Post on 04-Dec-2019
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Retinoblastoma Diffuse Infiltrating Menyerupai Panuveitis:
Sebuah Kasus Langka
Penyaji : Madona Debora
Pembimbing : dr. Maya Sari Wahyu K., SpM(K)., MKes.
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh
Pembimbing
dr. Maya Sari Wahyu K., SpM(K)., MKes.
Jumat, 18 Oktober 2019
Pukul 08.15 WIB
1
DIFFUSE INFILTRATING RETINOBLASTOMA MIMICKING PANUVEITIS:
A RARE CASE
Abstract
Introduction: Retinoblastoma is the most common childhood cancer. Diffuse infiltrating retinoblastoma is a very rare subtype of this neoplasm and is characterized by atypical growth
pattern. Diffuse infiltrating retinoblastoma may mimic other more innocuous diseases and may
therefore be misdiagnosed.
Purpose: To provide a review of clinical manifestations of diffuse infiltrating retinoblastoma mimicking panuveitis.
Case Report: A four years old girl presented with 2 weeks history of leukocoria and redness in
left eye. She reported unilateral reduction in vision and denied pain. The previous medical and ophthalmic history was unremarkable. There was no history of retinoblastoma in two previous
generation family. Ophthalmologic examination of left eye revealed no light perception of
visual acuity, ciliary injection, keratic precipitate, pseudohypopyon, and hyphema. Pseudohypopion was fluctuated as the response of steroid administration. B-scan
ultrasonography showed intraretinal mass with minimal calcification. CT-scan showed
intraretinal mass with multiple calcification and enhancement of optic nerve. Histopathology
findings showed differentiated retinoblastoma infiltrating anterior segment. Enucleation was performed followed by systemic chemotherapy in order to avoid systemic metastasis.
Conclusion: Diffuse infiltrating retinoblastoma is a rare variant of retinoblastoma that
presents with atypical features and may be mimicking as a panuveitis. A high degree of clinical suspicion supported by the use of appropriate imaging modalities is necessary for diagnosis.
Keyword: Diffuse infiltrating retinoblastoma, enucleation, chemotherapy.
I. Pendahuluan
Retinoblastoma adalah keganasan intraokular dan tumor solid yang paling sering
ditemukan pada masa kanak – kanak. Insidensi retinoblastoma 1 : 14.000 sampai 1 :
20.000 per kelahiran hidup. Manifestasi klinis awal yang paling sering ditemukan
adalah leukokoria. Strabismus dapat ditemukan pada 25% kasus retinoblastoma.
Retinoblastoma muncul secara unilateral pada 60% kasus dan terjadi secara sporadik,
tanpa adanya mutasi somatik terhadap protein gen retinoblastoma (RB1).
Retinoblastoma bilateral muncul pada 40% kasus dengan mutasi somatik pada gen RB
1. 1,2
Ashton memperkenalkan istilah retinoblastoma diffuse infiltrating pada 1958 untuk
mendeskripsikan neoplasma yang tidak membentuk massa tumor di dalam retina.
Retinoblastoma diffuse infiltrating terjadi pada 1% - 2% kasus dengan pertumbuhan
tumor secara horizontal, pola pertumbuhan yang menyebar, menginfiltrasi retina dan
2
vitreus tanpa ditemukan massa tumor. Penyebaran ke segmen anterior dapat muncul
sebagai pseudohipopion, peradangan bilik anterior, heterokromia pada iris, atau
perdarahan. Gejala retinoblastoma diffuse infiltrating dapat menyerupai penyakit
inflamasi yang menyulitkan dalam penegakan diagnosis. 2,3
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk melaporkan manifestasi klinis
pasien retinoblastoma diffuse infiltrating yang menyerupai penyakit panuveitis.
