Post on 01-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Senyawa metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang tidak
akan pernah habis, sebagai sumber inovasi dalam penemuan dan
pengembangan obat-obat baru ataupun untuk menujang berbagai kepentingan
industri. Hal ini terkait dengan keberadaannya di alam yang tidak terbatas
jumlahnya. Dari 250.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi seperti dikemukan di atas
54 % diantaranya terdapat di hutan-hutan tropika dan Indonesia dengan hutan
tropikanya yang mengandung lebih dari 30.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi
sangat berpotensial untuk diteliti dan dikembangkan oleh para peneliti
Indonesia.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka ragam tumbuhan yang
dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan manusia. Sejak
zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mengenal tanaman yang mempunyai
khasiat obat atau menyembuhkan berbagai macam penyakit. Saat ini, para
peneliti semakin berkembang untuk mengeksplorasi bahan alami yang
mempunyai aktivitas biologis yang positif bagi manusia. Berdasarkan beberapa
penelitian yang telah dikembangkan, senyawa-senyawa yang memiliki potensi
sebagai antioksidan umumnya merupakan senyawa flavonoid, fenolat, dan
alkaloid.
Senyawa yang paling mudah ditemukan adalah flavonoid karena
senyawa ini adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam.
Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan
sebagai zat berwarna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa flavonoid termasuk salah satu
kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol dan mengandung
antioksidan. Oleh karena jumlahnya yang melimpah di alam, manusia lebih
banyak memanfaatkan senyawa ini dibandingkan dengan senyawa lainnya
sebagai antioksidan.
Penelitian bahan alam biasanya dimulai dari ekstraksi, isolasi dengan
metode kromatografi sehingga diperoleh senyawa murni, identifikasi unsur dari
senyawa murni yang diperoleh dengan metode spektroskopi, dilanjutkan dengan
uji aktivitas biologi baik dari senyawa murni ataupun ekstrak kasar. Setelah
diketahui struktur molekulnya biasanya dilanjutkan dengan modifikasi struktur
untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan yang diinginkan.
Flavonoid adalah kandungan yang ditemukan pada buah, sayur dan juga
pada minuman yang mempunyai bermacam-macam keuntungan biokimia dan
pengaruh antioksidan. Jumlahnya pada bahan pangan lebih besar dibanding
dengan vitamin C dan Vitamin E. Kegiatan antioksidan flavonoid tergantung dari
struktur molekulnya dan karakteristik molekulnya dan flavonoid banyak
ditemukan pada buah dan dan minuman yang berpotensi melakukan kegiatan
antioksidan, contohnya teh, anggur merah, dan kedelai.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Mengetahui sejarah dari senyawa flavonoid dan klasifikasinya.
b. Mengetahui sifat-sifat kimia dan fisika dari senyawa flavonoid
c. Mengetahui beberapa manfaat dari senyawa flavonoid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Flavonoid
Ilmu kimia senyawa-senyawa fenol yang ditemukan di alam mengalami
kemajuan yang pesat setelah Kekule berhasil menetapkan struktur cincin
aromatic. Bahkan, struktur dari beberapa senyawa fenol telah dapat ditetapkan
sejak abad ke-19. Oleh karena itu, ilmu kimia senyawa-senyawa fenol kadang-
kadang dianggap sudah usang. Akan tetapi topic-topik yang menarik mengenai
senyawa-senyawa itu terus menerus muncul dengan adanya penemuan-
penemuan baru.
Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan oleh seorang
Amerika bernama Gyorgy (1936). Secara tidak sengaja Gyorgy memberikan
ekstrak vitamin C (asam askorbat) kepada seorang dokter untuk mengobati
penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata dapat disembuhkan.
Mc.Clure (1986) menemukan pula oleh bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak
dari Capsicum anunuum serta Citrus limon juga dapat menyembuhkan
pendarahan kapiler subkutan. Mekanisme aktivitas senyawa tersebut dapat
dipandang sebagai fungsi, alat komunikasi‟ (molecular messenger} dalam proses
interaksi antar sel, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses
metabolisme sel atau mahluk hidup yang bersangkutan, baik bersifat negatif
(menghambat) maupun bersifat positif (menstimulasi).
B. Definisi Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal
dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum
dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani
anthos , bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umumnya
terdapat di bunga berwarna merah, ungu, dan biru . Pigmen ini juga terdapat di
berbagai bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan
bahkan akar. Flavnoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid
terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar
vakuola.
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
tanaman hijau, kecuali alga. Menurut Markham (1988), flovonoid tersusun dari
dua cincin aromatis yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga
dengan susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur
senyawa flavonoid yaitu:
1. Flavonoida atau 1,3-diarilpropana
2. Isoflavonoida atau 1,2-diarilpropana
3. Neoflavonoida atau 1,1-diarilpropana
Flavonoid adalah golongan fenol alam yang tersebar luas dalam
tumbuhan. Menurut perkiraan , kira-kira 2% dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tumbuhan atau sekitar 1.000.000.000 ton per tahun diubah
menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya. Diduga flavonoid
sudah ada di alam ini telah cukup lama, yang terdapat pada ganggang hijau lebih
1 milyar tahun silam. Tidak ada senyawa yang begitu menyolok seperti flavonoid
yang memberi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di
alam, misalnya flavin memberi warna kuning atau jingga, antosianin warna
merah, ungu atau biru dan secara biologis dia memainkan peranan penting
dalam proses penyerbukan pada tanaman oleh serangga. Pada mulanya para
ahli tertarik pada antosian, yang merupakan pigmen tumbuhan flavonoid.
Kemudian diketahui pula bahwa dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-
bijian mengandung berbagai jenis senyawa flavonoid. Disamping sebagai
pigmen tumbuhan, flavonoid diketahui pula berperan dalam pertumbuhan,
pertahanan diri dari serangan hama dan penyakit, tabir surya, dan sinyal kimia
untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Bagi manusia golongan senyawa
ini memberi manfaat yang cukup banyak seperti, antioksidan, antiinflamasi,
immunostimulan, antikanker, antivirus dan antimikroba.. Tanin yang termasuk
golongan senyawa ini telah lama digunakan sebagai penyamak kulit dan
pewarna kain. Berbagai komoditi penting seperti teh, coklat dan anggur, mutunya
sangat ditentukan oleh warna maupun rasa yang berasal dari flavonoid yang
terdapat didalamnya.
Istilah flavonid yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal
dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar
jumlahnya dan juga lazim ditemukan .
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pastilah
ditemukan pada setiaap telaah ekstrak tumbuhan. Oleh karena itu, para ilmuwan
perlu kiranya untuk mengetahui cara mengenal, mengisolasi, dan
mengidentifikasi bahan alam tersebut dalam berbagai bentuk.
I.1 Kerangka dasar
Flavonoid merupakan senyawa dengan kerangka dasar mempunyai 15
atom C, dua cincin benzen yang terikat pada suatu rantai propana sehingga
susunannya adalah C6 – C3 – C6. Susunan ini akan menghasilkan tiga jenis
struktur, yaitu : 1,3 – diaril propane atau flavonoid, 1,2 – diaril propane atau
isoflavonoid dan 1,1 – diaril propane atau neoflavonoid
Contoh :
1. Flavonoid
2. Isoflavonoid
3. Neoflavonoid
Kedua cincin aromatik (benzen) yang dihubungkan oleh satuan tiga
karbon dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Untuk memudahkan
maka cincin pertama benzen diberi indeks A, cincin benzen kedua indeks B dan
cincin yang dapat terbentuk cincin C
Senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung dari tingkat
oksidasi dari rantai propane dari sitem 1,3 diaril propane. Dalam hal ini flavan
mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap
sebagai senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon.
C. Asal usul Biogenetik
Spekulasi awal mengenai biosintesis flavonoid dijelaskan oleh Robinson
(1936) mengatakan bahwa kerangka C6 – C3 – C6. dari flavonoid berkaitan
dengan kerangka C6 – C3 dari fenilpropana yang mempunyai gugus fungsi
oksigen pada para, para dan meta atau dua meta dan satu para pada cincin
aromatik. Akan tetapi, senyawa-senyawa fenilpropana, seperti asam amino fenil-
alanin dan tirosin, bukannya dianggap sebagai senyawa yang menurunkan
flavonoid melainkan hanya sebagai senyawa yang bertalian belaka.
Pola biosintesis flavonoid pertama kali diusulkan oleh Birch, yang
menjelaskan bahwa tahap pertama biosintesis flavonoid suatu unit C6 – C3
berkombinasi dengan 3 unit C2 menghasilkan unit C6 – C3 – (C2+C2+C2).
Berdasarkan atas usul tersebut maka biosintesis dari flavonoid melalui 2 jalur
bisosintesis yaitu poliketida (asam asetat atau mevalonat) dalam membentuk
cincin A berkondensasi 3 molekul unit asetat, sedang cincin B dan tiga atom
karbon dari rantai propana berasal dari jalur fenilpropana (shikimat).
Selanjutnya, sebagai akibat dari berbagai perubahan yang disebabkan
oleh enzim, ketiga atom karbon dari rantai propana dapat menghasilkan berbagai
gugus fungsi, seperti ikatan rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil dan
sebagainya.
Pokok-pokok biosintesis flavonoid
Pembentukan flavonoid dimulai dengan memperpanjang unit
fenilpropanoid (C6 – C3) yang berasal dari turunan sinamat seperti asam p-
kumarat, kadang-kadang asam kafeat, asam ferulat atau asam sinapat.
Percobaan menunjukkan bahwa khalkon dan isomer flavanon yang sebanding
juga berperan sebagai senyawa antara dalam biosintesis berbagai jenis
flavanoid lainnya
Hubungan Biogenetik Berbagai jenis Flavonoid (Grisebach)
Biosintesis Antosianidin dan Katekin (Haslam)
D. Fungsi flavonoid pada tumbuhan
1. Fungsi penyerbukan. Flavonoid termasuk pigmen yang penting pada
tumbuhan. Warna jingga, merah, biru dan ungu pada bunga dan buah pada
umumnya disebabkan oleh flavonoid. Warna pada bunga adalah salah satu
faktor yang menarik lebah, kupu-kupu, burung dan hewan lainnya untuk
melakukan penyerbukan. Burung akan lebih menyukai warna merah, sedang
lebah lebih menyukai warna biru dan juga dapat melihat di daerah ultraviolet.
2. Fungsi pengatur tumbuh. Flavonoid secara tidak langsung berperan
sebagai zat pengatur tumbuh melalui sistem IAA (Indole Acetic Acid) – IAA
Oxidase. Secara in vitro, senyawa flavonoid kuersetin dapat menghambat enzim
IAA – Oxidae, yang berarti kuersetin secara tidak langsung dapat meningkatkan
pertumbuhan.
Senyawa flavonoid dapat pula berfungsi sebagai ”feeding deterrent”
maupun ”feeding stimulant”. Kandungan tanin yang tinggi pada buah muda
merupakan ”feeding deterrent” yang menyebabkan kera maupun manusia tidak
bernafsu untuk memakan buah sebelum masak. Sedang senyawa morin dan
isokuersetrin yang terdapat dalam daun murbei (Morus alba L), merupakan
”feeding stimulant” bagi ulat sutera (Bombyx mori).
3. Zat alelopati. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, tumbuhan
menggunakan sinyal berupa senyawa kimia.Pada tahun 1986, secara hampir
bersamaan, para ahli dari berbagai laboratorium di dunia melaporkan bahwa
simbiosis antara tumbuhan polong-polongan dengan bakteri marga Rhizobium
dipicu oleh sinyal kimia berupa senyawa flavonoid yang dikeluarkan oleh akar
tumbuhan. Sejak tahun 1982, ahli ekologi sudah mengetahui tumbuhan “Spotted
knapweeds” (Centaurea maculosa Lam.) mengeluarkan senyawa alelopati yang
dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya, baru tahun 2001
diketahui bahwa senyawa tersebut adalah (-) – katekin, suatu senyawa flavonoid
golongan flavan yang sekarang diteliti untuk dikembangkan menjadi herbisida
alam.
4. Tabir surya. Rusaknya ozon di lapisan stratosfir, terutama di daerah
dekat Kutub Selatan, menyebabkan tumbuhan mengalami cekaman sinar
ultraviolet B (UVB). Penelitian pada sejenis semanggi di Selandia Baru
memperlihatkan bahwa tumbuhan tersebut mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap sinar UVB, adaptasi ini disebabkan dengan peningkatan kadar
flavonoid dari tumbuhan.
E. Fungsi flavonoid pada Manusia
1. Flavonoid sebagai Antioksidan
Berbagai sayuran dan buah-buahan yang dapat dimakan mengandung
sejumlah flavonoid. Konsentrasi yang lebih tinggi berada pada daun dan kulit
kupasannya dibandingkan dengan jaringan yang lebih dalam. Stavric dan
Matula(1992) melaporkan bahwa di negara-negara Barat, konsumsi komponen
flavonoid bervariasi dari 50 mg sampai 1 g per hari dengan 2 jenis flavonoid
terbesar berupa quersetin dan kaempferol. Sebagai antioksidan, flavonoid dapat
menghambat penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit
oksida yang dapat melebarkan (relaksasi) pembuluh darah, dan juga
menghambat pertumbuhan sel-sel kanker.
Flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif,
antitrombotik, antiinflamasi, dan antivirus (Stavric dan Matula, 1992). Sifat
antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil, anionsuperoksida,
radikal peroksil, dan alkoksil (Huguet, et al., 1990; Sichel,et al.,1991). Senyawa
flavonoid ini memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat
mengkatalisis beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas).
