Post on 06-Feb-2018
NASKAH PUBLIKASI
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA
(INONG BALEE)
Oleh :
SITTI HALIMAH
02320230
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2008
NASKAH PUBLIKASI
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA
(INONG BALEE)
Disetujui pada tanggal :
------------------------------------
Dosen Pembimbing Utama
H. Fuad Nashori, S.Psi., Msi.
KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA
(INONG BALEE)
Sitti Halimah
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan oleh TNI/POLRI. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 5 orang wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Penelitian ini berfokus pada kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, seperti transkip wawancara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Dari hasil tersebut diperoleh data-data yang mendukung pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek mengalami gangguan fisik dan psikologis setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Sampai saat ini subyek belum pernah mendapat terapi yang layak. Kondisi semua subyek saat ini semakin lebih baik, optimis dan berpikir positif.
Kata Kunci : Inong balee, TNI/POLRI, Kondisi psikologis.
I. PENGANTAR
Aceh merupakan daerah yang sarat dengan tradisi pergolakan dan
kekerasan yang merupakan dampak dari serangkaian sejarah yang panjang yang di
alami masyarakat Tanah Rencong (Aceh Bersimbah Darah). Serangkaian
pemberontakan yang dilakukan rakyat Aceh berawal dari ketidakpuasan rakyat
terhadap pemerintah pusat, salah satunya adalah mengenai pemberian hak
keistimewaan terhadap daerah Aceh yang sudah lama dijanjikan oleh pemeritah
pusat yang tak kunjung dipenuhi.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah berulangkali melakukan upaya
pendekatan secara militer yaitu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).
Daerah Operasi Militer adalah cara pemerintah pusat menyelesaikan konflik
dengan melibatkan militer dengan kekerasan untuk menumpas pemberontakan
yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai ke akar-akarnya tanpa
mempertimbangkan nasib rakyat Aceh. Hal ini menambah kekecewaan rakyat
Aceh terhadap pemerintah. Militer gagal merebut hati rakyat Aceh. Kematian,
penghancuran desa di Aceh, pemerkosaan, memang menjadi konsukuensi logis
setelah Darurat Militer diterapkan. Warga sipil adalah korban paling empuk dari
dua pihak yang bersengketa. Darurat Militer juga memberi wewenang hampir tanpa
batas ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Menurut pasal 23 – 24 UU No
23/Prp/1959, kewenangan penguasa Darurat Militer begitu luas, bahkan nyaris
tanpa batas. Sejak memerintahkan penangkapan orang yang dicurigai hingga
membatasi penerbitan media massa. Akibatnya pelanggaran HAM terjadi dimana-
mana. Beberapa warga sipil dan aktivis HAM ditangkapi dengan tuduhan sebagai
simpatisan maupun anggota GAM (Kontras, 2003).
Sejumlah kekerasan yang terus berlangsung telah menggores luka psikis
yang berat di hati rakyat Aceh. Kemudian Gerakan Aceh Merdeka mengubah
misinya dari menuntut keadilan menjadi tuntutan kemerdekaan bagi daerah Aceh.
Korban-korban dan keluarga korban tindak kekerasan yang dilakukan militer
menjadi simpatik atas perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Tidak sedikit korban
dan keluarganya bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka ditambah lagi Gerakan
Aceh Merdeka menyebarkan misi perangnya dengan perang sabilillah (perang di
jalan Allah) untuk membebaskan diri dari kezaliman pemeritah. Salah satu
contohnya adalah wanita-wanita Aceh yang menjadi tentara Gerakan Aceh
Merdeka (Inong balee). Penerapan darurat militer di Aceh tanpa disadari telah
melakukan pembalikan terhadap makna kata Inong balee yang semula sangat mulia
tersebut. Operasi militer yang berlangsung di Aceh dalam kurun waktu satu tahun
melirik juga Inong balee sebagai potensi ancaman untuk meluaskan perlawanan
bersenjata. Para janda dari anggota GAM yang telah tewas dengan mudah diklaim
sebagai Inong balee, apalagi mereka yang jelas-jelas terbukti terlibat melakukan
perlawanan bersenjata (Iswandi, 2006).
Perekrutan wanita-wanita Aceh sebagai Tentara Gerakan Aceh Merdeka
yang dikenal dengan Inong balee dan informan bagi TNI/POLRI melibatkan dan
menjadikan wanita dan anak-anak ke dalam konflik terbuka, atau menjadikan
mereka bagian dari pelaku kekerasan oleh pihak-pihak yang bertikai, telah
menyalahi peraturan perang dunia dan merupakan tindakan kejahatan perang
(Jelajah, 2000). Peneliti sebagai rakyat Aceh telah banyak menyaksikan fenomena
ini. Wanita-wanita ini direkrut menjadi tentara perempuan kemudian diberi
pelatihan kemiliteran dan di persenjatai.
Konflik yang berkepanjangan di Aceh yang tidak ada habis- habisnya telah
memakan korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya, baik dari pihak TNI, GAM
dan rakyat Aceh yang tidak berdosa. Hidup di daerah konflik setiap hari
menjadikan rakyat menyaksikan dan mengalami tindak kekerasan yang dilakukan
pihak- pihak yang bersenjata. Konflik ini juga telah membawa dampak yang sangat
tidak baik pada perkembangan psikologis mereka serta menggangu kesejahteraan
dan kesehatan psikologis semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Mereka
harus hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Dalam keadaan seperti ini apabila
secara terus- menerus berlanjut, maka pihak- pihak yang telibat dalam konflik ini
kemungkinan besar akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka, terlebih lagi
pada wanita – wanita Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) .
Selama masa penahanannya dia diinterogasi dan mendapat kekerasan secara
psikologis. Setelah orang tuanya melakukan negosiasi dan membayar uang tebusan
dia dibebaskan bersyarat. Syarat yang ditentukan adalah harus memberi laporan
dan tidak boleh berpergian keluar kota. Menurutnya hal ini sangat membawa efek
negatif bagi psikologisnya.
Kondisi yang dapat muncul akibat adanya kekerasan adalah: depresi, stress,
dan kecemasan. Depresi merupakan bagian dari gangguan psikologis dengan
karakteristik klinis berupa hilangnya kemampuan untuk mengontrol suasana hati
dan pengalaman subyektif terhadap stres (Burn, 1998). Menurut Kaplan dan
Sadock (1994) depresi adalah kehilangan energi, merasa sedih, tidak berharga dan
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari orang lain, kehilangan
minat serta kesenangan dalam melakukan aktivitas seharai-hari bahklan ada
individu yang depresi berkeinginan untuk bunuh diri. Depresi merupakan
terganggunya fungsi psikologis individu yang baerkaitan dengan alam perasaan
yang sedih dan gejala-gejalanya termasuk gangguan pada pola tidur seperti
insomnia dan gangguan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa
putus asa dan tak berdaya.
Stres menurut Gibson dkk. (1996) dapat didefinisikan berdasarkan definisi
stimulus dan definisi tanggapan. Definisi stimulus stres adalah kekuatan atau
stimulus yang menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan
ketegangan. Dimana ketegangan tersebut dalam pengertian fisik mengalami
perubahan bentuk. Sedangkan definisi tanggapan stres adalah sebagai berikut, stres
adalah tanggapan fisiologis atau psikologis seseorang terhadap lingkungan penekan
(stressor) di mana penekan adalah kejadian ekstern atau situasi yang secara
potensial mengganggu.
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah
respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatanya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atah bila sepertinya datang
tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan
lingkungan dalam bentuknya yang ekstrim kecemasan dapat mengganggu fungsi
kita sehari-hari (Nevid, dkk. 2003).
A. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana kondisi
psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee).
B. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberi sumbangan teoritis
bagi disiplin psikologi klinis khususnya mengenai kondisi psikologis wanita di
daerah konflik.
2. Praktis
Hasil penelitian ini akan menggambarkan kondisi psikologis wanita Aceh
mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) dan diharapkan dapat
menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah
yang tepat dan melakukan rehabilitasi psikologis wanita-wanita Aceh yang
terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (Inong Balee).
