Post on 15-Oct-2021
1
Formulasi, Pengaruh Silikon Terhadap Penetrasi Secara In Vitro Menggunakan Sel
Difusi Franz dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Emulgel Niasinamida
Diar S. H. Sukandi
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424
E-mail: nyndiar@gmail.com
Abstrak
Niasinamida merupakan vitamin yang larut di dalam air dikenal sebagai vitamin B3 dan telah digunakan untuk mengobati beberapa jenis permasalahan pada kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi emulgel yang menggunakan silikon untuk membandingkan daya penetrasi secara in vitro antara emulgel dengan silikon dan tanpa penambahan silikon serta uji stabilitas fisik sediaan. Semua formulasi di uji daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus betina galur Sprague dawley. Jumlah kumulatif niasinamida yang terpenetrasi dari emulgel yang tidak mengandung silikon (F1) adalah 2028,8 ± 64,3 µg/cm2 sedangkan emulgel yang mengandung silikon secara berturut turut (F2-dimetikon dan F3-siklometikon) adalah 4662,4 ± 11,4 µg/cm2 dan 2679,45 ± 9,3 µg/cm2. Nilai fluks berturut-turut F1, F2, dan F3 adalah 253,6 ± 8,0 µg/cm2jam, 582,7 ± 1,4 µg/cm2jam, dan 334,93 ± 1,2 µg/cm2jam. Serta nilai % kumulatif terpenetrasi berturut-turut sebesar 8,89 ± 0,28 %, 17,95 ± 0,04 %, dan 11,83 ± 0,04 %. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya silikon terbukti dapat meningkatkan penetrasi emulgel niasinamida dan ketiga formulasi menunjukan kestabilitan fisik yang baik.
Abstract
Osteoarthritis is a degenerative disease characterized by chronic inflammation in the joints. Based on previous research, pearl grass has anti-inflammatory effects in the practice of herbal medicine, but doesn’t have a lot of data to support. This study aimed to analyze the preventive and curative effects of the 70% ethanolic extract of pearl grass on the immune system characterized by decreasing number of leukocytes, lymphocytes and granulocytes. This study is divided into two stages, there are making rat model of osteoarthritis, and analyze the effect preventive and curative extract of pearl grass on the immune system. This study used 30 male white Sprague Dawley rats were divided into 6 groups. The normal group was given 0,5% CMC, the negative group was given 0,025 mL of monosodium iodoacetate in 0,9% saline, positive group was given suspension of glucosamine chondroitin 520 mg/200 g BW for preventive and 780 mg/200 g BW for curative. The dose variation was given 70% ethanolic extract of pearl grass with 3 dose variation 5,62 mg/ 200 g BW; 11,25 mg/ 200 g BW; and 22,5 mg/ 200 g BW. All groups were induced by 0,025 mL of monosodium iodoacetate except normal group. The test material is given orally once daily on days 1 to 50 in preventive , and given on days 29 to 50 are curative. Measurement of the number of leukocytes, lymphocytes and granulocytes counted on day 14, 28 and 49. The best results showed that the effect preventive (dose 2 = 11,25 mg / 200 g BW) and curative (dose 1 = 5,62 mg / 200 g BW) extract of pearl grass were able to decrease the number of leukocytes and lymphocytes significantly.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
2
Pendahuluan
Niasinamida adalah vitamin yang larut dalam air, juga dikenal sebagai vitamin B3.
Niasinamida telah terbukti efektif dalam pengobatan pada hiperpigmentasi kulit. Dalam uji
klinis, pelembab yang mengandung 5% niasinamida dapat mengahmbat 35-68% transfer
melanosom dari melanosit ke keratinosit, hal ini membuktikan bahwa niasinamida dapat
menjadi agen pencerah kulit yang efektif (Hakozaki T, et.al, 2002). Selain itu, niasinamida
juga dapat berfungsi sebagai antijerawat dengan efek antiinflamasi yang kuat. Dalam salah
satu penelitian, 4% gel niasinamida topikal mampu untuk pengobatan jerawat vulgaris ringan
dan sedang. Mengurangi peradangan merupakan mekanisme utama pengobatan antijerawat.
Kajian yang lebih mutakhir telah mencatat bahwa niasinamida secara topikal sangat baik
ditoleransi oleh kulit wajah serta memberikan beberapa efek yang bermanfaat seperti
mengurangi produksi sebum (Önder, 2008). Koefisien partisi dari niasinamida adalah 1,82
dengan begitu penetrasi niasinamida tidak terlalu baik (Del & Levin, 2010). Jalur penetrasi
yang digunakan oleh zat aktif hidrofilik yaitu transappeandageal dan transepidermal
transeluler, untuk meningkatkan penetrasi niasinamida diperlukan suatu penmabah zat
tambahan lipofilik seperti silikon sehingga niasinamida dapat berpenetrasi melewati jalur
transepidermal interseluler.
Silikon seperti siklometikon dan dimetikon merupakan satu-satunya polimer organik /
anorganik yang telah dikomersialkan secara luas. Secara historis, silikon merupakan sebuah
cairan pembawa yang bersifat lipofilik. Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa silikon
sangat substantif pada kulit dan dapat meningkatkan penetrasi dari zat aktif. Formulasi
topikal dengan penambahan silikon dalam emulsi terbukti mampu mempertahankan zat aktif
kontak dengan kulit dan mencegah hilangnya zat aktif karena proses abrasi (Séné et al.,
2002).
Dipilihlah bentuk sediaan yang agak lipofilik dengan emulsi yang menggunakan zat
tambahan silikon yaitu emulgel, dimana basis gel dapat menghidrasi kulit dan emulsi yang
bersifat lipofilik untuk meningkatkan penetrasi. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian
tentang silikon seperti siklometikon dan dimetikon dengan menggunakan zat aktif
niasinamida yang sifatnya hidrofilik dalam bentuk sediaan emulgel. Penelitian ini akan
menguji daya penetrasi dari sediaan emulgel niasinamida menggunakan sel difusi Franz
dikarenakan silikon dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi sehingga dapat
meningkatkan efek terapetik yang diharapkan dari niasinamida yang bermanfaat untuk
berbagai permasalahan pada kulit.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
3
Tinjauan Pustaka
a. Niasinamida (Vitamin B3)
Niasinamida berupa serbuk kristal putih dan tidak berbau. Larut dalam 1 : 1,5 air, 1 :
10 air mendidih, 1 : 5,5 dalam alkohol dehidrasi, dan larut dalam gliserol. Vitamin ini sangat
stabil terhadap panas, cahaya, dan udara (Draelos, 2010). Niasinamida adalah bentuk asam
amida piridin-3-karboksilat dari niasin, komponen dari vitamin B kompleks (Önder, 2008).
