Post on 04-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Empowerment atau pemberdayaan adalah salah satu strategi atau merupakan
paradigma pembangunan yang dilaksanakan dalam kegiatan pembangunan
masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Pemberdayaan
ini muncul dikarenakan adanya kegagalan-kegagalan yang dialami dalam proses dan
pelaksanaan pembangunan yang cenderung sentralistis seperti community
development atau pengembangan komunitas. Model ini tidak memberi kesempatan
langsung kepada rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan, terutama dalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan pejabat, perencanan,
pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan.
Friedmann (1992) menawarkan konsep atau strategi pembangunan yang
populer disebut dengan empowerment atau pemberdayaan. Konsep pemberdayaan ini
adalah sebagai suatu konsep alternatif pembangunan yang pada intinya memberikan
tekanan pada otonomi dalam mengambil keputusan di suatu kelompok masyarakat
yang dilandaskan pada sumberdaya pribadi, bersifat langsung, demokratis dan
pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Fokus utama pemberdayaan,
menurut Friedmann, adalah sumberdaya lokal, namun bukan berarti mengabaikan
unsur-unsur lain yang berada di luar kelompok masyarakat, bukan hanya ekonomi
akan tetapi juga politik, agar masyarakat memiliki posisi tawar menawar yang
seimbang, baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Konsep pemberdayaan
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang memiliki karakteristik dengan
berfokus pada rakyat (people-centered), partisipatif (participatory), memberdayakan
(empowering), dan berkesinambungan (sustainable) (Chambers, 1995). Karena itu
konsep ini merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang di dalamnya
mencakup nilai-nilai sosial. Menurut Kartasasmita (1996) dasar pandangannya adalah
bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu
1
meningkatkan kemampuan rakyat. Pada aspek dan sisi yang tertinggal dalam
masyarakat harus ditingkatkan nilainya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya, atau dengan kata lain memberdayakannya.
Pemberdayaan adalah perspektif yang lebih luas dari hanya sekedar
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Kartasasmita (1996), dengan
mengutip pendapat beberapa ahli, melukiskan konsep pemberdayaan itu sebagai suatu
konsep yang tidak mempertentangkan antara pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi
memadukan antara keduanya, karena sebagaimana dikatakan oleh Brown (1995),
kedua konsep tersebut tidak harus diasumsikan sebagai “tidak cocok atau berlawanan
(incompatible or antithetical)”. Konsep pemberdayaan bertitik tolak dari pandangan
bahwa melalui pemerataan akan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan
dan sekaligus akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Karena konsep
pemberdayaan tidak mempertentangkan antara pertumbuhan dan pemerataan, maka
dalam strategi pembangunan harus ditujukan pada dua arah, yakni pada lapisan
masyarakat maju dan berada pada sektor modern, dan pada kelompok yang tertinggal
dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk kedua sektor tersebut
tidak dapat disamakan begitu saja.Jadi, intinya adalah bagaimana upaya untuk
membantu rakyat agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan
kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi
juga sekaligus akan meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengertian
pemberdayaan masyarakat, unsure-unsur pemberdayaan masyarakat, proses
pemberdayaan masyarakat, tujuan dan pendekatan pemberdayaan masyarakat serta
metodologi evaluatif dalam pemberdayaan masyarakat.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian,
artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian,
bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya,
kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh
karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan
maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen
terhadap pemberdayaan masyarakat.
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi
dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan
kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa
pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya,
memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.
Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan
untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan
dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial
dalam melakukan tindakan.. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif
diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk
lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan,
ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa
tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai
upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam
merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki
3
melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka
memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.
Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan
proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan
diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan
strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.
2.2 UNSUR-UNSUR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Kemauan Politik
Salah satu upaya yang patut dilakukan untuk menjembatani masalah perburuhan
adalah dengan pemberdayaan sumber daya manusianya, terutama disektor
industri, lebih terutama lagi di sub-sektor pekerja tingkat bawah, dalam segi
hak-hak riil vokasional. Sub-sektor ini adalah lapisan yang paling rawan untuk
dijadikan “kartu politik”, mengingat tingkat pendidikan mereka, dan tingkat
ketidakberdaya-an mereka (secara politis) paling tidak untuk diobjetifikasi bagi
kepentingan politik. Pemberdayaan adalah paeningkatan pelayanan yang lebih
manusiawi kepada mereka. Sepanjang mereka masih diberdayakan oleh
pemerintah, atau oleh pengusaha, atau (sebenarnya) oleh siapapun, maka
mustahil bagi mereka untuk berbuat lain kecuali mengerjakan tanggung jawab
profesinya. Sebaliknya, sekali mereka merasa “terperdaya” maka kali itu pula
mereka menggunakan “daya” mereka sendiri yang khas, yaitu amuk. Mereka
sebenarnya tak peduli kelompok kepentingan atau kelompok politik yang mana
yang bakal memberdayakan mereka, karena mereka memang bukan politisi.
