Post on 24-Apr-2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tercurah atas segala nikmat yang telah dilimpahkan oleh
pemilik ilmu yang maha luas Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
Makalah , sebagai persyaratan untuk memenuhi kurikulum Tahun Akademik 2012/2013
dalam menyelesaikan Mata Kuliah Pengelolaan Industri Migas di Jurusan S1 Teknik
Perminyakan, STT Migas Balikpapan.
Begitu banyak rasa terima kasih yang ingin penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah berperan dan membantu penulis dalam penyelesain makalah ini, terutama
kepada :
1. Ibu Karmila, ST selaku dosen mata kuliah Pengelolaan Industri Migas STT Migas
Balikpapan
2. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan semangat dan perhatian.
3. Rekan-rekan kelompok dalam penyusunan makalah ini
Selanjutnya penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dan kreatif
demi kesempurnaan di dalam berbagai aspek dari makalah ini. Penulis juga memohon
maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan-kesalahan yang mungkin saja masih
terdapat dalam makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua rekan-rekan yang
membacanya.
Balikpapan, Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Pengertian Industri.................................................................. 1
2.2 Sejarah Perkembangan Industri MIGAS di Indonesia........... 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 2
2.1 Pengelolaan MIGAS di Indonesia Menurut
Kwik Kian Gie............................................................... 2
2.2 Opini – opini Mengenai Industri Migas di Indonesia............
BAB III PENUTUP...................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................
3.2 Saran.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Industri
Industri adalah bidang mata pencaharian yang menggunakan
ketrampilan dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan
penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya
sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai
selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang
berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan
pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri
semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya, dan politik.
1.2 Sejarah Perkembangan Industri MIGAS di Indonesia
Minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia mulai abad
pertengahan. Orang Aceh menggunakan minyak bumi untuk menyalakan bola
api saat memerangi armada Portugis. Perkembangan migas secara modern di
Indonesia dimulai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871, yaitu
di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan
Reerink. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan
akhirnya ditutup.
Penemuan sumber minyak yang pertama di Indonesia terjadi pada
tahun 1883 yaitu lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat
Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker. Penemuan
ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan
Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal
pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu
yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa
Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam
Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.
Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang
bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian dengan Shell
Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic
Petroleum Company atau Shell Petroleum Company. Pada tahun 1907
berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaituBataafsche Petroleum
Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat
suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian
diambil alih oleh B.P.M.
Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke
Indonesia. Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum
Petroleum Maatschappij atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai
cabang di Sumatera Selatan dengan nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche
Koloniale Petroleum Maatschappij) yang sesudah perang kemerdekaan
berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan ini menemukan lapangan
Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia
pada jaman itu.
Untuk menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda
mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan B.P.M.
yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan
berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T.
Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina.
Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaituStandard
Oil of California dan Texaco. Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini
membentuk N.V.N.P.P.M (Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan
menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific Indonesia,sekarang P.T. Chevron
Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan eksplorasi besar-besaran di
Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan lapangan Sebangga
disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri. Di daerah
konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan lapangan
raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.
Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian
Jaya dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M.
yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij)
dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil
ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian,
Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya
diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh
Pertamina tahun 1965.
Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950
terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada
tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun
1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian
menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma
menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi
P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa
Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang
menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti
dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan
kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi
sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan
dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada
tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan
bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan
P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor
dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.
Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat
maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan
kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung
menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak
nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi
nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu
ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina. Kini perusahaan
minyak kebanggaan kita ini tengah berbenah diri menuju perusahaan bertaraf
internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengelolaan MIGAS di Indonesia Menurut Kwik Kian Gie
Pengelolaan MIGAS berbeda dengan pengelolaan barang konsumsi
lainnya. MIGAS dikategorikan sebagai apa yang disebut dengan non-
renewable resources. Artinya, sekali kita manfaatkan maka hanya sekali itu
kita dapat memanfaatkannya dan persediaan (stock) MIGAS langsung
berkurang. Selain itu MIGAS merupakan sumber energi utama dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pengelolaan MIGAS harus benar-
benar dipikirkan secara matang serta dilakukan secara bijaksana. Pengelolaan
yang gegabah akan sangat merugikan upaya-upaya penyediaan energi yang
berkesinambungan dimasa depan serta mengurangi upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat banyak.
Menurut Kwik Kian Gie ada empat hal pokok yang harus diperhatikan
dalam pengelolaan MIGAS untuk kemakmuran rakyat. Pertama, adalah
kesinambungan ketersediaan MIGAS. Kedua, adalah bagaimana negara dapat
memperoleh pemasukan yang sebesar-besarnya dari keberadaan MIGAS.
