Post on 08-Aug-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Perlemakan hati nonalkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari
dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan
hati ini mulai dari perlemakan hati sederhana (simple steatosis) sampai pada
steatohepatis nonalkoholik (NASH), fibrosis, dan sirosis hati. Setelah mendapat
berbagai nama sperti penyakit Laennec nonalkoholik, hepatitis metabolik dan
hepatitis diabetes, akhirnya steatohepatis nonalkohik seperti yang diperkenalkan
Ludwig dan kawan-kawan melaporkan menjadi nama yang dipergunakan secara
luas. Istilah tersebut muncul setelah Ludwig dan kawan-kawan melaporkan
sekelompok pasien yang dapat dikatakan tidak mengkonsumsi alkohol tetapi
memperlihatkan gambaran biopsi hati yang sulit dibedakan dengan hepatitis
akibat alkohol.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam
terminologi penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah
perlemakan hati nonalkoholik (Nonalkoholik Fatty Liver = NAFL) atau penyakit
perlemakan hati nonalkoholik (Nonalkoholik Fatty Liver Disease = NAFLD).
Pada umumnya disepakati bahwa NASH merupakan perlemakan hati pada tingkat
yang lebih berat.1
Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di hati lebih
dari 5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan
tidak praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati,
yaitu ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.
Terdapat dua kelompok pola histologis dari NAFLD yaitu: 1) steatosis hati
atau perlemakan hati dan 2) steatohepatitis. Steatohepatitis didefinisikan sebagai
adanya steatosis hati dengan bukti adanya kerusakan sel, yaitu balooning atau
hialin Mallory dengan berbagai derajat inflamasi dan fibrosis periselular.
Inflamasi yang berhubungan dengan steatohepatitis biasanya ringan dan
terdistribusi terutama di daerah lobular.2
Kriteria lain yang juga sangat penting adalah pengertian nonalkoholik.
Batas untuk menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna sempat
menjadi perdebatan, tetapi lebih bayak ahli menyepakati bahwa konsumsi alkohol
sampai 20 gram perhari masih bisa digolongkan sebagai nonalkoholik.1
2
1.2. Epidemiologi
Dari banyak penelitian terbukti bahwa abnormalitas tes fungsi hati akibat
perlemakan hati maupun NASH merupakan kelainan yang sangat sering
ditemukan di masyarakat. Angka yang dilaporkan sangat bervariasi karena
metodologi survey yang berbeda-beda.
Prevalensi perlemakan hati nonalkoholik berkisar antara 15-20% pada
populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang, dan Italia. Diperkirakan 20-30%
diantaranya berada dalam fase yang lebih berat (NASH). Sebuah penelitian
terhadap populasi dengan obesitas di negara maju mendapatkan 60% perlemakan
hati sederhana, 20-25% NASH, dan 2-3% sirosis. Dalam laporan yang sama
disebutkan pula bahwa 70% pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami
perlemakan hati, sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60%.
Di Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati nonalkoholik masih
belum banyak. Lesmana melaporkan 17 pasien NASH rata-rata berumur 42 tahun
dengan 29% gambaran histologi hati menunjukkan steatohepatitis dengan fibrosis.
Sebuah studi populasi dengan sampel cukup besar oleh Hasan dan kawan-kawan
mendapatkan prevalensi perlemakan hati nonalkoholik sebesar 30,6%. Faktor
risiko penting yang dilaporkan adalah obesitas, diabetes melitus, dan
hipertrigliseridemia.
Steatohepatitis nonalkoholik dapat terjadi pada semua usia termasuk anak-
anak, walaupun penyakit ini dikatakan paling banyak pada dekade keempat dan
kelima kehidupan. Jenis kelamin yang dominan berbeda-beda dalam berbagai
penelitian, namun umumnya menunjukkan adanya predileksi perempuan, obesitas,
DM tipe 2, dan dislipidemia juga merupakan kondisi yang berkaitan dengan
perlemakan hati nonalkoholik. Walaupun demikian NASH dapat terjadi pada
individu yang tidak gemuk tanpa faktor risiko seperti di atas.