Tetapi mereka ingin memberdayakan baik secara hukum, ekonomi, sosial
ataupun politik. Alasan yang mendasari keinginan tersebut adalah sederhana
sekali, yaitu bahwa mereka memang kelompok yang tak berdaya.
4
Penciptaan suasana
Penciptaan suasana yang mengacu pada mewujudkan warga madani yang
dimana merupakan suatu upaya yang harus dilakukan oleh secara terus menerus
kepada seluruh pihak-pihak yang terkait. Untuk itu perlu dikembangkan suatu
kondisi yang kondusif antara instansi tersebut sebagai reperesentasi berbagai
kekuatan politik, masyarakat yang merupakan fokus kegiatan pemberdayaan,
dan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dalam perwujudan
lingkungan yang baik dan sehat.
Motivasi
Suatu pemberdayaan masyarakat akan terwujud apabila masyarakat memiliki
kemauan untuk merubah semua dan lebih maju. Rasa keingin tahuan yang
cukup besar dalam diri masyarakat dengan sendirinya akan meanjadi motivasi
bagi diri masyarakat untuk bisa lebih maju dan lebih berkembang an mampu
menghadapi segala tantangan yang dikemudian lain.
Potensi Masyarakat
Potensi masyarakat tersebut yang dimaksud dalam pemberdayaan masyarakat
adalah, dalam hal ino diartikan sebagai “masyarakt madani” yang perlu
ditingklatkan dan dikembangkan dan dicirikan dengan timbulnya secara
berkelanjutan. Keberayaan masyarakat warga madani dicirikan dengan
timbulnya kesadaran bahwa, mereka paham akan haknya atas lingkungan hidup
uang baik dan sehat serta sanggup menjalankan kewajiban dan tanggung jawab
untuk tercapainya kualitas lingkungan hidup yang dituntutnya.
Peluang
Melalui perwujudan good governance, dimana dalam salah satu karakteristiknya
adalah mendorong partisipasi dan kemitraan dengan masyarakat, maka
5
pembangunan harus melibatkan masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, tidak
akan ada strategi yang mampu bertahan lama. Peran masyarakat madani harus
dipandang sebagai hal yang dinamis dan memberikan suatu peluang bagi
pemerintah yang bermaksud membangun kredibilitas negara (goo governance)
melalui potensinya dalam membangun koalisi dan aksi kolektif.
Mengalihkan Wewenag
Untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya suatu
birokrasi harus mampu dan rela mengalihkan wewenangnya pada masyarakat
apabila merasa sudah tidak mampu bekerja sebagai mana yang diamanatkan
oleh masyarakat supaya masyarakat mampu dan bisa melaksanakan
keinginannya sesuai dengan apa yang telah ia amanatkan kepada birokrasi itu
sendiri.
Perlindungan
Pemberdayaan masyarakat mengandung pula arti perlindungan, dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah yang lemah oleh
karena, kekurangan berdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu,
perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam
konsep pemberdayaan mastarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutupi dari interaksi. Karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upyah untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang
kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat
menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian. Karena pada
dasarnya setiap upa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang
hasilnya dapat dikeluarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan
akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan dan membangun
6
kemampuan untuk mewujudkn diri kearah kehidupan yang lebih baik secara
sinambung.
Kesadaran
Untuk mencapai masyarakat yang berdaya,masyarakat harus menyadari dan
memahami apa yang ingin dan harus ia lakukan demi untuk bisa
mengembangkan dirinya dan kemampuannya serta kreativitasnya dalam
membuat dan menghasilkan sesuatu yang berguna bukan hanya untuk dirinya
tapi juga untuk masyarakat banyak.
