Post on 15-Oct-2021
1KIPRAH • Volume 38
Volume 38 • KIPRAH2
3KIPRAH • Volume 38
NUANSA
• Setia Budhy Algamar
• Ruchyat Deni Jakapermana
• Waskito Pandu • Supardi • Mohammad Irian
• Antonius Budiono • Sjukrul Amien
• Dadan Krisnandar
Amwazi Idrus
Dedy Permadi
Etty Winarni
Yunaldi • Djuwanto
Lisniari Munthe • Warjono • Srijanto
• Ade Syaiful • Krisno Yuwono • Wayan Yoke
• Endah Prihatiningtyas
• Agus Iwan Setiawan • Dian Irawati
Tim Dok. Puskom
Widowati • Litha
Anas S • Yusron • Nadi Tarmadi
• Sutikno • Budi
Kementerian Pekerjaan Umum
Puskom PU, Gedung Bina Marga Lt.1
Jl Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp./Fax: 021-725 1538, 021-722 1679
e-mail:kiprah@pu.go.id
KIPRAHHUNIAN, INFRASTRUKTUR, KOTA DAN LINGKUNGAN
menerima kiriman artikel, atau tulisan lainyang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3)Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengirimannaskah dapat dilakukan melalui email ke kiprah@pu.go.id, disertaidengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon,fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidakakan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhakmelakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.
Dalam lima tahun terakhir ini, fokus pemerintah untuk menggarap dengan
lebih serius kawasan perbatasan mulai dirasakan. Hal ini terlihat dengan
gerak langkah pembangunan dan upaya pengaturan di 5 (lima) kabupaten
di Kalimantan Barat dan 3 (tiga) kabupaten di Kalimantan Timur sebagai kabupaten
yang daratannya berbatasan langsung dengan Malaysia, serta 5 (lima) kabupaten/kota di
Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini dan 3 (tiga) kabupaten di NTT yang
berbatasan dengan Timor Leste. Disamping itu, terdapat pula beberapa pulau terluar
yang digunakan sebagai pedoman batas negara, seperti P. Rondo di Prov. NAD, P. Berhala
di Prov. Sumut, P. Nipa dan P. Sekatung di Prov. Kep. Riau, P. Miangas dan P. Marore di
Prov. Sulut, P. Batek di Prov. NTT, dan P. Fani serta P. Fanildo di Prov. Papua.
Pentingnya menangani kawasan perbatasan ini pada awalnya bertujuan untuk menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk kedaulatan
NKRI melalui batas wilayah yang jelas dan dijamin oleh hukum internasional. Selain upaya
diplomasi internasional di dalam negeri, di kawasan perbatasan kemudian lebih banyak
dilakukan upaya di bidang pertahanan dan keamanan, antara lain penjagaan dan patroli
perbatasan serta pembuatan batas fisik dalam bentuk pagar dan pintu pelintas batas.
Mengingat luasnya wilayah nusantara, berbagai upaya untuk mengamankan wilayah
perbatasan oleh TNI/Polri menjadi sulit. Upaya ini akan lebih efektif bila masyarakat
setempat dilibatkan, tidak dalam tugas pengamanan fisik tentu saja, tetapi eksistensi
masyarakat di kawasan-kawasan tersebut sudah cukup untuk menegaskan batas-batas
wilayah nusantara.
Akan tetapi, memukimkan penduduk atau mendorong masyarakat untuk tinggal di
kawasan perbatasan dengan kondisi prasarana dan fasilitas yang sangat minim tentu saja
bukan langkah bijaksana. Ketimpangan kondisi prasarana antara wilayah di Kalimantan
Barat dan Timur dengan Malaysia tentu saja justru akan menimbulkan ketimpangan
ekonomi dan kecemburuan sosial yang mungkin saja bisa melunturkan nasionalisme dan
wawasan kebangsaaannya. Ketertinggalan secara ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat
perbatasan Kalimantan antara lain dipicu oleh minimnya infrastruktur dan aksesibilitas
yang tidak memadai, seperti jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun
sungai yang masih sangat terbatas, prasarana dan sarana komunikasi, seperti pemancar
atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon yang relatif minim, maupun
ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi, seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah,
dan pasar yang juga sangat terbatas. Kondisi keterbatasan tersebut akan semakin nyata
dirasakan oleh masyarakat perbatasan ketika mereka membandingkan keadaan daerahnya
dengan kondisi pembangunan di negara tetangga Malaysia.
Jadi, mendorong masyarakat untuk tinggal di berbagai kawasan perbatasan sebagai bagian
dari upaya menegakkan eksistensi NKRI haruslah diikuti dengan meningkatkan
kesejahteraan mereka. Dan, infrastruktur PU, seperti jalan dan air minum, merupakan
salah satu aspek penting untuk membuka keterisolasian dan aksesibilitas penduduk sebagai
prasyarat terjadinya pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan. Lantas, apakah yang
sebetulnya paling dibutuhkan oleh masyarakat setempat? Hal tersebut sangat tergantung
pada kondisi lokal, dan oleh karenanyalah diperlukan perencanaan matang yang dapat
mengakomodasi berbagai kebutuhan fisik dan non fisik, yang alokasi anggarannya bisa
saja bersumber dari APBN, APBD, maupun masyarakat. Perencanaan yang matang dan
komprehensif juga diperlukan untuk mengantisipasi peran berbagai instansi pusat dan
daerah yang ‘concern’ terhadap masalah ini, namun seringkali tidak terkoordinasi dan
terintegrasi dalam bingkai perencanaan yang matang. (Redaksi)
Dua DimensiPenanganan Beranda Depan
Volume 38 • KIPRAH4
DAFTARISI
50 62
28
54
14
NUANSANUANSANUANSANUANSANUANSAEditorial Redaktur...........................................................................33333
LINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOLINTAS INFOAlokasi Turun, Pantai Kian Rusak..............................................66666Situ Gintung Desember Selesai.................................................6..6..6..6..6Ground Breaking Terowongan Pengelak PembangunanWaduk Jati Barang.......................................................................77777Wacana Memindahkan Ibukota Keliru...................................77777
LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMALAPORAN UTAMAPentingnya Pencitraan Bangsa di Kawasan Perbatasan......88888Pelayanan Infrastruktur di Kawasan Perbatasan…..….........1010101010Potret Beranda Depan Indonesia..........................................1212121212Pulau Nipa Tenggelam, Kedaulatan NKRI terancam........1414141414Makna Strategis Pulau Nipa.......................................................1616161616Apa Kata Mereka........................................................................1717171717Tantangan Pembangunan di Tapal Batas...........................1818181818Entikong dan Aruk: Tantangan Pembangunan Infra-struktur Perbatasan di Kalimantan........................................2222222222Upaya Menjaga Pulau Terluar................................................2626262626Permasalahan Adalah Koordinasi.........................................2727272727Paradigma Pembangunan Sudah Berubah.......................2828282828Memberdayakan Pulau-pulau Kecil.......................................3131313131Arti Penting Pulau Talaud........................................................3131313131Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum DalamPengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan........................3232323232Yang Terpenting Daerah Punya PerencanaanPembangunan...............................................................................3636363636
5KIPRAH • Volume 38
DAFTARISI
70
44
65 76
32 40
Penanganan Infrastruktur Kalbar Bak Cinta Tak Terbalas.......37....37....37....37....37Lasarus, Anggota Komisi V DPR-RI Pembangunan JalanLintas Perbatasan: Jangan Hanya Sekedar Janji-janji.......3838383838Konsep Ada, Implementasi Kurang.......................................3939393939
SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGAN
Penggunaan Atap Sirap Semakin Lenyap.......................4040404040
GALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOGALERI FOTOSecercah Harapan dari Perbatasan...................................4242424242
SELINGANSELINGANSELINGANSELINGANSELINGAN
Situ Babakan: Satu dari Benteng Terakhir Pelestarianan Budaya Betawi....................................................................4444444444
INFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIINFO TEKNOLOGIBangunan ABSAH (Akuifer Buatan dan Simpanan AirHujan)...........................................................................................4646464646
TAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDATAHUKAH ANDAGlossary........................................................................................4848484848Yang Unik....................................................................................4949494949Salah Kaprah..............................................................................4747474747
JELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHJELAJAHPenataan Kota solo: Bermula dari Loji Gandrung........5050505050Jembatan Bentang Panjang: Dari Penguasaan TeknologiHingga Kompetensi SDM.......................................................5353535353
Membenahi Infrastruktur Pulau Karimata.......................5454545454
LAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSLAPORAN KHUSUSPreservasi dan Pembangunan Jalan Fokus UtamaSulawesi..........................................…….............................................5656565656Penghasil Aspal, Tetapi Miskin Jalan beraspal.................6060606060Jalan Lintas Timur Sulawesi Memprihantinkan................6262626262
WACANAWACANAWACANAWACANAWACANAPenyikapan Hidrologis dengan Pendekatan Ekohi-drologis: Konservasi SDA dan Pengendalian BanjirKawasan Demak-Juwana......................................................6666666666Jembatan Impian Bintan.......................................................6969696969Konsep Hijau Pada Kawasan Berdensitas Tinggi ….....7070707070Permukiman Padat Tidak Selalu Kumuh.........................7373737373Busway, Primadona yang Mulai Memudar....................7676767676
HUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAHUMANIKAAsa Penghuni Rusun Urip Sumoharjo...................….......7979797979
JENDELAJENDELAJENDELAJENDELAJENDELAOki Setiana Dewi: Infrastruktur Kurang Merata.................8080808080
INFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUINFO BUKUDaerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan…….….......8181818181
KARIKATURKARIKATURKARIKATURKARIKATURKARIKATURIllegal Logging & Gusur Patok di Perbatasan........................82..82..82..82..82
Volume 38 • KIPRAH6
LINTASINFO
Lingkungan Situ Gintung yang asri,
aman, nyaman, dan penuh pesona
bakal tercipta lagi setelah Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cilliwung-
Cisadane membangun kembali kawasan
yang rusak akibat jebolnya tanggul Situ
Gintung setahun silam. Saat ini pihak balai
sedang merampungkan pekerjaan utama
berupa bendungan, tanggul, dan spill way
(bangunan pelimpah bebas) berikut
pelengkapnya. Lokasinya sendiri tak jauh
dari ibu kota, tepatnya berada di Keca-
matan Ciputat Timur, Kota Tangerang
Selatan, Provinsi Banten.
“Saat ini kemajuan pembangunan fi-
siknya telah mencapai 47 persen dan
diharapkan selesai pada akhir Desember
2010,” demikian ditegaskan Kepala BBWS
Ciliwung-Cisadane, Pitoyo Subandrio, saat
meninjau lokasi proyek pada awal Juli lalu.
Ia mengatakan bahwa pekerjaan utama
Situ Gintung Desember Selesai
yang dilakukan adalah membuat tanggul
setinggi 15 m dengan lebar 5 m, spillway
sepanjang 800 m dan lebar 8 - 30 m, serta
normalisasi sungai Pesanggrahan dan
penataan lingkungan.
Dana APBN murni sebesar Rp93 miliar
telah dialokasikan untuk penyelesaian
proyek tersebut yang dikerjakan selama
52 minggu kalender oleh PT Bumi Karsa
dan PT Nindya Karya. “Hambatan utama
dalam pelaksanaan konstruksi ini adalah
cuaca yang sering kurang bersahabat,”
ujar Anwar Gandi, Deputi Proyek Manajer
PT. Bumi Karsa. Akan tetapi, ia optimis
bahwa pekerjaan yang ditanganinya akan
selesai sesuai jadwal.
Penyelesaian pembangunan kawasan Situ
Gintung akan dimanfaatkan sebagai
cadangan sumber air baku dengan jumlah
volume sekitar 1 juta m3.
Pitoyo berpendapat bahwa becermin dari
kejadian jebolnya bendungan Situ Gin-
tung, maka di samping tetap melakukan
pemantauan, penting pula memper-
hatikan penertiban dan pemeliharaan
ratusan situ yang berada di wilayahnya,
yang sekarang mulai terancam kerusakan
dan penciutan. (Joe)
Konstruksi bangunan Spillway. (Foto: Wy)
Salah satu faktor yang menyebabkan
kondisi pantai semakin rusak adalah
alokasi anggaran untuk infrastruk-
tur pengamanan pantai yang semakin
berkurang. Padahal, panjang pantai yang
harus diamankan dari abrasi terus ber-
tambah. Hal ini dapat dilihat dari alokasi
anggaran untuk infrastruktur pantai tahun lalu
sebesar Rp400 miliar sehingga hanya dapat
menangani sekitar 40 km garis pantai.
“Bila yang ditangani tak sampai 50 km garis
pantai per tahun, sampai kapan abrasi
terselesaikan? Padahal, ancaman per-
ubahan iklim dengan naiknya permukaan
air laut makin nyata,” tegas Direktur Rawa
dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air (SDA),
Kementerian Pekerjaan Umum, Djaja
Murni Warga Dalam.
Sementara Suprapto, Kasubdit Penga-
manan Pantai, Rawa, dan Pantai Ditjen
Alokasi Turun, Pantai Kian Rusak
SDA PU, mengakui bahwa alokasi APBN
untuk pantai makin berkurang. “Rencana
alokasi anggaran tahun 2011 misalnya,
hanya Rp240 miliar. Dana sebesar itu
hanya sanggup untuk menangani 30 km
garis pantai, sedangkan ada 20 persen dari
95.000 km panjang garis pantai di Indo-
nesia yang rusak.”
Dari pengamatan Kiprah, kerusakan
terjadi di hampir seluruh pesisir pantai di
setiap pulau, terutama di utara Pulau
Jawa, pesisir selatan Kalimantan, pesisir
barat Sumatera, dan pesisir pulau-pulau
kecil lainnya, seperti Bali, NTB, dan NTT.
Di Sumatera misalnya, persisnya di pesisir
barat Bengkulu, abrasi hampir memu-
tuskan ruas jalan nasional antara Bantal-
Mokomuko. Demikian pula di Kalimantan,
abrasi juga hampir memutuskan jalan
Lintas Selatan Kalimantan, yakni ruas
Batulicin-Pelaihari.
Abrasi mengancam jalan nasional, permukim-an, dan persawahan di Bengkulu. (Foto:Joe)
Menurut Djaja, penanganan pantai butuh
kebijakan yang menyeluruh, tidak hanya
sekedar membangun tembok laut pena-
han gelombang, tetapi harus ada cetak
biru penanganan pantai secara menye-
luruh. (Joe)
7KIPRAH • Volume 38
LINTASINFO
Menteri Pekerjaan Umum, Djoko
Kirmanto, didampingi Guber-
nur Provinsi Jawa Tengah, Bibit
Waluyo, dan Kepala Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) Pemali Juwana, Hartanto,
melakukan ground breaking (peman-
cangan tiang) pengeboran pertama
terowongan pengelak pada proyek pem-
bangunan Waduk Jatibarang, (30/6) di
Semarang, Jawa Tengah.
Kegunaan terowongan pengelak adalah
untuk mengelakkan aliran sungai di
sekitar/yang melintasi lokasi bendungan
selama masa pembangunan bendungan.
Bangunan pengelak terdiri dari cofferdam
(bendungan pengelak) utama, portal in-
let dan outlet, serta terowongan pengelak
sepanjang 441 m. Terowongan tersebut
didesain untuk mengatasi banjir selama
25 tahun dengan besaran 280m3/detik
serta elevasi pundak bendungan setinggi
50 m. Pengelakan sungai ini diharapkan
telah selesai dibangun pada akhir Juni 2011.
Ground Breaking Terowongan PengelakWaduk Jatibarang
Pembangunan Waduk Jatibarang dimulai
dari tahap studi pengembangan wilayah
sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan
Juwana (Jratunseluna) pada tahun 1969
oleh JICA dan PT. Indah Karya. Hasil studi
tersebut menunjukkan perlunya waduk
serbaguna yang harus dibangun untuk
mendukung pengembangan wilayah dan
mengurangi banjir di Semarang dan
sekitarnya.
“Proses pembangunan Waduk Jatibarang
diharapkan segera selesai sehingga dapat
mengurangi potensi banjir dan menye-
diakan air baku untuk air minum,” ujar
Djoko. Pembangunan Waduk Jatibarang
telah dimulai sejak 2008 dan diharapkan
dapat selesai tahun 2014. Pembangunan
waduk dan pendukungnya ini membu-
tuhkan dana sekitar Rp560 miliar.
Hartanto mengatakan, “Luas lahan yang
dibebaskan sekitar 210 ha. Estimasi biaya
sebesar Rp206 miliar dengan sharing dari
pemerintah pusat sebesar 50% (Rp103
miliar) dan pemerintah daerah, baik
provinsi maupun kabupaten, masing-
masing sebesar 25% (Rp51,5 miliar).”
Hingga saat ini, lahan yang telah di-
bebaskan mencapai 85%. Terowongan
pengelak diharapkan segera selesai
dibangun sehingga pekerjaan pem-
bangunan Waduk Jatibarang dapat
terlaksana sesuai dengan rencana. (Ind)
Beban Kota Jakarta sebagai ibu kota
negara kian bertambah, meski
daya dukungnya justru menurun.
Hal ini mencuatkan kembali wacana
pemindahan ibu kota pemerintahan ke
daerah lain.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta
adalah ibu kota negara. Oleh karena itu,
tidak boleh ada cara berpikir untuk me-
Wacana Memindahkan Ibu Kota Kelirumindahkan ibu kota. Itu keliru. Yang
benar adalah fungsi-fungsi yang tidak
sesuai dengan ibu kota itu yang dipin-
dahkan,” demikian disampaikan Prof. DR.
Emil Salim dalam makalahnya yang
berjudul “Prinsip-Prinsip Pembangunan
Berkelanjutan Dalam Pembangunan
Kota”, selaku keynote speech (ceramah
utama) dalam acara “Seminar Nasional
Lingkungan Penataan Ruang dan Keber-
lanjutan Kota”. Acara ini bertempat di
Ruang Serbaguna Program Pascasarjana
Gedung IASTH lantai 3 Universitas Indo-
nesia, Salemba, Jakarta Pusat.
Turut hadir sebagai pembicara di acara
tersebut Prof. Ir. Budhy Tjahjati, MCP,
Phd, dengan makalah “Kebijakan Pem-
bangunan dan Dimensi Lingkungan Dalam
Penataan Ruang”, Dr. Ir. Darrundono, MSi
dengan makalah “Peran Modal Sosial
Dalam Pembangunan Kota”, Dr. Ir. Endrawati
Fatimah dengan makalah “Pengembangan
Model Daya Dukung Lingkungan Untuk
Keberlanjutan Kota”, Dr. Iwan Kustiwan
dengan makalah “Penetapan Compact City
Untuk Pembangunan Kota Yang Ber-
kelanjutan”, dan Ir. Setia Damayanti, MSi
dengan makalah “Rusunawa Sebagai Salah
Satu Solusi Dalam Penataan Ruang Kota”.
Acara yang diselenggarakan pada hari
Rabu, tanggal 14 Juli 2010, pukul 08.00
WIB hingga pukul 14.00 WIB ini dihadiri
pula oleh akademisi, perwakilan instansi
terkait dari pemerintah dan swasta,
individu-individu, serta para wartawan
dari media cetak dan elektronik. (Wy)
Pengeboran pertama terowongan pengelakproyek pembangunan Waduk Jatibarang.
(Foto:Indah)
Volume 38 • KIPRAH8
LAPORANUTAMA
Pentingnya Pencitraan Bangsadi Kawasan Perbatasan
9KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
Bila dilihat, memang banyak
kawasan perbatasan yang
terbengkalai, minim infrastruk-
tur, dan sangat tertinggal. Kepedulian
akan pentingnya kawasan tersebut
mungkin mulai timbul setelah kita
mengalami “kekalahan” dalam memper-
tahankan kepemilikan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan. Hanya satu kata yang
menjadi “kunci kemenangan” dari nega-
ra tetangga kita itu, yakni “kepedulian”.
Ya, kepedulian mereka terhadap kondisi
kedua pulau tersebutlah yang “tidak
mampu” diberikan oleh negara kita saat
itu. Berbeda dengan kita, mereka sangat
perhatian pada daerah yang “abu-abu”.
Hanya dengan berbekal memberikan
stimulus ekonomi ke daerah tersebut,
ternyata dampaknya cukup besar karena
membuat mayoritas penduduk di sana
merasa bahwa mereka adalah bagian dari
negara yang memberikan perhatian
tersebut. Mungkin setelah kejadian
tersebut, kawasan perbatasan mulai
dilirik dan diperhatikan oleh negara kita
ini. Tentunya kita tidak mau kembali
terjeblos ke dalam lubang yang sama
untuk kedua kalinya. Keledai saja tidak
pernah kejeblos dua kali ke dalam lubang
yang sama. Yah…memang sarkastik,
tetapi semoga kritik ini menjadi pemicu
kita untuk tidak mengulang-ulang ke-
salahan yang sama.
Bila diibaratkan sebuah rumah, maka
kawasan perbatasan merupakan sebuah
teras depan, halaman depan, maupun
pagar dari sebuah rumah. Penghuni
rumah biasanya akan berupaya seoptimal
mungkin untuk memelihara, menjaga,
merawat, ataupun mempercantik teras
depan, halaman depan, dan pagar rumah-
nya, misalnya teras depannya dibuat dari
bermacam keramik yang menawan serta
dilengkapi dengan sofa yang menarik
untuk dapat menerima kunjungan tamu
dengan nyaman dan santai. Di halaman
depan tertata taman yang asri, penuh
dengan rerumputan. Pagar rumah tidak
hanya berfungsi untuk keamanan, tetapi
juga sebagai penarik perhatian yang
didesain sedemikian rupa sehingga
memiliki nilai artistik. Penghuni rumah
pasti sadar betul bahwa citra rumahnya
menunjukkan citra dirinya sendiri seka-
ligus penarik tamu, bahwa citra awal dari
rumahnya ditunjukkan dari teras depan,
halaman depan, dan pagar rumahnya.
Bagaimana dengan teras depan, halaman
depan, dan pagar negara kita? Apakah
dapat menjadi penarik tamu? Ataukah
penghuninya yang malah berpindah
karena melihat teras dan halaman depan
negara tetangga tetangga lebih indah dan
menarik.
Dilihat dari kondisinya saat ini, hanya
beberapa perbatasan yang memiliki
infrastruktur memadai, sedangkan se-
bagian besar masih minim infrastruktur,
khususnya di pulau-pulau terluar atau
yang saat ini disebut sebagai pulau-pulau
terdepan. Kurangnya prasarana jalan,
permukiman, dan sumber air bersih
menjadi trademark kawasan perbatasan.
Keterbelakangan yang ada di sana se-
makin diperparah lagi dengan belum
adanya fasilitas listrik maupun tele-
komunikasi di hampir sebagian besar
kawasan perbatasan. Tingkat pereko-
nomian masyarakat yang rendah dan
kemiskinan menjadi ciri utama kawasan
perbatasan, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, penduduk se-
tempat lebih berorientasi pada negara
tetangga. Ungkapan “Merah Putih Ben-
deraku, Ringgit Uangku” benar adanya,
dan dengan semakin banyaknya warga
kita yang mencari uang di negara te-
tangga, lambat laun dikhawatirkan akan
dapat menipiskan rasa kebangsaannya.
Hal ini dapat menjadi titik lemah ke-
amanan negara kita.
Sadar akan permasalahan yang ada di
perbatasan, saat ini pemerintah telah
mengubah paradigma pembangunan
perbatasan yang selama ini lebih meng-
utamakan pendekatan keamanan dari-
pada pendekatan kesejahteraan, sehingga
dinamika pembangunan dan pember-
dayaan masyarakat di beberapa kawasan
perbatasan belum tersentuh. Percepatan
pembangunan kawasan perbatasan ter-
sebut, terutama infrastruktur, mau tidak
mau harus segera dilakukan oleh peme-
rintah dengan melibatkan seluruh instansi
terkait. Terbitnya Peraturan Presiden RI
Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
menjadi bukti keseriusan pemerintah
dalam meningkatkan pembangunan di
kawasan perbatasan tersebut.
Badan yang dikepalai oleh Menteri Dalam
Negeri ini mempunyai tugas menetapkan
kebijakan program pembangunan perba-
tasan, menetapkan rencana kebutuhan
anggaran, mengkoordinasikan pelaksa-
naan, dan melaksanakan evaluasi dan
pengawasan terhadap pengelolaan ka-
wasan perbatasan. Pembangunan ka-
wasan perbatasan yang akan dikoordinir
oleh BNPP harus menggunakan pende-
katan kesejahteraan (prosperity ap-
proach), pendekatan keamanan (security
approach) dan pendekatan keberlanjutan
(sustainability approach) dengan mem-
perhatikan kualitas lingkungan hidup,
meningkatkan kerja sama ekonomi dan
perdagangan di lokasi perbatasan, me-
ningkatkan kinerja prasarana dan sarana
sosial, pendidikan, permukiman, ekonomi,
transportasi, pertahanan dan keamanan,
serta meningkatkan pelayanan lintas
batas, baik barang maupun orang.
Conductor pembangunan sudah terben-
tuk, tinggal menunggu kiprah yang opti-
mal dalam sinergi dari setiap instansi.
Semoga harapan semakin baiknya kondisi
masyarakat di kawasan perbatasan dapat
terwujud sehingga penghuni perbatasan
akan dengan bangga dan lantang menye-
butkan “Merah Putih Benderaku, Indo-
nesia Tumpah Darahku, Rupiah Uangku.”
(Nld)
Mungkin banyak orang tidakmengetahui apa yang ada di
kawasan perbatasan, yang jugabiasa disebut perbatasan saja,
atau dengan ekstrim bisadisebut “tidak peduli” dengan
apa yang ada di sana.
Volume 38 • KIPRAH10
LAPORANUTAMA
Mengacu pada Perpres No.12
Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perba-
tasan, pada pasal 1 (satu) disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Kawasan
Perbatasan adalah bagian dari wilayah
negara yang terletak pada sisi dalam
sepanjang batas wilayah Indonesia
dengan negara lain. Dalam hal batas
wilayah negara di darat, kawasan per-
batasan berada di kecamatan. Adapun
Batas Wilayah Negara adalah garis batas
yang merupakan pemisah kedaulatan
suatu negara yang didasarkan atas hukum
internasional. Sementara itu, pada pasal
5 (lima) juga dijelaskan bahwa Wilayah
Negara meliputi wilayah darat, wilayah
perairan, dasar laut, dan tanah di bawah-
nya serta ruang udara di atasnya, ter-
masuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya.
Indonesia merupakan salah satu negara
kepulauan terbesar di dunia yang me-
miliki 17.504 pulau. Dari 17 ribu lebih pulau
tersebut, terdapat 92 pulau-pulau kecil
yang dijadikan sebagai titik dasar dan
referensi untuk menarik garis pangkal
kepulauan yang berbatasan langsung
dengan 10 negara tetangga, yaitu Malay-
sia, Singapura, Thailand, Papua Nugini,
Filipina, Timor Leste, Palau, India, Viet-
nam, dan Australia.
Pada pasal 6 ayat (1) butir (a) disebutkan
bahwa Batas Wilayah Negara Indonesia
di darat berbatasan dengan Negara Ma-
laysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Pulau-pulau besar yang daratannya
berbatasan langsung dengan ketiga
negara tetangga tersebut adalah:
a)Kalimantan yang berbatasan langsung
Pelayanan Infrastruktur
dengan Malaysia; b)Nusa Tenggara Timur
yang berbatasan dengan negara muda
Timor Leste; serta c)Papua, provinsi pa-
ling timur Indonesia, yang langsung
berbatasan dengan Papua Nugini.
Di pulau terbesar di Indonesia sekaligus
terbesar ketiga di dunia, Kalimantan,
terdapat 8 (delapan) wilayah perbatasan
di tingkat kabupaten, terdiri atas 5 (lima)
kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat
dan 3 (tiga) kabupaten di Provinsi Kali-
mantan Timur. Kelima kabupaten di
Kalimantan Barat yang berbatasan lang-
sung dengan Malaysia adalah Sanggau,
Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan
Bengkayang. Sementara itu, 3 (tiga)
kabupaten di Kalimantan Timur yang
berbatasan langsung dengan Malaysia
adalah Nunukan, Kutai Barat, dan Malinau.
Hingga tahun ini, hanya gerbang per-
batasan Entikong dan Nunukan yang
sudah dibuka. Meskipun demikian, pe-
merintah dalam waktu dekat juga akan
membuka 2 (dua) gerbang perbatasan
lagi, yaitu di Aruk (Sambas) dan Nanga
Badau (Kapuas Hulu). Adapun kabupaten
yang menjadi wilayah tapal batas antara
Papua dengan Papua Nugini adalah
Kabupaten Keerom, Kabupaten Pe-
gunungan Bintang, Kabupaten Merauke,
Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten
Jayapura dengan 1 (satu) pintu gerbang
perbatasan, yaitu di Skow Wutung
(Keerom). Sementara itu, daerah per-
batasan di Nusa Tenggara Timur dengan
Timor Leste meliputi 3 (tiga) kabupaten,
yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara,
di Kawasan PerbatasanKesenjangan pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan menimbulkan tantangan serius di bidang
ekonomi dan sosial, pariwisata, serta pertahanan dan keamanan negara Indonesia.
Infrastruktur Jalan Lintas Selatan Kaltim yang masih berupa jalan tanah dan kerikil.(Foto: Gazhali)
11KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Belu
dengan 1 (satu) pintu gerbang perbatasan
yang sudah dibuka terletak di Kota
Atambua (Belu).
Tantangan di Kawasan Perbatasan Darat
Kondisi masyarakat di daerah-daerah
perbatasan darat tentunya berbeda
dengan kondisi masyarakat yang berada
di daerah kawasan perbatasan laut
maupun pulau. Masyarakat di perbatasan
laut maupun pulau-pulau terluar seringkali
terisolir dari negara tetangga, bahkan dari
negaranya sendiri, akibat kondisi alamnya
yang memang berada di tempat terisolir
maupun terpencil. Sementara masyarakat
yang berada di perbatasan darat tidaklah
memiliki kesulitan dalam berkomunikasi
serta mengunjungi secara langsung
negara tetangganya, baik secara legal
maupun ilegal, namun banyak yang masih
terisolir dari negaranya sendiri akibat
kesenjangan pembangunan, terutama
pembangunan infrastruktur, di daerah-
nya.
Beberapa hal yang masih menjadi tan-
tangan bagi pengamanan maupun pe-
ngembangan kawasan perbatasan darat
di Indonesia dapat dikategorikan menjadi
3 (tiga) bidang, yaitu:
1. Bidang ekonomi dan sosial
Kondisi daerah-daerah perbatasan Indo-
nesia sebagian besar sama, yakni tidak
meratanya penyebaran penduduk serta
pembangunan infrastruktur dasar mau-
pun terbatasnya pembangunan sarana
dan prasarana transportasi, kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain. Ketidakme-
rataan tersebut mengakibatkan adanya
kesenjangan pembangunan ekonomi
penduduk dan infrastruktur dasar yang
dapat dilihat dari masih adanya daerah
yang terisolir dan tingginya tingkat
kemiskinan penduduk yang tinggal di
kawasan perbatasan. Di kawasan tertentu,
seperti perbatasan Kalimantan misalnya,
masih terdapat keterbatasan akses tele-
komunikasi (telepon) dan informasi
(televisi, radio, dan sebagainya) bagi
masyarakat Indonesia dari negaranya
sendiri, namun akses telekomunikasi dan
informasi dari Malaysia justru dengan
mudah dapat mereka akses. Tidak me-
ratanya pembangunan ekonomi dan
infrastruktur tentunya menimbulkan
kecemburuan ekonomi, terutama bagi
masyarakat yang tinggal tak jauh dari
daerah-daerah di negara tetangga yang
lebih makmur dan sejahtera. Tak heran
apabila warga negara Indonesia yang
tinggal di kawasan perbatasan banyak
yang lebih memilih melakukan kegiatan
ekonomi, sosial, pendidikan, dan ke-
sehatan di negara tetangga yang mereka
anggap lebih terjangkau (baik jarak
maupun harganya) dan berkualitas.
rendahnya kesadaran politik dan hukum
serta disiplin masyarakat dan aparat
keamanan di wilayah perbatasan juga
semakin meruwetkan masalah. Tingkat
kesadaran politik, hukum, dan disiplin
yang rendah mengakibatkan kurangnya
rasa kepemilikan (sense of belonging)
warga atas infrastruktur di perbatasan
sehingga infrastruktur yang telah ter-
sedia tidak terjaga dan terawat dengan
baik. Sebagai contoh, banyak patok-patok
ataupun rambu lalu lintas di kawasan
perbatasan yang hilang akibat dipindah-
kan oleh masyarakat, bahkan dicuri untuk
dijual, padahal patok-patok tersebut
merupakan tanda batas wilayah negara.
Hal ini juga menjadi salah satu pemicu
persengketaan tapal batas negara, selain
memang masih banyak daerah-daerah di
perbatasan yang belum jelas statusnya
secara hukum internasional. Kondisi jalan
yang masih rusak dan tidak terhubung
menjadi faktor yang membuat lokasi dan
medan menjadi lebih sulit untuk diawasi.
Situasi ini mengakibatkan sebagian dari
sekian banyak pos penjagaan lintas batas
yang ada itu tidak dijaga dengan ketat.
Rendahnya kesadaran politik dan hukum
serta ketersediaan infrastruktur dasar
yang tidak memadai juga turut menyu-
burkan berbagai tindakan ilegal, ter-
utama penyelundupan kayu dan narkoba,
maupun meningkatnya tenaga kerja dan
pendatang gelap serta human trafficking
(perdagangan orang), terutama perem-
puan dan anak-anak.
Salah satu kunci solusi dari tantangan di
kawasan perbatasan darat Indonesia
adalah pembangunan dan penyediaan
sarana dan prasarana yang memadai,
terutama infrastruktur dasar, seperti
jalan, jembatan, dan perumahan. Kondisi
di daerah-daerah perbatasan darat Indo-
nesia merupakan potret beranda depan
negara Indonesia. Apabila tidak segera
dibenahi, maka beranda depan negara
kita akan rusak sehingga tidak akan layak
menerima “tamu” yang hendak ber-
kunjung, apalagi sebagai benteng per-
tahanan dari para “tamu tak diundang”.
(Endah)
2. Bidang pariwisata
Kesenjangan dan keterbatasan pem-
bangunan infrastruktur dasar dan eko-
nomi di kawasan perbatasan juga ber-
pengaruh pada bidang pariwisata. Apabila
jalan saja masih banyak yang berlubang-
lubang dan jembatan belum terbangun,
tentunya susah untuk dapat mengakses
kawasan wisata. Apalagi jika pasar dan
pusat-pusat ekonomi belum terbangun,
maka pastilah potensi-potensi pariwisata
di daerah-daerah perbatasan juga susah
untuk berkembang.
3. Bidang pertahanan dan keamanan
Di samping segala kesenjangan dan
keterbatasan yang disebutkan di atas,
Salah satu kunci solusidari tantangan di
kawasan perbatasandarat Indonesia adalah
pembangunan danpenyediaan sarana dan
prasarana yangmemadai, terutamainfrastruktur dasar.
Volume 38 • KIPRAH12
LAPORANUTAMA
Daerah-daerah perbatasan darat
merupakan wilayah yang
strategis sekaligus dilematis. Di
satu sisi, daerah-daerah tersebut memiliki
potensi ancaman bagi pertahanan dan
keamanan Negara Kesatuan Republik In-
donesia (NKRI). Di sisi lain, daerah-daerah
perbatasan memiliki potensi pengem-
bangan kerja sama dengan negara-negara
tetangga, khususnya di bidang ekonomi
dan pariwisata. Tak salah apabila daerah-
daerah di kawasan perbatasan dianggap
sebagai beranda depan negara. Istilah
beranda depan bagi daerah-daerah
perbatasan, yang kini tengah dipo-
pulerkan oleh pemerintah, berarti bahwa
daerah-daerah tersebut merupakan
kawasan yang secara geografis berba-
tasan dengan negara lain dan menunjuk-
kan gambaran tentang kondisi wilayah
serta jati diri bangsa Indonesia. Dengan
demikian, kondisi daerah-daerah di
wilayah perbatasan, khususnya perba-
tasan darat, dapat menjadi tolok ukur
kondisi suatu bangsa, layaknya kondisi
beranda depan yang mencerminkan
kondisi suatu rumah.
Tamu asing yang mendatangi sebuah
rumah pasti dapat menarik kesimpulan
bagaimana kondisi di dalam rumah
maupun karakter sang pemilik rumah
dengan hanya melihat beranda rumah-
nya. Apabila beranda rumahnya terlihat
berpagar rapi, bersih, dan asri, tamu
tersebut akan senang berkunjung karena
dapat menyimpulkan bahwa kondisi di
dalam rumah pastilah semenarik dan
senyaman berandanya. Pemilik rumah
pun pastilah orang yang baik serta
menyenangkan. Akan tetapi, apabila
beranda rumahnya kotor, dipenuhi pagar
Potret Beranda Depan IndonesiaDaerah-daerah di kawasan perbatasan bak beranda depan negara karena disitulah pintu gerbang bagi
wisatawan dari negara tetangga dan dunia untuk memasuki negara kita, demikian pula sebaliknya. Semakinbagus dan menarik penataan beranda depan kita, semakin banyak orang tertarik masuk ke dalam
“rumahnya”. Akan tetapi, apabila jalan masuknya saja rusak atau bahkan tidak ada, belum lagi suasana diberanda itu terlihat tak terurus, menyeramkan, dan rawan, siapa yang bersedia berkunjung?
berkawat duri, maupun tak tertata rapi,
sang tamu jadi enggan, bahkan takut
untuk melintas, apalagi masuk ke dalam
rumah tersebut. Pemilik rumahnya juga
akan dianggap sebagai orang yang tidak
ramah dan tidak menyenangkan. Oleh
karena itulah, penanganan dan pengem-
bangan kawasan perbatasan, terutama
perbatasan darat, hendaklah meng-
gunakan pendekatan strategis dengan
mempertimbangkan secara sungguh-
sungguh potensi ancaman maupun
potensi pengembangan kerja sama
dengan negara tetangga.