Niasinamida telah terbukti efektif dalam pengobatan pada hiperpigmentasi kulit. Dalam uji
klinis, pelembab yang mengandung 5% niasinamida dapat mengahmbat 35-68% transfer
melanosom dari melanosit ke keratinosit, hal ini membukti bahwa niasinamida dapat menjadi
agen pencerah kulit yang efektif (Hakozaki T, et.al, 2002).
Niasinamida baru membuktikan dapat berfungsi sebagai antijerawat dengan efek
antiinflamasi yang kuat. Dalam salah satu penelitian, 4% gel niasinamida topikal untuk
pengobatan jerawat vulgaris ringan dan sedang terbukti mampu mengobati jerawat.
Mengurangi peradangan merupakan mekanisme utama pengobatan antijerawat. Kajian yang
lebih mutakhir telah mencatat bahwa niasinamida secara topikal sangat baik ditoleransi oleh
kulit wajah serta memberikan beberapa efek yang bermanfaat seperti mengurangi produksi
sebum (Önder, 2008).
[Sumber: Departemen Kesehatan, 1995]
Rumus struktur niasinamida
b. Emulgel
Kombinasi antara gel dan emulsi merupakan bentuk sediaan yang disebut sebagai
emulgel. Emulgel adalah emulsi, baik dalam fase oil-in-water maupun water-in-oil, yang
dicampur dengan agen pembentuk gel. Bahkan, adanya agen pembentuk gel dalam fase air
dapat mengkonversi emulsi biasa menjadi emulgel (Rieger, 1986; Mohamed, 2004). Dibuat
sediaan emulgel dikarenakan sifat dari zat aktif yang digunakan hidrofilik dan memiliki
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
4
penetrasi yang kurang baik sehingga dibuat sediaan agak lipofilik seperti emulgel dengan
penggunaan emulsi oil-in water menggunakan zat tambahan silikon.
c. Silikon
Silikon seperti siklometikon dan dimetikon merupakan satu-satunya polimer organik /
anorganik yang telah dikomersialkan secara luas. Secara historis, silikon merupakan sebuah
cairan pembawa yang bersifat lipofilik (Somasundaran, 2006). Pada sebuah penelitian
menunjukkan bahwa silikon sangat substantif pada kulit dan dapat meningkatkan penetrasi
dari zat aktif. Formulasi topikal dengan penambahan silikon dalam emulsi terbukti mampu
mempertahankan zat aktif kontak dengan kulit dan mencegah hilangnya zat aktif karena
proses abrasi (Séné et al., 2002).
Penyesuaian pengobatan dan bioavailabilitas merupakan hal yang sangat penting di
industri farmasi. Penyesuaian pengobatan yang biasanya dikarenakan karena estetika dari
formulasi topikal sehingga mengurangi kenyamanan pada pasien. Bioavailabilitas merupakan
hal yang sangat penting dalam sebuah industri. Silikon, memiliki sifat fisikokimia yang unik,
yaitu dapat membantu mencapai bioavailabilitas yang lebih tinggi dan dengan demikian
menjadikan pembawa yang efisien dalam sistem penetrasi obat dalam formulasi topikal (Séné
et al., 2002). Kelebihan dari silikon lainnya yaitu fleksibel, menurunkan resistensi
penghalang sawar kulit, biokompatibel (non-sensitif dan non-iritatif), memiliki daya adhesi
yang optimum, mudah diolah (Séné et al., 2002).
Metode Penelitian
a. Tempat dan Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2015.
Dilaksanakan di Laboratorium Farmasetika. Uji evaluasi fisik dan penetrasi sediaan emulgel
secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dilakukan di laboratorium Farmasi Fisika
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia. Uji penetapan kadar dengan menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis di Laboratorium Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.
b. Bahan
1. Bahan Uji dan Bahan Kimia
Bahan-bahan yang digunakan dalam penilitian ini adalah niasinamida (Western Drugs
LTD), dimetikon (Momentive Performance Materials), siklometikon (Momentive
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
5
Performance Materials), karbomer, TEA, isopropil miristat, tween 20, span 20, propilen
glikol, metil paraben, aquadest, buffer pH 7, buffer pH 4, kalium dihidrogenfosfat 0,2 M,
NaOH 0,2 N, aquadest bebas CO2, kulit tikus betina agalur Sprague Dawley yang berumur
2-3 bulan dengan berat 180-200 gram (Institut Pertanian Bogor, Indonesia).
c. Alat
Sel difusi Franz dengan luas area difusi 1,55 cm2 dan 1,77 cm2 serta volume
kompartemen 16 ml (Bengkel Gelas ITB, Indonesia), timbangan analitik, pengaduk magnetic,
mikroskop optik, termometer, penangas air, tabung sentrifugasi, viscometer Brookfield tipe
HAT dan spindle tipe HA (Brookfield Engineering Laboratories Inc., Amerika),
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UV-1601, Jepang), homogenizer Multimix CKL
(Omni-Multimix Inc., Malaysia), pH meter Eutech 510 (Eutech Instrument, Singapura), dan
peralatan gelas lainnya.
d. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Sediaan Emulgel Penelitian ini menggunakan tiga variasi emulgel, yaitu variasi jenis silikon berupa
siklometikon dan dimetikon serta satu formula tanpa silikon sebagai blanko.