2.3 PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan
pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama
tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder menekankan pada
proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya
melalui proses dialog”. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat
berdaya yaitu:
1. Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kon-
disi perubahan ke depan)
2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
3. Memiliki kekuatan untuk berunding
4. Emiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan, dan
5. Bertanggungjawab atas tindakannya.
7
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berke-
sempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai al-
ternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari
dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pember-
dayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan
harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi
masyarakat secara bertanggungjawab.
Proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara bertahap melalui
tiga fase (Pranaka dan Prijono, 1996) yaitu:
(a) Fase Inisiasi adalah bahwa semua proses pemberdayaan berasal dari pemerintah,
dan masyarakat hanya melaksanakan apa yang direncanakan dan diinginkan oleh
pemerintah dan tetap tergantung pada pemerintah.
(b) Fase Partisipatoris adalah bahwa proses pemberdayaan berasal dari pemerintah
bersama masyarakat, oleh pemerintah dan masyarakat, dan diperuntukkan bagi
rakyat. Pada fase ini masyarakat sudah dilibatkan secara aktif dalam kegiatan
pembangunan untuk menuju kemandirian.
(c) Fase Emansipatoris adalah bahwa proses pemberdayaan berasal dari rakyat dan
untuk rakyat dengan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada fase
emansipatori ini masyarakat sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga
dapat dilakukan dalam mengaktualisasikan dirinya. Puncak dari kegiatan proses
pemberdayaan masyarakat ini adalah ketika pemberdayaan ini semuanya datang
dari keinginan masyarakat sendiri (fase emansipatoris).
2.4 TUJUAN DAN PENDEKATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama
dalam program pembangunan melalui pendekatan pe mberdayaan adalah masyarakat
berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud
dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama,
8
kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip
pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa
tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat
yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu
yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan
mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Elliot (1987), menyatakan bahwa strategi pemberdayaan dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan yaitu:
a. The Welfare Approach; pendekatan ini mengarah pada pendekatan manusia
dan bukan untuk memberdaya masyarakat dalam menghadapi proses politik dan
pemiskinan rakyat.
b. The Development Approach; pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan
proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan
keswadayaan masyarakat.
c. The Empowerment Approach; pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan
sebagai akibat dari proses politik dan berusaha untuk memberdayakan atau
melatih rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan masyarakat.
Strategi pemberdayaan dalam pembangunan masyarakat merupakan upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan dan memandirikan, serta menswadayakan
masyarakat sesuai dengan potensi dan budaya lokal yang dimilikinya secara utuh dan
konprehensif agar harkat dan mertabat lapisan masyarakat yang kondisinya tidak
mampu dapat melepaskan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan
tidak hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi pranata hidup
yang ada dalam masyarakat perlu dan harus diberdayakan. Melalui strategi
pemberdayaan ini, partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan akan
semakin meningkat.
9
Salah satu pendekatan yang mulai banyak digunakan terutama oleh LSM
adalah advokasi. Pendekatan advokasi pertama kali diperkenalkan pada pertengahan
tahun 1960-an di Amerika Serikat (Davidoff, 1965). Model pendekatan ini mencoba
meminjam pola yang diterapkan dalam sistem hukum, di mana penasehat hukum
berhubungan langsung dengan klien. Dengan demikian, pendekatan advokasi
menekankan pada proses pendampingan kepada kelompok masyarakat dan
membantu mereka untuk membuka akses kepada pelaku-pelaku pembangunan
lainnya, membantu mereka mengorganisasikan diri, menggalang dan memobilisasi
sumberdaya yang dapat dikuasai agar dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining
position) dari kelompok masyarakat tersebut. Pendekatan advokasi ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya masyarakat terdiri dari kelompok-
kelompok yang masing-masing mempunyai kepentingan dan sistem nilai sendiri-
sendiri. Masyarakat pada dasarnya bersifat majemuk, di mana kekuasaan tidak
terdistribusi secara merata dan akses keberbagai sumberdaya tidak sama.
Dalam jangka panjang diharapkan dengan pendekatan advokasi masyarakat
mampu secara sadar terlibat dalam setiap tahapan dari proses pembangunan, baik
dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pelaporan, dan evaluasi.
Seringkali pendekatan advokasi diartikan pula sebagai salah satu bentuk
“penyadaran” secara langsung kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya
dalam proses pembangunan.