3
1.3. Etiologi
Tabel 1. Penyebab Steatosis Makrovesikular
Penyebab Steatosis MakrovesikularResistensi insulin, hiperinsulinemia
Obesitas SentralDiabetes tipe 2
MedikasiGlukokortikoidEstrogenTamoxifenAmiodarone
NutrisionalKelaparanDefisiensi protein (Kwashiorkor)Defisiensi kolin
Penyakit hatiWilson diseaseHepatitis kronis C-genotipe 3Indian Childhood CirrhosisJejunoileal bypass
1.4. Patogenesis
Pengetahuan mengenai patogenesis NASH masih belum memuaskan. Dua
kondisi yang sering berhubungan dengan NASH adalah obesitas dan diabetes
melitus, serta dua abnormalitas metabolik yang sangat kuat kaitanya dengan
penyakit ini adalah peningkatan suplai lemak ke hati serta resistensi insulin.
Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory yang
diajukan oleh Day and James, hit pertana terjadi akibat penumpukan lemak
hepatosit yang dapat terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia,
diabetes melitus, dan obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal,
asam lemak bebas dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri
dan portal. Di dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih
lanjut, seperti proses reesterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan dalam
pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak tubuh,
khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan penglepasan asam lemak
bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Bertambahnya asam lemak
4
bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkatkan oksidasi dan esterifikasi
lemak. Proses ini terfokus di mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai hit
kedua. Peningkatan stres oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena resistensi
insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-
coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1,
peningkatan cadangan besi dan menurunnya aktivitas antioksidan. Ketika stres
oksidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan antioksidan, maka
aktivasi sel stelata dan sitokin proinflamasi akan berlanjut dengan inflamasi
progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan
Mallory, serta fibrosis. Meskipun teori two hit sangat popular dan dapat diterima,
agaknya penyempurnaan akan terus dilakukan karena makin banyak yang
berpendapat bahwa yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit.
1.5. Perjalanan Penyakit
Perjalanan alamiah penyakit perlemakan hati nonalkoholik masih belum
jelas diketahui karena masih terbatasnya penelitian prospektif, tapi tampaknya
sangat dipengaruhi oleh derajat kerusakan jaringan. Selama ini disepakati bahwa
ada beberapa tingkat gambaran histologik sepanjang perjalanan alamiah penyakit
ini, yaitu perlemakan hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis yang disertai
fibrosis, dan sirosis. Terbukti pula bahwa setelah berkembang menjadi sirosis,
perlemakan sebaliknya makin menghilang.
Pada sebuah penelitian terhadap 257 orang pasien perlemakan hati
nonalkoholik yang dipantau selama 3,5 sampai 11 tahun melalui biopsi hati,
didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progresif, 59% tidak mengalami
perubahan, dan 13% justru membalik. Pada beberapa kasus terlihat jelas
perkembangan mulai dari steatosis menuju steatohepatitis sampai akhirnya
menjadi sirosis hati.
Sampai saat ini risiko mortalitas pasien-pasien perlemakan hati
nonalkoholik masih menjadi kontradiksi. Studi oleh Prost dan kawan-kawan
membandingkan probabilitias kesintasan (survival) 30 pasien steatohepatitis
5
nonalkoholik dengan kontrol yang disesuaikan usia dan jenis kelaminnya.
Ternyata kelompok pasien steatohepatitis nonalkoholik memiliki kesintasan yang
lebih pendek 5-10 tahun. Suatu penelitian retrospektif potong lintang melaporkan
11 kematian di antara 299 pasien (31%). Selanjutnya dalam studi lain didapatkan
hanya 1 kematian di antara 42 pasien selama pemantauan 4,5 tahun, sehingga
mendukung pendapat mortalitas yang rendah dari studi sebelumnya. Hasil
sebaliknya ditunjukkan beberapa penelitian terbaru. Studi terhadap 30 pasien
steatohepatitis nonalkoholik yang diikuti lebih dari 10 tahun, mendapatkan
kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10 tahun 59%. Harus diingat bahwa
semua data dikumpulkan secara retrospektif dengan berbagai keterbatasan,
sehingga penelitian prospektif unutk menilai mortalitas masih sangat diperlukan.
Banyak faktor yang berperan dalam mortalitas pasien dengan perlemakan
hati nonalkoholik, seperti obesitas, diabetes melitus beserta komplikasinya,
komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hatinya sendiri.