II. Laporan Kasus
Seorang anak perempuan berusia empat tahun datang ke Poliklinik Pediatrik
Oftalmologi – Strabismus RS Mata Cicendo pada 25 Februari 2019 dengan keluhan
utama adanya bercak keputihan pada bagian hitam mata kiri 2 minggu sebelumnya
disertai dengan mata merah dan buram. Riwayat mata merah merah berulang,
pemakaian kacamata, trauma pada mata, operasi pada mata, penggunaan obat secara
rutin tidak ada. Riwayat batuk kronis, nyeri sendi, benjolan pada sendi, penyakit
sistemik lain, dan perawatan di rumah sakit dalam waktu lama tidak ada. Riwayat
penyakit pada mata dan tumor pada dua generasi keluarga tidak ada. Ibu pasien
melakukan pemeriksaan berkala selama kehamilan dan tidak terdapat riwayat demam,
merokok, konsumsi alkohol atau obat-obatan selama kehamilan. Pasien merupakan
anak ke dua dari dua bersaudara. Lahir cukup bulan, secara spontan di Bidan dengan
berat badan lahir 2.100 gram, lahir langsung menangis kuat, dan riwayat imunisasi
lengkap sesuai dengan usia. Gambar 1 menunjukkan pohon keluarga pasien.
Gambar 1. Pohon keluarga
3
Pada pemeriksaan oftalmologi awal didapatkan visus mata kanan 0.5, visus mata
kiri 0.125 (Cardiff pada jarak 50 cm). Pemeriksaan non contact tonometry OD: 15 OS:
18. Pemeriksaan anterior OD dalam batas normal. Pemeriksaan anterior OS tampak
injeksi siliar, keratic precipitate, flare/cell +4/+4 disertai hipopion 5 mm pada Camera
Oculi Anterior (COA), pupil, iris, dan lensa sulit dinilai. Pemeriksaan funduskopi mata
kanan dalam batas normal. Pemeriksaan funduskopi mata kiri sulit dinilai karena media
yang cukup keruh.
Pemeriksaan ultrasonografi B scan OS menunjukkan kesan kekeruhan vitreus yang
disebabkan sel-sel radang (Gambar 2). Pasien kemudian didiagnosis dengan suspek
panuveitis granulomatosa OS et causa suspek TB dengan diagnosis banding
endoftalmitis endogen. Pasien diberikan terapi prednisolon asetat tetes mata 8x1 tetes
OS, homatropin 2% tetes mata 3x1tetes OS, dan metilprednisolon 2x8mg tablet per
oral. Pasien dikonsultasikan ke bagian IKA untuk penegakan kelainan sistemik.
Gambar 2. Pemeriksaan ultrasonografi B scan OS 25 Februari 2019 menunjukkan kesan
kekeruhan vitreus yang disebabkan sel-sel radang.
Pemeriksaan berkala oleh Dokter Spesialis Anak didapatkan hasil tidak ditemukan
adanya tanda-tanda TB paru (tes mantoux negatif). Hasil TORCH: IgM anti-CMV
equivocal 1.01; IgG anti-CMV reaktif 14.4; dan IgG anti-Rubella reaktif 129. Setelah
tiga minggu terapi steroid terdapat perbaikan klinis dengan hipopion berkurang dari 5
mm menjadi 3 mm pada CoA OS. Pemeriksaan CT-scan orbita kepala pada 14 Maret
2019 didapatkan kesan retinoblastoma OS, sinusitis maksilaris bilateral, tidak tampak
metastasis tumor intrakranial (Gambar 3). Pasien didiagnosis sebagai Masquerade
4
syndrome ec suspek retinoblastoma OS dengan diagnosis banding panuveitis
granulomatosa OS, endoftalmitis endogen et causa infeksi CMV.
Gambar 3. CT-scan orbita kepala 14 Maret 2019 didapatkan kesan retinoblastoma OS,
sinusitis maksilaris bilateral, tidak tampak metastasis tumor intrakranial
Pemeriksaan 23 Mei 2019 orangtua pasien mengatakan bercak putih tidak ada.
Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus mata kanan 0.8 (Cardiff 1 meter), visus
mata kiri persepsi cahaya dengan proyeksi baik ke segala arah. Tekanan intraokular
secara palpasi kedua mata normal. Segmen anterior mata kanan ditemukan dalam batas
5
normal. Segmen anterior mata kiri ditemukan keratic precipitate pada kornea, tidak
tampak hipopion pada COA dengan flare/cell +3/+3, pupil lonjong, sinekia posterior
+, lensa keruh. Pemeriksaan funduskopi mata kanan dalam batas normal. Pemeriksaan
funduskopi mata kiri sulit dinilai karena media yang keruh. Hasil ultrasonografi B scan
didapatkan kesan kekeruhan vitreus tanpa adanya massa dan kalsifikasi. Pasien
didiagnosis sebagai masquerade syndrome ec suspek retinoblastoma OS dengan
diagnosis banding panuveitis granulomatosa OS, endoftalmitis endogen et causa
infeksi CMV. Terapi steroid dilanjutkan dalam dosis tappering off. Hasil pemeriksaan
CMV-DNA dengan real time PCR pada 27 Mei 2019 virus tidak terdeteksi. Hasil
pemeriksaan Rheumatoid Factor (RF) <10.00 IU/ml dan tes ANA non reaktif.
Gambar 4. Pemeriksaan oftalmologis 13 Juni 2019 didapatkan injeksi siliar, keratic
precipitate, hipopion 1.3 mm.
Pada 13 Juni 2019 orangtua pasien mengeluhkan bercak putih muncul kembali
disertai mata merah dan nyeri. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus mata kanan
0.8 (Cardiff 1 meter), visus mata kiri persepsi cahaya dengan proyeksi baik ke segala
arah. Tekanan intraokular secara palpasi kedua mata normal. Segmen anterior mata
kanan ditemukan dalam batas normal. Segmen anterior mata kiri tampak injeksi siliar,
keratic precipitate pada kornea, hipopion pada COA 1.3 mm dengan flare/cell +4/+4,
pupil lonjong, sinekia posterior +, lensa keruh (Gambar 4). Pemeriksaan funduskopi
mata kanan dalam batas normal. Pemeriksaan funduskopi mata kiri sulit dinilai karena
media yang keruh. Hasil ultrasonografi B scan didapatkan kesan kekeruhan vitreus,
penebalan retina, massa yang melekat pada retina, kalsifikasi minimal (Gambar 5).
Pasien didiagnosis sebagai Masquerade syndrome ec suspek retinoblastoma OS dengan
6
diagnosis banding panuveitis granulomatosa OS, endoftalmitis endogen. Terapi steroid
diberikan kembali dengan dosis prednisolon asetat tetes mata 8x1 tetes OS dan
metilprednisolon 2x8 mg tablet per oral.
Gambar 5. Hasil ultrasonografi B scan pada 13 Juni 2019 didapatkan kesan kekeruhan
vitreus penebalan retina, massa yang melekat pada retina, kalsifikasi
minimal.
Biopsi cairan vitreus dan akueus dilakukan oleh Unit Vitreoretina pada 23 Agustus
2019 dengan hasil pemeriksaan sitologi ditemukan sel tumor ganas yang didapatkan
pada malignant round cell tumor at regio vitreal et COA okular sinistra, kesan
retinoblastoma (Gambar 6). Pemeriksaan pada 6 September 2019 orangtua pasien
mengeluhkan bercak kemerahan pada mata kiri. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan
visus mata kanan 0.8 (Cardiff 1 meter), visus mata kiri tidak ada persepsi cahaya.
Tekanan intraokular secara palpasi kedua mata normal. Segmen anterior mata kanan
ditemukan dalam batas normal. Segmen anterior mata kiri tampak blefarospasme,
injeksi siliar, dilatasi vena episklera, keratic precipitate pada kornea, dengan bayangan
koroid tampak pada bagian superior sklera, hifema pada COA dengan flare/cell +3/+3,
pupil lonjong, sinekia posterior +, lensa keruh (Gambar 7).
