatlah yang membentuk
manusia. Ketiga merupakan penyempurnaan dari kedua proposisi
tersebut adalah bahwa manusia membentuk masyarakat sekaligus
masyarakat membentuk manusia.81
Dalam moment eksternalisasi, realitas sosial itu ditarik ke
luar diri individu. Di dalam moment ini, realitas sosial berupa
proses adaptasi dengan teks-teks suci (bisa berupa al-Qur’an, al-
Hadits, kesepakatan ulama, hukum, norma, nilai, dan sebagainya)
yang hal itu berada di luar diri manuisa, sehingga dalam proses
konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau
diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural.
Adaptasi tersebut dalat melalui lisan, tindakan dan pentradisian
yang disebut sebagai enkulturasi. Karena adaptasi merupakan
proses penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat
dimungkinkan terjadinya variasi-variasi adaptasi dan hasil
adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.
Pada moment objektivasi, ada proses pembedaan dua
realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan realitas sosial lain
yang berada di luarnya, sehingga realitas sosial itu menjadi sesuatu
yang objektif. Sebagai momen interaksi dengan dunia sosio-
kultural, maka di dalamnya melibatkan tarik-menarik anar agen
seperti tokoh agama, masyarakat, politisi, pemuda, wanita, dan
lain sebagainya. Dalam proses konstruksi sosial, momen ini
disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagan dan legitimasi.
Dalam hal ini, agen-agen pelembagaannya bisa berasal dari
peziarah itu sendiri atau bahkan dalam bentuk kelembagaan
seperti NU82 atau Muhammadiyah83, dan lain sebagainya.
81 Nur Syam, Islam Pesisir, 41-45. 82 NU adalah ormas Islam yang paling dekat dengan tradisi, budaya, dan
kearifan lokal. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah
menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus
Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam Masyarakat Palembang
153
Dalam momen internalisasi, dunia realitas sosial yang
objektif tersebut ditarik kembali ke dalam diri individu, sehingga
seakan-akan berada di dalam individu. Untuk melestarikan
identifikasi tersebut digunakanlah sosialisasi dan transformasi,
artinya bahwa agar individu selalu berada di dalam identifikasi
lembaga atau institusi, maka selalu dilakukan sosialisasi dan
transformasi. Tahap inilah yang kemudian menghasilkan
identifikasi orang atau individu sebagai bagian dari organisasi
agama, sosial, dan politik atau lainnya yang secara konseptual
disebut sebagai wong NU atau wong Muhammadiyah. Masing-
masing golongan kemudian berusaha mengembangkan
tindakannya kepada orang lain.
melakukan perubahan yang lebih baik. Kaidah yang akrab di kalangan
Nahdliyyin adalah “mempertahankan warisan lama yang baik dan mengambil
sesuatu yang baru yang lebih baik”. Inilah yang menjadi pondasi NU tetap
mempertahankan tradisi meski tetap melahirkan sesuatu yang baru. Khamami
Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Kompas, 2010), 131.
83 Muhammadiyah pada awalnya lahir dalam rangka merespons kondisi
sosial keagamaan umat Islam, yang pada masa itu (pemerintahan Hindia
Belanda), tidak mempraktikkan agama secara murni, bertaburnya mistisme
dalam ritual keagamaan, pengamalan Islam yang bercampur dengan bid’ah-
khurafat-syirik, akal tidak berdaya menghadapi tradisi yang penuh dengan
kestatisan dan kepasifan. KH. Ahmad Dahlan (sebagai pendiri Muhamadiyah)
kemudian menemukan metode yang tepat bagi pembebasan umat Islam dari
kestatisannya dan membentengi umat dari pengaruh luar dengan cara-cara
rasional. Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah, (Jakarta: Kompas, 2010), xiii.
154 Enkulturasi Ziarah Sebagai Tradisi Islam dalam
Masyarakat Palembang
BAB V
“...kelompok-kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat, kedudukan
dan pekerjaan, kelompok mayoritas dan minoritas, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin (gender) – untuk menyebut
bagaimana masyarakat dapat dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan kecenderungan keagamaan yang berbeda, dan
dengan demikian, mengekspresikan agama dalam cara-cara yang berbeda pula...”
-- Azyumardi Azra –
INTERDEPENDENSI STRATIFIKASI SOSIAL DAN
POLA KEPERCAYAAN MASYARAKAT
nterdependensi antara stratifikasi sosial dan pola
kepercayaan masyarakat dianalisis melalui kerangka
hubungan kelas dan pola kepercayaannya dalam
kehidupan keagamaan. Ziarah merupakan tradisi yang paling
menonjol karena ziarah dilakukan oleh semua lapisan masyarakat
dan terjadi setiap hari di berbagai tempat keramat. Hubungan
tersebut dideskripsikan melalui stratifikasi dan perilaku ziarah
masyarakat. Hal ini kemudian memperlihatkan adanya stratifikasi
keagamaan dalam masyarakat sehingga dari sini nampak bahwa
masyarakat memilliki pola kepercayaan yang bervariasi bahkan di
dalam prosesnya masyarakat secara tidak sadar telah berada dalam
proses perubahan sosial, yaitu telah melakukan suatu transisi
kepercayaan dari tradisional menuju rasional.
A. Stratifikasi dan Perilaku Ziarah Masyarakat Palembang
Fenomena kekeramatan makam di Kota Palembang
memperlihatkan bahwa kehadiran peziarah dengan berbagai latar
belakang membentuk suatu pola perilaku tertentu. Menurut Ralph
Linton, latar belakang tersebut telah diperoleh sejak lahir tanpa
I
158 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
memandang perbedaan antar individu atau kemampuan.1 Peziarah-
peziarah yang hadir secara tidak sadar memiliki suatu kesamaan
yang kemudian tersegmentasi, baik secara horizontal maupun
vertikal. Secara horizontal, perbedaan yang tampak dalam
masyarakat (peziarah) ini disebut sebagai diferensiasi sosial
sedangkan perbedaan masyarakat (peziarah) berdasarkan vertikal
disebut sebagai stratifikasi sosial. Baik secara horizontal maupun
secara vertikal, individu (peziarah) sebagai anggota dalam suatu
masyarakat (komunitas peziarah) memperoleh status yang telah
dibawanya sejak lahir. Berdasarkan status yang diperoleh secara
lahiriah tersebut, anggota masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan
perolehan2, jenis kelamin3, hubungan kekerabatan4, dan
1 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993), 85-86. Lihat juga Ya>ni>k Lu>mi>l,
al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah, (Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d al-Muttahidah,
2008) 2 Stratifikasi berdasarkan perolehan ialah stratifikasi usia (age
stratification). Dalam sistem ini anggota masyarakat yang berusia lebih muda
mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih
tua. Asas senioritas dijumpai pula dalam stratifikasi berdasarkan usia. Matilda
White Riley, “The Perspective of Age Stratification”, The School Review Vol.
83, No. 1, Responses to "Symposium on Youth: Transition to Adulthood"
(Nov., 1974), pp. 85-91 Published by: The University of Chicago Press.
http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 3 Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada
faktor perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan
kewajiban yang berbeda-beda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu
hierarki. Joan Huber, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”,
Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in
Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258-
268, Published by: American Sociological Association,
http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 4 Stratifikasi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan. Perbedaan hak
dan kewajiban antar anak, ayah, ibu, paman, kakek dan sebagainya sering
mengarah ke suatu hierarki. Constantina Safilios-Rothschild, “Family and
Stratification: Some Macrosociological Observations and Hypotheses”, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section: Macrosociology of the
Family (Nov., 1975), pp. 855-860, Published by: National Council on Family
Relations, http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal 20 Juli
2013).
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
159
keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta5, strata
berdasarkan pekerjaan6 dan ekonomi7. Namun, stratifikasi8
bukanlah hanya sekedar menempatkan individu sebagai anggota
kelompok tertentu, akan tetapi adalah rangkaian pengaruh atas
tingkah laku individu, termasuk mengapa individu itu berkaitan
dengan yang lain dengan cara-cara tertentu. Tingkah laku individu
dipengaruhi oleh rangkaian pengalaman yang dimilikinya. Setiap
individu mempunyai rangkaian pengalaman yang unik (unique set
5 Sistem stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam kelompok
tertentu, seperti stratifikasi keagamaan (religious stratification), stratifikasi
etnis (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification). Hugo G.
Nutini, “Social Stratification and Mobility in Central Veracruz “, Social Sciences - Anthropology , 2009, Published by: University of Texas Press ,
http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013) 6 Stratifikasi pekerjaan (occupational stratification). Di bidang pekerjaan
modern ini terdapat berbagai klasifikasi yang mencerminkan stratifikasi
pekerjaan, seperti perbedaan antara manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga
administratif, antar guru besar, lektor, dan asisten dosen, antar bintara, perwira
pertama, perwira menengah, perwira tinggi. John Robert Warren, Jennifer T.
Sheridan and Robert M. Hauser, “Occupational Stratification across the Life
Course: Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study, American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002), pp. 432-455, Published by:
American Sociological Association, http://www.jstor.org/stable/3088965
(diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 7 Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu perbedaan warga
masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan
suatu kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan warga
masyarakat berdasarkan penghasilan, dan kekayaan mereka menjadi kelas atas,
kelas menengah, dan kelas bawah. Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der
Wal, Salvador Flores-Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-
Olguín, “Economic Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya
Village of Pomuch, Mexico”, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September
2012), pp. 264-275, Published by: Springer on behalf of New York Botanical
Garden Press. http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20
Juli 2013). 8 Teori stratifikasi dalam fenomenologi memperlakukan tingkah laku
individu yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pokok
pembahasan (subject matter). Kelas, institusi, atau kelompok adalah rangkaian
individu yang memiliki sesuatu yang sama atau tingkah laku individu dalam
kaitannya dengan yang lain. Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, (Jakarta: PT
Fikahati Aneska, 1993), 43.
160 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
of experience) yang dijadikan dasar bagi interaksinya dengan
orang lain. Sehingga pengalaman ini menjadi penting dalam
menentukan tingkah laku. Oleh karena itu, menurut
fenomenologi9 masyarakat adalah bentuk abstrak dari saling
interaksi, dan individu-individu di dalamnya dipengaruhi oleh
individu lain yang dijumpainya. Hubungan-hubungan dengan
orang lain itu membentuk pikiran dan tingkah lakunya. Hubungan
dengan orang-orang lain di tempat kerja adalah satu jenis
pengalaman tersendiri, yang berbeda dengan hubungan dengan
orang lain di mana seseorang tinggal, bermain, dan berbeda pula
dengan hubungan di dalam keluarga. Hubungan yang berulang-
ulang itu akan membentuk pola yang merupakan struktur yang
mengacu kepada “kelas” atau status group. Sedangkan hubungan
kekuasaan (power relation) adalah hubungan yang ditandai oleh
suatu situasi hubungan yang ditandai oleh suatu situasi hubungan
‘memberi perintah’ dan ‘menerima perintah’.10
Bagan 4. Konsekuensi Outcome Stratifikasi11 HIERARKI OUTCOME
DETERMINAN
STRATIFIKASI
Sosio-Ekonomi
konsekuensi
Pola Kepercayaan
Tindakan
Pola Asuh
Gaya hidup
Mental/Pola Pikir
Sosio-Kultural
Sosio-Religius
Etnisitas
Pendidikan
Politik
Bagan tersebut menurut Jeffries dan Ransford menunjukkan
arah kausal yang jelas (dari posisi stratifikasi ke hasil). Korelasi
9 Fenomenologi mendasarkan semua konsep pada kehidupan sehari-hari
yang bisa teramati (observable everyday life). Fenomenologi adalah satu bentuk
empirisme radikal, yang berpendapat bahwa tidak satu pun dapat diterima
kecuali bila sesuatu itu bisa diamati. Struktur sosial, oleh karena itu, bukanlah
mitos yang dibangun oleh orang akan tetapi adalah struktur nyata yang dapat
ditemukan dalam tingkah laku nyata sehari-hari, khususnya di dalam interaksi
yang berulang-ulang. Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 43. 10 Collins dalam Billah, dkk, Kelas Menengah Digugat, 44. 11 Bagan ini terinspirasi dari bagan Jeffries dan Ransford dalam Social
Stratification: A Multiple Hierarchy Approach.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
161
berarti bahwa ada hubungan statistik antara dua variabel; mungkin
sebuah contoh dari sebab dan akibat, atau mungkin juga tidak ada
hubungan. Istilah korelasi kemudian dipilih sebagai yang paling
tepat untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat yang menyiratkan
bahwa posisi dalam hirarki stratifikasi menentukan suatu hasil.
Strata sosial memiliki dampak terhadap perilaku manusia dan
sikapnya. Kelas menciptakan dunia sosial yang membentuk
pandangan dan nilai seseorang.12 Hubungan strata sosial dan
pandangan seseorang dapat dilihat dari perilaku yang teraplikasi
dalam sebuah tradisi yang ada di dalam masyarakat.
Keseluruhan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia,
termasuk ziarah ke makam keramat bisa dikatakan sebagai sarana
pengikat bagi orang awam yang memiliki status sosial yang
berbeda dan begitu juga memiliki keyakinan yang berbeda.
Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-
momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan)
baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan
nuansa keagamaan. Peziarah di makam Kyai Marogan jika
dikategorikan dari status sosial peziarah tercatat dari status sosial
paling rendah sampai pejabat negara. Mereka datang ke makam
dengan tujuan sama yakni berziarah dan membaca doa, walaupun
status dan motif mereka bisa berbeda. Sungguh pun tradisi seperti
ini sekarang ada di pusaran modernisasi dan rasionalisasi, namun
faktanya tradisi seperti ini sampai sekarang masih bertahan bahkan
kegiatan ini menjadi agenda tersendiri dalam memenuhi kegiatan
keagamaan. Munculnya motif di luar tujuan utama ziarah, terlebih
ketika sudah diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi
pra-Islam, sehingga tidak pelak timbul tudingan yang berdasar
pada suatu pandangan yang menganggap “syirik” dalam fenomena
ziarah ini.
Menurut Weber yang mengendalikan perilaku seseorang
secara langsung adalah keinginan-keinginan material dan ideal dari
orang itu bukan oleh ide-ide atau ajaran. Weber kembali
menandaskan pemikirannya bahwa pandangan-peandangan
12 Jeffries dan Ransford, Social Stratification: a Multiple Hierarchy
Approach, 268.
162 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
tentang dunia (serta kata-kata yang diungkapkan sehubungan
dengan motif mereka) yang berpengaruh dalam tindakan, adalah
dengan sendirinya terbentuk oleh adanya keinginan dari suatu
lapisan sosial yang merupakan bagian dari sejarah hidup mereka.
Weber beranggapan bahwa untuk menerangkan tindakan-tindakan
sosial terlebih dahulu memahami nilai dan keinginan (motif)
subjektif dari tindakan sosial tersebut, tetapi ungkapan tindakan-
tindakan tersebut juga dengan sendirinya terbentuk oleh kondisi-
kondisi sosial dan ekonomi.13
Dalam menganalisis perilaku peziarah ke makam Kyai
Marogan Palembang melalui perspektif theory of volunterism dapat dilihat bahwa peziarah memiliki motif-motif yang berbeda
untuk berkunjung ke makam Kyai Marogan. Motif untuk datang
ke makam Kyai Marogan bukan suatu hasil yang bersifat
individualis semata melainkan karena adanya pengalaman-
pengalaman orang lain yang telah membuktikan ‘kesakralitasan’
makam tersebut sehingga ‘keinginan’ seseorang tercapai.
Jika dijabarkan satu persatu motif peziarah yang datang ke
makam Kyai Marogan sungguh amatlah banyak. Hal ini diakui
oleh IS selaku juru kunci makam Kyai Marogan. Orang-orang yang
berziarah ke makam Kyai Marogan mempunyai latar belakang
yang berbeda-beda, ada pengusaha, pedagang, petani, pegawai
negeri, buruh, pejabat, anggota DPR dan lain sebagainya. Masing-
masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri, sesuai dengan
kebutuhannya. Jika pedagang atau pengusaha, yang berziarah
umumnya mereka minta didoakan agar usahanya lancar dan maju
pesat. Petani biasanya minta didoakan agar tanamannya selamat
dan mendapatkan panen yang melimpah. Pegawai, minta didoakan
agar bisa mendapatkan jabatan atau selamat dalam jabatannya dan
sebagainya. Mereka percaya bahwa berziarah ke makam Kyai
Marogan adalah cara yang dianggap tepat untuk menyampaikan
hajat. Paling tidak, cara ini bisa membuat hati mereka lebih
tenang. Seperti yang dikatakan oleh Berger bahwa sebuah
13 Bryan S.Turner, Agama dan Teori Sosial. (Yogyakarta: IRCiSoD.
2006), 31.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
163
kebiasaan dapat melindungi manusia dari ketidakpastian.14 Motif-
motif seperti keberhasilan dalam usaha, mendapatkan jodoh,
keselamatan, dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang tidak
pasti. Namun kehadiran peziarah untuk melakukan tradisi ziarah
seolah-olah melepaskan ketidakpastian itu. Mereka menganggap
bahwa tradisi ziarah setidaknya merupakan usaha untuk
melepaskan ketidakpastiannya. Hal ini berarti ziarah ke makam
keramat merupakan suatu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dalam
kehidupan masyarakat. Kebiasaan berziarah yang dilakukan pelaku
ziarah – yang memiliki motif dan tujuan beragam – membuat
mereka merasa terlindungi dari berbagai ketidakpastian. Misalnya
ketika seorang pengusaha yang tidak tahu kepastian akan
keberhasilan usahanya, ia mencoba untuk berziarah agar
ketidakpastian-ketidakpastian itu setidaknya terobati.
Untuk menjelaskan keterhubungan antara stratifikasi dan
perilaku ziarah, dapat dianalisis melalui teori voluntarism yang
dikemukakan oleh Talcott Parson15. Menurut Parson, aktor
mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma mengarahkan
dalam memilih alternatif cara dan alat dalam mencapai tujuan.
