Post on 02-Jan-2016
description
LAPORAN PENDAHULUAN
SECTIO CAESAREA, PROM, FC
SECTIO CESARIA (SC)
a. Definisi SC
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga
histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 1998). Sectio
caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2005). Sectio
caesarea atau bedah sesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan
melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu
(laparotomi) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih
(Dewi Y, 2007).
Jadi operasi Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan
janin (persalinan buatan), melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus bagian
depan sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding
rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.
b. Indikasi SC
Operasi sectio caesarea dilakukan jika kelahiran pervaginam mungkin akan
menyebabkan resiko pada ibu ataupun pada janin.
a) Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
1) Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan
lemah, ibu menderita penyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
2) Passenger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak dengan kelainan letak lintang, primi
gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress
syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
3) Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan pada jalan
lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa
menular ke anak, seperti herpes genitalis, condyloma lota (kondiloma
sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang
menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita),
hepatitis B dan hepatitis C (Dewi Y, 2007).
b) Indikasi sectio caesaria pada Ibu
1) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun,
memiliki resiko melahirkan dengan operasi, apalagi pada wanita dengan
usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki
penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung,
kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia dapat menyebabkan ibu
kejang sehingga persalinan harus dilakukan dengan sectio caesarea.
2) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan
proses persalinan.
3) Persalinan sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi
persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.
Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan
pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan
lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.
4) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku
sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit
bernafas.
5) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (incoordinate uterine
action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar
pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong
sehingga tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
6) Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke
luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah
cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.
7) Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit
di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut dapat
terjadi karena keadaan ibu yang pernah atau baru melahirkan merasa
takut, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan
secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang
berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang
berlangsung (Kasdu, 2003).
c) Indikasi sectio caesaria pada anak
1) Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Detak jantung janin melambat (normalnya detak jantung janin berkisar
120-160). Namun dengan CTG (cardiotocography) detak jantung janin
melemah, lakukan sectio caesarea segara untuk menyelamatkan janin.
2) Bayi Besar (makrosemia)
3) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai
dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang
satu dan bokong pada posisi yang lain.
4) Faktor Plasenta
Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau
selruh jalan lahir.
Plasenta lepas (Solutio placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari
dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan
untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan
oksigen atau keracunan air ketuban.
Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada
umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan berulang kali, ibu
berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah
operasi (operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan
menempelnya plasenta).
5) Kelainan Tali Pusat
Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada
keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat
sudah berada di jalan lahir sebelum bayi
Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali
pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari
plasenta ke tubuh janin tetap aman (Kasdu, 2003).
c. Kontraindikasi SC
Pada umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemia
berat sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (Sarwono, 1991).
d. Etiologi
Adapun penyebab dilakukan operasi sectio caesarea adalah :
Kelainan dalam bentuk janin
1) Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir.
2) Ancaman gawat janin
Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter
memutuskan untuk segera melakukan operasi. Apalagi jika ditunjang oleh
kondisi ibu yang kurang menguntungkan.
3) Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetik, dan
hidrosephalus, dapat menyebabkan diputuskannya dilakukan operasi.
4) Bayi kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5) Kelainan panggul
Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan. Terjadinya kelainan
panggul ini dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan pertumbuhan
dalam rahim (sejak dalam kandungan), mengalami penyakit tulang
(terutama tulang belakang), penyakit polio atau mengalami kecelakaan
sehingga terjadi kerusakan atau patah panggul.
6) Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas (Dini Kasdu,
2003).
e. Jenis-jenis SC
Abdomen (sectio caesarea abdominalis)
Sectio caesarea transperitonealis (SCTP)
Insisi pada dinding perut garis tengah dari simfisis sampai beberapa
centimeter di bawah pusat. Setelah peritoneum dibuka, dipasang speculum
perut, peritoneum pada dinding uterus depan dan bawah dipegang dengan
pinset kemudian plika vesiko urinaria dibuka dan insisi diteruskan melintang
jauh ke lateral, kandung kencing didorong kebawah dengan jari. Segmen
bawah uterus yang sudah tidak terhalang peritoneum dan kandung kencing
yang biasanya sudah menipis diadakan insisi melintang selebar 10
sentimeter dengan ujung kanan dan kiri agak melengkung ke atas untuk
menghindari terbukanya cabang-cabang arteri uterine. Selanjutnya
memecahkan selaput ketuban dan mengeluarkan janin serta plasenta.
