Post on 04-Oct-2021
i
KONSEP DIRI MANTAN PENDERITA KUSTA DI KOTA MAKASSAR
(STUDI KOMUNIKASI ANTARPRIBADI)
MUHAMMAD NAJMUDDIN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
KONSEP DIRI MANTAN PENDERITA KUSTA DI KOTA MAKASSAR
(STUDI KOMUNIKASI ANTARPRIBADI)
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Disusun dan Diajukan oleh
MUHAMMAD NAJMUDDIN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
iii
TESIS
Konsep Diri Mantan Penderita Kusta Melalui Di Kota Makassar
(Studi Komunikasi Antarpribadi)
Disusun dan diajukan oleh
Muhammad Najmuddin
Nomor Pokok P 1400210005
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 22 April 2013
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. Muh. Dali Amiruddin, dr. S.PKK(K), FINSDV
Ketua
Dr. Tuti Bahfiarti, M.Si
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini.
Nama : Muhammad Najmuddin
Nomor Mahasiswa : P1400210005
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya
bersedia meenerima sanksi atas perbuatan tersebut
Makassar, 14 Februari 2013
Yang menyatakan
Muhammad Najmuddin
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan
Selesainya tesis ini.
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan
penulis terhadap kehidupan mantan penderita kusta dengan segala bentuk stigma
dan diskriminasi yang mereka alami. Penulis bermaksud membantu meminimalisir
stigma dan diskriminasi terhadap mantan penderita kusta melalui tesis ini.
Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam rangka penyusunan tesis ini
yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka tesis ini dapat terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada
Prof. Dr. Muh. Dali Amiruddin, dr. S.PKK (K) sebagai Ketua Komisi Penasihat dan
Dr. Tuti Bahfiarti, M.Si sebagai Anggota Komisi Penasihat atas bantuan dan
bimbingan yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
seluruh informan penelitian yang telah banyak membantu dalam rangka
pengumpulan data dan informasi. Dan yang terakhir ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar 14 Februari 2013
Muhammad Najmuddin
vi
ABSTRAK
MUHAMMAD NAJMUDDIN. Konsep Diri Mantan Penderita Kusta (Studi
Komunikasi Antarpribadi Di Kota Makassar). Dibimbing oleh Dali Amiruddin dan
Tuti Bahfiarti.
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) Bagaimana konsep diri dan pola
pembentukan konsep diri mantan penderita kusta melalui komunikasi antarpribadi
di Kota Makassar. (2) Bagaimana pengungkapkan diri mantan penderita kusta di
Kota Makassar pasca perawatan medis
Penelitian ini dilaksanakan di kompleks pemukiman kusta Jongaya, Jalan
Dangko Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Observasi dilakukan dilakukan secara
nonpartisipan dengan dua belas orang informan yang ditentukan secara puposive
sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dimensi konsep diri mantan penderita
kusta mencakup dua hal, antara lain; pertama, persepsi dalam dirinya (in self)
berkaitan dengan bagaimana mantan penderita kusta mempersepsi dirinya secara
fisik. Kedua, persepsi di luar dirinya (out self) berkaitan dengan bagaimana orang
lain menilai diri mantan penderita kusta. Bentuk pengungkapan diri yang dilakukan
oleh mantan penderita kusta membentuk sebuah siklus dari penerimaan diri,
hubungan persahabatan hingga akhirnya melakukan pengungkapan diri.
vii
ABSTRACT
MUHAMMAD NAJMUDDIN. Kusta dan Masyarakat (Studi Konsep Diri Mantan
Penderita Kusta Melalui Komunikasi Antarpribadi Di Kota Makassar). Supervised
by oleh Dali Amiruddin dan Tuti Bahfiarti.
This research aimed to find out (1) Bagaimana konsep diri dan pola
pembentukan konsep diri mantan penderita kusta melalui komunikasi antarpribadi
di Kota Makassar. (2) Bagaimana pengungkapkan diri mantan penderita kusta di
Kota Makassar pasca perawatan medis
This research was carried out in di kompleks pemukiman kusta Jongaya,
Jalan Dangko Makassar. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Observasi dilakukan dilakukan secara
nonpartisipan dengan dua belas orang informan yang ditentukan secara puposive
sampling.
The result shows bahwa Dimensi konsep diri mantan penderita kusta
mencakup dua hal, antara lain; pertama, persepsi dalam dirinya (in self) berkaitan
dengan bagaimana mantan penderita kusta mempersepsi dirinya secara fisik.
Kedua, persepsi di luar dirinya (out self) berkaitan dengan bagaimana orang lain
menilai diri mantan penderita kusta. Bentuk pengungkapan diri yang dilakukan oleh
mantan penderita kusta membentuk sebuah siklus dari penerimaan diri, hubungan
persahabatan hingga akhirnya melakukan pengungkapan diri.
viii
DAFTAR ISI
halaman
Halaman Judul i
Halaman Pengajuan ii
Halaman Pengesahan iii
Lembar Pernyatan Keaslian iv
Prakata v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Fokus Penelitian 7
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11
A. Kajian Teori 11
ix
1. Komunikasi Antar Pribadi 11
2. Pembentukan Konsep Diri Melalui Komunikasi
Antarpribadi
18
3. Persepsi 23
4. Pengungkapan Diri Melalui Komunikasi Anarpribadi 27
5. Teori Identitas Sosial 34
6. Gambaran Umum Penyakit Kusta 35
B. Kerangka Pemikiran 38
C. Tinjauan Hasil Penelitian 42
BAB III METODE PENELITIAN 44
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 44
B. Pengelolaan Peran Sebagai Peneliti 47
C. Lokasi Penelitian 47
D. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 48
E. Informan Penelitian
1. Teknik Menemukan Informan
2. Mendapat Akses Berkenalan dengan Mantan Penderita
Kusta
3. Membangun Hubungan dengan Mantan Penderita Kusta
50
50
51
52
F. Teknik Analisis Data 53
G. Pengecekan Validitas Temuan 54
x
H. Tahap – Tahap Penelitian 56
BAB IV HASIl PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 57
A. Hasil Penelitian 57
1. Deskripsi Kota Makassar 54
2. Identitas informan 63
3. Identitas Significant Other 98
B. Pembahasan 101
1. Konsep Diri dan Pembentukan Konsep Diri Mantan
Penderita Kusta
101
2. Pengungkapan Diri Mantan Penderita Kusta 118
BAB V Kesimpulan dan Saran 135
A. Kesimpulan 131
B. Saran 132
xi
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1 Tinjauan Hasil Penelitian 42
2 Tren Deteksi Kusta Tahun 2004 – 2010 60
3 Kasus Kusta dan Proporsi Kecacatan Tingkat 2 61
4 Rekam Medis Mantan Penderita Kusta 63
5 Identitas Diri Mantan Penderita Kusta 67
6 Identitas Significant Other 98
xii
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1 Jendela Johari 21
2 Filter Unik Persepsi Individual 25
3 Skema Penelitian 41
4 Angka Penemuan Penderita Kusta Per Kecamatan Di Kota
Makassar Tahun 2011
62
5 Perjalanan Hidup Mantan Penderita Kusta 102
6 Pembentukan Konsep Diri Mantan Penderita Kusta 117
7 Bentuk Pengungapan Diri Mantan Penderita Kusta 126
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
nomor
1 Daftar Pedoman Wawancara 137
2 Dokumentasi Penelitian 138
3 Surat Keterangan Penelitian 140
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya komunikasi merupakan medium yang sangat penting bagi
pembentukan dan pengembangan pribadi seorang individu dalam melakukan
kontak sosial. Proses belajar melalui adaptasi dan interaksi dapat membentuk
konsep diri seseorang yang dipengaruhi lingkungannya. Faktor lingkungan,
khususnya orang-orang yang ada di sekitar dapat memberikan pengaruh yang
positif dan negatif dalam melakukan proses adaptasi dan interaksi.
Salah satu tipe komunikasi yang paling efektif dalam mempengaruhi
seseorang adalah komunikasi antarpribadi. Keistimewaan komunikasi antarpribadi
adalah keterlibatan pihak-pihak yang berkomunikasi diantara pihak yang mengirim
dan menerima pesan secara verbal maupun nonverbal. Oleh karena itu
komunikasi antapribadi dinilai sangat efektif dalam membentuk kepribadian,
kepercayaan, konsep diri, persepsi, perubahan sikap ataupun perilaku dan
motivasi bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan komunikasi.
Pembentukan konsep diri melalui komunikasi antarpribadi merupakan cara
seseorang memandang dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Konsep diri
yang akan mempengaruhi diri seseorang dalam melakukan kontak komunikasi
atau interaksi dengan orang lain. Bahkan konsep diri cenderung memberikan
2
gambaran dan penilaian pada diri sendiri berdasarkan hubungan dengan orang-
orang disekelilingnya.
Kecenderungan ini berindikasi pada kemampuan berpikir dan menilai
seseorang baik dirinya sendiri ataupun orang lain, ataupun mempersepsi orang
lain dengan berusaha memberikan penilaian. Misalnya apakah orang tersebut
orang yang bisa dipercaya, teguh pendirian, cerdas ataukah menyebalkan. Dalam
hal ini setiap individu memiliki seperangkat standar dalam diri seseorang untuk
menilai orang lain seperti apa yang dilihat atau dipikirkannya.
Cara pandang diri cenderung berkaitan dengan komunikasi antarpribadi
yang kita lakukan. Konsep diri ini sesungguhnya tidak bisa dipandang sebagai satu
hal yang tetap, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu konsep diri
yang terbentuk dari hasil interaksi dan pengalaman bersama terus berkembang,
berubah, dan disesuaikan.
Dengan demikian, konsep diri sebagai suatu proses. Ini merupakan
bagian dari diri seseorang dalam proses menjadi (becoming). Proses ini dimulai
dengan mengumpulkan informasi tentang diri sampai pada proses terbentuknya
konsep diri. Secara spesifik mantan penderita kusta pada tahap awal
mengumpulkan informasi tentang dirinya baik berupa prasangka, stigma maupun
dukungan orang-orang tempat mereka berinteraksi. Informasi yang terkumpul
merupakan pengalaman siklus kehidupan yang berdasarkan pengalaman.
Selanjutnya, memberi makna, maksud atau sifat tertentu pada pengalaman
tersebut sampai membentuk kesan dalam diri mantan penderita kusta.
3
Berdasarkan kesan tersebut mereka mempelajari siapa dirinya, siapa orang lain,
bagaimana dunia memandang dirinya. Pemahaman dan penerimaan siapa dirinya
kemudian menjadi konsep diri pada mereka.
Setelah konsep diri tercipta faktor lain dalam komunikasi antarpribadi
adalah pengungkapan diri, yakni berkomunikasi dengan orang lain untuk
menyatakan berbagai hal yang berkenaan dengan dirinya sendiri. Membuka diri
terhadap orang lain berarti ada kesediaan antara pihak penerima dan pengirim
pesan untuk berbagi informasi tentang dirinya. Dengan pengungkapan diri,
manusia mengungkapkan siapa dirinya pada lawan komunikasinya secara
sukarela. Pengungkapan diri yang dilakukan oleh mantan penderita kusta dalam
berinteraksi dengan masyarakat dilingkungannya cenderung dipengaruhi oleh
pandangan orang lain terhadapnya. Penyakit Kusta sebenarnya bukan penyakit
keturunan, atau disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa atau pengaruh
makanan. Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh
kuman Myctobacterium Leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat
pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. (Dali Amiruddin, 2012; 11).
Berdasarkan pandangan ahli sosiologi meyakini bahwa penyebab
mewabahnya penyakit kusta disebabkan oleh krisis sosial dan kemiskinan.
Ketiadaan akses pada pengobatan medis modern memperparah mewabahnya
penyakit ini. Penjajahan, perang, kemiskinan, mewabahnya penyakit menular
adalah situasi nyata yang memicu terjadinya perubahan sosial suatu bangsa. Di
Eropa kita kenal “The Black Death” sebuah catatan peristiwa penderitaan manusia
4
Eropa yang disebabkan krisis peradaban yang parah. Pada pertengahan abad ke
15 hingga berakhirnya perang salib, hampir seluruh bagian Eropa terdapat rumah-
rumah kusta dan dihuni penderita kusta yang teregistrasi secara resmi (Joko
Suyanto, 2002; 210).
Di Indonesia perubahan sosial yang terjadi di Eropa berdampak pada
penanganan kusta. Sejak tahun 1897 ketika kongres kusta pertama di Berlin
Jerman, ditetapkan bahwa kusta adalah penyakit menular, maka pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan Surat Keputusan untuk mengasingkan paksa
penderita kusta. Atas dasar itu juga pemerintah kolonial Belanda membangun
pemukiman untuk penderita kusta di seluruh Indonesia (Nawir, 2011; 115).
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk membangun pemukiman
untuk penderita kusta juga direalisasikan di kota makassar, Berdiri pada kompleks
pemukiman kusta Jongaya yang merupakan tanah wakaf dari Raja Gowa,
didalamnya terdiri beberapa petak ruangan, diantaranya beberapa bangunan mirip
penjara serta 25 unit rumah untuk penderita kusta.
Di Kompleks pemukiman kusta Jongaya tersebut puluhan mantan
penderita kusta mulai menata hidupnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar
Makassar yang terusir dari kampung halamannya karena menderita kusta. Baginya
keluarga dan kampung asal adalah masa lalu yang buram, dan dikompleks
pemukiman kusta Jongaya kehidupan baru dimulai. Mereka mengasingkan diri
dengan untuk menghindari ejekan dan cercaan tetangga, teman bahkan keluarga
mereka sendiri yang tidak menerima keberadaan mereka.
5
Dorongan perasaan senasib, merasa dibuang, merasa tidak diinginkan
oleh masyarakat, akhirnya memunculkan solidaritas di antara mantan penderita
kusta. Komunitas homogen mantan penderita kusta menyebabkan mereka sama-
sama bertahan menghadapi stigma sosial dan hidup saling membantu. Dalam
konteks ini, tekanan mental bagi mantan penderita kusta yang dulunya minder dan
takut dengan orang lain, seolah kembali pulih, meskipun dalam ruang terbatas,
yakni dalam kompleks pemukiman kusta dan dengan sesama penderita kusta
saja. Kenyataan positif yang memunculkan semangat hidup dalam diri mereka.
Berjuang untuk mempertahankan generasi, mempertahankan anak cucu demi
kelangsungan hidup mereka.
Keberlanjutan hidup merupakan kebutuhan sosial yang sangat diinginkan
oleh mantan penderita kusta, namun kebutuhan tersebut dirasakan sangat sulit
bagi penderita kusta, karena puluhan mantan penderita kusta harus bertahan
hidup menghadapi stigma sosial dari masyarakat yang seolah memiliki
kesepakatan bersama, jika ada penderita kusta mereka harus disisihkan,
disingkirkan dan diasingkan, bahkan mengejek dan mengolok-oloknya.
Stigma itulah dirasakan seperti teror mental dan psikis bagi mantan
penderita, membuat rasa minder dan rendah diri serta kian meningginya kadar
sensitifitas ketersinggungan mereka. Cenderung reaktif dalam merespon keadaan
di sekitar lingkungannya, padahal mungkin orang tersebut yang mencoba
membangun komunikasi dengannya atau sekedar bertegur sapa dan
6
memperhatikan mereka tanpa tendensi mencemooh sekalipun, tak jarang justru
dinilai salah (negatif) oleh mereka.
Dampak sosial mantan penderita kusta ini bukan hanya berpengaruh
terhadap mereka, namun juga berdampak kepada keluarganya, bahkan mungkin
juga terhadap nama baik kampung yang ikut memberikan tekanan kepada mereka.
Seakan ketika mereka terjangkit kusta maka konsekuensinya adalah tercerabutnya
diri dan identitas mereka dan dari ruang sosial tempat mereka berinteraksi dan
melakukan kegiatan komunikasi.
Ketika penyakit kusta mulai menjangkitinya, maka mereka dengan
sendirinya “terpaksa” atau “dipaksa” untuk menjauh dari lingkungan sosialnya.
Satu-satunya pilihan yang mereka pilih adalah pergi menjauh dari lingkungan
sosial, sebab bagi mereka yang terpenting adalah bisa bertahan hidup dalam
lingkungan sosial yang menerima keberadaan mereka.
Perilaku-prilaku yang mereka lakukan seperti ini dalam studi komunikasi,
sebagai maksud untuk menyampaikan eksistensi dirinya sebagai sebuah identitas
komunitas yang berbeda dengan identitas lainnya atau sebagai bentuk penegasan
tentang nilai-nilai yang menjadi motivasi diri dalam berkehidupan sekaligus
menjadi pengikat antarmereka sebagai mantan penderita kusta dalam
komunitasnya dan sebagai pembeda bagi komunitas di luar dirinya.
Berangkat dari latar belakang ini, maka penulis menjadikan judul Konsep
Diri Mantan Penderita Kusta di Kota Makassar (Studi Komunikasi
Antarpribadi)
7
B. Fokus Penelitian
Jika perilaku mantan penderita kusta dianggap sebagai fakta sosial, maka
berlaku suatu sebutan mantan penderita kusta adalah “manusia tertindas”,
“manusia terbuang”, “manusia kalah” dan sebagainya. Sebuah pandangan objektif
yang melihat mantan penderita kusta sebagai korban kehidupan, kesenjangan
ekonomi, atau ketidakadilan sosial. Pemikiran ini disebut pandangan etik yaitu
melihat mantan penderita kusta dari sudut pandang orang luar, sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan pandangan emik yaitu bagaimana mantan penderita
kusta melihat diri dan kehidupan mereka sendiri. Dengan pendekatan
fenomenologis, mantan penderita kusta dilihat sebagai subjek. Mereka adalah
“aktor kehidupan” yang memilki hasrat, harapan, dan kehidupan sendiri.
Salah satu kajian yang dapat digunakan untuk melihat fenomena mantan
penderita kusta adalah komunikasi antarpribadi khususnya konsep diri dan
pengungkapan diri. Konsep diri adalah persepsi tentang diri sendiri yang relatif
menetap. Jalaluddin Rakhmat menyebut Konsep diri dalam dua hal yaitu citra diri
(self image) dan harga diri (self esteem). Citra diri berkaitan dengan faktor-faktor
kognitif individu, sedangkan harga diri berhubungan dengan faktor afektif individu.
Setelah konsep diri tercipta faktor lain dalam komunikasi antarpribadi
adalah pengungkapan diri. Pengungkapan diri merupakan suatu bentuk
komunikasi dimana informasi tentang diri sendiri yang biasanya disimpan atau
disembunyikan dikomunikasikan kepada orang lain.
8
Konsep diri dan pengungkapan diri mantan penderita kusta menarik untuk
diteliti untuk itu dua pertanyaan utama yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana konsep diri dan pola pembentukan konsep diri mantan penderita
kusta melalui komunikasi antarpribadi di Kota Makassar?
2. Bagaimana pengungkapkan diri mantan penderita kusta di Kota Makassar
pasca perawatan medis?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengeksplorasi konsep diri pola pembentukan konsep diri mantan penderita
kusta di Kota Makassar.
2. Mendeskripsikan pengungkapan diri mantan penderita kusta di kota makassar.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
memperkaya studi komunikasi khususnya studi komunikasi
antarpribadi dalam pembentukan konsep diri.
b. Pendekatan eksplorasi secara mendalam dapat menggambarkan pola
pembentukan konsep diri mantan penderita kusta.
9
c. Memberikan pencerahan dan pandangan bagi masyarakat untuk
menerima, dan berinteraksi dengan mantan penderita kusta. Mantan
penderita kusta juga memerlukan tempat untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya seperti masyarakat lainnya, sehingga keberadaan
mereka dapat diterima.
d. Mantan penderita kusta dapat menambah semangat dan motivasi
mereka untuk dihargai dan diterima di lingkungannya.
e. Pekerja kesehatan juga dapat memberikan perhatian dalam pelayanan
kesehatan, termasuk mensosialisasikan mantan penderita kusta
dengan masyarakat disekitarnya.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Komunikasi Antarpribadi
Pada dasarnya menurut De Vito (2011; 252) bahwa komunikasi
antarpribadi memiliki tiga pendekatan utama. Pertama, Batasan komunikasi
antarpribadi berdasarkan komponen-komponen utamanya yang melibatkan pihak-
pihak yang melakukan kegiatan komunikasi antarpribadi. Dalam hal ini,
penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau
sekelompok kecil orang dengan berbagai dampak penerimaan umpan balik yang
segera atau secara langsung.
Kedua, batasan komunikasi antarpribadi berdasarkan hubungan diadik
yaitu komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi yang berlangsung diantara dua
orang yang mempunyai hubungan yang jelas. Namun, batasan ini biasanya
diperluas mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau
kelompok- kelompok yang terdiri atas tiga atau empat orang.
Ketiga, batasan komunikasi antarpribadi berdasarkan pengembangan
yakni komunikasi antarpribadi dilihat sebagai kontinum komunikasi dari yang
bersifat tak-pribadi sampai hubungan pribadi yang lebih personal atau intim.
Pengembangan hubungan ini biasa dimulai dari impersonal sampai interpersonal.
11
Gerald Miller dalam De Vito (2011; 253) menganalisis faktor yang
membedakan komunikasi antarpribadi dengan komunikasi yang bersifat
impersonal, antara lain; Pertama, dalam interaksi antarpribadi kita bereaksi
terhadap pihak lain berdasarkan data psikologis atau bagaimana seseorang
berbeda dengan anggota- anggota kelompoknya. Dalam tahap impersonal kita
menanggapi orang lain berdasarkan data sosiologis, atau kelompok dimana orang
tersebut menjadi anggotanya.
Kedua, dalam komunikasi antarpribadi kita mendasarkan komunikasi kita
pada pengetahuan yang menjelaskan tentang masing-masing dari kita. Dan yang
terakhir aturan berupa adat atau kebiasaan sosial menjadi tidak penting,
peroranganlah yang menetapkan aturan.
Ketiga, karakteristik ini tingkatnya berbeda beda. Seseorang bereaksi
terhadap yang lain berdasarkan data psikologis sampai batas tertentu. Seseorang
mendasarkan dugaan mengenai perilaku orang lain sampai batas tertentu. Dan
seseorang bereaksi lebih atas dasar aturan yang ditetapkan bersama daripada
atas dasar norma-norma sosial sampai batas tertentu.
Selanjutnya, Komunikasi antarpribadi sangat penting bagi kebahagiaan
hidup kita. Johnson (dalam Suranto, 2011; 23) menunjukkan beberapa peranan
yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan
kebahagiaan hidup manusia.
Pertama, komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual
dan sosial kita. Perkembangan sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti
12
pola semakin meluasnya ketergantungan kita kepada orang lain. Diawali dengan
ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi,
lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan
bertambahnya usia kita. Bersamaan dengan itu perkembangan intelaktual dan
sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain.
Kedua, identitas atau jati diri kita terbentuk melalui komunikasi dengan
orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain secara sadar maupun tidak
sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan
yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana
pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan
orang lain kita menemukan diri yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
Ketiga, dalam rangka memahami realitas disekeliling kita serta menguji
kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar
kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain
tentang realitas yang sama. Tentu saja pembandingan sosial (social comparison)
semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
Keempat, kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh
kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-ebih orang yang
merupakan tokoh-tokoh signifikan dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan
orang lain diliputi masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas
dan frustasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindar dari orang lain, maka
rasa sepi dan terasing yang kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan,
13
bukan hanya penderitaan emosional atau batin bahkan mungkin juga penderitaan
fisik.
1.1 Efektifitas Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi, seperti bentuk perilaku yang lain, dapat bersifat
sangat efektif dan dapat pula bersifat sangat tidak efektif. Menurut De Vito (2011;
285) mengungkapkan karakteristik efektifitas ini dari tiga sudut pandang antara
lain;
Pertama, berdasarkan sudut pandang humanistis. Pendekatan ini dimulai
dengan kualitas-kualitas umum yang menentukan terciptanya hubungan
antarpribadi yang superior. Dari kualitas-kualitas umum ini kemudian menurunkan
perilaku-perilaku spesifik yang menandai komunikasi antarpribadi yang efektif.
Dalam pendekatan humanistis ada lima kualitas umum yang
dipertimbangkan antara lain; Keterbukaan (openness) mengacu pada sedikitnya
tiga aspek dari komunikasi antarpribadi yang efektif harus terbuka kepada orang
yang diajaknya berinteraksi. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu pada
kesediaan komunikator untuk berinteraksi secara jujur terhadap stimulus yang
datang. Aspek terakhir menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran. Terbuka
dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita
lontarkan adalah memang milik kita dan kita bertanggung jawab atasnya.
Kualitas kedua dalam pendekatan humanistis yaitu empati (emphathy).
Henry Backrack (dalam De Vito, 2011; 286) mendefinisikan empati sebagai
14
kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain
pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain tersebut. Langkah pertama
dalam mencapai empati adalah menahan godaan untuk mengevaluasi, menilai,
menafsirkan, dan mengkritik.
Kedua, makin banyak mengenal seseorang, Seperti keinginannya,
pengalamannya, kemampuannya, ketakutannya dan sebagainya. Langkah terakhir
coba merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain dari sudut pandangnya.
Kualitas ketiga dalam pendekatan humanistis yaitu sikap mendukung
(supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung
dalam suasana yang tidak mendukung untuk bersikap mendukung dengan
bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik, dan provisional bukan
keyakinan yang tak tergoyahkan.
Kualitas keempat adalah sikap positif (positiveness). Kita
mengkomunikasikan sikap postif dalam komunikasi antarpribadi dengan
menyatakan sikap positif dan secara positif mendorong orang yang lain.