Norma-norma tersebut tidak dapat menentukan pilihannya
terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor
untuk memilih. Kemampuan ini oleh Parson disebut voluntarism,
yaitu kemampuan individu melakukan suatu tindakan berdasarkan
14 Geger, Peter L Berger: Perspektif Metateori, 107. 15 Talcot Parson sebagai tokoh teori aksi menginginkan pemisahan
antara teori aksi dan aliran behaviorisme, karena menurutnya mempunyai
konotasi yang berbeda. Menurut Parson suatu teori yang menghilangkan sifat-
sifat kemanusiaan dan mengabaikan aspek subjektif tindakan manusia tidak
termasuk kedalam teori aksi, sehubungan dengan itu Parson menyusun skema
unit unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut: (a) adanya
individu sebagai aktor; (b) aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tersebut; (c)
aktor memiliki alternatif cara,alat serta tehnik untuk mempunyai tujuan; (d)
aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi
tindakan dalam mencapai tujuan; dan (e) aktor dibawah kendali dari nilai
nilai,norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam
memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), 48-49.
164 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
berdasarkan lingkungan, pengalaman, persepsi, pemahaman dan
penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu seperti
kondisi situasional lingkungan budaya, tradisi, dan agama.
Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional,
yaitu mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang
paling tepat. Walaupun tidak mempunyai kebebasan total, karena
masih dibatasi oleh kondisi-kondisi tertentu, tetapi aktor adalah
perilaku aktif, kreatif dan evaluatif serta mempunyai kemampuan
menilai dan memilih alternatif tindakan.16 Parson beranggapan
bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-
norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku
itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap
suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial
tertentu. Talcott Parson juga beranggapan bahwa tindakan
individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh system sosial, system
budaya dan system kepribadian dari masing-masing individu
tersebut.17
16 Beberapa asumsi dasar tindakan aktif, kreatif dan evaluatif menurut
parson, antara lain : (1) Tindakan manusia atau aksi muncul dari kesadarannya
sendiri sebagai subjek, dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek;
(2) Sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan –
tujuan tertentu, jadi tindakan manusia atau aksi bukan tanpa tujuan; (3) Dalam
bertindak, manusia menggunakan cara, tehnik, prosedur, metode serta
instrumen yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut; (4)
Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi kondisi yang tak dapat diubah
dengan sendirinya atau circumstances; (5) Manusia, memilih, menilai dan
mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah
dilakukannya; (6) Ukuran – ukuran, aturan – aturan atau prinsip – prinsip moral
diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan; (7) Studi antar hubungan
sosial memerlukan pemakaian tehnik penemuan yang bersifat subyektif seperti
metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan – akan
mengalami sendiri ( variacious experience ). Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 59. Lebih lanjut lihat Parson,
T. (2011). Actor, situation and normative pattern: an essay in the theory of
social action. Editedand Introduction by Victor Lidz and Helmut Staubmann.
Wien. Lit Verlag (Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action
edited by Staubmann and Lidz). ASNP 17Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence
Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3 (September 2013) (pp. 233-
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
165
Bagan 5. Konsep Tindakan Voluntarism Parson18
Dalam hal ini perilaku ziarah yang dilakukan oleh seorang
individu sebagai aktor merupakan perilaku yang memiliki motif.
Motif peziarah inilah yang memicu mereka untuk melakukan suatu
tindakan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi atau
situasi yang mempengaruhinya. Seperti RN (pr/22) yang
melakukan ziarah karena memiliki motif. Tujuannya berziarah
adalah agar ia dapat dengan lancar menyelesaikan studinya di
sebuah perguruan tinggi. Si aktor melakukan ziarah karena
berdasarkan atas situasional dan kondisi tertentu. Dalam situasi
akan menempuh ujian, ia datang berziarah dan tidak hanya itu,
terdapat norma dan nilai yang telah ditanamkan oleh orang tuanya
kepada dirinya. Menurutnya, ziarah merupakan tradisi di
keluarganya jika mereka menghadapi suatu masalah atau pun
sebagai ucapan syukur karena telah menyelesaikan suatu masalah.
Keberhasilan orang-orang terdahulu atas pengalaman-pengalaman
terkabulnya motif-motif berziarah dapat mempengaruhi persepsi si
aktor untuk melanjutkan tradisi ziarah dengan cara-cara tertentu.
Tak hanya sebagai suatu tradisi, kemasyhuran sang tokoh akan
karomahnya, Kyai Marogan, juga merupakan bentuk persepsi yang
244) Published by: Springer. http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses
pada tanggal 12 Juli 2014) 18 Sumber gambar: http://en.wikibooks.org/wiki/Social_Psychology/
Action_ and_person
166 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
telah ditransformasikan. Aktor (peziarah) yang saat ini melakukan
ritual ziarah bukan saja sebagai accepted history,19 tetapi telah
menjadi kepercayaan peneguh iman. Makam Kyai Marogan adalah
potret bahwa kekeramatan dan kemasyhuran leluhur itu dibentuk
melalui suatu kontruksi memori.
Parson melihat agama dalam pengertian apakah kosmologi
masyarakat mengandaikan yang suci itu bersifat imanen atau
transenden, ia mengawali uraiannya dengan paradigma kultural.20
Ziarah pada awalnya merupakan suatu ritual keagamaan. Namun,
ritual keagamaan ini terakulturasi oleh budaya setempat sehingga
ziarah bukan hanya kunjungan biasa namun memiliki makna yang
mendalam. Konsep ziarah ini akan memiliki makna yang lebih
mendalam apabila yang dikunjungi merupakan makam orang suci,
orang yang memiliki karisma dan karomah atau orang-orang yang
dianggap berjasa dalam suatu masyarakat. Masyarakat pada
umumnya akan menganggap makam-makam tersebut sebagai
makam keramat bahkan makam suci.
Pola perilaku peziarah di makam keramat tidak hanya
dapat dianalisis melalui tindakan voluntarism sebagaimana yang
diungkap oleh Parson bahwa aktor memiliki motif untuk
melakukan suatu tindakan. Namun, dalam suatu tradisi, terdapat
identitas yang telah dibawa oleh si aktor sehingga menyebabkan ia
melakukan tindakan tersebut. Identitas ini dapat berupa strata
yang telah melekat pada dirinya (meskipun secara tidak sadar ia
tidak menyadari strata mana ia berada) sehingga menyebabkan
pembentukan suatu pola tindakan dan pola pikir maupun pola
kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap perilaku ziarah -
dalam hal ini berkaitan dengan pola kepercayaannya – dapat
dilihat melalui bagan berikut:
19 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”
yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis
(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah
Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-
tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html 20Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge,
1990), 17.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
167
Bagan 6. Interdependensi Hierarki Strata Peziarah Terhadap Pola
Kepercayaan di Palembang21 POLA KEPERCAYAAN
Rasional
Tradisionalisme Islam
Magis
DETERMINAN STRATIFIKASI
SOSIO-
EKONOMI
PENDI-
DIKAN
SOSIO
RELIGIUS
ETNIS SOSIO
KUL-
TURAL
POLITIK
STRATA
ATAS
STRATA
BAWAH
Kelas Atas
Kelas
Menengah
Kelas
Bawah
Berpendi-
dikan
Tinggi
(Lulusan
sarjana ke
atas)
Berpendi-
dikan
sedang
(lulusan
SMA)
Berpendidik
an rendah
(lulusan
SMP, SD
dan tidak
bersekolah
Sangat
religius
(Ulama)
Religius
Moderat
Kurang
Religius
(awam)
Melayu
Palem-
bang
Cina
Iliran
Uluan
Pejabat
negara,
pemimpin
organisasi,
kelas atas
dasar
keahlian
Pedagang,
ahli-ahli
teknik,
petani
pemilik
lahan
Pekerja
rendahan,
buruh,
petani
penggarap
Berkaitan dengan interdependensi antara sratifikasi sosial
dan pola kepercayaan, menurut Azyumardi Azra, semula kelas-
21 Diadaptasi dari bagan multiple Hierarchie of Stratification Jeffries dan
Ransford, 10.
168 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
kelas yang ada dalam masyarakat tidaklah dipisahkan atau
dibedakan karena pengetahuan atau keimanan. Namun hal-hal ini
berubah tatkala masyarakat yang bersangkutan semakin besar dan
hasilnya semakin terdiferensiasi. Sekarang ini terdapat bukti-bukti
yang kuat, bahwa kelompok etnis, kelas-kelas masyarakat,
kedudukan dan pekerjaan – untuk menyebut bagaimana
masyarakat dapat dibagi atau dibedakan – sering menunjukkan
kecenderungan keagamaan yang berbeda, dan dengan demikian,
mengekspresikan agama dalam cara-cara yang berbeda pula.
Analisis yang mencakup hanya salah satu dari pembagian –
pembagian masyarakat itu jelas tidak memadai; karena sangat
besar kemungkinan bahwa variabel-variabel itu saling
mempengaruhi. Sebagai contoh, orang-orang dari status kelas yang
berbeda dapat sama-sama religius, karena, misalnya, tinggal di
wilayah pemukiman yang sama, atau tingkat pendidikan yang
sama, atau bahkan karena kecenderungan kepribadian yang sama.22
1) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Ekonomi Terhadap Perilaku Ziarah
Menurut Karl Marx, ekonomi merupakan faktor
determinan yang mempengaruhi terbentuknya stratifikasi sosial di
dalam suatu masyarakat. Meskipun hal ini dibantah oleh beberapa
tokoh yang menganggap bukan hanya ekonomi yang menjadi
determinan stratifikasi, namun dalam kehidupan sehari-hari,
stratifikasi selalu dilihat dari kepemilikian ekonomi atau prestise
seseorang dalam suatu masyarakat. Indikator pemilahan strata
berdasarkan sosio-ekonomi (economic stratification) umumnya
dipilah berdasarkan pemilikan kekayaan dan penghasilan yang
kemudian dibagi menjadi kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah.23 Indikator kelas berdasarkan strata sosio-ekonomi ini bisa
22 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999), 23-24. 23 Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores-
Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-Olguín, “Economic
Stratification Differentiates Home Gardens in the Maya Village of Pomuch,
Mexico”, Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp. 264-275,
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
169
dilihat berdasarkan indikator keluarga yang terbagi menjadi
keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I sebagai kelas bawah,
keluarga sejahtera II dan sejahtera III sebagai kelas menengah, dan
keluarga sejahtera III Plus sebagai kelas atas.24
Dalam masyarakat tradisional, agama berfungsi untuk
mendorong manusia terlibat peran-peran dan tingkah laku
ekonomi karena agama mengurangi rasa cemas dan rasa takut.
Meskipun tidak ada kategori sosial ekonomi penduduk yang
memonopoli kealiman. Namun, jika dilihat berdasarkan kategori
sosial-ekonomi ini, orang-orang yang berada dalam strata kelas
atas, seperti pengusaha, cendikia, dan lain sebagainya, pada
umumnya mereka lebih bersifat rasional.
Peziarah yang datang ke makam keramat ini tersegmentasi
ke dalam beberapa kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah dan
kelas bawah sehingga membawa karakteristik tersendiri bagi pola
kepercayaan yang teraplikasi melalui tingkah laku ziarahnya.
Pedagang kecil, pengemudi perahu (ketek maupun speed boat), petani, nelayan, sopir yang tergolong dalam strata sosial bawah
pada umumnya masih memiliki pola kepercayaan tradisional.25
Pedagang misalnya, mereka biasanya memiliki kebiasaan untuk
berziarah agar usaha mereka lancar. Untuk pedagang yang berada
dalam taraf usaha kecil-kecilan (seperti membuka warung makan,
jualan keliling, dan lain sebagainya), mereka seperti peziarah
tradisionalis pada umumnya yang masih mempercayai bahwa
sosok Kyai Marogan adalah sosok yang mampu mengabulkan
motif mereka sehingga dengan meminta pertolongan Kyai
Marogan, rezeki mereka pun menjadi lancar. Biasanya mereka
berziarah sambil membawa sesaji (seperti nasi gemuk atau ayam kampung item) sebagai syarat mereka.26 Sebenarnya tradisi ini
tidak ada di dalam Islam, namun hal ini hanya suatu kebiasaan Published by: Springer on behalf of New York Botanical Garden Press.
http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada tanggal 20 Juli 2013). 24 Lihat Bab 3. 25 Berdasarkan wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/petani), FD
(lk/44/pengemudi ketek), DN (lk/42/sopir). 26 Hasil wawancara dan observasi terhadap IW (lk/38/pedagang keliling),
RD (lk/58/pedagang), KL (pr/42/penjaga toko).
170 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
yang telah terenkulturasi. Sedangkan untuk pedagang dalam skala
besar (seperti usaha kayu, tanah perkebunan, dan lain sebagainya)
pada umumnya mereka telah melepaskan diri dari membawa
sesaji. Namun, baik pedagang kecil maupun besar, mereka tetap
membawa oleh-oleh (membeli barang yang mengandung makna
simbolis di makam keramat, seperti kembang, penglaris, kemenyan, dan lain-lain) untuk diletakkan di tempat usaha
mereka.
Untuk kategori pegawai, umumnya mereka berada dalam
strata kelas menengah sehingga pola kepercayaan mereka pun
merupakan gabungan dari tradisionalis-modernis, di mana mereka
hanya mengikuti apa yang telah dianjurkan oleh orang-orang
sebelumnya untuk melakukan perilaku seperti itu. Mereka
terkadang masih ada yang membawa nasi gemuk namun ritualnya
dipadu padankan dengan membaca Yasin maupun sekedar al-
fatihah di makam tersebut. Berbeda dengan yang tradisionalis di
mana pada umumnya mereka minta kepada juru kunci agar
dibacakan doa.27
Kategori strata atas dikelompokkan dalam indikator
keluarga sejahtera tahap III Plus, yaitu dapat memenuhi 5
kebutuhan dasar (basic needs) – pengajaran agama, pangan,
papan,sandang, dan kesehatan – selain itu juga dapat memenuhi
syarat sosial psikologis dan memiliki kriteria pengembangan
keluarga. Salah satu informan yang tergolong dalam strata atas ini
adalah SJ (lk/39) yang merupakan seorang pengusaha yang ingin
menjadi caleg dalam pileg 2014.28 Interdependensi antara strata
dan pola kepercayaan yang dapat dilihat adalah bahwa keinginan
SJ yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg. Ia berziarah ke
makam Kyai Marogan karena ia ingin meminta restu agar jalannya
dipermudah. Memang, di satu sisi, pola kepercayaannya bersifat
overlapping dengan stratanya, di mana ia memiliki pola perilaku
ziarah yang tidak sama seperti pengikut tradisionalis lainnya. Ia
meminta izin kepada juru kunci untuk berziarah ke makam Kyai
27 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/guru), SK
(pr/27/PNS), HM (lk/28/wirausaha). 28 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
171
Marogan. Hal ini ia lakukan karena di daerah sekitar makam
tersebut merupakan Dapilnya sehingga dirasa perlu untuk meminta
restu ke makam Kyai Marogan yang dimakamkan di sana.
Pola kepercayaan masyarakat yang tradisional juga
mempengaruhi adanya keterbukaan peluang mengubah strata.
Mislanya saja apa yang dilakukan IW di makam tersebut. IW
sehari-harinya adalah pedagang keliling. Ia berkeyakinan bahwa
dengan berziarah ke makam Kyai Marogan, dagangannya akan
laris. Ia pun membeli penglaris sebagai bentuk kepercayaannya
bahwa penglaris ini membawa berkah.29
Ziarah bukan hanya bagian dari tradisi keagamaan, namun
ziarah juga merupakan bagian dari wisata spiritual. Eksistensi
ziarah sebagai bentuk wisata memberikan keuntungan ekonomi,
tidak hanya bagi pemerintah yang menjadikan ziarah sebagai aset
wisata, namun juga memberikan dampak terhadap perubahan
ekonomi masyarakat di sekitar makam keramat tersebut. Hal ini
dikarenakan kultus orang suci merupakan tradisi yang kuat berdiri
di belakang layar kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Mereka tak peduli dengan persoalan fakta atau fiksi di dalam
semangat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan spiritual.30
2) Interdependensi Strata Berdasarkan Pendidikan Terhadap Perilaku Ziarah
Dalam suatu masyarakat selalu terdapat ketidaksamaan
(inequality) status atau kedudukan anggota masyarakatnya
meskipun pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang sama
(equality). Ketidaksamaan status ini bisa berdasarkan ekonomi,
jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Pada
stratifikasi sosial yang bersifat terbuka, setiap orang memiliki
peluang yang sama untuk naik maupun turun dari status yang ia
29 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 30 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”
yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis
(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah
Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.
http://www.uinjkt.ac.id/ index.php/ component/content/article/1-headline/1914-
tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html
172 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
miliki. Menurut Ralph Turner dalam masyarakat dengan sistem
stratifikasi sosial terbuka, pendidikan dipandang sebagai suatu
sarana mobilitas sosial.31 Pendidikan dipandang sebagai jalan
untuk mencapai kedudukan yang lebih baik serta mampu
mempengaruhi pola pikir maupun pola kepercayaan seseorang.
Interdependensi strata berdasarkan pendidikan sangat
mempengaruhi pola perilaku ziarah seseorang. Hal ini dikarenakan,
orang yang berada dalam strata atas (dalam hal ini berpendidikan
tinggi)32 lebih cenderung responsif terhadap perubahan yang ada.
Orang yang berpendidikan lebih bersifat terbuka pemikirannya
sehingga cara berpikirnya pun lebih rasional dibandingkan dengan
orang yang berada dalam strata bawah (kurang berpendidikan
maupun tidak berpendidikan sama sekali)33. Pola kepercayaan
dapat mempengaruhi strata seseorang, seperti pola kepercayaan
yang rasional yang didasarkan atas keinginan mendapatkan ilmu
pengetahuan mampu memobilisasi strata seseorang dari bawah ke
atas. Ini dikarenakan stratifikasi bersifat terbuka yang membuka
peluang bagi siapapun untuk naik atau turun stratanya tergantung
pola pikirnya.