Di samping tetap menjaga fungsi keta-
hanan dan keamanan, pemerintah juga
perlu mengembangkan fungsi ekonomi
dan pariwisata di daerah-daerah perba-
tasan darat sehingga menarik warga
negara tetangga maupun negara lainnya
untuk mau berkunjung ke negara kita.
Pembangunan dan ketersediaan pra-
sarana dan sarana, khususnya infra-
struktur jalan, perumahan, air bersih, dan
sanitasi, menjadi faktor penentu bagi
pengembangan daerah-daerah di ka-
wasan perbatasan. Tetapi fakta di la-
pangan masih menunjukkan kalau pem-
bangunan sarana dan prasarana dasar,
terutama pembangunan infrastruktur
jalan dan jembatan, di daerah-daerah
perbatasan darat Indonesia masih belum
memadai, terutama perbatasan darat
Indonesia dengan Malaysia di Pulau
Kalimantan.
Perbedaan yang sangat mencolok dapat
dilihat dan dirasakan apabila kita berken-
dara menggunakan jalur jalan nasional
Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kalbar. (Foto: Lis)
13KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
dari Pontianak ke Entikong menuju
Kuching dan kembali dari Kuching menuju
Entikong. Meskipun jalan Trans Kali-
mantan dari Pontianak ke Entikong saat
ini jauh lebih baik dan sebagian besar telah
beraspal, namun di sana-sini terdapat jalan
yang ditambal sulam dan berlubang-
lubang. Belum lagi masih ada ruas jalan,
sekitar 32 km lebih, yang dalam tahap
deretan rumah penduduk.
Arkan Yamri, Pejabat Pembuat Komit-
men (PPK) Pengembangan Kawasan
Perbatasan Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Kalimantan Barat, menjelaskan
kepada KIPRAH bahwa pembangunan
yang paling diperlukan saat ini di kawasan
perbatasan Kalimantan Barat adalah
infrastruktur jalan. Meskipun jalan nasio-
nal (Trans Kalimantan) dan jalan poros
sudah banyak dibangun, namun jalan yang
menghubungkan kota-kota di Kalimantan
tidak semuanya dalam kondisi baik. Arkan
juga menyebutkan bahwa jarak dari jalan-
jalan penghubung yang ada masih relatif
jauh dan memutar. Ditambah lagi dengan
sarana transportasi yang belum memadai.
Kondisi tersebut berbanding terbalik
dengan di Malaysia. Perjalanan kami dari
Entikong ke Kuching juga melewati jalan-
jalan nasional beraspal yang tambal
sulam, namun tanpa ada satupun lubang.
Jalan-jalannya mulus, lebar, memiliki bahu
jalan, serta dilengkapi dengan rambu-
rambu lalu lintas, penanda arah, dan
lampu jalan yang terang benderang.
Jalan-jalan poros yang menghubungkan
jalan utama dengan perumahan pendu-
duk sebagian besar juga sudah beraspal.
KIPRAH juga melihat bagaimana ber-
bagai infrastruktur di perbatasan Malay-
sia telah terbangun dengan baik. Pusat-
pusat perdagangan serta tempat-tempat
pariwisata di sana juga ditata dengan apik
dan menarik. Berbeda dengan sebagian
besar kecamatan yang berada di perba-
tasan Indonesia, semua distrik di Malay-
sia telah memiliki pasokan listrik dan air
bersih sendiri. Dengan sendirinya, sarana
komunikasi dan informasi seperti siaran
televisi, radio, telepon, internet, maupun
koran dapat terdistribusi dengan baik
hingga ke desa-desa.
Seringnya terjadi kelangkaan persediaan
gas elpiji dan sembako membuat hampir
semua kebutuhan pokok warga Indone-
sia yang ada di perbatasan dipasok dari
Malaysia. Bahkan akibat pembangunan
sarana dan prasarana, seperti sekolah,
rumah sakit, kantor polisi, dan lain se-
bagainya yang tidak merata, warga kita
yang bersekolah maupun berobat ke Ma-
laysia pun menjadi suatu pemandangan
biasa di sana. Oleh karena itu, peredaran
uang ringgit di Entikong jauh lebih besar
dibandingkan rupiah karena mereka
membeli barang-barang kebutuhan da-
sarnya ke Sarawak yang lebih murah dan
aksesnya mudah.
Kenyataan bahwa pembangunan infra-
struktur di daerah-daerah yang menjadi
pintu gerbang Indonesia di perbatasan
Kalimantan masih belum dilengkapi
dengan sarana dan prasarana dasar yang
memadai merupakan potret beranda
depan negara kita. Pembukaan daerah
perbatasan diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi sehingga pen-
duduk lokal dapat lebih sejahtera.
Keberadaan daerah perbatasan darat
merupakan beranda depan negara kita
yang seharusnya dapat menarik turis,
khususnya turis mancanegara dari te-
tangga sebelah, untuk datang berwisata
sehingga meningkatkan devisa negara.
Akan tetapi, apabila ketimpangan infra-
struktur dan sarana serta prasarana di
daerah-daerah yang sudah disentuh
pembangunan saja masih terjadi, lalu
bagaimana nasib daerah-daerah di ka-
wasan perbatasan yang jalannya terputus
dan wilayahnya masih terisolir?
Hal ini patut mendapat perhatian dari
semua instansi pemerintah, terutama
terkait dengan rencana pembukaan PPLB
Aruk dan Nanga Badau. Apakah dengan
hanya membuka PPLB Aruk dan PPLB
Nangau Badau dalam waktu dekat ini
sudah dapat dikatakan sebagai upaya yang
memadai sehingga benar-benar dapat
menyejahterakan penduduk Indonesia
yang berada di kawasan perbatasan
ataukah perekonomian warga Malaysia
yang justru akan meningkat karena warga
negara kitalah yang berbondong-
bondong berwisata ke Malaysia yang
memiliki sarana dan prasarana lebih
lengkap dan infrastruktur yang lebih baik?
(Endah)
pengerasan, sehingga pengemudi yang
melewatinya harus terlonjak-lonjak di
dalam mobilnya. Sesampainya di Enti-
kong, kita pun dapat menemukan banyak
jalan-jalan poros yang masih berupa jalan
tanah, kerikil, dan batu. Selain itu,
terdapat ±50 jalan setapak dan berpuluh-
puluh jalan tikus yang menghubungkan
55 desa di Kalimantan Barat dengan 32
kampung di Sarawak. Apabila malam
menjelang, Trans Kalimantan terselimuti
pekatnya kegelapan malam karena fasi-
litas lampu jalan masih belum ada. Hanya
lampu-lampu mobil dan sesekali sepeda
motor yang jadi penerang para pengen-
dara yang melintas. Padahal, jalan-jalan di
Kalimantan tidak memiliki bahu jalan
karena biasanya langsung berada di tepi
tebing, jurang, ataupun sungai kecil, dan
Volume 38 • KIPRAH14
LAPORANUTAMA
Pulau Nipa Tenggelam,
Oleh : **Ade Syaiful R
Kedaulatan NKRI Terancam
Pulau Nipa secara geografis berada
pada koordinat 103° 39’ 11" BT dan
1° 09’ 13" LU, sedangkan secara ad-
ministratif pulau ini terletak di Desa
Pemping, Kecamatan Belakang Padang,
Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pulau yang dilintasi sekitar 50.000 kapal
laut per tahun tersebut terletak di Selat
Philip, diapit oleh negara Singapura dan
Pulau Batam. Pulau ini merupakan salah
hampir tenggelam. Apalagi dengan
maraknya kegiatan eksploitasi pasir (laut
dan darat) maupun bahan granit yang
diselundupkan ke Singapura. Padahal jika
dilihat dari berbagai sisi kepentingan
negara, keberadaan pulau ini sangat
strategis sehingga harus segera dilakukan
upaya-upaya penyelamatan. Ancaman
tenggelamnya Pulau Nipa, yang merupa-
kan pulau terluar dari wilayah Indonesia
Tembok laut dengan konstruksi batu. (Foto: Dok.)
Keberadaan pulau-pulau terluar di kawasan perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiamemegang peranan penting untuk menjaga kedaulatan bangsa. Tak pelak, menjaga keberadaan
pulau-pulau yang menjadi garda depan negara kita mutlak adanya.
satu dari 20 (dua puluh) pulau kecil terluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia (NKRI).
Luas wilayahnya yang hanya sebesar 63
ha pada saat permukaan air laut terendah,
58 ha pada saat permukaan air laut rata-
rata, dan 28 ha pada saat permukaan air
laut tertinggi, menjadikan pulau yang
nyaris hilang dari peta Indonesia ini
15KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
yang berbatasan langsung dengan Singa-
pura, akan menjadi ancaman pula bagi ke-
daulatan Republik Indonesia.
Upaya Penyelamatan
Sebelum dilaksanakannya pekerjaan kon-
servasi, kondisi Pulau Nipa sangat kritis
akibat pengaruh abrasi, baik yang di-
sebabkan oleh gelombang laut musiman
maupun oleh gelombang yang ditimbul-
kan dari lalu lintas kapal. Kondisi ini
semakin diperparah akibat adanya ak-
tivitas pengambilan pasir laut yang tidak
terkendali di sekitar Pulau Nipa.
Pada tanggal 20 Februari 2004, Presiden
RI Megawati Soekarnoputri berkunjung
ke Pulau Nipa dan mencanangkan di-
mulainya kegiatan konservasi Pulau Nipa
dengan pertimbangan bahwa:
1. Pulau Nipa adalah salah satu pulau
terluar yang berbatasan langsung
dengan negara Singapura;
2. Terdapat benchmark (titik dasar) di
Pulau Nipa dengan kode TD 190 dan
TD 190A yang berfungsi sebagi acuan
pengukuran dan penetapan median
line pada perjanjian perbatasan Indo-
nesia–Singapura pada tahun 1973; dan
3. Luasan (ukuran) pulau ini yang relatif
kecil menjadikannya sangat sensitif
terhadap perubahan alam atau ak-
tivitas manusia.
Pulau karang seluas 63 ha ini terbagi
menjadi empat zona, yaitu zona utara
(seluas 15,00 ha), zona hutan bakau
(seluas 12,28 ha), zona selatan (seluas
16,19 ha), serta zona laguna pasir (seluas
6,91 ha). Untuk menjaga Pulau Nipa dari
ancaman abrasi, maka Kementerian PU
melakukan pembangunan untuk pe-
ngamanan pantai melalui pembuatan
tembok laut dengan konstruksi batu di
sekeliling Pulau Nipa sepanjang 4,3 km
hingga mencapai elevasi ± 5,2 m. Setelah
itu, dilanjutkan dengan pemasangan te-
trapod (salah satu jenis konstruksi pe-
mecah gelombang) sebagai armour
(lapisan pelindung) tanggul batu ter-
hadap hantaman gelombang. Disamping
itu, dilakukan pula pengisian pasir laut di
zona utara dan zona selatan hingga
meningkatkan elevasi ± 4,6 m, pengisian
pasir laut di zona hutan bakau hingga
mencapai elevasi ±1,8 m, dan pengisian
tanah timbunan di zona utara dan selatan
setebal 0,6 m hingga mencapai elevasi
±5,2 m.
Selain pemasangan tetrapod serta
penimbunan tanah dan pasir, dilakukan
pula pembangunan dermaga TNI AL,
pembangunan jalan penghubung antara
zona utara dengan zona selatan, dan
pembangunan sarana penunjang lainnya,
diantaranya jalan lingkungan, lahan
parkir, serta fasilitas mesin dan listrik.
Selain terdapat bangunan Monumen
Pencanangan Konservasi Pulau Nipa di
zona selatan dan bangunan Plaza Monu-
men Peresmian Konservasi Pulau Nipa
di zona utara, Kementerian PU yang
berkoordinasi dengan TNI AL juga
membangun guest house dan pos Satuan
Tugas (Satgas) Pengamanan Pulau
Terluar Korps Marinir yang berlokasi di
zona utara dengan konstruksi atap beton
yang dilengkapi dengan menara pe-
ngawas, bungker pertahanan, tandon air,
ruang genset, gudang BBM, menara
setinggi 30 meter untuk memonitor
situasi di perbatasan, serta jajaran barak-
barak para anggota TNI-AL yang di-
lengkapi dengan
instalasi sarana pe-
nunjang lainnya,
seperti pembang-
kit listrik tenaga
sel surya, mesin
penyuling air laut,
dan lain sebagai-
nya.
Kondisi Kini Sete-
lah Konservasi
Kini, kegiatan kon-
servasi yang pen-
canangannya di-
mulai sejak tahun
2004 ini telah selesai dilaksanakan. Pulau
Nipa sebagai pulau terluar NKRI sekarang
juga memiliki potensi menjadi objek
wisata bahari yang menarik wisatawan.
Selain lokasinya yang eksotis dengan
pemandangan di bawah laut yang sangat
indah, fasilitas di sana juga sudah men-
dukung. Semua jalan menuju pos TNI AL
dipasangi paving blok di sekeliling pos. Di
samping itu, fasilitas penerangan juga
telah tersedia sehingga kondisi pulau
tersebut pada malam hari sudah terang
benderang. Yang tak kalah pentingnya,
di pulau terluar ini juga telah berdiri guest
house berupa rumah adat Minahasa
berlantai dua yang siap digunakan untuk
menerima kunjungan tamu. Sudah dila-
kukan pula penanaman pohon kelapa dan
cemara laut yang kian mempercantik
Pulau Nipa. Oleh karena itulah, setelah
segala usaha ekstra yang dilakukan oleh
berbagai pihak untuk keberhasilan upaya
konservasi ini, cita-cita untuk mewu-
judkan Pulau Nipa sebagai objek wisata
bahari tinggal selangkah lagi. Sekarang
tinggal bagaimana hasil konservasi Pulau
Nipa tersebut dapat dimanfaatkan se-
besar-besarnya untuk menjaga tegaknya
kedaulatan NKRI secara utuh sekaligus
untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau.
** Kepala Sub Bidang Penyiapan
Pelaporan Puskom PU
Pulau Nipah. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH16
Pembangunan Pulau Nipa di Provinsi
Kepulauan Riau yang terletak di
Selat Philip telah selesai diker-
jakan. Kini proses alih status pulau terluar
yang berbatasan langsung dengan
Singapura itu sedang dilakukan antara
Kementerian Pekerjaan Umum (PU)
dengan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP).
Menurut Sekretaris Jenderal Kemen-
terian PU, Agoes Widjanarko, alih status
Pulau Nipa dimaksudkan untuk mengop-
timalkan pemanfaatan aset, tertib pe-
natausahaan aset, dan menghindari
kerusakan sarana dan prasarana yang
telah dibangun. Untuk itu, pemeliharaan
dan pengamanan menjadi penting.
Sementara itu, Suprapto, Kasubdit
Pengamanan Pantai, Dit Rawa dan Pantai,
Ditjen SDA, menjelaskan bahwa aset
negara yang diserahkan berupa tembok
pantai sepanjang 3.740 m di sekeliling
pulau dengan total luas 60 ha, tetrapod
(1,2 ton) sepanjang 2.945 m untuk peng-
amanan pantai, reklamasi penimbunan
pasir laut pada areal seluas 992,000 m2
dengan total volume 1.584.184,65 m3, dan
tanggul keliling sepanjang 4.983 m.
Disamping itu, diserahkan pula dermaga
Makna Strategis Pulau Nipa
sepanjang 155,20 m dengan panjang
trestle (struktur jembatan) 45 m yang
terletak di sisi barat.
Aset lain yang juga diserahkan adalah area
penghijauan kawasan pantai untuk pe-
nanaman pohon bakau seluas 23,8 ha,
jalan lingkungan (2,9 km), jalan peng-
hubung seluas 4.408,50 m2, serta lahan
parkir seluas 2.400 m2, saluran drainase
sepanjang 569,00 m, 2 unit bangunan
bungker dengan luas 61,40 m2, 3 unit
genset masing-masing berkekuatan 65
kva dan 250 kva lengkap dengan
bangunan rumah genset serta gudang
maupun tangki BBM.
Kementerian PU juga menyerahkan satu
unit masing-masing helipad, instalansi
hidran, plaza monumen, menara pe-
ngawas, dan satu jaringan mekanisasi
elektrikal. Bangunan Pos Terpadu TNI-
Polri, bangunan Penelitian Biota Laut dan
Mangrove, serta shelter nelayan ikut pula
diserahkan.
Awal dibangunnya Pulau Nipa ini dilatar
belakangi kekhawatiran terhadap an-
caman hilangnya pulau karang ini dari
peta wilayah Indonesia yang dulu
nyaris tenggelam akibat pengerukan
pasir laut dari negara tetangga Singa-
pura.
Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan
Umum ditunjuk sebagai pelaksana pem-
bangunan penyelamatan Pulau Nipa,
antara lain melalui reklamasi dan pem-
bangunan infrastruktur multifungsi.
Menurut Suprapto, selain untuk me-
nyelamatkan pulau tersebut dari ke-
mungkinan tenggelam, langkah tersebut
juga untuk mengamankan titik pangkal
batas RI-Singapura dan RI-Malaysia agar
tidak hilang. Bila hilang, maka dampaknya
adalah bergesernya median line sehingga
akan mempenga-
ruhi batas wilayah
NKRI. Secara spe-
sif ik lagi, ber-
pengaruh terha-
dap Zone Eko-
nomi Eksklusif
(ZEE) Indonesia.
Satu hal yang pasti,
Pulau Nipa harus
dijaga dan diper-
tahankan kebera-
daannya agar te-
tap lestari. (Joe)
Suprapto, KasubditPengamanan Pantai,
Dit. Rawa dan Pantai,Ditjen SDA PU. (Foto:
Joe)
LAPORANUTAMA
Fasilitas Pos TNI AL di Pulau Nipa. (Foto: Dok.)
17KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
Apa Kata Mereka...
Infrastruktur dasar di daerah
perbatasan sangat tertinggal
jauh dibanding daerah lain, ter-
utama prasarana perhubungan se-
perti jalan dan jembatan, listrik, air
bersih, telekomunikasi, pendidikan,
dan kesehatan. “Semuanya serba
kekurangan,” kata Erna (20) gadis
Dayak yang tinggal di Jalan Sudirman
No. 70, Sanggau, Kalbar.
Prasarana jalan dan jembatan misal-
nya, belum semua daerah kabupa-
ten/kota dan kecamatan dapat di lalui
melalui jalan darat. Masyarakat masih harus menggunakan jalur
sungai. Demikian pula dengan pelayanan listrik, ibarat minum
obat, sehari nyala dua hari padam, padahal tagihan rekening
listrik terus berjalan.
“Bagaimana mau bela negara kalau warga perbatasan miskin
dan sakit-sakitan, “ keluh Erna. Keluhan serupa juga diungkapkan
kawan-kawan Erna yang sekarang sedang menempuh pendidikan
di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalbar.
Menurut Erna, sudah waktunya pemerintah memperhatikan
daerah perbatasan yang selama ini tertinggal. Alasannya, setelah
64 tahun Indonesia merdeka, kemerdekaan itu belum banyak
dinikmati oleh sebagian besar warga perbatasan. (Joe)
Susanto, petugas penjaga di
PPLB Entikong, mengatakan
bahwa setiap harinya sekitar
800 orang keluar-masuk melalui pos
tersebut. Terlebih dalam musim
liburan kali ini, jumlah tersebut
meningkat. Pos penjagaan yang
dibuka sejak jam 8 pagi hingga 5 sore
itu juga melayani visa on arrival bagi
turis asing. Susanto mengatakan
bahwa kebanyakan orang yang
keluar-masuk di pos perbatasan ituSusanto
Erna
adalah penduduk Kalbar dan Sarawak. Turis asing yang
diharapkan datang lebih banyak, jumlahnya masih jauh dari yang
diharapkan. Sampah yang masih tampak di beberapa sudut di
pos penjagaan itu turut memperburuk wajah pos penjagaan di
Entikong. Berkaitan dengan hal ini, Susanto berharap
penambahan tempat sampah di pos itu dan denda bagi yang
membuang sampah. “Di Kuching jauh lebih bersih daripada di
sini, makanya orang lebih senang ke sana,” ujarnya. Petugas
kebersihan memang sudah dikerahkan di pos penjagaan itu,
tetapi jika tiap saat sampah selalu ada akibat tidak disiplinnya
warga, maka hal itu akan memperberat tugas petugas
kebersihan sekaligus memperburuk citra bangsa Indonesia. (Lis)
Menurut Andreas Araujo,
warga Kabupaten Belu
yang berbatasan langsung
dengan negara Republik Demokratik
Timor Leste (RDTL), daerahnya
mendapat tekanan masalah paling
depan dan berat dibandingkan dae-
rah lain, padahal kemampuan Belu
masih sangat terbatas. Isu strategis
dari daerah ini adalah identitas
tertinggal, terdepan, dan terluar akibat dari minimnya
infrastruktur prasarana jalan, irigasi, air bersih, permukiman,
serta lisrik sehingga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang
cukup parah. Hingga kini, rakyat Belu masih harus berkelit
dengan nasib dan terus berkutat dengan berbagai persoalan
demi mencukupi kebutuhan dasarnya. Kondisi itu diperparah
dengan masalah para pengungsi eks Timor Leste menyangkut
pendataan, penyediaan prasarana permukiman, dan lapangan
kerja yang hingga kini belum tuntas. Kiranya Belu perlu kebijakan
khusus untuk meningkatkan kesejahteraaan rakyatnya. (Joe)
Sugeng Permana (50)
pengusaha Samarinda,
Kaltim. Belum lengkapnya
pergudangan dan sistem penga-
turan ekspor-impor di Nunukan
menyebabkan barang-barang komo-
ditas ekspor dari Kaltim dan Sulawesi
kurang maksimal dikirim ke negara
jiran Serawak. Padahal, barang-
barang seperti karet, kopra, kelapa sawit, dan hasil hutan lainnya
sangat dibutuhkan oleh masyarakat seberang. Kondisi ini perlu
diperhatikan oleh pemerintah agar komoditas ekspor kita
meningkat. Persoalan lainnya adalah menyangkut pelayanan
infrastruktur yang perlu ditingkatkan, khususnya infrastruktur
perhubungan menuju kawasan perbatasan. Demikian pula
dengan penyediaan fasilitas listrik, pendidikan, dan kesehatan.
Nyatanya, daerah perbatasan memang masih sangat tertinggal
jika dibandingkan dengan daerah lainnya. (Joe)Sugeng Permana
Andreas Araujo
Volume 38 • KIPRAH18
LAPORANUTAMA
Terkait dengan ramainya berita
mengenai kawasan perbatasan,
KIPRAH pun mencoba menelusuri
permasalahan perbatasan dari sisi ga-
rapan pekerjaan umum (PU). Berikut
laporannya.
Telah banyak kita dengar dan lihat masalah perbatasan menjadi semakin rumit dan kompleks. Kompas (3/6)menyebutkan sejak tahun 1977 terdapat 2.000 warga Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang, yang
tinggal di daerah perbatasan Kalimantan Barat-Serawak, memilih berganti kewarganegaraan menjadiwarga negara Malaysia. Angka ini kemungkinan masih akan terus bertambah akibat adanya kesenjangan
pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum di perbatasan Indonesia-Malaysia tersebut.
Tantangan Pembangunan
di Tapal Batas
Indonesia memiliki luas hampir 2 juta
km2, dikelilingi oleh 10 negara tetangga
(Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei
Darussalam, Papua Nugini, Palau, Timor
Leste, Australia, Vietnam, dan Filipina).
Berdasarkan PP No 26 tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN) terdapat 10 kawasan per-
batasan negara, terdiri dari 3 kawasan
perbatasan negara matra darat dan 7
kawasan perbatasan negara matra laut.
Dari 10 kawasan perbatasan negara
Wilayah perbatasan kini semakin diperhatikan dengan membangun berbagai prasarana infrastruktur, seperti peningkatan struktur dankapasitas jalan di Tanjung Harapan - PLB Aruk Kab. Sambas, Kalbar. (Foto: Heroe)
19KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
tersebut, 9 (sembilan) di antaranya
merupakan kawasan yang berhadapan
dengan wilayah darat/laut negara
tetangga dan 1 (satu) kawasan berha-
dapan dengan laut lepas.
Kawasan perbatasan matra darat me-
ngacu pada peraturan internasional dan
kesepakatan bilateral yang ditandai oleh
titik koordinat berupa patok-patok batas
antarnegara. Adapun perbatasan matra
laut mengacu pada hukum laut inter-
nasional berupa titik koordinat batas
negara, baik batas laut teritorial dan zona
ekonomi eksklusif (ZEE), maupun batas
landas kontinen.
Jika dilihat dari kekayaan sumber daya
alam dan kondisi sosial ekonomi masyara-
katnya, hal ini sungguh sangat paradoks.
Di satu sisi sumber daya alamnya melim-
pah (darat dan laut), tetapi di sisi lain
kondisi masyarakatnya tertinggal, miskin,
dan terisolir. Kekayaan yang ada justru
dieksploitasi dan dibawa keluar oleh
negara lain dengan menyisakan kemis-
kinan di dalam negeri. Setidaknya,
gambaran itu terekam pada saat KIPRAH
melakukan perjalanan jurnalistik ke
daerah perbatasan Nunukan di Kaltim,
Pulau Nipa di Kepulauan Riau, serta Pos
Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Enti-
kong dan Aruk di Kalbar beberapa waktu
lalu.
Sumber Ditjen Tata Ruang Kementerian
Pekerjaan Umum menyebutkan bahwa
permasalahan utama dari ketertinggalan
pembangunan di wilayah perbatasan
adalah arah kebijakan pemerintah pusat
dan daerah yang selama ini cenderung
berorientasi “inward looking”, yaitu
melihat kawasan perbatasan sebagai
halaman belakang, bukan halaman depan
atau bukan wilayah prioritas, sehingga
belum banyak tersentuh oleh pelayanan
dasar, apalagi untuk wilayah pulau-pulau
kecil yang letaknya terisolir.
Banyak kampung di kawasan perbatasan
yang saat ini hanya bisa dijangkau dengan
menggunakan alat transportasi sungai
atau berjalan kaki akibat infrastruktur dan
fasilitas umum di desa-desa itu masih
sangat minim. Fasilitas kesehatan seperti
puskesmas dan sekolah juga mempri-
hatinkan, apalagi air bersih, listrik, dan
telekomunikasi.
Contoh kongkrit tentang apa yang terjadi
di wilayah perbatasan Kalbar-Serawak
dapat dilihat dari fasilitas umum dan
infrastruktur yang hampir semuanya
tersedia dengan baik di Serawak (Malay-
sia), sementara di Kalbar (Indonesia)
masih jauh tertinggal. Permintaan
Pemprov. Kalbar ke pusat untuk mem-
bangun jalan pararel di wilayah perba-
tasan sepanjang sekitar 800 kilometer
sampai sekarang juga belum terealisasi.
Melihat kondisi seperti itu, penduduk
perbatasan pun akhirnya cenderung
memilih pindah wilayah. Apalagi daerah
yang disasar tidak terlalu jauh dari
kampung mereka dan masih terjalin
hubungan kekarabatan keluarga, sebagai-
mana yang terjadi di Desa Suruh Temba-
wang, Kecamatan Entikong, Kabupaten
Sanggau, maupun di beberapa desa di
Kabupaten Bengkayang.
“Untuk mencegah agar tidak terjadi
peralihan kewarganegaraan, sudah
saatnya paradigma pembangunan kewi-
layahan diubah dari inward looking
menjadi outward looking. Kawasan
perbatasan harus diperhatikan dengan
melengkapi sarana dan prasarana infra-
struktur dan fasilitas umum,” tegas
Numsuan Madsun, Kepala Bagian Humas
Provinsi Kalimantan Barat.
Persoalan
Dari berbagai seminar maupun laporan
resmi tentang perbatasan, ada indikasi
paling kurang 8 (delapan) persoalan
yang belakangan ini merasuk ke Indone-
sia melalui wilayah atau kawasan per-
batasan. Persoalan pertama meliputi ke-
rentanan kawasan perbatasan terhadap
intervensi asing, terutama pulau-pulau
terluar, seperti Sangir dan Talaud yang
berbatasan langsung dengan Kepulauan
Mindanao, Filipina.
Kemudian, kawasan perbatasan rentan
terhadap perdagangan dan penyelun-
dupan senjata, seperti penyelundupan
senjata dari Kepulauan Mindanao ke
daerah rawan konflik di Ambon dan Poso.
Kawasan perbatasan juga dilaporkan
Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Aruk di Sambas, Kalbar yang akan diresmikan dalamwaktu dekat. (Foto: Heroe)
Volume 38 • KIPRAH20
LAPORANUTAMA
menjadi kawasan transit bagi alur lalu
lintas teroris internasional. Hal itu
terungkap dalam berbagai laporan resmi
dan sidang beberapa kasus teror.
Tak hanya itu, kawasan perbatasan juga
menjadi ajang perdagangan dan penye-
lundupan barang-barang elektronik,
narkoba, serta minuman berakohol dan
non-alkohol. Demikian pula dengan
maraknya peredaran dolar palsu, per-
dagangan manusia, pencurian hasil hutan
(kayu, rotan, damar dll), seperti yang
terjadi di PPLB Entikong, Jagoi Babang,
Aruk, dan Nanga Badau di Kalbar ataupun
daerah perairan Nunukan di Kaltim.
Nunukan misalnya, sebagai pintu gerbang
wilayah utara Indonesia bagian tengah,
kabupaten ini berbatasan langsung
dengan Malaysia dan Filipina serta
menjadi alur lalu lintas kapal dari Austra-
lia-Oceania ke Asia Timur. Meski daerah
ini memiliki sumber kekayaan alam dan
hasil bumi yang melimpah, di sepanjang
pesisir timur Kalimantan, namun belum
memiliki pelabuhan dan bounded zone
yang menyebabkan hasil komoditas
Kaltim, Kalteng, Sulteng, bahkan Sulsel
dan Gorontalo belum bisa tertampung
sepenuhnya di Nunukan.
Selama ini posisi geografis tersebut
dikenal hanya dimanfaatkan untuk lalu
lintas Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang
akan menyeberang ke Kota Tawau di
Sabah, Malaysia. Di Nunukan, setiap
harinya ribuan orang bercampur-baur,
dari para pekerja, pedagang harian,
hingga TKI, menyeberang dari Pelabuhan
Tunon Taka menuju Tawau.
Perdagangan tradisional pun berlangsung
di jalur ini. Rokok Indonesia membanjiri
Malaysia dan Filipina, sebaliknya barang-
barang kebutuhan sehari-hari, seperti
minuman, susu, mi instan, dan beras
hingga tabung gas Shell buatan Malaysia
membanjiri Nunukan karena selain lebih
lengkap dan mudah diperoleh, harganya
pun lebih murah dibanding buatan Jawa.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di
Aruk di Kabupaten Sambas dan Entikong
di Kabupaten Sanggau, Kalbar. Bedanya,
perbatasan di Kalbar dibatasai oleh matra
darat sehingga dapat ditempuh dengan
menggunakan transportasi umum, se-
perti truk, bus antarnegara (Pontianak-
Kuching), ataupun kendaraan dinas
maupun pribadi. Di sini, kegiatan transaksi
dagang dilakukan secara langsung di
pasar bebas kedua negara. Pemandangan
“truk adu pantat” untuk mengalihkan
barang dagangan dari Malaysia ke Indo-
nesia dan sebaliknya menjadi peman-
dangan sehari-hari. Nurdin (40), warga
Sanggau yang ditemui Kiprah seusai
belanja di Kuching, mengatakan bahwa
kebutuhan sehari-hari seperti gula pasir,
minuman, dan barang-barang elektronik,
lebih mudah dan murah didatangkan dari
Serawak dibandingkan dari Pontianak,
padahal warga Entikong membeli dalam
ringgit Malaysia yang nilai tukarnya
terhadap rupiah lebih tinggi. Ungkapan
“Merah Putih Benderaku, Ringgit
Uangku” agaknya benar adanya. Demi-
kianlah sepenggal potret Nunukan dan
Entikong dengan arus TKI dan per-
dagangan lintas batas tradisional yang
berlangsung hingga kini.
Miskin
Kawasan perbatasan sering pula dila-
porkan sebagai daerah miskin dan rawan
bencana alam, gizi buruk, anak putus
sekolah, kriminalitas, serta terisolasi
akibat masih terbatasnya prasarana dan
sarana infrastruktur di sana. Gambaran ini
terlihat jelas di Kabupaten Belu, Nusa
Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan
langsung dengan Timor Leste.
Di wilayah ini, banyak desa yang belum
memiliki sarana air bersih, jalan raya,
listrik, maupun permukiman sehat akibat
bu-ruknya sanitasi lingkungan. Selain itu,
tapal batas Belu ini juga menyimpan
banyak masalah, seperti pengungsi (eks
Timor Timur), praktik penyelundupan
hasil pangan, produk tanaman perda-
gangan hasil hutan (kayu), maupun
pencurian ternak rakyat. Masalah perba-
tasan pun semakin meruncing manakala
oknum aparat keamanan tidak berlaku
adil dan menegakkan hukum sebagaimana
mestinya.
Rawan Bobol
Kurangnya perhatian dari pemerintah
membuat kawasan perbatasan menjadi
rawan dibobol oleh negara lain. Hal iniRumah tinggal suku Dayak yang tinggal di wilayah perbatasan Sanjingan, Kalbar. (Foto: Heroe)
21KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
menjadi persoalan penting bagi Indone-
sia, karena apabila wilayah perbatasan
bobol, yang bobol bukan daerah itu saja
tetapi juga mengganggu kepentingan
nasional dan ikut memperlemah posisi
Indonesia di mata internasional.
Seperti halnya kemiskinan, keterbe-
lakangan yang terjadi di daerah-daerah
perbatasan juga membuat Indonesia ikut
sakit. Demi keamanan perbatasan tidak
bisa serta merta menempatkan tentara
dalam jumlah besar untuk menjaga
seluruh kawasan perbatasan karena
selain mahal, juga tidak akan meme-
cahkan persoalan. Artinya, kemiskinan dan
beragam keterbatasan yang ada di daerah
perbatasan menjadi amat strategis untuk
segera ditanggulangi karena fungsi
penduduk di sana sekaligus menjaga
kedaulatan Ibu Pertiwi. Sebaliknya, mana
mungkin warga perbatasan dapat menjadi
penjaga perbatasan yang andal dan gagah
berani apabila ekonominya buruk, miskin,
kesehatannya kurang menunjang, dan
pendidikannya serba pas-pasan. Yang
terjadi justru tenaga Indonesia direkrut
dan dibayar negara tetangga untuk
menjaga tapal batas mereka. Sungguh
ironis.
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan
Nasional (BBPJN) VII, Subagio, yang
menangani jalan perbatasan di Pulau
Kalimantan mengakui bahwa kondisi
prasarana jalan mereka (Malaysia) jauh
lebih bagus dan lengkap dibanding kita,
namun jenjang perbedaan itu secara
bertahap akan dikurangi.
Subagio menjelaskan bahwa langkah
kongkrit yang dilakukan antara lain
pembangunan dan preservasi jalan, yaitu
meningkatkan kapasitas dan struktur
serta pemeliharaan jalan menuju kawasan
perbatasan, dari lebar semula rata-rata
4,5 m menjadi 6 m dengan tekanan gandar
maksimum 10 ton. Hal ini telah di-
laksanakan pada ruas Pontianak-
Singkawang-Sambas menuju Aruk se-
panjang 380 km, maupun ruas Pontianak-
Sosok-Tanjung-Sanggau hingga pos lintas
batas Entikong.
Hal yang sama juga dilakukan pada ruas
Bontang ke arah utara menuju Tarakan
hingga Nunukan batas Serawak di Kaltim.
Terkait dengan penyediaan anggaran.
untuk jalan pararel perbatasan, kini
sedang dalam pembahasan antara masing-
masing pemda dengan BBPJN VII.
Peran Manusia
Sebetulnya jawaban atas persoalan yang
ada di kawasan perbatasan sudah diajukan
Presiden Megawati saat meresmikan
seminar nasional tentang Satal (Maret
2003). Presiden ketika itu mengatakan
bahwa faktor paling penting untuk me-
mecahkan persoalan tersebut adalah
meningkatkan peran manusia selaku
pelaku utama di lapangan. Tentu terje-
mahannya adalah memberdayakan rakyat
dari sisi ekonomi dan sosial budaya, antara
lain dengan meningkatkan pelayanan
infrastruktur dasar, seperti jalan, air
bersih, permukiman, listrik, prasarana
pendidikan, pelayanan kesehatan dan
telekomunikasi di wilayah perbatasan.
Masalah transportasi perhubungan men-
jadi penting karena keberadaannya dapat
memperlancar aksesibilitas rakyat untuk
membuat perekonomiannya menjadi
semakin terbuka. Harus bisa dihindarkan
ekonomi rakyat yang terhenti akibat
terhadang masalah transportasi.
Perekonomian rakyat di perbatasan juga
harus didorong sehingga mereka mampu
memenuhi seluruh keperluan hidupnya.