Kualitas terakhir dalam sudut pandang humanistis yaitu kesetaran
(equality). Dalam suatu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh kesetaraan,
ketidaksependapatan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami
perbedaan ketimbang dilihat sebagai upaya untuk menjatuhkan pihak lain.
Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua
perilaku verbal dan nonverbal pihak lain.
15
Sudut pandang kedua yaitu pragmatis. Pendekatan pragmatis dalam
efektifitas komunikasi antarpribadi, adakalanya dinamakan model kompetensi.
Memusatkan pada perilaku spesifik yang harus digunakan oleh komunikator untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan. Pendekatan ini juga menawarkan lima kualitas
efektifitas antara lain;
Pertama, Kepercayaan diri (confidence). Komunikator yang efektif selalu
merasa nyaman bersama orang lain dan merasa nyaman dalam situasi komunikasi
pada umumnya, kualitas ini juga memungkinkan pembicara berkomunikasi secara
efektif dengan orang-orang gelisah, pemalu, atau khawatir dan membuat mereka
merasa lebih nyaman.
Kualitas kedua dalam sudut pandang pragmatis adalah kebersatuan
(immediacy), mengacu pada penggabungan antara pembicara dan pendengar,
terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan.
Kualitas ketiga yaitu manajemen interaksi (interaction management).
Dalam manajemen interaksi yang efektif, tidak seorangpun merasa diabaikan atau
merasa menjadi tokoh penting. Masing- masing pihak berkontribusi dalam
keseluruhan komunikasi.
Kualitas keempat yaitu daya ekspresi (expressiveness) mengacu pada
keterampilan mengkomunikasikan keterlibatan tulus dalam interkasi antarpribadi.
Kita berperan serta dalam permainan dan tidak sekedar menjadi penonton. Daya
ekspresi sama dengan keterbukaan dalam hal penekanannya pada keterlibatan,
dan ini mencakup misalnya ekspresi tanggung jawab atas pikiran dan perasaan,
16
mendorong daya ekspresi atau keterbukaan orang lain, dan memberikan umpan
balik yang relevan dan patut.
Kualitas terakhir dalam pendekatan pragmatis komunikasi antarpribadi
adalah orientasi kepada orang lain (other orientation) yaitu orientasi mengacu pada
kemampuan kita untuk menyesuaikan diri dengan lawan bicara selama
perjumpaan antarpribadi. Orientasi ini mencakup pengkomunikasian perhatian dan
minat terhadap apa yang dikatakan lawan bicara.
Sudut pandang terakhir dalam efektifitas komunikasi antarpribadi adalah
sudut pandang pergaulan sosial. Pendekatan ini didasarkan pada model ekonomi
imbalan dan biaya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa suatu hubungan
merupakan kemitraan dimana imbalan dan biaya saling dipertukarkan.
Ketiga pendekatan tersebut sama sekali tidak terpisah, melainkan saling
melengkapi. Masing- masing pendekatan membantu dalam memahami efektifitas
komunikasi antarpribadi. Tujuannya adalah memberikan pandangan mengenai
komunikasi antarpribadi yang efektif sehingga kita dapat memilih pendekatan
mana yang paling membantu dalam dalam suatu situasi tertentu. (De Vito, 2011;
285)
2. Pembentukan Konsep Diri melalui Komunikasi Antarpribadi
Konsep diri adalah sekumpulan keyakinan dan perasan seseorang
mengenai dirinya. dirinya bisa berupa bakat, minat kemampuan, penampilan fisik,
dan lain sebagainya. Orang pun kemudian memilki perasaan terhadap keyakinan
17
mengenai dirinya tersebut, apakah dia merasa positif atau negatif, bangga atau
tidak bangga, senang atau tidak senang dengan dirinya.
De Vito (201; 57) merumuskan konsep diri sebagai gambaran siapa diri
kita sebenarnya. Konsep diri juga dinyatakan sebagai keseluruhan gambaran
tentang diri kita. Maksud keseluruhan gambaran disini mencakup diri psikologis,
diri fisik, diri spiritual, diri sosial, dan diri intelektual. Demikian, konsep diri
merupakan persepsi kita pada bagian-bagian tadi untuk dipadukan dan
membentuk keseluruhan gambaran. Penting diingat, konsep diri ini bukan
pandangan orang lain pada kita melainkan pandangan kita sendiri atas diri kita.
Dalam konsep diri ini, kita bisa membayangkan bagaimana kita bercermin
untuk mengetahui siapa sesunguhnya diri kita. Jalaludin Rakhmat (2001; 42)
menjelaskan proses bercermin diri itu melalui tahapan-tahapan berikut ini.
Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain. Kedua, kita
membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita
mengalami rasa bangga atau kecewa pada diri kita sendiri.
Konsep diri bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul.
Pembentukan konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi
sosial. Menurut Cooley (dalam Sarwono dan Meinarno, 2011; 53), lewat analogi
cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya, konsep diri seseorang
diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya.
Namun, bukan berarti penilaian atau evaluasi orang lain adalah satu-
satunya yang membentuk konsep diri. Vaughan dan Hogg (dalam Sarwono dan
18
Meinarno, 2011; 54) menyatakan bahwa hasil tindakan kita mendorong kita untuk
melakukan introkspeksi dan persepsi diri. Introkspeksi dilakukan seseorang ketika
ia berusaha memahami dan menilai mengapa ia melaukuan tindakan tertentu.
Persepsi diri dilakukan seseorang ketika ia mengatribusikan secara internal hasil
yang diterimanya.
Konsep diri (self concept) merupakan identitas diri seseorang yang terdiri
dari keyakinan diri dan persepsi diri yang terorganisir sebagai sebuah skema
kognitif. Skema kognitif merupakan struktur kognitif yang menggambarkan
pengetahuan tentang konsep atau tipe stimulus termasuk atribut dan hubungan
antar atribut tersebut.
Menurut Higgins (dalam Sarwono dan Meinarno, 2011; 55), ada tiga
skema diri yang disebutkan sebagai berikut; (1), actual self, yaitu bagaimana diri
kita saat ini; (2) ideal self, yaitu bagimana diri yang kita inginkan; (3) ought self,
yaitu bagaimana diri kita seharusnya.
Pada diri seseorang mungkin terjadi kesenjangan antara actual self dan
ideal self atau ought self. Higgins dalam teori kesenjangan diri (self discrepancy
theory), menyatakan bahwa kesenjangan terjadi dapat memotivasi seseorang
untuk berubah agar mengurangi kesenjangan yang dirasakanya. Namun, apabila
seseorang gagal dalam mengatasi kesenjangan maka dapat menyebabkan
munculnya emosi-emosi negatif. Kegagalan dalam mengatasi kesenjangan antara
actual self dan ideal self dapat memicu munculnya dejection-related emotions
seperti kecewa, tidak puas, dan sedih. Sedangkan kesenjangan antara actual self
19
dan ought self dapat memicu munculnya agitation related emotions seperti cemas,
takut, dan terancam (Higgins dalam Sarwono dan Meinarno, 2011; 56)
Pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat
yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang
diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan.
Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Jendela
Johari. Jendela Johari adalah sebuah konsep yang ditemukan oleh Joseph Luft
dan Harry Ingham yang mengungkapkan tingkat kesadaran tentang diri kita.
(Jalaluddin Rakhmat, 2001; 87)
Mengenal Diri Tidak Mengenal Diri
Diketahui
Orang lain
Tidak Diketahui
Orang llain
Gambar 1; Jendela Johari (De Vito, 2011; 58)
Daerah Terbuka
Daerah
Buta
Daerah Tertutup
Daerah Gelap
20
Dalam gambar jendela johari tersebut, jendela tersebut dibagi menjadi
empat daerah atau kuadran pokok, yang masing- masing berisi diri (self) yang
berbeda. Perubahan pada kuadran tertentu, akan mengakibatkan perubahan pada
kuadran yang lain. Seperti sebuah jendela yang besarnya tetap, dengan besar
setiap kotak dapat berubah- ubah. Jika salah satu kotak menjadi lebih kecil, kotak
lain akan menjadi lebih besar. Begitu juga sebaliknya, kuadran- kuadran diri ini
tidak saling terpisah dan berdiri sendiri. Mereka masing-masing bergantung
kepada yang lain.
Daerah terbuka (open self) berisikan informasi, prilaku, sikap, perasaan,
motivasi, gagasan dan sebagainya yang diketahui oleh diri sendiri dan oleh orang
lain. Daerah terbuka masing-masing orang akan berbeda-beda besarnya
bergantung dengan siapa kita berkomunikasi.
Makin Kecil kuadran pertama makin buruk komunikasi (Joseph Luft dalam
DeVito 2011; 58). Komunikasi bergantung pada sejauh mana kita membuka diri
kepada orang lain dan kepada diri kita sendiri. Jika kita tidak membiarkan orang
lain mengenal kita, komunikasi menjadi sangat sukar, bahkan tidak mungkin. Kita
dapat berkomunikasi secara bermakna hanya bila kita saling mengenal diri sendiri.
Untuk meningkatkan komunikasi, kita terlebih dahulu harus berusaha
memperbesar daerah terbuka ini.
Daerah Buta ( Blind Self) berisikan informasi tentang diri kita yang
diketahui orang lain, tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Komunikasi menuntut
keterbukaan pihak- pihak yang terlibat bila ada daerah buta komunikasi menjadi
21
sulit. Tetapi daerah ini akan selalu ada pada diri kita masing- masing walaupun kita
mungkin dapat menciutkan daerah ini, menghilangkannya sama sekali tidaklah
mungkin,
Daerah Gelap (unknown self) adalah bagian dari diri kita yang tidak
diketahui baik oleh kita sendiri maupun orang lain. Ini adakah informasi yang
tenggelam di alam bawah sadar atau sesuatu yang luput dari perhatian. Eksplorasi
daerah gelap melalui interaksi yang terbuka, jujur dan empatik dengan rasa saling
percaya dengan orang lain merupakan cara efektif untuk mendapatkan gambaran
ini.
Daerah tertutup (Hidden Self) mengandung semua hal yang anda ketahui
tentang diri sendiri dan orang lain, tetapi anda simpan untuk anda sendiri. Ini
adalah daerah tempat anda merahasiakan segala sesuatu tentang diri sendiri dan
tentang orang lain. Pada ujung-ujung ekstrem terdapat mereka yang terlalu
terbuka (overdisclosers) dan mereka yang terlalu tertutup (underdisclosers).
Ada dua kelompok yang dianggap mempengaruhi konsep diri kita.
Pertama, orang lain yang kita anggap penting atau biasa dinamakan the significant
others. Sepanjang hidup kita, selalu saja ada orang yang kita anggap penting dan
berpengaruh pada diri kita. Pertama-tama, jelas, orang tua kita. Ketika mulai
memasuki usia sekolah, kita mengenal significant others lain, biasanya guru.
Begitu seterusnya, sepanjang hidup kita bertemu dengan orang-orang yang kita
anggap berpengaruh besar pada diri kita.
22
Kedua, kelompok acuan (reference group) yang memberi arahan dan
pedoman agar kita mengikuti perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku
dalam kelompok tersebut. Ini terkait dengan salah satu sifat manusia yang selalu
hidup dalam kelompok. Tidak ada manusia yang hidup menyendiri, kecuali karena
terpaksa. Semua manusia membutuhkan orang lain. Kelompok-kelompok tersebut
kita ikuti secara sukarela. Kelompok acuan itu mempengaruhi pembentukan
konsep diri kita.
3. Persepsi
Kata kunci lain yang penting untuk didalami yang berkaitan dengan
konsep diri ini adalah persepsi. Rakhmat (2001; 101) merumuskan bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga
membuat kita bisa mendapatkan makna dari stimuli indrawi kita. Misalnya, kita
memperoleh informasi melalui indera peraba kita bahwa air minum yang ada
digelas itu panas, meminumnya lebih dulu. Kita memiliki persepsi, meminum air
panas itu tidak nyaman pada lidah kita.
Persepsi itu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor-faktor personal dan
situasional serta fungsional dan struktural. Disamping ada faktor lain yang juga
menentukan persepsi, yakni perhatian (attention). Perhatian, tulis (Rakhmat 2001;
64) yang mengutip Kenneth E. Anderson adalah proses mental ketika stimuli atau
23
rangkain stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya
melemah. Perhatian itu akan ditentukan oleh faktor situasional dan personal.
Faktor situasional adakalanya dinamakan sebagai determinan perhatian
yang sifatnya eksternal. Stimuli tersebut kita lihat karena mempunyai sifat yang
menonjol. Menonjol karena apa? Bisa karena gerakannya, intensitas stimulinya,
kebaruannya, atau keberulang-ulangannya. Sedangkan faktor internal, yang
disebut juga faktor personal, adalah faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.
Faktor biologis adalah kondisi biologis kita saat kita mempersepsi sesuatu.
Bayangkan saja, jika Anda tengah kehausan ditengah terik matahari yang
menyengat maka pikiran kita akan didominasi oleh air minum yang dingin dan
menyegarkan. Sedangkan faktor sosiopsikologis akan terkait dengan motif, sikap,
kebiasaan, dan kemauan dalam mempersepsi sesuatu.
Sedangkan faktor fungsional yang menentukan persepsi kita bersumber
dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan berbagai hal yang termasuk faktor-
faktor personal. Di sini, yang menentukan persepsi kita bukan stimulinya
melainkan karakteristik subjek yang menerima stimuli itu. Bukan sesuatu di luar diri
kita yang menentukan, melainkan diri kita sendirilah yang menentukan persepsi itu.
Secara ringkas, bagaimana proses mempersepsi yang dipengaruhi
berbagai faktor tersebut dapat dilihat pada gambar berikut
Filter unik Persepsi
individual: NILAI
KEBUTUHAN TUJUAN
KEPENTINGAN KEYAKINAN
SIKAP EKSPEKTASI KEINGINAN Dunia
Realitas Dunia
SebagaimaAdanya
24
Gambar 2; Filter Unik Persepsi Individual
(Jalaluddin Rakhmat, 2001; 64)
Gambar tersebut menjelaskan aspek lain dari persepsi, yakni adanya
saringan atau filter yang unik bagi setiap individu. Disebut unik karena yang
menyaring persepsi kita itu berbeda-beda untuk tiap individu. Filter tersebut
ditentukan, antara lain oleh sikap, pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan, ekspektasi,
bahasa dan pendidikan. Misalnya, ada dua individu yang berbeda tingkat
pendidikan, ekspetasi, dan sikap membaca berita-berita kriminalitas dikoran.
Persepsi mereka atas dunia, tentunya akan berbeda. Individu yang satu
memandang dunia menjadi semakin tidak aman. Sehingga kriminalitas terjadi di
mana-mana. Individu yang satu lagi mempersepsi apa yang tampil di koran itu
tidak mencerminkan keadaan, melainkan hanya melaporkan peristiwa yang
dipandang akan menarik perhatian pembaca.
25
Karena ada filter itulah maka kita bisa menyatakan bahwa persepsi itu
merupakan proses menyeleksi, mengorganisasikan, dan menafsirkan informasi
yang kita serap melalui indera kita. Kita tidak mengambil semua informasi yang
diserap indera kita, melainkan memilih hanya mengambil informasi-informasi
tertentu saja, yakni biasanya informasi yang sejalan dengan kita atau informasi
yang memiliki makna bagi kita. Kemudian, informasi tersebut kita susun atau kita
organisasikan. Kita mengelompokkan informasi yang diperoleh. Ada informasi
yang kita perdalam dan kita gali terus informasinya. Ada informasi yang kita tunda,
sampai kita pandang lengkap baru diolah. Setelah itu, tentu informasi tersebut baru
memiliki makna bagi kita apabila ditafsirkan. Penafsiran pada dasarnya adalah
memaknai informasi tersebut dengan cara mengevaluasi, menyimpulkan, memberi
respons atau memperkirakan kelanjutannya.
Begitu jugalah halnya persepsi tentang diri kita dalam membentuk konsep
diri. Kita menerima bagitu banyak informasi dari dunia luar. Kita tidak mengambil
semua informasi itu.
Oleh sebab itu, memahami proses persepsi yang terjadi pada diri kita
menjadi penting. Karena pemahaman tersebut akan menjadi dasar bagi kita dalam
melihat kenyataan. Sekaligus juga menyadari bahwa persepsi manusia itu
berbeda-beda terhadap hal atau objek yang sama. Oleh karena pada diri manusia
ada semacam filter unik yang dipengaruhi berbagai faktor, seperti keyakinan,
pendidikan, bahasa dan nilai-nilai.
26
4. Pengungkapan Diri Melalui Komunikasi Antarpribadi
Pengungkapan diri (Self Disclosure) adalah jenis komunikasi di mana kita
mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita sembunyikan
(De Vito, 2011; 64). Pengungkapan diri terjadi lebih lancar dalam situasi- situasi
tertentu daripada situasi yang lain. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
pengungkapan diri antara lain (De Vito, 2011; 65)
1. Besar Kelompok. Pengungkapan diri lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil
daripada kelompok besar. Kelompok kecil merupakan lingkungan yang paling
cocok untuk pengungkapan diri, dengan satu pendengar pihak yang melakukan
pengungkapan diri dapat meresapi tanggapan dengan cermat.
2. Perasaan menyukai. Kita membuka diri kepada orang yang kita sukai dan kita
tidak membuka diri kepada orang yang tidak kita sukai karena orang yang kita
sukai akan bersikap mendukung dan positif. Kita membuka diri kepada mereka
yang kita sukai, kita juga tampaknya menjadi suka kepada mereka terhadap
siapa yang membuka diri.
Sewaktu-waktu pengungkapan diri lebih mungkin terjadi dalam hubungan
sementara daripada dalam hubungan yang bersifat permanen. Michael McGill
(dalam De Vito, 2011; 65) menamai hubungan macam ini “Inflight intimacy”
(Keakraban perjalanan). Dianalogikan, dua orang membina hubungan
pengungkapan diri yang intim selama masa pejalanan yang singkat, tetapi tidak
melanjutkannya setelah itu.
27
3. Efek Diadik. Kita melakukan pengungkapan diri bila orang bersama kita juga
melakukan pengungkapan diri. Pengungkapan diri menjadi lebih akrab bila itu
dilakukan sebagai tanggapan atas pengungkapan diri orang lain.
4. Kompetensi. Orang yang kompeten lebih banyak melakukan pengungkapan diri
pada orang yang tidak kompeten.
5. Kepribadian. Orang-orang yang pandai bergaul melakukan pengungkapan diri
lebih banyak daripada mereka yang kurang pandai bergaul.
6. Topik. Kita lebih cenderung membuka diri tentang topik tertentu daripada topik
yang lain. Kita juga mengungkapkan informasi yang bagus lebih cepat daripada
informasi yang kurang baik. Umumnya, makin pribadi dan makin negatif suatu
topik, makin kecil kemungkinan kita mengugkapkannya.
7. Jenis Kelamin. Faktor terpenting yang mempengaruhi pengungkapan diri
adalah jenis kelamin. Umumnya pria lebih kurang terbuka daripada wanita.
Dalam proses hubungan antarpribadi terdapat tingkatan-tingkatan yang
berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell dalam Suranto (2011; 68)
Tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi antara lain;
1. Basa-basi; merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau
dangkal, walaupun terdapat keterbukaan diantara individu, tetapi tidak terjalin
hubungan antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi
sekedar kesopanan.
28
2. Membicarakan orang lain; yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah
tentang orang lain atau hal-hal yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi
komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak
mengungkapkan diri.
3. Menyatakan gagasan atau pendapat; Sudah mulai dijalin hubungan yang erat.
Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.
4. Perasaan; Setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama
tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap
individu berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan
antarpribadi yang sunguh-sunguh haruslah didasarkan atas hubungan yang
jujur, terbuka, dan menyatakan perasaan-perasaan yang mendalam.
5. Hubungan puncak; pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam,
individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan yang
dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati
haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.
Mengapa seseorang harus mengungkapkan diri? De Vito (2011; 67)
menjawab pertanyaan ini dengan mengemukakan manfaat pengungkapan diri,
antara lain;
1. Pengetahuan diri. Salah satu manfaat pengungkapan diri adalah kita
mendapatkan perspektif baru tentang diri sendiri dan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai perilaku kita sendiri.
29
2. Kemampuan mengatasi kesulitan. Argumen lain yang berkaitan erat dengan
pengungkapan diri adalah bahwa kita akan lebih mampu menanggulangi
masalah atau kesulitan kita, khususnya perasaan bersalah, melalui
pengungkapan diri.
3. Efesiensi Komunikasi. Pengungkapan diri memperbaiki komunikasi. Kita
memahami perasaan orang lain sebagian besar sejauh kita memahami orang
lain secara individual. Kita dapat lebih memahami apa yang dikatakan
seeorang jika kita mengenal baik orang tersebut.
4. Kedalaman hubungan. Mungkin alasan utama pentingnya pengugkapan diri
adalah bahwa ini perlu untuk membina hubungan yang bermakna di antara dua
orang. Tanpa pengungkapan diri, hubungan yang bermakna dan mendalam
tidak mungkin terjadi.
Banyaknya manfaat pengungkapan diri jangan sampai membuat kita buta
terhadap risiko-risikonya (Bochner dalam De Vito, 2011; 69). Adapun bahaya
pengungkapan diri antara lain;
1. Penolakan pribadi dan sosial. Bila kita melakukan Pengungkapan diri biasanya
kita melakukannya kepada orang yang kita percaya. Tentu saja, orang ini
mungkin ternyata menolak kita.
2. Kerugian Material. Adakala, pengungkapan diri mengakibatkan kerugian
material. Dalam dunia bisnis, pengungkapan diri dalam kecanduan alkohol,
30
atau hal yang negatif lainnya seringkali diikuti oleh dengan pemecatan atau
mutasi.
3. Kesulitan Intrapribadi. Bila reaksi orang lain tidak seperti yang diduga, kesulitan
interpribadi dapat terjadi.
Pengungkapan diri, seperti bentuk komunikasi yang lain bersifat
reversibel. Kita tidak dapat mengungkapkan diri kepada seseorang dan kemudian
menariknya kembali. Betapa pun kerasnya usaha kita untuk menarik
pengungkapan diri, sekali sesuatu itu sudah dikatakan, ia tidak dapat ditarik
kembali. Juga kita tidak dapat menghapus kesimpulan yang ditarik oleh pendengar
berdasarkan pengungkapan diri kita.
Karena pengungkapan diri menimbulkan manfaat dan risiko. De Vito
(2011; 71) Mengungkapkan pedoman untuk pengungkapan diri antara lain;
1. Motivasi pengungkapan diri. Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa
kepentingan terhadap hubungan, terhadap orang lain yang terlibat, dan
terhadap diri sendiri. Pengungkapan diri hendaknya bermanfaat dan produktif
bagi semua pihak yang terlibat.
2. Kepatutan pengungkapan diri. Pengungkapan diri haruslah sesuai dengan
lingkungan (konteks) dan hubungan antara pembicara dan pendengar.
3. Pengungkapan diri orang lain. Selama pengungkapan diri Anda, berikanlah
lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika
lawan bicara ini tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka pikirkanlah
31
kembali pengungkapan diri Anda. Ketiadaan pengungkapan diri timbal balik ini
mungkin merupakan isyarat bahwa orang tersebut pada saat dan suasana
tersebut tidak menyambut baik pengungkapan diri Anda.
4. Beban yang mungkin ditimbulkan pengungkapan diri. Pertimbangkanlah
dengan cermat kesulitan yang mungkin Anda timbulkan akibat pengungkapan
diri.
Bila seseorang mengungkapkan dirinya kepada Anda, ini biasanya
merupakan isyarat kepercayaan dan afeksi. De Vito (2011; 72), selain
mengungkapkan pedoman pengungkapan diri, juga terdapat pedoman untuk
menanggapi pengungkapan diri orang lain;
1. Manfaatkan keterampilan mendengarkan yang efektif dan aktif. Kita harus
mendengarkan secara efektif, penuh perhatian, dengan empati, dan dengan
pikiran terbuka. Tunjukkan pengertian terhadap perasaan pembicara untuk
memberikan kesempatan kepadanya melihat secara objektif dan melalui
pandangan orang lain.
2. Mendukung pembicara. Tunjukkan dukungan terhadap pembicara selama dan
sesudah pengungkapan diri berlangsung. Jangan membuat evaluasi,
berkonsentrasi pada pengertian dan lakukan sikap empatik. Dukungan ini harus
dilakukan secara verbal maupun non verbal.
3. Menjaga kerahasiaan. Jika seseorang mengungkapkan dirinya, itu karena ia
ingin orang lain mengetahui pikiran dan perasaannya. Jika anda menceritakan
32
pengungkapan diri ini kepada orang lain, banyak dampak negatif yang akan
timbul. Tindakan seperti ini dapat mengagalkan pengungkapan diri lebih lanjut.
4. Jangan manfaatkan pengungkapan diri orang lain untuk merugikannya. Banyak
pengugkapan diri memaparkan kelemahan atau kekurangan. Jika kita berbalik
dan memanfaatkan ini untuk menjatuhkan pembicara, kita telah bertindak tidak
jujur, menghianati kepercayaan yang diberikan kepada kita.