Kelebihan:
o Mengeluarkan janin dengan cepat
o Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
o Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
o Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik
o Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan
o SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen
bawah rahim)
Sectio Caesar Corporal/ Klasik
Insisi bagian tengah korpus uteri sepanjang 10 sampai 12 cm dengan ujung
bawah di atas batas plika vesiko uterine. Komplikasi yang biasa timbul pasca
operasi caesar adalah infeksi puerperal, perdarahan, luka kandung kencing,
embolisme paru, lemahnya dinding uterus yang mengakibatkan rupture uteri
pada kehamilan berikutnya (Sarwono, 1999).
Kelebihan:
o Penjahitan luka lebih mudah
o Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
o Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
o Perdarahan tidak begitu banyak
o Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
o Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri pecah sehingga mengakibatkan perdarahan
banyak
o Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai
berikut (Mochtar, Rustam, 1992) :
a. Sayatan memanjang ( longitudinal )
b. Sayatan melintang ( Transversal )
c. Sayatan huruf T ( T insicion )
Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu :
1. Sayatan melintang
Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan
melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysisis) di atas
batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm. Keuntunganya adalah
parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita rupture uteri
(robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karna pada masa nifas, segmen bawah
rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh
lebih sempurna (Kasdu, 2003).
2. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik)
Meliputi sebuah pengirisan memanjang di bagian tengah yang memberikan
suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini
sekarang jarang dilakukan karena rentan terhadap komplikasi (Dewi Y, 2007).
f. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta
previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture
uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks,
dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu
tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri
pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan,
pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan
rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan
ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan
menimbulkan masalah risiko infeksi.
g. Komplikasi SC
Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain :
Infeksi puerperal ( Nifas )
o Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
o Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut
sedikit kembung
o Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
Perdarahan
o Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
o Perdarahan pada plasenta bed
Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
peritonealisasi terlalu tinggi
Kemungkinan rupture tinggi spontan pada kehamilan berikutnya
h. Pemeriksaan Diagnostik
Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
Pemantauan EKG
JDL dengan diferensial
Elektrolit
Hemoglobin/Hematokrit
Golongan darah
Urinalisis
Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi
Ultrasound sesuai pesanan
i. Penatalaksanaan Medis
1) Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak
terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan
yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara
bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah
diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2) Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
3) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
o Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
o Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar
o Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
o Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
o Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4) Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
5) Pemberian obat-obatan
o Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap
institusi
o Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
o Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobion, vit. C
6) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
7) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan
darah, nadi,dan pernafasan.
(Manuaba, 1999)
j. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan SC
a) Pengkajian
o Identitas klien dan penanggung
o Keluhan utama klien saat ini
o Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
o Riwayat penyakit keluarga
o Keadaan klien meliputi :
Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan
kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda
kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita.
Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik
diri, atau kecemasan.
Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal
epidural.
Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah,
distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus
mungkin ada.
Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.
b) Diagnosa Keperawatan
o Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section
caesarea)
o Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering
bekas operasi
o Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi
o Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan
pembedahan
o Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi
c) Rencana Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
o Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol
o Kriteria hasil :
Klien melaporkan nyeri berkurang / terkontrol
Wajah tidak tampak meringis
Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai
kemampuan
o Intervensi :
1. Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor
presipitasi.
2. Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah
meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara
efektif.
3. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas,
tidur, istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial)
4. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan
napas dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik.)
5. Kontrol faktor - faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya,
dan suara)
6. Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka
bekas operasi (SC)
o Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan klien tidak mengalami infeksi
o Kriteria hasil :
Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio
laesa)
Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi
nadi = 60 - 100x/ menit)
WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3 / uL)
o Intervensi :
1. Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat
waktu pecah ketuban.
2. Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa)
3. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
4. Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan
balutan sesuai indikasi
5. Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum / sesudah
menyentuh luka
6. Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah
WBC / sel darah putih
7. Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan
darah selama prosedur pembedahan
8. Anjurkan intake nutrisi yang cukup
9. Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi
o Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 6 jam
diharapkan ansietas klien berkurang
o Kriteria hasil :
Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah
Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang
o Intervensi :
1. Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem
pendukung
2. Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati
3. Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan
ansietas yang dirasakan
4. Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping
5. Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan,
penyembuhan, dan perawatan post operasi
6. Diskusikan pengalaman / harapan kelahiran anak pada masa lalu
7. Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal
PROM (Premature Rupture of Membrane)
a. Definisi
Ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan
berlangsung. Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya
kekuatan membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua
faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan mambran disebabkan adanya infeksi
yang dapat berasal dari vagina serviks (Prawiroharjo, 2002).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila
pembukaan primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.
(Prawirohardjo, 2005).
