Post on 05-Nov-2021
1
Konferensi internasional feminisme: Persilangan identitas, agensi dan PolitiK(20 tahun Jurnal PeremPuan)
PROSIDING
international ConferenCe on feminism: interseCting identities, agenCy & PolitiCs(20 years Jurnal PeremPuan)
PROCEEDING OF
AgAmA dAn Feminisme
2
Konferensi Internasional Feminisme: Persilangan Identitas, Agensi dan Politik(20 Tahun Jurnal Perempuan)
© Jurnal Perempuan, 2016
2655 hlm, 14,8 x 21 cm
ISBN 978-602-6789-33-4
Prosiding ini diterbitkan olehYayasan Jurnal Perempuan, Jakarta
3
Kata Pengantar
Selamat datang di acara Konferensi Internasional tentang
Feminisme, pertama diadakan di Indonesia yang membahas
secara khusus feminisme dari berbagai bidang. Konferensi ini
dalam rangka memperingati 20 tahun Jurnal Perempuan yang
pertama kali terbit pada tahun 1996. Sejak itu, Jurnal Perempuan
sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia telah membahas
secara konsisten ide-ide feminisme baik dalam ranah lokal
maupun global.
Perjalanan ide feminisme di Indonesia merupakan
perjalanan yang terjal. Awal ide feminisme bisa dikatakan
dibangun pada Kongres Ibu pertama di Yogyakarta pada tahun
1928 yang mebahas isu-isu penting pada masa itu, yaitu, isu
pendidikan dan perempuan. Selanjutnya, ide-ide feminisme
terus berlanjut setelah Indonesia merdeka pada tingkat akar
rumput yang secara gigih dipelopori oleh Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia) di tahun 1950-an. Setelah masa kepemimpinan
presiden Sukarno, gerakan perempuan memasuki masa kelam
di era presiden Suharto, yakni, dikooptasi dan didominasi oleh
negara. Baru pada masa Reformasi ide-ide feminisme tumbuh
subur dengan adanya demokrasi. Namun, pintu demokrasi
yang terbuka lebar mengundang berbagai kelompok seperti
kelompok agama konservatif yang juga menerabas masuk.
Dengan demikian, tantangan perempuan Indonesia semakin
besar memasuki abad ke-21. Meskipun demikian, wacana
kesetaraan dan keadilan untuk perempuan telah diterima luas
di berbagai daerah dan kesolidan gerakan perempuan tampak
menguat baik di pemerintahan, parlemen, LSM, akademisi dan
AgAmA dAn Feminisme
4
profesional serta tokoh/organisasi berhaluan feminis Islam. Oleh
sebab itu, kami tetap optimis akan masa depan feminisme di
Indonesia.
Konferensi ini mencerminkan optimisme tersebut. Makalah
yang masuk ke panitia konferensi berjumlah 102 dan terseleksi
sebanyak 62 makalah. Pemakalah dan peserta datang dari
berbagai daerah seperti Aceh hingga Papua kecuali Maluku.
Peserta dari luar negeri terwakili oleh Thailand, Amerika,
Australia, Hong Kong, Filipina, Belanda, Jerman dan Malaysia.
Peserta yang aktif berpartisipasi dalam konferensi ini juga
beragam dari LSM, pemerintahan, akademisi, guru, profesional,
pengusaha dan ibu rumah tangga.
Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada
ketua panitia konferensi, Sdr. Naufaludin Ismail beserta staff
YJP, mantan staff YJP, SJP dan para voluntir yang terdiri dari
mahasiswa, dosen dan umum. Demikian pula kepada Dewan
Pembina, Dewan Redaksi dan mitra-mitra YJP yang berkontribusi
pada acara ini. Terkhusus, terima kasih sedalamnya untuk Ford
Foundation, MAMPU dan ARROW yang telah mendanai dan
mendukung acara konferensi ini.
Gadis AriviaPendiri dan Acting Director YJP
5
Preface
Welcome to the International Conference on Feminism,
organized for the first time in Indonesia discussing specifically
feminism from various perspectives. This conference is held to
commemorate the 20th Anniversary of Jurnal Perempuan whose
first edition was released in 1996. Since then, as the first feminist
journal in Indonesia, Jurnal Perempuan has been consistently
discussing feminism ideas, in local and global sphere.
The journey of feminism idea in Indonesia must pass a
difficult road. It can be said, that the initial idea was established
at the first Woman Congress in Yogyakarta in 1928 discussing
important issues, including education and women. Furthermore,
the feminism ideas continued after Indonesia proclaimed its
independence in the grassroots level pioneered by Gerwani
(Indonesian Women Movement) in 1950s.
Post-Suharto leadership, women movement entered its
dark era in the new order era presided by the then President,
as it was co-opted and dominated by the state. Than it came
the Reform era when feminism idea grew thank to democracy.
However, the door for democracy opened widely invaded also
by other groups, one of which was the conservative religious
groups.
With that, the challenge faced by Indonesian women
became bigger when entering the 21st century. Even though so,
the discourse about equality and justice for women had been
widely accepted in many regions and the women solidarity
movement seemed to strengthen either in the government
level, parliament, NGO, academicians and professionals as well
AgAmA dAn Feminisme
6
as Islam-minded feminist organizations and figures. That is why
we are still optimistic about the future of feminism in Indonesia.
The conference reflects the optimism. The organizing
committee receives 102 papers and selects 62. The presenters
and participants come from various regions, such as Aceh and
even Papua, with Maluku province as an exception. Foreign
participants are also present in this seminar from Thailand,
the United States, Australia, Hong Kong, Philippines, Holland,
Germany and Malaysia. They come from diverse background such
as NGO, government, academic, teacher, student, professional,
businessmen and housewives.
I would like to thank the head of the conference organizing
committee, Naufaludin Ismail and all YJP staffs, former YJP staffs,
SJP and volunteers, including university students, lecturers and
general public. I would like also to express my sincere gratitude
to the Board of Steering Committee, Boar of Editor and YJP’s
partners that contribute to this event.
Special thanks to the Ford Foundation, MAMPU and ARROW
who fund and support this conference.