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara
Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) merupakan penelitian baru karena di
Indonesia sendiri belum pernah secara langsung dan terbuka menerjunkan tentara
wanita (KOWAT/POLWAN) ke medan peperangan. Adapun penelitian yang sudah
pernah diteliti antara lain trauma akibat kerusuhan, bencana alam dan tsunami.
1. Topik Penelitian
Topik yang diangkat dalam penelitian ini adalah kondisi psikologis wanita
Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang pernah ditangkap dan
ditahan TNI/POLRI, sedangkan topik penelitian sebelumnya berfokus pada
perbandingan antara Veteran yang mengalami PTSD dengan luka dan tanpa
luka pada spinal cord yang dilakukan oleh Cynthia (1998). Penelitian yang
lainnya berfokus pada faktor resiko, stres daerah perang serta cara
penyembuhan kembali kegembiraan, yang dilakukan oleh King dan King
(1999).
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah wanita mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong
balee) yang pernah ditangkap TNI/POLRI. Tinggal di Aceh, sedangkan
penelitian sebelumnya adalah mantan tentara laki-laki (Departemen Veterans
Of Affairs Medical Center, Bronx). Penelitian lainnya yaitu laki-laki dan
perempuan mantan tentara nasional di Vietnam, serta veteran wanita yang
berkerja di Rumah sakit Vietnam.
3. Metode pengumpulan data
Penelitian menggunakan alat ukur skala CAPS (Clinician Administerred PTSD
Scale), dasar teori DSM-III-R, skala Blake dan skala Blanchard. Metode yang
digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah studi kuantitatif eksperimenter.
Dalam penelitian ini memakai metode kualitatif interview dan menggunakan
guide interview dan teori gangguan psikologis (Stress, Depresi, Kecemasan).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
studi kasus. Kekhasan dalam penelitian ini terletak pada penempatan tentara
wanita/ Inong balee dalam konflik yang berkepanjangan dan akan mengungkap
kondisi psikologis mereka. Untuk mengungkap hal tersebut diperlukan
wawancara secara terfokus.
D. Responden Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengambil responden yang relevan yaitu
wanita-wanita Aceh yang pernah bergabung dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka
dan menjadi tentara wanita gerakan tersebut. Mengenai target responden sendiri
adalah wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka yang pernah tertangkap
oleh TNI/ POLRI di daerah Aceh. Jumlah subyek sebanyak 5 orang.
E. Metode Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif bersifat terbuka dan luwes. Metode dan tipe
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan
masalah. Beberapa metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian kualitatif antara lain observasi wawancara, diskusi kelompok terfokus,
studi riwayat hidup dan lain sebagainya (Poerwandari, 2001). Untuk dapat
memperoleh gambaran tentang kondisi psikologis wanita Aceh mantan tentara
Gerakan Aceh Merdeka, maka diperlukan metode yang tepat agar bisa terbangun
rasa kepercayaan subyek terhadap peneliti sehingga dapat mengumpulkan data
yang mendalam dan valid. Berdasarkan pertimbangan situasi subyek dan
keberadaan kancah penelitian di daerah pasca konflik maka peneliti menggunakan
beberapa metode yaitu : (1) Wawancara mendalam/ in depth Interview, (2)
Dokumentasi.
F. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan
Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI ?.
G. Analisis Pengumpulan Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis tematik sebagai dasar
penelitian kualitatif. Boyatzis (Poerwandari, 20001) menyatakan bahwa pengunaan
analisis tematik ini memungkinkan peneliti menemukan pola pihak lain yang tidak
melihatnya secara jelas. Pola dan tema itu tampil seolah secara acak dalam
tumpukan informasi yang tersedia. Setelah kita menemukan pola (seeing), kita
akan melakukan klarifikasi atau mengkode pola tersebut seeing as dengan memberi
label, definisi atau deskripsi. Menurut Patton (Maleong, 1989), analisis data adalah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,
dan satuan uraian dasar.
Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2001) membagi langkah coding dalam
tiga bagian, yakni coding terbuka (open coding), koding aksial (axial coding). Dan
coding selektif (selective coding). Coding terbuka memungkinkan untuk
mengidentifikasi kategori-kategori, properti-properti, dan demensi-demensinya.
Tahap selanjutnya adalah koding aksial yang dapat mengorganisasikan data dengan
mengembangkan hubungan (koneksi) antar kategori, atau antar kategori dengan
kategori yang lain. Tahap terahir adalah koding selektif, peneliti menyeleksi
kategori yang paling mendasar dan secara sistematis menghubungkannya dengan
kategori yang lain serta menvalidasi hubungan tersebut.
II. INDIKATOR GANGGUAN KLINIS
Indikator gangguan klinis terhadap kondisi psikologis seseorang berdasarkan
DSM-IV (APA,1994) diantaranya :
a. Gangguan kecemasan
1. Gangguan panik tanpa agorapobia
2. Gangguan panik dengan agorapobia
1. Agorapobia tanpa riwayat gangguan panik
2. Pobia spesifik danPobia sosial
3. Gangguan obsesif kompulsif
4. Gangguan stres pasca traumatik
5. Gangguan stres akut dan Gangguan kecemasan umum
6. Gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum
7. Gangguan kecemasan dihubungkan dengan pengguanaan zat
8. Gangguan kecemasan yang tidak dapat ditentukan
b. Gangguan Mood (perasaan)
1. Gangguan depresi berat
2. Episode tunggal dan Rekuren
3. Gangguan distimik dan Gangguan depresif YTT
c. Gangguan tidur
Gangguan tidur parasomnias
1. Ganggaun mimpi buruk dan Gangguan teror tidur
2. Gangguan tidur berjalan dan Gangguan parasomnias YTT
3. Gangguan tidur yang dikaitkan dengan dengan gangguan mental yang
lain.
d. Gangguan penyesuaian
1. Gangguan penyesuaian dengan perasaan depresi
2. Dengan kecemasan dan Dengan campuran gangguan emosi dan tingkah
laku
3. Dengan campuran antara perasaan kecemasan dengan depresi dengan
gangguan tingkah laku
DSM-IV-TR, 2000 (Nolen, 2007) yang membagi karakteristik simtom
gejala pasca trauma dalam tiga kategori menurut karakteristiknya yaitu ;
1. Mengalami kembali peristiwa traumatik;
a. Ingatan distress terhadap peristiwa yang mengerikan
b. Mimpi distress mengenai peristiwa yang mengerikan
2. Emosi yang kaku dan pengaruhnya
Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa tersebut
a. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan
peristiwa tersebut
b. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa
tersebut. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dan Perasaan
terasing dari orang lain
c. Ketidakmampuan mempunyai perasaan cinta dan perasaannya terbatas
d. Perasaan bahwa masa depannya akan gelap atau putus asa.
3. Terlalu waspada secara kronis
a. Kesulitan tidurnSulit berkonsentrasi atau sering terbangun.
b. Waspada berlebihan dan Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut.
1. Kondisis yang dialami Inong balee
Akibat kekerasan dan terlibat dalam konflik secara terbuka muncul perasaan-
perasaan seperti waspada berlebihan di manapun berada termasuk di rumah
sendiri, perasaan curiga yang berlebihan pada orang yang baru dikenal atau
orang yang memiliki hubungan dengan kejadian traumatik, mengalami
gangguan tidur, sulit mengendalikan emosi kaget secara berlebihan ketika
melihat seragam loreng dan mendengar derap sepatu serta suara mobil yang
keras, reaksi emosi yang berlebihan, trauma terhadap simbol-simbol perang,
dan berusaha menghindar dari tempat yang didiami dan didatangi pelaku
kekerasan sehingga akan mengganggu kondisi psikologisnya. Walaupun
demikian Inong balee sampai saat ini kebanyakan masih berusaha untuk
menjalani kehidupannya dan mereka terlihat masih mampu melakukan interaksi
sosial dan bersikap hangat terhadap lingkungannya.