5. Teori Identitas Sosial
Setiap orang membangun sebuah identitas sosial. Identitas sosial
merupakan sebuah defenisi diri yang membantu seseorang
mengkonseptualisasikan dan mengevaluasi dirinya sendiri. Dalam identitas sosial
tercakup personal identitiy atau atribut pribadi (nama,konsep diri) dan social
identity, yaitu atribut yang dibaginya bersama orang lain (kelompok) seperti gender
dan ras (Baron dan Byrne dalam Sarwono dan Meinarno, 2005; 55)
Pengetahuan kita tentang diri bervariasi pada kontinum identitas personal
dan sosial. Pada identitas personal, seseorang akan mendefenisisikan dirinya
berdasarkan atribut atau trail yang membedakan diri dengan orang lain dan
hubungan antarpribadi yang dimilki. Sedangkan pada identitas sosial, seseorang
akan mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok
sosial atau atribut yang dimilki bersama oleh anggota kelompok
33
Menurut Brewer dan Gardiner dalam Sarwono dan Meinarno (1996; 55),
tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi seseorang dalam mendefenisikan dirinya
adalah sebagai berikut: Individual self , yaitu diri yang didefenisikan berdasarkan
trait pribadi yang membedakan dengan orang lain; relational self, yaitu diri
didefenisikan berdasarkan hubungan antarpribadi yang dimiliki dengan orang lain;
collective self, yaitu diri didefenisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial.
Setiap orang memilki ketiga bentuk diri di atas, tetapi ketika diminta untuk
mendefenisikan diri muncul kecenderungan tertentu yang khas antara orang
dengan latar belakang budaya individualis yang menekankan independensi dan
budaya kolektifitas yang menekankan interdependensi.
6. Gambaran Umum Penyakit Kusta
Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan (Dali Amiruddin,
2012; 14).
34
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874.
6.1 Penyebaran Penyakit Kusta
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena
perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan
pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa
penderita kusta ini dirawat di Leprosaria dengan isolasi ketat. Penyakit ini masuk
ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-
orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang.
6.2 Penyebab Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai
microbakterium, dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat
juga golongan organism patogen (misalnya Microbacterium tubercolose,
35
mycrobakterium kustae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan
menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.
6.4 Tanda-tanda Penyakit Kusta
Dali Amiruddin (2012; 14) mengungkapkan ada tiga tanda kardinal atau
tanda utama yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan
diagnosis dari penyakit kusta, tanda tersebut antara lain;
1. Lesi kulit yang mati rasa. Lesi kulit bisa bercak keputih- putihan (hipopigmetasi)
atau bercak kemerahan (eritematosa), mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Disertai dengan hilangnya rasa raba, rasa sakit, atau suhu yang jelas, serta
kelainan pertumbuhan rambut.
2. Penebalan saraf tepi. Penebalan saraf tepi dapat disertai rasa nyeri dan dapat
juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena.
3. Terdapat M. Leprae. Dengan pemeriksaan bakterioskopik M. Leprae dapat
dilakukan.
Selain tiga tanda utama tadi terdapat juga gejala-gejala umum pada reaksi
kusta antara lain:
1. Demam tinggi
2. Nafsu makan menurun
3. Mual dan Muntah, serta nyeri kepala
4. Kadang- kadang disertai radang paru-paru dan nyeri saraf
36
6.5 Bentuk-bentuk Penyakit Kusta
Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni bentuk
leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh.
Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman. Bentuk
tuber koloid mempunyai kelainan pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat
pada. tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit
kuman. Diantara bentuk leproma dan tuber koloid ada bentuk peralihan yang
bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah.
E. Kerangka Pemikiran
Konsep Diri merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan
dalam komunikasi antarpribadi. Konsep Diri memainkan peran yang sangat besar
dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang setelah keberhasilan
komunikasi, karena konsep diri dapat dianalogikan sebagai suatu operating system
yang menjalankan suatu komputer.
Konsep diri dapat mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Konsep
diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba
hal-hal baru, tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, merasa
dirinya bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk
sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior lainnya.
37
Sebaliknya orang yang konsep dirinya baik akan selalu optimis, berani
mencoba hal-hal baru, berani sukses, percaya diri, antusias, merasa diri berharga,
berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir positif, dan dapat menjadi
seorang pemimpin yang handal.
Selain Konsep diri, dalam komunikasi antarpribadi juga dikenal
pengungkapan diri. Pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan
dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi tersebut bersifat deskriptif
atau evaluatif. Deskniptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri
sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti, jenis pekerjaan,
alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat
atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak
disukai atau dibenci.
Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi
perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di
dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dan pengungkapan diri
seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika
orang yang berinteraksi dengan menyenangkan dan membuat merasa aman serta
dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi idividu untuk lebih
membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu yang dapat
saja menutup diri karena merasa kurang percaya diri.
Dalam konteks mantan penderita kusta, konsep diri memengaruhi perilaku
terutama dalam menganggapi dunia dan pengalaman.Konsep diri mantan
38
penderita kusta bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada atau muncul. Pembentukan
konsep diri dipengaruhi oleh orang lain dalam proses interaksi sosial.
Konsep diri mantan penderita kusta diperoleh dari hasil penilaian dan
evaluasi orang lain terhadap diri mantan penderita kusta. Apa yang dipikirkan
orang lain tentang kusta menjadi sumber informasi tentang siapa diri mantan
penderita kusta. Informasi tersebut tentunya berdasarkan persepsi orang lain.
Dalam psikologi, persepsi merupakan proses perolehan, penafsiran,
pemilihan, dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain. Melalui persepsi
sosial, kita berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain.
Persepsi terhadap mantan penderita kusta menjadi salah satu wajah
komunikasi antarpribadi yang tampak ambigu. Satu sisi menginginkan keterbukaan
dan empati, yang berangkat dari persepsi yang menganggap bahwa kusta adalah
penyakit yang sama sekali tidak berbahaya, sementara di sisi yang berbeda juga
menonojolkan prasangka dan diskriminasi yang didasari dari persepsi masyarakat
tentang kusta yang merupakan penyakit kutukan, berbahaya, dan harus dijauhi.
Di sinilah titik penting pengungkapan diri mantan penderita kusta.
Pengungkapan diri adalah proses komunikasi dimana mantan penderita kusta
mengungkapkan informasi tentang diri yang biasanya disembunyikan.
39
SKEMA PENELITIAN
Gambar 3; Skema Penelitian
F. Tinjauan Hasil Penelitian
Penelitian bertema fenomenologi dan komunikasi antarpribadi telah
banyak dilakukan dengan spesifikasi dan perspektif yang berbeda-beda pada
masing-masing penelitian. Penelitian tersebut diantaranya;
MANTAN
PENDERITA KUSTA
KONSEP DIRI
PENGUNGKAPAN DIRI
FENOMENA KOMUNIKASI MANTAN PENDERITA KUSTA
PERSEPSI DALAM DIRI
(IN SELF)
PERSEPSI DI LUAR DIRI (OUT SELF)
40
Tabel 1; Tinjauan Hasil Penelitian
Peneliti dan Judul
Penelitian
Perspektif dan Temuan Persamaan / Perbedaan
Implikasi Penelitian
Engkus Kuswarno
(2004).
Dunia Simbolik
Pengemis Kota Bandung.
Studi Tentang Konstruksi
Realitas dan Manajemen
Komunikasi Para
Pengemis Di Kota
Bandung.
Pengemis
mengkonstruksi realitas
sosial kehidupan mereka
berdasarkan sudut
pandang mereka sendiri,
sehingga membentuk
suatu model konstruksi
sosial yang tersendiri.
Pengemis
Dengan fokus penelitian
pada manajemen
komunikasi dan konstruksi
sosial pengemis dengan
menggunakan pendekatan
fenomenologi.
Rotua Nuraini
Tampubolon (2008).
Fenomena Komunikasi
Homoseksual; Studi
Fenomenologis
Komunikasi Verbal dan
Nonverbal di Kalangan
Gay Terselubung di Kota
Medan.
Melalui penelitian
fenomenologis,komunitas
homoseksual di kota
medan mengenal
komunikasi verbal dan
non verbal yang
digunakan untuk
mengenali sesama
komunitas. Seseorang
menjadi homoseksual
dilatarbelakangi beragam
antara lain; keluarga,
lingkungan, hormanal,
maupun traumatik pada
saat gay tersebut berada
pada masa remaja.
Penelitian ini memiliki
persamaan dalam hal
metode penelitian yang
menggunakan pendekatan
fenomenologi, fokus
penelitian dan objek
penelitian serta fokus
penelitian yang
membedakan
Surakhmat (2006).
Konsep Diri dalam
Atraksi Komunikasi
Antarpribadi Lima
pengader HMI Cabang
Makassar (Studi Kasus
Komunikasi Antarpribadi)
Para pengader HMI
memiliki konsep diri
positif, ini bisa dilihat dari
tanggung jawab dan
peran yang dijalani
pengader tersebut, serta
bersikap optimis
memandang masa depa
mereka.
Dengan fokus penelitian
pada konsep diri dengan
menggunakan pendekatan
kualitatif
41
Penelitian-penelitian tersebut dengan berbagai fokus dan perspektif yang
berbeda telah memberi gambaran tentang pendekatan fenomenologi dan
komunikasi antarpribadi yang akan membantu penulis terutama dalam memahami
pendekatan tersebut. Namun dalam konteks penelitian ini, penulis memandang
bahwa konsep diri dengan subjek penelitian mantan penderita kusta menarik untuk
dikaji.
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam ini penelitian mengeksplorasi secara mendalam gejala dan
fenomena konsep diri mantan penderita kusta melalui pengembangan hubungan
antarpribadi dengan lingkungan masyarakat Kota Makassar. Melihat gejala dan
fenomena tersebut maka, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi.
Fenomenologi merupakan bentuk idealisme yang tertarik pada struktur-
struktur dan cara bekerjanya kesadaran manusia yang secara implisit meyakini
bahwa dunia yang kita alami diciptakan atas dasar kesadaran (Basrowi dan
Sukidin, 2002; 40). Dunia eksternal tidak ditolak keberadaannya, tetapi dunia luar
hanya dapat dimengerti melalui kesadaran kita. Kita hanya tertarik dengan dunia
sejauh dia memiliki makna, maka kita harus memahami dengan membuatnya
bermakna.
Memahami pendekatan fenomenologi, Alfred Schutz, seorang murid
Husserl. mengungkapkan bahwa tugas fenomenologi adalah menghubungkan
antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan di
mana pengalaman dan pengetahuan berakar (Basrowi dan Sukidin, 2002; 39)
43
Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek
penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap
realitas (Engkus Kuswarno, 2009; 38). Jadi sebagai peneliti sosial kita pun harus
membuat intepretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat
satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk
menjelaskan secara ilmiah proses tersebut. Secara alamiah setting sosial individu
yang diamati tanpa merekasa apa yang mereka ceritakan dan ungkapkan.
Hal ini berarti peneliti mengasumsikan dirinya sebagai orang yang tidak
tertarik atau bukan bagian dari dunia yang diamati. Peneliti hanya terlibat secara
kognitif dengan orang yang diamati.
Bagi Schutz (Basrowi dan Sukidin, 2002; 40), tindakan manusia adalah
bagian dari posisinya dalam masyarakat. Sehingga tindakan seseorang itu bisa
jadi hanya merupakan kamuflase atau peniruan dari tindakan orang lain yang ada
di sekelilingnya. Peneliti sosial dapat menggunakan teknik ini untuk mendekati
dunia kognitif objek penelitiannya. Memilih salah satu posisi yang dirasakan
nyaman oleh objek penelitiaannya, sehingga ia merasa nyaman di dekat peneliti, ia
menjadi dirinya sendiri.
Dari pemikiran tersebut, dapat dibuat sebuah “model tindakan manusia”
yang dipostulasikan sebagai berikut;
1. Konsistensi logis, digunakan sebagai jalan untuk pembuatan validitas objektif
dari konstruk yang dibuat peneliti. Validitas ini perlu untuk keabsahan data, dan
pemisahan konstruk penelitian dari konstruk sehari-hari.
44
2. Interpretasi subjektif, digunakan peneliti untuk merujuk semua bentuk tindakan
manusia, dan makna dari tindakan tersebut.
3. Kecukupan, maksudnya konstruk yang telah dibuat oleh peneliti sebaiknya
dapat dimengerti oleh orang lain. Pemenuhan postulat ini menjamin konstruk
ilmiah yang telah dibuat konsisten dengan konstruk yang telah diterima, atau
yang telah ada sebelumnya. (Basrowi dan Sukidin, 2002; 40)
Schutz membuat model tindakan manusia ini melalui proses yang
dinamakan tipikasi, sebuah cara mengkonstruksikan makna di luar arus utama
pengalaman. Hubungan-hubungan makna diorganisir secara bersama, juga
melalui proses tipikasi atau disebut stock of knowledge. Kumpulan pengetahuan
memilki kegunanaan praktis dari dunia itu sendiri, bukan sekedar pengetahuan
tentang dunia (Basrowi dan Sukidin, 2002; 40).
Tipikasi ini berlangsung sepanjang hidup manusia. Adapun jenis tipikasi
bergantung pada orang yang membuatnya, sehingga kita mengenal tipe aktor, tipe
tindakan, tipe kepribadian sosial, dan sebagainya. Bagi Schutz, jenis tipikasi dibuat
berdasarkan kesamaan tujuan, namun dalam struktur yang relevan dengan tujuan
penelitian. Singkatnya tipikasi ini menyediakan seperangkat identitas, klasifikasi,
dan model perbandingan dari tindakan dan interkasi sosial. Dengan menggunakan
kriteria yang telah didefenisikan untuk penempatan fenomena ke dalam tipe-tipe
khusus.
B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti
45
Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode interpretasi
yang sama dengan orang yang diamati. Pada praktiknya peneliti mengasumsikan
diri sebagai orang yang bukan bagian atau hanya terlibat secara kognitif dari orang
yang diamati.
Observasi dilakukan secara nonpartisipan, artinya peneliti tidak beraktifitas
layaknya mantan penderita kusta melainkan hanya mengamati aktifitas mantan
penderita kusta. Peran utama peneliti dalam penelitian fenomenologi adalah
membiarkan segala sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, kita berusaha
untuk tidak memasukkan kategori-kategori kita sendiri terhadapnya. Oleh karena
itu seorang peneliti fenomenologi tidak membuat atau menguji hipotesis tetapi
berdasarkan pengalaman langsung dari mantan penderita kusta dengan konsep
diri yang dimilikinya.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kompleks Pemukiman Kusta, Jl. Dangko
Makassar. Lokasi ini dipilih karena merupakan tempat pemukiman mantan
penderita kusta terbesar di Kota Makassar sehingga memudahkan peneliti untuk
dekat, mengamati dan bersosialisasi dengan mereka.
Di kompleks pemukiman kusta tersebut puluhan mantan penderita kusta
bermukim. Pada umumnya masyarakat di kompleks pemukiman kusta
mengandalkan juru parkir, mengemis dan memulung sebagai mata pencaharian
46
pokok. Pemilihan pekerjaan tersebut oleh mantan penderita kusta mereka anggap
pekerjaan tersebut dirasa cocok dengan kondisi fisik yang mereka alami.
D. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dibagi dalam dua segmen yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang didasarkan pada kenyataan obyektif
terhadap fokus penelitian. Dalam hal ini, konsep diri mantan penderta kusta di kota
makassar. Sementara data sekunder adalah data yang telah diolah, yang dapat
diperoleh di kantor-kantor pemerintahan, lembaga sosial keagamaan dan
sebagainya.
Data diperoleh dan dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data:
a. Observasi
Dalam penelitian ini observasi dilakukan secara nonpartisipan, artinya
peneliti hanya mengamati proses adaptasi, interaksi, dan cara mereka
bersosialisasi, tidak berlaku layaknya mantan penderita kusta melainkan hanya
menemani melakukan keseharian mereka dengan masyarakat sekitar.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan secara terbuka dan tidak berstruktur dan
mengutamakan wawancara mendalam (Indepth interview). Wawancara mendalam
dilakukan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan
47
informan. Dalam proses wawancrara peneliti dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama.
Materi wawancara berkisar antara masalah atau tujuan penelitian yakni
tentang konsep diri dan bagaimana mantan penderita kusta melakukan
pengungkapan diri. Materi wawancara meliputi: pembukaan, isi dan penutup.
Pembukaan wawancara meliputi kata-kata tegur sapa, seperti pekerjaan,
daerah asal sebelum menderita kusta, jumlah anak, usia, dsb. Pembukaan
wawancara dilakukan dengan maksud selain agar mantan penderita kusta merasa
dekat dan akrab dengan peneliti serta sebagai informasi tambahan mengenai
identitas informan.
Isi wawancara yaitu pokok pembahasan yang menjadi masalah atau
tujuan penelitian. Meliputi pertanyaan mengenai perjalanan hidup menderita kusta
dan pasca rehabilitasi, bagaimana mantan penderita kusta memaknai kehidupan
sebagai mantan penderita kusta serta bagaimana harapan dan tujuan hidup
setelah menderita kusta.
Selanjutnya, penutup wawancara meliputi bagian akhir dari suatu
wawancara. Bagian ini peneliti menggunakan kalimat-kalimat penutup
pembicaraan, antara lain: saya kira cukup sampai disini wawancara kita, terima
kasih atas bantuan bapak, bapak sudah banyak membantu saya, dsb. Pada
bagian ini juga peneliti berjanji untuk ketemu lagi pada lain waktu.
c. Telaah Dokumen
48
Cooper (dalam Engkus Kuswarno 2009; 62) menyebutkan empat jenis
telaah dokumen yang biasa digunakan dalam penelitian fenomenologi, antara lain:
1. Tinjauan Integratif (integrative review), mencakup tinjauan terhadap
pengetahuan yang sudah pasti, yakni literatur-literatur yang berhubungan
dengan topik penelitian yang akan dilakukan
2. Tinjauan teori (theoretical review) mencakup tinjauan tehadap catatan-catatan
mengenai eksistensi permasalahan yang sedang dibahas.
3. Tinjauan metodologi (methodological review) mencakup tinjauan terhadap
metodologi penelitian yang pernah dilakukan
4. Tinjauan tematik (thematical review), yakni tinjauan terhadap tema-tema inti
yang muncul dalam penelitian fenomenologi sebelumnya.
E. Informan Penelitian
1. Teknik Menemukan Informan
Dalam studi fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah “all
individuals studied represent people who have experienced the phenomenon”
(Littlejohn dalam Kuswarno, 2009; 132). Jadi lebih tepat memilih informan mantan
penderita kusta yang karena pengalamannya dia mampu mengartikulasikan
pengalaman dan pandangannya dengan menggunakan teknik puposive sampling.
Adapun ciri-ciri informan, berdasarkan kriteria antara lain:
49
1. Mantan penderita kusta yang pernah melakukan pengobatan medis dan
memberikan kesediaan untuk dijadikan informan penelitian.
2. Berusia di atas 30 tahun. Berdasarkan data hasil pengamatan rata-rata usia
mantan penderita kusta berkisar antara 30 – 80 tahun. Pertimbangan bahwa
faktor usia cenderung menentukan tingkat pengetahuan, pengalaman, tingkat
interaksi dengan lingkungan sekitar semakin banyak
3. Informan bersedia dan mampu menceritakan kembali persitiwa yang telah
dialaminya.
Setelah melihat konsep diri, peneliti juga melihat bagaimana mantan
penderita kusta mengungkapkan diri, berinteraksi dengan masyarakat luar. Dalam
hal ini penelitian ini juga melibatkan masyarakat diluar mantan penderita kusta
sebagai informan antara lain keluarga, tetangga dan orang-orang yang mengenal
mantan penderita kusta.
Peneliti mengkategorikan keluarga, tetangga dan orang yang bertempat
tinggal di lingkungan masyarakat sebagai significant other. Orang- orang yang
baru ditemui setelah keluar dari mengalami perawatan medis
2. Mendapat Akses Berkenanalan dengan Mantan Penderita Kusta
Sebelum observasi yang berkaitan dengan penelitian ini, jauh sebelumnya
yaitu sekitar tahun 2005, penulis telah melakukan pengamatan-pengamatan dan
terlibat dalam kehidupan mantan penderita kusta. Tugas pemetaan problem dan
advokasi sosial yang penulis jalani sebagai relawan di YCMJ (Yayasan Cintra
50
Mantan Kusta- Jongaya), memungkinkan untuk memahami dengan baik beberapa
hal yang berkaitan dengan konteks penelitian, bahkan ketertarikan penulis untuk
meneliti dan menulis tentang penelitian berawal dari aktivitas penulis ini.
YCMJ sendiri adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Said bertujuan
untuk meminimalisir segala bentuk stigma dan diskriminasi terhadap mantan
penderita kusta. Melalui YCMJ inilah penulis dapat berkenalan dengan informan
Said, Andi, Kadir, dan Ari jauh sebelum penelitian ini karena informan tersebut
adalah pengurus YCMJ.
Sementara untuk informan lainnya penulis meminta bantuan beberapa
orang untuk diperkenalkan dengan informan diantaranya mahasiswa, anak jalanan
penghuni kompleks, dan beberapa penjual jajanan di dalam kompleks. Penulis
meminta bantuan mereka karena adanya kekhawatiran mantan penderita kusta
mencurigai akan mengganggu kehidupannya dan untuk menciptakan perasaan
nyaman bagi mantan penderita kusta.
Pada dasarnya dalam penelitian ini mantan penderita kusta mengetahui
bahwa mereka sedang diteliti dalam rangka penulisan tesis, namun karena
hubungan penulis dengan mantan penderita kusta cukup dekat sehingga mereka
tidak mempermasalahkan hal tersebut, bahkan mereka sangat senang membantu
penulis.
3. Membangun Hubungan dengan Mantan Penderita Kusta
51
Membangun hubungan dengan mantan penderita kusta sebenarnya tidak
sulit karena penulis sudah dikenal oleh beberapa penghuni kompleks dan
kebiasaan umum penghuni kompleks sudah penulis ketahui. Salah satu kebiasaan
penghuni kompleks khususnya kaum ibu yakni setiap sore sampai menjelang
magrib mereka berkumpul di sebuah warung kecil untuk cerita-cerita, kesempatan
itu penulis gunakan untuk ikut berpatisipasi mendengar sambil minum kopi di
warung tersebut.
Selain kebiasaan berkumpul dan bercerita, untuk bapak-bapak biasanya
shalat magrib dan isya berjamaah di mesjid kompleks. Setelah shalat magrib
beberapa mantan penderita kusta masih tinggal di masjid untuk cerita-cerita
berbagi pengalaman atau sekedar duduk-duduk sambil menunggu waktu shalat
isya. Kesempatan itu penulis gunakan untuk melakukan wawancara dengan
beberapa informan.
Dengan beberapa contoh membina hubungan baik tersebut, penulis
mendapatkan banyak informasi yang sangat dibutuhkan untuk analisis lebih lanjut.
Suasana yang lebih tenang, rileks dan informal ternyata dapat memperoleh
informasi yang lebih terbuka, jujur dan menyenangkan.
F. Teknik Analisis Data
Creswell (dalam Kuswarno, 2009; 69) mengemukakan alur analisis data
dalam fenomenologi antara lain;
52
1. Peneliti memulai dengan mendeskripsikan secara menyeluruh pengalamannya.
2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara) tentang
bagaimana orang-orang memahami topik, rinci pernyataan-pernyataan tersebut
dan perlakukan setiap pernyataan memilki nilai setara serta kembangkan
rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih.
3. Pernyataan- pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam unit- unit
bermakna, peneliti merinci unit- unit tersebut dan menuliskan sebuah
penjelasan teks tentang pengalamanya termasuk contoh-contohnya secara
seksama
4. Peneliti kemudian merefleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi
imajinatif atau deskripsi struktural, mencari keseluruhan makna yang
memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen, memperimbangkan
kerangka rujukan atas gejala dan mengkonstruksikan bagaimana gejala
tersebut dialami
5. Peneliti kemudian mengkonstruksikan seluruh penjelasannya tentang makna
dan esensi pengalamannya
6. Proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan
pengalamannya, dan kemudian diikuti pengalaman seluruh partisipan. Setelah
semua itu dilakukan, kemudian tulislah deskripsi penggabungannya.
G. Pengecekan Validitas Temuan
53
Untuk teknik validasi data, Creswell (dalam Kuswarno, 2009; 74)
menyarankan;
1. Melakukan konfirmasi kepada peneliti lain, terutama mereka yang meneliti pola-
pola yang mirip.
2. Verifikasi data oleh pembaca naskah hasil penelitian terutama dalam hal
penjelasan logis tidaknya dengan peristiwa yang pernah dialami pembaca naskah
3. Analisis rasional dari pengenalan spontan, yaitu dengan menjawab pertanyaan
berikut;
- Apakah pola penjelasan cocok dan logis?
- Apakah bisa digunakan untuk pola penjelasan lain?
4. Peneliti dapat menggolongkan data yang sama atau cocok.
H. Tahap– Tahap penelitian
Engkus Kuswarno (2009; 58) mengemukakan tahapan- tahapan dalam
penelitian fenomenologi antara lain;
1. Tahap perencanaan penelitian, meliputi;
a. Membuat daftar pertanyaan
b. Menjelaskan latar belakang informan
c. Memilih Informan
d. Telaah Dokumen
2. Tahap Pengumpulan data.
54
Dalam proses pengumpulan data pada penelitian fenomenologi, Crasweell
(dalam Kuswarno, 2009; 66) meliputi;
a. Wawancara mendalam
b. Refleksi diri
c. Gambaran realitas di luar konteks penelitian.