Belum ada publikasi yang secara jelas menilai kontribusi faktor-faktor tersebut
terhadap kematian pasien, walaupun sebuah studi mendapatkan bahwa terjadinya
sirosis meningkatkan resiko relatif mortalitas.
Perbaikan histologik juga dapat terjadi, khususnya pada pasien-pasien
dengan fibrosis minimal. Setelah mengalami penurunan berat badan, hstologi hati
bisa membaik antara lain berupa berkurangnya inflamasi serta Mallory bodies,
sampai perbaikan firosis. Tentunya hal ini terjadi jika penurunan dilkukan secara
bertahap, karena terbukti bahwa kehilangan berat badan mendadak justru memicu
progresi penyakit bahkan sampai mengalami gagal hati.
1.6. Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati nonalkoholik tidak
menunjukkan gejala maupun tanda-tanda adanya penyakit hati. Beberapa pasien
melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan seperti
mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien, hepatomegali
merupakan satu-satunya kelainan fisik yang didapatkan. Umumnya pasien dengan
perlemakan hati nonalkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
6
pemeriksaan lain, misalnya dalam medical check-up. Sebagian lagi datang dengan
komplikasi sirosis seperti asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah
berkembang menjadi hepatoma.
1.7. Diagnosis
Biopsi hati merupakan baku emas pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metoda untuk
membedakan steatosis nonalkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai
inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu dilakukan sebagai
pemeriksaan rutin dalam proses penegakkan diagnosis perlemakan hati
nonalkoholik. Sebagian ahli mendukung dilakukannya biopsi karena pemeriksaan
histopatologi mampu menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, membedakan
steatosis dari steatohepatitis, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi
fibrosis dari waktu ke waktu. Alasan dari kelompok yang menentang biopsi hati
antara lain prognosis yang umumnya baik, belum tersedianya terapi yang benar-
benar efektif, dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh karenya
pemeriksaan radiologi dan kimia darah terus menerus diteliti dan dioptimalkan
sebagai metoda pemeriksaan alternatif yang bersifat non invasif.
1. Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara akurat membedakan
steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati nonalkoholik dengan
perlemakan hati alkoholik. Peningkatan ringan sampai sedang, konsentrasi AST,
ALT, atau keduanya merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang
paling sering didapatkan pada pasien-pasien dengan perlemakan hati
nonalkoholik. Beberapa pasien datang dengan enzim hati yang normal sama
sekali. Kenaikan enzim hati biasanya tidak melebihi empat kali (kurang dari 300
IU/L) dengan rasio AST:ALT kurang dari satu, tetapi pada fibrosis lanjut rasio ini
dapat mendekati atau bahkan melebih satu.1,2 Pelu menjadi perhatian beberapa
studi yang melaporkan bahwa konsntrasi AST dan ALT tidak memiliki korelasi
dengan aktivitas histologis, bahkan konsentrasi enzim dapat tetap normal pada
penyakit hati yang sudah lanjut. Pemeriksaan laboratorium lain seperti fosfatase
7
alkali, -glutamiltransferase, feritin darah atau saturasi tranferin juga dapat
meningkat, sedangkan hipoalbuminemia, waktu protrombin yang memanjang, dan
hiperbilirubinemia biasanya ditemukan pada pasien yang sudah menjadi sirosis.
Dislipidemia ditemukan pada 21-83% pasien dan biasanya berupa
peningkatan konsentrasi trigliserida. Karena diabetes merupakan salah satu faktor
risiko perlemakan hati nonalkoholik, maka tidak jarang terdapat pula peningkatan
konsentrasi gula darah.
2. Evaluasi pencitraan
Berbagai modalitas pencitraan telah dicoba untuk mendeteksi perlemakan
hati. Agaknya ultrasonografi merupakan pilihan terbaik saat ini, walaupun CT dan
MRI juga dapat digunakan. Pada USG, infiltrasi lemak di hati akan menghasilkan
peningkatan difus ekogenisitas (hiperekoik, bright liver) bila dibandingkan
dengan ginjal. Sensitifitas USG 89% dan spesifitasnya 93% dalam mendeteksi
steatosis. Terbukti ketiga teknik pencitraan di atas memiliki sensitifitas yang baik
untuk mendeteksi perlemakan hati nonalkoholik dengan deposit lemak di hati
melebih dari 39%, tetapi tidak satu pun dari ketiga alat tersebut dapat
membedakan perlemakan hati sederhana dari steatohepatitis.