Jangan sampai terjadi lagi situasi untuk
perawatan dan pelayanan kesehatannya,
rakyat perbatasan harus pergi ke ibu kota
kabupaten atau provinsi yang jaraknya
cukup jauh. Pendidikan rakyat pun harus
ditingkatkan. Tentu tidak boleh terjadi
jikalau minimnya fasilitas pendidikan yang
ada membuat warga yang ingin melan-
jutkan pendidikan lebih tinggi beramai-
ramai meninggalkan daerahnya, sehingga
saat mereka selesai, mereka pun enggan
kembali ke kampung halaman akibat tidak
adanya lapangan pekerjaan.
Persoalan lain yang mesti menjadi per-
hatian pemerintah adalah rusaknya sistem
lingkungan hidup (ekosistem), menyusul
penggundulan hutan semena-mena di
kawasan perbatasan Kalimantan yang
berdampak sangat parah terhadap ke-
hidupan masyarakat setempat. Oleh
karena itu, sudah saatnya memandang
perbatasan sebagai pintu gerbang akti-
vitas ekonomi dan perdagangan dengan
negara tetangga. (Joe)
Peningkatan jalan dengan betonisasi pada ruas jalan nasional Sambas - Tanjung Harapansepanjang 70 km. (Foto: Heroe)
Volume 38 • KIPRAH22
Kemajuan suatu daerah dapat
diukur salah satunya dari
keberhasilannya membangun
jalan. Sebagaimana dipahami bersama,
infrastruktur jalan merupakan prasarana
vital yang harus tersedia guna membuka
akses dari dan ke daerah perbatasan.
Masih minimnya pembangunan infra-
struktur jalan dan jembatan menjadikan
daerah-daerah yang ada di garis perba-
tasan di Kalimantan, khususnya di Kali-
mantan Barat (Kalbar), masuk ke dalam
kategori kawasan tertinggal dan terisolir.
Kawasan perbatasan Entikong (Kabu-
paten Sanggau) dan Aruk (Kabupaten
Sambas) dapat menjadi salah satu contoh
daerah perbatasan yang perlu mendapat
prioritas perhatian dan penanganan
serius dari segala bidang, khususnya dalam
hal pembangunan infrastruktur serta
sarana dan prasarana yang memadai.
Entikong adalah sebuah kecamatan di
Kabupaten Sanggau, Kalbar dengan luas
wilayah sekitar 506,89km² dan dihuni oleh
±13.346 jiwa penduduk. Sebagai salah satu
kecamatan yang di Kabupaten Sanggau,
wilayah utara Entikong berbatasan lang-
sung dengan Tebedu di Sarawak, Malay-
sia. Sementara itu, wilayah selatannya
berbatasan dengan Kabupaten Ketapang,
bagian barat dengan Kabupaten Landak,
serta di bagian timur berbatasan dengan
Kabupaten Sintang dan Kabupaten
Sekadau. Entikong menjadi pintu gerbang
perbatasan darat resmi yang paling
banyak digunakan oleh pelintas batas dari
Indonesia ke Malaysia dan sebaliknya.
Entikong menjadi penghubung jalur Trans
Borneo yang melintas dari Sandakan
(Sabah), Bandar Seri Begawan (Brunei
Darussalam), Kuching (Sarawak), dan
Pontianak (Kalimantan Barat). Jalur darat
Entikong yang berbatasan langsung
dengan negara Malaysia terkenal sebagai
jalur sutera bagi para pedagang dan
tenaga kerja Indonesia, terutama yang
berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera.
Entikong dan Aruk:
Sebagai salah satu beranda negara yang akhir-akhir ini mendapatkan banyak sorotan, kawasan perbatasandi Kalimantan ternyata masih menyisakan berbagai persoalan yang mesti ditangani secara lebih serius.Kondisi kawasan perbatasan di pulau yang masih indah dan alami ini nyatanya menghadapi berbagai
keterbatasan, baik akses maupun fasilitas.
Tantangan Pembangunan InfrastrukturPerbatasan di Kalimantan
Pembangunan jalan nasional dari Pontianak menuju Entikong yang masih dalam tahap penyelesaian. (Foto: Lis)
LAPORANUTAMA
23KIPRAH • Volume 38
Dari hasil perjalanan tim KIPRAH ke
kawasan perbatasan Entikong bulan Juli
lalu, ternyata masih banyak masalah yang
harus segera diselesaikan untuk menja-
dikan kawasan perbatasan ini benar-benar
layak disebut sebagai beranda depan
wilayah Negara RI.
Salah satu masalah utamanya adalah
kondisi akses jalan dari Pontianak (ibu kota
Provinsi Kalbar) ke perbatasan Entikong
yang masih belum mulus. Perjalanan darat
dari kota Pontianak menuju ke Entikong
harus ditempuh dengan dalam waktu
yang cukup lama, yakni 8 jam, terutama
karena adanya pengerjaan pembangunan
jalan sepanjang 100 km di sekitar keca-
matan Tayan. Dalam perjalanan itu,
beberapa truk tampak melambatkan laju
jalannya karena takut as mobil menjadi
patah. Belum lagi jika malam hari, di
sepanjang jalan itu para supir truk harus
konvoi karena medan yang cukup
berbahaya apabila mereka melintas
sendirian. Lampu penerangan yang masih
kurang dan jalan yang masih belum
beraspal, menghambat perjalanan truk-
truk yang mengangkut barang berat
tersebut menuju ke arah kawasan per-
batasan. Jalan yang tidak mulus itu
tentunya sedikit-banyak ikut mening-
katkan biaya operasional kendaraan.
Demikian pula dengan kondisi di kawasan
perbatasan Aruk, sebuah desa yang
berada di wilayah Kecamatan Sajingan
Besar, Kabupaten Sambas, Kalbar. Aruk
masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Sambas yang terletak pada bagian pantai
barat paling utara dari wilayah Provinsi
Kalimantan Barat dan memiliki akses
langsung dengan daerah Biawak dan
Kuching di Sarawak, Malaysia. Secara ad-
ministratif, sebelah utara daerah ini
berbatasan langsung dengan Serawak,
Malaysia Timur, sementara di sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan
Paloh (Kabupaten Sambas), sedangkan di
sebelah selatan berbatasan dengan Jagoi
Babang (Kabupaten Bengkayang), dan di
sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Teluk Keramat/Sejangkung
(Kabupaten Sambas).
Menjelang peresmian PPLB Aruk yang
direncanakan akan dibuka tahun 2011,
akses transportasi ke Aruk hingga kini
masih belum memadai. Perjalanan darat
ke Aruk dapat ditempuh dengan 2 (dua)
cara. Pertama, dari Pontianak ke Aruk
melalui Sambas. Kedua, melalui negeri
jiran, Sarawak, dengan jalur Pontianak-
Entikong-Kuching-Aruk.
Jika menempuh cara pertama, maka jarak
tempuh lebih lama dibandingkan cara
kedua karena untuk mencapai Aruk, dari
Pontianak kita harus melintasi Mem-
pawang, Pemangkat, Singkawang, dan
Sambas. Oleh karena Aruk masih belum
resmi sebagai PPLB dan ruas Aruk-Sambas
juga masih belum bisa dilalui kendaraan
berat, maka satu-satunya jalan dari
Pontianak menuju Aruk haruslah mele-
wati Entikong dengan jarak tempuh yang
lebih panjang.
Dalam perjalanan menuju Aruk, kita akan
menemui kondisi jalan yang masih belum
beraspal, sekitar 30 kilometer dari total
jalur sejauh 100 kilometer dari kota
Sambas ke arah PLB Aruk. Lebih dari 80
persen jalur ini adalah jalan tanah yang
masih dalam tahap pengerasan,
sedangkan sisanya berupa jalan aspal
dengan kondisi rusak. Kemudian, selepas
Kabupaten Sambas, akses jalan tanah
berpasir batu masih terbentang.
Akses yang kurang memadai dari Entikong
langsung menuju Aruk menyebabkan
banyak pengemudi yang menempuh cara
kedua, yakni melewati Sarawak terlebih
dahulu atau memilih menggunakan jalur
transportasi udara melalui Kuching. Jika
menempuh cara kedua, maka perjalanan
dari Kuching ke Aruk hanya membu-
tuhkan waktu sekitar 1,5 jam karena jalan-
jalan di sepanjang perbatasan yang ada di
negeri jiran mulus beraspal dan ber-
kualitas internasional. Diukur dari segi
jarak, melewati daerah Aruk melalui
Kuching memang lebih dekat daripada
harus ke Entikong terlebih dahulu, namun
itu artinya kita pergi ke wilayah di negara
sendiri dengan melintasi jalan negara
tetangga, bukan melewati jalan yang
dibangun oleh negara sendiri. Oleh
karena itulah, pembangunan jalan
nasional ruas Aruk-Sambas maupun ruas
Nanga Badau-Kapuas Hulu perlu menjadi
prioritas sebelum PPLB di sana
diresmikan.
Apabila infrastruktur sekaligus sarana dan
prasarana dasar yang lengkap telah
selesai dibangun, maka akan banyak
keuntungan yang bisa diperoleh karena
akan membuka akses wilayah-wilayah
terisolasi di sekitar PPLB. Selain itu, Aruk
juga akan menjadi salah satu gerbang
darat yang langsung menghubungkan
Kuching dengan Singkawang yang selama
Kondisi jalan nasional di Kuching, Malaysia. (Foto: Lis)
LAPORANUTAMA
Volume 38 • KIPRAH24
ini terkenal sebagai kota wisata di
perbatasan Malaysia.
Dampak Minimnya Pembangunan
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur, terutama
jalan dan jembatan penghubung, yang
masih minim menimbulkan berbagai
dampak, baik yang terlihat dan terasa
secara langsung maupun tidak langsung
oleh masyarakat di kawasan perbatasan.
Salah satu dampak yang dilihat dan
dirasakan secara langsung dari minimnya
pembangunan infrastruktur di kawasan
perbatasan Kalimantan ialah tersendat-
nya pembangunan sarana dan prasarana
dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat
setempat.
Tidak hanya jalan menuju perbatasan saja
yang belum dapat dijangkau dengan
transportasi darat, jalan-jalan poros di
daerah-daerah yang ada di dekat perba-
tasan Entikong dan Aruk juga demikian.
Wilayah perbatasan Kalbar memiliki
panjang lebih dari 400 km, melingkupi 5
kabupaten, 15 kecamatan, dan 116 desa,
memang merupakan tempat yang sa-
ngat luas untuk membangun infras-
truktur jalan. Topografi medan yang sulit,
berbukit-bukit dan bergunung-gunung,
merupakan kendala tersendiri dalam
membangun jalan. Belum lagi kebera-
daan jalan-jalan tikus yang tersebar di
sepanjang kawasan perbatasan, akibat
belum adanya akses yang baik menuju
kawasan perbatasan, membuka peluang
bagi para penyelundup tenaga kerja
maupun barang untuk beraksi.
“Selama ini keterbatasan pembangunan
infrastruktur jalan menjadi kendala utama
pembangunan wilayah perbatasan RI-
Malaysia di Kalbar. Pembangunan jalan
dan jembatan penghubung di Provinsi
Kalbar masih banyak dibutuhkan, ter-
utama penghubung antarkabupaten dan
antarprovinsi. Hanya tinggal di Kalbar saja
yang jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
porosnya masih banyak yang belum
tembus (masih terputus-red.),” tukas
Arkan Yamri, Pejabat Pembuat Komit-
men (PPK) Pengembangan Kawasan
Perbatasan Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi Kalimantan Barat.
Fasilitas umum yang tersedia di Aruk juga
jauh tertinggal dibanding Biawak, Sera-
wak. Fasilitas yang tersedia di Serawak,
seperti bus untuk bepergian ke berbagai
daerah, fasilitas telepon, air bersih, dan
listrik, sangat memadai. Dari segi tele-
komunikasi, masyarakat di Aruk dan
sekitarnya, juga lebih familiar dengan
Hotlink yang merupakan jaringan tele-
komunikasi selular produk Malaysia
karena dekatnya posisi daerah-daerah ini
dari perbatasan Malaysia dibandingkan ibu
kota kabupatennya, apalagi ibu kota
provinsi. “Daerah serupa kecamatan di
wilayah perbatasan di Malaysia tidak saja
memiliki jalan-jalan yang mulus dan
berstandar internasional, tetapi juga
dilengkapi dengan sarana sekolah serta
perguruan tinggi maupun rumah sakit
dan apotik yang lengkap dan berkualitas.
Pelayanan di sana juga jauh lebih baik
dibandingkan sekolah ataupun rumah
sakit di kita. Untuk mendapatkan gas elpiji,
sembako, sekolah, kesehatan, hingga
siaran berita dari Malaysia jauh lebih
mudah dan terjangkau oleh masyarakat
kita yang ada di daerah perbatasan,”
tambah Arkan.
Permasalahan lain yang cukup krusial
adalah kondisi penyediaan listrik di
daerah-daerah di kawasan perbatasan
Kalimantan yang masih menyedihkan. Di
Entikong misalnya, demi memenuhi
kebutuhan akan listrik maka pemerintah
daerahnya membeli listrik dengan kapa-
sitas yang besar diambil dari Malaysia,
tepatnya Tebedu, meskipun listrik ter-
sebut terkadang hanya dinikmati selama
beberapa jam saja. Itupun, di beberapa
tempat masih terdapat pemadaman
listrik pada waktu tertentu. Sama seperti
Entikong, kawasan perbatasan Aruk juga
mendapat pasokan listrik yang dibeli dari
Biawak, Serawak. Kondisi ini tentunya
memerlukan biaya yang cukup tinggi.
“Tetapi yang lebih penting, kondisi ini juga
menyangkut harga diri bangsa, bukan
masalah mahal atau murah,” ujar Manto
Saidi, Kabag Badan Pengelola Kawasan
Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK)
Provinsi Kalbar.
Keterbatasan infrastruktur jalan dan
jembatan penghubung juga mengaki-
batkan masih adanya desa/kecamatan di
Kalbar yang masih terisolir. Pembangunan
infrastruktur yang masih kurang memadai
serta keterbatasan akses di kawasan
perbatasan Kalimantan secara tidak
langsung juga berdampak pada pengem-Terminal barang di PPLB Entikong, Kalbar. (Foto: Lis)
LAPORANUTAMA
25KIPRAH • Volume 38
bangan potensi pariwisata maupun
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat
lokal di Kalimantan yang terkenal sebagai
daerah tujuan belanja para warga negeri
jiran. Saat ini upaya untuk menjual potensi
Kalimantan secara optimal masih ter-
kendala banyak hal seperti infrastruktur
yang kurang baik. Lokasi wisata alam yang
masih alami yang pada umumnya terletak
di daerah hulu, perbatasan, atau kepu-
lauan masih terkendala tingginya biaya
transportasi serta terbatasnya infra-
struktur menuju objek wisata unggulan.
Sebagai contoh, untuk dapat menuju ke
Taman Nasional Danau Sentarum atau
Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas
Hulu yang merupakan habitat asli orang-
utan (pongo pygmeius) Borneo, pengun-
jung harus menempuh waktu sehari-
semalam menggunakan bis umum, lalu
melanjutkan perjalanan menggunakan
speed boat. Kondisi yang sangat berbeda
dapat terlihat ketika masyarakat Kali-
mantan di perbatasan kita masih berkutat
dengan minimnya infrastruktur maupun
sarana dan prasarana dasar serta ke-
tiadaan layanan publik yang memadai, di
sisi bukit yang lain di wilayah Sarawak,
terdapat lapangan golf kualitas inter-
nasional “18 hole” dan di Batang Ai` yang
berbatasan dengan Kabupaten Kapuas
Hulu, telah pula dibangun sebuah resor
berskala internasional yang tidak pernah
sepi pengunjung. Pengunjung di sana
disuguhi keindahan alami hutan setelah
memanjat menara kayu setinggi belasan
meter. Ironisnya, yang dijual adalah
pemandangan hutan di perbatasan Kalbar
yang masih asri.
Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka
potensi pariwisata daerah-daerah di
perbatasan kita tidak akan dapat berkem-
bang, justru malah terus-menerus di-
eksploitasi oleh negara tetangga. Padahal
menurut warga setempat, orang-orang
Sarawak dan Brunei Darussalam banyak
yang masuk ke Kalbar dan Kaltim untuk
berbelanja. Kurs rupiah yang lebih rendah
dibanding ringgit Malaysia atau dolar
Brunei Darussalam membuat harga
produk-produk dari Indonesia terasa lebih
murah untuk mereka borong. Kondisi ini
mengakibatkan aksesibilitas di kawasan
perbatasan Kalimantan jauh lebih tinggi
terhadap wilayah perbatasan di kota-kota
perbatasan Malaysia, yang pada akhirnya
mengakibatkan rendahnya kesejahteraan
warga di perbatasan. Menurut informasi,
saat ini pendapatan per kapita masyarakat
Entikong masih jauh di bawah pendapatan
per kapita masyarakat perbatasan Malay-
sia yang konon telah mencapai US $
11.000.
Oleh karena itulah, di samping dampak
dari rendahnya kesejahteraan warga
setempat, maraknya berbagai penyelun-
dupan yang banyak terjadi di kawasan
perbatasan Kalimantan merupakan dam-
pak lain dari minimnya pembangunan
sarana dan prasarana di PPLB. Bahkan,
infrastruktur di PPLB Entikong yang sudah
hampir 9 tahun berdiri saja masih kurang
bisa menunjukkan bahwa Entikong adalah
pintu gerbang yang “kokoh” untuk
membantu keamanan negara di perba-
tasan Kalimantan Barat. Hingga saat ini,
PPLB yang seharusnya sudah memadai
dan berstandar internasional tersebut
nyatanya masih belum dilengkapi dengan
gudang sita berat maupun terminal
barang dan penumpang sehingga sering
“kecolongan” saat melakukan peme-
riksaan.
Masalah lainnya di PPLB Entikong adalah
masih kurangnya perhatian terhadap
penanganan sampah. Di samping tempat
sampah yang tersedia juga masih kurang
memadai, puntung rokok, plastik bekas
makanan, maupun sampah kertas meng-
hiasi sudut-sudut pos pemeriksaan ter-
sebut. Kondisi PPLB Entikong yang kotor
dan kurang terpelihara tentu menjadi
preseden buruk bagi wajah Indonesia.
Terlebih karena sejak tahun 2008 PPLB
Entikong menyediakan fasilitas Visa on
Arrival (VoA) yang melayani permintaan
visa di lokasi kedatangan sehingga pintu
gerbang inilah yang pertama dilihat oleh
pendatang/wisatawan dari luar yang akan
masuk ke wilayah RI. Masih minimnya
prasarana di PPLB juga menimbulkan
dampak krusial lain di bidang pertahanan
dan keamanan di kawasan perbatasan,
seperti hilangnya patok batas antar
negara.
“Terdapat 349 patok negara yang hilang,”
jelas Manto. “Diperkirakan masih banyak
lagi patok tapal batas negara yang hilang,
namun tidak teridentifikasi mengingat
panjang-nya garis perbatasan darat antara
Indonesia-Malaysia di Kalimantan menca-
pai 2.004 kilometer, terdiri dari 857 km di
Kalbar dan 1.147 km di Kaltim. Salah satu
penyebab hilangnya puluhan patok-patok
tapal batas pada areal sepanjang dua kilo-
meter di Kabupaten Kapuas Hulu terse-
but disinyalir dilakukan oleh perusahaan
kelapa sawit milik negara tetangga yang
membangun jalan untuk mengangkut
hasil kebunnya.”
Melihat berbagai permasalahan yang ada
di Entikong maupun di Aruk kiranya dapat
menyadarkan kita semua bahwa tan-
tangan-tantangan di kawasan perbatasan
Kalimantan tidak hanya perlu menda-
patkan perhatian, melainkan keseriusan
penanganan secara nyata, baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Hal ini sangatlah penting untuk
segera ditindaklanjuti sebelum permasa-
lahan-permasalahan yang ada di kawasan
perbatasan Kalimantan kian bertambah
banyak sehingga dapat mengancam
kedaulatan negara kita.(Lis)
Manto Saidi, Kabag. Badan PengelolaKawasan Perbatasan dan Kerjasama
(BPKPK) Kalbar. (Foto: Lis)
LAPORANUTAMA
Volume 38 • KIPRAH26
yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga, seperti Pulau Rondo (NAD-
Sabang), Berhala di (Sumut), Nipa,
Sekatung (Riau Kepulauan), Rote, Dana
(NTT), Miangas, Marore, Marapai, Fani,
Fanildo, Bras, (Papua) dan Pulau Batek
yang berbatasan dengan Timor Leste.
“Keseluruhan pulau tersebut perlu dijaga
pertahanan dan keamanannya, sekaligus
ditingkatkan kesejahteraan masyara-
katnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, langkah kongkrit lain yang
dilakukan adalah menambah jumlah
personil TNI dan kapal patroli serta
mengoperasikan pelabuhan dan pang-
kalan, seperti pengoperasian Pangkalan
Udara Pitu di Morotai yang merupakan
peninggalan Amerika Serikat semasa
Perang Dunia II. Pangkalan yang memiliki
landasan pacu 3.000 meter ini ditar-
getkan bisa didarati pada malam hari
sebelum 17 Agustus 2010.
Selama ini pengawasan wilayah perba-
tasan laut dilakukan Kapal Perang Re-
publik Indonesia yang berpatroli secara
periodik di seluruh wilayah perairan
nusantara. (Joe)
Senja di Karimata (Foto: Arkan)
Pulau Terluar
Pengamanan wilayah perbatasan
laut pulau terluar di Indonesia
masih minim. Akibatnya, praktik
penyelundupan barang dan manusia
serta pencurian ikan oleh nelayan asing
hingga kini masih terus berlangsung.
Demikian disampaikan Sugiono, mantan
Kasubdit Akselerasi dan Akses Investasi
Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, kepada KIPRAH pada
suatu kesempatan.
“Pencurian minyak maupun pencurian
ikan oleh kapal dan nelayan asing serta
masuknya imigran gelap masih sering
terjadi di perbatasan pulau terluar,
seperti di Morotai, Provinsi Maluku Utara
serta di Sangir-Talaud, Provinsi Sulawesi
Utara. Keduanya berbatasan langsung
dengan negara tetangga Filipina. Wilayah
per-batasan laut di sini masih menjadi
pintu keluar yang paling bebas. Nelayan
Filipina, Cina, dan Vietnam, hampir setiap
bulan tertangkap mencuri ikan di wilayah
itu,” kata Sugiono.
Menurut Sugiono, bahkan pada masa
konflik sosial di Poso, Sulawesi Tengah,
Maluku Utara, dan Ambon banyak senjata
Upaya Menjaga
api dari luar yang masuk melalui kawasan
perbatasan tersebut. Kawasan perba-
tasan dilaporkan menjadi kawasan tran-
sit bagi alur lalu lintas teroris interna-
sional. Hal itu terungkap dalam berbagai
laporan resmi dan sidang pengadilan
beberapa kasus terorisme.
Kawasan perbatasan juga menjadi ajang
perdagangan dan penyelundupan barang
barang elektronik, narkoba, minuman
berakohol dan non-alkohol yang di-
kapalkan di tengah laut. Begitu pula dila-
porkan bahwa kawasan perbatasan
sebagai daerah miskin dan rawan
bencana alam, termasuk sering terisolasi
akibat ganasnya gelombang laut pada
musim tertentu.
Hal ini menjadi persolan amat penting
bagi Indonesia karena apabila wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kepu-
lauan Talaud, dan Halmahera Utara bobol,
akibatnya akan memperlemah posisi In-
donesia.
Bayangkan, sebagai negara kepulauan,
kita memiliki 92 pulau perbatasan dan 12
diantaranya merupakan pulau terluar
LAPORANUTAMA
27KIPRAH • Volume 38
Agar pengembangan kawasan perbatasan
tidak terkendala persoalan ini, solusinya
mengacu pada rencana tata ruang yang
lebih tinggi. “Seumpamanya rencana tata
ruang kabupaten tidak ada, maka
mengacu pada provinsi. Jika di tingkat
provinsi juga tidak ada, bisa melihat ke
rencana tata ruang wilayah nasional,”
demikian saran Iman.
Pembentukan BNPP (Badan Nasional
Pengelola Perbatasan) yang baru-baru ini
disahkan dengan Perpres No.12 Tahun
2010 diharapkan bisa menjembatani
kepentingan lintas sektoral dengan
pembuatan master plan pengembangan
kawasan perbatasan yang tentunya harus
mengacu pada rencana tata ruang yang
ada. (Wy)
Bicara tentang pengembangan
kawasan perbatasan tidak dapat
dipisahkan dari penataan ruang.
Direktur Penataan Ruang Nasional, Iman
Soedrajat, mengidentifikan bahwa dalam
pengembangan kawasan perbatasan,
permasalahan yang terjadi di lapangan
adalah kurangnya koordinasi.
“Permasalahannya adalah pengimple-
mentasian program di lapangan belum
terkoordinasi dengan baik,” tuturnya saat
diwawancara oleh KIPRAH di ruang ker-
janya, Jumat (2/07). “Misalkan saja
pembangunan rusunawa di Entikong.
Pemda meminta pembangunan rusuna-
wa ke PU dan Menpera, namun ternyata
(setelah dibangun) tidak disupport
dengan listrik dan air.”
Belum lagi permasalahan lintas sektoral
yang terjadi karena pihak-pihak yang
terlibat bersikukuh pada portofolionya
masing-masing. Sebagai contoh, di
Kalimantan Tengah banyak lahan hutan
yang dialihfungsikan menjadi kawasan
kegiatan ekonomi, seperti pertanian,
tambang, industri, dan lain-lain. Karena
melihat kawasan tersebut sudah terlanjur
dikonversi, pemda kemudian meng-
inginkan rencana tata ruang yang sesuai
dengan keadaan sebenarnya.
Pihak kehutanan tentu tidak bisa serta
merta meluluskan permintaan tersebut
karena ada aturan dan persyaratan yang
harus dipenuhi, seperti tingkat kemi-
ringan, daerah resapan air, dan lain
sebagainya. Kemudian dilakukanlah
penelitian oleh tim terpadu yang inde-
penden, yang hasilnya dibawa ke DPRD.
Akan tetapi, karena ternyata lahan yang
bisa dikonversi hanya sedikit dibanding
kenyataan di lapangan, permintaan
pemda tersebut tetap ditolak. Hal ini juga
banyak terjadi di daerah-daerah lain.
Demikian pula dengan masalah klasik,
Permasalahannya adalah
yakni anggaran yang ada tetapi tidak
sesuai dengan kebutuhan pengem-
bangan kawasan perbatasan.
Dari segi penataan ruang, diakui karena
belum semua provinsi memiliki Rencana
Tata Ruang Wilayah, hanya 9 dari 33
provinsi yang sudah ada rencana tata
ruang. Akibatnya, di tingkat pemerintah
kabupaten/kotamadya tingkat II juga tidak
memiliki rencana tata ruang karena
mereka menunggu rencana tata ruang
dari provinsi selesai.
“Padahal undang-undang tidak mensya-
ratkan demikian,” tutur Iman. Untuk
tahun 2010 ini, Ditjen Penataan Ruang
menargetkan ada 17 provinsi yang sudah
memiliki rencana tata ruang.
Koordinasi
Rusunawa di Entikong yang telah selesai dibangun namun tidak diminati karena tidak adanyafasilitas listrik dan air bersih. (Foto: Endah)
LAPORANUTAMA
Volume 38 • KIPRAH28
LAPORANUTAMALAPORANUTAMA
KIPRAH mendapat kehormatan
untuk bisa mewawancarai
langsung Purnomo Yusgiantoro,
Menteri Pertahanan RI yang juga mantan
Menteri ESDM, sebagai orang nomor satu
dari institusi yang paling berkepentingan
terhadap masalah pertahanan di negeri
ini.
Ditemui pada Jumat siang (16/7) di ruang
tamu Kementerian Pertahanan, berikut
petikan wawancara dengan Beliau.
Bagaimana Bapak melihat permasalahan di
perbatasan dari berbagai sudut pandang,
dari secara umum sampai kaitannya
dengan infrastruktur?
Yang pertama, perbatasan ini adalah garis
terdepan dari rumah kita. Seperti rumah,
dengan perkarangannya, maka kawasan
perbatasan ini adalah pagar kita. Jadi pagar
ini harus kuat, untuk menjaga banyak hal,
bukan hanya dari sisi keamanannya tetapi
juga sisi kesejahteraan sehingga ke-
tahanan nasionalnya kuat. Jadi prinsip
pertama, kawasan perbatasan ini adalah
pekarangan terdepan kita.
Kedua, pada prinsipnya harus diper-
hatikan tidak hanya masalah keamanan
tapi juga masalah kesejahteraan. Untuk
itu pembangunan kawasan perbatasan
Paradigma Pembangunan
Bicara tentang kawasanperbatasan, tentu tak lepas daripermasalahan pertahanan dankeamanan. Berangkat dari hal
tersebut Kiprah mencobamenggali lebih dalam lagimengenai pertahanan dan
keamanan di kawasanperbatasan, tentunya yang terkait
dengan bahasan infrastruktur.
d i p e r -
sepsikan
t i d a k
h a n y a
pembangun-
an masalah-
masalah ke-
amanan, namun
juga kesejahteraan.
Sekarang ini kebanyak-
an yang menjaga perba-
tasan adalah pasukan-pasukan kita,
namun karena persepsinya sekarang
berbeda, maka unsur-unsur ekonomi
harus masuk, terutama infrastruktur,
sektor riil. Hal tersebut, pembangunan
infrastruktur dan sektor riil, juga akan
memudahkan mendukung pengamanan
dari sisi keamanan.
Ketiga, pemerintah sudah melakukan
langkah-langkah dalam penanganan
kawasan perbatasan ini, diantaranya
membentuk Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP). Artinya, di situ tidak
hanya masalah unsur keamanan, tapi
unsur kesejahteraan juga ada.
Karena apa, sekarang yang rawan itu
adanya tingkat kehidupan sosial ekonomi
antara kita dengan negara tetangga.
Memang berbeda antara perbatasan kita
di Kalimantan-Malaysia, dengan perba-
tasan kita di Papua-PNG (Papua New
Guinea) dan NTT-RDTL (Republik Demo-
kratik Timor Leste). Kalau kita lihat yang
di Papua dan T imor Leste, tingkat
kehidupan sosial ekonomi kita lebih
tinggi sehingga yang diperlukan adalah
penguatan, baik dari sisi ekonomi maupun
keamanan.
Tapi kalau kita lihat di Entikong atau
perbatasan Kalimantan secara umum,
t i n g k a t
kehidupan sosial ekonomi
mereka, negara tetangga, lebih tinggi dari
pada kita, sehingga memang perlu
perhatian terhadap kondisi yang ada.
Pembangunan infrastruktur kita ada
berbagai macam dari jalan, air minum,
hingga pengembangan sumber daya air.
Diantara semua itu mana yang menurut
Bapak yang paling perlu kita kembangkan
di kawasan perbatasan ini?
Saya kira semua itu perlu karena seperti
yang saya katakan, kalau ingin pagar
pekarangan rumah yang kuat, maka
pekarangan terdepan kita harus kokoh.
Nah, untuk mendapatkan pekarangan
yang kokoh itu memang ada pemikiran,
bahwa infrastruktur itu harus dikem-
bangkan. Kedua, kita perlu kembangkan
kawasan perbatasan kita menjadi sema-
cam kawasan ekonomi khusus. Pemikiran
tersebut saya sampaikan di rapat koor-
dinasi di menko perekonomian waktu itu.
Kita katakan kawasan perbatasan bisa
dijadikan kawasan ekonomi khusus.
Bagaimana dengan kemungkinan adanya
pulau-pulau terluar yang tenggelam?
Sejauh ini sudah kita perbaiki. Contohnya
Pulau Nipa di tahun 2000-an sudah hampir
Sudah Berubah
Purnomo Yusgiantoro, Menhan RI. (Foto: Wy)
29KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
tenggelam, kemudian direklamasi. Mu-
lanya sedikit, namun sekarang sudah
mencapai 50 hektar. Lalu ada juga rencana
resort itu akan terus berkembang. Pulau
Nipa tersebut yang mereklamasi adalah
(Kementerian) PU, dari Pak Djoko
Kirmanto, dengan budget PU, kemudian
kini sesuai dengan Peraturan Presiden
bahwa yang mengelola adalah KKP,
Kementerian Kelautan dan Perikanan,
maka diserahkan ke mereka dan sebagian
ke kita, hanya sebagian kecil saja, untuk
pengamanan.
Bagaimana dengan penanganan terhadap
masalah pencurian sumber daya alam kita
dan pemindahan patok-patok perbatasan
oleh warga negara tetangga yang “jahil”?
Semangat NKRI dengan negara tetang-
ganya adalah semangat ASEAN, sehingga
perbatasan bukanlah pemisah, tetapi
sebaliknya diupayakan untuk dikerja-
samakan. Untuk penanganan masalah
tersebut, Kementerian Pertahanan,
dalam hal ini TNI, telah menempatkan
pos-pos pengamanan di seluruh wilayah
perbatasan darat. Memang masih banyak
lagi wilayah yang tidak terjaga secara fisik
dan harus diakui ini merupakan kendala.
Namun kita tetap mengupayakan adanya
patroli pasukan secara rutin dan suatu
sistem yang memanfaatkan sarana tekno-
logi pemindaian (pesawat terbang tanpa
awak, sekarang tengah dalam taraf uji
coba).
Terkait pemindahan patok/tugu batas,
dari sisi kedaulatan sebetulnya tidak
menjadi permasalahan karena tugu batas
itu sudah ada koordinatnya dan dise-
pakati oleh kedua negara. Jadi, bisa
dikembalikan pada posisi yang sebenar-
nya. Terkait pencurian sumber daya alam
dan tindak kriminal lintas batas Pe-
merintah Indonesia dengan negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand,
Singapura, Filipina dan negara lain telah
membentuk Joint Border Committee
(JBC) untuk memecahkan masalah-
masalah yang terjadi di perbatasan.
Suatu hal yang mungkin sering meng-
hambat kita adalah koordinasi, karena ada
banyak teman kita dari berbagai ke-
menterian yang berada di daerah per-
batasan. Tadi Bapak sudah menyebut
BNPP (Badan Nasional Pengelola Perba-
tasan), lalu bagaimana koordinasinya?
BNPP ini dibentuk untuk mengurangi
miskoordinasi tadi, walaupun budgetnya
sendiri-sendiri. Koordinasinya di tingkat
pusat ada Badan Nasional Pengelola
Perbatasan, di daerah pun ada semacam
badan pengelola perbatasan tingkat
provinsi. Sebagai komandannya adalah
Menteri Dalam Negeri, karena dia juga
ada hubungan dengan Gubernur, Bupati
dan lain sebagainya sehingga ke bawah
itu dia yang akan menjadi focal point. Kita
berharap BNPP ini akan mengurangi
miskoordinasi dan inefisiensi.
Bagaimana dengan perencanaannya,
apakah ditentukan oleh BNPP?
Dalam perencanaan masing-masing in-
stansi kalau bisa berkoordinasi dengan
BNPP, demikian juga di daerah, sehingga
operasional daerah juga bisa bergerak
TNI tengah melakukan patroli rutin di salah satu pulau terdepan, yaitu P. Batek di Kabupaten Kupang, NTT. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH30
secara komprehensif, secara bersama-
sama.
Berarti ada pergeseran nilai dalam pe-
nanganan kawasan perbatasan ini?
Betul, kalau dulu perbatasan itu urusan-
nya Kementerian Pertahanan dan TNI,
sekarang paradigma tersebut tidak bisa
dipakai. Paradigmanya sekarang seperti
satu koin. Satu koin itu ada dua sisi mata
uang. Kamu tidak bisa mengurusi ke-
amanannya saja, tapi juga harus mengu-
rusi kesejahteraannya. Paradigmanya
berubah sekarang, apalagi sejak ada BNPP
ini.
Di PU sendiri, kita perlu memberikan
perhatian. Namun karena begitu luas
wilayah perbatasan ini, dan juga ada
hitung-hitungan jumlah orang yang akan
mendapat manfaatnya, sedangkan di sana
tidak terlalu banyak penduduknya sehing-
ga walaupun akhirnya tetap dibangun,
tapi tidak terlalu banyak fokusnya.
Bagaimana pendapat Bapak?
Ini kan ujung-ujungnya anggaran. Demi-
kian juga di PU. Kuenya terbatas, namun
pembagiannya yang perlu banyak. Untuk
pendidikan, perumahan rakyat, dan
macam-macam lagi.
Satu lagi Pak, kalau PU membangun
infrastruktur di wilayah padat penduduk,
katakanlah di Jawa, maka dampak eko-
nominya tinggi, sedang jika membangun
di kawasan perbatasan dampak ekono-
minya agak rendah. Lalu, bagaimana
justifikasi untuk pembangunan infra-
struktur di kawasan perbatasan ini?
Jadi begini, saya mau kasih contoh. Las
Vegas, Reno Nevada itu, zaman dulu
tidak ada orang yang mau tinggal di situ.
Reno Nevada itu gurun. Lalu apa yang
Amerika kerjakan? Mereka bangun
infrastruktur, pemerintahnya yang
membangun. Mereka bangun tempat
judi. Jangan dilihat judinya, tapi lihat
dibangun infrastrukturnya, entertain-
mentnya. Di sana juga ada lapangan
terbang untuk latihan perang-perangan
tentara Amerika. Top Gun itu di situ, di
Nellis Air Force Base. Bayangkan berapa
pilot di situ, akhirnya penerbangan
datang, semua datang, akhirnya terus
berkembang.