III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI
PSIKOLOGIS NEGATIF
Gangguan kecemasan yang menyakut dengan periswa traumatis yaitu
gangguan stres pasca trauma yang dapat menyebabkan meningkatnya faktor resiko
pada seseorang untuk mengembangkan gangguan psikologis diantaranya menurut
Robert & Thomas (2003) ada tiga faktor resiko seseorang menjadi korban
gangguan psikologis yaitu;
1. Faktor sosial
Adanya kealamian dari trauma dan pada tingkatan beberapa individu telah
mencerminkan trauma tersebut dan adanya dukungan sosial yang mengikuti
trauma, korban trauma sering dapat mengembangkan gangguan psikologis
ketika trauma lebih hebat, dan ancaman kehidupan dan besarnya kebutuhan
perlindungan. Contohnya korban pemerkosaan yang diduga akan lebih mudah
mengembangkan gangguan pasca trauma jika pemerkosaan itu lengkap atau
selesai (Galea dkk, 2002).
2. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan kecenderungan seseorang untuk mengembangkan
gangguan psikologis karena ada sifat bawaan dari keluarga dengan latar
belakang memiliki gangguan kecemasan.
3. Faktor psikologis
Faktor biologis merupakan hasil kombinasi teori operant conditioning dan
classical conditioning. Operant conditioning merupakan ketakutan terbesar
ketika teror menyatu dengan trauma, sebab diasosiasikan dengan peristiwa
trauma. Classical conditioning berada pada mempertahankan ketakutan.
IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI
PSIKOLOGIS POSITIF
Lingkungan sosial tertentu dapat menompang bagi kuatnya kesehatan
mental sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
lingkungan sosial juga dapat pula menjadi tressor yang dapat menggangu
kesehatan mental (Notosoedirdjo & Latipun, 1999).
Kaplan dkk (1994) mengatakan bahwa adanya mekanisme hubungan
interpesonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain dari efek stres yang
buruk. Pada umunya individu mempunyai sistem dukungan sosial yang kuat
kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan kemungkinan pemulihan
gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi. Sariana (2007) mengatakan
bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan yang dapat membantu
individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk dan dapat
membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh dari orang
lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan dicintai.
Aspek dukungan sosial merupakan sudut pandang individu terhadap suatu
peristiwa atau kejadian yang dapat memberi nilai yang positif atas apa yang
dihadapi oleh individu tersebut. Ada dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu
: received support (dukungan yang diterima) dan perceived support (dukungan
yang dirasakan). received support artinya prilaku membantu yang muncul secara
alamiah yang diberikan, sedangkan received support diartikan sebagai keyakinan
bahwa prilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan (Norris dan Barrera,
1996).
V. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Kondisi Subyek
Semua subyek dalam penelitian ini berjumlah 5 orang wanita Aceh mantan
tentara Gerakan Aceh Merdeka yang ditangkap dan ditahan oleh TNI/POLRI
selama darurat militer kedua. Adapun data kondisi lengkapnya sebagai berikut :
Tabel I. Deskripsi Kondisi Subyek
Subyek Umur Lama ditahan
Perlakuan yang didapat
Reaksi mereka
Kondisi sekarang
L
28
- Dipukul, ditampar, ditendang
ketakutan - optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
F
37
- Dipukul disetrum
- - optimis, berpikir positif - perasaan positif memiliki hubungan sosial yang baik
D
25
4 bulan
Dipukul, ditampar, ditendang dijambak, dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa
Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah
- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
C
37
4 bulan
Dipukul, ditampar, ditendang dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa
Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah
- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
N
28
- Dipukul, ditendang, ditampar, diancam
Ketakutan, - optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik
2. Hasil Penelitian
Hasil penelitian diperoleh dari hasil interview antara peneliti dan subyek
penelitian, adapun hasil penelitian dan pembahasannya sebagai berikut :
A. Gangguan negatif yang muncul diantaranya:
a. Gangguan kecemasan :
Secara umum besar Inong balee ini mengalami kembali peristiwa
traumatik dalam kehidupannya sehari-hari sebagai masyarakat biasa.
Hal ini dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara berikut :
1. Gejala Stres Ingatan
Semua subyek masih mengingat kejadian traumatis di masa lalu dan
ingatan ini muncul kembali tiba-tiba walaupun subyek telah berusaha
untuk melupakannya, ingatan yang sering muncul seperti: di saat
penggerebekan rumah, di tahan, dan di siksa. Mereka teringat saat
sadar maupun saat tidak sadar karena mental subyek merekam apa
yang dirasakan dan di alami ketika masa perang seperti penembakan
orang di depan mata dan suasana mencekam. Untuk itu subyek harus
melakukan usaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya dan
sudah masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Ingatan distress ini
muncul siang maupun malam ketika subyek berada sendiri, saat tidak
ada kegiatan, dan saat subyek mau tidur.
“Sampai sekarangpun saya masih mengingatnya, masa-masa lalu kita yang sudah-sudah, kita sudah pernah disiksa contohnya digerebek rumah, saya memang tidak bisa melupakan hal itu . . .” (L. 45-49). “Karena kita pernah diperlakukan seperti itu makanya kita teringat kembali, apakah seorang laki-laki bagaimana memperlakukan kita, apakah ada memperlakukan begini . . .” (L. 212-215).
“Teringat juga sekali-kali, walaupun sudah kita kubur terbayang juga sekali-kali, sebab pedih sekali” (F. 59-61) “Teringat” (D. 348). “Saat saya tidur . . .” (D. 358). “ . . . kalau saya tidak bisa tidur, saya duduk sendiri pikiran saya melayang kemana-mana . .” (D. 358-360). “Teringat, sebab saya pernah ditahan, disiksa dulu, yang sangat teringat dan paling berkesan disitu” (D. 417-419). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 589-560). “Nanti kalau sendiri terpikirkan teringat seperti itu, tidak mesti malam siangpun teringat seperti itu” (C. 49-51). “Waktu sepi-sepi” (N. 68). “Ingat sejarah-sejarah yang telah lalu, begitu teringatnya, kadang-kadang orang yang ditembak didepan, kita lari, kan teringat sekali seperti itu” (N. 72-74). “Ingat, kadang-kadang, dibakar apa saja nanti, apa entah dibakar sama anak-anak sudah mengingatkan kejadian di sana” (N. 68-70). Terbayang-bayang juga ketika melihat mereka (N. 88-89).