Dalam bahasa ekonominya bagaimana kita memperoleh rent dari adanya
MIGAS ini. Ketiga, adalah bagaimana kita mendistribusikan pemasukan dari
MIGAS dengan sebaik-baiknya kepada rakyat. Keempat, adalah penyediaan
BBM dengan kualitas dan harga yang terbaik bagi masyarakat.
Kesinambungan Ketersediaan MIGAS
Strategi ketersediaan BBM sangat tergantung dari apakah suatu negara
merupakan penghasil MIGAS atau bukan. Kebetulan Indonesia termasuk
negara dengan cadangan MIGAS yang cukup besar. Kesinambungan
ketersediaan MIGAS bagi negara penghasil minyak seperti Indonesia
diartikan sebagai upaya terus-menerus untuk menemukan cadangan baru.
Walaupun MIGAS adalah non- renewable resources tapi jumlahnya cukup
banyak yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dua
tahun terakhir ini produksi minyak mentah Indonesia terus menurun
sedangkan kebutuhannya meningkat terus. Hal ini sangat mengkhawatirkan
mengingat MIGAS merupakan sumber utama bagi energi di Indonesia.
Dengan demikian tugas utama kiata adalah mendorong berbagai upaya
investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi MIGAS. Untuk itu perlu dicari
suatu terobosan baru agar pelaku ekonomi baik itu berasal dari dalam negeri
ataupun luar negeri diberikan iklim yang baik agar mereka berkeinginan
untuk menggeluti bisnis MIGAS mengingat bisnis ini beresiko tinggi serta
membutuhkan modal yang besar.
Sayangnya terlihat adanya terobosan baru dalam hal pengelolaan
MIGAS terutama disektor hulu. Dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi, perubahan yang terlihat nyata dalam pengelolaan
MIGAS hulu hanyalah perubahan pemegang kuasa pertambangan dari
Pertamina kembali kepada Pemerintah yang diwakili oleh Badan Pelaksana
MIGAS. Apakah hanya dengan perubahan seperti ini terjadi perubahan yang
berarti dalam aturan main MIGAS hulu sehingga dapat menarik pelaku usaha
untuk terjun ke bisnis hulu? Aturan Kontrak Production Sharing (KPS) yang
selama ini diberlakukan merupakan pengelolaan yang berhasil dan diakui
pula secara internasional. Namun, melihat turunnya produksi minyak kita
diperlukan suatu terobosan baru. Terobosan baru dalam berbagai aturan main
seperti aturan main yang berkatan dengan pajak, pengelolaan lahan, kejelasan
mengenai community development dan lain sebagainya sangat diperlukan bila
kita menginginkan kesinambungan dalam menemukan cadangan MIGAS.
Selain itu upaya untuk terus mendorong pelaku ekonomi dalam negeri
untuk berkiprah dalam usaha hulu harus terus diperkuat. Sebagai negara
penghasil minyak, sangatlah memalukan kalau minyak mentah yang
diproduksi oleh perusahaan domestik tidak mencapai 10 % dari keseluruhan
produksi.
Bagi negara-negara bukan penghasil MIGAS seperti Philipina
misalnya, maka kesinambungan ketersediaan migas dilakukan melalui
membuka pintu seluas-luasnya bagi peran pelaku ekonomi untuk dapat
memperoleh minyak mentah dan BBM termasuk melalui kemudahan impor.
Memperoleh Sebanyak Mungkin Pemasukan MIGAS
Dalam pasal 33 ayat 3, Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan secara
tegas bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dengan demikian jelas bahwa minyak dan gas bumi yang terkandung
dalam bumi pertiwi Indonesia merupakan milik negara. Hal ini berbeda,
misalnya, dengan kepemilikan minyak di Amerika Serikat yang dapat
menjadi milik perorangan. Rupanya sudah sejak awal pendiri bangsa ini
menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber
daya alam dan sangat menyadari bahwa kekayaan alam ini harus digunakan
bagi kemajuan rakyatnya.
Melihat praktek yang dijalankan selama ini memang arahnya sudah
tepat bahwa negara melalui PERTAMINA ingin mengambil seluruh rent dari
keberadaan MIGAS dengan menjualnya dengan harga yang setinggi-
tingginya. Namun lama-kelamaan timbul conflict of interest antara
PERTAMINA sebagai pemegang kuasa pertambangan dan PERTAMINA
sebagai perusahaan yang bergerak di bidang MIGAS. Dengan demikian arah
UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi sudah benar dalam
mengembalikan kuasa pertambangan kepada Pemerintah melalui Badan
Pelaksana MIGAS. Dengan demikian negara sebagai pemegang kuasa
pertambangan dapat secara langsung menerima hasil MIGAS tanpa melalui
perantara lagi, apalagi bila perantaranya juga bergerak dalam usaha MIGAS.