Aktivitas antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai
pengkelat Fe (Afanas‟av,et al., 1989 ; Morel,et al.,1993).
Manfaat utama flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai
antioksidan yang bisa menghambat proses penuaan dan mencegah
berkembangnya sel kanker. Salah satu jenis tanaman yang dipercaya dan
terbukti memiliki kandungan flavonoid yang cukup tinggi adalah tanaman cokelat.
(nn).
Flavonoid dikatakan antioksidan karena dapat menangkap radikal bebas
dengan membebaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya. Aksi radikal
memberikan efek timbulnya berbagai penyakit yang berbahaya bagi tubuh.
Tubuh manusia tidak mempunyai sistem pertahanan antioksidatif yang lebih
sehingga apabila terkena radikal bebas yang tinggi dan berlebih, tubuh tidak
dapat menanggulanginya. Saat itulah tubuh manusia membutuhkan antioksidan
dari luar (eksogen) yang dapat dilakukan dengan asupan senyawa yang memiliki
kandungan antioksidan yang tinggi melalui suplemen, makanan, dan minuman
yang dikonsumsi.
Namun, globalisasi yang merupakan zaman sintetik membuat manusia
khawatir terhadap antioksidan buatan yang pada umumnya memberikan efek
samping yang tidak ringan. Globalisasi membuat masyarakat menjadi semakin
pandai dan kritis termasuk dalam memilih produk makanan atau minuman yang
akan dikonsumsi. Berkembangnya berbagai jenis penyakit terutama yang
diakibatkan oleh pola konsumsi makanan yang salah, mendorong masyarakat
kembali ke alam. Dengan kata lain, masyarakat kini mulai beralih pada upaya
alami dengan mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung
antioksidan alami yang tidak menimbulkan efek samping atau mungkin ada efek
samping tetapi dengan efek yang relatif ringan. Jadi, antioksidan alami menjadi
alternatif yang lebih diminati oleh masyarakat daripada antioksidan sintetik.
Sebagai bahan alami, buah-buahan, sayuran, dan teh merupakan serat
alami yang memiliki kandungan senyawa flavonoid dalam kadar yang tinggi.
Seperti yang kita ketahui bahwa buah, sayuran, dan teh banyak mengandung
vitamin dan mineral yang memang sangat berguna bagi kesehatan tubuh kita,
misalnya kerena adanya kandungan vitamin E dan vitamin C yang memang telah
dikenal sebagai antioksidan sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Sejauh yang masyarakat umum ketahui, kandungan pada buah, sayuran, dan
teh adalah kandungan vitamin dan mineralnya saja. Padahal di dalamnya juga
terdapat kandungan flavonoid yang juga merupakan antioksidan. Bahkan
flavonoid merupakan antioksidan yang jauh lebih baik dari pada antioksidan
lainnya, seperti pada vitamin E dan vitamin C. Hal ini membuktikan bahwa
flavonoid sebagai antioksidan memiliki potensi yang lebih tinggi sebagai obat
antikanker dari pada vitamin dan mineral.
Kandungan flavonoid ini memberi harapan sebagai pencegah antikanker.
Penyakit yang sangat ditakuti saat ini adalah kanker. Kalau dahulu orang takut
penyakit pes, kolera, cacar, TBC, tipus, dan jenis-jenis penyakit lain yang
sekarang sudah tidak ditakuti lagi, sekarang orang selalu takut akan bahaya
kanker yang sewaktu-waktu dapat timbul (Braam, 1980). Saat ini, cara
pengobatan kanker yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya
adalah pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Tujuan dari cara pengobatan
tersebut adalah membunuh sel-sel kanker. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa
tidak sedikit dari cara-cara tersebut yang justru menimbulkan efek samping. Efek
samping yang ditimbulkan tersebut akan menjadi beban baru bagi para penderita
kanker. Oleh sebab itu, masyarakat mulai beralih pada pengobatan yang tidak
menimbulkan efek samping atau mungkin ada efek samping tetapi dengan efek
yang ringan
2. Penyakit Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan
sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tidak terkendali. Drs. Wildan Yatim
dalam bukunya Biologi (1996:100) menilai kanker sebagai berikut: ”Kanker
mengandung sel-sel yang membelah terus secara cepat dan tak terkontrol. Sel-
selnya memilki sifat seperti sel muda yang aktif bermitosis. Seperti sel-sel
embrio, sel-sel kanker berinti besar, nukleus pun besar, dan dalam plasma
terdapat banyak butiran dan membran tipis. Sel kanker bisa merusak sel-sel
yang lain dan dapat pindah ke jaringan dan daerah lain”.
Sudah jelas bahwa sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat, tidak
terkendali, dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan
sekitarnya (invasive) dan terus menyebar. Penyebarannya bisa melalui jaringan
ikat, darah, dan yang lebih berbahaya lagi bahwa sel kanker dapat menyerang
organ-organ penting dan saraf tulang belakang. Dalam keadaan normal, sel
membelah diri apabila ada penggantian sel-sel yang telah mati dan rusak.
Berbeda dengan sel kanker yang akan membelah terus meskipun tubuh tidak
memerlukannya sehingga akan terjadi penumpukan sel baru. Sel baru ini lah
yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak
jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya.
Kanker dapat tumbuh di berbagai jaringan dalam berbagai organ di setiap
tubuh mulai dari kaki sampai kepala. Bila kanker tumbuh pada bagian
permukaan tubuh, maka akan dengan mudah diketahui oleh penderita. Akan
tetapi, bila kanker tumbuh di dalam tubuh, maka penyakit yang dianggap
misterius tersebut akan sulit diketahui sebab kadang-kadang tidak menunjukkan
gejala apa pun, bahkan kanker tertentu baru akan dapat diketahui setelah kanker
tersebut sudah ada pada stadium akhir atau lanjut, misalnya leukimia (kanker
darah). Kalau pun timbul gejala, biasanya gejala tersebut terasa pada saat
stadium lanjut sehingga terkadang sudah terlambat untuk diobati. Ini lah alasan
utama mengapa kanker menjadi penyakit yang harus sangat diwaspadai oleh
seluruh masyarakat.
Selain lingkungan, makanan yang kita makan juga dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya kanker, terutama kanker pada saluran pencernaan sebab
makanan yang dikonsumsi seseorang dapat mempengaruhi pengaktifan sel
kanker pada saluran pencernaan. Contoh jenis makanan yang dapat
menyebabkan kanker pada saluran pencernaan adalah makanan yang diasap
dan diasamkan. Makanan tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker
lambung. Contoh lainnya adalah minuman yang mengandung alkohol yang
menyebabkan kanker kerongkongan. Bahkan zat pewarna makanan pun dapat
menjadi penyebab timbulnya kanker pada saluran pencernaan. Terdapat pula
penyebab kanker pada saluran pencernaan, yaitu logam berat seperti mercury
yang biasanya sering terdapat pada makanan laut yang tercemar, seperti
kerang, ikan, dan sebagainya. Selain itu, perlu diperhatikan oleh masyarakat
adalah bahwa berbagai makanan manis mengandung tepung yang diproses
secara berlebihan juga merupakan faktor penyebab aktifnya sel kanker dalam
tubuh.
a. Senyawa Flovonoid sebagai Antikanker
Senyawa bioaktif flavonoid yang merupakan ekstrak metanol ini
dikatakan sebagai antikanker karena dapat menghambat tumbuhnya sel-sel
kanker itu sendiri. Sebagai antioksidan, senyawa flavonoid dapat mencegah
reaksi bergabungnya molekul karsinogen dengan DNA sel sehingga mencegah
kerusakan DNA sel. Di sini lah komponen bioaktif flavonoid dapat mencegah
terjadinya proses awal pembentukan sel kanker. Bahkan flavonoid dapat
merangsang proses perbaikan DNA sel yang telah termutasi sehingga sel
menjadi normal kembali. Selain itu, dapat mencegah pembentukan pembuluh
darah buatan sel kanker (proses angiogenesis) sehingga sel-sel kanker tidak
dapat tumbuh menjadi besar karena saluran untuk pertumbuhannya terhambat.
Makanan yang mengandung flavonoid, seperti stroberi hijau, kubis, apel,
kacang-kacangan, dan bawang juga mengurangi risiko terjagkitnya penyakit
kanker paru-paru. Hal ini menandakan bahwa untuk mencegah terjadinya kanker
sangat lah mudah asalkan kita sendiri ada kemauan dalam menjaga kesehatan.
Pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati” pun menjadi amat tepat bila
bicara mengenai kanker. Hal ini mengingat sulitnya pengobatan dan minimnya
kesembuhan apabila seseorang sudah terjangkit kanker. Namun, manusia harus
selektif dalam mengonsumsi makanan, minuman, sayuran, dan buah-buahan
yang dianggap alami dan tidak memiliki efek samping. Hal ini tampaknya harus
menjadi pertimbangan yang lebih jauh dari manusia mengingat zaman sekarang
yang semakin maju dan mengakibatkan manusia selalu menginginkan yang
instan, mudah, dan murah, misalnya penggunaan pestisida dalam perawatan
buah dan sayuran untuk menghindari gangguan hama yang dapat membuat
hasil buah atau sayuran menjadi rusak bahkan dapat menyebabkan gagal
panen. Secara otomatis, pestisida yang disemprotkan pada buah atau sayuran
tersebut akan menempel dan akan termakan oleh manusia yang
mengonsumsinya. Padahal, jika kita lihat dari kandungannya, pestisida
merupakan bahan kimia yang bersifat karsinogen yang dapat mengaktifkan sel-
sel kanker pada tubuh manusia.
Kandaswami dan Middleton (2004) mengatakan bahwa flavonoid dapat
menghalangi reaksi oksidasi kolesterol jahat (LDL) yang menyebabkan darah
mengental yang dapat mengakibatkan penyempitan pembuluh darah.
Penyempitan pembuluh darah pada tubuh akan menyebabkan aliran darah tidak
lancar dan jika dibiarkan dalam waktu yang terlalu lama, kemungkinan besar
akan mengumpul bahkan menggumpal pada daerah tertentu. Penggumpalan
darah ini dapat mengakibatkan sel-sel tersebut menjadi sel kanker yang dapat
aktif apabila didukung oleh asupan bahan karsinogenik atau faktor luar lainnya
yang dikonsumsi manusia.
Flavonoid juga menghambat invasi tumor sehingga tumor tidak
membesar dan tidak menjadi ganas yang menyebabkan kanker. Tumor yang
tertanam dalam tubuh manusia apabila dibiarkan terlalu lama akan menjadi sel
kanker yang ganas dan akan menggerogoti tubuh. Mengingat bahaya penyakit
kanker bagi tubuh, manusia harus mengambil sikap dan antisipasi terhadap
penyakit yang menyebabkan kematian tersebut, misalnya dengan mengonsumsi
makanan yang mengandung flavonoid yang tinggi. Karena kandungannya yang
banyak terdapat pada buah, sayur, dan teh, dapat dikatakan bahwa tidak sulit
untuk melindungi diri dari penyakit berbahaya, seperti kanker. Perlindungan
tersebut dikatakan cukup mudah sebab buah, sayur-sayuran, dan teh sangat
mudah didapat.
Berbagai potensi senyawa isoflavon untuk keperluan kesehatan antara
lain:
a. Anti-inflamasi
Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek penghambatan jalur
metabolisme asam arachidonat, pembentukan prostaglandin, pelepasan
histamin, atau aktivitas „radical scavenging’ suatu molekul. Melalui mekanisme
tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat
meningkatkan viabilitas sel. Senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai
anti-inflamasi adalah toksifolin, biazilin, haematoksilin, gosipin, prosianidin,
nepritin, dan lain-lain.
b. Anti-tumor/Anti-kanker
Senyawa isoflavon yang berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah
genistein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Genistein merupakan salah
satu komponen yang banyak terdapat pada kedelai dan tempe. Penghambatan
sel kanker oleh genistein, melalui mekanisme sebagai berikut :
(1) penghambatan pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi
oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel kanker payudara yang terinduksi
dengan nonil-fenol atau bi-fenol A) yang diakibatkan oleh penghambatan
pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan protein
yang mengandung tirosin;
(2) penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II;
(3) penghambatan regulasi siklus sel;
(4) sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat reaktif terhadap
senyawa radikal bebas;
(5) sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor pertumbuhan betha
atau TGFβ). Mekanisme tersebut dapat berlangsung apabila konsentrasi
genestein lebih besar dari 5μM.
c. Anti-virus
Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi
melalui penghambatan sintesa asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada translasi
virion atau pembelahan dari poliprotein. Percobaan secara klinis menunjukkan
bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk penyembuhan pada
penyakit demam yang disebabkan oleh rhinovirus, yaitu dengan cara pemberian
intravena dan juga terhadap penyakit hepatitis B. Berbagai percobaan lain untuk
pengobatan penyakit liver masih terus berlangsung.
d. Anti-allergi
Aktivitas anti-allergi bekerja melalui mekanisme sebagai berikut :
(1) penghambatan pembebasan histamin dari sel-sel mast‟, yaitu sel yang
mengandung granula, histamin, serotonin, dan heparin;
(2) penghambatan pada enzim oxidative nukleosid-3‟,5‟ siklik monofast
fosfodiesterase, fosfatase, alkalin, dan penyerapan Ca;
(3) berinteraksi dengan pembentukan fosfoprotein. Senyawa-senyawa flavonoid
lainnya yang digunakan sebagai anti-allergi antara lain terbukronil, proksikromil,
dan senyawa kromon.
e. Penyakit kardiovaskuler
Berbagai pengaruh positif isoflavon terhadap sistem peredaran darah dan
penyakit jantung banyak ditunjukkan oleh para peneliti pada aspek berlainan.
Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu 6,7,4-
trihidroksi isoflavon (Faktor-II), terbukti berpotensi sebagai anti kotriksi pembuluh
darah (konsentrasi 5μg/ml) dan juga berpotensi menghambat, pembentukan LDL
(low density lipoprotein). Dengan demikian isoflavon dapat mengurangi
terjadinya arterosclerosis pada pembuluh darah. Pengaruh isoflavon terhadap
penurunan tekanan darah dan resiko CVD (cardio vascular deseases) banyak
dihubungkan dengan sifat hipolipidemik dan hipokholesteremik senyawa
isoflavon.
Berbagai bahan alam yang secara tradisional digunakan untuk penyakit
kardio-vaskular, kebanyakan secara ilmiah telah dilaporkan memiliki khasiat
sebagai antioksidan, namun pemanfaatan tumbuhan obat tersebut lebih banyak
dilatar-belakangi oleh pengalaman empiris; masih sedikit sekali pembuktian
secara ilmiah berdasarkan mekanisme kerjanya. Penelitian ini bertujuan
mempelajari aktivitas antioksidan berbagai ekstrak bahan alam (daun salam,
daun jati belanda, daun jambu biji, air cuka tahu dan jamur kuping hitam) pada
berbagai tingkat konsentrasi sekaligus membandingkan potensi kelima ekstrak
bahan alam, dan untuk mengkaji khasiat berbagai ekstrak bahan alam yang
digunakan secara tradisional untuk pengobatan penyakit kardiovaskular melalui
telaah modulasi mekanisme apoptosis dalam sistem nonmamalia dengan
menggunakan sell ragi (Saccharomyces cerevisiae). Daun salam, daun jambu
biji, daun Jati Belanda diekstraksi dengan metode refluks. Serbuk jamur kuping
(60 mesh) diekstraksi dengan cara maserasi 24 jam menggunakan etanol 30%
dengan perbandingan 1:6 (g:mL). Ekstrak cuka tahu dipersiapkan menggunakan
etil asetat. Aktivitas antioksidan lima ekstrak bahan ditapis secara in vitro
menggunakan sistem oksidasi asam linoleat dan mengukur produk oksidasinya
secara spektrofotometri dengan metode asam tiobarbiturat (TBA assay)
menggunakan tetrametoksipropana (TMP). Diperoleh bahwa semua ekstrak
berpotensi antioksidan. Ekstrak etanol daun salam 1.000 ppm secara konsisten
menunjukkan hambatan oksidasi hampir sama baiknya dengan aktivitas antioksi
dan vitamin E pada konsentrasi 200 ppm; sedangkan pada 200 ppm juga
mampu menghambat oksidasi asam linoleat sama baiknya dengan vitamin E
konsentrasi yang sama. Ekstrak whey tahu memiliki aktivitas antioksidan paling
rendah ( 82,02%), walau masih lebih besar dari vitamin E.
f. Estrogen dan Osteoporosis
Pada wanita menjelang menopause, produksi estrogen menurun sehingga
menimbulkan berbagai gangguan. Estrogen tidak saja berfungsi dalam sistem
reproduksi, tetapi juga berfungsi untuk tulang, jantung, dan mungkin juga otak.
Dalam melakukan kerjanya, estrogen membutuhkan reseptor estrogen (ERs)
yang dapat “on/off” di bawah kendali gen pada kromosom yang disebut _-ER.
Beberapa target organ seperti pertumbuhan dada, tulang, dan empedu responsif
terhadap _-ER tersebut. Isoflavon, khususnya genistein, dapat terikat dengan _-
ER. Walaupun ikatannya lemah, tetapi dengan β-ER mempunyai ikatan sama
dengan estrogen. Senyawa isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal,
khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan struktur isoflavon
yang dapat ditransformasikan menjadi equol. Dimana equol mempunyai struktur
fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Mengingat hormon estrogen
berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses kalsifikasi,
maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses kalsifikasi. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi
proses osteoporosis pada tulang sehingga tulang tetap padat dan masif.
F. Ekstraksi
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Harus
diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa dengan oksigen banyak yang akan
terurai karena mengandung banyak oksigen yang tidak tersulih atau suatu gula.
Senyawa flavonoid merupakan senyawa polar, kepolaran ini akan
berbeda-beda terhadap berbagai pelarut sehingga harus diperhatikan dengan
menggunakan pelarut yang sesuai kepolaran flavonoid yang akan diekstraksi.
Umumnya flavonoid larut dalam pelarut-pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetilformamida, air dan lain-lain. Dalam
bentuk glikosida karena adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan
mudah larut dalam air, dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosidanya. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang
termodifikasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform.
Bahan segar merupakan bahan awal yang ideal untuk menganalisis
flavonoid, walaupun bahan yang kering dan tersimpan lama mungkin masih
tetap memberikan hasil yang baik. Bila menggunakan bahan tumbuhan segar,
setelah cuplikan dipilih untuk dianalisis maka sisanya dianjurkan agar segara
secepatnya dikeringkan untuk mencegah kerja dari enzim.
Setelah menimbang sebagian bahan tumbuhan yang telah digiling,
ekstraksi paling baik dilakukan dalam dua tahap; pertama dengan pelarut
metanol-air (9 : 1) dan kedua dengan metanol-air (1 : 1). Ekstrak kemudian
dicampur dan diuapkan hingga volumenya menjadi sepertiga volume awal, atau
hampir semua metanol menguap. Ekstrak yang diperoleh dapat dibabaskan dari
senyawa yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil
dengan ekstraksi (dalam corong pisah) menggunakan pelarut heksan atau
kloroform. Ekstraksi harus dilakukan beberapa kali dan lapisan air mengandung
sebagian besar flavonoid, selanjutnya dikeringkan pada tekanan rendah
(rotapavor).
Pemilihan pelarut tidak hanya tergantung pada kandungan zat aktif yang
diselidiki, tetapi tergantung juga pada bagian mana substansi tersebut berada.
Bila flavonoid terdapat dalam vakuola sel, umumnya bersifat hidrofilik, maka
penyarian dilakukan dengan menggunakan air ataupun pelarut-pelarut alkoholik.
Jika flavonoidnya terdapat dalam kloroplas maka diperlukan pelarut-pelarut
nonpolar sebelum menyarian alkoholik.
Ekstraksi flavonoid seperti yang dijelaskan di atas tidak cocok untuk
antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah. Untuk antosian, daun segar
atau bunga jangan dikeringkan tetapi segera digerus dengan NeOH yang
mengandung 1% HCl pekat. Ekstraksi segera terjadi yang ditandai dengan
adanya perubahan warna larutan, kromatografi atau analisis spektroskopi
ekstrak dapat segera dilakukan untu mencegah hidrolsisi glikosida. Untuk
simplisia yang mengandung flavonoid dengan kepolaran yang lebih rendah lagi
dapat langsung diisolasi dengan merendam heksana atau eter selama beberapa
menit, perlu diingat bahwa ekstrak yang diperoleh juga mengandung lemak dan
lilin.
G. Isolasi
Metode terbaik untuk mengisolasi atau memisahkan campuran flavonoid
antara lain dengan kromatografi kertas (KKt) dan kromatografi lapis tipis (KLT).
Jika menggunakan metode KKt, kertas yang disarankan adalah kertas Whatman
3MM (46 x 57 cm) atau yang setara. Kertas dibuat seperti gambar di bawah.
Ekstrak ditotolkan kira-kira 8 cm dari tepi lipatan pertama dan 3 cm dari lipatan
kedua dengan garis tengah 3 cm yang berpusat pada satu titik. Pengeringan
bercak dibantu dengan pengering rambut. Ekstrak yang ditotolkan dapat
digunakan secara umum yaitu dari sejumlah ekstrak yang diperoleh dari 50 –
100 mg bahan tumbuhan kering. Elusi pertama dapat digunakan pengembang
beralkohol, misalnya BAA (n-Butanol, Asam asetat, Air = BAW) 4:1:5 atau TBA
(t-BuOH:HOAc:H2O) 3:1:1. Kertas diangkat dan dikeringkan di lemari asam,
bagian kromatogram yang dilipat (a) digunting. Selanjutnya eluen kedua
menggunakan pengembang, biasanya berupa larutan dalam air seperti asam
asetat 15%. Untuk antosianin disarankan pengembang setara , biasanya BAA
atau Bu/HCl dan kedua HCl 1%.
Flavonoid tidak nampak pada kertas kromatogram, kecuali antosian (bercak
jingga sampai lembayung yang menjadi biru dengan uap ammonia), khalkon,
auron dan 6-hidroksi flavanol kuning). Karena alasan tersebut, untuk mendeteksi
bercak, kromatogram diperiksa dengan sinar UV (366 nm dan 254 nm) dan
dapat diperjelas dengan uap ammonia.
Untuk isolasi flavonoid skala besar dapat dilakukan dengan kromatografi
kolom. Pada dasarnya, cara ini meliputi penempatan campuran flavonoid
(berupa larutan) di atas kolom yang berisi serbuk penjerap (seperti selulosa,
silika, atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen
memakai pelarut yang sesuai. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi
dengan keran pada salah satu ujungnya dengan ukuran garis tengah berbanding
panjang kolom 1:10 atau 1:30.
Mengemas kolom dilakukan dengan hati-hati agar dihasilkan kolom yang
homogen. Jika kolom tidak memiliki kaca masir, maka dapat diganakan kaca wol
atau kapas, sumbat ini direndam dengan pengelusi yang tingginya kira-kira 10
cm. Kemasan kolom dibuat bubur dengan pelarut yang sama, lalu dituang
dengan hati-hati ke dalam kolom tanpa terputus-putus agar tidak terbentuk
lapisan. Kemasan dibiarkan turun dan kelebihan pelarut dibiarkan turun. Jika
fase diam poliamida yang digunakan maka dianjurkan untuk mengembangkan
dulu satu jam.
Selanjutnya larutan cuplikan ditempat di atas kemasan sedemikian rupa
sehingga berupa satu pita, usahakan menggunakan pelarut sesedikit mungkin
untuk memperoleh hasil yang baik. Biarkan larutan cuplikan meresap ke dalam
kemasan dengan membuka sedikit keran dan setelah cuplikan terbuka, keran
ditutup dan ditambahkan perlahan-lahan cairan pengelusi dan dibiarkan kembali
meresap ke dalam kemasan.
Memilih kemasan kolom dapat disesuaikan dengan flavonoid yang akan
diisolasi sebagai berikut ;
1. Selulosa. Ideal untuk pemisahan antara glikosida atau glikosida
dengan aglikon dan aglikon yang kurang polar, selulosa mikrokristal (Merck,
Macherey & Nagel dan Whatman CF-11
2. Silika. Baik untuk aglikon yang kurang polar, misalnya isoflavon,
flavanon, metil flavon dan falavonol. Sebaiknya dicuci lebih dahulu dengan asam
klorida pekat untuk menghilangkan sesepora besi yang dapat membuat flavonoid
terikat kuat pada kemasan. Kiselgel 60, 70 – 230 mesh (merck).
3. Poliamida. Cocok untuk memisahkan flavonoid dan glikosida. Harus
dicuci terlebih dahulu dengan matanol dan air untuk menghilangkan poliamida
yang larut (dapat mengotori). Polyclar AT General Aniline and Film Corporation),
Polyponco 66D Polymer Corporation) dan Polyamida (Woelm).
4. Gel sephadex (deret G). Digunakan untuk memisahkan campuran,
terutama berdasarkan atas ukuran molekul (mengunakan pelarut air), molekul
besar akan terelusi lebih dahulu. Sangat berguna untuk memisahkan
poliglikosida yang berbeda bobot molekulnya. Bila pengelusinya adalah pelarut
organik, gel sephadex deret G berprilaku seperti selulosa, tetapi kapasitasnya
lebih besar. Gel harus dikembang terlebih dahulu selama 12 jam dengan eluen.
Jenis niaga G-10 (untuk bobot molekul 0 – 700) dan G-25 (untuk bobot molekul
100 – 1500)
5. Gel sephadex (LH-20). Dirancang untuk menggunakan pelarut organik,
dan dapat digunakan dua cara. Bahan ini menghasilkan eluen tanpa sisa, sangat
cocok untuk pemurnian akhir aglikon flavonoid dan glikosida yang telah diisolasi
dari kertas, selulosa, silika, atau poliamida. Umumnya pelarut yang cocok adalah
MeOH, walaupun pada awalnya diperluka air untuk melarutkan flavonoid, disini
gel perlu juga dicuci dengan MeOH.
H. Karakterisasi dan Identifikasi
Secara umum golongan senyawa biasanya dapat ditentukan dengan uji
warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum ultraviolet.
Jika tidak tercampur dengan pigmen lain, flavonoid dapat dideteksi
dengan uap ammonia dan akan memberikan warna spesifik untuk masin-masing
golongan. Falavon dan flavonol akan memberikan warna kuning sampai kuning
kemerahan. Antosianin berwarna merah biru sedang flavononol menimbulkan
warna orange atau coklat. Warna merah dan lembayung yang terjadi mendadak
dalam suasana asam disebabkan adanya khalkon atau auron.