Guam, contohnya lagi, itu dulu tidak ada
yang mau tinggal di situ. Pulau kecil di
tengah Pasifik, tidak ada kegiatan. Lalu di
Guam dibangun pangkalan laut Amerika,
pangkalan AU, ditumpahkan pasukan AU,
AL, AD nya di situ. Apa yang terjadi? Ada
multiplier effectnya. Sekarang apa yang
terjadi? Kini Guam menjadi hub pener-
bangan dari arah Korea, China, Jepang
menuju Australia, New Zealand, juga
Filipina karena letaknya di tengah.
Sama seperti daerah perbatasan kita. Kita
kemarin dari Morotai, di sana prospeknya
bagus sekali. Morotai itu pulau luar namun
bukan terluar. Akan tetapi, di sana kita
sudah survei dan ada prospek. Di sana ada
landasan bukan hanya ratusan meter,
namun 3000 meter, jadi bisa untuk
mendarat pesawat-pesawat besar, juga
potensi pariwisatanya bagus. Ada lan-
dasan, lautnya bersih dan indah. Kita
undang Kementerian Pariwisata, undang
PU, undang yang lainnya untuk bangun
infrastrukturnya di sana. Ini juga salah satu
langkah, bagaimana pulau-pulau terluar itu
kita kembangkan tidak hanya dari segi
militer, namun juga pengembangan
pariwisata, untuk kegiatan ekonomi,
maka ketahanan nasional akan kuat.
Contoh lagi Nipa. Nipa itu ada 50 hektar,
sebagian besar mau dikembangkan
sebagai resort wisata, silahkan. Padahal
dulu tidak ada yang tertarik, hanya
pasukan marinir kita di situ. Tapi sekarang
ada yang tertarik, silahkan masuk ke situ,
hanya kita minta sebagian wilayah untuk
pengamanan.
My point is, kita jangan lihat ini daerah
perbatasan lalu susah dibangun, tapi
harus ada intervensi dari pemerintah,
pemerintah harus berani membangun
kawasan perbatasan ini. Nantinya ke
depan pasti akan ada multiplier effectnya.
Dengan demikian, kita sebagai birokrat
harus melihat jauh ke depan, apakah
misalnya kita taruh investasi infrastruktur
di sini ke depan selain return terhadap
investasi, bagaimana prospeknya ke
depan. Nah, paradigma berpikir seperti
ini yang terus terang saja, yang susah
didapat dari sebagian dari kita. Tetapi
tidak bisa kita semuanya terus bergantung
kepada pemerintah. Jadi, pemerintah itu
hanya intervensi di awal, selanjutnya dia
akan berkembang sendiri. (Wy)
Kapal TNI AL sedang mengawasi perairan Kepulauan Riau. (Foto: Lis)
LAPORANUTAMA
31KIPRAH • Volume 38
Kepala Balai BPJN VI Makassar,
Nurdin Samaila, bersama Kasie
Perencanaan, Nur Zaitun, belum
lama ini melakukan kunjungan ke Pulau
Talaud, Prov. Sulawesi Utara. Dalam
Arti Penting Pulau Talaudkunjungannya Ka. Balai didampingi oleh
Kasatker Pembangunan, Kasatker Preser-
vasi Satal, dan Kasatker P2JJ Sulut.
Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk
memantau kondisi dan pelaksanaan
penanganan jalan nasional di pulau-pulau
terluar.
Selama di Pulau Talaud, Ka. Balai menin-
jau kondisi jalan dan jembatan dengan
melakukan perjalanan darat + 150 km.
Ka. Balai melihat secara langsung kondisi
jalan nasional yang masih memerlukan
penanganan intensif. Hal ini diperlukan
karena kondisi jalan mantap baru 40%
atau 60 km dan masih memerlukan
penanganan berkala sepanjang 80 km
untuk memenuhi kondisi jalan mantap
seratus persen. Selain penanganan
fungsional, diperlukan juga peningkatan
struktur dan kapasitas jalan, termasuk
penanganan jembatan bentang pendek.
Banyak jembatan yang mengalami perge-
seran pada abutment (struktur tumpuan
jembatan) akibat bencana gempa yang
intensitasnya cukup tinggi di Pulau
Talaud. Ka. Balai juga melakukan inspeksi
peralatan UPR (Unit Pemeliharaan Rutin)
yang dimiliki oleh Satker Preservasi
Sahinge-Talaud. Dari data yang didapat,
kondisi alat UPR secara umum rusak. Ka. Balai
mengharapkan adanya perhatian serius
untuk perbaikan peralatan yang rusak
sehingga kegiatan pemeliharaan rutin jalan
dan jembatan dapat terus berjalan. Di masa
mendatang diharapkan seluruh jaringan
jalan di Talaud dan Sahinge dapat ber-
fungsi secara maksimal, khususnya guna
mendukung pengembangan wilayah,
serta sebagai benteng terdepan dalam
menjaga kedaulatan RI. (Joe)
Nurdin Samaila (kedua dari kanan) bersamaKasie Perencanaan, Nur Zaitun, melakukan
kunjungan ke Pulau Talaud, Prov. Sulut.(Foto: Dok.)
Peristiwa persengketaan atas hak
milik Pulau Sipadan dan Ligitan
masih membekas di ingatan kita.
Perjuangan panjang melalui jalan diplo-
masi ternyata tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Kejadian
tersebut menunjukkan bahwa kepemi-
likan pulau-pulau kecil di perbatasan
ternyata harus diikuti pula dengan
berbagai kebijakan dan program yang
mendorong pembangunan di kawasan
tersebut sekaligus peningkatan kese-
jahteraan masyarakat sekitarnya, bukan
hanya sekedar mengandalkan pada bukti
sejarah dan hukum saja.
Belajar dari pengalaman pahit lepasnya
Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut,
keberadaan pulau-pulau kecil di daerah
perbatasan kini semakin menjadi per-
hatian pemerintah, terutama dari segi
pemberdayaan ekonomi. Dalam struktur
organisasi Kementerian Kelautan dan
Memberdayakan Pulau-pulau KecilPerikanan, Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil merupakan
institusi yang diserahi tanggung jawab
mengelola pulau-pulau kecil ini, yang salah
satu misinya adalah mendorong investasi
pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat. Program investasi
yang diupayakan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan harus dilakukan
karena pengembangan pulau-pulau kecil
tersebut membutuhkan biaya besar dan
tidak bisa hanya bergantung pada pe-
merintah saja, melainkan perlu juga
dukungan sektor swasta. Sayangnya, pro-
gram ini sering disalahartikan sebagai
upaya terselubung untuk menjual kepe-
milikan pulau-pulau tersebut.
Padahal, seperti dikutip dari Sugiono,
mantan Kasubdit Akselerasi dan Akses
Investasi Departemen Kelautan dan
Perikanan sebelum berubah menjadi
Kementerian, yang terjadi tidak demikian.
Pihak swasta hanya diberikan hak untuk
mengusahakan, yang disebut dengan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3),
sebagaimana tertera dalam UU No.27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang akan
berlaku pada tahun 2011.
Bisa dibilang penerbitan HP3 merupakan
salah satu terobosan dalam menstimulasi
pengembangan kawasan perbatasan.
khususnya di pulau-pulau kecil. Hal ter-
sebut juga berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau
kecil kita, yang pada akhirnya dapat turut
menjaga keutuhan NKRI. Kini tinggal
kemauan investor lokal, apakah mereka
bersedia mengembangkannya (dengan
konsekuensi harus memperhatikan
keberlanjutan ekologi dan pengembalian
investasi yang lama) atau harus bersaing
dengan investor asing yang mau ber-
investasi terlebih dahulu? (Wy)
LAPORANUTAMA
Volume 38 • KIPRAH32
Pengelolaan wilayah perbatasan,
termasuk pulau-pulau kecil
terluar, selama ini belum ter-
integrasi dengan baik, dimana tiap
kementerian cenderung berjalan ber-
dasarkan kepentingannya masing-masing
dan sering kali mengabaikan keterpaduan.
Untuk percepatan pembangunan wilayah
perbatasan guna meningkatkan ke-
sejahteraan masayarakat dan ketahanan
nasional, dibutuhkan pengelolaan yang
lebih terpadu dan bersinergi satu sama
lainnya, dan Kementerian Pekerjaan
Umum melalui kebijakan dan pem-
bangunan infrastruktur pekerjaan umum
dan permukimannya dapat berperan aktif
dan signifikan untuk mendukungnya.
Dari 17.504 pulau di Indonesia, terdapat
92 pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai
titik dasar dan referensi untuk menarik
garis pangkal kepulauan yang berbatasan
langsung dengan 10 negara tetangga di
wilayah laut yang tersebar di 10 provinsi.
Dan dari data Strategi Nasional (Stranas)
Pembangunan Daerah Tertinggal ter-
dapat 26 kabupaten yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga, baik
batas laut maupun darat.
Ancaman
• Kesenjangan sosial ekonomi antara
wilayah perbatasan Indonesia dengan
wilayah perbatasan negara lain seperti
Malaysia berpotensi menimbulkan hal-
hal, seperti blank post area, illegal log-
ging dan illegal entry;
• Kurangnya perhatian Pemerintah In-
Oleh: **Setia Budhy Algamar
Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum
Dalam Pengelolaan TerpaduWilayah Perbatasan
donesia dalam mengelola kawasan
perbatasan sering menimbulkan ke-
rugian dalam penyelesaian sengketa;
• Klaim Malaysia atas blok Ambalat yang
belum terselesaikan hingga kini me-
nimbulkan ketegangan, baik politik
maupun hankam; dan
• Kerusakan lingkungan baik oleh alam
maupun sebagai akibat ulah manusia
berdampak terhadap berubahnya
batas negara di laut yang berpotensi
mengurangi luas wilayah.
Isu Dan Permasalahan Wilayah Per-
batasan
Berdasarkan Kajian PUSTRA Kemen-
terian PU Tahun 2006 dan dari berbagai
sumber, dapat diidentifikasi berbagai isu
dan permasalahan pengelolaan kawasan
perbatasan yang mencakup aspek-aspek
sebagai berikut:
• Kebijakan Pembangunan: (i) Kebijak-
an yang ada belum berpihak kepada
kawasan perbatasan dan daerah
terisolir; dan (ii) Belum adanya ke-
LAPORANUTAMA
Implementasi pelaksanaan layanan infrastruktur PU di kawasan perbatasan. (Foto: Dok.)
33KIPRAH • Volume 38
bijakan dan strategi nasional pe-
ngembangan kawasan perbatasan;
• Ekonomi dan Sosial Budaya: (i) Masih
adanya paradigma ‘kawasan per-
batasan sebagai halaman belakang’; (ii)
Terjadinya kesenjangan pembangunan
dengan negara tetangga; (iii) Sarana
dan prasarana masih minim; (iv) Ting-
ginya angka kemiskinan dan jumlah
keluarga pra-sejahtera; (v) Teriso-
prasarana; (iii) Terjadinya kegiatan-
kegiatan ilegal dan pelanggaran
hukum; dan (iv) Terbatasnya jumlah
sarana dan prasarana perbatasan (PLB,
PPLB, dan fasilitas Custom, Immigra-
tion, Quarantine, and Security/CIQS);
• Pengelolaan Sumber Daya Alam: (i)
Pemanfaatan potensi Sumber Daya
Alam belum optimal; dan (ii) Terjadinya
eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya
Alam yang tidak terkendali dan ber-
kelanjutan;
• Kelembagaan dan Kewenangan Pe-
ngelolaan: (i) Belum adanya lembaga
yang efektif yang mengelola kawasan
perbatasan secara terpadu dan ber-
kelanjutan; dan ii) Belum jelasnya
kewenangan dalam pengelolaan
kawasan perbatasan;
• Kerja sama antarnegara: (i) Belum
optimalnya keterkaitan pengelolaan
perbatasan dengan kerjasama sub re-
gional, maupun regional; (ii) Belum
optimalnya kerja sama antarnegara
dalam penanggulangan pelanggaran
hukum di perbatasan; dan
• Kendala lain adalah: Sumber Daya
Manusia, Sumber Daya Buatan, pe-
nataan ruang dan pemanfaatan
sumber daya alam, penegasan status
daerah perbatasan, keterbatasan
sumber pendanaan, dan terbatasnya
kelembagaan dan aparat.
Dari berbagai kondisi dan masukan yang
ada, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
• Dibutuhkan kemauan politik (political
will) dan keberpihakan yang sangat
kuat dari pemerintah terhadap pem-
bangunan dan pengelolaan wilayah
perbatasan;
• Wilayah perbatasan harus dikelola
secara terpadu oleh satu badan yang
memiliki otoritas khusus yang di-
tetapkan dengan Peraturan Pe-
merintah/Undang-undang;
• Pembangunan wilayah perbatasan
harus direncanakan secara terintegrasi
antar berbagai bidang secara kom-
prehensif dalam suatu master plan
masing-masing wilayah perbatasan;
• Khusus wilayah perbatasan darat,
diutamakan pembangunan infra-
struktur sarana jalan horizontal dan
diikuti pembangunan sarana dan
prasarana lainya, yang akan me-
ningkatkan kesejahteraan masyarakat
karena lancarnya perputaran roda
ekonomi masyarakat;
• Mewujudkan wilayah perbatasan
menjadi sabuk pengaman yang me-
miliki daya tangkal tinggi terhadap
setiap bentuk ancaman di bidang
pertahanan dengan memadukan per-
tahanan nir-militer dan satuan TNI
sebagai komponen utama pertahanan
di wilayah perbatasan; dan
• Meningkatkan semangat kebangsaan
masyarakat wilayah perbatasan dan
pulau-pulau kecil terluar, dengan
memberdayakan mereka, karena
mereka merasakan hidup lebih baik,
merasakan kehadiran pemerintah
lebih dekat dan merasa bangga sebagai
bangsa Indonesia.
Visi yang diinginkan dalam membangun
wilayah perbatasan Negara adalah:
“Menjadikan Wilayah Perbatasan Negara
sebagai Halaman Depan NKRI yang Aman,
Tertib, Maju, dan Sejahtera yang Ber-
kelanjutan serta Antisipatif terhadap
lasinya kawasan perbatasan akibat
rendahnya aksesibilitas menuju
kawasan perbatasan; (vi) Rendahnya
kualitas SDM; (vii) Adanya aktivitas
pelintas batas tradisional; dan (viii)
Adanya tanah adat/ulayat masyarakat;
• Pertahanan dan Keamanan: (i) Belum
disepakatinya garis-garis batas dengan
negara tetangga secara menyeluruh
(Batas Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE,
Batas Laut Teritorial/BLT, dan Batas
Landas Kontinen/ BLK); (ii) Terbatas-
nya jumlah aparat serta sarana dan
LAPORANUTAMA
Setia Budhy Algamar, Staf Ahli Menteri PUBidang Ekonomi dan Investasi. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH34
Perkembangan Dunia Guna Mening-
katkan Ketahanan Nasional.”
Misi yang diemban untuk mewujudkan visi
tersebut adalah: (i) memperjelas dan
mempertegas garis batas negara secara
yuridis dan fisik; (ii) mengembangkan dan
memberdayakan SDM setempat sebagai
modal utama pendorong pembangunan
wilayah perbatasan; (iii) menjadikan
wilayah perbatasan sebagai pusat per-
tumbuhan ekonomi, sinergis dengan
perekonomian wilayah tetangga; (iv)
membuka isolasi dan keterbelakangan
melalui pembangunan sarana dan pra-
sarana; (v) memfasilitasi arus lintas barang
dan manusia; dan (vi) meningkatkan
kapasitas pertahanan dan keamanan.
Dukungan yang Dapat Diberikan
Kementerian Pekerjaan Umum
Pemerintah pusat mempunyai komitmen
yang kuat untuk memperhatikan dan
membangun daerah perbatasan. Masa-
lahnya adalah bagaimana meneruskan
kemauan politik tersebut menjadi ke-
bijakan yang implementatif. Bappenas
dan Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal (Kementerian PDT) meru-
pakan agen utama koordinasi dan sti-
mulan untuk pembangunan daerah per-
batasan.
Kebijakan pembangunan daerah per-
batasan ke depan hendaknya mencakup
3 (tiga) aspek pembangunan, yaitu
kesejahteraan (prosperity) dan keamanan
(security), serta aspek kelestarian
lingkungan (environment) yang ketiga-
tiganya haruslah mendapatkan porsi yang
seimbang.
Diperlukan kebijakan yang lebih berpihak,
konkrit, dan terukur dalam hal waktu dan
dana. Kebijakan umum dan strategi yang
dapat dilakukan oleh pemerintah adalah:
• Peningkatan peran sektor pekerjaan
umum dalam mendukung terciptanya
ketahanan nasional di wilayah per-
batasan, dengan kebijakan-kebijakan
khusus penyelenggaraan infrastruktur
dasar di wilayah perbatasan dan di-
dukung oleh penyediaan dana pem-
bangunan yang memadai;
• Pemenuhan kewajiban pemerintah
dalam pembinaan kawasan per-
batasan, dengan kebijakan khusus,
antara lain melalui penguatan ke-
lembagaan nasional dan integrasi
antarsektor.
• Untuk jangka pendek, rencana im-
plementasi pelaksanaan layanan
infrastruktur PU dan permukiman di
kawasan perbatasan sebaiknya di-
tekankan pada penyempurnaan UU
dan aturan turunannya yang bersifat
strategis, review perhitungan alokasi
DAK, dan koordinasi dengan pemda
untuk meningkatkan partisipasi BUMD
dan BUMN dalam penyelenggaraan
layanan infrastruktur PU dan per-
mukiman.
• Untuk jangka menengah, rencana
implementasi dapat ditekankan pada
tersedianya layanan infrastruktur
dasar yang memenuhi SPM berkoor-
dinasi dengan instansi terkait lain
seperti Bappenas, Kementerian PDT,
Kantor Menko Perekonomian, dan
Kementerian Keuangan.
• Walaupun Kementerian PU telah
memasukkan program pengem-
bangan wilayah perbatasan di dalam
Rencana Strategis (Renstra) Ke-
menterian PU 2010-2014, namun
masih perlu terus dilakukan koordinasi
dan keterpaduan yang lebih intensif
lagi dengan daerah dan sektor terkait
lainnya.
Kementerian PU perlu terus mendukung
sepenuhnya upaya Bappenas dan Ke-
menterian PDT dalam menyusun rencana
dan sasaran-sasaran jangka panjang dan
menengah yang memiliki kebijakan yang
berorientasikan pembangunan berbasis
wilayah dan pemberdayaan masyarakat
setempat. Hal ini penting mengingat
selama ini masing-masing sektor men-
jalankan kebijakan pembangunan ka-
wasan perbatasan tanpa koordinasi yang
optimal.
Dukungan kebijakan dan langkah-langkah
yang kiranya dapat dilakukan (dan di-
dukung sepenuhnya) oleh Kementerian
Pekerjaan Umum adalah:
• Menetapkan pembangunan dan
pengelolaan wilayah perbatasan secara
terpadu dalam satu atap, dikoor-
dinasikan oleh Menko yang ditetapkan
dengan Perpres (catatan: walaupun
telah dibentuk Badan Nasional Penge-
LAPORANUTAMA
12 Pulau-pulau terluar yang menjadi prioritas pembangunan. (Foto: Sugiono)
35KIPRAH • Volume 38
lola Perbatasan melalui Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2010, akan
tetapi badan ini sama sekali belum
efektif karena tidak terlalu tegasnya
tugas dan fungsinya, serta belum
didukung oleh penyediaan anggaran
yang memadai);
• Sehubungan dengan telah terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
Kementerian PU perlu sesegera
mungkin menjabarkan RTRWN ter-
sebut ke dalam kebijakan dan sasaran
sektor-sektor di internal Kementerian
PU khususnya dalam upaya pengem-
bangan wilayah perbatasan.
• Menyusun rencana aksi terpadu per
wilayah perbatasan lintas instansi
pusat dan daerah;
• Memantapkan Rencana Tata Ruang
(RTR) 10 Kawasan Perbatasan lainnya
(di luar RTR Kawasan Perbatasan
Kasaba yang telah ditetapkan Perpres-
nya) dan segera menetapkannya
melalui Peraturan Presiden, yang
dilanjutkan dengan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) wilayah per-
batasan;
• Mengembangkan wilayah perbatasan
dan pulau-pulau kecil terluar yang
memiliki potensi ekonomi yang tinggi
seperti pengembangan wisata bahari,
ekowisata, serta industri kelautan
yang terintegrasi dengan pengem-
bangan sistem kota-kota (bersama
dengan kementerian-kementerian
terkait);
• Memprioritaskan, membangun dan
meningkatkan infrastruktur dasar dan
penunjang di wilayah perbatasan;
• Memberdayakan masyarakat per-
batasan dengan meningkatkan kondisi
sosial ekonominya melalui pem-
bangunan sarana-prasarana dasar,
peningkatan kapasitas SDM, pem-
berdayaan aparat, dan peningkatan
keberpihakan pemerintah dalam
pembiayaan pembangunan;
• Mengembangkan wilayah perbatasan
dan pulau-pulau kecil terluar sebagai
pusat pertumbuhan berbasis sumber
daya alam lokal melalui pengem-
bangan sektor unggulan serta kerja-
sama ekonomi antarnegara; dan
LAPORANUTAMA
Pembangunan perkerasan jalan dan drainase di salah satu desa di perbatasan NTT. (Foto: Dok.)
Referensi:
1. Bahan-bahan/informasi dari beberapa studi/kajian Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, 2009, Kementerian Pekerjaan Umum;
2. Departemen Pertahanan, 2008, “Kajian Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Perbatasan”;
3. Pusat Kajian Strategis Kementerian PU, 2006, “Penyusunan Kebijakan dan Strategi
PSPU dalam Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan dan Pulau-pulau
Terpencil serta Terisolir Wilayah Barat Indonesia”;
4. Pusat Kajian Strategis, 2006, “Penyusunan Kebijakan dan Strategi PSPU dalam
Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan dan Pulau-pulau Terpencil serta
Terisolir Wilayah Timur Indonesia”; dan
5. Makalah Utama Seminar Nasional: “Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan Guna
Meningkatkan Ketahanan Nasional Dalam Rangka Tetap Tegaknya NKRI”, Ikatan
Alumni Lemhannas (IKAL) Angkatan 37, 30 Juni 2010.
• Memprioritaskan dan mengalokasikan
anggaran yang memadai untuk pem-
bangunan infrastruktur PU dan per-
mukiman di 12 pulau-pulau kecil terluar
yang berbatasan langsung dengan
negara tetangga.
**Staf Ahli Menteri PU Bidang Ekonomi dan
Investasi
Volume 38 • KIPRAH36
LAPORANUTAMA
Mazhab pembangunan ekonomi
kita sekarang sudah berubah.
Dulu yang dipakai adalah
pembangunan pada puncak-puncak
pertumbuhan yang diharapkan akan
menetes ke bawah atau yang sering
disebut sebagai trickle down effect,
namun sekarang sudah berbeda. Kini,
kekuatan ekonomi pusat tergantung
pada bagaimana daerah membangun
kekuatan ekonominya.
Persoalannya pengembangan kawasan di
daerah seperti di perbatasan agak
terhambat, karena beberapa faktor,
diantaranya persoalan bagaimana
mempertemukan kepentingan antara isu
keamanan dengan isu pembangunan
daerah juga dengan isu konservasi alam/
hutan.
“Karena itu saya mengharapkan agar
teman-teman di (Kementerian) Kehu-
tanan bisa memahami realita bahwa ada
kepentingan besar dalam penanganan
jalan di perbatasan, bukan hanya dari sisi
konservasi hutan, tetapi juga bagaimana
keselamatan dan kesejahteraan masya-
rakat yang ada di daerah perbatasan,”
tutur Danang Parikesit, Staf khusus
Menteri PU saat dimintai komentarnya.
Menurut Danang, persoalannya pem-
bangunan di kawasan perbatasan agak
terhambat karena proses perencanaan
penataan ruangnya belum terimple-
mentasikan dengan baik. Argumen dari
pemerintah daerah umunya adalah
menunggu infrastruktur jalan dibuat
terlebih dahulu, baru kemudian menyusul
perencanaan pengembangannya. Pada-
hal, kalau pendekatan tersebut yang
dipakai, dimana kita membangun infra-
Yang Terpenting Daerah Punya
Perencanaan Pembangunanstruktur kemudian mengharapkan
ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya,
maka hanya akan menghasilkan per-
tumbuhan ekonomi yang absurd dan
tidak terkendali.
Hal tersebut tentu tidak bisa diterima
karena harus ada skenario interaksi dari
berbagai aspek. “Kalau jalannya dibuat,
maka nanti perkembangan daerahnya
akan seperti apa, di mana (letak) kawasan
lokasikan anggaran sesuai dengan ke-
butuhannya.”
Pada tataran kebijakan, kita sudah punya
affirmative policy (kebijakan afirmatif)
yang harus diterjemahkan ke dalam affir-
mative budget allocation dan akhirnya
menjadi affirmative action dan affirmative
program. “Demikian juga dalam meka-
nisme anggaran. Seharusnya kita punya
instrumen dan evaluasi alokasi anggaran
yang parameter benefit cost ratio(rasio
biaya manfaat)-nya lain untuk daerah
perbatasan, yang tujuan dan karak-
teristiknya berbeda dengan daerah yang
lain. Ini yang sampai sekarang belum
dibuat.”
Dalam proses perencanaan juga patut
dimaklumi apabila kapasitas dalam
pembuatan perencanaan di daerah-
daerah belum memadai. Kebanyakan
perencanaan dibuat untuk jangka pendek,
belum berorientasi ke depan atau dalam
jangka panjang. Menurut Danang, se-
harusnya kepala daerah memper-
timbangkan akan jadi apa daerahnya pada
10 tahun lagi atau 30 tahun lagi, serta mau
dibawa kemana,” kata Danang. Hal ini
terjadi akibat kurangnya komunikasi dan
sosialisasi antara pusat dan daerah. Hal
tersebut tentunya menjadi pekerjaan
rumah tersendiri bagi pemerintah pusat
untuk melakukan proses pembinaan dan
fasilitasi ke daerah.
Dengan demikian, peran pemerintah
daerah sangat menentukan sekali bagi
pengembangan wilayahnya karena
besaran kucuran dana ke daerah ter-
gantung pada inisiatif dan kapasitas para
pemangku kebijakan di daerah itu sendiri.
(Wy)
Danang Parikesit, Staf khusus Menteri PU.(Foto: Wy)
pertanian, kawasan permukiman, dan
lainnya. Jadi, yang terpenting daerah
harus punya perencanaan pembangunan,
karena yang paling mengerti akan ke-
butuhan daerahnya adalah daerah itu
sendiri,” jelas Danang lagi. “Kalau daerah
sudah memiliki konsep perencanaan
pembangunan yang jelas, (pemerintah)
pusat pun akan lebih mudah menga-
37KIPRAH • Volume 38
Indonesia
Pembangunan infrastruktur di
Kalimantan masih belum merata,
khususnya di daerah-daerah per
batasan di Kalimantan Barat (Kalbar).
Padahal, pembangunan infrastruktur di
kawasan ini sangatlah memegang pe-
ranan penting. Tidak saja bagi pertahanan
dan keamanan negara, melainkan juga
kesejahteraan masyarakat di daerah
perbatasan. Masih minimnya infrastruktur
di daerah-daerah perbatasan Kalbar
menjadi perhatian khusus bagi Dinas
Pekerjaan Umum Kalimantan Barat.
Daerah-daerah di perbatasan Kalbar
masih termasuk daerah tertinggal karena
hingga saat ini masih banyak yang terisolir.
Bagaimana tidak, jalan-jalan yang sudah
dibuat oleh Dinas PU Kalimantan,
khususnya Kalbar (dalam hal ini Bina
Marga), masih ada yang belum bisa
menghubungkan satu desa ke desa lain.
Jalan penghubung antara Kalbar dan
Kalteng juga masih belum tembus
(terhubung) dan sekitar 72 km lebih
masih berupa jalan tanah.
Jembatan satu-satunya yang bisa meng-
hubungkan jalan Trans Kalimantan dari
Kalbar haruslah melalui sungai di Tayan.
Akan tetapi, jembatan tersebut masih
belum jadi karena saat ini masih dalam
tahap pembebasan lahan. Entah kapan
diluncurkan dana sehingga jembatan
yang rencananya sepanjang 2 km itu bisa
terbangun.
Wacana mengenai hal ini sudah lama
dilakukan. Pemerintah Provinsi Kalbar
sendiri, dengan luasnya wilayah, merasa
kewalahan untuk menangani jalan peng-
hubung antarprovinsi dan antarkabu-
paten, sehingga memerlukan bantuan
dari pusat. Berdasarkan dana, Dinas PU
Kalbar dalam 1 tahunnya hanya dapat
mengerjakan kurang-lebih 5 km saja. Dinas
PU Kalbar saat ini hanya mampu me-
lakukan tambal sulam untuk mengatasi
jalan yang berlubang-lubang.
Adanya perbedaan pendekatan yang
digunakan dalam memandang pem-
bangunan daerah di perbatasan antara
pemerintah Malaysia dan Indonesia kini
menimbulkan masalah yang sangat gen-
ting. Pemerintah Malaysia lebih menitik-
beratkan pada kesejahteraan masyarakat
di perbatasan (prosperity) dimana
konsekuensinya adalah dengan mem-
prioritaskan perekonomian masyarakat-
nya di perbatasan. Sementara peme-
rintah Indonesia, karena yang diutamakan
adalah security (keamanan), maka pem-
bangunan infrastruktur dan sarana serta
prasarana yan dilakukan di daerah-daerah
perbatasannya seolah-olah sedapat
mungkin terisolir karena memang tidak
ada jalan penghubung di sana, hanya jalan-
jalan setapak yang banyak dibuat oleh para
penduduk setempat. Hal ini menyebabkan
ketergantungan mereka (masyarakat In-
donesia di perbatasan) ke Malaysia (yang
menyediakan kebutuhan hidup lebih baik
dan banyak).
Tujuan dibukanya PPLB di perbatasan
Aruk-Biawak dan Nanga Badau-Lubok
Antu adalah agar masyarakat di sana tidak
lagi terisolir dan sejahtera. Menurut data
dari bea & cukai, turis (dari berbagai
negara) yang datang ke Kuching Malaysia
diperkirakan sekitar 1 juta orang per tahun.
Target pemerintah Kalbar adalah menarik
30% dari jumlah tersebut. Akan tetapi,
meskipun nantinya pintu perbatasan Aruk
dan Nanga Badau telah dibuka, apabila
jalan-jalannya saja rusak dan tidak ter-
hubung dengan wilayah lain, apalagi yang
menuju ke tempat-tempat wisata (misal-
nya ke Danau Sintarum), maka tidak akan
ada turis yang mau datang. Dengan
demikian, tujuan penyejahteraan masya-
rakat di kawasan perbatasan pun tidak
akan tercapai. Namun jika jalan sudah
tersedia dan dalam kondisi bagus, lengkap
dengan ketersediaan listrik dan air bersih,
maka sektor ekonomi dan pariwisata akan
dapat berkembang dengan sendirinya.
Disitulah masyarakat bisa disejahterakan
karena banyak lapangan kerja akan
tersedia.
Ingat, suatu saat masyarakat di per-
batasan bisa lepas ke Malaysia, bukan
karena perang, melainkan dengan me-
rebut hati mereka. Ibarat orang yang
merasakan cinta tetapi bertepuk sebelah
tangan. Jangankan ada suatu perhatian
tercurahkan, hanya janji-janji semu yang
selalu didapat. Rasa cinta tersebut bisa
saja luntur, cinta bisa pula berpindah ke
lain hati, bahkan bisa berubah dari
kekecewaan menjadi dendam. Oleh
karena itulah, penanganan pembangunan
di daerah-daerah perbatasan yang ter-
tinggal haruslah segera dilakukan.
Janganlah sampai terjadi cinta para warga
di sana bertepuk sebelah tangan dan
berakhir dengan kekecewaan. Sudah
banyak para pejabat yang datang untuk
berkunjung, bahkan sampai Presiden dan
Menteri yang berjanji untuk memprio-
ritaskan pembangunan di daerah-daerah
pedalaman dan perbatasan. Namun
hingga kini, janji-janji tersebut tinggallah
janji. (Endah)
Penanganan Infrastruktur Kalbar
Arkan Yamri, PPK Pengembangan KawasanPerbatasan, Dinas Pekerjaan Umum Prov.
Kalbar. (Foto: Lis)
Bak Cinta Tak Berbalas
LAPORANUTAMA
Volume 38 • KIPRAH38
Penanganan pembangunan infra-
struktur di beberapa kawasan
perbatasan sampai saat ini masih
minim, belum menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan, padahal kawasan
perbatasan merupakan simbol batas
negara. Hal ini dapat dilihat dari alokasi
anggaran tahunan yang dikucurkan di
kawasan tersebut masih relatif kecil.
Lasarus, anggota Komisi V DPR-RI dari
Fraksi PDIP, berpendapat bahwa yang
barangkali masih kurang adalah political
will untuk menganggarkan dana yang
memadai. Padahal, penganggaran yang
memadai penting agar bisa membangun
infrastruktur jalan sebagai infrastruktur
utama yang masih dibutuhkan di per-
batasan. Kondisi ini yang membuat
segalanya menjadi serba sulit di sana,
yaitu karena tidak tersedianya jalan untuk
mobilitas orang maupun barang. Dalam
hal ini, pemerintah harus lebih serius
untuk menangani kawasan perbatasan,
tidak lagi hanya sekedar janji-janji.
“Saya yang merasakan langsung setiap
rapat dengar pendapat dengan PU selalu
mengutarakan supaya kita mulai dari
sekarang lebih serius lagi dalam me-
nangani infrastruktur jalan di sepanjang
perbatasan itu. Kita lihat sendiri infra-
struktur di Malaysia yang rapi dan sudah
begitu tertata dengan baik. Ini yang
menimbulkan rasa kita sebagai bangsa
kadang-kadang terusik,” ujar politikus
asal Kalimantan Barat ini. “Kenapa ya
negara saya tidak bisa seperti itu,
sehingga masyarakat saya, saudara-
saudara saya, yang hidup di sepanjang
garis perbatasan bisa hidup lebih
mudah.”
Lasarus, Anggota Komisi V DPR-RI
Pembangunan Jalan Lintas Perbatasan:Jangan hanya sekedar janji-janji
Penanganan belum optimal
Lasarus berpendapat bahwa pola pe-
nanganan kawasan perbatasan yang
diperlukan sekarang adalah pola yang
berkesinambungan. Sebagai garis per-
batasan, jalan-jalan yang dibangun di
kawasan perbatasan seharusnya me-
rupakan salah satu jalan negara dengan
kualitas jalan negara sebab banyak aspek
yang dipertaruhkan di sana, termasuk
juga persoalan pertahanan keamanan.
Pola penanganan yang sekarang ini sifat
penanganannya hanya sementara saja
dan tidak berkesinambungan. Dengan
demikian, sudah waktunya kita memulai
menggunakan pola berkesinambungan,
seperti pembuatan Trans Kalimantan
Selatan. Kalau tidak salah, Kementerian
Pekerjaan Umum juga sudah mendesain
jalan di pulau Kalimantan akan menjadi
tiga poros, yaitu poros selatan, poros
tengah, dan poros utara.
Poros utara inilah yang memanjang di
sepanjang garis perbatasan. Lasarus
menambahkan, “Penyelesaian di bagian
selatan sudah mencapai 70-80%. Oleh
karena hanya tinggal 20-30% lagi yang akan
kita kerjakan, maka saya pikir sudah
waktunya untuk kita mulai membangun
poros utara. Ini kalau kita kepingin lebih
cepat (selesai).”
Dengan adanya jalan ini, diharapkan bisa
mempermudah arus orang dan arus
barang serta bisa memperingan beban
hidup masyarakat dalam roda pereko-
nomian mereka di sepanjang garis
perbatasan itu.
Dampak dari Ketidaktersediaan Infra-
struktur
Di sepanjang garis perbatasan antara In-
donesia dengan Malaysia, jalan-jalan di
Malaysia sudah tertata dengan rapi,
bahkan sudah melingkar sampai ke garis
pantai, bahkan sudah seperti jalan tol.
Jalan-jalan arteri maupun yang menuju ke
desa-desa atau kampung juga sudah di
bikin jalan aspal.
Dampak dari kondisi ketersediaan infra-
struktur itulah yang menyebabkan warga
Malaysia menjadi dominan secara per-
ekonomian daripada masyarakat Indone-
sia yang berada di kawasan perbatasan.
Semua berawal dari kondisi jalan. Sudah
banyak isu-isu tidak baik mengenai adanya
sebagian warga kita yang berpindah
kewarganegaraan ataupun menjadi ten-
tara di Malaysia. “Ini adalah sebuah fakta
dan realita yang ada di lapangan,” tegas
Lasarus. “Dan kita tidak bisa menyalahkan
siapapun, menurut saya. Kondisi ini tidak bisa
kita biarkan, ini sudah menyangkut harkat,
martabat, dan harga diri bangsa, yang
sebetulnya tidak bisa diukur dengan nilai uang.
Kalau kita berpikir demikian, barulah kita bisa
membangun kawasan perbatasannya dengan
lebih serius.” (Jons)
Lasarus, anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi PDIP. (Foto: Jon’s)
LAPORANUTAMA
39KIPRAH • Volume 38
LAPORANUTAMA
Ada perubahan paradigma dalam
penanganan kawasan perbatasan
oleh pemerintah. Demikian di-
kemukakan oleh peneliti dari Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis
(Lesperssi), Beni Sukadis, kepada KIPRAH
(Jakarta, 8/7). Perubahan paradigma ini
dimulai sejak era pemerintahan Mega-
wati. Banyak hal yang melatar-belakangi
hal tersebut, seperti otonomi daerah,
perubahan konstelasi geoekonomi dan
politik dunia, serta lain sebagainya.