Gadis AriviaFounder and Acting Director of YJP
7
daftar isi
AGAMA DAN FEMINISME
Islamic Feminist Reading on the Qur’an: A Comparative Study on Amina Wadud’s and Mohammed Talbi’s Interpretation of Q. 4:34 Afifur Rochman Sya’rani --23
Membaca Kontruksi Seksualitas: Sebuah Kajian Represi Mahasiswi Santri Terhadap FilmPerempuan Punya CeritaBruce Dame Laoera --52
Komodifikasi Filantropi Lokal Islam dan Eksploitasi Perempuan di Ruang Publik: Perempuan Pemungut Sumbangan Keagamaan di Jalan RayaJajang A Rohmana --93
Rekonstruksi Citra Perempuan dalam Alkitab pada Kumpulan Puisi Perempuan yang Dihapus Namanya Karya Avianti ArmandLanggeng Prima Anggradinata --123
Allah sebagai Kekasih: Narasi Perempuan Pedhotanakan Allah di Gunung KemukusOleh Mutiara Andalas --154
“Ombak Panggil Ombak” Pandangan Feminis Protestan Indonesia mengenai Pergulatan Agama, Tradisi dan Perubahan Sosial MasyarakatNancy Novitra Souisa --171
AgAmA dAn Feminisme
8
Membebaskan Allah Dari Belenggu Patriarki(Sebuah Analisis Kritis Feminis Kristen Terhadap Konsep Allah Dalam Alkitab Perjanjian Lama)Suryaningsi Mila --198
BURUH DAN PEKERJAAN
Dualisme Peran Gender dalam Keluarga Buruh Migran IndonesiaAnggaunitakiranantika --226
Paradoks & Marginalisasi Home-Workers di Industri Berbasis “Putting-Out” System (Studi Kasus Jawa Tengah)Arianti Ina R. Hunga dan Tundjung Mahatma --243
Menggali Potensi Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia: Kisah Paguyuban SeruniElisabeth Dewi dan Sylvia Yazid --276
Makna Kemandirian Pada Pekerja Lansia Perempuan di BaliMade Diah Lestari, Ni Putu Natalya, Ratna Dewi Santosa, Ni Putu Eka Yulias Puspitasari, Olvi Aldina Perry --310
Dilema Perempuan Buruh Migran dalam Peran Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga Pinky Saptandari --334
Perempuan Dimensional: Tentang Ekonomi-Politik Perempuan Pesisir MuncarRizalatul Islamiyah --360
9
Kehidupan Perempuan di Perkebunan Teh, Sebuah Kajian EkofenismeRoro Retno Wulan --384
Etika Fashion: Langkah Kritis Menghadapi Efek Ekploitasi Kapitalistik IndustrialSafina Maulida --406
Pengaruh Bias Gender pada Karakteristik Wirausaha terhadap Kinerja BisnisYusalina, Anita Primaswari Widhiani, Chairani Putri Pratiwi --421
FEMINISME LOKAL, GLOBAL DAN TRANSNASIONAL
Dampak dan Makna Resistensi Perempuan Balipada Sektor Industri Kreatif di Desa Paksebali, Kabupaten Klungkung, BaliAnak Agung Istri Putera Widiastiti --448
Perempuan dan Pegunungan Kendeng: Ekofinisme dalam Gerakan Sosial Baru di IndonesiaOkie Fauzi Rachman --474
Kebertahanan Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran di Kota Salatiga (Kajian Psikoanalisa)Eunike Imaniar Yani Talise, Sutarto Wijono,Arianti Ina Hunga --511
Lingkar Tutur Perempuan: Women and the politics of memory in the aftermath of 1965 state violenceI Gusti Agung Ayu Ratih --538
310
Buruh dan Pekerjaan
MAKNA KEMANDIRIAN PADA PEKERJA LANSIA PEREMPUAN DI BALI
Made Diah Lestari, Ni Putu Natalya, Ratna Dewi Santosa, Ni Putu Eka Yulias Puspitasari,
Olvi Aldina PerryProgram Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayanamdlestari@unud.ac.id
ABSTRAKPerempuan mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam
Masyarakat Bali. Perempuan tidak hanya menjalankan fungsinya dalam peran ekspresif rumah tangga, namun juga mengambil peran yang bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak kemunculan pergerakan emansipasi perempuan di Bali pada tahun 1930, kehadiran perempuan mulai diakui dalam sektor pendidikan, sosial, dan perdagangan. Dewasa ini, jumlah perempuan di Bali yang bekerja mengalami peningkatan. Jumlah perempuan yang bekerja tidak hanya terbatas pada golongan usia produktif, namun juga perempuan lanjut usia (lansia). Bali adalah salah satu dari lima provinsi dengan jumlah lansia tertinggi di Indonesia. Tahun 2006 usia harapan hidup meningkat menjadi 70.5 tahun, melampui rata-rata usia harapan hidup nasional di angka 66.2 tahun. Lansia perempuan sebagian besar bekerja di sektor informal. Fakta ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat Bali, khususnya Denpasar tengah menuju pencanangan kota ramah lansia pada tahun 2030. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pemaknaan kemandirian pada pekerja lansia perempuan di Bali menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode constructive realism. Hasilnya memperlihatkan empat kategori utama yang terkait dengan makna bekerja perempuan lansia, yakni alasan tetap bekerja, sikap kerja, dan hal yang dirasakan ketika tetap bekerja serta ketika tidak bekerja. Desakan tanggung jawab kepada pasangan dan anak menjadi sub kategori utama dalam alasan bekerja perempuan lansia.
Kata kunci: lansia perempuan, pekerja, kemandirian, successful ageing
311
ABSTRACTIn Balinese Society, to be a woman is precious. Balinese
believes that women have a prestigious place in society. In patrilineal kinship system, women play expressive role and act like a partner of their husband in menyama braya activities. Nowdays, Balinese Women also play instrumental role through their career and occupation. Balinese women working class also consist of older women. Bali is one of the biggest five provinces in Indonesia with highest proportion of older people. Life expectancy was significantly increase to 70.5 years old in 2006. It was higher than national life expectancy rate in 66.2 years old. The fact is interesting to be examined because Bali, which is Denpasar will be a model of age friendly city in 2030. The aim of the study was finding the meaning of working in Balinese older women. The study used qualitative approach using constructive realism method. The result found that there were four categories which describe the meaning of working in Balinese Older Women. The categories were the working opportunities structures, working attitude, feeling in working time, and feeling during non working time. The responsibility to husband and family became main category which motivated older women still work in their late life.