2. Mengalami perasaan itu dengan perasaannya seolah peristiwa
itu terjadi lagi
Empat subyek masih mengalami kembali kejadian traumatis dengan
perasaanya seolah-olah dia masih berada dalam kejadian tersebut
sehingga merasa peristiwa itu terjadi kembali, seperti; merasa
terbayang saat pemukulan, saat hendak bunuh diri dan saat mendapat
pelatihan. Hal ini muncul saat subyek melihat kembali tempat, orang
dan sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
“Saat teringat, ada” (F. 65). “Ketika tidak ada kerjaan, saat duduk sendiri” (F. 67). “Terbayang saat dipukul dulu, ada” (D. 371). “Itu kalau saya melewatinya sampai sekarang selalu kita berdua hampir mati disitu, kami berdua saat itu mau loncat kedalam sumur, tidak sangup menahannya lagi, tidak sangup berpikir lagi, kami mau melompat berdua, berdualah saat itu, kan ada pintu sudah lama sekali kami berdua disumur, sudah selesai saya renungkan, ayah pun sudah diculik sudah tidak ada artinya lagi hidup ini, setelah itu ditendang pintunya, saya mau
melompat tidak terpikir lagi tentang dosa, soalnya saya gimana ya, sudah trauma sekali, panas sekali rasanya saya, susah sekali, panas sekali saya begitulah saya dulu, sudah ditendang sampai saya tidak diizinkan lagi masuk ke kamar mandi dikawal. (D. 421-437). “Ketika saya lihat ke gunung, teringat masa-masa latihan sekarang kami seperti ini sudah merasakan pahit dan senang, sudah kami rasakan semua” (C. 53-56). “Ya, ya seolah-olah kami masih merasakannya” (C. 59-60). “Saya teringat . . ” (C. 89). “Tidak ada apa-apa, nanti kalau kita lewat kita melihat tempat itu kita menjadi sedih, teringat untuk diri sendiri seperti itu, kita mau melakukan apa tidak tau hendak melakukan apa, kita sendiri seperti ini, ya sudah begitu saja, kalau kita pikirkan terus malah jadi stress, saat diperlakukan kita begitu cukup stress” (C. 94- 101). “Teringat apa yang pernah kita alami, mengapa pasukan inong balee sekarang biasa saja, walaupun tidak ada kegiatan, teringat ketika aman seperti ini saat konflikpun begini, tidak ada perubahan” (L. 65-69). “Ya kita sebagai orang Aceh pasti ada rasa dendam, ada rasa sakit hati kepada mereka tapi kita sudah diberikan kedamaian seperti ini, jangan lagi kita, biasa saja, tapi timbul dalam pikiran kita dulu diperlakukan seperti ini, jangan pernah ada lagi sekarang” (L. 90-95) Namun subyek ini sudah tidak merasa lagi berada dalam kejadian tersebut;
“ Tidak terasa lagi”. (N. 79)
3. Stres psikologi dan fisik yang kuat ketika menginggat peristiwa
tersebut
Pada umunya saat mengingat kejadian traumatis subyek mengalami
distress psikologis dan fisik yang kuat seperti, badan lesu, lemas, sakit
badan, jantung berdebar, keluar keringat, menangis, panik, sedih, sakit
hati, pedih, kesal, marah, susah, benci dan dendam.
“Badan lesu seperti itu, ketika teringat buat mereka ya, saat teringat kontak senjata itu seperti panik begitu” (L. 72-74). “Terpikirkan, sedih, sedih sendiri dan orang, kita seorang pasukan inong balee diperlakukan seperti itu, tidak berarti, tidak berarti sama mereka, begitu” (L. 185-188).
“Sakit badan, ketakutan, lemas tapi marah, sakit hati, Panas rasanya hati ini” (F. 70-71). “air-air mata keluar” (F. 73). “Itu jantung berdebar-debar terus, kesal . . .” (F. 86). “ . . . kalau teringat hal itu saya merasa sangat pedih . . .” (D. 348-349). “Kalau terbayang, terbayang kesal marah ketika dipukul dulu ada” (D. 365-366). “Sakit, susah” (D. 374). “Keluar keringat, kesal marah seperti itu, kan banyak keluar keringatnya, sehabis kita hayal bukan hanya keringat air mata juga keluar” (D. 385-388). “Ketika pikiran saya berputar kekejadian itu bagaimana gak kesal sekali” (D. 399-400). “ . . . merasa lemas” (C. 60), “Ketakutan, tapi tidak terlalu takut” (C. 64), “ . . . seandainya kalau bisa gimana ya, gimana, sakit hati, sakit hati benci, kalau bisa kita bunuh seperti itu, sakit hati” (C. 89-92). “Ada sekali-kali, dalam tidur pernah juga menangis (C. 309-310). “Entah tidak tahu” (C. 312). “Itu menagis sendiri saya, sedih, tapi saya teringat saya pendam dalam hati begitu” (C. 319-319). “Merasa sedihlah, karena yang dulu-dulu itu sudah pernah kita alami, merasa sedih saya” (N. 98-99). “Tapi, merasa benci, benci, seandainya berjumpa dengan orang yang saya kenal, rasanya entah apa berbicara orang itu, masih ada dendam” (N. 103-105). “Kesal” (N. 107). Namun ada seorang subyek yang hanya mengalami distress psikologis saja tapi tidak mengalami distres fisik hal ini ditunjukkan oleh: “Biasa” (N. 84). “Tidak gementar, kecuali dulu, saat awal-awal kalau kita lihat mereka jangankan orangnya melihat bajunya aja takut”. (86-89).
4. Waspada berlebihan.
Pada kategori waspada berlebihan subyek merasa ada orang yang
selalu memata-matai sehingga takut diberitahu keberadaannya.
Ciri/indikatornya yaitu : merasa curiga dan terancam, kehilangan
kepercayaan dan bersikap terlalu hati-hati, tidak asal-asalan
melangkah atau mengambil keputusan, tidak berani seperti dulu, dan
selau merasa takut.
“Kecuali cuak (mata-mata/informan) itu akan diberitahukan tentang kita. Ada satu-satu yang jahat pasti kita akan diberitahukan keberadaan kita” (L. 132-135). “Reaksi, kita lihat bagaimana akalnya, maksudnya ini bagaimana apakah dia melakukan hal baik atau tidak baik harus kita selidiki dulu, kita harus pintar mengapa?, karena begini-begini kta langsung percaya kan tidak baik, istilahnya masuk kedalam duri”(L. 2001-2006). “Dalam pikiran kita ada, ada merasa terancam”(L. 210). “Karena diberitahukan oleh orang lain, istilahnya cuak (mata-mata)” (222-223). “Itu saya hati-hati sekali, yang seperti itu saya tidak sembarangan kalau tidak kenal, takut jadi seperti dulu” (F.160-163). “Ada, itu memang ada, ada mata-mata” (F. 166). “Tidak pernah, kalau pergi selalu bersama dengan keluarga” (F.169-170), “Tidak berani saya berpergian sendiri tidak sama seperti dulu” (F. 172-173). “Ternyata ada orang yang memberitahukan lagi, hai ada mata-matakan” (D. 293-294). “Dulu kan banyak sekali mata-mata “ (D. 296). “Takut, kalau ada yang mengajak sesuatu yang tidak jelas saya tidak mau lagi, tidak mau asal-asalan melangkah” (D. 379-381). “Tidak terancam tapi saya hati-hati juga, saya sudah banyak pengalaman” (D. 634-635), “Karena pengalaman tadi” (D. 637). “Ada, itu pasti ada, bagaimana engak, kalau engak mana mungkin ketahuan kami sudah pulang kerumah, pasti ada yang melaporkan, ada mata-mata” (D. 640-643). Tidak pernah, selalu ada ditemani seperti beli baju ada teman juga (D. 647-648). “Ada, ada orang kampung, orang kampung memang sudah tahu kepulangan saya” (C. 344-345). “Sudah diketahui kepulangan saya, saya tidak ada rencana tinggal dikampung, tapi tidak sempat berangkat lagi” (C. 348-350). “Tidak pernah, saya tidak seberani dulu” (C. 353). “Tentu ada, karena diberitahu oleh Syarwan, saya tahu itu tapi untuk apa saya ingat lagi” (N. 247-248). “Tidak pernah, kalau berpergian sama suami atau keluarga” (N. 250-252). “Mungkin juga takut, tapi karena jauh juga” (N. 254).
5. Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut.
Sejak ditangkap semua subyek selalu dibentak-bentak dan dianiaya
sehingga menimbulkan stress. sehinggai reaksi subyek menjadi
berlebihan ketika kaget/terkejut. Hal ini dapat dilihat pada indikator;
ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat berbuat apapun,
kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris.