Bagaimana dengan kasus Sipadan dan
Ligitan? “Itu juga, sebagai salah satu
penyebab,” papar Beni, yang juga se-or-
ang pengamat bidang pertahanan dan
keamanan. Beni menjelaskan bahwa
Keputusan Mahkamah Internasional
mengenai jatuhnya kedua pulau tersebut
ke tangan Malaysia disebabkan karena
Malaysia telah menunjukkan eksis-
tensinya melalui aktivitas ekonomi di
pulau-pulau tersebut berupa investasi di
bidang pariwisata, sedangkan Indonesia
tidak melakukan apa-apa.
Preseden tersebut tentunya sedikit
banyak turut berpengaruh pada peng-
ambilan kebijakan di daerah perbatasan.
Jika Orde Baru lebih mengedepankan se-
curity approach (pendekatan keamanan),
maka kini mulai bergeser menjadi pros-
perity approach (pendekatan kesejah-
teraan).
“Setidaknya hal tersebut terlihat pada
tataran konsep dan kebijakan, sedangkan
implementasinya mungkin belum begitu
terlihat,” demikian argumentasi dari
Beni. Hal ini terlihat dari berbagai
Konsep Ada,
kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah, seperti yang terbaru
berupa pembentukan Badan Nasional
Pengelola Perbatasan, buku putih per-
tahanan Indonesia, dan lain-lainnya.
Menurut Beni, kurang terlihatnya hasil
implementasi pembangunan yang bisa
dirasakan secara langsung oleh masya-
rakat di kawasan perbatasan disinyalir
akibat dari kurangnya kordinasi antar-
instansi. Sebetulnya di level pimpinan
sudah disepakati, namun masalahnya
terletak pada pelaksanaan di lapangan.
Sekedar ilustrasi, di negara kita banyak
sekali instansi yang menangani masalah
perbatasan. Ada TNI, kemudian Imigrasi
dan Bea Cukai, lalu Kementerian PU
maupun Kementerian Kehutanan, Polisi,
dan lain sebagainya. Beda dengan di
negara-negara Eropa yang penjagaan
perbatasannya hanya ditangani oleh polisi
penjaga perbatasan yang berfungsi
ganda, dari tugas menjaga, mengurusi hal-
hal berkaitan dengan keimigrasian,
sampai memeriksa bea cukai.
Masalah berikutnya adalah anggaran yang
terbilang minim, apalagi jika dibanding-
kan dengan panjang kawasan perbatasan
yang harus dikelola. Beni juga mengakui
masalah “kenakalan” oknum aparat di
daerah perbatasan sedikit banyak ter-
imbas masalah anggaran yang minim ini.
Dalam hal pembangunan infrastruktur,
kebutuhan tiap-tiap daerah perbatasan
tentunya berbeda dengan yang lainnya.
Daerah perbatasan di Kalimantan mi-
salnya, pembangunan infrastruktur yang
sangat dibutuhkan di sana adalah jalan,
permukiman, dan utilitas (listrik, air,
jaringan TV, dan sebagainya), sementara
di daerah perbatasan dengan Filipina
(utara Sulawesi dan Talaud) yang dibu-
tuhkan adalah pembangunan industri
perikanan, pelabuhan, sentra-sentra
ekonomi, dan pasar, khususnya floating
market (pasar terapung).
Tentunya pembangunan infrastruktur di
kawasan perbatasan harus melihat pada
beberapa hal, salah satunya jumlah pen-
duduk. Tidaklah perlu membangun infra-
struktur di kawasan yang tidak ada
penduduknya, misalkan di pulau-pulau
kecil yang tidak berpenghuni.
Meskipun demikian, dengan memandang
sisi stra-tegis bagi kedaulatan negara,
tetap ada pembangunan untuk menun-
jukkan bahwa pulau-pulau itu milik RI.
Contohnya, di Pulau Nipa dan Pulau
Berhala (Sumatera Utara) yang walaupun
tidak berpenghuni, namun kedua pulau
tersebut menjadi titik penetapan garis
perbatasan negara kita, sehingga tidak
heran tetap dibangun infrastrukturnya,
terutama untuk kepentingan militer.
Perlu diingat bahwa pendekatan ke-
sejahteraan ini tidak serta merta me-
ngecilkan keberadaan pendekatan ke-
amanan. Hal tersebut mutlak tetap di-
perlukan karena menyangkut kedaulatan
negara, juga berkaitan dengan penang-
gulangan masalah-masalah seperti ke-
jahatan trans nasional, penyelundupan,
terorisme dan pencurian kekayaan sum-
ber daya alam kita oleh pihak asing. (Wy)
Implementasi KurangBeni Sukadis. (Foto: Wy)
Volume 38 • KIPRAH40
SELINGAN
Kayu ulin (Eusideroxylon zwageri)
atau sebagian orang menye-
butnya kayu besi dan sebagian
orang lagi menyebutnya kayu belian
merupakan bahan utama pembuatan
sirap. Kayu jenis ini kini semakin sulit
diperoleh, karena penebangan hutan
Kalimantan yang tidak terkendali. Kalau
pun masih tersisa di hutan, hanya kayu
ulin berusia muda. Sedangkan budidaya
kayu ulin hampir tak pernah dilakukan
karena masa panen yang terlalu lama, di
atas 60 tahun. Jenisnya berbeda dengan
kayu ulin lainnya yang biasa digunakan
untuk fondasi atau rangka rumah.
Ulin sirap secara alamiah berupa pohon
yang batangnya seperti berlapis-lapis,
sehingga begitu dibelah langsung rata,
menyerupai triplek atau papan tipis,
beratnya pun relatif ringan. Langkah
selanjutnya tinggal memotong-motong
ulin sirap sesuai ukuran yang dikehendaki
biasanya (10 x 50 cm) dan ujungnya
dibuat sedikit runcing. Selanjutnya siap
digunakan untuk atap rumah dengan
susunan berlapis. Penyusunan seperti itu
dimaksudkan agar air hujan tidak me-
rembes ke bagian dalam rumah.
Penggunaan Atap SirapSemakin Lenyap
Secara tradisional pemasangan atap sirap
dilakukan dengan diikat satu persatu
menggunakan rotan pada kasau rumah.
Langkah ini masih digunakan pada atap
lamin atau rumah panjang khas suku
Dayak. “Namun sangat sedikikit tukang
kayu yang bisa memasang sirap dengan
cara seperti itu. Oleh karena itu, di
perkotaan biasanya atap sirap dipasang
dengan menggunakan paku khusus
supaya sirap tidak patah,” kata Arkan,
pejabat Dinas Cipta Karya, Provinsi Kalbar
kepada KIPRAH.
Sungguh disesalkan
penggunaan atap sirap
perlahan-lahan kini mulai
ditinggalkan. Bukan cuma di
Jakarta dan kota-kota di
Pulau Jawa, tetapi di daerah
penghasil sirap, seperti
Pulau Kalimantan, atap
sirap pun mulai lenyap.
Bukan berarti tidak suka
menggunakan atap sirap,
tetapi bahan bakunya
memang sudah sulit
diperoleh, karena hutannya
habis dibabat.
Kantor Dinas PU Prov. Kalteng yang masih menggunakan sirap sebagai atap bangunan.Langkanya kayu ulin sebagai bahan baku menyebabkan sirap semakin ditinggalkan. (Foto: Joe)
41KIPRAH • Volume 38
SELINGAN
sejuk, karena kayu sangat lambat me-
nyerap panas sinar matahari.
Pemasangan kayu yang harus disusun
secara berlapis-lapis, menyebabkan
“wuwungan” rumah juga harus dibuat
tinggi, sehingga sirkulasi udara di bagian
atap berlangsung baik dan kesejukan
udara pun terasa hingga bagian dalam
rumah. Tanpa mengunakan pendingin
udara (AC) pun, bagian dalam rumah
terasa sejuk, apalagi jika jendela rumah
dibuat lebar-lebar, dan di sekeliling rumah
ditanami pepohonan atau rumput hijau
yang terhampar luas.
Ringannya bahan kayu menyebabkan
kuda-kuda serta fondasi rumah tidak
mendapat beban seberat bahan atap
lainnya, seperti genting dan beton,
walaupun berat jenis kayu ulin l,04 yang
artinya bakal tenggelam jika diletakkan
di air. Selain itu karena atap terbuat dari
kayu, maka tidak akan berisik, meski hujan
lebat mengguyur rumah.
Kekuatannya pun tak diragukan lagi,
meski sudah berumur puluhan tahun,
lebih panjang daripada umur manusia,
sehingga tak bisa dipungkiri kayu jenis ini
bisa diwariskan ke anak cucu dan biasa
dipakai untuk bantalan kereta api.
Kesan pertama begitu melihat rumah
beratap sirap adalah sejuk, indah dan
berwibawa. Apalagi jika rumah tersebut
hasil rancangan tempo dulu yang ter-
golong modern pada zamannya. Tatapan
mata pun seakan tak akan pernah puas
untuk menikmati keindahan rumah
beratap sirap. Sayang keindahan semacam
ini sekarang sudah mulai sulit dinikmati.
Di Jakarta misalnya rumah-rumah pe-
ninggalan kolonial yang mentereng di
sekitar kawasan Menteng atau Kebayoran
Baru yang dulunya beratap sirap sekarang
sudah banyak diubah menjadi rumah
megah, ruko, dan bangunan perkantoran,
tetapi kaku. Atap pun bukan lagi sirap,
tetapi diganti genting, bahkan beton yang
kokoh. Rumah beratap sirap pun hilang
satu persatu. Hal yang sama juga terjadi
di Kalimantan, daerah penghasil atap
sirap, bangunan yang menggunakan sirap
pun perlahan-lahan mulai lenyap.
Begitulah perubahan. Nasib sirap yang
pernah “bergengsi” pada zamannya,
sekarang tergantikan dengan bahan lain
yang dirasa lebih maju dan modern. Di balik
itu, kerakusan mengekploitasi hutan
menyebabkan keindahan atap sirap tak
bisa dinikmati seperti dulu lagi. (Joe)
Ia mengatakan bahwa di kota-kota besar
di Kalimantan , seperti Samarinda, Banjar-
masin, Palangkaraya, dan Pontianak, sirap
biasanya dijual per ikat terdiri atas 100
lembar, bisa untuk membuat atap seluas
satu meter persegi.
SD Sirap. Kesan indah dannyaman langsung terasa begitu
memasuki sekolah dasar diPontianak, Kalimantan Barat
(Kalbar), yang atapnya terbuatdari sirap. Sejak dibangun padatahun 1918, seangkatan dengan
Gedung Kantor Pos Pontianak,kondisinya masih kuat. Namun
mulai langkanya pohon ulinsebagai bahan utama
pembuatan sirap, mengancamkeberadaan sekolah dasar yang
atapnya terbuat dari sirap.Sementara itu, di Kalbar dan
Kaltim pun rumah panjang ataulamin juga kesulitan
mendapatkan atap sirap yangterbuat dari kayu ulin akibatpenebangan hutan yang tak
terkendali. (Foto Heroe)
Keunggulan
Sejatinya menggunakan atap sirap untuk
rumah memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan bahan lainnya.
Keunggulan yang paling utama adalah
membuat bagian dalam rumah terasa
Volume 38 • KIPRAH42
GALERIFOTO
Volume 38 • KIPRAH42
1
2 3
89
Kawasan perbatasan sering diasosiasikan sebagai
daerah yang tertinggal dan terpencil.
Meskipun demikian, terdapat secercah harapan
di kawasan perbatasan karena daerah-daerah tersebut
memiliki potensi sumber daya alam yang tak hanya
indah, tetapi juga berlimpah.
Oleh karena itulah, walaupun masih terbatas,
pembangunan infrastruktur yang ada di daerah
perbatasan dan pulau terdepan dan terpencil terus
dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum,
diantaranya melalui pembangunan Pos Pemeriksaan
Lintas Batas (PPLB), Pos Lintas Batas (PLB), jalan,
dermaga, pasar, menara mercusuar, dan jembatan.10
Foto: Arkan
Foto: Istimewa
Foto: Ind
Foto: Joe Foto: Otorita Batam
Foto: Lis
43KIPRAH • Volume 38
GALERIFOTO
4343
5
67
Keterangan foto dari kiri ke kanan searah jarum jam:
Menara mercusuar di P. Berhala, Sumut;
Dermaga di salah satu pulau terpencil, P. Lemukutan, Kalbar;
Pasar di PPLB Entikong, Kalbar;
PPLB Nanga Badau, Kalbar;
PPLB Aruk, Kalbar;
Rusun Nunukan, Kaltim;
Suasana Pelabuhan Batam, Kepulauan Riau;
Jembatan Barelang di P. Batam, Kepulauan Riau;
Pos Lintas Batas Atapupu di Atambua, NTT;
PPLB di Keerom, Papua.
4
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum di kawasan perbatasan
tidak hanya bertujuan supaya wilayah perbatasan kian
kokoh menjaga kedaulatan negara, namun juga
menyejahterakan masyarakat setempat dan menarik
hati warga dunia untuk datang berkunjung. (Endah)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KIPRAH • Volume 38
Foto: Otorita Batam Foto: Lis
Foto: Lis
Foto: Dok.
Volume 38 • KIPRAH44
Bulan Juni lalu, tepatnya tanggal 22,
ibu kota negeri tercinta ini
merayakan hari jadinya yang ke
483. Lumayan tua juga. Mengingat hal
tersebut, KIPRAH kali ini mencoba
mengangkat sebuah daerah yang bisa
dibilang menjadi salah satu benteng
terakhir pelestarian budaya Betawi.
Tempat itu bukan daerah Condet di
Jakarta Timur atau daerah Kota Tua yang
tahun ini dijadikan pusat peringatan Hari
Ulang Tahun (HUT) Jakarta. Bukan pula
ke Pekan Raya Jakarta di Kemayoran,
tempat acara tahunan Jakarta Fair digelar.
Apabila anda bosan dengan acara Jakarta
Fair yang hanya itu-itu saja, kali ini KIPRAH
mengajak Anda menyusuri daerah selatan
Jakarta, tepatnya di Situ Babakan,
Situ Babakan:
Satu dari Benteng Terakhir
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta
Selatan.
Di sini kita bisa menikmati suasana kehi-
dupan perkampungan Betawi asli dimana
arsitektur rumah tradisional, makanan
khas, hingga kesenian Betawi tersaji
lengkap. Ongkos masuknya? Gratis! Hanya
saja bagi pengendara sepeda motor
dikenakan biaya parkir seribu rupiah dan
bagi mobil dua ribu rupiah, sekedar untuk
ketertiban dan keamanan kendaraan plus
insentif bagi warga yang lahannya di-
jadikan areal parkir.
Situ Babakan sendiri merupakan daerah
cagar budaya seluas 165 hektar, terdiri dari
kebun rakyat, perkampungan masyarakat
Betawi, serta 2 (dua) danau yang me-
ngapit perkampungan ini. Untuk mencapai
tempat ini, dari Blok M anda bisa naik bus
Kopaja 616 jurusan Blok M–Pasar
Minggu–Cipedak. Bilang saja mau ke Situ
Babakan, maka Anda akan diturunkan
tepat di Gerbang Bang Pitung, gerbang
utama menuju ke Situ Babakan. Dari
Gerbang Bang Pitung masih ada sekitar
300 meter lagi sebelum sampai di Danau
Situ Babakan.
Dari jalan masuk, yang bisa ditemui
pertama adalah danau itu sendiri yang
cukup luas. Pepohonan dimana-mana,
membuat udara tidak terasa panas.
Apalagi danaunya cukup bersih dan enak
untuk dipandang sehingga suasana terasa
nyaman, bisa dibilang romantis. Tidak
heran KIPRAH banyak menemukan
pasangan-pasangan yang tengah duduk
santai menikmati keindahan danau.
Pelestarian Budaya Betawi
SELINGAN
Danau Situ Babakan yang banyak dikunjungai wisatawan. (Foto: Wy)
45KIPRAH • Volume 38
Suasana di sini cukup tenang, meski
terkadang terdengar lagu-lagu Betawi,
seperti “Kompor Mledug” dari pengeras
suara tukang kaset dan CD di pinggir
danau. Sesekali celoteh riang anak-anak
yang sedang bermain bola atau bermain
bebek air turut menimpali. Di sepanjang
sisi danau juga terdapat jalan untuk mobil
lengkap dengan orang-orang yang ber-
jualan makanan dan minuman.
Anda dapat berjalan sembari melihat-lihat
deretan rumah yang sebagian besar
berarsitektur Betawi di sekitar tepian
danau. Memang, ada semacam himbauan
kepada warga di sini untuk membangun
rumahnya dengan arsitektur Betawi,
terutama bagi warga yang mampu. Selain
itu, ada pula beberapa rumah bercorak
Betawi modern terletak di perkam-
pungan budaya ini. Gaya betawi tersebut
terlihat pada pola-pola ornamen dan
hiasan yang dipengaruhi beragam budaya,
dari Cina, Arab, Portugis, hingga Belanda.
Sifat terbuka dan keramahan khas budaya
Betawi bisa pula kita saksikan dari eks-
terior beranda/ruang tamu di rumah-
rumah tersebut. Tak jauh beda dengan
beranda rumah khas Betawi yang ada di
acara-acara lenong di televisi, selain
seperangkat meja kursi dan lampu antik
di beranda-beranda tersebut juga ter-
dapat semacam amben atau tempat tidur
bambu yang disebut “lincak”.
Kami pun sempat duduk selonjoran sejenak
di atas lincak ini. Kami jadi teringat bagaimana
almarhum Benyamin Sueb dulu juga sering
bersantai di lincak di sinetron “Si Doel Anak
Sekolah” yang pernah populer di tahun 90-
an. Sempat terpikir, jika saja ditemani sepiring
ketan cocol abon plus segelas besar kopi pahit,
wah……
Anda lapar? Tidak perlu jauh-jauh mencari
makanan. Hampir di sepanjang jalan Anda
bisa menemukan penjaja makanan khas
Betawi. Mau apa? Tinggal pilih. Ada kerak
telur, toge goreng, siomay, soto betawi,
kue ape, ketoprak, bakso, gulali, mie ayam,
ketupat sayur, nasi uduk, laksa, rujak
bebeg, otak-otak, bir pletok, dan masih
banyak lagi yang lain. Ngomong-ngomong
tentang bir pletok, meskipun namanya
bir pletok, tetapi bir yang satu ini tidak
mengandung alkohol karena bahan dasar
minuman ini dari jahe, serai, dan daun
pandan wangi yang cocok untuk meng-
hangatkan badan.
Di sekeliling perkampungan, terutama
halaman rumah bisa kita temukan ber-
bagai pepohonan khas Jakarta yang
mungkin sudah jarang dijumpai, seperti
rambutan rafia, gohok, jamblang, buni,
kecapi, menteng, jengkol, gandaria dan
masih banyak yang lainnya.
Bila Anda berjalan lebih jauh lagi ke dalam,
Anda bisa menjumpai perkampungan
budaya. Dari pintu masuk ke perkam-
pungan budaya ini, langsung terpampang
sebuah panggung terbuka tempat pe-
mentasan budaya betawi yang biasa
diadakan tiap akhir pekan. Menurut
beberapa warga yang kami temui, per-
tunjukan seni tanjidor, gambang kro-
mong, tari cokek, tari topeng, lenong,
maupun ondel-ondel sering dipentaskan
di sini. Kadangkala artis-artis lenong yang
kondang, seperti Bang Bolot, Mandra,
Mpok Nori, atau Ida Royani turut berga-
bung meramaikan pertunjukan di sini.
Tentu saja seperti umumnya lenong, kita
sebagai pengunjung bisa ikut bersahutan
bicara dengan para pemainnya.
Oh ya, bila ingin menikmati situ dari tengah
situnya bisa menggunakan sepeda air yang
berbentuk bebek-bebekan atau kuda laut.
Walaupun demikian, area berkeliling
dengan bebek-bebekan ini dibatasi. Anda
tidak bisa berkeliling ke seluruh area situ
karena di bagian lain area situ diper-
gunakan juga untuk kegiatan memancing
serta (kadang-kadang) latihan kayak di
sekitar situ.
Saat pulang, sempatkan diri Anda ber-
belanja cinderamata khas Betawi di sini,
seperti baju, celana, aksesoris, mainan,
sampai CD/DVD. Jangan heran bila rata-
rata souvenir yang dijual memasang
gambar Benyamin Sueb. Artis kawakan
Betawi ini memang sudah menjadi ikon
kebanggaan masyarakat Jakarta. Beberapa
pemuda berpakaian hitam-hitam plus peci
dengan berkalung kain sarung di leher ala
si Pitung kadang-kadang melintas, mem-
buat kita seakan terdampar ke sisi Jakarta
yang lebih “asli”. Sungguh tak terbayang-
kan bahwa kawasan ini hanyalah
“beberapa langkah” dari riuh rendahnya
kemacetan lalu lintas kota Jakarta.
Bagaimana? Anda tertarik? (Wy)
SELINGAN
Para pengunjung sedang menanti pementasan budaya khas Betawi . (Foto: Wy)
Volume 38 • KIPRAH46
INFOTEKNOLOGI
Banyak daerah mengalami
kesulitan penyediaan air baku
yang tidak lagi bisa diatasi dengan
penggunaan sumber air permukaan dan
air tanah yang ada, terutama untuk
daerah terpencil yang minim daerah
resapan air. Banyak cara ditempuh untuk
mengatasi persoalan ini, antara lain
pengiriman air menggunakan truk tangki
air. Selain memerlukan biaya transportasi
yang mahal, kadang-kadang pemba-
giannya tidak adil dan sering tidak tepat
waktu dan sasaran. Oleh karena itu, perlu
terobosan teknologi pemanenan air
hujan (rain water harvesting technique).
Ialah ABSAH, teknologi bangunan penye-
diaan air baku mandiri yang bersifat
berkesinambungan, efisien, efektif,
ramah lingkungan dengan biaya operasi
dan pemeliharaan yang rendah. Bangun-
an ini merupakan bangunan peman-
faatan air sekaligus berfungsi sebagai
sarana konservasi air. ABSAH bisa dibuat
di mana saja selama terdapat curah hujan
yang memadai dan luas atap bangunan
yang cukup.
ABSAH merupakan bangunan penyediaan
air baku mandiri di tingkat rumah tangga
sampai komunal. Penerapannya bersifat
luwes dan dapat disesuaikan dengan
ketersediaan lahan. ABSAH dapat di-
bangun di bawah bangunan tempat
tinggal atau dibuat terpisah. Air sebagai
hasil dari olahan ABSAH dapat diper-
gunakan sebagai air baku rumah tangga,
air irigasi pertanian skala kecil (peka-
rangan, hidroponik, aeroponik, irigasi
tetes untuk berbagai macam tanaman),
perikanan darat berskala hemat air (lele,
belut dan lain sebagainya), dan keperluan
lainnya. Untuk luas atap bangunan 100 m2
di perkotaan dengan pasok air harian
untuk tahun rata-rata sebesar 492,3 liter/
hari, maka ABSAH cukup untuk me-
Bangunan ABSAH(Akuifer Buatan dan Simpanan Air Hujan)
Oleh : **Bambang Soenarto
Bangunan ABSAH. (Foto: Dok. Balitbang)
47KIPRAH • Volume 38
INFOTEKNOLOGI
menuhi kebutuhan domestik dari satu
rumah yang beranggotakan 4 jiwa. Jika
luas atap lebih dari 100 m2, maka lebih
banyak lagi volume air yang bisa di-
manfaatkan. Ini merupakan sistem penye-
diaan air baku air minum individual yang
bisa dibuat tidak hanya di perkotaan
namun juga di perdesaan. Di daerah
perdesaan yang mengalami kelangkaan
air tawar (misalnya di daerah rawa, berair
gambut, daerah intrusi air laut dan di
pulau-pulau kecil), jika kebutuhan hanya
untuk memenuhi kebutuhan air minum
dan memasak dengan kriteria 20 liter/
kapita/hari, maka kebutuhan sehari-hari
untuk sebanyak 24 orang atau 6 rumah
tangga bisa dipenuhi, yaitu dengan
asumsi bahwa air untuk keperluan lainnya
cukup tersedia. Ini bisa digolongkan
sebagai tipe penyediaan air baku komunal
tingkat pedusunan. Kualitas air sebagai
hasil dari ABSAH ini tergolong dalam kelas
I berdasarkan PP No 82/ 2001.
ABSAH dapat dibangun dengan ukuran
panjang 13 m atau lebih, lebar 5 m, dan
kedalaman 2,5 m di mana antar bak
berturutan diberi panel berlubang-lubang
(rooster) dan ijuk untuk penghantaran
aliran air. Bangunan ini dipersyaratkan
tidak boleh bocor jika terisi air dan harus
dalam keadaan tertutup rapat, kecuali di
bagian tertentu yang bisa dibuka se-
waktu-waktu untuk pemeriksaan. Secara
proporsional, letak bangunan ini sebagian
berada di atas dan sebagian lagi di bawah
permukaan tanah (semi underground
structures). Material bangunan antara lain
batu bata dan beton bertulang untuk
dasar dan dinding-dinding luarnya, se-
dangkan dinding dan sekat bagian dalam
disarankan konstruksi batu bata. Pemi-
lihan konstruksi beton bertulang bisa
menjamin kekedapan terhadap air di-
bandingkan bahan yang lain. Agar air tidak
tumpah dari bak pemasukan air, maka
volume desain bak ini sekurang-kurang-
nya harus mampu menampung ¼ volu-
me panenan air hujan tertinggi pada atap
bangunan yang pernah terjadi (misalnya
untuk Indonesia boleh diambil angka 120
mm/jam dengan durasi 2 jam). Untuk luas
atap bangunan 100 m2, desain volume
sekurang-kurangnya sama dengan 0,12 x
2 x 100/4 m3 atau 6 m3. Jika kedalaman
bangunan ABSAH 2,5 m dan lebar bak
pemasukan air 1,25 m, maka panjang bak
pemasukan air ini adalah 6/(2,5 x 1,25) m
atau 2 m. Adapun di atas bak pemanfaatan
air, yaitu pada bagian sumur, bisa dipasang
pompa tangan biasa.
Pembersihan pada atap bangunan di-
kerjakan dengan cara membuang mate-
rial halus dan kasar sebelum musim hujan
tiba. Hujan yang pertama turun sebaiknya
tidak langsung dimasukkan ke dalam
bangunan, tetapi disimpan dan dipakai
untuk pembersihan atap bangunan.
Kemudian dilakukan pembersihan ter-
hadap kasa filter atau anyaman ijuk yang
ada di dalam bak pemasukan air. Pem-
bersihan selanjutnya dikerjakan secara
berkala, misal 1 bulan sekali atau menurut
keperluan. Pembersihan bak akuifer
buatan dan bak pemanfaatan air dilakukan
setidaknya 5 - 10 tahun sekali atau sesuai
keperluan. Talang dan pipa penghantar
harus sering diperiksa dan dibersihkan.
Mengingat biaya operasi dan pe-
meliharaan bangunan yang rendah, maka
ABSAH cocok untuk diterapkan di pe-
desaan.
Prototip bangunan ABSAH dengan bak
akuifer buatan tipe kiri-kanan telah
dibangun di Ekas, Kabupaten Lombok
Timur. Selain itu, dibangun pula di
Kabupaten Jepara, Pacitan, Gunung Kidul
dan Lampung Timur. Badan Pember-
dayaan Masyarakat Propinsi NTB telah
membangun dua bangunan tipe kiri-
kanan di Lombok dan Pulau Sumbawa.
Musium Volkanologi di Penelokan,
Kintamani, memanfaatkan tipe atas-
bawah untuk penyediaan air baku air
bersih bagi pengunjung museum. ABSAH
merupakan solusi jitu untuk kesulitan
perolehan air di daerah kering dan
gersang seperti di daerah Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku
Tenggara. Selain itu, pulau-pulau terluar
yang terpencil seperti Pulau Nipah juga
merupakan daerah potensial pengguna
ABSAH.
** Peneliti Pusat Litbang Sumber Daya Air
Sketsa bangunan ABDULAH (Akuifer Buatan Daur Ulang Air Hujan).
Volume 38 • KIPRAH48
TAHUKAHANDA
Abrasi : Hempasan atau penggerusan oleh gerakan air dan
butiran kasar yang terkandung di dalamnya.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) : Alur laut yang ditetapkan
sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
berdasarkan hukum internasional. Alur ini merupakan alur untuk
pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal
atau pesawat udara asing di atas laut tersebut. Penetapan ALKI
dimaksudkan agar internasional dapat terselenggara secara
terus menerus, cepat, dan tidak terhalang oleh perairan dan
ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk
menghubungkan dua perairan bebas, yaitu antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, meliputi :
- ALKI I melintasi Laut Cina Selatan – Selat Karimata – Laut
Jawa – Selat Sunda.
- ALKI II melintasi Laut Sulawesi – Selat Makasar – Laut Flores
– Selat Lombok.
- ALKI III melintasi Samudera Pasifik – Selat Maluku – Laut
Seram – Laut Banda.
Alur Migrasi : Alur perpindahan orang atau hewan dari suatu
tempat ke tempat yang lain.
Batas Teritorial : Batas kedaulatan suatu negara yang dimuat
dalam rencana tata ruang nasional yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Batas Wilayah Negara : Garis batas pemisah kedaulatan suatu
negara berdasarkan hukum internasional.
BIMP – EAGA : Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Philipines-East ASEAN Growth Area, merupakan inisiatif kerja sama
di antara keempat negara untuk meningkatkan perdagangan,
pariwisata, dan investasi dengan dan di luar sub regional Asia
Tenggara.
BNPP : Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Data Literal/Non Spasial/Numerik : Data berbentuk grafik dan
teks atau numerik, berwujud nomor (angka), bersifat angka/
sistem angka.
Data Spasial : Berkenaan dengan ruang dan tempat, dikenal
sebagai geospasial atau informasi geografi, terdiri dari lokasi
eksplisit suatu geografi yang diset ke dalam bentuk koordinat.
Deklarasi Djuanda : Deklarasi yang menyatakan kepada dunia
bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara
dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah
NKRI. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia
Glossary menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State)
yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa
negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah
Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda
selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia. Dinamakan Djuanda karena dicetuskan pada
tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada
saat itu, Djuanda Kartawidjaja.
Hari Nusantara : 13 Desember, hari peringatan dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda.
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
Jalan Poros : Jalan yang menghubungkan setiap satuan
permukiman atau lingkungan perumahan.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)/Special Economic Zone (SEZ):
Wilayah geografis yang memiliki peraturan ekonomi khusus
yang lebih liberal dari peraturan ekonomi yang berlaku di suatu
negara. KEK memiliki jenis wilayah yang lebih khusus mencakup
Daerah Perdagangan Bebas (Free Trade Zones/FTZ), Daerah
Penanganan Ekspor (Export Processing Zones/EPZ), Daerah Bebas
(Free zones/Fz), Kawasan Industri (Industrial Estates/IE),
Pelabuhan Bebas (Free Ports) dan sebagainya.
Kawasan Pertahanan Negara : Wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
Kawasan Strategis Nasional : Wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan
keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan
termasuk wilayah yang terlah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Negara Kepulauan : Suatu negara yang seluruhnya terdiri dari
satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,
perairan diantaranya, dan lain-lain wujud ilmiah yang
hubungannya satu sama lain sedemikian erat, sehingga pulau-
pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu
kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang
secara historis dianggap demikian.
PLB : Pos Lintas Batas.
PPLB : Pos Pemeriksaan Lintas Batas.
Pulau : Daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh
air, selalu di atas muka air pada saat pasang tertinggi.
Pulau Kecil : Pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.
Volume 38 • KIPRAH48
49KIPRAH • Volume 38
TAHUKAHANDA
Sudah selayaknya perhatian terhadap pulau-pulau kecil di
perbatasan menjadi kepedulian semua pihak. Salah satu
bentuk nyata dari perhatian ditunjukkan oleh PT. Pos In-
donesia melalui penerbitan prangko dan mini set seri Pulau-
pulau Kecil Terluar pada peringatan Hari Nusantara tanggal 13
Desember tahun 2008 lalu.
Pulau-pulau kecil terluar yang ditampilkan masing-masing adalah
prangko Pulau Damar (berbatasan dengan Malaysia), prangko
Pulau Sebatik (berbatasan dengan Malaysia), prangko Pulau
Batubawaikang (berbatasan dengan Filipina), dan prangko Pulau
Bras (berbatasan dengan Republik Palau).
Harga nominal prangko yang tertera untuk 1 (satu) set prangko
yang terdiri dari 4 keping prangko seharga @ Rp 1.500,- adalah
Rp 6.000,-., sedangkan untuk 1 (satu) fullsheet prangko bernilai
Rp 30.000,-, dan 1 (satu) minisheet prangko ialah Rp 24.000,-
Penerbitan prangko seri ini cukup unik karena biasanya tema
prangko merujuk pada gambar tokoh atau peristiwa tertentu.
Jadi, jika anda gemar mengumpulkan prangko alias hobi filateli,
jangan sampai terlewatkan untuk mendapatkan seri Pulau-pulau
Kecil Terluar ini. (Wy)
Yang Unik
Status Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia sering disalahartikan sebagai negara dengan pulau
terbanyak. Terbesar memang benar, dilihat dari luas
wilayahnya, namun bukan pulau terbanyak.
Indonesia hanya punya sekitar 17.504 pulau. Jumlah itu masih
kalah dengan jumlah pulau-pulau yang terdapat di Kanada, yang
Salah Kaprahwalaupun bukan berstatus negara kepulauan tetapi memiliki
50 ribu lebih pulau.
Lalu, negara mana yang memiliki pulau terbanyak? Sebagaimana
tercantum dalam situs wikipedia.org, negara dengan pulau
terbanyak di dunia adalah Finlandia yang memiliki 179.584 pulau.
(Wy)
Pulau Kecil Terluar : Pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2000 km2 yang berbatasan langsung dengan Negara
tetangga dan atau laut lepas.
Sijori : Singapura – Johor – Riau Kepulauan.
Situ : Suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang
terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya berasal dari
anah atau air permukaan sebagai suatu siklus hidrologis yang
merupakan salah satu bentuk kawasan lindung.
Spillway/Jalur Limpasan : Sebuah jalur atau jalan air untuk
membuang kelebihan air dari suatu tampungan air yang bisa
berupa waduk, bendungan, atau situ.
Tetrapod : Salah satu jenis konstruksi pemecah gelombang
(break water).
TKI : Tenaga Kerja Indonesia.
TPI : Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea.
ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif.
49KIPRAH • Volume 38
Volume 38 • KIPRAH50
Seiring dengan pertambahan
penduduk kota dan semakin
sempitnya lahan bagi area pe-
rumahan serta harga tanah yang kian
mahal, banyak masyarakat tak mampu
memenuhi kebutuhan mereka akan
tempat tinggal. Maka, kekumuhan pun
tak bisa dihindarkan. Wali Kota Sura-
karta, Joko Widodo, pun dibuat gerah
karenanya.
Kota Solo sebagai kota dagang, kota budaya, dan kota pendidikan, seperti tetangganya Yogyakarta yangsetiap hari ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pesatnya pertumbuhan
dan perkembangan kota ini tak pelak mengundang para pendatang untuk datang mengadu nasib dengansegala konsekuensinya.
Bermula dari
Inisiatif pertama yang dia lakukan adalah
mengundang komunitas Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) yang
tinggal di kawasan kumuh tersebut ke
gedung Loji Gandrung di Jalan Slamet
Riyadi dengan tujuan mengajak mereka
berbincang-bincang dan membahas
tentang keindahan kota. Berkat ke-
tekunan dan kesabarannya (lebih dari 50
kali pertemuan) akhirnya ratusan PKL
yang semula “keukeuh” menempati
kawasan kumuh Banjarsari bersedia
dipindahkan ke tempat yang baru di Pasar
Klitikan, Pasar Kliwon.
Keberhasilan Joko Widodo tidak saja
dalam hal menata PKL, tetapi juga dalam
menata permukiman kumuh perkotaan.
Kawasan permukiman liar di pinggir Kali
Pepe, Tirtonadi, Kampung Kestalan,
Loji Gandrung
JELAJAH
Penataan Kota Solo:
Loji Gandrung, Surakarta. (Foto: Joe)
51KIPRAH • Volume 38
Joyontakan, Demangan, Laweyan, Kraton-
an, Serengan, dan Semanggi, serta
pinggiran Bengawan Solo ia tata bersama
aparaturnya sekaligus diurus legalitas
surat-suratnya melalui program pe-
mutihan. Mereka (para PKL) bahkan
diberi subsidi sebesar Rp 2 juta untuk me-
rehabilitasi rumahnya. Masyarakat pun
dengan suka hati memperbaiki hunian
mereka sendiri beserta lingkungannya.
Program lain yang berhasil ia lakukan
adalah relokasi hunian warga sebanyak 571
KK ke tempat lain yang lebih manusiawi.
Prosesnya memang tidak mudah, butuh
waktu, dan berlangsung selama beberapa
tahun. Semua slum area di kota budaya
ini rencananya akan ditata ulang dengan
melibatkan masyarakat secara aktif
melalui kelompok-kelompok binaan.
Sampai saat ini, tidak kurang dari 4.225
rumah telah diperbaiki sehingga layak
huni, bersih, dan rapi.