Formula Emulgel
Bahan Konsentrasi b/b (%)
F1 F2 F3 Basis Gel
Karbomer 0,5 0,5 0,5 TEA 0,1 0,1 0,1 Aquadest 79,87 74,66 74,66
Emulsi Niasinamida 4 4 4 Dimetikon - 5 - Siklometikon - - 5 Isopropil Miristat 1 1 1 Span 20 1 1 1 Tween 20 0,5 0,5 0,5 Propilen Glikol 5 5 5 Metil Paraben 0,03 0,03 0,03 Aquadest 8 8 8
2. Evaluasi Emulgel
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
6
Pengamatan Organoleptis Formulasi emulgel diperiksa secara visual yaitu pemeriksaan warna, penampilan dan
konsistensi (Khullar, 2011).
Uji Homogenitas Sediaan diletakkan di antara dua kaca objek lalu diperhatikan adanya partikel-partikel
kasar atau ketidakhomogenan selama 8 minggu. Pemeriksaan dilakukan setiap 2 minggu pada
semua bentuk sediaan (Khullar, 2011).
Pengukuran pH Formulasi yang sudah dibuat diukur pH nya dengan menggunakan pH meter. Pertama
dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 4. Kemudian
Elektroda dicelupkan ke dalam 1 % b/v larutan sediaan dalam air dan dicatat nilai pH yang
tertera pada layar. Pengukuran dilakukan pada suhu ruang (Lindberg, 2010).
Pengukuran Diameter Globul Rata-Rata Sediaan diletakkan di atas kaca objek dan ditutup dengan gelas penutup, kemudian
diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 kali yang dilengkapi lensa okuler
mikrometer yang telah dikalibrasi. Diameter partikel ratarata dihitung dan dikalikan dengan
faktor kalibrasi. Kenaikan viskositas akan meningkatkan stabilitas sediaan. Semakin tinggi
viskositas, semakin kecil ukuran globul dan semakin besar volume ratio (Djajadisastra,
2003). Pengukuran dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8 hanya pada sediaan emulgel.
Ukuran Globul (µm) Penampilan
> 0,005 Translusen (transparan) 0,005-0,1 Semi transparan, abu-abu
0,1-1 Emulsi putih-kebiruan > 1 Emulsi putih susu
[Sumber : Djajadisastra, 2003]
Uji Viskositas Formulasi yang sudah dibuat diuji viskositasnya dengan menggunakan viskometer
cone dan plate dengan spindel 5 pada alat Brookfield. Spindel bergerak di dalam emulgel
untuk mencatat data viskositas pada formulasi tersebut (Bonacucina et al., 2009).
Pengukuran dilakukan dengan viskometer Brookfield dengan kecepatan diatur mulai
dari 0,5; 2; 5; 10; dan 20 rpm, lalu dibalik dari 20; 10; 5; 2; 0,5 rpm. Dari masing masing
pengukuran dengan perbedaan rpm dibaca skalanya ketika jarum merah yang bergerak telah
stabil. Nilai viskositasnya lalu dihitung berdasarkan angka dial reading dikalikan dengan
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
7
faktor yang tertera pada brosur alat tersebut. Kenaikan viskositas akan meningkatkan
stabilitas sediaan. Semakin tinggi viskositas, semakin kecil ukuran globul dan semakin besar
volume ratio (Djajadisastra, 2004). Pengukuran dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8 pada
semua bentuk sediaan dengan penyimpanan suhu kamar.
Uji Stabilitas Fisik Sediaan a. Uji stabilitas pada suhu tinggi
Stabilitas sediaan meliputi bau, warna, dan pH dievaluasi pada suhu 40o ± 2oC selama
8 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali.
b. Uji stabilitas pada suhu kamar
Stabilitas sediaan meliputi bau, warna, dan pH dievaluasi pada suhu 28o ± 2oC selama
8 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali.
c. Uji stabilitas pada suhu rendah
Stabilitas sediaan meliputi bau, warna, dan pH dievaluasi pada suhu 4o ± 2 oC selama
8 minggu dengan pengamatan setiap 2 minggu sekali.
d. Metode Cycling Test
Sampel emulgel disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam, lalu dipindahkan ke dalam
oven yang bersuhu 40oC selama 24 jam. Perlakuan ini adalah satu siklus. Pecobaan dilakukan
sebanyak 6 siklus kemudian diamati adanya pemisahan fase serta pertumbuhan kristal
e. Uji Mekanik (Sentrifugasi)
Sampel disentrifugasi dengan kecepatan putaran 3800 rpm selama 5 jam karena
hasilnya ekivalem dengan efek grafitasi selama 1 tahun. Setelah disentrifugasi, diamati
apakah terjadi pemisahan atau tidak antara fase air dengan fase minyak. Pengujian dilakukan
pada minggu ke-0.
Uji Konsistensi Sediaan yang akan diperiksa dimasukkan ke dalam wadah khusus dan diletakkan pada
meja penetrometer. Peralatan diatur hingga ujung kerucut menyentuh bagian permukaan
emulgel. Batang pendorong dilepas dengan mendorong tombol start. Angka penetrasi dibaca
lima detik setelah kerucut menembus sediaan. Pemeriksaan konsistensi dilakukan pada
minggu ke-0 dan minggu ke-8 pada semua bentuk sediaan dengan penyimpanan suhu kamar.
Dari pengukuran konsistensi dengan penetrometer akan diperoleh yield value (Djajadisastra,
2003).
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
8
Uji Penetrasi Emulgel Niasinamida dengan Sel Difusi Franz
Pembuatan Larutan Dapar Fosfat pH 7,4 Timbang kalium dihidrogenfosfat 2,72 gram dilarutkan 100,0 mL pada labu ukur.
Diambil 50 mL larutan KH2PO4 masukan ke labu ukur 200 mL. Timbang 0,8 gram NaOH
dilarutkan kedalam labu ukur 100,0 mL. Ambil 42,8 mL NaOH lalu campurkan dengan
KH2PO4 pada labu ukur 200 mL. Encerkan dengan aquadest bebas CO2 secukupnya hingga
200,0 mL. (Departemen Kesehatan, 1979)
Pembuatan Kurva Kalibrasi Niasinamida ditimbang seksama sebanyak kurang lebih 100,0 mg, kemudian
dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 dalam labu ukur ad 100,0 ml. Didapatkan larutan
dengan konsentrasi 1000 ppm. Dari larutan tersebut dipipet 10,0 ml, kemudian dilarutkan
dengan dapar fosfat pH 7,4 dalam labu ukur dan cukupkan volume hingga 100,0 ml.
Didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan induk, dipipet dan
diencerkan dengan dapar fosfat pH 7,4 hingga didapat konsentrasi 11, 15, 20, 30, 40, 50 ppm.
Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis.
Panjang gelombang maksimum niasinamida dalam dapar fosfat pH 7,4 ditentukan dengan
melakukan scanning pada panjang gelombang antara 200-400 nm. Setelah panjang
gelombang niasinamida didapatkan dibuat kurva kalibrasi dan persamaan regresi pada
panjang gelombang tersebut (Harmita, 2006).
Uji Penetapan Kadar Niasinamida dalam Sediaan a. Pembuatan kurva kalibrasi menggunakan aqua demineralisata
Niasinamida ditimbang seksama sebanyak kurang lebih 50,0 mg, kemudian dilarutkan
dengan aqua demineralisata dalam labu ukur ad 50,0 mL. Didapatkan larutan dengan
konsentrasi 1000 ppm. Dari larutan tersebut dipipet 5,0 ml, kemudian dilarutkan dengan aqua
demineralisata dalam labu uku ad 50,0 ml. Didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 100
ppm. Dari larutan induk, dipipet dan diencerkan dengan aqua demineralisata hingga didapat
konsentrasi 12, 15, 20, 30, 40, 50 ppm. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum
dengan spektrofotometer UV-Vis. Panjang gelombang maksimum niasinamida dalam aqua
demineralisata ditentukan dengan melakukan scanning pada panjang gelombang antara 200-
400 nm. Setelah panjang gelombang niasinamida didapatkan dibuat kurva kalibrasi dan
persamaan regresi pada panjang gelombang tersebut (Harmita, 2006).
b. Pembuatan larutan sampel dari sediaan emulgel
Sediaan emulgel niasinamida ditimbang secara seksama sebanyak ± 1,0 g, kemudian
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
9
dilarutkan dengan aqua demineralisata dalam labu tentukur 25,0 ml. Lalu disaring dengan
menggunakan kertas saring. Larutan tersebut kemudian dipipet 0,3 ml dan dimasukkan ke
labu ukur 10,0 ml dan dicukupkan volumenya menggunakan aqua demineralisata. Setelah itu
larutan uji tersebut dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis.
Uji Penetrasi Niasinamida Membran yang digunakan adalah kulit tikus betina galur Sprague Dawley yang berumur 2-3
bulan. Pertama-tama tikus dibius dengan eter hingga mati. Kemudian, bulu tikus dicukur
dengan hati-hati. Setelah itu kulit tikus disayat pada bagian perut dengan ketebalan 0,6 + 0,1
mm. Lalu, kulit direndam dalam dapar fosfat pH 7,4 selama 30 menit setelah itu dan
disimpan dalam suhu 5oC. Kulit yang dapat digunakan dalam rentang waktu 24 jam. Uji
penetrasi dilakukan menggunakan sel difusi Franz dengan luas area difusi 1,55 dan 1,77 cm2
dan volume kompartemen 16 mL. Kompartemen reseptor diisi dengan dapar fosfat pH 7,4
dan dijaga suhunya 37 + 0,5OC, serta diaduk dengan stirrer berkecepatan 300 rpm.
Kemudian, kulit abdomen diletakkan di antara kompartemen donor dan kompartemen
reseptor dengan posisi stratum korneum menghadap ke atas. Sampel 1 g diaplikasikan pada
permukaan kulit. Kemudian, pada menit ke-10, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan
480 sampel diambil sebanyak 0,5 mL dari kompartemen reseptor menggunakan syringe dan
segera digantikan dengan dapar fosfat pH 7,4 sejumlah volume yang sama. Setelah itu,
sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml. Lalu, ditambahkan dengan dapar fosfat.
Sampel diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum dengan spektrofotometer
UV-Vis.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembuatan Sediaan Emulgel Niasinamida Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa penambahan silikon dalam sebuah
sediaan dapat meningkatkan daya penetrasi dari zat aktif yang berada di dalamnya. Berbagai
macam jenis silikon yang terdapat di pasaran, pada umumnya adalah dimetikon dan
siklometikon. Silikon seperti dimetikon maupun siklometikon merupakan sebuah cairan
pembawa yang bersifat lipofilik yang dapat bekerja sebagai peningkat penetrasi dengan cara
memodifikasi domain lipid interseluler guna menurunkan resistensi penghalang akibat
interaksi cairan lipofilik dengan lipid bilayer dari stratum korneum (Leopold et al., 2006).
Dengan adanya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan silikon seperti dimetikon
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
10
dan siklometikon sebagai pembawa lipofilik dianggap perlu terhadap zat aktif yang sifatnya
hidrofilik seperti niasinamida. Penelitian ini menguji daya peningkat penetrasi silikon seperti
dimetikon dan siklometikon.
Dibuat tiga formulasi pada penelitian kali ini yaitu emulgel tanpa silikon (F1),
emulgel dengan dimetikon (F2), dan emulgel dengan siklometikon (F3). Masing-masing
sediaan emulgel mengandung zat aktif niasinamida 4% dengan tujuan mampu mengurangi
inflamasi pada jerawat dan membantu mencerahkan kulit. Tahap pada pembuat ketiga
formula ini adalah pembuatan, evaluasi, uji stabilitas fisik, dan uji penetrasi sediaan.
Evaluasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Emulgel Niasinamida Setiap sediaan di evaluasi dan dilakukan uji stabilitas fisik selama 8 minggu. Uji
tersebut meliputi organoleptis, homogenitas, dan pH. Uji stabilitas fisik ini dilakukan setiap 2
minggu pada penyimpanan tiga suhu yang berbeda, yaitu suhu kamar, suhu rendah, dan suhu
tinggi. Selain itu, dilakukan juga uji viskositas sediaan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8
pada penyimpanan suhu kamar serta uji mekanik dan uji enam siklus (cycling test) pada
minggu ke-0.
