Post on 11-Mar-2019
PENGARUH NISBAH RIMPANG DENGAN PELARUT DAN LAMA
EKSTRAKSI TERHADAP MUTU OLEORESIN JAHE MERAH
(Zingiber officinale var. rubrum)
Oleh
WINA EKA WAHYU LESTARI
F34101102
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Wina Eka Wahyu Lestari. F34101102. Pengaruh Nisbah Rimpang Dengan Pelarut
Dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale
var. rubrum). Di bawah bimbingan S. Ketaren.
RINGKASAN
Jahe mempunyai banyak manfaat antara lain yaitu sebagai bumbu untuk masakan, bahan baku minuman dan obat-obatan, dalam bidang makanan/minuman, jahe dapat dibuat wedang jahe, sekoteng, manisan jahe, wedang kopi jahe, dan sebagianya.
Jahe yang diekspor biasanya berupa jahe segar dan jahe kering. Namun jahe yang diekspor sering tidak memenuhi syarat-syarat ekspor sehingga jahe tersebut ditolak oleh negara pengimport, yang disebabkan antara lain terjadinya pengriputan, perkecambahan, pencemaran oleh berbagai mikroba (kontaminasi jamur) akibat sanitasi yang kurang diperhatikan pada waktu pengeringan dan pengepakan sehingga menyebabkan kadar air berubah selama pengangkutan. Maka diperlukan bentuk olahan yang dapat menguntungkan seperti oleoresin.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh nisbah dan lama ekstraksi terhadap mutu oleoresin jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum). Penelitian dilaksanakan dengan dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui karakterisasi dan mengetahui jenis pelarut yang akan digunakan dalam penelitian utama.
Dari hasil penelitian karakterisasi rimpang jahe merah kering didapatkan kadar air 8,5 persen; kadar oleoresin 33,33 persen; kadar minyak atsiri 3,33 persen serta kadar abu 12,28 persen. Pelarut yang terbaik yaitu etanol dan suhu pemanasan pada titik didih etanol 78oC.
Pada penelitian utama didapatkan analisa penampakan secara visual yaitu warna oleoresin coklat tua, berwujud kental serta bau khas jahe merah. Rendemen oleoresin berkisar antara 15,82 sampai 20,1 persen; kadar minyak atsiri dalam oleoresin berkisar antara 34 sampai 42,40 persen; bobot jenis oleoresin 1,01 sampai 1,15; serta sisa pelarut dalam oleoresin 1,26 sampai 1,90 persen.
Dari hasil analisis dengan kromatografi gas, standar minyak jahe pada umumnya pelarut (70,38 persen), gingerol (33,23 persen), zingiberen (36,75 persen), zingiberol (28,93 persen). Pada standar minyak jahe ditemukan bahwa konsentrasi zingiberen (36,75 persen) lebih besar dibandingkan zingiberol (28,93 persen). Sedangkan pada minyak jahe merah ditemukan bahwa konsentrasi zingiberol (24,52 sampai 27,99 persen) lebih besar dibandingkan dengan zingiberen (3,98 sampai 4,08 persen).
Kombinasi perlakuan terbaik adalah perlakuan nisbah 1:6 dengan lama ekstraksi 2 jam. Pada perlakuan tersebut menghasilkan rendemen 20,1 persen; kadar minyak atsiri dalam oleoresin 38,76 persen; sisa pelarut dalam oleoresin 1,33 persen; bobot jenis 1,04; kadar logam Kalium 9551,24 ppm (0,96 persen); Magnesium 42,55 ppm (0,004 persen); Kalsium 73,86 ppm (0,007 persen) serta Fosfor 279,81 ppm (0,028 persen).
Wina Eka Wahyu Lestari. F34101102. The Influence of Rhizome-Solvent Ratio and
Duration of Extraction to the Quality Red Ginger Oleoresin (Zingiber officinale var.
rubrum). Supervisied by S. Ketaren.
SUMMARY
Ginger has many advantages, such as: cooking flavours, materials for beverages and medicines, for meals/beverages, ginger can be make as ginger drink, mixed ginger drink, sweetened ginger, ginger coffee drink, etc.
The exported gingers are usually in the form of fresh and dried gingers. But it usually do not fulfil the export quality needed so that they are refused by the importing countries. This because of wrinkling, sprouting, contaminating done by microorganisme (fungus/germs contamination) for the bad sanitation when they are dried and packed that can increase the water content during transportation. So, it is needed to diversify gingers into benefit ginger oleoresin.
The purpose of this research is to study the comparative influence and the extraction time to the quality and grade of red ginger oleoresin (Zingiber officinale var. rubrum). This research done in two steps, first research and main research. First research is to study the characteristics and the kind of solution bounds that will be used in the main research.
The result of the characterization of dried red gingers, shows that water content 8,5 percent; ginger oleoresin 33,33 percent; essential oil 3,33 percent; and ash 12,28 percent. The best solution bound is ethanol and its temperature in boiling ethanol 78 Centigrade.
At the main research it is obtained the visual appearance analysis,which is, the colour of red ginger oleoresin is dark brown, thick and has special smell of red ginger. Red Ginger oleoresin yielded is between 15,82 to 20,1 percent; essential oil in red ginger oleoresin 34 to 42,40 percent; spesific gravity 1,01 to 1,15; and the solvent residu in red ginger oleoresin 1,26 to 1,90 percent.
The result of analysis by using gas chromatography, show that ginger oil containts are gingerol (33,23 percent), zingiberen (36,75 percent), and zingiberol (28,93 percent). In ginger oil standard, the concentration of zingiberen (36,75 percent) is more than zingiberol (28,93 percent). While red gingers oil the concentration of zingiberol (24,52 to 27,99 percent) is more than zingiberen (3,98 to 4,08 percent).
The best treatment is combination of ratio 1:6, with the length extraction of two hours. These treatment has oleoresin yielded 20,1 percent; essential oil content in the oleoresin 38,76 percent; the solvent residu in ginger oleoresin 1,33 percent; spesific gravity 1,04; Kalium 9551,24 ppm (0,96 percent); Magnesium 42,55 ppm (0,004 percent); Calcium 73,86 ppm (0,007 percent) and Phosphor 279,81 ppm (0,028 percent).
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sebenar-benarnya
bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Nisbah Rimpang Dengan Pelarut Dan
Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var.
rubrum)” adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing, kecuali
yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, April 2006
Wina Eka Wahyu Lestari
F34101102
PENGARUH NISBAH RIMPANG DENGAN PELARUT DAN LAMA
EKSTRAKSI TERHADAP MUTU OLEORESIN JAHE MERAH
(Zingiber officinale var. rubrum)
Oleh
WINA EKA WAHYU LESTARI
F34101102
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Pasuruan pada tanggal 14 September
1983. Penulis merupakan anak pertama dari Hari Windu Sedjati
dan Lina Mulyaningsih.
Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1988
hingga 1989 di TK AL-Kautsar Pasuruan. Pada tahun 1989, penulis memasuki
pendidikan dasar di SD AL-Kautsar Pasuruan dan lulus pada tahun 1995. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP N 3 Pasuruan pada tahun
1995 hingga 1998. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan studinya di SMU N 4
Pasuruan, kemudian pindah ke Indonesian School of Kuala Lumpur pada pertengahan
catur wulan kedua dan tamat pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis
diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Program Kreativitas
Mahasiswa dalam bidang Penelitian dan menjadi finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional di Padang pada bulan Juli tahun 2005 dengan judul Kajian Pemurnian
Minyak Goreng Bekas dengan Metode Filtrasi Membran. Penulis menjadi asisten
mata kuliah Teknologi Minyak Lemak dan Oleokimia pada tahun ajaran 2004/2005
serta mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri dan Kosmetika pada tahun ajaran
2004/2005. Pada tahun 2004, penulis menjabat sebagai Penanggungjawab Redaksi
Berita FATETA Kita, IPB. Pada tahun ajaran 2003/2004, penulis aktif dalam
organisasi Himalogin (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) sebagai staff Divisi
Pemberdayagunaan Departemen HRD (Human Resource Development). Dan pada
tahun 2002/2003, sebagai staff Divisi BlueTIN Departemen Public Relation (PR).
Dalam rangka menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2004 penulis
melakukan praktek lapang di PT. Ogawa Indonesia, Kerawang Jawa Barat dan
menyusun laporan praktek lapang dengan judul Mempelajari Proses Produksi dan
Pengawasan Mutu Fragrance di PT. Ogawa Indonesia. Kemudian, penulis melakukan
penelitian di Laboratorium Pengawasan Mutu, Pengemasan dan Penyimpanan, Teknik
Kimia, serta Biologi Industri, dan menulis skripsi dengan judul Pengaruh Nisbah
Rimpang Dengan Pelarut Dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah
(Zingiber officinale var. rubrum) dibawah bimbingan Ir. S. Ketaren, MS.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi
yang berjudul “Pengaruh Nisbah Rimpang Dengan Pelarut Dan Lama Ekstraksi
Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var. rubrum)” yang disusun
berdasarkan hasil penelitian sejak Mei – September 2005. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Pengawasan Mutu, Pengemasan dan Penyimpanan, Teknik Kimia serta
Biologi Industri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ir. S. Ketaren, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan,
bantuan serta pengertiannya selama penulis kuliah, penelitian, hingga
diselesaikannya skripsi ini
2. Ir. Prayoga Suryadarma, MT dan Dr. Ir. Endang Warsiki, MS sebagai dosen
penguji yang memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan
skripsi ini
3. Kedua orang tua dan adikku tercinta yang selalu berdoa dan memberi dorongan
baik material maupun spiritual serta kasih sayangnya
4. Teman-teman “anak mamih & westlife” yang selalu membantu, mendukung dan
kebersamaannya
5. Teman-teman TIN 38 atas bantuan dan kebersamaannya
6. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini
dapat bermanfat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, April 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Bapak Windu, Ibu Lina dan Dik Willy yang selalu berdoa dan memberi dorongan
baik material maupun spiritual serta kasih sayangnya
2. Anak Mamih (Mommy”Nugie”, Winnie, As3d, Rahmi, Anne, Deby, QQ, Depe,
Rizka, Srai”Dimz”), Yoshiro”bol”, Odom, Jhon Henri “Babank”, Westlife (Cik
Kuy”Arya”, Gonjez”Aye”, Mamet”Affan”, Jambronxz”Agung”) dan The Twinz
“Toni&Doni”atas bantuan, dukungan serta kebersamaannya selama ini
3. Dian N dan Dicki R, teman satu bimbingan atas dukungan, semangat dan
bantuannya selama ini
4. Tante Dedeh Krisdhiani dan Bu Endah Djubaedah atas dorongan dan informasinya
5. Wiwin, Slamet, Anas, Hendra, Maya, Agus, Seno, Wawan, Mba Puji, Mba Dina,
atas dukungan, semangat, bantuannya serta kebersamaannya sebagai teman satu
lab
6. Kru Sakinah dan Teman-teman TIN 38 atas bantuan dan kebersamaannya
7. Tedy, Chandra”Onyon”, Rama”Ontiz”, Ebet, K’Dicki, K’anna, Mang Aim,
Wahyu, Farikhin, Kiki “mabro”, Ganda, Rudi dan Dharma atas bantuan dan
dukungannya
8. Meidi atas dukungan, semangat, bantuan, serta keikhlasannya sebagai “tong
sampah”
9. Warga Regina tercinta: Lulu, Febri, Tari, Mba Neni, Ratih, Wati, Dewi, Astri,
Rury, Ocha, Dyan, Cepe, Siti, Gyah, Tantri, Nana, Feby, K’resti, Lia, Agni,
Desma, Pury, Endang, dan Anggie atas bantuan dan kebersamaannya
10. Pak Yunus BBIA, Pak Dedy Balitro dan laboran-laboran di Laboratorium
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB: Bu Sri, Mas Dicki, Pak
Sugi, Pak Gun, Pak Edy, Pak Anwar, Bu Ega, Bu Rini atas bantuannya
11. Semua pihak yang telah membantu dengan ikhlas baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. v
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
B. TUJUAN ............................................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAHE MERAH ................................................................................... 6
A. 1. Tanaman Jahe Merah ................................................................. 6
A. 2. Rimpang Jahe Merah ................................................................. 8
B. MINYAK ATSIRI DAN OLEORESIN JAHE.................................... 10
B. 1. Minyak Atsiri Jahe ..................................................................... 10
B. 2. Oleoresin Jahe ............................................................................ 15
C. PERLAKUAN PENDAHULUAN SEBELUM EKSTRAKSI .......... 18
C. 1. Perajangan .................................................................................. 18
C. 2. Pengeringan ................................................................................ 19
C. 3. Penggilingan ............................................................................... 20
D. PELARUT ........................................................................................... 21
E. EKSTRAKSI OLEORESIN JAHE MERAH ..................................... 23
F. PEMISAHAN PELARUT .................................................................. 27
G. KADAR LOGAM ............................................................................... 28
H. KROMATOGRAFI GAS ................................................................... 28
III. METODOLOGI
A. BAHAN dan ALAT ............................................................................ 30
1. Bahan ............................................................................................ 30
2. Alat ................................................................................................ 30
B. METODE PENELITIAN .................................................................... 31
1. Penelitian Pendahuluan ................................................................. 31
2. Penelitian Utama ........................................................................... 32
3. Rancangan Percobaan ................................................................... 35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................... 36
1. Karakterisasi Bahan ...................................................................... 36
2. Penentuan Jenis Pelarut ................................................................. 37
3. Penentuan Suhu Optimal ............................................................... 38
B. PENELITIAN UTAMA ...................................................................... 39
1. Rendemen Oleoresin ..................................................................... 39
2. Kadar Minyak Atsiri Dalam Oleorsin ........................................... 41
3. Bobot Jenis Oleoresin .................................................................... 43
4. Sisa Pelarut Dalam Oleoresin ....................................................... 46
5. Analisa Visual ............................................................................... 49
6. Kadar Logam ................................................................................ 49
7. Analisa Kromatografi Gas ............................................................ 50
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ................................................................................... 52
B. SARAN ............................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
LAMPIRAN ................................................................................................... 58
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia jahe per 100 gram (edible portion) ........................... 9
Tabel 2. Komposisi kimia minyak jahe (persen berat) berdasarkan analisa dengan kromatografi gas ...................................................................... 14
Tabel 3. Beberapa pelarut dan titik didihnya ...................................................... 22
Tabel 4. Hasil karakterisasi jahe merah kering.................................................... 37
Tabel 5. Rendemen hasil ekstraksi tiga jenis pelarut menggunakan suhu
ruang dan titik didih masing-masing pelarut ......................................... 38
Tabel 6. Kadar logam pada oloeresin jahe merah ................................................ 50
Tabel 7. Hasil analisa kromatografi gas pada minyak jahe merah ...................... 51
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Produksi Jahe di Indonesia ................................................................ 2
Gambar 2. Tanaman Jahe Merah ........................................................................ 7
Gambar 3. Rimpang Jahe Merah ........................................................................ 9
Gambar 4. Rumus Kimia Zingiberen (C15H24) ................................................... 12
Gambar 5. Rumus Kimia Zingerol ...................................................................... 12
Gambar 6. Rumus Kimia Shogaol ...................................................................... 13
Gambar 7. Rumus Kimia Zingiberol (C15H26O) ................................................. 13
Gambar 8. Potongan Rimpang Jahe Merah ........................................................ 19
Gambar 9. Diagram Alir Ekstraksi Oleoresin Jahe Merah Pada Penelitian
Pendahuluan ....................................................................................... 33
Gambar 10. Diagram Alir Ekstraksi Oleoresin Jahe Merah Pada Penelitian
Utama ................................................................................................ 34
Gambar 11. Rimpang Jahe Merah Kering ........................................................... 37
Gambar 12. Hubungan antara rendemen oleoresin jahe merah dengan
nisbah dan lama ekstraksi ................................................................ 41
Gambar 13. Hubungan antara kadar minyak atsiri yang terdapat dalam
oleoresin dengan nisbah dan lama ekstraksi .................................... 43
Gambar 14. Hubungan antara bobot jenis oleoresin jahe merah dengan nisbah
dan lama ekstraksi ............................................................................ 45
Gambar 15. Hubungan antara sisa pelarut dalam oleoresin dengan nisbah
dan lama ekstraksi ............................................................................ 48
Gambar 16. Proses ekstraksi oleoresin jahe merah dengan metode perkolasi ..... 71
Gambar 17. Sampel perlakuan nisbah 1:4 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam
dan 2 jam .......................................................................................... 71
Gambar 18. Sampel perlakuan nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam
dan 2 jam .......................................................................................... 71
Gambar 19. Sampel perlakuan nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam
dan 2 jam .......................................................................................... 71
Gambar 20. Rotary vacuum evaporator ............................................................... 71
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisa karakterisasi mutu jahe merah kering .......................... 58
Lampiran 2. Analisa karakterisasi mutu oleoresin jahe merah ...................... 61
Lampiran 3. Data hasil analisa rendemen oleoresin jahe merah ................... 63
Lampiran 4. Data hasil analisa kadar minyak atsiri oleoresin jahe merah .... 64
Lampiran 5. Data hasil analisa bobot jenis oleoresin jahe merah ................. 65
Lampiran 6. Data hasil analisa sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah ...... 66
Lampiran 7. Hasil analisa keragaman rendemen oleoresin jahe merah ........ 67
Lampiran 8. Hasil analisa uji duncan perlakuan lama ekstraksi
untuk analisa rendemen ............................................................ 67
Lampiran 9. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk
analisa rendemen ....................................................................... 67
Lampiran 10.Hasil analisa keragaman kadar minyak atsiri pada oleoresin
jahe merah ................................................................................. 68
Lampiran 11.Hasil analisa uji duncan pada perlakuan lama ekstraksi
untuk analisa kadar minyak atsiri .............................................. 68
Lampiran 12.Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk
analisa kadar minyak atsiri ........................................................ 68
Lampiran 13.Hasil analisa keragaman bobot jenis oleoresin jahe merah ....... 69
Lampiran 14.Hasil analisa uji duncan pada perlakuan lama ekstraksi
untuk analisa bobot jenis ........................................................... 69
Lampiran 15.Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk
analisa bobot jenis ..................................................................... 69
Lampiran 16.Hasil analisa keragaman sisa pelarut dalam oleoresin
jahe merah ................................................................................. 70
Lampiran 17.Hasil analisa uji duncan lama ekstraksi untuk perlakuan
sisa pelarut dalam oleoresin ....................................................... 70
Lampiran 18.Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk
analisa sisa pelarut dalam oleoresin........................................... 70
Lampiran 19. Foto-foto penelitian oleoresin jahe merah ................................ 71
Lampiran 20. Kromatografi gas pada standar minyak jahe ........................... 72
Lampiran 21. Kromatografi gas pada kadar minyak atsiri jahe merah
tertinggi ..................................................................................... 73
Lampiran 22. Kromatografi gas pada kadar minyak atsiri jahe merah
terendah ..................................................................................... 74
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jahe merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang berasal dari
negeri Timur dan telah dikenal di Eropa, Yunani dan Roma. Negara-
negara penghasil jahe di dunia adalah India, Kalkuta, Jamaika, Jepang dan
Cina Selatan.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil jahe karena
mempunyai iklim yang sesuai untuk pertumbuhan jahe. Sehingga tanaman
jahe mudah tumbuh dan telah dibudidayakan di Indonesia. Produksi jahe
di Indonesia setiap tahun mengalami perubahan baik itu kenaikan maupun
sebaliknya. Data produksi jahe di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Jahe dapat digunakan sebagai bumbu untuk masakan, bahan baku
minuman dan obat-obatan. Dalam bidang makanan/minuman, jahe dapat
dibuat wedang jahe, sekoteng, manisan jahe, wedang kopi jahe, dan
sebagainya. Menurut darwis et al. (1991), dalam bidang obat-obatan, jahe
berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti masuk
angin, cacingan, mengobati encok, mengobati luka, bronkhitis, asma,
penyakit jantung, memperbaiki pencernaan dan perangsang syahwat.