Dulu, sebagaimana dikisahkan oleh
Suparno (50), warga Kampung Totogan,
pemandangan seperti itu sulit ditemukan.
Maklum, rumahnya terletak persis di
pinggiran Kali Pepe yang tergolong
permukiman kumuh. Rumah-rumah
dengan kondisi serba memprihatinkan
berimpit tidak beraturan. Satu-satunya
jalan keluar-masuk warga hanya tersisa
kurang dari satu meter. Itupun selalu
becek, terlebih saat musim penghujan.
Belum lagi fasilitas untuk mandi, cuci,
dan kakus (MCK) yang sangat minim.
Suparno bersama 41 KK lainnya me-
nempati kawasan itu sejak 30 tahun silam
dengan segala keterbatasannya. Be-
runtung sejak 2007 Pemerintah Kota Solo
memulai program rehabilitasi rumah
tidak layak huni. Rumah warga yang
dulunya hanya berdinding gedeg (anyam-
an bambu) atau tripleks, diganti dengan
dinding tembok yang kokoh. Begitu pula
fasilitas MCK sudah diganti dengan dua
kamar mandi umum berukuran besar,
dengan fasilitas air bersih. Keuntungan
lain yang cukup membuat lega warga
adalah tidak adanya kekhawatiran digusur
karena mereka sudah mengantongi
sertifikat.
Program tersebut tidak semata-mata
terfokus pada bangunan rumah, tetapi
juga penataan lingkungan permukiman
serta kelengkapan prasarana dasar
sanitasi (persampahan, drainase, limbah),
air minum, penyediaan ruang terbuka
hijau (RTH), dan seterusnya.
Perbaikan lingkungan permukiman itu
hanyalah salah satu dari sekian upaya
Pemerintah Kota Solo dalam menata
kawasan kumuh dengan wujud yang
berbeda-beda. Misalnya saja pembangun-
an rumah susun sewa bagi masyarakat
berpenghasilan rendah sebanyak 2 (dua)
unit di Kecamatan Laweyan, serta di Ke-
camatan Jebres dan Semanggi masing-
masing 1 (satu) unit.
Kepala Bappeda Pemkot Surakarta,
Anung Indro Susanto, didampingi Ruhban
Ruzzyanto, Kasi O&P pada Balai Besar
Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo,
menjelaskan bahwa pembangunan rusu-
nawa merupakan program pemerintah
yang secara substansi berupaya me-
ngatasi permasalahan penataan kawasan
permukiman kumuh dengan konsep
penyediaan hunian vertikal yang dapat
dijangkau oleh MBR.
Pembangunan rumah vertikal dipilih
untuk mengatasi masalah khas per-
kotaan. “Rusunawa bisa menjadi solusi
untuk mengatasi permukiman kumuh
dan kebutuhan permukiman. Jadi, me-
lalui pembangunan rusunawa, dua ma-
salah kota bisa mendapatkan solusi
sekaligus dalam mewujudkan impian
warga kota yang ingin menikmati ke-
nyamanan tinggal di apartemen seder-
hana,” kata Anung.
Selain rusunawa, pemkot juga mem-
bangun fasilitas sanitasi lingkungan
berbasis masyarakat, antara lain di
Kelurahan Kadipiro, Sangkrah, Sewu,
Purwodiningratan, Serengan, Kratonan,
dan Danukusuman. Pemkot juga me-
lakukan penataan kawasan di area pedes-
Joko Widodo, WalikotaSurakarta. (Foto: Joe)
Dialog Menteri PU dengan delegasi dari Iran membahas masalah permukiman dan sanitasiperkotaan. (Foto: Arief)
JELAJAH
Volume 38 • KIPRAH52
trian (pejalan kaki) dengan konsep city
walk.
Urban Forest
Ide cerdas lain dari pemkot berupa
rencana program urban forest, khususnya
penataan kawasan bantaran kali dan
tanggul Bengawan Solo yang terletak di
sekeliling kota Solo. Tanggul dan bantaran
kali tersebut selanjutnya akan difungsikan
sebagai akses jalan inspeksi dan ring road
kota sekaligus sarana pelayanan publik.
Bak gayung bersambut, gagasan ce-
merlang ini disambut baik oleh BBWS
Bengawan Solo.
Ruhban mengatakan bahwa sebagai
tahap pertama pihaknya akan meninggi-
kan dan melebarkan badan tanggul kiri
Bengawan Solo sekitar 1 meter dari 4
meter sebelumnya dan sepanjang 10 km,
yaitu mulai dari Semanggi (Jembatan
Mojo) hingga Kebun Binatang Jurug.
Sementara itu, daerah bantarannya akan
ditata ulang dan dimanfaatkan untuk
berbagai pelayanan fasum dan fasos
masyarakat (public area), seperti untuk
kegiatan olah raga, jogging track, ber-
kemah, dll.
Penghargaan
Usaha yang serius memang selalu mem-
buahkan hasil. Bahkan, prestasi pemkot
dalam menangani PKL ini menjadi refe-
rensi bagi banyak pemda. Atas prestasinya
itu pulalah Kota Bengawan Solo ini
meraih penghargaan PU Tahun 2008 Sub-
bidang Penanganan Permukiman Kumuh
Perkotaan pada kategori kota besar.
Kisah sukses ini tak lepas dari tangan
dingin Wali Kota Joko Widodo atau yang
sering disapa Jokowi dalam mengatasi
problem perkotaan, yakni dengan pe-
nerapan pendekatan manusiawi. Tidak
semata melalui program penertiban,
tetapi melalui konsep pelibatan masya-
rakat yang terangkum dalam kebijakan
pemkot. Penanganannya dilakukan se-
cara crash program dan diintegrasikan
dengan program berskala besar dari
pemerintah pusat.
Atas dasar itulah, kota Solo akhirnya
dipercaya sebagai tuan rumah Konfe-
rensi Menteri se-Asia Pasif ik tentang
Pengembangan Perumahan dan Pem-
bangunan Perkotaan (Asia Pacific
Ministerial Conference on Housing and
Urban Development, APMCHUD), pada
tanggal 22-24 Juni 2010 lalu. Belasan
menteri yang membidangi pemba-
ngunan perumahan, permukiman,
dan perkotaan serta pejabat senior
dan delegasi dari berbagai negara
hadir dalam kegiatan tersebut.
Peserta AMPCHUD saat berkunjung ke obyek perbaikan kampung dan pelayanan SANIMAS diKampung Serengan, Solo. (Foto: Arief)
JELAJAH
Konferensi ini juga dimanfaatkan sebagai
ajang tukar-menukar pengalaman antar-
negara peserta dalam mengatasi masalah
permukiman perkotaan. Oleh karena itu,
dalam pertemuan APMCHUD ketiga ini,
para peserta dijadwalkan melakukan
kunjungan lapangan ke sejumlah
tempat dimana program penataan
kawasan kumuh telah berhasi l
dilakukan Pemkot Solo. Mereka ingin
melihat dari dekat bukti efektivitas jurus
bersolek yang ramah ala kota budaya itu.
(Joe)
53KIPRAH • Volume 38
JELAJAH
Sebagai salah satu negara tropis
dengan kondisi geografis yang
banyak memiliki sungai, teluk,
mapun lembah pegunungan, Indonesia
banyak membutuhkan infrastruktur
jembatan bentang panjang untuk meng-
hubungkan wilayah-wilayah strategis.
Tujuannya untuk mendorong pengem-
bangan wilayah dan pertumbuhan eko-
nomi daerah menuju kesejahteraan rakyat
yang dicita-citakan.
Dengan latar belakang itulah, maka
Pemkab dan Pemprov Kalbar, Kalsel dan
Kaltim dalam waktu dekat berencana
membangun tiga buah jembatan bentang
panjang di wilayahnya. Ketiga jembatan
dimaksud adalah Jembatan Tayan di
Kalbar, Jembatan Kota Baru di Kabupaten
Tanah Bumbu, Kalsel, dan Jembatan Pulau
Balang di Penajam, Kabupaten Paser
Utara, Kaltim.
Belajar
Terkait dengan rencana besar itu Kepala
Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional
(BBPJN) VII, Kalimantan, Subagio me-
ngatakan, kita perlu belajar banyak
tentang teknik jembatan dari negara-
negara maju, agar ke depan aparat kita
mampu membangun jembatan bentang
panjang dengan kemampuan sendiri.
Demikian pula sarana dan prasarana
pendukungnya, seperti ketersediaan
material dan peralatannya, perlu
dipersiapkan dengan baik.
Subagio menilai ketiga jembatan kons-
truksi cable stayed tersebut mempunyai
Jembatan Bentang Panjang:
Penguasaan teknologi pembangunan jembatan bentang panjang, baik dari aspek peralatan, material, maupunperencanaannya mutlak dibutuhkan. Kompetensi SDM juga menjadi faktor penting dalam penguasaan
pembangunan bentang panjang di masa mendatang.
peran penting dan strategis dalam sistem
pengembangan jaringan jalan nasional,
karena merupakan bagian dari mata
rantai Lintas Selatan Kalimantan (3.500
km) yang juga termasuk sistem jaringan
jalan ASEAN Highway atau Borneo High-
way.
Oleh karenanya kendala dana jangan
sampai dijadikan penghambat atau alasan
untuk tidak melayani masyarakat. Besar
kecilnya dana sangat tergantung dari
perencanaan desainnya. Ia mencontoh-
kan, penetapan tinggi dan lebar jembatan
akan sangat berpengaruh terhadap
panjang bentang dan dana yang di-
butuhkan, apakah memilih model desain
diamond pylon seperti Jembatan-Batam-
Bintan, ataukah Suramadu yang berben-
tuk H dimana atas dan bawah vertikal.
Selain itu, perilaku dinamik jembatan
terhadap pengaruh angin, perlu penin-
jauan secara khusus untuk menghindari
terjadinya flutter (getaran). Demikian pula
final desainnya perlu diuji di laboratorium.
“Ibarat beli mobil kita mau Mercy atau
Honda, kedua-duanya layak fungsi sebagai
alat transportasi, tetapi harganya ber-
beda,” ujarnya.
Singkatnya, kata Subagio yang pernah
menangani jembatan Suramadu, pe-
nguasaan teknologi pembangunan
jembatan bentang panjang baik dari
aspek peralatan, material, maupun pe-
rencanaannya mutlak diperlukan. Dan,
yang paling utama adalah faktor
kompetensi SDM-nya.
Apalagi kita memiliki banyak sungai
lebar, teluk maupun lembah pegu-
nungan, jelas butuh infrastruktur
jembatan bentang panjang, guna men-
dorong pengembangan wilayah dan
pertumbuhan ekonomi masyarakat. (Joe)
Dari Penguasaan TeknologiHingga Kompetensi SDM
Jembatan Rumpiang, Kalimantan Tengah. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH54
Tak banyak orang mengenal dekat
Pulau Karimata, suatu pulau besar
di antara gugusan kepulauan Kari-
mata yang terdiri dari 53 pulau besar
(diantaranya Pulau Serutu, Bulu, dan
Surunggading) dan pulau-pulau kecil.
Akses menuju pulau yang berada di
pesisir Kalimantan Barat ini masih
terbatas dan promosi tentang Pulau
Karimata terbilang belum banyak. Hal ini
mungkin menjadi penyebab kurang
dikenalnya pulau itu. Padahal, pulau nan
indah itu memiliki ekosistem menakjub-
Membenahi Infrastruktur
kan, seperti mangrove (bakau) dan hutan
tropis. Oleh karena itu, Pulau Karimata
ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh
pemerintah Indonesia. Di pulau itu juga
terdapat banyak populasi burung walet
sehingga menjadikan pulau ini sebagai
salah satu sumber pencarian sarang
burung walet. Menurut Kasatker Pe-
ngembangan Kawasan Perbatasan Dinas
Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan
Barat, Arkan Yamri, Pulau Karimata
menyimpan potensi laut yang sangat
menawan, misalnya keindahan terumbu
karang dan biota laut lainnya yang dapat
dilihat secara kasat mata. Belum lagi
jernihnya warna air nan biru semakin
memesona orang yang melihatnya.
Untuk menuju pulau tersebut dapat
menggunakan perahu yang ditempuh
selama sekitar delapan jam dari Sukadana
atau Ketapang. Selain perahu, kita dapat
juga menggunakan jasa kapal feri untuk
menyeberang dengan tarif Rp35.000,-
untuk mobil, Rp2.000,- untuk motor, dan
Rp4.000,- untuk orang. Untuk menye-
berang ke pulau terdekat lainnya, masya-
rakat di pulau itu terbiasa menggunakan
speed boat dengan bayaran Rp1.000,-
sekali jalan. Akan tetapi, kendala alam
seringkali menghambat akses menuju
pulau itu. Ketika musim angin selatan
tiba, masyarakat di gugusan Kepulauan
Karimata terisolasi dari Sukadana dan
Ketapang. Saat musim angin selatan, tak
ada perahu yang berani melintasi Selat
Karimata karena tinggi gelombang lebih
dari 3 meter. Masyarakat yang mata
pencahariannya sebagai nelayan pun
tidak bisa mencari ikan karena tingginya
gelombang. Tak hanya kendala di luar
pulau, di dalam pulau juga mengalami hal
yang sama. Jalan tanah masih meng-
hampar di pulau itu sehingga sangat sulit
untuk dilintasi kendaraan bermotor.
Menyadari keterbatasan akses di pulau
tersebut, maka Dinas PU Cipta Karya
Kalbar memulai programnya sejak tahun
2006 melalui dana APBN untuk mem-
bangun prasarana jalan poros desa di
pulau itu. Dengan adanya jalan itu,
diharapkan akan semakin memudahkan
akses masyarakat dan selanjutnya dapat
meningkatkan ekonomi di pulau itu.
Arkan menceritakan bahwa pada saat
membangun jalan poros di pulau itu, ada
JELAJAH
Pulau Karimata
Volume 38 • KIPRAH54
Jalan poros yang dibangun oleh Dinas PU Cipta Karya Kalbar . (Foto: Arkan)
55KIPRAH • Volume 38
60 kubik batu yang digunakan.
Pembangunan jalan dilakukan dengan
melibatkan masyarakat setempat. Selain
agar nantinya mereka mengerti cara
membangun jalan, juga menumbuhkan
rasa memiliki untuk memelihara jalan
tersebut. Saat membangun jalan poros
itu, masyarakat di Karimata mengangkut
dan memilah bebatuan yang digunakan
untuk membangun jalan tersebut. Jenis
jalan yang dibangun adalah rabat beton
dengan perbandingan adukan 1:3:5 dan
tidak memakai tulangan. Ketika jalan
poros selesai dibangun, Arkan meng-
gambarkan begitu suka citanya masya-
rakat menyambutnya. Kini sudah banyak
dari mereka yang memiliki kendaraan
roda dua sebagai sarana transportasi di
pulau itu.
Selain jalan, Dinas PU Kalbar juga mem-
bangun prasarana air minum bronkap-
tering, yakni bangunan penangkap air dari
mata air. Sumber air diambil dari air terjun
di pulau itu. Prasarana air minum itu
sangat penting, mengingat jumlah pen-
duduk Karimata kini semakin berkem-
bang. Pulau Karimata berpenduduk hampir
2000 KK yang tersebar di 3 (tiga) desa,
yakni Padang, Dusun Besar, dan Petok.
Potensi alam laut nan indah itu dan
kekayaan alam Pulau Karimata jika ke
depan ingin dikembangkan sebagai
kawasan wisata, maka masih banyak hal
JELAJAH
yang harus dilakukan. Sebelum ber-
kembang menjadi kawasan wisata, maka
prasarana dan sarana dalam pulau itu
sendiri perlu dibenahi untuk mening-
katkan perekonomian masyarakat.
Masyarakat Pulau Karimata yang sebagian
besar adalah nelayan sangat mendamba-
kan adanya listrik yang selalu mengalir
terus-menerus selama 24 jam. Selain itu,
warga Pulau Karimata yang menggan-
tungkan hidupnya dari hasil laut nelayan
berharap pemerintah menyediakan
pabrik es untuk menyimpan ikan se-
hingga ikan dapat diolah lebih lanjut.
Selama ini, karena tidak ada pabrik es,
maka nelayan tidak dapat menangkap ikan
dalam skala besar karena ikan harus
langsung dijual. Tempat penampungan
ikan sebagai wadah hasil tangkapan
mereka, juga sangat diharapkan warga.
Termasuk di dalamnya dermaga dengan
fasilitasnya. Program yang ada untuk
Pulau Karimata ini perlu didukung oleh
pemerintah untuk membuka keter-
isoliran dan memajukan masyarakat di
pulau-pulau kecil. Kiranya alasan dana
yang terbatas mestinya tidak jadi peng-
halang apabila kita memang ingin me-
majukan pulau-pulau itu, sebelum pihak
55KIPRAH • Volume 38
Peta Kepulauan Karimata Kab. Kayong Utara
Salah satu dermaga kampung nelayan di Pulau Karimata. (Foto: Arkan)
Peta lokasi P. Karimata. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH56
Preservasi dan Pembangunan Jalan
Infrastruktur jalan dan jembatan yang kurang memadai tetap menjadi fokus perhatian BalaiPelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar dengan prioritas utama preservasi dan pembangunan
jalan dan jembatan. Wilayah kerjanya meliputi Lintas Barat, Lintas Tengah, Lintas Timur, dan LintasPenghubung, dengan total panjang jalan nasional 7,1 km yang mencakup 6 daerah provinsi (Sulsel,
Sulbar, Sultra, Sulteng, Gorontalo, dan Sulut).
infrastruktur, khususnya jalan dan
jembatan. Padahal, apabila digarap
dengan baik, hasilnya cukup berperan
dalam perolehan devisa yang memberi
kontribusi besar terhadap penerimaan
negara. Selain itu, hasil eksplorasi dan
pemanfaatan potensi sumber daya alam
yang melimpah tersebut juga belum
banyak pengaruhnya terhadap pe-
ningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat. Lagi-lagi penyebabnya adalah
kondisi prasarana dan sarana infrastruktur
dasar, utamanya pelayanan jalan dan
jembatan, yang serba minim itulah
Sulawesi sesungguhnya punya
potensi sumber daya alam dan
hasil tambang luar biasa berupa
bijih nikel, emas, cokelat, kopra, karet, dan
kelapa sawit. Sayangnya, semua sumber
daya tersebut belum digarap secara
maksimal karena keterbatasan prasarana
Fokus Utama Sulawesi
Jalan Lintas Barat SulawesiPanjang : 2.107 kmRencana 2010 : Rp943,98 Miliar
Jalan Lintas Tengah SulawesiPanjang : 2.346 kmRencana 2010 : Rp495,03 Miliar
Jalan Lintas Timur SulawesiPanjang : 1.498 kmRencana 2009 : Rp228,93Miliar
Gorontalo
Palu
Mamuju
Makassar
Kendari
LAPORAN KHUSUS
Peta Trans Sulawesi. (Foto: Wy)
57KIPRAH • Volume 38
makanya kemajuan ekonomi masyarakat
Sulawesi kurang berkembang, bahkan
tertinggal dari daerah lain. “Padahal,
kelengkapan prasarana infrastruktur
menjadi salah satu prasyarat bagi inves-
tor untuk berinvestasi,” tegas Nurdin
Samaila, Kepala Balai Besar Pelaksanaan
Jalan Nasional (BBPJN) VI Makassar
kepada KIPRAH di kantornya awal Juni
lalu.
Nurdin memberikan contoh kondisi jalan
Trans Sulawesi yang secara umum masih
substandar, hanya sebatas kelas III B
dengan lebar 4,5 m dan batas tonase
kendaraan 8 ton dengan toleransi sekitar
10 persen. Padahal, jumlah dan volume
kendaraan yang lewat semakin ber-
tambah dengan muatan berlebih. Kondisi
tersebut mengakibatkan jalan menjadi
cepat rusak. “Dampak kerusakan jalan
sangat mengganggu distribusi barang,
orang, dan jasa yang berimbas pada
terpuruknya ekonomi masyarakat,” ujar
Nurdin.
Menurut pengamatan KIPRAH, belum
selesainya proyek pembangunan Trans
Sulawesi yang telah dikerjakan sejak
tahun 2008 itu umumnya terkendala
masalah pembebasan lahan yang belum
juga tuntas. Sebagai contoh, pembetonan
pada jalan poros Makassar-Maros-
Pangkep-Barru-Parepare sepanjang 120
km masih banyak yang terputus di
beberapa titik karena terkendala banyak-
nya lahan yang belum dibebaskan. Pihak
pemprov dan pemkab dalam waktu
singkat akan merumuskan solusi sebagai
pemecahan masalah yang terjadi, se-
bagaimana yang dijanjikan Sjahrul Yasin
Limpo, Gubernur Sulsel, pada suatu
kesempatan.
Faktor kecelakaan dan rusaknya jalan di
jalur lintas Barat Sulawesi selain di-
tengarai akibat ketidakdisiplinan para
pengguna jalan, juga disebabkan oleh
faktor alam, seperti banjir, longsor, dan
abrasi pantai. Umumnya banjir terjadi
karena fungsi drainase tak berjalan
maksimal ataupun adanya kendala mem-
buang air ke sungai terdekat. Peristiwa
seperti itu sering terjadi di sejumlah ruas
jalan nasional di Sulawesi, baik di Lintas
Barat, Tengah, maupun Timur, termasuk
Lintas Penghubung antarwilayah provinsi,
kabupaten, dan kota.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan
lemahnya daya dukung jalan adalah akibat
kelebihan beban lalu lintas dan ter-
batasnya kapasitas jalan sehingga menye-
babkan jalan lebih cepat rusak dari umur
rencana. Selain itu, tingginya traffic den-
sity (kepadatan lalu lintas) pada suatu
segmen jalan juga turut andil dalam
memperparah kerusakan jalan. Terus
terang Nurdin meng-
akui bahwa ribuan ki-
lometer panjang ja-
lan nasional di wila-
yahnya butuh peme-
liharaan berkala
dengan biaya tidak
kecil, tidak sekedar
pemeliharaan rutin
yang sifatnya tambal
sulam yang selama ini
dilakukan. Akan te-
tapi, di sisi lain ia pun
menyadari bahwa
keterbatasan dana
yang dianggarkan,
baik dalam APBN,
APBD, maupun sum-
ber dana lain tidak
pernah mencukupi standar kebutuhan
minimal.
Prinsip pengembangan jaringan jalan di
Sulawesi saat ini sudah berkembang
seperti di Pulau Jawa dan Sumatera,
diantaranya dengan pembangunan jalan
lingkar, fly over, under pass, jalan arteri
primer, akses ke pelabuhan laut dan
bandara, serta jalan baru atau jalan tol.
Penegasan itu disampaikan Nur Zaitun,
Kasie Perencanaan Teknik BBPJN VI
Makassar. Ia mencontohkan pembangun-
an fly over Urip Sumohardjo yang me-
rupakan langkah awal pengembangan
jalan di Sulawesi. Begitu pula dengan
pembangunan jalan tol menuju Bandara
Sultan Hassanudin Makassar ataupun
rencana pembangunan jalan tol ruas
Bitung-Manado
Adapun kondisi jembatan di Sulawesi
secara keseluruhan masih relatif baik
untuk bisa dilewati,walaupun di beberapa
tempat masih terdapat jembatan semi
permanen yang perlu diduplikasi atau
direhabilitasi dan diganti dengan yang
baru. Ditinjau dari segi umur, sebagian
jembatan di sana sudah tua dan ke-
mampuan strukturnya kurang memadai.
Masih bisa didapati pula jembatan rangka
baja tipe CH (Callender Hamilton),
jembatan Bailey, maupun kayu yang
berfungsi baik. Terkait dengan pe-
manfaatan teknologi, Nurdin selalu
mendorong dilakukannya inovasi tekno-
logi disain, yang selain memperhatikanHasil peningkatan jalan nasional Lintas Timur Sulawesi telah
dimanfaatkan masyarakat. (Foto: Joe)
Nurdin Samaila, Kepala BalaiBesar Pelaksanaan Jalan Nasional
(BBPJN) VI Makassar. (Foto: Joe)
LAPORANKHUSUS
Volume 38 • KIPRAH58
kekuatan struktur, juga keindahan.
Program Kegiatan
Terkait pengembangan jalan di Sulawesi,
langkah pertama yang dilakukan oleh
pemerintah daerah adalah meng-
utamakan penanganan preservasi untuk
mempertahankan kinerja jalan dan
kondisi jalan yang ada agar tetap
berfungsi. Kedua, melakukan pem-
bangunan jalan melalui peningkatan,
pelebaran, perkuatan struktur dan
pembangunan jalan baru dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan peningkatan
kapasitas yang diakibatkan perkem-
bangan lalu lintas, perkembangan
wilayah, dan menambah tingkat pela-
yanan aksesibilitas jaringan jalan.
Nurdin tetap bertekad untuk dapat
mendekatkan pelayanan publik ke
masyarakat, khususnya dalam penyediaan
infrastruktur jalan dan jembatan, antara
lain dengan meningkatkan kapasitas dan
struktur jalan dengan pelebaran dari rata-
rata 4,5 m menjadi 6 m. “Setidaknya dari
segi fungsinya, pada tahun 2014 seluruh
Lintas Barat Sulawesi, yaitu mulai dari
Makassar hingga Manado, sepanjang
2.000 km dalam kondisi mantap mulus
beraspal,” tuturnya meyakinkan. Tahun
ini saja hampir 50 persen telah selesai
dikerjakan sehingga masyarakat sudah
bisa merasakan jalan yang sudah mulus
dan beraspal lebar. Seperti halnya ruas
Mamuju-Palu yang sebelumnya harus
ditempuh selama 12 jam, kini perjalanan
dengan mobil hanya butuh waktu 6–7 jam.
Jalan poros ini sebelumnya dikenal
sebagai jalur maut karena seringnya
banjir dan longsor serta tidak aman.
Demikian pula dengan jalan poros empat
lajur Makassar-Parepare memiliki nilai
strategis karena tingkat kepadatan lalu
lintasnya sangat tinggi dan menjadi jalur
perlintasan kendaraan dari arah wilayah
utara Sulsel ke Makassar dan/atau
sebaliknya. Pihak Balai berketetapan
meningkatkan ruas ini menjadi dua jalur
empat lajur dengan pembetonan selebar
14 m, belum termasuk bahu dan median
jalan yang masing-masing selebar 1,5 m.
“Ruas ini nantinya akan menjadi jalan
empat lajur terpanjang di luar Pulau
Jawa,” tegas Nurdin. Diakuinya bahwa
untuk mewujudkan tekad tersebut
bukanlah perkara gampang. Banyak
kendala yang harus dihadapi, terutama
masalah pembebasan lahan.
Di samping terbatasnya dana, peralatan,
SDM, dan kelembagaan juga masih perlu
ditingkatkan. Sementara itu, peningkatan
kualitas struktur dan kapasitas jalan di
tingkat pelaksana perlu dilakukan sesuai
dengan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) yang menitikberatkan pada
Lubang
jalan berdiameter
antara 50 cm dan 100
cm dengan kedalaman
hingga 30 cm
Jalanan tidak dilengkapi lampu
hingga menambah tingkat kerawanan
celaka di malam hari.
Sepanjang Jalan Raya Lintas Timur Sulawesi ,hanya
Kendari - Kolaka dan Poso - Palu yang mantap, selebihnya masih
memerlukan perbaikan rutin/berkala bahkan rekonstruksi.
Sebagian besar 30% kondisinya mantap, sisanya rusak berat,
sedang,dan ringan, bahkan sebagian berupa jalan kerikil dan tanah.
Sumber : Himpunan Pengembanagn Jalan Indonesia (HPJI)/Tim Kiprah
Panjang Jalan 1.498 kmKondisi baik 30% (449.4 km)Faktor penyebab kerusakan - Kelebihan beban (rata-rata kemampuan beban jalan adalah 10 ton, tetapi sehari-hari beban yang ada bisa mencapai 18-20 ton) sebesar 90%. - Faktor lain (longsor, banjir, pekerja- an yang tidak sempurna) sebesar 10%.Tindakan pemerintah berupapreservasi (perbaikan) danpembangunan jalan danjembatan.
LAPORAN KHUSUS
59KIPRAH • Volume 38
penanganan kerusakan sejak dini, selain
membatasi beban muatan kendaraan
sesuai daya dukung jalan. Upaya lain yang
dilakukan adalah meningkatkan ke-
mampuan SDM pengujian mutu dan
pengawas lapangan serta meningkatkan
tertib administrasi. Di pihak lain, ke-
mampuan teknis para kontraktor dan
konsultan juga perlu ditingkatkan melalui
akreditasi dan sertifikasi keahlian.
Untuk program kegiatan tahun 2010,
BBPJN VI Makassar mendapat kucuran
dana APBN sebesar Rp 1,9 trilliun, di-
samping bantuan dana pinjaman EINRIP
(Eastern Indonesia National Road Improve-
ment Project) dari Australia, ADB, dan
bantuan luar negeri lainnya. Agenda
utamanya adalah meneruskan beberapa
program dan kegiatan dari periode
sebelumnya yang masih belum selesai.
Program EINRIP yang dikerjakan saat ini
adalah peningkatan jalan dan jembatan
Tinangea-Kasaipute di Provinsi Sultra
sepanjang 33,77 km, tepatnya km 118,85
sampai ke km 152,62 melewati Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai (RAW)
sehingga menyulitkan perolehan bahan
galian batu. Pada ruas ini ada 21 jembatan
yang ditingkatkan kapasitasnya dengan
konstruksi box culvert dan 5 buah
jembatan yang perlu direhabilitasi. Nilai
kontraknya mencapai Rp115,73 miliar.
Bersamaan dengan itu, dikerjakan pula
ruas jalan Bambae-Simpang Kasipute
sepanjang 23,93 km dengan dana EINRIP
sebesar Rp96,60 miliar. Sementara itu,
program EINRIP di Sulsel menangani
peningkatan jalan sepanjang 26,88 km,
yaitu antara Bantaeng-Bulukumba,
berikut 5 buah jembatan baru dengan to-
tal bentang 89 m dan rehabilitasi dua
buah jembatan lama. Nilai paketnya
mencapai Rp124,60 miliar.
Program EINRIP masih menangani
sejumlah paket peningkatan jalan dan
jembatan di Pulau Sulawesi, yakni ruas
Sengkang-Impaimpa sepanjang 24,18 km
dengan meningkatkan struktur dan
kapasitas jalan melalui pelebran dari 4,5
m menjadi 6 m, berikut 6 buah bangunan
jembatan dengan panjang total 211 m.
Total nilai kontraknya mencapai Rp100,65
miliar. Paket lainnya adalah peningkatan
jalan dan jembatan di koridor Molibagu-
Taludaa di Provinsi Sulut yang mencakup
pengadaan material 5 buah jembatan
rangka baja dengan total panjang 480 m
dan peningkatan jalan sepanjang 2 km
dengan alokasi dana sebesar Rp42,66
milyar. Di wilayah ini sering terjadi banjir
dan tanah longsor yang menyebabkan
kerusakan infrastruktur jalan dan
jembatan.
Ada pun 4 paket pekerjaan yang masih
dalam persiapan tender di wilayah BBPJN
VI, masing-masing adalah ruas Lakuan-
Buol di Sulteng sepanjang 16,24 km
dengan 2 buah jembatan. Adapun untuk
pembangunan ruas jalan Jeneponto-
Banteang (25,83 km), ruas Ende-Aegela
(15,60 km) dan ruas Bulukumba-Tundong
(65,24 km), ketiganya di Provinsi Sulsel,
merupakan pekerjaan lanjutan. Selain
itu, masih banyak jalan dan jembatan lain
yang dibangun melalui dana APBN murni
yang letaknya tersebar.
Menurut Nurdin, pengelolaan infra-
struktur jalan sangat multidimensi dan
banyak melibatkan stakeholder di bidang
lain, seperti tata ruang, manajemen
transportasi, dinas-dinas terkait, pe-
merintah daerah, maupun masyarakat,
bahkan diperlukan juga rujukan antar-
kementerian. Banyak hal yang harus
menjadi urusan bersama dalam menjaga
komitmen, misalnya berkaitan dengan
dengan regulasi bobot maksimal ken-
daraan. Pihak-pihak terkait mestinya
menyiapkan berbagai regulasi dan lang-
kah nyata agar usia jalan dan jembatan
sesuai dengan berat muatan yang di-
anjurkan. Begitu juga ketika peningkatan
struktur dan kapasitas jalan dilakukan,
tetapi tidak disertai dengan komitmen
para pengguna jalan dalam mematuhi
perundang-undangan. Hal ini juga akan
mengulang pengalaman buruk selama
bertahun-tahun, yakni jalan sering di-
bangun atau diperbaiki tetapi juga sering
rusak. Diharapkan dengan penanganan
yang menyeluruh dan komprehensif
dapat disediakan infrastruktur jalan dan
jembatan yang handal, bermanfaat, dan
berkelanjutan. (Joe)
LAPORANKHUSUS
Peningkatan struktur dan kapasitas infrastruktur jalan di Sulawesi. (Foto: Joe)
Volume 38 • KIPRAH60
Sebulan lalu (Juni) selama satu
pekan KIPRAH melakukan
perjalanan ke wilayah Sulawesi
bagian timur. Kami menyusuri jalan lintas
timur mulai dari Makassar-Sinjai-Bajoe-
Kolaka-Kasipute-Kendari-Buton-Bungku-
Beteleme-Poso-Parigi hingga ke kota
Palu, ibu kota Sulteng. Menurut peng-
amatan KIPRAH, tidak seperti di Lintas
Barat, hampir 30 persen jalan nasional di
Penghasil Aspal,
Siapa yang tidak kenal Buton? Sebagai pulau penghasil aspal, tidak serta merta membuat daerah ini memilikijalan yang mulus. Bahkan sebaliknya, meski aspal identik dengan jalan yang mulus, namun tidak demikian
kondisi jalan di daerah-daerah di Sulawesi, terutama di Buton. Tidak sulit bagi warga untuk menemukan jalanrusak karena memang hampir seluruh bagian aspal jalan nasional selebar 4,5 meter itu sudah terkelupas dan
terlihat lapisan tanah di bawahnya.
Tetapi Miskin Jalan Beraspal
Lintas Timur Sulawesi kondisinya mantap,
70 persen sisanya rusak ringan, rusak
berat, bahkan sulit dilewati di kala musim
hujan karena masih berupa jalan ma-
kadam (pengerasan jalan dengan cara
memberi dua macam lapisan batu-batuan,
kasar dan halus, pada lapisan dasar batu
sungai), kerikil, dan sebagian tanah.
Kerusakan terparah justru terjadi di
Buton yang merupakan daerah utama
penghasil aspal, yaitu antara Kota Bau-
Bau dan Buton, tepatnya di Kelurahan
Gonda Baru, Kecamatan Sorawolio.
Demikian pula ruas jalan nasional yang
menghubungkan Kota Kolaka dengan
batas Sulsel; ataupun Kolaka dengan
Kendari (ibu kota Sultra) lewat jalan poros
selatan Kasipute, dan Kendari batas
Sulteng. Kami menyaksikan banyak badan
Arus lalu lintas barang dan jasa menjadi terganggu akibat buruknya jalan. (Foto: Joe)
LAPORAN KHUSUS
61KIPRAH • Volume 38
jalan yang hancur membentuk lubang-
lubang cukup besar sedalam lebih dari 10
sentimeter.
Pada musim hujan, lubang-lubang itu
menyerupai kolam berair keruh, sehingga
pengendara harus ekstra hati-hati dan
mengurangi laju kecepatannya hingga 20
km per jam. Sebagai contoh, jarak Pasar-
wajo, ibu kota Kabupaten Buton, dengan
Kota Bau-Bau sepanjang 48 km yang
semula dalam kondisi baik sehingga dulu
dapat ditempuh selama satu jam, namun
kini harus ditempuh selama dua jam.
Pelabuhan Bau-Bau merupakan andalan
Sultra. Kapal-kapal yang bersandar di
pelabuhan ini merupakan kapal nasional,
kapal rakyat, kapal perintis, hingga kapal-
kapal pelayaran luar negeri. Bau-Bau, yang
sejak abad ke-16 berfungsi sebagai kota
pelabuhan bagi Kasultanan Buton, di-
resmikan sebagai kota otonom pada
Oktober 2001. Kota berpenduduk 150.000
jiwa tersebut kini mulai menata diri.
Data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota
Bau-Bau menunjukkan bahwa panjang
jalan nasional di wilayah Kota Bau-Bau
pada tahun 2009 adalah 62,076 km. Jalan
sepanjang 8,04 km diantaranya dalam
keadaan rusak berat. Tidak banyak terjadi
perubahan karena jalan nasional yang
rusak berat pada tahun 2008 tercatat
sepanjang 8,35 km.
Warga sekitar jalan itu tentu sangat
kecewa karena jalan tak kunjung
diperbaiki. Beragam kecelakaan terjadi di
sepanjang jalan rusak itu, terutama
dialami oleh pengendara sepeda motor.
Banyak pula mobil yang mogok karena
sumbu dan per roda patah. Akibatnya,
aktivitas perekonomian warga tersendat.
Sebagaimana yang diungkapkan Facrul
(34), sopir angkot jurusan Bau-Bau-
Pasarwajo yang harus mengeluarkan
biaya tambahan sekitar Rp500.000,- per
bulan untuk perawatan angkotnya.