Perilaku peziarah berdasarkan strata pendidikan memang
nampak di makam keramat Kyai Marogan. Orang yang
berpendidikan tinggi (seperti sarjana) menganggap bahwa makam
Kyai Marogan sebagai mediator doa bukan sebagai pengabul doa,
seperti ZN (pr/36/S1)34 yang berziarah ke makam Kyai Marogan
karena menganggap bahwa sosok Kyai Marogan adalah sosok
mediator yang mampu menyampaikan doanya kepada Allah. Ia
pun hanya membacakan Yasin sebagai bentuk tawassulnya.
Sedangkan orang yang berpendidikan menengah (seperti SMA),
pola kepercayaannya terhadap makam keramat merupakan bagian
31 Adiwikarta Sudarja, Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang
Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat, (Jakarta: Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan, 1988). 32 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/S1), SK
(pr/27/S1), HM (lk/28/S1), MM (lk/51/S1), MR (pr/36/S1). 33 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tidak Sekolah),
CN (lk/38/SD), FD (lk/44/SD), YT (lk/72/Tidak Sekolah). 34 Wawancara dengan ZN (pr/36/S1) pada tanggal 22 Agustus 2013.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
173
dari tradisi. Mereka tetap menjalankan ziarah sebagai suatu tradisi
namun pola perilakunya tidak sama dengan yang bersifat
tradisional, seperti membawa sesaji. Pada umumnya ada beberapa
motif yang mengharuskan mereka berpola tradisional dan ada
beberapa motif yang dirasa bisa dirasionalkan polanya. Seperti
ziarah yang dilakukan oleh KL (pr/42)35 karena motif
keharmonisan rumah tangga. Ia berziarah ke makam Kyai
Marogan agar rumah tangganya tidak hancur berantakan. Ia pun
membawa nasi gemuk karena menurut nya ini merupakan suatu
tradisi. Secara rasional, berziarah ke makam keramat memang
membawa suatu ketenangan karena makam merupakan tempat
yang sepi sehingga cocok sebagai tempat untuk menenangkan diri.
Hal ini tentunya berbeda dengan orang-orang yang berasal
dari strata bawah. Mayoritas orang yang berasal dari strata
pendidikan rendah menganggap bahwa makam keramat Kyai
Marogan adalah tempat meminta terkabulnya keinginan maupun
motif mereka. Perilaku ziarahnya pun bersifat tradisional dengan
masih membawa hal-hal yang berbau tradisi, seperti membawa
sesaji (nasi kunyit panggang ayam dan nasi gemuk) sebagai bentuk
persembahan/ucapan terima kasih kepada Kyai untuk
mengabulkan doanya. Hal ini pun dilakukan oleh SW (lk/65/tidak
sekolah)36 yang membawa makanan ke makam Kyai Marogan
untuk mendapatkan berkah. SW juga membeli barang-barang yang
dianggap membawa berkah setelah berziarah dari makam Kyai
Marogan. Sebenernya, barang-barang ini merupakan suatu simbol
dari keberkahan. Misalnya saja SW yang membeli kembang keramas untuk ditaburkan di ladangnya agar panennya berhasil.
Perilaku-perilaku sepoerti ini merupakan perilaku tradisional yang
berasal dari pra-Islam dan berkembang menjadi suatu tradisi. Bentuk interdependensi antara strata pendidikan dan pola
kepercayaan pun tampak pada perilaku ziarah yang dilakukan oleh
RN (pr/22/D-3). RN berziarah karena ziarah merupakan tradisi
yang disarankan oleh keluarganya. Ia berziarah karena studinya
akan segera selesai. Ada anggapan bahwa dengan berziarah akan
35 Wawancara dengan KL (pr/42) pada tanggal 23 Agustus 2013. 36 Wawancara dengan SW, 21 Agustus 2013
174 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
membawa keberkahan, termasuk berkah menyelesaikan
pendidikan.37 Hal ini menunjukkan bahwa pola kepercayaan
terhadap adanya keberkahan dalam berziarah memudahkan
urusannya, termasuk di bidang pendidikan.
3) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Religius Terhadap Perilaku Ziarah
Stratifikasi sosial dan agama merupakan dua hal yang
berbeda. Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang
saling mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai
sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek
hukum, moral, budaya dan sebagainya. Sedangkan stratifikasi
sosial dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan
sama dalam rangkaian status sosial. Manusia sering secara tidak
sengaja dan tanpa sadar mengklasifikasikan orang lain ke dalam
suatu kelas sosial tertentu ataupun golongan tertentu berdasarkan
pada statusnya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Hubungan antara strata dan pola kepercayaan sendiri lebih tepat
jika bukan disebut sebagai strata maupun kelas sosial, melainkan
lebih disebut sebagai penggolongan saja. Hal ini dikarenakan
definisi strata dan kelas lebih merujuk kepada definisi yang
bersifat vertikal atau hierarki sehingga terkesan ada tingkatan
tersendiri yang tercipta di dalam agama. Sedangkan kata
“penggolongan” lebih merujuk kepada definisi yang bersifat
horizontal di mana setiap pola kepercayaan memiliki tujuan yang
sama akan kebaikan manusia namun mempunyai cara yang
berbeda dalam mencapai tujuan tersebut.
Secara vertikal, strata berdasarkankan sosio-religius ini
dilihat dari pemahaman agama yang dimiliki oleh seseorang.
Hierarki strata sosio-religius ini dibagi menjadi ulama (yang
memiliki pemahaman agama yang tinggi), orang biasa (memiliki
pemahaman agama yang sedang), dan orang awam (yang kurang
memiliki pemahaman agama). Dalam istilah Syed Nizar Hussaini
Hamdani, strata sosio-religius dalam masyarakat muslim terbagi
37 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
175
ke dalam tiga kategori, yaitu sangat religius (muttaqi>n/mukmin),
religius moderat (muslim), dan kurang religius (fa>siq/fa>jir).38
Strata sosio-religius yang berada di strata atas adalah
sangat religius, yaitu muslim yang terkenal memiliki sikap positif,
berperilaku baik, rajin beribadah, jujur dalam bertransaksi,
memiliki kepribadian yang bisa diandalkan dan dipercaya
(amanah). Umumnya ulama menempati hierarki strata atas karena
secara agama, ulama memiliki pemahaman agama yang tinggi
dibandingkan orang biasa dan ulama juga disebut sebagai pewaris
para nabi. Secara sosial, ulama mendapatkan suatu prestise dari
masyarakat atau mendapatkan kehormatan di lingkungan
masyarakat di mana peran ulama selalu diprioritaskan
dibandingkan peran lain dalam masyarakat. Menurut E. A. Ross,
konsep prestise ini merupakan suatu konsep kehormatan sosial
yang memiliki peranan penting dalam masyarakat.39 Secara
ekonomi pun, ulama pada umumnya telah mampu untuk
menunaikan ibadah haji. Hal ini menunjukkan bahwa secara
ekonomi, ulama memiliki kemampuan finansial untuk berangkat
haji bahkan umroh.
Strata menengah dalam sosio-religius disebut sebagai
muslim yang religiusnya moderat, yaitu seseorang yang
menerima/mengakui doktrin, pesan-pesan dan prinsip-prinsip
Islam (Islamic Message), bertindak sesuai ajaran Islam, mematuhi
sebagian asas/prinsip serta aturan/ketentuan Islam; namun juga
tidak patuh pada sebagian prinsip-prinsip Islam yang lainnya dan
tidak terlalu sensitif terhadap ajaran Islam. Misalnya tidak terlalu
memperhatikan apakah ini wajib, sunah, mubah, atau syubhat.
Kelompok ini cenderung mematuhi ajaran Islam sebagaimana
orang-orang di sekitarnya, jadi hanya mencontoh dan meniru apa
yang dianggapnya sesungguhnya (esensi) dari amal perbuatannya
tersebut.
Strata sosio-religius yang rendah adalah muslim yang
kurang religius yang ditempati oleh golongan awam, yaitu mereka
38 Syed Nizar Hussaini Hamdani, “Religious Orientation as a Factor in
Time Allocation: Evidence from Cross-Section Pakistani Data,” 62. 39 Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat, 6.
176 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
yang diketahui/mengaku muslim, kadang kala atau secara parsial
menjalankan ritual Islam, tetapi juga tidak jujur dan sering
melanggar syariat Islam. Dalam istilah yang digunakan oleh
Geertz, bisa dikatakan bahwa golongan awam ini bisa termasuk ke
dalam golongan abangan, di mana agama (dalam hal ini Islam)
hanya tampak di permukaan saja artinya yang termasuk dalam
golongan awam ini hanya beragama Islam saja tanpa menjalankan
Islam secara substansi.
Interdependensi strata sosio-religius dan pola kepercayaan
dapat dilihat berdasarkan perilaku ziarah dalam masyarakat. Sikap
ulama Indonesia sebagai strata atas sebenarnya berbeda-beda
dalam cara menilai kesahihan konsep dan praktik ziarah. Bahkan
ada pertentangan yang nyata antara Nahdlatul Ulama (NU) yang
mewakili kelompok tradisionalis di satu pihak, dan
Muhammadiyah yang merupakan penyambung lidah dari
kelompok modernis dan rasionalis di lain pihak. Nahdlatul Ulama
memperkenankan dan bahkan mendukung praktik-praktik yang
memfokuskan perhatian masyarakat Islam pada tokoh-tokoh besar
Islam, sedangkan Muhammadiyah sebaliknya menentang dengan
gigih apa yang dianggapnya sebagai bid’ah: apabila mengunjungi
makam-makam para mukmin dianjurkan agar berdoa demi
keselamatan orang mati sambil menyadari nasib mereka masing-
masing sebagai makhluk yang menuju ajal, dan mereka dilarang
keras memuja orang mati ataupun mengalamatkan doa kepada
mereka.40 Pola pikir golongan ulama ini merupakan pola pikir yang
agamis Islam karena mereka memiliki dalil tertentu berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist.
Kelompok muslim yang religiusitasnya moderat pada
umumnya memiliki pola kepercayaan yang menganggap bahwa
ziarah merupakan suatu tradisi karena telah dilakukan oleh
generasi sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh RN (pr/22)41
yang berziarah ke makam Kyai Marogan karena menganggap hal
tersebut sebagai tradisi dari keluarganya. Sedangkan golongan
awam yang secara strata termasuk strata bawah merupakan
40 Loir dan Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, 359 41 Wawancara dengan RN, 23 Agustus 2013.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
177
golongan yang kurang memiliki pemahaman agama. Pada
umumnya, orang awam ini merupakan masyarakat yang tinggal di
daerah pedesaan di mana kurang memiliki akses terhadap
pemahaman agama. Masyarakat pedesaan ini pada umumnya
merupakan petani yang menganggap ziarah sebagai suatu tradisi
turun menurun guna memperlancar kehidupan sehari-hari mereka.
Ziarah sebagai suatu tradisi membentuk pola perilaku para
peziarah awam bersifat tradisional. Artinya, perilaku yang
ditampilkan merupakan perilaku turun temurun dari generasi
sebelumnya. Misalnya saja YT (lk/72) yang berziarah ke makam
keramat Kyai Marogan. YT adalah seorang petani yang sudah
baya sehingga pola kepercayaannya sangat tradisional.
Menurutnya tradisi ziarahnya sudah dilakukan pleh orang-orang
sebelumnya sehingga baik pola kepercayaan maupun pola
perilakunya sesuai dengan apa yang diturunkan dari generasi
sebelumnya. Hal ini sebenarnya karena YT kurang memiliki
pemahaman agama. Interpretasinya terhadap ziarah hanyalah
sebagai suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan oleh orang-
orang sebelumnya.42
Sebenarnya, pola kepercayaan orang awam yang
diaktualisasi melalui perilaku ziarahnya dapat bersifat ambigu. Hal
ini disebabkan karean ritual ziarah yang dilakukan oleh awam
dapat mengarah kepada hal-hal yang berbau syirik. Untuk
menghindari perbuatan syirik di makam, pihak zuriyat Kyai
Marogan telah memasang pengumuman yang bertuliskan perintah
“berdoalah kepada Allah”, dan memasang pengumuman tentang
tata cara berziarah secara Islam, bahkan ada juru kunci yang turut
memperkuat perintah itu ketika para peziarah menyampaikan
motifnya kepada juru kunci, juru kunci tersebut meluruskan motif
si peziarah dengan mengarahkannya agar memohon kepada Allah
bukan kepada Kyai Marogan karena Kyai Marogan hanyalah
sebagai perantara.
Menurut ajaran Islam, mengunjungi kuburan memiliki dua
fungsi. Pertama, untuk mengingatkan kita bahwa suatu hari nanti
kita juga akan mati. Kedua, untuk mendoakan si mati supaya
42 Wawancara dengan YT (lk/72) pada tanggal 23 Agustus 2013.
178 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
memperoleh pengampunan Tuhan. Kaum Muslim tradisional juga
percaya bahwa Allah akan memberkati para peziarah melalui
perantaraan roh keramat yang terkubur disitu. Dengan demikian
para wali itu dianggap merupakan perantara (tawassul) antara
Allah dengan mereka yang masih hidup di dunia ini. Selain itu
mereka juga mengharap berkah karunia Allah dalam berdagang
supaya mereka memperoleh banyak keuntungan. Menurut HM
(lk/28)43 tampaknya inilah motivasi utama para pedagang yang
berziarah itu. Seorang informan lain, IW (lk/38),44 mengatakan
bahwa dalam berdagang seseorang harus memiliki penglaris.
Menurut informan ini, penglaris ini penting karena terdapatnya
persaingan sengit di antara para pedagang. Jika ada penglaris maka
dagangan akan menjadi lancar. Dalam pengertian ini, ziarah bisa
dilihat sebagai penggambaran dari pandangan dunia mereka. Pada
saat yang sama, ziarah juga mengungkapkan bahwa dalam hal-hal
yang tampaknya berlatar belakang keagamaan terdapat juga
motivasi-motivasi ekonomi.45
4) Interdependensi Strata Berdasarkan Etnis Terhadap Perilaku Ziarah
Palembang sangat kental dengan sebutan etnis Melayu
Palembang46 atau yang lebih dikenal dengan Suku Melayu
43 Wawancara dengan HM, Kamis (22 Agustus 2013). 44 Wawancara dengan IW, Rabu (21 Agustus 2013). 45 Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial, (Jakarta: LkiS, 2007), 150. 46 Suku Melayu, dalam hal ini secara spasial, boleh dikatakan hampir
mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara, namun konsentrasi terbesar dan
dianggap sebagai keturunan Melayu Asli mencakup kawasan Semenanjung
Malaya dan Pulau Sumatera. Suku Melayu di Pulau Sumatera, lebih banyak
dilekatkan pada kawasan yang lebih dikenal sebagai Sumatera Timur pada masa
lalu. Penghubungan Palembang dengan Melayu, tidak dapat diketahui secara
pasti. Bukti tertua dari hal ini didapat sejak masa Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-
prasasti yang terdapat dalam Kedukan Bukit, Telaga Batu, Kota Kapur, Karang
Birahi, dan Palas Pasemah misalnya yang terdapat di Kota Palembang,
walaupun ditulis dalam huruf Pallawa, namun jelas menggunakan Bahasa
Melayu yang termasuk Melayu Tua. Dalam berita Cina, meskipun Melayu,
dalam hal ini Kerajaan Melayu lebih banyak diidentikkan dengan Jambi, namun
acapkali memiliki relevansi jelas dengan Palembang. Dedi Irwanto, dkk. Iliran
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
179
Palembang.47 Namun Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya
memiliki banyak jaringan dagang di Asia, tak terkecuali dengan
Cina (sebagai etnis besar di Asia). Keberadaan etnis Cina di
Palembang tidaklah mengherankan karena secara historis,
hubungan dagang antara Sriwijaya dan Cina tersebut sudah
dimulai sejak abad pertama. Ketika Sriwijaya menjadi pusat ajaran
Buddha abad ke-7, banyak pelajar dari Cina yang datang ke hulu
Sungai Musi untuk belajar tentang Sansekerta dan Buddha. Dari
sini mulailah terjadi perkenalan budaya Cina ke masyarakat
setempat yang kemudian melahirkan akulturasi budaya.
Etnis Melayu Palembang merupakan in-group yang
mayoritas dan penduduk aslinya tinggal di Palembang. Sebagai
out-groupnya, kelompok etnis Cina merupakan kelompok
minoritas yang kehadirannya dianggap berbeda. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme
atau antipati. Perasaan in-group atau out-group dapat merupakan
dasar suatu sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai
unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-
ukuran kebudayaan sendiri.48
Dari sinilah muncul suatu perasaan yang meletakkan in-group tertentu sebagai suatu kelas tertentu. Etnis Cina, misalnya,
yang merupakan kaum minoritas di Kota Palembang, secara
kelompok sosial berada dalam strata bawah karena merupakan
outgroup dari mayoritas penduduk Palembang. Meskipun secara
ekonomi, penduduk Cina menguasai pasar dan menduduki kelas dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang. (Yogyakarta:
Eja Publisher, 2010), 65. 47 Untuk mengenali suku Palembang ini, biasanya terdapat gelar di depan
namanya (yang dulunya berdasarkan strata tertentu namun seiring berjalannya
waktu, strata gelar tersebut memudar fungsinya sehingga saat ini hanya sebatas
gelar biasa), seperti Kiagus-Nyayu, Masagus-Masayu, Kemas-Nyimas, Baba-Nona Ayu, dan Raden-Raden Ayu. Suku Palembang ini semakin lama semakin
berkurang. Hal ini dikarenakan adanya perkawinan amalgamasi yang dilakukan
oleh orang Palembang sehingga gelar tersebut lama-lama hilang (karena
Palembang menerapkan budaya patriarki sehingga jika seorang perempuan
Palembang menikah dengan laki-laki yang tidak bergelar maka gelar perempuan
tersebut tidak dapat diturunkan kepada anaknya atau terputus). Lihat Bab 3. 48 Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 108.
180 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
atas, namun jika dilihat secara etnisitas, etnis Cina ini tetap
tergolong ke dalam strata bawah. Menurut RD (lk/58), Cina
merupakan kaum yang minoritas apalagi ketika krisis tahun 1998,
kelompok Cina menjadi kelompok yang terdeskriminasi sehingga
membuat mereka merasa berada di strata bawah.