3. Tahap analisis data
4. Tahap membuat simpulan, dampak, dan manfaat penelitian
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Kota Makassar
1.1 Keadaan Geografis
Kota Makassar terletak antara 119º24'17'38” Bujur Timur dan 5º8'6'19”
Lintang Selatan yang berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Maros,
sebelah timur Kabupaten Maros, sebelah selatan Kabupaten Gowa dan sebelah
barat adalah Selat Makassar. (Makassar Dalam Angka 2010; 1)
Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi yang meliputi 14
kecamatan antara lain; Kecamatan Mariso, Kecamatan Mamajang, Kecamatan
Tamalate, Kecamatan Rappocini, Kecamatan Makassar, Kecamatan
Ujungpandang, Kecamatan Wajo, Kecamatan Bontoala, Kecamatan Ujung Tanah,
Kecamatan Tallo, Kecamatan Panakukang, Kecamatan Manggala, Kecamatan
Biringkanya, KecamatanTamalanrea. (Makassar Dalam Angka 2010; 3)
1.2 Penduduk
Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa
yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah
penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa. (Makassar
Dalam Angka 2010; 22)
56
Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan,
menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan
Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk,
disusul Kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40 persen). Kecamatan
Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen), dan yang terendah adalah
kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 persen). (Makassar
Dalam Angka 2010; 22)
1.3 Kesehatan
Keberhasilan pembangunan dibidang kesehatan bisa dilihat dari 2 aspek
kesehatan yaitu sarana kesehatan dan sumber daya manusia. Pada tahun 2009 di
Kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit
Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya.
Di Sulawesi Selatan terdapat 5 rumah sakit kusta antara lain; rumah sakit
Tajjudn Chalid, rumah sakit kusta Makassar, rumah sakit kusta Kalang-Kalang
Palopo, rumah sakit kusta Batuleleng Rantepao, rumah sakit Lauleng Pare-Pare.
(Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009; 79)
Jumlah Puskesmas pada tahun 2009, dari 121 unit puskesmas dapat di
kategorikan menjadi 37 puskesmas, 47 puskesmas pembantu dan puskesmas
keliling 37 buah. Di samping sarana kesehatan, ada sumber daya manusia di
bidang kesehatan seperti dokter praktek sebanyak 3.551 orang dan bidan praktek
sebanyak 117 orang. (Profil Kesehatan Makassar 2011; 56)
57
1.4 Pemukiman Kusta Jongaya Kota Makassar
Kompleks pemukiman kusta Jongaya berada di Kecamatan Tamalate
kelurahan Jongaya kota Makasar. Pertama kali dibangun Pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1936. Pembangunan kompleks penampungan dan rehabilitasi
penderita kusta di Sulawesi Selatan adalah proyek lanjutan dari kebijakan kolonial
di Jawa, Bali dan Sumatera. Proyek Leprosarium atau institusi untuk mengisolasi
pasien penderita kusta, pertama dibangun pemerintah Kolonial pada tahun 1665,
tepatnya di Kepulauan Seribu. (Nawir M, 2011; 123)
Pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem penanganan darurat kusta
Di Eropa untuk wilayah jajahannya, yakni peraturan yang mengharuskan
pengasingan orang- orang yang berpenyakit kusta. (Direktorat PP & PL DEPKES
RI, 2007; 201)
Sebagai realisasi dari kebijakan kolonial tersebut, di Sulawesi dan dibangun
beberapa Kompleks pemukiman bagi penderita kusta, antara lain; di Lerang
Kabupaten Bone, di Kalang-kalang Kabupaten Luwu, di Teppoe Majene, di
Lauleng Pare-pare, Bola Gemme’e di Ammesangeng Kabuapeten Wajo, di
Jongaya Makassar, Batuleleng Tana Toraja, serta di Laringgi Soppeng. (Direktorat
PP & PL DEPKES RI, 2001; 203)
Kompleks Pemukiman kusta Jongaya berada di Kelurahan Balangbaru,
Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Tanah di kompleks tersebut merupakan
wakaf dari Karaeng Bonto Biraeng seorang keturunan Raja Gowa kepada
58
pemerintah Hindia Belanda. Saat ini dihuni sekitar 500 keluarga. Total
penduduknya lebih kurang 2.000 jiwa. Dari jumlah itu, 200 di antaranya adalah
mantan penderita kusta. Sisanya merupakan anak cucu mereka (Nawir M, 2011;
123)
1.5 Pewabahan Penyakit Kusta
Bermula dari data WHO sampai saat ini Indonesia masih menduduki
peringkat ketiga di dunia sebagai penyumbang penderita baru kusta terbanyak
setelah India dan Brasil..
Tabel berikut ini menunjukkan jumlah kasus terdeteksi selama 2004 - 2010
di 17 negara.
Tabel 2. Tren Deteksi Kusta di 17 Negara tahun 2004 – 2010
( Sumber; WHO Tahun 2010)
Negara
Kasus Kusta Tahun 2004 – 2010
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
India 260 063 169 709 139 252 137 685 134 184 133 717 126 800
Brasil 49 384 38 410 44 436 39 125 38 914 37 610 34 894
Indonesia 16 549 19 695 17 682 17 723 17 441 17 260 17 012
Kongo 11 781 10 369 8 257 8 820 6 114 5 062 5 049
Ethiopia 4 787 4 698 4 092 4 187 4 170 4 417 4 430
Nigeria 5 276 5 025 3 544 4 665 4 899 4 219 3 913
Bangladesh 8 252 7 882 6 280 5 357 5 249 5 239 3 848
Nepal 6 958 6 150 4 235 4 436 4 706 4 394 3 118
Myanmar 3 748 3 571 3 721 3 637 3 365 3 147 2 936
Sudan 722 720 884 1 706 1 901 2 100 2 394
59
Tanzania 5 190 4 237 3 450 3 105 3 276 2 654 2 349
Philipina 2 254 3 130 2 517 2 514 2 373 1 795 2 041
Sri Lanka 1 995 1 924 1 993 2 024 1 979 1 875 2 027
Madagascar 3 710 2 709 1 536 1 644 1 763 1 572 1 520
China 1 499 1 658 1 506 1 526 1 614 1 597 1 324
Mozambik 4 266 5 371 3 637 2 510 1 313 1 191 1 207
Angola 2 109 1 877 1 078 1 269 1184 937 1 076
Penyakit kusta di Indonesia telah mencapai eliminasi sejak bulan Juni tahun
2002. Eliminasi yaitu menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000
penduduk. Namun demikian penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan
yang berarti, terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan kasus sebanyak
19.371 kasus. Selain itu, ditemukan 10,23% sudah mengalami kecatatan tingkat 2
yaitu kecatatan yang dapat dilihat mata, dan sebanyak 11,97% diantaranya anak-
anak. Berikut adalah tabel jumlah penderita kusta menurut provinsi pada tahun
2011.
Tabel 3. Kasus Kusta dan Proporsi Kecacatan Tingkat 2 (Sumber; Ditjen PP& PL Kemenkes RI 2011)
No Provinsi
Jumlah
Penderita
Baru
Cacat Tingkat 2 0 – 14 Tahun
Jumlah % Jumlah %
1 Jawa Timur 5 282 697 13,19 574 10,86
2 Jawa Tengah 2 233 296 13,26 225 10,08
3 Jawa Barat 2 057 267 12,98 159 7,73
4 Sulawesi Selatan 1 338 162 12,11 83 6,20
60
5 Papua 1 290 12 0,93 311 24,11
6 Maluku 671 32 4,77 86 12,82
7 Papua Barat 660 3 0,45 198 30,00
8 Maluku Utara 597 23 3,85 94 15,75
9 Aceh 592 74 12,50 60 10,41
10 DKI Jakarta 543 15 2,76 26 4,79
11 Banten 500 75 15,00 72 14,40
12 Sulawesi Utara 394 21 5,33 46 11,68
13 Nusa Tenggara Barat 370 21 5,68 92 24,86
14 Sulawesi Tengah 320 8 2,50 46 14,38
15 Sulawesi Tenggara 318 13 4,09 23 7,23
16 Sumatera Selatan 296 101 34,12 29 9,80
17 Nusa Tenggara Timur 282 9 3,19 27 9,57
18 Gorontalo 187 23 12,30 16 8,56
19 Kalimantan Selatan 185 27 14,59 11 5,95
20 Sumatera Utara 170 17 10,00 60 10,14
21 Sulawesi Barat 159 6 3,77 34 21,36
22 Lampung 143 25 17,48 4 2,80
23 DI Yogyakarta 140 22 15,71 32 22,86
24 Bali 114 4 3,51 5 4,39
25 Riau 112 6 5,36 18 16,07
26 Jambi 98 3 3,06 6 6,12
27 Sumatera Barat 75 4 5,33 2 2,67
28 Kalimantan Timur 66 4 6,06 2 3,03
29 Kalimantan Tengah 61 6 9,84 2 3,03
30 Kalimantan Barat 52 1 1,92 8 15,36
31 Kep. Bangka Belitung 33 1 3,03 1 3,03
32 Bengkulu 17 4 23,53 1 5,88
33 Kep. Riau 14 - 0,00 2 14,29
Indonesia 19 371 1 982 10, 23 2 318 11,97
61
Kota Makassar, berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan Bidang Bina
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Dinas Kesehatan
Kota Makassar untuk tahun 2011 ditemukan sebanyak 144 jumlah penderita baru.
Gambar; 4 Angka Penemuan Penderita Kusta Per Kecamatan
Di Kota Makassar Tahun 2011
(Sumber: Bidang Bina PP & PL Dinas Kesehatan Kota Makassar)
Berdasarkan data seksi rehabilitasi sosial Dinas Sosial Kota Makassar, saat
ini jumlah mantan penderita kusta di Kota Makassar sebanyak 1485 jiwa.
Sebanyak 933 jiwa bermukim di kompleks pemukiman kusta jongaya.
2. Identitas Informan Creswell (dalam Kuswarno 2009; 132) memaparkan bahwa dalam studi
fenomenologi, penjelasan harus diawali dengan gambaran umum termasuk
didalamnya gambaran tentang informan yang terlibat. Oleh karenanya, perlu
9
16
11
15
10
3
9
11
18
11
6 6
10
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
62
dikemukakan secara ringkas bagaimana profil dua belas mantan penderita kusta
yang menjadi informan penelitian.
2.1 Rekam Medis Mantan Penderita Kusta
Konsep diri terbentuk sesuai bertambahnya usia, setiap masa dalam
perjalanan sejarah mantan penderita kusta turut mempengaruhi konsep dirinya,
berikut rekam medis mantan penderita kusta dan usianya;
Tabel 4. Rekam Medis Mantan Penderita Kusta (Sumber; Wawancara tanggal 8 - 24 Oktober 2012)
No Nama
Informan
Usia
(Tahun)
Usia saat
Menderita
Kusta
(Tahun)
Usia saat
Pengobatan
Medis
(Tahun)
Kompleks
Pemukiman
(Tahun)
1 Said 62 6 8-9 15
2 Andi 48 16 22- 23 22
3 Kadir 40 6 17-18 21
4 Ari 45 10 12 20
5 Dg. Baco 62 10 11 19
6 Umar 64 7 10-11 21
7 Nur 70 11 13-14 23
8 Salim 47 12 12-13 16
9 Samsu 67 9 14-15 23
10 Fatma 35 8 8 20
11 Ratna 49 12 13-14 24
12 Intang 46 9 10-11 22
Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa usia mantan
penderita kusta berkisar 35 sampai 70 tahun. Rata-rata mantan penderita kusta
63
menderita penyakit kusta saat masih kecil serta usia remaja. Andi, misalnya yang
mengaku menderita penyakit kusta saat usianya 16 tahun. Mantan penderita kusta
juga mengaku pengobatan medis yang dilakukan kurang lebih dua hingga tiga
tahun setelah menderita kusta. Pengobatan medis dilakukan setelah pengobatan
tradisional dukun sudah ditempuh. Setelah melakukan pengobatan medis dan
dinyatakan sembuh, semua mantan penderita kusta informan kemudian menghuni
kompleks pemukiman kusta.
2.2 Penerimaan Diri Mantan Penyakit Kusta
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri
seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan
pada status sosial ekonominya. Hal tersebut dialami oleh mantan penderita kusta;
Andi, Said, dan Ari misalnya yang status sosialnya lebih tinggi, tingkat perlakuan
masyarakat terhadapnya juga tidak terlalu buruk dibandingkan dengan Dg. Baco,
Kadir, dan Samsu
Penuturan Andi;
“Waktu masih di lerang ka, saat masih kecil, kalau ada anak-anak yang
ejekka, dimarahi sama orang tuanya, mungkin tidak enak sama bapak ku.”
(Wawancara tanggal 10 oktober 2012)
Hal Serupa dialami Said;
“Pernah satu kali teman sekolahku bilangi ka kandala’, langsung di panggil
sama guru, sempat saya dengar guru bilang, jangan begitu sama anaknya
pa’ kiyai” (Wawancara Tanggal 14 Oktober 2012)
64
Penuturan Ari;
“Waktungku caddi, naku garring jai tau tena ngngaiya. Nampa tena
nakkanakana. Nacalla na bajjika. Nampa sanggi kucini teai na ta’gala
barang barang lebba ku ta’gala. Punna sigappa ka ia natonggko
ka’murungna”
(Waktu kecil, saat masih sakit sebenarnya banyak orang yang tidak senang
dengan saya, cuma mereka tidak pernah mengungkapkan, mengejek atau
memukul saya, tapi sering sekali saya lihat orang-orang tidak mau sentuh
barang yang sudah saya pegang, kalau lagi berpapasan di jalan mereka
menutup hidungnya” (Wawancara tanggal 12 oktober 2012)
Hal yang berbeda dialami Dg. Baco yang mengaku mendapat perlakuan
yang jauh lebih buruk, sumurnya di isi kotoran, di usir dari kampung halamannya
bahkan rumahnya hampir dibakar.
Penerimaan dan perlakuan masyarakat terhadap mantan penderita kusta
cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Said dan Ardi yang secara
ekonomi berasal dari keturunan berada serta Andi yang keturunan ulama besar di
Bone mendapat perlakuan yang berbeda dari Dg. Baco, Kadir dan Samsu yang
hanya keturunan masyarakat biasa.
2.3 Kelompok Rujukan (Reference Group)
Kelompok rujukan merupakan kelompok yang secara emosional mengikat
individu dan berpengaruh terhadap konsep dirinya. Dari 12 mantan penderita
kusta informan mengaku tidak memiliki kelompok rujukan saat masih menderita
65
kusta. Kelompok rujukan tersebut muncul ketika mereka di kompleks pemukiman
kusta Jongaya.
Beberapa kelompok rujukan tersebut antara lain; Yayasan Citra Mantan
Penderita Kusta (YCMJ), Kelompok Sadar Diri - Jongaya, Yayasan Transformasi
Lepra Indonesia (YTLI), serta Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata).
Berikan dua atau tiga hasil wawancara yang telah anda lakukan mengenai
pernyataan di atas.
Berdasarkan tabel identitas diri informan di atas, berikut profil singkat dua
belas mantan penderita kusta penelitian antara lain;
2.4 Gambaran Identitas Diri Mantan Penderita Kusta
Dua belas informan penelitian tersebut antara lain:
Tabel 5. Identitas Diri Mantan Penderita Kusta
(Sumber; Hasil Pengumpulan data, 2012)
No. Nama
Informan Jenis
Kelamin Usia
(Tahun) Daerah
Asal
Pendidikan
terakhir Pekerjaan
1 Said Laki-laki 62 Bone
Kelas 2 Pend.
Guru Agama
Tingkat Pertama (
Sederajat SLTP)
Pedagang kecil
66
2 Andi Laki-laki 48 Bone Kelas 2 SMEA Tukang parkir
3 Kadir Laki-laki 40 Wajo Kelas 2 SD Tukang parkir
4 Ari Laki-laki 45 Bone Kelas 5 SD Tukang parkir
5 Dg. Baco Laki-laki 62 Makassar Tidak bersekolah Pemulung
6 Umar Laki-laki 64 Majene Tidak bersekolah Pengemis
7 Nur Perempuan 70 Gowa Tidak bersekolah -
8 Salim Laki-laki 47 Luwu Tamat Sekolah
pendidikan Guru Tukang parkir
9 Samsu Laki-Laki 67 Wajo Sekolah Rakyat Pengemis
10 Fatma Perempuan 35 Polewali Kelas 4 SD Tukang cuci mobil
11 Ratna Perempuan 49 Makassar Tamat SD Pengemis
12 Intang Perempuan 46 Pare-Pare Kelas 6 SD Pengemis
Informan terdiri dari delapan orang laki-laki dan empat orang perempuan.
Pekerjaan mantan penderita kusta informan antara lain pengemis, tukang parkir,
pemulung, pedagang kecil serta tukang cuci mobil.
Sebelum di kompleks pemukiman kusta, informan berasal dari daerah
antara lain Bone, Pare-Pare, Wajo, Luwu, Gowa, Polewali, Majene, Serta dua
orang informan asli Makassar.
2.4.1 Informan Pertama
Said (bukan nama sebenarnya). Saat ini berumur 62 tahun. Pertama kali
tinggal di tempat pengasingan kusta di Lerang Kabupaten Bone.
“Ketika diberitahu oleh orang tua saya bahwa saya terkena kusta saya
sangat sedih” (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012) Begitu Said memulai
cerita pengalamannya
67
Dia kini menjadi sesepuh kompleks pemukiman kusta Jongaya Makassar
menuturkan bahwa penyakit kusta mulai menjangkitinya saat duduk di bangku
kelas lima Sekolah Rakyat (SR). Ketika itu orang tua Said Kecil yang memberi tahu
kalau dirinya terjangkit kusta yang ditandai dengan bercak-bercak seperti panu
disekujur badannya.
Orang tua Said berpandangan, kusta tidak bisa disembuhkan.
“Wah tidak ada itu nak, kalau berobat di dukun sesuai pengalaman saya,
tidak ada sejarahnya penyakit kusta disembuhkan oleh dukun, dan kalau
berobat dirumah sakit juga begitu, karena kusta itu penyakit yang tidak ada
obatnya”( Wawancara tanggal 10 Oktober 2012) Kenang Said menirukan
kata-kata orang tuanya.
Vonis itu tertanam dalam benak kepala Said. Orang tua Said pasrah dengan
keadaan anaknya. Orang tua Said seperti cerita kebanyakan orang kala itu
menyatakan bahwa tidak ada satupun penderita kusta bisa disembuhkan.
Usahanya membawa Said ke puskesmas dan dukun tidak membuahkan hasil.
Seakan ikut mengukuhkan pandangan atau keyakinan mereka bahwa sungguh
kusta tidak bisa disembuhkan, seakan takdir yang tidak bisa dilawan.
Sejak itu Said harus menanggung konsekuensi dari pemahaman sosial
bahwa dia yang berpenyakit kusta mustahil bisa sembuh seperti sedia kala. Selain
itu di mata masyarakat, di mana Said tinggal, kusta dianggap penyakit menular
dan sudah pasti menjadi Aib keluarga. Sehingga keberadaan orang seperti Said
harus diembunyikan, dijauhi atau bila perlu diasingkan dari masyarakat.
”kamu harus tinggal di kebun, nanti akan dibawakan makanan dan segala
kebutuhan hidupmu, supaya tidak berkeliaran di kampung, karena kalau
68
berkeliaran, orang kampung akan tahu, dan akan marah, kita juga yang
malu, Itu saja yang kau kerja, bermalam, tanam jagung atau tanam apa saja,
seumur hidup kau begitu”. (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012) begitu
Said menirukan pesan orang tuanya.
Begitulah keputusan keluarganya bahwa dia akan dibuatkan pondok-
pondok di kebun belakang rumahnya.
“Itu saja yang kau kerja, bermalam, tanam jagung atau tanam apa saja,
seumur hidup kau begitu”. (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012)
Sejak saat itulah Said mulai frustasi dan muncul kembali keinginan untuk
pergi meninggalkan kampung dan keluarganya, disamping menguat pula keinginan
kelurga Said bahwa dia harus diasingkan dari masyarakat dengan cara tinggal
kebun belakang rumahnya. Namun, Said melawan keputusan keluarga tersebut
dengan alasan bahwa ketika dia diasingkan dan tinggal di kebun, maka dia tidak
dapat beribadah dengan sempurna, dalam artian tidak bisa berinteraksi dengan
sesama dan tidak bisa pergi shalat Jum`at. Sebaliknya Said bertanya kepada
keluarganya.
”Apakah saya menjadi anak dan keponakan siapa yang punya mau? Saya
ataukah siapa? karena saya ditimpa musibah, terjangkit penyakit lantas
saya seakan-seakan tidak diterima ditengah-tengah keluarga ini, saya
harus diasingkan, disembunyikan, berarti saya tidak diterima? Lalu saya
jadi anak, siapa yang punya mau? Sayakah atau kita? Seandainya saya
tahu, bahwa ayah saya, keluarga saya mau membuang saya, saya tidak
mau. Tapi mereka menjawab bahwa itu sudah diatur oleh Tuhan. Jadi
saya balik tanya sama mereka, saya punya penyakit Kusta ini siapa yang
punya mau? Yang pasti saya tidak pernah punya mau untuk berpenyakit
kusta seperti ini. Itu maunya Tuhan...., kalau begitu saya tidak mau begini,
saya harus berusaha, saya tidak mau disini, biarkan saya pergi buang diri.
Saya sekarang mau berangkat ke sana (Pemukiman kusta, di Lerang
69
Bone), asal saya bisa hidup, bisa bergaul, dan bisa beribadah”.
(Wawancara tanggal 10 Oktober 2012)
Mendapatkan kenyataan dan pemahaman yang terbangun dalam keluarga
dan masyarakat seperti itu, Said lalu menanyakan jalan keluar kepada orang
tuanya.
“lantas kalau begini kita harus bagaimana, karena berobat juga tidak bisa
disembuhkan”. Jawaban yang terlontar dari orang tua Said ketika itu. “kamu
harus tinggal di kebun, nanti dibikinkan pondok dan membawakanmu
makanan dan segala kebutuhanmu yang penting kamu tidak berkeliaran,
orang kampung akan marah kalau liat kamu berkeliaran” . begitu Said
menirukan pesan orang tuanya. (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012)
Akhirnya, Said pun dibuatkan pondok kecil di kebun belakang ruahnya
sebagai tempat tinggal.
“Di Sini bagus kalau kau bisa bekerja kau bisa tanam jagung atau tanam
apa saja, seumur hidupmu kau disini saja, begitu ungkap orang tua Said
saat haru pertama ia dipindahkan di pondok itu. . (Wawancara tanggal 10
Oktober 2012)
Hari demi hari di lalui Said di pondok tersebut. Pelan-pelan rasa bosan
datang menghampiri. Setelah beberapa saat dia menimbang-nimbang, suatu hari
dengan berani ia mengambil kesimpulan untuk lari dan pergi menjauh dari pondok
pengasingan tersebut, pergi meninggalkan keluarganya.
Dengan kondisi hati yaang tidak menentu dan beban psikologis yang berat
itu. Said melangkah dari rumahnya. Semakin dia melangkah semakin berat
rasanya beban tersebut.
70
“Kalau mau saya ingat waktu pergika dari rumah, sedih sekali saya rasa,
semakin melangkah ka, semakin berat perasaanku” (Wawancara tanggal 10
oktober 2010)
Sepengatuhan Said, sebagaimana yang disebutkan beberaapa warga
kampung, satu-satunya tempat yang diepruntukkan oleh pemerintah untuk menjadi
tempat penampungan para penderita kusta adalah di Lerang Bone.
Karena pemerintah tidak membolehkan ada penderita kusta yang tinggal di
kampung waga yang ssehat, ditaktkan menular ke semua orang dikampung.
Jadi penderita harus disembunyikan. Karana kalau tidak mereka akan
dibunuh oleh warga” (Wawancara tanggal 10 oktober 2012)
Selama tiga hari tiga malam dalam perjalanan akhirnya sampailah Said di
kompleks pemukiman kusta di Lerang Bone. Setahun tinggal di Lerang, berangsur-
angsur penyakitnya membaik. Mulai tahun 1967 hingga tahun 1968 Said
mendapatkan pengobatan intensif dari petugas kesehatan sampai akhirnya dia
dinyatakan sembuh.
Merasa sudah kian baik, Arif pulang kampung.
“Setiba saya dikampung, penerimaan keluarga tidak berubah, mereka
mengira saya masih sakit, tangan saya sudah bengkokmi. Biasa juga
meludah kalau nalihatka lewat, jadi saya putuskanmi untuk pergi dari
keluarga” (Wawancara tanggal 10 oktober 2012).
Karena penerimaan keluarga terhadap Said yang dinilai buruk, akhirnya
Said memutuskan untuk kembali ke penampungan kusta, Said mengaku bahwa
malu terhadap keluarganya. Oleh karena itu Said berangkapan bahwa Kompleks
pemukiman kusta di Lerang tidak cocok baginya, karena menganggap jarak yang
tidak terlalu jauh dari kampung halamannya.
71
“Malu ku kurasa mendapat perlakuan seperti itu dari keluarga, mau kembali
ke Lerang, tidak enakma. Jadi kuputuskan untuk untuk keliling mencari
kompleks kusta (Wawancara tanggal 10 oktober 2012).
Sejak saat itu Said berkeliling mencari Kompleks pemukiman kusta untuk
dia tempati, dari Kampung halamannya di Bone dia ke Wajo, kemudian ke Pare-
pare dan terakhir di Jongaya Makassar dinilai sebagai kompleks pemukiman kusta
yang tepat baginya. Karena dari segi akses maupun fasilitas, kompleks
pemukiman kusta Jongaya terbilang bagus dibandingkan kompleks pemukiman
kusta lainnya;
“Saya sudah keliling di berbagai kompleks kusta di daerah lain, tempatnya
susah, Kalau di Lerang Bone tempatnya sangat jauh dan terpencil, di Landi
Pokki (Polewali Mandar) tempatnya sering banjir, harus melewati sawah dan
menyeberang sungai, dan kalau di Liposos Totinco (Sengkang, Kabupaten
Wajo) Tempatnya berada diatas gunung baru susah air. Hanya di sinilah
(Jongaya, Makassar) yang paling bagus dan lancar airnya” (Wawancara
tanggal 10 Oktober 2012).
Di kompleks pemukiman kusta Jongaya, Said berpofesi sebagai pedagang kecil.
Melalui berdagang, Said dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari penghuni
kompleks.