Keywords: older women, working class, successful ageing.
PendahuluanKedudukan perempuan dalam Masyarakat Hindu
Bali dilandasi oleh Hukum Adat Bali yang sebagian besar
dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam Agama Hindu (Utari, 2006).
Posisi dan penghargaan terhadap kaum perempuan tercantum
dalam beberapa sloka di Kitab Suci Manawa Dharmasastra, yang
mewajibkan semua orang untuk menghormati perempuan.
Sebuah rumah tangga akan mengalami kehancuran jika
penghargaan terhadap perempuan dilanggar (Manawa
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
312
Buruh dan Pekerjaan
Dar ma sastra dalam Utari, 2006). Sistem kekeluargaan
patrilinealmembawa konsekuensi bagi peran dan kedudukan
Perempuan Bali di dalam keluarga. Peran Perempuan Bali dalam
lingkungan keluarga, masyarakat, dan bangsa.tercantum di
dalam Kitab Bhagawadgita Bab I Sloka 41 dan 42. Dalam Bab
tersebut dijelaskan bahwa perempuan menjadi tolok ukur
keberhasilan sebuah keluarga dan bangsa. Keruntuhan moral
seorang perempuan akan membawa keruntuhankeluarga dan
generasi selanjutnya (Bhagawadgita dalam Utari, 2006). Dalam
kenyataannya pada era sekarang ini, Perempuan Bali memiliki
peran dalam pengasuhan anak, menjadi role model bagi
generasi selanjutnya, dan menjadi sosok yang diperhitungkan
pemikirannya dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Uraian di atas mengukuhkan peran Perempuan Bali di dalam
tugas-tugas domestik dan pengasuhan. Dalam kehidupan sosial,
Perempuan Bali adalah mitra suami dalam kehidupan banjar
dan menyama braya. Perempuan Bali menjadi perpanjangan
tangan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat (Geertz
dalam Kurniawati, 2009). Masyarakat Bali tergolong masyarakat
kolektif yang mengandalkan kerjasama dan bantuan krama
banjar dalam penyelesaian tugas-tugas adat dan keagamaan
(Meniarta, Mas’udi, & Dwipayana, 2009). Dalam konteks ini,
Perempuan Bali memegang peranan penting untuk mengabdi
pada banjar dan adat.
Sejak kemunculan pergerakan emansipasi perempuan di
Bali pada tahun 1930, kehadiran perempuan mulai diakui dalam
sektor pendidikan, sosial, dan perdagangan. Dewasa ini, jumlah
angkatan kerja perempuan di Bali mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Jumlah angkatan kerja perempuan tertinggi
berada di Kota Denpasar dengan jumlah 189.782 orang, diikuti
313
dengan Kabupaten Buleleng dengan jumlah 157.859 orang,
Kabupaten Badung dengan jumlah 133.463 orang, dan sejumlah
118.762 orang di Kabupaten Gianyar (Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Bali, 2011). Secara umum, memasuki dunia kerja menjadi
sebuah tantangan bagi perempuan. Beberapa pekerjaan bersifat
gender stereotype, dimana satu pekerjaan tertentu diidentikkan
dengan satu jenis kelamin. Contohnya pekerjaan yang
menampilkan kepemimpinan, biasanya diidentikkan dengan
laki-laki. Sejarah membuktikan bahwa perempuan mengalami
tantangan dalam peningkatan karir pada beberapa pekerjaan
yang didominasi oleh laki-laki, bahkan pada pekerjaan yang
stereotipe perempuan pun, laki-laki biasanya jauh lebih bisa
survive dibandingkan dengan perempuan (Brannon, 2011).
Kecenderungan perempuan untuk bekerja merupakan
potensi yang kuat dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan
keluarga (Suartha, 2015). Total jumlah perempuan bekerja di Bali
adalah 1.024.044 jiwa. Angka ini mencapai 50% dari keseluruhan
populasi penduduk bekerja. Dari jumlah tersebut, sebanyak
100.383 perempuan yang bekerja, berasal dari golongan lanjut
usia (lansia) (BPS Provinsi Bali, 2015). Secara kultural, Perempuan
Hindu Bali terbiasa untuk menjalankan peran ganda dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk bertanggung jawab
dalam menjaga kelangsungan hidup anggota keluarga di
sepanjang hayatnya. Salah satunya adalah peran perempuan
dalam peningkatan kondisi ekonomi keluarga yang tidak
dibatasi oleh usia mereka. Suartha (2015) menyatakan bahwa
sektor ekonomi yang paling potensial melibatkan peran serta
perempuan adalah sektor informal. Sektor informal adalah sektor
yang paling fleksibel dalam menerima keluar masuknya pekerja,
dalam artian sektor ini tidak membutuhkan persyaratan formal
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
314
Buruh dan Pekerjaan
dan sangat terbuka bagi setiap individu sepanjang individu
tersebut memiliki kemampuan dan kemauan. Demikian halnya
kesempatan kerja bagi lansia perempuan. Fenomena tenaga
kerja lansia perempuan dapat dikaji melalui dua perspektif
psikologi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yakni
perspektif Psikologi Gerontologi dan Psikologi Perempuan.
Jika ditinjau dari sudut pandang Psikologi Gerontologi,
maka kemampuan lansia untuk tetap bekerja merupakan salah
satu indikator produktivitas dalam perspektif successful atau
active ageing. Saat ini paradigma terkait dengan lansia telah
mengalami perubahan. Jika sebelumnya lansia dipandang
sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan dan kelemahan,
maka konsep successful ageing melihat lansia dalam kacamata
yang lebih positif dan optimis. Yakni sebagai kelompok yang
tetap berdaya, produktif, dengan kondisi fisik serta psikologis
yang tetap prima walaupun memasuki masa tua (Rowe &
Kahn dalam Papalia, Stern, Feldman, & Camp, 2007). Konsep ini
lahir dan berkembang pesat di era ageing population yaitu era
dimana populasi penduduk dunia mengarah kepada populasi
penduduk berstruktur tua dengan proporsi jumlah penduduk
lansia yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam
tataran kehidupan sosial dan ekonomi sebuah negara, maka
proporsi lansia yang meningkat akan membawa dampak bagi
meningkatnya rasio ketergantungan penduduk (old dependency
ratio) yaitu suatu rasio yang menunjukkan perbandingan antara
jumlah penduduk usia tua dengan jumlah penduduk produktif.
