Post on 05-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan
ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga terjadi
obstruksi fungsional.1
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran
hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RS Cipto
Mangunkusomo Jakarta.2
Angka kejadian penyakit Hirschsprung banyak dilaporkan pada masa neonatus.
Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai apabila dalam >24 jam pertama kehidupan tidak
terjadi pengeluaran mekonium secara alamiah oleh seorang bayi muda. Walaupun barium
enema digunakan untuk menegakan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi gold standart untuk
menegakan diagnosis Hirschsprung. Setelah diagnosis dikonfirmasi, penatalaksanaan mendasar
adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan membuat anastomosis dengan
menyambung rektum bagian distal dengan proksimal usus yang memiliki inervasi saraf yang
sehat.3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas penderita Nama penderita : An. AJenis kelamin : Laki - lakiUmur : 2 hariBerat Badan Lahir : 2900 gramPanjang Badan : 50 cmLingkar kepala : 33 cmLingkar dada : 34 cm
2. Identitas orang tuaNama ibu : Ny. YM Nama Ayah: Tn. F YUmur ibu : 36 tahun Umur ayah : 45 tahunPendidikan: S1 Dayak Pendidikan : S1Pekerjaan : PNS Pekerjaan : PendetaGol. Darah: O Gol. Darah : AAlamat : Jln. Paus Raya Palangka Raya
I. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ayah dan ibu penderita, pada tanggal 1 Juli 2014, pukul 14.00 WIB.
1. Keluhan utama: Muntah
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien bayi rujukan bidan datang dengan keluhan utama muntah. Keluhan muntah
sebanyak >4x sebanyak 1 sendok makan sejak tadi malam berupa air susu formula
karena bayi tidak menyusui dan muntah tanpa disertai darah. Sebelumnya pasien
diberikan ibu nya air susu formula lalu selang beberapa saat setelah diberikan minum
pasien muntah. Sebelumnya bayi tidak pernah muntah seperti ini. Perut bayi terlihat
kembung. Ibu pasien juga mengeluh pasien jarang sekali BAB namun pasien hanya
BAK 4x sejak lahir. Keluhan demam (-), sesak (-), kejang (-), batuk (-).
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun, pasien juga tidak pernah mengalami
sakit serupa.
4. Riwayat antenatal
Pasien lahir dari ibu G1P0A0 hamil aterm secara spontan per vaginam di klinik bidan.
Bayi lahir langsung menangis dengan apgar score 8/9 dengan riwayat ANC (+) dan
2
tanpa disertai penyakit selama kehamilan. Tidak didapati cacat fisik, anus (+),
pemberian salep mata gentamisin dan Vit. K setelah kelahiran (+).
5. Riwayat imunisasi
Pasien belum diberikan imunisasi hepatitis B0.
6. Riwayat pemberian makanan
Sebelum pasien muntah, ibu pasien memberikan pasien susu formula sebagai pengganti
ASI sebanyak 2x. Setelah pemberian susu formula ke empat, pasien langsung muntah-
muntah dan segera dirujuk ke RS.
7. Riwayat keluarga
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Orang tua dan kakak pasien sehat
dan diketahui tidak memiliki kelainan serupa dengan pasien.
8. Riwayat sosial lingkungan
Pasien dan keluarga pasien tinggal di rumah milik pribadi dengan dinding permanen
dan alas keramik. Bermukim di daerah perumahan yang cukup padat. Rumah pasien
jauh dari sungai, rawa-rawa, tempat pembuangan sampah.
II. PEMERIKSAAN FISIK
3
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil laboratorium pada tanggal 1 Juli 2014 :
4
1. Keadaan umum : Cukup, gerakan aktif, menagis merintih.
2. Tanda-tanda vital
Denyut jantung : 135 kali/ menit
Suhu : 36,4˚ C (aksila)
Pernapasan : 35 kali/ menit
Antropometeri
Berat badan : 2900 gram
Panjang badan : 48 cm
3. Kepala
Kepala : Mesosefal, UUB datar
Konjungtiva tak anemis, sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-), nafas cuping hidung (-).
Mulut : Mulut normal, tidak sianosis, mukosa bibir lembab.
4. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,
5. Toraks
Inspeksi : Simetris, retraksi (+) pada daerah intercostalis dan
epigastrika.
a. Paru : Bentuk simetris, inspirasi dan ekspirasi tidak memanjang,
tidak ada ketinggalan gerak, frekuensi napas 35 kali/
menit, regular. Sonor +/+ Suara napas vesikuler normal,
tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing
b. Jantung : Iktus kordi tidak terlihat. Batas Jantung normal,
kardiomegali (-), frekuensi jantung 135 kali/ menit,
regular, S1-S2 tunggal, tidak ada gallop dan murmur.
6. Abdomen : Cembung (+), distensi (+), venektasi (-), kontur usus (-),
meteorismus(+), Bising usus menurun, Hepar dan lien
sulit dinilai, Timpani, kembung (+) shifting dullness (-)
7. Ekstremitas : Akral hangat, capillary reffil time < 2”
8. Genitalia & anus : Laki-laki , Anus (+)
Hb : 15,2 g/dL
Ht : 45,7 %
Trombosit : 327.000 /uL
Leukosit : 16.900 /uL
MCV : 103 NM3
MCH : 34,2 Pg
MCHC : 33,2 %
GDS : 85 mg/dL
III. Diagnosa
a. Diagnosa banding
b. Diagnosa kerja
- Morbus hirschsprung disease
IV. Penatalaksanaan
- IVFD KAEN 4A 20 tetes (mikro)
per menit
- Inf. Aminofusin paed 30cc/24 jam
- Inj. Cefotaxim 3 x 100 mg
- Inj. Gentamycin 2 x 8 mg
- Inj. Cimetidin 3 x 30 mg
- OGT terpasang
- Rectal tube spoiling pagi dan sore
V. Usul pemeriksaan
1. Barium enema
2. Colon in loop
VI. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia et bonam
Quo ad functionam : Dubia et bonam
Quo ad sanationam : Dubia et bonam
VII.Pencegahan
- mencegah bayi aspirasi
- menjaga kebersihan botol susu dan tempat penyimpanan susu
5
meteorismus
Morbus Hirschsprung disease
Meconium plug syndrome
Meconium illeus
- menjaga kebersihan area genital dan anus sewaktu mengganti popok
VIII. Follow Up (Terlampir)
IX. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto rontgen dilakukan pada tanggal 1 juli 2014.
2. Colon in loop
Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2014
- Tampak dilatasi dari usus dengan jumlah udara yang meningkat
- Tampak penyempitan kaliber lumen rectum pada bagian distal kurang lebih
1,3 cm
- Kesan : curiga Morbus Hisrchsprung short segmen distal rectum
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah dan Insidensi
Tahun 1886 Harold Hirschspring melaporkan perjalanan klinis sampai saat
kematian dua orang pasien dengan gangguan fungsi usus yang berat, masing-masing
berusia 8 dan 11 bulan. Laporan terserbut disertai dengan rinci penampilan
makroskopis kolon yang mengalami dilatasi dan hipertrofi, yang oleh Hirschsprung
dinilai sebagai penyebab primer gangguan fungsi usus. Diuraikan pula keadaan rektum
yang tidak mengalami dilatasi dan tampak lebih kecil dengan mukosa yang mengalami
ulserasi, inflamasi serta edema.3
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. Laki-laki lebih
6
banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada
kasus-kasus familial yang rata-rata mencapai sekitar 6%.2.4
B. Anatomi
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Kolon dibagi lagi menjadi
kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Vaskularisasi usus besar diatur
oleh arteri mesenterika superior dan inferior. 2
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus
yang diatur secara voluntar. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas
refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan
Aurbach) dan interkoneksinya. Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari
3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.4.5
C. Etiologi & Patologi
Dari segi etiologi, Bodian dkk. Menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit
Hirschsprung bukan di sebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik
ekstrinsik, melainkan oleh lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik
yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Terdapat dua teori dasar yang banyak
dianut mengenai defek embriologis penyakit Hirschsprung. Pertama teori kegagalan
migrasi sel-sel krista neural, kedua teori imunologi dan hostile enviroment.2
Pada penyakit ini, kolon mulai dari yang paling distal sampai pada bagian usus
yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion parasimpatik
intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang sehingga tetap
sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang
normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. 6
Pleksus mesenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak
ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltic usus dan funsi lainnya. Sel ganglion
enteric berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal,
neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan
7
sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi
Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya
menuju usus bagian distal. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion
tidak ditemukan sehingga control intrinsic menurun, menyebabkan peningkatan control
persarafan ekstrinsik. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsic, peningkatan tonus tidak
diimbangi dan mengakibatkan ketidak seimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltic
yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fungsional. 2.4.5
D. Manifestasi klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia, dan gejala klinis
yang mulai terlihat pada :
a. Periode Neonatal
Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya terjadi pada neonatus
cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Pada
lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam pertama,
namun pada lebih dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar setelah 24
jam. 2.5.7
b. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.2
E. Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakan sedini mungkin. Keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus,
dan sepsis yang menjadi penyebab kematian tersering. Menurut Ehrenpresis dalam
tesisnya tahun 1946, penyakit Hirschsprung dapat ditegakan pada masa neonatal. 2.4.5.7
Anamnesis
o Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya keluar >24 jam.