Rasa kecewa itupun diekspresikan warga
dengan menanam sejumlah pohon
pisang dan nanas di badan jalan. Bukan
hendak mengganggu pengguna jalan lain,
tetapi tindakan ini merupakan simbol
protes warga atas buruknya pelayanan
pemerintah. Apapun statusnya, warga
hanya menginginkan jalan tersebut
segera diperbaiki. “Kami disuruh bayar
pajak tepat waktu, tapi kapan pemerintah
bisa membangun tepat waktu?” tuntut
Facrul.
Menurut Nasrun Nasiot, Kepala Satker
Preservasi Jalan dan Jembatan Provinsi
Sultra, ada tujuh tambang aspal di Buton,
yaitu Kabungka, Winto, Winil, Siantopina,
Ulale, Ereke, dan Lawele. Total deposit
aspalnya mencapai 660 juta ton, ter-
simpan di areal 70.000 hektar. Dengan
jumlah itu diperhitungkan bisa diproduksi
2 juta ton per tahun, namun produksi per
tahunnya masih terbatas hanya 200.000
ton dengan kualitas terbatas karena
teknologi pengolahannya masih tradi-
sional.
Produk akhirnya adalah aspal padat yang
masih kasar. Jenis ini bermutu rendah
karena jalan yang dihasilkan dari campur-
an aspal ini cepat rusak alias tidak tahan
lama karena daya rekatnya kurang, baik
untuk aspal curah maupun aspal butir
yang memerlukan pengolahan khusus.
Meski pemerintah berupaya meng-
galakkan pemakaian asbuton, tetapi
konsumen kurang berminat. Selain
masalah teknologi, modal dan pengadaan
juga menjadi kendala. Pasokannya sering
terlambat, sementara investor yang
diharapkan terjun ke industri ini juga
belum maksimal memainkan perannya.
Adapun perusahaan pemegang hak
eksplorasi dan pengolahan hingga saat ini
adalah PT Sarana Karya yang merupakan
Badan Usaha Milik Negara.
Sebagian besar usia jalan nasional di Bau-
Bau khususnya dan Sultra umumnya telah
lebih dari 10 tahun dan hingga kini belum
tersentuh penanganan berkala. Nasrun
berharap dana pemeliharaan dapat
ditambah, sehingga jalan yang rusak
cepat dapat ditangani secara berkala,
bukan hanya penanganan rutin yang
sifatnya tambal sulam semata. (Joe)
Hampir seluruh bagian aspal jalan nasional selebar 4,5 meter itu sudah terkelupas dan terlihatlapisan tanah dibawahnya. (Foto: Joe)
LAPORANKHUSUS
Volume 38 • KIPRAH62
Di sepanjang jalan raya Lintas Timur
Sulawesi mungkin hanya jalan di
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sul-
tra) dan Sulawesi Tengah (Sulteng)
bagian timur yang sangat rusak serta
sedikit kerusakan di jalan ruas Kolaka-
Kendari (ibukota Sultra) dan Poso batas
Palu (ibu kota Sulteng). Jalan dari Kolaka
ke Lasusua misalnya, jaraknya memang
cukup jauh, sekitar 150 km. Meskipun
Jalan Lintas Timur Sulawesi
Kondisi jalan raya Pantura di Pulau Jawa yang rusak di beberapa bagian tidak jarang menjadi berita besar diberbagai media. Akan tetapi, kondisi jalan yang buruk di jalur itu masih jauh lebih baik apabila dibandingkan
dengan kondisi jalan yang memprihatinkan di Trans Sulawesi pada umumnya, terlebih di ruas Lintas TimurSulawesi.
begitu, suatu perjalanan akan terasa
nyaman dan menyenangkan apabila
kondisi jalan yang dilalui cukup baik.
Apalagi ditambah dengan pemandangan
alam yang indah di perjalanan. Namun
kenyataannya, jarak sejauh itu kini harus
ditempuh selama 4 jam melalui jalan yang
rusak, berkelok-kelok dan sempit, dengan
kondisi aspal tidak mulus. Jika pun jalan
sudah beraspal, di beberapa bagian jalan
tersebut terdapat lubang-lubang selebar
20-50 cm dengan kedalaman 5-10 cm.
Perjalanan pun menjadi terasa me-
lelahkan.
Dari Kolaka memasuki wilayah Kabupaten
Lasusua, ibukota Kolaka Utara, Provinsi
Sultra, transportasinya sangat sulit.
Lubang-lubang menganga di tengah jalan
seakan menjadi jebakan maut. “Daerah
Memprihatinkan
Ruas jalan Raya Nasional Bungku - Bahodopi, Sulteng setelah ditingkatkan. (Foto: Joe)
LAPORAN KHUSUS
63KIPRAH • Volume 38
ini juga dikenal sebagai daerah rawan
bencana alam, khususnya banjir dan
longsor. Padahal, jalur Kolaka-Lasusua
merupakan jalur Trans Sulawesi atau
Lintas T imur Sulawesi yang meng-
hubungkan dua provinsi, yakni Sulsel dan
Sultra,” ujar Amral, Kepala PPK (Pejabat
Pembuat Komitmen) Ruas Kolaka Utara,
kepada KIPRAH. Wilayah ini juga kaya
akan sumber daya alam berupa kakao,
kelapa dan cengkeh, serta ikan yang
dipasarkan melalui pelabuhan Lasusua.
Pelabuhan ini sekaligus menjadi peng-
hubung antara Kolaka Utara dengan Siwa,
Kabupaten Wajo di Provinsi Sulsel. Jika
saja kondisi jalan nasional ini bisa di-
perbaiki dan akses jalan menuju pela-
buhan bisa ditingkatkan, maka daerah ini
akan semakin berkembang maju sekaligus
dapat menjawab masalah keterisolasian
wilayah yang sampai saat ini masih
dirasakan.
Ketidak nyamanan juga dirasakan KIPRAH
ketika memasuki ruas selatan antara
Kolaka menuju Kendari lewat Simpang
Kasipute dimana hampir seluruh badan
jalan tidak beraspal. Tak jarang terlihat
aspal yang mengelupas dipenuhi batu-
batu sebesar bola tenis. Jarak sekitar 400
km harus ditempuh selama satu hari
penuh!
Sejak dari Pomalaa-Boepinang-Bambae-
Simpang Kasipute hingga Tinanggea, ibu
kota Kabupaten Tinanggea Selatan, kami
menempuh jalan negara yang ber-
gelombang penuh lubang menganga dan
kubangan lumpur dengan diameter 50 –
100 cm berkedalaman lebih dari 30 cm.
Akibatnya, kendaraan tidak bisa dipacu
penuh, hanya dengan kecepatan 20
hingga 30 km/jam. Pada saat musim hujan,
jalan ini kian sulit dilalui dan banyak
kendaraan terjebak kemacetan.
Bantuan EINRIP
Untuk mendekatkan pelayanan prasarana
jalan dengan masyarakat, saat ini pihak
balai sedang menangani peningkatan
jalan dan jembatan di wilayah Tinanggea
Selatan ke arah Simpang Kasipute hingga
batas Bambae. Menurut Kepala Satker
Pembangunan Jalan Nasional Provinsi
Sultra, Syaiful Rizal, pekerjaannya terbagi
dalam 2 paket, yakni paket jalur Tinang-
gea-Simpang Kasipute dan jalur Simpang
Kasipute-Bambae.
Konstruksi ruas jalan Tinaggea-Simpang
Kasipute sepanjang 33,77 km dikerjakan
sejak setahun lalu, namun kemajuannya
tergolong lambat karena terkendala
penyediaan bahan material batu. Proyek
ini mendapat bantuan EINRIP dari Aus-
tralia sebesar Rp115,73 miliar untuk
peningkatan jalan dan 21 jembatan
bentang pendek dengan konstruksi box
culvert serta 5 buah jembatan existing
dengan rehabilitasi.
Hampir sebagian besar jalan ini melewati
kawasan Taman Nasional Rawa Aopa
Batumohai (RAW). Karena wilayah di
sepanjang 20 km tidak boleh diganggu,
maka material batunya terpaksa harus
didatangkan dari luar daerah. Syaiful juga
mengatakan bahwa untuk melakukan hal
tersebut pun perlu rujukan dan izin
antarkementerian, khususnya Kemen-
terian Kehutanan, apabila SNVT (Satuan
Kerja Non Vertikal Tertentu) mau mem-
bangun atau meningkatkan struktur dan
kapasitas jaringan jalan yang ada. Bantuan
Gubernur Sultra juga sangat diharapkan
untuk memperlancar pekerjaan proyek.
Paket kedua adalah Bambae-Simpang
Kasipute sepanjang 23,93 km, dengan to-
tal dana sebesar Rp95,60 miliar. Kedua
paket bantuan EINRIP tersebut di-
harapkan dapat dirampungkan akhir
tahun 201l. Syaiful berharap selesainya
proyek ini tentu akan memperlancar
hubungan transportasi darat antara
Bambae-Simpang Kasipute-Tinanggea-
Kendari, yang selama ini terhambat akibat
banyaknya jalan yang rusak.
“Setidaknya dapat memfungsikan jalan
nasional serta menghilangkan segmen
yang rusak berat sehingga bisa menjadi
urat nadi perekonomian dan mendorong
pengembangan wilayah Sultra bagian
selatan,” ujar Syaiful.
Kendari - Batas Sulteng
Kondisi yang hampir sama juga ditemui
KIPRAH pada saat melewati ruas jalan
Kondisi jalan Kendari batas Sulteng 30 persen beraspal, sisanya jalan kerikil dan tanah yangsulit dilalui pada saat musim hujan. (Foto: Joe)
LAPORANKHUSUS
Volume 38 • KIPRAH64
nasional antara Kendari hingga batas
Sulteng. Dalam pantauan KIPRAH (11/6),
untuk ruas ini, kerusakan jalan mulai
terlihat saat keluar Kota Asera, ibu kota
Kabupaten Tinanggea Utara menuju
Landawe hingga batas Sulteng. Men-
jelang masuk ke daerah perbatasan,
kerusakan jalan makin parah karena
kondisi jalannya masih berupa kerikil dan
tanah serta licin tatkala disiram hujan.
Lubang-lubang besar makin sering di-
jumpai. Pengendara mobil harus meliuk
ke kanan dan ke kiri untuk menghindari
lubang. Lintasan ini lebih dikenal dengan
sebutan “jalur maut” karena seringnya
terjadi kecelakaan. Banyak kendaraan
terjebak kemacetan akibat buruknya
jalan, terlebih jika musim hujan hanya
kendaraan dobel gardan yang bisa lewat.
Padahal lintasan yang menghubungkan
Kabupaten Morowali dan Kendari ini
mulai ramai dilalui kendaraan bus dan
angkutan umum.
Seperti yang dialami Sofyan (35), kendara-
an truk yang dikemudikannya terbalik
akibat terperosok ke dalam kubangan di
tengah jalan. Ratusan bal karung barang
sembako seberat 2 ton yang dibawanya
dari Kendari berserakan di jalan raya itu.
Untung saja nyawa Sofyan tidak melayang.
Truk Fuso itu terbalik di tikungan tajam
pada pukul 02.00 WITA dini hari, sehingga
tak ada seorang pun yang menolong.
Apalagi pada malam hari karena jalan itu
tak dilengkapi dengan lampu penerang.
Kendati masih banyak jalan yang rusak,
daerah ini kian berkembang karena
potensi sumber daya alamya cukup besar.
Selain hasil tambang nikel, perikanan,
kopra, cengkeh dan coklat, perkebunan
kelapa sawit pun kini mulai dibuka,
namun sayang prasarana jalannya masih
kurang mendukung. Sementara bila
menggunakan transpotasi laut sering
terkendala cuaca, sehingga waktu tem-
puhnya tak pasti, meski fasilitas sarana
pelabuhan di Laweroro kini mulai di-
bangun. Terbatasnya infrastruktur dasar
seperti pelayanan listrik, pendidikan, air
bersih, kesehatan dan komunikasi juga
masih menjadi persoalan. Demikian pula
antara batas Sultra-Buleleng-Bahodopi-
Bungku ibu kota Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulteng. Kondisi jalannya banyak
yang bopeng-bopeng, bahkan sebagian
masih berupa jalan kerikil dan tanah yang
sulit dilalui di kala musim hujan.
Berdasarkan pantauan KIPRAH di lokasi
ini, masih banyak didapati kondisi jalan
yang menanjak cukup terjal, tikungan
tajam, dan lebar jalan yang kurang
memadai, serta kiri-kanan tebing/jurang
yang memiliki andil besar atas terjadinya
kemacetan dan kecelakaan. Kondisi
tersebut diperparah lagi dengan sering
terjadinya bencana alam, seperti banjir,
tanah longsor dan abrasi pantai. Tebing
jalan yang longsor, disamping menutupi
badan jalan, acap kali juga merusak
strukturnya. Akibatnya, lalu lintas ken-
daraan menjadi macet dan harus antri
berjam-jam lamanya menunggu mobilitas
alat berat dan dilakukan pembersihan.
Perhitungan waktu untuk melintas men-
jadi sangat penting karena sarana hu-
bungan komunikasi sangat terbatas
sementara di sana sering tidak ada sinyal.
Di tingkat pengguna jalan, masih banyak
dijumpai kendaraan yang melebihi batas
muatan, seperti mobil pengangkut kelapa
sawit dan kendaraan berat milik pe-
ngusaha nikel setempat yang membawa
material dan BBM dari Kolonedale
menuju pelabuhan Bahodopi sejauh 160
km. Kondisi seperti ini menurut pe-
ngawas lapangan, Somad (37), me-
nyebabkan ruas dan titik tertentu ter-
kadang butuh penanganan khusus karena
kondisi tanahnya bersifat spesifik, seperti
tanah ekspansif, lapisan tanah mudah
bergerak, atau melewati tanah genangan
yang rawan longsor, dan lain sebagainya.
Padahal menurut Sompi, Kasatker Preser-
vasi Jalan Nasional Provinsi Sulteng,
kelebihan beban muatan sampai 2 kali
lipat dapat mengakibatkan kerusakan
jalan 16 kali lipat. Artinya, kapasitas
pelayanan jalan dalam kurun waktu
tertentu akan sangat cepat memerlukan
perbaikan. Sementara itu, untuk mem-
perbaiki jalan di lokasi-lokasi tersebut juga
tidaklah mudah dan murah. “Apalagi
dengan keterbatasan dana,” tegas Sompi.
Prasarana jalan di Kota Bungku sebagai
ibu kota Kabupten Morowali (hasil
pemekaran dari Kabupaten Poso) juga
banyak yang buruk, masih ditambah
dengan minimnya daya listrik dan sarana
komunikasi. Kapasitas listrik sangat
terbatas, hanya mampu berfungsi selama
12 jam–saat magrib hingga matahari
Jembatan konstruksi baja masih fungsional menghubungkan Kendari - Bungku, Sultra. (Foto: Joe)
LAPORAN KHUSUS
65KIPRAH • Volume 38
terbit. Hingga muncul kelakar masyarakat
tentang pelayanan listrik yang kurang
memadai bahwa kalau (jadwal) listrik di
sana bagaikan minum obat resep doker,
sehari nyala, tiga hari padam. Sementara
itu, kebutuhan listrik untuk siang hari di
perkantoran disuplai dari mesin genera-
tor disel milik sendiri.
Permukaan kerikil hampir mendominasi
seluruh jalan nasional Bungku-Poso
sepanjang 220 km. Ruas Bungku-
Beteleme misalnya, dari 120 km panjang
jalan yang ada, 50 persen diantaranya
dalam kondisi sedang, sisanya rusak
ringan dan berat. Demikian pula dengan
ruas jalan Beteleme hingga Tentena
Danau Poso yang memerlukan waktu
tempuh hingga 6 jam perjalanan.
Faktor lain yang menyebabkan jalan cepat
rusak adalah kondisi topografi daerah
pegunungan serta perbukitan berbatu,
terutama di wilayah jazirah Sulawesi, yang
sangat rawan terhadap bencana longsor
sehingga diperlukan penataan geometrik
jalan, selain perlu pula peningkatan
profesionalisme penyedia jasa konstruksi
dan konsultan. Meskipun begitu, ia juga
mengakui bahwa untuk mewujudkan
sasaran dan tujuan yang hendak dicapai
pihaknya terkendala dengan terbatasnya
alokasi dana yang tidak sebanding dengan
panjang jalan yang harus ditangani.
Penanganan
Sompi mengatakan bahwa pada umum-
nya ruas jalan yang ia tangani umurnya
sudah cukup tua sebab dibangun sejak 10
tahun silam sehingga perlu pemeliharaan
berkala, bukan penanganan rutin yang
sifatnya tambal sulam. Bahkan, di be-
berapa ruas menurutnya perlu dilakukan
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pihak balai Sulteng tahun ini menangani
peningkatan struktur dan kapasitas jalan
ruas Bungku-Beteleme sepanjang 30 km,
termasuk penggantian sejumlah jem-
batan. Pihak Dinas PU Bina Marga Ka-
bupaten juga mengerjakan jalan nasional
dari pusat kota menuju batas kota
sepanjang 9 km melalui dana stimulus. Hal
ini diungkapkan oleh Kepala Dinas PU
Kabupaten Morowali, Nyoman, kepada
KIPRAH. “Parahnya perhubungan darat
membuat Pemkab Morowali lebih
banyak mengalokasikan dana belanja
pembangunan untuk sektor transportasi
dibandingkan dengan 20 sektor lainnya,”
ujarnya.
Idris, Kepala Satker Pembangunan Jalan
dan Jembatan Provinsi Sulteng, yang
diwawancarai KIPRAH di tempat berbeda
mengatakan bahwa sebetulnya sejak dua
tahun terakhir pihaknya telah melakukan
peningkatan jalan pada ruas Bungku-
Bahodopi menuju batas Sultera se-
panjang 60 km, terbagi dalam 2 paket
pekerjaan. Menurut laporan, dari ke-
seluruhan panjang jalan nasional tersebut
(130 km), 40 persen diantaranya efektif
dalam kondisi mantap, sisanya masih
dalam tahap penyelesaian, termasuk
penggantian 2 jembatan, masing-masing
Jembatan Lapeu Cs dan Jembatan Tabaa
Cs, berikut 5 buah box culvert.
“Untuk penyelesaian proyek ini, kami
harus berpacu dengan waktu, bekerja
Buruknya kondisi jalan di Sultra membuat tergulingnya exavator sehingga mengganggu aruslalu lintas perjalanan darat antara Kendari dan Batas Sulteng . (Foto: Joe)
siang-malam, menghadapi cuaca yang
kurang bersahabat karena curah hujannya
relatif tinggi,” ujar Budi Hari Jaya,
karyawan dari perusahaan kontraktor
yang mengerjakan proyek tersebut. Ia
harus mengupas, memotong, dan me-
nurunkan bukit berbatu hingga 85.000
meter kubik selama hampir 1,5 bulan.
Apabila di Bungku-Tentena sebagian besar
jalannya rusak, lain halnya dengan kondisi
jalan raya antara Poso-Palu (220 km) yang
umumnya sudah mantap sehingga ken-
daraan dapat dipacu dengan kecepatan
penuh rata-rata 70-80 km/jam.
Idris berpendapat sudah seharusnya
jalan Lintas Sulawesi di daerah Sultra
dan Sulteng direhabilitasi, jangan
sampai istilah “jika masuk Lintas Timur
Sulawesi tandanya jalan pasti rusak”
jadi melekat di benak masyarakat.
Meski jalan Lintas T imur Sulawesi
belum menjadi prioritas, seperti di
Lintas Barat, tetapi dengan dukungan
dana APBN, APBD, dan bantuan luar
negeri yang kian meningkat, BBPJN
VI Makassar berharap pelayanannya
akan semakin meningkat. (Joe)
LAPORANKHUSUS
Volume 38 • KIPRAH66
Wilayah di sebelah timur
Semarang yang meliputi
Demak hingga Juwana selama
ini menghadapi persoalan banjir dan
kekurangan air secara silih berganti se-
panjang waktu seiring masa musim
penghujan dan musim kemarau. Berbagai
upaya telah dilakukan, namun belum
membuahkan hasil selayak diharapkan.
Penyikapan Hidrologis dengan Pendekatan Ekohidrologis
Oleh:** Budi Priyanto dan S. Budhi Raharjo
Wacana ini bisa menjadi jurus jitu bagi kepentingan konservasi SDA dan pemaksimalan pemanfaatan airsekaligus mengatasi persoalan banjir kawasan Demak-Juwana.
Hal itu niscaya akibat hal mendasar terkait
dengan karakter pengaliran air pada
wilayah tersebut yang belum didekati
dengan tepat, guna menyikapi aspek
hidrologi yang bermasalah.
Selama ini tampaknya kita menyikapi
penanganan hidrologis kawasan Demak-
Juwana, baik dalam aspek konservasi dan
pendayagunaan maupun pengendalian
daya rusak air, dengan tidak cukup
memerhatikan sejarah budaya kawasan
setempat yang erat kaitannya dengan
riwayat pengaliran air permukaan dan
karena itu perlu diantisipasi guna kepen-
tingan yang lebih luas.
Suatu ketika terjadi peristiwa pelum-
Konservasi SDA dan Pengendalian BanjirKawasan Demak-Juwana
WACANA
Aktivitas warga di kala banjir melanda. (Foto: Dok.)
67KIPRAH • Volume 38
puran (sedimentasi) sangat dahsyat
antara Semarang-Rembang. Fakta di masa
lalu (yang relatif belum lama) bahwa
Demak adalah pelabuhan dan dataran
antara Demak hingga Juwana adalah laut,
jelas harus menjadi dasar pertimbangan
utama dalam pengelolaan hidrologi pada
ka-wasan tersebut.
Sejak zaman dulu kala, kawasan Demak-
Juwana merupakan ruang akhir bagi
bertumpahnya air permukaan di musim
penghujan, baik dari Gunung Muria
maupun Pegunungan Kendeng, di-
tambah lagi dari Gunung Merbabu yang
berhubungan dengan hulu Sungai
Serang. Dahulu (yang relatif belum lama)
daerah tersebut merupakan laut,
sedangkan sekarang berupa daratan
akibat sedi-mentasi, itulah persoalannya.
Strategi konservasi SDA dan pengendali-
an banjir kawasan Demak-Juwana
Penyikapan terhadap pengelolaan hidro-
logi kawasan Demak-Juwana pun se-
baiknya dilakukan dengan pendekatan
yang berbeda apabila dibandingkan
dengan strategi pengantisipasian kon-
servasi SDA dan pengendalian daya rusak
air pada umumnya. Diperlukan pengin-
tegrasian upaya pada daerah hulu dan
daerah hilir, dengan kekhasan tersendiri.
Penanganan secara langsung daerah hilir,
yaitu kawasan Demak-Juwana, sangat
penting, selain perlunya dibangun se-
jumlah waduk di daerah hulu bagian
selatan maupun sebuah waduk di utara
pada kawasan Gunung Muria. Keseluruhan
infrastruktur tersebut dapat dipandang
sebagai satu paket penanganan. Per-
hitungan kelayakannya bisa disikapi
sebagai satu kesatuan pula. Maka, pem-
bangunan infrasturuktur yang dimaksud
pada bagian hilir (kawasan Demak-
Juwana) pun sebaiknya dipandang se-
bagai prioritas yang didahulukan dari satu
kesatuan paket penanganan tersebut.
Mengapa demikian? Karena dampak
kemanfaatannya niscaya bisa langsung
terjadi dengan bobot yang sangat berarti.
Karena kejadian banjir senantiasa me-
landa kawasan ini. Bahkan banjir besar,
seperti “Banjir Juwana” yang sangat
parah pada 2007 dan sempat menga-
caukan sistem distribusi barang gara-gara
ruas jalan Pantura tergenang hingga 21
hari, bisa langsung diatasi. Persoalannya,
mungkin belum-belum sudah terba-yang
kalau jangan-jangan perlu biaya yang
besar karena pembangunan infrastruktur
di dataran rendah tanpa adanya cekungan
harus dilakukan penggalian dan pe-
nanggulan.
Namun sesungguhnya, bila dikaitkan
dengan terbebasnya ruas jalan Pantura
dari banjir yang selalu mengancam, maka
dapat diperhitungkan berapa besar
pengembalian biaya pembangunan itu
dari kemanfaatan dan juga ditambah
dengan pemanfaatannya pada kegiatan
lain, misalnya kegiatan sektor air minum.
Apalagi pembangunan infrastruktur di
kawasan Demak-Juwana itu pun di-
pandang sebagai satu paket penanganan
dengan sejumlah infrastruktur SDA pada
bagian hulu.
Distribusi barang yang terhambat akibat
jalan arteri tergenang banjir, jelas
menimbulkan kerugian rangkai-berangkai
yang sangat besar. Belum lagi kerusakan
jalan yang terjadi akibat tergenang dan
dilalui kendaraan-kendaraan berat
dengan laju merayap-rayap atau bahkan
diam total, diperlukan biaya perbaikan
yang sangat besar pula. Dengan adanya
infrastruktur konservasi dan pengen-
dalian banjir langsung pada kawasan
Demak-Juwana, kerugian-kerugian yang
besar tersebut dapat terhindarkan.
Demikian pula penderitaan penduduk
akibat banjir, bisa dikurangi sebanyak
mungkin.
Pemanfaatan Sungai Kritis
Kondisi sungai-sungai Serang dan Juwana
bukan lagi kritis, melainkan boleh dibilang
sudah sungguh sangat kritis. Sungai
disebut kritis apabila Qmax/Qmin di atas
50, sementara Qmax Sungai Serang 100
dan Qmin-nya 0,1. Itu berarti, Qmax/Qmin
Sungai Serang adalah 1.000. Sedangkan
Sungai Juwana lebih tinggi lagi, yaitu 110
dan 0,1 atau Qmax/Qmin Sungai Juwana
= 1.100.
Kondisi kesulitan air bagi warga di Demak
dan sekitarnya sudah berlangsung lama.
Sungai yang melewatinya di musim
penghujan hanya bisa memberikan banjir,
WACANA
Jeritan hati para korban banjir. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH68
WACANA
Runtuhnya rumah warga akibat terjangan banjir. (Foto: Dok.)
dan di musim kemarau tak memberikan
apa-apa. Banjir dan kekeringan bagi warga
di daerah Welahan dan sekitarnya misal-
nya, niscaya sangat tak enak dirasakannya
silih berganti bertahun-tahun. Ketinggian
dataran di Welahan hampir 0 m dpl.
Sungai Serang, yang juga disebut Sungai
Welahan pada bagian hilirnya, yang
melewati daerah tersebut, ya itu tadi,
cuma bisa menimbulkan kesengsaraan
baik di musim penghujan maupun di
musim kemarau.
atas daerah Welahan. Dalam hal ini kita
wacanakan, infrastruktur tersebut berupa
waduk buatan, dengan penggalian (pal-
ing tidak sedalam dasar sungai) dan
penanggulan tentunya, yang menerus
pada bagian tertentu Sungai Serang yang
difungsikan juga sebagai longstorage.
Dengan demikian, air Sungai Serang
tidak sia-sia dan tidak menyia-nyiakan
kehidupan. Dengan demikian pula,
kejadian banjir yang biasa berlangsung
Longstorage Pencegah Banjir Juwana
Infrastruktur kedua adalah longstorage
penampung guyuran air yang dahsyat dari
Gunung Muria yang dulu nyemplung ke
laut di lokasi yang (kini) akan jadi tempat
longstorage itu berada. Dengan demikian,
Sungai Juwana terbebas dari “serbuan
dari utara” yang sangat menekan daya
tampungnya. Meski begitu, ada baiknya
Sungai Juwana pun dikoneksikan dengan
longstorage tersebut pada bagian hilirnya.
Sebuah longstorage dengan penggalian
paling tidak sedalam dasar Kali Juwana
disertai penanggulan pula, dan lebar 200-
300 meter dengan pelimpasan ke laut di
daerah Juwana.
Jelas sekali bahwa untuk menghindarkan
jalan dari bahaya banjir Juwana yang pal-
ing baik adalah tidak hanya dengan
memindahkan lokasi banjir dengan me-
ninggikannya sampai “enggak kira-kira”
tingginya, karena pasti menimbulkan
masalah baru yang belum tentu tak lebih
besar dampak kerugiannya; melainkan
dengan mengenali lingkungan secara
baik. Dengan longstorage itulah diantara
solusinya.
Sama juga dengan waduk hilir di daerah
Demak, longstorage Kudus-Juwana pun
dengan sistem pengoperasian air “habis”
di akhir musim kemarau dan terisi kembali
mulai awal musim penghujan.
Nilai “balik modal” dari pembangunan
infrastruktur SDA yang ini pun dalam
bentuk investasi sikap dan penyikapan
terhadap permasalahan secara kom-
prehensif-integralistik, yang niscaya jauh
lebih tinggi nilainya dibanding “nilai
politis” apa pun.
Semoga wacana ini juga bisa menjadi
inspirasi baru bagi banyak kepentingan,
serta upaya mewujudkannya dapat di-
perjuangkan bersama-sama sebagai
prioritas nasional.
** PK SDA Pemali Juwana dan Pemerhati
Infrastruktur SDA.
Air Sungai Serang di musim penghujan
sebaiknya diberi ruang untuk singgah
pada bagian dataran yang dahulu me-
rupakan laut, namun pada bagian daratan
kini yang secara geografis memung-
kinkan dibangun infrastruktur dengan
penanggulan yang tak perlu “tinggi-
tinggi amat” tetapi yang juga secara
grafitatif dapat menimbulkan dampak
penabungan air bawah permukaan
melalui peresapan terus-menerus dalam
radius yang relatif luas sehingga sumur-
sumur penduduk di musim kemarau bisa
masih ada airnya. Posisi infrastruktur
yang kita maksudkan itu pastilah di
hingga tujuh hari umpamanya, berkat
waduk hilir tersebut bisa menjadi
hanya dua hari saja, atau bahkan sama
sekali tidak terjadi banjir kalau tingkat
curah hujan tak terlalu tinggi. Peman-
faatan air bisa dilakukan di kala musim
kemarau dengan, tentu saja, makin
mengalami penyusutan. Justru peng-
operasiannya memang dirancangkan
pada akhir musim kemarau air “habis”
untuk kemudian terisi kembali sejak mulai
awal musim penghujan. Pemeliharaan
bagi waduk ini pasti relatif murah, sebab
pengerukan sedimen dilakukan di saat tak
tergenang air.
69KIPRAH • Volume 38
WACANA
Pulau Bintan adalah salah satu pulau
dari sekitar 1.400 pulau kecil yang
ada di Provinsi Kepri. Pulau ini
berbatasan langsung dengan Singapura
dan P. Batam sehingga tak heran bila
menjadi salah satu pulau di Kepulauan
Riau yang menjadi tujuan wisata
internasional.
Oleh karena itulah, Pemprov. Kepri saat
ini tengah mengusulkan pembangunan
jembatan antarpulau yang menghu-
bungkan P. Batam dengan P. Bintan
dalam upaya pengembangan wilayah Free
Trade Zone (FTZ) di kawasan ini. Keinginan
Pemprov. Kepri untuk membangun
jembatan antarpulau tersebut membu-
tuhkan biaya lebih dari Rp3 trilyun.
Rencana pembangunan untuk jem-
batannya sendiri terdiri dari 3 (tiga) paket
di 3 (tiga) lokasi, yakni P. Batam–P. Tanjung
Sauh; P. Tanjung Sauh–P. Bau; dan P. Bau–
P. Bintan. Apabila impian jembatan
antarpulau tersebut terwujud, P. Bintan
akan memiliki jembatan sepanjang 13,2 km
Jembatan Impian Bintan
Pembangunan jembatan antarpulau di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah impian lama di awal tahun90-an, yakni dibangunnya jembatan dari P. Bintan ke Dumai dan terus menyambung sampai ke NTT.
dengan total panjang bentang jembatan
6,97 km dan jalan akses dan jalan utama
sepanjang 6,23 km.
Sementara itu, jalan akses dan jalan
utama yang hendak dibangun terdiri atas
4 (empat) paket di 4 (empat) lokasi, yakni
jalan di P. Bintan, P. Bau, P.Tanjung Sauh,
dan di P. Batam sendiri. Berdasarkan
perhitungan tahun 2005, biaya
investasinya sekitar Rp 3,17 trilyun yang
sudah termasuk jalan tambahan untuk
mengakomodir kendaraan roda dua.
Pembangunan jembatan antarpulau ini
merupakan impian lama, bagian dari
upaya Pemprov. Kepri mewujudkan Trans
Asia Highway. Wacana ini pernah muncul
di dekade awal tahun 90-an, kemudian
memudar seiring dengan perjalanan
waktu dan perkembangan sosial politik di
negeri ini.(Ew)
Pelabuhan Tanjung Pinang di P. Bintan . (Foto: Dok.)
Jembatan Kangboi, salah satu dari 6 (enam) jembatan yang sedang dibangun di P. Bintan. (Foto: Ind.)
Volume 38 • KIPRAH70
UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, salah satunya
menyebutkan persentase luas
minimum Ruang Terbuka Hijau (RTH)
sebesar 30% dari luas wilayah kota, terdiri
dari 20% di ruang publik dan 10% di ruang
privat. Ketentuan ini mempunyai impli-
kasi yang tidak mudah untuk diterapkan
di kota-kota besar di Indonesia (khususnya
di pulau Jawa).
Sebagian besar kota-kota sudah meng-
alami kekurangan luas RTH. Salah satu
penyebabnya adalah urbanisasi. Urbani-
sasi dalam sisi perkembangan fisik kota
dipengaruhi oleh pertambahan pen-
duduk alami dan migrasi desa-kota.
Semakin banyak penduduk akan mening-
katkan kebutuhan akan berbagai macam
fasilitas dan sarana pelayanan, yang pada
akhirnya meningkatkan kebutuhan lahan.
Harga lahan yang tinggi menjadikan
fungsi RTH menjadi tidak ekonomis dan
menimbulkan pilihan pengembangan fisik
kota ke daerah periferi (pinggiran kota),
dimana harga lahan lebih rendah. Pe-
ngembangan wilayah ke periferi ternyata
tidak menurunkan populasi di pusat kota,
bahkan spekulasi harga lahan terjadi pada
lahan-lahan yang ditinggalkan.
Dampak lebih serius dari pengembangan kota
ke periferi adalah masalah ekologis, yaitu
perubahan penutup permukaan tanah alami.
Hal tersebut berpengaruh kepada potensi
munculnya radiasi panas dan peningkatan
pemakaian energi untuk transportasi (akibat
kegiatan komuter) sehingga menimbulkan
emisi bahan bakar fosil yang menghasilkan gas
CO2.
Salah satu solusi untuk mengurangi dampak
ekologis dan juga perluasan wilayah atau
pembukaan wilayah baru tersebut adalah
dengan intensifikasi lahan di perkotaan.
Pengembangan ini merupakan respons dari
terus mening-katnya jumlah penduduk dan
keter-batasan lahan, di samping juga untuk
mengurangi perubahan guna lahan di daerah
periferi.
Oleh: **Mochamad Yarkasih
Pada Kawasan Berdensitas Tinggi
WACANA
Konsep Hijau
71KIPRAH • Volume 38
Kembali pada UU RI No.26 Tahun 2007,
penentuan proporsi luas minimal RTH
sebesar 30% persen terkait dengan luas
wilayah, bukan dengan jumlah penduduk.
Adapun yang menjadi isu utama urba-
nisasi adalah pertambahan penduduk.
Penentuan luas RTH yang lebih rinci
seharusnya berdasarkan kepada ke-
mampuan dan peran RTH untuk me-
nunjang kegiatan penduduk. Bila diumpa-
makan, lahan tidak akan bertambah,
tetapi jumlah penduduk terus ber-
tambah, maka angka 30% menjadi kurang
relevan.
Pembentukan RTH pada lahan yang
terbatas perlu dilakukan untuk me-
ngendalikan keberadaan luas RTH yang
memadai sebagai faktor penentu kualitas
lingkungan kota, sehingga bertambahnya
jumlah penduduk masih dapat diimbangi
oleh kualitas lingkungan hidup yang baik
walaupun pada lahan yang terbatas.
Green Space Factor sebagai sebuah
Pendekatan RTH pada Lahan Terbatas
Ketentuan dan pedoman tentang RTH di
Indonesia hampir sebagian besar me-
rupakan penerapan RTH pada permukaan
tanah dasar. Hanya satu bentuk RTH yang
tidak berada pada permukaan tanah
dasar, yaitu RTH Roof Garden atau taman
atap. Kebutuhan luas RTH di kawasan per-
kotaan memerlukan penanganan dan
ketentuan khusus, tidak hanya pada
permukaan tanah dasar saja (terkait
dengan kendala keterbatasan lahan dan
nilai ekonomis lahan). Salah satu pen-
dekatan sebagai solusi dari masalah ini
adalah Green Space Factor (Faktor Ruang
Hijau/FRH).
Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah
membuat pembobotan untuk setiap jenis
kondisi penutup permukaan dan pe-
nanaman vegetasi pada kondisi-kondisi
tertentu, seperti pada tanah dasar,
bidang dingin, bidang atap, dll. Pem-
bobotan dilakukan dengan sistem indeks
sehingga ruang hijau tetap dapat dibuat
lebih besar pada lahan yang terbatas
karena memanfaatkan seluruh potensi
bidang-bidang penutup permukaan tanah
dan bangunan.
Sebagai contoh, untuk permukaan ter-
tutup dengan perkerasan beton 100%
memiliki nilai indeks 0, untuk permukaan
tertutup dengan perkerasan berlubang
adalah 0,5, dan untuk permukaan tanah
alami dengan pohon diatasnya adalah
sebesar 1.