Flavonoid menjadi kuning terang atau jingga dalam larutan basa dan
dapat dideteksi jika bagian tumbuhan tanwarna diuapi amonia.Timbulnya warna
ini karena adanya pembentukan garam dan terbentuknya struktur kuinoid pada
cincin B seperti berikut :
Pembentukan struktur kuinoid dari flavonoid dengan basa
Adanya gugus fenol pada flavonoid memberikan reaksi positif dengan
pereaksi untuk fenol, misalnya dengan besi (III) klorida dan pereaksi asam sulfat
akan memberi warna spesifik. Karena reaksi tidak spesifik, maka tidak dapat
digunakan membedakan masing-masing golongan dan harus diikuti oleh uji
warna lainnya.
Flavonoid yang memliki gugus hidroksil berkedudukan orto akan
memberikan warna kuning intensif jika bereaksi dengan asam borat dan larutan
natrium asetat, seperti rekasi berikut.
Kompleks flavonoid dengan asam borat dan natrium asetat
Selain pada kedudukan orto, gugus hidroksi dengan kedudukan lain
diduga juga dapat membentuk ikatan dengan campuran asam sitrat dan asam
borat, pada pemanasan dan dikenal dengan pereaksi sitroborat, Sampai saat ini
mekanisme reaksi yang terjadi antara flavonoid dengan pereaksi sitroborat
belum dapat diketahui secara pasti. Warna fluoresensi yang terbentuk adalah
fluoresensi kuning,kuning kehijauan dengan sinar UV 366 nm.
Pereaksi aluminium klorida dapat membentuk kompleks dengan flavonoid
menimbulkan warna kuning. Kompleks dari flavonoiv dengan gugus hidroksil
berkedudukan orto tidak stabil dengan asam dan akan terurai kembali. Akan
tetapi flavonoid dengan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat gugus karbonil
akan stabil dengan penambahan asam.
Pembentukan kompleks antara flavonoid dengan aluminium klorida lewat
dua macam gugus yang berbeda yaitu gugus hidroksil yang berkedudukan orto
dan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat dengan gugus karbonil, dapat
digunakan sebagai dasar penetapan adanya gugus hidroksil pada kedudukan
tertentu dalam molekul flavonoid.
Lazimnya identifikasi flavonoid diawali dengan reaksi warna
menggunakan pereaksi-pereaksi, seperti natrium hidroksida, asam sulfat, besi
(III) klorida, logam magnesium dan asam klorida. Kelarutan dari flavonoid
menjadi dasar dalam ekstraksi dan pemisahan secara kromatografi, sifat-sifatnya
dengan pereaksi-pereaksi tertentu menjadi dasar analisis spektrofotometri UV-
tampak.
Reaksi Warna flavonoid
GolonganFlavonoid
Warna
Larutan natriumHidroksida
Asam sulfat pekat
Magnesium/ asam klorida
Natrium amalgam asam
Khalkon
Dihidrokhalkon
Auron
Flavanon
Flavon
Flavanol
Flavanonol
Leukoantosianin
Antosianin / Antosianidin
Isoflavon
Isoflavanon
Jingga sampai merah
Tak berwarna
Merah/violet
Kuning / jingga, dipanas merah
Kuning
Kuning / jingga
Kuning berubah coklat
Kuning
Biru / violet
Kuning
Kuning
Jingga sampai merah
Tak berwarna / kuning
Merah/violet
Jingga
Kuning / jingga berpendar
Kuning / jingga berpendar
Kuning / merah
Merah / violet
Kuning / jingga
Kuning
Kuning
Tak berwarna
Tak berwarna
Tak berwarna
Merah / violet atau biru
Kuning / merah
Merah / violet
Merah / violet
Violet
Merah lalu memucat
Kuning
Tak berwarna
Kuning pucat
Tak berwarna
Kuning pucat
Merah
Merah
Kuning / merah
Kuning /coklat
Violet
Kuning / jingga
Merah muda / violet
Merah
II.4 Hidrolisis
Senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi, seperti
bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit, kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa
flavanoid tertentu biasanya terkonsentrasi pada suatu jaringan tertentu, misalnya
antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun.
Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, oleh
karena itu ada baiknya diketahui bahwa secara umum, suatu glikosida adalah
kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui
ikatan glikosida. Ikatan glikosida pada prinsipnya terbentuk apabila gugus
hidoksil dari alkohol beradisi ke gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi
alkohol ke aldehida yang dikatalis oleh adanya asam menghasilkan asetal.
Pada hidrolisis, glikosida terurai kembali atas komponen-komponennya
menghasilkan gula dan alkohol yang sebanding, alkohol yang dihasilkan disebut
aglikon. Biasanya, sisa gula dari glikosida flavonoid alam adalah glukosa,
rhamnosa, galaktosa dan gentiobiosa, sehingga glikosida tersebut masing-
masing disebut glukosida, rhamnosida, galaktosida dan gentiobiosida.
Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di atau tri-glikosida, dimana
satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula.
Poliglikosida larut dalam air dan hanya sedikit larut dalam pelarut-pelarut organik
seperti eter, benzen, kloroform dan aseton.
Untuk membedakan aglikon dan gula yang terikat sebagai glikosida, perlu
dilakukan hidrolisis dapat dengan asam, enzim atau basa.
1. Hidrolisis dengan asam. Biasanya digunakan dengan asam klorida,
gugus gula yang terikat pada aglikon biasanya berupa ikatan O-glikosida atau
C-glikosida. Ikatan C-glikosida, sangat tahan terhadap pengaruh asam, sehingga
dapat dibedakan antara C-glikosida dengan O-glikosida dengan melihat waktu
atau lama hidrolsisinya.
Selain kecepatan hidrolisis dengan asam dari glikosida, juga dipengaruhi
oleh posisi ikatan gula pada inti flavonoid. Gula yang berikatan pada posisi 3 dari
flavonoid akan lebih mudah dihidrolisis dibanding pada posisi 7, sedang paling
mudah dihidrolisis adalah pada posisi 5. Flavonol 3-rhamnosifuranosida kurang
stabil sehingga hidrolsis lebih cepat dibanding flavonol 3-rhamnopiranosida yang
relatif lebih stabil.
Cara baku menghidrolisis O-glikosida: Larutan glikosida flavonoid (1mg)
dihidrolisis dengan 5 ml HCl 2N : MeOH (1:1) dalam labu alas bulat 25 ml,
kemudian drefluks selama 60 menit. Uapkan dengan rotavapour, sisanya
kemudian dilarutkan dengan MeOH : H2O (1:1) sesedikit mungkin. Selanjutnya
dikromatografi kertas atau KLT-selulosa, 15% asam asetat, hasil :
- jika telah terjadi hidrolsisi, Rf akan menjadi lebih kecil, flavonoid tersebut
adalah suatu O-glikosida, kemungkinan kecil juga sebagai bisulfat atau
C-glikosida yang ter-O-glikosida.
- Jika tidak terjadi hidrolisis, glikosida tersebut kemungkinan adalah C-
glikosida atau suatu glukoronida
- Jika terjadi hidrolisis sebagian, glikosida tersebut mungkin glukuronida
2. Hidrolsis dengan enzim. Hidrolisis dengan enzim, berguna untuk
menentukan sifat ikatan antara gula dan flavonoid (yaitu α atau β). cara ini
hanya memutuskan monosakarida khas dari flavonoid O-glikosida. Selanjutnya
dianalisis dengan KLT, atau KGC untuk mengetahui hasil hidrolosis,
- β-glukosidase (emulsin), menghidrolsisi β-D-gluksodia dan xilosida,
tetapi tidak menghidrolsisi antosianidin glikosida.
- β-galaktosidase, menghidrolsisi β-D-galaktosida
- β-glikuronidase, menghidrolsisi β-D-glukuronidase
- Pektinase, menghidrolsis α-D-poligalakturonida dan α-L-rhamnosida
- Antosianase, menghidrolsisi sebagian besar antosianidin glikosida
- Rhamnodiastase, memutuskan sebagian besar oligosakarida secara
utuh dari glikisda, terdapat dalam Rhamnus frangula
- Takadiastase, menghidrolsisi naringenin 7-O-neohesperidosida.
3. Hidrolsis dengan basa. Jarang digunakan untuk menghidrolisis
gliksodia flavonoid, tetapi digunakan untuk memutuskan gula secara selektif dari
gugus hidroksil pada posisi 7 atau 4’ serta 3-hidroksil. Keselektifan ini kebalikan
dari hidrolisis dengan asam. Hidrolsis dengan basa akan melepaskan disakarida
dari 7 – hidroksil asal ikatan antara glukosida bukan (1----2). Rutinosida akan
terhidrolisis, tetapi 7-O-apiol (1----2) gluksida dan 7-O-neohesperidosida tidak
terhidrolsis. Dijaga agar tidak ada kontak dengan udara, sebab banyak flavonoid
akan terurai dalam suasana basa jika terdapat oksigen. Kebanyakan 7 – dan 4’ –
O – gliksida dapat dipecah dalam waktu 30 enit, beberapa glikosida lain
memerlukan waktu dua jam. Pemutusan gula yang terikat pada posisi 4’ secara
selektif tanpa mengganggu gula yang terikat pada posisi 7.
Cara: Larutan glikosida (10 – 30 mg) dalam 10 ml KOH 0,5% direfluks di
atas tangas air selama 30 menit dalam lingkungan N2. Netralkan dengan HCl 2N
dan selanjutnya dikromatografi kertas dengan eluen HOAc 15% untuk
mengisolasi flavonoidnya.
I. Spektroskopi Ultraviolet flavonoid.
Flavonoid mempunyai sistem aromatik terkonyugasi, oleh karena itu
mempunyai pita serapan di daerah ultraviolet dan ultraviolet nampak (UV-UV
Vis). Spektra dari flavon dan flavonol memperlihatkan dua puncak utama pada
daerah 240 – 400 nm. Dua puncak utama ini biasanya memperlihatkan pita I
(300 – 380 nm) dan pita II (240 – 280 nm). Pita I menunjukkan absorbsi yang
sesuai untuk cincin B sinamoil, sedang pita II berhubungan absobsi cincin
benzoil.
Kerangka senyawa flavonoid dengan cincin benzoil dan sinamoil
Isoflavon, falavanon dan dihidroflavonol memberikan spektra ultraviolet
yang mirip satu sama lain, oleh karena masing-masing senyawa ini tidak
mempunyai sistem konyugasi sinamoil dengan cincin B. Larutan isoflavon dalam
metanol memberikan spektra ultraviolet dengan puncak II pada daerah 250 nm –
270 nm dan puncak I pada daerah 300 nm – 330 nm. Sedang flavanon dan
dihidroflavanon keduanya memberikan puncak II pada daerah 270 nm – 290 nm
dan puncak I pada daerah 320 nm – 330 nm.
Peran gugus hidroksil pada cincin A pada flavon dan flavonol
menghasilkan menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita II dan
sedikit pada pita I. Metilasi dan glikosilasi juga berefek pada absorpsi pada
flavon dan flavonol. Jika gugus 3, 5, dan 4’ – OH pada flavon dan flavonol
termetilasi dan terglikosilasi terjadi pergeseran hipsokromik terutama pita I.
Pergeseran yang terjadi terbesar 12 – 17 nm, bisa mencapai 22 – 25 nm pada
flavon yang tidak mempunyai gugus 5 – OH.
Pita II merupakan serapan dari cincin A bagian benzoil, dan pita I
merupakan serapan dari cincin B bagian sinamoil. Intesitas dari masing-masing
serapan tergantung pada panjangnya sistem konyugasi serta adanya subtitusi
terutama pada kedudukan atom C3 dan C5. Sebagai contoh senyawa flavon
yang mempunyai sistem sinamoil mengandung sistem konyugasi lebih panjang
daripada sistem benzoil, intensitas puncak I lebih kecil dari intensitas puncak II.
Flavon, flavonol yang tersubtitusi oksigen hanya pada cincin A, dalam metanol
cenderung memberikan spektra yang nyata pada pita II dan lemah pada pita I,
tetapi jika cincin B yang tersubtitusi oksigen, pita I akan kelihatan lebih nyata.
Penambahan pereaksi geser atau pereaksi diagnostik, adanya
hidroksilasi, glikolasi, metilasi dan asetilasi dapat mengubah karakter resapan
dari senyawa flavonoid. Dengan melihat perubahan-perubahan ini maka dapat
digunakan untuk memperkirakan struktur flavonoid.
1. Efek hidroksilasi. Penambahan gugus hidroksil pada cincin A pada
flavon atau flavonol menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita
resapan I atau pita resapan II pada spektra flavonoid. Apabila gugus hidroksil
tidak ada pada flavon atau flavonol, panjang gelombang maksimal muncul pada
panjang gelombang yang lebih pendek dibanding jika ada gugus 5 – OH ,
sedang subtitusi gugus hidroksil pada posisi 3, 5 dan 4 mempunyai sedikit efek
atau tidak sama sekali pada spektra UV. Pita absorpsi I isoflavon mempunyai
intensitas yang lemah, sedangkan pita II intensitas kuat. Pita absirbsi II dari
isoflavon biasanya antara 245 – 270 nm dan relatif tidak mempunyai efek pada
cincin B dengan adanya hidroksilasi.