Jahe yang diekspor biasanya berupa jahe segar dan jahe kering.
Namun jahe yang diekspor sering tidak memenuhi syarat-syarat ekspor
sehingga jahe tersebut ditolak oleh negara pengimport, yang disebabkan
antara lain terjadinya pengeriputan, perkecambahan, pencemaran oleh
berbagai mikroba (kontaminasi jamur) akibat sanitasi yang kurang
diperhatikan pada waktu pengeringan dan pengepakan sehingga
mempengaruhi kondisi pada saat pengangkutan.
Berdasarkan penelitian para ahli, baik dari dalam negeri maupun
manca negara, jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai
obat dan mampu memperkuat khasiat obat lain yang dicampurkannya.
Didukung dengan bertambahnya jumlah penduduk serta kesadaran akan
2
back to nature yang mengakibatkan kebutuhan terhadap obat-obatan
semakin meningkat, khususnya obat-obatan tradisional. Jahe merah
merupakan salah satu jenis jahe yang ada, dimana lebih banyak digunakan
sebagai obat karena mempunyai kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya
paling tinggi, sehingga lebih ampuh.
Oleoresin dipilih sebagai bentuk olahan jahe, karena mempunyai
kelebihan dari bentuk-bentuk olahan lainnya antara lain yaitu mempunyai
rasa dan aroma seperti aslinya, dapat menanggulangi masalah pencemaran
oleh mikroba (kontaminasi jamur), mengurangi volume dan berat karena
oleoresin yang diperoleh kira-kira 10-15 persen dari berat jahe kering dan
meningkatkan nilai ekonomi jahe. Dalam bentuk oleoresin akan mudah
larut dan lebih mudah didispersikan serta lebih mudah diolah, mengurangi
atau menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah
Gambar 1. Produksi jahe di Indonesia tahun 2000 (1), 2001 (2), 2002 (3) dan 2003 (4) (Deptan, Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, 2004)
105.000.000
110.000.000
115.000.000
120.000.000
125.000.000
130.000.000
Prod
uksi
jahe
(Kg)
Tahun
Produksi jahe di Indonesia
Produksi jahe (Kg) 115.091.77 128.436.55 118.496.38 125.368.48
1 2 3 4
3
(dengan penambahan kayu, daun dan lain-lain), yang akan mempengaruhi
pengolahan.
Di Indonesia, oleoresin belum umum dikenal oleh berbagai
kalangan masyarakat. Ini disebabkan karena belum pernah ada penjelasan
atau kurangnya informasi tentang oleoresin, metode atau cara untuk
menghasilkan oleoresin yaitu dengan ekstraksi oleoresin serta berbagai
kegunaan yang dapat dimanfaatkan dari oleoresin.
Menurut penelitian Djubaedah (1978), oleoresin dapat dihasilkan
dengan ekstraksi pelarut dan dengan menggunakan metode perkolasi. Cara
perkolasi pada prinsipnya adalah dengan menambahkan pelarut pada
bahan yang akan diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk
dengan magnetic stirrer atau mixer. Djubaedah (1986) menambahkan
bahwa perlakuan terbaik dalam ekstraksi oleoresin dengan perkolasi
adalah pada suhu 40oC, selama 2 jam dengan menggunakan pelarut etanol.
Keuntungan menggunakan metode perkolasi adalah dapat
mengekstrak dengan volume yang lebih besar dibandingkan dengan
metode soxlet. Selain itu, keunggulan metode perkolasi dibandingkan
dengan metode ekstraksi lain seperti penyulingan, adalah kelarutan pelarut
(solubility) yang mempengaruhi ekstraksi oleoresin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu oleoresin yang dihasilkan
antara lain yaitu jenis bahan (Sutianik (1999) dan Meilya (2001)), ukuran
partikel bahan (Meilya, 2001), jenis pelarut (Meilya (2001), Sutianik
(1999), dan Djubaedah (1978)), suhu (Meilya (2001), Moestofa (1981),
dan Djubaedah (1978)), pengadukan (Meilya (2001), Oman (1989), Earle
(1966), dan Larian (1959)), dan lama ekstraksi (Djubaedah (1978) dan
Moestofa (1976)). Menurut Djubaedah (1978), pelarut yang paling baik
untuk ekstraksi oleoresin adalah etanol, karena etanol mempunyai
polaritas yang tinggi (13,2) dibandingkan dengan pelarut organik lain yang
sering digunakan seperti aseton (10,0) dan heksan (7,3) sehingga etanol
mampu mengekstrak oleoresin lebih banyak. Ukuran partikel dan lama
ekstraksi yang cukup sesuai untuk ekstraksi oleoresin yaitu antara 20
sampai 40 dan 2 jam.
4
Manfaat dari penelitian ekstraksi oleoresin jahe ini antara lain yaitu
untuk meningkatkan nilai tambah dalam hal mengurangi biaya
pengangkutan dan menjaga mutu jahe merah relatif lebih stabil.
Pemanfaatan oleoresin jahe ini sangat luas di berbagai bidang, antara lain
diolah menjadi bubuk jahe ataupun awetan jahe (pikel dan manisan jahe);
bumbu masak; pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, biskuit,
kue, kembang gula, sosis, dan berbagi minuman seperti sirup jahe, “Ginger
ale”, “Ginger beer”, bandrek, sekoteng; minyak wangi, jamu tradisional
dan obat.
Menurut Pruthi (1980) oleoresin lebih bersifat antimikroba, lebih
higenis, mengandung antioksidan alami, bebas dari enzim, memiliki umur
simpan yang lebih panjang, penyimpanan yang lebih hemat, lebih ringan
dalam pengangkutan dan terhidar dari bahaya jamur pada rempah. Yuliani
dkk (1991) menambahkan bahwa oleoresin jahe mempunyai kelebihan 28
kali lebih kuat rasa daripada jahe aslinya. Selain itu juga oleoresin jahe
dapat digunakan dalam industri kue, daging, makanan kaleng dan bumbu
masakan.
Ekstraksi oleoresin jahe merah merupakan salah satu bentuk
pengolahan rimpang jahe merah sebagai upaya pengembangan produk,
mengatasi sifat kamba dan tidak tahan lama pada rimpang jahe merah.
Menurut Somaatmadja (1981), keuntungan penggunaan oleoresin bagi
industri pangan adalah (i) Oleoresin yang diekstrak dengan menggunakan
pelarut organik akan steril, sehingga dapat menekan pencemaran mikroba
pada rempah-rempah yang dapat menurunkan mutu, (ii) Mutu makanan
akan lebih terkontrol, dibandingkan dengan pemakaian serbuk rempah-
rempah, hal tersebut disebabkan variasi perbedaan pada kandungan kimia
oleoresin yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan serbuk rempah-
rempah yang mungkin berasal dari daerah yang berlainan, sehingga
kemungkinan kandungan kimianya berbeda, (iii) penggunaan oleoresin
lebih efisien, karena oleoresin sudah merupakan ekstrak dari rempah-
rempah, sehingga untuk mendapatkan tingkat flavor yang diinginkan
5
memerlukan lebih sedikit oleoresin dibandingkan jika menggunakan
rempah-rempah dalam bentuk bubuk.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nisbah bahan
dengan pelarut dan lama ekstraksi terhadap mutu oleoresin jahe merah
pada ekstraksi oleoresin jahe merah dengan menggunakan metode
perkolasi.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAHE MERAH
A. 1. Tanaman Jahe Merah
Berdasarkan aroma, warna, bentuk dan ukuran rimpang, dikenal
tiga jenis jahe yaitu jahe besar atau jahe badak, jahe kecil atau biasa
disebut jahe emprit dan jahe merah atau jahe sunti (Sastroamidjojo,
1997). Herlina et al. (2002), menambahkan bahwa jahe besar
berwarna hijau muda, berbentuk bulat, beraroma kurang tajam dan
berasa kurang pedas. Jahe kecil memiliki ukuran rimpang kecil,
berbentuk sedikit pipih, berwarna putih, beraroma agak tajam dan
berasa pedas. Jahe merah berwarna kuning kemerahan, berserat kasar,
berasa sangat pedas dan beraroma tajam.
Jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) merupakan salah
satu jenis jahe yang ada di Indonesia. Jahe merah ini mempunyai ciri
fisik yaitu batang jahe berbentuk bulat, berwarna hijau kemerahan dan
agak keras karena diselubungi oleh pelepah daun. Tinggi tanaman
mencapai 34,18-62,28 sentimeter. Daun tersusun berselang-seling
secara teratur dan memiliki warna yang lebih hijau (gelap)
dibandingkan dengan kedua jenis jahe lainnya. Permukaan daun
bagian atas berwarna hijau muda dibandingkan dengan bagian
bawahnya. Luas daun 32,55-51,18 sentimeter2 dengan panjang 24,30-
24,79 sentimeter; lebar 2,79-31,18 sentimeter dan lebar tajuk 36,93-
52,87 sentimeter. Rimpang jahe berwarna merah hingga jingga muda.
Ukuran rimpang pada jahe merah lebih kecil dibandingkan dengan dua
jenis jahe lainnya, yaitu panjang rimpang 12,33-12,60 sentimeter,
tinggi 5,86-7,03 sentimeter, dan berat rata-rata 0,29-1,17 kilogram.
Akar berserat agak kasar dengan panjang 17,03-24,06 sentimeter dan
diameter akar 5,36-5,46 milimeter (Herlina et al., 2002).
7
Jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum) merupakan salah
satu varietas dari tanaman jahe. Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe
termasuk divisi Pteridophyta, subdivisi Angiospermae, klas
Monocotyledone, ordo Scitaminae, famili Zingiberaceae dan genus
Zingiber (Koeswara, 1995).
Guzman dan Siemonsma (1999), menyatakan bahwa jahe merah
sama seperti varietas jahe yang lain yaitu merupakan tanaman
berbatang semu yang tumbuh tegak tidak bercabang dengan tinggi
tanaman dapat mencapai 1,25 meter. Pusat Studi Biofarmaka (2004),
menambahkan bahwa tanaman ini tersusun atas pelepah daun
berbentuk bulat berwarna hijau pucat dengan warna pangkal batang
kemerahan dan bentuk daun memanjang.
Setiap jenis jahe memiliki perbedaan penggunaan yang
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing varietas. Jahe besar
lebih banyak digunakan untuk masakan, minuman, permen dan asinan.
Jahe kecil banyak digunakan sebagai penyedap rasa pada makanan dan
minuman. Jahe merah yang mempunyai keunggulan dari segi
kandungan senyawa kimia lebih banyak digunakan sebagai bahan baku
obat (Herlina et al. 2002).
Gambar 2. Tanaman jahe merah
8
A. 2. Rimpang Jahe Merah
Bagian jahe yang banyak digunakan adalah rimpangnya.
Rimpang jahe yang biasa digunakan berumur antara 9 sampai 11
bulan. Rimpang jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging
berwarna merah atau jingga muda, berukuran kecil dan memiliki serat
yang kasar (Koeswara, 1995).
Menurut Herlina et al., (2002) bahwa jahe merah mempunyai
banyak keunggulan dibandingkan dengan jenis jahe lainnya, terutama
ditinjau dari segi kandungan senyawa kimia dalam rimpang dimana
terdiri dari zat gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang tinggi
sehingga lebih banyak digunakan sebagai obat. Koeswara (1995)
menambahkan bahwa sifat khas jahe disebabkan oleh adanya minyak
atsiri dan oleoresin. Jahe juga mengandung beberapa komponen kimia
lain seperti air, pati, minyak atsiri, oleoresin, serat kasar dan abu.
Komposisi setiap komponen berbeda-beda berdasarkan varietas,
iklim, curah hujan dan topografi atau kondisi lahan. Komposisi kimia
jahe dapat dilihat pada Tabel 1.
Herlina et al. (2002), menyatakan bahwa kandungan minyak
atsiri dan oleoresin yang tinggi pada rimpang jahe merah
menyebabkan jahe merah memiliki peranan penting dalam dunia
pengobatan. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2,58
sampai 3,72 persen dari bobot kering. Jahe besar mengandung minyak
atsiri sebesar 0,82 sampai 1,68 persen, sedangkan jahe kecil memiliki
kandungan minyak atsiri sebesar 1,5 sampai 3,3 persen. Jahe merah
juga memiliki kandungan oleoresin tertinggi dibandingkan dengan
jenis jahe lainnya, yaitu dapat mencapai 3 persen dari bobot kering.
9
Tabel 1. Komposisi kimia jahe per 100 gram (edible portion)
Komponen Jumlah Air (g) 9.4 Energi (kcal) 347 Protein (g) 9.1 Lemak (g) 6 Karbohidrat (g) 70.8 Serat kasar (g) 5.9 Total abu (g) 4.8 Kalsium (mg) 116 Besi (mg) 12 Magnesium (mg) 184 Phospor (mg) 148 Potasium (mg) 1342 Sodium (mg) 32 Seng (mg) 5 Niasin (mg) 5 Vitamin A (IU) 147
Sumber: Farrel (1985)
Gambar 3. Rimpang jahe merah
10
B. MINYAK ATSIRI DAN OLEORESIN JAHE
B. 1. Minyak Atsiri Jahe
Kandungan minyak atsiri merupakan salah satu kualitas yang
sering diujikan pada oleoresin rempah-rempah, karena sebagian besar
rempah-rempah digunakan terutama karena kandungan minyak volatil,
yang sangat menentukan flavornya. Standar mutu kadar minyak atsiri
yang diterapkan dalam perdagangan internasional adalah harus lebih
besar dari 15 persen (Sutianik, 1999).
Rasa khas jahe pada oleoresin jahe merah disebabkan adanya
komponen non volatil, sedangkan aromanya ditimbulkan oleh adanya
komponen volatil yaitu minyak atsiri jahe merah. Adanya flavor dan
aroma khas jahe pada oleoresin jahe merah dikarenakan ekstraksi dengan
pelarut mampu mengekstrak hampir semua komponen volatil dan non
volatil yang terkandung dalam bubuk jahe merah kering. Jumlah minyak
atsiri dalam oleoresin mempengaruhi kualitas oleoresin karena minyak
atsiri yang bersifat volatil sangat menentukan aroma oleoresin tersebut.
Semakin banyak kandungan minyak atsiri dalam oleoresin maka kualitas
oleoresin semakin baik (Sutianik,1999)
Penggunaan jumlah pelarut lebih besar memerlukan waktu
pemisahan pelarut semakin lama sehingga minyak atsiri yang bersifat
volatil yang terkandung dalam oleoresin tersebut akan semakin banyak
yang menguap. Tinggi rendahnya kadar minyak atsiri dalam oleoresin
yang dihasilkan dipengaruhi oleh lama ekstraksi, jenis pelarut dan
volume pelarut yang digunakan. Pelarut yang mempunyai kepolaran
hampir sama dengan kepolaran minyak atsiri akan mampu mengekstrak
minyak lebih banyak. Hal ini disebabkan karena suhu pelarut akan
mampu melarutkan zat, bila tingkat kepolaran antara pelarut dan zat
terlarut hampir sama. Selain itu, adanya gesekan pada saat
menghaluskan bahan menimbulkan panas, sehingga minyak atsiri yang
terdapat dalam bahan akan menguap (Maryam, 1985)
11
Minyak menguap (senyawa volatil) sering disebut minyak atsiri
dimana senyawa tersebut merupakan komponen pemberi bau yang khas
(Paimin dan Murhananto, 2002). Ketaren (1985) menambahkan bahwa
minyak atsiri adalah bahan kimia aromatis yang dihasilkan oleh
tanaman, bersifat mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami
dekomposisi dan diperoleh melalui penyulingan uap, pengepresan
maupun ekstraksi menggunakan pelarut.
Menurut Burkill (1953), minyak atsiri jahe hanya terdapat pada
rimpang jahe. Maryam (1985) menambahkan minyak atsiri jahe
dipengaruhi oleh jenis jahe, tempat kondisi penanaman serta umur jahe.