Gambar 1. Gambaran USG steatohepatitis. Parenkim tampak hiperekogenik dibandingkan dengan ginjal.2
8
Infiltrasi lemak di hati menghasilkan gambar parenkim hati dengan
densitas rendah yang bersifat difus pada CT, meskipun adakalanya berbentuk
fokal. Gambaran fokal ini dapat disalahartikan sebagai massa ganas di hati. Pada
keadaan seperti itu MRI bisa dipakai untuk membedakan nodul akibat keganasan
dari infiltrasi fokal lemak di hati.
Gambar 2. Gambaran CT steatohepatitis. (Kiri) Pada gambaran non-kontras, hati tampak lebih gelap dibandingkan limpa. (Kanan) dengan kontras.2
3. Histologi
Secara histopatologis, perlemakan hati nonalkoholik tidak dapat dibedakan
dengan kerusakan hati akibat alkohol. Gambaran biopsi hati antara lain berupa
steatosis, infitrasi sel radang, hepatocyte ballooning dan nekrosis, nukleus
glikogen, Mallory’s hyaline, dan fibrosis.
Ditemukannya fibrosis pada perlemakan hati nonalkoholik menunjukkan
kerusakan hati lebih lanjut dan lebih berat. Dari berbagai penelitian terhadap
gambaran histologi hati yang pernah dilakukan terlihat bahwa fibrosis dalam
berbagai derajat ditemukan pada hampir 66% kasus ketika diagnosis ditegakkan,
25% di antaranya dengn fibrosis berat (fibrosis septa atau sirosis) dan 14% sirosis
nyata.
9
Gambar 1. (kiri atas) steatohepatitis makrovesikular (pewarnaan HE); (kanan atas) baloning dengan hialin Mallory dalam sel baloning (panah); (kiri bawah) badan Mallory diwarnai dengan
antibodi ubiquitin; (kanan bawah) perwarnaan Masson trichrome menunjukan fibrosis periselular terutama di daerah sentrilobular
Karakterisktik histologis perlemakan hati nonalkoholik adalah
ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa inflamsi. Perlemakan umumnya
didominasi oleh gambaran sel makrovesikular yang mendesak inti hepatosi ke tepi
sel. Pada fase awal atau steatosis ringan, lemak ditemukan paada zona 3 hepatosit.
Inflamasi merupakan komponen dasar untuk menyatakan adanya steatohepatitis
nonalkoholik. Sel-sel inflamasi tersebut terdiri dari netrofil dan sel mononuklear
yang ditemukan pada lobulus-lobulus hati. Bila sel-sel inflamasi tidak ditemukan
berarti pasien masih berada dalam tahap perlemakan hati saja. Adanya badan
Mallory dan anak inti glikogen merupakan variasi dari gambaran steatohepatitis
nonalkoholik. Biasanya badan Mallory ini memiliki ukuran lebih kecil daripada
yang biasa ditemukan pada steatoheaptitis alkoholik.