Dengan demikian PERTAMINA dapat berkonsentrasi pada kegiatannya
sebagai pelaku usaha MIGAS.
Bentuk KPS seperti yang telah dijalankan selama ini memang terbukti
dapat menarik minat investor. Namun demikian perlu dipikirkan berbagai
kontrak kerjasama yang dapat memberikan pemasukan MIGAS yang lebih
besar lagi. Salah satu kelemahan dari KPS ini adalah adanya apa yang disebut
dengan cost recovery. Memang harus diakui bahwa eksplorasi minyak selain
membutuhkan modal yang kuat dan teknologi yang tinggi, juga mempunyai
resiko yang tinggi. Dalam pelaksanaannya selama ini bila tidak ditemukan
cadangan minyak maka segala biaya ditanggung oleh kontraktor tersebut dan
negara tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Namun demikian bila
ditemukan cadangan minyak yang memadai maka segala biaya eksplorasi dan
eksploitasi dibebankan kepada negara. Disinilah dapat timbul inefisiensi
karena tidak terdapat insentif untuk melakukan produksi dengan biaya yang
sekecil-kecilnya. Penggunaan cara cost recovery membutuhkan tim audit
yang sangat ketat dan jujur. Seperti diketahui kejujuran dan integritas
sangatlah minim di negeri kita pada saat ini. Kwik selalu menekankan bahwa
korupsi ini sudah merasuk sampai ketulang bangsa ini. Membenahi mental
korup ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga untuk jangka pendek
perlu dipikirkan apakah ada cara lain yang tidak perlu menggunakan cara cost
recovery. Perlu dipikirkan apakah ada cara lain seperti pengenaan royalti
yang pada intinya mencari suatu cara untuk dapat menekan biaya sehingga
meningkatkan pemasukan negara dari MIGAS.
Mendistribusikan Hasil MIGAS Kepada Rakyat
Dengan adanya penerimaan MIGAS seperti yang telah saya uraikan di
atas maka langkah berikutnya adalah bagaimana mendistribusikan atau
menggunakan hasil MIGAS tadi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Dengan adanya hasil MIGAS tadi maka Pemerintah lebih leluasa dalam
melakukan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil
MIGAS tadi dapat secara langsung digunakan dalam rangka pembangungan
pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana, serta berbagai kegiatan
pembangunan lainnya yang bertujuan meningkatkan kemakmuran rakyat
banyak termasuk pemberian berbagai subsidi.
Pemberian subsidi termasuk pemberian subsidi BBM merupakan
keputusan politik suatu bangsa yang bertujuan untuk mengurangi beban
kehidupan. Dengan demikian pemberian subsidi BBM sebenarnya sah-sah
saja. Yang menjadi persoalan adalah bila pemberian subsidi dinikmati pula
oleh kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak pantas menerima subsidi.
Selain itu pemberian subsidi secara keseluruhan seperti yang diberikan
kepada BBM dapat menimbulkan kekeliruan dalam alokasi sumber daya.
Lebih rumit lagi adalah bagaimana menghitung besarnya subsidi yang
harus dibayarkan Pemerintah kepada PERTAMINA setiap tahunnya. Cara
yang digunakan selama ini adalah PERTAMINA ditunjuk sebagai satu-
satunya perusahaan yang ditugaskan oleh Pemerintah dalam penyediaan
BBM. Kemudian penugasan penyediaan BBM ini diberikan kepada
PERTAMINA dengan menganut azas zero profit atau nirlaba. Sekilas
sepertinya PERTAMINA melakukan tugas yang sangat mulia tanpa berupaya
memperoleh laba. Namun demikian lama kelamaan cara ini menimbulkan
berbagai ketidak efisienan karena PERTAMINA yang seharusnya beroperasi
secara nirlaba pada praktiknya memperoleh penggantian seluruh biaya
operasi dari Pemerintah untuk kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan
BBM. Dengan demikian tidak ada insentif bagi PERTAMINA untuk
melakukan kegiatannya secara best practice. Terlebih lagi dengan adanya apa
yang disebut dengan retensi dan fee maka semakin tidak terdapat insentif
untuk bekerja secara efisien.