Jika penduduk usia tua jumlahnya lebih besar daripada jumlah
penduduk usia produktif, maka angka ketergantungan di suatu
wilayah akan semakin besar (Suardiman, 2011)
Pada tahun 2014, rasio ketergantungan penduduk di Bali
315
mencapai 0.45 dengan sumbangan kelompok lansia atau pasca
produktif mencapai 0.09. Bali adalah termasuk di dalam lima
besar provinsi di Indonesia dengan jumlah lansia tertinggi.
Jika di tahun 1995 proporsi penduduk lansia di Bali 8.93%,
maka di tahun 2007 proporsinya menjadi 11.02%. Diperkirakan
di tahun 2016, angkanya akan meningkat dua kali lipat dari
tahun 1995 (Suardiman, 2011). Bertambahnya jumlah lansia
seiring dengan peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat
yang bermuara pada meningkatnya usia harapan hidup. Tahun
2000 usia harapan hidup penduduk di Bali adalah 68.1 tahun
dan meningkat menjadi 70.5 tahun di tahun 2006. Angka ini
melampui rata-rata usia harapan hidup nasional di angka 66.2
tahun (Arimbawa, 2015). Lansia perempuan bekerja menjadi
sebuah fenomena yang kemudian di satu sisi memberikan
sumbangan yang positif bagi rasio ketergantungan penduduk di
Bali dan di sisi lain menjadi sebuah contoh dari konsep successful
ageing. Fakta ini menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat
Bali, khususnya Denpasar tengah menuju pencanangan kota
ramah lansia pada tahun 2030.
Ditinjau dari perspektif Psikologi Perempuan, fenomena
perempuan bekerja menjadi sebuah kajian yang mendukung
pergerakan emansipasi serta pemberdayaan perempuan. Ada
sejumlah alasan individu bekerja, yakni alasan ekonomi dan
alasan psikologis. Secara psikologis, individu bekerja untuk
sense of personal fulfillment, identitas personal, mencegah
kebosanan, melayani orang lain, dan untuk menadapatkan
status serta pengakuan (Atwater, 1983). Dalam semua strata
sosial, terindikasi bahwa peran dan status perempuan dalam
keberlangsungan keluarga lebih tinggi daripada laki-laki,
walaupun secara sosiokultural laki-laki dianggap sebagai kepala
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
316
Buruh dan Pekerjaan
keluarga. Dominasi ini menggambarkan tingginya potensi
perempuan untuk mengarahkan sebuah keluarga ke arah
yang lebih baik ataupun lebih buruk (Suartha, 2015). Terlebih
lagi hal ini didukung oleh sebaran penduduk Bali yang hampir
50% terdiri dari pendudukan perempuan. Kecenderungan
pengasuhan perempuan terhadap keluarga berlanjut hingga
pasca usiaproduktif, yakni lansia. Bali menganut sistem
kekeluargaan patrilineal. Dalam sistem kekeluargaan patrilineal,
sistem pengaturan tempat tinggal keluarga yang khas adalah
extended family, dimana setelah anak laki-laki menikah,
mereka dan keluarganya akan tetap tinggal bersama ayah
dan ibu. Sistem extended family kemudian menjadi semakin
mengukuhkan peran pengasuhan seorang perempuan atau
ibu hingga sepanjang hayat mereka. Termasuk dalam hal ini
pengasuhan secara ekonomi.
Berdasarkan dua perspektif tersebut, yakni Psikologi
Gerontologi dan Psikologi Perempuan, maka tulisan ini akan
membahas lebih jauh terkait dengan pemaknaan bekerja
perempuan lansia. Apa yang kemudian menjadi alasan
perempuan lansia tetap bekerja, bagaimana etos kerja mereka,
apa yang dirasakan ketika bekerja dan ketika tidak bekerja,
serta keputusan kapan akan berhenti bekerja. Dalam menjawab
pertanyaan penelitian, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif dengan metode constructive realism.
Metode ini digunakan dalam penelitian indigenous psychology.
Konsep dasar dalam penelitian ini adalah indigenization from
within yang berusaha untuk membangun teori, konsep, dan
metode baru melalui informasi-informasi dasar yang digali dan
dikumpulkan dari lingkungan atau konteks fenomena psikologi
muncul. Informasi awal ini diyakini sebagai sumber dari ilmu
317
pengetahuan. Metode ini meyakini bahwa dalam ilmu psikologi,
konsep harus dipecah ke dalam pengalaman-pengalaman hidup
yang nyata. Ketika konsep tidak dipecah ke dalam pengalaman
nyata atau indikator perilaku yang khas, maka karakteristik
psikologisnya akan berkurang. Pemahaman akan konteks
menjadi penting dalam constructive realism.
Makna Bekerja Bagi Perempuan LansiaAlasan dan kemungkinan kelompok lansia untuk tetap
bekerja di masa tua mereka menjadi kajian beberapa penelitian.
Alasan dan keputusan untuk tetap bekerja dan beraktivitas
di masa tua dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat
sangat kontekstual (Henretta, Chan, & O’Rand dalam August &
Quintero, 2001). Keputusan untuk tetap bekerja pada golongan
lansia di antaranya adalah status sosial ekonomi, keterbatasan
fisik dan masalah kesehatan, kecemasan akanrasa bosan, dan
jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan lansia
(Hansson, dkk; Henretta, dkk; Talaga & Beehr, dalam August &
Quintero, 2001). Hansson, dkk (dalam August & Quintero, 2001)
mengistilahkan opportunity structures, yaitu variabel-variabel
situasional yang mendukung individu untuk bisa tetap bekerja,
salah satunya adalah ketika individu memasuki usia lanjut.
Saat konsep terkait opportunity structures ini diterapkan
pada populasi perempuan, maka ada sejumlah variabel mikro
dan makro dari komunitas atau konteks budaya dimana
lansia perempuan tersebut tumbuh dan berkembang yang
memberikan kontribusi bagi keputusan lansia perempuan
untuk bekerja. Dalam tataran mikro, bagaimana pandangan
suami terkait dengan istri yang bekerja, kondisi sosial ekonomi
keluarga,dan jumlah tanggungan dalam keluarga, menjadi
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
318
Buruh dan Pekerjaan
faktor penguat atau penghambat lansia perempuan untuk tetap
bekerja. Dalam tataran makro, kesempatan bekerja dan pasar
kerja, serta pengaruh budaya lokal menjadi faktor penentu
keputusan untuk bekerja pada lansia perempuan.
