Post on 06-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor hati dapat berbentuk primer atau sekunder. Tumor hati primer dapat
berbentuk jinak atau ganas dan dapat timbul dari sel parenkim hati, epitel duktus
biliaris atau dari jaringan penunjang mesenkim atau bisa berasal lebih dari satu sel
tersebut. Tumor hati sekunder (metastase di hati) paling sering berasal dari metastase
tumor saluran cerna, mammae, atau paru (Putra, 2009).
Karsinoma hepatoselular (Hepatocellular Carcinoma = HCC) merupakan
tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, karsinoma fibrolamelar dan
hepatoblastoma. Tumor ganas hati lainnya, kolangiokarsinoma (Cholangiocarcinoma
= CC) dan sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel bilier, sedangkan angisarkoma
dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim. Seluruh tumor ganas hati yang pernah
didiagnosis, 85% merupakan HCC, 10% CC, dan 55 adalah jenis lainnya
(Budihussodo, 2006).
Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah
hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari
seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah
karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi (Singgih et
al., 2006).
Hepatoma dialami pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien
hepatoma menderita sirosis hati. Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien
dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik (Singgih et al.,
2006).
Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Virus
ini mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. Hepatoma
seringkali tak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang
mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Jika gejala tampak, biasanya sudah
1
stadium lanjut dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai bulan. Keluhan
yang paling sering adalah berkurangnya selera makan, penurunan berat badan, nyeri
di perut kanan atas dan mata tampak kuning (Singgih et al., 2006).
Gejala yang sulit terlihat membutuhkan diagnosa yang tepat melalui
pemeriksaan yaitu salah satunya pemeriksaan radiologi sehingga dapat dilakukan
modalitas terapi yang memberikan harapan untuk sekurang-kurangnya perbaikan
pada kualitas hidup penderita. Untuk itu, referat ini bertujuan mengetahui gambaran
radiologi pada hepatoma.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi Hepatoma
Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler adalah keganasan pada hepatosit
dimana stem sel hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya
proses fibrotik maupun proses kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini
berkembang di dalam hepar maupun ekstrahepatik seperti pada metastase jauh.
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang difus dan
sulit dibedakan dengan jaringan hati sekitar karena konsistensinya yang tidak dapat
dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat menganggu jalan dari saluran
empedu maupun menyebabkan hipertensi portal sehingga gejala klinis baru akan
terlihat setelah massa menjasi besar. Tanpa pengobatan agresif, hepatoma dapat
menyebabkan kematian dalam 6-20 bulan (Putra, 2009).
Ada 2 macam gambaran hepatoma yaitu bentuk nodular dengan gambaran
nodul tumor jelas, misalnya tumor yang tidak berbatas rata, atau difus. Hepatoma
bentuk difus ditandai dengan echopattern yang sangat kasat dan mengelompok
dengan batas tidak teratur dan bagian sentralnya lebih echogenik. Pembuluh darah
disekitarnya sering distorted. Seringkali para ultrasonografer yang tidak
berpengalaman membuat diagnosa sirosis pada hal diagnosa yang betul adalah sirosis
dan hepatoma difus. Gambaran hepatoma difus harus dibedakan dari gambaran fokal
fatty liver dimana ada gambaran echopattern yang kasar tetapi fokal.
2.2. Anatomi Hati
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang
lebih 2,5% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan
atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat
kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas
3
bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati
berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta
hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri
hepatika, vena porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kava
dan dibalik kandung empedu (Sudoyo, 2007).
Gambar 2.1 Anatomi Hepar
Hati bersifat lunak dan lentur dan menduduki regio hipokondrium kanan,
meluas sampai epigastrium. Sebagian besar hati terletak di bawah lipatan iga dan
rawan iga serta berhubungan dengan diafragma, yang memisahkannya dengan pleura,
paru, perikardium dan jantung. Permukaan atas hati yang cembung melengkung pada
permukaan bawah kubah diafragma. Permukaan postero-inferior atau permukaan
viseral membentuk cetakan visera yang berdekatan dan oleh karena itu bentuknya
tidak teratur; permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus,
lambung, duodenum, flexura coli dextra, ginjal kanan dan kelenjar suprarenalis, dan
kandung empedu (Snell, 1997).