2. Efek natrium metoksida. Natrium metoksida merupakan basa kuat
yang dapat mengiionisasi semua gugus dalam flavonoid. Degradasi atau
pengurangan kekuatan spektra setelah waktu tertentu merupakan petunjuk yang
baik akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Spektra isoflavon yang
mempunyai gugus hidroksi pada cincin A akan memperlihatkan pergeseran
batokromik baik pada pita I maupun pita II. Puncak pada spektra UV senyawa 3’
– 4’ dihidroksi isoflavon akan mengalami penurunan intensitas beberapa menit
setelah penambahan natrium metoksida. Adanya perbedaan kecepatan
dekomposisi 4’ monohidroksi isoflavon dapat digunakan untuk menentukan
bahwa dekomposisi yang berjalan cepat menunjukkan adanya 3’ – 4’ dihidroksi
isoflavon. Penambahan natrium metoksida pada flavon dan flavonol dalam
metanol umumnya menghasilkan pergeseran batokromik untuk semua pita
serapan. Walaupnun demikian pergeseran batokromik yang besar pada serapa
pita I sekitar 40 – 65 nm tanpa penurunan intensitas, menunjukkan adanya
gugus 4’ – OH bebas. Dan flavonol yang tidak mempunyai gugus 4’ – OH bebas
juga memberikan pergeseran pada pita serapan I, dengan penurunan intensitas.
Dalam hal ini pergeseran batokromik disebabkan adanya gugus 3 – OH bebas.
Jika suatu flavonol mempunyai 3 dan 4’ – OH bebas, maka spektra dengan
natrium metoksida akan mengalami dekomposisi. Pengganti natrium metoksida
yang baik ialah laruan NaOH 2M dalam air.
3. Efek natrium asetat. Natrium asetat merupakan basa lemah dan
hanya akan mengionisasi gugus yang sifat keasamannya tinggi, khususnya
untuk mendeteksi adanya gugus 7 – OH bebas. Natrium asetat hanya dapat
mengionisasi isoflavon khusus pada gugus 7 – OH. Gugus 3’ atau 4’ – OH pada
flavonol. Oleh sebab itu interpretasi terhadap pergeseran spektra isoflavon untuk
penambahan natrium asetat menjadi sederhana. Adanya 7 – OH isoflavon
menyebabkan pergeseran batokromik 6 – 20 nm pada pita II setelah
penambahan natrium asetat. Adanya natrium asetat dan asam borat akan
membentuk kompleks dengan gugus orto hidroksil paa cincin B menunjukkan
pergeseran batokromik pada pita serapan I sebesar 12 – 30 nm. Gugus orto
hidroksil pada cincin A juga dapat dideteksi dengan efek natrium asetat dan
asam borat. Adanya pergesaran batokromik sebesar 5 – 10 nm pada pita II
menunjukkan adanya gugus orto hidroksi pada posisi C6 dan C7 atau C7 dan C8.
4. Efek aluminium klorida. Pereaksi ini dapat membentuk kompleks
tahan asam antara gugus hidroksi dan keton yang bertetangga dan membentuk
kompleks tidak tahan asam dengan gugus orto – hidroksi, perekasi ini dapat
digunakan untuk mendetekasi kedua gugus tersebut. Adanya gugus 3’, 4’ –
dihidroksil pada isoflavon atau flavanon dan dihidroflavonol tidak dapat dideteksi
dengan AlCl3 karena cincin B mempunyai sedikit atau tidak ada konyugasi
dengan kromofor utama. Jika isoflavon, flavanon (dan mungkin dihidroflavonol)
mengandung gugus-gugus orto – hidroksil pada posisi 6, 7 atau 7, 8 maka
spektra AlCl3 menunjuikkan pergeseran batokromik (biasanya pada pita I
maupun pita II) dengan membandingkan terhadap spektra AlCl3 / HCl. Pita
serapa II spektra UV dari semua 5 – OH isoflavon dapat dideteksi dengan
penambahan AlCl3 atau HCl, kecuali 2 – karboksil 5, 7 – dihidroksil isoflavon.
Adanya gugus tersebut ditandai dengan pergeseran batokromik pada pita II 10 –
14 nm (relatif terhadap spektra metanol). Spektra isoflavon yang tidak
mempunyai gugus 5 – OH bebas tidak berefek setelah penamabahan AlCl3 /
HCl. Pada flavon dan flavonol, adanya gugus orto – hidroksil pada cincin B dapat
diketahui jika penambahan asam terhadap spektra AlCl3 menghasilkan
pergeseran hipsokromik sebesar 30 – 40 nm pada pita I (atau pita Ia jika terdiri
dari dua puncak). Dengan adanya pergeseran batokromik pada pita Ia (dalam
AlCl3 / HCl) dibandingkan dengan pita I (dalam metanol) sebesar 35 – 55 nm,
menunjukkan adanya 5 – OH flavon atau flavonol 3 – OH tersubtitusi.
Pereaksi Geser NaOAc Pereaksi Geser AlCl3 / HCl
7 – HIDROKSIFLAVON
Data kromatografiUV------------ Fluoresensi kuning pucatUV/NH3------ Fluoresensi kuning terangRf 0,89 (TBA), 0,29 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 252,268,307NaOMe ------------ 266,307,359AlCl3 ---------------- 249,307AlCl3 / HCl -------- 251,307,358NaOAc ------------- 275,359NaOAc / H3BO4 -- 255 sh,270 sh,309
3’, 4’ - DIHIDROKSIFLAVONData kromatografiUV------------ Fluoresensi biru terangUV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijauRf 0,77 (TBA), 0,18 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 242,308sh,340NaOMe ------------ 249sh,278sh,302,404AlCl3 ---------------- 248sh,273sh,304,378,468shAlCl3 / HCl -------- 242,312sh,342NaOAc ------------- 305,348,400NaOAc / H3BO4 – 306,365
KRISINData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Ungu gelap Rf 0,90 (TBA), 0,16 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,268,313NaOMe ------------ 288,263sh,277,361AlCl3 ---------------- 252,279,330,380AlCl3 / HCl -------- 251,280,326,381NaOAc ------------- 275,359NaOAc / H3BO4 – 269,315
3’,4’,7-TRIHIDROKSIFLAVON 7-0-RHAMNOGLUKOSIDAKRISINData kromatografiUV------------ Fluoresensi biru terangUV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijau Rf 0,26 (TBA), 0,38 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,255sh,305,341NaOMe ------------ 293, 405AlCl3 ---------------- 244sh,258sh,306,380AlCl3 / HCl -------- 247sh,257sh,306,341NaOAc ------------- 275sh,299,350,401NaOAc / H3BO4 – 257sh,365
BAIKALEINData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Ungu gelapRf 0,78 (TBA), 0,19 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,274,323NaOMe ------------ 257,366,410sh(dec)AlCl3 ---------------- 247,272,284sh,375AlCl3 / HCl -------- 255sh,282,292sh,346NaOAc ------------- 257,360,405sh(dec)NaOAc / H3BO4 – 262sh,277,333
LUTEOLINData kromatografi
UV------------ Ungu gelapUV/NH3------ KuningRf 0,77 (TBA), 0,08 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 242sh,253,267,291sh,349NaOMe ------------ 266sh,329sh,401AlCl3 ---------------- 274,300sh,328,426AlCl3 / HCl -------- 266sh,275,294,sh,355,385NaOAc ------------- 269,326sh,384NaOAc / H3BO4 – 259,301sh,370,430sh
KRISOERIOLData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Kuning-HIJAURf 0,80 (TBA), 0,05 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 241,249SH,269,347NaOMe ------------ 254,275SH,329SH,405AlCl3 ---------------- 262,274,296,366sh,390AlCl3 / HCl -------- 259,276,294,353,386NaOAc ------------- 271,321,396NaOAc / H3BO4 – 268,349
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOMe
(Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
Kekuatan menurun terus (artinya
penguraian)
3,4’-OH,O –diOH pada cincin A;
pada cincin B 3-OH yang
berdampingan
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
4’-OH
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Pita baru (bandingkan dengan MeOH),
320 – 325 nm
7–OH
Isoflavon Tak ada pergeseran Tak ada OH pada cincin A
Flavanon
Dihidroflavonol
Kekuatan menurun dengan
berjalannya waktu
O–diOH pada cincin A
(penurunan lambat: O –diOH
pada cincin B isoflavon)
Bergeser dari k.280 nm ke
k.325 nm, kekuatan naik
tetapi ke 330-340 nm
Falvanon dan dihidroflavonol
dengan 5, 7–OH
7–OH, tanpa 5-OH bebas
Khakon
Auron
+80 sampai 95 nm
(kekuatan naik)
+ 60 sampai 70 nm
(kekuatan naik)
Pergeseran lebih kecil
4’–OH (auron)
6–OH tanpa oksigenasi pada 4’
(auron)
6–OH dengan oksigenasi pada
4’ (auron)
+ 60 sampai 100 nm
(kekuatan naik)
(tanpa kenaikan kekuatan)
+ 40 sampai 50 nm
4 – OH (khalkon)
2–OH atau 4’–OH dan tapa
4–OH
4’–OH (2’–OH atau 4–OR juga
ada)
Antosianidin
Antosianin
Semuanya terurai kecuali 3-
deoksiantosianidin
Nihil
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOAc
(Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
+ 5 sampai 20 nm (berku-
rang bila ada oksigenasi
7-OH
Isoflavonol pada 6 atau 8)
Kekuatan berkurang dengan bertambahnya
waktu
Gugus yang peka terhadap
basa, mis. 6,7 atau 7,8 atau 3,4’-
diOH
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Pita baru (bandingkan dengan MeOH),
320 – 325 nm
7–OH
Flavanon
Dihidroflavonol
+35 nm
+60nm
7-OH (dengan 5-OH)
7-OH (dengan tanpa 5-OH)
Kekuatan berkurang dengan bertanbahnya
waktu
Gugus yang peka terhadap
basa, mis.67 atau 7,8-diOH
Khakon
Auron
Pergeseran batokromik atau bahu pada
panjang gelombang yang lebih panjang
4’ dan / atau 4-OH (khalkon)
4’ dan / atau 6-OH (auron)
Penafsiran spektrum UV dengan NaOAc / H3 BO3 (Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
Auron
Khalkon
+12 21mpai 36 nm
(nisbi terhadap spektrum MeOH)
Pergeseran lebih kecil
O-diOH pada cincin B
O-diOH pada cincin A (6,7 atau
7,8)
Isoflavon
Flavanon
Dihidroflavonol
+10 sampai 15 nm (nisbi
terhadap spektrum MeOH)
O-diOH pada cincin A (6,7 atau
7,8)
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan AlCl3 dan AlCl3 /HCl(Markham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon dan
Flavonol
(AlCl3 / HCl)
+35 sampai 55 nm
+17 sampai 20 nm
5-OH
5-OH denganm gugus oksigenasi
pada 6
(AlCl3)
Tak berubah Mungkin 5-OH dengan gugus
prenil pada 6
+50 sampai 60 nm Mungkin 3-OH (dengan atau
tanpa 5-OH)
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 30 sampai 40 nm
O-diOH pada cincin B
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 20 sampai 25 nm
O-diOH pada cincin A (tambahan
Pada pergeseran O-diOH pada
cincin B)
Isoflavon,
Flavanon, dan
Dihidroflavonol
(AlCl3 / HCl)
+10 sampai 14 nm
+ 20 sampai 26 nm
5-OH (isoflavon)
5-OH (flavon, dihidroflavonol
(AlCl3) Pergeseran AlCl3 / HCl,
tambah 11 sampai 30 nm
O-diOH pada cincin A (6,7 dan
7,8)
Pergeseran AlCl3 / HCl,
tambah 30 sampai 38 nm
(peka terhadap NaOAc)
Dihidroflavonol tanpa 5-OH
(tambahan pada sembarang
pergeseran O-diOH)
Auron
Khalkon
(AlCl3 / HCl)
+48 sampai 64 nm
+ 40 nm
2’-OH (khalkon)
2’-OH (khalkon) dengan
oksigenasi pada 3’
(AlCl3) +60 sampai 70 nm
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 40 sampai 70 nm
4-OH (auron)
O-diOH pada cincin B
Penambahan lebih kecil Mungkin O-diOH pada cincin A
Antosianidin
Antosianin
(AlCl3)
+25 sampai 35 nm
(pada pH 2-4)
O-diOH
Pergeseran lebih besar Banyak O-diOH atau O-diOH (3-
deoksi antosianidin)
Penetapan kadar flavonoid
Prinsip kerja: Flavonoid ditetapkan kadarnya sebagai aglikon dengan
terlebih dahulu dilakukan hidrolsisi dan selanjutnya dilakukan pengukuran
spektrometri dengan pereaksi geser AlCl3 dengan penambahan
heksametilentetramina pada panjang gelombang maksimum.
Cara kerja : Sejumlah ekstrak yang setara dengan 200 mg simplisia
dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Tambahkan 1.0 ml larutan 0,5% b/v
heksametilentetramina, 20.0 ml aseton dan 2.0 ml larutan 25% HCl dalam air.
Refluks selama 30 menit. Campuran hasil hidrolisis disaring menggunakan
kapas ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambah 20 ml aseton, didihkan sebentar,
lakukan dua kali dan filtrat dikumpulkan, cukupkan volumenya hingga 100.0 ml,
kocok hingga rata. 20 ml filtrat dimasukkan dalam corong pisah dan ditambahkan
20 H2O, selanjutnya diekstraksi aglikon pertama dengan 15 ml etil asetat.
Kemudian dua kali dengan 10 ml etil asetat, lapisan etil asetat dikumpulkan ke
dalam labu tentukur 50.0 ml, cukupkan volume hingga 50.0 ml. Lakukan
pengukukuran spektrometri.