7
Gambar 6. Biopsi cairan vitreus dan akueus 23 Agustus 2019 ditemukan sel tumor ganas
yang didapatkan pada malignant round cell tumor at regio vitreal et COA.
Keterangan: ↑: malignant round cell tumor
Gambar 7. Pemeriksaan oftalmologis OS 6 September 2019 tampak keratic precipitate
pada kornea, dengan bayangan koroid pada bagian superior sklera, dan hifema
↑
↑
↑ ↑
↑
↑ ↑
8
Pemeriksaan CT-scan orbita kepala dilakukan pada 2 September 2019. Hasil
pemeriksaan didapatkan kesan retinoblastoma OS dengan multiple kalsifikasi disertai
infiltrasi massa ke nervus optikus kiri, tidak tampak metastasis tumor intrakranial
(Gambar 8). Pasien didiagnosis dengan masquerade syndrome ec suspek
retinoblastoma diffuse infiltrating grade E OS. Pasien direncanakan untuk dilakukan
tindakan enukleasi + pemeriksaan patologi anatomi OS dan Examination Under
Anaesthesia (EUA) OD dalam narkose umum.
Gambar 8. CT-scan orbita kepala didapatkan kesan retinoblastoma OS disertai infiltrasi
massa ke nervus optikus kiri, tidak tampak metastasis tumor intrakranial.
Enukleasi dengan pemeriksaan patologi anatomi OS dan Examination Under
Anaesthesia (EUA) OD dilakukan pada 18 September 2019. Hasil Pemeriksaan EUA
OD didapatkan segmen anterior dan posterior dalam batas normal. Hasil pemeriksaan
patologi anatomi didapatkan kesimpulan differentiated retinoblastoma ocular sinistra
yang telah menginfiltrasi kornea, anterior chamber, massif koroid, sklera serta telah
menginvasi nervus optikus hingga ke batas sayatan nervus optikus (Gambar 9).
Pemeriksaan 1 minggu pasca enukleasi didapatkan visus mata kanan 0.8 (Cardiff 1
meter). Tekanan intraokular secara palpasi mata kanan normal. Segmen anterior mata
9
kanan ditemukan dalam batas normal. Segmen anterior mata kiri tampak palpebral
superior inferior tenang, anophthalmic socket dengan jahitan intak dan tidak ada
perdarahan. Pasien didiagnosis dengan anophthalmic socket OS post enukleasi OS atas
indikasi retinoblastoma diffuse infiltrating grade E OS. Pasien dirujuk ke Subdivisi
Hematoonkologi Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin untuk dilakukan kemoterapi.
Gambar 9. Hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan a) differentiated retinoblastoma
ocular sinistra b) infiltrasi kornea c) infiltrasi korpus siliaris d) infiltrasi massif
koroid e) infiltrasi sklera f ) invasi nervus optikus hingga ke batas sayatan nervus
optikus. Keterangan: :Flexner-Wintersteiner rosette. *: infiltrasi retinoblastoma.
III. Diskusi
Pola pertumbuhan retinoblastoma umumnya terjadi secara eksofitik, endofitik,
atau kombinasi keduanya yang bermanifestasi sebagai massa pada retina. Pada
retinoblastoma tipe diffuse infiltrating pertumbuhan relatif mendatar, tanpa adanya
massa retina dan kalsifikasi. Pertumbuhan tumor pada retinoblastoma diffuse
infiltrating terjadi secara lambat sehingga pasien terdiagnosis pada rata-rata usia empat
tahun. Predileksi retinoblastoma tidak tergantung pada jenis kelamin dan ras. Hal ini
a) b) c)
d) e) f)
*
* *
*
* * *
*
10
sesuai dengan laporan kasus ini dimana pasien adalah anak perempuan berusia empat
tahun. 4,5
Retinoblastoma diffuse infiltrating sebagian besar muncul secara sporadik.