4
Gambar 2.2 Anatomi Hepar Anterior dan Posterior
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya
perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran
kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan kandung
empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah
daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava
inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8
segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya, garis Cantlie yang terdapat
mulai dari vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus
fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relatif lebih sedikit,
kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen
didasarkan pada aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu oleh masing-
masing segmen (Sudoyo, 2007)
Porta hepatis, atau hilus hati ditemukan pada permukaan postero-inferior.
Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir-pinggirnya. Pada
tempat ini terdapat ductus hepatikus kanan dan kiri, cabang kanan dan kiri arteri
hepatica, vena porta dan serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Disini terdapat
beberapa kelenjar limfe hati; kelenjar ini mengalirkan cairan limfe hati dan kandung
5
empedu dan mengirimkan pembuluh eferennya ke nodi lymphatici coeliacus (Snell,
1997).
Pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hati adalah arteri hepatica (30%)
dan vena porta (70%). Arteri hepatica membawa darah teroksigenasi ke hati, sedang
vena porta membawa darah venosa yang kaya akan hasil pencernaan yang telah
diabsorpsi dari saluran pencernaan. Darah arterial dan darah venosa dimasukkan ke
vena centralis dari setiap lobulus hati melalui sinusoid hati. Vena centralis
mengalirkan darah ke vena hepatica kanan dan kiri, vena ini meninggalkan posterior
hati dan bermuara langsung ke vena cava inferior (Snell, 1997).
Hati menghasilkan banyak cairan limfe, sekitar sepertiga sampai separuh
cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan hati dan masuk ke sejumlah
kelenjar limfe dalam porta hepatis. Pembuluh eferen berjalan ke nodi lymphatici
coeliaca. Beberapa pembuluh berjalan dari area muda hati melalui diafhragma
menuju ke nodi lymphatici mediastinalias posterior. Saraf yang mempersarafi hati
berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis yang melewati plexus coeliacus. Truncus
vagus anterior mempercabangkan banyak rami hepatis yang berjalan langsung ke hati
(Snell, 1997).
Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli,
setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang
tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel hati terdapat kapiler
yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika.
Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain di
dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama peertahanan tubuh terhadap
serangan bakteri dan organ toksik. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri
hepatika yang mengelilingi bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu
yang membentuk kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan
diantara lembaran sel hati (Sudoyo, 2007).
6
2.3. Fisiologi Hati
Hati sangat penting dalam mempertahankan hidup dan berperan dalam hampir
setiap fungsi metabolik tubuh, dan terutama bertanggung jawab atas lebih dari 500
aktivitas berbeda. Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengeksresi empedu,
saluran empedu mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dam
mengeluarkan empedu ke dalam usus halus sesuai kebutuhan. Hati menyekresi sekitar
500 hingga 1000 ml empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air
(97%), elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutama lestin), kolesterol, garam
anorganik dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu
penting untuk pencernaaan dan absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah diproses
oleh bakteri dalam usus halus, sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di
ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi.
Bilirubin (pigmen empedu) adalah hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak
penting, namun merupakan petunjuk adanya penyakit hati dan saluran empedu yang
penting karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang kontak
dengannya (Price et al., 2006).
Hati berperan penting dalam metabolisme tiga makronutrien yang dihantarkan
oleh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat,
protein dan lemak. Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari glikogen ini disuplai glukosa
secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian
glukosa di metabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya di
ubah menjadi glikogen (yang disimpan didalam otot) atau lemak (yang disimpan
dalam jaringan subkutan). Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah
menghasilkan protein plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid), protrombin, fibrinogen dan faktor bekuan
lainya. Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein,
kolestrol, fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amiruddin, 2006).