Premature Rupture of Membrane (PROM) didefinisikan sebagai pecahnya
ketuban sebelum waktunya melahirkan, yaitu pada usia kehamilan aterm atau
lebih dari 37 minggu, dimana dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah
dalam proses persalinan (Valemhnska, 2009).
b. Etiologi
Penyebab PROM masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara
pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat
dengan PROM, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui.
Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:
1. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya PROM.
2. Serviks yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh
karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curetage).
3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh
beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya
PROM. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan
dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya PROM karena
biasanya disertai infeksi.
4. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membran bagian bawah.
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Faktor lain
a. Faktor golongan darah
b. Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat
menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit
ketuban.
c. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
d. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
e. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C).
c. Faktor Risiko
Faktor risiko ketuban pecah dini persalinan preterm
o kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
o riwayat persalinan preterm sebelumnya
o perdarahan pervaginam
o pH vagina di atas 4.5
o Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
o flora vagina abnormal
o fibronectin > 50 ng/ml
o kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada
stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
o Inkompetensi serviks (leher rahim)
o Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
o Riwayat KPD sebelumya
o Trauma
o servix tipis / kurang dari 39 mm, Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm)
pada usia kehamilan 23 minggu
o Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm
o iatrogenik : hygiene kurang (terutama), tindakan traumatic
o maternal : penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis, pre-
eklampsia, trauma, konsumsi alkohol atau obat2 terlarang, infeksi
intraamnion subklinik, korioamnionitis klinik, inkompetensia serviks,
servisitis/vaginitis akut, Ketuban Pecah pada usia kehamilan preterm.
o fetal : malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan
janin terhambat, gawat janin, kematian janin.
o cairan amnion : oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban
pecah pada preterm, infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.
o placenta : solutio placenta, placenta praevia (kehamilan 35 minggu atau
lebih), sinus maginalis, chorioangioma, vasa praevia.
o uterus : malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis,
aktifitas uterus idiopatik
Taylor menyatakan bahwa ada hubungan PROM dengan hal-hal berikut :
o Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban
pecah. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis dan vaginitis
terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini
o Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
o Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
o Factor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multipara, malposisi,
disproporsi, cervix incompetent dan lain-lain.
o Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), dimana ketuban dipecahkan terlalu
dini.
d. Fisiologi Amnion
Di dalam ruang yang diliputi oleh selaput janin yang terdiri dari lapisan
amnion dan lapisan korion terdapat likuora amnii (air ketuban). Volume likuor
amnii pada hamil cukup bulan adalah 1.000-1.500 ml. Warna putih, agak keruh
serta mempunyai bau yang khas yaitu bau amis dan berasa amis. Reaksinya
agak alkalis dan netral dengan berat jenis 1.008. Komposisinya terdiri atas 98%
air dan sisanya terdiri atas garam organik serta bahan organik dan bila teliti
dengan benar terdapat rambut lanugo sel-sel epitel dan vernik kaseosa, protein
ditemukan rata-rata 2,6% gr/liter sebagian besar sebagai albumin.
Peredaran cairan ketuban sekitar 500 cc/jam atau sekitar 1% terjadi
gangguan peredaran pada air ketuban melebihi 1.500 cc air ketuban dapat
digunakan sebagai bahan penelitian untuk kematangan paru-paru janin
(Sarwono, 1999).
Faal air ketuban :
o Untuk proteksi janin
o Mencegah pelengketan janin dengan amnion.
o Agar janin dapat bergerak dengan bebas.
o Regulasi terhadap panas dan perubahan suhu.
o Meratakan tekanan intra uterin dan membersihkan jalan lahir bila ketuban
pecah.
o Menyebarkan kekuatan his sehingga serviks membuka.
o Sebagai pelicin saat persalinan
e. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai
berikut :
o Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi.
o Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan
mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
o Banyak teori, yang menentukan hal – hal diatas seperti defek kromosom,
kelainan kolagen sampai infeksi.
o Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler
korion dan trofoblas.
Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas
dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika terdapat infeksi dan
inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion
/ amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Etiologi dari PROM bersifat multifaktorial (Parry and Strauss, 1998). Selain
itu, yang penting untuk diingat adalah meskipun dengan berbagai karaktersitik
yang berbeda dari PROM dan pecahnya membran fetus secara normal selama
proses persalinan, hanya terdapat sedikit bukti bahwa mekanisme yang terlibat
didalamnya tidak identik. Hal ini menyebabkan dimulainya suatu pandangan
bahwa PROM merupakan presentasi dari akselerasi atau proses yang berlebihan
dari suatu mekanisme yang mengawali pecahnya ketuban secara spontan dalam
proses persalinan (Parry and Strauss, 1998).