Minyak atsiri jahe berbentuk cairan kental berwarna kehijauan
sampai kuning dan berbau harum khas jahe. Komponen utama minyak
atsiri jahe yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan
zingiberol. Kandungan minyak atsiri pada jahe berkisar antara 1 hingga
3 persen tergantung dari karakteristik jahe yang diekstrak (Guzman dan
Siemonsma, 1999).
Menurut Guenther (1952), senyawa yang terdapat di dalam minyak
atsiri jahe antara lain zingiberen (C12H24), sejumlah kecil sitral dan
sineol, serta zingiberol (C12H26O). Purseglove (1981) menambahkan
bahwa zingiberen merupakan senyawa kimia yang utama dalam minyak
atsiri jahe sejumlah sekitar 20 sampai 30 persen, bisabolen 12 persen,
Ar-curcumene 19 persen, fernensence 10 persen. Senyawa sesquiterpen
hidrokarbon dalam minyak atsiri jahe terdapat sekitar 50 sampai 66
persen, oxygenated hydrocarbon 17 persen.
Minyak atsiri jahe mengandung beberapa komponen yang
berkhasiat bagi kesehatan seperti: limonene yang berfungsi menghambat
jamur Candida albicans, sebagai antikholinesterase dan sebagai obat flu.
Selain itu juga terdapat 1.8-cineole yang berfungsi untuk mengatasi
ejakulasi prematur, anestetik antikholinesterase dan perangsang aktifitas
syaraf pusat. Minyak atsiri jahe juga mengandung farnesol yang dapat
merangsang regenerasi sel (Herlina et al. 2002).
12
Menurut Guenther (1952) dan Ketaren (1985), contoh rumus kimia
dari beberapa komponen-komponen yang terkandung di dalam minyak
atsiri adalah sebagai berikut, seperti pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar
6 dan Gambar 7.
CH
C
CH2
CH2
CHCH
CH
CH
CH3
CH3CH2
CCH3 CH3
CH
CH3
CH3
CH3 CH3
C6H3 CH2 CH2 C
O
CH2 CH
CH3
(CH2)n CH3
OH
OCH3
Gambar 4. Rumus Kimia Zingiberen (C15H24)
Gambar 5. Rumus Kimia Zingerol (C15H2604)
13
C6H3 CH2 CH2 C
O
CH2 CH (CH2)4 CH3
OH
OCH3
CH
C
CH2
CH2
CHCH
CH
CH
CH3
CH3CH2
CCH3 CH3
CH2
OH
CH3
CH3
CH3 CH3
OH
Gambar 6. Rumus Kimia Shogaol
Gambar7. Rumus Kimia Zingiberol (C15H26O)
14
Tabel 2. Komposisi kimia minyak jahe berdasarkan analisa dengan kromatografi gas
Komposisi Jumlah (%) α- dan β- zingiberen (hidroksin) non polar 35,6
α- humulene - Kamfena 1,1
Zerumbone - ar-curcumene 17,7
sesquiterpen alkohol 16,7 Unidentified 5,6 Farnensense 9,8
humulene epoksida - Kamphor - α- pinene 0,4 Borneol 2,2
borneol dan α- terpinol - Eukaliptol 1,3
β- kariofilena - Limonene 1,2
sitral a 1,4 Selinena 1,4 Linalool 1,3
Fellandren 1,3 Karene -
Elemena 1,0 sitral b 0,8 β- pinena 0,2
humulene dioksida - alkohol (unidentified) 0,2
β- bisabolena 0,2 desil aldehid 0,2 2- nonanol 0,2
alkohol (unidentified) 0,1 bornil asetat 0,1
p- simena 0,1 Geraniol 0,1
metil heptanon 0,1 Mirsena 0,1
nonil aldehid 0,1 Kumene 0,1
2- heptanol 0,1 Total 100,7
Dickes G. J. Dan Nicholas P. V (1976)
15
B. 2. Oleoresin Jahe
Oleoresin adalah suatu produk yang berbentuk padat atau semi
padat, konsistensinya lengket yang terutama merupakan campuran dari
resin dan minyak atsiri (Rismunandar,2000). Menurut Whiteley et al.
(1951), oleoresin merupakan gabungan resin dan minyak atsiri,
berbentuk padat atau semi padat dan biasanya lengket.
Menurut Lewis (1973), oleoresin merupakan ekstrak yang tidak
menguap yang memberikan rasa khas pada rempah-rempah. Menurut
Shankaracharya dan Natarajan (1977) bahwa pada prinsipnya di dalam
oleoresin terkandung resin-resin yang terlarut, minyak atsiri, pigmen,
asam lemak tak menguap. Goldman (1949) menambahkan minyak
atsiri dalam oleoresin mempunyai aroma dan bau yang lemah tetapi
lebih dalam (tahan lama) dan menyebar.
Oleoresin adalah hasil olahan rempah-rempah berupa cairan
kental seperti damar cair yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
rempah-rempah dengan pelarut-pelarut khusus (Moestofa, 1981).
Menurut Guenther (1952), oleoresin merupakan gabungan dari resin
dan minyak atsiri, dimana dalam dunia perdagangan, oleoresin dikenal
sebagai ginggerin. Dalam oleoresin jahe terkandung minyak atsiri,
lemak, resin, beberapa jenis asam lemak bebas dan karbohidrat.
Goldman (1949) menambahkan selain mengandung resin dan minyak
atsiri, oleoresin mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat
warna serta vitamin. Jika dibandingkan dengan minyak atsiri hasil
destilasi, minyak atsiri dalam oleoresin mempunyai aroma dan bau
yang lebih lemah tetapi tahan lama dan menyebar. Pada penyulingan,
sebagian besar minyak atsiri yang dihasilkan merupakan konstituen
bertitik didih rendah, sedangkan dalam ekstraksi oleoresin konstituen
bertitik didih tinggi juga akan terlarutkan. Menurut Rusli (1989)
bentuk oleoresin jahe berupa cairan pekat berwarna coklat tua dan
mengandung minyak atsiri 15-35 persen.
Menurut Prasetyo dan Mulyono (1987) oleoresin mempunyai
keunggulan dalam pemakaiannya dari bentuk-bentuk olahan lainnya,
16
antara lain: i) bahan dapat distandarisasikan dengan tepat, terutama
rasa, aroma, dan warna sehingga kualitas produk akhirnya terkontrol;
ii) bahan lebih homogen dan lebih mudah ditangani; iii) bahan bebas
dari pencemaran serta mudah menguap dicampur merata ke dalam
bahan makanan dan minuman.
Oleoresin jahe mengandung komponen-komponen pemberi rasa
pedas yaitu gingerol sebagai bahan utama, shogaol dan zingeron dalam
jumlah sedikit (Guenther, 1952). Menurut Ketaren dan Djatmiko
(1980), jahe kering mengandung oleoresin yang terdiri dari gingerol,
zingiberol, shagaol dan zingiberen sekitar 0,5 sampai 5,3 persen.
Sedangkan menurut Burkill (1935), kandungan oleoresin dalam jahe
segar 0,4 sampai 3,1 persen, tergantung umur panen dan tumbuhnya.
Semakin tua umur umbi akar jahe besar kandungan oleoresinnya.
Whiteley et al. (1951) menambahkan bahwa di dalam oleoresin
terdapat persenyawan kimia gingerol 1,1 sampai 2,2 persen yang
memberikan rasa pedas dan zingiberol sekitar 0,04 persen.
Menurut Purseglove (1981) komposisi oleoresin yang dihasilkan
tergantung dari jenis bahan dan pelarut yang dipergunakan, demikian
juga banyaknya komponen yang dapat terekstrak. Ekstraksi dengan
pelarut non polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan
lemak yang tinggi, sedangkan ekstraksi dengan menggunakan pelarut
polar seperti etanol dan aseton akan menghasilkan oleoresin dengan
kandungan lemak yang rendah.
Jahe yang mengalami pengolahan lebih lanjut akan mengalami
proses perubahan kimia seperti halnya gingerol dapat berubah menjadi
shagaol atau zingeron yang hasilnya memberikan rasa kurang pedas
(Purseglove et al., 1981).
Pengertian oleoresin dengan minyak atsiri kadang membuat
rancu, walaupun kedua produk tersebut berbeda. Menurut Stahl
(1973), minyak atsiri dihasilkan dengan penyulingan dan hanya
mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile oil),
yang dicirikan dengan aroma yang khas pada saat proses penyulingan.
17
Sedangkan oleoresin dihasilkan melalui proses ekstraksi yang
menggunakan pelarut, yang dicirikan dengan produk yang dihasilkan
selain mengandung minyak atsiri, juga terdapat resin yang dapat
menentukan rasa khas rempah tersebut.
Menurut Pruthi (1980) penggunaan rempah dalam bentuk
oleoresin memiliki beberapa keuntungan, antara lain: lebih bersifat
sebagai antimikroba, lebih higenis, mengandung antioksidan alami,
bebas dari enzim, memiliki umur simpan yang lebih panjang,
penyimpanan lebih hemat, lebih ringan dalam pengangkutan dan
terhindar dari bahaya jamur seperti pada rempah. Selain itu, Yuliani
dkk (1991) menambahkan bahwa penggunaan oleoresin jahe sama
dengan aslinya dan hasilnya 28 kali lebih kuat dari jahe aslinya.
Oleoresin umumnya digunakan dalam industri kue, daging, makanan
kaleng dan bumbu masak
Keuntungan penggunaan oleoresin bagi suatu industri terutama
industri makanan adalah (i) Oleoresin yang diekstrak dari bahan
mentah dengan menggunakan pelarut organik akan steril, (ii) Mutu
makanan akan lebih terkontrol, hal tersebut disebabkan variasi
perbedaan pada kandungan kimia oleoresin yang digunakan lebih kecil
dibandingkan dengan serbuk rempah-rempah yang mungkin berasal
dari daerah yang berlainan, sehingga kemungkinan kandungan
kimianya berbeda, (iii) Penggunaan oleoresin akan lebih ekonomis dan
efisien. Karena oleoresin sudah merupakan ekstrak dari rempah-
rempah, sehingga untuk mendapatkan tingkat flavor yang diinginkan
memerlukan lebih sedikit oleoresin dibandingkan jika menggunakan
rempah-rempah dalam bentuk serbuk. Dalam proses pengolahan
makanan secara tidak disadari akan terjadi ekstraksi dari senyawa
pemberi rasa dan aroma dari rempah-rempah tersebut, yang kemudian
bercampur dengan makanan yang diolah, sehingga menghasilkan rasa
lezat. Dalam proses tersebut, zat yang terdapat dalam rempah-rempah
tidak akan terekstrak semua sehingga untuk mendapatkan tingkat
18
flavor yang diinginkan akan memerlukan rempah-rempah lebih banyak
(Somaatmadja, 1981).
Oleoresin mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan
dengan minyak atsiri hasil destilasi, terutama pada proses pengolahan
makanan. Pada proses tersebut umumnya dibutuhkan pemanasan,
sedangkan minyak atsiri merupakan zat volatil yang dapat menguap
dan hilang bila dilakukan pemanasan pada suhu tinggi dan waktu yang
lama. Oleoresin mengandung bahan yang tidak menguap dalam jumlah
besar dan akan memberikan rasa, walaupun minyak atsirinya telah
menguap (Cripps, 1973). Salah satu senyawa yang tidak mudah
menguap adalah resin, yaitu polimer yang terbentuk di alam, juga
dapat terbentuk selama proses pengolahan (ekstraksi) minyak yang
mempergunakan tekanan dan suhu yang tinggi serta dalam
penyimpanan (Ketaren, 1985).
Oleoresin memiliki kelemahan yaitu i) wujudnya berupa cairan
kental sampai semi padat sehingga sulit ditangani dan dicampurkan
pada makanan tanpa pemanasan, ii) flavornya bervariasi tergantung
dari flavor rempah aslinya dan jenis pelarut yang digunakan,
iii) mengandung tanin kecuali bila diperlukan secara khusus.
C. PERLAKUAN PENDAHULUAN SEBELUM EKSTRAKSI
C. 1. Perajangan
Menurut Koeswara (1995), jahe yang akan dikeringkan dapat
dipotong melintang (dirajang) setebal 3 sampai 4 milimeter (slices),
dibelah dua sejajar dengan permukaannya yang datar (split) atau dalam
bentuk utuh, hal ini akan mempengaruhi lama pengeringan serta
kandungan minyak atsiri pada jahe. Selain itu, jahe juga dapat
dikeringkan tanpa dikuliti, setengah dikuliti atau dikuliti seluruhnya, hal
ini akan berpengaruh pada kadar serat, kandungan mnyak atsiri dan
oleoresin jahe serta rendemen produk.
19
Pengecilan ukuran bahan dengan cara perajangan pada bahan
seperti umbi akar dapat memperluas permukaan bahan dan memecahkan
dinding-dinding sel yang mengandung minyak dan resin sehingga
penetrasi uap panas dan zat pelarut lebih efektif (Maryam, 1985).
C. 2. Pengeringan
Guenther (1952) menyatakan bahwa pengeringan merupakan salah
satu perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang mengandung oleoresin
sebelum diekstraksi. Selama pengeringan terjadi penguapan air serta zat-
zat yang mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan yang
menyebabkan hilangnya zat-zat tersebut. Kerusakan dinding bahan
selama proses ekstraksi akan memudahkan pengeluaran minyak dan
resin, sehingga waktu ekstraksi menjadi lebih singkat, sedangkan suhu
pengeringan yang terlalu tinggi akan menurunkan rendemen oleorein
yang dihasilkan.
Rendemen jahe kering berkisar antara 13 sampai 16 persen dengan
kadar air 10 sampai 12 persen dan lama pengeringan sekitar 3 sampai 10
hari tergantung dari cara pengeringannya (Rusli, 1989). Sedangkan
menurut Rusli dan Rahmawan (1988), pengeringan jahe dengan
Gambar 8. Potongan Rimpang Jahe Merah
20
menggunakan oven lebih cepat dibandingkan dengan pengeringan pada
tampah atau kamar pengering energi surya.
Menurut Purseglove et al (1981), pengeringan jahe dapat dilakukan
dibawah suhu 48,5o sampai 81,0oC. Pada umumnya pengeringan
dilakukan dibawah suhu 57oC, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat
dilakukan sampai suhu 81oC. Ketaren (1985) menambahkan susut berat
jahe selama proses pengeringan jahe sekitar 70 persen dari berat segar.
Jahe yang bermutu baik mempunyai kadar air tidak lebih dari 10 persen
berat basah, sedangkan jahe yang bermutu rendah berkadar air sekitar 25
persen.
C. 3. Penggilingan
Sebelum ekstraksi oleoresin jahe merah dilakukan, bahan terlebih
dahulu dikeringkan dan digiling. Pengeringan dimaksudkan untuk
memudahkan penggilingan dan mencegah penempelan jahe merah pada
permukaan hammer mil. Sedangkan penggilingan bertujuan untuk
mempermudah proses ektraksi oleoresin, dimana ukuran serbuk
mempengaruhi rendemen yang dihasilkan.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kehalusan bubuk.
Kehalusan yang sesuai menghasilkan ekstraksi yang sempurna dalam
waktu yang singkat. Sebaliknya jika bahan digiling terlalu halus akan
cepat melewati lubang saringan pada waktu pemisahan ampas dengan
hasil ekstraksi, sehingga membentuk gumpalan bersama dengan minyak
yang kental selama penyimpanan (Guenther, 1952).
Jahe dalam bentuk bubuk dapat dibuat dengan cara menggiling
jahe kering dengan menggunakan penggiling hammer mill, sedangkan
untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam dapat digunakan
ayakan (shieve) berukuran 50 sampai 80 mesh. Jahe bubuk yang
digunakan untuk keperluan obat dan farmasi biasanya berasal dari jahe
kering yang tidak mengalami proses pemucatan (Koeswara 1995). Untuk
menghasilkan ekstraksi yang sempurna dan agar antara bahan dan
21
pelarut mudah terjadi kontak maka bahan yang akan diekstraksi
sebaiknya berukuran seragam (Purseglove et al., 1981).
Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstrak oleoresin
adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi dan pemilihan pelarut.
Menurut Purseglove et al. (1981), persiapan bahan baku mencakup
pengeringan bahan sampai kadar air tertentu serta dilanjutkan dengan
proses penggilingan untuk mempermudah kontak bahan dan pelarut.
Dengan begitu, ekstraksi akan berlangsung efektif.
D. PELARUT
Sutianik (1999) menyatakan bahwa faktor yang penting dalam
proses ekstraksi oleoresin adalah pemilihan pelarut. Selain itu, faktor-
faktor yang perlu diperhatikan oleh jenis pelarut adalah suhu, lama
ekstraksi dan ukuran partikel. Faktor yang harus dipetimbangkan oleh
daya melarutkan oleoresin pada pemilihan jenis pelarut adalah titik
didih, sifat keracunan, mudah tidaknya terbakar dan pengaruhnya
terhadap alat ekstraksi. Menurut Perry dan Dongreen (1984), beberapa
pelarut yang biasa digunakan untuk proses ekstraksi beserta titik
didihnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Ada dua pemilihan utama dalam memilih jenis pelarut yang akan
digunakan yaitu harus mempunyai daya larut yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan oleoresin semaksimal mungkin serta pelarut yang tidak
berbahaya dan tidak beracun (Somaatmadja, 1981). Pada ekstraksi
oleoresin sebaiknya menggunakan pelarut organik yang mudah
menguap, karena pelarut yang tercemar dalam oleoresin pada akhirnya
harus dipisahkan dengan cara penguapan (Moetofa, 1981).