7
2.4. Patofisiologi Hepatoma
Kerusakan hepar ditandai dengan hilangnya arsitektur lobular hepatik normal
dengan pembentukan fibrosis dan destruksi sel parenkim beserta regenerasinya
membentuk nodul-nodul. Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis. Hepar kemudian
merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang
mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam
membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk
kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hepar.
Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil
kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatosit, sel kupffer, dan
endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh
peningkatan kadar sitokin transforming growth factor beta 1 (TGF-beta1) ditemukan
pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian
mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya
ukuran hepar menyusut (Sujono, 2002).
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran
dari fenestra endotel hepatik menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel
kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi
yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal. Adanya kapilarisasi dan
kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di
hepar sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hepar dan pada akhirnya sel
hati mati, kematian hepatosit dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya
fungsi hepar yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari
vena pada hepar akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan
utama penyebab terjadinya manifestasi klinis. Pembebanan sistem portal ini
merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises)
(Sujono, 2002).
Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga
perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktivitas plasma rennin sehingga
8
aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan
elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi
retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan dan lama-kelamaan
menyebabkan asites dan juga edema (Sujono, 2002).
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan penyakit hati
menahun yang ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul dimana
terjadi pembengkakan hati. Etiologi sirosis hepatis ada yang diketahui penyebabnya,
misal dikarenakan alkohol, hepatitis virus. Patofisiologi sirosis hepatis sendiri
dimulai dengan proses peradangan, lalu nekrosis hati yang meluas yang akhirnya
menyebabkan pembentukan jaringan ikat yang disertai nodul (Sujono, 2002).
Gambar 2.3 Patogenesis Hepatoma
Proses sirosis terjadi pembentukan nodul-nodul di hepar, baik nodul
regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak
ada progresi yang khusus dari nodul-nodul diatas yang menuju kearah hepatoma
tetapi, pada nodul displastik didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel-sel yang
kecil meningkatkan proses pembentukan hepatoma. Sel-sel kecil ini disebut sebagai
stem cel dari hati. Sel-sel ini meregenrasi sel-sel hati yang rusak tetapi sel-sel ini
juga berkembang sendiri menjadi nodul-nodul yang ganas sebagai respons dari
9
adanya penyakit yang kronik yang disebabkan oleh infeksi virus. Nodul-nodul inilah
yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi hepatoma (Sujono, 2002).
2.5. Gambaran Radiologi pada Hepatoma
2.5.1. Ultrasonografi Abdomen
Ultrasonography (USG) merupakan salah satu imaging diagnostik
untuk memeriksa alat-alat tubuh, dimana kita dapat mempelajari bentuk, ukuran
anatomis, gerakan serta hubungan dengan jaringan sekitarnya (Suhaerni, 2010).
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein),
pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pemeriksaan setiap 3 bulan. Untuk tumor
kecil pada pasien dengan risiko tinggi, USG lebih sensitif daripada AFP serum
berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70-80%
(Budihussodo, 2006).
Secara umum pada USG sering ditemukan adanya hepar yang membesar,
permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intra hepatik dengan struktur echo
yang berbeda dengan parenkim hati normal. Biasanya menunjukkan struktur echo
yang lebih tinggi disertai nekrosis sentral berupa gambaran hypoechoic sampai
anechoic akibat adanya nekrosis, tepinya irregular. Yang sangat sulit adalah
menentukan hepatoma pada stadium awal di mana gambaran struktur eko yang masih
isoekoik dengan parenkim hati normal (Honda dkk, 2010).