Mekanisme ruptur dari fetal membran intrapartum telah dihubungkan
dengan melemahnya membran secara menyeluruh akibat dari kontraksi dan
peregangan yang berulang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kekuatan tegangan
dari membran yang berkurang pada spesimen yang didapatkan setelah
persalinan dibandingkan dengan spesimen yang didapatkan melalui sectio
cesarean. Membran yang pecah secara dini, mengalami defek lokal
dibandingkan perlemahan kekuatan tegangan secara menyeluruh (Parry and
Strauss, 1998).
Area sekitar daerah ruptur telah dideskripsikan sebagai “zona terbatas
dengan morfologi yang terganggu secara ekstrim (restricted zone of extreme
altered morphology)” yang ditandai dengan pembengkakan dan ganguan pada
jaringan kolagen fibrilar pada lapisan jaringan ikat amnion (compact, fibroblast,
spongy layers). Karena zona ini tidak meliputi seluruh tempat terjadinya ruptur,
maka zona ini dapat muncul sebelum terjadinya pecah ketuban dan
melambangkan titik awal pecahnya ketuban (Parry and Strauss, 1998; Jazayeri
2010).
Defisiensi nutrisi juga menjadi faktor resiko ibu memiliki struktur kolagen
abnormal dan telah dihubungkan dengan peningkatan resiko PPROM.Cross-links
kolagen, yang dibentuk melalui beberapa seri reaksi yang diinisiasi enzim lysyl
oxidase, meningkatkan kekuatan regangan dari kolagen fibrilar. Enzim lysyl
oxidase diproduksi oleh sel mesenkim dari amnion. Lysyl oxidase merupakan
enzim yang tembaga dependen, dimana ibu dengan PROM memiliki konsentrasi
tembaga yang lebih rendah dalam serum ibu dan serum tali pusat dibandingkan
dengan ibu yang dilakukan amniotomi dalam persalinan. Hal yang serupa terjadi
pada wanita yang memiliki konsentrasi ascorbic acid yang rendah, yang mana
dibutuhkan untuk pembentukan struktur triple helical dari kolagen, memiliki
insidensi PROM yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dengan konsentrasi
ascorbic acid yang normal(Parry and Strauss, 1998; Medina, 2006).
Faktor lainnya adalah merokok, yang secara independen dapat
meningkatkan resiko terjadinya PROM. Merokok memiliki hubungan dengan
menurunnya konsentrasi serum ascorbic acid. Selain itu, kadmium dalam
tembakau telah terbukti meningkatkan metallothionein, protein pengikat logam,
dalam trophoblast yang dapat menyebabkan sequestrasi dari tembaga. Fakta-
fakta ini menunjukkan bahwa penurunan ketersediaan tembaga dan ascorbic
acid mungkin ikut berperan dalam pembentukan selaput ketuban yang abnormal
pada perokok. Secara keseluruhan, menurunnya cross-links dari kolagen,
kemungkinan karena defisiensi dalam diet ataupun gaya hidup dapat menjadi
faktor resiko ibu untuk mengalami PROM (Parry and Strauss, 1998).
Faktor resiko lainnya adalah infeksi. Sebenarnya, telah lama diperdebatkan
infeksi intrauterin merupakan penyebab atau konsekuensi dari PROM. Terdapat
bukti tidak langsung bahwa infeksi traktus genetalia mengawali pecah ketuban
baik pada hewan dan manusia. Pada penelitian menggunakan kelinci, inokulasi
pada serviks dengan Escherichia coli (E. coli) menghasilkan kultur cairan amnion
yang positif pada 97% hewan coba dan persalinan preterm pada separuh dari
hewan coba. Sebagai perbandingan kontrasnya, inokulasi serviks dengan salin
tidak menyebabkan infeksi atau kelahiran preterm. Identifikasi mikroorganisme
patologik pada flora vagina ibu segera setelah terjadi pecah ketuban
menyediakan bukti yang mendukung konsep bahwa infeksi bakteri memiliki
peranan dalam patogenesis PROM. Juga, data epidemiologik menunjukkan
hubungan antara kolonisasi traktus genetalia oleh streptococcus grup B,
Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae,dan mikroorganisme yang
menyebabkan bakterial vaginosis (bakteri anaerobik vagina, Gardnerella
vaginalis,spesiesMobiluncus, dan mycoplasma genetalia) dengan peningkatan
resiko PPROM. Lebih lanjut lagi, pada beberapa penelitian dengan pengobatan
antibiotik pada wanita yang terinfeksi menurunkan insiden PPROM.Mekanisme
pecah selaput ketuban dengan infeksi intrauterin sebagai faktor resiko
melibatkan beberapa mekanisme, yang mana setiap mekanisme menginduksi
degradasi dari matriks ekstraseluler. Beberapa organisme yang biasanya
terdapat sebagai normal flora vagina, termasuk Streptococcus grup B,
Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis,dan mikroorganisme yang
menyebabkan bakterial vaginosis mensekresi protease yang dapat
mendegradasi kolagen dan melemahkan kekuatan regangan selaput
ketuban.Selanjutnya, pada percobaan in vitro aktivitas proteolitik matriks selaput
ketuban dapat dihambat dengan pemberian antibiotik (Parry& Strauss, 1998).