22
Tabel 3. Beberapa pelarut dan titik didihnya
Jenis pelarut Titik didih (oC) Aseton 56,2-56,5 Etilen Dikhlorida 83,5 Etil Alkohol (Etanol) 78,3-78,4 Heksana 68,64-69.0 Isopropil Alkohol 82.3 Metanol 64,7-65
Sumber : Perry dan Dongreen (1984)
Menurut Sabel dan Waren (1973) menyatakan bahwa pelarut yang
digunakan hendaknya mempunyai titik didih yang tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu rendah, karena hal ini akan mempersulit pemisahan
pelarut. Dan Cripps (1973) menambahkan pada pelarut yang mempunyai
titik didih rendah, pelarut akan mudah diperoleh kembali dan dapat
melarutkan oleoresin dengan cepat dan sempurna. Dalam pertimbangan
ekonomi, diupayakan pemilihan pelarut yang murah harganya dan
mudah didapat. Sabel dan Waren (1973) mengatakan dalam pemisahan
pelarut, harus dipertimbangkan titik didihnya. Pelarut bertitik didih
rendah biasanya banyak hilang karena penguapan, sedangkan pelarut
bertitik didih tinggi baru dapat dipisahkan pada suhu tinggi.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan jumlah
pelarut adalah biaya produksi. Semakin banyak jumlah pelarut, maka
biaya produksi akan semakin tinggi. Biaya produksi ini dapat ditekan
jika semua pelarut dapat diperoleh kembali. Tetapi hal ini sulit
dilakukan, karena kemungkinan kehilangan pelarut sangat besar.
Kehilangan pelarut dapat disebabkan oleh kebocoran pada saat
evaporasi, kondensasi yang kurang sempurna, terikut dalam residu
ekstraksi yang dibuang ataupun terikat dalam produk oleoresin (Pollind,
1981). Selain jenis pelarut, volume pelarut serta daya larut komponen-
komponen, terekstraknya zat lain seperti mineral akan mempengaruhi
rendemen oleoresin yang dihasilkan.
Penggunaan pelarut dengan titik didih rendah dapat menyebabkan
kehilangan (loss) banyak pelarut pada saat evaporasi. Penggunaan
23
pelarut dengan titik didih tinggi akan mempersulit pemisahan dan
kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan oleoresin pada saat
pemisahan (Kirk dan Othmer, 1952).
Volume pelarut akan mempengaruhi jumlah oleoresin yang
dihasilkan. Semakin besar volume pelarut jumlah yang akan digunakan
maka akan semakin besar jumlah oleoresin yang akan terekstraksi
(Suryandari, 1981).
Menurut Somaatmadja (1981) etanol merupakan pelarut yang
paling aman karena tidak beracun. Menurut Anton (2001), pelarut masih
boleh digunakan tapi harus dihilangkan dengan sisa residu ± 0,1 persen
dan dengan pertimbangan yaitu tidak bersifat memabukkan dengan
kandungan maksimal 1 persen (untuk bahan pangan).
Etanol adalah etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH, yaitu
suatu cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, berbau
merangsang dan mudah larut dalam air. Etanol mempunyai polaritas
tinggi sehingga dapat mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan
pelarut organik lainnya seperti aseton. Etanol mudah melarutkan
senyawa resin, lemak, minyak, sebagian karbohidrat dan senyawa
organik lainnya (Anonim, 1962).
Menurut Mapiliandri (1989), etanol memberikan rendemen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraksi heksan. Hal ini menunjukkan
bahwa komponen yang terkandung di dalam oleoresin jahe merah
cenderung polar, sehingga penggunaan pelarut yang polar akan
menghasilkan rendemen oleoresin yang lebih besar dibandingkan jika
menggunakan pelarut non polar. Kelebihan lain dari etanol adalah
pelarut ini tidak menimbulkan bau yang menggangu seperti kloroform
atau aseton, dan tidak terlalu toksik.
E. EKSTRAKSI OLEORESIN JAHE
Menurut Farrel (1985), oleoresin dihasilkan dengan cara ekstraksi
rempah. Ada dua cara ekstraksi yang menghasilkan oleoresin, yaitu
24
ekstraksi secara langsung dan ekstraksi secara bertahap. Ekstraksi secara
bertahap dilakukan dengan cara menyuling minyak atsiri yang terdapat
pada bahan, kemudian ampas yang dihasilkan tersebut diekstraksi dengan
pelarut organik, selanjutnya minyak tersebut dapat dicampur kembali ke
dalam oleoresin, sedangkan ekstraksi secara langsung dilakukan dengan
mencampur bahan yang telah halus tersebut ke dalam pelarut.
Ekstraksi oleoresin dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan
pelarut. Pemilihan metode perkolasi ini didasarkan pada hasil penelitian
Moestofa (1976), bahwa ekstraksi oleoresin dengan cara perkolasi selama
3 jam menghasilkan oleoresin lebih tinggi daripada ekstraksi soxhlet
selama 8 jam. Rendemen yang lebih baik pada ekstraksi dengan metode
perkolasi mungkin disebabkan oleh adanya faktor pengadukan. Menurut
Earle (1966), pengadukan yang baik akan meningkatkan kecepatan
pelarutan. Selain itu, pengadukan akan meningkatkan intensitas kontak
partikel bahan dengan pelarut.
Goldman (1949) menyatakan bahwa oleoresin dapat diperoleh
dengan cara mengekstraksi rempah-rempah dengan menggunakan pelarut
organik tertentu. Bahan rempah-rempah berbentuk bubuk halus dicampur
dengan pelarut dan diekstraksi. Larutan dipisahkan dengan penyaringan
dan pelarutnya disuling.
Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam ekstraksi oleoresin
meliputi persiapan bahan, pemilihan pelarut, proses ekstraksi dan
pengawasan mutu (Sabel dan Warren, 1973). Persiapan bahan baku
mencakup pengeringan bahan baku sampai kadar air tertentu, penggilingan
untuk mempermudah proses ekstraksi yang akan dilakukan serta untuk
mempermudah kontak antara bahan dengan pelarut, sehingga ekstraksi
berlangsung dengan baik.
Menurut Purseglove (1981), persiapan bahan baku mencakup
pengeringan sampai kadar air tertentu dan penggilingan sehingga akan
mempermudah proses ekstraksi serta mempengaruhi hasil ekstraksi yang
akan didapat. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan oleoresin yang
dihasilkan mengandung komponen-komponen yang larut dalam air, seperti
25
pati dan gula. Adanya komponen-komponen ini akan menyebabkan
perubahan aroma dan rasa pada oleoresin yang dihasilkan.
Oleoresin yang diperoleh dipengaruhi oleh lama ekstraksi, suhu
dan jenis pelarut yang digunakan. Menurut Moestofa (1981), ekstraksi
lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi hal ini akan menyebabkan
beberapa komponen yang terkandung dalam rempah-rempah mengalami
kerusakan. Oleh karena itu, suhu ekstraksi perlu diperhatikan sehingga
komponen penting dalam oleoresin tidak rusak. Goldman (1949)
menambahkan bahwa waktu ekstraksi yang terlalu lama dan suhu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan minyak atsiri menguap dan mengalami
oksidasi sehingga berbau tengik.
Menurut Sutianik (1999), perbedaan hasil dalam hal aroma, rasa
dan kepedasan pada produk akhir terutama disebabkan ragam bahan yang
digunakan, umur saat panen, pemilihan jenis pelarut dan metode ekstraksi.
Selain itu, oleoresin hasil ekstraksi dipengaruhi oleh penyiapan bahan
sebelum ekstraksi, kondisi proses ekstraksi dan proses pemisahan pelarut
dari hasil ekstraksi. Persiapan bahan yang mencakup pengeringan bahan
sampai kadar air tertentu dan penggilingan, dimaksudkan untuk
mempermudah proses ekstraksi yang akan dilakukan. Kadar air yang
tinggi akan menyebabkan oleoresin yang terekstrak mengandung
komponen larut dalam air seperti gula, sehingga menyebabkan perubahan
aroma dan rasa.
Pada kondisi proses, faktor-faktor yang mempengaruhi oleoresin
yang dihasilkan dari hasil ekstraksi yaitu penyiapan bahan sebelum
ekstraksi, kondisi pross ekstraksi dan proses pemisahan pelarut dari hasil
ekstraksi. Djubaedah (1986) menyatakan bahwa perlakuan terbaik dalam
ekstraksi dengan cara perlokasi pada suhu 40oC, selama 2 jam dengan
menggunakan pelarut etanol. Digunakan pelarut etanol karena pelarut
heksana mempunyai harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan
etanol walaupun heksana dapat menghasilkan oleoresin lebih banyak jika
dibandingkan dengan etanol. Partikel berukuran antara 20 sampai 40 mesh
yang cukup sesuai untuk ekstraksi oleoresin. Derajat kehalusan lebih dari
26
40 mesh tidak menaikkan daya ekstrak oleoresin dari bahan. Bila
kehalusan lebih dari 40 mesh mungkin lebih banyak oleoresin yang
terekstrak (karena kontak pelarut dan permukaan partikel lebih besar).
Tetapi segi lain yang merugikan adalah menguapnya sebagian minyak
atsiri selama proses pengecilan bentuk jahe.
Oleoresin yang diperoleh dengan ekstraksi juga dipengaruhi oleh
lama ekstraksi, suhu dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi akan
lebih cepat dilakukan pada temperatur tinggi, tetapi pada ekstraksi
oleoresin ini akan menyebabkan beberapa komponen yang terdapat dalam
rempah akan mengalami perubahan (Moestafa, 1981). Suhu ekstraksi yang
terlalu tinggi harus dihindarkan, karena akan menyebabkan oleoresin
menjadi rusak. Oleoresin tahan terhadap panas sampai suhu 90oC tanpa
mengalami perubahan mutu yang nyata. Pemanasan yang melebihi suhu
100oC akan menyebabkan penguraian komponen penyusun oleoresin,
sehingga akan menimbulkan perubahan bau dan minyak atsirinya banyak
yang menguap (Sabel dan Warren, 1973).
Kehalusan partikel bahan yang sesuai akan menghasilkan ekstraksi
yang sempurna dalam waktu yang singkat, tetapi jika terlalu halus maka
minyak atsirinya akan hilang pada waktu penggilingan. Selain itu, serbuk
halus akan melewati lubang saringan dan berkumpul dengan hasil
saringan. Partikel-partikel harus sama ukurannya, karena kalau ukurannya
bervariasi, maka partikel yang lebih kecil akan masuk ke dalam celah-
celah yang terdapat antara partikel yang lebih besar, sehingga kontak
antara pelarut dan partikel akan berkurang (Djubaedah, 1978). Oleoresin
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut polar, seperti aseton biasanya
akan mengandung pigmen lebih dari 45 persen dan kandungan minyak
atsirinya sebesar 25 persen (Purseglove, 1981).
Metoda ekstraksi yang digunakan akan sangat berpengaruh
terhadap jumlah oleoresin yang diperoleh. Salah satu ekstraksi oleoresin
yang sering digunakan adalah perkolasi. Cara perkolasi pada prinsipnya
adalah menambahkan pelarut pada bahan yang akan diekstraksi dengan
perbandingan tertentu, kemudian diaduk. Pengadukan dilakukan untuk
27
mempercepat ekstraksi dengan membentuk suspensi, serta melarutkan
partikel-pertikel ke dalam media (Oman, 1989). Kemungkinan kehilangan
pelarut pada saat ekstraksi adalah karena kebocoran pada saat proses.
Kondensasi tidak sempurna, terikut ke dalam ampas atau sebagian.
Ekstraksi oleoresin menggunakan pelarut yang biasa dilakukan ada
dua macam, yaitu dengan soxhlet dan cara perkolasi dengan atau tanpa
pemanasan (Sabel dan Warren, 1973). Cara perkolasi pada prinsipnya
adalah dengan menambah pelarut pada bahan yang akan diekstrak dengan
perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirrer atau
mixer (Djubaedah, 1978). Larian (1959) menyatakan bahwa pengadukan
yang dilakukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan dan ekstraksi
padatan dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan partikel-
partikel ke dalam media pelarut.
Stahl (1973) menambahkan bahwa oleoresin diperoleh dengan cara
ekstraksi mempergunakan pelarut organik, sehingga mengandung resin
yang tidak mudah menguap. Resin itulah yang menentukan rasa khas pada
rempah tersebut.
Dalam ekstraksi dengan menggunakan pelarut menguap (solvent
extraction) sangat berhubungan dan prinsip kerjanya berdasarkan Hukum
Raoult. Hukum ini diungkapkan oleh Raoult pada tahun 1887, yang
merumuskan kaitan kuantitatif antara penurunan tb atau ρ uap suatu
larutan dengan komposisi/konsentrasinya. Hukum ini menegaskan bahwa
uap parsial suatu pelarut di atas larutan (ρ) berbanding lurus dengan fraksi
mol pelarut dalam larutan (XA) dean bahwa tetapan kesebandingannya
sama dengan tekanan uap jenuh pelarut murni (ρo) pada suhu tertentu
(Arsyad, 2001).
F. PEMISAHAN PELARUT
Pemisahan pelarut dari oleoresin merupakan tahapan yang sangat
penting. Kesulitan yang sering dihadapi dalam pemisahan pelarut dari
oleoresin adalah dalam upaya menekan hilangnya minyak atsiri. Cara
28
pengambilan pelarut akan menentukan kandungan sisa pelarut yang masih
tertinggal di dalam oleoresin, karena sisa pelarut ini akan mempengaruhi
mutu oleoresin.
Menurut Ketaren (1985), oleoresin yang telah diekstrak
dipisahkan dari pelarutnya dengan penguapan pada tekanan vakum.
Oleoresin hanya tahan sampai suhu 90oC tanpa mengalami penurunan
mutu yang nyata. Suhu ekstraksi diatas titik didih pelarut yang digunakan
akan menyebabkan banyaknya pelarut yang terbuang. Selain itu,
pemanasan yang tinggi (melebihi 100oC) dapat menyebabkan degradasi
komponen penyusun oleoresin antara lain minyak atsiri dan pigmen.
G. KADAR LOGAM
Kegunaan logam baik logam ringan maupun berat sangat berguna
dalam tubuh makhluk hidup (esensial). Logam esensial ini dibagi menjadi
dua kelompok yaitu unsur makro (mineral makro) antara lain yaitu
Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Fosfor (P), Natrium (Na), Klor (Cl) dan
Sulfur (S). Sedangkan mineral mikro antara lain yaitu Besi (Fe), Tembaga
(Cu), Seng (Zn), Mangan (Mn), Kobal (Co) dan Selenium (Se) (Darmono,
1995).
Menurut Farrel (1985), keempat jenis logam tersebut yang lebih
banyak komposisinya dalam jahe per 100 gram yaitu kalsium (Cl) 116
miligram, magnesium (Mg) 184 miligram, fosfor (P) 148 miligram dan
potasium/kalium (K) 1342 miligram. Sehingga dalam penelitian ini logam-
logam yang dianalisa kadarnya antara lain yaitu magnesium (Mg), kalsium
(Cl), potasium/kalium (Ca) dan fosfor (P).
H. KROMATOGRAFI GAS
Kromatografi merupakan metode pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk tujuan kualitiatif, kuantitatif dan preparatif. Pemisahan
dengan kromatografi dilakukan dengan memodifikasi langsung beberapa
29
sifat umum molekul seperti kelarutan, adsorptibilitas dan volatilitas
(Gritter et al., 1991).
Kromatografi adalah sebuah teknik separasi dimana komponen-
komponen dalam campuran dipisahkan dengan melewatkan sampel
melalui bahan pengepak (fase diam) dengan menggunakan fase gerak.
Fase diam tersebut dapat berupa padatan atau cairan yang didukung oleh
padatan yang berupa gel. Sedangkan fase bergeraknya dapat berupa gas
atau cairan. Di dalam kromatogarfi cair, dibutuhkan sampel yang larut
dalam fase bergerak, jika tidak maka tidak dapat dibawa oleh fase
bergerak untuk melewati kolom (Sewel dan Clark, 1987).
Sedangkan menurut Nur dan Sjachri (1978), kromatografi adalah
suatu teknik yang dapat digunakan untuk memisahkan dan
mengidentifikasi macam-macam senyawa. Teknik ini digunakan untuk
penetapan kuantitatif, kualitatif atau preparatif.
Pemisahan dengan teknik kromatografi menyangkut beberapa sifat
fisik umum dari molekul. Menurut Nur dan Sjachri (1978), sifat-sifat
utama yang berperan dalam teknik kromatografi adalah: 1) kecenderungan
suatu molekul larut dalam suatu cairan, 2) kecenderungan suatu molekul
untuk melekat kepada bubuk halus suatu zat padat (adsorption), dan 3)
kecenderungan suatu molekul untuk menguap.
Keuntungan penggunaan kromatografi antara lain waktunya singkat,
cukup efektif dan dapat melakukan pemisahan yang tidak mungkin
dilakukan dengan metode lain (Nur dan Sjachri, 1978). Disamping itu,
pengoperasiannya mudah dan sederhana serta hanya membutuhkan
cuplikan yang sedikit. Beberapa metode kromatografi yang banyak
digunakan adalah kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas dan
kromatografi gas (Gritter et al., 1991).
30
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
a. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang
jahe merah segar yang berasal dari Cilebut, Bogor. Rimpang jahe
merah segar ini memiliki umur panen 9 bulan.
b. Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan sebagai pelarut adalah
etanol, heksan dan etanol. Bahan kimia yang digunakan untuk
analisis yaitu toluene, etanol dan aquades.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan bubuk jahe merah
kering antara lain: pisau, hammer mill, talam, dan tampah. Untuk
proses ektraksi, alat-alat yang digunakan antara lain soxlet apparatus,
erlenmeyer, hot plate, magnetic stirrer, refluks condensor, pompa
vacuum, corong buchner, rotary vacuum evaporator, termometer.
Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisa antara lain:
pipet tetes, gelas ukur, termometer, erlenmeyer, gelas piala, cawan
porselen, desikator, penangas, tanur, piknometer, rotary vakum
evaporator, penangas air, alat penyuling minyak atsiri, mikroburet
(alat penampung minyak atsiri), oven vacuum, Spektrofotometer
Serapan Atom (SSA) dan kertas saring.