10
Tabel 2. Grading dan Staging perlemakan hati non-alkoholik
Grading untuk SteatosisGrade 1 <33% hepatosit terisi lemakGrade 2 33-66% hepatosit terisi lemakGrade 3 >66% hepatosit terisi lemak
Grading untuk steatohepatitisGrade 1, Ringan
Steatosis Didominasi makrovesikular, melibatkan hingga 66% dari lobulus
Degenerasi balon Kadangkala terlihat di zona 3 hepatosit
Inflamasi lobular Inflamasi akut tersebar dan ringan (sel PMN), kadangkala inflamasi kronik (sel MN)
Inflamasi portal Tidak ada atau ringanGrade 2, sedang
Steatosis Berbagai derajat, biasanya campuran makrovesikular dan mikrovesikular
Degenerasi balon Jelas terlihat dan terdapat di zona 3Inflamasi lobular Adanya sel PMN dikaitkan dengan
hepatosist yang mengalami degenerasi balon, fibrosis periselular, inflamasi kronik ringan mungkin ada
Inflamasi portal Ringan sampai sedangGrade 3, berat
Steatosis Meliputi >66% lobulus (panasinar), umumnya steatosis campuran
Degenerasi balon Nyata dan terutama di zona 3Inflamasi lobular Inflamasi akut dan kronik yang
tersebar, sel PMN terkonsentrasi di area zona 3 yang mengalami degenerasi balon dan firosis perisinusioidal
Inflamasi portal Ringan sampai sedangStaging untuk Fibrosis
Stage 1 Firosis perivenulaer zona 3, perisinusoidal, periselular, ekstensif atau fokal
Stage 2 seperti di atas, dengan fibrosis periportal yang fokal atau ekstensif
Stage 3 Fibrosis jembatan, fokal atau ekstensifStage 4 Sirosis
11
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai interpretasi
histopatologis steatohepatitis nonalkoholik. Kontroversi terutama mengemukan
dalam hal penentuan kriteria untuk membedakan perlemakan hati sederhana
dengan steatohepatitis nonalkoholik. Di samping itu, meskipun penilaian derajat
fibrosis hampir seragam, para ahli patologi seringkali tidak sepaham menyangkut
grading inflamasi. Klasifikasi dari Brunt merupakan kriteria histopatologis yang
banyak dipakai untuk menentukan derajat steatohepatitis nonalkoholik.
1.8. Penatalaksanaan
Sampai sekarang modalitas pengobatan yang terbukti baik masih terbatas.
belum ada terapi yang secara universal dapat dikatakan efektif, strategi
pengobatan cenderung dilakukan dengan pendekatan empiris karena patogenesis
penyakit juga belum begitu jelas diketahui. Penelitian terapi medikamentosa
NASH yang dipublikasikan sebagian besar merupakan uji klinis tanpa kontrol.
penelitian yang menggunakan kontrol umumnya dilakukan terhadap pasien dalam
jumlah kecil atau bervariasi dalam menentukan kriteria steatoheaptitis dan
parameter keberhasilan. Oleh karena itu, pengobatan lebih ditujukan pada
tindakan untuk mengontrol faktor risiko, seperti memperbaiki resistensi insulin
dan mengurangi asupan asam lemak ke hati, selanjutnya baru pemakaian obat
yang dianggap memiliki potensi hepatoprotektor.
1. Pengontrolan Faktor Risiko
a. Mengurangi berat badan dengan diet dan latihan jasmani.
Intervensi terhadap gaya hidup dengan tujuan mengurangi berat badan
merupakan terapi lini pertama bagi NASH. Target penurunan berat badan adalah
untuk mengoreksi resistensi insulin dan obesitas sentral, bukan untuk
memperbaiki bentuk tubuh. Penurunan berat badan secara bertahap terbukti dapat
memperbaiki konsentrasi serum aminotransferase (AST dan ALT) serta gambaran
histologi hati pada pasien dengan NASH. Erikson dkk melaporkan efek
penurunan berat badan pada tiga pasien yang sebelunya mengalami kelebihan
berat badan antara 50-60%. Ternyata semua mengalami perbaikan dengan
12
konsentrasi enzin aminotransferase mendekati normal, dan dua pasien
menunjukkan normalitas histologi hati. Sebuah studi lain di Jepang yang
menggunakan intervensi diet dan olahraga untuk menurunkan berat badan juga
memberikan hasil yang sama. Perlu diperhatikan bahwa penurunan berat badan
terlalu drastis atau fluktuasi berat badan yang bolak-balik naik turun (sindrom yo-
yo) justru memicu progresi penyakit hati. Hal ini terjadi akibat meningkatkan
aliran asam lemak bebas ke hati sehingga peroksidasi lemak pun turut meningkat.
Sebaliknya penurunan berat badan bertahap ternyata tidak mudah dilakukan dan
seringkali sulit untuk dipertahankan.
Latihan jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi dalam usaha
mengurangi berat badan. Aktifitas fisik hendaknya berupa latihan yang bersifat
aerobik paling sedikit 30 menit sehari. Sangat penting untuk mencapai target
denyut nadi, tetapi tidak perlu manjalankan latihan yang terlalu berat.