Retinoblastoma diffuse infiltrating paling sering terjadi secara unilateral, pada 8%
kasus terjadi secara bilateral. Hal ini sesuai dengan laporan kasus ini dimana pasien
dengan unilateral retinoblastoma tanpa riwayat keluarga dengan retinoblastoma pada
dua generasi sebelumnya. Gejala awal retinoblastoma yang paling sering dikeluhkan
adalah leukokoria. Strabismus menjadi gejala kedua terbanyak. Mata merah,
penglihatan buram, dan depigmentasi iris juga dapat menjadi keluhan pada kunjungan
awal. Pada laporan kasus ini orangtua pasien mengeluhkan leukokoria disertai mata
merah dan buram yang sesuai dengan manifestasi klinis awal. Tanda klinis
retinoblastoma diffuse infiltrating antara lain adalah neovaskularisasi, pseudohipopion,
peningkatan tekanan intraokular, penyebaran tumor di vitreus, ruangan subretina, dan
perdarahan vitreus. Tanda klinis pada kunjungan pertama pasien ini adalah
pseudohipopion. Sel tumor tunggal dapat memasuki vitreus dan bilik mata depan dapat
menyerupai uveitis tanpa adanya massa tumor secara makroskopik. 6,7,8
Pemeriksaan funduskopi sebagian besar ditemukan normal namun dapat
ditemukan massa retina periferal berukuran kecil pada pemeriksaan awal. Pemeriksaan
funduskopi pada pasien ini sulit dinilai karena kekeruhan media. Hal ini konsisten
dengan hasil ultrasonografi B-scan pada kunjungan awal yang menunjukkan kekeruhan
vitreus yang disebabkan radang tanpa ditemui massa dan kalsifikasi. Pasien awalnya
didiagnosis dengan panuveitis granulomatosa karena adanya injeksi siliar, keratic
precipitate, hipopion, dan adanya kekeruhan vitreus yang disebabkan peradangan.
Pasien memberikan respon baik terhadap kortikosteroid yang menyebabkan penundaan
penegakan diagnosis retinoblastoma diffuse infiltrating. 4,5,7
Berbagai diagnosis banding dapat dipikirkan pada retinoblastoma diffuse
infiltrating karena tidak adanya massa retina dan kalsifikasi. Penegakan diagnosis
dengan benar menjadi tantangan terbesar dalam tatalaksana. Pada beberapa kasus
diperlukan pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). FNAB menjadi
11
kontraindikasi pada retinoblastoma. yang dapat memicu penyebaran tumor. Penelitian
Chalwa dkk melaporkan FNAB merupakan modalitas yang aman dengan tindakan
minimal invasif untuk meminimalisir penyebaran sel tumor. Pada laporan kasus ini
dilakukan biopsi vitreus yang mengkonfirmasi diagnosis adanya keganasan
intraokular. 7,9,10
Tahap awal dalam tatalaksana retinoblastoma adalah klasifikasi berdasarkan
manifestasi klinis untuk memprediksi keberhasilan tatalaksana dalam rangka
penyelamatan bola mata dan potensi penglihatan. Grading retinoblastoma penting
dalam tatalaksana dan prognosis. Berdasarkan Klasifikasi Internasional
Retinoblastoma dibagi menjadi lima grup yang dijelaskan pada tabel 1.1,8