31
B. METODE PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan
Jahe merah segar yang berasal dari Cilebut, Bogor
dikeringkan dengan metode pengeringan konvensional yaitu
dengan menggunakan energi sinar matahari. Pengeringan
dilakukan setiap hari selama 14 hari dari jam 7 pagi hingga jam 5
sore. Perlakuan yang dilakukan pada rimpang jahe merah segar
adalah rimpang dicuci terlebih dahulu, kemudian diiris-iris yang
dilanjutkan dengan pencucian kembali irisan rimpang jahe merah
segar. Selanjutnya dikeringkan tampah.
Setelah jahe merah kering didapat, kemudian dilakukan
karakterisasi rimpang jahe merah kering meliputi kadar air (metode
AOAC, 1984), kadar minyak atsiri (Metode Guenther, 1948), kadar
oleoresin (metode solvent) dan kadar abu (metode oven).
Sebelum dilakukan ektraksi, rimpang kering jahe merah
digiling dengan menggunakan hammer mill dengan ukuran yaitu
20 mesh. Pada penelitian pendahuluan ini, proses ekstraksi
menggunakan tiga jenis pelarut yaitu etanol, heksana dan aseton.
Pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan jenis pelarut yang
akan digunakan bukan hanya dari segi rendemen oleoresin yang
dihasilkan, tetapi juga dilihat dari sifat pelarut tersebut. Pelarut
yang baik adalah pelarut yang tidak bersifat racun, tidak mudah
terbakar dan tidak bersifat korosif terhadap peralatan ekstraksi.
Pelarut yang digunakan sebaiknya mempunyai titik didih yang
rendah agar mudah dalam recovery pelarut setelah ekstraksi dan
tidak meninggalkan residu yang tinggi. Secara ekonomis, pelarut
yang baik adalah pelarut yang harganya murah dan mudah
didapatkannya.
Kondisi prosesnya adalah ekstraksi dengan suhu ruang
yaitu 28oC (ekstraksi dingin) dan ekstraksi panas yaitu dengan
32
suhu titik didih masing-masing pelarut. Ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui jenis pelarut dan kondisi proses terbaik
pada proses ekstraksi oleoresin.
2. Penelitian Utama
Berdasarkan pada penelitian pendahuluan, hasil perlakuan
terbaik pada penelitian pendahuluan akan dilanjutkan pada
penelitian utama. Perlakuan terbaik yang didapat yaitu ekstraksi
dengan menggunakan pelarut etanol dan suhu 78oC dimana suhu
tersebut merupakan titik didih dari etanol .
Pada penelitian utama ini, waktu proses ekstraksi yang
dilakukan yaitu 1 jam, 1.5 jam, dan 2 jam. Serta menggunakan
nisbah jahe merah dan pelarut adalah 1 : 4, 1:5, 1:6.
Analisa oleoresin jahe merah yang akan dilakukan antara
lain rendemen oleoresin, kadar minyak atsiri (Guenther, 1948),
bobot jenis ((SP-SMP-17-1975) atau (SNI 06-2388-1998)), sisa
pelarut dalam oleoresin (Ketaren, 1988), analisa visual, kadar
logam (AAS), dan gas kromatografi.
33
Gambar 9. Diagram alir ekstraksi oleoresin jahe merah pada
penelitian pendahuluan
Pelarut (etanol, heksan dan aseton
Jahe merah segar
Dicuci dan dipotong-potong
Potongan jahe merah
Pengeringan (Ka=8,5%)
Jahe merah kering
Penggilingan (20 mesh)
Bubuk jahe merah
Karakterisasi jahe merah
Ekstraksi dengan pelarut dan suhu (suhu ruang (27-28oC) dan titik didih masing-masing pelarut)
Penyaringan ekstrak jahe
Misella
Distilasi
Oleoresin jahe merah
Analisa (rendemen oleoresin)
Sinar matahari
Hammer mill
Corong buchner
Pelarut Rotary vacuum evaporator
34
Gambar 10. Diagram alir ekstraksi oleoresin jahe merah pada
penelitian utama
Etanol dan suhu optimal 78oC
Jahe merah segar
Dicuci dan dipotong-potong
Potongan jahe merah
Pengeringan (Ka=8,5%)
Jahe merah kering
Penggilingan (20 mesh)
Bubuk jahe merah
Karakterisasi jahe merah
Ekstraksi dengan nisbah (1:4, 1:5 dan 1:6) serta lama ekstraksi (1
jam, 1,5 jam dan 2 jam)
Penyaringan ekstrak jahe
Misella
Distilasi
Oleoresin jahe merah
Analisa (rendemen, kadar minyak atsiri, bobot jenis, sisa pelarut, analisa visual, kadar logam dan
kromatografi gas)
Sinar matahari
Hammer mill
Corong buchner
Pelarut Rotary vacuum evaporator
35
C. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan. Perlakuan
dalam penelitian ini terdiri dari dua faktor yaitu faktor A (nisbah) terdiri
dari tiga taraf yaitu 1:4 (A1), 1:5 (A2), dan 1:6 (A3). Dan faktor B (lama
ekstraksi) terdiri dari tiga taraf yaitu 1 jam (B1); 1,5 jam (B2) dan 2 jam
(B3).
Model matematis untuk rancangan percobaannya adalah sebagai berikut :
Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εk(ij)
Yijk = peubah yang diukur
μ = rata-rata yang sebenarnya
Ai = pengaruh nisbah (perbandingan bahan dan pelarut)
Bj = pengaruh lama ekstraksi
ABij = pengaruh interaksi antara nisbah dan lama ekstraksi
εk(ij) = kekeliruan karena anggota ke-k dari nisbah ke-i dan lama ekstraksi
ke-j
36
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Karakterisasi Bahan
Pada penelitian ini, ukuran bahan yang digunakan adalah 20 mesh.
Penentuan penggunaan ukuran bahan pada penelitian ini didasarkan
dengan pernyataan Djubaedah (1986) yang menyatakan bahwa kehalusan
bahan yang cukup sesuai untuk ekstraksi oleoresin jahe adalah 20 sampai
40 mesh.
Pada penelitian pendahuluan ini jahe merah segar yang sudah dicuci,
dipotong-potong dengan menggunakan pisau tanpa dikuliti. Rimpang jahe
merah segar tersebut dipotong tidak terlalu tipis atau sedang. Menurut
Purseglove et al., (1981) pengirisan jahe untuk untuk mempercepat
pengeringan. Potongan rimpang jahe merah segar tersebut kemudian
ditempatkan pada tampah-tampah tanpa dilakukan penumpukan antara
potongan-potongan rimpang jahe merah, lalu dikeringkan dengan metode
konvensional yaitu dengan menggunakan sinar matahari selama 14 hari
yang dimulai dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore setiap harinya. Parameter
yang digunakan untuk mengontrol seberapa keringnya jahe merah tersebut
adalah jahe merah akan kering sampai renyah dan dapat dipatahkan.
Berdasarkan hasil karakterisasi jahe merah kering pada Tabel 4.
menunjukkan bahwa jahe merah kering mengandung kadar air yang cukup
rendah (8,5 persen), kadar oleoresin yang cukup tinggi (33,33 persen),
kadar abu yang cukup rendah (12,28 persen) dimana kadar abu tersebut
memenuhi standar mutu Inggris (BS 4593) untuk jahe kering bubuk
didalam Koeswara (1995) yaitu 12 persen, serta kadar minyak atsiri yang
cukup tinggi (3,33 persen).
37
Tabel 4. Hasil karakterisasi jahe merah kering
Karakteistik Nilai (%) Kadar air 8,5
Kadar oleoresin 33,33 Kadar abu 12,28
Kadar minyak atsiri 3,33
2. Penentuan Jenis Pelarut
Jenis pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol,
heksan dan aseton. Pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan jenis
pelarut yang akan digunakan selain rendemen oleoresin yang dihasilkan,
juga dari segi ekonomisnya (biaya produksi) terutama jika diterapkan pada
skala industri.
Perbedaan masing-masing pelarut dalam mengekstrak oleoresin
dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing pelarut dalam melarutkan
komponen-komponen yang ada dalam rimpang jahe merah. Menurut
Dunras (1933), pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (alkohol) dan
karbonil (keton) termasuk polar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam
pelarut non polar. Puseglove et al., (1981), ekstraksi dengan pelarut non
Gambar 11. Rimpang jahe merah kering
38
polar akan menghasilkan oleoresin dengan kandungan lemak yang tinggi,
sedangkan ekstraksi dengan menggunakan pelarut non polar seperti etanol
dan aseton akan menghasilkan oleresin dengan kandungan lemak yang
rendah.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (Tabel 5) dapat dilihat
bahwa rendemen oleoresin tertinggi diperoleh dari pelarut etanol yaitu
16,86 persen sehingga pelarut yang akan digunakan untuk mengekstrak
oleoresin dari bubuk jahe merah pada penelitian utama adalah etanol
karena etanol mampu mengekstrak oleoresin lebih banyak dibandingkan
pelarut aseton dan heksan. Hal ini berarti komponen pada oleoresin
sebagian besar adalah komponen yang bersifat polar.
Tabel 5. Rendemen hasil ekstraksi tiga jenis pelarut menggunakan suhu ruang dan titik didih masing-masing pelarut
Suhu Jenis pelarut Suhu ruang 28oC Titik didih pelarut Aseton (56oC) 9,12 9,41 Heksan (69oC) 5,73 6,4 Etanol (78oC) 14,09 16,86
3. Penentuan Suhu Optimal
Penentuan suhu optimal pada proses ekstraksi oleoresin jahe merah
dilakukan dengan menggunakan suhu (titik didih) masing-masing pelarut
serta suhu ruang (28oC). Berdasarkan rendemen hasil ekstraksi yang
ditunjukkan, maka didapatkan suhu optimal pada proses ektraksi oleoresin
jahe merah yaitu pada suhu titik didih masing-masing pelarut, dimana
pelarut yang digunakan adalah pelarut etanol yang suhu titik didih yaitu
78oC.
Suhu ekstraksi mempengaruhi rendemen oleoresin jahe merah yang
dihasilkan. Pada umumnya ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada
temperatur tinggi, tetapi pada ekstraksi oleoresin, hal ini dapat
menyebabkan beberapa komponen dalam oleoresin mengalami kerusakan.
39
Penentuan suhu optimum ekstraksi oleoresin harus dilakukan untuk
mendapatkan rendemen tertinggi serta menghindari kerusakan komponen
penting yang terdapat dalam oleoresin tersebut.
B. PENELITIAN UTAMA
1. Rendemen Oleoresin
Rendemen oleoresin jahe merah yang dihasilkan berkisar antara
15,82 sampai 20,1 persen, seperti terlihat pada Lampiran 3. Rendemen
oleoresin tertinggi diperoleh pada nisbah 1:6 dengan lama ekstraksi 2 jam
yaitu 20,1 persen. Sedangkan rendemen oleoresin terendah diperoleh pada
nisbah 1:4 dengan lama ekstraksi 1 jam yaitu 15,82 persen. Ini disebabkan
semakin besarnya nisbah antara sampel dan pelarut maka semakin besar
pula rendemen yang didapat. Jika volume pelarut besar maka rendemen
yang dihasilkan besar, dan sebaliknya. Karena semakin besar volume
pelarut maka daya larutnya akan semakin besar hingga mencapai titik
optimum.
Menurut Pruthi (1980), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
rendemen dan mutu oleoresin yaitu varietas, kondisi, ukuran serbuk
rempah, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut
dari misela. Ukuran bahan diusahakan seragam yang dilakukan dengan
cara pengecilan ukuran dengan tujuan memperbesar luas permukaan bahan
yang kontak dengan pelarut. Selain itu, kantong minyak yang terdapat
dalam jahe akan lebih banyak yang terbuka sehingga mempermudah dan
mempercepat proses ekstraksi serta semakin besar kesempatan etanol
kontak dengan bahan sehingga semakin besar pula kesempatan etanol
untuk mengekstrak oleoresin jahe. Kondisi proses pada suasana panas
akan mempermudah pelarut untuk melarutkan oleoresin yaitu dengan cara
polaritas pelarut sehingga mempermudah dan mempercepat ekstraksi.
40
Rendemen oleoresin yang dihasilkan bervariasi, hal ini bergantung
dari jenis pelarut yang digunakan (Farrel,1985). Semakin besar jumlah
pelarut yang digunakan maka semakin besar jumlah oleoresin yang
dihasilkan. Hal ini dipengaruhi oleh kelarutan (solubility) pelarut. Semakin
besar nilai kelarutan pelarut maka semakin besar kesempatan dan
kemampuan pelarut untuk mengekstrak oleoresin.
Suryandari (1981) menyatakan bahwa semakin besar volume pelarut
yang digunakan maka rendemen oleoresin yang dihasilkan juga semakin
besar, sehingga hasilnya akan bertambah sampai pada titik jenuh pelarut.
Pada saat pelarut masih relatif kecil volumenya maka oleoresin yang
terekstrak jumlahnya kecil, sebab pelarut mempunyai keterbatasan dalam
melarutkan oleoresin. Jika volumenya bertambah maka daya larutnya juga
bertambah sehingga mencapai titik optimum dimana pelarut tersebut
menjadi jenuh. Jadi daya larut akan meningkat ketika volume pelarut
ditambahkan ke dalam proses ekstraksi hingga mencapai titik jenuh.
Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah terlarut
berlebihan sedemikian rupa, pada suhu tertentu, sehingga kelebihan itu tak
lagi mau melarut. Jenuh berarti pelarut telah seimbang dengan zat
terlarutnya, atau jika larutan tidak kuasa lagi melarutkan zat terlarut yang
ditambahkan. Artinya konsentrasinya sudah maksimal (Arsyad, 2001).
Pudjaatmaka (1984) menyatakan larutan ini mengandung zat terlarut
dalam jumlah yang diperlukan untuk adanya kesetimbangan antara zat
terlarut yang larut dan yang tak terlarut. Pembentukan larutan jenuh
dipercepat dengan pengadukan yang kuat dan zat terlarut yang berlebih
Lama ekstraksi dan nisbah bahan dengan pelarut tidak memberikan
pengaruh terhadap rendemen oleoresin jahe merah, seperti terlihat pada
Lampiran 7. Hubungan antara rendemen oleoresin jahe merah dengan
lama ekstraksi dan nisbah bahan dengan pelarut ditunjukkan pada Gambar
12. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kenaikan rendemen oleoresin jahe
merah diiringi dengan semakin lama waktu ekstraksi serta semakin besar
nisbah bahan dan pelarut. Rendemen tertinggi dihasilkan pada nisbah 1:6
dengan lama ekstraksi 2 jam. Ini disebabkan karena semakin besar nisbah
41
serta lama waktu ekstraksi maka semakin besar pula nilai rendemen
oleoresin yang dihasilkan. Semakin besar jumlah pelarut maka semakin
besar kelarutan pelarut yang digunakan untuk mengekstrak jahe merah
sehingga menghasilkan rendemen yang semakin besar pula.
Berdasarkan hasil analisa untuk rendemen oleoresin jahe merah,
didapatkan perlakuan terbaik pada nisbah 1:6 dengan lama ekstraksi 2 jam
yaitu 20,1 persen.
2. Kadar Minyak Atsiri dalam Oleoresin
Kadar minyak atsiri dalam oleoresin pada penelitian ini dilakukan
dengan metode destilasi. Kadar minyak atsiri pada oleoresin jahe merah
yang dihasilkan berkisar antara 34 sampai 42,40 persen, seperti terlihat
pada Lampiran 4. Kadar minyak atsiri tertinggi diperoleh pada nisbah 1:5
dengan lama ekstraksi 1,5 jam yaitu 34 persen. Kadar minyak atsiri
Gambar 12. Hubungan antara rendemen oleoresin jahe merah dengan nisbah dan lama ekstraksi
0
5
10
15
20
25
rend
emen
(%)
sampel
Rendemen oleoresin
1 jam (B1)1,5 jam (B2)2 jam (B3)
1 jam (B1) 15,82 16,17 18,14
1,5 jam (B2) 17,21 17,25 19,08
2 jam (B3) 17,43 17,64 20,1
1:4 (A1) 1:5 (A2) 1:6 (A3)
42
terendah diperoleh pada nisbah 1:6 dengan lama ekstraksi 1,5 yaitu 42,40
persen. Ini disebabkan karena minyak atsiri merupakan senyawa yang
bersifat volatil, sehingga semakin lama oleoresin mengalami proses
ekstraksi untuk mendapatkan kadar minyak atsirinya serta semakin tinggi
suhu yang digunakan maka semakin banyak kemungkinan minyak atsiri
yang menguap dan sebaliknya.
Lama ekstraksi dan nisbah bahan dengan pelarut tidak memberikan
pengaruh terhadap kadar minyak atsiri dalam oleoresin jahe merah, seperti
terlihat pada Lampiran 10. Hubungan antara kadar minyak atsiri dalam
oleoresin jahe merah dengan lama ekstraksi dan nibah bahan dengan
pelarut ditunjukkan pada Gambar 13. Pada perlakuan lama ekstraksi 1,5
jam untuk nisbah 1:4 dan 1:6 menunjukkan nilai kadar minyak atsiri lebih
kecil bila dibandingkan dengan 1 dan 2 jam. Tidak pada perbandingan
nisbah 1:5, ini disebabkan karena minyak jahe merah pada nisbah 1:5
dengan lama ekstraksi 1 dan 2 jam sedikit larut dalam etanol bila
dibandingkan dengan nisbah 1:4 dan 1:6.
Tinggi rendahnya kadar minyak atsiri dalam oleoresin dipengaruhi
oleh lama ekstraksi, jenis pelarut, dan volume pelarut yang digunakan.
Semakin besar volume pelarut dan semakin lama ekstraksi maka semakin
banyak minyak atsiri yang dihasilkan. Pelarut yang mempunyai polaritas
atau solubilitas yang tinggi maka semakin besar kesempatan pelarut
tersebut mengekstrak minyak yang terdapat dalam oleoresin jahe merah.