“Sejak pindah dari Lerang, kerjaanku jual-jualan, kebutuhan sehari-hari
masyarakat penghuni kompleks Jongaya, tidak adaji yang takut atau atau
jijik karena sama-samaji penghuni kompleks” (Wawancara tanggal 10
Oktober 2012)
Sudah puluhan tahun Said menempati kompleks pemukiman kusta
Jongaya, oleh penghuni kompleks Said digelari dengan sebutan Tuan Guru oleh
72
mantan mantan penderita kusta lainnya karena dia tempat bagi para penderita
kusta meminta nasihat. Bahkan dia menjadi simpul perjuangan mantan penderita
kusta ketika menolak relokasi dan alihfungsi lahan kompleks pemukiman kusta
menjadi rumah sakit umum tahun 2004.
Selanjutnya Said mendirikan sebuah yayasan mantan penderita kusta yang
bernama YCMJ (Yayasan Citra Mantan Penderita Kusta- Jongaya) yang berfungsi
menaungi mantan penderita kusta yang ada di sekitar Jongaya.
2.4.2 Informan Kedua
Andi (bukan nama sebenarnya) berumur48 tahun salah satu keturunan
ulama terkemuka di Kabupaten Bone. Menderita penyakit kusta saat usia remaja.
Saat Andi dia masih terdaftar sebagai siswa Sekolah Menengah Ekonomi dan
Akuntansi (SMEA). Tidak pernah diduga sebelumnya, kisah penderitaan Andi akan
berawal saat dirinya dirawat inap di rumah sakit akibat penyakit tipes.
“waktu saya kelas dua SMEA, saya diserang tipes, selama satu bulan saya
dirawat di rumah sakit. Begitu akan keluar dari rumah sakit, dokter
mengatakan pada saya meneemukan tanda – tanda kusta” (Wawancara
tanggal 14 oktober 2012).
Setelah Andi keluar dari rumah sakit , gejala kusta itu kian jelas di beberapa
bagian tubuhnya;
73
“Saat itu kalau saya mengenakan sandal langsung talempar. Sehingga saya
pun terpaksa mengikat sandal ku agar tidak talempar” (Wawancara tanggal
14 oktober 2012).
Andi mulai merasa rendah diri. Cibiran dari teman- temannya, tetanggga
bahkan keluarga. Siapa saja yang dia temui mulai tidak bersahabat;
“Saya lalu mulai berpikir tentang kelanjutan sekolahku, perlakuan orang-
orang sudah sangat buruk, teman, tetangga bahkan keluarga juga sama ji,
saya berpikir untuk berhenti sekolah. Tapi kalau mau dipikir lagi sudah dua
tahun ma di SMEA, tinggal satu tahun lagi baru lulus, masa berhenti.
(Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
Orang tua Andi tidak tinggal diam melihat penderitaan anaknya, beragam
pengobatan pun mulai dilakukan;
“Orang tua sebenarnya perhatian ji sama penderitaan ku, mereka berusaha
untuk mengobati saya, mulai di bawah di rumah sakit sampai dukun supaya
saya bisa sembuh”. (Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
Karena perlakuan keluarga dan tetangga yang buruk akhirnya Andi akhirnya
Di buatkan pondok di belakang rumahnya;
“Saya mauji dibikinkan pondok di belakang rumah, tidak enak sekali
jangankan tetangga keluarga pun tidak naperhatikan ma. Berjabat tangan
saja tidak mau, mereka juga mengelap atau membersihkan barang-barang
yang sudah saya pegang. (Wawancara tanggal 14 oktober 2012)
Satu-satunya orang yang menaruh perhatian pada Andi adalah Ibunya
“Dulu ibu saya kalau malam sering saya liat menangis, disangkanya saya
sudah tidur di pondok belakang rumah, lalu masuk mengendap-ngendap
melihat lukaku, membelai kakiku. Saya liat dia menangis, saat itu saya pura-
pura saja tetap tidur”. (Wawancara tanggal 14 oktober 2012)
74
Bagi Andi tinggal di pondok, diungsikan jauh dari perhatian keluarga tidak
menyelesaikan masalah, malah membuat penderitaan batinnya. Ketika itu Andi
menjuluki dirinya Kelelawar. Sebab untuk keluar rumah saat siang hari sangat
berat;
“Saya hanya berani keluar rumah pada malam hari, sebab kalau malam tidak
ada orang yang memperhatikan saya di kegelapan, jadi betul-betul hidupku
seperti kelelawar. Sedangkan kalau siang hari saya dijuluki lelaki jendela.
Sebab saat itu saya hanya berani mengintip orang-orang melaui jendela
rumah saya” (Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Dan yang paling membuat Andi kebingungan dan stres pada saat di
rumahnya ada acara, keluarga berdatangan.
“Betul-betul saya stres, jadi karena banyak keluarga yang datang ke rumah,
terpaksa saya hanya bersembunyi di kamar dan malu untuk keluar.”
(Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Salah satu bentuk stigma dan diskriminasi yang diterima Andi yaitu pada
tahun 1982. Saat itu Andi mendaftarkan dirinya di Kantor Gubernur Sulawesi
Selatan sebagai pegawai. Ia kemudian dinyatakan lulus sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
“Ketika itu saya diterima menjadi pegawai di kantor gubernur. Sekitar tahun
1983 dan 1985 saya kemudian ikut prajabatan. Saat itu istilahnya saya telah
menerima SK sembilan puluh persen” (Wawancara tanggal 14 Oktober
2012)
Tidak lama berselang, ketika ada pemeriksaan kesehatan sebagai syarat
mendapatkan SK seratus persen, dia terdeteksi mengidap penyakit kusta. Andi
kemudian dipecat.
75
“Pokoknya streslah, betul-betul penderitaan diatas penderitaan. Seandainya
saya tidak kuat iman, mungkin saya sudah bunuh diri. Akhirnya saya lebih
banyak mengaji, shalat dan berdoa saja, diberikan yang terbaik buat saya di
tengah kondisi yang begini” (Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Surat hasil pemeriksaan dokter dijadikan dalil untuk memvonis Andi tidak
layak bekerja sebagai pegawai. Padahal selama tiga tahun, tidak ada komplain
dari atasan. Bahkan dia sering diberikan tugas lebih banyak karena keuletan dan
hasil kerjanya yang memuaskan. Tidak ada alasan lain yang menyangkut
kinerjanya.
“Padahal kalau dipikir-pikir saya kan bisa diberi pekerjaan lain, misalnya
antar-antar surat atau apalah pokoknya kerja dan tidak mesti dipecat, tapi
yah haznya karena itu (Kusta) saya dipecat” (Wawancara tanggal 14
Oktober 2012)
Selama tiga tahun Andi menjalani status pegawai negeri di kantor Gubernur,
selama itu cobaan dan rintangan telah dia lalui;
“ada beberapa orang teman kantor yang selalu menghindar kalau melihat
saya, beberapa kali pula saya liat dia membersihkan barang yang sudah
saya pegang. Bahkan kalau musim hujan saya harus berjuang dengan
kondisi kesehatan saya, utamanya kalau banjir, basah semua sepatu dan
celana, tetapi tidak berani saya buka di kantor, malu kalau saya lepas
sepatu, nanti kelihatan lukaku orang akan jijik melihatnya” (Wawancara
tanggal 14 Oktober 2012)
Setelah dipecat, Andi bingung sampai suatu hari dia membaca berita di koran yang
memuat tentang tempat khusus bagi penderita kusta;
“Saya baca di koran bahwa ada rumah sakit di Daya yang bisa operasi
tangan dan ada kompleks penderita kusta Jongaya, sejak itu semangat
saya sedikit pulih” (Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
76
Tanpa menunggu lama, Andi berangkat ke Jongaya dan bermaksud tinggal
disana. Tetapi setelah di sana dia cukup kaget dengan kondisi yang ada. Semua
yang tinggal di sana adalah para penderita kusta.
“Bagaimana caranya saya tinggal ddi sini, tempat ini tempatnya orang-orang
dibuang, mana mi kebersihannya, pokoknya saya ragu-ragu, akhirnya saya
di datangi tuang guru yang sudah lama tinggal disitu, kebetulan tuang guru
kenal dengan orang tua ku, lama kelamaan saya mulai tertarik tinggal
disana” (Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
Semula Andi tidak bisa tenang tinggal di Jongaya karena kondisi kompleks,
WC yang seadanya, kondisi ruah yang tidak terurus. Andi bahkan mengaku tidak
bisa makan karena jijik dengan lingkungan kompleks.
“Itu Pulalah yang membuat saya tidak betah di Jongaya, tapi lama-lama
saya jadi terbiasa dengan sendirinya. Ya itulah dulu, tapi sekarang siapa
pun yang kasi makanan pasti saya makan, padahal dulu, saya betul-betul
tidak bisa makan sembarang. Sebenarnya lucu karena saya juga kena kusta
ji, kenapa mesti harus jijik. (Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
Setelah tinggal beberapa tahun, akhirnya Andi menikah dengan seorang
perempuan yang bukan penderita kusta.
“Cuma satu yang saya pikirkan ketika itu, kalau nanti saya menikah, saya
harus menikah dengan orang biasa, mau saya tunjukkan sama orang di
kampung kalau orang kusta juga bisa menikah delngan orang normal”
(Wawancara tanggal 14 oktober 2012).
Setelah menikah, Andi bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarganya.
Seperti penderita kusta lainnya, menjadi tukang parkir, pemulung, atau peminta-
minta adalah pilihan yang harus dilakoni. Kondisi kesehatan yang tidak
77
memungkinkan Andi bekerja di bidang lain. Saat ini Andi memilih bekerja sebagai
tukang parkir di salah satu pusat perbelanjaan di Makassar. Sebuah profesi yang
menurut dia sarat beban dan tanggung jawab. Selain menjaga kendaraan, dia juga
harus bertanggung jawab apabila kehilangan kendaraan atau tabrakan di area
parkir.
“Waktu di pecat ka nak, pusingma apa yang mau saya kerja, mauki jualan
tidak ada yang mau beli kalau natau ki kusta, baru tidak ada
keterampilannta. Jadi pergima jadi tukang parkir. (Wawancara tanggal 14
Oktober 2012)
Lanjut Andi;
“Pada awal jadi tukang parkir saya juga malu, mungkin belum terbiasa.
Lebih- lebih keluarga ku disegani di kampung. Tapi mau apa lagi, saya
sudah kawin dan mengidap penyakit seperti ini, saya harus tetap berjuang
demi hidup dan anak istri saya (Wawancara tanggal 14 oktober 2012)
Selain menjadi tukang parkir, Andi pernah menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Mandiri Kusta (PERMATA) di kota Makassar. Sebuah organisasi
yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak orang yang pernah mengalami
penyakit kusta serta orang yang cacat karena penyakit kusta untuk memperoleh
kesamaan hak, kewajiban dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan serta
dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Salah satu program
PERMATA adalah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Makassar
membentuk kelompok sadar diri Salah satu prestasi penting yang dicapai mantan
penderita kusta Jongaya dibentuknya kelompok sadar diri tahun 2006. Kelompok
ini didirikan dengan tujuan untuk saling dukung satu sama lain dalam hal menjaga
78
kesehatan dan kesejahteraan sesama mantan penderita kusta. Salah satu praktek
paling efektif yang diterapkan oleh anggota kelompok sadar diri adalah perawatan
dan pencegahan luka.
Kusta bisa membuat kulit kering, kalau kulit kaki kering, bisa pecah-pecah.
Bisa jadi sarang kotoran dan infeksi salah satu cara mencegah luka di kaki
dengan merendam kaki di air. Caranya gampang, rendam kaki di air selama
setengah jam sampai kulit kering melunak, baru digosok dengan batu
apung, baru di oleskan dengan minyak kelapa supaya lentur dan lembab “
(Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Kami mendirikan kelompok sadar diri, awalnya hanya empat orang di tahun
2006, lalu orang- orang lain di kompleks ini sudah melihat bahwa cara ini
ampuh, sehingga mereka mulai ikut bergabung. Malah suatu hari ada enam
puluh orang datang setiap minggu. Sekarang sudah berkurangmi, kira-kira
tinggal 30 orang. Ada yang sudah lakukan di rumahnya. Kami kumpul setiap
hari senin. Kami duduk bersama dan merendam kaki bersama. Yang sudah
lama begabung, na jelaskan caranya sama orang baru. Awalnya kami
hanya pakai ember, tapi karena banyakmi yang datang jadi kami bikin
semacam bak yang ada saluran airnya. Kita juga bikin arisan khusus, setiap
orang kumpul Rp 5.000,00, yang naik arisannya yang beli sabun dan
minyak kelapa untuk semua anggota kelompok, harganya tidak mahalji.
(Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Selain itu, kelompok sadar diri mendirikan koperasi simpan pinjam. Dengan
sistem ini, anggota kelompok menyimpan sedikit demi sedikit uang secara rutin,
setelah waktu tertentu, mereka dapat memnjam uang untuk mendirikan atau
mengembangkan usaha usaha kecil mereka. Koperasi ini awalnya didirak dengan
bantuan dana dari Netherlands Leprosy Relief (NLR), sebuah organisasi yang
bergerak dalam bidang penanggulangan kusta. Dari koperasi tersebut ada anggota
yang sudah membeli komputer dan printer untuk diserentalkan kepada masyarakat
79
sekitar, ada juga yang membeli kulkas yang digunakan untuk menjual minuman
dingin serta banyak lagi usaha lainnya.
Dua tahun lalu (Tahun 2010), kelompok ini dapat sumbangan dari NLR
melalui organisasi PERMATA untuk mendirikan koperasi, koperasinya
terbuka bagi siapa saja yang mau pinjam uang, tapi ada syaratnya,
pinjaman hanya diberikan kepada anggota yang sudah punya usaha kecil
supaya membantu memperbaiki atau memperbesar usahanya. Ada ibu
yang sudah jual minuman, ada juga yang sudah bikin warung kecil, ada
suami istri jual sayur, bahkan ada yang sudah punya rental komputer.
Setelah ada koperasi semakin banyak orang yang datang dan gabung
dengan kelompok sadar diri. (Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
Walaupun begitu, apa yang bisa kami lakukan masih terbatas. Keadaan
selalu sulit bagi orang yang pernah sakit (kusta) karena pandangan oranng
terhadap kusta bukan sebagai penyakit tetapi sebagai hukuman, kutukan
atau sesuatu yang menjijikkan, akan selalu sulit bagi kita untuk bisa hidup
dalam masyarakat. (Wawancara tanggal 14 Oktober 2012)
2.4.3 Informan Ketiga
Kadir (bukan nama sebenarnya) lahir di Sengkang Kabupaten Wajo tahun
1972. Menderita kusta sejak umur 6 tahun.
“Saya menderita kusta sejak umur 6 tahun. Sudah ada bercak putih mati rasa
di bagian lutut sama paha saya sebelah kanan. Tapi karena merasa tidak
terganggu, saya biasa-biasa saja. (Wawancara tanggal 13 Oktober 2012).
Bercak putih di badan Kadir tersebut awalnya tidak mengganggu, hanya di
kira semacam penyakit kulit biasa. Kadir pun dalam melakukan aktivitasnya tidak
merasa terganggu sedikit pun.
“Karena saya anak paling tua dari 3 orang bersaudara, jadi saya yang
menjadi tulang punggung keluarg. Bapak meninggal pada saat saya masih
80
berumur 5 tahun dan adik saya yang nomor 3 (bungsu) masih dalam
kandungan tapi ayah saya telah meninggalkan kami untuk selamanya. Ibu
saya sangat kebingungan pada saat itu, Bersyukur kehidupan di kampung
tidak seperti di Kota, Keluarga saya banyak mendapatkan bantuan dari
tetangga.” (Wawancara tanggal 13 Oktober 2012).
Waktu terus berjalan dan bercak putih yang mati rasa semaikn meluas di
sebagian tubuh Kadir.
“Lama- kelamaan bercak putih di badan semakin banyak, maumi penuh
kakiku. Teman-teman penggembala kerbau nakiraka saya ini orang kebal,
karena kalau ada yang luka saya biasa-biasa ji ku rasa. Biasa juga teman-
temanku cubit sampai berdarah tidak adaji ku rasa” (Wawancara tanggal 13
oktober 2012).
Karena semua keluarga mulai gelisah dengan kondisi kesehatannya,
akhirnya Kadir di bawah ke Makassar untuk berobat.
“Pada tahun 1983 sekitar bulan 10, saya bersama dengan ibu saya dan
saudara Ibu berangkat ke Ujung Pandang dengan tujuan untuk mengobati
kelainan kulit saya. 5 bulan lebih saya berobat dan tinggal di Rumah saudara
Ibu saya yang bertempat tinggal di Ujung Pandang. Saya berobat dari klinik
ke klinik baik itu praktek Ahli Kulit maupun Rumah Sakit besar seperti
Palamonia, Bhayankara, Labuang Baji semua pernah saya tempati untuk
berobat, dengan didampingi oleh Om beliau seorang militer, Yang bikin heran
tidak satupun petugas kesehatan yang mau membantu menunjukan tempat
yang tepat untuk mengobati penyakit yang saya derita. (Wawancara tanggal
13 oktober 2012).
Hingga akhirnya secara tidak sengaja, melalui acara televisi, Kadir mengetahui
tempat yang tepat dimana dia harus berobat.
“Dan suatu hari ada promosi di.televisi tentang Rumah Sakit Kusta Daya,
diperagakan ciri-ciri penyakit kusta dari bercak putih sampai pada cacat,
akhirnya saya di bawa sama om saya ke rumah sakit itu. Saya dimotivasi
81
sama om sama tante agar rajin minum obat supaya cepat sembuh.”
(Wawancara tanggal 13 oktober 2012).
Selama proses pengobatan medis, yang memakan waktu selama 3 tahun
mengaku pernah direhabilitasi selama 3 tahun dan menjalani operasi rahabilitasi
cacat sebanyak 11 kali.
Tahun 1993, Kadir kembali ke kampung halamannya di Wajo, dan tinggal di
Kompleks penampungan kusta Totinco Sengkang. Kadir sering berkunjung ke
perkampungan kusta antara lain ke Lerang Bone, Lauleng Pare-Pare untuk
mencari pekerjaan yang cocok, barulah setelah tinggal di Kompleks pemukiman
kusta Jongaya Makassar Kadir menjadi tukang parkir, sebuah profesi yang dirasa
cocok dengan keterbatasan fisiknya.
“Dulu waktu masih tinggal di Totinco, kehidupan tidak terlalu susah karena
ada lahan yang bisa ditanami jangung dan sayur, walaupun tidak bisa
dijual karena pasti jijik ki orang yang beli, tapi setidaknya adaji yang bisa
dimakan. Tapi pas kita di usir dari sana karena mau di bangun rumah sakit
kebetulan juga ada kenalan ajak ke sini (Kompleks pemukiman kusta
Jongaya) jadi ke sinima, dulu kerja ku di sini bikin batu bata, pergi ke Jl.
Daeng Tata ambil tanah liat baru di bikin. Karena susah memang jadi
orang kusta, tidak sembarang pekerjaan yang bisa dikerja, soalnya banyak
orang yang jijik sama kita” (Wawancara tanggal 13 Oktober 2012)
Selain sebagai tukang parkir, Kadir juga menjabat sebagai ketua PERMATA
Makassar yang salah satu programnya yaitu melakukan sosialisasi tentang
penyakit kusta agar masyarakat tahu dan sadar akan penyakit kusta sehingga
stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta dapat dikurangi. Bersama
82
dengan Andi, Kadir menggalakkan kelompok sadar diri bagi sesama mantan
penderita kusta. Walaupun berbagai kendala tak jarang mereka hadapi.
Kita sulit meyakinkan orang lain akan pentingnya menjaga kesehatan dan
kebersihan, awalnya yang bergabung hanya sekedar coba-coba, tapi
setelah dilihat ada hasilnya, mereka itulah yang memanggil orang untuk
gabung di kelompok sadar diri. (Wawancara tanggal 13 Oktober 2012)
2.4.4 Informan Keempat
Ari (bukan nama sebenarnya) Mantan penderita kusta asal Bone, Sulawesi
Selatan. Menjabat sebagai Kepala Rukun Warga kompleks kusta Jongaya.
Bersama Said dan Andi, Ari ikut berperan saat menolak relokasi dan alih fungsi
lahan kompleks pemukiman kusta menjadi rumah sakit umum tahun 2004.
Walaupun berasal dari Bone Ari dalam kesehariannya selalu menggunakan
bahasa Makassar, “supaya orang makassar gampang terima ki” katanya.
Ari menceritakan awal mulanya dia terkena penyakit kusta sekitar tahun 60-
an. Ketika Ari menyadari dirinya mengidap penyakit kusta, hal pertama yang
dilakukan adalah meminta kepada istrinya untuk ke pasar membeli beberapa
bahan makanan layaknya orang menyiapkan acara syukuran di rumahnya. Ari lalu
mengajak anggota keluarga berkumpul. Kedua orang tua dan mertuanya serta istri
dan anak-anaknya bertanya-tanya dalam hati.
“enjo banggiya iyya ngasseng bijayya appareki acara gau-gaukan
sikamma acara syukuran, iyya ngasseng bijangku a’kuta’nang2ki
na’linggui. Injo wattu’a kupowanggi teyya maki kuta’nang2ngi, passipa’mi
rong, le’bapi nganre naccaritaya massukku apparei anne acarayya
(Wawancara Tanggal 12 Oktober 2012)
83
(Malam itu kami membuat acara serupa acara syukuran, semua keluarga
bertanya-tanya dan kebingungan. Saat itu saya katakan tidak usah
bertanya-tanya, Nikmati saja dulu sebentar seusai makan akan saya cerita
maksud membuat acara ini). Kenang Ari.
Seuasai makan, satu keluarga itu terdiam dan tidak ada yang bicara. Ari
kemudian angkat bicara.
“ terus terang, ku kana nakke anjo tau niaka inne banggiya na isseng
ngaseng mi punna ri bokoang anne tena sannang nyawaku. Nia
kambussulu ammumba ri kalengku. inne mi di kana di taba ka’ penyakit
kusta, jari antekamma mi inne, ero inja ko ngaseng antarima ka anjari bijang
nu. (Wawancara Tanggal 12 Oktober 2012)
(Terus terang, saya kira semua yang ada disini pada malam ini sudah
mengetahui kegelisahan saya akhir-akhir ini, beberapa benjolan pun sudah
mulai muncul di badan saya, ini artinya saya sudah kena kusta, jadi
bagaimana ini, apakah kalian masih menerima saya dalam keluarga ini,
yang pasti penyakit yang saya ini, kian hari semakin parah, jadi sebelum
saya diusir dari rumah ini, dan sebelum penyakit saya ini belum begitu
parah, saya meminta pertimbangan kalian semua, apa yang harus saya
perbuat. Satu hal, apapun resiko dari penyakit ini akan saya terima,
termasuk pergi meninggalkan rumah dan keluarga. Maka anggaplah malam
ini adalah malam perpisahan kita)
Semua keluarga yang hadir malam itu terdiam kaku, tak satupun bersuara,
kecuali Mertua, sambil meneteskan air mata mendekati Ari dan mengusap-usap
kepalanya sambil berucap;
“ikau entu bijanta ngaseng ji, bura’ne battu ri anakku, bapak battu ri
cucungku, tapi nuissengji toh nak tekamma tanggapanna tau-tauwwa injo,
apa enjo penyakit kusta, dari pada napissannakki ko tetanggayya,
bajjikanggang entu lampako ri penampungan kustayya nak” (Wawancara
Tanggal 12 Oktober 2012)
84
(Engkau adalah keluarga kami, suami dari anakku, juga bapak dari cucuku,
tapi sudah kau tau nak bagaimana tanggapan orang-orang tentang penyakit
kusta, dari pada kamu di siksa tetangga, lebih baik kamu pergi ke
penampungan kusta nak)” Begitu Ari menirukan ucapan mertuanya.
Dari hasil pertemuan pada malam itu diputuskan bahwa Ari diasingkan ke
kompleks kutsa di Lerang Bone. Sebenarnya keluarga Ari bukan tanpa usaha
melihat anaknya menderita penyakit kusta. Berbagai usaha pun dilakukan
termasuk pengobatan dukun.
“iyya ngasseng bijayya appalaki rinakke tekamma mae appaballe ri
dukungga, nakana enne garringku nasaba doti-doti, nasaba ta’lebbaki baji
ating’ku, sinampe battui sannaka bambangku, sinampe-sinampe battuiseng
bambang dinggingga” (Wawancara Tanggal 12 Oktober 2012)
(Semua keluargaku meminta untuk berobat kedukun, katanya penyakitku ini
akibat guna-guna, soalnya, perasaanku tidak pernah tenang, sebentar
panas tinggi, sebentar mendadak menggigil kedinginan)
2.4.5 Informan Kelima
Dg Baco (bukan nama sebenarnya) , berumur 62 Tahun. Mengaku
menderita penyakit kusta saat masih remaja.
“saya kena penyakit saat saya brumur 15 tahun, sebenarnya pernah
berhenti tiga tahun tapi kembali lagi. Saya tahu kalau saya kena kusta dari
plek-plek di badan, kalau orang Makassar bilang ballang” (Wawancara
tanggal 11 Oktober 2012)
Mengetahui dirinya menderita penyakit kusta, dia mencari jalan
pengobatan seperti yang diteempuh penderita lainnya, yakni pengobatan alternatif
dukun.
85
“Kalau orang lain tahu obatku nak, pasti jijik ki, obatku itu jina (Musang)
dicampur ballo (Arak), ada juga patanganna dukun di larangka kerja keras
supaya tidak kambuh-kambuhmi penyakitku, na bagaimana caraku hidup
kalau tidak kerja, pekerjaanku menggembala kerbau” (Wawancara tanggal
11 Oktober 2012)
Dg. Baco mengaku, di awal penderitaannya, tidak pernah ditangani dokter
atau pun tenaga medis.