Spektrometri : Sebanyak 10 ml larutan fraksi etil asetat ke dalam labu
tentukur 25.0 ml, tambah 1 ml larutan 2 g AlCl3 dalam 100 ml larutan asam
asetat glasial 5% dalam metanol. Tambahkan secukupnya larutan asam asetat
glasial 5% v/v dalam metanol hingga 25.0 ml. Hasil reaksi siap diukur pada
panjang gelombang maksimum. Perhitungan kadar menggunakan bahan standar
glikosida flavonoid (hipetoksida, rutin, hesperidin), gunakan kurva baku dan nilai
kadar dihitung sebagai bahan standar tersebut.
SKEMA PENETAPAN KADAR FLAVONOID TOTAL
+ 1.0 ml lar 0,5% b/v heksametilentetramin + 20.0 ml aseton + 2.0 ml lar HCl 25% - Refluks selama 30’ - Saring menggunakan kapas Ad kan dengan
+ 20 ml aseton - Didihkan sebentar - Perlakuan 2x
- Masuk ke dalam corong pisah + 20 ml H2O kocok dengan - 15 ml etil asetat - 2 x 10 ml etil asetat
Dalam labu ukur 50 ml Adkan dengan etil asetat
- Pipet 10 ml, masuk dalam labu ukur 25 ml - + 1 ml AlCl3 2% dalam asam asetat galsial 5% v/v - ad volume dengan asam asetat glacial 5% v/v dalam metanol - Diamkan 30’
- Ukur panjang gelombang maksimum - Buat kurva baku untuk memperoleh persamaan garis linier dan bandingkan dengan sampel
Sampel ekstrak Setara dengan 200 mg
simplisia
Ampas Labu ukur 100 ml
FiltratAmpas
20 ml
Filtrat campurLapisan air
50 ml larutan etil asetat
Y = b + aX
Contoh :
1. Pembuatan larutan baku
Rutin ditimbang secara saksama sebanyak 0,0113 g, dimasukkan ke
dalam labutentukur 10 ml dan diencerkan dengan etanol 96% hingga tanda
digunakan sebagai larutan stok. Selanjutnya dibuat berbagai konsentrasi dengan
0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial masing-masing;
a. 2 ml larutan stok rutin (0,113% b/v) diencerkan dalam labutentukur 10
ml dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda
(0,0226%)
b. 1 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00452%)
c. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00678%)
d. 2 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00904%)
e. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,01356%)
Ukur absorban spektrokooi UV.
2. Penetapan kadar flavonoid total
Sebanyak 50 mg ekstrak daun paliasa, dimasukkan ke dalam labu alas
bukat. Tambahkan heksamin 126,5 mg, 20 ml aseton dan 2.0 ml HCl,
kemudian direfluks selama 30 menit, dinginkan. Selanjutnya disaring
dengan kapas ke dalam labutentukur 100 ml, ampas dicuci dua kali,
setiap kali dengan 20 ml aseton dan didihkan sebentar. Filtratnya
dimasukkan ke dalam labutentukur yang berisi filtrat pertama, cukupkan
volumenya dengan aseton. Pipet 20 ml larutan dan masukka ke dalam
corong pisah dan ditambah dengan 20 ml air serta 15 ml etilasetat,
dikocok beberapa saat. Lapisan etil asetat (lapisan atas) ditampung ke
dalam labutentukur 50 ml, lapisan bawah dikocok kembali sebanyak dua
kali masing-masing dengan 10 ml etil asetat. Lapisan etil asetat
dipisahkan dimasukkan ke dalam labutentukur yang telash berisi lapisan
utama, cukupkan volumenya hingga tanda dengan etil asetat. Pipet
dengan pipet volume sebanya 4 ml, masukkan dalam labutentukur 5 ml,
tambahkan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda, ukur
absorban.
Perhitungan
Persamaan garis regresi linier dari kurva baku
Y = 227,54 X + 0,0976
Y – 0,0976X = 227,54
Jika absorban 0,330 nm, maka kadar flavonoid :
0,330 – 0,0976X = = 0,001021359 % 227,54
Kadar flavonoid total dalam 4 ml = 5 / 4 x 0,001021359 %
= 0,001276699 %
= 0,01276699 mg/ml
Berat flavonoid total dalam 50 ml larutan etil asetat :
= 50 ml x 0,01276699 mg/ml
= 0,6383495 mg ~ 20 ml filtrat aseton
Berat flavonoid total dari ekstrak yang dihidrolisis
= 100 / 20 x 0,6383495 mg
= 3,1917474 mg
Jadi kadar flavonoid dalam ekstrak daun paliasa :
= 3,1917474 mg / 101 mg x 100 %
= 3,16 %
J. Sumber – Sumber Flavonoid
Flavonoid tersebar luas pada tumbuhan tapi jarang terdapat pada bakteri,
jamur dan lumut. Dalam dunia tumbuhan, flavonoid tersebar luas dalam suku
Rutaceae, Papilionaceae (kacang-kacangan), Labiatae (Ortosiphon),
Compositae (contoh: Sonchus arvensis), Anacardiaceae, Apiaceae/Umbeliferae
(seledri, pegagan, wortel), dan Euphorbiaceae (contoh: daun singkong). Pada
tingkat organ, flavonoid tersebar pada seluruh bagian tanaman seperti biji,
bunga, daun, dan batang. Pada tingkat jaringan, flavonoid banyak terdapat pada
jaringan palisade. Pada tingkat seluler, flavonoid bisa terdapat pada dinding sel,
kloroplas, atau terlarut dalam sitoplasma. Pada paku-pakuan, flavonoidnya
berupa flavonoid polimetoksi sehingga hanya terdapat pada dinding sel dan tidak
terdapat pada sitoplasma karena sitoplasma mengandung banyak air sehingga
bersifat polar dan tidak dapat melarutkan flavonoid polimetoksi.
Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk
daun, akar, kayu, kulit, tepungsari, nektar, bunga, buah dan biji. Hanya sedikit
catatan yang melaporkan flavonoid pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau
berang-berang, propilis (sekresi lebah), sayap kupu-kupu, yang mana dianggap
bukan hasil biosintesis melainkan dari tumbuhan yang menjadi makanan hewan
tersebut, Senyawa antosianin sering dihubungkan dengan warna bunga
tumbuhan. Sianidin umumnya terdapat pada suku Gramineae. Senyawa
biflavonoid banyak terdapat pada subdivisi Gymnospernae sedang isoflavonoid
pada suku leguminosae. Pada tumbuhan yang mempunyai morfologi sederhana
seperti lumut, paku, dan paku ekor kuda mengandung senyawa flavonoid O-
GIikosida, flavonol, flavonon, Khalkon, dihidrokhalkon, C-Gl ikosida .
Angiospermae mengandung senyawa flavonoid kompleks yang lebih banyak.
Flavonoid adalah pigmen tumbuhan yang paling penting untuk warna
bunga yang memproduksi pigmentasi kuning atau merah/biru di kelopak yang
dirancang untuk menarik pollinator hewan. Flavonoid dikeluarkan oleh akar
tanaman bantuan host mereka ” Rhizobia” dalam tahap infeksi mereka hubungan
simbiotik dengan kacang-kacangan seperti kacang polong, kacang, Semanggi,
dan kedelai. Rhizobia yang tinggal di tanah dapat merasakan flavonoid dan ini
memicu sekresi mengangguk faktor, yang pada gilirannya diakui oleh tanaman
dan dapat menyebabkan akar rambut deformasi dan beberapa tanggapan selular
seperti ion fluks dan pembentukan nodul akar. Mereka juga melindungi tanaman
dari serangan dengan mikroba, jamur dan serangga.
Flavonoid (khusus flavnoids seperti catechin) adalah “kelompok yang
paling umum polyphenolic senyawa dalam makanan manusia dan ubiquitously
ditemukan pada tanaman”. Flavonols, bioflavonoids asli seperti quercetin, yang
juga ditemukan ubiquitously, tetapi dalam jumlah yang lebih rendah. Kedua set
senyawa memiliki bukti modulasi kesehatan efek pada hewan yang makan
mereka.
Flavonoid (flavonols danflav nols) umumnya dikenal dengan aktivitas
antioksidan in vitro. Konsumen dan produsen makanan menjadi tertarik pada
flavonoid untuk sifat obat mungkin, terutama peran mereka diduga dalam
pencegahan kanker dan penyakit kardiovaskular. Meskipun bukti fisiologis tidak
belum didirikan, efek menguntungkan dari buah-buahan, sayuran, dan teh atau
bahkan merah anggur kadang-kadang telah dituduhkan flavonoid senyawa
daripada mikronutrien dikenal, seperti vitamin dan mineral.
Flavonoid adalah komposisi dalam makanan yang merupakan
antioksidan penangkal radikal bebas. Anda bisa menemukan flavonoid di dalam
buah-buahan atau sayuran tertentu. Fungsinya adalah melindungi dinding
pembuluh darah, mengurangi risiko alergi, menjaga kesehatan otak, hingga
mencegah beberapa penyakit kanker. Berikut ini makanan yang dapat kita
konsumsi untuk mendapatkan khasiat flavonoid.
A. Contoh Pada Buah-buahan yang banyak mengandung senyawa
Flavonoid :
1. Blueberry
Blueberry mengandung antioksidan tinggi yang melindungi dinding
pembuluh darah dan melindungi otak dari Alzheimer. Di dalam blueberry juga
ada senyawa bernama D-mannose yang membantu Anda mencegah infeksi
saluran kencing. Selain itu, blueberry ampuh mengurangi inflamasi pada perut
dan sistem pencernaan.
2. Teh hijau
Makanan lain yang mengandung flavonoid adalah teh hijau. Senyawa
utama di dalam teh hijau khususnya adalah polyphenol yang merupakan
antioksidan pencegah inflamasi dan kanker. Sudah banyak pula penelitian yang
membahas kandungan dalam teh hijau (kafein, theanine, dan catechin) yang
membantu peningkatkan sistem metabolisme tubuh.
3. Cokelat
Cokelat kaya akan antioksidan yang menyehatkan sistem kardiovaskular.
Misalnya menurunkan tekanan darah tinggi, melancarkan sistem peredaran
darah, dan membuat trombosit bekerja dengan lebih baik. Namun hanya cokelat
hitam yang memiliki khasiat flavonoid secara maksimal.
4. Bilberry
Salah satu herbal alami yang juga kaya akan flavonoid adalah bilberry
(bagian dari vitamin C kompleks). Penelitian pernah membuktikan bahwa jenis
flavonoid tersebut membantu memperkuat dinding pembuluh darah dan
mencegah kelainan mata. Selain bilberry, cherry dan blackberry juga termasuk
sumber flavonoid yang baik.
5. Sayuran
Terakhir, ada sayuran yang disebutkan sebagai salah satu makanan yang
kaya akan flavonoid. Misalnya brokoli, kale, bawang bombai, paprika, dan
bayam. Namun sayang jamur bukan termasuk sayuran yang mengandung
flavonoid. Meskipun ada banyak khasiat lain dari jamur itu sendiri. Kita juga bisa
menikmati sayuran dan buah mentah setiap hari untuk asupan flavonoid bagi
tubuh. Namun jika menderita masalah kesehatan tertentu dan alergi terhadap
beberapa makanan, Anda bisa mengonsumsi suplemen flavonoid.
B. Berikut beberapa contoh tanaman yang mengandung flavonoid
1. Kembang Sepatu
Nama simplisia : Hibiscus rosa-sinensidis Folium, Hibiscus rosa-
sinensidis Radix
Nama Tanaman Asal : Hibiscus rosa-sinensis L.
Keluarga : Malvaceae
Zat berkhasiat : Lendir, flavonoid, dan zat samak
Penggunaan : Akar : Batuk, bronkitis, demam, haid tidak teratur,
infeksi saluran kemih,keputihan, pelembut kulit,
radang kemih dan sariawanbisul (obat luar), radang
kulit bernanah (obat luar), radang payudara(obat luar)
Anti inflamasi, diuretik, analgesik, sedatif, dan
ekspectoran.
2. Mahoni
Nama simplisia : Swieteniae Radix
Nama Tanaman Asal : Swietenia mahaboni Jacq.
Keluarga : Meliaceae
Zat berkhasiat : Saponin dan flavonoida
Penggunaan : Tekanan darah tinggi (hipertensi),kencing manis
(diabetes militus),kurang nafsu makan,masuk angin,
demam, rematik, ,
3. Nangka
Nama simplisia : Artocarpi Lignum
Nama Tanaman Asal : Artocarpus integra Merr. Thumb.
Keluarga : Moraceae
Zat berkhasiat : Morin, flavon, sianomaklurin (zat samak), dan tanin
Penggunaan : Anti spasmodik dan sedatif
4. Remak Daging
Nama simplisia : Hemigraphis coloratae Folium
Nama Tanaman Asal : Hemigraphis colorata Hall.
Keluarga : Euphorbiaceae
Zat berkhasiat : Flavonoid, natrium, senyawa kalium
Penggunaan : Disentri, wasir, perdarahan sesudah melahirkan
Diuretik dan hemostatik
5. Temu Putih
Nama simplisia : Zedoariae Rhizoma
Nama Tanaman Asal : Curcuma zedoaria Berg. Roscoe.