o Adanya muntah berwarna hijau.
8
o Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi
semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
o Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya
anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi.2
Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila
dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot
keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kembali
mengecil.2.4
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah
24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah
terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan
pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
F. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pada dasarnya penyembuhan
penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan, berupa pengangkatan
segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis
hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit Hirscshsprung
dapat berupa bedah sementara dan bedah definitif. 6
Tujuan terapi medis pada pasien ialah:
9
1. Mengobati komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak diketahui dan tidak
terobati.
2. Menatalaksana sampai dilakukannya operasi
3. Menatalaksana fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.2
Penanganan operatif
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang biasanya
membutuhkan biopsy rectal full-thickness. Pada umumnya, penatalaksanaan awal yaitu
dengan membuat colostomy dan ketika anak bertumbuh dan memiliki berat lebih dari
10 kg, operasi definitif dapat dilakukan. 3.7
Untuk penggunaan terapi antibiotik harus komprehensif dan mencakup seluruh
patogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya dipandu
oleh tes kultur darah dan sensitivitas. 2
G. Diagnosis Banding
Diagnosa banding selalu dipikirkan bila didapati neonatus dengan gejala dan tanda
hambatan pasase usus letak rendah. Keadaan ini dapat diakibatkan pula oleh hambatan
mekanis seperti atresia setinggi ileum atau lebih rendah, stenosis anal, ileus mekonium,
dan lain-lain. Obstruksi usus letak rendah akibat gangguan fungsi motilitas usus juga
dapat tampak menyerupai Hirschsprung, seperti prematuritas, enterokolitis nekrotikans,
sepsis dengan gangguan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme, obstipasi psikogenik.2
H. Komplikasi
Enterocolitis dapat terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus
halus. Gejala klinisnya berupa diare eksplosif, distensi abodimen, demam, muntah, dan
letargi. Setelah operasi, kebanyakan bayi dan anak-anak melepaskan feses secara
normal. Beberapa dapat mengalami diare, tetapi setelah beberapa waktu feses akan
menjadi lebih padat. “toilet training” dapat mengambil waktu lama karena beberapa
anak-anak memiliki kesulitan mengkoordinasikan otot-otot yang digunakan untuk
melepaskan feses. Ini meningkat pada kebanyakan anak-anak seiring waktu. Konstipasi
dapat berlanjut pada beberapa anak-anak, meskipun laksativ seharusnya membantu.
Makan makanan tinggi serat juga dapat membantu pada diare dan konstipasi. Anak juga
berada pada resiko peningkatan enteroloitis dalam kolon atau usus halus setelah
operasi. Gejala dan tanda dari enterocolitis yakni berupa demam, perut kembung
muntah, diare, perdarahan dari rectum.2.5.7
I. Prognosis
10
Akibat yang dihasilkan setelah perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitif
adalah sulit untuk determinasi karena terjadi konflik pada laporan dalam literature.
Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan tinggi. Sementara yang lain melaporkan
kejadian yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Umumnya, lebih dari 90%
pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki hasil memuaskan.1.3.9
BAB IV
DISKUSI
Pada kasus ini dilaporkan seorang bayi laki-laki usia 2 hari dengan berat badan
2900 gram yang di rawat di ruang Perinatologi RSU Dorys Sylvanus Palangka Raya.
Bayi A dibawa orang tua dengan keluhan utama muntah. Keluhan muntah sebanyak
lebih dari 4x dan perut bayi A terlihat kembung. Pasien juga dikeluhkan jarang BAB
sejak lahir.