Tabel 1.Deskripsi Subyek Penelitian
Karakteristik Jumlah Persentase
Usia
60 – 70 Tahun 28 87.5%
71 – 80 Tahun 3 9.4%
>80 Tahun 1 3.1%
Lama Bekerja
0 – 10 tahun 4 12.6%
11 – 20 tahun 7 21.8%
21 – 30 tahun 7 21.8%
31 – 40 tahun 9 28.2%
41 – 50 tahun 3 9.4%
>50 tahun 2 6.2%
Pendidikan
SD 17 53.2%
SMP 3 9.4%
SMA 3 9.4%
Status Pernikahan
Janda 9 28.2%
Menikah 23 71.8%
Tipe pekerjaan
Buruh 2 6.3%
Pedagang 29 90.6%
Petugas parkir 1 3.1%
319
Dalam konteks demografi di Bali, maka kesempatan
untuk menjadi agen ekonomi dalam sektor informal menjadi
sebuah variabel yang memberikan kesempatan bagi kelompok
perempuan lansia untuk dapat bekerja dan menghasilkan
pendapatan dari sektor tersebut. Sektor informal yang
tidak banyak menetapkan prasyarat bagi tenaga kerja,
cenderung terbuka dengan berbagai kelompok usia tanpa
mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan sejumlah
kompetensi tertentu. Dalam penelitian ini, seluruh subyek
penelitian menggeluti bidang sektor informal seperti menjadi
pedagang, buruh, dan juru parkir. Sektor ini tidak memerlukan
persyaratan latar belakang pendidikan tertentu. Sebagian besar
subyek dalam penelitian ini berpendidikan SD. Pekerjaan dalam
sektor informal sudah digeluti selama berpuluh-puluh tahun,
sebagian besar sudah bekerja selama 31 – 40 tahun. Sebanyak
71.8% subyek berstatus menikah dan masih tinggal serumah
dengan suami, anak, serta menantu.
Gb. 1. Aktivitas Perempuan Lansia Sebagai Pedagang
Konsep extended family atau dalam Budaya Bali dikenal
dengan istilah ngerob yang mengharuskan salah satu keluarga
batih junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih
tetap tinggal bersama dengan keluarga batih senior (orangtua),
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
320
Buruh dan Pekerjaan
merupakan salah satu dasar terbentuknya peran dan tanggung
jawab pengasuhan Perempuan Bali hingga generasi berikutnya,
yakni generasi anak, menantu, dan cucu (Lestari, 2016). Secara
akar budaya, peran Perempuan Bali dibentuk melalui interaksinya
dalam konteks keluarga, adat, dan sosial kemasyarakatannya.
Lestari (2016) menyatakan bahwa terdapat sejumlah sikap
dasar bekerja yang dimiliki oleh Perempuan Bali. Sikap dasar
ini terbentuk melalui pengalaman yang berkaitan dengan
adat yang mengatur pola perilaku Perempuan Bali. Perempuan
Bali yang bekerja mampu menampilkan keseimbangan,
ketangguhan, serta kemampuan dalam menjalankan peran
yang beragam. Kemampuan dalam menjalankan peran yang
beragam dan menyelesaikan tugas-tugas dalam sekali waktu
adalah bagian dari kemampuan multitasking. Perempuan Bali
juga mendapatkan pembelajaran kecerdasan emosional dan
penyesuaian diri melalui pernikahan ngerob. Di samping itu
nilai-nilai melayani dan pengabdian kepada keluarga adalah
modal utama yang harus selalu dijaga sehingga bekerja dan
berkarir tidak semata-mata hanya untuk status dan pengakuan.
Gb.2. Aktivitas Perempuan Lansia
Sebagai Buruh Tukang Suun di
Denpasar
321
Nilai melayani dan mengabdi kepada keluarga menjadi
salah satu variabel opportunity structures bagi Perempuan
Bali untuk tetap bekerja saat memasuki masa lansia.Melalui
metode constructive realism, didapatkan empat kategori yang
menggambarkan pemaknaan bekerja pada lansia perempuan,
yakni alasan bekerja, sikap dalam bekerja, yang dirasakan saat
bekerja, dan juga yang dirasakan ketika tidak bekerja. Kategori
ini didapatkan melalui pertanyaan terbuka terkait dengan
makna bekerja kepada 32 subyek penelitian. Pertanyaan terbuka
menghasilkan 331 respon, yang terdiri dari 81 respon yang
terkait dengan alasan bekerja, 69 respon yang terkait dengan
sikap dalam bekerja, 64 respon yang terkait dengan hal yang
dirasakan ketika tetap bekerja, dan 117 respon yang berkaitan
dengan hal yang dirasakan di saat tidak bekerja.
A. Alasan Bekerja Perempuan LansiaPenelitian ini menemukan sejumlah alasan perempuan
lansia bekerja yang dibagi ke dalam tiga sub kategori, yakni
alasan kesehatan, alasan ekonomi, dan desakan tanggung
jawab. Alasan kesehatan menyangkut kesehatan fisik dan
kesehatan psikologis. Alasan ekonomi mencakup pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, persiapan masa depan, dan membantu
anak serta cucu. Alasan desakan tanggung jawab mencakup
tanggung jawab kepada pasangan dan anak. Jika ditinjau dari
variabel opportunity structures yang disampaikan oleh Hansson,
dkk (dalam August & Quintero, 2001), maka alasan perempuan
lansia tetap bekerja dapat ditinjau dari alasan yang bersifat
personal dan alasan yang didorong oleh keadaan di luar diri
lansia.
Alasan personal mencakup kondisi kesehatan yang masih
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
322
Buruh dan Pekerjaan
memungkinkan, menghilangkan rasa kebosanan dengan
mencari hiburan serta membina relasi dengan teman kerja.
Bekerja dilakukan sepanjang lansia perempuan merasa
tetap sehat. Pertanyaan terbuka terkait dengan kapan lansia
perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja direspon
dengan jawaban ‘tidak tahu kapan akan berhenti bekerja’.