“Ada, ketika masa konflik memang saya sudah jantungan tapi sekarang saya sudah berobat, sudah sembuh” (L. 243-245). “Karena kita sering dibentak oleh mereka, kita sering apa, sering dianiaya oleh mereka makanya pikiran kita cepat stress jadilah kita jantungan” (L. 247-249). “Biasa saja karena saat kaget kita merasa sedih, saat seperti itu merasa gelisah jadi kita duduk-duduk aja agar tidak merasa gelisah, bekerja memang tidak sanggub lagi, karena kita sudah gelisah, ketakutan, begitu” (L. 252-256). “Ya, memang mudah sekali saya kaget, kalau dengar suara ledakan saya kaget, suara mobil yang keras, suara orang yang keras saya kaget juga” (F. 176-179). “Saya ketakutan, hati berdebar, lemas, terus tidak bisa berbuat apa-apa selama beberapa menit, lalu kesal, sakit hati, entah apa ganguin orang” (F. 182-185). “Cepat sekali saya kaget, kalau saya mendengar meriam bambu anak-anak, suara mobil yang keras, kalau ada orang yang ribut-ribut, itu memang cepat sekali saya kaget.” (D. 652-656), “Tidak ada, saya lemas, jantung saya berdebar, takut” (D. 659-660). “Cepat sekali, sedikit-sedikit orang kagetin langsung kaget, kalau saya masuk kerumah ada orang sembunyi dibelakang pintu itu saya histeris terduduk, kaget sekali, ketakutan sekali (C. 358-361). “Biasanya kalau sedang begitu ada orang yang kagetin tidak bisa berbuat apa-apa, saya terduduk tidak berbuat apapun, “mengapa kagetin saya” saya katakan begitu, “Mengapa kageti saya seperti itu, saya kasih tahu kalau saya kaget sekali saya bisa jantungan”, saya katakan” (C. 369-375).
“Ya, biasa kalau saya dengar sesuatu seperti suara sepatu banyak-banyak, suara letusan seperti meriam bambu, dan kalau dikagetin kaget juga” (N. 257-259). “Tidak ada, saya ketakutan, jangtung saya berdebar, lemas, gak bisa buat apapun” (N. 261-262).
b. Gangguan mood (perasaan)
Sejak adanya penangkapan itu, pada umumnya subyek mudah terganggu
dan sering marah tanpa alasan. Perubahan emosi yang tidak menentu oleh
subyek dapat dilihat dari indikator cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit
hati, panas hati, judes, marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan
cepat emosi, mudah sedih, mudah menangis.
“Selama ini ada, kenapa?, karena kita sudah pernah disiksa-siksa begitu jadi pikiran kita sekarang cepat panik ya, kata orang cepat kesal, cepat marah, cepat tersinggung” (L. 179-182). “memang kita cepat marah, cepat kesal, judes tetapi tetap kita beritahukan teman dulu” (L. 196-198). “Ada, setelah ditangkap itu memang cepat sekali marah, apalagi kalau saya melihat mereka langsung sakit hati, kesal, cepat marah, memang tidak sama lagi dengan yang dulu, tapi kalau tertawa sendiri tidak ada” (F. 145-149). “ . . . cepat kali marah kalau ada masalah, tidak bisa saya kendalikan emosi tidak sama lagi . . .” (F. 154-155).
“Kesal, marah, kesal, kesal, kesal sendiri. Kadang-kadang saya emosi sendiri tidak jelas apa masalahnya, trus saya berdoa dengan ibu saya, trus emosi sedih sendiri, kadang sedih . . . sedih begitu, saya kalau untuk orang sayang sekali, kalau saya marah emosi, emosi terus jadi kesal-kesal hati ini” (D. 482-489). “Itu memang saya cepat sekali marah, setelah kejadian itu, sedikit-sedikit emosi kalau ada masalah cepat sekali marah, cepat panas hati, tapi kadang-kadang sewaktu-waktu mudah juga menangis, mudah iba hati apalagi kalau ingat kejadian dulu” (D. 611-617). “Kalau tertawa sendiri tanpa sebab ya engak pernahlah, kalau marah cepat sekali, cepat kesal, tapi saya juga cepat baikkan lagi” (N. 236-238). Namun ada satu subyek yang masih bisa mengendalikan emosinya dengan baik yaitu: “Kalau marah agak susah, tidak sering begitu, walaupun ada yang menyampaikan ada orang yang mengatakan tidak baik untuk kamu, kalau saya masih sanggup sabar saya tidak marah malah dengan orang yang mengatakan hal itu saya tersenyum, orang itu pasti punya perasaan sendiri, kalau tidak alhamdulillah, tidak marah walaupun dibicarakan orang lain” (C. 220-227).
c. Gangguan penyesuaian
1. Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa
tesebut.
Pada umunya subyek berusaha menghindari pikiran, perasaan, atau
pembicaraan tentang peristiwa tersebut dengan cara, berusaha
mengubur dan melupakan kejadian tersebut dengan melakukan ibadah
sholat, melakukan aktifitas lain seperti menonton televisi, mendengar
musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa keberatan apabila
disinggung tentang peristiwa tersebut. Hal dimaksutkan agar tidak
membuat diri subyek gelisah dan stress.
“Saya biasa saja, jualan-jualan agar tidak tidak teringat yang begitu lagi nati mebuat stress, itu kegiatan sehari-hari yang saya lakukan” (L. 79-81). “ . . tapi tidak saya ingat lagi, itu sudah kukubur semua” (F. 55-56). “Tidak saya lakukan apa-apa, kadang-kadang saya duduk dibalai-balai berbicara dengan orang lain agar tidak teringat lagi” (F. 76-78). “Saya katakan itu sudah tidak perlu diingat lagi“ (F. 82). “Itu bukan saya tidak mau menceritakan, sudah saya lupakan” (F. 94-95). “ . . . saya sudah berjanji pada diri sendiri kejadian yang dulu sudah saya kubur semua, sekarang saya memulai kehidupan yang baru, tidak sanggup hidup seperti dulu lagi, itu sudah saya kubur . . .” (D. 349-359). “Ya kumpul-kumpul sama teman-teman, ngobrol-ngobrol, sholat begitu tiap hari” (D. 403-404). “Itu, itu sudah membuka dan kembali lagi ke kejadian dulu, anda menanyankan, kalau bisa tidak usah ditanyak-tanyak lagi ya!, sudah saya tutup rapat” (D. 409-412). “Biasanya saya hidupkan musik, agar rileks he . . he, nonton lagu” (C. 70-71). Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan mengenai peristiwa tersebut:
“Saya biasa saja karena sudah pernah mengalaminya, biasa aja, cuek aja memang selalu ada jangan mebuat diri sendiri gelisah lagi” (L. 84-86). “Tidak apa-apa, akan saya jawab dengan benar, apa yang saya alami saya ceritakan semua” (C. 78-80). “
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan
peristiwa tersebut
Hanya satu orang subyek berusaha menghindari kegiatan, tempat atau
orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut seperti adanya usaha
untuk menghindar dan tidak mau melihat tempat dan orang
berhubungan dengan tempat kejadian. Hal ini supaya tidak
mengingatkan kembali peristiwa dan rasa benci dan dendam.
“ . . . kalau bisa gak usah saya lihat” (F. 86-87). “Begitu juga, kalau bisa saya hindari, saya hindari” (F. 89-90).
3. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari
Subyek merasa kehilangan semangat beraktivitas karena cepat capek.
Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dapat dilihat dengan
indikator seperti : cepat capek, tidak sanggup berkerja berat dan
penurunan semangat pada subyek sangat drastis akibat peristiwa
tersebut.
“Kalau cepat capek sampai sekarang masih, tidak sanggup untuk kerja berat lagi, kalaupun pergi kehutan, kesawah cuman jalan-jalan aja agar senang padahal tidak sanggup untuk kerja berat lagi” (F. 104-108). “Ada, kalau saya pikirkan tidak sanggup bekerja lagi . . .” (D. 481-482). “Saya cepat capek, cepat sekali saya capek sekarang” (C. 228-229). “Kalaupun saya kerja tidak begitu lagi, kalau dulu saya tumbuk tepung lancar sekali, kalau sekarang
cepat sekali capeknya, apapun yang saya lakukan cepat capek, entah sudah jatuh sekali semangat saya, saya tidak tahu” (C. 231-235). “Tidak sama lagi seperti dulu, dulu mau ngapain aja enak begitu” (C. 240-241).
“Ada, setelah itu saya memang tidak sanggup kerja berat lagi, cepat capek . . .” (N. 206-207).
4. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam
peristiwa tersebut.
Dua orang subyek yang mengalami kesulitan mengingat aspek penting
yang terjadi dalam peristiwa tersebut, seperti adanya gejala lupa hari
dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses
kejadian tersebut. Ada juga berusaha dengan sengaja melupakan
kejadian agar dapat menjalani masa depan.