Penggunaan jumlah pelarut yang lebih besar memerlukan waktu
pemisahan pelarut yang semakin lama, sedangkan minyak atsiri yang
dihasilkan bersifat volatil dan larut dalam pelarut sehingga semakin
banyak minyak atsiri yang terdapat di dalam oleoresin menguap.
Berdasarkan hasil analisa untuk kadar minyak atsiri yang terkandung
dalam oleoresin jahe merah, didapatkan perlakuan terbaik pada nisbah 1:5
dengan lama ekstraksi 1,5 jam yaitu 42,40 persen.
43
3. Bobot Jenis
Penentuan bobot jenis adalah salah satu karakteristik yang dapat
menggambarkan kemurnian minyak atsiri. Bobot jenis oleoresin jahe
merah berkisar antara 1,01 sampai 1,15 seperti terlihat pada Lampiran 5.
Bobot jenis tertinggi yang diperoleh pada nisbah 1:5 dengan lama
ekstraksi 1 jam yaitu 1,15. Bobot jenis terendah diperoleh pada nisbah 1:4
dengan lama ekstraksi 1,5 jam dan 2 jam yaitu 1,01. Ini disebabkan karena
nisbah 1:4 yaitu perbandingan volume dengan sampel yang paling sedikit
dibandingkan 1:5 dan 1:6. Dengan sedikitnya jumlah volume pelarut yang
digunakan maka semakin lebih cepat jenuh pelarut tersebut untuk
melakukan ekstraksi. Sehingga komponen-komponen yang terekstrak
lebih dahulu dan yang terbanyak adalah komponen-komponen yang
memiliki bobot molekul yang kecil, dimana ini menyebabkan bobot jenis
Gambar 13. Hubungan antara kadar minyak atsiri yang terdapat dalam oleoresin dengan nisbah dan lama ekstraksi
0
10
20
30
40
50
kada
r min
yak
atsi
ri (%
)
sampel
Kadar minyak atsiri dalam oleoresin
1 jam (B1)1,5 jam (B2)2 jam (B3)
1 jam (B1) 40,48 35,91 38,56
1,5 jam (B2) 37,08 42,4 34
2 jam (B3) 40,32 36,93 38,76
1:4 (A1) 1:5 (A2) 1:6 (A3)
44
pada nisbah 1:4 dengan lama ekstraksi 1,5 dan 2 jam memiliki bobot jenis
yang paling kecil pula dibandingkan dengan yang lain.
Bobot jenis oleoresin tergantung dari komponen-komponen yang
terkandung dalam oleoresin tersebut. Jika komponen-komponen yang
terkandung dalam oleoresin berbobot molekul tinggi maka oleoresin
tersebut memiliki bobot jenis yang tinggi pula. Demikian sebaliknya, jika
komponen-komponen yang terkandung dalam oleoresin berbobot molekul
rendah maka oleoresin tersebut juga akan berbobot jenis rendah.
Pada nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam yang menghasilkan
bobot jenis yang tertinggi dibandingkan dengan yang lain. Ini disebabkan
kemungkinan dalam oleoresin jahe merah mengandung fraksi berat yang
lebih besar dibandingkan fraksi ringan, karena pada dasarnya bobot jenis
dipengaruhi oleh perbandingan fraksi berat dan fraksi ringan.
Hasil analisa keragaman pada Lampiran 13. menunjukkan bahwa
perlakuan lama ekstraksi dan nisbah memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap bobot jenis oleoresin jahe merah. Hasil uji lanjut Duncan pada
lampiran 14 dan 15. menunjukkan bahwa pada perlakuan lama ekstraksi
serta nisbah berpengaruh terhadap bobot jenis.
Proses ekstraksi oleoresin dengan suhu yang tinggi dapat
menghasilkan oleoresin dengan bobot jenis yang tinggi. Hal tersebut
dimungkinkan, karena pada suhu yang tinggi fraksi ringan (zat volatil) dari
oleoresin akan teruapkan dan hilang, sehingga yang tertinggal hanya fraksi
berat. Menurut Ketaren (1985), minyak atsiri dapat menguap pada suhu
kamar dan penguapan akan semakin besar dengan kenaikan suhu ekstraksi.
Jika suhu ekstraksi tinggi maka akan mudah terbentuk resin yang lebih
banyak dan resin ini merupakan senyawa yang tidak menguap.
Standar mutu untuk parameter bobot jenis yang diterapkan oleh FAO
adalah antara 0,880 sampai 0,910. Sehingga bobot jenis oleoresin pada
penelitian ini tidak memenuhi standar yang diterapkan oleh FAO, karena
oleoresin jahe merah ini bernilai antara 1,01 hingga 1,15.
Tiap jenis pelarut mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam
melarutkan komponen-komponen dalam suatu bahan. Kemampuan
45
melarutkan komponen-komponen dalam suatu bahan tersebut dipengaruhi
oleh faktor kelarutan atau solubilitas pelarut. Pelarut yang sama akan
melarutkan komponen-komponen yang sama dari suatu bahan tanpa
terpengaruh oleh banyaknya pelarut tersebut. Pelarut organik mampu
melarutkan senyawa resin, minyak, lemak, minyak atsiri, karbohidrat,
asam lemak, dan senyawa-senyawa organik lainnya.
Gambar 14. menunjukkan hubungan antara bobot jenis dengan lama
ekstraksi dan nisbah. Untuk setiap perlakuan lama ekstraksi dan
perbandingan nisbah diperoleh bobot jenis yang nilainya hampir sama.
Tetapi pada nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam diperoleh nilai bobot
jenis yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu 1,15.
Ini disebabkan karena hasil ekstraksi oleoresin pada perlakuan tersebut
banyak menghasilkan komponen dengan bobot molekul tinggi, sehingga
oleoresin tersebut memiliki bobot jenis yang tinggi juga. Sedangkan untuk
lama ekstraksi 1,5 jam dan 2 jam dengan nisbah 1:4 menghasilkan nilai
bobot jenis yang sama yaitu 1,01. Ini disebabkan karena hasil ekstraksi
oleoresin pada kedua proses ektsraksi tersebut menghasilkan komponen
dengan bobot molekul kecil, sehingga oleoresin tersebut memiliki bobot
jenis yang kecil juga.
Gambar 14. Hubungan antara bobot jenis oleoresin jahe merah dengan nisbah dan lama ekstraksi
0,9
0,95
1
1,05
1,1
1,15
bobo
t jen
is
sampel
Bobot jenis oleoresin
1 jam (B1)1,5 jam (B2)2 jam (B3)
1 jam (B1) 1,02 1,15 1,05
1,5 jam (B2) 1,01 1,13 1,04
2 jam (B3) 1,01 1,05 1,04
1:4 (A1) 1:5 (A2) 1:6 (A3)
46
Berdasarkan hasil analisa untuk bobot jenis oleoresin jahe merah,
didapatkan perlakuan terbaik pada nisbah 1:4 dengan lama ekstraksi 1,5
jam dan 2 jam yaitu 1,01 karena bobot jenis tersebut merupakan bobot
jenis yang lebih mendekati dengan standar yang telah diterapkan oleh
FAO.
4. Sisa Pelarut dalam Oleoresin
Salah satu hal yang paling sulit dalam proses ekstraksi oleoresin
rempah-rempah adalah pemisahan pelarut dari oleoresin. Jika pemanasan
terlalu berlebihan, dikhawatirkan ada komponen volatil yang ikut
menguap, dan jika penguapan dilakukan terlalu hati-hati dikhawatirkan
pelarut yang tersisa dalam bahan masih banyak. Karena itu, penguapan
pelarut dilakukan dalam kondisi vakum dengan suhu titik didih pelarut
yang digunakan yaitu pelarut etanol 78oC.
Sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah yang dihasilkan berkisar
antara 1,26 sampai 1,90 persen, seperti terlihat pada Lampiran 6. Sisa
pelarut dalam oleoresin tertinggi yaitu 1,90 persen diperoleh pada nisbah
1:6 dengan lama ekstraksi 1,5 jam. Sedangkan sisa pelarut dalam oleoresin
terendah yaitu 1,26 persen diperoleh pada nisbah 1:5 dengan lama
ekstraksi 1 jam.
Sisa pelarut dalam oleoresin untuk setiap perlakuannya memiliki nilai
yang hampir stabil, tetapi pada nisbah 1:4 diperoleh sisa pelarut yang lebih
tinggi pada setiap lama ekstraksinya dibandingkan dengan nisbah 1:5 dan
1:6. Ini disebabkan karena kemungkinan pada saat proses penguapan
pelarut atau pemisahan pelarut tidak dapat dilakukan secara sempurna
sehingga sebagian pelarut masih tertinggal dan terikat di dalam oleoresin.
Pemisahan yang kurang sempurna disebabkan karena kemungkinan
adanya pembentukan campuran azeotropik. Menurut Arsyad (2001),
campuran azeotropik (azeotrop) adalah campuran zat-zat cair dan gas
tertentu dengan perbandingan tertentu pula sehingga selama distilasi titik
didihnya tetap.
47
Pelarut etanol mudah melarutkan senyawa resin dan senyawa organik
lainnya. Selain itu, pelarut etanol murah juga tidak lebih berbahaya apabila
tertinggal di dalam oleoresin setelah proses pemisahan pelarut (Mellan,
1950).
Sisa pelarut dalam oleoresin yang diharapkan pada produk oleoresin
adalah dalam jumlah yang sekecil mungkin. Sisa pelarut yang berlebihan
dalam oleoresin akan mengganggu flavor dan aroma. Salah satu cara untuk
mengatasi sisa pelarut dalam oleoresin yang cukup tinggi adalah dengan
penambahan waktu penguapan. Namun, penguapan dengan suhu yang
terlalu tinggi dan waktu yang lama dapat merusak komponen minyak atsiri
yang terdapat di dalam oleoresin.
Menurut Anton (2001), pelarut masih boleh digunakan tapi harus
dihilangkan dengan sisa residu ± 0,1 persen dan dengan pertimbangan
yaitu tidak bersifat memabukkan dengan kandungan maksimal 1 persen
(untuk bahan pangan). Sehingga sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah
dalam penelitian ini belum memenuhi syarat standar mutu kandungan sisa
pelarut dalam bahan pangan yaitu 1,26 sampai 1,90 persen; ini
dikarenakan kurang sempurnanya proses pemisahan pelarut. Pemisahan
pelarut yang tidak sempurna dikarenakan titik aziotropik pelarut tidak
mungkin dihilangkan sampai bernilai nol atau hilang sama sekali, kecuali
oleoresin yang dilarutkan hilang juga.
Menurut Arsyad (2001), campuran azeotropik (azeotrop) adalah
campuran zat-zat cair dan gas tertentu dengan perbandingan tertentu pula
sehingga selama distilasi titik didihnya tetap. Komposisi fase uapnya sama
dengan fase cair, dengan titik didih dan ρ uap tertinggi/terendah dibanding
titik didih/ρ pada perbandingan lain. Karena itu komposisinya tidak
berubah meski dalam keadaan mendidih. Titik didinya pun tak bakal jauh
beranjak. Komposisi dan titik didih azeotrop amat bervariasi sesuai dengan
ρ-nya. Jadi, merupakan fungsi tekanan. Campuran ini dapat dipisahkan
secara penyulingan dengan memberinya cairan larutan ketiga, dengan
reaksi, kimia, adsorpsi atau dengan pengristalan bertingkat
48
Menurut Sabel dan Warren (1973), oleoresin hanya tahan sampai
suhu 90oC tanpa mengalami penurunan mutu yang nyata. Pemakaian suhu
di atas titik didih pelarut yang digunakan akan menyebabkan banyaknya
pelarut yang terbuang, sehingga yang diperoleh kembali akan lebih sedikit.
Dan selain itu juga, banyak komponen oleoresin yang mudah menguap
akan terbawa oleh pelarut yang teruapkan.
Lama ekstraksi dan nisbah bahan dengan pelarut tidak memberikan
pengaruh terhadap sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah, seperti terlihat
pada Lampiran 16.. Hubungan antara sisa pelarut dalam oleoresin dengan
lama ekstraksi dan nisbah bahan dengan pelarut ditunjukkan pada Gambar
15. Perlakuan nisbah 1:4 untuk setiap lama ekstraksinya diperoleh nilai
sisa pelarut dalam oleoresin yang hampir sama.
Berdasarkan analisa untuk sisa pelarut dalam oleoresin, didapatkan
perlakuan terbaik pada nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam yaitu
1,26 persen.
Gambar 15. Hubungan antara sisa pelarut dalam oleoresin dengan nisbah dan lama ekstraksi
0
0,5
1
1,5
2
sisa
pel
arut
(%)
sampel
Sisa pelarut dalam oleoresin
1 jam (B1)1,5 jam (B2)2 jam (B3)
1 jam (B1) 1,68 1,26 1,41
1,5 jam (B2) 1,76 1,56 1,9
2 jam (B3) 1,72 1,34 1,33
1:4 (A1) 1:5 (A2) 1:6 (A3)
49
5. Analisa Visual
Analisa visual ini meliputi warna, bentuk dan aroma. Hasil penelitian
menunjukkan oleoresin yang terbentuk ini berwarna coklat tua. Warna
yang dihasilkan ini berasal dari pigmen karotenoid, dimana zat warna
merah akan berubah menjadi coklat tua atau hitam yang disebabkan karena
reaksi browning setelah dikeringkan. Selain itu, karaotenoid tersebut yang
terdapat di dalam serbuk jahe merah ikut terekstrak bersama etanol.
Bentuk oleoresin jahe merah yang dihasilkan adalah kental.
Sedangkan aroma yang dihasilkan pada oleoresin jahe merah ini adalah
aroma khas jahe merah. Aroma ini muncul karena masih adanya minyak
atsiri dalam oleoresin tersebut walaupun dalam jumlah yang kecil. Selain
itu juga, aroma khas jahe ini muncul dari oleoresin yang memiliki aroma
pedas yang tahan lama, dan beberapa zat lain yang tidak menguap.
6. Kadar Logam
Pada analisa kadar logam pada oleoresin jahe merah bahwa analisa
kadar logam menggunakan metode AAS diperoleh hasil yang cukup
beragam pada dua sampel oleoresin jahe merah. Sampel oleoresin jahe
merah yang diambil untuk dianalisa adalah sampel yang memiliki nilai
rendemen tertinggi dan terendah. Untuk sampel yang terbaik dengan
rendemen oleoresin tertinggi yaitu 20,1 persen menghasilkan kadar logam
kalium 9551,24 ppm; magnesium 42,55 ppm; kalsium 73,86 ppm serta
fosfor 279,81 ppm. Sedangkan untuk sampel yang terendah dengan
rendemen oleoresin ternedah 15,815 persen menghasilkan kadar logam
kalium 6140,56 ppm; magnesium 58,50 ppm; kalsium 116,22 ppm serta
fosfor 660,53 ppm. Hasil analisa kadar logam dengan menggunakan
metode AAS diperoleh data yang dapat dilihat pada Tabel 6.
50
Tabel 6. Kadar logam pada oloeresin jahe merah
Sampel Terbaik Sampel Terburuk Jenis logam (ppm) (%) (ppm) (%) Potasium/Kalium (K)
9551,24 0,956 6140,56 0,614
Magnesium (Mg) 42,55 0,0043 58,50 0,0059 Kalsium (Ca) 73,86 0,0074 116,22 0,0116 Fosfor (P) 279,81 0,028 660,53 0,0661
7. Analisa Kromatografi Gas
Untuk mengetahui jumlah dan jenis komponen yang terkandung di
dalam suatu minyak atsiri maka dilakukan analisa dengan metode
kromatografi gas. Analisa kromatografi gas pada penelitian ini diperoleh
hasil yaitu komponen minyak jahe (jahe gajah) dengan jahe merah sama,
tetapi berbeda konsentrasi. Pada umumnya komponen yang terkandung di
dalam minyak jahe untuk standar (minyak jahe gajah) dengan minyak jahe
merah sama. Pada minyak jahe gajah didapatkan bahwa konsentrasi
zingiberen lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi zingiberol.
Sedangkan pada minyak jahe merah didapatkan bahwa konsentrasi
zingiberol lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi zingiberen.
Dengan menggunakan analisa gas kromatografi, didapatkan standar
minyak jahe yang umumnya terdiri dari komponen gingerol
(33,23 persen), zingiberen (36,75 persen) serta zingiberol (28,93 persen).
Hasil analisa gas kromatrografi pada sampel minyak jahe merah dengan
kadar minyak atsiri tertinggi pada perlakuan nisbah 1:5 dan lama ekstraksi
1,5 jam (42,40 persen) didapatkan komponen gingerol (32,50 persen),
zingiberen (4,08 persen) dan zingiberol (24,52 persen). Sedangkan sampel
minyak jahe merah dengan kadar minyak atsiri terendah pada perlakuan
nisbah 1:6 dan lama ekstraksi 1,5 jam (34 persen) didapatkan komponen
gingerol (31,76 persen), zingiberen (3,98 persen) dan zingiberol
(27,99 persen).