Keluarga : Zingiberaceae
Zat berkhasiat : Minyak atsiri zingiberin, sineol, prokurkumenol,
kurkumenol, kurkumol
isofuranolgermakrena,kukumadeol, hars, zat pati
lendir,minyak lemak, saponin, polivenol danflavonoid.
Penggunaan : Kanker rahim, kanker kulit, pencernaan tidak baik,
nyeri hamil rahim membesar, sakit maag, memar (obat
luar), pelega perut.
Antineoplastik, kholeretik, stomakik, antiflogostik, dan
antipiretik.
6. Kulit kina
Nama simplisia : Cinchonae Cortex
Nama Tanaman Asal : Cinchona succirubra
Keluarga : Rubiaceae
Zat berkhasiat : alkaloida kinina, saponin, flavonoida dan politenol
Penggunaan : anti malaria
7. Gandarusa
Nama simplisia : Gendarusa Folium ; Gendarusa Radix
Nama Tanaman Asal : Justicia gendarussa Burm. F.
Keluarga : Acanthaceae
Zat berkhasiat : Alkaloid,saponin, flavonoid, polifenol
Alkaloid yustisina dan minyak atsiri
Penggunaan : Haid tidak teratur, bisul (obat luar), memar (obat luar),
patah tulang (obat luar), radang kulit bernanah (obat
luar), rematik (obat luar) dan sakit kepala (obat
luar)
Analgesik, antipiretik, diaforetik, diuretik dan sedatif
8. Sidaguri
Nama simplisia : Sidae Folium
Nama Tanaman Asal : Sida rhombifolia L.
Keluarga : Malvaceae
Zat berkhasiat : flavonoid, sterol Alkaloid hipaforina,gula, triterpenoid.
Penggunaan : Batuk darah, batu ginjal,cacing keremi, demam,
disentri, malaria, sakit perut, rematik, radang amandel,
selesma, usus buntu, Bisul (obat luar), Eksem (obat
luar), gatal (obat luar), ketombe (obat luar)
Anti inflamasi, diuretik, dan analgesik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenolik di
samping fenol sederhana, fenilpropanoid,dan kuinonfenolik (Harborne
1986). Sebanyak 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh
tanamandiubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berhubungan erat
dengannya (Markham 1988). Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat
dalam berbagai bentuk struktur. Semuanya mengandung 15 atomC dalam
inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin
aromatik dihubungkan oleh 3 karbon yang dapat atau tidak dapat
membentuk cincin ketiga. Cincin diberi nama A,B, dan C, atom karbon
dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan angka untuk
cincin Adan C serta angka beraksen untuk cincin B.
B. Saran
Penjelasan mengenai senyawa flavonoid dalam makalah ini masih
belum sempurna, sehingga para pembaca diharapkan dapat menambah
wawasan melalui literatur lainnya.Selain itu, diharapkan untuk selanjutnya,
bagi rekan-rekan yang ingin menyusun makalah mengenai senyawa
flavonoid dapat mencari literatur yang lebih banyak lagi untuk melengkapi
penjelasan mengenai senyawa fenolik, agar materi mengenai senyawa
poliketida tersebut dapat lebih lengkap dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986, Merck Index, Eighth Edition, Merck & CO,Inc,Rahway, M.J.,U.S.A
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1986, Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta
Direktorat Pengawasan Obat Tradisonal, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI., Cetakan Pertama, Jakarta
Gandjar,I.G., 1991, Kimia Analisis Instrumental , Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 18 – 19
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penentuan Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. Penerbit ITB, Bandung, 4-15, 47-89, 69-100
Harborne, J.B., Mabry, T.J., 1975, The Flavonoids, Chapman and Hall, London.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I – IV. Terjemahan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan Sarana Warna Jaya, Jakarta.
Ikan, R,. 1976. Natural Products. A Laboratory Guide. Second Printing. Academic Press, Jerusalem.
Mabry, T.J., et.al., 1970, The Systematic Identification of Flavonoid, Springer Verlag, New York-Heidelberg Berlin, 3 -35, 165 – 171
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh
Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1 – 65
Pramono, S., 1989, Pemisahan Flavonoid, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 – 19
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh Sarjono Kisman dab Slamet Ibrahim, Cetakan II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 345 – 347
Samuelsson, G. 1999. Drug of Natural Origin. A Textbook of Pharmacognosy, 4th resived edition. Sweden, 46-47
Sastrohamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, Edisi kedua, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1 – 11, 13 – 25
Untoro, P., 1990, Pemeriksaan Kandungan Flavonoid Eriobotrya japonic, Disertasi, ITB, Bandung, 15
World Heath Organization, 1998, Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials, Geneva
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOID
DARI MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.)
Ida Ayu Raka Astiti Asih, Ketut Ratnayani, dan Ida Bagus Swardana
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran
ABSTRAK
Telah dilakukan penentuan aktivitas antiradikal bebas dengan metode
DPPH pada madu kelengkeng (Nephelium longata L.) secara spektrofotometri
UV-Vis serta penggolongan senyawa kimia dalam fraksi non polar dan semi
polar. Sebelumnya madu dimaserasi dengan metanol kemudian dipartisi dengan
pelarut n-heksana dan etil asetat. Selanjutnya diukur aktivitas antiradikal
bebasnya melalui serapan absorbansi pada panjang gelombang (λ) 497 nm, 517
nm, dan 537 nm pada konsentrasi DPPH antara lain: 0,001%, 0,002%, 0,003%,
dan 0,004%. Kemudian pada masing-masing fraksi ditentukan golongan
senyawa kimianya melalui uji fitokimia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fraksi n-heksan dan fraksi etil
asetat diduga mengandung senyawa golongan isoflavon, sedangkan aktivitas
antiradikal bebas pada fraksi semi polar lebih besar daripada fraksi non polar
dalam hal ini sebesar 91,71% dan 77,68% pada konsentrasi DPPH 0,001% (b/v).
Hal ini menunjukkan bahwa pada fraksi semi polar lebih banyak mengandung
komponen antiradikal bebas.
Kata Kunci : madu kelengkeng, aktivitas antiradikal bebas, metode DPPH, fraksi
n-heksana, fraksi etil asetat.
ABSTRACT
The determination of anti free radical activity on longan honey
(Nephelium longata L.) by DPPH method using UV-Vis sphectrophotometry and
identification of chemical compound in non polar and semi polar fraction have
been done. Longan honey was diluted with methanol and then partied by n-
hexane and ethyl acetate. The absorbance was measured at 497 nm, 517 nm,
and 537 nm for the DPPH concentration of : 0,001%, 0,002%, 0,003%, and
0,004% and the chemical compound was identified by phytochemical method.
The result showed that part of n-hexane and ethyl acetate probably
consist of chemical compound of isoflavone and value of anti free radical activity
on longan honey in semi polar fraction was higher than in non polar fraction
which were 91,71% and 77,68% at DPPH concentration of 0,001% (b/v).
Keywords : longan honey, free antiradical activity, DPPH method, n-hexane
fraction, ethyl acetate fraction
BAB I
PENDAHULUAN
Telah kita ketahui bahwa kesehatan merupakan modal dasar yang paling
penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kesehatan yang optimal maka segala
pekerjaan akan terhambat bahkan tertunda sama sekali. Negara dengan
mayoritas penduduk berusia panjang telah banyak diketahui bahwa mereka
mengkonsumsi makanan yang kaya akan kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan
buah-buahan. Hal ini mengkaitkan bahwa kesehatan erat hubungannya dengan
gaya hidup dan kualitas hidup manusia (National Geographic Indonesia, 2005).
Inilah yang memotivasi para peneliti pangan dan gizi untuk
mengeksplorasi senyawa-senyawa alami yang dapat menunda, menghambat,
dan mencegah proses oksidasi atau terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas
di tubuh kita yang diketahui sebagai salah satu penyebab rusak atau matinya
sel-sel di dalam tubuh kita. Karena tanpa disadari dalam tubuh kita terus-
menerus terbentuk radikal bebas melalui peristiwa metabolisme sel normal,
peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar
tubuh seperti polusi, sinar ultraviolet, dan asap rokok. Akibat yang ditimbulkan
oleh lingkungan tercemar, kesalahan gaya hidup akan merangsang tumbuhnya
radikal bebas yang dapat merusak tubuh kita (Anonim, 2008).
Salah satu aplikasi produk alami yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber antiradikal adalah madu. Madu merupakan produk organik yang
dihasilkan oleh lebah madu. Madu memiliki potensi dalam menghambat kelajuan
dari pertumbuhan bakteri penyebab infeksi (Siddiqa, 2008). Kandungan nutrisi
dalam madu yang berfungsi sebagai antiradikal adalah beberapa vitamin seperti
vitamin A, vitamin C, vitamin E, flavonoid, dan sebagainya. (Gheldof, 2002).
Madu kelengkeng diproduksi secara kontinyu di Indonesia. Di mana jenis
madu ini berasal dari jenis bunga yaitu bunga kelengkeng, yang diketahui
mempunyai khasiat yang sangat baik bagi kesehatan. Telah diteliti bahwa madu
kelengkeng memiliki aktivitas antiradikal bebas sebesar 82,10% lebih besar
dibandingkan dengan madu randu yaitu 69,37% untuk tiap 1 gram ekstrak pekat
metanol yang diteliti (Ana, 2010). Melihat dari publikasi di Indonesia tentang
madu kelengkeng yang masih terbatas terutama tentang aktivitas antiradikal
bebas pada kondisi pelarut yang berbeda maka perlu dilakukan penelitian untuk
mencari perbandingan aktivitas antiradikal bebas pada madu kelengkeng dalam
pelarut non polar dan semi polar. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
adalah n-heksan dan etil asetat yang merupakan pelarut umum dalam penelitian
kimia. Pengukuran perbandingan aktivitas antiradikal bebas akan dilakukan
secara spektrofotometri UV-Vis dengan metode yang sudah baku, sederhana,
serta memerlukan sedikit sampel yaitu menggunakan metode DPPH (1,1-difenil
2-pikiril hidrazil) dimana perubahan warna yang khas dari senyawa ini dapat juga
diamati secara visual (Blois, 1958).
BAB II
MATERI DAN METODE
1. Bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah : metanol
(CH3OH), etil asetat (CH3COOC2H5), n-heksana (C6H14), akuades (H2O), kristal
difenil pikril hidrazil (DPPH), pereaksi Wilstater (HCl + logam Mg), Natrium
Hidroksida (NaOH) 10%, asam sulfat (H2SO4) 10%, dan sampel madu
kelengkeng.
2. Peralatan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : seperangkat
alat gelas, neraca analitik, labu ukur 10 mL, pipet ukur 1 mL dan 2 mL, corong
pisah 1000 mL, stop watch, penguap putar vakum, spektrofotometer UV-Vis (UV-
1601 Shimadzu).
3. Cara Kerja
a. Penyiapan sampel.
Sampel madu kelengkeng yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari hasil peternakan lebah monofloral dari pohon kelengkeng dimana kualitas
madunya sudah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII).
b. Ekstraksi sampel madu kelengkeng
Sebanyak 250 mL sampel madu kelengkeng ditambahkan dengan
metanol sampai semua sampel madu terendam dalam pelarut selama ±24 jam,
selanjutnya filtrat disaring dan diuapkan pada tekanan rendah menggunakan
penguap putar vakum hingga diperoleh ekstrak kental metanol kemudian
dilarutkan dengan pelarut metanol:air (7:3) kemudian dipekatkan, lalu dipartisi
dengan n-heksan sebanyak 100 mL, kemudian fraksi tersebut dipartisi dengan
etil asetat sebanyak 100 mL kemudian masing-masing dipekatkan sehingga
diperoleh fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat yang masing-masing dilakukan
uji fitokimia.
c. Penentuan aktivitas antiradikal bebas dengan spektroskopi
Penentuan aktivitas antiradikal bebas dari ketiga fraksi yang diperoleh
dari langkah awal kemudian dikerjakan dengan beberapa tahap sebagai berikut :
1. Pengenceran sampel madu
Sebanyak 0,08 gram dari setiap fraksi diencerkaan dengan metanol pada
labu ukur 10 mL hingga kadarnya 8000 ppm.
2. Pembuatan larutan DPPH
Kristal DPPH ditimbang sebanyak 0,004 gram kemudian dilarutkan
dengan metanol dengan labu ukur tepat 100 mL sehingga kadarnya 0,004% (b/v)
lalu diencerkan menjadi 0,001%, 0,002%, dan 0,003%.
3. Pengujian aktivitas antiradikal bebas
Pengukuran absorbansi DPPH :
Spektra absorbansi DPPH diukur pada panjang gelombang yaitu 400-700
nm. Larutan blanko yang digunakan dalam setiap pengukuran adalah metanol.
Pencatatan hasil dilakukan pada tiga panjang gelombang yaitu 497 nm, 517 nm,
dan 537 nm untuk DPPH.
Pengukuran absorbansi sampel madu pada ketiga fraksi
Sejumlah 1 mL madu pada masing-masing fraksi langsung dimasukkan
ke dalam kuvet lalu ditambahkan 2 mL larutan DPPH 0,004%. Campuran
tersebut kemudian diaduk rata dengan menggunakan pipet. Pengukuran
absorbansi pada panjang gelombang 497 nm, 517 nm, dan 537 nm dilakukan
pada menit ke-5 dan ke-60. Demikian juga dilakukan pada konsentrasi DPPH
yang lain (Djatmiko, 1998).
d. Uji fitokimia
Fraksi non polar (n-heksan) dan fraksi semi polar (etil asetat) yang
diperoleh diuji dengan pereaksi tetes golongan kemudian dicatat perubahan
warnanya. Pereaksi yang digunakan antara lain larutan NaOH 10 %, H2SO4
pekat, serta HCl dan logam Mg.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Madu mengandung beragam senyawa antiradikal bebas seperti
flavonoid, beta karoten, dan vitamin C. Dalam penelitian ini, penentuan aktivitas
antiradikal bebas madu ditentukan melalui metode DPPH. Metode DPPH dipilih
karena sederhana, mudah cepat, dan peka serta hanya memerlukan sedikit
sampel (Blois, 1958). Sampel madu yang digunakan adalah madu kelengkeng.