Hal-hal yang penting yang harus dalam USG hati adalah:
1. Permukaan hati : Parameter ini menurut penelitian paling besar artinya.
Permukaan hati dapat bersifat :
• Rata (smooth)
• Tidak rata lagi (fine irrigular)
• Nodular
2. Tepi dari hati (liver edge) :
• Tajam rata (sharp smooth)
• Tajam tidak rata ( sharp irrigular)
10
• Tumpul rata ( blunt smooth)
• Tumpul tidak rata ( blunt irrigular)
3. Ukuran hati : Normal, membesar atau mengkerut.
4. Echolevel :
• Hypoechoic ( echo rendah ) atau sering disebut dark liver
• Isoecho (echo normal)
• Slight hyperechoic (echo agak meningkat)
• Hyperechoic (echo tinggi) sering juga disebut bright liver
Dark liver didapatkan pada hepatitis akut karena udema hati sehingga mudah
meneruskan gelombang suara
Hepatitis akut :
Permukaan rata
Hepar membesar
Tepi tajam
Echopattern menurun ( dark
liver)
Pembuluh darah terutama vena
porta dan cabangnya jelas dan
reflektif
Gambar 2.4 USG Hepatitis Akut (Dark Liver)
11
Brigth liver didapatkan pada fatty liver.
Gambar 2.5 USG Fatty liver (Bright Liver)
Fatty liver :
Permukaan rata
Tepi tajam atau sedikitn tumpul
Echopattern meningkat, diffuse
Hepar membesar & berbentuk
biconvex
Liver kidney contrast : positip
(bright lever)
Dinding pembuluh darah kabur
Fatty liver adalah adanya penumpukan lemak pada jaringan hati . Ada
beberapa penyebab fatty liver yaitu obesitas atau overweight, diabetes mellitus dan
alkoholisme. Walaupun tidak semua fatty liver itu bening tapi umumnya fatty liver
tidak membahayakan terutama pada obesitas.
Perubahan echolevel pada hati sering juga dinyatakan sebagai liver kidney
contrast. Liver kidney contrast adalah perbedaan echopattern hati dibandingkan
dengan ginjal:
• Positif : Parenkim hati lebih putih dibandingkan parenkim ginjal.
• Negatif : Echopattern antara ginjal dan berbeda.
5. Echopattern :
• Normal
• Kasar
• Diffuse atau homogen
• Heterogen
12
Gambar 2.6 USG Sirosis
Hati
Sirosis hati :
• Permukaan nodular
• Ehopattern meningkat, heterogen
• V.porta berkelok, ukuran
membesar
• Pada awal sirosis hepar membesar
• Pada sirosis berat ukuran hati
mengecil.
• Splenomegali mendukung sirosis
• Tanda-tanda hipertensi portal
misalnya v. porta melebar, dinding
kandung empedu menebal (edema
karena tekanan portal)
13
Gambar 2.7 Hepatoselular Karsinoma
Gambar 2.8 Hepatoma Nodular Gambar 2.9 Hepatoma Diffuse
Gambaran hepatoma nodular tumor jelas, misalnya tumor yang tidak berbatas
rata, atau difus. Hepatoma bentuk difus ditandai dengan echopattern yang sangat
kasat dan mengelompok dengan batas tidak teratur dan bagian sentralnya lebih
echogenik. Pembuluh darah disekitarnya sering distorted. Seringkali para
ultrasonografer yang tidak berpengalaman membuat diagnosa sirosis pada hal
diagnosa yang betul adalah sirosis dan hepatoma difus. Gambaran hepatoma difus
harus dibedakan dari gambaran fokal fatty liver dimana ada gambaran echopattern
yang kasar tetapi fokal.
Heptoma yang berukuran 3 cm atau kurang disebut : Hepatoma dini (Early),
bila ukuran lebih 3 cm disebut : Hepatoma lanjut (advanced). Hepatoma dini sering
kali bersifat hypoechoic sedang hepatoma lanjut biasanya hyperechoic atau multiple
echo yang menunjukkan nekrosis atau fibrosis dalam tumor. Kadang-kadang
hepatoma dini berbentuk seperti mata sapi ( bull’s eye ) (Hung, 2003).
14
Gambar 2.10 Kista Hepar
Kista Hepar:
1. Gambaran USG terlihat dengan ciri-ciri spesifik kista termasuk massa kolusen
dengan dinding tipis dan peningkatan transmisi.