Pengamatan Organoleptis Dilakukan pengamatan organoleptis untuk mengetahui adanya perubahan warna dan
bau pada sediaan emulgel selama 8 minggu pada penyimpanan suhu berbeda. Pada minggu
ke-0 atau awal pembuatan sediaan berwarna putih dan tidak berbau. Pada minggu ke-2
hingga ke-8 tidak terjadi perubahan organoleptis yang berarti. Dengan demikian, sediaan
emulgel niasinamida secara organoleptis stabil pada penyimpanan suhu rendah, suhu ruang
dan suhu tinggi.
Pemeriksaan Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui adanya partikel kasar dari sediaan
emulgel niasinamida selama 8 minggu pada penyimpanan suhu yang berbeda. Sediaan
emulgel niasinamida dioleskan di atas gelas objek lalu diamati apakah ada partikel kasar atau
tidak. Pada minggu ke-0 sediaan bersifat homogen dan tidak terdapat partikel-partikel kasar.
Setelah 8 minggu pengamatan sediaan emulgel niasinamida tidak mengalami perubahan
signifikan atau terbentuk partikel kasar baik penyimpanan di suhu rendah, suhu ruang atau
suhu tinggi. Dengan demikian sediaan emulgel niasinamida stabil secara homogenitas.
Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan selama 8 minggu dengan menggunakan pH meter pada
suhu 25OC. Sebelum digunakan untuk mengukur pH sediaan, pH meter terlebih dahulu
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
11
dikalibrasi menggunakan larutan pH 4 dan larutan pH 7. Untuk dapat menembus barier
stratum korneum tanpa menimbulkan iritasi, sediaan harus memiliki pH sesuai dengan pH
fisiologis kulit, yaitu 4,5 - 6,5. Semakin jauh beda antara pH sediaan dengan pH fisiologis
kulit, maka akan semakin kuat sediaan tersebut menimbulkan reaksi negatif pada kulit
(Tranggono & Latifah, 2007). Selama 8 minggu, pemeriksaan pH ketiga sediaan tidak
menunjukkan pH yang tetap. Ketiga formula memiliki pH yang tidak stabil namun masih
memasuki range pH kulit yaitu 4,5-6,5 sehingga dapat dinyatakan sediaan ini tidak akan
mengiritasi. Standar deviasi dari pH setiap 2 minggu kurang dari 0,15 sehingga perubahan
dapat diabaikan.
Pengukuran Diameter Globul Rata-rata Hasil pengukuran diameter globul rata-rata masing masing sediaan mengalami
perubahan pada minggu ke-0 hingga minggu ke-8. Diameter globul rata-rata paada minggu
ke-0 sediaan F1 adalah 0,579 µm, sediaan F2 adalah 1,098 µm, dan sediaan F3 adalah 0,865
µm. Selama 8 minggu sediaan disimpan pada kondisi suhu yang berbeda (suhu rendah, suhu
ruang, dan suhu tinggi). Untuk seluruh sediaan, ukuran globul rata-rata terbesar berada di
sedian yang disimpan pada suhu tinggi dan yang terkecil berada di sediaan yang disimpan di
suhu rendah. Dengan ukuran globul 0,1 µm – 1 µm sediaan emulgel niasinamida tergolong
kedalam dispersi koloid dan termasuk emulsi halus. Ukuran globul dari F2 dan F3 lebih besar
dibandingkan dengan F1, hal ini disebabkan karena penggunaan silikon pada fase minyak
emulsi sediaan. Perubahan yang terjadi pada ukuran globul sediaan dari minggu ke-0 hingga
minggu ke-8 disebabkan karena suhu penyimpanan. Semakin rendah suhu penyimpanan
maka fase minyak dari emulsi sediaan cenderung lebih kental sehingga ukuran globul emulsi
lebih kecil. Naiknya ukuran globul terjadi pada suhu tinggi dikarenakan kekentalan fase
minyak dari emulsi menurun dan cenderung terjadi koalesensi sehingga ukuran globul
menjadi lebih besar.
Penentuan Viskositas dan Sifat Alir (Rheologi) Pemeriksaan viskositas sediaan emulgel niasinamida dilakukan pada minggu ke-0 dan
minggu ke-8 pada penyimpanan suhu kamar dengan menggunakan alat viskometer
Brookfield dengan kecepatan 0,5; 2; 5; 10 dan 20 rpm. Spindel yang digunakan adalah
spindel 5. Dari nilai viskositas dapat diketahui sifat aliran sediaan tersebut. Grafik perubahan
viskositas anara keduanya pada kecepatan 0,5 rpm dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
12
Viskositas suatu sediaan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, yaitu faktor
pencampuran atau pengadukan saat proses pembuatan sediaan, pemilihan zat pengental,
proporsi fase terdispersi, dan ukuran partikel (Ansel, 1989). Setelah penyimpanan selama 8
minggu pada kondisi penyimpanan suhu kamar terlihat bahwa viskositas kedua formula
mengalami perubahan. Ketiga formula mengalami peningkatan viskositas, hal ini dapat
disebabkan karena adanya tekanan geser dari pengaduk yang digunakan saat pembuatan
sediaan. Berdasarkan data yang diperoleh sediaan F3 yang menggunakan siklometikon pada
emulsinya memiliki nilai viskositas paling tinggi dibandingkan sediaan F1 dan F2.
Berdasarkan hukum stokes, ukuran diameter partikel (globul) berbanding terbalik dengan
viskositas mediumnya. Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin tinggi viskositasnya.
Semakin tinggi viskositasnya maka semakin rendah laju sedimentasinya.
4.2.6 Uji Mekanik (Sentrifugasi) Uji mekanik dilakukan dengan proses sentrifugasi dengan kecepatan 3800 rpm selama
5 jam dilakukan untuk mengetahui kestabilan dari suatu sediaan terkait dengan pemisahan
fase. Menurut Bechner, uji ini setara dengan efek gravitasi untuk kira-kira satu tahun (Rieger,
2008).