Esensi pengaturan diet tidak berbeda dengan diet pada diabetes:
mengurangi asupan lemak total menjadi <30% dari total asupan energi,
mengurangi asupan asam lemak jenuh, mengganti dengan karbohidrat kompleks
yang mengandung setidaknya 15 gram serat kaya akan buah dan sayuran.
Walaupun dianjurkan untuk merujuk pasien kepada ahli gizi untuk mendapatkan
pengetahuan lebih rinci mengenai pengaturan diet, namun setiap dokter
diharapkan mampu memberikan informasi prinsip diet rendah lemak yang
sesungguhnya tidaklah terlalu rumit.
b. Mengurangi berat badan dengan tindakan bedah
Setelah gagal dengan pengaturan diet dan latihan jasmani tidak jarang
pasien beralih kepada terapi pembedahan. Beberapa penelitian melaporkan
manfaat operasi beriatrik terhadap pasien dengan perlemakan hati. Terlihat adanya
perbaikan pada gambaran histologi hati serta parameter umum sindrom metabolik.
Sekali lagi harus diingat potensi timbulnya eksaserbasi steatohepatits pada
penurunan berat badan yang terlalu cepat.
13
2. Terapi Farmakologis
a. Antidiabetik dan insulin sensitizer
Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan
produksi glukosa hati. Lin dkk menunjukkan perbaikan penyakit perlemakan hati
pada model hewan dengan NASH. Hal ini dianggap terjadi melalui penghambatan
TNF sehingga terjadi perbaikan insulin, downregulation konsentrasi UCP-2
messanger RNA di hati, dan penurunan pengikatan DNA oleh SREBP-1 pada
ekstrak hati tikus.
Penelitian lain dilakukan oleh Marchesini dkk. Empat belas pasien NASH
mendapat terapi metformin 3x500 mg/hari selama empat bulan dan sebagai
kelompok kontrol adalah 6 pasien NASH yang hanya mendapat terapi diet.
Didapatkan perbaikan konsentrasi rata-rata SGPT, peningkatan sensitifitas insulin,
dan penurunan volume hati pada pasien yang mendapatkan terapi metformin.
namun sayangnya, pada penlitian ini tidak dilakukan evaluasi histopatologis
setelah terapi.
Tiazolidindion adalah obat antidiabetik yang bekerja sebagai ligan untuk
PPAR dan memperbaiki sensitifitas insulin pada jaringan adiposa. Selain itu,
tiazolidindion juga menghambat ekspresi leptin dan TNF, konstituen yang
dianggap terlibat dalam patogenesis NASH. Terdapat 3 tiazolidindion yang telah
diproduksi. Pertama, troglitazon telah ditarik dari peredaran karena menyebabkan
kerusakan hati, termasuk beberapa kematian akibat penyakit hati. Caldwell dkk
menggunakan obat ini sebelum ditarik dari peredaran. Berdasarkan penelitiannya,
ditemukan normalisasi enzim tanpa perbaikan histologis pada 7 dari 10 pasien
NASH yang diterapi roglitazon selama 6 bulan. Kedua, rosiglitazon yang telah
diteliti selama setahun pada 25 pasien dengan NASH. Konsentrasi enzim-enzim
hati (AST, fosfatase alkali, dan -glutamil transpeptidase) membaik secara
bermakna seperti juga sensitifitas insulin. Biopsi hati yang dilakukan pasca terapi
menunjukkan adanya perbaikan derajat fibrosis sentrilobular. Adanya beberapa
kasus gangguan hati akibat rosiglitazon, diperlukan studi terkontrol lebih besar
untuk menilai manfaat dan keamanan obat ini. Obat ketiga adalah pioglitazon
yang paling tidak telah dilaporkan pada studi pendahuluan. Ketiganya
14
membuktikan terjadinya perbaikan pada aminotransferase, dua penelitian juga
disertai perbaikan derajat steatosis dan nekroinflamasi. Sayangnya, penelitian
tersebut melibatkan sampel kecil, 80 pasien, sehingga dibutuhkan penelitian
lanjutan dengan sampel yang lebih besar.
b. Obat antihiperlipidemia
Studi menggunakan gemfibrozil menunjukkan perbaikan ALT dan
konsentrasi lipid setelah pemberian obat selama satu bulan, tetapi evaluasi
histologis tidak dilakukan. Uji klinis terhadap statin juga telah dilakukan. Sebuah
studi pendahuuan dengan sampel kecil memperlihatkan perbaikan parameter
biokimiawi dan histologi pada sekelompok pasien yanng mendapat atorvastatin.