Di kalangan muslim etnis Palembang, ziarah merupakan
tradisi yang umumnya dilakukan untuk menghormati tokoh yang
dianggap suci (seperti ulama, Raja, maupun pahlawan yang
dianggap berjasa). Pola kepercayaan yang berkembang pun lebih
bersifat agamis (tradisionalisme Islam) karena pola perilaku ziarah
yang dilakukan etnis Melayu Palembang cenderung agamis dengan
menyelipkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an (seperti Ya>si>n dan
Al-Fa>tih{ah) ketika berada di makam keramat tersebut.49 Hal ini
menurut Azra, dikarenakan Islam dan Melayu menjadi identitas
yang sama. Melayu identik dengan Islam; dan menjadi Islam
berarti manjadi penganut Islam; dan manjadi Islam sekaligus
menjadi Melayu.50
Interdependensi strata berdasarkan etnis ini juga
mempengaruhi perilaku ziarah. Rasa hormat dan pemujaan
terhadap nenek moyang sudah mengakar dalam masyarakat serta
membuat jalan berbagai mitos untuk dikreasikan terus dan
mempunyai nilai komersil serta bersifat omnipresent alias ada di
mana-mana di Indonesia.51 Masyarakat Cina yang menjadi bagian
dari penduduk Palembang masih memegang teguh nilai-nilai
keluhurannya. Pada tradisi Cina terdapat tradisi pemujaan
terhadap leluhur yang berfungsi untuk mengingat kembali asal
usulnya. Pemujaan masyarakat Cina terhadap leluhur ini dilakukan
oleh masyarakat Cina tidak hanya dengan menghormati leluhurnya
49 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27), RN (pr/22), SJ
(lk/39), MR (pr/36), HM (lk/28), dan lain sebagainya. 50 Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, 19. 51 JJ Rizal dalam seminar “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Indonesia”
yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Syahida Inn, Kamis
(28/4). Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah
Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/ component/content/article/1-headline/1914-
tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
181
sendiri melainkan juga menghormati leluhur di tanah tempat ia
tinggal. Misalnya saja sosok Kyai Marogan yang dianggap oleh
sebagaian orang Cina sebagai leluhur yang harus dihormati.
Perilaku ziarah yang ditampilkan oleh orang-orang Cina yang
berziarah ke makam keramat Kyai Marogan adalah dengan
menghormati Kyai dengan hanya menaburkan kembang di makam
Kyai.52
5) Interdependensi Strata Berdasarkan Sosio-Kultural
Terhadap Perilaku Ziarah Kota Palembang terdikotomis ke dalam dua konsep
kewilayahan, yaitu Uluan dan Iliran. Pada perkembangannya
Uluan dan Iliran tidak hanya menjadi konsep kewilayahan semata
melainkan menjadi konsep sosio-kultural. Secara kewilayahan,
konsep Uluan adalah daerah yang terletak di pedalaman Sumatera
Selatan di sepanjang aliran Batanghari Sembilan. Sedangkan
konsep Iliran merujuk kepada Kota Palembang yang memiliki
Sungai Musi sebagai muara dari Batanghari Sembilan. Daerah
Iliran tersebut, kerapkali juga disandingkan dengan kedatangan
kemajuan, sebab yang paling pertama menerima perubahan
seringkali datang dari daerah aliran sungai, yang kemudian baru
menyentuh ke arah Uluan.53
Inilah realitas historisnya, iliran diidentifikasikan
mendapat pengaruh kuat dari pusat ibukota sehingga lebih
bercorak modern, cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek.
Sementara uluan dikategorikan masih berada dalam alam
tradisional, karena sedikit mendapat sentuhan pusat ibukota
keresidenan. Meskipun tidak sesempit itu, teori dikotomis tersebut
masih menyimpan kenyataan berambigu seperti itu. Modernis di
iliran, bukanlah secara keseluruhan, karena sifat tradisional tidak
dapat disisihkan begitu saja.
52 Hasil wawancara dan observasi terhadap RD (lk/58) pada tanggal 21
Agustus 2013. 53 Dedi Irwanto, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah
Kultural Palembang. (Yogyakarta: Eja Publisher, 2010), 3.
182 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
Terdapat penjustifikasikan terhadap dikotomi tersebut.
Secara ideologis, orang iliran menganggap dirinya lebih modern,
cenderung terbuka, lebih maju, lebih intelek sehingga secara
politis mereka merasa lebih berkuasa, superioritas dengan segala
kebijakan dan kewenangan, sementara secara ekonomis mereka
menganggap dirinya lebih makmur dan kaya sehingga secara
stratifikasi, iliran termasuk ke dalam strata atas. Sebaliknya, orang
uluan sering dihadapkan dengan konsepsi keterbelakangan dan
ketinggalan, cenderung tertutup, dan miskin. Orang uluan selalu
disusukan pada posisi inferior sebagai orang yang tidak tahu
perkembanganyang berhubungan dengan kemajuan dan secara
stratifikasi, uluan termasuk dalam strata bawah.
Mayoritas orang-orang Melayu Palembang memeluk agama
Islam sehingga tradisi ziarah pun kerap dilakukan oleh orang-
orang Palembang. Dengan latar sosio-kultural Palembang yang
berbeda, yaitu terbagi menjadi dua bagian Uluan dan Iliran, menyebabkan adanya perbedaan dalam pola perilaku ketika
berziarah. Orang uluan biasanya melakukan ziarah dengan
membawa makanan yang diberikan kepada juru kunci, seperti nasi gemuk dan ketan kunyit panggang ayam.54 Sedangkan orang iliran umumnya melakukan tradisi ziarah dengan mengunjungi makam
tanpa membawa apapun. Namun, hal ini tidak serta merta
mentipologikan pola perilaku ke dalam dua kubu tersebut.
Terkadang terjadi overlapping juga terhadap pola perilaku ziarah
orang Palembang.
Kyai Marogan adalah sosok ulama yang tidak hanya
menyebarkan agama Islam di wilayah Palembang semata. Beliau
juga menyebarkan Islam hingga ke pelosok-pelosok daerah di
Sumatera Selatan. Kebanyakan daerah yang dikunjungi Beliau
untuk berdakwah adalah pedalaman yang mayoritas penduduknya
bertani, seperti Pemulutan, Pesemah, Komering, Sekayu,
Meranjat, dan lain sebagainya. Etnis-etnis daerah tersebut juga
sering berziarah untuk mengunjungi Kyai Marogan. Namun
terkadang, sosok Kyai Marogan dianggap sebagai “tokoh suci”
54 Hasil wawancara dan observasi terhadap SW (lk/65/Tanjung Raja-
Uluan) pada tanggal 21 Agustus 2013.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
183
yang memiliki kekuatan tertentu. Persepsi masyarakat daerah ini
pun menjadi ambivalen dan berlebihan. Karomah yang dimiliki
beliau disalahpersepsikan sehingga seakan-akan beliau memiliki
kekuatan yang dapat memecahkan masalah mereka. Seperti yang
diungkap oleh YT (lk/72)55, ia meminta kepada sang Kyai bukan
kepada Allah. Padahal, dalam konsep tawassul, sang ulama bisa
menjadi perantara doa, namun perantara ini disalahpersepsikan
sehingga memintanya bukan kepada Allah melainkan kepada sang
tokoh yang dianggap “suci” tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
orang uluan memiliki pola kepercayaan yang masih magis yang
manganggap bahwa “makam” dapat mengabulkan permintaan
mereka.
Berbeda dengan orang uluan yang terlalu mengagungkan
sosok tokoh sehingga menjadikan pola kepercayaannya ambivalen,
orang iliran lebih bersifat rasionalis dan agamis dalam menyikapi
ulama yang penuh dengan karomah tersebut. Orang iliran ini pada
umumnya mengenal konsep tawassul sebagai konsep perantara doa
sehingga pola perilaku ziarah yang dilakukan di makam keramat
Kyai Marogan pun cenderung lebih rasional-agamis, seperti hanya
membaca doa atau hanya membaca beberapa lantun ayat tanpa
membawa atau membeli sesuatu sebagai simbol berkah dari ritual
ziarah.56
6) Interdependensi Strata Berdasarkan Politik Terhadap Perilaku Ziarah
Dalam konsep sosiologi terdapat perbedaan antara “kelas”
dan “elite”. Konsep ini dikemukakan oleh sosiolog Itali, Pareto
dan Mosca yang menjelaskan bahwa konsep kelas didasarkan pada
batasan ekonomi dan konsep elite didasarkan pada pengertian non
ekonomi. Golongan borjuasi sebagai suatu kelas, bisa merupakan
elite ekonomi, tapi belum tentu sekaligus menjadi elite politik,
karena elite politik bisa dipegang, umpamanya oleh golongan
55 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72/Komering) pada
tanggal 23 Agustus 2013. 56 Hasil wawancara dan observasi terhadap ZN (pr/36/Palembang), HM
(lk/28/Palembang), dan lain sebagainya.
184 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
agama atau militer. Ada elite bersifat plural dan kelas
mengandung pengertian homogen.57
Indikator yang dipergunakan untuk memilah masyarakat
atas dasar dimensi politik adalah distribusi kekuasaan. Menurut
Weber yang dimaksud dengan kekuasaan adalah peluang bagi
seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan
mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun
mengalami tantangan dari orang lain yang ikut serta dalam
tindakan komunal itu.58 Bentuk-bentuk kekuasaan pada
masyarakat tertentu sangat beraneka ragam dengan masing-
masing polanya. Gejala demikian menimbulkan lapisan kekuasaan
atau piramida kekuasaan, yang didasarkan pada rasa kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya disintegrasi bila tidak ada kekuasaan
yang menguasainya. Karena integrasi masyarakat dipertahankan
oleh tata tertib sosial yang dijalankan oleh penguasa, masyarakat
mengakui adanya lapisan kekuasaan tersebut, walaupun kadang-
kadang kenyataan demikian merupakan beban. Kekuasaan disini
bukanlah semata-mata berarti bahwa banyak orang tunduk di
bawah penguasa, namun kekuasaan selalu berarti suatu sistem
lapisan bertingkat (hierarkis). Adapun stratifikasi kekuasaan
tersebut senantiasa ada dasar-dasarnya sehingga dapat berproses.
57 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), 269. 58 Kekuasaan berbeda dengan kewenangan. Seseorang yang berkuasa
tidak selalu memiliki kewenangan atau menduduki jabatan formal. Yang
dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-
individu lain mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Dikatakan Robert
D. Putnam bahwa kekuasaan adalah probabilitas untuk mempengaruhi alokasi
nilai-nilai otoritatif. Narwoko dan Suyanto, Sosiologi Teks Terapan, 174.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
185
Bagan 7. Sistem Stratifikasi Kekuasaan dan Interdependensinya
Terhadap Pola Kepercayaan 59
pemimpin politik,
pemimpin partai,
orang kaya, pemimpin
organisasi besar
pejabat administratif,
kelas-kelas atas dasar
keahlian
ahli-ahli teknik, petani-petani,
pedagang-pedagang
pekerja-pekerja rendahan dan
petani-petani rendahan
Gambar tersebut menunjukkan kenyataan akan adanya
garis pemisah antara lapisan yang sifatnya terbuka dan
memungkinkan adanya mobilitas. Kelahiran tidak menentukan
seseorang, yang terpenting adalah kemampuan dan kadang-kadang
juga faktor keberuntungan. Tipe ini terbukti dari anggota-anggota
partai politik yang dalam suatu masyarakat demokratis dapat
mencapai kedudukan-kedudukan tertentu melalui partai.
Peziarah yang berada dalam strata berdasarkan politik ini
(yang memiliki wewenang maupun jabatan fungsional) juga kerap
datang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Motif mereka
pun beragam, mulai dari memohon restu Kyai Marogan agar
terpilih kembali untuk menduduki jabatan tertentu60 sampai
mengucapkan nazar tertentu jika ia menduduki suatu jabatan61.
Pada momen pencalonan anggota legislatif misalnya, banyak caleg
yang mengunjungi makam Kyai Marogan untuk meminta restu
59 Gambar ini diadaptasi dari The Web of Government, 102. 60 Wawancara dengan SJ (lk/39) pada April 2014. 61 Wawancara dengan BM (lk/44) pada tanggal 22 Agustus 2013.
Rasional
Tradisionalis
me Islam
Tradisional
186 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
agar dapat mewakili daerahnya ke kursi DPR.62 Pola perilaku yang
mereka lakukan di makam ini adalah ketika masuk makam, mereka
datang ke juru kunci guna menyampaikan hajat mereka. Setelah
itu hajat diterima juru kunci kemudian juru kunci membacakan
doa kepada si caleg. Ada beberapa caleg yang langsung pulang
setelah dibacakan doa, namun ada pula caleg yang membaca yasin di makam Kyai Marogan. Berbeda dengan momen tersebut, ada
juga peziarah yang naik pangkat memutuskan untuk berziarah ke
makam Kyai Marogan. Hal ini ia lakukan sebagai bentuk
syukurnya atas restu dari sang Kyai. Menurut Bambang Pranowo,
ia menyikapi bahwa tradisi ziarah masyarakat Indonesia pada
dasarnya bisa diaktualisasikan yang lebih bermakna dan ambil sisi
positifnya saja. Hal ini dikarenakan di dalamnya ada makna
sejarah maupun ritual, yang disebabkan beberapa faktor seperti
faktor sosial, nilai-nilai agama, religius, serta tradisi yang sudah
melekat di kalangan masyarakat.63
Interdependensi antara stratifikasi kekuasaan dengan pola
kepercayaan dapat dilihat keterhubungannya. Pada umumnya
elite-elite birokrat memiliki pola kepercayaan yang rasional. Hal
ini dikarenakan elite birokrat telah mengalami adaptasi yang
tinggi di lingkungan tempat ia berinteraksi sehingga semakin
longgarnya pola kepercayaan tradisional. Sebaliknya, perubahan
pola pikir, termasuk pola kepercayaan, akan mempengaruhi pula
posisi seseorang dalam suatu hierarki, seperti adanya pola rasional
membuat individu/masyarakat lebih kritis dan mempertimbangkan
hal-hal yang akan menguntungkan untuk ke depannya. Pola pikir
yang rasional mampu memobilisasi masyarakat dari yang tadinya
hanya petani rendahan mampu menjadi elite birokrat. Namun, tak
hanya pola kepercayaan rasional saja yang mampu memobilisasi
62 Hasil wawancara dan observasi terhadap SJ (lk/39) dan MR (pr/36) di
bulan April 2014. 63 Berita UIN Online, Tradisi Ziarah Masyarakat Indonesia Sudah
Dipolitisasi, Diposting oleh rulam pada tanggal: 29 April 2011.
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-
tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
187
hierarki seseorang. Individu memiliki berbagai alternatif cara
untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam kaitan ini, yang termasuk dalam strata menengah
adalah karyawan dan Weber menyebutnya sebagai kaum birokrat.
Weber menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan
birokrasi bersifat serba mencari untung dan enak. Hal ini
dikarenakan adanya rasa kekhawatiran, ketidakpastian, dan
ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. SK (pr/27) yang seorang pegawai birokrat,
misalnya, ia berziarah karena memiliki motif tertentu, yaitu
memiliki masalah rumah tangga. Ketidakmampuan SK dalam
menyelesaikan masalahnya membuat SK memilih berziarah untuk
sejenak menenangkan pikirannya.64 Selain ada karyawan, ada pula
pedagang/wirausaha, dan petani (pemilik lahan) yang menduduki
posisi strata menengah ini. Pola kepercayaannya pun seperti
halnya karyawan, karena memiliki suatu motif tertentu sehingga
pola kepercayaannya bisa bersifat overlapping antara magis,
tradisionalisme Islam, dan rasional. Berbeda halnya dengan strata
bawah yang diduduki oleh petani penggarap dan buruh. Mereka
cenderung memiliki pola kepercayaan yang magis karena
keterbatasan akses mereka.
B. Stratifikasi Keagaamaan dan Pola Kepercayaan
Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore65 menyebut
interelasi agama dan stratifikasi sebagai religious stratification. Menurut Davis dan Moore stratifikasi agama adalah pembagian
masyarakat ke dalam lapisan hirarkis pada premis keyakinan
agama, afiliasi, atau praktik iman. Alasan mengapa agama
diperlukan ternyata dapat ditemukan dalam kenyataan bahwa
masyarakat manusia mencapai kesatuan terutama melalui
64 Hasil wawancara dan observasi terhadap SK (pr/27) pada tanggal 23
Agustus 2013. 65 Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of
Stratification,” American Sociological Review 10 (April): 242-249.
http://en.wikipedia.org/wiki/ religious_stratification (diakses pada 02 April
2012)
188 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
kepemilikan oleh anggotanya nilai utama tertentu dan berakhir
kesamaan. Selanjutnya, Davis dan Moore berpendapat bahwa
stratifikasi keagamaan merupakan “peran keyakinan agama dan
ritual untuk menyediakan dan memperkuat penampilan realitas
bahwa nilai-nilai utama tertentu telah dimiliki. Ini merupakan
salah satu penjelasan mengapa agama merupakan salah satu faktor
yang mendasari dan menghubungkan berbagai bentuk
ketidaksetaraan dalam stratifikasi.
Menurut Bryan S. Turner, stratifikasi keagamaan erat
kaitannya dengan sistem status sekuler. Pada satu sisi, terdapat
suatu kecenderungan dalam kelompok elite keagamaan untuk
direkrut besar-besaran dari elite-elite sekuler. Misalnya saja ulama
yang dijadikan ikon dalam suatu partai politik, namun pada sisi
yang lain, ahli agama “mengundurkan diri” dari pekerjaan untuk
mengembangkan bakat-bakat mereka membentuk suatu kelas tak-
produktif. Dengan demikian, dalam bahasa Marx, kelas penguasa
itu tidak produktif karena mereka tidak menghasilkan nilai
surplus. Kesulitan pun muncul berkaitan dengan usaha Hodgson
mempertahankan otonomi kesalehan dari penjelasan sosiologis,
yang berhubungan secara langsung dengan pemahamannya
terhadap pemisahan Weber antara kepentingan-kepentingan
“material” dan “spiritual”. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kepercayaan terhadap argumentasi metodologis bahwa komitmen-
komitmen nilai secara total terlpas dari fakta-fakta empirik.