Ketiga formulasi yang di lakukan uji mekanik semuanya memiliki sifat yang stabil.
Ketiga formulasi emulgel niasinamida tidak mengalami pemisahan fase. Hal ini terjadi karena
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
0 2 4 6 8
Viskosita
s
Minggu
F1
F2
F3
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
13
konsentrasi basis gel cukup baik untuk menahan pelarutnya dan emulsi agar tidak keluar dari
matriks gel.
Uji Cycling Test Uji cycling test pada sediaan emulgel niasinamida dilakukan selama 6 siklus. Sediaan
pertama disimpan pada suhu rendah (4o±2oC) selama 24 jam, lalu disimpan pada suhu tinggi
(40o±2oC) selama 24 jam berikutnya. Perlakuan ini adalah satu siklus. Semua sediaan
menunjukkan sifat yang stabil secara organoleptis dan homogenitas.
Uji Konsistensi Uji konsistensi ini diukur menggunakan alat penetrometer untuk mengetahui apakah
sediaan yang diuji memiliki daya sebar yang baik atau tidak berdasarkan nilai yield value
yang diperoleh. Sediaan yang baik memiliki yield value antara 100 - 1000 dyne/cm2 (Zatz &
Kushia, 1996). Semakin rendah nilai yield value, maka akan semakin mudah sediaan tersebut
disebar ke kulit, sebaliknya semakin tinggi sediaan yield value maka semakin sulit sediaan
tersebut disebar ke kulit. Dapat diketahui bahwa terdapat penurunan kedalaman penetrasi
kerucut, atau terjadi peningkatan konsistensi dari masing-masing sedian. Hal ini berbanding
lurus dengan hasil pengukuran viskositas sediaan yang semakin kental. Semakin kental
sediaan makan semakin sukar kerucut untuk menembus sediaan sehingga jarak tempuh
semakin kecil. Sediaan F3 memiliki nilai yield value tertinggi dibandingkan dengan sediaan
F1 dan F2. Hasil dari uji konsistensi sesuai dengan teori yang menyatakan nilai yield value
berbanding lurus dengan viskositas namun hasil penetrasi yang di dapatkan dengan
menggunakan penetrometer dan sel difusi Franz memiliki hasil yang berbeda. Pada uji
konsistensi nilai tertinggi kedalaman penetrasi dimiliki oleh F1 sedangan pada uji penetrasi
secara in vitro menggunakan sel difusi Franz nilai tertinggi penetrasi dimiliki oleh F2. Hal ini
disebabkan karena metode yang digunakan berbeda dan untuk uji penetrasi menggunakan
penetrometer lebih mengarah pada nilai daya sebar dan kekerasan suatu sediaan bukan
penetrasi perkutan.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
14
Uji Penetrasi secara In Vitro dengan Sel Difusi Franz
a. Pembuatan Kurva Kalibrasi Pengukuran konsentrasi zat aktif yang terpenetrasi dalam reseptor dan uji penetapan
kadar zat aktif pada sediaan dianalisis secara spektrofotometri menggunakan alat
spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang
maksimum yang dapat dilihat pada gambar, yaitu 268,8 nm.
b. Pembuatan Kurva Kalibrasi Niasinamida Dengan Pelarut Aqua Demineralisata Sebelum dilakukan pengukuran sampel untuk uji penetapan kadar, terlebih dahulu
dibuat kurva kalibrasinya. Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh adalah y = 0,0141x +
0,0662 dan nilai r = 0,9986. Grafik kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini
0
100
200
300
400
500
0 8
Keda
laman
pen
etrasi kerucut
(1/10 mm)
Waktu (minggu)
F1
F2
F3
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
15
c. Pembuatan Kurva Kalibrasi Niasinamida dengan Pelarut Buffer Fosfat pH 7,4 Sebelum dilakukan pengukuran sampel untuk uji penetrasi secara In Vitro
menggunakan Sel Difusi Franz, terlebih dahulu dibuat kurva kalibrasinya. Persamaan kurva
kalibrasi yang diperoleh adalah y = 0,0139x + 0,0632 dan nilai r = 0,998. Grafik kurva
kalibrasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini
d. Uji Penetapan Kadar Niasinamida Seluruh sediaan emulgel niasinamida yang telah dibuat, diuji kembali presentase
kadarnya untuk mengetahui apakah sediaan tersebut memenuhi batas spesifkasi kadar dalam
sediaan atau tidak. Penetapan kadar niasinamida dilakukan dengan mengambil sampel dari
masing-masing formulasi lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis.
Berdasarkan data yang terlampir pada Lampiran 19 didapatkan hasil rata-rata
penetapan kadar sediaan dari formula 1, formula 2, dan formula 3 secara berturut-turut adalah
100,74%, 98,86%, 100,83%. Dengan hasil seperti itu semua sediaan memenuhi batas
spesifikasi kadar dalam sediaan yaitu 98,5-101,5 (United States Pharmacopeia 32, 2008).
e. Uji Penetrasi Niasinamida Sediaan yang dilakukan untuk uji penetrasi sediaan yang stabil, uji penetrasi ini
dilakukan selama 8 jam. Sampel diambil pada 11 titik, yaitu pada menit ke-10, menit ke-30,
menit ke-60, menit ke-90, menit ke-120, menit ke-180, menit ke 240, menit ke-300, menit ke-
360, menit ke-420, dan menit ke-480. Sampel yang diambil sebanyak 0,5 ml ini kemudian
y = 0.0141x + 0.0662 R = 0.9986
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 10 20 30 40 50 60
Serapa
n Konsentrasi (ppm)
y = 0.014x + 0.0632 R² = 0.998
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 10 20 30 40 50 60
Serapa
n
Konsentrasi (ppm)
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
16
diencerkan dalam labu 10,0 ml dengan dapar fosfat pH 7,4. Setelah itu, diukur serapannya
secara spektrofotometri pada panjang gelombang 268,80 nm. Serapan yang di dapat dicatat
dan dihitung kadar niasinamida yang terpenetrasi.