Belum lagi kalau kita mengamati siapa pelaku dalam penentuan
besarnya subsidi yang harus dibayarkan kepada PERTAMINA. Selama ini
setiap tahun PERTAMINA diaudit oleh BPKP dan berdasarkan hasil audit ini
dilakukan negosiasi dengan pihak Departemen Keuangan untuk menentukan
besarnya subsidi. Sudah dapat diduga dengan keadaan negara kita yang tidak
pernah lepas dari korupsi maka ketidak efisienan terus berlangsung dan
makin hari makin besar. Untuk itu upaya pengurangan subsidi BBM harus
terus dilakukan. Kelemahan kita adalah kita sering tidak mempunyai program
yang jelas mengenai tahapan pengurangan subsidi ini. Pengurangan subsidi
berpotensi menimbulkan gejolak dalam masyarakat dengan demikian harus
didahului dengan persiapan yang matang.
Dari uraian di atas maka secara tersirat bahwa mendistribusikan hasil
penerimaan MIGAS melalui subsidi BBM bukanlah hal yang seratus persen
tepat karena maksud yang sangat baik dari Pemerintah pada praktiknya
disalah gunakan dan menjadi sumber ketidakefisienan yang menyebabkan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi tersendat.
Penyediaan BBM Bagi Masyarakat
Tugas Pemerintah selanjutnya adalah memfasilitasi penyediaan BBM
bagi masyarakat luas. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
memungkinkan masuknya pemain baru dalam usaha hilir atau penyediaan
BBM. Selama ini penyediaan BBM dimonopoli oleh PERTAMINA. Sekali
lagi monopoli yang maksudnya untuk menyediakan BBM dengan kualitas
memadai dan harga yang terjangkau, pada praktiknya menjadi tidak tercapai.
Harga BBM yang lebih murah di dalam negeri selama ini adalah akibat
subsidi Pemerintah dan bukan oleh karena peningkatan efisiensi
PERTAMINA.
Dengan demikian sudah tepat amanat dari UU No.: 22 Tahun 2001
yang memungkinkan adanya pemain baru selain PERTAMINA dalam
penyediaan BBM di dalam negeri. Satu-satunya cara terbaik bila kita
menginginkan masyarakat memperoleh BBM dengan harga terjangkau
dengan kualitas yang baik adalah melalui persaingan antara pelaku industri
hilir. Teori dalam konteks negara maju menyatakan bahwa pemerintah
sebaiknya hanya ikut campur bila terjadi market failure yang biasanya adalah
penyediaan barang publik, eksternalitas, serta adanya fenomena natural
monopoly. Dengan demikian bila dalam usaha BBM tidak terjadi market
failure maka sebaiknya pemerintah tidak perlu ikut campur apalagi sampai
ikut dalam proses produksinya.
Namun demikian pelepasan hak monopoli PERTAMINA tidak diikuti
dengan persiapan yang matang. Persiapan yang kurang matang tersebut dapat
di kategorikan ke dalam dua hal. Pertama adalah minimnya upaya persiapan
oleh PERTAMINA sendiri agar dapat bersaing dengan pemain baru.
PERTAMINA masih melakukan business as usual tanpa terlihat adanya
upaya yang serius dalam meningkatkan daya saingnya. Bagaimanapun kita
menginginkan agar PERTAMINA dapat terus berkiprah walaupun banyak
pemain baru akan masuk. Kedua adalah persiapan dari sisi aturan mainnya.
Indonesia terdiri dari berbagai pulau yang tingkat kemakmurannya tidak
merata. Memang betul kalau di Pulau Jawa, apa lagi di Jakarta, barangkali
Pemerintah tidak perlu ikut campur dalam penyediaan BBM, tetapi
bagaimana dengan daerah terpencil yang sulit transportasinya maka sudah
dapat dipastikan akan terjadi kesulitan dalam penyediaan BBM untuk daerah
tersebut.
2.2 Opini-Opini Mengenai Industri MIGAS di Indonesia
Migas Indonesia dibawah UU No. 22 Tahun 2001
Peraturan sektor migas di Indonesia saat ini memakai Undang-undang
no.22 tahun 2001 atau biasa disebut UU Migas. Sampai saat ini, undang-
undang tersebut masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat karena
dinilai amat pro-liberalisasi yang tidak menjamin pasokan BBM dan gas bumi
dalam negeri. Meskipun peraturan ini resmi disahkan pada tahun 2001,
belakangan kembali ramai terdengar isu merevisi undang-undang tersebut dan
ini dinilai sebagai agenda mendesak mengingat jika keadaan dibiarkan seperti
sekarang, Indonesia rentan terkena krisis energi. Substansi dalam UU tersebut
yang dinilai tidak melindungi kepentingan nasional, malah menjadi tonggak
liberalisasi dan privatisasi sektor migas di indonesia karena UU ini dianggap
telah mengebiri hak monopoli perusahaan negara, namun di sisi lain
menciptakan sistem birokrasi yang rumit bagi investor.