Sepanjang kondisi kesehatan memungkinkan, maka bekerja
tetap akan dijalani. Bekerja memungkinkan lansia perempuan
untuk tetap berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sejalan
dengan yang disampaikan oleh Atwater (1983), salah satu
alasan psikologis seseorang bekerja adalah menghilangkan
rasa bosan. Hal ini pun tampak dalam respon alasan personal
lansia perempuan memutuskan untuk tetap bekerja di masa
tua mereka. Levasseur, Desrosiers, dan Whiteneck (2010)
menyatakan bahwa tingkat dan kepuasan partisipasi sosial
pada lansia mampu meningkatkan kualitas hidup lansia.
Bekerja dalam hal ini adalah bentuk dari partisipasi sosial lansia
perempuan.
Alasan yang didorong oleh keadaan di luar diri lansia
mencakup pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga,
persiapan masa depan, membantu kebutuhan anak dan cucu,
serta desakan tanggung jawab terhadap pasangan serta anak,
menantu, dan cucu yang belum sepenuhnya mandiri. Temuan
ini yang kemudian menjadi khas pada Perempuan Bali yang
hidup di dalam sistem kekeluargaan patrilinieal. Nilai-nilai
Budaya Bali yang sebagian besar dipengaruhi oleh Hukum Adat
Bali membuktikan bahwa kedudukan istri dan suami dalam
keluarga adalah saling melengkapi satu dengan yang lainnya,
yang membedakan kemudian adalah tugas serta kewajibannya
(Rahmawati, 2016). Konsep saling melengkapi ini menjadi dasar
323
bagi Perempuan Bali untuk turut bertanggung jawab akan
kelangsungan keluarga, termasuk hal-hal yang menyangkut
peran-peran instrumental, yaitu mencari nafkah untuk keluarga.
Suartha (2015) menambahkan bahwa perempuan memiliki
tiga peranan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, yaitu
perempuan sebagai istri, perempuan sebagai ibu rumah tangga,
dan perempuan sebagai pencari nafkah. Jika ditinjau dari
konsep siklus perkembangan keluarga, maka perempuan yang
mencapai lansia sejatinya sudah tidak memiliki tanggungan
lagi untuk bekerja, karena biasanya anak-anak sudah keluar
dari rumah dan membentuk keluarga sendiri yang disebut
dengan fase empty nest (Olson & Defrain, 2003). Di sisi lain
konsep pernikahan ngerob pada Budaya Bali melahirkan bentuk
tanggung jawab, pengabdian, dan layanan seorang perempuan
kepada keluarganya, sekalipun anak-anak sudah menikah serta
memiliki anak. Desakan tanggung jawab untuk tetap membantu
pasangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan tanggung
jawab terhadap anak menjadi alasan perempuan lansia untuk
tetap bekerja.
Tabel 2.
Alasan Perempuan Lansia BekerjaSub Kategori
Sub-sub Kategori Deskripsi
Kesehatan Fisik Kondisi fisik yang masih memungkinkan bagi individu untuk bekerja seperti kondisi sehat dan secara fisik masih merasa mampu bekerja.
Psikologis Tujuan psikologis yang ingin dicapai dengan bekerja, yakni mengisi waktu luang, mencari hiburan, membangun relasi, dan menjalankan hobby.
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
324
Buruh dan Pekerjaan
Ekonomi Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
Bekerja untuk pemenuhan hidup sehari-hari ini mencakup mendapatkan uang untuk biaya hidup, membeli kebutuhan pokok, keperluan hari raya, dan tidak ada sumber penghidupan yang lain selain bekerja.
Persiapan masa depan
Sumber tabungan bagi bekal di hari tua.
Membantu anak serta cucu
Penghasilan dari bekerja digunakan untuk membantu keluarga, anak, dan cucu.
Desakan tanggung jawab
Pasangan Membantu suami dalam menanggung beban keluarga.
Anak Masih ada tanggungan anak yang belum mandiri secara ekonomi. Bekerja untuk membantu biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari anak dan keluarganya.
B. Sikap Perempuan Lansia dalam BekerjaPengaruh budaya tercermin di dalam sikap kerja
perempuan lansia. Beberapa sikap kerja yang muncul antara
lain memiliki daya juang yang tinggi, energi yang berfokus
untuk mendapatkan penghasilan, energi yang berfokus untuk
memberikan penghasilan kepada orang-orang di sekitarnya,
bekerja sebagai sebuah keikhlasan kepada keluarga, dan sikap
melayani.
325
Tabel 3
Sikap Kerja Perempuan Lansia
Sub Kategori Deskripsi
Daya juang Mencakup memiliki ketekunan serta rajin dalam aktivitas bekerja yang dijalani.
Energi Energi dibagi menjadi dua tipe, yakni semangat yang berfokus pada aktivitas utnuk mendapatkan penghasilan dalam bekerja dan energi yang berfokus untuk memberikan sesuatu kepada orang-orang di sekitarnya seperti semangat bekerja untuk cucu, anak, dan menantu.
Keikhlasan Senang bekerja, tidak merasa terpaksa dan selalu bersyukur dalam kondisi apa pun.
Melayani Termasuk di dalam kemampuan untuk ramah dan sabar dalam menghadapi individu-individu yang terkait di dalam pekerjaan mereka.
Kemampuan serta kedisplinan dalam mengelola waktu
menjadi sub kategori yang sulit untuk dikategorikan sebagai
sikap positif ataupun sikap negatif di dalam bekerja. Sebanyak
6 subyek melaporkan bahwa tepat waktu menjadi sikap dalam
bekerja, namun sebanyak 5 subyek melaporkan bahwa terdapat
situasi serta kondisi tertentu yang kemudian membuat mereka
sulit untuk disiplin dalam waktu kerja. Situasi dan kondisi
tersebut terkait dengan tanggung jawab mengurus rumah
tangga (termasuk di dalamnya menjalankan peran sebagai
karma banjar serta upacara keagamaan) dan pengasuhan
terhadap cucu. Vitalaya (dalam Suartha 2015) mengungkapkan
bahwa perempuan menghadapi sejumlah tantangan dalam
menjalankan peran gandanya. Terdapat beberapa tipe peran
perempuan, yakni:
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
326
Buruh dan Pekerjaan
1. Peran Tradisi.
Peran yang menempatkan perempuan pada fungsi rep-
roduksi. Sebagian besar dalam kehidupannya perem puan
berperan dalam pengasuhan anak, mengurus rumah
tangga dengan pembagian kerja yang lebih banyak pada
peran-peran domestik.