Uji penetrasi perkutan secara in vitro, memiliki dua parameter utama, yaitu jumlah
kumulatif zat aktif yang terpenetrasi, baik dalam bentuk massa/luas area atau persentase dosis
terpenetrasi dan laju penetrasi atau fluks (Lehman, Rzaszutak, & Raney, 2008). Berdasarkan
hasil yang diperoleh, dapat dihitung persentase niasinamida yang terpenetrasi. Perhitungan
jumlah kumulatif dan persentase niasinamida yang terpenetrasi dapat dilihat pada Lampiran
20. Perbandingan jumlah kumulatif niasinamida yang terpenetrasi dapat diamati pada gambar
dibawah.
Fluks dihitung dengan menarik garis linear dari kurva jumlah kumulatif zat aktif yang
terpenetrasi terhadap waktu sehingga didapat persamaan y = a + bx, b atau kemiringan garis
menyatakan nilai fluks yang dapat diamati pada Lampiran 23. Nilai ini secara normal
menyatakan unit tunggal pada permukaan kulit (Utley, 2001). Cara lain untuk menghitung
fluks adalah menggunakan persamaan hukum Fick pertama, yaitu jumlah kumulatif zat aktif
yang terpenetrasi melalui satuan luas dalam satuan waktu.
Hasil yang diperoleh dari uji penetrasi menunjukan jumlah niasinamida yang
terpenetrasi selama 8 jam secara berurutan dari yang terbanyak adalah F2 > F3 > F1.
Penetrasi niasinamida melalu membran kulit abdomen tikus selama 8 jam dari F1 yang
dilakukan tiga kali berturut-turut adalah sebesar 2028,8 ± 64,3 µg/cm2 dan fluks sebesar
253,6 ± 8,0 µg/cm2 jam. Sedangkan pada F2 memiliki nilai jumlah kumulatif niasinamida
terpenetrasi sebesar 4662,0 ± 11,4 µg/cm2 dan fluks sebesar 582,7 ± 1,4 µg/cm2 jam. Sediaan
terakhir yaitu F3 memiliki nilai jumlah kumulatif niasinamida terpenetrasi sebesar 2679,45 ±
9,3 µg/cm2 dan nilai fluks 334,93 ± 1,2 µg/cm2 jam. Setelah didapatkan nilai jumlah
niasinamida yang terpenetrasi dapat dihitung presentse jumlah niasinamida yang terpenetrasi
0 800 1600 2400 3200 4000 4800 5600
0 2 4 6 8 10 Jumlah Niasina
mida (ug
cm-‐2)
Waktu (jam)
F1
F2
F3
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
17
dari dosis yang diaplikasikan. Presentase jumlah niasinamida yang terpenetrasi dari urutan
terbesar dimulai dengan F2, F3, dan F1 yaitu 17,95 ± 0,04 %; 11,83 ± 0,04 % dan 8,98 ± 0,28
%.
Selain jumlah kumulatif F2 dan F3 yang lebih tinggi dibandingkan F1 (blanko), fluks
dari sediaan F2 dan F3 memiliki nilai yang lebih baik walaupun perbedaan antara F3 dan F1
tidak terlalu jauh berbeda. Fluks diperoleh dari keadaan steady state yang digambarkan oleh
suatu garis lurus pada kurva fluks yang diplotkan terhadap satuaan waktu. Grafik fluks
niasinamida tiap waktu pengambilan dari ketiga sediaan dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.
Dari Gambar diatas dapat terlihat bahwa fluks niasinamida dari ketiga sediaan yang
awalnya masih belum memberikan nilai fluks atau sama dengan nol. Hal ini disebabkan pada
menit-menit awal serapan yang dihasilkan belum masuk ke dalam rentang kurva kalibrasi.
Keadaan tersebut merupakan keadaan lag time. Setelah mencapai menit ke-180 grafik fluks
mulai naik dan memiliki kemiringan yang tetap yang menggambarkan bahwa keadaan sudah
mencapai steady-state karena konsentrasi yang terpenetrasi melewati tebal membarn per
satuan waktu sudah konstan (Martin, Swarbricks, dan Cammarata, 1983).
F1, 253.6
F2, 582.7
F3, 334.93
0
100
200
300
400
500
600
700
8
Fluks N
iasina
mida (µg/cm
2 jam)
0
200
400
600
0 2 4 6 8
Fluks N
iasina
mida (ug cm
-‐2
jam-‐1)
Waktu (jam)
F1
F2
F3
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
18
Silikon seperti dimetikon maupun siklometikon adalah cairan pembawa yang sifatnya
lipofilik dan dapat bekerja sebagai peningkat penetrasi dengan cara memodifikasi domain
lipid interseluler guna menurunkan resistensi penghalang akibat interaksi cairan lipofilik
dengan lipid bilayer dari stratum korneum (Leopold et al., 2006). Pada sebuah penelitian
menunjukkan bahwa silikon sangat substantif pada kulit dan dapat secara signifikan
meningkatkan penetrasi dari zat aktif. Formulasi topikal dengan penambahan silikon dalam
emulsi terbukti mampu mempertahankan zat aktif kontak dengan kulit dan mencegah
hilangnya zat aktif karena proses abrasi (Séné et al., 2002).
Hasil yang di dapatkan dari penelitian ini menunjukan bahwa penambahan silikon
pada fase minyak emulsi yang digunakan untuk pembuatan emulgel terbukti dapat
meningkatkan penetrasi dari suatu zat aktif walaupun pada sediaan F3 peningkatan penetrasi
dibandingkan dengan sediaan F1 (blanko) tidak terlalu signifikan. Hal ini menyebabkan
hipotesis yang telah diungkapkan tepat. Dari hasil yang diperoleh, silikon jenis dimetikon
memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk meningkatkan penetrasi dibandingkan dengan
siklometikon. Menurut hasil penelitian sebelumnya, siklometikon dapat mengikat zat aktif
yang lebih lipofilik dari niasinamida sedangkan pada penelitian ini zat aktif hidrofilik seperti
niasinamida lebih terikat dengan silikon jenis dimetikon. Hal ini terjadi karena struktur
dimetikon yang memiliki rantai panjang mengikat zat aktif hidrofilik lebih baik dan struktur
kimia dari siklometikon yang siklik lebih baik mengikat zat aktif yang lipofilik.