2.5 METODOLOGI EVALUATIF DALAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
Untuk melaksanakan evaluasi apakah proyek yang telah dilaksanakan selama
jangka waktu tertentu telah sungguh mendatangkan perbaikan yang sesuai dengan
harapan warga masyarakat, perlu dilakukan suatu penelitian. Dua metoda penelitian
evaluatif yang bersifat bottom-up adalah rapid rural appraisal (RRA), dan
participatory rural appraisal (PRA).
(1) Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
10
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam
waktu yang terbatas ketika keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil
segera. Dewasa ini banyak program pembangunan yang dilaksanakan sebelum
adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah sasaran. Konsekuensinya,
banyak program pembangunan yang gagal atau tidak dapat diterima oleh kelompok
sasaran meskipun program-program tersebut sudah direncanakan dan dipersiapkan
secara matang, karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan prioritas
dan pemecahan masalahnya.
(2) Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsepsi dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang tekanannya pada
keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA bertujuan
menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program
pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan.
Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program
pembangunan selalu diturunkan "dari atas" (top down) dan masyarakat tinggal
melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui suatu 'penjajagan
kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya
berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas
atau lembaga ahli-ahli penel itian. Akibatnya program tersebut sering tidak relevan
dengan kebutuhan masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki terhadap program itu.
Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga
keterampilan-keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada
masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan
berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari
aspirasi masyarakat (bottom up). Metoda PRA didasarkan pada penyempurnaan dan
modifikasi dari metoda AEA (Agroecosystems Analysis) dan RRA (Rapid Rural
Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM dan peneliti yang bekerja di wilayah
Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa kesamaan antara metoda PRA dan RRA,
tetapi ada pe rbedaan secara mendasar. Metoda RRA penekannya adalah pada
11
kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi oleh órang luar. Sedangkan metoda
PRA penekannya adalah pada partisipasi dan pemberdayaan.
Hasil-hasil penelitian juga telah membuktikan bahwa pemberdayaan sebagai
sebuah konsep yang memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan, dalam
implementasinya dapat berjalan beriringan. Masyarakat lapisan bawah yang
diberdayakan dapat memberikan sumbangsih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Hal ini ditunjukkan oleh hasil kajian berbagai proyek yang dilakukan
oleh International Fund for Agriculture (IFAD) yang menunjukkan bahwa dukungan
bagi produksi yang dihasilkan masyarakat lapisan bawah telah memberikan
sumbangan bagi pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang
sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan tersebut dihasilkan
bukan hanya dengan biaya yang lebih kecil, tetapi juga dengan devisa yang lebih
kecil (Kartasasmita, 1996). Hal yang demikian ini sudah barang tentu besar artinya
bagi negara-negara berkembang yang sering mengalami kelangkaan devisa dan lemah
posisi neraca pembayaran luar negerinya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Brautigam (1995) di Taiwan juga
menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan
adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah, tetapi
dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan kondisi ini dapat dipertahankan secara
berkelanjutan. Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada
peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek
dari upaya pembangunannya sendiri. Implementasi konsep pelibatan masyarakat
dalam proses pembangunan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Salah satu
contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan Babajanian di Armenia (2005),
yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat melalui organisasi sosial lokal
memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek-proyek pembangunan di
negara tersebut.
12
BAB III
PENUTUP
Konsep pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang
memiliki karakteristik dengan berfokus pada rakyat (people-centered), partisipatif
(participatory), memberdayakan (empowering), dan berkesinambungan (sustainable)
(Chambers, 1995). Karena itu konsep ini merupakan sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang di dalamnya mencakup nilai-nilai sosial.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek
dari upaya pembangunannya sendiri. Implementasi konsep pelibatan masyarakat
dalam proses pembangunan telah banyak diterapkan di berbagai negara.
Daya kemampuan yang dimaksud untuk pemberdayaaan masyarakat adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya
yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan
berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka
mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu
sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif
terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan
perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk
mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik
merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya
mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, John, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge:
Blackwell, 1992.
Goulet, Denis, The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of Development;
New York: Atheneum, 1977.
Kartasasmita, Ginandjar. Makalah: Dewan Perwakilan Daerah dan Otonomi Daerah.
Disampaikan pada Seminar Nasional, Institut Teknologi Bandung (ITB) Dalam
Rangka Memperingati Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Bandung, 17 Mei
2008.
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Robert Chambers. 1992. Participatory Rural Appraisal. Memahami Desa Secara
Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.
14