“laripa dari rumah, baru berobatma di dokter. Waktu lari dari rumah
pikiranku mau memangma ke rumah sakit Jongaya, di situmi pertamaka
berobat” (Wawancara tanggal 11 Oktober 2012)
Tidak ada pilihan lain bagi Dg. Baco selain pergi dari rumah
Daripada saya tinggal di kampung menahan malu dan dimusuhi warga”.
(Wawancara tanggal 11 Oktober 2012)
Terlebih saat itu sekitar tahun 1957 banyak gerilyawan yang sering masuk
ke kampung mengganggu warga. Seringkali pula ternak Dg. Baco diambil, bahkan
rumah Dg. Baco dibakarnya. Hal itu pulalah yang menguatkan keinginan Dg.Baco
untuk menjual ternaknya sebagai biaya perjalanan dan sisanya untuk biaya
pengobatan.
Dg. Baco masih mengingat saat-saat menyedihkan di tahun 1959. Ketika di
tiba di Rumah Sakit Kusta Jongaya dengan nomor urut pasien 1213. Itu berarti dia
telah menjadi pasien Rumah Sakit Jonya yang keseribu sekian dari jumlah
penderita yang masuk sebelum dirinya. Selama dalam perawatan di Jongaya, Dg.
Baco mengikuti kegiatan penderita lainnya membuat batu bata yang diambil dari
Jalan Daeng Tata dekat Jongaya.
86
“Sekitar tiga tahun saya bekerja bikin batu bata disana, tapi karena saya
pernah dipenjara waktu pemilu, saya di kasi pindahmi di Kapili. Tapi karena
di sana semua orang jijik saya pindahmi lagi di parang tambung, tidak
kuattma terima perlakuan warga yang selalu nalempariki” (Wawancara
tanggal 11 Oktober 2012)
Sering ditangkap karena melanggar aturan pemerintah untuk tidak
mengemis di tempat umum, Dg Baco akhirnya memilih jalan hidup dengan bekerja
sebagai pemulung untuk menghidupi kebutuhan istri dan dua orang anaknya.
Dulu kerjaku mengemis, tapi karena ada aturannya dari Walikota Patompo
saat itu yang nalarang penderita kusta untuk menampakkan diri di tempat
umum, jadi pergima memulung, apalagi pernahka ditangkap dikarebosi
karena pengemis, jadi takutma, itumi pemulungka sampai sekarang”
(Wawancara tanggal 11 Oktober 2012)
2.4.6 Informan Keenam
Umar (bukan nama sebenarnya), Mantan penderita kusta yang sehari-
harinya bekerja sebagai pengemis. Keinginan untuk pergi meninggalkan rumah
muncul ketika penyakit kusta yang dideritanya tak kunjung sembuh. Umar
bersikukuh meyakinkan orang tua bahwa dirinyalah nanti yang bertanggung jawab
atas kemamuan dan niatnya untuk pergi meninggalkan rumahnya. Bahkan,
andaikan orangtuanya tidak memberi izin. Umar akan mengancam akan bunuh diri
dan orang tua itulah yang akan menanggung dosanya. Dan akhirnya dengan
terpaksa orang tua Umar kemudian memberikan izin anaknya untuk mengasingkan
diri di kampung Teppo Barat Kabupaten Majene, bersama 60 kepala keluarga
mantan penderita kusta.
87
Ketika penyakit kusta menyerang dirinya, segala bentuk pengobatan
pernah dilakukan. Pengobatan dukun hingga pengobatan medeis pernah dialami;
“Pertama kali saya tau kalo saya kusta dari keluarga, dia bilang mungkin
saya sakit kandala’, saya tidak percaya kalau saya ini sakit. Saya sudah ke
dukun dan puskesmas di kampung tapi tidak ada hasilnya.segala macammi
obat saya pakai. Jadi pasrahma, saya kira tidak sembuh-sembuhma ini.
Tapi lama-lama tambah parahmi kurasa penyakitku, tidak tahanma kurasa,
kebetulan ada keluarga ajak berobat di Makassar, jadi ke sinima. Ternyata
setelah ke rumah sakit di Makassar ternyata bisaji disembuhkan”
(Wawancara tanggal 17 Oktober 2012)
Umar beranggapan bahwa penyakit kusta adalah cobaan dari Tuhan serta
nasib yang harus diterimanya, karena ia sudah berusaha melakukan pengobatan
dukun dan Puskesmas sehingga ia merasa bahwa usahanya sudah cukup, jadi
bila penyakitnya tidak sembuh dia beranggapan bahwa itu semua adalah nasib
yang harus diterimanya. Akan tetapi persepsinya terhadap penyakit berubah
setelah melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit.
“Saya dibilang menderita penyakit kusta sama dokter, trus dikasi obat-obatan
dan suntikan juga dikasih penjelasan tentang sakitku ini. (Wawancara tanggal
17 Oktober 2012)
Umar Melanjutkan;
“Menurut saya, kalau orang kena satu penyakit karena nasib masing-masing
manusia itu berbeda-beda. Nasib saya dengan orang lain kan berbeda-beda.
Saya kena penyakit ini juga karena nasib trus ada orang yang kena penyait
umpamanya TBC atau tumor ka itu kan karena nasib. Karena nasib juga saya
bisa sembuh walaupun cacatma” (Wawancara tanggal 17 Oktober 2012)
Akibat penyakit kusta kakinya bengkok dan mengering dan di tahun 2002
terpaksa di amputasi. Awalnya Umar menggunakan kaki palsu, tapi karena merasa
88
sakit dan cepat lelah akhirnya kaki palsu tersebut dilepas. Untuk memudahkannya
berjalan, Umar menggunakan semacam gerobak kecil. Sebuah papan berukuran
50 Cm dilengkapi dengan 4 buah roda dan sepasang tongkat kecil untuk
mengayuhnya. umar mengaku tidak pernah mengemis karena tidak meminta
minta, orang yang kasihan dan memberinya uang.
Tinggal di kota besar seperti di Makassar memudahkan mantan penderita
kusta mencari uang dengan cara mengemis, terutama mereka yang sudah
diamputasi atau mengalami cacat tubuh, mengaku bahwa mereka bisa mendapat
uang sampai puluhan hingga ratusan ribu rupiah perhari. Namun demikian
mengemis merupakan suatu pekerjaan dengan resiko dan tuntutan fisik yang
tinggi. Resiko yang paling besar kecelakaan fisik yang mungkin dialami oleh
mereka yang harus menggunakan gerobak.
Tidak pernahka pulang kerumah bawa’ uang kurang Rp. 50.000. paling rata-
rata Rp. 100.000. saya keluar setiap hari jam tujuh pulangka shalat lohor.
Pak Salim (Informan 8) yang antarka ke kota pake motornya, saya kasi naik
motormi juga gerobakku, saya kasi uang Rp. 10.000. (Wawancara tanggal
17 Oktober 2012)
Lanjut Umar;
“Kakiku diamputasi tahun 2002, karena bengkok dan sudah kering, jadi
nagganggu kalo jalan. Nabilang dokter, lebih baik kalau kakiku dipotong,
baru pake ki kaki palsu. Sebenarnya bisa ja jalan pakai kaki palsu tapi sakit
baru cepatki capek, jadi sy lepasmi kaki palsuku, baru nabikingkanka
gerobak. Itumi saya pakai keliling di kota. Orang-orang kasihan liatka jadi
nakasihma uang, tidak pernahka mengemis”. (Wawancara tanggal 17
Oktober 2012)
89
2.4.7 Informan Ketujuh
Perempuan kelahiran limbung Kabupaten Gowa pada tahun 1942, mengaku
pertama kali menginjakkan kaki di kompleks Jongaya pada tahun 1972 setelah
ditinggal suaminya lantaran penyakit kusta. Awalnya Nur (bukan nama
sebenarnya) mendapat penghasilan dari menjahit. Dia selalu berdoa dan berharap
semoga ada tetangga yang datang dan membawa pakaian untuk diperbaiki. Meski
tangannya tak lagi sempurna, dia terlihat terampil menggunakan mesin jahit.
Namun, mesin jahit itu sudah rusak dan Nur sering sakit-sakitan akibat faktor usia,
karena itu dia sudah tidak lagi bekerja. untuk kebutuhan sehari-hari Nur hanya
mengandalkan bantuan dari dinas sosial berupa 15 kg per orang dan uang lauk
pauk sebesar Rp 150 ribu setiap bulannya.
Beragam stigma dan diskriminasi pernah dialami oleh nur sewaktu masih
tinggal di Gowa. Warga yang berpapasan dengannya menutup muka dan berlari
menghindar darinya. Bahkan ada warga yang menghindari bekas jalan yang
dilaluinya.
“Dulu, kalau kami lewat di perkampungan, mereka tutup muka, hanya
matanya yang kelihatan, bahkan kalau bersentuhan, mereka buru-buru
mencuci tangannya dengan air panas, begitu juga dengan sumur umum
yang kami pakai, setelah ditau oleh warga (bukan penderita), mereka tidak
mau lagi menggunakan sumur itu lagi” (Wawancara tanggal 18 Oktober
2012).
2.4.8 Informan Kedelapan
90
Mantan guru Tsanawiyah Negeri Di Filial Lasusua Kolaka Sulawesi
Tenggara yang terpaksa diberhentkan akibat penyakit kusta. Salim (bukan nama
sebenarnya) mengaku terkena penyakit kusta saat berumur 16 tahun saat dia
duduk di bangku kelas satu Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Waktu kecilka sukaka bongkar-bongkar barang elektonik, kipas, radio banyak
macamnya. Sebenarnya mauka jadi seperti profesor di televisi ada film Ohara
yang selalu bongkar- mobil. Tapi karena kusta begitumi, terpaksa dilupakan.
Tapi sekarang di PERMATA diangkatka sebagai pengurus yang urusi
informasi. Bikin blok atau fesbuknya permata saya yang kelola. (Wawancara
tanggal 19 oktober 2012)
Sejak kecil Salim gemar dalam bidang elektronik, banyak barang elektronik
keluarga dan tetangganya rusak diperbaiki olehnya, Salim (bukan nama
sebenarnya) bahkan bercita-cita untuk menjadi profesor teknik elektro. Namun
karena penyakit kusta yang dideritanya cita-cita tersebut harus dilupakan, keluarga
dan tetangga yang awalnya dekat dengannya perlahan menjauh. Itulah sebabnya
Salim diangkat sebagai pengurus organisasi permata yang membidangi teknologi
informasi karena kegemarannya mengerjakan alat-alat elektronik.
2.4.9 Informan Kesembilan
Samsu (bukan nama sebenarnya), berumur 67 Tahun. Sehari-hari
mengemis di depan Toko Agung jalan Ratulangi Makassar. Akibat penyakit kusta
kelopak matanya tidak bisa berkedip. Untuk melindungi matanya dari debu dan
kotoran Samsu menggunakan kaca mata. Sama dengan mantan penderita kusta
91
lainnya yang mengaku pernah melakukan pengobatan dukun. Samsu
menceritakan
“Itu dukunku nak, na bilang anak kusta itu adalah anak yang lahir dari
hubungan waktu haid orang tuanya, jadi obatnya dimandikan dengan darah
haid ibunya” (Wawancara tanggal 20 Oktober 2012)
Menurut dukun yang menangani Samsu bahwa kusta ini erat kaitannya
dengan dosa dan kutukan Tuhan karena penderita kusta adalah anak yang lahir
dari hubungan saat haid orang tuanya. Untuk itu satu-satunya pengobatan yang
diilakukan adalah dengan memandikan darah menstruasi ibu penderita kusta
tersebut, sehingga bila si penderita telah meninggal dapatlah dikatakan bahwa si
penderita tak tertolong lagi.
Saat ini Samsu berprofesi sebagai pengemis, menurut pengakuannya
Samsu mengaku mendapat penghasilan rata-rata Rp. 30.000 per hari.
“Saya duduk didepan toko Agung tiap hari, tidak banyak penghasilku, Cuma
Rp.30.000 perhari, mungkin kalau kelilingka banyak ji kaya’nya, tapi itu saya
pikir resikonya kalau keliling, mataku juga sudah kabur-kaburmi, jadi duduk
meka saja didepannya Toko Agung. (Wawancara tanggal 20 Oktober 2012)
Namun saat ini Samsu tidak dapat lagi melakukan profesinya sebagai pengemis
akibat adanya Perda No 2 Tahun 2008 tentang Anak Jalanan, Gelandangan dan
Pengemis.
“Sekarang dilarangmi orang minta-minta dijalanan, tapi ditempatku biasa
duduk tidak dilarang ji karena itu milik pribadi, miliknya toko Agung, bukan
punyanya pemerintah. sudah empat tahunma disitu, saya duduk dari siang
sampai magrib, kata yang punya toko tidak apa-apa, asal hanya satu orang
92
saja. Satpamnya juga baik tidak pernahka naganggu, tapi biasa nausir
peminta-minta yang lain” (Wawancara tanggal 20 Oktober 2012)
Beragam stigma dan diskriminasi pun pernah dialami Samsu, misalnya di
tahun 1970 saat dia mengemis di lapangan karebosi.
“Saya pernah ditangkap karena mengemis di lapangan karebosi, waktu
Walikota Daeng Patompo ada aturan yang melarang penderita kusta
berkeliaran di jalanan. Maunya pemerintah kita tinggal di penampungan, na
bagaimana caranya kita hidup, kita tanam sayur untuk di jual tidak ada yang
mau beli karena jijik sama kita” (Wawancara Tanggal 20 Oktober 2012)
2.4.10 Informan Kesepuluh
Sehari-hari berprofesi sebagai tukang cuci mobil di Jl. Abdul Kadir
Makassar. Menurutnya, pekerjaan tersebut dilakukan karena sebagai mantan
penderita kusta pilihan profesi sangat terbatas. Dari pekerjaan tersebut, Fatma
(bukan nama sebenarnya) mengaku mendapat penghasilan Rp.100.000 setiap
harinya, dari penghasilan tersebut dia dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan
biaya sekolah dua orang anaknya.
Sebenarnya kalau ada orang yang datang cuci mobil, pakai kaos tangan ka.
Tidak mauka na tau kalau kena kusta ka, tidak enak, jangan sampai marah
ki, ka jijik ki’ (Wawancara tanggal 24 oktober 2012)
Selama menjalankan profesinya, Fatma selalu menggunakan sarung tangan
untuk menutupi jari tangannya yang bengkok, menurut Fatma itu dilakukan agar
pelanggan tidak mengetahui kalau dirinya adalah mantan penderita kusta.
2.4.11 Informan Kesebelas
93
Menderita penyakit kusta saat masih berumur 10 tahun, saat duduk di kelas
4 SD. Pada saat itu petugas kesehatan datang berkunjung ke sekolahnya untuk
memeriksa kesehatan siswa, dari situlah Ratna (bukan nama sebenarnya) sudah
mulai terdeteksi mengidap penyakit kusta. Karena malu dengan teman - teman
sekolahnya akhirnya Ratna memutuskan berhenti sekolah.
Saat ditemui di kelompok sadar diri jongaya Ratna menceritakan tentang
kelompok sadar diri Salah satu masalah penderita kusta adalah bagaimana
menjaga tangan dan kaki agar tetap sehat. Banyak dari mereka yang tidak dapat
merasakan kaki dan tangannya. Saat sedang bekerja, kaki tertusuk paku atau
luka, mereka tidak merasakan apa-apa, atau saat di dapur karena tidak hati-hati
tangan mereka cedera, dan tetap tidak merasakan apa-apa. Kalau terluka, bisa
menimbulkan infeksi, dan apabila terlambat ditangani, luka tersebut membusuk
dan diamputasi. Penuturan Ratna;
Mengobati luka dan menjaga kebersihan itu sangat penting. Mencegah
supaya tidak luka juga penting, tapi tidak gampang. Jenis pekerjaan juga
berpengaruh, bagaimana caranya na pilihan pekerjaan ta terbatas, paling
pekerja kasar. Kan susah pastikan kalau kita tidak luka saat kerja.
Jangankan kerja, didapur saja mauki bikin kopi na biasa tidak disengaja
nakenaki air panas. Untung ada ini tempat rendam-rendam kaki (Kelompok
sadar diri), jadi bisaki jaga kebersihanta. (Wawancara tanggal 23 Oktober
2012)
Saat ini Ratna bekerja sebagai pengemis di Jl. Sultan Hasanuddin bersama
beberapa mantan penderita kusta lainnya. Profesi sebagai pengemis bukan tanpa
resiko. Resiko kecelakaan, ditambrak dan lain sebagainya selalu menghantui.
94
Belum lagi pengemis sering diusir polisi karena adanya peraturan yang melarang
untuk mengemis di jalanan
“Tempat ku minta-minta di depanna taman di jalan Sultan Hasanuddin, kita
di sana lebih ki sepuluh orang, kalau ada petugas tanggapki, biasa nabawa
jakikembali ke Dangko (Kompleks Pemukiman Kusta Jongaya), besoknya
kembali kilagi minta-minta, ka mau diapa tidak bisa ki makan kalau tidak
minta-minta ki”.(Wawancara tanggal 23 Oktober 2012)
2.4.12 Informan Keduabelas
Menderita kusta saat masih berumur sembilan tahun, awalnya ada bercak-
bercak putih di punggungnya. Namun dikira hanya keracunan atau alergi makanan
karena kebetulan pada saat itu Intang (bukan nama sebenarnya) sudah
mengkonsumsi ikan massafi. Lama kelamaan bercak itu bertambah besar dan
akhirnya Intang dibawah ke dukun untuk berobat. Tapi karena tidak ada
perubahan, akhirnya dibiarkan saja.
Persepsi yang salah tentang penyakit kusta mengakibatkan penanganan
yang salah. Persepsi yang salah dialami oleh Intang yang awalnya menganggap
sakit yang dideritanya hanya keracunan atau alaregi makanan, Intang menuturkan;
Bercak putih di punggungku ku kira alergi atau keracunan karena paginya
sudahka makan Ikan Massafi (Sejenis belut). Jadi saya biarkanmi, tapi lama
kelamaan tidak sembuh-sembuh, makanya pigima di dukun tanyakan.
(Wawancara tanggal 15 Oktober 2012)
Saat ini Intang berprofesi sebagai pengemis di Jl. Sultan Hasanuddin
bersama Ratna dan beberapa mantan penderita kusta lainnya. Namun karena
95
adanya Perda pelarangan pengemis, maka Intang dan beberapa mantan penderita
kusta yang berprofesi sebagai pengemis berhenti mengemis.
“ada peraturan pemerintah, tidak boleh minta-minta di pinggir jalan atau di
lampu merah, tidak boleh juga minta-minta di tempat umum, kita Cuma bisa
minta-minta di depan mesjid atau gereja, jadi kalau minta-minta ki di
Hasanuddin napatki petugas pasti ditangkapki, tapi na data jaki saja, baru
na antar pulang” (Wawancara tanggal 15 Oktober 2012
3. Identitas Significant Other
Selain mantan penderita kusta yang menjadi informan penelitian untuk
melihat konsep dirinya, peneliti juga melihat bagaimana mantan penderita kusta
mengungkapkan diri dan berinteraksi dengan masyarakat luar.
Dalam hal ini penelitian ini juga melibatkan masyarakat di luar mantan
penderita kusta sebagai informan yang dikategorikan sebagai significant other.
significant other merupakan orang yang secara nyata penting bagi mantan
penderita kusta dalam proses interaksi. Informan yang dikategorikan significant
other tersebut antara lain;
Tabel 6. Identitas Significant Other Sumber (Wawancara tanggal 7-30 Oktober 2012)
No Nama
Informan
Jenis
Kelamin
Usia
(Tahun)
Pekerjaan Keterangan
1 Adam Laki-Laki 25 Mahasiswa Anak sulung dari
salah seorang
mantan
penderita
2 Iwan Laki-Laki 24 Mahasiswa Penghuni
96
kompleks
pemukiman
kusta jongaya
3 Doddy Laki-Laki 36 Aktifis LSM Pengurus
Yayasan
Tranformasi
Lepra Indonesia
(YTLI)
4 Husnul Perempuan 33 Aktifis LSM Pengurus
Yayasan Citra
Mantan
Penderita Kusta
(YCMJ)
5 Maradona Laki-Laki 30 Tukang Parkir Ketua Serikat
Juru Parkir
Makassar
6 Meri Perempuan 27 Ibu Rumah
Tangga
Menantu dari
Mantan
Penderita
7 Jufri Laki-Laki 30 Kelompok
Pemuda
Penghuni
Kompleks
Pemukiman
Kusta
8 Suster Serli Perempuan 39 Pengelola
Kelompok sadar
diri Jongaya
Pengelola
kelompok sadar
diri sejak tahun
2006
9 Ust. Rasyid Laki-Laki 43 Tokoh Agama Sering dipanggil
untuk ceramah
agama di
Kompleks Kusta
Jongaya
10 Rinto Laki-Laki 27 Kelompok
Pemuda
Penghuni
Kompleks
Pemukiman
Kusta
11 Ust. Abustan Laki-Laki 40 Imam Mesjid
Babuljannah
Jongaya
Penghuni
Kompleks
Pemukiman
Kusta
97
12 Desi Perempuan 28 Ibu Rumah
Tangga
Menantu dari
salah seorang
mantan
penderita Kusta
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa Significant other terdiri dari
beberapa orang dengan profesi dan penyebab kedekatan dengan mantan
penderita kusta yang berbeda. Peneyebab kedekatan tersebut dapat digolongkan
antara lain; kedekatan berdasarkan faktor keluarga dan pernikahan, berdasarkan
profesi, berdasarkan tempat tinggal, serta kepedulian terhadap mantan penderita
kusta.
Berdasarkan faktor keluarga dan pernikahan menyebabkan orang di luar
mantan penderita kusta menjadi dekat. Significant other antara lain Desi dan Meri
yang mengaku dekat dengan mantan penderita kusta dengan alasan mereka
menikah dengan anak seorang mantan penderita kusta sehingga mereka dapat
berinteraksi dengan mantan penderita kusta. Selain alasan pernikahan, faktor
keluarga juga menjadi alasan kedekatan significant other dengan mantan
penderita kusta. Adam misalnya, seorang anak penderita kusta informan,
menyebabkan dia dapat berinteraksi dengan mantan penderita kusta.
Faktor berdasarkan tempat tinggal yaitu, terdapat beberapa significant other
menjadi dekat dengan mantan penderita kusta dengan alasan mereka bertempat
tinggal di dalam kompleks pemukiman kusta. Significant other tersebut antara lain;
Iwan, Jufri, Rinto dan Ust. Abustan.
98
Faktor lain penyebab dekatnya significant other dengan mantan penderita
kusta karena alasan profesi. Significant other tersebut antara lain Maradona yang
mengaku dekat dengan mantan penderita kusta karena profesi dia sebagai tukang
parkir yang membuat dia dapat berinterkasi dengan mantan penderita kusta, selain
Maradona, Ust. Rasyid juga mengaku dekat dengan mantan penderita kusta
karena sebagai tokoh agama dia mengaku sering membawakan ceramah di dalam
kompleks pemukiman kusta.
Faktor lain yang menyebabkan kedekatan antara Significant other dengan
mantan penderita kusta adalah adanya kepedulian dengan mantan penderita
kusta. Husnul dan Doddy mengaku penyebab dekatnya mereka dengan mantan
penderita kusta karena kepeduliannya terhadap mantan penderita kusta yang
selalu mendapat perlakuan diskriminatif akibat stigma terhadap penyakit kusta.
Husnul dan Doddy melalui LSM nya sering membantu mantan penderita kusta
mensosialisasikan penyakit kusta di masyarakat untuk meminimalisir stigma yang
ada di masyarakat.
B. PEMBAHASAN
1. Konsep Diri dan Pembentukan Konsep Diri Mantan Penderita Kusta
1.1 Konsep Diri Mantan Penderita Kusta
Konsep diri memilki peranan penting dalam menentukan perilaku individu
sebagai cermin bagi individu dalam memandang dirinya. Individu akan bereaksi
99
terhadap lingkungannya sesuai dengan konsep dirinya. Pembentukan konsep diri
memudahkan interaksi sosial sehingga individu yang bersangkutan dapat
mengantisipasi reaksi orang lain. Pola kepribadian yang dasarnya telah diletakkan
pada masa bayi, mulai terbentuk dalam awal masa kanak- kanak.
Begitu juga halnya dengan mantan penderita kusta memiliki konsep diri
yang terbangun sejak bayi, saat menderita kusta, sembuh dari penyakit kusta
hingga menetap di kompleks pemukiman kusta. Apabila digambar perjalanan
hidup mantan penderita kusta seperti berikut;
Gambar 5. Perjalanan Hidup Mantan Penderita Kusta
Awal perjalanan hidup mantan penderita kusta dimulai dari kehidupan
normal, layaknya anak kecil lainnya, bermain dengan teman sebaya, membantu
orang tua, sekolah dan lain sebagainya. Penuturan Umar;
“Sebelum kena kusta, kehidupanku biasa-biasa saja, bermain gasing pigi
kebun mencangkul, pokoknya tidak ada masalah” (Wawancara tanggal 17
oktober 2012)
Hal serupa dialami Said;
Hidup Normal
Awal Prahara
Hari Penuh Kesedihan
Awal Kebangkitan
100
“Sewaktu belum sakit, saya seperti anak normal lainnya, main, pigi mengaji,
sekolah, (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012)
Awal prahara muncul ketika mantan penderita kusta mulai merasakan
perubahan ditubuhnya, munculnya bercak putih yang awalnya hanya sedikit, mulai
menyebar ke seluruh tubuhnya. Kehidupan yang awalnya normal pelan-pelan
berubah. Hari-hari yang yang dulunya diisi dengan bermain, sekolah dan lainnya
pun berubah, teman bahkan keluarga menghindar dan mulai takut. Seperti
penuturan Kadir;
“Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau kehidupanku
berubah drastis, dulu tidak ada masalah, saya mengembala sapi dan
kerbau, bermain sama teman-teman, tapi semua berubah saat ada bercak-
bercak di tangan dan kaki saya. Awalnya saya di kira kebal, karena teman-
teman mencubit bahkan sampai luka saya tidak merasakan apa-apa.