Kepercayaan itu mengakibatkan seseorang tidak memiliki kriteria
untuk melakukan seleksi terhadap penafsiran-penafsiran yang
saling bersaing. Turner menegaskan bahwa seluruh kepercayaan
sosial merupakan sesuatu yang ditentukan, akan tetapi determinasi
sosial ini seharusnya tidak dirancukan dengan pertanyaan-
pertanyaan tentang rasionalitas, kebenaran, dan autentisitas.66
Analisis struktural fungsional terhadap interelasi antara
stratifikasi sosial dan pola kepercayaan dapat dilihat dari pola
tindakan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan tersebut tercermin
dalam fenomena ziarah di mana masyarakat yang terstratifikasi
memiliki world view atau pola kepercayaan yang bervariasi, yang
66 Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, 130.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
189
mereka refleksikan dalam tindakan mereka ketika berziarah.
Talcott Parson yang mengajukan teori tentang tindakan manusia
dalam hal ini membedakan ke dalam empat subsistem: organisme, personality, sistem sosial, dan sistem kultural. Keempat unsur ini
tersusun dalam urutan sibernetika (cybernetic order) yang menurut
Parson sebagai unsur yang mengendalikan tindakan manusia.67
Weber mengupas elemen-elemen petunjuk dalam perilaku
kehidupan dari strata sosial sangat mempengaruhi etika praktis
keagamaan masing-masing.68 Berbagai elemen ini menunjukkan
berbagai ciri yang lebih berkarakter dalam etika praktis, ciri etika
yang membedakan stau etika dari etika yang lain; dan, pada saat
yang sama, elemen-elemen ini begitu penting bagi etika ekonomi
masing-masing.
Tindakan sosial yang diajukan oleh Talcott Parson
sepenuhnya mengikuti karya Weber. Tindakan sosial yang
dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata
diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang
bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi
karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan
tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh
situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam
situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber
membedakannya ke dalam empat tipe, yaitu traditional action, affectual action, werkrational action, dan zwerk rational. Kedua
tipe tindakan yang awal sering hanya merupakan tanggapan secara
otomatis terhadap rangsangan dari luar. Semua tindakan manusia
ditentukan oleh keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian,
dan organisme.69 Sistem kultural merupakan sumber ide,
pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol. Sistem ini
67 Narwoko dan Suyanto (Ed), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan,
262. 68 Weber, studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, 9. 69 Pertimbangan aspek-aspek tertentu sistem-sistem sosial digambarkan
dalam kerangka teori tindakan yang menunjukkan dengan mudah mengapa
pelapisan merupakan suatu fenomena mendasar. Pelapisan sebagaimana
diberlakukan di sini, merupakan suatu aspek dari konsep struktur sebuah sistem
sosial yang digeneralisasikan. Parson, Essei-Essei Sosiologi, 73.
190 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
penuh dengan gagasan dan ide, karena itu kaya akan informasi,
tetapi lemah dalam energi dan aksi. Untuk sampai pada tindakan
nyata, personality, sistem sosial berfungsi sebagai mediator
terhadap sistem kultural. Artinya simbol-simbol budayawi
diterjemahkan begitu rupa dalam sistem sosial yang kemudian
disampaikan kepada individu-individu warga masyarakat (sistem
sosial) melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Semakin
rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami.70
1) Traditional Action Traditional action, tindakan yang didasarkan atas
kebiasaan-kebiasan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.
Mayoritas peziarah yang berziarah ke makam keramat Kyai
Marogan, menganggap ritual ziarah sebagai suatu tradisi yang
telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Sehingga tradisi
ziarah ini memiliki cara dan praktik tertentu dalam
mengaplikasikan persepsi ziarahnya. Cara ini didapatkan dari
proses enkulturasi yang telah ditanamkan dari generasi ke
generasi. Tindakan tradisional yang telah terenkulturasi dan
diaplikasikan di makam keramat Kyai Marogan dapat berupa
mengambil batu, menabur kembang, keramas kendaraan (mobil,
motor, perahu ketek, tongkang, becak, dan lain sebagainya),
mawa’ ayam item (membawa ayam hitam), membeli kemenyan,
penglaris, dan lain sebagainya.71 Tindakan tradisional seperti ini
mereka lakukan karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah
dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Tradisi ini pun
semakin melekat karena pengalaman-pengalaman masyarakat yang
telah merasakan berkat/keberkahan atau keberhasilan dari tradisi
ziarah.
70 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), 39. 71 Hasil wawancara dan observasi di lapangan.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
191
2) Affectual action Affectual action, tindakan yang dibuat-buat dipengaruhi
oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini
sukar dipahami, kurang atau tidak rasional. Tindakan yang
dilakukan oleh peziarah melalui affectual action ini adalah
berkenaan dengan persepsi dan motif mereka berziarah. Salah
seorang peziarah, YT (lk/72) misalnya berziarah ke makam Kyai
Marogan karena motif tertentu. Ia mempersepsikan motif
ziarahnya dikarenakan ia bermimpi dihampiri oleh sosok Kyai
Marogan yang menyuruhnya untuk datang ke makam Kyai
Marogan ini. Sebelumnya memang YT ini pernah mengambil batu
kerikil dari makam Kyai Marogan. Berdasarkan mimpinya
tersebut, ia kemudian mempersepsikannya sebagai suatu suruhan
agar ia berziarah ke makam Kyai Marogan guna mengembalikan
batu tersebut. Motif mimpi seperti ini sebenarnya tidak rasional
dan tidak logis karena tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Sehingga perilaku ziarahnya pun menjadi sesuatu yang tidak
rasional.72
3) Werkrational action Werkrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak
dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan
yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang
lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini
memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung
menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional,
karena pilihan terdapat cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan
yang diinginkan. Tindakan tipe ini masih rasional karena itu dapat
dipertanggungjawabkan untuk dipahami. Pengaplikasian pola
tindakan ini dapat dilihat dari apa yang terjadi terhadap KL (pr/42)
yang berziarah ke makam keramat Kyai Marogan. Ia berziarah
bersama tetangganya karena motif adanya konflik dalam rumah
tangganya. Tujuannya berziarah ke makam ini adalah agar diberi
ketenangan jiwa dan ketenangan dalam rumah tangganya. Ia
72 Hasil wawancara dan observasi terhadap YT (lk/72) pada tanggal 23
Agustus 2013.
192 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
membawa nasi gemuk sebagai ungkapan lepas bala’ (masalah
hidup) kemudian ia membaca Yasin di makam Kyai Marogan.
Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara yang dilakukan
dirasa tidak sinkron. Namun, tindakan ini bersifat rasional karena
makam merupakan tempat yang sunyi sehingga cocok untuk
menghadirkan suasana tenang.
4) Zwerk rational Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam
tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik
untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan
itu sendiri. Tujuan dalam zwerk rational tidak absolut. Ia dapat
juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor
berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah
memahami tindakannya. Hal ini biasanya dilakukan oleh kaum
modernis yang melakukan tindakan ziarah yang berbeda dengan
tindakan-tindakan tradisional lainnya. Kaum modernis lebih
melihat bahwa ziarah bukanlah sesuatu yang diwajibkan dan dapat
mengabulkan permintaan seseorang. Kaum modernis lebih bersifat
rasional karena mereka menganggap ziarah bertujuan untuk
mengingatkan manusia kepada kematian. Tak hanya itu,
mendoakan orang yang telah meninggal tidak harus datang ke
makamnya tetapi bisa juga dilakukan oleh seorang individu di
mana saja.
C. Transisi Kepercayaan: Tradisional – Rasional
Pada umumnya, Islam di Nusantara berkembang melalui
pendekatan-pendekatan kultural yang dikembangkan dan
dilakukan oleh ulama. Ketika itu, aset-aset lokal yang tersedia
dimodifikasi menjadi sarana untuk penyebaran ajaran agama.
Dalam kondisi seperti ini, ajaran agama terkesan sangat adaptif
terhadap aspirasi dan inspirasi umatnya. Hal ini berbeda dengan
pendekatan meliterisme yang acapkali radikal dan sering
berbenturan dengan kearifan lokal. Berdasarkan kasus pendekatan
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
193
kultural yang dilakukan oleh ulama ini, Taufik Abdullah73
memberi kesimpulan tentang adanya tiga pola penyebaran Islam di
Nusantara. Tiga pola yang dimaksud adalah pola Pasai, Malaka,
dan Jawa. Di dalam ketiga bentuk atau pola pendekatan itu
ulamalah yang menjadi figur sentral dalam pembumian ajaran
Islam. Ulama juga dipandang sangat menentukan arah dan laju
proses transformasi sosial yang dilaksanakan. Transformasi sosial
erat kaitannya dengan perubahan sosial yang bersifat profetik74.
Sulit dipungkiri bahwa perubahan sosial sangat menghendaki
kehadiran spirit profetik itu. Atas dasar itu, penggunaan
paradigma profetik akan mempermudah penjelasan perubahan
sosial ini. Paradigma yang dimaksud adalah mode of though, dan
mode of inquiry yang diharapkan bisa menghasilkan mode of knowing.
Peran ulama dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara
sangatlah besar. Karisma yang dimiliki oleh ulama tersebut tidak
akan hilang meskipun mereka telah meninggal dunia. Bahkan
untuk menghormati para ulama tersebut, masyarakat kerap kali
mengunjungi makam ulama tersebut karena mereka meyakini
bahwa meskipun ulama tersebut telah tiada namun karomah beliau
akan tetap ada di makamnya. Kepercayaan yang dipegang oleh
masyarakat ini dikarenakan masyarakat Indonesia pada umumnya
masih berada dalam tatanan masyarakat tradisional agraris, yang
mendasarkan kebudayaannya pada hal-hal yang lebih bersifat
emosional daripada rasional. Aspek keharmonisan yang membuat
kebanyakan masyarakat tradisional agraris merasa dekat dengan
kelompok masyarakat Islam. Hal ini pula yang merupakan alasan
73 Hanani, Silfia, Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. (Bandung:
Humaniora. 2011), 93. 74 Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi.
Menurut Ox-ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to
a prophet or prophe-cy”; “having the character or function of a prophet”; (2)
“Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi,
makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat
prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi
‘kenabian’. (sumber: http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha-
paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei 2012)
194 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
mereka untuk mempertahankan upacara-upacara tradisional,
terutama kepercayaan terhadap wali atau para tokoh Islam, serta
kebiasaan ziarah, meskipun tradisi tersebut selalu dikecam oleh
kaum modernis.75 Begitu kuatnya tradisi ini di dalam masyarakat
setempat, sehingga kelompok masyarakat Islam tradisional
tersebut nyaris telah menjadi penyangga sistem budaya Islam
tradisional.76
Secara teologis keyakinan-keimanan para peziarah masih
ambivalen, campur aduk, dan tidak murni. Satu sisi mereka
menyatakan ketauhidannya secara mutlak akan tetapi di sisi lain
mereka menyimpan kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap
makam-makam yang dianggap keramat tersebut untuk
keberhasilan maksud dan tujuan yang mereka inginkan.
Persoalannya adalah bila mereka melakukan ziarah ke makam
keramat yang diyakini masyarakat luas berada pada garis yang
lurus, atau mungkin juga telah penyimpangan sehingga dapat
membahayakan kemurnian tauhid mereka karena ritualnya terjadi
tumpang tindih antara hal-hal yang berasal dari religi dan dari
tradisi.77
Pola kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam
dapat ditipologikan menjadi beberapa pola.78 Weber berupaya
75 Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:
Pustaka Jaya. 1983) 76 Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara. 2010), 7 77 Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan
Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal
Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. 78 Menurut Azis, sistem kepercayaan kekeramatan para peziarah dapat
ditipologikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tradisionalisme Islam, mistis, dan
rasional. Ahmad Amir Azis, dkk. Kekeramatan Makam (Studi Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-makam Kuno di Lombok), (Jurnal
Penelitian Keislaman, Vol 1, No. 1, Desember 2004: 59-77. Sekilas jauh ke
belakang tipologi ini juga sama dengan apa yang dicetuskan oleh Auguste
Comte yang berbicara tentang “Hukum Tiga Tahap” yang terdiri dari tahap keagamaan, tahap metafisik, dan tahap positif. Comte mengartikan tahap
keagamaan (atau theological) sebagai periode pandangan dan pemahaman
mistis; tahap metafisik, merupakan periode di mana yang digunakan untuk
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
195
melihat tingkatan pola ini, namun terjadi ketidakkonsistenan
dalam penggunaan istilahnya. Weber mencampuradukkan berbagai
istilah antara system of belief, world-view, dan kadang-kadang
ideologi. Sistem kepercayaan atau world-view dalam kehidupan
sosial dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu magic, religion, dan science.79 Pola kepercayaan masyarakat/peziarah
yang pertama adalah pola kepercayaan magic. Pola magic ini
menekankan pada aspek kekayaan batin dan kekuatan supra
dengan tanpa didasari alur logika. Pola perilaku dan kepercayaan
ditunjukkan melalui pengkultusan makam seperti mengambil batu
kerikil makam, menabur kembang, membeli barang-barang
simbolik yang dianggap memiliki suatu kekuatan atau dapat
mengabulkan keinginannya, membawa makanan, hewan, dan lain
sebagainya. Hal ini merupakan potret kepercayaan masyarakat
yang berbau mistis. Membeli penglaris dagang misalnya
merupakan usaha peziarah agar usaha/dagangannya semakin lancar
dan sukses. Pola kepercayaan seperti ini sebenarnya merupakan
pola kepercayaan kuno di mana sebelum masyarakat mengenal
agama (Islam), mereka menganut paham animisme. Dalam
perspektif teologi Islam, pola kepercayaan ini dipandang – atau
mendekati ke arah – syirik. Selanjutnya, tipologi yang kedua adalah religion atau agama,
yang dalam hal ini adalah tradisionalisme Islam. Dalam hubungan
ini, mereka mengakui pentingnya intensitas hubungan dan kontak
spiritual dari orang yang masih hidup kepada mereka yang sudah
meninggal. Kelompok peziarah yang termasuk dalam tipologi ini,
sistem kepercayaan yang diyakininya adalah bahwa yang
dilakukan di makam keramat ini adalah mendo’akan arwah yang
dimakamkan disini. Tokoh yang dimakamkan sudah selayaknya
diziarahi makamnya karena mereka adalah ulama yang memiliki
mengorganisasi dunia pengalaman bukannya kategori rasional subjektif, tetapi
kategori dan konsep yang abstrak; sedang tahap positif merupakan periode di
mana dikembangkan mode pemahaman ilmiah dan pembentukan konsep
modern. Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama, diterjemahkan Tim Penerjemah
Yasogama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 82 79 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan,
terjemahan Ratna Noviani, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), xi.
196 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
kedekatan hubungan dengan Allah dan mereka juga memiliki jasa
besar dalam mengembangkan Islam. Alasan sebagian lainnya
menegaskan bahwa orang yang masih hidup perlu menunjukkan
bukti kebaktian, penghormatan dan kecintaan kepada mereka yang
sudah meninggal.
Pola kepercayaan yang ketiga adalah pola kepercayaan
science atau yang mendasarkan sesuatu berdasarkan rasional. Pola
ini dianut oleh para peziarah yang memandang kekeramatan
makam sebagai hal yang biasa, bukan hal yang luar biasa. Para
peziarah biasanya menghormati makam ini dengan penghormatan
yang wajar tanpa melibatkan emosi keagamaan yang berlebihan.
Kelompok yang menganut pola kepercayaan rasional ini sama
sekali tidak meyakini bahwa makam dapat menjadi suatu
instrumen yang memiliki kekuatan tertentu, seperti
menyembuhkan orang sakit, mendatangkan keselamatan, dan
mengabulkan keinginan-keinginan peziarah lainnya. Menurut
kelompok ini, makam hanyalah suatu simbol yang tidak fungsional
dan untuk mengabulkan keinginannya, kelompok ini lebih percaya
kepada usaha yang telah dilakukan.
Perkembangan tipologi tersebut merupakan suatu proses
sosial yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tetapi hal
tersebut tidak dapat dipostulatkan sebagai hukum gerak kepada
kemajuan, dan tidak pula mengabaikan kenyataan bahwa tahap-
tahap itu sering tumpang tindih, dan dalam pengalaman manusia
memang sering terjadi secara bersamaan. Weber juga melihat
tahap-tahap perkembangan tersebut linear, tetapi bisa juga
mengalami tumpang tindih (overlapping) dalam suatu masa
tertentu. Harus diakui bahwa tahap awal perkembangan
rasionalitas manusia diawali dan didominasi oleh magis, sedang
perwujudan nyata magis meliputi simbol-simbol, cara-cara
pemujaan, dan orangnya sendiri (magician). Magis kemudian
menghasilkan mitos yang dikembangkan oleh masyarakat.
Sebenarnya mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual
yang primordial dari berbagai aspek dan kepercayaan keagamaan.
Mitos telah dianggap sebagai “filsafat primitif, bentuk
pengungkapan pemikiran yang paling sederhana, serangkaian
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
197
usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan
kematian, takdir dan hakikat, dewa-dewa dan ibadah”.80
Agama mengarahkan kehidupan pemeluknya agar sesuai
dengan tujuan-tujuan keselamatan. Reorientasi batin seseorang
akan mengubah perilaku luarnya dan dapat membentuk kembali
hubungan-hubungan sosial yang kemudian berpengaruh pada
perubahan sosial dan ekonomi.81 Setelah tipologi agama, terdapat
sistem kepercayaan baru, yaitu ilmu pengetahuan (science) yang
menawarkan teknik rasional, seperti kalkulasi sarana-tujuan
(means-ends calculation), telah menurunkan peran magis dan
agama dalam hal memahami realitas dunia. Ini merupakan gejala
memudarnya daya-daya magis dunia karena dengan penerapan
metode ilmu untuk menguak berbagai fenomena yang sebelumnya
dianggap misteri menjadi dapat dijelaskan secara rasional.82
Overlapping maupun transisi pola kepercayaan merupakan
bagian dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Ogburn
mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial
meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang
non-material.83 Yang ditekankannya adalah pengaruh besar unsur-
unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur non-material.