2. Peran Transisi.
Peran tradiri masih lebih menonjol dibandingkan dengan
peran lainnya. Pembagian kerja rumah tangga masih
sepe nuhnya menjadi tanggung jawab perempuan.
3. Dwiperan.
Memposisikan perempuan ke dalam dua peran sekaligus,
yakni peran domestic dan peran publik dengan tingkat
urgensi yang sama. Dukungan suami menjadi hal yang
sangat penting dalam dwiperan atau yang biasa disebut
dengan peran ganda. Dukungan pasangan mampu
menjadi faktor pendorong maupun menghambat bagi
perempuan dalam menjalankan dwiperan.
4. Peran egalitarian.
Pada tataran ini, peran dalam ruang publik lebih menyita
waktu perempuan dibandingkan dengan peran domestik.
Peran perempuan di ruang publik pun cenderung ber-
imbang dengan peran laki-laki di ruang publik.
5. Peran kontemporer.
Perempuan mandiri dalam kesendiriannya. Jumlah ke-
lom pok peran kontemporer tidak banyak dikarenakan
327
pada berbagai budaya berbenturan dengan dominasi
laki-laki.
Pada subyek penelitian, tipe peran yang tampak adalah
peran transisi dan dwiperan. Pada bidang-bidang tertentu
seperti mengurus rumah tangga, pengasuhan cucu, dan
menjalan peran sebagai karma banjar dan upacara keagamaan,
perempuan masih memegang peranan dan tanggung jawab
utama dalam Masyarakat Bali sehingga hal ini membuat
perempuan untuk lebih mengutamakan peran domestik
dibandingkan dengan peran pencari nafkah. Penelitian yang
dilakukan Lestari (2013) membuka wawasan baru terkait dengan
interaksi keluarga pada Perempuan Bali yang bekerja, dimana
kompleksitas peran tidak serta merta membuat Perempuan
Bali mengabaikan keluarga dan hubungan dengan suami. Di
tengah kesibukan, fokus perhatian Perempuan Bali sebagian
besar adalah pada pernikahan dan keluarga. Suami tetap
dipandang sebagai figur utama dalam kehidupan Perempuan
Bali. Temuan ini sejalan dengan pemikiran Betty Friedan (dalam
Olson & DeFrain, 2003) yang menyatakan bahwa emansipasi
pada kaum perempuan jangan dipandang sebagai pertarungan
antara kekuasaan laki-laki dengan perempuan, namun sebagai
sebuah tantangan untuk membangun kerjasama antara laki-laki
dengan perempuan dalam sebuah lembaga pernikahan.
Nilai-nilai yang dianut oleh Perempuan Bali dalam bekerja
yang kemudian menjadi variabel yang mampu meminimalkan
konflik dan meningkatkan penerimaan keluarga, khususnya
suami bagi keputusan perempuan untuk tetap bekerja hingga
lansia. Seimbang dalam penyelesaian tugas-tugas domestik,
sosial kemasyarakatan, dan pekerjaan membuat penerimaan
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
328
Buruh dan Pekerjaan
masyarakat terhadap Perempuan Bali yang bekerja menjadi
meningkat hingga tidak menjadi hambatan bagi perempuan
untuk bekerja sepanjang masih mampu dan berdaya tanpa
dibatasi oleh usia.
C. Hal yang Dirasakan Ketika Perempuan Lansia BekerjaKesempatan bekerja bagi perempuan lansia memberikan
dampak yang positif, diantaranya perasaan senang karena
memiliki kesempatan utnuk bersosialisasi, adanya aktivitas untuk
mengisi waktu luang, tidak merasa beban dan senang dalam
menjalani kehidupan, rasa berharga karena masih berguna
untuk membantu perekonomian keluarga dan mendapatkan
hasil yang berupa uang. Di sisi lain, perasaan negatif sepertinya
persepsi akansubjective health dimana lansia merasa lebih
cepat lelah dibandingkan dengan periode usia sebelumnya
memunculkan gejala seperti mudah lelah, mengantuk, dan
mudah jenuh di saat kondisi fisik tidak mendukung.
Data demografi subyek penelitian menunjukkan sebanyak
68.8% subyek mengalami kondisi sakit tertentu dan sebanyak
87.5% subyek mengalami gangguan kesehatan seperti sakit
persendian, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan,
dan penurunan pendengaran ketika memasuki lansia. Data
yang cukup mengesankan adalah hanya 42.8% dari lansia
yang mengalami gangguan kesehatan merasa terhambat
menjalankan aktivitas keseharian mereka di dalam bekerja. Ini
menunjukkan bahwa kondisi sakit dan penurunan fisik tidak
menghalangi perempuan lansia di dalam bekerja.
329
D. Hal yang Dirasakan Ketika Perempuan Lansia Tidak Bekerja
Tabel 4. menunjukkan hal yang dirasakan ketika perempuan
lansia tidak bekerja.
Tabel 4.
Hal yang Dirasakan Ketika Tidak Bekerja
Sub Kategori Sub sub Kategori Deskripsi
Keluhan Fisik Rasa lelah, sulit tidur, badan terasa sakit, pusing, dan mengantuk.
Psikologis rasa bosan, bingung, jenuh dan tidak senang di rumah, gelisah, cemas, sepi, sedih, dan ketakutan dan dihantui pikiran akan tidak adanya penghasilan.
Alasan Kebiasaan Merasa ada sesuatu yang berubah atau hilang ketika tidak bekerja karena terbiasa bekerja.
Himpitan atau desakan ekonomi
Kebutuhan akan uang dan penghasilan menumbuhkan pemikiran yang terokupasi pada pekerjaan di saat kondisi tertentu mengharuskan tidak berkerja.
Psikologis Pekerjaan merupakan hiburan sehingga tidak bekerja menjadi sepi dan bosan, dan menimbulkan penilaian yang buruk dari orang lain.