51
Tabel 7. Hasil analisa kromatografi gas pada minyak jahe merah Waktu
(detik) Standar minyak jahe (%)
Waktu (detik)
Kadar minyak tertinggi (%)
Waktu (detik)
Kadar minyak terendah (%)
Pelarut 0,30 70,38 0,60 24,79 0,59 16,12 Gingerol 1,78 33,23 1,68 32,50 1,86 31,76 Zingiberen 5,53 36,75 5,41 4,08 5,60 3,98 Zingiberol 6,44 28,93 6,30 24,52 6,58 27,99
Pada umumnya senyawa yang terdapat di dalam minyak atsiri jahe
antara lain zingiberen (C12H24), sejumlah kecil sitral dan sineol, serta
zingiberol (C12H26O2). Di dalam standar dari hasil analisa gas
kromatografi pada minyak jahe ditemukan pelarut yang terdeteksi pada
detik ke 0,30 dengan konsentrasi 70,38 persen; gingerol pada detik ke 1,78
dengan konsentrasi 33,23 persen; zingiberen pada detik ke 5,53 dengan
konsentrasi 36,75 persen; serta zingiberol pada detik ke 6,44 dengan
konsentrasi 28,93 persen. Analisa gas kromatografi minyak jahe merah
pada penelitian ini menghasilkan senyawa, antara lain yaitu gingerol,
zingiberen serta zingiberol. Pada sampel dengan kadar minyak atsiri
tertinggi yaitu 42,40 persen menghasilkan etanol yang terdeteksi pada
detik ke 0,60 dengan konsentrasi 24,80 persen; gingerol pada detik ke 1,68
dengan konsentrasi sebesar 32,50 persen; zingiberen yang terdeteksi pada
detik ke 5,41 dengan konsentrasi sebesar 4,08 persen serta zingiberol yang
terdeteksi pada detik ke 6,30 dengan konsentrasi sebesar 24,52 persen.
Sedangkan pada sampel yang memiliki kadar minyak atsiri terendah yaitu
34 persen menghasilkan etanol yang terdeteksi pada detik ke 0,59 dengan
konsentasi 16,12 persen; gingerol pada detik ke 1,86 dengan konsentrasi
sebesar 31,76 persen; zingiberen yang terdeteksi pada detik 5,60 dengan
konsentrasi sebesar 3,98 persen serta zingiberol pada detik ke 6,58 dengan
konsentrasi sebesar 27,99 persen.
52
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada ekstraksi oleoresin jahe merah ini menggunakan metode perkolasi
dengan menggunakan pelarut etanol dan suhu titik didih etanol yaitu 78oC.
Perlakuan yang dilakukan adalah lama ekstraksi (1; 1,5; 2 jam) dan nisbah
bahan dengan pelarut (1:4, 1:5, 1:6). Untuk perlakuan lama ekstraksi dan
nisbah bahan dengan pelarut tidak memberikan pengaruh terhadap rendemen,
kadar minyak atsiri dan sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah.
Kombinasi perlakuan terbaik adalah perlakuan nisbah 1:6 dengan lama
ekstraksi 2 jam. Pada perlakuan tersebut menghasilkan rendemen 20,1 persen;
kadar minyak atsiri 38,76 persen; sisa pelarut dalam oleoresin 1,33 persen;
bobot jenis 1,04; kadar logam kalium 9551,24 ppm (0,96 persen); magnesium
42,55 ppm (0,004 persen); kalsium 73,86 ppm (0,007 persen) serta fosfor
279,81 ppm (0,028 persen).
B. SARAN
Saran yang dapat diberikan untuk perbaikan penelitian selanjutnya
antara lain adalah:
1. Menggunakan bahan baku dari ampas penyulingan minyak jahe merah
2. perlakuan pendahuluan seperti pengeringan dengan metode oven, jahe
merah segar dikuliti sebelum dikeringkan serta tidak dipotong-potong
3. Menggunakan pelarut organik yang lain seperti metanol, etilen
diklorida, isopropil alkohol, serta trikhloroetilen
4. Untuk pengembangan lebih lanjut perlu diteliti penerapan dalam skala
industri.
53
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1962. Farmakope Indonesia. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Apriyantono, Anton. 2001. Tinjauan Kritis Status Kehalalan Alkahol
(Etanol). Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. www.//Indohalal.com/artikel.php?noid=79//. Rabu, 01 Februari 2006. 9.30 pm.
Affianty, Nurita. 1993. Pengaruh Konsentrasi Etanol dan Ukuran Serbuk
Buah Kemukus (Piper cubeba Linn) Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Kemukus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Amiruddin, Maryam. 1985. Mempelajari Pengaruh Jenis Pelarut Serta
Perbandingan Jumlah Pelarut Terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Cripps, M. H. 1973. Spice Oleoresin: The Process, The Market and The
Future. In Proceedings of The Conference On Spices. Tropical Product Institute., London.
Brown. 1950. Unit Operation. Webster Scholl and Office Suplier Co.,
Manila. Burdock, G. A. 1997. Encyclopedia of Food and Color Additives, Volume
II. CRC Press Inc., Florida. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Production of The
Malaysia Peninsula., The Crown Agents For The Colonies., London. Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Darwis, S. N., Indo, M., dan Hasiyah, S. 1991. Tumbuhan Obat Famili
Zingiberaceae. Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Industri. Bogor.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi Ketiga. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
54
Desrosier, N. W. 1988. Technology of Food Preservation. Terjemahan. UI-Press, Jakarta.
Dickes, G. J. dan Nicholas, P. V. 1976. Gas Chromatography In Food
Analysis, Butterwoods., London Boston. Djubaedah, E. 1978. Pemisahan Oleoresin dari Daun, Kulit dan Bubuk Kulit
Kayu Manis. Di dalam Proseeding Seminar Minyak Atsiri III. 13-14 Juni 1978. Departemen Perindustrian, Jakarta.
Djubaedah, Endah. 1986. Ekstraksi Oleoresin dari Jahe. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor. Farrell, K. T. 1985. Spices, Condiments and Seasoning. The AVI Publishing
Company, Florida. FDA didalam Kenneth, T. F. 1985. Spices, Condiments and Seasonings. The
AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Goldman, A. 1949. How Spice Oleoresin Are Made. The Am. Perf. Ess. Oil
53 : 230-233. Guenther, E. 1952. The Essential Oil. Van Nostrand Company Inc., New York. Guzman, C. C. Dan J. S. Siemonsma. 1999. Plant Resources of South-East
Asia, No. 13, Spices. Prosea, Bogor. Henderson, S. M. dan R. L. Perry. 1966. Agriculture Process Engineering.
Di dalam Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Herlina, R., Murhananto, J. Endah, T. Listyarini dan S. T. Pribadi. 2002.
Khasiat Manfaat Jahe Merah Si Rimpang Ajaib. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. UI-Press, Jakarta. Ketaren, S. Dan Djatmiko, B. 1980. Minyak Atsiri Bersumber dari Batang
dan Akar. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian., Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1952. Encyclopedia of Chemical Technology,
Vol. IX. The Interscience Encyclopedia Inc., New York.
55
Koeswara. S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Larian, M. G. 1959. Fundamental of Chemical Engineering Operation.
Maruzen Co., LTD., Tokyo. Mapiliandri. 1989. Ekstraksi Oleoresin Lada Hitam. Laporan Kerja Nyata
Untuk Program Diploma Empat. Departemen Perindustrian. Maryam Amiruddin. 1985. Mempelajari Pengaruh Jenis Pelarut Serta
Perbandingan Pelarut Terhadap Rendemen Dan Sifat Fisiko Kimia Oleoresin Jahe (Zingiber officinale ROSCOE). Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Meilya Sufni, Tengku. 2001. Kajian Pengaruh Jenis Lada (Piper ningrum L)
Dan Lama Ekstraksi Terhadap Rendemen Dan Mutu Oleoresin Yang Dihasilkan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mellan, I. 1950. Industrial Solvent. Second Edition Book Division. Reinhold
Publishing Corporation. New York, USA. Meyer, L. 1976. Food Chemistry. The AVI Pubishing Company, Inc.,
Westport, Connecticut. Moetofa. 1976. Isolasi Oleoresin dari Lada Hitam. Di dalam Proseeding
Seminar Minyak Atsiri II. 20-22 April 1976. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian Kimia, Bogor.
Moestofa, A. 1981. Aspek teknis Pengolahan Rempah-rempah Menjadi
Oleoresin dan Minyak Rempah-rempah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor.
Nur, A. dan M. Syahri. 1978. Teknik Laboratorium. Jilid I. Pasca Sarjana
IPB. Bogor. Nur, M. A. dan H. Adijuanda. 1987. Teknik Separasi Data Analisa Pangan.
PAU IPB, Bogor. Paimin, F. B., dan Murhananto. 2002. Budidaya, Pengolahan dan
Perdagangan Jahe. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Hal 4-17. Pomeranz, Y. Dan C. E. Meloan. 1977. Food Analysis: Theory and Practice.
The AVI Publishing Company, Westport, Connecticut.
56
Prasetyo, A. P. Dan E. Mulyono. 1987. Penggunaan Oleoresin Sebagai Bahan Penyedap Makanan dan Minuman, Penelitian Tanaman Rempah dan Obat I (2) : 94-101.
Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology,
Thechnology. Academic Press, New York. Pudjaatmaka Ph. D, A. Hadyana. 1984. Kimia Untuk Universitas. Edisi
Keenam. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta. Purseglove, J. W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981.
Spices, Volume II. Longman Inc., New York. Pusat Studi Biofarmaka. 2004. Sembilan Tanaman Obat Khasiat dan
Budaya. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rismunandar. 2000. Lada, Budidaya dan Tata Niaganya. Penebar swadaya.
Jakarta. Rusli, Sofyan dan Deni Rahmawan. 1988. Pengaruh Cara Pengirisan dan
Tipe Pengering Terhadap Mutu Jahe Kering. Bul. Littro, Vol III (2). Rusli, Sofyan. 1989. Peningkatan Nilai Tambah Jahe Melalui Beberapa
Proses Pengolahan. J. Litbang Pertanian, Vol. VIII (4). Sabel, W. dan J. D. F. Wamen. 1973. Theory and Practice of Oleoresin
Extraction. In Proceedings At The Conference On Spices. Tropical Products Institut, London.
Sewel, P. A., dan B. Clarke. 1987. Chromatographic Separation. John
Willey and Sons, Chichester. Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di
Indonesia. Komunikasi no. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor.
Shankaracharyo, N. B. Dan Natarajan., C. P. 1977. Role of Spices In Health. J. Health Science III, 99-100. Central Food Technology. Research Institute, Mysore 13. Stahl, W. H. 1973. Oleoresin Quality Analysis, Fact or Fancy. Proc of The
Conference of Spices Trop. Prod. Inst., London. Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Dengan Cara Solvent
Extraction. BPIHP, Bogor.
57
Sutianik. 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tim Penulis. 2004. Pola Produksi Hortikultura (Tanaman Hias dan
Biofarmaka). Departemen Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Whiteley, M. A., A. J. E. Welch dan L. N. Owen. 1951. Thrope’s Dictionary
Applied Chemistry, Vol. V. Longmans Green and Co., London. Winarno, F. G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia,
Jakarta. Yuliani. S, Hermani dan Anggraeni. 1991. Aspek Pasca Panen Jahe. Edsus
Littro, VIII (1). 30-37p.
58
Lampiran 1. Analisa karakterisasi mutu jahe merah kering
1. Kadar air (AOAC,1984)
Prinsip:
Air dikeluarkan dari sampel dengan cara azeotropik kontinu dengan
menggunakan pelarut immicible. Air dikumpulkan dalam tabung penerima
dan volume air yang terkumpul dapat diketahui. Karena berat jenis pelarut
lebih kecil dari berat air, maka air selalu berada di bawah pelarut dan
pelarut akan kembali ke labu didih.
Prosedur :
10 gram sampel ditimbang hingg air yang terkandung di dalamnya
sekitar 3 sampai 4 gram. Sampel dimasukkan dalam erlenmeyer yang telah
dipanaskan pada suhu 105oC dan ditambahkan sekitar 60 sampai 100 ml
toluene. Kemudian campuran tersebut dipanaskan dengan pemanas listrik
dan refluks perlahan-lahan dengan suhu rendah selama 45 menit, dan
diteruskan dalam keadaan panas yang tinggi selama 1 sampai 1,5 jam.
Setelah selesai, volume air yang terdestilasi dibaca.
V
Kadar air (%) = X 100%
W
Keterangan :
V = volume air yang terdestilasi
W = jumlah sampel yang diambil
2. Kadar minyak atsiri (Guenther, 1948)
Prinsip:
Kadar minyak atsiri dihitung berdasarkan volume minyak yang
dipisahkan dari setiap berat bahan (oleoresin) yang disuling.
Prosedur:
1,5 gram oleoresin (W) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
penyulingan. Air sebanyak 250 ml ditambahkan dan dihubungkan ke alat
penampung minyak atsiri (mikroburet). Alat pemisah minyak atsiri diisi
59
sampai setengahnya dan ditambahkan batu didih. Lalu didihkan selama 3
jam di atas penangas. Alat penampung (mikroburet) yang berisi minyak
atsiri dihitung sebagai berikut:
Kadar minyak atsiri %100×=WA
Keterangan :
A = hasil pembacaan mikroburet
W = berat oleoresin
3. Kadar oleoresin (Metode Soxlet)
Prinsip:
Melarutkan fraksi oleoresin di dalam pelarut organik
Prosedur :
Timbang 10 sampai 50 gram sampel yang telah dikeringkan. Bungkus
sampel tersebut dengan kertas saring dan masukkan ke dalam soxlet
apparatus. Isi labu soxlet dengan pelarut sebanyak dua per tiga dari isi
labu. Panaskan di atas pemanas listrik atau penangas listrik. Ekstraksi
dilakukan sampai sampel tidak dapat terekstrak lagi. Kemudian keluarkan
ampas dan uapkan pelarut di dalam labu soxlet. Setelah itu timbang berat
oleoresin di dalam labu.
Kadar oleoresin (%) = %100)()sin(×
glbobotsampegebobotoleor
4. Kadar abu (Metode SNI-01-2891-1992)
Kadar abu diukur dengan metode tanur. Sebanyak 2 sampai 3 gram
sampel dipanaskan di cawan porselen yang sudah diketahui bobotnya
sampai sampel tidak berasap. Cawan dipindahkan ke dalam tanur dan
dipanaskan pada suhu 550oC sampai semua karbon berwarna keabuan,
kemudian didinginkan dan ditimbang.
60
Kadar abu dihitung dengan menggunakan persamaan :
Bobot abu (gram)
Kadar abu (%) = X 100%
Bobot sampel (gram)
61
Lampiran 2. Analisa karakterisasi mutu oleoresin jahe merah
1. Kadar minyak atsiri (Guenther, 1948)
Prinsip:
Kadar minyak atsiri dihitung berdasarkan volume minyak yang
dipisahkan dari setiap berat bahan (oleoresin) yang disuling.
Prosedur:
1,5 gram oleoresin (W) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
penyulingan. Air sebanyak 250 ml ditambahkan dan dihubungkan ke alat
penampung minyak atsiri (mikroburet). Alat pemisah minyak atsiri diisi
sampai setengahnya dan ditambahkan batu didih. Lalu didihkan selama 3 jam
di atas penangas. Alat penampung (mikroburet) yang berisi minyak atsiri
dihitung sebagai berikut:
Kadar minyak atsiri %100×=WA
Keterangan :
A = hasil pembacaan mikroburet
W = berat oleoresin
2. Sisa pelarut dalam oleoresin (Ketaren, 1988)
Prinsip:
Sisa pelarut dalam oleoresin dihitung berdasarkan volume pelarut yang
diuapkan dari setiap satuan berat bahan (oleoresin) yang diuapkan.
Prosedur:
Oleoresin ditimbang sebanyak 2 sampai 3 gram (a), dimasukkan ke labu
rotary vacuum evaporator. Alat ini dioperasikan pada suhu 50oC, tekanan
dibawah 1 atmosfir selama 1 jam. Setelah itu bobot labu ditimbang (b).
Sisa pelarut %100)(×
−=
aba
62
3. Bobot jenis (SP-SMP-17-1975) – (SNI 06-2388-1998)
Prinsip:
Bobot jenis adalah perbandingan bobot dari suatu volume contoh pada
suhu 25oC dengan bobot air pada suhu dan volume yang sama. Cara ini bisa
digunakan untuk semua minyak dan lemak yang dicairkan.
Prosedur:
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi dengan air
destilata yang telah mendidih dan telah didihkan pada suhu 20 sampai 23oC.
Air destilata ini diisikan ke dalam piknometer samapi meluap dan tidak
terbentuk gelembung udara, kemudian piknometer ditutup. Setelah itu,
piknometer direndam dalam bak air bersuhu 25 ± 0.2 oC dan dibiarkan pada
suhu konstan selama 30 menit. Piknometer diangkat dari bak air dan
dikeringkan dengan kertas penghisap, kemudian ditimbang dengan isinya.
Bobot air adalah silisih bobot piknometer dengan isinya dikurangi bobot
piknometer kosong. Contoh oleoresin disaring, kemudian diperlakukan sama
dengan air destilata tetapi tanpa pendidihan.
Bobot jenis = Cdasuhuberatairpa
kosongpiknometerdanoleorepiknometer°
−25
sin
4. Rendemen Oleoresin
Rendemen oleoresin yang dihasilkan dihitung dengan membandingkan
berat oleoresin (A) dengan berat sampel (B).