11
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dicurigai menderita
penyakit kongenital yakni Morbus Hirschsprung. Hal ini berdasarkan dari tanda dan
gejala yang didapat menggambarkan adanya pengeluaran mekonium yang terhambat,
distensi abdomen, tetapi tidak ditemukan muntah hijau pada bayi A. Pada gambar 1,
digambarkan kondisi fisik anak dengan penyakit Hirschsprung berumur 3 hari. Yang
paling menonjol adalah di terlihat distensi dan venektasi pada abdomen. Pada bayi A,
kondisi pasien menunjukan gambaran yang sama yakni distensi pada abdomen.
Gambar 1. Foto pasien penyakit Hirschsprung berusia 3 hari. Tampak abdomen sangat distensi, dan dinding abdomen kemerahan yang menandakan awal terjadi komplikasi infeksi. Pasien tampak amat menderita akibat distensi abdomennya. Sumber : Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta,2000.
Etiologi terjadinya Morbus Hirschsprung pada pasien ini diduga karena
kegagalan pembentukan Sel ganglion intra uterine. Faktor yang mempengaruhinya pun
masih ditelusuri, mengingat berdasarkan alloamanesa kepada orang tua pasien, sang ibu
saat mengandung juga rutin ANC (+) dan tidak mengalami gangguan selama
kehamilan. Hingga saat ini, teori yang berkembang seputar penyakit Morbus
Hirschsprung berupa teori kegagalan migrasi sel-sel krista neural dan teori imunologi
dan hostile enviroment.2
Untuk menegakan diagnosis pada pasien A dengan curiga Morbus
Hirschsprung, dilakukan pemeriksaan radiologi. Setelah difoto polos abdomen, didapati
hasil kecurigaan Morbus Hirschsprung. Namun pada pasien A hasil foto polos abdomen
tersebut belum terlalu menyakinkan sehingga direncakan untuk pemeriksaan radiologi
12
lanjutan yakni colon in loop pada hari selanjutnya. Menurut pembagian klasifikasi
penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut :
a. Hirschsprung segmen pendek : daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid,
ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan
pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
b. Hirschsprung segmen panjang : daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari
sigmoid.
c. Hirschsprung kolon aganglionik total: bila daerah aganglionik mengenai seluruh
kolon.
d. Hirschsprung kolon aganglionik universal : daerah aganglionik meliputi seluruh
kolon dan hampir seluruh usus halus.8
Pada perawatan hari ketiga pasien keadaan umum bayi masih kembung. Bayi A
sudah dipuasakan lalu dilakukan pemeriksaan colon in Loop. Hasil dari pemeriksaan ini
memang mengarah pada Morbus Hirschsprung dengan segmen pendek pada distal
rektum. Pada Hirschsprung dengan segmen pendek, daerah aganlionik meliputi rektum
hingga sigmoid atau dikenal dengan Hirschsprung klasik yang memang angka
insidensinya lebih tinggi terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Pemeriksaan
standart lain yang dapat dilakukan untuk menegakan penyakit Hirschsprung adalah
barium enema dan biopsi. Tetapi pada pasien bayi A tidak dilakukan pemeriksaan ini.8
Apabila dilakukan pemeriksaan barium enema, pada Hirschsprung pada bayi ini
kemungkinan akan dijumpai 3 tanda khas seperti pada gambar :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. 6
13
Gambar 2. Foto rontgen pada neonatus dengan penyakit Hirschsprung.(gambar kiri) gambar barium enema penderita Hirschsprung (gambar kanan). Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.Sumber: http://radiopaedia.org/cases/hirschsprung-disease
Diagnosis patologi anatomi dengan metode biopsi dilaporkan oleh Swenson pada tahun
1955 dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, sehingga pleksus mienterik dapat
diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam spesimen biopsi, menyingkirkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. 2
Pada pemeriksaan darah hari pertama pasien datang, tidak ditemukan kelainan pada
pasien bayi A. Angka leukosit masih dalam batas normal untuk usia neonatus. Hal yang
perlu diperhatikan saat pemeriksaan laboratorium khususnya darah, adanya peningkatan