Sampai ada orang bilang saya kena penyakit kusta.” (Wawancara tanggal
13 oktober 2012)
Penuturan Intang:
“Awal musibah saya rasakan ketika saya sudah dianggap menderita kusta,
semua orang menjauh.
Dari bercak putih seperti panu di tubuh anak kecil tersebut yang jumlahnya
memang sedikit, tetapi lama kelamaan semakin banyak dan melebar, tampak
hampir di sekujur tubuhnya. Disertai suhu badan yang panas tinggi membuatnya
sesekali harus buka baju, tidak tahan dengan panas tubuhnya. Tetapi terkadang
juga ia mendadak merasa kedinginan hingga menggigil. Seperi penuturan Ari:
“Sitojenna pammulangku garring, tau toaku na erangga mange riballa
garring, nasaba’ kurangna impormasi, nampa kampongku poeng bella bantu
ri balla’ garring jari lampa ka ri sanroa. Nakana sanroa ni patabaiko anne
101
nasaba papisa’ringku tena na sannang, tasinampe bambang siampe’na
dinging”
(Sebenarnya waktu pertama sakit, orang tua membawa saya ke
puskesmas, namun karena terbatasnya informasi, serta kampung saya
terpencil makanya saya pindah berobat kedukun. Oleh dukun saya sakit
akibat guna-guna karena soalnya, perasaanku tidak pernah tenang,
sebentar panas tinggi, sebentar mendadak menggigil kedinginan)
(Wawancara tanggal 12 Oktober 2012)
Meskipun apa yang dialaminya itu sangat menyiksa, namun mereka tidak
tahu gerangan perubahan apa yang tengah dialami. Orang tua, keluarga dan
masyarakat yang diharapkan lebih banyak tahu perihal yang mereka alami itu
ternyata tidak, jadilah gejala awal penyakit kusta penyakit kusta kian menjadi tanpa
ada tindakan penyembuhan yang berarti. Penyakit yang sangat berbahaya
sekaligus Siri’ bagi penderita dan keluarga.
Tidak banyak yang mereka lakukan. Mereka pasrah dengan keadaan itu,
menerimanya sebagai penyakit ringan dan biasa saja. Hingga akhirnya muncul
kesadaran bahwa yang menyerang mereka itu adalah penyakit kusta. Sedangkan
upaya penyembuhan dari pihak keluarga, seadanya, sekedar merawat sementara.
Kesadaran akan penyakit kusta yang diderita awalnya berasal dari orang
tuanya, itupun berdasarkan pengalaman yang sangat terbatas. Pemahaman yang
kurang lebih sama seperti pemahaman masyarakat lainnya yang memandang
penyakit kusta adalah penyakit keturunan, bahkan penyakit kutukan yang
menjijikkan dan tidak bisa disembuhkan. Pemahaman akan penyakit kusta
tersebut diikuti pula oleh klaim mistis, ataumerupakan penyakit guna-guna.hal ini
102
dipengaruhi oleh realitas sosio-kultural masyarakat yang sangat kental dengan
kepercayaan magis dan tak jarang menempatkan dukun sebagai sentrum “orang
pintar”.
Hal lain yang menyebabkan kusta dipandang sebagai penyakit kutukan dari
Tuhan adalah karena adanya pemahaman dan keyakinan bahwa dogma agama
yang menerangkan tentang penyakit kusta dan yang menyiratkan bahwa penderita
kusta harus dijauhi. Sehingga bagi masyarakat, penyakit ini dianggap sebagai
penyakit kutukan Tuhan. Bahakan dalam pemahaman keagamaan, ada seorang
Nabi yang sebagai utusan Tuhan harus menghadapi umat yang menderita kusta
(Sanusi Baco, 2011; 10), dari situlah timbul pemahaman bahwa penyakit ini adalah
“penyakit kuno” yang merupakan warisan yang diturunkan dari umat terdahulu.
Pemahaman masyarakat yang cenderung mistis ini dipengaruhi oleh
kesenjangan informasi dan telaah kritis terhadap dogma dan mitos berkaitan
dengan perlakuan terhadap penderita atau penyakit kusta. Di mana tingkat
pendidikan formal yang rendah ikut memberikan pengaruh pada kecenderungan
masyarakat untuk lebih percaya pada hal-hal mistis daripada sesuatu yang
rasional seperti pemahaman medis.
Seperti pengakuan Kadir yang sejak kecil diejek dan diolok-olok teman
sebayanya dirasakan seperti teror mental baginya, membuat rasa minder dan
rendah diri serta kian meningginya kadar sensitifitas ketersinggungan mereka.
Cenderung reaktif dalam merespon keadaan di sekitar lingkungannya, kendati
orang yang mencoba membangun komunikasi dengannya atau sekedar bertegur
103
sapa dan memperhatikan mereka tanpa tendensi mencemooh sekalipun, tak
jarang justru dinilai salah (negatif) oleh para penderita. Dan tampaknya itu hanya
sekedar bagian dari cara para penderita kusta untuk melindungi dan membela diri
mereka yang justru sering tidak di bela orang lain, bahkan oleh keluarga mereka
sendiri. Salim mengungkapkan;
Waktu masih kecilka, ku rasa sensitif sekalika, biar orang lewat didepanku
tidak sengaja meludah, tersinggung ma lagi, berapa kalika sempat berkelahi
gara-gara hal sepele ji. Soalnya kalau tidak dipukul pasti na ejek ki lagi, itu
juga cara untuk membela dirita supaya tidak terus-terusan diejek.
(Wawancara tanggal 19 oktober 2012)
Tidak jarang, para keluarga penderita kusta juga menempatkan penderita
kusta dalam posisi yang tidak menguntungkan karena merasa malu menerima
kenyataan. Rasa malu dari pihak keluarga menjadi beralasan, mengingat
kencangnya cemoohan dan olok-olokan dari tetangga dan lingkungan masyarakat.
Perasaan gengsi keluarga pun menjadi wajib dipertaruhkan, demi nama baik
keluarga besarnya. Meskipun ada sebagian keluarga yang masih menginginkan
keberadaan mereka, namun tekanan sosial dan tekanan mental terhadap si
penderita yang membuat jalinan tali keluarga pun harus dipertaruhkan. Seperti
penuturan Rafi;
Saat itu saya dibuatkan pondok kecil dibelakang rumah. Itu satu-satunya
jalan agar saya tidak dimusuhi warga, agar keluarga tidak malu. Tapi bagi
saya dibuatkan pondok belakang rumah tidak menyelesaikan masalah,
malah saya merasa tidak ada yang pedulikan saya lagi. (Wawancara
tanggal 14 oktober 2012).
104
Tidak sedikit keluarga penderita kusta yang sudah tidak percaya lagi
dengan model pengobatan apa pun terhadap penyakit kusta, termasuk ke dukun
dan medis, mereka pasrah. Seperti penuturan Kadir;
Saya sudah keliling klinik dan rumah sakit di Ujung Pandang, tapi tidak ada
yang informasikan kalau saya ini terkena penyakit kusta, saya Cuma
disuruh berobat tapi tidak ada hasilnya, saya sempat pesimis dengan
hidupku. Saya serahkan saja sama Tuhan (Wawancara tanggal 13 oktober
2012).
Lain halnya dengan yang dialami Said yang mengaku sabar dan lebih tegar akibat
kusta, penuturan Said;
Banyak teman yang mengaku stres hingga akhirnya bunuh diri akibat
penyakit ini, saya justru berfikir bahwa tidak ada masalah yang tidak ada
jalannya, saya jalani saja mencoba mencari hikmahnya, ternyata penyakit
ini mengajari saya untuk sabar dan lebih tegar (Wawancara tanggal 10
oktober 2012).
Di kompleks pemukiman kusta, ada pengalaman baru yang turut
mempengaruhi perkembangan konsep diri mantan penderita kusta. Mantan
penderita kusta meletakkan arti penting kompleks pemukiman kusta sebagai
rumah masa depan anak cucu mereka. Kompleks kusta adalah “hidup-mati” bagi
keluarga penderita kusta. Mereka merasa memilki dan aman tinggal di kompleks
pemukiman kusta. Informan seperti Ari, Said, Nur, serta Samsu yang telah
menetap di kompleks Jongaya sejak tahun 60-an dan 70-an. Mereka adalah
mantan penderita kusta yang sudah puluhan tahun meninggalkan keluarga dan
kampung asalnya. Bagi mereka, rumah keluarga dan kampung asal adalah masa
lalu yang buram.
105
Di kompleks pemukiman kusta pula lah, mereka mengenal organisasi yang
mengikat mereka secara emosional, Said misalnya mendirikan Yayasan Citra
Mantan Penderita Kusta Jongaya (YCMJ), Andi pernah menjadi ketua
Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata). Organisasi yang secara emosional
mengikat individu dan berpengaruh terhadap konsep dirinya.
Secara umum konsep diri mantan penderita kusta sebagai berikut;
1.1.1 Mengutamakan Materi
Sekecil apa pun nilai materi tersebut dianggap sebagai milik yang sangat
berharga. Materi lebih penting ketimbang yang lainnya. Mereka siap mengerjakan
apa saja yang demi mendapatkan uang. Itulah sebabnya, mereka tidak segan-
segan jadi pengemis, pemulung, tukang parkir dan sebagainya. Begitu kuatnya
keinginan mendapatkan materi sehingga sering kali mengalahkan nilai-nilai yang
lain seperti pendidikan, politik, budaya dan sebagainya. Seperti penuturan Dg.
Baco
“Takdir menjadi tau kandala’ begini. Miskin. Hidup susah, saya punya 3
anak yang mau saya biayai, mau sekolah tidak punya biaya. Jadi biasanya
anak-anakku pigi mengemis. Maumi diapa ituji yang di bisa” (Wawancara
tanggal 11 oktober 2012)
Penuturan Said;
“Biasa banyak pa’politik masuk di sini untuk sosialisasi,biasanya minta izin
sama saya. Tapi saya tanyami bilang jangan maki cerita program, atau apa,
langsung maki saja kasi uang atau beras orang disini, ka ituji yang
dibutuhkan.” (Wawancara tanggal 10 otober 2012)
106
Penuturan Nur;
“Pernah waktu Walikota Patompo, mau perbaiki jalanan di Makassar,
supaya tidak lewat-lewat orang di jalanan yang baru diaspal, dipanggilmi
orang di sini (Penghuni kompleks kusta Jongaya) duduk-duduk di pinggir
jalan. Jadi takut orang lewat. Tapi na kasi jaki uang makan sama ongkos
pete-pete itu hari”. (Wawancara tanggal 18 Oktober 2012)
1.1.2 Kurang Peduli Terhadap Kesehatan
Walaupun secara medis mantan penderita kusta dianggap sembuh, tetapi
masyarakat menganggapnya sebagai penderita kusta. Bahkan mantan penderita
kusta sendiri seringkali memandang cacat fisik permanen yang mereka alami
sebagai tanda bahwa yang mereka memang mengidap penyakit penyakit kusta.
Adanya stigma masyarakat yang menganggap cacat fisik sebagai tanda
penyakit kusta serta Self Stigma dari penderita kusta sendiri membuat mantan
penderita kusta cenderung tidak peduli dengan kondisi kesehatannya. Bahkan
keberadaan kelompok sadar diri sebagai wadah sosialisasi kesehatan mantan
penderita kusta dinilai tidak terlalu efektif karena tidak semua mantan penderita
kusta masuk dalam kelompok tersebut. Perilaku yang lebih sulit lagi adalah jika
mereka “menjual” kecacatan fisik tersebut untuk mendapatkan nafkah. Berikut
penuturan beberapa Informan;
Penuturan Umar:
Maumi di apa, ka begini memang maki, mauki menjual tidak ada yang mau
beli, modal juga tidak ada. Mau jadi tukang parkir cacat maki. Jadi terpaksa
begini maki. Sebanarnya ada tempat rendam kaki di Dangko, katanya untuk
107
kebersihan, tapi malas ma bela, terlanjur sudah cacat ma. Mungkin yang
masih bagus kakinya bisaji. (Wawancara tanggal 17 Oktober 2012)
Penuturan Samsu;
“Kalau ada yang bilang saya mengemis, terus terang saya tidak mengemis,
orangji yang kasihan lihatka makanya na kasika uang. Kalau mau dibilang
saya tidak peduli kesehatan atau keselamatan sebenarnya bukan tidak
peduli tapi pasrahma. Karena sakit kusta begini ma sampai sekarang””.
(Wawancara tanggal 20 Oktober 2012)
Penuturan Said
“Banyak teman yang mengusahakan kelompok sadar diri, tapi bagi saya
stigma membuat kelompok itu tidak bisa jalan maksimal, belum lagi orang-
orang yang sudah pasrah sama hidupnya” (Wawancara tanggal 10 Oktober
2012)
1.1.3 Takut Memulai Sesuatu
Pengalaman hidup sebagai mantan penderita kusta yang selalu diwarnai
kegagalan dalam berbagai bidang kehidupan seperti pergaulan, sekolah, bekerja,
dan sebagainya membuat mereka senantiasa dihantui oleh sikap pesimis. Itulah
sebabnya, sekalipun ada yang menawarkan usaha atau upaya untuk
memberdayakan potensi mereka, respon pertama mereka adalah tidak berani
mencoba karena takut gagal. Penuturan Kadir:
“Sebenarnya banyak organisasi di luar yang peduli dengan mantan
penderita kusta, misalnya ada organisasi dari Belanda yang mau memberi
bantuan untuk dibikin koperasi, tapi orang disini tidak banyak yang mau ikut,
bantuan dari YTLI yang melatih orang untuk membuat tas dari sampah
plastic, begitu juga, kurang sekali yang mau ikut. Katanya samaji juga asal
natau orang kalau dari dangkoyang bikin tidak ada itu yang mau beli.
(Wawancara tanggal 13 Oktober 2012)
108
1.1.4. Sikap Ketergantungan
Dalam kesehariannya, tidak sedikit mantan penderita kusta terdorong untuk
mengharapkan belas kasihan orang lain ketimbang berusaha sendiri. Hal ini
diperburuk lagi oleh pandangan sebagian besar masyarakat yang mengidentikkan
mantan penderita kusta sebagai kelompok manusia yang berpenyakit kronis,
cacat, penuh luka dan miskin. Masyarakat memandang mereka sangat
membutuhkan pertolongan dan layak diberi bantuan . lambat laun memunculkan
mentalitas ereka sebagai peminta-minta, sekaligus menciptakan ketergantungan.
Penuturan Kadir;
Banyak teman-teman disini sudah tergantungmi sama bantuan, seolah-olah
tidak adami yang bisa dikerja selain mengharap bantuan, padahal
PERMATA sama YTLI sering buat pelatihan keterampilan tami memang
sudah malasmi berusaha. (Wawancara tanggal 13 Oktober 2012)
Penuturan Said;
Sebenarnya mereka bersikap seperti itu karena dari dulu selalu diberi
bantuan, jadi naanggap enakmi, tidak ada dikerja dapatki bantuan. Kalau
tidak ada bantuan pigimi meminta-minta. ”. (Wawancara tanggal 10 Oktober
2012)
1.1.5. Mampu Memperbaiki Dirinya
Pada dasarnya konsep diri mantan penderita kusta cenderung mengalami
perkembangan. Mantan penderita kusta berusaha memperbaiki diri agar
109
masyarakat dapat menerima mereka tanpa ada stigma dan diskriminasi lagi.
Penuturan Fatma;
Kalau mau jujur, sebenarnya orang di sini sudah sedikit berubah, tidak
seperti dulu, sensitif sekali. Biar tukang becak tidak sengaja meludah di
depan kompleks langsung di pukul sama warga di sini. Sekarang tidak
sepertimi dulu (Wawancara tanggal 24 oktober 2012)
1.2 . Pembentukan Konsep Diri Konsep Diri Mantan Penderita Kusta
Pembentukan konsep diri mantan penderita kusta didasarkan pada persepsi
yang ada pada diri (in self), persepsi dari luar (out self) mereka.
1.2.1 Pesepsi Dalam Diri (In Self)
Berkaitan dengan bagaimana mantan penderita kusta mempersepsi dalam
dirinya (in self) secara fisik. Seorang mantan penderita kusta yang sudah
menerima stereotipe penderita penyakit kutukan, penyakit keturunan, guna-
guna, dan sebagainya belum tentu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri
seperti penilaian orang lain tersebut. Secara fisik mantan penderita kusta
menyebut dirinya dengan sebutan yang beragam, Diantaranya selain menyebut
mantan penderita kusta atau eks kusta (Said, Andi, Kadir, Ari, dan Samsu)
Penyandang Cacat (Umar, Fatma, Ratna, dan Intang), serta Tau Kandala’ (Nur,
Samsu, dan Dg. Baco).
Apabila dibuat skala penilaian diri mantan penderita kusta dilihat dari
sebutan bagi mereka sendiri, maka sebutan tersebut memiliki nuansa konsep diri
110
dalam rentang yang netral (0) dan Negatif (-). Sebutan tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut;
Mantan Penderita Kusta atau Eks Kusta (0)
Mantan penderita kusta atau eks kusta memilki makna yang netral. Sebutan
mantan penderita kusta atau eks kusta menunjukkan orang yang pernah menderita
penyakit kusta. Berkonotasi netral karena menurut Said misalnya penyakit ini tidak
ada bedanya dengan penyakit lain,
“jadi kami menyebut diri kami sebagai mantan penderita kusta, atau orang yang pernah menderita penyakit kusta” (Wawancara tanggal 10 oktober 2012)
Kadir juga menyebut dirinya mantan penderita kusta;
Sebenarnya istilah eks kusta dipopulerkan pemerintah sama dinas sosial, supaya membedakan orang yang masih sakit sama yang sudah sembuh” (Wawancara tanggal 13 oktober 2012)
Orang Cacat atau Penyandang Cacat (0)
Penyandang cacat dalam kamus besar bahasa indonesia artinya sama
dengan penderita cacat, bagi sebagian informan menyebut dirinya dengan
penyandang cacat atau orang cacat untuk menggambarkan dirinya terkena cacat
akibat penyakit kusta Umar misalnya yang menyebut dirinya penyandang cacat
karena kakinya terpaksa diamputasi akibat penyakit kusta.
Walaupun selalu ada perdebatan tentang penyebutan terhadap orang-orang yang
menyandang kecacatan, sebagian kelompok menganggap bahwa penyandang
cacat berkonotasi negatif dan diganti dengan istilah diffabel yang merupakan
111
akronim dari different ability yang bermakna tapi informan menyebut dirinya
dengan penyandang cacat untuk menggambarkan dampak penyakit kusta
terhadap dirinya.
Walaupun sudah sembuh maki nak, maumi di apa terlanjur cacat maki, kata Umar (Wawancara tanggal 17 oktober 2012)
Tau Kandala’ (-)
Sebutan yang disampaikan Nur, Samsu dan Dg. Baco ini memiliki konotasi
negatif dalam status sosial masyarakat Bugis- Makassar. Walaupun jika dilihat dari
makna Tau Kandala’, Tau yang artinya orang dan Kandala’ artinya buntung. Akan
tetapi, karena citra diri seseorang yang disebut Tau Kandala’ dalam strusktur
masyarakat Bugis- Makassar sudah mengalammi streotipe untuk sebuah identitas
penderita kusta yang tidak punya penghasilan selain mengemis, penderita
penyakit menular dan berbahaya. Maka oleh karenanya Tau Kandala’ adalah
seorang yang memilki citra diri negatif. Nur misalnya menyebut dirinya dengan
Tau Kandala’ :
Biasa banyak orang disini marah kalau dibilangi kandala’ tapi kalau saya tidak apa-apaji, masa mauki marah ka kandala’ memangki. (Wawancara tanggal 18 oktober 2012)
1.2.2 Persepsi Di Luar Diri (Out Self)
Persepsi dalam diri (out self) berkaitan dengan bagaimana orang lain
menilai diri mantan penderita kusta atau lingkungan sosial mereka. Penilaian orang
112
lain tentang diri mantan penderita kusta cenderung dipengaruhi persepsi tentang
penyakit kusta .
Berdasarkan wawancara dengan informan, ditemukan beberapa persepsi
masyarakat yang berbeda tentang penyakit kusta. Dari 12 informan, 3 diantaranya
mengaku bahwa persepsi masyarakat tentang penyakit kusta adalah sebuah
kutukan. Ketiga informan tersebut antara lain; Dg. Baco, Salim, dan Ratna.
Dg. Baco menuturkan;
Orang makassar bilang penyakit kusta itu karena kutukan
(Wawancara Tanggal 10 Oktober 2012)
Selain kusta sebagai sebuah kutukan, sebanyak 2 informan yakni Nur, dan
Fatma yang mengatakan bahwa persepsi masyarakat tentang penyakit kusta
adalah penyakit keturunan, 2 informan mengaku bahwa persepsi masyrakat
tentang kusta akibat guna- guna antara lain Andi, dan Ari. Walaupun pada
awalanya orang tua Ari menyadari bahwa anaknya menderita penyakit kusta dan
sempat melakukan pengobatan medis, namun karena keterbatasan informasi
akhirnya persepsi tentang penyakit kusta pun berubah dari hanya sekedar penyakit
kulit biasa berubah menjadi guna- guna, Ari menuturkan;
“Sitojenna pammulangku garring, tau toaku na erangga mange riballa
garring, nasaba’ kurangna impormasi, nampa kampongku poeng bella bantu
ri balla’ garring jari lampa ka ri sanroa. Nakana sanroa ni patabaiko anne
nasaba papisa’ringku tena na sannang, tasinampe bambang siampe’na
dinging”
(Sebenarnya waktu pertama sakit, orang tua membawa saya ke
puskesmas, namun karena terbatasnya informasi, serta kampung saya
113
terpencil makanya saya pindah berobat kedukun. Oleh dukun saya sakit
akibat guna-guna karena soalnya, perasaanku tidak pernah tenang,
sebentar panas tinggi, sebentar mendadak menggigil kedinginan)
(Wawancara tanggal 12 Oktober 2012)
Sementara 2 informan, Kadir dan Umar mengaku bahwa persepsi
masyarakat tentang penyakit kusta adalah penyakit menular yang berbahaya.
Serta masing- masing 1 orang informan yang menganggap bahwa persepsi
masyarakat tentang penyakit kusta antara lain; penyakit yang tidak bisa
disembuhkan, anak dari hasil hubungan orang tua saat haid, dan alergi, serta
cobaan tuhan Said mengungkapkan;
Wah tidak ada itu nak, kalau berobat di dukun sesuai pengalaman saya, tidak ada sejarahnya penyakit kusta bisa disembuhkan oleh dukun, dan kalau berobat di rumah sakit pun begitu, karena kusta itu penyakit yang tidak ada obatnya” kenang AS menirukan kata-kata orang tuanya. (Wawancara tanggal 10 Oktober 2012)
Lain halnya penuturan Samsu;
Dukun yang obatika bilang anak kusta itu adalah anak yang lahir dari hubungan waktu haid orang tuanya, jadi obatnya dimandikan dengan darah haid ibunya” (Wawancara tanggal 20 Oktober 2012)
Sementara penuturan Intang;
Pergika acara makan ikan di rumahnya temanku, kebetulan ikan massafi yang dimakan (Sejenis belut) baru di keluargaku saya tidak ada yang makan ikan begitu, biar asap-asapnya ji nakena kalau bakar ikan orang na gatal-gatalmi na rasa. Itu mi nakira keluargaku alergika. (Wawancara tanggal 15 oktober 2012
Umar beranggapan bahwa penyakit kusta adalah cobaan dari Tuhan serta
nasib yang harus diterimanya, karena ia sudah berusaha melakukan pengobatan
dukun dan Puskesmas sehingga ia merasa bahwa usahanya sudah cukup, jadi
114
bila penyakitnya tidak sembuh dia beranggapan bahwa itu semua adalah nasib
yang harus diterimanya.