Tabel 1. Klasifikasi Internasional Retinoblastoma (Versi Philadelphia) Grup A Retinoblastoma berukuran kecil (≤ 3mm) yang terbatas pada retina
Grup B Retinoblastoma berukuran > 3mm terbatas pada retina, atau
Terletak di makula (≤ 3mm ke foveola)
Terletak di jukstapapilaris (≤ 1.5mm ke diskus optikus)
Cairan subretina ≤ 3mm dari batas tumor
Grup C Retinoblastoma dengan
Penyebaran ke subretina ≤ 3mm dari tumor
Penyebaran ke vitreus ≤ 3mm dari tumor
Penyebaran ke subretina dan vitreus ≤ 3mm dari tumor
Grup D Retinoblastoma dengan
Penyebaran ke subretina > 3mm dari tumor
Penyebaran ke vitreus > 3mm dari tumor
Penyebaran ke subretina dan vitreus > 3mm dari tumor
Grup E Retinoblastoma ekstensif yang berukuran melebihi 50% dari bola mata, atau
Glaukoma neovaskular
Kekeruhan media akibat perdarahan di bilik mata depan, vitreus, atau ruang
subretina
Invasi ke nervus optikus postlamiar, koroid (> 2mm), sklera, orbit, dan bilik
mata depan
Sumber: Ramasubramanian A, Shields CL. 11
Pasien diklasifikasikan sebagai retinoblastoma grade E karena ukuran massa tumor
melebihi 50% dari bola mata, terdapat kekeruhan media akibat perdarahan di bilik mata
depan, dan invasi ke nervus optikus postlamiar, koroid (> 2mm), sklera, orbit, dan bilik
mata depan. Sebagian besar pasien retinoblastoma diffuse infiltrating yang diberikan
kortikosteroid topikal memberikan respon dalam penurunan inflamasi yang
12
menyebabkan kesalahan diagnosis. Pada laporan kasus ini pasien memberikan
perbaikan klinis setelah diberikan terapi kortikosteroid. Penyakit yang mendasari
panuveitis pada pasien ini baik autoimun maupun infeksi tidak ditemukan. Kalsifikasi
adalah tanda khas retinoblastoma yang dapat dideteksi dengan USG, CT-Scan, dan
magnetic resonance imaging. Kalsifikasi berhubungan dengan proses nekrosis tumor
akibat pertumbuhan tumor melebihi dari pasokan darah. Pada kunjungan awal
pemeriksaan USG B-Scan menunjukkan adanya kekeruhan vitreus tanpa adanya massa
retina dan tanpa kalsifikasi. Shields dkk melaporkan ultrasonografi B-scan
menunjukkan tumor sebagai penebalan retina tanpa adanya kalsifikasi pada nodul. 5,9,12
Enukleasi menjadi pilihan tatalaksana utama pada retinoblastoma unilateral tahap
lanjut (Klasifikasi international grup E). Hal ini sesuai dengan laporan kasus ini yaitu
retinoblastoma grup E unilateral yang menjadi indikasi dilakukan enukleasi. Elemen
penting dalam enukleasi adalah meminimalisir trauma pada bola mata dan
mendapatkan potongan nervus optikus yang panjang untuk mencegah penyebaran sel
tumor. Sistemik kemoterapi dilakukan setelah enukleasi pada pasien dengan hasil
pemeriksaan patologi anatomi risiko tinggi metastasis. 9,11,12
Pemeriksaan patologi anatomi harus dilakukan untuk menilai sayatan operasi
bebas sel tumor dan menilai metastasis. Penelitian Sreelakhsmi dkk pada 2017
mendapatkan 18 kasus retinoblastoma dengan infiltrasi sel tumor ke segmen anterior.