Penerapan pendekatan ini dilakukan pada
tahap perencanaan kawasan. Nilai indeks
menjadi salah satu pengendali pem-
bangunan, sama halnya dengan nilai
Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan
Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
Contoh sederhana adalah sebuah tapak
memiliki target dari nilai indeks hijau
sebesar 0,4. Pada tapak seluas 135 m2
terdapat bangunan seluas 72 m2, per-
kerasan beton 27 m2, dan RTH 36 m2. Pada
kondisi ini, tapak hanya menghasilkan nilai
indeks 0,27 (perhitungan 36/135). Pen-
dekatan Faktor Ruang Hijau memung-
kinkan untuk melakukan variasi per-
hitungan yang menghasilkan nilai indeks
0,4. Salah satu caranya adalah dengan
mengganti penutup perkerasan beton
menjadi perkerasan yang memiliki rongga
(faktor 0,5 x 27 m2) dan membuat atap
hijau seluas 10% dari bangunan (faktor 0,7
x 10% x 72 m2). Nilai indeks hijau dijumlah-
kan menjadi 0,4 sehingga luas bangunan
tidak berkurang, tetapi ketentuan nilai
indeks hijau dapat tercapai.
Diagram Konsep Faktor Ruang Hijau
Ruang terbuka hijau di kawasan kota. (Foto: M. Yarkasih)
WACANA
Volume 38 • KIPRAH72
Pengendalian Ruang Hijau pada Beberapa
Kota di Dunia.
Pendekatan FRH mulai dilakukan pada
tahun 1994 di kota Berlin dengan istilah
Biotope Area Factor (BAF). BAF kemudian
diadopsi oleh beberapa kota di dunia,
diantaranya adalah kota Malmo’s di
Swedia dengan nama Malmo’s Green Space
Factor System (GSF) pada tahun 2004 dan
kota Seattle di Amerika dengan nama Se-
attle Green Factor (SGF) di tahun 2007.
Tujuan BAF adalah untuk melindungi
ekosistem, biotope, dan spesies. Latar
belakang pendekatan ini lahir karena
adanya dampak dari pengembangan pusat
kota dengan densitas tinggi. Lahan
menjadi terbatas dan kehilangan fungsi
alaminya, seperti daya serap, kelembaban,
dan sebagai media hidup tanaman dan
binatang.
GSF memiliki tujuan yang hampir sama
dengan BAF, yaitu menjaga nilai minimum
dari kualitas biotope. Hal ini dikarenakan
Swedia memiliki sejarah yang panjang
untuk melindungi alam dan struktur alam
pada kawasan kota, sehingga dalam
pengembangan baru akan dipastikan
bahwa pengembang mencapai standar
dalam kaitannya dengan solusi desain dan
Nilai Indeks Hijau sebelum dan setelah perubahan jenis permukaan
manajemen yang mendukung tercapai-
nya tingkat keanekaragaman hayati.
SGF memiliki tujuan yang berbeda, yaitu
menciptakan cara baru dalam strategi
lanskap yang dibutuhkan untuk pem-
bangunan baru pada distrik bisnis. SGF
dibuat untuk pengembangan baru
dengan tingkat fleksibilitas tinggi se-
hingga fungsi ekologis dan kualitas estetis
lanskap dapat ditingkatkan. Strategi
terpilih adalah mendorong lapisan vege-
tasi dan meningkatkan infiltrasi mana-
jemen air untuk mencapai fungsi ekologis
pada lanskap kota seperti kondisi sebelum
adanya pembangunan.
Aplikasi pendekatan FRH pada kota Ber-
lin mencakup keseluruhan bagian pusat
kota untuk penambahan/ perubahan/
perbaikan/pembangunan baru pada
fungsi residensial, komersial, dan infra-
struktural. Aplikasi di kota Malmo mulai
diterapkan pada pembangunan kembali
distrik Vastra Hamnen dengan fungsi
dominan adalah residensial dan GSF
dintegrasikan dengan konsep sistem
stormwater. Aplikasi di kota Seattle lebih
spesifik, yaitu pada distrik bisnis dengan
ketentuan yaitu pembangunan baru lebih
dari 4 hunian, atau 4.000 kaki persegi atau
20 unit ruang parkir. Fungsi yang ter-
masuk di dalamnya adalah komersial dan
residensial untuk multikeluarga.
Semua ruang yang berpotensi menjadi
ruang hijau dapat digunakan dalam
penerapan pendekatan ini, mencakup
ruang publik dan privat. Ruang-ruang
tersebut diantaranya adalah courtyard,
bidang atap bangunan, bidang dinding
bangunan, permukaan bervegetasi,
permukaan air, fasilitas bioretensi, dan
bidang-bidang infrastruktur dengan nilai
indeks yang berbeda-beda.
** Mahasiswa Pascasarjana Sekolah
Arsitektur ITB, Bandung.
Ruang terbuka hijau pada bidang dinding. (Foto: M. Yarkasih)
WACANA
73KIPRAH • Volume 38
WACANA
Padat, kumuh, dan miskin menjadi
jamak jika kita melihat potret
lingkungan permukiman perkam-
pungan di perkotaan. Lingkungan kumuh
senantiasa dipenuhi permasalahan kualitas
lingkungan yang rendah, kesehatan yang
buruk, hingga minimnya tingkat kese-
jahteraan masyarakatnya (kemiskinan).
Hal ini menjadi masalah sosial di Indone-
sia yang tidak mudah untuk diatasi. Meski
berbagai program sudah dilakukan, tetapi
tetap saja permukiman kumuh miskin
masih saja kita jumpai hampir di setiap
sudut kota. Akhir-akhir ini sering pula kita
Permukiman Padat
Oleh : **Ade Syaiful. R.
Tidak Selalu Kumuh
dengar adanya penggusuran permu-
kiman kumuh untuk diganti menjadi
prasarana-sarana perkotaan yang lebih
menguntungkan. Cara ini sepintas ter-
kesan dapat menghilangkan permukiman
kumuh, akan tetapi hal ini bukanlah upaya
berkelanjutan yang dapat menghilangkan
kemiskinan dan kekumuhan seutuhnya
dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas
lingkungan yang rendah adalah hal yang
mesti dihilangkan tetapi tidak (mesti)
digusur, karena penggusuran kerap hanya
memindahkan kemiskinan dari lokasi lama
ke lokasi baru dan tak jarang lokasi
permukiman yang baru menimbulkan
kesulitan beradaptasi bagi masyarakat
yang tergusur, terutama akses terhadap
lapangan pekerjaan.
Perlu dilakukan terobosan dan upaya-
upaya alternatif yang lebih “mema-
nusiakan” penghuni permukiman padat
dan miskin yang identik dengan kumuh,
kotor, tidak sehat, gersang, dan be-
rantakan menjadi lingkungan yang bersih,
sehat, dan asri, sehingga mereka dapat
secara sadar berperan aktif dalam mem-
benahi lingkungan permukimannya
Suasana permukiman padat di Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta, yang kini berubah menjadi bersih dan hijau. (Foto: Dok.)
Volume 38 • KIPRAH74
WACANA
sekaligus dapat memperbaiki kehidupan
ekonomi mereka. Tulisan ini mencoba
untuk memberikan gambaran upaya
memperbaiki dan meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman miskin dan padat
penduduk.
Mengubah Kumuh Menjadi Hijau dan Asri
Terinspirasi oleh keberhasilan warga
Jakarta di Kampung Banjar Sari, Cilandak,
dan Kampung Rawajati, Kalibata, yang
berhasil memperbaiki lingkungan
Mampang Prapatan, Kecamatan
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
merupakan salah satu potret lompleks
perumahan TNI di wilayah Jakarta.
Permukiman dengan penduduk sekitar
500 jiwa atau ± 100 KK itu tampak kurang
tertata rapi, kotor, gersang, dan kurang
hijau. Sampah pun tidak tertangani
dengan baik.
Warga komplek tersebut pada umumnya
masih belum mau tahu mengenai pengu-
rangan volume sampah, pemilahan, serta
dari PKK, Aparat Kelurahan Mampang
Prapatan, serta Aparat Kecamatan Mam-
pang Prapatan, yang didukung pula oleh
PT. Unilever (sejalan dengan Penca-
nangan Program Jakarta Green and Clean
oleh PT. Unilever). Pembelajaran ini mulai
dirintis sejak awal tahun 2006 dengan
prioritas pengelolaan sampah rumah
tangga yang dilakukan melalui proses
pemberdayaan masyarakat.
Kebutuhan untuk meningkatkan kesa-
daran masyarakat untuk peduli terhadap
permukimannya yang semula kumuh
menjadi apik, para warga RT.04/RW.03 di
Kompleks Zeni TNI-AD, Kelurahan
Mampang Prapatan, Kecamatan
Mampang Prapatan, Kodya Jakarta
Selatan, juga tertarik untuk ikut
mengembangkan replikasi pola edukasi
pengelolaan sampah terpadu yang
meliputi pemilahan sampah, pembuatan
kompos, pembuatan produk daur ulang,
mengembangkan tanaman obat keluarga
(TOGA), dan sebagainya dengan tujuan
mewujudkan lingkungan permukiman
yang hijau dan lestari. Hal ini sejalan
dengan program perwujudan Kota
Jakarta sebagai Kota Hijau dan Bersih
(Jakarta Green and Clean).
Kondisi Awal
Kondisi di RT.04/RW.03 yang terletak di
Kompleks Zeni TNI-AD, Kelurahan
pengolahan sampah rumah tangga.
Akibatnya, pembuangan sampah warga
masih sangat mengandalkan truk sampah
dari Dinas Kebersihan dan sebagian masih
membuang sampah secara semba-
rangan. Mereka juga tidak pernah memi-
kirkan bagaimana dan kemana sampah-
sampah itu akan diangkut dan dibuang.
Kondisi tersebut diperburuk dengan
belum adanya pemilahan dan pemisahan
antara sampah organik dan non organik.
Warga belum menyadari bahwa sampah-
sampah yang tak terurai dapat akan
mengotori lingkungan dan bila terbuang
di badan air akan mengakibatkan banjir
dan pencemaran lingkungan.
Belajar Mengelola Sampah
Upaya awal yang dilakukan oleh warga
setempat berupa proses pembelajaran,
bimbingan, pengarahan, dan dukungan
lingkungan, terutama dalam hal me-
nangani sampah rumah tangga, menye-
babkan warga perlu diajari bagaimana
menjadikan sampah rumah tangga ber-
nilai dan tidak mencemari lingkungan.
Upaya itu dilakukan melalui pendekatan
satu persatu orang di kampung tersebut
serta melalui kegiatan arisan dan PKK.
Upaya ini ditujukan untuk menyadarkan
masyarakat agar peduli terhadap keber-
sihan lingkungannya serta menciptakan
kampung yang bersih dan asri. Sebagai
langkah awal, warga secara swadaya
menyediakan tong sampah terpisah
untuk pemilahan 2 jenis sampah (basah
dan kering) serta pengolahan sampah
basah menjadi kompos yang dapat di-
gunakan untuk kegiatan penghijauan.
Untuk sampah yang masih dapat diman-
faatkan kembali, oleh warga digunakan
sebagai wadah tanaman hias dan tanaman
obat keluarga (TOGA) yang bernilai
PEMILAHAN SEDERHANA DAN PENGOMPOSAN DENGAN KOMPOSTER SKALA RUMAH TANGGA
75KIPRAH • Volume 38
WACANA
ekonomis, sedangkan sampah yang dapat
didaur ulang mereka manfaatkan untuk
kerajinan suvenir yang juga bernilai
ekonomis.
Hasil yang didapat dari kegiatan penya-
daran masyarakat melalui proses edukasi
pengelolaan sampah terpadu ini antara
lain:
a. Terciptanya peran aktif masyarakat
yang didasari kesadaran tinggi untuk
meningkatkan kualitas lingkungan
permukimannya, dari yang semula
kotor dan kurang tertata rapi menjadi
lingkungan yang cukup asri dan hijau.
b. Pada tahun 2006 sampai tahun 2008,
RW.03 Kelurahan Mampang Prapatan
berhasil meraih predikat Kampung
Idola dan beberapa kali menjadi
nominasi juara dalam Lomba peng-
hijauan dan kebersihan tingkat RT di
Jakarta Selatan. Bahkan, pada tahun
2009 wialyah ini berhasil masuk
nominasi sebagai Kampung Kalpataru
dan kawasan ini pun tercatat sebagai
kawasan hijau dalam Peta Hijau
Provinsi DKI Jakarta.
c. Dengan terciptanya pola pengelolaan
sampah terpadu yang mengede-
pankan program 3 R (Reduce, Reuse &
Recycle), kawasan ini juga mampu
mengurangi volume sampah yang
harus dibuang ke TPA sampai 50%. Hal
ini tentu saja dapat membantu me-
ringankan beban pemerintah DKI
Jakarta dalam pengangkutan dan
pembuangan sampah yang saat ini
terkendala oleh keterbatasan lahan
TPA.
d. Adanya peluang bagi masyarakat un-
tuk meningkatkan penghasilan dari
hasil penjualan kompos, tanaman hias,
tanaman obat, dan produk kreatif
kertas daur ulang dari plastik, kertas,
dan bahan daur ulang lainnya.
e. Teknologi yang diterapkan cukup
sederhana sehingga mudah dilakukan
oleh masyarakat. Pilihan teknologi
pembuatan kompos yang sederhana
ini sesuai dengan komposisi dan
karakteristik sampah di Indonesia
yang memiliki kandungan organik
tinggi (70–80%), kadar air tinggi
(60%), dan nilai kalori rendah (< 1300
k.cal/kg).
Kondisi Saat Ini
Kini lingkungan RT.04/RW.03 Kompleks
Zeni TNI-AD, Kelurahan Mampang Pra-
patan telah menjadi daerah hijau dan
telah ditetapkan sebagai Kampung Hijau
dan menjadi daerah percontohan bagi
warga lain yang ingin lingkungan per-
mukimannya bersih, sehat, hijau dan asri.
Hingga saat ini kawasan permukiman
tersebut menjadi kawasan percontohan
di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan kerap
dikunjungi oleh banyak masyarakat yang
ingin menerapkan pola edukasi per-
baikan lingkungan permukiman melalui
pengelolaan sampah terpadu 3R dan
penghijauan ini di lingkungannya masing-
masing. Keberhasilan kegiatan yang
mengedepankan pemanfaatan sampah
sebagai sumber daya sekaligus mengu-
rangi volume sampah sejak dari sumber-
nya ini merupakan langkah penting dalam
rangka meningkatkan efisiensi penge-
lolaan sampah secara keseluruhan. Untuk
itu, diperlukan replikasi pengelolaan
serupa yang berbasis masyarakat di
wilayah lain dengan fasilitasi atau pen-
dampingan dari pemerintah DKI Jakarta
mencakup upaya penyiapan masyarakat,
dukungan stimulan dana investasi, dan
sosialisasi, serta dukungan kebijakan
dalam menerapkan program 3R secara
utuh dan menyeluruh.
** Kepala Sub Bidang Penyiapan
Pelaporan Puskom PU
UPAYA REUSE DAN RECYCLE SAMPAH PLASTIK UNTUK PENGHIJAUAN
Volume 38 • KIPRAH76
WACANA
Busway merupakan sebuah sistem
Bus Rapid Transit (BRT) atau
sistem transportasi bus cepat yang
mulai resmi dioperasikan oleh peme-
rintah DKI Jakarta pada tanggal 15 Januari
2004. Busway adalah sebuah solusi
alternatif angkutan umum massal yang
ditawarkan oleh pemerintah di kota-kota
besar agar warganya dapat menikmati
jasa angkutan umum yang cepat, nyaman,
dan aman. Selain di Jakarta, busway juga
telah diterapkan di kota-kota besar lain-
nya di Indonesia, yaitu Yogyakarta (Trans
Jogja), Bandung (Trans Metro Bandung),
Busway,
Busway. Kata ini kian akrab terdengar dan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, terutama wargaDKI Jakarta. Ya, bus Transjakarta atau yang lebih terkenal dengan sebutan busway ini, merupakan salah
satu transportasi umum andalan pemerintah DKI yang mulai menjadi primadona.
Bogor (Trans Pakuan), Pekanbaru (Trans
Metro Pekanbaru), Palembang (Trans
Musi), dan Manado (Trans Kawanua).
Selama 6 tahun ini, busway di DKI Jakarta
telah melayani 8 koridor dengan armada
bus sebanyak 426 unit yang melewati to-
tal panjang lintasan 123,35 km (lintasan
terpanjang di dunia dalam sistem BRT)
dan memiliki 141 halte. Meskipun sempat
menimbulkan pro dan kontra, nyatanya
busway mulai jadi primadona dilihat dari
jumlah penumpangnya yang kian hari kian
meningkat.
Busway tidak sekedar menjadi sarana
transportasi angkutan massal semata,
tetapi juga berfungsi sebagai bus pari-
wisata kota karena melewati berbagai
fasilitas pemerintah pusat, seperti Jalan
M.H. Thamrin, Monumen Nasional (Mo-
nas), kantor pemerintah DKI Jakarta,
Gedung Kesenian Jakarta, Stasiun Gambir,
dan lain sebagainya. Maka tak heran,
berdasarkan data dari situs resmi
Transjakarta (www.transjakarta.co.id),
busway di Jakarta hingga bulan April 2010
telah mengangkut penumpang rata-rata
250.000 orang per hari. Pengoperasian
Primadona yang Mulai Memudar
Bus Trans jakarta. (Foto: Endah)
77KIPRAH • Volume 38
WACANA
busway juga menjadi strategi pemerintah
daerah untuk mengurangi kemacetan di
jalan-jalan utama di kota-kota besar,
terutama ibu kota. Oleh karena itulah,
busway dilengkapi dengan sarana dan
prasarana khusus, diantaranya shelter
(halte khusus untuk busway), sistem tiket
elektronik, bahkan sengaja diberi jalur
khusus yang (sebenarnya) tidak boleh
dilewati oleh kendaraan lainnya.
Ada 4 alasan utama kenapa warga DKI
memang lebih memilih menggunakan
busway dibandingkan kendaraan umum
lainnya, yakni tarif murah, dapat meng-
hubungkan berbagai tempat di Jakarta
dengan cepat, lebih nyaman dibanding-
kan dengan angkutan umum lainnya, dan
juga keamanan yang lebih terjamin.
Tarif bus ber-AC (Air Conditioning)
sebesar Rp3.500,- per perjalanan ini
dianggap warga cukup terjangkau,
terutama untuk tujuan jarak jauh karena
penumpang yang pindah jalur maupun
transit di halte busway manapun tidak
perlu membayar lagi, asalkan tidak keluar
dari halte. Sayangnya, selama 6 tahun ini
pengembangan dan pengelolaan busway
tidak sesuai dengan harapan para peng-
gunanya.
Keluhan yang paling sering diutarakan
para penumpang setia busway saat ini
adalah lama dan panjangnya antrian di
halte maupun shelter, terutama pada jam-
jam padat (khususnya jam masuk dan
keluar kantor). Penumpang juga harus
rela berdesak-desakan di dalam bus.
Penyebab utamanya adalah jumlah ar-
mada busway dan kapasitas angkut yang
tidak dapat mengimbangi jumlah pe-
numpangnya sehingga terjadi penumpuk-
an penumpang.
Kondisi ini diperparah dengan penye-
robotan pengguna jalan lainnya yang
masuk ke jalur busway sehingga semakin
menghambat laju busway untuk bisa
tepat waktu sampai ke halte. Akibatnya,
antrian panjang dan aksi berebut masuk
dengan saling dorong begitu bus berhenti
di halte pun tak terelakkan.
Kurang optimalnya pelayanan juga dirasa-
kan cukup mengganggu bagi para pe-
numpang busway. Oknum sopir yang
terkadang suka ugal-ugalan atau yang
tidak menyalakan pemberitahuan tujuan
halte sehingga penjaga pintulah yang
meneriakkan tujuan halte membuat
penumpang busway merasa layaknya naik
metromini. Apalagi tidak adanya gambar
peta di dalam bus membuat penumpang
yang tidak familiar dengan rute-rute
busway, terutama wisatawan asing,
menjadi kebingungan. Adapun peta yang
dipajang di halte-halte busway tidak
jarang huruf dan gambarnya terlalu kecil
atau letaknya terlalu tinggi, sehingga
penumpang tetap harus bertanya kepada
petugas penjaga pintu.
Penumpang busway juga mengeluhkan
semakin buruknya fasilitas, sarana, dan
prasarana yang ada. Terkadang para
penumpang harus menghindari tetesan-
tetesan air yang jatuh dari atap halte yang
bocor saat hujan atau dari atap bus gara-
gara AC yang rusak. Jembatan penye-
berangan yang terlalu panjang, jauh, dan
tinggi, bahkan kadang-kadang bolong,
sangatlah tidak ramah terhadap anak-
anak, perempuan hamil, orang lanjut usia
(lansia), apalagi bagi penyandang cacat.
Meski di beberapa jembatan terdapat lift,
namun kondisinya sudah rusak dan tak
layak pakai. Belum lagi sekarang semakin
banyak para pedagang kaki lima yang
menggelar dagangannya di atas jembatan
busway. Suasana halte yang panas,
pengap, terkadang tidak terawat dan
kumuh juga membuat penumpang kian
tidak nyaman. Belum lagi halte-halte dan
jembatan yang terlantar karena masih
belum terpakai meski sudah lama di-
bangun, sebagaimana yang terjadi pada
infrastruktur di sepanjang Prumpung ke
arah Tanjung Priok maupun dari Cawang
ke arah Grogol.
Berkaitan dengan keamanan, sampai saat
ini kasus tindak kriminal di dalam busway
bisa dibilang masih jarang terjadi,
sedangkan kasus kecelakaanlah yang
justru kerap terjadi. Kasus kecelakaan
yang paling banyak terjadi terutama
diakibatkan karena masih kurangnya
disiplin masyarakat, dalam hal ini para
pengguna jalan dalam berlalu lintas,
misalnya aksi serobot kendaraan lain
maupun orang-orang yang sembarangan
menyeberang. Kebanyakan dari mereka
masih sering mengabaikan peraturan
yang berlaku dengan menyerobot jalur
khusus bus Transjakarta. T indakan
penyerobotan jalur ini tidak hanya
berpotensi menyebabkan kecelakaan,
Lift menuju jembatan penyeberangan Busway yang tidak berfungsi dan tak terawat.(Foto: Endah)
Volume 38 • KIPRAH78
tetapi juga membuat kemacetan.
Sementara itu, kasus busway yang ter-
bakar dan meledak adalah akibat adanya
gangguan elektrik pada kabel dinamo
amper AC. Kadang-kadang ada juga sopir
busway yang memarkirkan busnya di pintu
halte dengan jarak yang cukup lebar,
sehingga apabila halte penuh dan penum-
pang saling dorong, resiko jatuh dari bibir
pintu yang tinggi sangat besar. Sebagai
sebuah solusi, keberadaan busway,
khususnya di DKI Jakarta, kini malah
dianggap menjadi penyebab kemacetan
dan kecelakaan.
Memang, operator busway dan pe-
merintah daerah telah dan sedang ber-
usaha untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik, khususnya untuk mengurangi
penumpukan dan antrian penumpang.
Misalnya, adanya penambahan unit ar-
mada Transjakarta, feeder bus (bus
pengumpan yang menghubungkan be-
berapa daerah ke halte-halte busway
terdekat), maupun pembangunan shelter
dan stasiun pengisian bahan bakar gas
(SPBBG) yang dilakukan secara bertahap.
Selain itu, di beberapa wilayah dibangun
pula portal elektronik dan manual untuk
mengantisipasi penyerobotan jalur bus-
way. Fasilitas jembatan, shelter, maupun
bus yang rusak juga berusaha diperbaiki.
Akan tetapi, akar dari semua permasalah-
an di atas sebenarnya bukan semata
karena kurang ma-
tangnya konsep pe-
rencanaan, pem-
bangunan, serta pe-
ngelolaan infrastruk-
tur, fasilitas, sarana,
dan prasarana bus-
way, melainkan pem-
bangunan tanpa
sumber daya manu-
sia berkualitas se-
hingga pengem-
bangan dan penge-
lolaannya menjadi
amburadul. Oleh
karena itulah, sangat
penting dilakukan
kegiatan pening-
katan sumber daya
manusia serta adanya
kerja sama antara
pemerintah, opera-
tor dan pekerja bus-
way, serta masya-
rakat sebagai peng-
guna busway.
Salah satu kegiatan
peningkatan sumber
daya manusia yang
bisa dilakukan adalah
diadakannya pela-
tihan-pelatihan bagi
para operator dan
supir busway se-
hingga memiliki ke-
sadaran untuk memberikan pelayanan
publik sebaik-baiknya kepada masyarakat,
terutama pelatihan bagi para supir.
Dengan demikian, dapat dihasilkan supir
yang patuh pada peraturan lalu lintas dan
mementingkan keselamatan serta ke-
nyamanan penumpang. Di sisi lain, pe-
merintah daerah selaku pembuat se-
kaligus pelaksana kebijakan juga harus
memiliki kepekaan untuk mengakomodir
kebutuhan warganya, terutama bagi yang
memiliki kebutuhan khusus, ke dalam
rancangan maupun pembangunan sarana
dan prasarana transportasi, khususnya
busway. Pemerintah juga harus mampu
bertindak tegas terhadap pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan para peng-
guna jalan, misalnya yang menyerobot
jalur busway maupun yang menyeberang
jalan sembarangan.
Solusi lain untuk mengurangi kemacetan
dan antrian panjang di halte-halte busway
saat jam sibuk ialah peningkatan kemam-
puan pemerintah dalam mengatur dan
meningkatkan kualitas sarana trans-
portasi umum lainnya, seperti metromini,
bajaj, mikrolet, dan lain sebagainya.
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk
tertib berlalu lintas mutlak diperlukan.
Selain itu, kepedulian masyarakat untuk
ikut terlibat dalam menjaga kebersihan
dan memelihara fasilitas, sarana, maupun
prasana angkutan umum, juga tak kalah
pentingnya.
Dengan masih banyaknya keluhan-keluhan
dari penggunannya, tampaknya kebera-
daan busway saat ini belum berhasil
mewujudkan visinya, yakni menjadikan
busway sebagai angkutan umum yang
mampu memberikan pelayanan publik
yang cepat, aman, nyaman, manusiawi,
efisien, berbudaya, dan bertaraf inter-
nasional. Busway hanya satu dari sekian
banyak contoh sebuah solusi yang malah
dianggap sebagai masalah baru. Oleh
karena itu, kita semua masih perlu banyak
berbenah agar busway tidak menjadi
contoh dari primadona yang begitu cepat
memudar pamornya akibat kurangnya
kesadaran dan kualitas sumber daya
manusia bangsa kita. (Endah)
WACANA WACANA
Atap tangga terminal busway yang kurang pemeliharaan(Foto: Endah)
79KIPRAH • Volume 38
HUMANIKAHUMANIKA
Kehangatan matahari di Kota
Pahlawan tak sehangat sambutan
dari Masduki, Ketua RW Rumah
Susun (Rusun) Urip Sumoharjo kepada
tim Kiprah yang berkunjung ke rumahnya.
“Ono opo tho’ rek (ada apa ini-red.)?” sapa
Masduki. Ucapan bersahabat khas
Surabaya tersebut mencairkan kecang-
gungan di antara kami. Dengan meng-
gunakan kaus singlet warna putih dan
celana pendek, beliau mempersilahkan
kami masuk kedalam rumah susunnya yang
terkesan sempit.
“Ora opo-opo yo ndek kene (tidak apa-apa
ya di sini-red.),” ucapnya. Memang, selain
sebagai tempat tinggal, rumah susun
tersebut juga dijadikan tempat usaha
menjahit oleh Masduki. “Beginilah usaha
saya, demi dapur tetap ngebul dan anak
tetap sekolah,” selorohnya.
Pembicaraan kami berawal dari sejarah
dibangunnya rusun tersebut, yang beliau
ceritakan dengan penuh semangat.
Maklum, Masduki termasuk penghuni
awal dan dianggap sesepuh warga.
Masduki juga menjelaskan bahwa peker-
jaan para penghuni rusun ini beragam.
Ada yang menjadi tukang becak, tukang
sayur, buruh bangunan, dan lain-lain,
tetapi mayoritas adalah pekerja non for-
mal yang berpenghasilan rendah.
Saat ditanya berapa uang sewa per bulan,
raut muka Masduki berubah. Dengan lirih
beliau mengatakan bahwa uang sewa
sebesar 104.000 rupiah per bulan masih
terasa berat bagi mereka dan berharap
uang sewa rusun tidak naik tiap tahunnya.
“Terus terang kami sulit memenuhinya.
Lha wong untuk makan saja kami kem-
bang-kempis,” ujarnya. Tetapi asa mereka
tak pernah redup. Walau kerja serabutan,
uang sewa dan iuran kebersihan tetap
mereka penuhi. Semboyan mereka, yang
penting halal.
Meski didera himpitan ekonomi, hu-
bungan kekeluargaan para penghuni
rusun sangat erat terlihat. Mungkin
karena dulunya mereka tinggal di satu
kampung. Anak-anak bermain di ruang
kumpul warga, ibu-ibu bersenda gurau di
salah satu pojok blok, bapak-bapak
berkumpul di salah satu warung sambil
berkelakar dan menyeruput secangkir
kopi. Rusun ini didesain saling berhadapan
antara blok satu dengan yang lainnya dan di
tengahnya terdapat lapangan serta tempat
parkir motor untuk penghuni, yang juga dapat
dimanfaatkan oleh warga untuk bersosialisasi.
Menurut Masduki, rusunnya tidak pernah
tidur karena setiap malam ada saja penghuni
yang berkumpul, ngobrol ngalor-ngidul
sampai pagi. “Di sini aman. Lha wong
satpamnya banyak dan melek terus,” kelakar
Masduki mengakhiri pembicaraan kami. (Nld)
Asa Penghuni Rusun
Masduki, Ketua RW Rusun UripSumoharjo, Surabaya. (Foto: Nld)
Rusun Urip Sumoharjo, Surabaya. (Foto: Nld)
Urip Sumoharjo
Volume 38 • KIPRAH80
JENDELAJENDELA
Bagi gadis manis berjilbab ini, pembangunan infrastruktur
di Indonesia dirasakan kurang merata. Pembangunan di
daerah-daerah terpencil, rawan bencana, dan yang
berbatasan dengan negara lain kurang diperhatikan. Apa yang
dikemukakan oleh dara kelahiran 13 Januari 1989 ini bukannya
tidak beralasan.
“Kebetulan saya juga anak daerah, jadi saya tahu betul
bagaimana kondisi daerah. Seperti daerah saya (Batam). Di
sana mungkin karena berdekatan dengan negara tetangga dan
Oki Setiana Dewi :
InfrastrukturKurang Merata
juga sebagai salah satu pintu gerbang ke luar (negeri), hanya
45 menit dari Singapura, (maka) perkembangan infrastruktur
(di sana) cepat sekali, sehingga kalau saya pulang, sudah pasti
banyak perubahan, namun di pulau-pulau kecil lainnya di sekitar
Kepulauan Riau (pembangunannya) agak kurang.”
Demikian jelasnya ketika ditemui oleh Kiprah di sela-sela acara
Malam Penghargaan Dompet Dhuafa di Bentara Budaya, Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, pada Jumat malam (2/7).
Lebih jauh lagi, Oki yang baru-baru ini menyabet gelar sebagai
Artis Pendatang Baru Wanita Terfavorit pilihan masyarakat di
ajang Indonesian Movie Awards (IMA) 2010, membandingkan
infrastruktur di Indonesia dengan keadaan di luar negeri.
“Saya sangat terkagum-kagum dengan infrastruktur di
Hongkong, misalnya transportasinya. Transportasi umum di
Hongkong, Singapura, Malaysia sangat tertib, makanya mereka
lebih memilih transportasi umum dibanding (milik) pribadi,
karena aman, mudah, nyaman, dan bersih,” paparnya.
Artis yang namanya berkibar lewat peran sebagai Anna di film
dan sinetron “Ketika Cinta Bertasbih” (KCB) ini menambahkan
bahwa jalan yang ia lewati ketika berada di Malaysia, Hongkong,
maupun Singapura selalu mulus. “Sementara kalau di sini, jalan-
jalan kecilnya sudah mulai banyak yang berlubang.”
Dara yang juga terpilih sebagai Artis Pendatang Baru Wanita
Terbaik pilihan juri di IMA 2010 ini merasa prihatin pula dengan
keadaan bangunan dan gedung bersejarah yang ada. Ia melihat
bahwa bangunan bersejarah di Mesir terawat dengan sangat
baik, sedangkan di sini entah diganti mall atau tidak terawat
sama sekali, jadi terkesan kumuh dan kotor.
Sebagai masyarakat awam, Oki mengharapkan di masa
mendatang diadakan pendataan daerah-daerah terpencil di
perbatasan sehingga sasaran pembangunan lebih merata. Oki
juga berharap infrastruktur-infrastruktur yang ada juga terus
dievaluasi, dipantau, dan dipelihara agar senantiasa terjaga
kualitasnya. (Wy)
81KIPRAH • Volume 38
INFOBUKUINFOBUKU
Pulau-pulau di kawasan perbatasan mungkin jarang
mendapat perhatian kita atau bahkan mungkin
terlupakan. Akan tetapi, sejak terjadinya “tragedi
Sipadan–Ligitan” serta kehebohan kasus Ambalat, sontak
banyak perhatian tertuju ke pulau-pulau terdepan di perbatasan
kita, termasuk kawasan Sangihe, Talaud, dan Sitaro (SaTaS).
Sebagaimana Pulau Sabang yang sering dikira sebagai batas
wilayah paling barat negeri ini, demikian juga dengan Pulau
Talaud sering pula disalahpahami sebagai batas wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) paling utara. Padahal, batas
paling barat yang benar adalah Pulau Rondo, sedang batas pa-
ling utara adalah di Pulau Miangas. Untuk kasus Miangas,
anggapan ini tidak terlalu salah karena pulau ini memang berada
di Kabupaten Talaud. Sempat muncul kekhawatiran kalau
tragedi Sipadan– Ligitan akan terulang kembali. Walaupun
Filipina pada tahun 2003 sudah mengakui kedaulatan Indonesia
atas Pulau Miangas, namun akibat masih tumpang-tindihnya
klaim atas wilayah di kawasan ini, kekhawatiran tersebut
bukanlah tidak beralasan.
Buku Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan
Sangihe–Talaud–Sitaro ini ditulis oleh dua orang dengan latar
belakang berbeda yang diharapkan bisa memperkaya sudut
pandang penulisan buku ini. Winsulangi Salindeho adalah
seorang bupati sebuah daerah di kawasan perbatasan utara In-
donesia, sedangkan Pitres Sombowadile adalah seorang aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta seorang wartawan.
Pembahasan buku ini dimulai dengan pemaparan kondisi
geografis dan sejarah kawasan SaTaS dari masa Majapahit, masa
penjajahan kolonial, hingga masa pergerakan kemerdekaan.
Buku ini juga membahas mengenai flora dan fauna yang
menghuni kawasan tersebut. Kemudian, penulis menguraikan
segala macam potensi dan keterbatasan kawasan SaTaS, seperti
potensi perikanan, budaya bahari, sampai bahaya laten geologis
Daerah Perbatasan,
berupa ancaman gempa tektonik dan gunung berapi. Pada bab
selanjutnya, yang dapat disebut sebagi inti dari buku ini, penulis
menjelaskan mengenai ihwal masalah persengketaan per-
batasan antara Indonesia-Filipina, diikuti sedikit gambaran
singkat mengenai pasang-surut hubungan kedua negara,
terutama situasi masyarakat di daerah tersebut.
Buku Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan
Sangihe–Talaud–Sitaro membahas juga mengenai situasi dan
kondisi terkini yang tengah berlangsung di kawasan perbatasan
tersebut, khususnya menyangkut pergerakan orang dan barang,
baik yang legal maupun ilegal. Dari segi keamanan, buku ini
membahas masalah kejahatan transnasional, seperti pe-
nyelundupan senjata, perdagangan obat-obatan terlarang,
peredaran uang (dolar Amerika) palsu, trafficking (perdagangan
manusia), pembajakan kapal, dan terorisme. Masih menyangkut
keamanan dan pertahanan, tentu tak bisa dilepaskan dari isu
separatisme Bangsa Moro yang menuntut kemerdekaan di
selatan Filipina serta kondisi orang Sangil yang tersebar di daerah
tersebut, baik di Filipina maupun Indonesia. Penulis tak lupa
pula mengangkat isu kemiskinan yang dialami penduduk di
sekitar kawasan perbatasan.
Bagi yang tertarik pada studi mengenai kawasan perbatasan,
buku ini bisa sebagai bahan rujukan karena isinya cukup
komprehensif dan menggambarkan keadaan nyata di lapangan.
Suatu nilai lebih karena penulisnya merupakan orang yang
kesehariannya menggeluti langsung permasalahan di sana.
Beberapa data pendukung seperti tabel dan gambar turut
tersedia, meski sayangnya tidak semua gambar berwarna.
Semoga saja buku ini, sebagaimana harapan penulisnya, bisa
menjadi masukan berharga dalam usaha mengangkat dan
memperbaiki kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan,
terutama di SaTaS. (Wy)
Judul
PengarangImpressumKolasi
Keterbatasan, Pembatasan
: Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan: Kawasan Sangihe–Talaud–Sitaro
: Winsulangi Salindeho & Pitres Sombowadile: Jogja: FuSpAD, 2008: 272 hlm.; 27, 5 cm
Volume 38 • KIPRAH82
KARIKATURKARIKATUR
83KIPRAH • Volume 38
Volume 38 • KIPRAH84