Dengan pengertian ini, Ogburn sebenarnya ingin mengatakan
bahwa perubahan-perubahan sosial terkait dengan unsur-unsur
fisik dan rohaniah manusia akibat pertautannya dengan dinamika
manusia sebagai suatu totalitas. Perubahan pola pikir, pola sikap
dan pola tingkah laku manusia (yang bersifat rohaniah) lebih besar
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kebudayaan yang bersifat
material. Menurut Scott, proses diferensiasi kultural merupakan
bagian dari modernisasi.84 Hal ini dapat dilihat dari pola tindakan
80 O’Dea, Sosiologi Agama, 80 81 Ralph Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan,
xii. 82 Schroeder, Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, xii. 83 Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2, No. 2.
Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut Pertanian Bogor. 125. 84 Dalam kerangka ini menurut Scott, modernisasi terdiri dari tiga tahap:
tahap primitif, tahap religio-metafisis, dan tahap modern. Secara garis besar,
dalam masyarakat primitif, budaya dan sosial belum terdiferensiasi. Sebenarnya
198 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
peziarah yang mengalami transisi. Keadaan ekonomi, psikologi,
dan geografi (unsur-unsur kebudayaan material) dari peziarah
membuat mereka berkunjung ke makam keramat agar bisa
mendapatkan keberkahan hidup. Keadaan-keadaan seperti ini turut
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek
kehidupan sosial lainnya seperti mengubah pola pikir masyarakat
yang teraktualisasi melalui pola tindakan ziarah mereka.
Kehadiran Islam di wilayah Indonesia berkembang melalui
sendi-sendi budaya yang ada dalam masyarakat. Islam
terakulturasi dalam budaya-budaya masyarakat lokal. Masuk dan
berkembangnya Islam dalam masyarakat bukan sesuatu yang
dipaksakan tetapi lebih dikarenakan kedekatan Islam yang
menggunakan budaya lokal sebagai suatu sarana sehingga
mendapat tempat di hati masyarakat. Ritual-ritual keagamaan pun
dimodifikasi menggunakan budaya setempat dan terus
terenkulturasi dalam masyarakat hingga saat ini. Ziarah sebagai
bentuk dari akulturasi antara ritual keagamaan dan budaya
menjadi contoh konkrit dari enkulturasi yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat – khususnya masyarakat muslim
Indonesia. Namun, meskipun hal itu telah terenkulturasi dalam
masyarakat, pada prinsipnya suatu tradisi, termasuk tradisi ziarah,
bukanlah suatu hal yang sifatnya statis dan tidak berubah sama
sekali. Perubahan ini merupakan bagian dari dinamika kultural
yang tak dapat dihindari. Tradisi ini memang terenkulturasi atau
diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya namun dalam
agama dan ritual-ritualnya merupakan bagian dari sosial. Yang suci ada secara
imanen dalam yang profan. Lebih jauh lagi, alam dan lingkup spiritual dalam
animisme dan totenisme masih tidak terdiferensiasi. Peranan dukun
menggarisbawahi ambiguitas pembedaan antara yang-ada-di-dunia ini dan
yang-di-luar-dunia. Pada tahap kedua, tahap religio-metafisi, modernisasi
mengakibatkan munculnya diferensiasi kultural dari sosial, dna yang suci dari
yang profan pada agama-agama dunia. Dalam hal ini, proses modernisasi
tampaknya terjadi melalui diferensiasi spiritual dari yang sosial. Dalam arah ini,
modernisasi lebih lanjut terjadi dalam otonomisasi Renaissans kultur sekuler
dari budaya religius. Proses diferensiasi dan otonomisasi membuka
kemungkinan adanya perkembangan “realisme” baik dalam seni maupun
epistemologi. Scott Lash, The Sociology of Postmodernism, (London: Rotledge,
1990), 19.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
199
situasi, kondisi dan waktu yang berbeda dengan sebelumnya.
Akibatnya akan ada perubahan-perubahan baik dalam skala kecil
atau besar. Perubahan-perubahan ini sedikitnya dipengaruhi oleh
dua hal mendasar:85 pertama, tuntutan modernitas yang mendesak,
sehingga diniscayakan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam
tradisi itu sendiri. Kedua, tidak sempurnanya proses pewarisan
tradisi dari generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal ini
terjadi lantaran kurangnya minat generasi muda untuk
mempelajari dan mempraktikkan nilai-nilai tradisi tersebut.
Namun demikian, yang perlu dipahami disini, dalam proses
pewarisan, memang ada hubungan dialektik yang terjadi terus
menerus antara tradisi, masyarakat dan zaman di mana proses
tersebut berlangsung. Antar ketiganya meniscayakan adanya
dialog yang terjadi secara dinamis sehingga menghasilkan nilai-
nilai dan tradisi baru yang disepakati bersama, yang sesuai zaman.
Menurut Dawam Rahardjo, terdapat tiga dimensi masalah
identitas yang dihadapi umat Islam di Indonesia saat ini, yaitu
tradisi, Islam, dan modernitas. Dalam menghadapi tiga dimensi
budaya tersebuit, gerakan Islam sebenarnya masih berada dalam
proses belajar dan mencari identitasnya. 86
Bagan 8. Dimensi Budaya
85 Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan
Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10,
Banjarmasin, 1-4 November 2010, 230. 86 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, 219.
Tradisi Modernitas
Islam
200 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
Tradisi adalah seperangkat sistem perilaku, kepercayaan,
kelembagaan atau keterampilan yang dialihkan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi sesudahnya dan dirasakan
sebagai warisan bersama kelompok-kelompok sosial di Nusantara.
Dalam teori modernisasi, tradisi dianggap sebagai faktor
penghambat dan merupakan sesuatu yang perlu ditinggalkan. Tapi
tidak satu masyarakat pun mampu meninggalkan tradisi tanpa
ketegangan, karena ia sudah merupakan bagian dari kepribadian.
Oleh sebab itu pada akhirnya masyarakat, terutama lapisan
cendikiawan pada akhirnya akan selalu bersikap untuk
mempertimbangkan tradisi. Tradisi dipertimbangkan kembali
untuk diaktualisasikan atau dimodernisasikan.87
Gerakan Islam juga melihat tradisi sebagai masalah.
Masalah itu baru tampak dengan timbulnya gerakan
Muhammadiyah yang melihat unsur-unsur bid’ah, khurafat dan
takhayul yang bertentangan dengan ajaran tauhid murni.
Pandangan gerakan modernis Islam ini tak urung menimbulkan
reaksi juga di lingkungan kaum muslimin sendiri dan mendorong
prakarsa untuk mempertahankan dan memelihara tradisi, dengan
lahirnya gerakan Nahdhatul Ulama, sebagai pemelihara tradisi
Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Hal ini dilakukan oleh kelompok
Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki prinsip “mempertahankan
warisan lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang
lebih baik”.88
Bagi kaum tradisi umumnya dan kaum muslimin, proses
modernisasi tetap tak bisa dihindarkan. Namun mereka sadar
terhadap berbagai unsur yang dianggap negatif dengan modernitas.
Karena itu ditempuh untuk menghadapi tiga dimensi budaya itu
adalah membumikan atau mempribumisasikan ajaran Islam dalam
arti memberikan warna budaya dalam pelaksanaan ajaran-ajaran
Islam tanpa merusak esensinya, menyeleksi unsur-unsur tradisi.
Itulah arah sintesa yang selama ini ditempuh. Sungguhpun
87 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, 220. 88 Zada Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama:
Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Kompas, 2010), 131.
Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola Kepercayaan Masyarakat
201
demikian, dalam masyarakat akan tetap ada gerakan-gerakan yang
menitikberatkan dan mengambil corak tebal tradisional, Islam
ortodoks dan modernitas-westernis. Di lingkungan gerakan Islam,
warna budaya yang menonjol adalah Islam tradisional, yang
barangkali diwakili oleh NU. 89
Kecenderungan perkembangan masyarakat modern saat ini
mendorong kehidupan sosial yang kian tersegmentasi, sehingga
semakin mencerai-beraikan ikatan sosial dan keagamaan yang
sebelumnya tampak kokoh. Kuntowijoyo90 menilai bahwa muslim
di Indonesia tersegmentasi ke dalam beberapa golongan.
Penilaiannya melihat bahwa perlu adanya pembeda antar golongan
muslim yang berorientasi kebudayaan Islam dan golongan muslim
yang berorientasi pemikiran sekuler barat.
Transisi maupun perubahan sosial yang terjadi di dalam
masyarakat, yang dalam hal ini adalah adanya transisi pola
kepercayaan masyarakat, dikhawatirkan mengarah pada proses
sekulerisasi. Sekulerisasi ini mengacu pada proses di mana agama
kehilangan dominasi atau signifikansi sosial dalam masyarakat.91
Bryan Wilson, Peter Berger, David Martin, dan Steve Bruce
melihat sekulerisasi sebagai suatu bentuk konsekuensi atas
89 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, 223.
90 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:
Mizan, 2008), 487. 91 Menurut Northcott, mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan
indikator-indikator berikut ini (1) Kemunduran partisipasi dalam aktivitas dan
upacara-upacara keagamaan; (2) Kemunduran keanggotaan organisasi-
organisasi keagamaan; (3) Kemunduran pengaruh institusi-institusi keagamaan
dalam kehidupan dan institusi-institusi sosial; (4) Berkurangnya otoritas yang
dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan; (5)
Berkurangnya ketaatan privat, doa, dan keyakinan; (6) Kemunduran otoritas
tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral serta keagamaan; (7)
Berkurangnya signifikansi sosial dari profesional-profesional keagamaan,
kekurangan dalam lapangan kerja, dam di beberapa negara anti klerikalisme
(mereka yang menentang paham yang mendukung campur tangan kaum
rohaniawan [Katolik Roma] dalam urusan politik); dan (8) Privatisasi atau
sekulerisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan.
Michael S. Northcott dalam Peter Connoly (ed), Approaches to the Study of Religion, Imam Khoiri (penerjemah), Yogyakarta: LkiS, 2002. 299.
202 Interdependensi Stratifikasi Sosial dan Pola
Kepercayaan Masyarakat
hadirnya modernisasi. Pergeseran yang terjadi dalam masyarakat –
dari pedesaan ke perkotaan, dan dari pertanian ke industrial –
dilihat signifikan. Di daerah pedesaan, masyarakat hidup secara
berdampingan di mana komunitas-komunitas organik yang kecil,
dan kehidupan mereka ditentukan oleh liturgi, musim-musim
alamiah, ritual-ritual keagamaan, takhayul, dan legenda.
Kepercayaan masyarakat pedesaan pada orang-orang yang
dianggap “suci” juga masih sangat kuat dan tradisi-tradisi pada
masyarakat desa seperti melaksakan tradisi yang berkaitan dengan
siklus hidup (mulai dari prosesi kelahan sampai pada
memperingati kematian), tradisi yang mengharapkan keberkahan
(sedekah), dan memperingati hari-hari keagamaan diekspresikan
oleh masyarakat desa sebagai bentuk ritual yang menjadi tradisi.
Dalam hal ini nilai-nilai keagamaan mengontrol hubungan dan
peran dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Hal ini tentunya
berbeda dengan masyarakat perkotaan yang berada dalam
komunitas mekanik. Pengaruh industrialisasi dan modernisasi di
perkotaan, menjadikan masyarakat perkotaan bersifat dinamis,
cenderung individualistik, dan rasional. Kecenderungan ini
menjadikan masyarakat perkotaan apatis terhadap urusan yang
berbau ritual keagamaan seperti yang dilakukan oleh masyarakat
pedesaan. Ritual-ritual yang sifatnya periodik dan penuh dengan
massifikasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting untuk
dilaksanakan dan nilai-nilai keagamaan menjadi dianggap kurang
signifikan bagi masyarakat perkotaan.
BAB VI
“Interdependensi antara stratifikasi sosial dan agama tidak hanya
bersifat linear namun juga dapat bersifat overlapping” -- Penulis –
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
terdapat interelasi antara stratifikasi sosial dan pola kepercayaan
yang ada di dalam masyarakat, yaitu semakin tinggi strata
seseorang maka akan semakin rasional pola kepercayaannya.
Namun, pernyataan ini bukanlah suatu generalisasi yang bersifat
linear karena dapat pula bersifat overlapping. Hal ini disebabkan
kepercayaan masyarakat terhadap kekeramatan makam tidaklah
bersifat tunggal. Makam merupakan suatu simbol yang
diinternalisasi oleh suatu masyarakat sehingga menjadi suatu
enkulturasi atau tradisi. Dalam hal ini ziarah telah terenkulturasi
dengan baik di kalangan masyarakat sehingga menjadi suatu
tradisi yang sulit dilepaskan dalam masyarakat.
Banyak motif dan tujuan yang diinginkan oleh tiap-tiap
peziarah. Praktisnya pun dilakukan oleh peziarah berdasarkan
strata dan pola kepercayaannya. Interdependensi strata terhadap
pola kepercayaan masyarakat sangatlah signifikan sehingga
berdampak pada pola tindakan mereka di makam keramat. Hal ini
menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak hanya ditentukan oleh
determinan ekonomi semata, namun juga dapat ditentukan oleh
determinan-determinan lain, seperti sosio-religius, sosio-kultural,
politik, pendidikan dan etnisitas. Interdependensi strata ini dapat
mendeskripsikan pola kepercayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat, seperti pola kepercayaan mistis atau magic, agama
atau tradisionalis Islam, dan science atau rasional.
Praktik ziarah yang dilakukan oleh masyarakat di makam
Kyai Marogan menunjukkan keterkaitan antara stratifikasi dan
206 Penutup
pola kepercayaan tersebut yang teraplikasi melalui perilaku
ziarahnya. Masyarakat yang memiliki strata rendah pada
umumnya masih memiliki pola kepercayaan terhadap hal-hal yang
berbau magis. Sebaliknya masyarakat yang berada pada strata atas
memiliki pola kepercayaan yang lebih rasional. Hal ini disebabkan
karena masyarakat yang berada pada strata bawah kurang
memiliki akses dan lebih bersifat tertutup sehingga pola
kepercayaannya cenderung normatif terhadap hal-hal yang bersifat
tradisi. Sedangkan masyarakat yang berada dalam strata atas,
mereka lebih bersifat terbuka dan memiliki akses terhadap
berbagai informasi sehingga bisa lebih rasional.
Namun, interdependensi stratifikasi terhadap pola
kepercayaan tidak bersifat mutlak bahkan bisa terjadi overlapping antara strata tertentu dengan pola kepercayaan tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada generalisasi atau klaim-klaim
tertentu terhadap peziarah.
B. Saran
Buku ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif yang
menggunakan pendekatan sosiologi dan antropologi sehingga
proposisi-proposisi yang dihasilkannya baru memasuki tahapan
sebagai hipotesis yang sebenarnya memerlukan kajian lebih lanjut.
Ziarah perlu dikemas lebih lengkap lagi, sehingga selain
berziarah ke makam, para peziarah juga dapat memperoleh
pemahaman yang lebih baik terhadap perjuangan tokoh
panutannya dalam pengembangan agama Islam. Peziarah juga
dapat memperoleh sensasi spiritual yang dapat menimbulkan
kedamaian dan kesejukan hati yang dalam.
Adanya kategorisasi strata dan pola kepercayaan yang
dideskripsikan dalam buku ini bukan sebuah klaim yang mutlak.
Stratifikasi masyarakat dapat bersifat terbuka dan pola
kepercayaannya pun dapat mengalami transisi. Namun, semoga
buku ini dapat lebih memberikan pemahaman yang komprehensif
tentang stratifikasi dan pola kepercayaan melalui tradisi ziarah
dalam usaha menciptakan wawasan budaya untuk membangun
masyarakat religious dan modern.
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
INDEKS
BIODATA PENULIS
Daftar Pustaka 209
DAFTAR PUSTAKA
REFERENSI BUKU:
‘Abd Ba>sit, dan ‘Abd Mu’ti. “Itija>ha>t Naz}ariyah fi> ‘Ilm al-Ijtima>’”. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al-
funu>n wa al-ada>b. 1981.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al Maraghi, Juz VII. Mesir:
Darul Hikam. 1974.
Abdullah, Makmun., dkk. Kota Palembang Sebagai Kota Dagang dan Industri. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
1985.
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia.. Jakarta: LP3ES. 1987.
________. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univ. Press. 1986.
AG, Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon. Jakarta: Logos. 2002.
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2006.
Al-Barry, Dahlan Yacub. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. 2001.
al-Shima>s, Isa. “Madkhal Ila< ‘Ilm al-Insa>n (al-Antru>bu>lu>jiya>)”.
Damaskus: Ittih{a>d al-Kita>b al-‘arab. 2004.
Alphonso, Herbert and Robert Faricy. Priest as Leader: The Process of the Inculturation of a Spiritual-Theological Theme of Priesthood in a United States Context. Rome:
Gregorian University Press. 1997.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
1994.
210 Daftar Pustaka
‘A>yid al-Wariyka>t Wara>id al-Khama>yisah, “al-Tabaqah al-
Ijtima>‘iyah Watadni> Mafhu>mu al-Dza>t wa ‘Ala>qatuhuma>
Biinhira>fi al-Ahda>th Dira>sah Mayda>niyah Ujribat ‘ala> al-
Tabaqah al-Dzuku>r fi Tarbiyah ‘Ama>n al-Tha>niyah-al-
Urdun”, Dira>sat al-‘Ulu>m al-Tarbiyah al-Mujalad 35, al-
‘Adad 1, 2008.
Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion. Princeton:
Princeton University Press. 1999.
Berger, Peter L. The Social Reality of Religion. London. 1969.