Selain itu, respon inflamasi dari pasien juga ikut berperan sebagai
mekanisme potensial lainnya yang mungkin dapat memberikan sebagian
penjelasan mengenai hubungan antara infeksi bakteri pada traktus genetalia dan
terjadinya PROM. Respon inflamasi pasien yang diperantarai oleh neutrofil
polimorfonuklear dan makrofag akan memproduksi sitokin, matrix
metalloproteinase, dan prostaglandin pada daerah infeksi. Sitokin inflamasi,
termasuk interleukin-1 dan TNF α (tumor necrosis factor α), yang diproduksi oleh
monosit yang terstimulasi, akan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada
level transkripsional dan posttranslasi pada sel korion janin. Lebih lanjut, infeksi
bakteri dan respon inflamasi pejamu akan menginduksi produksi prostaglandin
oleh selaput ketuban, yang mana dianggap meningkatkan resiko terjadinya
PROM karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi kolagen selaput
ketuban. Strain tertentu dari bakteria vagina memproduksi fosfolipase A2 yang
melepaskan prekursor prostaglandin, arachidonic acid, dari membran fosfolipid
amnion. Lebih lanjut, seperti disebutkan diatas, respon imun pejamu terhadap
infeksi bakteri termasuk produksi sitokin oleh monosit teraktivasi yang
meningkatkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion. Peningkatan produksi
prostaglandin E2 ini tampaknya melibatkan induksi cyclooxygenase II, enzim
yang mengubah arachidonic acid menjadi prostaglandin. Walaupun pengaturan
tepatnya dari sintesis prostaglandin E2 dalam hubungannya dengan infeksi
bakteri dan respon inflamasi pejamu tidak dipahami, dan hubungan langsung
antara produksi prostaglandin dan PROM tidak dapat dikembangkan, tetapi
prostaglandin (khususnya prostaglandin E2dan prostaglandin F2α) telah
dianggap sebagai mediator dari persalinan pada semua mamalia. Juga, diketahui
bahwa prostaglandin E2 menyebabkan terhentinya sintesis kolagen dalam
selaput ketuban dan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblast
manusia (Parry and Strauss, 1998).
Komponen lainnya dari respon pasien terhadap infeksi adalah produksi
glukokortikoid.Pada kebanyakan jaringan kerja antiinflamasi dari glukokortikoid
diperantarai oleh supresi produksi prostaglandin.Walaupun demikian, secara
berlawanan pada beberapa jaringan, termasuk jaringan amnion, glukokortikoid
menstimulasi produksi prostaglandin. Lebih lanjut lagi, dexametason
menurunkan sintesis dari fibronektin dan kolagen tipe II pada kultur primer dari
sel epitel amnion. Penemuan-penemuan ini mengarahkan pada kesimpulan
bahwa produksi glukokortikoid sebagai respon terhadap stress akibat infeksi
mikroba memfasilitasi terjadinya PROM (Parry and Strauss, 1998).
Selain hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, hormon juga ikut terlibat
dalam proses remodeling matriks ekstraseluler pada jaringan reproduksi.
Hormon progesteron dan estradiol berperan menurunkan konsentrasi MMP-1
dan MMP-3 dan meningkatkan konsentrasi inhibitor metalloproteinase jaringan
pada fibroblast serviks dari kelinci. Konsentrasi progesteron yang tinggi
menurunkan produksi kolagenase pada fibroblast serviks hewan coba, meskipun
konsentrasi progesteron dan estradiol yang rendah menstimulasi produksi
kolagenase pada hewan coba dengan kehamilan. Relaxin, sebuah hormon
protein yang meregulasi remodeling dari jaringan ikat, diproduksi secara lokal
oleh desidua dan plasenta, yang melawan efek inhibisi dari estradiol dan
progesteron dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput
ketuban. Ekspresi dari gen relaxin meningkat sebelum onset persalinan dalam
selaput ketuban janin yang aterm. Berdasarkan penjelasan ini, adalah penting
untuk mempertimbangkan peran estrogen, progesteron, dan relaxin dalam
proses reproduksi meskipun keterlibatan hormonhormon ini dalam proses pecah
ketuban masih harus dijelaskan lebih lanjut (Parry and Strauss, 1998).