“Menurut saya, kalau orang kena satu penyakit karena nasib masing-masing manusia itu berbeda-beda. Nasib saya dengan orang lain kan berbeda-beda. Saya kena penyakit ini juga karena nasib trus ada orang yang kena penyait umpamanya TBC atau tumor ka itu kan karena nasib. Karena nasib juga saya bisa sembuh walaupun cacatma” (Wawancara tanggal 17 Oktober 2012)
Secara skematik pembentukan konsep diri mantan penderita kusta dapat
digambarkan seperti berikut;
Gambar 6. Pembentukan Konsep Diri Mantan Penderita Kusta
2. Pengungkapan Diri Mantan Penderita Kusta
Sebagian masyarakat merasa bahwa orang lain tidak perlu mengetahui latar
belakang siapa dirinya, atau dengan kata lain individu tersebut tidak perlu
melakukan pengungkapan diri agar orang lain mengetahui siapa dirinya, namun
ada sebagian masyarakat merasa perlu untuk melakukan pengungkapan diri agar
Persepsi Dalam Diri (In Self)
Tau Kandala’
Mantan Penderita Kusta
Penyandang Cacat
Persepsi Di Luar Diri (Out Self)
Kutukan
Keturunan
Guna-Guna
Penyakit yang tidak bisa Sembuh
Penyakit menular
Orang tua berhubungan sangat haid
KONSEP DIRI MANTAN
PENDERITA KUSTA
115
dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Seperti juga dengan mantan penderita kusta yang ingin mengungkapkan dirinya di
masyarakat, mantan penderita kusta cenderung memiliki rasa rendah diri yang
besar dikarenakan persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta
Masyarakat sendiri sulit untuk menerima mantan penderita kusta,
dikarenakan adanya sikap kewaspadaan masyarakat yang berlebihan terhadap
mantan penderita kusta. Adanya stigma yang menganggap penyakit kusta
penyakit kutukan serta penyakit menular membuat mantan penderita kesulitan
untuk berinteraksi dengan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Meri;
Waktuku mau menikah, datang om nya Sultan untuk melamar, awalnya
sudah disetuji mi sama orang tua, tapi belakangan natau keluarga bilang
bapaknya penderita kusta maumi dibatalkan lamaran, pusingma. Jadi
pergima sama Tuan Guru tanyakan, na kasija selebaran nya PERMATA,
pulang di rumah saya kasih orang tua suruh baca ki, 3 hari baru ada
keputusannya orang tua. Nabilang suruhmi Sultan cetak undangan. Jadi jaki
menikah. (Wawancara tanggal 6 November 2012)
Hal serupa juga dialami Desi, yang juga menantu mantan penderita kusta, dalam
proses wawancara Meri dan Desi sedang duduk berdua di depan warung di
kompleks pemukiman kusta Jongaya, Penuturan Desi;
Sama ja itu Meri, pas natau keluarga bilang begitu, marah sekali orang tua,
nabilang kenapa bisa kenal sama orang kaya begitu. Lama saya jelaskan
baru bisa naterima, datang pi juga AR lamarkan Bahar baru naterima,
sekarang tidak ada ji masalah orang tua dan keluarga sama orang di sini.
(Wawancara tanggal 6 november 2012)
Dengan pengungkapan diri, masyarakat akan lebih mengetahui bagaimana
sebenarnya penyakit kusta, serta sisi yang lebih baik dari seorang mantan
116
penderita kusta, bahwa mantan penderita kusta adalah seorang yang pernah
menderita penyakit kusta yang mempunyai hak yang sama untuk hidup di
lingkungan masyarakat. Seperti penuturan Doddy berikut;
Masyarakat masih kurang mendapat informasi tentang kusta sehingga
muncul stigma dan muncul diskriminasi terhadap mantan penderita kusta.
Yang benar, Kusta bukan penyakit kutukan dan juga turunan. Kusta bisa
sembuh dengan obat MDT (Wawancara tanggal 9 november 2012)
Hal senada di ungkapkan Husnul;
Kita memiliki peringatan Hari Kusta Sedunia setiap tahun, sebagai
momentum peningkatan pemahaman masyarakat. Harusnya yang dipahami
bahwa mantan penderita kusta punya sejarah yang panjang bagaimana
mereka diperlakukan masyarakat, kalau kita tahu kita tidak akan melakukan
diskriminasi terhadap mereka (Wawancara tanggal 2 november 2012)
Dari uraian di atas penulis melihat bahwa mantan penderita kusta ingin
berinteraksi dengan masyarakat dengan cara melakukan pengungkapkan diri agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Berinteraksi kembali dengan
masyarakat, sama juga dengan berhubungan dengan orang lain. Dengan
pengungkapan diri masyarakat bisa mengetahui siapa dirinya, dan dengan
pengungkapan diri juga, mantan penderita kusta dapat berinteraksi kembali
dengan masyarakat tanpa adanya rasa malu.
2.1. Komponen Pengungkapan Diri
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti menyimpulkan
pengungkapan diri pada mantan narapidana dapat dilihat dari komponen-
komponen pengungkapan diri, diantaranya:
117
2.1.1 Jumlah informasi yang diungkapkan.
Berdasarkan jumlah informasi yang diungkap, mantan penderita kusta
cenderung memiliki keterbukaan diri yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari sikap
mereka yang menginformasikan tentang penyakit kusta sekaligus pengalaman
masa lalu sewaktu masih menderita kusta. Seperti yang penuturan Maradona
berikut;
Mereka (Mantan penderita kusta) kalau di tanya bagaimana penyakit kusta
atau di suruh cerita pengalamannya, nacerita semua itu, tidak ada yang
natutup- tutupi, saya masih pertama ka ketemu AR (Informan Penelitian)
selesai maparkir, cerita tentang pengalamannya waktu masih sakit, na tidak
dirasa magrib mi lagi. (Wawancara tanggal 7 november 2012)
Hal senada di ungkapkan Jufri dan Rinto,
Orang disini tidak pilih-pilih ji, siapa yang datang ajak cerita naladeni ji
semua, tapi tidak banyak ji juga orang datang ajak cerita, biasanya nataupi
kalau penyakit kusta tidak berbahaya baru datang.(Wawancara tanggal 10
november 2012)
Penuturan Doddy;
Apabila mereka (Mantan penderita kusta) ditanya tentang bagaimana kusta,
atau bagaimana pengalamannya sewaktu menderita kusta, pasti akan
dengan senang hati menjawab. Tidak hanya penderita kusta di Jongaya,
berdasarkan pengalaman saya, setiap ada kegiatan YTLI yang
mempertemukan mantan penderita kusta se- Indonesia, biasanya mereka
cenderung terbuka untuk menginformasikan sesuatu (Wawancara tanggal 9
november 2012)
Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada mantan penderita kusta, Andi
mengungkapkan;
118
Kita sebagai orang yang pernah sakit kusta, kalau tertutupki sama
masyarakat, akan tambah besar pandangan negatifnya sama kita, jadi
memang harus lebih aktifki untuk menceritakan informasi yang mereka
butuhkan supaya bisa ki naterima masyarakat. (Wawancara tanggal 11
november 2012)
Penuturan Kadir;
Sekarang teman-teman ketika ditanya tentang penyakit kusta, semua akan
aktif bercerita, mungkin bisami dilihat hasilnya. Dulu tidak ada sopir pete-
pete yang mau singgah ambil penumpang di sini, tapi sekarang
Alhamdulillah adami yang mau jemput teman-teman yang mau keluar
mengemis di Hasanuddin, biasanya pagi-pagi itu jam 7 adami datang
jemput, Cuma kalau siang-siang mereka biasa tidak mau karena bukan dari
sopirnya, penumpang yang lain biasa tidak mau. Tapi tetap harus disukuri
karena tidak sama seperti dulu. (Wawancara tanggal 11 november 2012)
2.1.2. Kedalaman Pengungkapan Diri
Komponen yang kedua ialah kedalaman pengungkapan diri. Dari
kedalaman pengungkapan diri, dapat diketahui bahwa mantan penderita kusta
melakukan pengungkapkan diri secara mendalam kepada keluarga ataupun
individu yang sangat dekat dengan mantan penderita. Penuturan Adam;
Saya bisa lihat perbedaaannya, bapak ku kalau cerita pengalamannya
sama orang lain biasa- biasaji, tapi kalau cerita sama keluarga biasa sedih
sekali dilihat, karena ada pengalamannya Cuma keluargaji yang tau, tidak
enak na tau orang lain (Wawancara tanggal 30 oktober 2012)
Penuturan Husnul;
Biasanya pengalaman yang berhubungan dengan keluarga, perlakuan
buruk keluarga terhadap mantan penderita, biasa tidak diceritakan mereka
(Mantan penderita kusta) kecuali kalau kita sudah dekat dengan mantan
119
penderita, seolah kita sudah menjadi bagian dari keluarga, maka cerita itu
tersebut akan diungkapkannya. (Wawancara tanggal 2 november 2012)
Tidak semua informasi diungkapkan oleh mantan penderita, ada informasi
yang hanya keluarga atau individu yang sudah sangat dekat dengan mantan
penderita kusta. Informasi yang tentang perlakuan buruk keluarga terhadap
mantan penderita tidak diungkapkan kepada orang lain.
2.1.3. Waktu Pengungkapan Diri
Komponen yang ketiga adalah waktu pengungkapan diri. Berdasarkan
waktu pengungkapan diri dapat diketahui, mantan penderita kusta mampu melihat
kondisi dan waktu yang tepat tentang kapan dirinya harus bercerita atau
melakukan pengungkapan diri. Hal ini seperti yang diungkapkan Suster Serli;
Semua penderita yang datang dikelompok sadar diri, biasanya untuk
berkomunikasi, awalnya mereka tidak banyak bicara, kebanyakan diam,
itupun bicara kalau saya tanya, tapi bagi sesama mantan penderita mereka
sangat terbuka begitu juga sama orang yang sudah diakrabi, tapi lama
kelamaan saya mengelola kelompok sadar diri, mereka akhirnya tidak
canggung lagi sama saya. (Wawancara tanggal17 november 2012)
Hal serupa diungkapkan Husnul;
Awalnya saya masuk di sini Tahun 2000, saat itu tidak ada mantan
penderita yang saya akrab betul, saya langsung menghadap tuan guru
untuk menjelaskan maksud kedatangan saya, saat itu saya masih
mahasiswa mau membuat acara buka puasa bersama di Kompleks, tapi
120
lama kelamaan seiring perkembangan waktu, saya bisa akrab dengan,
mereka sampai sekarang. (Wawancara tanggal 2 november 2012)
Komponen waktu pengungkapan diri seperi yang diungkapkan informan
tersebut diatas sama seperti yang diungkapkan Menurut Powell dalam Suranto
(2011; 68). Bahwa ada beberapa tingkatan dalam pengungkapan diri, dari
pengungkapan yang bersifat basa- basi hingga hubungan puncak.
Begitu halnya dengan mantan penderita kusta, hubungan dapat dicapai
dengan diawali basa- basi terlebih dahulu.
2.1.4. Sifat Pengungkapan Diri
Komponen keempat dalam pengungkapan diri adalah sifat. Pada komponen
sifat dari pengungkapan diri, mantan penderita kusta mengungkapkan bagian
negatif dan juga positif yang ada pada dirinya. Pernyataan Adam berikut ini;
Kalau mau ditau sifat baik atau buruknya, orang di sini tidak ada yang bilang
secara langsung, Cuma kita ji sendiri yang simpulkan bagus atau jelek
sifatnya. Contohnya pace ku, tidak pernah nacerita kalau dia itu begini atau
begitu, ituji kalau na nasehati ki, misalnya nasuruhka baik-baik kuliahku,
atau nalarangka begadang sampai tengah malam sama anak-anak
kompleks sini. Ituji selebihnya itu tidak ada. (Wawancara tanggal 30 oktober
2012).
Hal senada diungkapkan Iwan;
Biasanya Cuma sama orang-orang yang sudah akrab sekalipi paki sama
orang disini baru nabilang itu bagaimana sikapnya. Misalnya sama tuang
guru, dia sering nasehati orang yang sudah akrab sama dia, pernah juga
nabilang kalau dia itu orangnya tegas dan keras kalau ada salah-salahta
sedikit, marah-marah itu, tapi kalau sama orang baru na akrabi tidak pernah
121
nacerita baik atau buruknya, orangji yang simpulkan. (Wawancara tanggal
30 oktober 2012).
Hal yang dilakukan mantan penderita kusta tersebut tidak lebih dari kesan
yang ingin ditampilkan kepada orang lain, adanya sikap yang cenderung tertutup,
tidak mudah akrab sama orang baru mempengaruhi sikap mantan penderita untuk
tidak terlaluterbuka dengan orang yang baru dikenal, hal sebaliknya apabila
hubungan tersebut telah mencapai taraf hubungan puncak, sifat pengungkapan diri
positif atau negatif akan diketahui.
2.1.5. Lawan Bicara
Komponen kelima adalah lawan bicara bicara. Pengungkapan diri biasanya
dilakukan dengan orang lain yang dirasakan dekat atau dapat dipercaya, hal ini
dapat dilakukan dengan orang tua, suami, istri, atau teman. Biasanya
pengungkapan diri akan dilakukan oleh orang-orang yang dirasa akan mendukung
dirinya. Mantan penderita kusta cenderung tertutup terhadap orang yang memilki
persepsi buruk terhadap penyakit kusta, dan jauh lebih terbuka kepada orang yang
menganggap penyakit kusta sama seperti penyakit lainnya.
2.2 Bentuk Pengungkapan Diri Mantan Penderita Kusta
Mengapa mantan penderita kusta perlu memberitahu orang lain tentang
dirinya sendiri? Untuk menjawab hal tersebut, maka harus dilihat sebagai suatu
siklus yang melibatkan tiga hal yaitu pengungkapan diri, hubungan persahabatan
122
dan penerimaan terhadap diri sendiri.
Gambar 8. Bentuk Pengungkapan Diri Mantan Penderita Kusta
Pada dasarnya mantan penderita kusta akan melakukan pengungkapan
diri apabila dia dapat menerima diri sendiri. Penerimaan diri adalah sikap mantan
penderita kusta yang menghilangkan pandangan negatif pada dirinya seperti
merasa tidak mampu, lemah, serta harga diri rendah.
Fase selanjutnya adalah melakukan pengungkapan diri. mengungkapkan
perasaan dan berbagi pengalaman maka akan dapat semakin mempererat
hubungan persahabatan.
Dengan adanya berbagai masukan dari orang lain, rasa aman yang tinggi,
dan penerimaan terhadap diri, maka mantan penderita kusta akan dapat melihat
Pengungkapan Diri
Hubungan Persahabatan
Penerimaan Diri
123
diri sendiri secara lebih mendalam dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan
hidup.
Penuturan Ust. Abustan;
Sebenarnya dulu waktu awal-awalnya saya masuk di sini, lain-lain kurasa.
Tapi setelah lama-lama, banyak mi juga orang yang saya akrab tidak
adami masalah sama mereka. Kalau waktu pertama kali sebenarnya saya
ji yang membuka diri lebih dulu. Saya cerita latar belakangku. Pengalaman
hidupku. (Wawancara tanggal 30 oktober 2012).
Penuturan Suster Serli;
Mantan penderita kusta itu punya karakter yang beda-beda, biasanya yang
ikut kelompok perawatan diri itu orangnya terbuka semua. Tapi ada juga
orang yang terlalu tertutup. Selalu pasrah sama hidupnya, orang seperti itu
susah untuk didekati. Selalu merasa dirinya tidak layakni bergaul sama
masyarakat. (Wawancara tanggal17 november 2012)
Penuturan Iwan;
Awalnya saya akrab dengan mantan penderita kusta dari anaknya.
Lama-lama saya datang dirumahnya, mereka sudah mulai dekat sama
saya. Biasa juga kalau ada nasuruhkanka cepatka kerjai, biasa juga kalau
lebaran atau lagi sembahyang kebetulan salamanka biasa cium tanganka.
Tapi tidak semua juga orang kaya begitu. Ada juga yang kaya malu-malu
sama kita. Selalu merasa pasrah, kaya tidak adami harapannya.
(Wawancara tanggal 30 oktober 2012).
Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada mantan penderita kusta, beragam
komentar dari mereka, antara lain; Kadir;
Sebenarnya kalau ditanya bagaimana kita lihat diri ta mungkin beda-beda
itu orang jawabki. Tapi saya secara pribadi masih belajar untuk terima
keadaan. Siapa yang mau disalahkan. (Wawancara tanggal 30 oktober
2012).
124
Andi;
Kalau mau saya kasi gambaran, orang disini itu haruski juga hati-hati.
Karena ada juga itu orang di sini yang tidak mau sekali bergaul. Malu bede
ka kandalami. Jangan memangmi ditanya ka diam-diamji itu orangnya.
Pasrahmi sama hidupnya. (Wawancara tanggal 30 oktober 2012).
2.3 Manfaat Pengungkapan Diri
Menurut pengakuan mantan penderita kusta, banyak manfaat yang
diperoleh dengan melakukan pengungkapan diri, antara lain
2.3.1. Meningkatkan kesadaran diri
Dalam proses pemberian informasi kepada orang lain, mantan penderita
kusta akan lebih jelas dalam menilai kebutuhan, perasaan, dan hal psikologis
dalam dirinya. Selain itu, orang lain akan membantu mantan penderita kusta dalam
memahami diri sendiri, melalui berbagai masukan yang diberikan, terutama jika hal
itu dilakukan dengan penuh empati dan jujur.
Penuturan Said;
Susah juga kalau tidak ada cerita-cerita sama tetangga atau orang lain.
Tidak ditaumi itu apa maunya orang sama kita, bagaimana perasaannya. (
Wawancara Tanggal 14 Oktober 2012)
Penuturan Andi;
Sejak saya bergabung di PERMATA, banyak masukan saya terima.
Bagaimana kita perbaiki kualitas hidup. (Wawancara tanggal 10 oktober
2012)
125
2.3.2 Membangun Hubungan yang Lebih dekat dan Mendalam
Keterbukaan merupakan suatu hubungan timbal balik, penurut pengakuan
mantan penderita kusta, semakin mereka terbuka pada orang lain maka orang lain
akan berbuat hal yang sama. Dari keterbukaan tersebut maka akan timbul
kepercayaan dari kedua pihak sehingga akhirnya akan terjalin hubungan
persahabatan yang sejati.
Penuturan Kadir;
Sebenarnya dari kita ji juga, kalau baik ki sama orang, baik juga mereka
sama kita. Cuma pikirinnya biasa teman-teman disini di kira semua orang
sama pandangannya terhadap kusta, padahal tidak ji juga. (Wawancara
tanggal 13 Oktober 2012).
Penuturan Fatma;
Pernah suatu kali ada orang heranka liat. Awalnya tidak percayaka kalau
tidak natau kalau pernahka sakit kusta. Karena kalau lagi cuci mobilka,
saya pake kaos tangan. Ternyata natauji kalau pernahka sakit kusta.
Ternyata semakin banyak yang ditemani cerita, semakin bagus ki. Bagus
juga sama dirita. (Wawancara tanggal 24 oktober 2012)
2.3.3. Mengembangkan Keterampilan Berkomunikasi
Memungkinkan mantan penderita kusta untuk menginformasikan suatu hal
kepada orang lain secara jelas dan lengkap tentang bagaimana ia memandang
suatu situasi, bagaimana perasaannya tentang hal tersebut, apa yang terjadi, dan
apa yang diharapkan.
Penuturan Kadir;
126
Saya ini orang kampung, tidak ada sekolahku. Bisa saya bayangkan kalau
tidak gabung di PERMATA , tidak bisaka kenal banyak orang. Semakin
terlatihma juga untuk bicara di depan orang banyak. (Wawancara tanggal 13
Oktober 2012).
2.3.4. Mengurangi rasa malu dan meningkatkan penerimaan diri
Jika orang lain dapat menerima mantan penderita kusta maka
kemungkinan besar kita pun dapat menerima diri kita sendiri. Ungkapan tersebut
menjadi semacam motivasi tersendiri bagi mantan penderita kusta untuk tidak
malu melakukan pengungkapan diri.
Penuturan Ratna;
Sakit kusta itu masa lalu, jadi kita tidak usah terlalu pikir ki. Na masih
banyak ji juga orang yang mau terima ki. Masa kita tidak bisa terima
keadaanta. Kalau saya tidak malu-malu ja. (Wawancara tanggal 23 Oktober
2012)
127
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dapat dikemukakan beberapa
hal sebagai berikut;
1. Konsep diri mantan penderita kusta antara lain; Mengutamakan materi, kurang
peduli terhadap kesehatan, takut memulai sesuatu, memiliki sikap
ketergantungan terhadap orang lain, serta memiliki kemampuan untuk
memperbaiki dirinya. Dimensi konsep diri mantan penderita kusta mencakup
dua hal, antara lain; pertama, persepsi dalam dirinya (in self) berkaitan dengan
bagaimana mantan penderita kusta mempersepsi dirinya secara fisik. Kedua,
persepsi di luar dirinya (out self) berkaitan dengan bagaimana orang lain
menilai diri mantan penderita kusta.
2. Pola pembentukan konsep diri mantan penderita kusta mencakup dua hal
antara lain; secara in self merupakan persepsi yang dirasakan atau dialami
oleh mantan penderita kusta yang bersumber dari dalam diri. Serta secara out
self merupakan persepsi diri yang dirasakan mantan penderita kusta yang
berasal dari luar diri.
3. Pengungkapan diri mantan penderita kusta terdiri dari beberapa komponen
antara lain; Pertama, berdasarkan jumlah informasi yang diungkapkan. Kedua,
128
kedalaman pengungkapan diri. Ketiga, waktu pengungkapan diri. Keempat,
sifat pengungkapan diri. Dan yang terakhir lawan bicara dalam pengungkapan
diri. Bentuk pengungkapan diri yang dilakukan oleh mantan penderita kusta
membentuk sebuah siklus dari penerimaan diri, hubungan persahabatan
hingga akhirnya melakukan pengungkapan diri.
H. Saran
Untuk melengkapi hasil penelitian ini, perlu diajukan beberapa saran atau
rekomendasi;
1. Jika mantan penderita kusta dianggap salah satu bagian PMKS (penyandang
masalah kesejahteraan sosial), maka pembinaan menjadi bagian penting agar
keluar dari persoalan tersebut. Dibutuhkan kerjasama semua pihak agar
stigma dan diskriminasi terhadap mantan penderita kusta dapat dihapuskan.
2. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, mantan penderita kusta berhak
mendapat pelayanan kesehatan, pendidikan, pelatihan, pekerjaan, dan
sebagainya. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memudahkan mantan
penderita kusta untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama seperti
masyarakat lainnya.
3. Bentuk bantuan berupa konseling sangat penting bagi mantan penderita kusta
yang terlanjur memiliki pandangan negatif pada diri sendiri.
129
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. Dali. 2012. Penyakit Kusta; Sebuah Pendekatan Klinis. Brilian
Internasional, Jakarta.
Baco, Sanusi, dkk. 2011. Membaca Kusta dari Beragam Perspektif. Kusta dalam
tinjauan Agama dan Media. Zadahaniva Publishing, Surakarta
Basrowi dan Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan
Cendikia, Surabaya.
Birowo, Antonius. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Teori dan Aplikasi.
Gitanyali, Yogyakarta.
Budayatna, Muhammad dan Ganiem Leila Mona. 2011. Teori Komunikasi
Antarpribadi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Burhan, M Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
________________. 2006. Sosiologi Komunikasi. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
________________. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis
Ke arah Ragam Variasi Kontemporer. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Direktorat PP&PL DEPKES RI, 2007 Sejarah Pemberantasan Penyakit Di
Indonesia, Jakarta
Effendy, Onong Uchajana. 2004. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi Citra Aditya,
Bandung.
______________________. 2002. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Elvinarno dan Bambang. 2007. Filsafat Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media,
Bandung.
130
Herawati, Andi. 2007. Penyingkapan Diri (Self Disclosure) Anak Wanita Terhadap
Ayah Tiri. Skripsi.; Universitas Islam Makassar, Makassar
Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi; Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjajaran, Bandung.
Liliweri Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. LKIS, Yogyakarta.
___________. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Citra Aditya, Bandung.
Littlejohn, Stephen W dan Foss Karen A. 2009. Teori Komunikasi. Salemba
Humanika, Jakarta.
Nawir M dan Ilyas, Husnul Fahimah. 2011. Pengaluan Getir dari Sudut Yang
Pengap. Zadahaniva Publishing, Surakarta.
Mulyana, Deddy. 2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada yang Bisu, Galang Press, Yogyakarta.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. LKiS, Yogyakarta
Rahimsyah MB, dan Irsyadul Anam. 1999. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Mitra
Cendekia Surabaya
Rahmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2006. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
_____________________. 1999. Psikologi Sosial; Psikologi Kelompok dan
Terapan. Balai Pustaka, Jakarta
_____________________, dan Meinarno. 2011. Psikoogi Sosial. Salmeba
Humanika, Jakarta.
Surakhmat. 2006. Konsep Diri Dalam Atraksi Komunikasi Antarpribadi Lima
Pengader HMI Cabang Makassar (studi Kasus Komunikasi Antarpribadi).
Skripsi; Universitas Islam Makassar, Makassar.
131
Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Graha Ilmu, Yogyakarta
Suyono, Seno Joko. 2002. Tubuh Yang Rasis; Telaah Kritis Michael Foucault Atas
Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Tampubolon, Rotua Nuraini. 2008. Fenomena Komunikasi Homoseksual; Studi
Fenomenologis Komunikasi Verbal dan Nonverbal Kalsngan Gay
Terselubung di Kota Medan. Skripsi; UniversitasSumatera Utara, Medan.
Watson, Jean M. 1998. Tindakan Penting Untuk Mengurangi Resiko Kecacatan
pada Penderita Kusta. Dinas Kesehatan, Jakarta.
West, Richerd dan Turner, Lynn. 2008. Teori Komunikasi; Analisis dan Aplikasi.
Salemba Humanik, Jakarta
World Health Organization. 2011. Global Leprosy Situasion; Weekly
Epidemological Record 81.
132
CURICULUM VITAE
A. DATA PRIBADI
1. Nama : Muhammad Najmuddin
2. Tempat Tanggal Lahir : Sengkang, 14 Agustus 1986
3. Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan Km 9 No. 29
Makassar
4. Agama : Islam
5. Nama Orang Tua
Ayah : Muh. Jufri Ali
Ibu : Hadrawati Darwis
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Tamat SD tahun 1998 di SD As’ Adiyah 1 Pusat Sengkang
2. Tamat SLTP tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Sengkang
3. Tamat SMA tahun 2004 di SMA Negeri 1 Sengkang
4. Sarjana (S1) tahun 2009 di Universitas Islam Makassar
C. PEKERJAAN
Yayasan Citra Mantan Penderita Kusta – Jongaya
LAKPESDAM NU Sulawesi Selatan
D. KARYA ILMIAH YANG TELAH DIPUBLIKASIKAN
Konsep Diri Mantan Penderita Kusta Melalui Komunikasi Antarpribadi