sel darah putih sebagai penanda infeksi. Karena pada pasien dengan Morbus
Hirschsprung dapat terjadi komplikasi infeksi.2
Pada saat pasien dirawat pertama kali, pasien diberikan terapi di IGD IVFD KAEN 4A
sebanyak 20 tetes mikro per menit. Untuk kebutuhan cairan anak usia tersebut pasien
seharusnya mendapatkan cairan sebanyak 80x/kgBB/hari. PenggunaanIVFD 4A sudah sesuai
dengan usia bayi <6 bulan. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kebutuhan cairan bayi A hari
ke dua sebanyak 232 cc/24 jam atau dikonversi kedalam tetesan mikro menjadi 10 tetes per
menit selama 24 jam. KAEN 4A merupakan jenis cairan infus rumatan untuk bayi dan anak
dengan kandungan komposisi per 100 ml : Na 30 mEq/L, Cl 20 mEq/L, Laktat 10 mEq/L, dan
glukosa 40gr/dL.10
Pada pasien diberikan infus Aminofusin paed 30cc/24 jam sebagai tambahan
nutrisi parenteral yang mengandung protein bagi pasien. Bayi A juga ditatalaksana
dengan antibiotik Cefotaxim (50-100 mg/kgbb/hari) dan Gentamycin (2,5-5
mg/kgbb/hari) sesuai dengan dosis obat. Penggunaan antibitiotik dimaksudkan untuk
mengurangi risiko infeksi pada bayi dan diberikan injeksi cimetidin yakni obat
penghambat histamin pada reseptor H2 karena pasien muntah-muntah. Bayi A dipasang
OGT dengan tujuan dekompresi lambung, mengetahui isi cairan lambung dan pada
pasien bayi baru lahir dapat dipakai sebagai intrument mendeteksi apakah ada kelainan
kongenital lain misalnya atresia esofagus.9
14
Setelah perawatan hari ke empat dan kelima pasien ditatalaksana seperti hari
sebelumnya. Pada kasus ini harus dilakukan tindakan bedah. Terapi yang dilaksanakan sejauh
ini hanya berupa terapi non bedah yang ditujukan menghindari komplikasi-komplikasi yang
terjadi untuk memperbaiki keadaan umum pasien sebelum di lakukan pembedahan. Pada
pasien bayi A, belum didapati tanda terjadinya komplikasi karena jumlah leukositnya tidak
mengarah ke arah infeksi. Pada hari ke enam perawatan, pasien memaksa untuk pulang atas
permintaan sendiri pada hari kelima perawatan dan menolak untuk dilakukan operasi.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif.
Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan
kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi
abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien.Tahapan kedua adalah dengan
melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian
melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah
rektum.2
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah memberikan
hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. 3 jenis teknik
yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik
yang dilakukan, pembersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting. 3.7
Pada kasus bayi A ini, diagnosa kerja Morbus Hirschsprung didiagnosis banding
dengan Meconium plug syndrome dan meconium illeus. Pada mekonium plug syndrome
didapati mekonium yang terlalu pekat dan lengket didaerah kolon distal. Sindrom ini diduga
akibat kekurangan tripsin atau kelainan akibat mobilitas kolon tanpa kelainan pada sel ganglion
seperti pada Hirschsprung. Pada foto polos abdomen, yang nampak pelebaran usus tanpa
disertai bayangan kalsifikasi dan tanpa bayangan busa sabun seperti pada mekonium illeus.
Mekonium illeus didapati gejala yang sama berupa pengeluaran mekonium yang terlambat. 2
Komplikasi pada Morbus Hirschsprung harus ditatalaksana secara tepat.
Menatalaksana komplikasi seperti mencegah terjadinya distensi usus yang berlebihan,
gangguan cairan dan elektrolit, dan komplikasi seperti sepsis dengan menggunakan
antibiotik ,dekompresi dengan menggunakan NGT, dan memberikan antibiotik bila ada
indikasi atau tanda-tanda terjadinya infeksi. Pada pasien ini, sebelum di lakukan operasi
sudah dipasang OGT yang memliliki banyak fungsi yakni dekompresi, fungsi
15
monitoring cairan lambung, dan memasukan makanan secara oral apabila
memungkinkan. Pemberian antibiotik juga harus dipantau apakah memberikan respon.
Pada bayi A, angka leukosit tidak menurun setelah diberikan antibiotik cefotaxim dan
gentamycin selama perawatan.