Sebalikan studi lain menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara
kontrol dan pasien yang menggunakan berbagai jenis statin.
c. Antioksidan
Berdasarkan patogenesisnya, terapi antioksidan diduga berpotensi untuk
mencegah progresi steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis. Antioksidan
yang pernah dievaluasi sebagai alternatif terapi pasien perlemakan hati
nonalkoholik antara lain vitamin E (a-tokoferol), vitamin C, betain dan N-
asetilsistein. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa vitamin
E menghambat produksi sitokin oleh leukosit. Sementara itu uji klinis pada
manusia menunjukkan bahwa TGF-, memperbaiki inflamsi dan fibrosis, seperti
studi yang melibatkan 12 pasien dengan steatohepatitis berdasarkan biopsi dan 10
pasien dengan perlemakan hati yang mendapat vitamin E 300IU/hari selama
setahun. Tes fungsi hati menunjukkan perbaikan bermakna dibandingkan data
awal, sedangkan derajat steatosis, inflamasi dan fibrosis membaik atau tetap stabil
pada sembilan pasien dengan steatohepatitis yang menjalani biopsi hati ulangan
pasca terapi. Studi lain dilakukan terhadap 45 pasien dengan steatohepatitis
nonalkoholik yang menerima kombinasi vitamin E 1000 IU/hari dan vitamin C
1000 IU/hari atau plasebo selama enam bulan. Ternyata tidak terlihat perbedaan
bermakna antara kelompok kontrol dan plasebo dalam enzim-enzim hati, derajat
steatosis dan aktivitas nekroinflamasi. Untuk memastikan potensi efikasi vitamin
15
E terhadap pasien perlemakan hati nonalkoholik masih diperlukan penelitian
terkontrol dengan jumlah lebih besar.
Betain berfungsi sebagai donor metil dalam pembentukan lesitin dalam
siklus metabolik metionin. Pada sebuat penelitian oleh grup dari klinis Mayo,
betain 20mg/hari diberikan ada delapan pasien dengan steatoheatitis nonalkoholik
selama 12 bulan. Pasca terapi terlihat perbaikan bermakna konsentrasi ALT,
steatosis, aktivitas nekroinflamasi dan firosis.
d. Hepatoprotektor
Ursodoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu dengan banyak
potensi, seperti efek imunomodulator, pengaturan lipid, dan efek sitoproteksi.
Pertama kali digunakan secara empiris pada seorang perempuan berusia 66 tahun
dengan steatohepatitis nonalkoholik yang menunjukkan normalisasi enzim
transaminase setelah terapi UDCA selama satu tahun. Sampai saat ini terdapat
empat uji klinis terbuka untuk menilai manfaat terapi UDCA pada pasien steato
hepatitis nonalkoholik. Pada sebuat studi pendahuluan terhadap 40 pasien yang
mendapat UDCA 13-15 mg/kg/hari selama satu tahun terbukti adanya perbaikan
ALT, fosfatase alkali, -GT, dan steatosis, tetapi tidak ada perbaikan bermakna
dalam derajat inflamasi dan fibrosis. Pada studi lain tes fungsi hati mengalami
perbaikan pada 13 pasien setelah mendapat UDCA 10mg/kg/hari selama 6 bulan.
Studi paling akhir menyangkut UDCA dilakukan terhadap 24 pasien dengan dosis
250 mg tiga kali sehari selama 6-12 bulan. Dilaporkan adanya perbaikan
konsentrasi aminotransferase dan petanda fibrogenesis.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan I. Perlemakan hati nonalkoholik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar penyakit dalam. Jilid I, ed ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal. 695-701.
2. Sanyal AJ. Nonalcoholic fatty liver disease. In: Yamada T. textbook of gastroenterology. 5th edition, volume 1. Chichester: Wiley-Blackwell Publishing; 2009. p. 2274-2301.
3. Bacon BR. Genetic, metabolic, and infiltrative disease affecting the liver. In: Longo DL, Fauci AS. Harrison’s gastroenterology and hepatology. 17th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2010. p. 439-438.
17