“Datangnya subuh digrebek rumah, ditendang pitu, terus ditanya sama ibu, setelah itu ditangkap, walaupun kita merasa bersalah tapi kita biasa saja, walaupun kita sudah disiksa kita biasa saja, kita tetap pemberani, saya lainya lupa” (L. 102-106). “Itu sudah saya lupakan, yang saya ingat sedikit, bisa saya ceritakan” (F. 40-41) . “Sudah lupa, gak usah ditanya lagi” (F. 51).
d. Gangguan tidur
1. Kesulitan merasa dan mempertahankan tidurnya
Akibat peristiwa tersebut empat subyek kesulitan merasa dan
mempertahankan tidurnya karena sering terbangun dengan indikator,
sering merasa susah, tidak tenang, gelisah, dan sering kaget saat
terutama saat subyek sedang tidur.
“Ada yang nyenyak ada juga yang susah tidurnya, gelisah kalau ingat kejadian dulu, lebih banyak yang susah tidurnya” (F. 139-141).
“Saat saya tidur, kalau saya tidak bisa tidur” (D. 358-359). “Kadang - kadang tidurnya nyeyak, kadang- kadang susah” (D. 585-587). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 587-590) “Ada, kaget sediri seperti itu, tidak sadar kaget begitulah” (C. 294-295) “Nyenyak, kadang gelisah juga kalau lagi banyak pikiran” (N. 230-231). Namun ada seorang subyek yang tidak mengalami hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai alhamdulillah saya ucapkan, begitu”. (L. 174-181). “Tidak, tidak” (L. 184).
2. Mimpi buruk mengenai peristiwa yang mengerikan
Pada umumnya kejadian traumatis yang pernah dialami subyek
tersimpan di alam bawah sadar dan muncul kembali saat subyek tidur
sehingga menjadi mimpi yang sangat mengerikan serta disertai dengan
gejala distres fisik dan psikologis.
“Ada tapi sekali-kali” (F. 136).
“Adalah sekali-kali apalagi kalau kurang darah, ada bermimpi” (D. 579-580). “Kadang- kadang tidak ada, sekali-kali waktu ada tidak mesti selalu” (D. 582-583). “Ada juga sekali-kali” (C. 292).
“Ada, tapi tidak sering, sekali-kali” (N. 228). Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai Alhamdulillah saya ucapkan, begitu” (L. 172). “ Tidak-tidak” (L. 176)
2. Aspek psikologis positif yang muncul diantaranya :
Namun ada beberapa aspek gangguan psikologis yang seharusnya muncul
namun tidak muncul pada semua subyek ini adalah :
a. Mampu melakukan hubungan sosial dengan baik
Semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya ikatan
hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan
sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut :
“Biasa, baik, baik” (L. 124). “Biasa juga, baik juga tidak sakit hati, tidak ada rasa dendam karena kita orang baik, bagimana ya, kita hidup sampai hari ini karena tidak pernah selisih paham dengan orang lain, dengan pemuda, dengan orang tua, dengan petua-petua” (L. 136-171). “Baik, kita harus baik dengan masyarakat walaupun sudah dianggap salah oleh kafir-jawa itu tapi kita harus baik agar mau membantu kita, ketika masa konflik sudah dianiaya kita, kalau kita baik . . .” (L. 135-139). “Sekarang, untuk sementara baik, tidak tahu hatinya” (L. 145-146). “Saya selalu baik dengan mereka semua”. (F. 111). “: Senang, saya suka berkumpul-kumpul seperti itu”. (F. 114-115). “Menurut saya selama ini baik-baik aja, tapi saya tidak tahu semuanya kan” (F. 118-119). “Baik, saya tidak pernah, tidak pernah ada masalah dengan tetangga” (D. 485-486). ‘Saya suka, saya senang tenang rasanya hati saya, ada teman untuk diajak bicara”. (D. 491-492). “Tidak mesti, sebab saya dengan masyarakat tidak pernah bermasalah, saya sendiri, saya tidak pernah main kerumah tetangga, selama ini saya jualan nasi jadi gak sempat berkumpul saya sibuk sendiri kalau siang saya tidak pernah ada dikampung, makanya saya tidak pernah punya masalah dengan orang lain, pagi saya pergi malam baru saya pulang, kadang jam 9, jam 10, paling cepat jam ½ 9 jadi gak sempat duduk dengan orang lain, kalau sama pemuda saya berteman semua tidak pernah sakit hati” (D. 501-513). “Saya selalu baik sekali, walaupun begini dengan masyarakat lebih baik dari pada yang sudah-sudah, siapa saja lebih dari yang dulu begitu” (C. 252-255). “Baik, baik sekali orang kampung terhadap saya, ya untuk sementara saya tahu, lebih dari itu saya tidak bisa melihatnya, kalau untuk sekarang baik sekali, saya pu tidak begitu mempermasalahkan tentang orang lain, lalai sendiri, sibuk sendiri, sibuk melakukan pekerjaan sendiri” (C. 254-264). “Saya senang banyak orang” (N. 221)
b. Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya
Subyek juga mampu mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang
terdekat dan lingkungannya dengan bebas serta subyek mampu
merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman dan masyarakat
sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari :
“Yang saya ketahui pasukan-pasukan inong balee masih sayang kepada saya, masih cinta kepada saya tapi yang tidak saya ketahui tidak saya beritahukan, saya pasukan inongg balee tapi teman saya, orang yang dekat dengan saya masih sayang kepada saya”. (L. 149-154) Sayang, walaupun ada yang dipenjara saya menyayanginya juga, ada saya jeguk-jeguk walaupu saya tahu mulut harimau tapi kita masuk juga tapi kita pergi dengan akal”. (L. 157-160)
“Sayang sekali, begitu juga saya terhadap mereka saya juga” (F. 122-123). “Sayang” (D. 516). “Sayang, kalau sama orang lain saya sayang sekali, buat keluarga lebih lagi, kalau saya melihat keluarga yang kekurangan, saya sayang sekali, tidak menertawakan, saya tidak saya sama orang-orang kaya, orang miskin saya mengerti sebab saya orang miskin juga” (D. 519-525) “Sayang sekali” (C. 267). “Masih sayang, masyarakat juga, ya satu kali orang baik sepuluh kali saya akan baik terhadap mereka, ya tidak pernah ada selisih sama saya, masyarkat pun tidak pernah marah-marah” (C. 270-274). “Baik-baik saja, tidak pernah ada perselisihan” (N. 218). “Menurut saya selama ini baik, saya tidak pernah mendengar yang tidak enak tentang saya, kalau keluarga memang sayang sekali” (N. 225-227).
c. Optimis dan berpikir positif
Mereka juga memiliki harapan dan terus berusaha untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik serta yakin masa depannya akan menjadi lebih
baik. Hal ini ditunjukkan oleh :
“Tidak, dalam suatu pejuangan kita kan tidak dibolehkan mundur, tapi kita juga dilarang berputus asa oleh Allah”. (L.
175-177). Masa depan saya karena saya seorang perempuan, saya ingin masa depan sudah damai, saya pasukan inong balee ya, bagimana orang ini mengurus agar kami maju, diajarin kami, kemana yang ditunjukkan oleh atasan kami kesitu kami pergi tapi atasan menunjukkan satu jalan kesini kami ikut, begitu (L. 163-170). “Baik, kita berdoa semoga tetap baik, jangan ada lagi seperti dulu, sayapun sudah berkeluarga Insya Allah akan baik. (F. 127-128). “Kalau saya sendiri tidak pernah lagi yang seperti itu, apalagi saya sekarang sudah berkeluarga lagi” (F. 130-132) “Saya berdoa untuk kedepan agar saya senang, jangan sempat saya rasakan lagi apa yang pernah saya alami, rasanya saya tidak mau terulang lagi, cukup sudah yang saya rasakan” (D. 531-535). “Ya saya sendiri ingin agar cerah, ada masa depan, bagaima caranya saya berusaha agar ada masa depan yang baik, saya berusaha untuk masa depan, saya raih kerja saya walaupun capek sekali” (C. 270-274) “Dulu pernah ada, saya tidak itu lagi hilang semangat, tapi sekarang sudah tidak lagi, sudah sepeti semula” (C. 285-287). “Untuk kedepan akan baik apalagi sudah punya anak, sekarangkan sudah lebih baik, ya kita berdoa akan baik-baik aja selalu”. (N. 230-232).