Lokasi infiltrasi terbanyak ditemukan pada permukaan iris, diikuti anyaman trabekular,
bilik mata depan, iris, dan kornea. Pada laporan kasus ini didapatkan hasil pemeriksaan
histopatologi differentiated retinoblastoma ocular sinistra yang telah menginfiltrasi
kornea, anterior chamber, massif koroid, sklera serta telah menginvasi nervus optikus
hingga ke batas sayatan nervus optikus. Kemoterapi sistemik diperlukan untuk
mengendalikan infiltrasi sel tumor secara sistemik. 9,13
Angka ketahanan hidup retinoblastoma di negara berkembang bervariasi dari
40% sampai 79%. Retinoblastoma unilateral tanpa perluasan ekstrasklera memiliki
angka ketahanan hidup jangka panjang lebih dari 90%. Penyebaran sel tumor ke
ekstrasklera setelah enukleasi memiliki angka ketahan hidup jangka panjang kurang
13
dari 65%. Prognosis quo ad vitam pada pasien ini ad malam karena adanya risiko
metastasis sistemik yang dapat menyebabkan kematian. Prognosis quo ad functionam
mata kanan ad bonam, mata kiri ad malam. Prognosis quo ad sanationam dubia. Follow
up jangka panjang diperlukan untuk evaluasi fellow eye, risiko metastasis, dan kualitas
hidup pasien. 12,14
IV. Simpulan
Retinoblastoma diffuse infiltrating adalah tipe retinoblastoma yang jarang
ditemukan. Manifestasi klinis retinoblastoma diffuse infiltrating yang tidak khas dan
terjadi pada kelompok usia lebih tua menyebabkan kesalahan diagnosis dan
keterlambatan tatalaksana. Kecurigaan dari manifestasi klinis yang didukung dengan
penggunaan modalitas pencitraan yang tepat penting dalam penegakan diagnosis.
Tatalaksana yang tepat penting dalam meningkatkan angka ketahanan dan kualitas
hidup pasien.
14
Daftar Pustaka
1. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Disorders of Retina and Vitreous. Dalam:
Pediatric Ophthalmology and Strabismus. San Fransisco. American Academy
Ophthalmology. 2016. hlm 343–348.
2. Traine PG, Schedler KJ, Rodrigues EB. Clinical Presentation and Genetic Paradigm
of Diffuse Infiltrating Retinoblastoma: A Review. Ocul Oncol Pathol. 2016;2:128-
132.
3. Saini M, dkk. Diffuse Infiltrating Retinoblastoma – Atypical Presentation of
Retinoblastoma in Late Childhood. Del J Ophthalmol. 2016; 26(4):299–301.
4. Schedler KJE, dkk. Hereditary Diffuse Infiltrating Retinoblastoma. Ophthalmic
Genetics, Early Online. 201:1–3.
5. Manjandavida FP, Chahar S. The Art of Retinoblastoma Management: Curable yet
Challenging. Kerala J Ophthalmol 2018;30:17‑27.
6. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Retina and Retinal Pigment Epithelium. Dalam:
Ophthalmic Pathology and Intraocular Tuors. San Fransisco. American Academy
Ophthalmology. 2016. hlm 140-143.
7. Kitazawa K, dkk. Diffuse Anterior Retinoblastoma with Sarcoidosis-Like Nodule.
Case Rep Ophthalmol. 2015;6:443–447.
8. Stathopoulos C, dkk. Conservative Treatment of Diffuse Infiltrating
Retinoblastoma: Optical Coherence Tomography-Assisted Diagnosis and Follow-
Up in Three Consecutive Cases. B J Ophthalmol. 2018;0:1–5.
9. Yang J, dkk. Diffuse Anterior Retinoblastoma: Current Concepts. OncoTargets and
Therapy. 2015;8:1815–1821
10.Chalwa B, dkk. Intraocular Fine Needle Aspiration Citology as a Diagnostic
Modality for Retinoblastoma. Int J Ophthalmol. 2016;9(8): 1233-1235.
11.Ramasubramanian A, Shields CL. Staging and Treatment Strategies. Dalam:
Retinoblastoma. New Delhi. Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. hlm 70-78
12.Hime B, dkk. Indication for Eye Removal over A 13-Year Period at an
Ophthalmology Referral Center in Sao Paulo, Brazil. Arq Bras Oftalmol.
2017;80(4):220-223.
13.Sreelakshmi KV, dkk. Anterior Chamber Invasion in Retinoblastoma: Not An
Indication for Adjuvant Chemotherapy. IOVS. 2017;58(11):4654-4661.
14.Wright KW. Leukocoria: Catracts, Retinal Tumors, and Coats Disease. Dalam:
Pediatric ophthalomology for primary care. 3rd Edition. Los Angeles. American
Academy of Pediatrics. Williams and Wilkins. 2008. hlm 300–305.