Overdistensi uterus akibat adanya polihidramnion atau kehamilan
multifetus menginduksi peregangan selaput ketuban yang pada akhirnya
meningkatkan resiko terjadinya PROM. Peregangan mekanik dari selaput
ketuban menyebabkan terjadinya up-regulation dari produksi beberapa faktor
amnion, termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan juga
meningkatkan aktivitas MMP-1 selaput ketuban. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, prostaglandin E2 dapat meningkatkan iritabilitas uterus,
menurunkan sintesis kolagen selaput ketuban, dan meningkatkan produksi MMP-
1 dan MMP-3 oleh fibroblast, sedangkan interleukin-8, yang diproduksi oleh sel
amnion dan korion, adalah bersifat kemotaktik bagi neutrofil dan dapat
menstimulasi aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang terdapat dalam
konsentrasi rendah pada cairan amnion selama trimester kedua tetapi pada
kehamilan lanjut didapatkan dalam konsentrasi yang tinggi, dihambat oleh
progesteron. Oleh karenanya, produksi amnion berupa interleukin-8 dan
prostaglandin E2 merupakan gambaran dari perubahan biokimia pada selaput
ketuban yang mungkin dapat diinisiasi dengan kekuatan fisik (peregangan
membran), merekonsiliasi hipotesis pecah ketuban yang diinduksi secara
mekanik dan biokimia (Parry and Strauss, 1998; Medina, 2006).
f. Manifestasi Klinis
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin
cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris
warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut
jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat
dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH
normal dari vagina adalah 4 - 4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1 - 7,3.
Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan
trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
o Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anomali janin
atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
o Amniosintesis
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan
paru janin.
o Pemantauan janin
Membantu dalam mengevaluasi janin
o C-reactive protein
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan adanya inflamasi, seperti
korioamnionitis
Penilaian Klinik
Menurut Prawirohardjo (2009), penilaian klinik yang dilakukan pada PROM
adalah sebagai berikut:
a) Tentukan pecahnya selaput ketuban. Ditentukan dengan adanya cairan
ketuban di vagina, jika tidak ada dapat dicoba dengan gerakan sedikit bagian
terbawah janin atau meminta pasien batuk atau mengedan. Penentuan
cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (Nitrazin Test) merah
menjadi biru, membantu dalam menentukan jumlah cairan ketuban dan usia
kehamilan, kelainan janin.
b) Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
c) Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi: bila suhu ibu ≥38˚C, air
ketuban keruh dan berbau. Pemeriksaan air ketuban dengan tes LEA
(Leukosit Esterase) Leukosit darah > 15.000/mm3. Janin yang mengalami
takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.
d) Tentukan tanda-tanda inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur,
periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi
kehamilan) antara lain dengan menilai skor pelviks.
h. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan prematuritas, infeksi
dalam rahim terhadap ibu maupun janin yang cukup besar dan potensial. Oleh
karena itu, penatalaksanaan ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang rinci,
sehingga dapat menurunkan kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam
rahim. Memberikan profilaksis antibiotik dan membatasi pemeriksaan dalam
merupakan tindakan yang perlu diperhatikan. Disamping itu makin kecil umur
kehamilan makin besar peluang terjadi infeksi dalam lahir yang dapat memicu
terjadinya persalinan prematuritas bahkan berat janin kurang dari 1 kg
(Manuaba, 1998).
a) Penanganan Konservatif
o Rawat di rumah sakit
o Berikan antibiotika (Ampicillin 4 x 500 mg/eritromisin) dan Metronidazole.
o Jika umur kehamilan 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih
keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
o Jika umur kehamilan 34-37 minggu belum inpartu, tidak ada infeksi
berikan tokolitik, deksametason dan induksi sesudah 2 jam.
o Jika umur kehamilan 34-37 minggu ada infeksi beri antibiotik dan lakukan
induksi.
o Nilai tanda-tanda infeksi.
o Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid untuk memicu
kematangan paru janin (Sarwono, 2001).
b) Penanganan Aktif
o Kehamilan lebih dari 37 minggu, induksi oxytiksin bila gagal seksio
caesaria dapat pula diberikan Misoprostol 50 mg intra vaginal tiap 6 jam
maksimal 4 kali.
o Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi dan
kehamilan diakhiri.
i. Komplikasi
o Infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterin.
o Persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
o Prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat
hipoksia (sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
o Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban
habis.