3. Aspek, Kategori dan Indikator gangguan
Tabel 3. Aspek, Kategori, Sub Kategori dan Indikator
Tema Kategori Sub kategori Indikator
Ganguan kcemasan
Stres .
- Stress ingatan - Teringat kejadian traumatis
- Terbayang kejadian traumatis
- Melihat tempat kejadian
- Waktu sepi-sepi mengingat kembali kejadian traumatis
- Melihat ada yang terbakar
- Psikologis - Panik, sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, dendam dan ingin membalas, hanya memendam dihati, ketakutan
- Fisik - Badan lesu, sakit
badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata
- Waspada
berlebihan - Curiga dan
terancam - Kehilangan
kepercayaan dan bersikap hati-hati
- Tidak asal-asalan melangkah atau mengambil keputusan
- Tidak berani, takut
Selalu waspada dan kecurigaan yang tinggi
Reaksi berlebihan ketika kaget/ terkejut
- Ketakutan - Jantung berdebar - Lemas - Kesal - Sakit hati - Sedih - Gelisah - Histeris
Gangguan mood (perasaan)
depresif
Mudah terganggu dan sering marah tanpa alasan
- Cepat kesal tersinggung, panik, sakit hati, panas hati
- Judes, marah tanpa alasan
- Tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi
- Mudah sedih, mudah menangis
Perasaan bersalah - Menyesali - Teringat
selalu/terbebani - Selalu terbayang
Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa yang mengerikan
- Melakukan aktifitas dan menonton televisi
- Mencari teman untuk berbicara
- Sholat - Mendengar musik - Tidak mau
membuat diri gelisah dan stres
- Tidak mau ditanyai tentang peristiwa tersebut
- Berusaha mengubur dan melupakan kejadian tersebut
Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut
- Tidak mau melihat tempat yang berhubungan dengan kejadian traumatis
- Menghindari orang yang berhubungan dengan kejadian traumatis
Gangguan dengan campuran emosi dan tingkah laku
Mengalami kesulitan mengingat
- Lupa bagaimana proses terjadinya peristiwa traumatis
- Hanya ingat sedikit proses kejadian traumatis
Gangguan penyesuaian
Turunnya aktivitas (semangat)
- Cepat capek - Tidak sanggup
berkerja berat lagi - Semangatnya tidak
sama seperti dulu
- Sulit merasa dan mepertahankan tidurnya
- Merasa susah tidur - Tidak tenang/
gelisah - Sering kaget tanpa
alasan
Gangguan tidur
parasomnias
- Mimpi buruk - Bermimpi buruk - Menangis dalam
mimpi
4. Aspek indikator Psikologis positif
Tabel 4. Aspek, Kategori dan Indikator
Aspek Kategori Indikator Hubungan sosial
Interaksi dan dukungan sosial dari lingkunganya
- Senang ketika berkumpul
- Senag diajak berbicara
- Tidak penah berselisih paham
- Merasa diperlakukan dengan baik
Perasaan Positif
Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya
- Merasa disayangi - Merasa dicintai - Bisa menyayagi - Mampu mencintai
Persepsi terhadap masa depan
Optimis dan berpikir positif - Tidak pernah berputus asa
- Yakin masa depan akan cerah
- Terus berusaha
VI. PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian
dengan wawancara mendalam yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari subyek dan perilaku yang dapat diamati saat wawancara
berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengetahui kondisi
psikologis wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong bale)
setelah dilakukan penahahan TNI/POLRI..
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti diperoleh
data bahwa subyek pernah mengalami kejadian traumatik namun setelah subyek
bebas dan tinggal bersama keluarga, subyek kembali survive serta gangguan
psikologisnya mulai menurun. Psikologis positif yang muncul pada diri subyek
diantaranya; semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya
ikatan hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan
sekitarnya (ww. L. 124, 136-137, 135-139, 145-146. F. 111, 114-115, 118-119. D.
485-486, 491-492, 501-513. C. 252-255, 254-264, N. 221), subyek juga mampu
mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang terdekat dan lingkungannya
dengan bebas serta mampu merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman
dan masyarakat sekitarnya (ww. L. 149-154, 157-160, F. 122-123. D. 516, 519-
525. C. 267, 270-274. N. 218, 225-227), serta memiliki harapan dan terus berusaha
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik serta yakin masa depanya akan menjadi
lebih baik (ww. L. 163-170, 175-177, F. 127-128, 130-132. D. 531-535. C. 270-
274, 285-287. N. 230-232). Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa gangguan
yang dialami subyek sudah mulai menurun. Menurut Kaplan dkk (1994) adanya
mekanisme hubungan interpersonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain
dari efek stres yang buruk, pada umunya individu mempunyai sistem dukungan
sosial yang kuat kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan
kemungkinan pemulihan gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi.
Menurunnya gangguan yang dialami subyek, disebabkan karena mendapat
dukungan sosial yang baik dari keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggal
subyek. Hadirnya dukungan sosial dari keluarga, teman atau anggota masyarakat
lainnya yang akrab dan bersahabat yang diperlukan subyek terutama pada waktu
mengalami penderitaan yaitu ketika terjadi peristiwa yang tragis dan menghayati
perasaan tidak bermakna, efek dari dukungan sosial ini membawa pengaruh yang
positif bagi subyek sehingga subyek bisa mengekspresikan perasaan cintanya
kepada orang lain, membangkitkan perasaan optimis terhadap masa depan dan
mempunyai penilaian yang baik serta gambaran diri yang positif (self image).
Sariana (2007) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan
yang dapat membantu individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk
dan dapat membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh
dari orang lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan
yang ada di sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan
dicintai.
Namun ada aspek gangguan psikologis lain yang masih dialami oleh subyek
diantaranya: Gangguan kecemasan masih dialami oleh semua subyek yaitu; stres
ingatan terhadap peristiwa yang mengerikan dapat dilihat dari ingatan yang muncul
pada saat subyek sedang sendiri tanpa kegiatan, dan ketika melihat tempat kejadian
karena kejadian tersebut telah masuk dan tersimpan ke dalam alam bawah sadar
subyek sehingga sewaktu-waktu ingatan tersebut muncul kembali. Oleh karena itu
subyek masih merasa berada dalam kejadian konflik sehingga tidak bisa
membedakan perubahan situasi damai dan saat konflik (ww. F. 59-61. D. 358-360,
589-560. C. 49-51. L. 45-49, 212-215. N. 68-70, 72-74, 88-89). Selain itu subyek
juga mengalami gejala stres psikologis dan fisik yang kuat, seperti: perasaan panik,
sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, ketakutan, dendam
dan ingin membalas perlakuan tersebut, dan gejala fisik seperti badan lesu, sakit
badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata. (ww. L 72-74, 186-
188. F. 70-71, 73, 86. D 348-349, 365-366, 374, 385, 388, 399-400. C. 60, 64, 89-
92, 309-310, 312, 318-319). N. 98-99, 103-105, 107). Namun khusus pada subyek
N hanya mengalami stress psikologis tapi tidak mengalami lagi stress fisik (N. 84,
86-89). Kemudian subyek juga mengembangkan sikap waspada dan kecurigaan
yang tinggi seperti; merasa terancam, kehilangan kepercayaan dan bersikap terlalu
hati-hati, tidak asal-asalan melangkah atau mengambil keputusan, menurunnya
keberanian dan sering ketakutan. Ketika kaget subyek juga memperlihatkan reaksi
yang belebihan dan disertai ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat
berbuat apapun, kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris. (ww. L. 132-135, 210,
222-223. F. 160-163, 166, 169-170, 172-173. D. 293-294, 296, 379-381, 634-635,
640-643, 647-648. C. 344-345, 348-350, 353. N. 247-248, 250-252, 254). Hal ini
sesuai dengan indikasi gangguan klinis dalam DSM-IV (1994) gangguan
kecemasan 300. 02 yaitu gangguan kecemasan umum. Reaksi-reaksi seperti
kaget/terkejut muncul karena sejak ditangkap selalu dibentak-bentak. Untuk
mengatasi beberapa indikasi seperti waspada berlebihan subyek apabila bepergian
atau keluar dari rumah selalu bersama keluarga/suami sehingga perasaan waspada
tersebut dapat berkurang.