UU Migas tidak Investor Friendly
UU Migas di sisi lain dianggap tidak investor friendly. Hal ini
disebabkan adanya berbagai jenis pungutan sebelum eksplorasi,retribusi,dan
pajak yang memberatkan investorkarena proses birokrasi yang berbelit-belit.
Kurang lebih jalurnya sebagai berikut: investor – Dirjen Migas – BP Migas –
Bea Cukai – Pemda – Pemboran sumur. Saat UU No. 8 tahun 1971 proses
birokrasinya seperti ini: investor – Pertamina – Pemboran sumur. Alhasil
sedikit investor yang bersedia menanam modal di RI.Ini membuat produksi
migas sulit ditingkatkan ditengah angka konsumsi migas yang semakin tinggi.
Kebijakan dan Relasi Korporat
Jika ada orang berkata bahwa kepentingan bisnis dan politik itu amat
dekat, itu benar, terutama dalam industri migas. Bahkan beberapa kali kita
menyaksikan perang demi penguasaan black gold. Amati sejarah Iran, dimana
saat itu Iran dipimpin oleh seorang nasionalis bernama Mossadeq yang berniat
menasionalisasi AIOC (sekarang Beyond Petroleum-Inggris).Maka inggris
membawa isu ke AS bahwa Mossadeq akan membawa Iran dekat dengan
komunisme , maka disusunlah sebuah makar yang melibatkan Shah Reza
Pahlevi dan militer, yang pada akhirnya membawa Reza Pahlevi, pemimpin
yang sangat pro-Barat ke tampuk kekuasaan. BP pun dapat langgeng bercokol
di Iran. Atau kita lihat di negeri kita sendiri, pada masa kolonial di akhir abad
19, semula pemerintah kolonial melarang perusahaan pertambangan partikelir
untuk beroperasi di Hindia-Belanda namun karena desakan saudara Raja
William II ,seorang pengusaha,untuk membuka lahan investasi, akhirnya
Raja mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan partikelir beroperasi.
Demikian pula dengan UU Migas , UU tersebut ruhnya dibentuk oleh
IMF, yang disokong oleh perusahaan-perusahaan minyak yang besar
kepentingan asing. Jelas ini tertuang dalam Letter of Intent Indonesia dengan
IMF maka jangan heran jika perusahaan migas asing makin bercokol di Tanah
Air (meslipun tidak investor friendly karena ribet dan banyak pungutan).
Bukankah investasi yang sarat resiko biasanya hanya mampu dilakukan
perusahaan besar?
Menyamakan kedudukan perusahaan negara dengan perusahaan asing
akan mendorong persaingan. Secara teoritis memberikan kesempatan sama
kepada setiap orang untuk berkompetisi dan memperbaiki diri. Ini logika
kapitalisme. Namun, kenyataaannya setiap orang/badan usaha berangkat dari
titik yang berbeda. Sebagai contoh, seorang pengusaha besar menjual
produknya dengan harga yang lebih rendah dari harga pokoknya. Dia merugi
awalnya. Akan tetapi, kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah
menumpuk. Harga ini membuat pesaingnya –yang modalnya kurang kuat- rugi
dan bangkrut. Setelah pesaingnya bangkrut ia akan memimpin pasar dan
menaikan harga jual lebih tinggi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Industri adalah bidang mata pencaharian yang menggunakan ketrampilan
dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat
di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya sebagai dasarnya.
2. Dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, perubahan
yang terlihat nyata dalam pengelolaan MIGAS hulu hanyalah perubahan
pemegang kuasa pertambangan dari Pertamina kembali kepada Pemerintah
yang diwakili oleh Badan Pelaksana MIGAS.
3. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi memungkinkan
masuknya pemain baru dalam usaha hilir atau penyediaan BBM.
4. UU Migas di sisi lain dianggap tidak investor friendly. Hal ini disebabkan
adanya berbagai jenis pungutan sebelum eksplorasi,retribusi,dan pajak
yang memberatkan investor karena proses birokrasi yang berbelit-belit.
3.2 Saran
1. Agar para pembaca dapat memberi kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/ Industri
http://kampusganesha.com/2012/09/opini-energi-iv-tentang-uu-migas/
http://pertroleum.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-industri-migas.html