2. Lesi yang menunjukkan ciri-ciri ini yang tidak membutuhkan evaluasi dengan
ciri-ciri khusus.
3. Kista yang berukuran kecil (<1 cm) mungkin sulit untuk diidentifikasi dengan
baik.
2.5.2. CT Scan (Computed Tomography Scanning)
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin penting untuk diagnosis lokasi
dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi
tempat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati, hubungannya dengan pembuluh darah
dan penentuan modalitas terapi (Honda dkk, 2010).
15
Gambar 2.11 MRI yang menunjukkan
tiga wilayah yang terpisah (ditunjukkan dengan panah) dari
metastasis hati
Gambar 2.12 CT Scan hepatoma
Gambar 2.13 CT Scan Multicentric Hepatoma
Massa single, multiple atau difus, terlihat gambaran:
o Lesi dengan kontras
yang lemah
o Perdarahan
o Lesi berupa lemak
o Nekrosis
o Kalsifikasi
o Kapsul atau lingkaran
hipodens
o Lebih terlihat jelas
dengan kontra
16
Gambaran hepatoma tersebut dapat melewati vena portal dan hepatika.
Gambar 2.14 Hepatoma dengan perdarahan
• NML adalah gambaran hepar dengan densitas normal. Tanda putih
menunjukan densitas liver dengan perdarahan (darah muncul berwarna putih
pada CT Scan).
• Tanda hitam meunjukan hepatoma, kalsifikasi tebal dalam tumor
• Tanda hitam dalam angiogram menunjukan hipervaskular
• Kepala panah memperjelas massa, tepi hepar berlobus. Hepar memiliki
densitas rendah dari pada limpa dan asites yang mengindetifikasikan sirosis.
Gambar 2.15 Kista Hepar
17
Tanda panah: tumor
Kepala panah: tumor melebar hingga vena portal
Vena Portal berdilatasi dengan tumor intraluminal. Vena portal dalam hepar
muncul gambaran berwarna hitam di CT Scan karena tidak diperkuat dengan
kontras.
Gambar 2.16 CT Scan Kista Hepar dengan kontras IV
Kista besar di lobus kanan pada hepar:
Oval, tidak terlihat gambaran yang baik atau dinding tebal dengan densitas
seperti air.
Tidak terlihat atau berdinding tebal
Gambaran dengan densitas seperti air
Tidak ditemukan peningkatan densitas:
o Kalsifikasi pada dinding
o Septa
Oval, berbatas tegas
2.5.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan teknik pemeriksaan non radiasi, tidak memakai kontras berisi
iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran empedu
dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan
18
hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka terapi. Dengan zat
kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil berukuran kurang dari 1
cm dengan angka keberhasilan 55% (Desen, 2008).
Gambar 2.17 MRI menunjukkan massa dengan intensitas lemah di T1 dan intensitas tinggi di T2
Massa single, multiple atau difus:
o T1 dengan gambaran yang lebih kuat
Heterogen, isointens hingga hiperintens
Perdarahan
Jaringan lemak
Nekrosis
kalsifikasi
o T2 dengan gambaran yang lebih kuat
Sangat hiperintens, mungkin isointens
o Invasi vaskular
o Peningkatan refleks vascular dan nekrosis
2.5.4. Angiografi Arteri Hepatica
19
Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri
femoralis untuk membuat angiografi organ dalam. Kini angiografi arteri hepatika
selektif atau supraselektif sudah menjadi salah satu metode penting dalam diagnosis
hepatoma. Namun karena metode ini tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri
dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik. Angiografi dilakukan melalui melalui
arteri hepatica (Desen, 2008; Rasyid, 2006).