Monitoring pada pasien ini terbagi menjadi tahapan sebelum operasi, dan
sesudah dilakukan operasi. Pada pasien bayi A karena tidak dilakukan tindakan
operatif, dan pulang sebelum ditatalaksana lebih lanjut tidak dilakukan monitoring yang
kedua. Hal yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum bayi, tanda vital, pemberian
nutrisi dan pemenuhan cairan, serta mencegah terjadinya infeksi akibat penyakit
Morbus Hirschsprung yang mendasarinya. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dan
sudah dilakukan pada kasus bayi A yang segera diikuti dengan tindakan dekompresi.
Dekompresi dilakukan agar tidak terjadi komplikasi enterokolitis.
Prognosis pada pasien ini apabila tidak diterapi definitif dapat meningkatkan angka
kematian pada bayi dengan Morbus Hirschprung. Mengingat komplikasi-komplikasi yang
dapat mengancam pasien apabila tidak segera diterapi. Walaupun telah di bedah, komplikasi
bedah pasca operasi juga dapat terjadi antara lain perdarahan, infeksi, perlukaan pada organ
sekitar serta risiko anaestesi. Belum lagi terdapat penyulit pasca bedah pada pasien dengan
penyakit Hirschsprung. 2.5
BAB V
PENUTUP
16
Demikian telah dilaporkan kasus dengan Morbus Hirschsprung dari seorang
bayi An. A, berusia 2 hari dengan berat badan 2900 gram yang dirawat di ruang
perinatologi RSU Dorys Sylvanus Palangka Raya. Bayi A datang dengan keluhan
utama muntah sebelum masuk rumah sakit. Keluhan muntah disertai dengan jarang
BAB sejak lahir.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan
penujang berupa pemeriksaan radiologi. Setelah dirawat 5 hari, anak ini diterapi untuk
mencegah komplikasi sebelum dilakukan terapi pembedahan. Tetapi keluarga pasien
menolak untuk operasi definitif dan pulang atas permintaan sendiri.
Penyakit Hirschsprung adalah penyakit tidak adanya sel-sel ganglion dalam
rektum atau bagian rektosigmoid colon. Dengan ketidakadaan ini menimbulkan
abnormalitas usus yakni tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara normal.
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit bawaan pada neonatus dengan angka
kejadian lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Prinsip
penatalaksanaan adalah untuk membuang jaringan usus yang aganglionik dan membuat
anastomosis dengan menyambung rektum bagian distal dengan proksimal usus yang
memiliki inervasi saraf yang sehat.
Apabila tidak dilakukan terapi pembedahan untuk memperbaiki fungsi kolon
pada Hirschsprung angka kematian masih tetap tinggi mengingat komplikasi-
komplikasi pada penyakit ini. Monitoring yang dilakukan mencakup keadaan sebelum
dan sesudah operasi baik dari segi keadaan umum, tanda vital, tanda infeksi, dan faktor
penyulit. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk membantu pasien ini sebelum
dilakukan operasi berupa dekompresi untuk mengurangi kesakitan dan komplikasi,
mencegah bayi aspirasi, menjaga kebersihan botol susu dan tempat penyimpanan susu,
menjaga kebersihan area genital dan anus sewaktu mengganti popok.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel
modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993
2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta,2000: 1-62
3. Lee Steven, MD, Chief, Pediatric Surgery, Department of Surgery, Kaiser-Permanente,
Los Angeles Medical Center. Hirschsprung Disease. [cited July 2014] : last update :
July 12, 2014. Available at http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview
4. Swenson O.Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatric 2002;109:914-918
5. Sabiston. Buku Ajar Bedah Penyakit kolon dan rektum. Edisi 2. EGC. Jakarta.1994:14-
18.
6. Jong W, Syamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.2000: 670-671.
7. Ashcraft K. Pediatric Surgery Elsevier Saunders. Ed.4. Philadelphia: 2002. 477-489.
8. Wylie R. Motility disoders and hirshsprung disease. In: Kliegman RM, Jenson HB,
Berhman RE, Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18 th edition.
Philadelphia: Elsivier Saunders; 2007:1565-1567.
9. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi :Konsep Klinis, Proses-Proses
Penyakit. EGC, Jakarta. 1995:109-12.
10. PT. Otsuka Indonesia. Jenis Cairan Infus. Edisi VII.2004.
18