Gangguan mood (perasaan) yang muncul pada subyek hampir sama antara
satu dengan yang lain ditunjukkan dengan gejala mudah terganggu dan sering
marah tanpa alasan yang dialami dengan perubahan emosi yang tidak menentu oleh
subyek seperti; cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit hati, panas hati, judes,
marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi, mudah sedih,
mudah menangis (ww. L. 179-182, 196-198. F. 145-149, 154-155. D. 482-489,
611-617. N. 236-238. Hal ini sesuai dalam DSM-IV (1994) gangguan mood
(perasaan) dengan kategori gangguan depresif. Namun ada seorang subyek yang
tidak mengalami gangguan itu lagi karena dia masih mampu mengendalikan
perasaan dengan baik, sabar dan tidak marah/tersenyum (ww. C. 220-227).
Subyek mengalami gangguan tidur dengan gejala; kesulitan dalam merasa
dan mempertahankan tidurnya atau sering terbangun, merasa gelisah dan kaget
tanpa alasan, sering bermimpi buruk serta menangis dalam mimpinya hal ini sesuai
dengan indikasi dalam DSM-IV (1994) gangguan tidur parasomnias dengan
diagnogsis 307.47, gangguan mimpi buruk. Aspek ini dapat dilihat dari (ww. F
136. D 579-580. C. 292). Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi gangguan
tidur karena subyek berusaha melupakan, dan subyek dapat melihat sisi positifnya
yaitu situasi Aceh sekarang sudah damai (L. 172, 176).
Selain itu subyek juga mengalami gangguan penyesuaian yang ditunjukkan
oleh gejala menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa
yang dialami oleh inong balee tersebut seperti: berusaha mengubur dan melupakan
kejadian tersebut dengan cara melakukan ibadah sholat, melakukan aktivitas dan
menonton televisi, mendengar musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa
keberatan ditanyai tentang peristiwa tersebut agar tidak membuat diri gelisah dan
stres (ww. L. 79-81. F. 55-56, 76-78, 82, 94-95. D. 348-359, 403-404, 409-412. C.
70-71, 78-80). Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan
mengenai peristiwa tersebut karena merasa sudah pernah mengalaminya, cuek saja
supaya jangan membuat diri sendiri gelisah lagi (ww. L. 84-86).
Pada gangguan penyesuaian tingkah laku ditunjukkan oleh adanya usaha
dari subyek untuk menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan
peristiwa tersebut hanya dialami oleh satu subyek saja (ww. F. 86-87,89-90). Hal
ini ditunjukkan dengan adanya usaha untuk menghindar dan tidak mau melihat
tempat dan orang berhubungan dengan tempat kejadian, dan gejala mengalami
kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa tersebut seperti: lupa hari
dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses kejadian
tersebut. hal ini sengaja dilakukan agar subyek bisa menjalani hidupnya dan
menatap masa depanya. Subyek yang mengalami gangguan diatas sebanyak 2
orang yaitu : (ww. L. 102-106 dan F. 40-41, 51). Semua subyek juga mengalami
gejala menurunnya aktivitas kegiatan sehari-hari dapat ditunjukkan dengan cepat
capek, tidak sanggup berkerja berat lagi dan penurunan semangat pada subyek
tersebut serta mengalami kesulitan berkonsentrasi sehingga subyek sering
terbengong-bengong, tidak mampu menyelesaikan suatu tugas atau masalah
sendiri.
Didalam hasil wawancara, tidak semua subyek mengalami kategori
gangguan, ada beberapa subyek yang sama sekali sudah tidak mengalami lagi dan
ada subyek yang hanya mengalami satu kategori saja. Hal ini disebabkan subyek
mengalami kemampuan diri yang baik dan adanya dukungan sosial yang diperoleh
sehingga membuat subyek lebih survive serta mampu menurunkan intesintas
gangguan yang mereka alami meskipun belum memperoleh terapi dan konseling
dari para ahli.
Pada dasarnya dalam penelitian ini masih terdapat banyak kelemahan dan
kekurangan, karena peneliti dalam penggalian data-data tidak melakukan
wawancara lebih lanjut terhadap keluarga maupun masyarakat untuk mengetahui
pengaruh dukungan yang diberikan terhadap perkembangan kondisi psikologis
Inong balee ini. Kekurangan yang lain dapat dilihat pada data dan tempat peristiwa
itu berlangsung tidak dapat dimunculkan dokumentasinya karena situasi yang tidak
memungkinkan. Selain itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
terhadap subyek masih kurang tepat (dalam hal ini terlalu mengarahkan) sehingga
dapat dianggap kurang netral.
VII. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita Aceh mantan tentara
Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) mengalami gangguan psikologis setelah
penahanan TNI/POLRI. Namun hal ini sudah mulai menurun dan dalam proses
penyembuhan karena adanya pengaruh dukungan sosial yang baik dari
lingkungannya, sehingga menumbuhkan aspek psikologis positif pada subyek dan
subyek menjadi survive kembali.
B. Saran
1. Bagi pemerintah dan para ahli (Psikolog) : Diharapkan agar dapat memberi
bantuan konseling dan terapi kepada wanita-wanita Aceh yang terlibat dalam
Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang mengalami gangguan psikologis.
2. Bagi subyek dan keluarga : diharapkan menghubungi pihak-pihak terkait untuk
berusaha mendapatkan bantuan konseling dan psikoterapi agar dapat segera
mengatasi gangguan psikologis yang masih muncul, juga terus meningkatkan
dukungan sosial dan emosional kepada korban.
3. Untuk peneliti berikutnya : Dapat melakukan penelitian pada Inong balee
secara keseluruhan agar dapat mengetahui gangguan psikologis yang lain
dengan menggunakan guide interview yang lebih netral. Penelitian ini juga
dapat difokuskan pada responden yang berbeda di antaranya; korban konflik
dari pihak sipil, korban konflik dari eks GAM, pada keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Burns, D.D. 1998. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi.
Jakarta. Erlangga. Gibson, J.L, Ivancevich, J.M., dan Donnelly, J.H. 1996. Organisasi Perilaku
Struktur Proses, Edisi kelima. Jakarta: Binarupa Aksara Kaplan dan Sadock. 1994. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta.
Binarupa Aksara. Kontras. 2003. Darurat Militer Di Aceh. No. 7/VII.
W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No. 1, 164-170
Radnitz Cythia L., Louis Hsu., Dennis D. Tirch., Jeffrey Willard., Lynn B. Lillian.,
Stacey Walczac., Joanne Festa., Lysandra Perez-Strumolo., Charles P. Broderick, Martin Bink., Ilana Schlein., Neil Bockian., Leon Green & Arthur Cytryn. 1998. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 107. No. 4, 679-680.
Maleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Roesdakarya. Nevid Jeffrey. S., Spencer A. Rathus., Beverly. G. 1997. Abnormal Psychology. In
A Changing World. Third Edition. Prentice-Hall, Inc. Poerwandari, K. 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Prilaku Manusia.
Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi UI. Syahputra, I. 2006 . Jurnalisme damai. Kelompok Pilar Media, PT. Nuansa Aksara.
Yogyakarta. W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No.
1, 164-170. www.Kompas.com