Madu kelengkeng berasal dari nektar bunga dari pohon kelengkeng (madu
monoflora) sehingga memiliki wangi, warna, dan rasa yang spesifik sesuai
dengan sumbernya (Suranto, 2007). Sampel madu dipilih telah dilabel SII untuk
menghindari kesalahan dari penggunaan madu palsu.
a. Ekstraksi madu kelengkeng
Sampel madu kelengkeng ditimbang sebanyak 350,61 gram (250 mL)
dimaserasi dengan metanol kira-kira sebanyak 1 Liter (atau hingga sampel madu
terendam) selama 24 jam. Ekstraksi dengan teknik maserasi dipilih karena lebih
sederhana juga di dalam sampel madu banyak mengandung gula serta metabolit
sekunder yang dapat rusak karena adanya pemanasan hal ini terbukti saat
dilakukan hidrolisis gula (pemutusan aglikon) dengan menggunakan sokhlet
maka sampel madu menjadi berwarna coklat gelap dimana sampel tersebut
menjadi rusak sehingga pada penelitian ini metode tersebut tidak dilakukan.
Setelah 24 jam bagian dasar wadah terbentuk lapisan berwarna putih. Bagian
atas madu diambil untuk dipartisi. Pemisahan dengan metode partisi akan
menghasilkan pemisahan cairan sesuai dengan sifat kepolaran cairaan.
Bagian atas hasil maserasi dipekatkan dengan menggunakan penguap
vakum putar hingga sampel madu mengental dan diperoleh ekstrak kental
metanol yang berwarna coklat kemerahan. Kemudian ditambahkan 100 mL
metanol-air (7:3) kemudian diuapkan. Ekstrak kental metanol-air tersebut
dipartisi dalam dua tahap yaitu dengan n-heksan dan selanjutnya dengan etil
asetat. Kedua pelarut ini digunakan dalam partisi selain memiliki sifat dasar yang
berbeda yaitu non polar (n-heksan) dan semi polar (etil asetat) pelarut ini juga
dapat dijangkau dari segi penggadaan dan harga. Partisi tahap pertama yaitu
dengan n-heksan sebanyak 100 mL sehingga diperoleh dua lapisan yaitu lapisan
bagian atas adalah n-heksan dan lapisan bawah adalah metanol-air. Setelah
dilakukan pemisahan sebanyak dua kali dan dilakukan pemekatan dengan
menggunakan penguap vakum putar maka diperoleh ekstrak kental n-
heksana berwarna bening sedikit lengket sebanyak 0,20 gram. Ektrak kental
metanol-air juga dipartisi selanjutnya dengan menggunakan etil asetat sebanyak
100 mL sehingga diperoleh dua lapisan yaitu lapisan bagian atas adalah etil
asetat dan bagian bawah adalah metanol-air. Setelah dilakukan pemisahan
sebanyak dua kali dan dilakukan pemekatan dengan menggunakan penguap
vakum putar maka diperoleh ekstrak kental etil asetat berwarna kuning sebanyak
13,94 gram. Ekstrak kental metanol-air (7:3) dengan lapisan atas berwarna lebih
muda dan akan berangsur-angsur berwarna coklat muda setelah didiamkan
beberapa saat. Hal ini disebabkan karena masih ada distribusi partikel-partikel
menuju kesetimbangan sesuai dengan sifat kepolaran masing-masing.
Hasil ekstrak yang diukur aktivitas antiradikal bebasnya adalah fraksi n-
heksan dan fraksi etil asetat saja karena fraksi air yang diperoleh berupa lapisan
lengket berwarna cokelat gelap yang lengket dan mengeras. Ekstrak metanol-air
(7:3) yang mengandung sampel madu dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak
kental sebanyak 179,45 gram yang adalah lapisan lengket yang mengandung
komponen-komponen kimia yang tidak mudah larut ke dalam n-heksan maupun
etil asetat.
b. Penentuan aktivitas antiradical bebas secara spektroskopi
Spektrofotometri ultraviolet-tampak adalah salah satu teknik analisis yang
memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dengan panjang gelombang
(λ) 190-380 nm dan sinar tampak pada panjang gelombang (λ) 380-780 nm.
Serapan cahaya oleh suatu molekul dalam daerah spektrum UV-vis sangat
bergantung pada struktur elektronik dari molekul (Hardjono, 1991). Pengukuran
antiradikal bebas dengan metode DPPH sebagai senyawa radikal bebas stabil
yang ditetapkan secara spektrofotometri merupakan prosedur sederhana untuk
mengukur aktivitas antiradikal. Radikal DPPH adalah suatu senyawa organik
yang mengandung nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada λmaks 517
nm dan berwarna ungu gelap. Setelah bereaksi dengan senyawa antiradikal
maka DPPH tersebut akan tereduksi dan warnanya akan berubah menjadi
kuning. Perubahan warna tersebut disebabkan karena berkurangnya ikatan
rangkap terkonjugasi pada DPPH karena adanya penangkapan satu elektron
oleh zat antiradikal yang menyebabkan tidak adanya kesempatan elektron
tersebut untuk beresonansi dimana perubahan ini dapat diukur dan dicatat
dengan spektrofotometer.
Dua jenis ekstrak kental dari fraksi n-heksana dan fraksi etil asetat diuji
aktivitas antiradikal bebas secara spektroskopi menggunakan senyawa DPPH.
Pada tingkat konsentarasi yang berbeda dari DPPH yaitu 0,001%, 0,002%,
0,003%, dan 0,004% yang berwarna ungu sehingga besarnya aktivitas
antiradikal bebas pada kedua jenis fraksi tersebut dapat diukur sebagai %
peredaman
Adapun absorbansi hitung DPPH atau sampel pada puncak 517 nm dapat
dihitung melalui rumus sebagai berikut :
c. Absorbansi hitung DPPH atau sampel
Nilai 0% berarti tidak mempunyai keaktivan sebagai antiradikal bebas,
100 % berarti peredaman total. Suatu bahan dikatakan aktif sebagai antiradikal
bebas bila persentase peredamannya lebih dari atau sama dengan 50%
(Djatmiko, 1998). Dari hasil perhitungan pada maka diperoleh data seperti
tampak padaTabel1. Pengukuran % peredaman dengan menggunakan
konsentrasi DPPH yang beragam diterapkan untuk menguatkan data
perbandingan aktivitas antiradikal bebas pada fraksi non polar (n-heksana) dan
fraksi semi polar (etil asetat). Sehingga dari hasil perhitungan Tabel 1
menunjukkan bahwa baik dari fraksi n-heksan maupun fraksi etil asetat dari
madu kelengkeng memiliki presentase peredaman setelah 60 menit di atas 50%
(kecuali pada fraksi n-heksana pada peredaman DPPH 0,004%) dimana
perbandingan pada konsentrasi DPPH 0,001% menunjukkan perbandingan yang
nyata. Sehingga dapat diketahui bahwa sampel madu kelengkeng mengandung
bahan aktif antiradikal bebas. Dimana pada fraksi semi polar lebih tinggi dalam
meredam radikal bebas dibandingkan pada fraksi non polar. Sehingga terlihat
jelas bahwa komponen-komponen kimia antiradikal bebas lebih banyak
terdistribusi ke fraksi semi polar dibandingkan dengan fraksi non polar hal ini
disebabkan bahwa pada madu kelengkeng banyak mengandung metabolit
sekunder yang bersifat cenderung bersifat semi polar atau polar. Dimana
senyawa-senyawa kimia pada fraksi semi polar seperti golongan isoflavon selain
memiliki ikatan rangkap majemuk juga memiliki gugus hidroksi lebih banyak yang
dapat berpotensi untuk meredam radikal DPPH. Perhitungan % peredaman
dapat dilihat pada Tabel 2-4 sedangkan hasil perbandingan ini dapat dilihat pada
Gambar 1. Perbandingan persen peredaman radikal bebas pada fraksi etil asetat
dan fraksi n-heksana
d. Uji fitokimia ekstrak kental hasil partisi
Uji warna merupakan suatu metode kualitatif untuk menentukan
keberadaan suatu antiradikal dengan mereaksikan suatu sampel dengan reaktan
tertentu sehingga menunjukkan sifat fisik berupa perubahan warna tertentu
sebagai indikator. Ekstrak kental dari fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat diuji
fitokimia melalui reaksi warna dengan beberapa pelarut sehingga diperoleh data
seperti pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dan juga dengan membandingkan
data uji fitokimia pada literatur dapat disimpulkan bahwa pada fraksi n-heksana
dan fraksi etil asetat terjadi perubahan warna yang khas sehingga diduga
mengandung senyawa kimia golongan flavonoid khususnya isoflavon.
Tabel 1. Uji fitokimia dari fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat madu
No.Uji fitokimia Pereaksi yang ditambahkanPerubahan warna Kesimpulan
1 Steroid H2SO4 10% Bening→ungu -
2 Flavonoid NaOH 10%
HCl+logam Mg
HCl+dipanaskan
Bening→kuning
Bening→kuning
Bening→kuning
+
+
+
3 Saponin Air panas+HCl Tidak terbentuk busa -
4 Asam fenolatFeCl3 1% Bening→ungu -
Tabel 2. Hasil perhitungan persentase peredaman DPPH 0,001% (b/v)
Sampel Waktu
(menit)
Uji Absorbansi A A
hitung
517 nm
Perendaman
497
nm
517
Nm
537
nm
1 5
5
DPPH
Sampel
0,0736
0,0703
0,0838
0,0778
0.0717
0,0649
0,0112
0,0102
8,93%
60
60
DPPH
Sampel
0,1302
0,0607
0,1524
0,0673
0,1336
0,0574
0,0205
0,0085
58,54%
2 5
5
DPPH
Sampel
0,0736
0,0396
0,0838
0,0352
0,0717
0,0258
0,0112
0,0025
77,68%
60
60
DPPH
Sampel
0,1302
0,0204
0,1524
0,0190
0,1336
0,0142
0,0205
0,0017
91,71%
Tabel 3. Hasil perhitungan persentase peredaman DPPH 0,002% (b/v)
SampelWaktu
(menit)
Uji Absorbansi A A hitung
517 nm
Perendaman
497
nm
517
Nm
537
nm
1 5
5
DPPH
Sampel
0,1473
0,1399
0,1677
0,1541
0,1434
0,1300
0,0223
0,0191
14,35%
60
60
DPPH
Sampel
0,2604
0,1241
0,3048
0,1399
0,2673
0,1169
0,0410
0,0194
52,69%
2 5
5
DPPH
Sampel
0,1473
0,0979
0,1677
0,1012
0,1434
0,0825
0,0223
0,0110
50,73%
60
60
DPPH
Sampel
0,2604
0,0686
0,3048
0,0712
0,2673
0,0587
0,0410
0,0076
81,47%
Tabel 4. Hasil perhitungan persentase peredaman DPPH 0,004 % (b/v)
SampelWaktu
(menit)
Uji Absorbansi A A hitung
517 nm
Perendaman
497
nm
517
Nm
537
nm
1 5
5
DPPH
Sampel
0,2946
0,3125
0,3354
0,3390
0,2868
0,2892
0,0447
0,0382
14,54%
60
60
DPPH
Sampel
0,5208
0,2827
0,6096
0,3232
0,5346
0,2760
0,0819
0,0438
46,52%
2 5
5
DPPH
Sampel
0,2946
0,2501
0,3354
0,2599
0,2868
0,2151
0,0447
0,0273
38,93%
60
60
DPPH
Sampel
0,5208
0,1948
0,6096
0,2147
0,5346
0,1827
0,0819
0,0259
68,38%
Katerangan :
1 = Ekstrak kental n-heksan sampel madu
2 = Ekstrak kental etil asetat sampel madu
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Madu kelengkeng memiliki aktivitas antiradikal bebas yang lebih besar
pada fraksi etil asetat yaitu sebesar 91,71% dibandingkan pada fraksi n-
heksan sebesar 58,54% untuk konsentrasi DPPH 0,001% (b/v).
2. Dari uji fitokimia fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat dari madu
kelengkeng maka dapat diamati bahwa madu tersebut diduga
mengandung senyawa aktif antiradikal bebas golongan isoflavon.
Saran
Dari penelitian ini diperoleh terdapat beberapa hal menarik untuk diteliti
lebih lanjut, yaitu Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan fariasi
konsentrasi sampel untuk membandingkan peredaman radikal bebas DPPH dan
juga dapat dilakukan analisis lebih lanjut dengan teknik spektroskopi sehingga
dapat diketahui struktur molekul dari senyawa kimia yang memiliki aktivitas
antiradikal bebas tersebut.
Tugas Makalah Mata Kuliah Fitokimia
MAKALAH FITOKIMIA
“SENYAWA FLAVONOID”
OLEH :
SULTAN (N111 10 303)
SUHARPIAMI (N111 10 122)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013