o Komplikasi infeksi intrapartum
komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia,
atonia), sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki
vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian
ibu.
komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.
j. Rencana Keperawatan
Risiko infeksi, (factor resiko: infeksi intra partum, infeksi uterus berat, gawat
janin)
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi
Faktor-faktor risiko :
- Prosedur Infasif
- Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan
lingkungan
- Malnutrisi
- Peningkatan paparan
lingkungan patogen
- Imonusupresi
- Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan
respon inflamasi)
- Penyakit kronik
- Imunosupresi
- Malnutrisi
- Pertahan primer tidak
adekuat (kerusakan kulit,
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection
control
Risk control
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama…… pasien tidak
mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:
Klien bebas dari tanda
dan gejala infeksi
Menunjukkan
kemampuan untuk
mencegah timbulnya
infeksi
Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukkan perilaku
hidup sehat
NIC :
Pertahankanteknikaseptif
Batasipengunjung bila perlu
Cucitangansetiapsebelum dan
sesudahtindakankeperawatan
Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing
sesuai dengan petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
Tingkatkan intake nutrisi
Berikan terapi
antibiotik:.................................
Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal
Pertahankan teknik isolasi k/p
Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas,
drainase
trauma jaringan,
gangguan peristaltik)
Status imun,
gastrointestinal,
genitourinaria dalam
batas normal
Monitor adanya luka
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam
Kecemasan (Ansietas) b.d Perubahan dalam: status kesehatan
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kecemasan berhubungan
dengan
Faktor keturunan, Krisis
situasional, Stress,
perubahan status
kesehatan, ancaman
kematian, perubahan
konsep diri, kurang
pengetahuan dan
hospitalisasi
DO/DS:
- Insomnia
- Kontak mata kurang
- Kurang istirahat
- Berfokus pada diri sendiri
- Iritabilitas
- Takut
- Nyeri perut
- Penurunan TD dan
denyut nadi
- Diare, mual, kelelahan
NOC :
- Kontrol kecemasan
- Koping
Setelah dilakukan asuhan
selama ……………klien
kecemasan teratasi dgn
kriteria hasil:
Klien mampu
mengidentifikasi dan
mengungkapkan
gejala cemas
Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik
untuk mengontol
cemas
Vital sign dalam batas
normal
Postur tubuh,
ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
NIC :
Anxiety Reduction
(penurunankecemasan)
Gunakan pendekatan yang
menenangkan
Nyatakan dengan jelas harapan
terhadap pelaku pasien
Jelaskan semua prosedur dan apa
yang dirasakan selama prosedur
Temani pasien untuk memberikan
keamanan dan mengurangi takut
Berikan informasi faktual mengenai
diagnosis, tindakan prognosis
Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
Instruksikan pada pasien untuk
menggunakan tehnik relaksasi
Dengarkan dengan penuh
perhatian
Identifikasi tingkat kecemasan
Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
- Gangguan tidur
- Gemetar
- Anoreksia, mulut kering
- Peningkatan TD, denyut
nadi, RR
- Kesulitan bernafas
- Bingung
- Bloking dalam
pembicaraan
- Sulit berkonsentrasi
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
Kelola pemberian obat anti
cemas:........
Defisiensi Pengetahuan b.d keterbatasan kognitif dalam hal mengenal tanda dan
gejala penyakit
Diagnosa Keperawatan/
Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kurang Pengetahuan
Berhubungan dengan :
keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap
informasi yang salah,
kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber
informasi.
DS: Menyatakan secara
verbal adanya masalah
DO: ketidakakuratan
mengikuti instruksi,
perilaku tidak sesuai
NOC:
Kowlwdge : disease
process
Kowledge : health
Behavior
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama …. pasien
menunjukkan
pengetahuan tentang
proses penyakit dengan
kriteria hasil:
Pasien dan keluarga
menyatakan
pemahaman tentang
penyakit, kondisi,
prognosis dan
program pengobatan
Pasien dan keluarga
NIC :
Kaji tingkat pengetahuan pasien dan
keluarga
Jelaskan patofisiologi dari penyakit
dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi,
dengan cara yang tepat.