%100)()((%)Re ×=
gramBgramAndemen
63
Lampiran 3. Data hasil analisa rendemen oleoresin jahe merah
Kode Sampel
Sampel (gr)
Botol-tutup
(gr) (-)
Botol(-)+oleoresin
(gr) Oleoresin Rendemen Rata-
rata Kode Rata-rata
A1B1U1 75,0076 18,0491 32,5099 14,4608 19,2791 A1B1U2 75,0086 17,9884 30,5247 12,5363 16,7132
17,9961
A2B1U1 75,0022 18,1885 28,2721 10,0836 13,4444 A1B1 15,82
A2B1U2 75,0064 17,5449 29,404 11,8591 15,8108 14,6276
A1B2U1 75,0028 17,7475 31,7551 14,0076 18,6761 A1B2U2 75,0046 17,7252 31,3456 13,6204 18,1594
18,4178
A2B2U1 75,0053 17,6113 27,3182 9,7069 12,9416 A2B2 17,21
A2B2U2 75,0029 17,3296 31,5971 14,2675 19,0226 15,9821
A1B3U1 75,0023 17,6806 31,7536 14,073 18,7634 A1B3U2 75,0067 18,2435 30,6703 12,4268 16,5676
17,6655
A2B3U1 75,0094 17,798 31,2666 13,4686 17,9559 A3B3 17,43
A2B3U2 75,0012 17,9577 30,2615 12,3038 16,4048 17,1803
A1C1U1 75,0157 17,8852 30,5506 12,6654 16,8837 A1C1U2 75,0039 18,0263 26,0525 8,0262 10,701
13,7924
A2C1U1 75,0052 17,7562 31,7033 13,9471 18,5948 A1C1 16,17
A2C1U2 75,0115 17,3959 31,254 13,8581 18,4746 18,5347
A1C2U1 75,0081 17,8609 31,3562 13,4953 17,9918 A1C2U2 75,0164 17,5967 31,6456 14,0489 18,7278
18,3598
A2C2U1 75,0043 17,8745 30,1771 12,3026 16,4025 A2C2 17,25
A2C2U2 75,0071 17,2871 29,1404 11,8533 15,8029 16,1027
A1C3U1 75,0028 18,1886 31,909 13,7204 18,2932 A1C3U2 75,0118 17,629 32,0896 14,4606 19,2778
18,7855
A2C3U1 75,0058 18,3062 30,0684 11,7622 15,6817 A3C3 17,64
A2C3U2 75,0083 17,4883 30,4604 12,9721 17,2942 16,488
A1D1U1 75,0027 17,8599 31,8954 14,0355 18,7133 A1D1U2 75,0048 17,6693 33,051 15,3817 20,5076
19,6105
A2D1U1 75,0095 18,0044 31,5058 13,5014 17,9996 A1D1 18,14
A2D1U2 75,009 17,4354 28,9234 11,488 15,3155 16,6575
A1D2U1 75,006 18,1885 32,0537 13,8652 18,4855 A1D2U2 75,0077 17,9863 31,7127 13,7264 18,3
18,3927
A2D2U1 75,007 18,0281 32,9377 14,9096 19,8776 A2D2 19,08
A2D2U2 75,007 17,971 32,6898 14,7188 19,6232 19,7504
A1D3U1 75,0036 17,4839 33,3549 15,871 21,1603 A1D3U2 75,0079 17,7471 30,6645 12,9174 17,2214
19,1909
A2D3U1 75,0041 17,4866 33,0812 15,5946 20,7917 A3D3 20,1
A2D3U2 75,0113 17,9174 32,7764 14,859 19,809 20,3003
Keterangan: A...B... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:4 A...C... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:5 A...D... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:6
64
Lampiran 4. Data hasil analisa kadar minyak atsiri oleoresin jahe merah
Kode Sampel
Sampel (gr)
Botol-tutup (gr)
Botol+tutup (gr)
Minyak (ml)
Kadar Minyak Atsiri
Rata-rata Kode Rata-
rata
A1B1U1 1,5421 15,0786 17,3949 0,7 45,3926 A1B1U2 1,5407 14,8578 17,0375 0,6 38,9433
42,168
A2B1U1 1,5474 15,1916 17,3621 0,6 38,7747 A1B1 40,48
A2B1U2 1,5458 15,0627 17,2761 0,6 38,8149 38,7948
A1B2U1 1,5452 14,9823 17,43 0,5 32,3583 A1B2U2 1,5586 14,999 17,1369 0,6 38,4961
35,4272
A2B2U1 1,5574 15,0834 17,4 0,6 38,5257 A2B2 37,08
A2B2U2 1,5411 15,1724 17,3639 0,6 38,9332 38,7295
A1B3U1 1,5491 14,8942 17,2357 0,7 45,1875 A1B3U2 1,5537 14,753 17,0165 0,6 38,6175
41,9025
A2B3U1 1,5562 14,8172 17,0434 0,6 38,5555 A3B3 40,32
A2B3U2 1,5426 17,592 19,8484 0,6 38,8954 38,7254
A1C1U1 1,5133 15,0781 17,389 0,4 26,4323 A1C1U2 1,512 14,5904 16,4401 0,3 19,8413
23,1368
A2C1U1 1,5434 14,6909 16,9715 0,7 45,3544 A1C1 35,91
A2C1U2 1,5383 14,9464 17,233 0,8 52,0055 48,6799
A1C2U1 1,5207 14,9663 17,2306 0,7 39,4555 A1C2U2 1,5447 15,0657 17,3608 0,6 38.8425
39.149
A2C2U1 1,541 15,1741 17,4116 0,7 45.4250 A2C2 42,40
A2C2U2 1,524 15,0616 17,2959 0,7 45.9318 45.6784
A1C3U1 1,5521 14,9966 17,3211 0,6 38,6573 A1C3U2 1,557 14,9394 17,2928 0,6 38,5356
38,5965
A2C3U1 1,5704 15,0209 17,3488 0,5 31,839 A3C3 36,93
A2C3U2 1,5515 14,8796 17,2119 0,6 38,6723 35,2556
A1D1U1 1,5404 15,1651 17,3821 0,6 38.9509 A1D1U2 1,591 14,6977 17,0587 0,6 37,7121
38.3315
A2D1U1 1,5416 15,1432 17,3149 0,6 38.7952 A1D1 38,56
A2D1U2 1,5504 14,9624 17,1983 0,6 38,6997 38.7952
A1D2U1 1,537 15,0906 17,296 0,6 39,0371 A1D2U2 1,546 14,9518 17,2885 0,6 38,8098
38,9235
A2D2U1 1,5443 15,1285 17,4585 0,5 32,3771 A2D2 34
A2D2U2 1,5513 14,8756 17,3652 0,4 25,7848 29,081
A1D3U1 1,56 15,058 17,3169 0,6 38,4615 A1D3U2 1,553 15,1575 17,4111 0,5 32,1958
35,3286
A2D3U1 1,5407 14,8901 17,2834 0,6 38,9433 A3D3 38,76
A2D3U2 1,5411 15,1088 17,3532 0,7 45,4221 42,1827
Keterangan: A...B... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:4 A...C... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:5 A...D... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:6
65
Lampiran 5. Data hasil analisa bobot jenis oleoresin jahe merah
Kode Sampel
Pikno Kosong
(gr)
Pikno+aquades (gr)
Pikno+oleoresin (gr)
Bobot Jenis
Rata-rata Kode Rata-
rata
A1B1U1 14,8533 19,824 19,8329 1,00179 A1B1U2 14,8531 19,8347 19,8826 1,00962 1,0057
A2B1U1 14,8536 19,8229 19,964 1,02839 A1B1 1,02
A2B1U2 14,8537 19,824 19,8722 1,0097 1,01905 A1B2U1 14,8539 19,8243 19,8556 1,0063 A1B2U2 14,8535 19,8238 19,8778 1,01086 1,00858
A2B2U1 14,8538 19,8231 19,8341 1,00221 A2B2 1,01
A2B2U2 14,8536 19,8222 19,9463 1,02498 1,0136 A1B3U1 14,8541 19,8245 19,9237 1,01996 A1B3U2 14,8539 19,8234 19,9169 1,01881 1,01939
A2B3U1 14,8538 19,823 19,8363 1,00268 A3B3 1,01
A2B3U2 14,8538 19,8239 19,8512 1,00549 1,00408
A1C1U1 14,853 19,824 20.6010 1.15631 A1C1U2 14,853 19,8235 20,5607 1,14832 1.15232
A2C1U1 14,8537 19,8248 20,7005 1,17616 A1C1 1,15
A2C1U2 14,8534 19,8246 20,5050 1.13687 1.15652 A1C2U1 14,8534 19,8231 20,5122 1,13866 A1C2U2 14,8533 19,8221 20,3012 1,09642 1,11754
A2C2U1 14,8531 19,823 20,5604 1,14837 A2C2 1,13
A2C2U2 14,8532 19,8253 20,4154 1,11868 1,13353 A1C3U1 14,8536 19,8226 20,1199 1,05983 A1C3U2 14,8528 19,8212 20,0563 1,04732 1,05358
A2C3U1 14,8531 19,8229 20,1356 1,06292 A3C3 1,05
A2C3U2 14,8533 19,8226 20,0087 1,03745 1,05018
A1D1U1 14,8535 19,8215 20.0654 1.04909 A1D1U2 14,8534 19,8224 20.0613 1.04808 1.04859
A2D1U1 14,8537 19,8214 20.0035 1.03666 A1D1 1,05
A2D1U2 14,8538 19,822 20,1518 1.06638 1.05152 A1D2U1 14,8534 19,8219 19,9435 1,02447 A1D2U2 14,8535 19,8207 19,9959 1,03527 1,02987
A2D2U1 14,8535 19,8228 20,1229 1,06039 A2D2 1,04
A2D2U2 14,8536 19,8226 20,0546 1,04669 1,05354 A1D3U1 14,8538 19,8235 20.0026 1.03604 A1D3U2 14,854 19,8229 20,0039 1,03643 1.03235
A2D3U1 14,8533 19,8242 20.0073 1.03683 A3D3 1,04
A2D3U2 14,8533 19,8231 20.0012 1.03524 1.03634
Keterangan: A...B... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:4 A...C... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:5 A...D... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:6
66
Lampiran 6. Data hasil analisa sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah
Kode Sampel
Soxlet Awal (gr)
Sampel Awal (gr)
Soxlet+oleoresin (gr)
Soxlet+oleoresin Akhir (gr)
Sampel Akhir (gr)
Sisa Pelarut
Rata-rata Kode
Rata-rata
A1B1U1 63,631 2,004 65,635 65,598 1,967 1,846 A1B1U2 63,63 2,023 65,653 65,615 1,985 1,874
1,86
A2B1U1 63,634 2,005 65,638 65,609 1,975 1,493 A1B1 1,68
A2B1U2 63,632 2,004 65,636 65,606 1,974 1,497 1,50
A1B2U1 63,631 2,008 65,638 65,6 1,969 1,942 A1B2U2 63,627 2,003 65,63 65,592 1,965 1,897
1,92
A2B2U1 63,629 2,003 65,632 65,603 1,974 1,448 A2B2 1,76
A2B2U2 63,628 2,018 65,655 65,611 1,983 1,734 1,6
A1B3U1 63,632 2,008 65,64 65,6 1,968 1.992 A1B3U2 63,633 2,023 65,656 65,62 1,987 1,780
1,89
A2B3U1 63,633 2,026 65,659 65,629 1,996 1,481 A3B3 1,72
A2B3U2 63,628 2,008 65,636 65,604 1,976 1,578 1,54
A1C1U1 63,629 2,007 65,636 65,614 1,985 1,096 A1C1U2 63,661 2,012 65,673 65,65 1,989 1,143
1,12
A2C1U1 63,628 2,005 65,633 65,6 1,972 1,646 A1C1 1,26
A2C1U2 63,665 2,003 65,668 65,645 1,980 1,148 1,40
A1C2U1 63,631 2,006 65,637 65,598 1,967 1,944 A1C2U2 63,632 2,005 65,637 65,604 1,972 1,645
1,8
A2C2U1 63,627 2,004 65,631 656034 1,976 1,397 A2C2 1,55
A2C2U2 63,63 2,007 65,637 65,612 1,982 1,246 1,32
A1C3U1 63,637 2,033 65,669 65,635 1,998 1,722 A1C3U2 63,631 2,002 65,633 65,605 1,974 1,399
1,56
A2C3U1 63,632 2,01 65,642 65,621 1,989 1,045 A3C3 1,34
A2C3U2 63,631 2,004 65,636 65,611 1,980 1,198 1,12
A1D1U1 63,632 2,008 65,64 65,605 1,973 1,743 A1D1U2 63,628 2,004 65,632 65,601 1,973 1,547
1,65
A2D1U1 63,628 2,001 65,628 65,605 1,977 1,199 A1D1 1,41
A2D1U2 63,63 2,039 65,669 65,646 2,015 1,128 1,16
A1D2U1 63,625 2,015 65,647 65,609 1,984 1,539 A1D2U2 63,617 2,018 65,635 65,598 1,981 1,834
1,69
A2D2U1 63,624 2,014 65,638 65,594 1,970 2,185 A2D2 1.90
A2D2U2 63,618 2,012 65,63 65,589 1,971 2,038 2,11
A1D3U1 63,627 2,008 65,635 65,609 1,981 1,325 A1D3U2 63,627 2,005 65,632 65,608 1,981 1,167
1,25
A2D3U1 63,632 2,011 65,642 65,615 1,983 1,363 A3D3 1,33
A2D3U2 63,628 2,031 65,66 65,63 2,001 1,467 1,41
Keterangan: A...B... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:4 A...C... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:5 A...D... = Lama ekstraksi 2 jam (1), 1,5 jam (2) dan 1 jam (3) dan nisbah 1:6
67
Lampiran 7. Hasil analisa keragaman rendemen oleoresin jahe merah
F tab Source df Mean square F Sig 1% 5% Lama ekstraksi 2 7,916602121 2,2920084 0,1568427 8,02 4,26
Perbandingan nisbah 2 2,914280629 0,8437402 0,4614794 8,02 4,26 Lama
ekstraksi*perbandingan nisbah
4 0,122534286 0,035476 0,9971247 6,42 3,63
Error 9 3,454002273 Total 18
Corrected total 17 Lama ektraksi dan nisbah nisbah tidak berpengaruh terhadap rendemen oleoresin
jahe merah (F hit < F tab)
Lampiran 8. Hasil analisa uji duncan perlakuan lama ekstraksi untuk analisa rendemen
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 2 16,8698058 A
1,5 17,9085816 A 1 18,19408435 A
Sig 0,267936537 Lama ekstraksi tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan
rendemen oleoresin jahe merah
Lampiran 9. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk analisa rendemen
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1:4 16,97824085 A 1:5 17,01050583 A 1:6 18,98372507 A Sig 0,107195509
Nisbah tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan rendemen
oleoresin jahe merah
68
Lampiran 10. Hasil analisa keragaman kadar minyak atsiri pada oleoresin jahe
merah
F tab Source df Mean square F Sig 1% 5%
Lama ekstraksi 2 5,205335503 0,100053 0,905782 8,02 4,26 Perbandingan nisbah 2 1,174905254 0,022583 0,977725 8,02 4,26
Lama ekstraksi*perbandingan
nisbah
4 58,29325433 1,120468 0,404999 6,42 3,63
Error 9 52,02579399 Total 18
Corrected total 17 Lama ektraksi dan nisbah tidak berpengaruh terhadap rendemen oleoresin jahe
merah (F hit < F tab)
Lampiran 11. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan lama ekstraksi untuk analisa kadar minyak atsiri
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1,5 38,19112757 A 2 39,29122829 A 1 40,04310019 A
Sig 0,680483779 Lama ekstraksi tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan kadar
minyak atsiri oleoresin jahe merah
Lampiran 12. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk analisa kadar minyak atsiri
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1:6 38,66523327 A 1:4 39,40174426 A 1:5 39,45847852 A Sig 0,859428004
Nisbah tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan kadar
minyak atsiri oleoresin jahe merah
69
Lampiran 13. Hasil analisa keragaman bobot jenis oleoresin jahe merah
F tab Source df Mean square F Sig 1% 5% Lama ekstraksi 2 0,019607943 189,88966 4,369.10-8 8,02 4,26
Perbandingan nisbah 2 0,004053497 39,255379 3,588.10-8 8,02 4,26 Lama
ekstraksi*perbandingan nisbah
4 0,002199627 21,3019 0,0001305 6,42 3,63
Error 9 0,00010326 Total 18
Corrected total 17 Lama ektraksi dan nisbah berpengaruh nyata terhadap rendemen oleoresin jahe
merah (F hit > F tab 5%)
Lampiran 14. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan lama ekstraksi untuk analisa bobot jenis
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 2 1,011732695 A
1,5 1,027924478 B 1 1,1178456 C
Sig 1 Lama ekstraksi tmemberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan bobot jenis
oleoresin jahe merah
Lampiran 15. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk analisa bobot jenis
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1:6 1,023742789 A 1:5 1,059442959 B 1:4 1,0743171 C Sig 1
Nisbah memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan bobot jenis
oleoresin jahe merah
70
Lampiran 16. Hasil analisa keragaman sisa pelarut dalam oleoresin jahe merah
F tab Source df Mean square F Sig 1% 5% Lama ekstraksi 2 0,160664858 2,6025204 0,1282626 8,02 4,26
Perbandingan nisbah 2 0,193384685 3,1325306 0,0927786 8,02 4,26 Lama
ekstraksi*perbandingan nisbah
4 0,056705405 0,9185392 0,493783 6,42 3,63
Error 9 Total 18
Corrected total 17 Lama ektraksi dan nisbah tidak berpengaruh terhadap rendemen oleoresin jahe
merah (F hit < F tab)
Lampiran 17. Hasil analisa uji duncan lama ekstraksi untuk perlakuan sisa pelarut dalam oleoresin
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1 1,384525093 A
1,5 1,573084079 A 2 1,710465028 A
Sig 0,057497014 Lama ekstraksi tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan sisa
pelarut dalam oleoresin jahe merah
Lampiran 18. Hasil analisa uji duncan pada perlakuan nisbah untuk analisa sisa pelarut
dalam oleoresin
Lama ekstraksi Rata-rata Kelompok duncan 1:4 1,440292804 A 1:6 1,464943153 A 1:5 1,762838243 A Sig 0,059667587
Nisbah tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan sisa
pelarut dalam oleoresin jahe merah
71
Lampiran 19. Foto-foto penelitian oleoresin jahe merah
Gambar 16. Proses ekstraksi oleoresin jahe merah dengan metode perkolasi
Gambar 19. Sampel perlakuan nisbah 1:6 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam dan 2 jam
Gambar 18. Sampel perlakuan nisbah 1:5 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam dan 2 jam
Gambar 17. Sampel perlakuan nisbah 1:4 dengan lama ekstraksi 1 jam; 1,5 jam dan 2 jam
Gambar 20. Rotary vacuum evaporator
72
Lampiran 20. Kromatografi gas pada standar minyak jahe
73
Lampiran 21. Kromatografi gas pada kadar minyak jahe merah tertinggi
74
Lampiran 22. Kromatografi gas pada kadar minyak jahe merah terendah