Gambar 2.18 Angiografi
2.5.5. Pemeriksaan Skintigrafi (Scanning)
Skintigrafi hati sering dipakai untuk mendeteksi kelainan hati. Teknik ini
merupakan pemeriksaan hati yang sederhana, mudah, dan noninvasif. Visualisasi hati
melalui pemeriksaan ini bergantung pada proses fisiologis dimana sel-sel poligonal
(60%) yang mampu menangkap secara selektif dan mengeluarkan kembali
radiofarmaka ke dalam darah umumnya kelainan lokal. Baik yang jinak ataupun yang
ganas akan tampak sebagai suatu daerah kosong (Space Occupying Lesion = SOL)
karena kelainan tersebut tidak menyerap radiofarmaka dan disebut daerah dingin.
(Takayasu dkk, 1990; Fretz dkk, 1990).
Nilai diagnostik skintigrafi terbatas karena:
1. Tidak dapat mendeteksi kelainan dengan diameter < 2 cm.
2. Interprestasi sering tidak tepat karena variasi ukuran, bentuk, dan posisi hati.
20
3. Sukar untuk menilai kelainan hati pada vena porta.
4. Adanya SOL belum menentukan jenis kelainannya.
Untuk membedakan apakah penyebab SOL suatu proses jinak atau ganas
maka skintigrafi dapat dilanjutkan dengan 75 Se seleno metionin yang dapat diserap
sel hati normal dan karsinoma hepatoseluler (Takayasu dkk, 1990; Fretz dkk, 1990).
Gambar 2.19 Gambar Tc-99m RBC planar menunjukkan massa di lobus kiri dengan
perfusi/aliran darah dengan pola yang tidak seimbang dan terjadi peningkatan
aktivitas aliran darah dibandingkan gambar sebelumnya, merupakan tipikal dari liver
hemangioma.
21
BAB III
KESIMPULAN
Hati merupakan organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 2,5% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks.
Fungsi utama hati adalah membentuk dan mengekresi empedu, saluran empedu
mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dam mengeluarkan
empedu kedalam usus halus sesuai kebutuhan.
Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler menunjukkan keganasan pada
hepatosit dimana stem sel hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh
adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari hati (sirosis).
Hepatoma dialami pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien
hepatoma menderita sirosis hati. Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien
dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk melihat gambaran hepatoma
adalah dengan menggunakan USG abdomen, CT scan, MRI, dan angiografi arteri
hepatica.
22
DAFTAR PUSTAKA
Budihussodo, Unggul. 2006. Karsinoma Hati . Editor: Aru W. Suyono dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Desen, Wan. 2008. Tumor Abdomen. Dalam Buku Ajar Onkologi Klinik edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Honda, Hiroshi, dkk. Differential Diagnosis of Hepatic Tumors (Hepatoma, Hemangioma, and Metastasis) with CT. Diakses dari http://www.ajronline.org/cgi/reprint/159/4/735.pdf10.
Hung CH, Lu SN, Wang JH, Lee CM, Chen TM, Tung HD, Chen CH, Huang WS and Changchien CS. Correlation between ultrasonographc and pathologic diagnoses of hepatitis B and C virus –related cirrhosis. Journal of Gastroenterology 2003; 38: 153-157.
Price Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Pennyakit Edisi6 Volume 1, Jakarta : Buku Kedokteran EGC.2006.p.476.
Putra, RS. 2009. Hepatoma. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/47878457/referat-hepatoma-lily .
Rasyid, Abdul. 2006. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma). Diakses dari http://www.repository.usu.ac.id/bitstream.pdf 6.
Rasyid, Abdul. 2006. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini Pengobatan Kanker Hati Primer. Diakses dari http://www. emed i c ine. c om .
Singgih B, Datau EA., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal . Diakses dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/08_150_HepatomaHepatorenal.htm.
Snell, Richard S. 1997. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC: Jakarta
23
Sudoyo AW. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Suhaerni, erni. 2010. Pemeriksaan Ultrasonographi Pada Pasien Dengan Suspect Hepatoma. Diakses dari http://www.fkumyecase.net Suspect+Hepatoma.
Sujono, Hadi. (2002). Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi. Ed ke-7.
Bandung.
24