Kesimpulan
Hasil dari uji penetrasi secara in vitro dengan menggunakan sel difusi Franz selama 8
jam dapat disimpulkan bahwa sediaan emulgel niasinamida yang menggunakan silikon pada
fase minyak emulsinya memberikan hasil penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan emulsi
tanpa silikon. Jenis silikon yang dapat mengikat zat aktif niasinamida lebih baik adalah jenis
dimetikon. Kemudian setelah dilakukan uji stabilitas fisik diperpendek dapat disimpulkan
bahwa sediaan emulgel niasinamida stabil secara fisik.
Saran
Beberapa saran untuk hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan uji stabilitas fisik
diperpanjang untuk mengetahui kestabilan suatu sediaan. Untuk uji penetrasi secara in vitro
membran yang diusulkan adalah membran kadaver manusia agar hasil yang diperoleh lebih
mendekati uji in vivo.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015
19
Daftar Acuan Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Ed. Ke-4) (Farida Ibrahim, Penerjemah). Jakarta: UI
Press, 314, 492. Barret, C. (1969). Skin penetration. Journal Society Cosmetic Chemists , 20, 487-499. Benson, H. A. (2005). Transdermal Drug Delivery: Penetration Enhancement Techniques. Current Drug
Delivery , 2, 23-33. Bissett, D. L., Miyamoto K, Sun P, et al. Topical nicotinamide reduces yellowing, wrinkling, red blotchiness,
and hyperpigmented spots in aging facial skin. Int J Cosmet Sci. 2004;26:231–238. Bonacucina, G., Cespi, M., Palmieri, G.F., 2009. Characterization and stability of emulsion gels based on
acrylamide/sodium acryloyldimethyl taurate copolymer. AAPS PharmSciTech. 2, 10. Bosman, I., Lawant, A., Avegaart, S., Ensing, K., & Zeeuw, R. d. (1996). A Novel Diffusion Cell for in vitro
Transdermal Permeation, Compatible with Automated Dynamic Sampling., 1015-1023. Del, J. Q., Levin, J., Rosso, J. Q. Del, & Momin, S. B. (2010). How Much Do We Really Know About Our
Favorite Cosmeceutical Ingredients, 3(2), 22–41. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi
III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Djajadisastra, J. (2003). Cosmetic Stability. Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Forster, M., Bolzinger, M. A., Fessi, H., & Briancon, S. (2009). Topical delivery
of cosmetics and drugs topical delivery of cosmetics and drugs and delivery. Eur J Dermatol , 309-323.
Lehman, P., Rzaszutak, M, & Raney, S. (2008). Top 10 Frequently Asked Questions about Pre-Clinical Dermatology Research at The PRACS Institute. Retrieved June 19, 2011, from PRACS Institute, Ltd: http://www.pracs.com/preclinical/faq.html
Linberger, D. R dan Brennan, M. J. (2010). Topical Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs for The Treatment of Pain Due to Soft Tissue Injury: Diclofenac Epolamine Topical Patch. Journal of Pain Reaserch, (3), 223-233
Long, C. C. (2002). Common Skin Disorder and Their Topical Treatment. Naga Sravan Kumar Varma, V., Maheshwari, P. V., Navya, M., Reddy, S. C., Shivakumar, H. G., & Gowda, D.
V. (2014). Calcipotriol delivery into the skin as emulgel for effective permeation. Saudi Pharmaceutical Journal, 22(6), 591–599. doi:10.1016/j.jsps.2014.02.007
Neun, D., & Ulman, K. (n.d.). Silicones as Excipients for Topical Pharmaceutical Applications Dow Corning. Önder, M. (2008). An Investigation of Efficacy of Topical Niacinamide for the Treatment of Mild and Moderate
Acne Vulgaris, 4–7. Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Owen, S. C. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients (6th ed.). London:
The Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association. Séné, C., D. Neun, L. Tan-Sien-Hee, K. Ulman, (2002). Silicones as Excipients for Topical Pharmaceutical
Applications.. Dow Corning (Life Sciences). Syamsuni, Haji. (2006). Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta. EGC. Hal: 3 Somasundaran, P., Mehta, S. C., & Purohit, P. (2006). Silicone emulsions. Advances in Colloid and Interface
Science, 128-130(2006), 103–9. doi:10.1016/j.cis.2006.11.023 Touitou, E., & Barry, B. W. (2007). Chemical permeation enhancement. Enhancement in Drug Delivery. Tranggono, R.I., dan F. Latifah. (2007). Buku pegangan ilmu kosmetik. Jakarta: PT Gramedi pustaka utama Utley, L. J. (2001). Design, Testing, and Validation of an LC/MS Compatible Cell for Measuring Transdermal
Diffusion. Florida: University of Florida Wahyuningrum, C. (2013). Uji Aktivitas Antioksidan, Stabilitas Fisik, dan Pengaruh Konsentrasi Dimetikon
dan Siklometikon terhadap Daya Penetrasi Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) pada Krim Antikerut. Skripsi Program Sarjana Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Walters, K. A. (2002). The Structure and Function of Skin, New York: Marcell Dekker Inc. Walters, K. A., dan Jonathan, H. (1993). Pharmaceutical Skin Penetration Enhancement. New York: Marcell
Dekker Inc., 335-361. Wester, R.C. & H.I. Maibach. (1990). Topical Drug Delivery Formulations: In Vitro Testing of Topical
Pharmaceutical Formulations (pp. 215). New York: Marcel Dekker Inc. Watson, D. G. (2005). Analis Farmasi. Edisi 2. Penerjemah Winny R.S. Jakarta : Penerbit ECG. Zatz, J. L., & Kushia, G. P. (1996). Gels. In H. A. Lieberman, Pharmaceutical Dosage Form: Disperse Systems
(2nded., ed, VOl. 2, pp. 495-510). New York: Marcel Dekker Inc.
Formulasi, pengaruh..., Diar Siti Hazar Sukandi, FFAR UI, 2015