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
330
Buruh dan Pekerjaan
Keluhan fisik dan psikologis dirasakan oleh perempuan
lansia ketika mereka tidak bekerja untuk beberapa kurun waktu
tertentu. Keluhan tersebut pun muncul karena beberapa alasan
kebiasaan yang berubah, alasan himpitan ekonomi, maupun
alasan psikologis. Sebanyak 5 orang subyek menyatakan bahwa
tidak bekerja tidak berarti apa-apa bagi mereka karena suatu
alasan tertentu, yakni kesibukan di rumah dan pengasuhan cucu
yang kemudian mampu mengobati kondisi psikologis mereka
saat tidak bekerja.
KesimpulanKehadiran perempuan lansia dalam tenaga kerja di Bali
memberikan sumbangan yang berarti dalam menurunkan rasio
ketergantungan penduduk yang pada akhir tahun 2014 mencapai
0.09 dari penduduk pasca produktif. Kehadiran perempuan
bekerja dalam Masyarakat Bali sedikit banyak dipengaruhi oleh
semangat emansipasi perempuan yang berawal sejak tahun
1930 dan berasal dari akar Budaya Bali. Kedudukan perempuan
dan laki-laki dipandang sejajar dalam Hukum Adat Bali. Sistem
kekeluargaan patrilineal merupakan akar bagi beberapa
sikap kerja yang positif seperti daya juang yang tinggi, energi
yang berfokus untuk mendapatkan penghasilan, energi yang
berfokus untuk memberikan penghasilan kepada orang-
orang di sekitarnya, bekerja sebagai sebuah keikhlasan kepada
keluarga, dan sikap melayani. Perempuan Bali yang bekerja
tidak serta merta mendominasi dalam keluarga, keluarga
tetap menjadi fokus utama dalam kehidupan Perempuan Bali.
Sikap ini yang kemudian membuat status bekerja perempuan
menjadi diterima dan dihargai ditengah hegemoni Budaya
Patriarkhi pada sebagian golongan yang menyalahartikan
331
sistem kekeluargaan patrilineal. Budaya pernikahan ngerob yang
mengharuskan anak laki-laki yang telah menikah tetap hidup
satu atap dengan orang tua, menyebabkan pengasuhan anak,
termasukan pengasuhan ekonoi seorang ibu kepada anak tetap
berlanjut walaupun perempuan telah memasuki masa lansia.
Desakan tanggung jawab kepada pasangan dan anak menjadi
inti alasan bekerja bagi perempuan lansia di Bali.
Secara demografi, sektor informal seperti perdagangan
memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan
lansia untuk tetap bekerja tanpa dibatasi oleh usia. Bekerja
memberikan dampak positif berupa rasa berharga, rasa mampu
membantu anak dan keluarga, menghindari dari rasa bosan,
dan merasa senang dalam menjalani kehidupan. Kondisi sakit
dan penurunan fisik di masa lansia tidak memberikan pengaruh
yang berarti bagi lansia perempuan dalam menjalankan
aktivitas bekerja. Ketika tidak bekerja beberapa keluhan fisik
dan psikologis dirasakan yang diakibatkan oleh kehilangan
kebiasaan ruti, pemikiran akan desakan kebutuhan sehari-hari
dan ekonomi, dan kondisi psikologis seperti hilangnya hiburan
dan kebosanan. Bagi beberapa lansia, tidak bekerja tidak
membawa dampak yang berarti, kondisi ini disebabkan oleh
kehadiran cucu dan kegiatan rumah tangga yang memerlukan
perhatian perempuan lansia.
Daftar Pustaka
Atwater, E. (1983). Psyhology of adjustment: personal growth in a
changing world. 2nded. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
August, R.A., & Quintero, V.C. (2001). The role of opportunity
structures in older women workers’ careers. Journal of
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa
332
Buruh dan Pekerjaan
Employment Counseling, 38(2), 62-81.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2011). Keadaan ketenagakerjaan
di Provinsi Bali/ Labor force situation in Bali Province. Bali:
Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Bali.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2011). Bali dalam Statistik 2015.
Bali: Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Bali.
Brannon, L. (2011). Gender psychological perspective. 6th ed. Boston:
Allyn & Bacon.
Kurniawati, D. (2009). Putri: Pemilihan identitas sebagai resistansi
terhadap dominasi patriarki. Skripsi: Universitas Indonesia
Lestari, M.D.(2013). Marital satisfaction, communication patterns,
and couple map perceived by Balinese Women in
their marriage. The Proceeding of The 1st International
Conference on Psychology in Health, Educational, Social,
and Organizational Settings, 69-74.
Lestari, M.D.(2016). Hidup di tengah sistem kekeluargaan
patrilineal: kekuatankah atau kelemahan bagi perempuan
Hindu Bali dalam era masyarakat ekonomi Asean
(MEA)?Proceeding Seminar Perempuan IHDN, 30 - 40.
Levasseur, M., Desrosiers, J., & Whiteneck, G. (2010).
Accomplishment level and satisfaction with social
participation of older adults: association with quality of
life and best correlates. Quality of Resipatory, 19, 665 – 675.
Meniarta, I.K., Mas’udi, W., & Dwipayana, A.A.G.N.A. (2009).
Dinamika sistem kesejahteraan dan modal sosial di
masyarakat banjar pakraman-Bali. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 13(2): 231-248.
Olson, D.H., & DeFrain, J. (2003). Marriage and family: intimacy,
diversity, and strength (4thed). New York: McGraw Hill.
Papalia, D.E., Strerns, H.L., Feldman, R.D., & Camp, C.J. (2007). Adult
333
development and aging. 3rded. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Rahmawati, N.N. (2016). Perempuan Bali dalam pergulatan
gender. Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu. Jurnal
Studi Kultural, 1(1), 63-69.
Rimbawa, N.D. (2015). Profil lansia di Bali dan kaitannya dengan
pembangunan: Deskripsi berdasarkan hasil Supas 2005 dan
Sakernas 2007. Denpasar: Universitas Udayana.
Suardiman, S.P. (2011). Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Suartha, N. (2015). Kontribusi ibu rumah tangga dalam meningkatan
kesejahteraan keluarga. Sebuah studi kasus di Kabupaten
Badung Provinsi Bali. Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada.
Utari, N.K.S. (2006). Mengikis ketidakadilan gender dalam Adat
Bali. Disajikan dalam Temu Ilmiah II Asosiasi Pengajar dan
Peminat Hukum Berspektif Gender se-Indonesia. Diakses
29 Maret 2016.
maKna KemandIRIan pada peKeRja lansIa