Gambarkan tanda dan gejala yang
biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
Gambarkan proses penyakit, dengan
cara yang tepat
Identifikasi kemungkinan penyebab,
dengan cara yang tepat
Sediakan informasi pada pasien
tentang kondisi, dengan cara yang
tepat
Sediakan bagi keluarga informasi
tentang kemajuan pasien dengan
mampu melaksanakan
prosedur yang
dijelaskan secara
benar
Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
cara yang tepat
Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau mendapatkan
second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber
atau dukungan, dengan cara yang
tepat
Nyeri akut b.d agen cidera (fisik) luka operasi
Nyeri akut berhubungan
dengan:
Agen injuri (biologi, kimia,
fisik, psikologis), kerusakan
jaringan
DS:
- Laporan secara verbal
DO:
- Posisi untuk menahan
nyeri
- Tingkah laku berhati-hati
- Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek, sulit
atau gerakan kacau,
menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan proses
berpikir, penurunan
NOC :
Pain Level,
pain control,
comfort level
Setelah dilakukan
tinfakan keperawatan
selama …. Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
Mampu mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri, mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ……...
Tingkatkan istirahat
interaksi dengan orang
dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas, nadi
dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda vital dalam
rentang normal
Tidak mengalami
gangguan tidur
Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
FETAL COMPROMISE
A. DEFINISI
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan
oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut
(kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi) (Bisher
and Mackay, 1986).
B. ETIOLOGI
Penyebab dari fetal distress diantaranya :
Ibu : hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit
kardiovaskuler, anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis dan
dehidrasi.
Uterus : kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu lama, degenerasi
vaskuler.
Plasenta : degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.
Tali pusat : kompresi tali pusat.
Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.
C. PEMBAGIAN GAWAT JANIN
1. Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat janin yang
bersifat kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang menurun atau bayi
sendiri yang sakit (Hariadi, 2004).
Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam
pertambahan berat badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang
lebih kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan
retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Riwayat dari satu
atau lebih faktor-faktor resiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan
prematur atau lahir mati dapat memberikan kesan suatu peningkatan
resiko gawat janin.
Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan lain-lain.
Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepenjang
a) Denyut jantung dalam batas normal (b) akselerasi sesuai dengan
gerakan janin
b) Tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin.
Gerakan pernafasan janin, aktifitas janin dan volume cairan ketuban
memberikan penilaian tambahan kesekatan janin. Oligihidramnion
memberi kesan anomali janin atau retardasi pertumbuhan.
Penatalaksanaan
Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin inutero dan
maturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan janin yang
menurun pemantauan denyut jantung janin atau dimiringkan atau
oksitosin challenge test sering memberika ketenangan akan kesehatan
janin. Jika janin imatur dan keadaan insufisiensi plasenta kurang tegas,
dinasehatkan untuk mengadakan observasi tambahan. Sekali janin matur,
kejadian insufisiensi plasenta biasanya berarti bahwa kelahiran
dianjurkan. Persalinan dapat diinduksi jika servik dan presentasi janin
menguntungkan. Selama induksi denyut jantung janin harus dipantau
secara teliti. Dilakukan sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio
sesaria juga dipilih untuk kelahiran presentasi bokong atau jika pasien
pernah megalami operasi uterus sebelumnya.
2. Gawat janin selama persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen
yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,
glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin.
Tetapi biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali indikator
gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut jantung
janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi
lanjut). Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi
uterus yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat
menyebabkan asfiksia janin.
Faktor-faktor etiologi
a. Insufisiensi uteroplasental akut
- Aktivitas uterus berlebihan.
- Hipotensi ibu.
- Solutio plasenta.
- Plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasental kronik
- Penyakit hipertensi.
- Diabetes mellitus.
- Isoimunisasi Rh.
Postmaturitas atau dismaturitas
c. Kompresi tali pusat
d. Anestesi blok paraservikal
Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin yang
segera dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberika
suatu penilaian kesehatan janin yang sangat membantu dalam
persalinan. Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:
a. Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.
b. Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160)
dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap
terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin juga dihubungkan
dengan denyut jantung dasar yang meningkat.
c. Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi
sistem saraf otonom janin oleh mediksi ibu (atropin, skopolamin,
diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik narkotik).
d. Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin yang
disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental.
b. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus
adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus. Peringatan
tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan
atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola
gelombang sinus.
Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip umum
a. Bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b. Perbaiki aliran darah uteroplasental.
c. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi
kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada
faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan
jalannya persalinan.
Langkah-langkah khusus :
a. Posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai
usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan
aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posis juga dapat
membebaskan kompresi tali pusat. oksigen diberikan 6 liter/menit,
sebagai usaha meningkatkan penggantian oksigen fetomaternal.
b. Oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu
sirkulasi darah keruang intervilli.
c. Hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi darah
dapat diindikasikan pada syok hemorragik.
b. Pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat dan
menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut
dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.
c. Pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir mengurangi
resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung
dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan kateter penghisap.
Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan
laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan
mekoneum dengan pipa endotrakeal (Melfiawati, 1994).