Billah, dkk. Kelas Menengah Digugat. Jakarta: PT Fikahati
Aneska, 1993.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali
Press, 2003.
Cassier, Ernst. An Essay on Man. Garden City, New York:
Doubleday Anchor Books, 1953.
Chambert-Loir, Henri dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010
Connoly, Peter (ed.). Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS. 2002.
Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2011.
Durkheim, Emile. Sejarah Agama: The Elementary Forms of the religious Life. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir.
Yogyakarta: IRCiSoD. 2003.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. 2003.
Fahim, Husein. Qis{ah al-Antru>bu>lu>jiya> fus{u>l fi Ta>rikh ‘Ilm al-Insa>n”. Kuwait: alMajlis al-wat{ani lil thaqa>fah wa al-funu>n
wa al-ada>b. 1986.
Gadjahnata, KHO dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI-
Press. 1986.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 1983.
Daftar Pustaka 211
________. The Religion of Java, diterjemahkan Aswab Mahasin
& Bur Rasuanto. Jakarta: Komunitas Bambu: 2013.
________. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
1970.
Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama,
2009.
Gha>zi> al-S{u>ra>ni>, al-Tahawula>t al-Ijtima >‘iyah wa al-Tabaqiyah fi> al-D{afah al-Gharbiyah wa Qita>‘u Ghazah (Ru’yah Naqdiyah). Dimashqa: Nad{a>l Nabi>l
abu> Ma>yilah, 2010. Giddens, Anthony. Central Problems in Social Theory. London:
Macmillan. 1979.
Hadi, Sumandiyo. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku
Pustaka. 2006.
Hanafiah, Djohan. Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya. Palembang: Haji Masagung. 1988.
________. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1995.
Hanani, Silfia. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung: Humaniora. 2011.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta: Penerbit Kanisius.
1983.
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, Sosiologi, 6th edition (terjemahan). Jakarta: Erlangga. 1991.
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n. Damaskus: Da>r Ya‘rub.
2004.
Irwanto, Dedi, dkk. Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi
Sejarah Kultural Palembang. Yogyakarta: Eja Publisher.
2010.
Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT.
Gramedia. 1986.
Kabba>ni>, Syekh Muh}ammad Hisya>m. Maulid dan Ziarah Ke Makam Nabi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2007.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2002.
212 Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN: Balai Pustaka.
1984.
________. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 1997.
________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
1979.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:
Mizan. 2008.
Kuswarno Engkus. Fenomenologi Konsep, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.s. 2009.
Lawang, Robert M.Z. Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an. Jakarta: FISIP
UI Press. 2004.
Lash, Scott. The Sociology of Postmodernism. London: Rotledge.
1990.
Lenski, G.E. Power and Priveledge: A Theory of Social Stratification. New York: McGraw-Hill. 1966.
Loir, Henri Chambert dan Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: Komunitas Bambu. 2010.
Machadi Suhadi, Halina Hambali. Makam-Makam Wali Songo di Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1998.
Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas. 2010.
Marvine E. Olsen (Ed). Power in Societies. New York: The
Macmillan Company, 1970.
Memet, Ahmad. Sejarah Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul serta Biografi Kyai Muara Ogan. Palembang:
Yayasan Kyai Muara Ogan. 2005.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 1998.
Muljana, Slamet. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS. 2006.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto (Ed). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. 2011.
Daftar Pustaka 213
Nasution, Zulkifli Abdul Karim. Islam dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. Palembang: UNSRI Press,
2001.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat (terjemahan
Abdul Muis Naharong). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2002.
O’Dea, Thomas F. Sosiologi Agama. diterjemahkan Tim
Penerjemah Yasogama. Jakarta: CV. Rajawali. 1985.
Pals, Daniele L. Seven Theories of Religion. Jakarta: Qalam. 2001.
Parson, Talcott. Actor, situation and normative pattern: an essay
in the theory of social action. Editedand Introduction by
Victor Lidz and Helmut Staubmann. Wien. Lit Verlag
(Volume Two in the seriesStudy in the Theory of Action
edited by Staubmann and Lidz). ASNP. 2011.
________. Esei-Esei Sosiologi, diterjemahkan S. Aji (Jakarta:
Aksara Persada Press. 1985.
Peeters, Jeroen. Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942. Jakarta: INIS, 1997.
Pucuk Pimpinan Muslimat NU Bidang Sosial, Budaya dan
Lingkungan Hidup. Pedoman Merawat Jenazah Menurut Syari’at Islam.. Jakarta: Suara Bebas. 2006.
Purnama, Dadang Hikmah. Modul Ajar Metode Penelitian Kualitatif. Palembang: UNSRI. 2009.
Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.
Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Logos. 1998.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi
Pustakarya. 2007.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.
Riyanto, Geger. Peter L Berger: Perspektif Metateori. Jakarta:
LP3ES. 2009.
Robert, Keith A. Religion In Sociological Perspective. New York:
Wadsworth. 2004.
214 Daftar Pustaka
Roland Robertson. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1993.
Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho. Ziarah Wali: Wisata Spiritual Sepanjang Masa. Yogyakarta: Pustaka Timur. 2007.
Said, Nurman. Masyarakat Muslim Makassar: Studi Pola-Pola Integrasi Sosial antara Muslim Pagama dengan Muslim Sossorang. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI. 2009.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology. trans. Farid Wajidi, S.
Menno. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2000.
Schroeder, Ralph. Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahanny. Jakarta: Kencana. 2011.
Shalih, Syaikh Abu Umar. Ziarah Kubur Yang Dicontohkan Rasulullah. Solo: At-Tibyan . 2001.
S{iddiq, H{usain. “al-Inja>ha>t al-Naz{a>riyah lidira>sah al-Tanz{i>ma>t al-
Ijtima>‘iyah ‘Ard{u - wa Taqwi>m”, Majallah Ja >mi‘ah Dimishqa 27, al-‘Adad al-Tha>lith 2011.
Sobary, Mohammad. Kesalehan Sosial. Jakarta: LkiS. 2007.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV.
Rajawali. 2012.
Soemardjan, Selo dan Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1964.
Sorokin, Pitirim A. Social and Cultural Mobility. Collier-
Macmillan Limited London: The Free Press of Glencoe,
1959.
Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. 2000.
Subhani, S.J. Tawassul, Tabarruk, Ziarah Kubur, Karamah Wali, Termasuk Ajaran Islam: Kritik Atas Paham Wahabi. Jakarta: Pustaka Al Hidayah. 1989.
Daftar Pustaka 215
Sudarja, Adiwikarta. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan. 1988.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1993.
Sutiyono. Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara. 2010.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. 2005.
Syari’ati, Ali. 1982. Tentang Sosiologi Islam, terj.Saifullah
Mahyudin, Yogyakarta: Ananda.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Tashadi, dkk. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat Di Gunung
Kawi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1995.
Tirmidhi>, Sunan. Ba>b Fad}l al-Fiqh ‘ala> al-‘Iba>dah vol 5,48. Beirut:
Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1998.
Tobroni dan Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2003.
Tohir, Mudjahirin. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang: Fasindo
Press. 2006.
Turner, Bryan S. Agama dan Teori Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD.
2006.
____________. Weber and Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam. 1983.
Usman, Husaini dan Purnomo Setady Akbar. “Metodologi Penelitian Sosial”. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Vincent Jeffries and H. Edward Ransford. Social Stratification : a Multiple Hierarchy Approach. Allyn and Bacon, INC.
United States of America. 1980.
Weber, Max. Economy and Society. New York: Bedminister.
1978.
________. Essays From Max Weber. Cambridge: Polity Press. 2002.
________. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, terjemahan Yusup Priyadisudiarja, Yogyakarta: Jejak,
2007.
216 Daftar Pustaka
________. Sosiologi Agama. Terjemahan Muhammad Yamin.
Yogyakarta: IRCiSoD. 2002.
Wolters, O. W. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspective. Singapore: ISAS. 1982.
Woodward, Mark. Java, Indonesia and Islam. New York:
Springer. 2010.
Ya>ni>k Lu>mi>l, al-Tabaqa>t al-Ijtima>‘iyah. Fa>ransiyah: Da>r al-Kita>b
al-Jadi>d al-Muttahidah. 2008.
Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili (ed). Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta:
Kompas, 2010.
Daftar Pustaka 217
JURNAL, ARTIKEL DAN HASIL PENELITIAN:
Ahmad Amir Aziz, dkk. “Kekeramatan Makam (Studi
Kepercayaan Masyarakat terhadap Kekeramatan Makam-
makam Kuno di Lombok)”. Jurnal Penelitian Keislaman,
Vol. 1, No. 1, (Desember 2004), 59-77.
Ahmad Falah, “Spiritualitas Muria: Akomodasi Tradisi dan
Wisata”, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, November
2012, 430.
Badruddin. “Pandangan Peziarah Terhadap Kewalian Kyai Abdul Hamid Bin Abdullah Bin Umar Basyaiban Pasuruan Jawa Timur: Persepektif Fenomenologis”. Disertasi program
pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. 2011.
Blumberg, Rae Lesser. “Extending Lenski’s Schema to Hold up
Both Halves of the Sky: A Theory-Guided Way of
Conceptualizing Agrarian Societies That Illuminates a
Puzzle about Gender Stratification”. Sociological Theory, Vol. 22, No. 2, Religion, Stratification, and Evolution in
Human Societies: Essays in Honor of Gerhard E. Lenski
(Jun., 2004): 278-291.
http://www.jstor.org/stable/3648948. (diakses pada 02
April 2012).
Bond, George C. “Education and Social Stratification in Northern
Zambia: The Case of The Uyombe”. Anthropology and Education Quarterly, Vol. 13, No. 3, African Education and
Social Stratification (Autumn, 1982): 251-267.
http://www.jstor.org/stable/3216637. (diakses pada 02
April 2012).
Bruce C. Wearne, Exegetical Explorations: Parson' Convergence Concept, The American Sociologist Vol. 44, No. 3
(September 2013) (pp. 233-244) Published by: Springer.
http://www.jstor.org/stable/42635360 (diakses pada
tanggal 12 Juli 2014)
Collins, Randals and others. “Toward an Integrated Theory of
Gender Stratification”. Sociological Perspectives, Vol. 36,
No. 3 (Autumn, 1993): 185-216.
218 Daftar Pustaka
http://www.jstor.org/stable/1389242 (diakses pada 02 April
2012).
Constantina Safilios-Rothschild, “Family and Stratification: Some
Macrosociological Observations and Hypotheses”, Journal of Marriage and Family Vol. 37, No. 4, Special Section:
Macrosociology of the Family (Nov., 1975), pp. 855-860,
Published by: National Council on Family Relations,
http://www.jstor.org/stable/350837 (diakses pada tanggal
20 Juli 2013).
Davidson, James.D and Pyle, R.E., Ranking Faiths: Religious Stratification in America (Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2011), pp. 219. Davidson, James D. Religious Stratification: Its Origins,
Persistence, and Consequences, Sociology of Religion; Winter 2008; 69, 4; ProQuest Research Library.
Davis, Kingsley and Wilbert E Moore, 1945. “Some Principles of
Stratification,” American Sociological Review 10 (April):
242-249. http://en.wikipedia.org/wiki/
religious_stratification (diakses pada 02 April 2012).
Dawson Munjeri, “Tangible and Intangible Heritage”, Museum International (2004), 56, 1-2, pp. 221-222.
Hapsa, Asal Usul Kota Palembang, http://freakingothic.blog.esaunggul.ac.id /2011/02/16/asal-
usul-kota-palembang/ (diakses pada tanggal 25 Maret
2012).
Hastings, James (ed). Encyclopedia of Religion and Ethics, vol.
10, New York, Charles Sribner’s sons, tanpa tahun, 663.
Hostettler, Ueli. “Labor Regime and Social Justice. Consequences
of Economic and Social Stratification among Maya
Peasents in Central Quintana Roo, Mexico”. Anthropos, Bd. 97, H. 1. (2002) 107-116.
http://www.jstor.org/stable/40465619. (diaksess pada 02
April 2012).
Hugo G. Nutini, “Social Stratification and Mobility in Central
Veracruz “, Social Sciences - Anthropology , 2009,
Published by: University of Texas Press ,
Daftar Pustaka 219
http://www.jstor.org/stable/10.7560/706958 (diakses pada
tanggal 20 Juli 2013)
Jamhari, “The Meaning Interpreted: The Concept of Barakah in
Ziarah”, Studia Islamika (Indonesian Journal for Islamic Studies), Vol.8, No.1, (2001), 87-123.
Jelamu Ardu Marius. Perubahan Sosial, September 2006, Vol. 2,
No. 2. Kajian Analitik/Jurnal Penyuluhan. Institut
Pertanian Bogor. 125.
Joan Huber, “Lenski Effects on Sex Stratification Theory”,
Sociological Theory Vol. 22, No. 2, Religion,
Stratification, and Evolution in Human Societies: Essays in
Honor of Gerhard E. Lenski (Jun., 2004), pp. 258-268,
Published by: American Sociological Association,
http://www.jstor.org/stable/3648946 (diakses pada tanggal
20 Juli 2013).
John Robert Warren, Jennifer T. Sheridan and Robert M. Hauser,
“Occupational Stratification across the Life Course:
Evidence from the Wisconsin Longitudinal Study,
American Sociological Review, Vol. 67, No. 3 (Jun., 2002),
pp. 432-455, Published by: American Sociological
Association, http://www.jstor.org/stable/3088965 (diakses
pada tanggal 20 Juli 2013).
Keating, Elizabeth. “Moments of Hierarchy: Constructing Social
Stratification by Means of Language, Food, Space, and the
Body in Pohnpei, Micronesia”. American Anthropologist, New Series, Vol. 102, No. 2 (Jun., 2000): 303-320.
http://www.jstor.org/stable/683680. (diakses pada 02 April
2012).
Levin, Shana. “Perceived Group Status Differences and the Effects
of Gender, Ethnicity, and Religion on Social Dominance
Orientation”. Political Psychology, Vol. 25, No. 1 (Feb.,
2004): 31-48. http://www/jstor.org/stable/37925222.
Matilda White Riley, “The Perspective of Age Stratification”, The School Review Vol. 83, No. 1, Responses to "Symposium
on Youth: Transition to Adulthood" (Nov., 1974), pp. 85-
91 Published by: The University of Chicago Press.
220 Daftar Pustaka
http://www.jstor.org/stable/1084143 (diakses pada tanggal
20 Juli 2013).
Mines, Mattison. “Muslim Social Stratification in India: The Basis
for Variation.”Southwestern Journal of Anthropology, Vol.
28, No. 4 (Winter, 1972): 333-349.
http://www.jstor.org/stable/3629316 (diakses pada 03 April
2012).
Nasution, Abdul Karim. Kiprah Ki Marogan Mengembangkan Islam di Uluan Palembang, dalam Jurnal Intizar Pusat
Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, volume 10 Nomor 2, Desember 2004, 267-269.
Paisun, Dinamika Islam Kultural (Studi Atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura), Annual Conference on Islamic
Studies (ACIS) Ke-10, Banjarmasin, 1-4 November 2010,
230.
Peter Poole, “Socialisation, Enculturation and the Development of Personal Identity”, In Tim Ingold (ed). Companion Encyclopedia of Anthropology: Humanity, Culture and Social Life. Pp. 831-860. London and New York:
Routledge.
Pyle, Ralph E and James D. Davidson. “The Origins of Religious
Stratification in Colonial America”. Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 42, No. 1 (Mar., 2003):
57-76. http://www.jstor.org/stable/1387985. (diakses pada
02 April 2012).
Rousseau, Jerome. “Hereditary Stratification in Middle-Range
Societies.” The Journal of the Royal Anthrolofical Institute, Vol. 7, No. 1 (Maret 2001): 117-131.
http://www.stor.org/stable/2660839. (diakses pada 03 April
2012).
Trujillo, Joaquin. “Accomplishing Meaning in a Stratified World:
An Existential Phenomenological Reading of Max Weber’s
Class, Status, Party”. Human Studies, Vol. 30, No. 4 (Dec.,
2007): 345-356. http://www.jstor.org/stable/27642807.
(diakses pada 02 April 2012).
Daftar Pustaka 221
Wilbert Santiago Poot-Pool, Hans van der Wal, Salvador Flores-
Guido, Juan Manuel Pat-Fernández and Ligia Esparza-
Olguín, “Economic Stratification Differentiates Home
Gardens in the Maya Village of Pomuch, Mexico”,
Economic Botany, Vol. 66, No. 3 (15 September 2012), pp.
264-275, Published by: Springer on behalf of New York
Botanical Garden Press.
http://www.jstor.org/stable/23324988 (diakses pada
tanggal 20 Juli 2013).
Yeld, E.R. “Islam and Social Stratification in Northern Nigeria”,
the British Journal of Sociology, Vol. 11, No. 2 (Juni 1960): 112-128. http://www.jstor.org/stable/587419
(diakses pada 03 April, 2012).
Zainuddin, Sayyed. “Islam, Social Stratification and
Empowerment of Muslim OBCs”, Economic and Political Weekly, Vol. 38, No. 46 (November 2003): 4898-4901.
http://www.jstor.org/stable/4414285 (diakses pada 02 April
2012).
222 Daftar Pustaka
REFERENSI SITUS INTERNET:
www.bkkbn.go.id
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/10/07/siapakah-kelas-
menengah-di-indonesia-493650.html
http://www.bps.go.id (diakses pada tanggal 04 Juni 2012).
http://kiaimarogan.com/index.php?option=com_content&task=vie
w&id=13&Ittemid=26.
http://supriyanto2koma.wordpress.com/tag/hadist-tentang-ziarah-
kubur/
http://ziarahkubrapalembang.wordpress.com/ diakses pada tanggal
10 Juni 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1914-
tradisi-ziarah-masyarakat-indonesia-sudah-dipolitisasi-.html
http://belokkirikanan.blogspot.com/2012/09/wacana-sunni-syiah-di-indonesia-
3.html
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,52870-
lang,id-c,ubudiyaht,Ziarah+Kubur+Menjelang+Ramadhan-
.phpx
http://edymei.blog.ugm.ac.id/2011/04/01/diskusi-kajasha-
paradigma-ilmu-profetik/, diakses pada tanggal 11 Mei
2012)
Glosarium 223
GLOSARIUM
Agama : sistem atau prinsip kepercayaan kepada
Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan itu
Amalgamasi : perkawinan diantara dua pihak yang berbeda
agama, suku, budaya, status sosial-ekonomi
dan sebagainya
Akulturasi : proses percampuran dua kebudayaan atau
lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi; proses masuknya pengaruh
kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat,
sebagian mengabsorpsi secara selektif sedikit
atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan
sebagian berusaha menolak pengaruh itu
Asketisisme : paham yang menekankan dan
mempraktekkan hidup sederhana, keujuran
dan kerelaberkobanan
Alingan : Dialingi, dilindungi. Orang yang dilindungi
oleh pembesar kesultanan
Determinan : sesuatu (kekuatan, kondisi, atau keadaan)
yang turut mendukung dalam menimbulkan
atau menghasilkan suatu resultan
Dikotomi : pembagian atau pemisahan dalam dua
kelompok
Emosi keagamaan : getaran jiwa yang menyebabkan seseorang
berperilaku religius
Enklave : wilayah budaya yang terletak di wilayah
kebudayaan lain
Enkulturasi : Proses pembudayaan
Etnik : menyangkut kelompok ras atau kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan
yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya; kesukuan
224 Glosarium
Fenomena : suatu fakta, gejala-gejala, atau peristiwa-
peristiwa adat serta bentuk keadaan yang
dapat diamati dengan kacamata ilmiah
Habitualisasi : proses menjadi semakin terbiasa atau efektif
menyesuaikan diri kepada kondisi yang
menyangkutpengalaman, pekerjaan, atau
proses belajar
Hierarki : urutan bertingkat/berjenjang (abatan,
kedudukan, kelas sosial maupun ekonomi)
Interaksi sosial : hubungan sosial yang dinamis antara orang
perorangan, antara perseorangan dengan
kelompok
Interdependensi : keadaan saling bergantung; suatu pola
hubungan antara unit-unit sosial tertentu yang
saling bergantung antara satu sama lain
Jurai : Satu keturunan
Karisma : keadaan atau bakat yang dimiliki oleh
seseorang yang dihubungkan dengan
kemampuannya yang luar biasa dalam hal
kepemimpinan, sehingga menimbulkan
simpati, kepercayaan, pengakuan dan bahkan
kekaguman masyarakat luas terhadapnya
Kelas sosial : penggolongan masyarakat/kelompok
masyarakat berdasarkan kedudukan dalam
masyarakat, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. Kepercayaan : suatu sistem
religi atau keyakinan yang dianut oleh suatu
masyarakat
Keramat : suci dan bertuahyang dipercaya mampu
memberikan efek magis dan psikologis bagi
orang yang mempercayainya; suci-pemisahan
segala unsur kehidupan biasa, karena
mempunyai signifikansi supernatural
Keyakinan : bagian agama atau religi yang berwujud
konsep-konsep yang menjadi kepercayaan
penganutnya
Glosarium 225
Kultus : sekumpulan keyakinan, ritus, dan sebagainya
yang berkaitan dengan suatu obyek (paham,
benda, orang, dan sebagainya); pernyataan
hormat yang berlebih-lebihan terhadap
sesuatu (benda, manusia, paham, dan
sebagainya); upacara yang bersifat
keagamaan.
Magic/magis : istilah yang dipakai dalam praktek-praktek
takhayul berdasarkan pada kepercayaan dalam
perantara supernatural dimana dapat
menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat
mempengaruhi atau menguasai alam di
sekitarnya termasuk alam pikiran dan tingkah
laku manusia
Masyarakat : sejumlah manusia dalam arti yang seluas-
luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama.
Masyarakat modern : masyarakat yang perekonomiannya
berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di
bidang industri, dan pemakaian teknologi
canggih
Masyarakat tradisional : masyarakkat yang lebih banyak
dikuasai oleh adat istiadat lama
Mata Gawe : Orang yang memiliki kewajiban kerja kepada
Sultan. Penduduk di daerah sikap Mobilitas sosial : gerakan perubahan yang terjadi di antara
masyarakat baik secara fisik maupun secara
sosial; perubahan kedudukan warga
masyarakat
Modernisasi : proses pergeseran sikap dan mentalitas
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup
sesuai dengan tuntutan zaman kini
Motif : faktor afektif-konatif (hasrat dan kemauan)
yang digunakan dalam menentukan arah
tingkah laku individu terhadap akhir atau
tujuan, dengan sadar dilihat atau tidak sadar
226 Glosarium
Motivasi : dorongan yang timbul pada diri seseorang
secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu
tindakan dengan tuuan tertentu
Nilai : sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan
Norma : pola atau nilai standar atau yang bersifat
mewakili bagian kelompok atau jenis; aturan
atau ketentuan yang mengikat warga
kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai
panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku
yang sesuai dan diterima; kaidah
Patrilineal : mengenai hubungan atau garis keturunan
melalui garis keturunan ayah dan penghubung
laki-laki
Perilaku : tanggapan atau reaksi individu terhadap
lingkungannya
Persepsi : proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui panca inderanya; tanggapan langsung
dari sesuatu
Perubahan sosial : perubahan pada berbagai institusi
kemasyarakatan, yang mempengaruhi sistem
sosial masyarakat, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap, pola,perilaku diantara
kelompok dalam masyarakat
Puyang/Buyut : orang yang dituakan, pendiri kampung,
makam keramat, orang tua dari kakek nenek
dan seterusnya
Privelese : hak istimewa; keistimewaan yang diberikan
kepada seseorang yang mungkin bersifat
positif maupun negatif
Rasional : menurut pikiran dan pertimbangan akal;
kemampuan untuk mempertimbangkan;
berkaitan dengan kepercayaan terhadap
sesuatu yang disertai dengan pembuktian
Rasionalisasi : proses pembenaran dengan pertimbangan
akal terhadap segala sesuatu
Glosarium 227
Ritual : suatu sistem upacara atau prosedur magis
atau religiius yang biasanya dengan bentuk-
bentuk khusus dan biasanya dihubungankan
dengan tindakan-tindakan penting
Segmentasi : pembagian struktur sosial dalam kelompok-
kelompok atau unit-unit yang mempunyai
fungsi yang sama
Sekularisasi : hal-hal yang membawa ke arah kehidupan
yang tidak didasarkan pada aaran agama\
Simbol : suatu benda atau aktifitas yang
melambangkan dan sebagai pengganti sesuatu
yang lain
Sosio-ekonomi : segala sesuatu yang berhubungan dengan
sosial dan ekonomi
Sosio-kultural : berkenaan dengan segi-segi sosial dan
budaya masyarakat
Stratifikasi : pembedaan (penggolongan) penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat berdasarkan status sosial ekonomi,
kekuasaan, prestise, agama, pendidikan dan
lain sebagainya
Tawassul : memohon pada perantara agar doanya cepat
terkabul
Tradisi : adat kebiasaan turun temurun yang masih
terus dilestarikan dalam masyarakat
Tradisional : sikap dan cara berpikir serta bertindak yang
senantiasa berpegang teguh pada norma-
norma dan adat istiadat atau kebiasaan yang
telah ada secara turun temurun; menurut
tradisi atau bercorak tradisi
Voluntarism : kemampuan individu melakukan suatu
tindakan berdasarkan berdasarkan
pengalaman, persepsi, pemahaman dan
penafsiran atas suatu objek stimulus atau
situasi tertentu seperti kondisi situasional
lingkungan budaya, tradisi, dan agama.
Indeks 229
INDEKS
A
Abd al-H>>}aqq al-Isybili 112
Affectual action 60, 191
agama 1, 2, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 14, 17, 19,
32, 33, 39, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 62, 63, 64,
65, 66, 67, 68, 69, 80, 85, 86, 88, 91,
92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 103,
104, 106, 107, 114, 116, 117, 120,
121, 122, 124, 127, 129,놀140, 141,
142, 145, 148, 152, 153, 164, 166,
169, 174, 182, 184, 186, 187, 188,
192, 193, 195, 197, 198, 201, 205,
206
akulturasi 2, 17, 77, 103, 105, 106, 108,
118, 121, 179, 198
alingan 86, 87
amalgamasi 179
asketisisme 58
Aziz 16, 17
Azra 98, 114, 167, 168, 180
B
Badruddin 15, 16, 126
barokah 16, 18
Beatty 124, 125, 141, 142
Berger 18, 50, 149, 150, 152, 162, 163,
201
berkah 1, 4, 14, 15, 113, 118, 131, 133,
134, 135, 136, 137, 138, 139, 144,
149, 151, 171, 173, 174, 178, 183
berkat 8, 135, 190
Bruce 164, 201
Bruhl 47
C
client 116
Comte 45, 56, 194
D
Davidson 33, 55, 56
Davis 41, 55, 187
determinan 2, 7, 31, 33, 35, 168, 205
dikotomi 13, 182
Durkheim 10, 44, 52, 53, 141
E
eksternalisasi 15, 150, 152
emosi keagamaan 196
enklave 98
enkulturasi 8, 106, 145, 146, 148, 149,
152, 190, 198, 205
etnis 6, 32, 33, 55, 78, 159, 178, 182
F
fenomena 1, 2, 6, 9, 10, 17, 20, 24, 26,
27, 33, 48, 52, 56, 59, 61, 88, 111,
116, 131, 144, 161, 188, 189, 197
G
Geertz 5, 12, 13, 26, 44, 45, 67, 68, 69,
122, 123, 140, 176, 194
Giddens 143
230 Indeks
Guillot 3, 4, 5, 6, 112, 113, 116, 124,
139, 144, 176
H
habitualisasi 111, 150
Hamdani 72, 73, 174, 175
Haviland 44
hierarki 84, 158, 174
horizontal 2, 32, 82, 158, 174
I
Iliran 13, 94, 167, 178, 181, 182
inferior 33, 34, 182
interaksi 18, 19, 97, 124, 147, 152, 160
interaksi sosial 152
Interdependensi 168, 171, 172, 174,
178, 181, 183
internalisasi 15, 61, 124, 150, 152, 153,
190
Islam 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 21, 22, 31, 39, 40, 41,
42, 45, 48, 50, 51, 52, 54, 65, 68, 69,
70, 71, 73, 74, 77, 80, 83, 85, 86, 94,
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,
104, 106, 107, 108, 112, 113, 114,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 122,
124, 126, 127, 130, 131, 132, 139,
141, 142, 144, 145, 150, 152, 153,
161, 167, 168, 170, 173, 175, 176,
177, 180, 182, 187, 192, 193, 194,
195, 198, 199, 200, 201, 205, 206
J
Jamhari 16, 132
Jeffries 6, 32, 34, 35, 37, 81, 160, 161,
167
jurai 106
K
karisma 119, 125, 145, 166
karomah 4, 16, 18, 113, 115, 126, 128,
137, 143, 166, 193
kelas sosial 7, 9, 13, 35, 38, 43, 62, 174
keramat 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 16, 17, 20,
23, 24, 26, 113, 118, 122, 123, 124,
125, 126, 127, 130, 131, 133, 135,
143, 157, 161, 163, 166, 169, 171,
172, 178, 185, 190, 191, 194, 195,
198, 205
keyakinan 16, 20, 45, 55, 66, 105, 127,
136, 140, 141, 142, 144, 146, 161,
187, 194, 201
Koentjaraningrat 25, 103, 105, 121,
145, 148, 149
kultus 171
Kuntowijoyo 69, 71, 74, 201
L
Lawang 4, 9, 36, 38, 42, 102, 175
Lenski 9, 36, 38, 158
Linton 157
Loir 3, 4, 6, 112, 113, 114, 116, 124,
139, 144, 176
M
magic 45, 125, 195, 205
magis 46, 47, 48, 49, 126, 140, 196,
197, 206
Martin 201
Marx 9, 38, 39, 65, 70, 168, 188
Mills 9, 36, 38
mobilitas sosial 172
Indeks 231
modern 6, 7, 9, 34, 35, 36, 39, 46, 47,
50, 52, 64, 65, 83, 114, 130, 139,
159, 181, 182, 195, 197, 201, 206
modernisasi 10, 52, 57, 161, 197, 200,
202
Moore 41, 55, 187
Mosca 183
motif 1, 2, 7, 8, 19, 111, 124, 126, 129,
130, 131, 133, 135, 138, 139, 140,
143, 148, 151, 161, 162, 165, 166,
169, 173, 177, 191, 205
motivasi 16, 37, 44, 58, 120, 122, 123,
124, 133, 140, 144, 146, 147, 148,
149, 178
N
nilai 4, 5, 13, 33, 37, 43, 48, 50, 51, 53,
55, 56, 57, 58, 60, 61, 63, 67, 69, 96,
105, 107, 131, 142, 144, 146, 148,
149, 150, 152, 161, 162, 163, 164,
165, 180, 184, 186, 188, 189, 192,
199, 201, 202
norma 13, 49, 105, 142, 144, 146, 148,
152, 163, 165
Nottingham 56, 63, 64, 69
O
O’Dea 45, 46, 47, 51, 54, 65, 67, 195,
197
objektifasi 15
P
Pareto 183
Parson 32, 33, 59, 60, 61, 163, 164, 165,
166, 189
patrilineal 81, 84
Peeters 13, 14, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 99
persepsi 57, 164, 165, 190, 191
perubahan sosial 47, 50, 53, 58, 157,
193, 197, 201
Piotr 142, 143
prestise 9, 35, 36, 37, 38, 41, 42, 168
privelese 35, 37, 38, 41
puyang 96
Pyle 33, 55
R
Rahardjo 184, 199, 200, 201
Ralph Turner 172
Ransford 6, 34, 35, 37, 81, 160, 161,
167
rasional 5, 7, 10, 45, 46, 47, 48, 51, 52,
54, 60, 63, 66, 67, 129, 153, 157,
164, 169, 172, 190, 191, 192, 193,
194, 196, 197, 202, 205, 206
rasionalisasi 10, 51, 52, 161
religius 13, 43, 44, 53, 65, 73, 90, 115,
120, 167, 168, 174, 175, 176, 186,
198
religius moderat 73, 167
ritual 7, 12, 13, 14, 16, 20, 44, 53, 55,
111, 122, 124, 141, 144, 151, 153,
161, 166, 186, 188, 190, 198, 201,
202
Roberts 8, 56
Ross 36, 175
Rousseau 11, 36, 37
S
segmentasi 2
sekuler 50, 57, 65, 67, 188, 198, 201
sekulerisasi 50, 51, 201
sekulerisme 9, 50, 52
sesajen 7, 62, 97
232 Indeks
simbol 9, 15, 42, 44, 46, 54, 61, 87, 111,
122, 123, 124, 125, 126, 131, 140,
141, 142, 144, 189, 196, 205
Sorokin 32, 82
sosio-ekonomi 168
sosio-kultural 53, 152, 181, 182, 205
sosio-religius 205
status sosial 8, 34, 35, 43, 55, 65, 161,
174
strata atas 7, 34, 90, 170, 172, 175, 176,
182, 206
strata bawah 34, 94, 172, 173, 176, 179,
182, 187, 206
strata menengah 43, 94, 187
stratifikasi 6, 8, 10, 11, 12, 13, 17, 18,
20, 22, 25, 27, 31, 33, 34, 35, 36, 37,
38, 41, 42, 53, 54, 55, 59, 61, 69, 71,
72, 77, 81, 82, 88, 89, 90, 91, 93,
157, 158, 159, 160, 163, 168, 171,
172, 174, 182, 184, 186, 187, 188,
205, 206
superior 33
Syam 2, 15, 119, 121, 131, 132, 140,
141, 152
Syari’ati 39, 40, 41, 70
syirik 5, 116, 153, 161, 177, 195
T
Tashadi 16
tawassul 114, 115, 122, 126, 134, 140,
178
Taylor 18, 43
tradisi 1, 2, 6, 8, 14, 15, 16, 17, 20, 37,
45, 51, 62, 67, 68, 77, 90, 94, 103,
104, 106, 108, 111, 114, 117, 119,
120, 121, 124, 127, 129, 139, 140,
141, 142, 143, 144, 145, 148, 149,
150, 151, 152, 153, 157, 161, 163,
164, 165, 166, 169, 171, 180, 182,
186, 190, 194, 198, 199, 200, 202,
205, 206
tradisional 7, 10, 47, 52, 83, 85, 95, 97,
106, 157, 169, 178, 181, 190, 192,
193, 201
traditional action 61, 189, 190
U
Uluan 4, 13, 83, 86, 94, 102, 167, 179,
181, 182
V
vertikal 2, 32, 82, 87, 158, 174
voluntarism 163, 166
W
walisongo 4, 113
wasilah 3, 114
Weber 9, 34, 35, 36, 41, 42, 45, 46, 47,
48, 49, 50, 51, 54, 58, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 69, 129, 130, 161,
184, 187, 188, 189, 194, 195, 196,
197
werkrational action 189
Wilson 201
Woodward 14, 15
Z
Zainuddin 11, 54
zwerk rational 60, 189, 192
Biodata Penulis 233
BIODATA PENULIS
Data Pribadi
Nama : Mariatul Qibtiyah, S.Sos, MA.Si
Tempat & Tanggal Lahir : Palembang, 11 April 1990
Alamat : Jl. KH. Wahid Hasyim
Lr. Jambangan Rt.36 Rw.11
No. 2152A Kel. 3-4 Ulu
Kec. Seberang Ulu I Palembang
30255
No HP : 085268352998
Email : [email protected]
Nama Orang Tua :
Ayah : Drs. Abd. Azim Amin, M.Hum
Ibu : Latifah, Az
Latar Belakang Pendidikan
M.I Najahiyah Palembang (1995-2001)
SLTP Negeri 44 Palembang (2001-2004)
SMA Negeri 19 Palembang (2004-2007)
S1 Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sriwijaya Palembang (2007-2011)
S2 Konsentrasi Sosiologi-Antropologi Agama Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta (2012-2014)